Prak_Lois Nancy N.P._13.70.0089_A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

25
Acara II KITIN DAN KITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Lois Nancy Noviani P. NIM : 13.70.0089 Kelompok A3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

description

Kitin=kulit udang, kitin, kitosan

Transcript of Prak_Lois Nancy N.P._13.70.0089_A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

KITIN DAN KITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Lois Nancy Noviani P.

NIM : 13.70.0089

Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan

gelas. Bahan-bahan yang digunakan adalah limbah udang HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N,

NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

2

Deproteinasi

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudiandikeringkanpadasuhu 80oC selama 24 jam

HasildemineralisasidicampurdenganNaOHdenganperbandingan 6:1

Kemudiandipanaskanpadasuhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

3

Deasetilasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

4

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

A1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%30,00 20,00 10,40

A2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%45,00 26,67 13,07

A3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%35,00 22,22 12,32

A4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%20,00 28,57 14,95

A5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%30,00 25,00 12,40

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa tiap kelompok mendapat perlakuan yang berbeda-

beda. Proses pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi dan

deasetilasi. Pada proses demineralisasi, kelompok A1-A2 menggunakan HCl 0,75 N ,

pada kelompok A3-A4 menggunakan HCl 1 N, dan pada kelompok A5 menggunakan

HCl 1,25 N. Pada proses deproteinasi seluruh kelompok menggunakan NaOH sebesar

3,5%. Pada proses deasetilasi, kelompok A1-A2 menggunakan NaOH 40%, kelompok

A3-A4 menggunakan NaOH 50%, dan kelompok A5 menggunakan NaOH 60%. Hasil

rendemen kitin I paling tinggi terdapat pada kelompok A2 yaitu 45%, untuk rendemen

kitin II paling tinggi pada kelompok A4 sebesar 28,57% dan hasil rendemen kitosan

tertinggi pada kelompok A4 yaitu 14,95%.

5

3. PEMBAHASAN

Limbah udang mengandung protein yang cukup tinggi. Pada komponen eksoskeleton

hewan invertebrata mengandung kitin yang tinggi yaitu 20-60%, dan biasanya terdapat

pada Crustacea. Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata, insekta, dan

dinding sel jamur (Muzzarelli, 1985). Ada 2 jenis limbah yang dihasilkan dari proses

pengolahan crustacea, yaitu limbah cair dan limbah padat. Limbah cair berupa suspensi

air dan kotoran sedangkan limbah padat berupa kulit, kepala dan kaki. Penanganan

limbah cair dilakukan dengan waste water treatment sedangkan limbah padat diolah

menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. Cangkang dari Arthropoda mengandung

kitin sebesar 20-25% dari berat kering (Goody, 1995).

Pada praktikum ini digunakan bahan dari limbah udang (crustacea). Kulit udang sangat

berpotensi sebagai sumber pembuatan kitin dan kitosan. Kulit dari udang mengandung

sumber kitin yang tinggi yang terdiri dari kitin 15%-20%, protein sebesar 25%-40% dan

kalsium karbonat sebesar 45%-50%.

Kitin termasuk polisakarida yang melimpah di alam. Menurut Mohamed Abou-Shoer

(2010), kitin merupakan polimer linier rantai panjang yang tak bercabang dan tersusun

atas 2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukosa yang berikatan dengan ikatan glikosidik 1,4.

Sedangkan kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas β-2-amino-deoksi-D-

glukopiranosa dan β-2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukopiranosa. Kitosan merupakan

turunan dari kitin dengan cara menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat.

Proses hidrolisis kitin dengan basa merupakan proses deasetilasi kitin. Kitin mengalami

prose deasetilasi dengan larutan basa 40%-50% pada suhu 120oC hingga 160oC.

Menurut Ben Amar Cheba (2011), kitin tidak berwarna atau putih, keras, inelastic,

mengandung nitrogen polisakarida, sedangkan kitosan berbentuk padatan amorf

berwarna putih dengan struktur kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni. Derajat

deasetilasi pada kitin sekitar 5-15% sedangkan kitosan 70-95%. Kitin dan kitosan stabil

pada larutan alkalin (basa) meskipun pada suhu yang tinggi. Kitosan tidak mempunyai

titik lebur dan bila disimpan dalam jangka waktu yang lama pada suhu sekitar 100oF,

6

7

sifat kelarutan dan viskositasnya akan berubah. Saat kitosan disimpan dalam keadaan

terbuka sehingga mengalami kontak dengan udara akan mengakibatkan dekomposisi,

perubahan warna menjadi kekuningan dan viskositasnya menurun (Dunn et al, 1997).

Kitin memiliki sifat hidrofobik (tidak larut ddalam air). Sifat kitin yang sulit larut air

menyebabkan produksi kitin sangat terbatas. Untuk mengembangkan produksi kitin bisa

dengan memodifikasi struktur kimiawi sehinga didapatkan turunan kitin yang memiliki

sifat kimia lebih baik. Kitosan merupakan turunan dari kitin yang bersifat larut dalam

larutan asam (Dunn et al, 1997). Kitosan memiliki sifat yang dapat larut dalam

konsentrasi asam asetat rendah, akan tetapi kitin tidak dapat larut didalamnya. Gugus

amina pada kitosan yang menyebabkan kitosan dapat larut pada asam asetat dengan

menyerap proton ketika pH suatu larutan kurang dari 6 (Morteza S.V et al, 2008). Hal

ini sesuai dengan teori dari Dunn et al (1997) yang mengatakan bahwa kitosan mudah

larut dalam asam asetat karena asam setat memiliki gugus karboksil yang memudahkan

kitosan terlarut. Hal ini terjadi karena interaksi antara gugus hidrogen antara gugus

karboksil dan gugus amina dari kitosan.

Pada praktikum ini ekstraksi kitin didapat dari limbah kulit udang dan telah dipisahkan

dari kepalanya. Dalam mengekstraksi limbah kulit udang harus mengalami proses

demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk mendapatkan kitosan diambil dari

hasil kitin yang sudah diproses sebelumnya kemudian mengalami proses deasetilasi

(Robert, 1992). Demineralisasi bertujuan untuk penghilangan mineral biasanya

dilakukan dengan pencucian air panas, penggilingan lalu dilanjutkan dengan

pengayakan 40-60 mesh dan ditambahkan asam klorida (HCl) dengan perbandingan

10:1 (pelarut HCl:serbuk). Deproteinasi digunakan untuk penghilangan protein dengan

menambahkan larutan sodium hidroksida (NaOH 3,5%) dengan perbandingan 6:1.

Deasetilasi untuk menghasilkan kitosan dari hasil kitin sebelumnya dengan

menambahkan larutan sodium hidroksida (NaOH) 40%, 50%, dan 60% dengan

perbandingan 20:1.

3.1. Proses Pembuatan Kitin

3.1.1. Demineralisasi

8

Praktikum dimulai dengan mencuci limbah kulit udang dengan air mengalir kemudian

dikeringkan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran pada kulit udang,

adanya kotoran akan mencemari produk ekstrak kitin. Pengeringan bertujuan untuk

mengurangi bahkan menghilangkan air pada kulit udang, sehingga kadar air pada

produk kulit udang yang kering berkurang.

Setelah itu, dihancurkan hingga menjadi serbuk diambil sebanyak 10 gram. Proses

penghancuran dilakukan untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut

mampu melarutkan komponen-komponen dari limbah kulit udang (Prasetyo, 2006).

Ditambahkan HCl dengan perbandingan serbuk kitin dan HCl yaitu 1:10. HCl yang

digunakan 0,75 N (kelompok A1 dan A2), HCl 1 N (kelompok A3 dan A4), serta HCl

1,25 N (kelompok A5). Penambahan HCl dapat melarutkan komponen mineral didalam

kulit udang. Kulit udang mengandung mineral sebesar 30%-50% dari berat keringnya.

Kandungan mineral pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.

Mineral yang terkandung didalam kulit udang harus dilarutkan atau dihilangkan agar

tidak mempengaruhi hasil ekstrasi kitin, bisa dengan menambahkan asam encer yaitu

HCl, H2SO4, dan asam laktat (Bastaman, 1989).

Kemudian dipanaskan hingga suhunya mencapai 90oC dan diaduk selama 1 jam. Proses

pemanasan ini mampu mempercepat rusaknya mineral, sedangkan pengadukan

dilakukan untuk menghindari timbulnya gelembung-gelembung udara selama

berlangsungnya proses demineralisasi. Setelah itu dicuci dengan air hinga pH menjadi

netral dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen kitin I paling tinggi terdapat pada kelompok

A2 yaitu 45% dengan larutan HCl 0,75 N, sedangkan rendemen kitin I terendah pada

kelompok A4 yaitu 20% dengan larutan HCl 1N. Menurut Johnson dan Peterson

(1974), semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan menghaslkan rendemen

kitin yang makin banyak, maka hasil dari praktikum ini tidak sesuai dengan teori yang

ada. Hal ini dapat terjadi karna penambahan asam yang tinggi menyebabkan lepasnya

ikatan protein dan mineral serta bahan organik yang ada pada kulit udang.

9

3.1.2. Deproteinasi

Kitin yang telah mengalami demineralisasi ditambahkan dengan larutan NaOH 3,5%

dengan perbandingan kitin : NaOH sebesar 1:6. Menurut Rogers (1986), NaOH

ditambahkan untuk memisahkan kandungan protein dalam kitin. Kemudian dipanaskan

hingga suhunya mencapai 90oC dan diaduk selama 1 jam, kemudian didinginkan. Proses

pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga

menghasilkan rendemen kitin secara maksimal dan mempercepat proses deproteinasi.

Dilanjutkan dengan pencucian dengan air hingga pH netral. Setelah itu, dikeringkan

selama 24 jam pada suhu 80oC.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen kitin II paling tinggi terdapat pada kelompok

A4 yaitu 28,57%, sedangkan rendemen kitin II terendah pada kelompok A1 yaitu 20%.

Pada seluruh kelompok megalami penurunan, kecuali pada A4 mengalami peningkatan,

namun hasil yang didapat pada seluruh kelompok sekitar 20%. Maka hal ini sesuai

dengan teori bahwa rendemen kitin yang dihasilkan dari limbah udang pada umunya

lebih dari 20% (Puspawati et al, 2010). Dari hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa

dengan penambahan NaOH 3,5% akan memaksimalkan proses penghilangan mineral

dan protein yang ada dikitin sehingga hasil yang didapatkan adalah penurunan

rendemen kitin sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori Fennema (1985).

3.1.3. Deasetilasi

Kulit udang yang telah megalami demineralisasi dan deproteinasi akan diproses lanjut

sehingga terbentuk senyawa turunan yaitu kitosan. Kitin ditambahkan dengan NaOH

dengan perbandingan kitin : NaOH adalah 1 : 20. Pada proses deasetilasi digunakan

NaOH 40% (kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (kelompok A3 dan A4), serta NaOH

60% (kelompok A5). Setelah itu, dipanaskan hingga suhunya mencapai 90oC dan

diaduk selama 1 jam, kemudian didinginkan. Suhu pemanasan berpengaruh terhadap

derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk, dimana semakin tinggi suhu yang digunakan

maka akan meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Maka

pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan. Sedangkan

pengadukan dilakukan untuk meratakan kitin sehingga larutan NaOH bekerja lebih

optimal. Selanjutnya, pencucian dengan air hingga pH mencapai netral dan disaring.

10

Penyaringan dilakukan untuk memisahkan rendemen kitosan yang terbentuk dengan

komponen lainnya. Kemudian, dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC dan

dihasilkan kitosan. Setelah proses pengeringan akan terbentuk kitosan berbentuk serbuk

dengan warna putih kekuningan (Ramadhan et al, 2010).

Hasil dari praktikum menunjukkan rendemen kitosan tertinggi pada kelompok A4 yaitu

14,95% dengan larutan NaOH 50% sedangkan yang terendah pada kelompok A1 yaitu

10,4% dengan larutan NaOH 40%. Sesuai dengan teori Hirano (1989), proses

deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40-50% dan suhu yang tinggi mampu

mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan, sehingga enzim akan lebih mudah

dalam menguraikan polimer kitin. Maka hal ini sesuai dengan teori sebelumnya dimana

makin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka derajat deasetilasi makin tinggi

pula dan proses deasetilasi berjalan secara optimal. Dan dengan proses deasetilasi yang

optimal akan menghasilkan rendemen kitosan yang lebih banyak juga.

3.2. Aplikasi Kitin dan Kitosan

Kitin bisa digunakan sebagai pendukung beberapa enzim yaitu papain, laktase,

kimotripsin, asam fosfat dan glukosa isomerase. Sebagian besar kitin digunakan dalam

industri pangan dan industri kosmetik (Peter, 1995). Sedangkan pada kitosan memiliki

kemampuan untuk membentuk film dan memiliki ion positif yang mampu membentuk

ikatan kimia dengan lemak. Kitosan dapat diaplikasikan dalam kesehatan, pemurnian

air, pertanian (seed coating), bioteknologi, nutrisi (suplemen diet). Dalam pemurnian air

kitosan digunakan sebagai koagulan untuk pengolahan limbah (Abou-Shoer, 2010).

Menurut Inmaculada Aranaz (2009), kitosan dapat digunakan sebgai pengawet

makanan, penyusun biodegradable films, menanggulangi bahan makanan yang telah

terbuang. Selain itu, bisa digunakan sebagai dietary fibre yang biasa digunakan sebagai

bumbu makanan. Sesuai dengan teori Robert (1992), kitosan bisa digunakan sebagai

pengawet karena mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif yang mampu

mengikat muatan negatif dari senyawa lain.

Menurut H.N.D. Bao (2015), kitin dan kitosan dapat diaplikasikan berdasarkan sifat

fisikokimia dan aktivitas biologisnya. Bahan yang digunakan adalah limbah udang putih

11

yang dibuat dan menghasilkan kitosan. Kitosan yang dihasilkan mengandung

antioksidant sehingga mampu menghambat peroksidasi lemak. Dengan pengolahan

limbah udang menjadi limbah maka mampu meningkatkan nilai ekonomis produk yang

ternyata juga bermanfaat sebagai antioksidan.

Kitosan dapat digunakan juga sebagai bahan antimikroba. Hal ini dikarenakan kitosan

mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang dapat menghambat

pertumbuhan beberapa mikroba tertentu (Cahyaningrum, 2007).

4. KESIMPULAN

Kulit udang sangat berpotensi sebagai sumber pembuatan kitin dan kitosan.

Kitin merupakan polimer rantai panjang tersusun atas 2-asetamida-2-deoksi-β-

D-glukosa dengan ikatan glikosidik 1,4.

Kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas β-2-amino-deoksi-D-

glukopiranosa dan β-2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukopiranosa.

Kitosan merupakan turunan kitin melalui proses deasetilasi.

Demineralisasi bertujuan untuk penghilangan mineral dengan penambahan

larutan asam klorida (HCl).

Deproteinasi untuk penghilangan protein dengan penambahan larutan sodium

hidroksida (NaOH 3,5%).

Deasetilasi untuk menghasilkan kitosan dari hasil kitin dengan penambahan

larutan sodium hidroksida (NaOH) 40%, 50%, dan 60%.

Penambahan HCl dapat melarutkan komponen mineral didalam kulit udang.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan menghaslkan rendemen

kitin yang makin banyak.

Penambahan NaOH 3,5% akan memaksimalkan proses penghilangan mineral

dan protein pada kitin sehingga hasil rendemen kitin menurun.

Pemanasan akan meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk.

Proses pengeringan akan membentuk kitosan dengan warna putih kekuningan.

Proses deasetilasi yang optimal akan menghasilkan rendemen kitosan yang lebih

banyak.

Kitin digunakan dalam industri pangan dan industri kosmetik.

Kitosan dapat diaplikasikan dalam kesehatan, pemurnian air, pertanian (seed

coating), bioteknologi, nutrisi (suplemen diet).

Kitosan dapat digunakan sebgai pengawet makanan, antimikroba, penyusun

biodegradable films, dan dietary fibre.

Kitin dan kitosan juga mengandung antioksidan yang mampu menghambat

peroksidai lemak.

12

13

Semarang, 25 Oktober 2015 Asisten Dosen,

Lois Nancy Noviani P. Tjan Ivana Chandra 13.70.0089

5. DAFTAR PUSTAKA

Abou-Shoer M. 2010. A Simple Colorimetric Method for The Evalution of Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry.

Aranaz I., Mengíbar M., Harris R., Paños I., Miralles B., Acosta N., Galed G and Heras A. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology 3, 203-230.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Cheba B.A. 2011. Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Properties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology and Biochemistry 6 (3): 149-153. ISSN 2078-466X.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Gooday, G.W., 1995. Diversity of roles for 20. Kim, S.K. and N. Rajapakse, 2005. Chitinases in Nature in: Chitin and Chitosan. (MB. Zakaria, WM. Muda and M.P. Abdullah), pp: 191-202. Penerbit University- kebangs Malaysia.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi. (2008).Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation.

14

15

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Trung T.S. and Bao H.N.D. 2015. Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkering

beratbasa h I× 100 %

Rendemen Chitin II = berat kitin

berat basa h II×100 %

Rendemen Chitosan = berat kitosan

berat basa h III×100 %

KelompokA1

Rendemen Chitin I = 3,010

×100 %

= 30,00 %

Rendemen Chitin II = 1,05

×100 %

= 20,00 %

Rendemen Chitosan = 0,262,5

× 100 %

= 10,40 %

KelompokA2

Rendemen Chitin I = 4,510

× 100 %

= 45,00 %

Rendemen Chitin II = 2

7,5×100 %

= 26,67 %

Rendemen Chitosan = 0,987,5

× 100 %

= 13,07 %

KelompokA3

Rendemen Chitin I = 3,510

×100 %

= 35,00 %

Rendemen Chitin II = 1

4,5× 100 %

= 22,22 %

Rendemen Chitosan = 0,443,57

×100 %

16

17

= 12,32 %

KelompokA4

Rendemen Chitin I = 2

10×100 %

=20,00 %

Rendemen Chitin II = 1

3,5×100 %

= 28,57 %

Rendemen Chitosan = 0,291,94

× 100 %

= 14,95 %

KelompokA5

Rendemen Chitin I = 3

10×100 %

= 30,00 %

Rendemen Chitin II = 1,56

×100 %

= 25,00 %

Rendemen Chitosan = 0,62

5×100 %

= 12,40 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal