PRESBES Demam Berdarah Dengue - Erli N.R G1A212095
-
Upload
barbie-nurdilia-r -
Category
Documents
-
view
229 -
download
2
description
Transcript of PRESBES Demam Berdarah Dengue - Erli N.R G1A212095
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau
nyeri sendi yang disertai oleh leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni, dan
diathesis hemoragic. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan Hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh.
Sindrom Renjatan Dengue (Dengue Syok Sindrom) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai dengan renjatan/syok.
Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama di Asia timur
dan selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus. WHO
memperkirakan lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus demam dengue memerlukan
perawatan di rumah sakit. Lebih dari 40% penduduk dunia hidup di daerah endemis
demam dengue. Indonesia sebagai negara tropis dengan angka kejadian Dengue yang
tinggi, memang memiliki potensi tinggi untuk terjadinya penyebaran wabah Dengue di
masyarakat. Jutaan orang mengalami Dengue dan sebagian besar didominasi oleh anak-
anak.
Di Indonesia infeksi virus dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun
1968, tapi konfirmasi virologi baru pada tahun 1970. Pada saat ini DBD sudah endemis
di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di pedesaan.
2) Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan
prognosis dari demam berdarah dengue.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 28 Tahun
Alamat : Cilacap Tengah
Jenis kelamin : wanita
Status : Menikah
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Tanggal masuk : 9 oktober 2014 Pukul: 16.38 WIB
Tanggal periksa : 11 oktober 2014
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Demam
2. Keluhan tambahan :
Mual dan muntah, pusing, nyeri tenggorokan, batuk, pilek dan nafsu makan
menurun, nyeri kepala berat, nyeri otot, ruam kulit.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS Purwokerto (9 oktober 2014, pukul 16.38 WIB)
dengan kondisi hamil siap melahirkan, namun ada keluhan demam sejak 5 hari
SMRS. Pasien mengeluhkan demam mendadak tinggi dan terus menerus. Pasien
juga mengeluhkan rasa mual, muntah, pusing, nyeri tenggorokan, batuk, pilek dan
nafsu makan menurun. HMRS Margono Soekarjo pasien mengeluhkan demam
yang semakin tinggi, badan terasa lemas, pasien juga merasakan nyeri kepala
berat, muntah (1x) dengan isi muntah berupa makanan, dan nafsu makan
menurun, nyeri otot dan munculnya ruam di kulit tangan. Pasien mengatakan
baru pertama kali mengeluhkan gejala tersebut. Tepat malam hari pada HMRS
pasien melahirkan seorang bayi, dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan
penyakit dalam.
2
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat Hemodialisa : disangkal
c. Riwayat Hipertensi : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat penyakit hati : disangkal
h. Riwayat Alergi : disangkal
i. Riwayat Asthma : disangkal
j. Riwayat Operasi : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit hati : disangkal
g. Riwayat penyakit stroke : disangkal
h. Riwayat penyakit liver : disangkal
i. Riwayat Alergi : disangkal
j. Riwayat Asthma : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduknya. Jarak rumah
pasien dengan rumah yang tidak begitu jauh. Pasien berasal dari keluarga
dengan sosial ekonomi menengah. Sumber pendanaan kesehatan pasien
menggunakan biaya pribadi.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah berempat bersama dengan orang tua dan
satu adiknya. Rumah yang dihuni terdiri dari 3 kamar tidur, ruang tamu, ruang
keluarga, dapur dan kamar mandi. Rumah terbuat dari dinding tembok dan
3
lantai ubin, atap seng, dan terdapat beberapa jendela serta ventilasi udara di
setiap ruangan.
c. Occupational
Pasien merupakan anak dari seorang wiraswasta
d. Personal habit
Pasien aktif dalam kegiatan di sekolah, dan lingkungan rumah setiap harinya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 10 Oktober 2014
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 68 x per menit, reguler
Respirasi : 20 x per menit
Suhu : 37,5C
4. BB : 54 kg
5. TB : 157 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk : mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
Rambut : tidak mudah rontok, distribusi merata
Mata : simetris, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),edema
palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat isokor
diameter 3 mm
THT : faring hiperimis, tonsil T1 – T1, lidah tampak kotor (+),
tremor (-),discharge (-).
Mulut : Bibir sianosis (+), lidah sianosis (+)
Leher : deviasi trakea (-), JVP 5+2 cm H2O
b. Pemeriksaan dada
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
4
ketertinggalan gerak antara hemithoraks dextra dan sinistra,
kelainan bentuk dada (-), eksperium diperpanjang (-),
retraksi interkostalis (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS,
tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung
kanan atas : SIC II LPSD
kiri atas : SIC II LPSS
kanan bawah : SIC IV LPSD
kiri bawah : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) N
Palpasi : supel, NT (-), undulasi (-)
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-),
nyeri ketok costo vertebrae (-)
Hepar dan lien : tak teraba
5
Ekstremitas :
Ekstremitas
superior
Ekstremitas
inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
Rumple leed : ditemukan petechie > 30 di ekstrimitas superior dekstra
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Lengkap
Tanggal 9 oktober 2014 (pukul 18.02)
Darah Lengkap
Hemoglobin : 10,4 g/dl
Leukosit : 4.140 uL L
Hematokrit : 43 %
Eritrosit : 5,5 10^6/uL H
Trombosit : 67.000/uL L
MCV : 79,7 fL
MCH : 30,5 pg
MCHC : 38,3 % H
RDW : 11,9 %
MPV : 12,0 fL H
PT : 9,8
APTT : 55,9
Hitung Jenis
Basofil : 8,0 % H
Eosinofil : 2,4 %
Batang : 0,00 % L
6
Segmen : 31,8 % L
Limfosit : 27,8 %
Monosit : 30,0 % H
Sero Imunologi
DHF ICT
IgG Anti DHF : Non reaktif
IgM Anti DHF : Reaktif
Tanggal 10 Oktober 2014
Darah lengkap
Hemoglobin : 10,1 g/dl H
Leukosit : 2.630 uL L
Hematokrit : 50 %
Eritrosit : 6,3 10^6/uL H
Trombosit : 78.000/uL L
MCV : 79,8 fL
MCH : 30,2 pg
MCHC : 37,8 % H
RDW : 12,3 %
Hitung Jenis
Basofil : 14,8 % H
Eosinofil : 0,4 % L
Batang : 0,00 % L
Segmen : 12,9 % L
Limfosit : 36,5 %
Monosit : 35,4 % H
Tanggal 11 Oktober 2014
Darah lengkap
Hemoglobin : 9,8 g/dl
Leukosit : 6.800 uL
Hematokrit : 42 %
7
Eritrosit : 5,1 10^6/uL
Trombosit : 67.000/uL L
MCV : 81,6 fL
MCH : 30,6 pg
MCHC : 37,5 % H
RDW : 12,2 %
MPV : 12,1 fL H
Hitung Jenis
Basofil : 2,9 % H
Eosinofil : 0,0 % L
Batang : 0,00 % L
Segmen : 50,5 %
Limfosit : 22,6 % L
Monosit : 24,0 % H
E. DIAGNOSA BANDING :
- DHF
- Demam chikungunya
- Demam thypoid
- ISPA et causa virus
F. DIAGNOSIS
I. Demam Berdarah Dengue Derajat II
II. Paritas 2 abortus 0 Post partus spontan H+1
G. TERAPI
1. Non Farmakologis
- Bed rest
2. Farmakologi
- IVFD RL + Adona 1 ampul 20 tpm
- Injeksi Metoclopramid 3x1 ampul
8
- Injeksi Kalnex 3x500 mg
- P.O. Mefinal 3x1 caps
- P.O PCT 3x 500 mg k/p
- Transfusi Trombosit 2 kolf
H. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam kulit, limfadenopati,
trombositopeni, dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah dengue yang ditandai
dengan tanda renjatan/syok (Suhendro, 2006).
2. Etiologi
Demam dengue (DD) dan Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthrophoda Virus (Arboviroses) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviride dan mempunyai 4 jenis serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seorang yang tinggal di dareah endemis
dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Di Indonesia,
pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit
menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan sering
menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Hadinegoro, et al., 2004).
3. Epidemiologi
Dengue merupakan penyakit virus yang disebarkan secara cepat melalui nyamuk
di dunia. Pada 50 tahun terakhir, insidensinya meningkat 30 kali lipat seiring dengan
meningkatnya ekspansi geografis pada negara negara berkembang, pada dekade
terakhir, perkembangan dari kota ke desa. Diestimasikan berkisar 50 juta kasus
dinfeksi dengue terjadi dalam satu tahun (WHO, 2009).
10
Gambar1. Rata rata kejadian demam dengue dan demam berdarah dengue di dunia
(WHO, 2009)
4. Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue yaitu, manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopticus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain juga dapat menularkan virus ini namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat mengigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation periode) sebelum dapat ditularkkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada
manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan
kepada telurnya (transovarian transmission), namun perannya dalam penularan virus
tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation periode)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia yang sedang mengalami
viremia yaitu, 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Hadinegoro,
et al., 2004).
11
5. Patogenesis
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
penjamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan
tersebut sangat tergantung pada daya tahan penjamu (Hadinegoro, et al., 2004).
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien
yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog
yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan mengindeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog
maka virus tidak dinetralisir oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag (Hadinegoro, et al., 2004).
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE) suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Hadinegoro, et al., 2004).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infections dapat dilihat pada gambar 2 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan megakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen antibodi (virus
antibodi komplex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktifasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
12
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembasan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natriumm dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian (Hadinegoro, et al., 2004).
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemempuan untuk menimbulkan
wabah yang besar (Hadinegoro, et al., 2004).
Gambar 2. Patogenesis terjadinya syok pada DBD (Hadinegoro, et al., 2004)
Sebagai tanggapan terhadap inveksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktifasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktifasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar
13
3). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membrane trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID: koagulasi intravascular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan (Hadinegoro, et al., 2004).
Gambar 3. Patogenesis perdarahan pada DBD (Hadinegoro, et al., 2004)
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan
baik. Disisi lain, aktifasi koagulasi akan menyebabkan aktifasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktifasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
14
kelainan fungsi trombositm dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi (Hadinegoro, et al., 2004).
6. Klasifikasi
Infeksi dengue memiliki spektrum yang luas dalam presentasi klinis, terkadang
terdapat evolusi klinis dan outcome yang tidak terprediksi. Kasus terbanyak adalah
kasus yang tidak berat dan menyembuh dengan sendirinya, dan proporsi kecil lainnya
berkembang menjadi kasus yang berat, yang sebagian besar memiliki karakteristik
kebocoran plasma dengan atupun tanpa perdarahan (WHO, 2009).
Perubahan epidemiologi dari dengue, menyebabkan masalah dengan klasifikasi
WHO yang telah ada sebelumnya. Infeksi virus dengue yang simtomatik
diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu demam yang tidak terdiferensasi, demam
dengue dan demam berdarah dengue. Sedangkan demam berdarah dengue
diklasifikasikan menjadi 4 derajat keparahan, grade 1, grade 2, grade 3 dan grade 4.
Grade 3 dan 4 didefinisikan sebagai sindrom syok dengue (WHO, 2009).
Gambar 4. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue (WHO, 1997)
Penelitian multisenter klinis prospektif oleh WHO mengenai endemik dengue
mengumpulkan bukti tentang kriteria klasifikasi dengue menjadi tingkatan keparahan.
Penelitan tersebut menemukan bahwa dengan menggunakan parameter klinis dan atau
laboratoris, membedakan secara jelas antara pasien dengan dengue yang berat dan
dengan dengue yang tidak berat. Secara klinis, pasien dengan dengue yang tidak berat
15
menjadi 2 grup, yaitu pasien dengan warning sign dan pasien tanpa warning sign
(WHO, 2009).
Gambar 5. Klasifikasi infeksi dengue dan kriteria penegakan diagnosis (WHO, 2009)
7. Diagnosis
Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, bifasik
(saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang,
atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang
bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan
selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki,
telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan
darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa
penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa
(Hadinegoro & Soegijanto, 2004).
Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai
dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna,
hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus
dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue
16
tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran
plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites
(Hadinegoro & Soegijanto, 2004).
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri
menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium
dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama
pada bayi (Suhendro, 2006).
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit
namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok
(Suhendro, 2006).
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok (Suhendro, 2006).
17
Gambar 6. Perjalanan penyakit demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.
18
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
darah menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur (Suhendro, 2006).
Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa ditemukan pada
hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan
nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai
dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh
perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis
relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau
syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis
dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor
VIII, faktor XII, dan antitrombin III. APTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai
setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan
peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa
ditemukan efusi pleura. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-
ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan
bilateral (Hadinegoro & Soegijanto, 2004).
19
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3
sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh
ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi
cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan
penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila
terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat
dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran
cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya
terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan
timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalinya nafsu makan (Hadinegoro & Soegijanto, 2004).
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,
flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang
tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati (Hadinegoro & Soegijanto, 2004).
Definisi kasus DD/DBD
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan demam
akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala, nyeri
belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji
HI ≥1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang
pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai
berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali pada pasangan
serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
B. Secara Klinis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
20
• Uji tourniquet positif
• Petekia, ekimosis, atau purpura
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
• Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia <100.000/µl.
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
• Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis
kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.
• Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
• Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer menurun.
• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah (Hadinegoro &
Soegijanto, 2004).
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemaglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai gold
standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk studi
sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut atau
titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai
presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi
(recent dengue infection) (Soegijanto, 2006).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
21
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi
nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi
tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8 tahun).
Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak dipakai
secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac Elisa
adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui kandungan
IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti
dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula
dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan
kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesivisitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
22
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang
untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG,
IgM Elisa, IgG Elisa (Hadinegoro & Soegijanto, 2004)
8. Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus,
atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam
chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas
disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain
(Sungkar, 2002).
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada
DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip
dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan
demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu
disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri
sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan
DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok (Sungkar,
2002).
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien
tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di
samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear
(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas
terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan
serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat
II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-
hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP
demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai
leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan
23
pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukimia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia.
pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan
trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto
toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma
(Hadinegoro & Soegijanto, 2004).
9. Tatalaksana
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki
sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya koagulasi intravaskuler
diseminata (KID). Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam
Berdarah Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan
hemostasis.
Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam
Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan
oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan
minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain – lain. Selain itu
diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik
golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39C dengan dosis 10 – 15
mg/KgBB/kali.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia, dan muntah. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral.
Jika cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna.
24
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penangan DBD :
25
Bagan 2. Tatalaksana kasus tersangka DBD
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadakterus menerus <7 haritidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,badan lemah/lesu
Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan
Tanda syok Periksa uji torniquetMuntah terus menerusKejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)Muntah darahBerak darah
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan <100.000/µl >100.000/µl Parasetamol
Kontrol tiap hariTatalaksana sampai demam hilangdisesuaikan,(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap (lihat bagan 3)
Rawat Jalan Nilai tanda klinis & Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht Parasetamol bila masih demam Kontrol tiap hari hari sakit ke-3 sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali
Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok: gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, BAB hitam, BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit
(Suhendro, 2006)
26
Tersangka DBD
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
tanpa peningkatan hematokrit
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala klinis:Demam 2-7 hariUji torniquet (+) atauperdarahan spontanLaboratorium: Hematokrit tidak meningkatTrombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minumBeri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerusAtau 1 sendok makan tiap 5 menitJenis minuman; air putih, teh manis,Sirup, jus buah, susu, oralitBila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam, trombositTiap 6-12 jam
Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turunAwasi perdarahanPeriksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Infus ganti RLPerbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
Pulang (Kriteria memulangkan pasien)• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik• Nafsu makan membaik• Secara klinis tampak perbaikan• Hematokrit stabil• Tiga hari setelah syok teratasi• Jumlah trombosit >50.000/µl• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
(Suhendro, 2006)
27
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit >20%
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
Cairan awal RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5 6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan Tidak ada perbaikanTidak gelisah GelisahNadi kuat Distress pernafasanTek.darah stabil Frek.nadi naikDiuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik(12 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi <20 mmHgHt turun Diuresis </tidak ada(2x pemeriksaan)
Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam
Tanda vital tidak stabil
PerbaikanSesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun 3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHgIVFD stop setelah 24-48 jamApabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segardiuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd Anak - Syok yang belum teratasi
Perbaikan - Perdarahan masif
(Suhendro, 2006)
28
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
Bagan 5. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV(Sindrom Syok Dengue/SSD)
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasiKesadaran membaik Kesadaran menurunNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak terabaTekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosisEkstrimitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah
Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketatTanda vital 2. Tambahkan koloid/plasmaTanda perdarahan Dekstran/FFPDiuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jamTetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasiHt stabil dalam 2x Syok teratasiPemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBBdapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhansetelah syok teratasi
(Suhendro, 2006)
29
DBD derajat III & IV
10. Komplikasi
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok cairan diganti dengan
cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi.
Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa
(5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari,
kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik),
koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD
ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat
diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgbb/hari +
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati.
b. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai
kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan
tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan
untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
c. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
30
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema
paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih
(kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto
roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru
(Soegijanto, 2006).
31
BAB IV
KESIMPULAN
1. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan
atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni, dan
diathesis hemoragik.
2. Demam dengue (DD) dan Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan virus dengue
yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
3. Penegakkan diagnosis DBD:
a. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
b. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
• Uji tourniquet positif
• Petekia, ekimosis, atau purpura
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
• Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia <100.00/µl.
d. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
• Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis
kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.
• Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
• Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
4. Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya koagulasi intravaskuler diseminata
(KID).
32
DAFTAR PUSTAKA
Hadinegoro, S. & Soegijanto, S., 2004. In: Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Soegijanto, S., 2006. In: Demam Berdarah Dengue . Surabaya: Airlangga University Press.
Suhendro, 2006. Demam Berdarah Dengue. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 1731-5.
Sungkar, S., 2002. Demam Berdarah Dengue. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
WHO. 1997. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control, 2nd ed. Geneva, World Health Organization
WHO.2009. Dengue: Guidelines for Diagnosis, treatment, prevention and control, New ed. Geneva, World Health Organization
33