Presbes DHF Yanuary Tejo
-
Upload
yanuary-tejo -
Category
Documents
-
view
230 -
download
4
description
Transcript of Presbes DHF Yanuary Tejo
PRESENTASI KASUS
DENGUE HEMORRAGHIC FEVER
Disusun oleh :
Yanuary Tejo Buntolo G4A014013
Pembimbing :
dr. Ma’mun, Sp.PD
SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :
Dengue Hemorraghic Fever
Pada tanggal, Februari 2015
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Yanuary Tejo Buntolo G4A014013
Mengetahui, Pembimbing
dr. Ma’mun , Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
Demam dengue dan demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diastesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrom) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.
Data Angka Kejadian di Indonesia tahun 2007 Jumlah Kab/Kota yang
terjangkit DBD/DHF (330 /75%), tahun 2005 angka kejadian 0,43 %, tahun 2006
angka kejadian 0,34 %. Patogenesis terjadinya renjatan pada DHF, umumnya oleh
karena proses imunologis. Berdasarkan hipotesis infeksi heterolog sekunder maka
terbentuknya kompleks virus antibody dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepaskan C3a dan C5a, dua peptide
yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai
faktor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding itu.
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan
penyebaran kasus DBD, antara lain pertumbuhan penduduk yang tinggi,
urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak efektifnya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, peningkatan sarana transportasi
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah demam tidak
terdiferensiasi, demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut
selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala,
nyeri retro orbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie
atau uji bendung positif, leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam berdarah dengue/
DBD pada lokasi dan waktu yang sama, DBD (dengan atau tanpa renjatan).
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi, yaitu demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya
bifasik, terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena,
trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml), terdapat minimal 1 tanda
kebocoran plasma seperti peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar
sesuai umur dan jenis kelamin, penurunan hematokrit >20% setelah mendapat
terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya, tanda kebocoran
plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu: derajat 1
demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
uji tourniquet, derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdaran lain, derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah, derajat 4: Syok berat, nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A K
Usia : 52 Tahun
Alamat : Bantarsari Rt02/04, Cilacap
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Sudah Menikah
Pekerjaan : Polisi
Pendidikan : S2
Tanggal masuk : 24 Desember 2014
Tanggal periksa : 27 Desember 2014
No. CM : 0922162
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Nyeri Kepala
2. Keluhan tambahan :
Demam, BAB berwarna hitam, timbul ptekie
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dua hari yang lalu ke IGD RSMS dengan keluhan nyeri
kepala sejak 5 hari yang lalu, selain itu pasien juga mengeluhkan badan
terasa demam sejak 4 hari yang lalu, BAB berwarna hitam, timbul bercak
kemerahan di kulit tangan dan kaki semenjak 2 hari yang lalu. Sebelumnya
pasien juga sudah berobat dua kali di klinik dokter keluarga tetapi belum
ada perbaikan dan keluhan dirasakan semakin memberat sehingga di rujuk
ke RSMS pada hari Rabu malam tanggal 24 Desember 2014.
Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat DM : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan
yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat baik. Sebelum sakit, pasien aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan.
b. Home
Pasien tinggal di daerah perumahan dengan luas rumah ± 9x7 m2
bersama istri dan ke dua anaknya.
c. Occupational
Pasien bekerja sebagai polisi di Polisi Resort (POLRES) Cilacap
d. Diet
Pola makan pasien teratur, 3 kali dalam sehari dengan nasi, sayur,
lauk, dan kadang-kadang buah. Pasien mengaku sering minum
minuman bersoda. Pasien tidak pernah minum minuman beralkohol.
e. Drug
Pasien mengaku tidak ada riwayat menkonsumsi obat-obatan tertentu.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di RSR RSMS, 27 Desember 2014
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda vital :
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 108 x/ menit
Respirasi : 20 x/ menit
Suhu : 37ºC
4. BB : 70 kg
5. TB : 160 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk : mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
Rambut : tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat
isokor, diameter 3 mm
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1 – T1, lidah tampak
kotor (-), tremor (-), discharge (-).
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
Leher : deviasi trakea (-), JVP 5+2 cm H2O
b. Pemeriksaan dada
Paru
Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan
gerak hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan bentuk dada
(-), eksperium diperpanjang (-), retraksi interkostalis (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis di SIC V LMCS
Palpasi : ictus cordis diSIC V LMCS
tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung
kanan atas : SIC II LPSD
kiri atas : SIC II LPSS
kanan bawah : SIC IV LPSD
kiribawah : SIC V LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), test undulasi (-)
Hepar & lien : tak teraba
Ekstremitas :
Ekstremitas
superior
Ekstremitas
inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Ptekie + + + +
Akral hangat + + + +
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Lengkap
1. Tanggal 24 Desember 2014
Darah lengkap
Hemoglobin : 16.3 g/dl
Leukosit : L 2850 /uL
Hematokrit : 44 %
Eritrosit : 5.5 10^6/uL
Trombosit : L 8.000 /uL
MCV : 79,6 fL
MCH : 29,7 pg
MCHC : H 37.4 %
RDW : 11.6 %
MPV : 10.0 fL
HitungJenis
Basofil : 0,7 %
Eosinofil : L 0,4 %
Batang : L 1,4 %
Segmen : 48,8 %
Limfosit : 35.4 %
Monosit : H 13.3 %
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu : 102 mg/dL
Sero Imunologi ( DHF ICT)
IgG Anti DHF Non Reaktif
IgM Anti DHF Reaktif
E. DIAGNOSA KERJA
Dengue Hemoraghic Fever
F. DIAGNOSIS BANDING
Dengue Fever
G. TERAPI
1. Non Farmakologis
a. Bed rest
b. Minum obat secara teratur
c. Pemberian cairan sesuai kebutuhan
2. Farmakologi
a. IVFD NaCl 0.9% 30 tpm
b. Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
c. Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV
d. PO Paracetamol 3x500 mg tab
e. PO Glimepiride 1x2 gr tab
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Berat badan
d. Evaluasi darah lengkap, elektrolit, dan kimia klinik
H. PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam
ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam berdarah dengue/DBD (dengue henorrhagic fever, DHF),
adalah suatu penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering
bersifat fatal, penyakit febril yang disebabkan virus dengue. Pada DBD terjadi
pembesaran plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus yang
parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock
syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik (Halstead,
2007).
B. Etiologi dan Klasifikasi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006).
Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
Sebagai tambahan, terdapat 3 virus yang ditulari oleh artropoda
(arbovirus) lainnya yang menyebabkan penyakit mirip dengue (Halstead,
2007).
C. Penularan Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus
Aedes (terutama A. Aegepty dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air, seperti bak
mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya.
Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan transmisi virus dengue,
yaitu:
a) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor
di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
b) Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.
c) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk, dan
ketinggian di bawah 1000 di atas permukaan laut (Suhendro, 2006).
D. Patogenesis
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindroma syok dengue (dengue shock syndrome).
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh
merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat
berbeda tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
yang berlainan. Berdasarkan hal ini Halstead pada tahun 1973 mengajukan
hipotesis yang disebut secondary heterologous infection atau sequential
infection hypothesis. Hipotesis ini telah diakui oleh sebagian besar para ahli
saat ini (Hendarwanto, 1996).
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah
respon imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang
berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan
dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini
disebut Antibody Dependent Enhancement (ADE). Limfosit T, baik T-helper
(CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus
dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma,
interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus. Namun,
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator C1q, C3,
C4, C5-C8, dan C3 menurun.
Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida.
Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor
Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi
terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata intravaskular (Dissemintated
Intravascular Coagulation, DIC) ringan, kerusakan hati, dan trombositopenia.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam
darah pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP),
peningkatan kadar β-tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang merupakan
penanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue
factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun
tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Suhendro, 2006).
Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan,
dalam beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang ekstravaskular.
Redistribusi cairan internal ini, bersama dengan defisiensi nutrisi oleh karena
kelaparan, haus, dan muntah, berakibat pada penurunan hemokonsentrasi,
hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan
hiponatremia (Halstead, 2007).
Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit
dengue sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe DEN-4
memberi pandangan bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan dengan
keparahan dengue. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN-3
menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini dikaitkan
dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang
lebih tinggi.
Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on
Dengue (2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit
dengue:
1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi
serotipe primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3
dipandang memberi risiko yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.
2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang
dihasilkan oleh aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.
3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder,
maka keparahan dengue semakin meningkat.
4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit.
Penelitian menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan
dengan insidensi yang rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki
insidensi yang lebih tinggi (30%).
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Nyeri kepala
b. Demam
c. BAB berwarna hitam
d. Timbul bercak-bercak kemerahan di tangan dan kaki
2. Pemeriksaan fisik
a. Demam yang naik turun
b. Timbul bercak-bercak kemerahan di tangan dan kaki
c. Hepatomegali. Hepatomegali dapat terjadi karena terjadinya sintesis
protein yang meningkat.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Trombositopenia (<10.000 /uL)
b. IgG Anti DHF ( reaktif)
c. IgM Anti DHF (reaktif)
F. Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian
cairan. Harris et al. (2003) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan seperti
air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan faktor
protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit. Setiap pasien
tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di tempat terpisah
dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas
nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD tanpa
penyulit adalah:
Tirah baring.
Pemberian cairan. Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum
banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar
ditambah dengan garam saja).
Medikamentosa yang bersifat simtomatis. Untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari
golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal
karena bahaya perdarahan.
Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu:
Keadaan umum memburuk.
Terjadi pembesaran hati.
Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Penanganan DHF berdasarkan 5 protokol yaitu :
1. Protokol 1 Penanganan tersangka DHF dewasa tanpa syok
Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas
atau Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya
untuk dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat.
Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih
belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit
dan trombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal, sehingga sulit
membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini
mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang
meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan observasi/
pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb, Ht,
dan jumlah trombosit.
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
b. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit
dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke
poliklinik rumah sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan
pasien rnemburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas kesehatan.
Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk
sementara pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan anjuran minum yang
banyak, serta diberikan infus ringer laktat sebanyak 500 cc dalam empat jam.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit. Pasien di rujuk
apabila didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit
kurang dari 100.000/pl atau
2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit
kurang dari 150.000/pl
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas
normal dengan jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dan dalam waktu 24
jam kemudian diminta kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD
apabila keadaan menjadi memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap
diobservasi dan tetap diberikan infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat
jam berikutnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlah
trombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut :
1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/ul
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah
trombosit normal atau menurun Selama diobservasi perlu dimonitor
tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan serta jumlah urin minimal
setiap 4 jam.
2. Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif
petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di
ruang rawat, pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama.
Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam
ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5%
dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien
mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-
70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam.
Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infuse dapat
dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat
badan lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/
24 jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali
pada pasien DBD dewasa dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-
32 minggu atau pada pasien dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien
lanjut usia lanjut serta pada pasien dengan riwayat epilepsi. Pada pasien
dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan elektrokardiografi merupakan
salah satu standar prosedur operasional yang harus dilakukan.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya
setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda
penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam
jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya
tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih
dari 50.000/pl, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa
tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl, sedangkan untuk pasien
DBD dewasa dengan jumlah trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan
tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan
setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan
didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut
harus lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena
penanganan pasien DSS lebih sulit, dan disertai dengan risiko kematian yang
lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien
tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin
dan tampak pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari
0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan tanda-tanda berkurangnya
aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda lain syok dini adalah
tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg,
tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dan kecil. Apabila didapatkan
tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan
massif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah
trombosit < 100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata
(KID). Pasien DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak
diberikan transfusi suspensi trombosit.
Pasien dapat dipulangkan apabila:
1. Keadaan umum/ kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam.
2. Pada umumnya Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta
stabil dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah
trombosit belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat
dipulangkan.
Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya
atau trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik
dalam waktu 1x24 jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk
agar segera dibawa ke UGD kembali.
3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dgn peningkatan hematokrit >20%
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya
perdarahan hidung/ epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan
perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan ringer laktat tetap
seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4 jam.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini
mungkin.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera
dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam. Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan
tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh
Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan
bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada
DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit kurang
dari 100.000 disertai atau tanpa KID.
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam
kemudian, sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase
dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejaia-gejala
tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan infus.
Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila
tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.
4. Protokol 4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pd DHF dewasa
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat
penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan
pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita
DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan
pengobatan SSD yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama
yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa.
Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi
oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit
natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infuse
cepat/guyur) dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor
12), dievaluasi selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi
segera/secepat mungkin dalam waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan
teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf
pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih
dari 20 mmHg, frekwensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang
cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1
ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya
dapat dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit
berikutnya. Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan ringer
selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam. Pengawasan dini kemungkinan
terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama
sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap
dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu
apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30°/o
dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan
perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol %
hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (packed red cells) Apabila
pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata
syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan
koloid. Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel
darah merah. Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam
dan sebaiknya yang tidak mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan
darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama
karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri.
Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu :
a. Dekstran
b. Gelatin
c. Hydroxy ethyl starch (HES)
Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat
isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan
menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan
ekstravaskular. Efek volume 6% De kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam,
sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3,54,5 jam.
Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan
cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta
faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian
dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.
Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai
sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3
jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES)
6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan
isotonic dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik
dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam,
sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12
jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang
dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan
hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu
tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.
Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat
diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan
kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain
ringer laktatjuga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin,
dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada
KID maka heparin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID,
maka heparin dan transfusi kompunendarah diberikan sesuai dengan indikasi
seperti tersebut diatas.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam.
Pemeriksaan hemostasis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam
kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa
KID; pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat
perdarahan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat
kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran
cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi
sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya
yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.
5. Protokol 5 Penanganan tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.
Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan protokol 4
hanya pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb, Ht, trombosit)
perlu dilakukan secara teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan
adanya perdarahan yang tersembuyi disertai dengan KID, maka pemberian
heparin dapat diberikan seperti pada protokol 4. Tetapi bila tidak didapatkan
tanda-tanda perdarahan, walaupun hasil pemeriksaan hemostasis menunjukkan
adanya KID, maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan
kearah perdarahan.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera
dipersiapkan dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap
jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta
Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya
setiap 24 jam.
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk
mengembalikan volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal
ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat
berupa NaCl 0,9%, Ringer’s lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat
dipakai plasma atau ekspander plasma. Jumlah cairan disesuaikan dengan
perkembangan klinis. Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/
jam, dan bila syok telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg
berat badan/ jam. Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan
bila tak tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander
plasma atau dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat
badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikoreksi
dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume
intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun
plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.
Pada tahun 2007, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang
dapat diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
a) Kristaloid.
Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
laktat(D5/RL).
Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan
ringerasetat (D5/RA).
Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam
larutanfaali (D5/GF).
b) Koloid (plasma). Transfusi darah dilakukan pada :
Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan
melena).
Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala,
menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih
banyak dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al (2003) menemukan bukti
bahwa praktik ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang
signifikan. Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna.
Pada pasien dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata
( disseminated intravascular coagulophaty (DIC) diperkirakan merupakan
penyebab utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti
adanya DIC, heparin perlu diberikan. (Hendarwanto, 1996).
G. Komplikasi
Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya
ringan dan dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit,
hiperpireksia, dan kejang demam adalah komplikasi paling sering pada bayi
dan anak-anak. Epistaksis, petekie, dan lesi purpura tidak umum tetapi dapat
terjadi pada derajat manapun. Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau
keluar dari rektum, dapat memberi kesan keliru perdarahan gastrointestinal.
Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan yang mendasari dapat
berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat temperatur
tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah fase
febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol
ventrikular dapat terjadi.
Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga
dapat terjadi berupa kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan
hipoglikemia, ketidak seimbangan elektrolit dan asam-basa, infeksi
nosokomial, serta praktik klinis yang buruk (Dengue: Guidelines for
diagnosis, treatment, prevention and control, WHO, 2009).
Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada
orang yang mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis
hemokonsentrasi dan trombositopenia (Halstead, 2007).
H. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya
antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD,
kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan
penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus.
Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan
intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan
syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).
I. Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat pulang jika syarat-syarat sebagai berikut terpenuhi:
a) Tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian antipiretik.
b) Nafsu makan membaik.
c) Tampak perbaikan secara klinis.
d) Hematokrit stabil.
e) Tiga hari setelah syok teratasi.
f)Jumlah trombosit >50.000/ml. Perlu diperhatikan, kriteria ini berlaku bila
pada sebelumnya pasien memiliki trombosit yang sangat rendah, misalnya
12.000/ml.
g) Tidak dijumpai distres pernapasan (Mansjoer, 2001).
J. Pencegahan
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada
pengobatan spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat
pencegahan adalah langkah terpenting, dan pencegahan berarti menghindari
gigitan nyamuk jika kita tinggal di atau bepergian ke area endemik (CDC,
2010).
Jalan terbaik untuk mengurangi nyamuk adalah menghilangkan tempat
nyamuk bertelur, seperti bejana/ wadah yang dapat menampung air. Nyamuk
dewasa menggigit pada siang hari dan malam hari saat penerangan menyala.
Untuk menghindarinya, dapat menggunakan losion antinyamuk atau
mengenakan pakaian lengan pajang/celana panjang dan mengamankan jalan
masuk nyamuk ke ruangan.
Penggunaan insektisida untuk memberantas nyamuk dapat dilakukan
dengan malathion. Cara penggunaan malathion adalah dengan pengasapan
(thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah
tangga dapat menggunakan golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid
(Hendarwanto, 1996)
BAB IV
KESIMPULAN
1. Dengue hemorraghic fever adalah suatu penyakit trombositopenia infeksius
akut yang parah, sering bersifat fatal, penyakit febril yang disebabkan virus
dengue.
2. Penegakkan diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Pentalaksanaan demam berdarah dengue umumnya berorientasi kepada
pemberian cairan yang sesuai dengan kebutuhan dan istirahat yang tercukupi.
4. Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi
yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya serta keselamatan secara
langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Aman, A.K. et al., Pemeriksaan LED, Hb Cara Sahli, Hb Sian, MCV, dan Hematokrit. Buku Rancangan Pengajaran Blok Hematologic & Immunologic System. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ayyub, M., Khazindar, A.M., Lubbad, E.H., Barlas, S., Alfi, A.Y., and Al-Ulkayi, S., 2006. Characteristics of Dengue Fever in A Large Public Hospital, Jeddah, Saudi Arabia. J. Ayub Med. Coll. Abbottabad, 18 (2).
Centers for Disease Control and Prevention, 2010. How to Reduce Your Risk of Dengue Infection. Available from: http:www.cdc.gov/dengue/prevention/index.html.(Accesed 26 Desember 2012).
Clark, D.V., Mammen, M.P., Nisalak, A., Puthimethee, V., and Endy, T.P., 2005. Economic Impact of Dengue Fever/ Dengue Hemorrhagic Fever in Thailand at The Family and Population Levels. Am. J. Trop. Med.Hyg., 72 (6): 786-791.
Daher, E.F. et al., 2005. Dengue Hemorrhagic Fever in The State of Ceara, Brazil, 2005. Virus Review and Research, 15 (1): 44-62.
Delliana, J., 2008. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Report: Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting. World Health Organization, Geneva.
Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control – New Edition, 2009. Geneva: World Health Organization.
Fisbach, F.T., 2003. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test, 7th ed.. USA: Williams & Wilkins.
Guyton, A.C., 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11. Hemostasis dan Pembekuan Darah. Jakarta: EGC, 480-481.
Halstead, S.B., 2007. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. In: Kliegman, Robert M., Behrman, Richard E., Jenson, Hal B., and Stanton, Bonita F., eds. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed.. Philadelphia: Saunders Elsevier, 1412-1414.
Hendarwanto, 1996. Dengue. Dalam: Noer, Sjaifoellah et. al., eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 417-426.
Hillman, R.S., Ault, K.A., Rinder, dan Henry M., 2005. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: McGraw-Hill Companies.
Islam, M.A., et al., 2006. Molecular Characterization and Clinical Evaluation of Dengue Outbreak in 2002 in Bngladesh. Jpn. J. Infect. Dis. 59: 85-91.
Junqueira, L.C., dan Carneiro, J.. Histologi Dasar: Teks & Atlas, ed. 10. Jakarta: EGC.
Khan, N.A., et al., 2008. Clinical Profile and Outcome of Hospitalized Patients During First Outbreak of Dengue in Makkah, Saudi Arabia. Acta. Trop. 105: 39-44.
Lo, C.H., Ben, R.J., Chen, C.D., Hsueh, C.W., Feng, N.H., 2009. Clinical Experience of Dengue Fever in A Regional Teaching Hospital in Southern Taiwan. 內科學誌 20: 248-254.
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., dan Setiowulan, W., 2001. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, ed. Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Mumtaz, K., et al., 2006. Outbreak of Dengue Fever in Karachi 2006: A Clinical Perspective. Journal of Pakistan Medical Association. Available from:
http://www.jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=1710.(Accesed 22 Desember 2012).
Murray, R.K., dan Rand, M.L., 2003. Hemostasis & Thrombosis. In: Murray, Robert K., Granner, D.K., Mayer, P.A., and Rodwell, V.W., eds.. Harper’s Illustrated Biochemistry 26th ed.. New York: McGraw-Hill Companies, 598-608.
Osman, O., Fong, M.Y., Devi, S., 2007. A Preliminary Study of Dengue Infection in Brunei. Jpn. J. Infect. Dis. 60:205-208.
Potts, et al., 2010. Prediction of Dengue Disease Severity among Pediatric Thai Patients Using Early Clinical Laboratory Indicators. Available from:
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0013729;jsessionid=637092D58984642057CDAB8020D1CE56.ambra01. (Accessed 24 Desember 2012).
Provan, D., et al., 2004. Oxford Handbook of Clinical Haematology Second edition. New York: Oxford University Press.
Rianty, N., Djunaedi, D., Ismanoe, G. and Kalim, H., 1997. Conservative Treatment and Mortality Rate of Dengue Hemorrhagic Fever in Adult Patients During 5 Years (1990-1994) at Dr. Saiful Anwar Regional General Hospital, Malang -- Indonesia. Acta Medica Indonesiana No.1, vol. XXIX: 29-36.
Scientific Working Group: Report on Dengue, 2006. Geneva: World Health Organization.
Suaya, J., 2008. Dengue Disease and Economic Impact. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Report: Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting. , Geneva: World Health Organization.
Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., dan Pohan, H.T., 2006. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., eds.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1709-1713.
Tai, D.Y.H., Chee, Y.C., Chan, K.W., 1999. The Natural History of Dengue Illness Based on A Study of Hospitalized Patients in Singapore. Singapore Med. J., vol. 40 (04).
Tumberlaka, A.R., et al., 2010. Uji Hipotesis. Dalam: Sastroasmoro, S. dan Ismael, S., eds.. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, ed. ke-3. Jakarta: CV Sagung Seto, 295-296.
Theml, H., 2004. Color Atlas of Hematology. Germany: Thieme. Wallach, J.B., 2000. Interpretation of Diagnostic Test 7th edition. USA: Williams
& Wilkins. World Health Organization, 2010. Trend of Dengue Case and CFR in SEAR
Countries. Available from: http://www.searo.who.int/EN/Section10/Section332/Section2277_11960.html. (Accesed 26 Desember 2012).