postterm 2

42
BAB I PENDAHULUAN Awal abad ke-20 menganggap kehamilan yang melebihi waktu (kehamilan postterm) bukanlah suatu masalah, kecuali kehamilan tersebut dihubungkan dengan makrosomia atau persalinan yang sulit. Induksi persalinan direkomendasikan hanya untuk mencegah pertumbuhan janin sehingga tidak terjadi distosia. Pada tahun 1950-an dipertimbangkan suatu intervensi karena meningkatnya kemungkinan kematian perinatal pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu. 1 Adalah Ballantyne pada tahun 1902 yang pertama membuat referensi tentang kehamilan posterm di obstetrik modern. Tahun 1954 Clifford menggambarkan lebih jelas sebuah sindrom yang ditemukan pada bayi lahir setelah melewati tanggal kelahiran yang diperhitungkan , seperti misalnya ditemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion dan tanda distress fetus. Auberg(1962) dan Lanman(1968) juga membuktikan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian intrapartum berhubungan dengan kehamilan lewat waktu ini dan penelitian dari Skandinavia membuktikan bahwa kehamilan lewat waktu berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perinatal. Sebuah penelitian dari Dublin meneliti risiko postmatur pada 6301 kehamilan lewat 42 minggu. Pada kehamilan posterm ini kematian intrapartum empat kali lipat lebih besar dan kematian neonatus tiga kali lebih besar dibanding dengan mereka yang lahir tidak melewati waktu 1

description

obgyn

Transcript of postterm 2

BAB I

PENDAHULUAN

Awal abad ke-20 menganggap kehamilan yang melebihi waktu (kehamilan postterm)

bukanlah suatu masalah, kecuali kehamilan tersebut dihubungkan dengan makrosomia atau

persalinan yang sulit. Induksi persalinan direkomendasikan hanya untuk mencegah

pertumbuhan janin sehingga tidak terjadi distosia. Pada tahun 1950-an dipertimbangkan

suatu intervensi karena meningkatnya kemungkinan kematian perinatal pada umur

kehamilan lebih dari 42 minggu.1

Adalah Ballantyne pada tahun 1902 yang pertama membuat referensi tentang

kehamilan posterm di obstetrik modern. Tahun 1954 Clifford menggambarkan lebih jelas

sebuah sindrom yang ditemukan pada bayi lahir setelah melewati tanggal kelahiran yang

diperhitungkan , seperti misalnya ditemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion

dan tanda distress fetus. Auberg(1962) dan Lanman(1968) juga membuktikan bahwa

terjadi peningkatan risiko kematian intrapartum berhubungan dengan kehamilan lewat

waktu ini dan penelitian dari Skandinavia membuktikan bahwa kehamilan lewat waktu

berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perinatal. Sebuah penelitian dari Dublin

meneliti risiko postmatur pada 6301 kehamilan lewat 42 minggu. Pada kehamilan posterm

ini kematian intrapartum empat kali lipat lebih besar dan kematian neonatus tiga kali lebih

besar dibanding dengan mereka yang lahir tidak melewati waktu

, dan kejang neonatus sepuluh kali lebih besar dibanding yang normal. Setelah tahun 1970-

an itu barulah dapat diterima bahwa kematian perinatal meningkat pada kehamilan

postterm dan hal tersebut mendorong dilakukan intervensi untuk persalinan atau penelitian

tentang kesehatan janin. 9

Crowley juga membandingkan antara 247 wanita yang melahirkan setelah 42

minggu dengan 247 wanita yang melahirkan antara 37 sampai 42 minggu sebagai kontrol

dalam penelitian : menemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion terjadi dua kali

lebih sering pada wanita yang hamil lewat waktu. 9

Wanita dengan kehamilan postterm cenderung memiliki risiko lebih besar untuk

mengalami robekan jalan lahir yang luas karena makrosomia, peningkatan risiko terjadinya

infeksi dan komplikasi luka jalan lahir serta perdarahan post partum. Mereka juga berisiko

lebih besar menjalani seksio sesaria sehubungan dengan makrosomia, gawat janin maupun

1

kegagalan dan komplikasi induksi persalinan.2,6 Risiko morbiditas perinatal pada kehamilan

postterm 2-3 kali lebih banyak daripada kehamilan aterm. Sedangkan mortalitasnya

meningkat lebih kurang 3 kali dibandingkan kehamilan aterm dimana 30% kematian

tersebut terjadi sebelum persalinan, 55% dalam persalinan dan 15% pasca persalinan.6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Istilah postterm, postdates, prolonged dan postmature sering salah digunakan dalam

mengartikan kehamilan yang melebihi waktu dari batas normal. Menurut American

College of Obstetricians ad Gynecologist (1997), postterm adalah kehamilan 42 minggu

penuh (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT), dengan

asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah haid terakhir.1,7 Sedangkan menurut Federation of

Gynecologist and Obstetrians (FIGO), postterm merupakan kehamilan yang berlangsung

lebih dari 42 minggu terhitung dari HPHT dan siklus menstruasi 28 hari.2,4

2

Umur kehamilan dan perkiraan hari kelahiran ditentukan dengan rumus Naegele.1,2,6

Meskipun kemungkinannya adalah 10% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya

mungkin bukan benar-benar postterm karena kekeliruan menentukan usia kehamilan. Hal

ini mungkin disebabkan karena kekeliruan mengemukakan tanggal haid yang terakhir,

siklus haid yang tidak teratur dan siklus haid yang terlampau panjang.1 Beberapa

kepustakaan menyebutkan bahwa postterm sinonim dengan postdate dan prolonged

pregnancy.1,2,6

Terminologi postmatur digunakan untuk menjelaskan kehamilan lewat waktu yang

disertai penampakan klinis postmatur pada bayi yang dilahirkan. Variasi dalam siklus

menstruasi menjelaskan mengapa pada kehamilan manusia yang mencapai umur 42

minggu penuh hanya sekitar 5-10% yang menghasilkan bayi dengan sindroma postmatur

yaitu: tidak ada lanugo, rambut lebat, kuku panjang, kulit keriput dan kering, pewarnaan

mekonium pada kulit, verniks tidak ada atau sedikit, wajah tampak tua, tubuh kurus,

dengan tungkai panjang.1,2,6

2.2 INSIDEN

Secara umum insiden postterm berkisar antara 4 – 14%.1 Di Indonesia angka kejadian pada

beberapa Rumah Sakit pendidikan berbeda-beda. Suastika (1997) melaporkan angka

kejadian postterm di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebesar 9,5%.3 Adenia dkk (1999)

melaporkan angka kejadian postterm di RSUP H.Adam Malik sebesar 6,71%.4 Priyono

(2003) melaporkan angka kejadian postterm di RSUP Sanglah sebesar 3,46% untuk

periode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2002.7

Ada kecenderungan pada beberapa ibu terjadi persalinan postterm berulang. Faktor-

faktor lain yang dinyatakan berhubungan antara lain paritas, sosial ekonomi dan umur ibu.

Analisis dari 27.677 kelahiran pada wanita Norwegia ternyata ditemukan bahwa insiden

kelahiran postterm berikutnya bertambah dari 10% menjadi 27% jika kelahiran pertama

postterm dan menjadi 39% apabila mengalami 2 kali berturut-turut persalinan postterm.1

2.3 ETIOPATOFISIOLOGI

Etiologi terjadinya postterm sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan hal ini

berkaitan dengan belum jelasnya etiologi proses persalinan.

3

Teori” Sistem Komunikasi Organ” mengatakan bahwa janin memberikan isyarat

kepada ibu bila pematangan dari organ-organ janin sudah sempurna.8 Bahwa kortisol fetus

menyebabkan plasenta mengurangi produksi progesteron. Hal ini selanjutnya akan

menimbulkan kenaikan prostaglandin dalam amnion yang berguna untuk stimulasi

penipisan serviks dan kontraksi ritmik uterus yang merupakan ciri khas proses persalinan.8

Pada kasus postterm, penurunan konsentrasi estrogen tidak cukup untuk menstimulasi

pelepasan prostaglandin dan proses persalinan sehingga kehamilan berlangsung lewat

waktu.1 Pada informasi terakhir ini diketahui ada peran hormonal Corticotropin-releasing

factor (CRF) dan urocortin yang merupakan dua neuropeptid plasenta yang terlibat dalam

mekanisme kelahiran dengan memodulasi aktivitas myometrial. CRF dan urocortin

meningkat pada plasma ibu pada kehamilan aterm, sementara CRF rendah pada wanita

yang mengalami kehamilan lewat waktu. 10

Ada beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan kehamilan postterm

antara lain: 9

1. Ketidaktahuan haid terakhir

Paling sering terjadi dan berhubungan dengan pemeriksaan antenatal yang

terlambat atau tidak sama sekali.

2. Ovulasi yang ireguler / fase folikuler yang berlebihan

Jika ovulasi dan fertilisasi dianggap terjadi 2 minggu sebelum HPHT maka fase

folikuler yang bervariasi dapat menyebabkan perkiraan usia kehamilan yang

berlebihan.

3. Perbandingan progesteron dan estrogen

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penundaan produksi estrogen yang akan

menyebabkan penundaan persalinan seperti :

o Menurunnya produksi 16-α-hidroksidehidroisoandrosteron sulfat yang

merupakan prekursor untuk produksi estriol, misalnya pada kasus

anensefalus.

o Hipoplasia adrenal mempunyai efek penurunan produksi prekursor untuk

sintesa estriol.

o Defisiensi sulfatase plasenta, suatu penyakit X-linked herediter yang dapat

mencegah konversi prekursor estrogen sulfat menjadi estrogen oleh

plasenta yang ditandai dengan kadar estriol,yang rendah.

4

4. Umur ibu

Angka kejadian postterm meningkat pada umur ibu dibawah 19 tahun dan diatas 30

tahun. Mead dan Marcus (1988) mendapatkan angka kejadian postterm yang paling

tinggi pada umur 21 – 25 tahun baik pada primi / multigravida.

5. Paritas

Angka kejadian postterm lebih tinggi pada primigravida dibandingkan dengan

multigravida.

6. Jenis kelamin janin

Janin laki -laki 5% lebih banyak menjadi postterm dibandingkan jika janinnya

perempuan. Kemungkinan terjadinya gawat janin juga lebih besar.

7. Hubungan dengan siklus haid

Angka kejadian postterm pada ibu dengan siklus haid yang panjang 13,2 % lebih

tinggi dibandingkan ibu dengan siklus haid normal.

8. Sosioekonomi

Beberapa peneliti melaporkan bahwa kejadian postterm lebih sering terjadi pada

ibi-ibu dengan sosioekonomi rendah.

9. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital seperti anensefalus, hidrosefalus, dan kelainan congenital

lainnya berhubungan dengan bertambahnya angka kejadian postterm.

Fungsi plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun

setelah 42 minggu, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% dari 500-700 ml/menit

menjadi 250ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta ,terlihat juga menurunnya kadar

estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi juga spasme arteri spiralis plasenta.

Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh

kembang janin intrauterin. Volume air ketuban juga berkurang karena mulai terjadi

absorpsi. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm ± 800 ml dan akan menurun

menjadi ± 480 ml, 250 ml dan 160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu1.

Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk janin.

Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi : 30% prepartum, 55%

intrapartum, 15% postpartum.

5

2.4 DIAGNOSIS

Sangat jelas dari literatur bahwa diagnosis dari kehamilan lewat waktu adalah sulit.

Definisi waktu kehamilan dari WHO didasarkan dari data statistik dilihat dari tanggal

menstruasi. Telah dibuktikan bahwa meskipun HPHT telah diketahui secara akurat, tapi

bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya sebagai tanggal tepat konsepsi. Hal ini

karena onset ovulasi dalam siklus menstruasi mungkin bervariasi dari satu siklus ke

siklus berikutnya. Penentuan ‘waktu ‘ ini membawa implikasi klinis yang penting. 9

Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung

melebihi 42 minggu (294 hari). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: HPHT jelas

yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid teratur, dirasakan

gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu, terdengar denyut jantung janin (djj)

(normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-20 minggu dengan fetoskop), umur

kehamilan yang sudah ditetapkan dengan USG, dan pada umur kehamilan kurang atau

sama dengan 20 minggu, tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari

HPHT.1,3,4,8

2.4.1 Menilai umur kehamilan

a. Berdasarkan haid terakhir

Menilai umur kehamilan postterm kadang sulit karena kebanyakan wanita tidak

mengetahui hari pertama haid terakhir (HPHT) dan siklus haid yang tidak teratur.

Umur kehamilan berdasar HPHT dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Naegele (tanggal +7 / bulan –3 / tahun +1) jika siklus haid teratur.1,6

b. Denyut jantung janin

Denyut jantung janin mulai terdengar pada umur kehamilan 19-20 minggu

dengan stetoskop Laenec sementara dengan Doppler denyut jantung janin mulai

didengar pada umur kehamil;an 12 minggu.1,10

c. Gerakan janin

Gerakan janin pertama kali dapat dirasakan pada umur kehamilan 18-20 minggu.

Gerakan ini akan bertambah intensitasnya secara bertahap.8

d. Ultrasonografi (USG)

Dengan pemeriksaan USG usia kehamilan dapat ditentukan secara dini. Ukuran

biparietal distance (BPD) dan lingkar abdomen (abdominal perimeter / AP atau

6

abdominal sircumference / AC) janin yang tidak bertambah atau malah mengecil

sangat bernilai untuk mendiagnosa kehamilan postterm. USG menjadi gold

standard untuk menetapkan umur kehamilan terutama jika dilakukan pada

trimester pertama. Sampai umur kehamilan 12 minggu, pengukuran crown-to-

rump length (CRL) memberikan ketepatan taksiran persalinan ± 4 hari. Melewati

umur kehamilan 12 minggu, CRL tidak reliabel lagi dijadikan patokan. Pada

umur kehamilan 14-20 minggu digunakan patokan pengukuran diameter

biparietal (BPD) dan femur length yang mempunyai ketepatan taksiran persalinan

± 7 hari.1,8

2.4.2 Pemeriksaan sitologi vagina

Pemeriksaan sitologi vagina pada kehamilan aterm akan dijumpai sel superfisial,

intermedier dan sel parabasal. Sedangkan gambaran sitologi vagina pada kehamilan

postterm hanya akan ditemukan sel superfisial dan parabasal tanpa sel intermedier. Indikasi

insufisiensi plasenta dan gawat janin perlu dipikirkan jika pada pemeriksaan ini hanya

dijumpai sel parabasal dan indek piknotik > 20%. 8

2.5 EFEK KEHAMILAN POSTTERM PADA JANIN DAN IBU

2.5.1 Efek pada janin

Kehamilan postterm yang tidak terdapat gangguan fungsi plasenta, janin akan tumbuh terus

menjadi bayi besar (makrosomia). Hal tersebut akan menyebabkan distosia bahu dan

disproporsi fetopelvik yang dapat menyulitkan proses persalinan.1

Insufisiensi plasenta merupakan salah satu efek kehamilan postterm. Pada keadaan ini,

pasokan nutrisi dan oksigen ke janin menurun sehingga dapat terjadi gangguan

pertumbuhan dan hipoksia. Sehingga saat lahir, bayi kehilangan berat badan yang cukup

banyak. Pada kasus yang berat ekstremitas tampak kurus dan panjang, deskuamasi

epidermis yang berat, kuku dan amnion mendapat pewarnaan empedu. Risiko gawat janin

meningkat tiga kali pada fungsi plasenta yang menurun. Turunnya saturasi oksigen

dibawah 10 % tidak akan dapat dikompensasi lagi sehingga dapat menyebabkan kematian

janin.1

7

Janin pada kehamilan postterm berisiko tinggi untuk terjadinya aspirasi mekonium.

Pengeluaran mekonium pada masa persalinan adalah suatu tahap kompensasi gawat janin.

Pengeluaran mekonium terjadi kalau saturasi oksigen pada vena umbilikalis menurun

mencapai 30% ( saturasi minimal 40% ) sehingga menyebabkan hipoksia otot polos

saluran gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin.1

Oligohidramnion sering dijumpai pada kehamilan postterm. Beberapa peneliti

menemukan bahwa penyebab gawat janin terbanyak pada kehamilan postterm adalah

oligohidramnion, dibandingkan dengan insufisiensi uteroplasenta.13 Penurunan jumlah

cairan amnion dapat disertai dengan penekanan tali pusat sehingga menimbulkan gawat

janin. Janin dengan cairan amnion yang sedikit dan mengandung mekonium akan

mengalami risiko asfiksia 33%.1,6 Cairan amnion yang pekat karena mengandung

mekonium meningkatkan kemungkinan terjadinya meconium aspiration syndrome.8

Sehingga dapat disimpulkan bahwa bayi yang dilahirkan dalam keadaan postterm

mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi daripada bayi

aterm.

8

GAMBARAN KLINIS BAYI POSTTERM

Hanya sekitar 5-10% dari kehamilan postterm yang menghasilkan bayi dengan sindroma

postmatur.1,2 Pada kehamilan postterm terjadi perubahan fisiologis yang dapat dilihat

sebagai tanda-tanda postmatur. Pertama hilangnya verniks kaseosa dan efeknya pada otot.

Dengan bertambah tuanya kehamilan, verniks kaseosa makin tipis karena larut dalam

cairan amnion. Sementara pada kehamilan postterm tidak terdapat lagi verniks kaseosa.

Hal ini menyebabkan terjadinya pengelupasan lapisan epidermis kulit. Pada saat lahir

lapisan epidermis tetap utuh karena daya kohesi dari kulit yang basah oleh cairan amnion.

Tetapi ketika permukaan kulit mulai kering maka lapisan epidermis ini akan mengeras

seperti kertas perkamen, pecah-pecah dan mengelupas.6

9

Perubahan kedua adalah akibat penuaan plasenta. Hal ini dihubungkan dengan

pertumbuhan dan berat badan janin. Dari penelitian diketahui bahwa janin tumbuh pesat

sampai umur kehamilan 260 – 280 hari, selanjutnya pertumbuhan akan berjalan relatif

lambat. Pada kehamilan postterm pertumbuhan hanya terbatas pada beberapa organ

tertentu seperti kuku dan rambut.10

Tanda-tanda kehamilan postterm dibagi dalam tiga stadium: 10

1. Stadium I

Kulit menunjukkan gambaran akibat kehilangan verniks kaseosa sehingga menjadi

kering, rapuh, keriput dan mengelupas. Tidak ada pewarnaan mekonium. Keadaan

umum menunjukkan adanya kegagalan plasenta untuk menunjang pertumbuhan

yang normal sehingga bayi terlihat kurang gizi, wajah tua dan selalu waspada.

2. Stadium II

Semua gejala stadium I ditambah pewarnaan mekonium pada kulit. Selaput ketuban

dan tali pusat berwarna kehijauan.

3. Stadium III

Semua gejala stadium I dan II disertai pewarnaan mekonium yang kuning terang pada kuku

dan kulit, serta kuning kehijauan pada tali pusat

2.5.2 Efek pada ibu

Efek kehamilan postterm pada ibu berhubungan dengan meningkatnya persalinan secara

operatif, baik seksio sesaria maupun tindakan operatif pervaginam. Hal ini terjadi karena

makrosomia, oligohidramnion berat sehingga induksi persalinan tidak dapat dilakukan,

gagal drip dan gawat janin.1,3

Tindakan operatif pervaginam meningkatkan risiko laserasi jalan lahir. Seksio sesaria

sangat meningkatkan risiko infeksi post partum, perdarahan, komplikasi luka operasi,

emboli pulmonal, dan mortalitas ibu.13 Morbiditas ibu tidak saja pada kehamilan sekarang

tetapi juga pada kehamilan yang berikutnya.1,3

2.6 PENATALAKSANAAN

Kematian neonatal pada postterm dapat terjadi selama kehamilan, persalinan maupun

setelah lahir. Mengingat bahwa angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada postterm

cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan, diperlukan penanganan

yang serius dan cermat meliputi pengawasan kesejahteraan janin, penanganan intrapartum

dan penanganan post partum.5,6

10

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengawasan kesejahteraan janin

(fetal survaillance) yang mana hal ini perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan

lebih lanjut kehamilan postterm.

a.Gerakan janin

Gerakan janin dapat mencerminkan kesejahteraan janin. Gerakan janin dapat

ditentukan secara subjektif ( normal rata- rata 7 kali / 20 menit ) atau objektif dengan

tokografi NST ( normal rata – rata 10 kali / 20 menit ). Janin masih dianggap baik

bila dirasakan sedikitnya 10 gerakan / 12 jam. Hasil non reaktif apabila tidak terdapat

gerakan janin selama 20 menit pemeriksaan atau tidak terdapat akselerasi gerakan

janin.Gerakan janin akan berkurang 12 – 48 jam sebelum janin meninggal.5,6

b. Volume cairan amnion

Penilaian volume cairan amnion yang dilakukan dengan ultrasonografi pada berbagai

penelitian menunjukan bahwa kehamilan postterm dengan oligohidramion

mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan tanpa

oligohidramion. Hal ini disebabkan adanya penekanan tali pusat akibat berkurangnya

efek bantalan cairan amnion pada oligohidramion.

Oligohidramion didefinisikan sebagai:

1. Pengukuran kedalaman kantung cairan amnion terbesar <2 cm (normal 2- 8

cm).

2. Indeks cairan amnion < 5 cm ( normal 5 –20 cm).

Penentuan volume cairan amnion berdasarkan indeks cairan amnion dianggap lebih

baik dibandingkan teknik pengukuran 1 kantung amnion.9

c.Pewarnaan mekonium pada cairan amnion

Pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion oleh janin masih dipakai sebagai

indikator keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Pewarnaan mekonium

pada cairan amnion dapat dinilai dengan pemeriksaan amnioskopi dan amniosentesis.

Tetapi tidak tepat menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua

kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya ±

30 – 40% kasus posttermdengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion

mengalami hipoksia. Selain itu pemeriksaan ini sulit dilakukan pada pembukaan

kurang dari 2 cm, sering terjadi false negatif dan memerlukan pengalaman dari

pemeriksa.1,8

11

d. Penilaian denyut jantung janin (fetal heart rate)

Penilaian denyut jantung janin dapat dilakukan dengan dua cara :

1) Non Stress Test (NST)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan merekam terus menerus denyut jantung janin

menggunakan alat KTG selama 30 menit. Keadaan yang reaktif ditandai dengan

akselerasi denyut jantung janin > 15 dpm, sekurang – kurangnya 2 kali/15 menit.

Normalnya djj aterm 120 – 160 dpm. Denyut jantung janin yang ireguler sering

menunjukkan insufisiensi plasenta dan janin dalam keadaan asfiksia. Bradikardi

dimana denyut jantung janin < 110 dpm, merupakan keadaan yang berbahaya dan

berhubungan dengan hipoksia intrauterin sedangkan pada takikardi djj > 160 dpm

disamping merupakan tanda hipoksia, juga merupakan adanya infeksi atau reaksi

simpatis. NST merupakan pemeriksaan yang popular karena mudah dikerjakan

tetapi tidak efektif untuk pengawasaan intrauterin karena besarnya nilai negatif

palsu ( 3,2 / 1000 ) dan positif palsu ( 80 / 100 ). 1,3,6

2) Stress Test

Dasar pemeriksaan ini adalah pencatatan frekuensi denyut jantung janin untuk

mendeteksi asfiksia janin akibat kontraksi uterus sebagai rangsangan intermiten

terhadap janin. Pada tahap hipoksia akan timbul deselerasi selama kontraksi dan

takikardi diluar kontraksi. Dimana setiap kontraksi akan timbul reduksi sementara

aliran darah pada ruang interviler. Apabila cadangan oksigen fetoplasenter tidak

cukup lagi akan ditemukan denyut jantung janin yang patologis berupa takikardi

persisten, deselerasi variabel, deselerasi lambat dan deselerasi memanjang. Tes ini

dapat dilakukan dengan oxytocin challenge test ( OCT ) dan niplple stimulation

contraction stress test ( NSCST ). OCT disebut negatif jika tidak dijumpai

deselerasi lambat, positif jika ada deselerasi lambat pada ≥ 3 kontraksi uterus yang

berturut-turut dan meragukan jika sekali-sekali timbul deselerasi lambat / hanya

terjadi bila ada kontraksi yang hipertonus atau dalam pemantauan 10 menit

meragukan ke arah positif atau negatif dan takikardi positif. OCT meragukan maka

harus dilakukan pemeriksaan ulangan 1 – 2 hari kemudian. OCT dapat menunjukan

keadaan gawat janin karena gangguan respirasi dengan angka ketepatan 50 – 70%.

NSCST lebih praktis dan kurang invasif dibandingkan OCT tetapi mempunyai

kekurangan berupa kontraksi uterus yang berlebihan akibat hiperstimulasi. Untuk

12

mencegah hal ini stimulasi hanya dilakukan pada satu puting susu saja. Akurasi

NSCST ini sama dengan OCT.1,3,6

Penatalaksanaan intrapartum tergantung dari hasil pengawasan kesejahteraan janin ( fetal

surveillance ) dan penilaian pelvic score ( PS )6:

a. Bila kesejahteraan janin baik ( USG dan NST baik ):

PS ≥ 5 → dilakukan oksitosin drip

PS < 5 → dilakukan pemantauan serial NST dan USG setiap 1 minggu

sampai umur kehamilan 44 minggu atau PS ≥ 5.

b. Bila kesejahteraan janin mencurigakan.

PS ≥ 5 → dilakukan oksitosin drip dengan pemantauan KTG. Bila terdapat

tanda-tanda insufisiensi plasenta, persalinan diakhiri dengan seksio sesarea

(SC).

PS < 5 → dilakukan pemeriksaan ulangan keesokan harinya

Bila hasilnya tetap mencurigakan → dilakukan OCT

- hasil OCT (+) dilakukan SC

- hasil OCT (-) dilakukan pemeriksaan serial sampai 44

minggu / PS ≥ 5

- hasil OCT meragukan dilakukan pemeriksaan OCT ulangan

keesokan harinya.

Bila hasilnya baik → dilakukan pemeriksaan serial sampai 44 minggu / PS

≥ 5.

b. Bila kesejahteraan janin jelek (terdapat tanda-tanda insufisiensi plasenta), dilakukan

seksio sesarea.

Tabel.2.1 Penilaian Pelvic Score (Bishop Score)6

Faktor serviks Pelvic Score

0 1 2 3

Dilatasi 0 1 – 2 3 – 4 5+

Penipisan (%) 0 – 30 40 – 50 60 – 70 80 - 100

Penurunan -3 -2 -1 +1,+2

Konsistensi Kaku Sedang lunak

Posisi Posterior Medial Anterior

13

Sumber : Pedoman Diagnosis – Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar.2003

Sedangkan di RS Parkland protokol penanganan kehamilan postterm dapat digambarkan

sebagai berikut.

42 minggu penuh

Yakin Tidak yakin

HPHT Oligohidramnion ? Gerak anak ↓

1. Djj mulai 17-20 minggu no Kontrol tiap minggu no

atau

2. Fundus uteri antara 18-30

mgg ± 2 cm dari u.k yes Induksi persalinan yes

dari HPHT

3. USG sebelum 26 minggu

Gambar 2.1 Protokol manajemen penatalaksanaan kehamilan postterm di RS Parkland 3

Pada wanita yang pasti umur kehamilannya, induksi persalinan dilakukan pada umur

kehamilan 42 minggu. Hampir 90% induksi persalinan berhasil atau mengalami persalinan

setidaknya dalam 2 hari induksi. Jika belum melahirkan pada induksi yang pertama, maka

induksi kedua dilakukan pada 3 hari berikutnya. Hampir semua wanita dapat melahirkan

dengan cara tersebut tapi kadang-kadang ada juga sedikit yang belum dapat melahirkan

maka keputusan penanganannya adalah sepertiga induksi dibandingkan dengan seksio

sesaria.

Wanita yang dikategorikan kehamilan postterm dengan HPHT yang tidak yakin,

diamati seminggu tanpa intervensi apapun kecuali diduga ada gawat janin. Penanganan

selanjutnya berdasarkan keadaan klinis atau penurunan jumlah cairan amnion dari

gambaran hasil USG serta dengan penurunan gerak janin yang dilaporkan oleh ibunya.

Jika diduga ada gawat janin maka induksi persalinan dilakukan sama seperti kehamilan

14

postterm yang pasti umur kehamilannya. Penanganan ini telah berhasil hampir selama 20

tahun di RS Parkland dengan sangat sedikit kerugian pada janin atau bayi yang dilahirkan.3

2.7 KOMPLIKASI

Janin dengan kehamilan postterm berisiko terhadap hipoksia intrapartum, cedera berat

akibat proses persalinan pada distosia bahu dan aspirasi mekonium. Karena itu pada

penatalaksanaan persalinan postterm perlu diperhatikan hal- hal tersebut.1,8

a) Hipoksia intrapartum

Janin postterm berisiko untuk mengalami distress selama persalinan karena

penekanan tali pusat akibat oligohidramnion maupun insufisiensi plasenta. Yang

menarik, menurut Leveno dkk (1984) patofisiologi distress lebih disebabkan karena

penekanan tali pusat daripada insufisiensi plasenta. Pola denyut jantung janin yang

abnormal selama persalinan atau hipoksia neonatal dijumpai pada 12 - 30% kasus

kehamilan postterm dimana pemeriksaan antenatalnya normal. Untuk itu janin

perlu diawasi secara ketat selama persalinan sehingga intervensi yang diperlukan

dapat dilakukan saat itu. Amnioinfusi berguna untuk mengurangi deselerasi

variabel dan deselerasi memanjang yang umumnya diakibatkan oleh kompresi tali

pusat. Hal ini mungkin karena pulihnya bantalan cairan amnion. Mengubah posisi

ibu menjadi tidur miring dan pemberian oksigen pada ibu dapat memperbaiki

oksigenasi pada janin.

b) Distosia bahu

Jika janin tumbuh terus selama masa kehamilan postterm dapat tejadi makrosomia.

Perbedaan antara sirkumferensia dada dan diameter biparietal lebih besar 14 mm

berhubungan risiko 3 - 13% distosia bahu. Diketahui bahwa kesalahan dalam

memprediksi berat badan janin dengan USG sekitar 10 – 15% maka perlu

dipertimbangkan unuk melakukan seksio sesaria elektif jika berat badan janin ≥

4000 gram karena persalinan disfungsional dan distosia bahu akan terjadi pada

keadaan ini. Seksio sesaria dilakukan untuk meminimalkan morbiditas perinatal

sehubungan dengan distosia bahu pada kasus yang dicurigai.

c) Aspirasi mekonium

Frekuensi pewarnaan mekonium pada cairan amnion berkisar antara 22 –44% pada

kehamilan postterm. Mekonium cenderung menjadi pekat pada kehamilan postterm

karena sering bersamaan dengan oligohidramnion. Deteksi intrapartum terhadap

15

mekonium yang pekat berguna untuk mengurangi morbiditas akibat sindrom

aspirasi mekonium. Penyedotan mekonium dari nasofaring dan orofaring sebelum

dada lahir dan penyedotan mekonium pada endotrakea dibawah pita suara janin

segera setelah lahir efektif dapat menurunkan morbiditas sehubungan dengan

sindrom aspirasi mekonium. Dewasa ini tindakan amnioinfusi untuk mengencerkan

mekonium dalam cairan amnion juga disarankan untuk mengurangi morbiditas

tersebut.

.

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita

Nama : JKM

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 33 tahun

Status Nikah : Menikah

Agama : Hindu

16

Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

Pendidikan : Tamat SLTA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Gerokgak, Gede, Tabanan

Tanggal MRS : 22-3-2006, pkl 10.45 WITA

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama : Hamil lewat waktu 14 hari

Os datang dikirim dari poliklinik RSU Tabanan dengan G2P1001,42-43 minggu

T/H pro terminasi kehamilan dengan induksi serial oksitosin drip sesuai protap. Os

tidak mersakan sakit perut hilang timbul, tidak keluar air, gerak anak masih

dirasakan baik.

2. Riwayat Menstruasi

Mensruasi umur 12 tahun, dengan siklus teratur setiap 28 hari, lamanya 5 hari

tiap kali menstruasi.

Hari pertama haid terakhir 14 Desember 2005

Nyeri saat menstruasi hampir tidak pernah dirasakan oleh penderita

3. Riwayat Antenatal Care (ANC)

Di bidan secara teratur setiap bulan , saat memasuki kehamilan tujuh bulan,

bidan mengatakan letak bayi normal dengan kepala di bawah , penderita tidak

pernah melakukan pemeriksaan USG.

4. Riwayat Persalinan

1. Laki-laki,3400 gr, lahir spontan, bidan,11 tahun

2. Ini

5. Riwayat Perkawinan

Penderita menikah satu kali dengan suami yang sekarang sudah 12 tahun

6. Riwayat KB

Os memakai KB suntik 2 bulan sejak anak pertama lahir, lalu berganti pil KB

tidak ingat kapan, dan berhenti ±1 tahun yang lalu (November 2005).

7. Riwayat Penyakit Dahulu

17

Penderita tidak memiliki riwayat penyakit Asma, penyakit Jantung, Hipertensi ,

Diabetes Melitus

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status Present

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Temperatur : 36,5 ºC

Berat badan : 56 kg

Tinggi badan : 155 cm

2.Status General

Mata : anemis (-)/(-), ikterus (-)/(-)

THT : kesan tenang

Thorax : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pul : Vesikuler (+)/(+), rhonki (-)/(-), whz (-)/(-)

Abdomen : ~ status obstetri

Vagina : ~ status obstetri

Ekstremitas : edema (-)

3.Status Obstetri

Pemeriksaan Luar (Abdomen) :

Inspeksi : Tampak perut membesar disertai striae gravidarum.

Auskultasi : Denyut jantung terdengar paling keras di garis midline inferior

umbilikus,dengan frekuensi 12 11 12.

Palpasi : Pemeriksan Leopold didapatkan : I. Tinggi fundus uteri 3 jari

bawah prosesus Xiphoideus (30cm). Teraba bagian bulat dan lunak kesan

bokong; II. Teraba tahanan keras di kiri ( kesan punggung ); III. Teraba bagian

bulat , keras ( kesan kepala); IV. Bagian bawh sudah masuk 4/5 bagian dari pintu

atas panggul.

HIS (-)

18

Pemeriksaan Dalam (vagina) :

Vaginal toucher dilakukan pada pukul 11.00 WITA ( 5 Oktober 2006) didapatkan

hasil :

Pø 1 jari efficement 50%, lunak, medial, ketuban +, teraba kepala, sutura sagitalis

melintang, denominator belum jelas, penurunan Hodge I, tidak teraba bagian kecil

atau tali pusat.

D. Pemeriksaan Laboratorium ( 5 Oktober 2006)

WBC : 9,4 k/ul

HGB : 12,8 gr%

PLT : 340 k/ul

HCT : 39,5 %

E. Diagnosis Kerja

G2 P1001 42-43 minggu, T/H, Primitua sekunder, PBB 3565 gram , PS :5

F. Rencana Kerja

Rencana diagnosis : MRS

Terapi :

1. Terminasi kehamilan

2. Induksi serial dengan oksitosin drip sesuai protap, 5 oktober 2006

3. Monitor : Vital sign, DJJ, KTG saat inpartu

4. KIE : pasien dan keluarga tentang rencana indakan dan komplikasi perjalanan

penyakit.

G. Perjalanan Penyakit

Pada tanggal 5 oktober 2006 ( 11.15 WITA) diberikan induksi oksitosisn sesuai

protap (berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml dextrosa 5 % dimulai dengan tetesan 8 tetes

per menit ,dinaikkan kecepatan infus 4 tts/mnt tiap 15 mnt sampai kontraksi adekuat

/kontraksi 3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik. Tetesan maksimal sampai

40 tts/mnt atau his adekuat. Pada pasien, tetesan diberikan sampai 40 tts/mnt ).

19

Pada pukul 13.30 ( 5 okt 2006) setelah 2jam 15 mnt induksi yaitu pada tetesan 40

tts/mnt os mengeluh mulas perut hilang timbul. Pemeriksaan abdomen didapat HIS 2x/ 10

mnt selama 30 detik, djj 11 12 12, VT didapat didapat pembukaan 2cm,lunak , eff 50%,

medial, ket (+) , ttb bag kecil/tali pusat.

Pada pemantauan hingga pukul 15.00 WITA dari KTG didapatkan base line 130-

155 bpm, akselerasi +, deselerasi -, pada pukul 15.45 didapatkan base line 160-170 bpm,

deselerasi berulang + , pemeriksaan abdomen didapat HIS 3x/ 10 mnt selama 40 detik, Djj

takikardi yaitu 13 14 14, pemeriksaan VT didapat pembukaan 4cm,lunak , eff 50%, medial,

ket (+) , ttb bag kecil/tali pusat.

Kesimpulan : G2P1001 42-43 mg T/H PK 1 + KTG patologis.

Oleh karena itu diusulkan melakukan SC, menghubungi bagian pediatri, dan menyiapkan

darah, serta selalu memonitor DJJ preoperasi.

Pada pukul 16.45 (5 okt 2006), dilakukan SCTP, kemudian pada pukul 16.55 lahir

bayi laki-laki dengan berat badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang

kering , keriput dan mengelupas disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus

+ , sisa air ketuban tercampur mekonium, volume kurang, tali pusat layu, belitan tali pusat

satu kali. Pukul 17.00 lahir plasenta, lahir komplit, kalsifikasi + . Pada pengawasan 2 jam

post SC, kondisi ibu dalam batas normal. Pasca operasi , penderita diterapi dengan infus

per drip oksitosin dalam Dextrosa 5% :RL 2:1 selama 6 jam, Amoxycillin 3x I gr IV,

Tramal sup 3xI gr IV,Vit C 2x200 mg. Pada hari ke-2 pasca SC, infus off, terapi oral

Amoxycilin 3 x 500 mg, As Mefenamat 3 x 500 mg, Viterron 1 x I. Selama observasi

selama tiga hari , penderita tidak ada keluhan BAB dan BAK baik, flatus +, tekanan darah

110/70 mmHg, nadi 80x/mnt, respirasi 20 x/mnt, status general dalam batas normal.

Pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, luka

operasi terawat baik, peristaltik usus normal, pendarahan aktif pervaginam (-), Lochia

(+)rubra.

Pada tanggal 9 Oktober 2006, pasien diijinkan pulang dengan anjuran kontrol di

poli satu minggu kemudian, ASI eksklusif selama 6 bulan, dan penggunaan KB

postpartum.

20

BAB IV

PEMBAHASAN

Beberapa masalah pada kehamilan posterm adalah :

1.Penentuan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir seringkali tidak mudah,

karena ibu tidak ingat kapan tanggal hari pertama haid terakhirnya yang pasti.

2. Selain itu, penentuan saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah.

3.Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan : variasi siklus haid, kesalahan

perhitungan oleh ibu, dan sebagainya

21

Penentuan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir pasien bisa

diperkirakan karena pasien ingat kapan tanggal hari pertama haid terakhirnya (14

Desember 2005). Berdasar perhitungan rumus Naegle tafsir partus diperkirakan tanggal

21/9/06 ( kehamilan 40 mg), pada tanggal 5/10/06 umur kehamilan sudah mencapai 42

mg. Meskipun HPHT jelas tetapi penentuan saat ovulasi tidak pasti hal ini dikarenakan

bisa terdapatnya variasi siklus haid, bisa mungkin fase folikular pasien yang panjang

sehingga menjadikan penghitungan waktu kehamilannya menjadi berlebihan.

Dengan adanya pemeriksaan ultrasonografi (USG) : usia kehamilan dapat ditentukan lebih

tepat, dengan penyimpangan hanya lebih atau kurang satu minggu.

Pada kasus ini diagnosis kehamilan posterm dapat ditegakkan karena :

1. Hari pertama haid terakhir jelas dengan pola haid yang teratur ( mens tiap tgl 14 ±4

hari tiap bulannya )

2. Memberikan test kehamilan PPT yang positip saat periksa di puskesmas pada 1,5

bulan setelah HPHT ( 26 Jan 2006)

3. Dirasakan gerakan janin pada umur kehamilan 18 minggu.

4. Denyut jantung janin dapat terdengar menggunakan fetoskop pada umur

kehamilan 20 minggu selama ANC di bidan.

Bila masih meragukan, lebih tepatnya dilihat hasil pemeriksaan USG. Lebih baik bila pada

saat kehamilan 14 minggu, dilakukan pemeriksaan USG, hasil perkiraan umur kehamilan

berdasar USG dibandingkan dengan hasil perhitungan berdasar Naegle bila didapat < 3

hari maka perhitungan dari HPHT dapat dipakai sebagai penentuan umur kehamilan. Bila

hasil perhitungan USG dibanding perhitungan rumus Naegle didapat selisih > 3 hari maka

dipakai umur kehamilan berdasar perhitungan USG. Pada kasus disini karena selama ANC

kehamilan muda dilakukan di bidan dan selama itu pula tidak pernah dilakukan

pemeriksaan USG sehingga tidak bisa membandingkan hasil perhitungan Naegle dengan

hasil USG. Data yang menunjang kehamilan posterm kalau dilihat setelah melahirkan bayi

didapat : Postmatur sign grade II pada bayi, keadaan plasenta yang layu dan terdapat

adanya kalsifikasi, dan penilaian Dubowitz score oleh bagian pediatri ternyata didapat

sekitar 41-42 minggu.

Pada dasarnya penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah merencanakan

pengakhiran kehamilan, baik dengan jalan menginduksi persalinan ataupun seksio sesarea,

tergantung dari pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilaian pelvic score (PS). Induksi

22

oksitosin dilakukan apabila kesejahtreraan janin baik dan PS lebih atau sama dengan 5.

Begitu diagnosis posterm ditegakkan, kemudian dinilai kesejahteraan janin dan pelvic

score.

Untuk mengetahui kesejahteraan janin, dilakukan pemeriksaan USG dan NST. Hasil

NST didapat dalam batas normal : gerakan janin 11 kali / 20 menit, terdapatnya akselerasi

tiap gerakan janin. Denyut jantung janin (fetal heart rate) didapat dalam batas normal

dengan baseline 130-140,regular, variabel 15-20, terdapat akselerasi tanpa adanya

deselarasi. Hasil USG didapat : FHB (+), , FHB +, BPD ~ 39 – 40 WSD, FL ~ 39 – 40

WSD, AK Oligohidramnion (Indeks cairan amnion 4 cm) , Plasenta grade III. Sedangkan

untuk mengetahui ada tidaknya pewarnaan mekonium tidak dilakukan amniosentesis,

dikarenakan sulit dilakukan pada pembukaan kurang dari 2 cm,bersifat invasif, selain juga

tidak tepat menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua kasus

postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya ± 30 – 40%

kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia.

Untuk lebih tepat lagi dalam menentukan tingkat kesejahteraan janin dinilai dengan

Biophysical profil oleh Manning, dkk (1986) adalah yang pertama menggunakan

multimodal evaluasi terhadap: 5 parameter yaitu; reakatifitas DJJ, gerakan badan, gerakan

nafas, tonus janin dan volume cairan amnion (kualitatif). Aktivitas biofisik janin dapat

dipandang sebagai cermin aktivitas dan enerji SSP. Selama aktivitas biofisik masih dalam

keadaan normal, berarti jaringan SSP janin masih berfungsi penuh dan tidak mengalami

hipoksemia. Asfiksia (hipoksemia) janin menyebabkan aktivitas biofisik janin (seperti

gerakan nafas, gerakan tubuh, dan tonus) berkurang atau menghilang. Pemeriksaan profil

biofisik dilakukan dengan menggunakan alat usg real-time dan ktg. Gerakan nafas janin

pada pemeriksaan USG dapat diketahui dengan mengamati episode gerakan ritmik dinding

dada ke arah dalam disertai dengan turunnya diafragma dan isi rongga perut; kemudian

gerakan kembali ke posisi semula. Gerakan janin pada pemeriksaan USG diketahui dengan

mengamati gerakan tubuh ekstremitas, berupa gerakan tunggal atau multipel, Gerakan

janin dianggap normal apabila selama 30 menit pemeriksaan terlihat sedikitnya 3 gerakan

tubuh. Tonus janin denmgan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi

ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ki posisi fleksi.

Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka

(ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal, gerakan tersebut

23

terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal

apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan. Setiap

parameter diberi skor 2 bila baik dan 0 bila dianggap abnormal. Bila ditemukan skor > 6

maka risiko kecil sekali untuk kematian perinatal, namun dengan nilai dibawah itu tes

dilakukan berulang dan risiko sangat besar bila skor < 4. Janin reaktif bila ditemukan 2 kali

akselerasi (> 15 dpm). Asumsi kesejahteraan janin baik pada kasus ini tidak berdasar

temuan biophysical profil tetapi atas hasil temuan dari NST yang masih dalam batas

normal.

Penilaian Pelvic score berdasar temuan pemeriksaan dalam VT didapat Pø 1 jari :

1 , efficement 50% : 1, lunak : 2, medial : 1, penurunan -3 : 0. Pelvic score = 5 sehingga

dianggap cukup matang untuk dimulainya induksi persalinan dengan oksitosin.

Keputusan untuk melakukan induksi persalinan pada kasus ini sudah tepat karena

asumsi kesejahteraan janin baik, pelvic score = 5 , serta tidak didapatkan kontraindikasi

induksi oksitosin yaitu : janin diperkirakan bisa lahir pervaginam, tanpa ada kelainan

panggul, kelainan letak dan atau kelainan besar dan ukuran janin, presentasi janin kepala,

tidak merupakan suatu plasenta previa, solutio plasenta dan bekas sectio. Induksi oksitosin

dimulai pada pukul 11.15 WITA. Selama perjalanan induksi dilakukan monitoring dengan

electronic fetal heart rate continnue monitoring (EFHCM). Dalam perjalanannya induksi

oksitosin serial pertama yaitu pada pukul 13.30 mulai menimbulkan HIS adekuat untuk

memicu pembukaan serviks , tapi selama pemantauan monitor EFHCM pada jam 15.40

dijumpai bentuk KTG patologis ( base line di atas normal : 170, adanya variabilitas lebih

dari 25 ) yang menandakan suatu keadaan hipoksia janin. Bila takhikardi disertai gambaran

variabilitas denyut jantung janin yang masih normal biasanya janin masih dalam kondisi

baik. Tetapi pada kasus ini dengan terdapatnya variabel yang lebih dari 25 dpm merupakan

suatu keadaan patologis. Variabel Saltatory : bila variabel amplitudo lebih dari 25 dpm

Saltatory merupakan tanda peningkatan kebutuhan sirkulasi darah janin, misalnya awal

kompresi tali pusat. Disimpulkan kondisi janin dalam keadaan gawat sehingga diambil

langkah sectio cesaria. Dilakukan sectio saesaria dilahirkan bayi laki-laki dengan berat

badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang kering , keriput dan mengelupas

disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus + , sisa air ketuban tercampur

mekonium, volume kurang, tali pusat layu. Tampak disini tanda-tanda postmatur pada

bayi, adanya pewarnaan mekonium tetapi ternyata A-S baik.

24

Dalam sehari-hari sering dijumpai dalam pemantauan gambaran kardiotokografi

yang menyimpang dari normal, namun saat lahir bayi dalam kondisi baik. Dikatakan dalam

literatur sensitivitas KTG dalam mendeteksi adanya gawat janin hanya sebesar 23 %. Tapi

bila hasil KTG didapat normal kemungkinan memang 70 % janin dalam keadaan baik.

Untuk lebih tepatnya dalam menilai adanya kegawatan janin seharusnya dilakukan

pemeriksaan tambahan Scalp Blood Sampling untuk bisa menilai tingkat keasaman darah

janin, bila didapat pH< 7,2 adalah hipoksia berarti terjadi kegawatan janin sedangkan bila

di atas 7,2 berarti janin dalam keadaan baik. Istilah gawat janin atas dasar gambaran KTG

saja sebenarnya sering menyesatkan. Ketidak pastian terjadi karena pola perubahan denyut

terjadi karena proses fisiologik (akibat reaksi reseptor kimia atau tekanan).

Pengeluaran mekonium pada masa persalinan dapat terjadi secara akut dan kronik.

Suatu keadaan akut adalah suatu tahap kompensasi gawat janin. Kalau saturasi oksigen

pada vena umbilikalis menurun sehingga menyebabkan hipoksia otot polos saluran

gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin. Adapun

suatu keadaan kronik yang dapat terjadi pada kehamilan posterm karena semata-mata

sudah terjadi pematangan fungsi gastrointestinal, janin sudah mulai BAB mengeluarkan

mekonium. Tidak semua kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami

hipoksia. Tanda asfiksisa disini tidak bisa dilihat hanya dengan adanya pewarnaan

mekonium. Bisa jadi merupakan suatu proses yang kronik, dan janin tidak mengalami

keadaan hipoksia ataupun sebelumnya sudah terjadi pewarnaan mekonium oleh suatu

proses yang kronik untuk kemudian karena fungsi plasenta menurun , atau adanya belitan

tali pusat karena oligohidramnion menyebabkan keadaan hipoksia akut lalu mewarnai air

ketuban yang sebelumnya sudah hijau oleh proses yang kronik tadi. Hanya ± 30 – 40%

kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia.

Asfiksia janin merupakan serangkaian keadaan yang bervariasi mulai dari yang paling

ringan (berupa episode hipoksemia transien yang tidak disertai asidosis), sampai yang berat

(hipoksemia yang permanen dan disertai asidosis metabolik atau respiratorik). Hipoksia

ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, ,hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang

kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan akumulasi

asam kemudian berakibat kegagalan multiorgan yang manifestasi pada penilaian A-S

tampak jelas nilainya kecil. Pada kasus ini bisa kemungkinan merupakan suatu episode

hipoksemia transien yang tentunya didapat gambaran KTG patologis tetapi hasil temuan

25

tanda hipoksia janin sewaktu dilahirkan didapat A-S yang bagus. Tapi tidak dapat

dipungkiri bisa ada kemungkinan dikarenakan penilaian A-S yang bersifat subyektif.

Karena itu seharusnya pemeriksaan tambahan pH darah tali pusat diperlukan.

KESIMPULAN

1. Kehamilan posterm terjadi penurunan fungsi plasenta, terjadi gangguan suplai

oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin, risiko

morbiditas dan mortalitas perinatal lebih tinggi daripada bayi aterm.

2. Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung

melebihi 42 minggu (294 hari).

3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:

26

a. HPHT jelas yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid

teratur

b. dirasakan gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu

c. terdengar denyut jantung janin (djj) (normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-

20 minggu dengan fetoskop)

d. tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari HPHT.

4. Prinsip penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah pengakhiran kehamilan. Setelah

diagnosis kehamilan lewat waktu telah ditegakkan selanjutnya penatalaksanaan

tergantung pada penilaian kesejahteraan janin dan pelvic score. Bila kedua penilaian di

atas tepat sehingga penatalaksanaanya rasional. Setiap kesejahteraan janin yang buruk

dilakukan langkah seksio sesaria, bila kesejahteraan janin yang baik atau

mencurigakan dengan serviks yang sudah matang dilakukan terminasi induksi

oksitosin.

5. Pemeriksaan kesejahteraan janin dilakukan dengan NST dan USG. Lebih ideal lagi

dilakukan pemeriksaan biophysical profil. Hasil sensitivitas NST yang rendah (23%)

dapat memberikan positip palsu sehingga semestinya diperlukan pemeriksaaan Scalp

Blood sampling untuk menilai pH darah janin yang dapat memberikan gambaran

asfiksia lebih baik.

6. Penilaian pelvic score didapat dari pemeriksaan dalam meliputi pembukaan portio,

pelunakkan, efficement, arah portio, dan penurunan kepala.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC, et al. Postterm Pregnancy. In: The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2002. p: 118-9.

2. Barton JR. Prolonged Pregnancy. In: Clinical Manual Obstetric 2nd Edition. New York : McGraw Hill Inc. 1993. p: 313-29.

3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy.In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:729-42.

27

4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy. In: William, Manual of Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:418-20.

5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Phisiological and Biochemical Processes of Parturition. In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:251-87

6. Pedoman Diagnosis – Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar. 2003

7. Priyono. Profil Persalinan Postterm di RS Sanglah periode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2002(penelitian deskriptif). Denpasar: Bag./SMF Obgin FK Unud. 2003.

8. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kehamilan Lewat Waktu. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999. hal:317-20.

9. Odutayo ,Rotimi , Odunsi , Kunle , Post Term Pregnancy. Available from : http://www.Hygeia.com/clindisc/vo2no9.html.Last Updated: 1997. Accessed: October 3th 2006

10. Torriceli,M., Giovanelli, A., Maternal plasma corticotrophin-releasing factor and urocortin levels in post-term pregnancies. Available from :www.pubmed.gov/Eur J Endocrinol/vol3no7html. Last Updated: 2006 Feb. Accessed: October 3th 2006

28