presus rhinitis vasomotor.pdf
Transcript of presus rhinitis vasomotor.pdf
1
BAB I
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. P
Usia : 35 tahun
Alamat : Pandak, Bantul
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : -
Status : Menikah
Masuk RS : Kamis, 14 Agustus 2010
B. ANAMNESIS
Keluhan utama
Hidung tersumbat dan meler sejak 2 minggu yang lalu, hidung tidak terasa gatal, ingus
berwarna bening, tidak bau, tidak demam, gejala memberat terutama pada pagi hari.
Riwayat alergi disangkal
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 2 minggu yang lalu hidung sering meler, ingus berwarna putih bening tidak
berbau. Keluhan ini paling berat di pagi hari, namun sore dan malam hari keluhan
biasanya hilang dengan sendirinyaPasien mengatakan sering merasakan keluhan seperti
ini, dan bersifat kambuh-kambuhan terutama jika pasien sedang merasa kecapekan.
Riwayat demam (-), riwayat batuk (-), riwayat gatal di sekitar mata (-), riwayat sering
bersin (-). Riwayat mengkonsumsi obat hipertensi (-).
Riwayat penyakit dahulu
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
2
C. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala&wajah : deformitas (-), tampak bula pada sisi kiri wajah, bibir edema (+)
Mata : kelopak atas mata kiri edema (+) dan tidak dapat dibuka,
konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Leher : pembesaran KGB (-)
THT : sekret (-)
Dada : simetris dalam diam dan pergerakan
Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+) normal, H/L ttb
Ekstremitas : tak ada kelainan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
– Pangkal hidung ( bridge )
– Dorsum nasi
– Puncak hidung ( apeks )
– Ala nasi
– Kolumela
– Lubang hidung ( nares anterior )
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1) Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2) Prosesus frontalis os maksila
3) Prosesus nasalis os frontalis
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1) Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3) Beberapa pasang kartilago alar minor
4) Tepi anterior kartilago septum nasi
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu :
1) Kelompok dilator :
– m. dilator nares ( anterior dan posterior )
– m. proserus
– kaput angulare m. kuadratus labii superior
2) Kelompok konstriktor :
– m. nasalis
– m. depresor septi
4
2. Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior
disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
1) Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrissae
2) Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari :
– lamina perpendikularis os etmoid
– vomer
– krista nasalis os maksila
– krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari :
– kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
– kolumela
3) Kavum nasi
3. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os
palatum.
4. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os
maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
5. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis
os palatum dan lamina pterigoideus medial.
5
6. Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media
dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
7. Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
8. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.
Aliran Darah Hidung
Aliran darah untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
1) a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding
lateral hidung.
2) a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian
superior posterior.
3) a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding
lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (
Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
6
menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Persarafan hidung
1) Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.
2) Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3) Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas
dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post
sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus
profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus
superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan di dalam kanalis
pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion
sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke
pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan
mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit
mempengaruhi kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus salivatorius
superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan
menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion
tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung.
Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang
menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil.
Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik /
parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan
sensasi hidung tidak akan terganggu.
7
4) Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
B. FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( air conditioning ),
penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara , refleks nasal dan
turut membantu proses bicara.
C. FREKUENSI
Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan sebanyak
30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor dan
lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun demikian
insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3 – 4. Secara umum
prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 – 21%. Dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan
hidung non – alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan
alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3.
Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita
rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor. Sunaryo, dkk
( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1 tahun di RS Sardjito
Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus ( 1,38 % )
sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus (
10,07 % ).
D. ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor
yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
a. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
8
b. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang.
c. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
d. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
E. PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf
simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor
terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja
parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang
hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan
dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya
akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti
Sel mast. Termasuk diantara Peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin,
polypeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol
diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari system saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan
rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-IgE mediated)
seperti pada rhinitis alergi. Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan
pada rhinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi
yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis vasomotor
yaitu :
a. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
b. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
c. mengurangi peptide vasoaktif
d. mencari dan menghindari zat-zat iritan.
9
F. PATOGENESIS
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh - pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan system saraf parasimpatis. Tidak
dijumpai allergen terhadap antibody spesifik seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi.
Keadaan ini merupakan reflex hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik.
Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa factor pemicu.
a. adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan system saraf
otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung.
vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung. Hidung tersumbat dan
rinore. Disebut juga “ rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ), merupakan respon
non – spesifik terhadap perubahan – perubahan lingkungannya, berbeda dengan
rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada zat
allergen nya.
b. Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE (IgE-
mediated hypersensitivity).
Pemicu ( triggers ) :
– alkohol
– perubahan temperatur / kelembapan
– makanan yang panas dan pedas
– bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
– asap rokok atau polusi udara lainnya
– faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
– penyakit – penyakit endokrin
– obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
G. GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus
atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan
bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga
oleh karena asap rokok dan
10
Sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke
tenggorok (post nasal drip). Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor
dibedakan dalam 2
golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore
(runners/sneezers).
H. DIAGNOSIS
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat
alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien
hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi
tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna
merah gelap atau merah tua (karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat.
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat
sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang
ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat
dijumpai post nasal drip. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test
RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga
eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering
menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.
I. DIAGNOSIS BANDING
– Rinitis alergi
– Rinitis infeksi
J. TERAPI
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala
yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
11
– Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine
(oral) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung).
– Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
– Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan
bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu
sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide,
Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
– Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray)
3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :
– Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO (electrical cautery).
– Diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of the inferior
turbinate)
– Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
– Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
– Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
– Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.
Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi
K. KOMPLIKASI
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
L. PROGNOSIS
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik
dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.
12
BAB III
KESIMPULAN
1. Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung
dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang – kadang dijumpai
adanya bersin – bersin.
2. Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf
otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu.
3. Biasanya dijumpai setelah dewasa ( dekade ke – 3 dan 4 ).
4. Rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan
rinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan pemeriksaan yang teliti
untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis lainnya terutama rhinitis alergi dan mencari
factor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor.
5. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan
tindakan operatif.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Boies. L.R., (1997)., Penyakit Telinga Luar., dalam Ilmu Ajar Penyakit THT., Penerbit
Buku Kedokteran (EGC)., Jakarta., hal 73-87.
2. Carr., (1998)., Otitis Externa., www.google.com.
3. Cody. D.T., (1997)., Otalgia (Nyeri Telinga)., dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan., Penerbit Buku Kedokteran (EGC)., Jakarta., hal 104-118.
4. Sander. R., (2001)., Otitis Externa : A Practical Guide to Treatment and
Prevention., www.google.com.
5. Soetirto. I. dkk., (2001)., Gangguan Pendengaran (Tuli)., dalam Ilmu Ajar Penyakit
THT., Penerbit Buku Kedokteran (EGC)., Jakarta., hal 9-21.