Presus Mata (Pterigium)

18
TUGAS PRESENTASI KASUS PTERIGIUM Pembimbing: dr. Wahid Heru Widodo Sp. M Disusun Oleh : Dera Fakhrunnisa G1A009020

Transcript of Presus Mata (Pterigium)

Page 1: Presus Mata (Pterigium)

TUGAS PRESENTASI KASUS

PTERIGIUM

Pembimbing:

dr. Wahid Heru Widodo Sp. M

Disusun Oleh :

Dera Fakhrunnisa G1A009020

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: Presus Mata (Pterigium)

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul:

“Pterigium”

Disusun Oleh :

Dera Fakhrunnisa G1A009020

Pada tanggal , Desember 2012

Pembimbing,

dr. Wahid Heru Widodo Sp.M

Page 3: Presus Mata (Pterigium)

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif

dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan

ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan

lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar

hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir.

Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin

dan elastik (Voughan&Asbury, 2009).

Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah

yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang

sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu

atau berpasir. Kasus pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim

panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering

mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang

Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan

kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup

tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1% (Stephen, 2004).

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterygium

meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada

umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada

umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok,

pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah (Stephen, 2004).

Page 4: Presus Mata (Pterigium)

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip

daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian

nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk

segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea (Ilyas, 2007).

B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan

udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu

neoplasma, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2007).

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yaitu diantaranya

adalah radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan

faktor herediter (Edward&Mannis, 2002).

1. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar

matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan

sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan

kacamata dan topi juga merupakan faktor penting (Edward&Mannis, 2002).

2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan

berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,

kemungkinan diturunkan secara autosom dominan (Edward&Mannis, 2002).

3. Faktor lain.

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan

pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini

merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Yang juga menunjukkan adanya

“pterigium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai

terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu,

dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium (Edward&Mannis, 2002).

Page 5: Presus Mata (Pterigium)

C. KLASIFIKASI

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu

(Edward&Mannis, 2002) :

1. Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala

pterygium (disebut cap pterigium).

2. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk

membran tetapi tidak pernah hilang.

Selain itu terdapat pembagian lain dari pterigium yaitu (Kanskii, 2007):

1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai

pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering

mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami

keluhan lebih cepat.

2. Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.

3. Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas

terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke

fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.

D. PATOFISIOLOGI

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering

pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling

diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti

paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang

dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang

disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan

salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung

teori ini (American Academy of Opthalmology, 2007).

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem

cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah

berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan

angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi

jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada

kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,

Page 6: Presus Mata (Pterigium)

sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang

terjadi dysplasia (Khurana, 2007; Gazzard et al., 2002).

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi

limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi,

inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda

ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa

pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell.

Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah

interpalpebra (Edward&Mannis, 2002).

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype,

pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi

rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian

pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterigium

menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk

jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa

pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi

fibrovaskular dan inflamasi (Edward&Mannis, 2002).

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Anamnesa

Penderita pterigium pada tahap awal biasanya tanpa keluhan sama sekali atau

biasanya ringan. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

a. Mata sering berair dan tampak merah

b. Merasa seperti ada benda asing

c. Penurunan tajam penglihatan.

d. Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa jaringan kekuningan akan

terlihat pada lapisan luar mata (sklera) pada limbus, berkembang menuju ke arah

kornea dan pada permukaan kornea. Sklera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva)

dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan (Edward&Mannis, 2002; Khurana,

2007).

Page 7: Presus Mata (Pterigium)

Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada

konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada

bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai

pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker's line)

(Edward&Mannis, 2002; Khurana, 2007).

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian

segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body,

sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial

cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium

(Edward&Mannis, 2002; Khurana, 2007).

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :

a. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati

kornea.

c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

d. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi

kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme  ireguler yang

disebabkan oleh pterigium

E. PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

Pada kasus ringan, kemerahan dan rasa perih dari pterigium dapat diatasi dengan :

a. Air mata buatan (GenTeal)

Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan kornea yang

irreguler akibat tumbuhnya pterigium.

b. Prednisolon asetat

Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasipada mata

dengan inflamasi yang signifikan dan tidak diatasi dengan lubrikan topikal.

Page 8: Presus Mata (Pterigium)

2. Operatif

Indikasi untuk dilakukannya terapi operatif pada pasien pterigium adalah

(Anonim, 2006):

a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus

d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu (American Academy of

Ophthalmology, 2007):

a. Bare sclera

Pada teknik ini tidak ada jahitan, benang absorbable digunakan untuk melekatkan

konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.

b. Simple closure

Pada teknik ini tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek

konjungtiva sangat kecil).

c. Sliding flaps

Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk

menutupi defek.

d. Rotational flap

Insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi

pada tempatnya.

e. Conjunctival graft

Suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka

dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

f. Amnion membrane transplantation

Mengurangi frekuensi rekuren pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada

permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada

konjungtiva dan fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation

dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

g. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru

dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

Page 9: Presus Mata (Pterigium)

3. Nonmedikamentosa

Pasien disarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan sebagai

tambahan menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan

pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah tropis dan

subtropics, atau pada pasien yang sering beraktifitas diluar (Gazzard et al., 2002).

F. PROGNOSIS

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta

radiasi (Donald, 2000).

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang

baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan

merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai

aktivitasnya (Donald, 2000).

G. KOMPLIKASI

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut (Gazzard et al., 2002):

a. Gangguan penglihatan

b. Iritasi

c. Gangguan pergerakan bola mata.

d. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

e. Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral berkurang

f. Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia

g. Dry eye syndrome

h. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut (Edward&Mannis, 2002):

a. Rekurensi

b. Infeksi

c. Perforasi korneosklera

d. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

e. Korneoscleral dellen

f. Granuloma konjungtiva

g. Epithelial inclusion cysts

Page 10: Presus Mata (Pterigium)

h. Conjungtiva scar

i. Adanya jaringan parut di kornea

j. Disinsersi otot rektus

Page 11: Presus Mata (Pterigium)

BAB III

KESIMPULAN

1. Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging

yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif.

2. Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,

radang, dan degenerasi.

3. Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yaitu diantaranya adalah

radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan factor

herediter.

4. Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif

pterigium dan regresif pterigium.

5. Pada anamnesis kasus pterigium ditemukan gejala ringan seperti mata sering berair dan

tampak merah, merasa seperti ada benda asing, serta penurunan tajam penglihatan.

6. Pada pemeriksaan fisik kasus pterigium ditemukan massa jaringan kekuningan yang

terlihat pada lapisan luar mata (sklera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea

dan pada permukaan kornea.

7. Terapi pada pterigium dapat berupa terapi konservatif jika gejala ringan dan dapat pula

berupa terapi operatif.

8. Prognosis kasus pterigium umumnya baik.

Page 12: Presus Mata (Pterigium)

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2007. External Disease and Cornea. BSSC section 8.

Donald TH. 2000. Pterygium in Clinical Ophthalmology – An Asian Perespective.

Philadelphia: Saunders Elsevier.

Edward J H, Mark J. Mannis. 2002. Ocular Surface Disease, Medical Surgical management.

Gazzard G, Saw S – M, Farook M, Koh D, Wijaya D. 2002. Pterygium in Indonesia :

Prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology.

Ilyas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Kanskii J.J. 2007. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, 6thed.

Khurana AK. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensif Ophthalmology 4thed. New

Delhi: New Age International.

Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III . 2006. Surabaya:

Penerbit Airlangga Surabaya.

Stephen GW. 2004. Pterygium in Duane's Clinical Ophthalmology Vol. 6. Philadelphia:

Lippincont Williams & Wilkin.

Voughan & Asbury. 2009. Oftalmologi umum edisi 17. Jakarta : EGC.