POTENSI OOSIT BERDASARKAN STATUS AKTIVITAS · PDF filePematangan oosit dilakukan dalam medium...
Transcript of POTENSI OOSIT BERDASARKAN STATUS AKTIVITAS · PDF filePematangan oosit dilakukan dalam medium...
i
POTENSI OOSIT BERDASARKAN STATUS AKTIVITAS
OVARIUM UNTUK MENCAPAI TINGKAT KEMATANGAN
SECARA IN VITRO PADA SAPI BALI
SKRIPSI
ANDI MUTMAINNA
I 11110901
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK
JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
ii
POTENSI OOSIT BERDASARKAN STATUS
AKTIVITAS OVARIUM UNTUK MENCAPAI TINGKAT
KEMATANGAN SECARA IN VITRO PADA SAPI BALI
Oleh:
ANDI MUTMAINNA
I 111 10 901
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK
JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
SKRIPSI
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Andi Mutmainna
NIM : I 111 10 901
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan
atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan
sepenuhnya.
Makassar, Mei 2014
TTD
Andi Mutmainna
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Potensi Oosit Berdasarkan Status Aktivitas Ovarium
Untuk Mencapai Tingkat Kematangan Secara In
Vitro Pada Sapi Bali
Nama : Andi Mutmainna
No. Pokok : I 111 10 901
Program Studi : Produksi Ternak
Jurusan : Produksi Ternak
Fakultas : Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Prof.Dr.Ir. Herry Sonjaya, DEA, DES
NIP. 19572901 198003 1 001
Pembimbing Anggota
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt
Nip. 19700725 199903 1 001
Dekan Fakultas Peternakan
Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc
NIP. 19520923 197903 1 002
Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof. Dr. Ir. Sudirman Baco, M. Sc
NIP. 19641231 198903 1 025
Tanggal Lulus : Mei 2014
v
ABSTRAK
Andi Mutmainna (I 111 10 901), Potensi oosit berdasarkan status aktivitas ovarium
untuk mencapai tingkat kematangan secara in vitro pada sapi Bali. Dibawah bimbingan
Herry Sonjaya Sebagai Pembimbing Utama dan Muhammad Yusuf Sebagai
Pembimbing Anggota.
Ovarium sapi betina yang dipotong di RPH dalam kondisi fisiologis yang
berbeda-beda, seperti fase luteal, fase folikuler, dan belum siklus, namun pengaruhnya
terhadap tingkat kematangan secara in vitro belum diketahui. Oleh karena itu penelitian
ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh perbedaan aktivitas ovarium terhadap
potensi oosit sapi Bali dalam mencapai tingkat kematangan secara in vitro. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 status fisiologis reproduksi
yang berbeda (fase luteal, fase folikuler, dan belum siklus) dengan masing-masing 4
ulangan. Koleksi oosit dilakukan dengan menyayat folikel yang terdapat pada permukaan
ovarium. Pematangan oosit dilakukan dalam medium maturasi pada inkubator CO2 5%
dengan temperatur 38,5oC. Sel-sel kumulus oosit dihilangkan, kemudian difiksasi, dan
selanjutnya dilakukan pengamatan dibawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa struktur populasi oosit kualitas A (sel kumulus yang kompak dan sitoplasma tebal)
pada fase folikuler dan fase luteal adalah sama, tetapi kedua fase tersebut berbeda nyata
lebih tinggi dibandingkan fase belum siklus. Persentase kematangan oosit M-II nyata
(P0.05) lebih rendah pada fase belum siklus dibanding dengan fase luteal dan fase
folikuler, sedangkan tahap GV, GVBD dan MI sama untuk ketiga perlakuan. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa struktur populasi kualitas oosit berkaitan erat dengan status
ovarium dengan tingkat persentase kematangan oosit M-II lebih tinggi pada fase luteal
dan fase folikuler.
Kata Kunci : Ovarium Sapi Bali, Maturasi Oosit In Vitro, Status Ovarium.
vi
ABSTRACT
Andi Mutmainna (I11110901). The potential of oocytes based on the status of ovarian
activity to achieve the level of in vitro maturation in Bali cattle. Under Herry Sonjaya as
main supervisor and Muhammad Yusuf as co-supervisor.
The ovaries of slaughtered cows at the abattoir are having different physiological
conditions, such as luteal phase, follicular phase, and acyclic, however, their effects on
the level of oocytes in vitro maturation are still unknown. Therefore, this study aimed to
examine the effect of different ovarian activities on the potential of Bali cattle oocytes in
reaching a level of in vitro maturation. This study was arranged using a completely
randomized design (CRD) with 3 different physiological reproductive statuses (luteal
phase, follicular phase, and acyclic) with 4 replications. Oocytes collections were
performed by slicing the follicles on the surface of ovary. The oocytes were cultured in
the maturation medium in the incubator 5% of CO2, with temperature of 38.5 o
C.The
cumulus cells of oocytes were removed, fixated, and then observed under the microscope.
The results showed that the structure population of oocyte quality A (Compact cumulus
cells and cytoplasm thick) in the follicular phase and the luteal phase were relatively
similar, but they were significantly (P0.05) higher than in acyclic one. The percentage of
oocytes maturation in stage M-II were significantly (P <0.05) lower than in acyclic one in
comparison to luteal phase and follicular phase, whereas the oocytes maturation in stage
GV, GVBD and MI were relatively similar for all treatments. This study concluded that
the structure population of oocytes quality was related to the ovarian activities that the
percentage of oocytes maturation in stage M-II were showing higher in both the follicular
phase and luteal phase.
Keywords: Ovaries of Bali Cattle, Oocytes In Vitro Maturation. Ovarian Activity.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi
dengan judul ” Potensi Oosit Berdasarkan Status Aktivitas Ovarium untuk
Mencaai Tingkat Kematangan Secara In Vitro pada Sapi Bali”. Sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Pada kesempatan ini penulis menghantur ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya dengan penuh rasa hormat kepada:
1. Pada kedua orang tua tercinta, ayahanda H. Bachtiar dan ibunda Hj. Andi
Ansa Page Makkaraka, serta saudara- saudari Hj. Andi Hidayah S.Sos,
Andi Muhar ST., Andi Safri S.Fil., M.Fil., Andi Asma S.Pd., M.Pd., Andi
Muhajirah S.Pd, Andi Mudassir, dan Andi Arya Nugraha, yang terus
mendidik dan mendukung baik materil maupun moril, dan atas segala
limpahan doa, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, dan segala bentuk
motivasi yang telah diberikan tanpa henti kepada penulis.
2. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya, DEA, DES selaku
Pembimbing Utama dan Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku Pembimbing
Anggota, atas segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan
bimbingan, nasehat dan saran sejak awal penelitian sampai selesainya
penulisan skripsi ini.
viii
3. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada bapak Hasbi, S.Pt, M.Si dan ibu Sri Gustina, S.Pt, M.Si
yang telah mengajarkan teknik mengkultur oosit sapi Bali secara in vitro dan
membantu kami dalam penelitian ini.
4. DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) yang telah memberikan
BIDIK MISI selaku Lembaga yang memberikan beasiswa yang menunjang
dalam proses perkuliahan.
5. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) selaku Lembaga yang
memberikan bantu baik alat maupun bahan yang menunjang dalam penelitian
ini.
6. Laboratorium Terpadu PKP (Pusat kegiatan Penelitian) Universitas
Hasanuddin yang telah digunakan dalam proses pelaksanaan dalam penelitian
ini yang sangat menunjang dalam penelitian ini.
7. Bapak Direktur Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Tamangapa,
Makassar, terkhusus kepada Pak Syarir dan para pegawai RPH yang telah
membantu kami untuk mendapatkan bahan utama yaitu Ovarium Sapi Bali
sehingga proses penelitian ini selasai.
8. Muhammad Hatta S.Pt, M.Si selaku Penasehat Akademik penulis yang
telah bersedia meluangkan waktunya selama penulis duduk dibangku
perkuliahan dan senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang sangat
berarti bagi penulis.
ix
9. Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M. Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, dan Bapak wakil Dekan I, II, III, yang telah
menyediakan fasilitas kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
10. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc selaku Ketua Jurusan Produksi
Ternak beserta seluruh dosen dan staf Jurusan Produksi Ternak atas segala
bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
11. Semua Dosen-Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah
memberi ilmunya kepada penulis.
12. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian
Rahmi Syamsuddin, Andi Fausiah dan Ahmad Mujahid yang telah
mencurahkan segenap tenaga dan perhatiannya, sekali lagi terima kasih
banyak yang sebesar-besarnya.
13. kepada sahabat-sahabatku yang terbaik Andi Tenri B.M, Nurmiati, Andi
Fausiah, Rahmi Syamsuddin, Wheny Dwi N, Dyan Anjanna Putri, dan
terkhusus Keluarga besar Angkatan 2010 “L10N” yang telah membantu baik
material maupun moril.
14. kepada Teman-teman Asisten Laboratorium Anatomi ternak potong dan kerja,
Samsu Alam Rab, Ahmad David, Dyan Anjanna Putri, Darussalam,Abdi
Eriansyah, St. Nur Ramadhani, Andi Nurul Ainun yang telah membantu
baik material maupun moril dan memotivasi.
15. Serta tak lupa pula menghanturkan banyak terima kasih kepada teman-teman
MATADOR dan SITUASI 2010, dan kepada para senior terutama RUMPUT
x
07, BAKTERI 08, MERPATI 09, dan Semua pihak yang tidak dapat penulis
sebut satu persatu, terima kasih atas bantuannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan tapi
penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini dan demi kemajuan ilmu pengetahuan nantinya. Akhir
kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri
penulis sendiri. Amin.
Makassar, Mei 2014
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
ABSTRACT .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Status Aktivitas Ovarium Selama Siklus Berahi ................................ 3
Perkembangan Folikulogenesis Dan Oogenesis Berdasarkan Status
Ovarium ............................................................................................... 4
Tingkat Kematangan Oosit Secara In Vitro ......................................... 8
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu & Tempat Penelitian ................................................................. 13
Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 13
Metode Penelitian ................................................................................ 14
Analisis Data ........................................................................................ 19
xii
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Potensi Oosit untuk mencapai tingkat kematangan secara
in vitro ................................................................................................ 20
Tingkat Kematangan Oosit Berdasarkan Status Ovarium ................... 22
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ........................................................................................... 24
Saran ..................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 25
LAMPIRAN ............................................................................................... 29
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... 44
xiii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
1. Tingkat Rata-rata Kematngan Oosit Berdasarkan Aktivitas
Ovarium .......................................................................................... 22
xiv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
1. Profil Hormonal Dan Aktivitas Ovarium pada Sapi Betina Selama
Satu Siklus Berahi ................................................................................ 5
2. Tingkat Kualitas Potensi Oosit untuk Mencapai Tingkat Kematangan
Secara In Vitro .................................................................................... 17
3. Tingkat Kematangan Inti Oosit ............................................................. 18
4. Histogram Rata-Rata Struktur Populasi Potensi Oosit Berdasarkan
Aktivitas Ovarium Sapi Bali ............................................................... 20
xv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Teks
1. Tingkat Potensi Oosit Berdasarkan Aktivitas Ovarium ......................... 29
2. Tingkat Pematangan Inti Oosit untuk Mencapai Tingkat Kematangan
Secara In Vitro ...................................................................................... 30
3. Tingkat Rata-rata Potensi Oosit berdasarkan aktivitas Ovarium............. 31
4. Tingkat Rata-rata Kematangan Oosit berdasarkan aktivitas Ovarium .... 32
5. Uji Chi-Square Tingkat Struktur Kualitas Oosit Berdasarkan
Aktivitas Ovarium ................................................................................. 33
6. Tingkat kematangan Oosit dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Analysis of variance ..................................................... 36
7. Dekumentasi Tahap-tahap Penelitian ...................................................... 41
1
PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan sapi pedaging asli Indonesia dan merupakan hasil
domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994), dan sapi
asli Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1973). Sapi Bali menjadi primadona sapi
pedaging di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta
dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Putu, dkk, 1998),
persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada
persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan
persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Tanari, 2001).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitasnya adalah melalui penerapan bioteknologi reproduksi, dengan
kemajuan bioteknologi di bidang reproduksi melalui pemanfaatan ovarium di
Rumah Potong Hewan (RPH), sebagai sumber sel gamet betina (oosit) melalui
suatu bioteknologi dapat dijadikan suatu produk yang sangat berharga berupa
produksi embrio ternak secara in vitro. Produksi embrio yang perlu diperhatikan
secara in vitro adalah sistem yang dipakai. Sistem yang digunakan akhir-akhir ini
telah dipermudah dengan tersedianya bahan-bahan kimia secara komersial
(Spalding, et al., 1955)
Ovarium mampu menyediakan oosit dalam jumlah banyak, sehingga
menjadi alternatif untuk memproduksi embrio secara in vitro. Oosit yang
digunakan untuk memproduksi embrio in vitro harus dimatangkan terlebih dahulu.
Maturasi in vitro merupakan pematangan oosit di dalam suatu media atau diluar
2
tubuh tetapi dapat menghasilkan embrio baru seperti pematangan di dalam tubuh
(In vivo) (Frandson, 1996).
Materi untuk proses pematangan oosit biasanya berasal dari ovarium sapi
betina yang dipotong di RPH Tamangapa Makassar. Sapi-sapi tersebut pada saat
dipotong dalam kondisi fisiologis (aktivitas ovarium) yang berbeda-beda, ada
yang dalam kondisi fase luteal, fase folikuler, bahkan ada yang belum siklus (pra
puberitas atau post partum anestrus). Kondisi ini akan mempengaruhi populasi
folikel dalam ovarium pada sapi betina yang dipotong termasuk oosit yang ada
didalam folikel tersebut (Parker, et al., 2002). Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana pengaruh perbedaan aktivitas
ovarium, terhadap potensi oosit sapi Bali dalam mencapai tingkat kematangan
secara in vitro dan diharapkan penelitian ini berguna untuk memberikan informasi
kepada peneliti tentang pematangan oosit secara in vitro dalam mendukung
produksi embrio.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Status Aktivitas Ovarium Selama Siklus Berahi
Estrus yang dikenal dengan istilah berahi yaitu suatu periode secara
psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan
untuk kopulasi. Siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yang dapat dibedakan
dengan jelas yang disebut fase luteal dan fase folikuler (Frandson, 1996).
Fase folikular dimulai dengan penghilangan efek negatif dari progesteron
sehingga konsentrasi GnRH kembali meningkat. Peningkatan konsentrasi GnRH
akan menyebabkan peningkatan produksi FSH dan LH sehingga dapat
mendukung pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf akan menghasilkan lebih
banyak estrogen. Jika estrogen telah mencapai batas ambang maksimal, maka
akan memicu pengeluaran LH sehingga terjadilah ovulasi. Setelah terjadi ovulasi
maka folikel yang pre-ovulasi akan muncul korpus luteum, pada fase luteal
konsentrasi LH tidak dapat mencapai batas ambang maksimal, sehingga folikel
dominan akan mengalami regresi dan penurunan sekresi estradiol dan inhibin
menyebabkan terbentuknya gelombang folikel baru. Folikel dominan yang
mengandung estradiol dan inhibin dengan konsentrasi tinggi berhubungan dengan
penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah (Parker, et al., 2002; Adams, et
al., 1992).
Fase luteal terdapatnya CL (Corpus Luteum) yang menghasilkan
progesteron yang dapat menghambat pertumbuhan folikel dominan mencapai
ovulasi sehingga akan mengurangi pengaruh negatif dari inhibin dan estradiol
4
yang dihasilkan oleh folikel dominan dalam menghambat pertumbuhan folikel
subordinat. Sehingga hal tersebut menyebabkan jumlah folikel subordinat yang
tumbuh menjadi lebih banyak pada pasangan ovarium yang memiliki CL (Corpus
Luteum) daripada ovarium yang memiliki FD (Folikel Dominan) (Boediono, et
al., 1995) .
Perkembangan Folikulogenesis dan Oogenesis Berdasarkan status Ovarium
Proses pertumbuhan folikel, ovulasi dan pembentukan CL sangat
dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Gonadotrophin
releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hypothalamus berfungsi
menstimulasi pengeluaran folicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respons terhadap estrogen atau
progesteron. Ketika proses pertumbuhan folikel kecil (Recruitment) berlangsung,
mRNA meningkat. Pada saat seleksi morfologis, folikel dominan mengandung
estrogen dengan konsentrasi tinggi dalam cairan folikel dan segera setelah proses
seleksi berakhir, maka folikel dominan banyak mengandung mRNA untuk
reseptor gonadotrophin dan hormon steroid (Fortune, et al., 2001).
Perkembangan folikel pada sapi dan domba ditandai dengan adanya
gelombang pertumbuhan folikel. Satu gelombang didefinisikan sebagai suatu
proses pertumbuhan folikel yang sinkron dari beberapa folikel kecil. Dari
kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh
menjadi folikel dominan, sedangkan folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya
dan menuju atresi. Setelah mencapai ukuran maksimal, folikel dominan juga akan
5
mengalami atresi dan regresi. Perkembangan folikel pada sapi dan domba ditandai
dengan adanya gelombang pertumbuhan folikel. Pada gelombang yang kedua
folikel dominannya akan menjadi folikel ovulatory sedangkan folikel dominan
dari gelombang ketiga akan mengalami ovulasi (Rasby dan Vinton, 2001).
Gambar 1. Profil hormonal dan aktivitas ovarium pada sapi betina selama satu
siklus berahi ( Sonjaya, 2005).
Satu siklus estrus terdiri dari fase folikular dan fase luteal. Fase folikular
ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang
berlangsung selama 3-4 hari. Pada domba, sebanyak satu atau dua folikel besar
menghasilkan estrogen yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainnya
(Hafez 2000). Fase luteal berlangsung selama kurang lebih 13 hari dan ditandai
dengan pematangan corpus luteum yang menghasilkan progesteron dengan
konsentrasi yang mencapai puncak pada hari ke-6 setelah ovulasi. Selama periode
6
siklus estrus tidak ada perbedaan nyata antara jumlah folikel yang terdapat pada
ovarium kiri dan kanan (Gordon 1997). Pada fase folikuler prostaglandin
dihasilkan oleh endometrium uterus, sehingga corpus luteum lisis dan hormon
progesteron (P4) menurun (Gambar 1), turunnya P4 menyebabkan kontrol
umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior tidak ada,
sehingga hipotalamus mensekresikan GnRH dan hipofisa anterior mensekresikan
FSH dan LH, tingginya sekersi FSH dan LH merangsang pertumbuhan folikel
yang berdampak meningktanya hormon estrogen yang diproduksi oleh folikel.
Folikel terus berkembang menjadi folikel antrum dan preovulasi sehingga
estradiol mencapai level tertinggi dan menyebabkan kontrol umpan balik positif
terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga level FSH dan LH mencapai
puncaknya dan menyebabkan folikel preovulasi pecah dan terjadinya pelepasan
oosit dari ovarium ke saluran alat reproduksi betina (prosesnya disebut ovulasi).
Setelah ovulasi folikel yang pecah menjadi copus haemoragikum terus menjadi
korpus luteum yang menghasilkan hormon Progesteron selama fase luteal. Fase
luteal dimulai hari ke 5 s/d hari ke 18 setelah ovulasi dan selama fase ini P4
tinggi, folikel banyak yang atresi, hormon gonadotropin (FSH dan LH) rendah
(Sonjaya, 2005).
Inhibin memperlihatkan pengaruh terhadap sirkulasi FSH selama tahap
awal fase luteal. Inhibin dan estradiol mengkontrol pengeluaran FSH selama
gelombang folikular pertama. Sekresi FSH tidak dipengaruhi oleh progesteron
melainkan oleh estradiol dan inhibin yang diproduksi oleh folikel selama periode
iklus (Souza, et al., 1998).
7
Oogenesis adalah suatu proses pembentukan, pertumbuhan dan
pematangan dari gamet betina. Dimulai sejak embrional sampai setelah dilahirkan
dan mencapai puncakya pada saat ovulasi (Austin dan short, 1982).
Proses pembentukan sel kelamin betina terdiri dari dua tahap. Tahap yang
pertama adalah periode proliferasi yang terjadi pada saat prenatal sampai sebelum
atau sesaat setelah fetus dilahirkan. Selama itu proses yang terjadi adalah sel benih
primordial mengalami deferensiasi menjadi oogenia dan mengalami pembelahan
mitosis. Beberapa oogenia akan terus bermitosis dan berdiferensiasi menjadi oosit
primer. Oosit primer dengan inti pada tahap profase I dan dikelilingi sel epitel
disebut folikel primordial (Hafez, 2000). Menjelang lahir semua inti oosit primer
telah selesai membelah dan tertahan pada profase I tahap diploten. Inti oosit pada
tahap ini dicirikan dengan adanya membrane inti yang utuh dan nucleolus yang
jelas disebut germinal vesicle (GV) (Van den Hurk, et al., 1997).
Pertumbuhan oosit terbagi dua fase. Fase I oosit tumbuh cepat dan erat
hubungannya dengan perkembangan folikel ovari. Pada folikel primordial
aktivitas proliferasi sel epitel pipih yang mengelilingi sel telur akan dimulai
dengan membentuk satu lapis sel kuboid yang mengelilingi sel telur dan disebut
folikel primer. Sel kuboid akan terus berproliferasi membentuk multilayer sel
granulosa yang akan mengelilingi sel telur dan tahap ini disebut dengan folikel
sekunder. Proliferasi akan terus berlanjut hingga folikel membentuk antrum
folikuli yang disebut folikel tersier (Van den Hurk et al., 1997). Folikel tersier
akan dikelilingi oleh sel teka internal dan eksternal yang menghasilkan estrogen.
Antrum folikuli akan bertambah besar seiring dengan perkembangan sel folikel
8
tersier. Pertumbuhan folikel selanjutnya akan tergantung pada hormon
gonadotropin untuk mencapai folikel de graaf yang diakhiri dengan proses
ovulasi. Bertambah besar diameter folikel ovari merupakan ciri dari fase II.
Pertumbuhan folikel dalam ovarium dipengaruhi oleh hormon gonadotropin serta
sekresi hormon dari sel granulosa dan sel teka (Hafez, 2000).
Tingkat Kematangan Oosit Secara In Vitro
Pematangan oosit diluar ovarium atau tubuh hewan disebut dengan
pematangan in vitro atau In Vitro Maturation (IVM). Pematangan in vitro
merupakan salah satu tahap yang penting dari rangkaian produksi embrio in vitro.
Oosit untuk memroduksi embrio in vitro yang diperoleh dari ovarium hewan
betina yang masih hidup maupun betina mati dari Rumah Potong Hewan (RPH)
dengan tanpa memperhatikan fase siklus birahi (Ball, et al., 1984).
Maturasi oosit secara in vitro adalah pemasakan oosit muda atau
pengaktifan oosit muda dalam medium diluar tubuh (Prochaska, et al., 1993).
Keberhasilan pembuahan secara in vitro didukung oleh proses maturasi oosit in
vitro yang baik (Down, 1993). Shamsuddin et al (1993) menyatakan bahwa
maturasi oosit in vitro dimaksudkan agar oosit primer dapat berkembang menjadi
oosit sekunder yang akan melakukan proses pembelahan meiosis dengan normal
dan sempurna sehingga menghasilkan sel telur yang siap untuk dibuahi.
Oosit akan mengalami proses maturasi secara spontan dengan adanya
media yang sesuai (Hafez, 2000). Proses pematangan oosit memerlukan medium
yang berfungsi sebagai tempat penyediaan nutrisi dan sekaligus tempat
pembuangan metabolit. Zat nutrisi yang diperlukan harus selektif dan mempunyai
9
konsentrasi yang sesuai, serta memiliki pH, susunan gas dan osmolaritas larutan
fisiologis (Supriatna dan Pasaribu, 1992). pH harus dijaga tetap sekitar 7,2 dan
7,4, sedangkan osmolaritas ialah ukuran konsentrasi partikel terlarut dalam suatu
larutan (osm/L).
Selama maturasi oosit sapi, struktur kromatin dalam oosit yang belum
matang (Immature) berupa membran nukleus utuh (GV) dimulai dari pembelahan
meiosis pertama dilanjutkan dengan pembelahan meiosis kedua, menurut Lu et al
(1988) menunjukkan bahwa 90% dari oosit sapi mengalami pematangan pada 24
jam setelah dilakukan kultur. Membran nukleus menghilang setelah 5-6 jam
GVBD dan M-I dicapai setelah 12 jam dan M-II dicapai setelah 19 jam dan
diperkirakan pematangan inti tersebut lebih cepat in vitro daripada in vivo
(Gordon, 1997).
Pada proses pematangan sel telur secara in vitro dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya medium pematangan dan lingkungan penyimpanan (Incubator).
Medium standar untuk pematangan in vitro sel telur sapi adalah TCM-199. Agar
menunjang keberhasilan proses maturasi in vitro dilakukan inovasi komposisi dan
penambahan suplemen untuk mendapatkan kondisi medium yang optimsl.
Suplemen seperti serum, hormon estradiol, hormon gonadotropin (FSH dan LH),
mineral, glukosa, piruvat dan asam amino ditambahkan untuk membantu
transformasi inti (Sirard dan Blondin 1996).
Menurut Sirard dan Blondin (1996), lima faktor yang sangat berkompeten
dalam keberhasilan pematangan oosit adalah morfologi cumulus, ukuran folikel,
kesehatan folikel, stimulasi ovarium dan prosedur pematangan oosit sebelum
10
dimulainya inkubasi. Laju proses maturasi oosit sapi, domba dan babi relatif
lambat karena membutuhkan waktu untuk sintesa protein aktif untuk persiapan
pemulaan meiosis. Pada sapi proses maturasi inti secara in vivo membutuhkan
waktu kurang lebih 24 jam. Selama maturasi, inti oosit sapi yang masuk tahap
profase pada awal meiosis I mengalami pengurangan kompemen kromosom
menjadi haploid (n=30 kromosom). Pada tahap molekuler, di dalam oosit
mengalami banyak interaksi antara siklus molekuler dengan substrat target pada
inti dan sitoplasma.
Penilaian terhadap kualitas oosit sebagai salah satu upaya melakukan
seleksi terhadap oosit yang akan dimaturasi sangat mempengaruhi keberhasilan
produksi embrio in vitro. Morfologi oosit berdasarkan kekompakan dan jumlah
lapisan sel kumulus berakibat positif terhadap maturasi, fertilisasi dan
pertumbuhan serta perkembangan embrio in vitro (De Wit, et al., 2000; Bilodeau-
Goeseels dan Panich, 2002). Tidak satu pun oosit yang gundul mampu mencapai
embrio tahap 8-16 sel (Khurana dan Niemann, 2000).
Pematangan oosit meliputi pematangan sitoplasma dan inti (Rahman et al.,
2001) yang merupakan proses yang sangat penting dalam mendukung
keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio selanjutnya. Proses pematangan
inti yang berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA, ditandai dengan perubahan
inti dari fase diploten ke metafase II. Membran inti akan mengadakan penyatuan
dengan vesikel membentuk Germinal Vesicle (GV) dan kemudian akan
mengalami pelepasan membran inti Germinal Vesicle Break Down (GVBD).
Setelah GVBD terbentuk, kromosom dibungkus oleh mikrotubulus dan
11
mikrofilamen yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembelahan meiosis.
Seiring dengan proses tersebut maka kebutuhan oksigen oosit akan meningkat.
Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan mencapai tahap metafase I.
Metafase I (M-I) terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anafase
(A-I) dan telofase (T-I) yang berlangsung relatif sangat rendah dan berbeda nyata
dengan kelompok lainnya. Hambatan terhadap perkembangan folikel yang
dihasilkan oleh folikel dominan ternyata juga mempengaruhi kualitas oosit yang
dihasilkan.
Faktor yang dapat mendukung keberhasilan tingkat pematangan inti oosit
menurut Zheng and Sirard (1992) adalah terjadinya ekspansi sel-sel kumulus,
pematangan inti yang mencapai M-II dan pematangan sitoplasma. Kualitas oosit
juga dipengaruhi oleh suhu dan waktu penyimpanan ovarium sebelum dikoleksi.
Umumnya oosit diambil dari ovarium dalam jangka waktu 1 sampai 2 jam setelah
pemotongan, dengan suhu penyimpanan sekitar 30oC, karena penurunan suhu
oosit yang diaspirasi dari folikel sampai jauh dibawah suhu fisiologik tubuh
berpengaruh negatif pada viabilitas oosit, dalam bentuk abnormalitas pada semua
fase meiosis. Hal ini didukung dengan penelitian Zhang et al (1990) yang
menunjukkan bahwa ovarium yang dibawa pada suhu 0 sampai 2oC menghasilkan
angka fertilisasi dan perkembangan embrio yang nyata lebih rendah dibandingkan
dengan ovarium yang dibawa pada suhu 18 sampai 20 oC ataau 30 sampai 32
oC.
Hubungan yang sangat dekat antar sel-sel granulosa dan sel-sel kumulus
disekitar oosit akan mengakibatkan pematangan oosit tertahan untuk tidak
mengalami meiosis, apabila hubungan ini meregang oleh faktor-faktor
12
pematangan oosit atau sel-sel kumulus yang terekspansi, akan mengakibatkan gap
junction dengan cepat menurun jumlahnya, sebagai akibat akses penghambatan
berlangsungnya meiosis berkurang drastis. Oleh karenanya terjadi ekspansi sel-sel
kumulus atau aktivasi sel-sel kumuluss, digunakan sebagai salah satu indikasi
kematangan oosit (Pisastyani, 2003).
Peran sel kumulus setiap spesies berbeda, pada oosit tanpa sel-sel kumulus
dapat berkembang sampai tingkat pematangan M-II dan dapat difertilisasi.
Pematangan dapat dilakukan pada oosit yang gundul (tanpa sel-sel kumulus)
asalkan keadaan sitoplasma tersebut masih bagus dan kompak (Cox, et al., 1993).
13
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu, Di Gedung Pusat
Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin pada bulan Desember 2013
sampai Januari 2014.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan adalah ovarium sapi Bali 120 buah yang diperoleh
dari Rumah Potong Hewan (RPH) Tamangapa, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi
Selatan. Larutan 0,9% NaCl ,100 IU/ml penicillin , 100 µ/ml streptomycin sulfate,
phosphate buffered saline (PBS; Gibco, Grand Island, NY, USA), Fetal Bovine
Serum (FBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) 10%, tissue culture medium (TCM)
199 (Sigma, USA), pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) (Intergonan,
Intervet Deutschland GmbH), 10 IU/ml human chorionic gonadotrophin (hCG)
(Chorulon, Intervet international B.V. Boxmeer-Holland) dan 50 µg/ml
gentamycin (Sigma, USA), mineral oil (Sigma Chemical Co. St. Louis MO,
USA), enzim hyaluronidase (Sigma, USA) 0,25%, KCL 0.7%, parafin dan
vaselin (1:9), ethanol dan asetat dengan perbandingan (3:1), ethanol absolute,
aceto orcein 2%, asam asetat 25% larutan kutek bening.
Alat yang digunakan adalah Syringe, kaca arloji , petri dish, inkubator
CO2 5%, temperature 38,5 oC, pipet, mikropipet, cawan petri, objek glass, kaca
objek, dan mikroskop Axio Cam.
14
Metode Penelitian
a. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorium berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan sehingga
terdapat 12 perlakuan dengan susunan sebagai berikut :
T1 : Tingkat kematangan oosit pada belum siklus
T2 : Tingkat kematangan oosit pada fase folikuler
T3 : Tingkat kematangan oosit pada fase luteal
b. Prosedur Penelitian
Kegiatan meliputi 3 tahap kegiatan, yaitu koleksi oosit, pematangan oosit In
Vitro, dan Evaluasi tingkat pematangan inti oosit.
1. Koleksi oosit
Ovarium sapi segar dikumpulkan di rumah potong hewan dan dibawa ke
laboratorium dengan larutan 0,9% NaCl ditambah 100 IU/ml penicillin dan 100
µ/ml streptomycin sulfate. Koleksi oosit dilakukan dengan menyayat/mencacah
(Slicing) folikel yang ada di permukaan ovarium sehingga cairan folikel keluar.
Selanjutnya dilakukan pembilasan (Flushing) dengan penyemprotan NaCl 0,9%
menggunakann syringe ke dalam folikel bekas sayatan diharapkan oosit juga ikut
keluar. Selanjutnya oosit diseleksi menggunakan mikroskop (hanya oosit dengan
keadaan sitoplasma yang homogen dan dikelilingi ≥ 3 lapis sel kumulus yang
digunakan) dan ditampung dalam petri dish yang berisi media phosphate buffered
saline (PBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) yang disuplementasi dengan Fetal
15
Bovine Serum (FBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) 10%. Oosit hasil koleksi
dicuci dalam medium koleksi yang terdiri atas PBS ditambah 10% FBS dan
medium maturasi masing-masing dua kali pencucian, selanjutnya dilakukan
maturasi dalam tissue culture medium (TCM) 199 (Sigma, USA) ditambahkan
FBS 10%, 10 IU/ml pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) (Intergonan,
Intervet Deutschland GmbH), 10 IU/ml human chorionic gonadotrophin (hCG)
(Chorulon, Intervet international B.V. Boxmeer-Holland) dan 50 µg/ml
gentamycin (Sigma, USA).
2. Pematangan Oosit In Vitro
Oosit yang diseleksi dan telah melalui dua kali pencucian dengan
beberapa media, pematangan oosit dilakukan dalam medium maturasi yang telah
diequilibrasi dengan membuat empat tetesan (drop) , (50 µL/drop) pada petri dish
dan ditutup dengan mineral oil (Sigma Chemical Co. St. Louis MO, USA)
selanjutnya dimasukkan ke dalam inkubator CO2 5%, temperature 38,5 oC selama
24 jam.
3. Evaluasi tingkat pematangan oosit
Oosit yang telah dimaturasi dibersihkan dari sel-sel kumulusnya
(denudase) dengan batuan enzim hyaluronidase (Sigma, USA) 0,25% dengan
cara dipipet berulang-ulang menggunakan pipet berdiameter yang sesuai dengan
ukuran oosit. Oosit yang telah bebas dari sel kumulusnya diletakkan pada drop
KCl 0.7% diatas kaca objek, lalu difiksir dengan kaca penutup yang memiliki
16
bantalan parafin dan vaselin (1:9) pada keempat sudutnya. Preparat oosit yang
telah jadi, difiksasi pada ethanol dan asetat dengan perbandingan (3:1) selama 3-4
hari pada temperatur kamar. Setelah difiksasi preparat direndam terlebih dahulu
dalam larutan ethanol absolute selama satu jam. Kemudian preparat dikeringkan
menggunakan tissue sebelum diwarnai dengan aceto orcein 2% selama 5 menit.
Kemudian zat pewarna dibersihkan dengan asam asetat 25% dan keempat sisi
kaca penutup diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan
pengamatan dibawah mikroskop Axio Cam.
c. Parameter yang diamati
Pengamatan tingkat kualitas oosit dan pematangan oosit dilakukan dengan
melihat kualitas oosit dan menghitung jumlah oosit, gambar kualitas oosit
disajikan pada Gambar 2, kriteria disajikan sebagai berikut :
1. Kualitas A oosit yang dikelilingi oleh kumulus ooforus dan sel
korona radiata kompak dan tebal
2. Kualitas B oosit yang dikelilingi oleh kumulus ooforus dan sel
korona radiata yang kompak dan tidak tebal
3. Kualitas C oosit yang tidak dikelilingi kumulus ooforus dan sel
korona radiate tidak kompak tapi tebal
4. Kualitas D oosit yang tidak dikelilingi kumulus ooforus dan sel
korona radiate tidak kompak dan tidak tebal.
17
Gambar 2 Tingkat kualitas Potensi Oosit. A : Kualitas oosit kompak dan homogen, B: Kualitas
oosit kompak dan tidak homogeny, C: Kualitas oosit yang tidak kompak tapi
homogeny , D : Kualitas oosit yang tidak kompak dan homogeny.
Berdasarkan gambar 2 dapat dilihat jenis-jenis kualitas oositnya yang
tentunya mempengaruhi tingkat pematangan oosit secara in vitro pada berbagai
aktivitas ovarium. Bilodeau-Goeseels dan Panich (2002) menyatakan persentase
tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit yang memiliki lebih dari lima lapis
sel kumulus mencapai angka yang lebih tinggi dan berbeda nyata daripada tingkat
pembelahan sel yang berasal dari oosit dengan lapisan sel kumulus kurang dari
lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogen.Untuk menghitung tingkat struktur
populasi potensi kualitas oosit Dengan model matematika sebagai berikut :
Potensi Kualitas A (%)
Pengamatan tingkat kematangan oosit disajikan pada gambar 3, kriteria
tahap tingkat kematangan oosit disajikan sebagai berikut :
18
1. Fase Germinal Vesicle (GV) ditandai dengan adanya membrane
inti dan nukleolus terlihat dengan jelas ditepi
2. Fase Germinal Vesicle Breaking Down (GVBD) ditandai dengan
robeknya membran inti sehingga nukleolus tidak terlihat jelas
3. Fase Metaphase–I (M-I) ditandai dengan adanya kromosom
homolog yang berpasangan dan berderet di bidang equator
4. dan pada fase Metaphase-II (M-II) ditandai adanya badan kutub I
dan susunan kromosom yang sama dengan tahap M-I.
Untuk menghitung tingkat kematangan oosit dengan model matematika
sebagai berikut :
Tingkat Kematangan (%)
061292Sengkang
Gambar 3. Tingkat Kematangan Inti Oosit, A: Metafase II, B: Metafase I, C:
Germinal Vesicle Break Dawn (GVBD), D: Germinal Vesicle (GV).
A B
C D
19
Analisis Data
Data penelitian tingkat kematangan oosit menggunakan Rancangan Acak
lengkap (RAL) dengan analysis of variance (ANOVA) terlebih dahulu
ditransformasi dengan arsinx untuk memperoleh penyebaran data distribusi
normal (Gaspersz, 1991), apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel and Torrie 1981).
Hubungan Tingkat Persentase struktur populasi dengan potensi oosit dianalisis
menggunakan Uji Chi-Square. Data diolah menggunakan software SPSS 18.0 for
windows. Dengan model matematika sebagai berikut :
Yij = µ + ᴛi + ɛi
i = 1,2,3
j = 1,2,3,4
Keterangan :
Yij = Hasil pengamatan dari tingkat pematangan oosit beberapa fase
berdasarkan status ovarium ke-i dengan ulangan ke-j
µ = Rata-rata pengamatan
ᴛi = Pengaruh beberapa fase berdasarkan tingkat kematangan ovarium
ke-i
ɛ = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Potensi Oosit untuk Mencapai Tingkat Kematangan Secara In Vitro
Hasil penelitian pada tingkat kualitas oosit dan struktur populasi oosit
untuk mencapai tingkat kematangan oosit, disajikan pada gambar gambar 4.
Gambar 4. Histogram Rata-rata struktur populasi potensi oosit berdasarkan Aktivitas ovarium
sapi Bali.
Keterangan : A. Oosit yang homogen dan kompak, B. Oosit yang homogen dan tidak Kompak,
C. Oosit yang tidak homogen dan kompak, D. Tidak Kompak dan tidak homogen.
Gambar 4 menujukkan perbedaan struktur populasi dalam berbagai siklus
status ovarium, distribusi populasi untuk fase folikuler dan luteal polanya sama
sedangkan untuk belum siklus polanya berbeda. Berdasarkan hasil uji chi square
(lampiran 3), menunjukkan adanya perbedaan distribusi populasi kualitas oosit
antara ketiga kondisi aktivitas ovarium, struktur populasi kualitas oosit pada fase
folikuler dan luteal tidak berbeda nyata (P0.05) sedangkan struktur populasi pada
fase belum siklus berbeda nyata (P0.05) dibanding dengan fase folikuler dan
luteal (Lampiran 3). Tidak berbedanya struktur populasi pada fase folikuler dan
fase luteal disebabkan kondisi awal ovarium dengan tingkat pertumbuhan folikel
52% 54% 62%
12% 15% 8%
2% 11% 14% 10%
20% 16%
-10%
10%
30%
50%
70%
belum siklus folikuler luteal
Rat
a-r
ata
(%)
Aktivitas Ovarium
Struktur Poulasi Kualitas Oosit
a
b
c
d
21
pada fase folikuler dan fase luteal masih berkembang, sedangkan pada status
aktivitas ovarium belum siklus pertumbuhan folikel sangat rendah dibandingkan
dengan fase folikuler dan fase luteal. Hal ini diduga adanya perbedaan pada saat
in vivo antara status fisiologis ovarium aktif dan belum siklus, pada belum siklus
adanya pengaruh hormononal yaitu poros hypothalamus-hipofisa-anterior belum
berfungsi secara baik, kelenjar hipofisa anterior belum cukup mampu
menghasilkan hormon gonadotropin sehingga ovarium juga belum mampu
menghasilkan hormon estrogen (Ratnawati, et al., 2007)
Untuk kualitas oosit A (Oosit yang homogen dan kompak) relatif sama
pada semua status aktivitas ovarium, sedangkan kualitas B (Oosit yang homogen
dan tidak kompak), C (Oosit yang tidak homogen dan kompak), dan D (tidak
kompak dan tidak homogen) lebih rendah pada belum siklus dibanding fase
folikuler dan fase luteal. Hal ini disebabkan karena kondisi awal pada aktifitas
ovarium berbeda. Fase luteal dengan adanya korpus luteum lebih banyak dan
kualitas oosit yang lebih baik dibandingkan dengan ovarium tanpa korpus luteum.
Keberadaan korpus luteum yang menghasilkan progesteron dalam sirkulasi tubuh
akan menyebabkan hambatan pertumbuhan folikel dominan mencapai ovulasi
sehingga dapat menekan pengaruh negatif folikel dominan terhadap pertumbuhan
dan perkembangan folikel subordinat lainnya (Taylor dan Rajamahendran, 1991).
22
Tingkat Kematangan Oosit Berdasarkan status Ovarium
Hasil penelitian tingkat kematangan oosit, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Rata-rata Kematangan Oosit Berdasarkan Aktivitas Ovarium
Perlakuan Pematangan Inti (%)
GV GVBD MI MII
Belum Siklus 4.54±9.09 15.84±12.75 48.37±16.15 20.81±17.59 a
Fase Folikuler 0.00±0.00 0.00±0.00 46.73±2.43 53.26±2.43 b
Fase Luteal 1.38±2.78 8.61±13.59 29.26±11.96 60.73±23.67
b
Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata (P>0.05).
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan status ovarium berpengaruh
nyata (P<0.05) terhadap tingkat kematangan oosit pada tahap M-II, tetapi tingkat
kematangan pada tahap GV, GVBD, dan M-I perlakuan status aktivitas ovarium
tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis uji LSD tingkat kematangan M-II nyata
lebih rendah (P<0.05) pada status belum siklus dbanding pada fase folikuler dan
fase luteal (Tabel 1). Rendahnya tingkat kematangan oosit pada tahap MII pada
perlakuan belum siklus disebabkan oleh kondisi awal aktivitas ovarium kurang
aktif hal ini yang mempengaruhi tingkat maturasi oosit. Menurut Ratnawati et al
(2007), hal ini disebabkan karena pada fase belum siklus poros hypothalamus-
hipofisa-anterior belum berfungsi secara baik, kelenjar hipofisa anterior belum
cukup mampu menghasilkan hormon gonadotropin sehingga ovarium juga belum
mampu menghasilkan hormon estrogen sebagai akibat belum terjadi pertumbuhan
folikel dan oosit yang sempurna.
Tabel 1 menunjukkan pematangan inti pada perlakuan belum siklus dan
fase luteal dimulai tingkat pematangan oosit pada GV, GVBD, MI dan MII,
sedangkan fase folikuler dimulai tingkat pematangan oosit hanya pada MI dan
23
MII. Hal ini menunjukkan oleh tingkat pematangan oosit yang berbeda karena
perlakuan aktivitas ovarium yang berbeda.
Fase folikuler tingkat kematangan lebih cepat, dimulai tingkat
pematangan oosit langsung pada MI dan MII. Hal ini ini disebabkan pada
kondisi awal (in vivo) terdapatnya pertumbuhan folikel primordial, preantrum,
folikel antrum, dan sampai pada tahap folikel preovulasi. Berkembagnya folikel
karena terdapatnya penghilangan efek negatif dari progesteron sehingga
konsentrasi GnRH kembali meningkat. Peningkatan konsentrasi GnRH akan
menyebabkan peningkatan produksi FSH dan LH sehingga dapat mendukung
pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf akan menghasilkan lebih banyak estrogen.
Sehinggah oosit pada awal pematangan in vitro lebih cepat dimulai pada tahap MI
dan MII (Parker, et al., 2002; Adams, et al,. 1992).
Pada Fase luteal tingkat kematangan oosit dimulai pada tingkat
kematangan pada tahap GV, GVBD, M-I, dan M-II. Hal ini ini disebabkan pada
kondisi awal (in vivo) masih terdapat pertumbuhan folikel primordial sampai
pertumbuhan folikel preantrum tetapi tidak sampai pada tahap pertumbuhan
folikel antrum dan preovulasi, kurang berkembagnya folikel karena terdapatnya
CL (Corpus Luteum) yang menghasilkan progesteron yang dapat menghambat
pertumbuhan folikel sampai preovulasi, sehinggah oosit pada awal pematangan in
vitro dimulai pada tahap GV, GVBD, MI dan MII (Boediono, et al., 1995) .
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Struktur populasi kualitas oosit berkaitan erat dengan status ovarium, struktur
populasi pada fase folikuler dan fase luteal didominasi oleh kualitas oosit A
(Oosit yang dikelilingi oleh kumulus ooforus dan sel korona radiata kompak
dan tebal).
2. Tingkat persentase kematangan oosit M-II lebih tinggi pada fase luteal dan
folikuler.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk melakukan
kajian lebih lanjut mengenai hubungan status reproduksi ovarium untuk mencapai
tingkat kematangan oosit sampai tahap produksi embrio secara in vitro.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.P., R.L. Matteri, J.P. Kastelic, J.C. Ko, O.J. Ginther. 1992.
Assosiationbetween surges of follicle -stimulating hormone and the
emergence of follicular waves in heifers. J. Reprod. Fertil. 94: 177-188.
Austin, C.R. and R. V. Short. 1982. Reproduction in Mammals. Book I.
University Press. Cambridge. 103.
Ball, G.D, M.L. Leibfreid, R.W.A.X. Lenz, B.D. Bavister and N.L. First. 1984.
Factors affecting succcesfull in vitro fertilization of Bovine Follicular
Oocyte. Biol. Reprod.28;717-725.
Bilodeau-Goeseels, S. and P. Panich 2002. Effects of oocyte quality on
development and transcriptional activity in early bovine embryos.
Anim. Reprod. Sci. 71 (3-4): 143-155.
Boediono, A., R. Rajamahendran, S. Saha, C. Sumantri, T. Suzuki. 1995. Effect of
thepresence of a CL in the ovary on oocyte number, cleavage rate and
blastocyst production in vitro in cattle. Theriogenology 43 (1): 169.
[Abstr].
Cox, J.F., J. Hormazabal and A. Santa Maria. 1993. Effect of the cumulus on in
vitro fertilization of bovine matured oocytes.Theriogenology, 40: 1259-
1267.
De Wit, A.A., Y.A. Wurth, T.A. Kruip. 2000. Effect of ovarian phase and
folliclequality on morphology and developmental capacity of the bovine
cumulus- oocyte complex. J. Anim. Sci. 78(5): 1277-1283.
Down, S. M. 1993.Factors Effecting The Resumption of meiotic Maturation in
Mammals Oocytes.Theriogenol.39;65-79.
Fortune, J.E., G.M. Rivera, A.C.O.Evans, A.M. Turzillo. 2001. Differentiation of
dominant versus subordinate follicles in cattle. Biol. Reprod. 65: 648-
654.
Frandson, R.D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan
oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
26
Gaspersz, Vincent. 1991. Metode Perancangan Percobaan.CV. Armico, Bandung.
Gordon, I. 1997. Controlled reproduction in sheep and goats. Cambridge: CAB
International. pp 53-85.
Hafez, E.S.E., dan B. Hafez. 2000. Folliculogenesis, egg maturation and
ovulation. In: Hafez B and Hafez ESE. Reproduction in Farm Animals.
7th Ed. Philadelphia: Lea and Febiger. pp 68-81.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Khurana, N.K. and H. Niemann. 2000. Effects of oocyte quality, oxygen
tension,embryo density, cumulus cells and energy substrates on
cleavage andmorula/blastocyst formation of bovine embryos.
Theriogenology 54 (5): 741-756.
Lu, K.H., I. Gordon, H.B. Chen, M. Gallagher and H. M.C. Govern.1988. Birth of
Twins After Transfer of Cattel Embrio Producced by in vitro
Techniques. Vet Rec.36;125-132.
Pane, I. 1990. Upaya meningkatkan mutu genetik sapi Bali di P3Bali. Proc.
Seminar Nasional Sapi Bali 20–22 September. hlm: A42.
Parker, K.I., D.M. Robertson, N.P. Groome, K.L. Macmillan. 2002. Plasma
concentration of inhibin A and follicle stimulating hormone differ
between cows with two or three waves of ovarian follicular
development in a single estrous cycle. Biol. Reprod. 68: 822-828.
Payne, W.J.A. and D.H .L. Rollinson, 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7:
13-21 .
Pisastyani, Herwin, 2003.Kompetensi tingkat kematangan oosit domba yang
dimatangkan pada TCM 199 dan mem eagle in vitro.FKH.IPB.
Putu, I-G., P. Situmorang, P. Lubis, T.D. Chaniago, E. Triwulaningsih, T.
Sugiarti, I-W. Mathius dan B. Sudaryanto.1998. Pengaruh pemberian
pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah
kelahiran terhadap performan produksi dan Reproduksi Sapi Potong.
Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 1 – 2
Desember 1998. Puslibang Peternakan, Bogor. hlm. 279 – 286.
Prochaska, R.,R. Durnford, P.S. Fiser And G.J. Marcus. 1993. Paerthenogenetic
Development Of Activated in vitro Mtured Bovine Oocytes,
Theriogenol.39;103-105.
27
Rasby,R.andR.Vinton.2001.Theestrouscycle.http://beef.unl.edu/learning/estrous.
shtm
Rahman, N.U., M. Sarwar, H.A. Samad. 2001. In vitro production of bovine
embryos -a review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 1342-1351.
Ratnawati, Dian., wulan cahya pratiwi dan lukman affandhy. S. 2007. Penanganan
gangguan reproduksi pada sapi potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Depertemen Pertanian.
Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sirard, M.A., and P. Blondin. 1996. Oocyte maturation and IVF in cattle. Anim.
Reprod.Sci.442;417-426
Spalding, J.F., R.O. Berry and J.G. Moffit. 1995. The maturation process of the
ovum of swine during normal and indereed ovulations. J.Animal
Science 14:609.620.
Supriatna, I., dan F.H. Pasaribu. 1992. In vitro Fertilisasi,Transfer Embrio dan
pembekuan embrio.Bogor;PAU Bioteknogi IPB.pp;1-56.
Shamsuddin, M.B., Larsson and H.R. Martinez. 1993. Maturation-related changes
in Bovine Oocytes Under Different Culture Conditions.J.Anim.
Reprod.Scl.31;49-58.
Souza, C.J.H., B.K. Campbell, D.T. Baird. 1998. Follicular waves and
concentrations of steroid and inhibin A in ovarian venous blood during
the luteal phase of the oestrous cycle in ewes with an ovarian
autotransplant. J. Endocrinology 156: 563-572.
Steel, R.G.D., dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometric. Alih bahasa: B. Sumantri. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Tanari, M. 2001. Usaha pengembangan sapi Bali sebagai ternak lokal dalam
menunjang pemenuhan kebutuhan protein asal hewani di Indonesia.
http:// rudyct. 250x. com/ sem1_012/m_tanari.
Taylor, C., Rajamahendran R. 1991. Follicular dynamics and corpus luteum
growth and function in pregnant versus nonpregnant dairy cows. J.
Dairy Sci. 74: 115-123.
28
Van den Hurk, R.M. Bevers and J.F.Beckers. 1997. In vivo and in vitro
development of pre antral follicles, Theriogenology,47:73-82.
Zhang, L., E.G. Blakewood, R.S. Denniston and R.A. Goolke. 1990. The effect of
ovary temperature on oocyte maturation in vitro fertilization and
embryo development in cattle.Proc.So. Section Amer.Dairy
Sci.Assoc.p:16
Zheng, Y.S., and M.A. Sirard.1992. The Effect of Sera, Bovine Serum Albumin
and Follicular Cell on In Vitro Maturation and Fertilization of Porcine
Oocyte. 3 Theriogenology.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tingkat Potensi Oosit Berdasarkan Aktivitas Ovarium
PERLAKUAN ULANGAN Tingkat Potensi Oosit (%)
TOTAL A B C D
Belum siklus
1 4 3 - 1 8
2 7 1 - 2 10
3 5 5 - 1 11
4 6 3 1 3 13
Total 22 12 1 7 42
Rata-rata 52.38 28.57 2.38 16.67
Fase Folikuler
1 10 2 3 2 17
2 8 4 3 5 20
3 8 1 2 3 14
4 9 2 - 1 12
Total 35 9 8 11 63
Rata-rata 55.56 14.29 12.7 17.46
Fase Luteal
1 13 1 2 3 19
2 14 3 3 5 25
3 14 1 3 3 21
4 15 2 5 3 25
Total 56 7 13 14 90
Rata-rata 62.22 7.78 14.44 15.56
Lampiran 2. Tingkat pematangan inti oosit secara in vitro pada sapi Bali
PERLAKUAN ULANGAN Tingkat Pematangan Inti
TOTAL GV GVBD MI MII
Belum siklus
1 - - 4 3 7
2 - 1 6 2 9
3 2 3 4 2 11
4 - 3 4 0 12
Total 2 7 18 7 39
Fase Folikuler
1 - - 8 9 17
2 -
4 5 9
3 - - 5 6 11
4 - - 2 2 4
Total 0 0 19 22 41
Fase Luteal
1 1
4 13 18
2 - 1 6 10 17
3 - 0 1 5 6
4
2 3 2 7
Total 1 3 14 30 48
Rata-rata 2.34 7.81 39.84 46.09 128
Lampiran 3. Tingkat Rata-rata Potensi Oosit Berdasarkan Aktivitas Ovarium
Perlakuan
Tingkat Potensi Oosit
A B C D
Belum Siklus 52.38% 28.57% 2.38% 16.67%
Fase Folikuler 55.56% 14.29% 12.70% 17.46%
Fase Luteal 62.22% 7.78% 14.44% 15.56%
Lampiran 4. Tingkat Rata-rata Kematangan Oosit Berdasarkan Aktivitas Ovarium
Perlakuan
Pematangan Inti (%)
GV GVBD MI MII
Belum Siklus 4.54±9.09 15.84±12.75 48.37±16.15 20.81±17.59 a
Fase Folikuler 0.00±0.00 0.00±0.00 46.73±2.43 53.26±2.43 b
Fase Luteal 1.38±2.78 8.61±13.59 29.26±11.96 60.73±23.67 b
Lampiran 5. Uji Chi-Square Tingkat Struktur Kualitas Oosit berdasarkan Aktivitas Ovarium pada Sapi Bali
Perlakuan Belum Siklus Dan Fase Folikuler
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 13.447a 3 .004
Likelihood Ratio 14.507 3 .002
Linear-by-Linear Association .191 1 .662
N of Valid Cases 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50.
Perlakuan Belum Siklus Dan Fase Luteal
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 21.826a 3 .000
Likelihood Ratio 23.692 3 .000
Linear-by-Linear Association .000 1 1.000
N of Valid Cases 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00.
Perlakuan Fase Folikuler Dan Fase Luteal
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 2.009a 3 .571
Likelihood Ratio 2.030 3 .566
Linear-by-Linear Association .178 1 .673
N of Valid Cases 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00.
Lampiran 6. Tingkat Kematangan Oosit dengan Menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan analysis
of variance (ANOVA)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: M2
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1786.954a 2 893.477 5.331 .030
Intercept 19883.578 1 19883.578 118.628 .000
Perlakuan 1786.954 2 893.477 5.331 .030
Error 1508.512 9 167.612
Total 23179.044 12
Corrected Total 3295.465 11
a. R Squared = .542 (Adjusted R Squared = .441)
Multiple Comparisons Dependent Variable: M2
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1.00 2.00 -23.1825
* 9.15457 .032 -43.8916 -2.4734
3.00 -27.9325* 9.15457 .014 -48.6416 -7.2234
2.00 1.00 23.1825
* 9.15457 .032 2.4734 43.8916
3.00 -4.7500 9.15457 .616 -25.4591 15.9591
3.00 1.00 27.9325
* 9.15457 .014 7.2234 48.6416
2.00 4.7500 9.15457 .616 -15.9591 25.4591
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 167.612.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: M1
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 334.412a 2 167.206 .738 .505
Intercept 20036.110 1 20036.110 88.489 .000
Perlakuan 334.412 2 167.206 .738 .505
Error 2037.823 9 226.425
Total 22408.345 12
Corrected Total 2372.235 11
a. R Squared = .141 (Adjusted R Squared = -.050)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: GVBD
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 822.283a 2 411.142 2.780 .115
Intercept 1344.930 1 1344.930 9.093 .015
Perlakuan 822.283 2 411.142 2.780 .115
Error 1331.232 9 147.915
Total 3498.445 12
Corrected Total 2153.515 11
a. R Squared = .382 (Adjusted R Squared = .244)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: GV
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 82.645a 2 41.323 .587 .576
Intercept 128.446 1 128.446 1.825 .210
Perlakuan 82.645 2 41.323 .587 .576
Error 633.273 9 70.364
Total 844.364 12
Corrected Total 715.918 11
a. R Squared = .115 (Adjusted R Squared = -.081)
Lampiran 7. Dekumentasi Tahap-tahap Penelitian
Pengambilan Sampel di RPH
Proses seleksi ovarium berdasarkan status ovarium
Proses Slicing, Denudase , dan Pewarnaan
RIWAYAT HIDUP
Nama Andi Mutmainna Penulis dilahirkan pada tanggal 06
Desember 1991 di Piampo (Wajo), Sulawesi Selatan
sebagai anak keenam dari delapan bersaudara melalui
pasangan Bapak (H.Bachtiar) dan Ibu (Hj. Andi Ansa
Page Makkaraka). Pendidikan Formal yang telah ditempuh
penulis adalah Sekolah Dasar 259 Teddaopu Sengkang
dari tahun 1998 sampai tahun 2004, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama di MTs As’adiyah Putri Sengkang dan lulus pada tahun 2007 dan
selanjutnya diterima di Madrasah Aliyah As’adiyah Putri Sengkang 2010.
Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Hasanuddin
(UNHAS), Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan melalui jalur Seleksi
Prestasi Olahraga Seni dan Keilmuan (POSK). Selama mengikuti perkuliahan
penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Jurusan (HIMAPROTEK) Fakultas
Peternakan, Universitas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar.