postterm 2
-
Upload
sherly-royda-dewi -
Category
Documents
-
view
111 -
download
6
description
Transcript of postterm 2
BAB I
PENDAHULUAN
Awal abad ke-20 menganggap kehamilan yang melebihi waktu (kehamilan postterm)
bukanlah suatu masalah, kecuali kehamilan tersebut dihubungkan dengan makrosomia atau
persalinan yang sulit. Induksi persalinan direkomendasikan hanya untuk mencegah
pertumbuhan janin sehingga tidak terjadi distosia. Pada tahun 1950-an dipertimbangkan
suatu intervensi karena meningkatnya kemungkinan kematian perinatal pada umur
kehamilan lebih dari 42 minggu.1
Adalah Ballantyne pada tahun 1902 yang pertama membuat referensi tentang
kehamilan posterm di obstetrik modern. Tahun 1954 Clifford menggambarkan lebih jelas
sebuah sindrom yang ditemukan pada bayi lahir setelah melewati tanggal kelahiran yang
diperhitungkan , seperti misalnya ditemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion
dan tanda distress fetus. Auberg(1962) dan Lanman(1968) juga membuktikan bahwa
terjadi peningkatan risiko kematian intrapartum berhubungan dengan kehamilan lewat
waktu ini dan penelitian dari Skandinavia membuktikan bahwa kehamilan lewat waktu
berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perinatal. Sebuah penelitian dari Dublin
meneliti risiko postmatur pada 6301 kehamilan lewat 42 minggu. Pada kehamilan posterm
ini kematian intrapartum empat kali lipat lebih besar dan kematian neonatus tiga kali lebih
besar dibanding dengan mereka yang lahir tidak melewati waktu
, dan kejang neonatus sepuluh kali lebih besar dibanding yang normal. Setelah tahun 1970-
an itu barulah dapat diterima bahwa kematian perinatal meningkat pada kehamilan
postterm dan hal tersebut mendorong dilakukan intervensi untuk persalinan atau penelitian
tentang kesehatan janin. 9
Crowley juga membandingkan antara 247 wanita yang melahirkan setelah 42
minggu dengan 247 wanita yang melahirkan antara 37 sampai 42 minggu sebagai kontrol
dalam penelitian : menemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion terjadi dua kali
lebih sering pada wanita yang hamil lewat waktu. 9
Wanita dengan kehamilan postterm cenderung memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami robekan jalan lahir yang luas karena makrosomia, peningkatan risiko terjadinya
infeksi dan komplikasi luka jalan lahir serta perdarahan post partum. Mereka juga berisiko
lebih besar menjalani seksio sesaria sehubungan dengan makrosomia, gawat janin maupun
1
kegagalan dan komplikasi induksi persalinan.2,6 Risiko morbiditas perinatal pada kehamilan
postterm 2-3 kali lebih banyak daripada kehamilan aterm. Sedangkan mortalitasnya
meningkat lebih kurang 3 kali dibandingkan kehamilan aterm dimana 30% kematian
tersebut terjadi sebelum persalinan, 55% dalam persalinan dan 15% pasca persalinan.6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Istilah postterm, postdates, prolonged dan postmature sering salah digunakan dalam
mengartikan kehamilan yang melebihi waktu dari batas normal. Menurut American
College of Obstetricians ad Gynecologist (1997), postterm adalah kehamilan 42 minggu
penuh (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT), dengan
asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah haid terakhir.1,7 Sedangkan menurut Federation of
Gynecologist and Obstetrians (FIGO), postterm merupakan kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu terhitung dari HPHT dan siklus menstruasi 28 hari.2,4
2
Umur kehamilan dan perkiraan hari kelahiran ditentukan dengan rumus Naegele.1,2,6
Meskipun kemungkinannya adalah 10% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya
mungkin bukan benar-benar postterm karena kekeliruan menentukan usia kehamilan. Hal
ini mungkin disebabkan karena kekeliruan mengemukakan tanggal haid yang terakhir,
siklus haid yang tidak teratur dan siklus haid yang terlampau panjang.1 Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa postterm sinonim dengan postdate dan prolonged
pregnancy.1,2,6
Terminologi postmatur digunakan untuk menjelaskan kehamilan lewat waktu yang
disertai penampakan klinis postmatur pada bayi yang dilahirkan. Variasi dalam siklus
menstruasi menjelaskan mengapa pada kehamilan manusia yang mencapai umur 42
minggu penuh hanya sekitar 5-10% yang menghasilkan bayi dengan sindroma postmatur
yaitu: tidak ada lanugo, rambut lebat, kuku panjang, kulit keriput dan kering, pewarnaan
mekonium pada kulit, verniks tidak ada atau sedikit, wajah tampak tua, tubuh kurus,
dengan tungkai panjang.1,2,6
2.2 INSIDEN
Secara umum insiden postterm berkisar antara 4 – 14%.1 Di Indonesia angka kejadian pada
beberapa Rumah Sakit pendidikan berbeda-beda. Suastika (1997) melaporkan angka
kejadian postterm di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebesar 9,5%.3 Adenia dkk (1999)
melaporkan angka kejadian postterm di RSUP H.Adam Malik sebesar 6,71%.4 Priyono
(2003) melaporkan angka kejadian postterm di RSUP Sanglah sebesar 3,46% untuk
periode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2002.7
Ada kecenderungan pada beberapa ibu terjadi persalinan postterm berulang. Faktor-
faktor lain yang dinyatakan berhubungan antara lain paritas, sosial ekonomi dan umur ibu.
Analisis dari 27.677 kelahiran pada wanita Norwegia ternyata ditemukan bahwa insiden
kelahiran postterm berikutnya bertambah dari 10% menjadi 27% jika kelahiran pertama
postterm dan menjadi 39% apabila mengalami 2 kali berturut-turut persalinan postterm.1
2.3 ETIOPATOFISIOLOGI
Etiologi terjadinya postterm sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan hal ini
berkaitan dengan belum jelasnya etiologi proses persalinan.
3
Teori” Sistem Komunikasi Organ” mengatakan bahwa janin memberikan isyarat
kepada ibu bila pematangan dari organ-organ janin sudah sempurna.8 Bahwa kortisol fetus
menyebabkan plasenta mengurangi produksi progesteron. Hal ini selanjutnya akan
menimbulkan kenaikan prostaglandin dalam amnion yang berguna untuk stimulasi
penipisan serviks dan kontraksi ritmik uterus yang merupakan ciri khas proses persalinan.8
Pada kasus postterm, penurunan konsentrasi estrogen tidak cukup untuk menstimulasi
pelepasan prostaglandin dan proses persalinan sehingga kehamilan berlangsung lewat
waktu.1 Pada informasi terakhir ini diketahui ada peran hormonal Corticotropin-releasing
factor (CRF) dan urocortin yang merupakan dua neuropeptid plasenta yang terlibat dalam
mekanisme kelahiran dengan memodulasi aktivitas myometrial. CRF dan urocortin
meningkat pada plasma ibu pada kehamilan aterm, sementara CRF rendah pada wanita
yang mengalami kehamilan lewat waktu. 10
Ada beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan kehamilan postterm
antara lain: 9
1. Ketidaktahuan haid terakhir
Paling sering terjadi dan berhubungan dengan pemeriksaan antenatal yang
terlambat atau tidak sama sekali.
2. Ovulasi yang ireguler / fase folikuler yang berlebihan
Jika ovulasi dan fertilisasi dianggap terjadi 2 minggu sebelum HPHT maka fase
folikuler yang bervariasi dapat menyebabkan perkiraan usia kehamilan yang
berlebihan.
3. Perbandingan progesteron dan estrogen
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penundaan produksi estrogen yang akan
menyebabkan penundaan persalinan seperti :
o Menurunnya produksi 16-α-hidroksidehidroisoandrosteron sulfat yang
merupakan prekursor untuk produksi estriol, misalnya pada kasus
anensefalus.
o Hipoplasia adrenal mempunyai efek penurunan produksi prekursor untuk
sintesa estriol.
o Defisiensi sulfatase plasenta, suatu penyakit X-linked herediter yang dapat
mencegah konversi prekursor estrogen sulfat menjadi estrogen oleh
plasenta yang ditandai dengan kadar estriol,yang rendah.
4
4. Umur ibu
Angka kejadian postterm meningkat pada umur ibu dibawah 19 tahun dan diatas 30
tahun. Mead dan Marcus (1988) mendapatkan angka kejadian postterm yang paling
tinggi pada umur 21 – 25 tahun baik pada primi / multigravida.
5. Paritas
Angka kejadian postterm lebih tinggi pada primigravida dibandingkan dengan
multigravida.
6. Jenis kelamin janin
Janin laki -laki 5% lebih banyak menjadi postterm dibandingkan jika janinnya
perempuan. Kemungkinan terjadinya gawat janin juga lebih besar.
7. Hubungan dengan siklus haid
Angka kejadian postterm pada ibu dengan siklus haid yang panjang 13,2 % lebih
tinggi dibandingkan ibu dengan siklus haid normal.
8. Sosioekonomi
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kejadian postterm lebih sering terjadi pada
ibi-ibu dengan sosioekonomi rendah.
9. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti anensefalus, hidrosefalus, dan kelainan congenital
lainnya berhubungan dengan bertambahnya angka kejadian postterm.
Fungsi plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun
setelah 42 minggu, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% dari 500-700 ml/menit
menjadi 250ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta ,terlihat juga menurunnya kadar
estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi juga spasme arteri spiralis plasenta.
Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh
kembang janin intrauterin. Volume air ketuban juga berkurang karena mulai terjadi
absorpsi. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm ± 800 ml dan akan menurun
menjadi ± 480 ml, 250 ml dan 160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu1.
Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk janin.
Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi : 30% prepartum, 55%
intrapartum, 15% postpartum.
5
2.4 DIAGNOSIS
Sangat jelas dari literatur bahwa diagnosis dari kehamilan lewat waktu adalah sulit.
Definisi waktu kehamilan dari WHO didasarkan dari data statistik dilihat dari tanggal
menstruasi. Telah dibuktikan bahwa meskipun HPHT telah diketahui secara akurat, tapi
bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya sebagai tanggal tepat konsepsi. Hal ini
karena onset ovulasi dalam siklus menstruasi mungkin bervariasi dari satu siklus ke
siklus berikutnya. Penentuan ‘waktu ‘ ini membawa implikasi klinis yang penting. 9
Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung
melebihi 42 minggu (294 hari). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: HPHT jelas
yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid teratur, dirasakan
gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu, terdengar denyut jantung janin (djj)
(normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-20 minggu dengan fetoskop), umur
kehamilan yang sudah ditetapkan dengan USG, dan pada umur kehamilan kurang atau
sama dengan 20 minggu, tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari
HPHT.1,3,4,8
2.4.1 Menilai umur kehamilan
a. Berdasarkan haid terakhir
Menilai umur kehamilan postterm kadang sulit karena kebanyakan wanita tidak
mengetahui hari pertama haid terakhir (HPHT) dan siklus haid yang tidak teratur.
Umur kehamilan berdasar HPHT dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Naegele (tanggal +7 / bulan –3 / tahun +1) jika siklus haid teratur.1,6
b. Denyut jantung janin
Denyut jantung janin mulai terdengar pada umur kehamilan 19-20 minggu
dengan stetoskop Laenec sementara dengan Doppler denyut jantung janin mulai
didengar pada umur kehamil;an 12 minggu.1,10
c. Gerakan janin
Gerakan janin pertama kali dapat dirasakan pada umur kehamilan 18-20 minggu.
Gerakan ini akan bertambah intensitasnya secara bertahap.8
d. Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan USG usia kehamilan dapat ditentukan secara dini. Ukuran
biparietal distance (BPD) dan lingkar abdomen (abdominal perimeter / AP atau
6
abdominal sircumference / AC) janin yang tidak bertambah atau malah mengecil
sangat bernilai untuk mendiagnosa kehamilan postterm. USG menjadi gold
standard untuk menetapkan umur kehamilan terutama jika dilakukan pada
trimester pertama. Sampai umur kehamilan 12 minggu, pengukuran crown-to-
rump length (CRL) memberikan ketepatan taksiran persalinan ± 4 hari. Melewati
umur kehamilan 12 minggu, CRL tidak reliabel lagi dijadikan patokan. Pada
umur kehamilan 14-20 minggu digunakan patokan pengukuran diameter
biparietal (BPD) dan femur length yang mempunyai ketepatan taksiran persalinan
± 7 hari.1,8
2.4.2 Pemeriksaan sitologi vagina
Pemeriksaan sitologi vagina pada kehamilan aterm akan dijumpai sel superfisial,
intermedier dan sel parabasal. Sedangkan gambaran sitologi vagina pada kehamilan
postterm hanya akan ditemukan sel superfisial dan parabasal tanpa sel intermedier. Indikasi
insufisiensi plasenta dan gawat janin perlu dipikirkan jika pada pemeriksaan ini hanya
dijumpai sel parabasal dan indek piknotik > 20%. 8
2.5 EFEK KEHAMILAN POSTTERM PADA JANIN DAN IBU
2.5.1 Efek pada janin
Kehamilan postterm yang tidak terdapat gangguan fungsi plasenta, janin akan tumbuh terus
menjadi bayi besar (makrosomia). Hal tersebut akan menyebabkan distosia bahu dan
disproporsi fetopelvik yang dapat menyulitkan proses persalinan.1
Insufisiensi plasenta merupakan salah satu efek kehamilan postterm. Pada keadaan ini,
pasokan nutrisi dan oksigen ke janin menurun sehingga dapat terjadi gangguan
pertumbuhan dan hipoksia. Sehingga saat lahir, bayi kehilangan berat badan yang cukup
banyak. Pada kasus yang berat ekstremitas tampak kurus dan panjang, deskuamasi
epidermis yang berat, kuku dan amnion mendapat pewarnaan empedu. Risiko gawat janin
meningkat tiga kali pada fungsi plasenta yang menurun. Turunnya saturasi oksigen
dibawah 10 % tidak akan dapat dikompensasi lagi sehingga dapat menyebabkan kematian
janin.1
7
Janin pada kehamilan postterm berisiko tinggi untuk terjadinya aspirasi mekonium.
Pengeluaran mekonium pada masa persalinan adalah suatu tahap kompensasi gawat janin.
Pengeluaran mekonium terjadi kalau saturasi oksigen pada vena umbilikalis menurun
mencapai 30% ( saturasi minimal 40% ) sehingga menyebabkan hipoksia otot polos
saluran gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin.1
Oligohidramnion sering dijumpai pada kehamilan postterm. Beberapa peneliti
menemukan bahwa penyebab gawat janin terbanyak pada kehamilan postterm adalah
oligohidramnion, dibandingkan dengan insufisiensi uteroplasenta.13 Penurunan jumlah
cairan amnion dapat disertai dengan penekanan tali pusat sehingga menimbulkan gawat
janin. Janin dengan cairan amnion yang sedikit dan mengandung mekonium akan
mengalami risiko asfiksia 33%.1,6 Cairan amnion yang pekat karena mengandung
mekonium meningkatkan kemungkinan terjadinya meconium aspiration syndrome.8
Sehingga dapat disimpulkan bahwa bayi yang dilahirkan dalam keadaan postterm
mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi daripada bayi
aterm.
8
GAMBARAN KLINIS BAYI POSTTERM
Hanya sekitar 5-10% dari kehamilan postterm yang menghasilkan bayi dengan sindroma
postmatur.1,2 Pada kehamilan postterm terjadi perubahan fisiologis yang dapat dilihat
sebagai tanda-tanda postmatur. Pertama hilangnya verniks kaseosa dan efeknya pada otot.
Dengan bertambah tuanya kehamilan, verniks kaseosa makin tipis karena larut dalam
cairan amnion. Sementara pada kehamilan postterm tidak terdapat lagi verniks kaseosa.
Hal ini menyebabkan terjadinya pengelupasan lapisan epidermis kulit. Pada saat lahir
lapisan epidermis tetap utuh karena daya kohesi dari kulit yang basah oleh cairan amnion.
Tetapi ketika permukaan kulit mulai kering maka lapisan epidermis ini akan mengeras
seperti kertas perkamen, pecah-pecah dan mengelupas.6
9
Perubahan kedua adalah akibat penuaan plasenta. Hal ini dihubungkan dengan
pertumbuhan dan berat badan janin. Dari penelitian diketahui bahwa janin tumbuh pesat
sampai umur kehamilan 260 – 280 hari, selanjutnya pertumbuhan akan berjalan relatif
lambat. Pada kehamilan postterm pertumbuhan hanya terbatas pada beberapa organ
tertentu seperti kuku dan rambut.10
Tanda-tanda kehamilan postterm dibagi dalam tiga stadium: 10
1. Stadium I
Kulit menunjukkan gambaran akibat kehilangan verniks kaseosa sehingga menjadi
kering, rapuh, keriput dan mengelupas. Tidak ada pewarnaan mekonium. Keadaan
umum menunjukkan adanya kegagalan plasenta untuk menunjang pertumbuhan
yang normal sehingga bayi terlihat kurang gizi, wajah tua dan selalu waspada.
2. Stadium II
Semua gejala stadium I ditambah pewarnaan mekonium pada kulit. Selaput ketuban
dan tali pusat berwarna kehijauan.
3. Stadium III
Semua gejala stadium I dan II disertai pewarnaan mekonium yang kuning terang pada kuku
dan kulit, serta kuning kehijauan pada tali pusat
2.5.2 Efek pada ibu
Efek kehamilan postterm pada ibu berhubungan dengan meningkatnya persalinan secara
operatif, baik seksio sesaria maupun tindakan operatif pervaginam. Hal ini terjadi karena
makrosomia, oligohidramnion berat sehingga induksi persalinan tidak dapat dilakukan,
gagal drip dan gawat janin.1,3
Tindakan operatif pervaginam meningkatkan risiko laserasi jalan lahir. Seksio sesaria
sangat meningkatkan risiko infeksi post partum, perdarahan, komplikasi luka operasi,
emboli pulmonal, dan mortalitas ibu.13 Morbiditas ibu tidak saja pada kehamilan sekarang
tetapi juga pada kehamilan yang berikutnya.1,3
2.6 PENATALAKSANAAN
Kematian neonatal pada postterm dapat terjadi selama kehamilan, persalinan maupun
setelah lahir. Mengingat bahwa angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada postterm
cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan, diperlukan penanganan
yang serius dan cermat meliputi pengawasan kesejahteraan janin, penanganan intrapartum
dan penanganan post partum.5,6
10
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengawasan kesejahteraan janin
(fetal survaillance) yang mana hal ini perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan
lebih lanjut kehamilan postterm.
a.Gerakan janin
Gerakan janin dapat mencerminkan kesejahteraan janin. Gerakan janin dapat
ditentukan secara subjektif ( normal rata- rata 7 kali / 20 menit ) atau objektif dengan
tokografi NST ( normal rata – rata 10 kali / 20 menit ). Janin masih dianggap baik
bila dirasakan sedikitnya 10 gerakan / 12 jam. Hasil non reaktif apabila tidak terdapat
gerakan janin selama 20 menit pemeriksaan atau tidak terdapat akselerasi gerakan
janin.Gerakan janin akan berkurang 12 – 48 jam sebelum janin meninggal.5,6
b. Volume cairan amnion
Penilaian volume cairan amnion yang dilakukan dengan ultrasonografi pada berbagai
penelitian menunjukan bahwa kehamilan postterm dengan oligohidramion
mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan tanpa
oligohidramion. Hal ini disebabkan adanya penekanan tali pusat akibat berkurangnya
efek bantalan cairan amnion pada oligohidramion.
Oligohidramion didefinisikan sebagai:
1. Pengukuran kedalaman kantung cairan amnion terbesar <2 cm (normal 2- 8
cm).
2. Indeks cairan amnion < 5 cm ( normal 5 –20 cm).
Penentuan volume cairan amnion berdasarkan indeks cairan amnion dianggap lebih
baik dibandingkan teknik pengukuran 1 kantung amnion.9
c.Pewarnaan mekonium pada cairan amnion
Pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion oleh janin masih dipakai sebagai
indikator keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Pewarnaan mekonium
pada cairan amnion dapat dinilai dengan pemeriksaan amnioskopi dan amniosentesis.
Tetapi tidak tepat menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua
kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya ±
30 – 40% kasus posttermdengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion
mengalami hipoksia. Selain itu pemeriksaan ini sulit dilakukan pada pembukaan
kurang dari 2 cm, sering terjadi false negatif dan memerlukan pengalaman dari
pemeriksa.1,8
11
d. Penilaian denyut jantung janin (fetal heart rate)
Penilaian denyut jantung janin dapat dilakukan dengan dua cara :
1) Non Stress Test (NST)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan merekam terus menerus denyut jantung janin
menggunakan alat KTG selama 30 menit. Keadaan yang reaktif ditandai dengan
akselerasi denyut jantung janin > 15 dpm, sekurang – kurangnya 2 kali/15 menit.
Normalnya djj aterm 120 – 160 dpm. Denyut jantung janin yang ireguler sering
menunjukkan insufisiensi plasenta dan janin dalam keadaan asfiksia. Bradikardi
dimana denyut jantung janin < 110 dpm, merupakan keadaan yang berbahaya dan
berhubungan dengan hipoksia intrauterin sedangkan pada takikardi djj > 160 dpm
disamping merupakan tanda hipoksia, juga merupakan adanya infeksi atau reaksi
simpatis. NST merupakan pemeriksaan yang popular karena mudah dikerjakan
tetapi tidak efektif untuk pengawasaan intrauterin karena besarnya nilai negatif
palsu ( 3,2 / 1000 ) dan positif palsu ( 80 / 100 ). 1,3,6
2) Stress Test
Dasar pemeriksaan ini adalah pencatatan frekuensi denyut jantung janin untuk
mendeteksi asfiksia janin akibat kontraksi uterus sebagai rangsangan intermiten
terhadap janin. Pada tahap hipoksia akan timbul deselerasi selama kontraksi dan
takikardi diluar kontraksi. Dimana setiap kontraksi akan timbul reduksi sementara
aliran darah pada ruang interviler. Apabila cadangan oksigen fetoplasenter tidak
cukup lagi akan ditemukan denyut jantung janin yang patologis berupa takikardi
persisten, deselerasi variabel, deselerasi lambat dan deselerasi memanjang. Tes ini
dapat dilakukan dengan oxytocin challenge test ( OCT ) dan niplple stimulation
contraction stress test ( NSCST ). OCT disebut negatif jika tidak dijumpai
deselerasi lambat, positif jika ada deselerasi lambat pada ≥ 3 kontraksi uterus yang
berturut-turut dan meragukan jika sekali-sekali timbul deselerasi lambat / hanya
terjadi bila ada kontraksi yang hipertonus atau dalam pemantauan 10 menit
meragukan ke arah positif atau negatif dan takikardi positif. OCT meragukan maka
harus dilakukan pemeriksaan ulangan 1 – 2 hari kemudian. OCT dapat menunjukan
keadaan gawat janin karena gangguan respirasi dengan angka ketepatan 50 – 70%.
NSCST lebih praktis dan kurang invasif dibandingkan OCT tetapi mempunyai
kekurangan berupa kontraksi uterus yang berlebihan akibat hiperstimulasi. Untuk
12
mencegah hal ini stimulasi hanya dilakukan pada satu puting susu saja. Akurasi
NSCST ini sama dengan OCT.1,3,6
Penatalaksanaan intrapartum tergantung dari hasil pengawasan kesejahteraan janin ( fetal
surveillance ) dan penilaian pelvic score ( PS )6:
a. Bila kesejahteraan janin baik ( USG dan NST baik ):
PS ≥ 5 → dilakukan oksitosin drip
PS < 5 → dilakukan pemantauan serial NST dan USG setiap 1 minggu
sampai umur kehamilan 44 minggu atau PS ≥ 5.
b. Bila kesejahteraan janin mencurigakan.
PS ≥ 5 → dilakukan oksitosin drip dengan pemantauan KTG. Bila terdapat
tanda-tanda insufisiensi plasenta, persalinan diakhiri dengan seksio sesarea
(SC).
PS < 5 → dilakukan pemeriksaan ulangan keesokan harinya
Bila hasilnya tetap mencurigakan → dilakukan OCT
- hasil OCT (+) dilakukan SC
- hasil OCT (-) dilakukan pemeriksaan serial sampai 44
minggu / PS ≥ 5
- hasil OCT meragukan dilakukan pemeriksaan OCT ulangan
keesokan harinya.
Bila hasilnya baik → dilakukan pemeriksaan serial sampai 44 minggu / PS
≥ 5.
b. Bila kesejahteraan janin jelek (terdapat tanda-tanda insufisiensi plasenta), dilakukan
seksio sesarea.
Tabel.2.1 Penilaian Pelvic Score (Bishop Score)6
Faktor serviks Pelvic Score
0 1 2 3
Dilatasi 0 1 – 2 3 – 4 5+
Penipisan (%) 0 – 30 40 – 50 60 – 70 80 - 100
Penurunan -3 -2 -1 +1,+2
Konsistensi Kaku Sedang lunak
Posisi Posterior Medial Anterior
13
Sumber : Pedoman Diagnosis – Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar.2003
Sedangkan di RS Parkland protokol penanganan kehamilan postterm dapat digambarkan
sebagai berikut.
42 minggu penuh
Yakin Tidak yakin
HPHT Oligohidramnion ? Gerak anak ↓
1. Djj mulai 17-20 minggu no Kontrol tiap minggu no
atau
2. Fundus uteri antara 18-30
mgg ± 2 cm dari u.k yes Induksi persalinan yes
dari HPHT
3. USG sebelum 26 minggu
Gambar 2.1 Protokol manajemen penatalaksanaan kehamilan postterm di RS Parkland 3
Pada wanita yang pasti umur kehamilannya, induksi persalinan dilakukan pada umur
kehamilan 42 minggu. Hampir 90% induksi persalinan berhasil atau mengalami persalinan
setidaknya dalam 2 hari induksi. Jika belum melahirkan pada induksi yang pertama, maka
induksi kedua dilakukan pada 3 hari berikutnya. Hampir semua wanita dapat melahirkan
dengan cara tersebut tapi kadang-kadang ada juga sedikit yang belum dapat melahirkan
maka keputusan penanganannya adalah sepertiga induksi dibandingkan dengan seksio
sesaria.
Wanita yang dikategorikan kehamilan postterm dengan HPHT yang tidak yakin,
diamati seminggu tanpa intervensi apapun kecuali diduga ada gawat janin. Penanganan
selanjutnya berdasarkan keadaan klinis atau penurunan jumlah cairan amnion dari
gambaran hasil USG serta dengan penurunan gerak janin yang dilaporkan oleh ibunya.
Jika diduga ada gawat janin maka induksi persalinan dilakukan sama seperti kehamilan
14
postterm yang pasti umur kehamilannya. Penanganan ini telah berhasil hampir selama 20
tahun di RS Parkland dengan sangat sedikit kerugian pada janin atau bayi yang dilahirkan.3
2.7 KOMPLIKASI
Janin dengan kehamilan postterm berisiko terhadap hipoksia intrapartum, cedera berat
akibat proses persalinan pada distosia bahu dan aspirasi mekonium. Karena itu pada
penatalaksanaan persalinan postterm perlu diperhatikan hal- hal tersebut.1,8
a) Hipoksia intrapartum
Janin postterm berisiko untuk mengalami distress selama persalinan karena
penekanan tali pusat akibat oligohidramnion maupun insufisiensi plasenta. Yang
menarik, menurut Leveno dkk (1984) patofisiologi distress lebih disebabkan karena
penekanan tali pusat daripada insufisiensi plasenta. Pola denyut jantung janin yang
abnormal selama persalinan atau hipoksia neonatal dijumpai pada 12 - 30% kasus
kehamilan postterm dimana pemeriksaan antenatalnya normal. Untuk itu janin
perlu diawasi secara ketat selama persalinan sehingga intervensi yang diperlukan
dapat dilakukan saat itu. Amnioinfusi berguna untuk mengurangi deselerasi
variabel dan deselerasi memanjang yang umumnya diakibatkan oleh kompresi tali
pusat. Hal ini mungkin karena pulihnya bantalan cairan amnion. Mengubah posisi
ibu menjadi tidur miring dan pemberian oksigen pada ibu dapat memperbaiki
oksigenasi pada janin.
b) Distosia bahu
Jika janin tumbuh terus selama masa kehamilan postterm dapat tejadi makrosomia.
Perbedaan antara sirkumferensia dada dan diameter biparietal lebih besar 14 mm
berhubungan risiko 3 - 13% distosia bahu. Diketahui bahwa kesalahan dalam
memprediksi berat badan janin dengan USG sekitar 10 – 15% maka perlu
dipertimbangkan unuk melakukan seksio sesaria elektif jika berat badan janin ≥
4000 gram karena persalinan disfungsional dan distosia bahu akan terjadi pada
keadaan ini. Seksio sesaria dilakukan untuk meminimalkan morbiditas perinatal
sehubungan dengan distosia bahu pada kasus yang dicurigai.
c) Aspirasi mekonium
Frekuensi pewarnaan mekonium pada cairan amnion berkisar antara 22 –44% pada
kehamilan postterm. Mekonium cenderung menjadi pekat pada kehamilan postterm
karena sering bersamaan dengan oligohidramnion. Deteksi intrapartum terhadap
15
mekonium yang pekat berguna untuk mengurangi morbiditas akibat sindrom
aspirasi mekonium. Penyedotan mekonium dari nasofaring dan orofaring sebelum
dada lahir dan penyedotan mekonium pada endotrakea dibawah pita suara janin
segera setelah lahir efektif dapat menurunkan morbiditas sehubungan dengan
sindrom aspirasi mekonium. Dewasa ini tindakan amnioinfusi untuk mengencerkan
mekonium dalam cairan amnion juga disarankan untuk mengurangi morbiditas
tersebut.
.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : JKM
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Status Nikah : Menikah
Agama : Hindu
16
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Gerokgak, Gede, Tabanan
Tanggal MRS : 22-3-2006, pkl 10.45 WITA
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Hamil lewat waktu 14 hari
Os datang dikirim dari poliklinik RSU Tabanan dengan G2P1001,42-43 minggu
T/H pro terminasi kehamilan dengan induksi serial oksitosin drip sesuai protap. Os
tidak mersakan sakit perut hilang timbul, tidak keluar air, gerak anak masih
dirasakan baik.
2. Riwayat Menstruasi
Mensruasi umur 12 tahun, dengan siklus teratur setiap 28 hari, lamanya 5 hari
tiap kali menstruasi.
Hari pertama haid terakhir 14 Desember 2005
Nyeri saat menstruasi hampir tidak pernah dirasakan oleh penderita
3. Riwayat Antenatal Care (ANC)
Di bidan secara teratur setiap bulan , saat memasuki kehamilan tujuh bulan,
bidan mengatakan letak bayi normal dengan kepala di bawah , penderita tidak
pernah melakukan pemeriksaan USG.
4. Riwayat Persalinan
1. Laki-laki,3400 gr, lahir spontan, bidan,11 tahun
2. Ini
5. Riwayat Perkawinan
Penderita menikah satu kali dengan suami yang sekarang sudah 12 tahun
6. Riwayat KB
Os memakai KB suntik 2 bulan sejak anak pertama lahir, lalu berganti pil KB
tidak ingat kapan, dan berhenti ±1 tahun yang lalu (November 2005).
7. Riwayat Penyakit Dahulu
17
Penderita tidak memiliki riwayat penyakit Asma, penyakit Jantung, Hipertensi ,
Diabetes Melitus
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,5 ºC
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 155 cm
2.Status General
Mata : anemis (-)/(-), ikterus (-)/(-)
THT : kesan tenang
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pul : Vesikuler (+)/(+), rhonki (-)/(-), whz (-)/(-)
Abdomen : ~ status obstetri
Vagina : ~ status obstetri
Ekstremitas : edema (-)
3.Status Obstetri
Pemeriksaan Luar (Abdomen) :
Inspeksi : Tampak perut membesar disertai striae gravidarum.
Auskultasi : Denyut jantung terdengar paling keras di garis midline inferior
umbilikus,dengan frekuensi 12 11 12.
Palpasi : Pemeriksan Leopold didapatkan : I. Tinggi fundus uteri 3 jari
bawah prosesus Xiphoideus (30cm). Teraba bagian bulat dan lunak kesan
bokong; II. Teraba tahanan keras di kiri ( kesan punggung ); III. Teraba bagian
bulat , keras ( kesan kepala); IV. Bagian bawh sudah masuk 4/5 bagian dari pintu
atas panggul.
HIS (-)
18
Pemeriksaan Dalam (vagina) :
Vaginal toucher dilakukan pada pukul 11.00 WITA ( 5 Oktober 2006) didapatkan
hasil :
Pø 1 jari efficement 50%, lunak, medial, ketuban +, teraba kepala, sutura sagitalis
melintang, denominator belum jelas, penurunan Hodge I, tidak teraba bagian kecil
atau tali pusat.
D. Pemeriksaan Laboratorium ( 5 Oktober 2006)
WBC : 9,4 k/ul
HGB : 12,8 gr%
PLT : 340 k/ul
HCT : 39,5 %
E. Diagnosis Kerja
G2 P1001 42-43 minggu, T/H, Primitua sekunder, PBB 3565 gram , PS :5
F. Rencana Kerja
Rencana diagnosis : MRS
Terapi :
1. Terminasi kehamilan
2. Induksi serial dengan oksitosin drip sesuai protap, 5 oktober 2006
3. Monitor : Vital sign, DJJ, KTG saat inpartu
4. KIE : pasien dan keluarga tentang rencana indakan dan komplikasi perjalanan
penyakit.
G. Perjalanan Penyakit
Pada tanggal 5 oktober 2006 ( 11.15 WITA) diberikan induksi oksitosisn sesuai
protap (berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml dextrosa 5 % dimulai dengan tetesan 8 tetes
per menit ,dinaikkan kecepatan infus 4 tts/mnt tiap 15 mnt sampai kontraksi adekuat
/kontraksi 3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik. Tetesan maksimal sampai
40 tts/mnt atau his adekuat. Pada pasien, tetesan diberikan sampai 40 tts/mnt ).
19
Pada pukul 13.30 ( 5 okt 2006) setelah 2jam 15 mnt induksi yaitu pada tetesan 40
tts/mnt os mengeluh mulas perut hilang timbul. Pemeriksaan abdomen didapat HIS 2x/ 10
mnt selama 30 detik, djj 11 12 12, VT didapat didapat pembukaan 2cm,lunak , eff 50%,
medial, ket (+) , ttb bag kecil/tali pusat.
Pada pemantauan hingga pukul 15.00 WITA dari KTG didapatkan base line 130-
155 bpm, akselerasi +, deselerasi -, pada pukul 15.45 didapatkan base line 160-170 bpm,
deselerasi berulang + , pemeriksaan abdomen didapat HIS 3x/ 10 mnt selama 40 detik, Djj
takikardi yaitu 13 14 14, pemeriksaan VT didapat pembukaan 4cm,lunak , eff 50%, medial,
ket (+) , ttb bag kecil/tali pusat.
Kesimpulan : G2P1001 42-43 mg T/H PK 1 + KTG patologis.
Oleh karena itu diusulkan melakukan SC, menghubungi bagian pediatri, dan menyiapkan
darah, serta selalu memonitor DJJ preoperasi.
Pada pukul 16.45 (5 okt 2006), dilakukan SCTP, kemudian pada pukul 16.55 lahir
bayi laki-laki dengan berat badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang
kering , keriput dan mengelupas disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus
+ , sisa air ketuban tercampur mekonium, volume kurang, tali pusat layu, belitan tali pusat
satu kali. Pukul 17.00 lahir plasenta, lahir komplit, kalsifikasi + . Pada pengawasan 2 jam
post SC, kondisi ibu dalam batas normal. Pasca operasi , penderita diterapi dengan infus
per drip oksitosin dalam Dextrosa 5% :RL 2:1 selama 6 jam, Amoxycillin 3x I gr IV,
Tramal sup 3xI gr IV,Vit C 2x200 mg. Pada hari ke-2 pasca SC, infus off, terapi oral
Amoxycilin 3 x 500 mg, As Mefenamat 3 x 500 mg, Viterron 1 x I. Selama observasi
selama tiga hari , penderita tidak ada keluhan BAB dan BAK baik, flatus +, tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 80x/mnt, respirasi 20 x/mnt, status general dalam batas normal.
Pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, luka
operasi terawat baik, peristaltik usus normal, pendarahan aktif pervaginam (-), Lochia
(+)rubra.
Pada tanggal 9 Oktober 2006, pasien diijinkan pulang dengan anjuran kontrol di
poli satu minggu kemudian, ASI eksklusif selama 6 bulan, dan penggunaan KB
postpartum.
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Beberapa masalah pada kehamilan posterm adalah :
1.Penentuan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir seringkali tidak mudah,
karena ibu tidak ingat kapan tanggal hari pertama haid terakhirnya yang pasti.
2. Selain itu, penentuan saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah.
3.Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan : variasi siklus haid, kesalahan
perhitungan oleh ibu, dan sebagainya
21
Penentuan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir pasien bisa
diperkirakan karena pasien ingat kapan tanggal hari pertama haid terakhirnya (14
Desember 2005). Berdasar perhitungan rumus Naegle tafsir partus diperkirakan tanggal
21/9/06 ( kehamilan 40 mg), pada tanggal 5/10/06 umur kehamilan sudah mencapai 42
mg. Meskipun HPHT jelas tetapi penentuan saat ovulasi tidak pasti hal ini dikarenakan
bisa terdapatnya variasi siklus haid, bisa mungkin fase folikular pasien yang panjang
sehingga menjadikan penghitungan waktu kehamilannya menjadi berlebihan.
Dengan adanya pemeriksaan ultrasonografi (USG) : usia kehamilan dapat ditentukan lebih
tepat, dengan penyimpangan hanya lebih atau kurang satu minggu.
Pada kasus ini diagnosis kehamilan posterm dapat ditegakkan karena :
1. Hari pertama haid terakhir jelas dengan pola haid yang teratur ( mens tiap tgl 14 ±4
hari tiap bulannya )
2. Memberikan test kehamilan PPT yang positip saat periksa di puskesmas pada 1,5
bulan setelah HPHT ( 26 Jan 2006)
3. Dirasakan gerakan janin pada umur kehamilan 18 minggu.
4. Denyut jantung janin dapat terdengar menggunakan fetoskop pada umur
kehamilan 20 minggu selama ANC di bidan.
Bila masih meragukan, lebih tepatnya dilihat hasil pemeriksaan USG. Lebih baik bila pada
saat kehamilan 14 minggu, dilakukan pemeriksaan USG, hasil perkiraan umur kehamilan
berdasar USG dibandingkan dengan hasil perhitungan berdasar Naegle bila didapat < 3
hari maka perhitungan dari HPHT dapat dipakai sebagai penentuan umur kehamilan. Bila
hasil perhitungan USG dibanding perhitungan rumus Naegle didapat selisih > 3 hari maka
dipakai umur kehamilan berdasar perhitungan USG. Pada kasus disini karena selama ANC
kehamilan muda dilakukan di bidan dan selama itu pula tidak pernah dilakukan
pemeriksaan USG sehingga tidak bisa membandingkan hasil perhitungan Naegle dengan
hasil USG. Data yang menunjang kehamilan posterm kalau dilihat setelah melahirkan bayi
didapat : Postmatur sign grade II pada bayi, keadaan plasenta yang layu dan terdapat
adanya kalsifikasi, dan penilaian Dubowitz score oleh bagian pediatri ternyata didapat
sekitar 41-42 minggu.
Pada dasarnya penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah merencanakan
pengakhiran kehamilan, baik dengan jalan menginduksi persalinan ataupun seksio sesarea,
tergantung dari pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilaian pelvic score (PS). Induksi
22
oksitosin dilakukan apabila kesejahtreraan janin baik dan PS lebih atau sama dengan 5.
Begitu diagnosis posterm ditegakkan, kemudian dinilai kesejahteraan janin dan pelvic
score.
Untuk mengetahui kesejahteraan janin, dilakukan pemeriksaan USG dan NST. Hasil
NST didapat dalam batas normal : gerakan janin 11 kali / 20 menit, terdapatnya akselerasi
tiap gerakan janin. Denyut jantung janin (fetal heart rate) didapat dalam batas normal
dengan baseline 130-140,regular, variabel 15-20, terdapat akselerasi tanpa adanya
deselarasi. Hasil USG didapat : FHB (+), , FHB +, BPD ~ 39 – 40 WSD, FL ~ 39 – 40
WSD, AK Oligohidramnion (Indeks cairan amnion 4 cm) , Plasenta grade III. Sedangkan
untuk mengetahui ada tidaknya pewarnaan mekonium tidak dilakukan amniosentesis,
dikarenakan sulit dilakukan pada pembukaan kurang dari 2 cm,bersifat invasif, selain juga
tidak tepat menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua kasus
postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya ± 30 – 40%
kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia.
Untuk lebih tepat lagi dalam menentukan tingkat kesejahteraan janin dinilai dengan
Biophysical profil oleh Manning, dkk (1986) adalah yang pertama menggunakan
multimodal evaluasi terhadap: 5 parameter yaitu; reakatifitas DJJ, gerakan badan, gerakan
nafas, tonus janin dan volume cairan amnion (kualitatif). Aktivitas biofisik janin dapat
dipandang sebagai cermin aktivitas dan enerji SSP. Selama aktivitas biofisik masih dalam
keadaan normal, berarti jaringan SSP janin masih berfungsi penuh dan tidak mengalami
hipoksemia. Asfiksia (hipoksemia) janin menyebabkan aktivitas biofisik janin (seperti
gerakan nafas, gerakan tubuh, dan tonus) berkurang atau menghilang. Pemeriksaan profil
biofisik dilakukan dengan menggunakan alat usg real-time dan ktg. Gerakan nafas janin
pada pemeriksaan USG dapat diketahui dengan mengamati episode gerakan ritmik dinding
dada ke arah dalam disertai dengan turunnya diafragma dan isi rongga perut; kemudian
gerakan kembali ke posisi semula. Gerakan janin pada pemeriksaan USG diketahui dengan
mengamati gerakan tubuh ekstremitas, berupa gerakan tunggal atau multipel, Gerakan
janin dianggap normal apabila selama 30 menit pemeriksaan terlihat sedikitnya 3 gerakan
tubuh. Tonus janin denmgan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi
ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ki posisi fleksi.
Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka
(ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal, gerakan tersebut
23
terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal
apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan. Setiap
parameter diberi skor 2 bila baik dan 0 bila dianggap abnormal. Bila ditemukan skor > 6
maka risiko kecil sekali untuk kematian perinatal, namun dengan nilai dibawah itu tes
dilakukan berulang dan risiko sangat besar bila skor < 4. Janin reaktif bila ditemukan 2 kali
akselerasi (> 15 dpm). Asumsi kesejahteraan janin baik pada kasus ini tidak berdasar
temuan biophysical profil tetapi atas hasil temuan dari NST yang masih dalam batas
normal.
Penilaian Pelvic score berdasar temuan pemeriksaan dalam VT didapat Pø 1 jari :
1 , efficement 50% : 1, lunak : 2, medial : 1, penurunan -3 : 0. Pelvic score = 5 sehingga
dianggap cukup matang untuk dimulainya induksi persalinan dengan oksitosin.
Keputusan untuk melakukan induksi persalinan pada kasus ini sudah tepat karena
asumsi kesejahteraan janin baik, pelvic score = 5 , serta tidak didapatkan kontraindikasi
induksi oksitosin yaitu : janin diperkirakan bisa lahir pervaginam, tanpa ada kelainan
panggul, kelainan letak dan atau kelainan besar dan ukuran janin, presentasi janin kepala,
tidak merupakan suatu plasenta previa, solutio plasenta dan bekas sectio. Induksi oksitosin
dimulai pada pukul 11.15 WITA. Selama perjalanan induksi dilakukan monitoring dengan
electronic fetal heart rate continnue monitoring (EFHCM). Dalam perjalanannya induksi
oksitosin serial pertama yaitu pada pukul 13.30 mulai menimbulkan HIS adekuat untuk
memicu pembukaan serviks , tapi selama pemantauan monitor EFHCM pada jam 15.40
dijumpai bentuk KTG patologis ( base line di atas normal : 170, adanya variabilitas lebih
dari 25 ) yang menandakan suatu keadaan hipoksia janin. Bila takhikardi disertai gambaran
variabilitas denyut jantung janin yang masih normal biasanya janin masih dalam kondisi
baik. Tetapi pada kasus ini dengan terdapatnya variabel yang lebih dari 25 dpm merupakan
suatu keadaan patologis. Variabel Saltatory : bila variabel amplitudo lebih dari 25 dpm
Saltatory merupakan tanda peningkatan kebutuhan sirkulasi darah janin, misalnya awal
kompresi tali pusat. Disimpulkan kondisi janin dalam keadaan gawat sehingga diambil
langkah sectio cesaria. Dilakukan sectio saesaria dilahirkan bayi laki-laki dengan berat
badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang kering , keriput dan mengelupas
disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus + , sisa air ketuban tercampur
mekonium, volume kurang, tali pusat layu. Tampak disini tanda-tanda postmatur pada
bayi, adanya pewarnaan mekonium tetapi ternyata A-S baik.
24
Dalam sehari-hari sering dijumpai dalam pemantauan gambaran kardiotokografi
yang menyimpang dari normal, namun saat lahir bayi dalam kondisi baik. Dikatakan dalam
literatur sensitivitas KTG dalam mendeteksi adanya gawat janin hanya sebesar 23 %. Tapi
bila hasil KTG didapat normal kemungkinan memang 70 % janin dalam keadaan baik.
Untuk lebih tepatnya dalam menilai adanya kegawatan janin seharusnya dilakukan
pemeriksaan tambahan Scalp Blood Sampling untuk bisa menilai tingkat keasaman darah
janin, bila didapat pH< 7,2 adalah hipoksia berarti terjadi kegawatan janin sedangkan bila
di atas 7,2 berarti janin dalam keadaan baik. Istilah gawat janin atas dasar gambaran KTG
saja sebenarnya sering menyesatkan. Ketidak pastian terjadi karena pola perubahan denyut
terjadi karena proses fisiologik (akibat reaksi reseptor kimia atau tekanan).
Pengeluaran mekonium pada masa persalinan dapat terjadi secara akut dan kronik.
Suatu keadaan akut adalah suatu tahap kompensasi gawat janin. Kalau saturasi oksigen
pada vena umbilikalis menurun sehingga menyebabkan hipoksia otot polos saluran
gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin. Adapun
suatu keadaan kronik yang dapat terjadi pada kehamilan posterm karena semata-mata
sudah terjadi pematangan fungsi gastrointestinal, janin sudah mulai BAB mengeluarkan
mekonium. Tidak semua kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami
hipoksia. Tanda asfiksisa disini tidak bisa dilihat hanya dengan adanya pewarnaan
mekonium. Bisa jadi merupakan suatu proses yang kronik, dan janin tidak mengalami
keadaan hipoksia ataupun sebelumnya sudah terjadi pewarnaan mekonium oleh suatu
proses yang kronik untuk kemudian karena fungsi plasenta menurun , atau adanya belitan
tali pusat karena oligohidramnion menyebabkan keadaan hipoksia akut lalu mewarnai air
ketuban yang sebelumnya sudah hijau oleh proses yang kronik tadi. Hanya ± 30 – 40%
kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia.
Asfiksia janin merupakan serangkaian keadaan yang bervariasi mulai dari yang paling
ringan (berupa episode hipoksemia transien yang tidak disertai asidosis), sampai yang berat
(hipoksemia yang permanen dan disertai asidosis metabolik atau respiratorik). Hipoksia
ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, ,hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang
kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan akumulasi
asam kemudian berakibat kegagalan multiorgan yang manifestasi pada penilaian A-S
tampak jelas nilainya kecil. Pada kasus ini bisa kemungkinan merupakan suatu episode
hipoksemia transien yang tentunya didapat gambaran KTG patologis tetapi hasil temuan
25
tanda hipoksia janin sewaktu dilahirkan didapat A-S yang bagus. Tapi tidak dapat
dipungkiri bisa ada kemungkinan dikarenakan penilaian A-S yang bersifat subyektif.
Karena itu seharusnya pemeriksaan tambahan pH darah tali pusat diperlukan.
KESIMPULAN
1. Kehamilan posterm terjadi penurunan fungsi plasenta, terjadi gangguan suplai
oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin, risiko
morbiditas dan mortalitas perinatal lebih tinggi daripada bayi aterm.
2. Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung
melebihi 42 minggu (294 hari).
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:
26
a. HPHT jelas yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid
teratur
b. dirasakan gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu
c. terdengar denyut jantung janin (djj) (normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-
20 minggu dengan fetoskop)
d. tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari HPHT.
4. Prinsip penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah pengakhiran kehamilan. Setelah
diagnosis kehamilan lewat waktu telah ditegakkan selanjutnya penatalaksanaan
tergantung pada penilaian kesejahteraan janin dan pelvic score. Bila kedua penilaian di
atas tepat sehingga penatalaksanaanya rasional. Setiap kesejahteraan janin yang buruk
dilakukan langkah seksio sesaria, bila kesejahteraan janin yang baik atau
mencurigakan dengan serviks yang sudah matang dilakukan terminasi induksi
oksitosin.
5. Pemeriksaan kesejahteraan janin dilakukan dengan NST dan USG. Lebih ideal lagi
dilakukan pemeriksaan biophysical profil. Hasil sensitivitas NST yang rendah (23%)
dapat memberikan positip palsu sehingga semestinya diperlukan pemeriksaaan Scalp
Blood sampling untuk menilai pH darah janin yang dapat memberikan gambaran
asfiksia lebih baik.
6. Penilaian pelvic score didapat dari pemeriksaan dalam meliputi pembukaan portio,
pelunakkan, efficement, arah portio, dan penurunan kepala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC, et al. Postterm Pregnancy. In: The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2002. p: 118-9.
2. Barton JR. Prolonged Pregnancy. In: Clinical Manual Obstetric 2nd Edition. New York : McGraw Hill Inc. 1993. p: 313-29.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy.In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:729-42.
27
4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy. In: William, Manual of Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:418-20.
5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Phisiological and Biochemical Processes of Parturition. In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:251-87
6. Pedoman Diagnosis – Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar. 2003
7. Priyono. Profil Persalinan Postterm di RS Sanglah periode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2002(penelitian deskriptif). Denpasar: Bag./SMF Obgin FK Unud. 2003.
8. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kehamilan Lewat Waktu. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999. hal:317-20.
9. Odutayo ,Rotimi , Odunsi , Kunle , Post Term Pregnancy. Available from : http://www.Hygeia.com/clindisc/vo2no9.html.Last Updated: 1997. Accessed: October 3th 2006
10. Torriceli,M., Giovanelli, A., Maternal plasma corticotrophin-releasing factor and urocortin levels in post-term pregnancies. Available from :www.pubmed.gov/Eur J Endocrinol/vol3no7html. Last Updated: 2006 Feb. Accessed: October 3th 2006
28