POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

12
Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017 154 POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA” Adji Nugroho 1 , Toto Haryadi 2 1,2 Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang [email protected] 1 , [email protected] 2 Abstrak Pesatnya perkembangan periklanan Indonesia ditandai dengan banyaknya iklan di media televisi. Produk makanan dan minuman memanfaatkan iklan untuk saling bersaing dengan kompetitor. Minuman dalam kemasan menjadi populer khususnya teh yang paling banyak dikonsumsi selain air mineral. Beberapa produk teh dalam kemasan menampilkan iklan yang mengusung konsep kesegaran, aktivitas, serta kehidupan era kini. Teh “Javana” memiliki konsep iklan yang berbeda dengan iklan produk serupa. Iklan ini menampilkan perpaduan budaya tradisional dengan budaya kekinian yang dikemas dalam satu bingkai. Perbedaan konsep visualisasi dibanding dengan iklan sejenis serta penggunaan dua budaya di atas mendorong peneliti menemukan maksud di balik konsep iklan dengan menggunakan pendekatan posmodernisme, yang dibatasi pada idiom estetik: dekonstruksi, hiperrealitas, simulasi, intertekstualitas, kitsch, dan pastiche. Proses analisis dimulai dari pengamatan iklan audio visual, dilanjutkan penjabaran dengan mengambil beberapa elemen yakni gambar, teks, dan audio dalam posisi waktu yang ditentukan. Hasil analisis elemen-elemen digabungkan menjadi satu, kemudian disimpulkan. Hasil dari penelitian ini yaitu ditemukannya garis besar posmodernisme dalam iklan teh “Javana” melalui idiom-idiom estetik di atas, yang menciptakan kontradiksi dan paradoks terkait budaya tradisi dan budaya kini. Kata Kunci: budaya, iklan, teh, posmodernisme, idiom estetik Abstract The fast growth of Indonesian advertising is shown by a lot of ads on television medium. The food and beverage products use ad to compete against the competitors. The beverage which included in Ready To Drink (RTD) category becomes popular, especially tea as the most widely consumed besides mineral water. Some bottled tea products show the ads with concept of freshness, activity, and contemporary lifestyle. “Javana” Tea has different ad concept with the similar products. This ad shows the blend of traditional with contemporary culture, which is packaged in a frame. Teh difference of visualization concept compared with the similar ads and the use of two cultures encourage the researcher to find messages behind ad by using postmodernism approach, which is restricted to aesthetic idioms: deconstruction, hyperreality, simulation, intertextuality, kitsch, and pastiche. Analysis process is begun from observe ad then breakdown it by taking some elements of image, text, and audio in the position of specified time. The results of analysis are combined into one and then concluded. The result of this research is the presence of postmodernism outline in “Javana” Tea ad through idioms aesthetic above, which creates contradiction and paradox associated with traditional and contemporary culture. Keywords: culture, advertisement, tea, postmodernism, aesthetical idioms Available online at: bit.do/andharupa

Transcript of POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Page 1: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017

154

POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji Nugroho1, Toto Haryadi2 1,2Program Studi Desain Komunikasi Visual

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang [email protected], [email protected]

Abstrak Pesatnya perkembangan periklanan Indonesia ditandai dengan banyaknya iklan di media televisi. Produk makanan dan minuman memanfaatkan iklan untuk saling bersaing dengan kompetitor. Minuman dalam kemasan menjadi populer khususnya teh yang paling banyak dikonsumsi selain air mineral. Beberapa produk teh dalam kemasan menampilkan iklan yang mengusung konsep kesegaran, aktivitas, serta kehidupan era kini. Teh “Javana” memiliki konsep iklan yang berbeda dengan iklan produk serupa. Iklan ini menampilkan perpaduan budaya tradisional dengan budaya kekinian yang dikemas dalam satu bingkai. Perbedaan konsep visualisasi dibanding dengan iklan sejenis serta penggunaan dua budaya di atas mendorong peneliti menemukan maksud di balik konsep iklan dengan menggunakan pendekatan posmodernisme, yang dibatasi pada idiom estetik: dekonstruksi, hiperrealitas, simulasi, intertekstualitas, kitsch, dan pastiche. Proses analisis dimulai dari pengamatan iklan audio visual, dilanjutkan penjabaran dengan mengambil beberapa elemen yakni gambar, teks, dan audio dalam posisi waktu yang ditentukan. Hasil analisis elemen-elemen digabungkan menjadi satu, kemudian disimpulkan. Hasil dari penelitian ini yaitu ditemukannya garis besar posmodernisme dalam iklan teh “Javana” melalui idiom-idiom estetik di atas, yang menciptakan kontradiksi dan paradoks terkait budaya tradisi dan budaya kini. Kata Kunci: budaya, iklan, teh, posmodernisme, idiom estetik

Abstract The fast growth of Indonesian advertising is shown by a lot of ads on television medium. The food and beverage products use ad to compete against the competitors. The beverage which included in Ready To Drink (RTD) category becomes popular, especially tea as the most widely consumed besides mineral water. Some bottled tea products show the ads with concept of freshness, activity, and contemporary lifestyle. “Javana” Tea has different ad concept with the similar products. This ad shows the blend of traditional with contemporary culture, which is packaged in a frame. Teh difference of visualization concept compared with the similar ads and the use of two cultures encourage the researcher to find messages behind ad by using postmodernism approach, which is restricted to aesthetic idioms: deconstruction, hyperreality, simulation, intertextuality, kitsch, and pastiche. Analysis process is begun from observe ad then breakdown it by taking some elements of image, text, and audio in the position of specified time. The results of analysis are combined into one and then concluded. The result of this research is the presence of postmodernism outline in “Javana” Tea ad through idioms aesthetic above, which creates contradiction and paradox associated with traditional and contemporary culture. Keywords: culture, advertisement, tea, postmodernism, aesthetical idioms

Available online at: bit.do/andharupa

Page 2: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji & Toto, Posmodernisme Dalam Iklan Teh “Javana” 154-165

155

1. PENDAHULUAN Maraknya iklan-iklan komersial yang dikemas dalam berbagai media menunjukkan perkembangan pesat periklanan Indonesia. Salah satunya yaitu iklan televisi menjadi pilihan perusahaan dalam mempromosikan produknya kepada masyarakat. Hal ini didukung oleh banyaknya stasiun televisi skala lokal maupun nasional yang mencapai 394 stasiun se-Indonesia pada tahun 2015 (KlikBekasi, 2015). Selain itu, televisi menjadi media yang mendominasi dalam perbelanjaan iklan, di atas media online, cetak, dan radio (Jati, 2016). Kepopuleran televisi sebagai media yang paling banyak ditonton masyarakat dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan penyedia kebutuhan konsumsi, salah satunya yaitu produk teh dalam kemasan. Pada periode Januari – Juni 2016, belanja iklan untuk produk kopi dan teh meningkat 24% (Lubis, 2016). Hal ini juga didukung dengan tingginya pasar teh dalam kemasan dan jumlah konsumsinya di Indonesia yang mencapai 2 miliar liter pada tahun 2014, tertinggi nomor 2 di bawah konsumsi air mineral (Agustina, 2015). Dengan kondisi ini, setiap produsen berlomba menyiapkan strategi kreatif dalam penciptaan proses komunikasi pemasaran sebagai kunci utama dalam keberhasilan produk atau jasa yang dijualnya (Jewler dan Drewniany, 2004), yakni melalui pesan yang menyatu dalam perpaduan elemen verbal dan visual (Russel dan Lane, 2006). Perpaduan elemen tersebut bisa dimaksimalkan melalui media televisi dalam bentuk iklan. Iklan sebagai sarana komunikasi terhadap produk yang disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai media, dirancang agar masyarakat setuju dan mengikuti pesan yang terkandung di dalamnya (Pujiyanto, 2001). Banyaknya iklan produk teh dalam kemasan botol membuat masyarakat bebas memilih mana yang akan dikonsumsi sesuai selera. Kondisi ini didukung dengan tersedianya berbagai merek teh dalam kemasan yang masing-masing menawarkan kelebihan produk, diantaranya yakni: teh “Botol Sosro”, teh “Pucuk Harum”, Teh “Gelas”, “Ultra Teh Kotak”, dan “Frestea”, yang menguasai lima besar industri teh dalam kemasan (topbrand-award.com, 2016), serta teh “Javana” yang hadir di awal tahun 2015. Dari berbagai merek di atas, Teh “Javana” merupakan produk baru di bawah naungan Wings Food, yang menyasar segmen usia 15 – 40 tahun dengan kategori pasar kelas menengah dan golongan muda berdaya beli tinggi (Purnomo, 2015). Kehadiran iklan Teh “Javana” di media televisi menambah ketat persaingan produk teh dalam kemasan botol, dengan menggunakan celebrity endorser Maudy Ayunda, yang merupakan sosok anak negeri berprestasi di dunia internasional didasarkan pada filosofi yang ingin dibangun, yakni Teh “Javana” diolah dari daun teh berkualitas yang dahulu khusus dipersembahkan untuk para raja dan juga disajikan untuk masyarakat internasional melalui ekspor (Pratiwi dan Moeliono, 2014). Penggunaan celebrity endorser dalam iklan merupakan upaya untuk memberikan kesaksian suatu produk yang diiklankan, memberikan dorongan untuk menggunakan produk, sebagai aktor dalam iklan, serta juru bicara perusahaan (Suryani, 2013).

Page 3: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017

156

Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap iklan produk teh dalam kemasan peringkat 3 besar yakni: Teh Botol Sosro, Pucuk Harum, dan Teh Gelas versi terbaru tahun 2016, ketiganya memiliki persamaan pendekatan visualisasi iklan. Persamaannya yakni secara spesifik lebih menonjolkan interaksi antara produk dengan manusia, masing-masing minuman menjadi kebutuhan utama di tengah aktivitas kehidupan era modern (kekinian), seperti: liburan, kuliner, bermain alat musik, berkumpul bersama, serta menikmati waktu senggang. Hal ini berbeda dengan konsep iklan Teh “Javana”, yang lebih menampilkan perpaduan budaya tradisional Indonesia yang dipadukan dengan budaya modern melalui elemen teks, audio, dan visual, peminjaman suasana masa lalu, serta keberagaman. Perbedaan tersebut mendorong peneliti untuk menemukan maksud di balik konsep iklan dengan menggunakan pendekatan posmodernisme. Dengan tampilan iklan yang berbeda beserta ciri-ciri yang cenderung mengarah ke posmodernisme, guna menemukan lebih detail tentang postmodernisme dalam iklan, maka dalam penelitian ini penulis akan menganalisis iklan tersebut dengan sudut pandang Idiom Estetik Posmodernisme. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang dilakukan guna mengumpulkan informasi serta membuat deskripsi mendalam mengenai iklan Teh “Javana” yang diamati. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan dokumentasi, yakni mencari berbagai referensi berupa buku, jurnal, dan berita, serta mengamati iklan sebagai tahapan awal analisis iklan Teh “Javana”.

Gambar 1. Bagan proses analisis iklan Teh “Javana” Sumber: Penulis

Analisis iklan dilakukan dengan pendekatan Posmodernisme yang dibedah menggunakan idiom estetik yakni: dekonstruksi, hiperrealitas, simulasi,

Page 4: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji & Toto, Posmodernisme Dalam Iklan Teh “Javana” 154-165

157

intertekstualitas, kitsch, dan pastiche. Tahapan analisis pada penelitian ini diawali dari pengamatan iklan Teh “Javana” dalam bentuk audio visual berdurasi 30 detik. Berikutnya yakni peneliti mengidentifikasi elemen-elemen dalam iklan, kemudian mengambil beberapa elemen dalam iklan berupa gambar, teks, dan audio dengan mencatat posisi dan durasi waktu. Elemen-elemen yang saling berkaitan dikelompokkan menjadi satu elemen tunggal untuk ditinjau dan dianalisis dengan pendekatan idiom estetik posmodernisme yang telah ditentukan. Langkah ini mencocokkan antara teori dengan elemen iklan, sehingga didapatkan bagian-bagian dalam iklan yang merepresentasikan gagasan posmodernisme. Setiap kelompok elemen yang telah dianalisis digabungkan menjadi satu, sehingga didapatkan garis besar makna iklan teh “Javana” dalam perspektif posmodernisme. Untuk lebih jelasnya, proses analisis iklan Teh “Javana” bisa dilihat melalui gambar 1.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Posmodernisme Istilah posmodernisme tersebar ke dalam berbagai bidang yakni: musik, seni (visual, pertunjukan, dan musik), karya fiksi, drama, fotografi, arsitektur, sastra, antropologi, sosiologi, filsafat, sosial-ekonomi, dan sebagainya (Sugiharto, 1996). Meluasnya sebaran istilah tersebut merujuk pada akar pemikirannya, sebagaimana yang dikemukakan Ritzer (2010) bahwa posmodernisme berada dalam bidang kajian yang cenderung ke arah seni, terutama seni lukis (senirupa), seni tari, teater, serta bidang kajian lain yakni literatur dan arsitektur. Hal di atas menyebabkan pendefinisian istilah posmodernisme tidak mudah, cenderung menciptakan kontradiksi, dilema, paradoks, serta tidak bisa dilakukan secara utuh, melainkan melalui konsep-konsep dengan menyingkap kode-kode bahasa estetik objek (Piliang, 1999). Ketidakmampuan dalam mendefinisikan posmodernisme secara utuh melalui definisi tunggal disebabkan karakter-karakter pokok yang dimiliki posmodernisme. Melalui gaya estetis dan artistiknya, posmodernisme menolak gaya dan kaidah era modernisme. Di sisi lain, posmodernisme merupakan tahap perkembangan sosial yang melampaui modernitas, yang juga menyangkut perkembangan teknologi informasi, konsumsi budaya, serta permainan media massa (Sutrisno dan Putranto, 2005). Munculnya posmodernisme pada masa awal sebagai sebuah pemikiran diawali dengan ciri yang menonjol yakni pandangannya yang melemahkan kontras antara high culture (budaya tinggi) dengan low culture (budaya rendah), yang mana dikotomi tersebut merupakan salah satu contoh oposisi biner yang dipegang teguh pada era modernisme (Zulkifli, 2014). Posmodernisme dalam sudut pandang budaya telah meninggalkan konsep-konsep budaya modern meliputi rasionalitas, universalitas, kepastian, serta keangkuhannya, berganti menuju ketidaktentuan arah, ketidakjelasan hukum, serta ketidakpastian nilai (Piliang, 1999). Praktik dari budaya postmodern juga ditandai dengan bergesernya estetika produksi ke estetika konsumsi melalui permainan estetika yang lebih mengedepankan gaya dan estetika itu sendiri dibanding isi dan moralitas (Hariyanto. 2004).

Page 5: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017

158

Dalam bidang seni, posmodernisme dikaitkan dengan asosiasi hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari juga budaya tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya eklektik, parodi, pastiche, ironi, permainan di area permukaan tanpa mempedulikan kedalaman makna, serta hilangnya orisinalitas dan kejeniusan, yang semuanya dianggap hanya mengulang masa lalu (Sugiharto, 1996). Di sisi lain, posmodernisme merusak tatanan pakem estetika yang telah dirujuk dalam menilai indah atau tidaknya karya seni menjadi kabur, bahkan muncul kritik bahwa postmodernisme bersifat subversif, anarkhis, anti moralitas, ekstasi, “schizopfrenik”, serta miskin kreativitas dan inovasi (Zulkifli, 2014). Di dalam postmodernisme terdapat kekaburan batas-batas seni, kebudayaan, serta iklan atau dunia bisnis menjadi estetikasi umum (Piliang, 2003). dan pada intinya membuka peluang sangat luas terhadap bentuk interaksi dan kesimpangsiuran gaya dari berbagai seniman, periode, kebudayaan, bahkan sampai ke hal-hal lain yang kontradiktif (Darmawan, 2005). 3.2 Konsep dan Idiom Estetik Posmodernisme Sebagaimana telah disinggung pada subbab 3.1 di atas bahwa pendefinisian terhadap posmodernisme tidak bisa dilakukan utuh, melainkan melalui istilah konsep-konsep bahasa estetik (± 75 istilah). Dalam penelitian ini, penulis membatasi bahasan posmodernisme terkait seni dan diskursus, seperti: dekonstruksi, hiperrealitas, simulasi, intertekstual, kitsch, dan pastiche. Berikut penjelasan istilah-istilah tersebut. Dekonstruksi diperkenalkan oleh Jacques Derrida sebagai bentuk penolakan prinsip Strukturalisme Saussure. Bagi Derrida, dekonstruksi merupakan pembongkaran oposisi biner, sebagai prinsip modernisme yang dipandang tidak kreatif dan menutup peluang interpretasi baru (Piliang, 1999). Dekonstruksi mengusung permainan bebas (dalam bahasa) yang mengalami perubahan makna terus-menerus dan menolak makna absolut. Prinsip Penanda – Petanda Saussure, Bagi Derrida menciptakan celah diantara teks dan makna, sehingga makna absolut mustahil ditemukan (Piliang, 1999). Contoh mudah untuk memahami dekonstruksi yakni: wanita tidak harus identik dengan feminim, lembut, dan lemah. Tidak sedikit wanita yang melatih ototnya sehingga menjadi berbadan kekar layaknya pria, dan berpotensi menciptakan paradigma baru. Jean Baudrillard dan Umberto Eco berkaitan erat dengan hiperrealitas. Sebagai bagian posmodernisme, hiperrealitas merupakan kondisi hilangnya realitas, penggandaan dari realitas yang didekodifikasi, menganggap dunia sebagai sesuatu yang tidak nyata, mimpi, berisi nostalgia, ilusi, dan fantasi. Lebih lanjut, dunia realitas dan hiperrealitas sudah susah dibedakan, keduanya terlihat nyata (Piliang, 1999). Hiperrealitas melibatkan media elektronik (contohnya televisi) sebagai sarana menciptakan rekayasa model. Melalui media tersebut, hiperrealitas menggiring masyarakat era kini dalam pendangkalan budaya, menjadikannya ke dalam keadaan kontradiksi, perversi, dan anomi (apatis) (Piliang, 1999). Contoh hiperrealitas yang paling mudah ditemui yakni iklan perumahan yang merupakan reproduksi dari realitas perumahan di suatu wilayah, yang disajikan melalui media televisi.

Page 6: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji & Toto, Posmodernisme Dalam Iklan Teh “Javana” 154-165

159

Istilah simulasi masih berkaitan dengan hiperrealitas, juga diperkenalkan oleh Baudrillard. Simulasi merupakan penciptaan sesuatu yang nyata ke dalam bentuk model-model, yang membuat fantasi bisa terlihat nyata, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara realitas dengan fantasi. Simulasi juga sebagai citra tanpa referensi, yang dikembangkan melalui empat tahap (Piliang, 1999), yakni: 1) merefleksikan realitas (representasi), 2) menyembunyikan dan menyimpangkan realitas (malefice), 3) menyembunyikan absennya realitas (sorcery), serta 4) tidak berkaitan dengan realitas apapun (simulacrum). Contohnya yaitu iklan perumahan dalam bentuk animasi 3 dimensi yang ditayangkan di televisi. Piliang (1999) menjelaskan intertekstualitas dalam postmodern dicetuskan pertama kali oleh Julia Kristeva, dengan poin utamanya yakni relasi dan dimensi ruang -waktu. Dalam konteks seni, sebuah karya diciptakan berada dalam ruang dan waktu yang kongkret, berkaitan dengan karya lain dalam ruang dan garis waktu tertentu. Artinya, sebuah karya tidak bersifat otonom, namun memiliki keterkaitan (relasi) dan ketergantungan terhadap karya lain yang menjadi pendahulunya. Lebih lanjut, intertekstualitas juga dikatakan sebagai perlintasan satu sistem tanda ke sistem tanda lain. Salah satu contoh kongkret yaitu dalam penyusunan karya ilmiah, penulis bisa mengadaptasi cerita novel atau cerita rakyat yang telah ada. Kitsch diartikan sebagai seni selera rendah atau tanpa selera. Kitsch merupakan sebuah bentuk representasi palsu, diproduksi dengan semangat reproduksi, adaptasi, dan simulasi untuk memassakan seni tinggi dan membawanya ke hadapan massal melalui produksi massal. Dalam konteks ini kitsch mempopulerkan objek-objek langka beserta nilai kebudayaannya, dengan menanggalkan makna mitologis, ideologis, dan spiritual (Piliang, 1999). Contohnya yaitu stiker bergambar motif batik. Pastiche diartikan sebagai peminjaman. Dalam konteks karya, eksistensinya sangat bergantung pada eksistensi budaya masa lalu. Peminjaman yang dimaksud yakni sebagai imitasi murni, mengimitasi teks-teks masa lalu, mencabutnya dari semangat jamannya, kemudian diangkat serta diapresiasi dan ditempatkan dalam konteks semangat jaman masa kini. Dengan karakteristik tersebut, pastiche dianggap miskin kreativitas, orisinalitas, serta kebebasan. Pastiche fokus pada imitasi permukaan (bentuk) dari apa yang diadaptasinya, bukan pada kedalamannya (makna). Intinya, pastiche lebih menekankan aspek kesamaan daripada perbedaan (Piliang, 1999). Contohnya: seorang wanita yang berpose dan berbusana seperti Monalisa dalam lukisan. 3.3 Iklan dalam Konteks Posmodernisme Iklan merupakan sarana komunikasi yang disampaikan kepada masyarakat tentang suatu produk yang bertujuan agar masyarakat menyetujui dan mau mengikuti pesan yang disampaikan melalui media tertentu (Pujiyanto, 2001). Iklan bisa diartikan sebagai berita pesanan yang fokus membujuk dan mendorong orang agar memiliki ketertarikan terhadap suatu produk barang atau jasa yang ditawarkan (badanbahasa.kemdikbud.go.id). Selain itu, iklan juga merupakan bentuk presentasi

Page 7: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017

160

yang bersifat nonpersonal dalam mempromosikan ide, barang, atau jasa sponsor tertentu dan berbayar guna menyebarkan pesan dalam mencapai tujuannya baik sebagai upaya membangun merek maupun mendidik calon konsumen (Kotler dan Keller, 2007). Maraknya iklan di berbagai media menciptakan kondisi yang dikenal dengan istilah “over communicated”. Masyarakat dijejali berbagai iklan mulai dari media bawah hingga media televisi dengan frekuensi yang sangat intens. Padahal, untuk menciptakan iklan yang efektif, iklan harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah diingat di benak konsumen, yang mana konsumen mampu mencermatinya dari sudut pandang yang tepat (Durianto dkk, 2003). Di sisi lain, iklan juga telah hidup di masyarakat dan berupaya untuk mampu mengikuti perkembangan sosial budaya masyarakat yang menjadi pemirsa (Hermawan, 2014). Iklan seiring perkembangannya tidak hanya berorientasi pada fungsinya sebagai penyampai pesan produk, tetapi juga merambah ke konteks simulacrum dan hiperrealitas, yakni membangun realitas (bersama dengan media elektronik - televisi) untuk dijadikan sebagai acuan gaya hidup dan struktur masyarakat (Baudrillard, 1983). Dalam konteks posmodernisme, iklan memiliki karakter yang kontradiktif dan paradoks, yang tampak pada sifatnya yang nyata sekaligus semu, menawarkan sekaligus memanipulasi, menampilkan realitas sekaligus hiperrealitas, serta simbolis sekaligus superficial. Iklan sebagai representasi dan konstruksi simulasi dan keinginan masyarakat, memanipulasi hasrat konsumen hingga lebih menitikberatkan citra daripada produk. Tampilan iklan cenderung tidak berkaitan dengan produknya, karena menggunakan simbol citra dan bersifat tidak realistis (Hariyanto, 2004). 3.4 Analisis Iklan Teh “Javana” Sebelum melakukan analisis, pada bab ini peneliti akan melakukan pengamatan dan kemudian penjabaran elemen-elemen iklan Teh “Javana” versi Maudy Ayunda berdurasi 30 detik (00:30) yang diunduh dari youtube. Dalam tahap ini, screenshot yang diambil dianalisis menggunakan pendekatan Konsep dan Idiom estetik Posmodernisme sesuai dengan batasan istilah yang disampaikan di bab Tinjauan Pustaka. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa untuk menganalisis posmodernisme, perlu dilakukan dengan cara mem-fragmen-kan konsep-konsep yang sesuai.

Gambar 2. Screenshot Maudy Ayunda bernyanyi dan minum teh “Javana” (00:02, 00:10, 00:24) Sumber: youtube

Page 8: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji & Toto, Posmodernisme Dalam Iklan Teh “Javana” 154-165

161

Ketiga screenshot di atas berisi adegan Maudy Ayunda menyanyikan jingle dan meminum teh “Javana” dalam kemasan botol. Dilihat dari konten visual iklan ini mengusung konsep intertekstualitas dan pastiche. Intertekstualitas terletak pada upaya mengangkat dan memadukan budaya tradisional dengan budaya kekinian dalam satu bingkai. Budaya tradisional tampak pada pengkarakteran Maudy Ayunda sebagai wanita bergaun kebaya dengan model rambut sanggul konde, yang sekaligus merupakan pastiche. Kebaya beserta atributnya merupakan busana khas Jawa yang mencerminkan kesopanan, kelembutan, keibuan, dan keanggunan, kemudian berkembang menjadi busana nasional. Di sisi lain, budaya kekinian tampak pada acara semacam konser yang menggunakan layar/media elektronik besar, atribut pakaian era kini (kasual) yang digunakan anak muda, serta cara minum teh langsung pada kemasan botol. Dalam konteks ini, budaya tradisional identik dengan agung, luhur, dan alami, sedangkan budaya kekinian identik dengan teknologi, massal, dan artifisial. Adanya perpaduan kedua budaya beda masa ini menegaskan bahwa teh “Javana” merupakan teh warisan tradisi leluhur yang hadir di masa kini dalam bentuk kemasan botol, yang bisa dikonsumsi oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.

Gambar 3. Screenshot wanita menyajikan teh (00:13)

Sumber: youtube

Adanya adegan penyuguhan teh yang dibawakan seorang abdi wanita (dan didampingi oleh wanita-wanita lain di belakangnya) merupakan pastiche dari tradisi Patehan di Keraton Jogjakarta. Patehan yaitu tradisi minum teh keluarga raja Sri Sultan Hamengkubuwono setiap pukul 6 pagi, 11 siang, dan 16 sore di pendopo. Pastiche dalam iklan ini yaitu lebih ditekankan pada bentuk tradisi dan prosesi Patehan. Dalam iklan ini, Patehan dianggap tradisi minum teh yang bernilai luhur dan layak dibanggakan, sehingga prosesi tersebut diapresiasi dan diimitasi untuk dijadikan konten visual dalam iklan Teh “Javana”. Visual dalam iklan juga didukung oleh audio dan teks yakni “Persembahan Bagi Raja”. Hal ini menunjukkan bahwa teh “Javana” menjunjung tinggi dan mengapresiasi tradisi minum teh warisan leluhur, yang ditiru dan dibawa ke era kekinian.

Page 9: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017

162

Gambar 4. Screenshot raja siap minum teh dalam cangkir dan remaja telah menikmati teh dalam botol (00:14, 00:26)

Sumber: youtube

Kedua gambar di atas secara tidak langsung menunjukkan dua hal yang kontradiktif antara budaya tinggi dengan budaya massa, yakni antara upacara tradisi minum teh dengan budaya konser. Gambar pertama yakni abdi yang sedang menyuguhkan teh kepada raja. Merujuk pada Patehan, penyajian teh ini merupakan tradisi luhur, menggunakan pakaian, suasana, serta tempat khusus, yang bagi keluarga raja bisa dianggap sesuatu yang sakral. Berbeda dengan gambar kedua, yakni beberapa remaja yang menikmati teh dalam kemasan botol, yang bisa dinikmati dalam suasana santai atau biasa. Hal ini merupakan bentuk dekonstruksi, menghapus oposisi biner terutama terkait tradisi dan status sosial. Minum teh tidak harus dalam suasana, tempat, dan waktu yang dianggap sakral, tidak harus menggunakan peralatan khusus. Pucuk teh terbaik tidak hanya dikhususkan untuk para raja, tetapi juga berhak dikonsumsi oleh siapapun juga. Hal ini didukung dengan audio “.....Persembahan bagi raja, Rasa khas negeri tercinta, Hadir dalam teh baru “Javana”.....”, yang menunjukkan bahwa teh terbaik sekarang bisa dikonsumsi secara praktis untuk siapa saja.

Gambar 5. Screenshot teh dalam cangkir dan teh dalam botol (00:11, 00:29) Sumber: youtube

Masih berhubungan dengan paparan paragaf di atas, dengan adanya dekonstruksi teh untuk raja menjadi teh untuk massal, maka terciptalah kitsch. Munculnya konsep kitsch merupakan dampak dari dekosntruksi dalam iklan ini. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa teh terbaik khusus untuk para raja, tidak bisa dikonsumsi massal, bersifat prestis, dan sebagai bentuk ritual. Kitsch dalam iklan ini muncul ketika teh terbaik tersebut diproduksi massal menjadi teh dalam kemasan botol yang bisa dikonsumsi

Page 10: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji & Toto, Posmodernisme Dalam Iklan Teh “Javana” 154-165

163

Tidak ada keterkaitan antara gambar pertama dan gambar ketiga.

Gambar ketiga tidak merujuk pada gambar pertama

umum dan menjadi sesuatu yang tidak spesial, tidak prestis, mudah didapat, dan bahkan murah. Gambar 5 menunjukkan, transformasi dari teh dalam cangkir menjadi teh dalam botol merupakan upaya memassalkan dan mempopulerkan sebuah tradisi yang cenderung menanggalkan makna mitologis, ideologis, serta spiritual dari tradisi minum teh untuk kalangan raja.

Gambar 6. Screenshot teh diseduh, sistem recovery aroma, dan aroma kesegaran teh (00:11, 00:21, 00:22)

Sumber: youtube

Ketiga gambar di atas menjelaskan konsep hiperrealitas sekaligus simulasi, khususnya terkait konsep keunggulan produk ini yakni sistem recovery aroma yang dipertegas dengan teks “Aroma kesegaran Pucuk Teh yang baru diseduh”. Pada gambar pertama, konsep keunggulan tersebut masih bisa dikaitkan dengan visualisasi berupa teh yang dituangkan dari teko ke dalam cangkir keramik. Visualisasi tersebut merupakan realitas, sebagai representasi dari kegiatan minum teh sehari-hari. Namun, gambar kedua dan ketiga telah menghilangkan realitas yang ada. Gambar kedua dan ketiga memvisualisasikan sistem recovery aroma (dengan pendekatan animasi 3D) agar aroma kesegaran pucuk teh yang baru diseduh tetap terjaga dalam botol. Realitas yang ada pada gambar pertama hilang, diganti dengan rekayasa simulasi model animasi pada gambar kedua dan ketiga.

Gambar 7. Konsep simulasi dan hiperrealitas dalam iklan Teh “Javana”

Page 11: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Andharupa, Vol.03 No.02 Tahun 2017

164

Jika menggunakan acuan urutan terjadinya simulasi, gambar pertama merefleksikan realitas (representasi). Gambar kedua dan ketiga berperan dalam tiga hal sekaligus, yakni: menyembunyikan dan menyimpangkan realitas (malefice); menyembunyikan absennya realitas; serta menampilkan sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas apapun (simulacrum). Artinya, gambar pertama bukanlah sebagai referensi bagi gambar ketiga, dan tidak ada kaitannya sama sekali. Rekayasa animasi untuk menyampaikan konsep keawetan aroma teh sama sekali berbeda dengan konsep yang ada dalam kehidupan nyata. Hal ini terjadi karena gambar pertama divisualisasikan berdasarkan realitas ruang, waktu, narasi, dan objek. Sedangkan gambar ketiga hanyalah sebagai imajinasi. Namun demikian, meskipun disampaikan dengan pendekatan animasi, proses tersebut bisa saja dianggap nyata dan dipercaya oleh pemirsa iklan sebagai teknologi yang mampu menjelaskan teknik recovery aroma yang bisa disimpan dalam botol. 4. KESIMPULAN Upaya menemukan konsep dan idiom estetik posmodernisme dalam iklan Teh “Javana” memerlukan proses yang cukup rumit. Hal ini disebabkan masing-masing konsep dan idiom yang diangkat memiliki irisan satu sama lain, saling tumpang tindih, sehingga tidak ada pemaknaan yang benar-benar pasti. Meskipun hanya membedah 6 (enam) idiom estetik yaitu: dekonstruksi, intertekstualitas, hiperrealitas, simulasi, kitsch, dan pastiche, secara garis besar benang merah interpretasi sudah bisa didapatkan serta bisa dipahami. Pada intinya, iklan Teh “Javana” berupaya mengangkat kembali budaya minum teh di kalangan raja (di keraton Jogjakarta dikenal sebagai Patehan) ke dalam kehidupan para kawula muda era kini sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap keunikan tradisi yang ada di Indonesia. Namun, di sisi lain hal ini justru menciptakan kontradiksi atau paradoks. Ketika iklan ini ingin menduplikasi dan memassalkan produk teh khusus para raja kepada publik, maka terciptalah penurunan atau pendangkalan mitologis, ideologis, serta spiritual terkait tradisi tersebut. Itu merupakan hal yang wajar, mengingat untuk memahami posmodernisme memungkinkan terjadinya kontradiksi, dilema, paradoks, serta tidak bisa dilakukan secara utuh. DAFTAR PUSTAKA Agustina, D. 2015. Orang Indonesia Minum 2 Miliar Liter Teh Kemasan Setahun.

Diakses dari: http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151103151544-262-89179/orang-indonesia-minum-2-miliar-liter-teh-kemasan-setahun/, pada: 09 Desember 2016, 11.20 WIB

Baudrillard, J. 1983. Simulation. Semiotext (e). New York. Darmawan, F. 2005. Postmodernisme Kode Visual dalam Iklan Komersial. Jurnal

MediaTor, Vol. 7 No. 1, h 103-114. Bandung: Universitas Islam Bandung Durianto, D., Sugiarto, Widjaja, Wachidin,A., & Supraktino,H. 2003. Invasi pasar dengan

iklan yang efektif. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hariyanto. 2004. Fenomena Parodi dalam Iklan Televisi Indonesia. Jurnal Bahasa dan

Seni, Vol. 32 No. 1 h 112-126. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Page 12: POSMODERNISME DALAM IKLAN TEH “JAVANA”

Adji & Toto, Posmodernisme Dalam Iklan Teh “Javana” 154-165

165

Hermawan, N. D. 2014. Efektivitas Iklan Televisi Tokobagus.com Versi “Mau Jual Mobil?” Pada Masyarakat Surabaya. Jurnal E-Komunikasi, Vol. 2 No. 1, h 1-12. Surabaya: Universitas Negeri Petra

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php http://www.topbrand-award.com/top-brand-survey/survey

result/top_brand_index_2016_fase_1 Jati, Y. W. 2016. Bright Award 2016: MNC Prediksi Belanja Iklan Tahun Ini Lebih Baik.

Diakses dari: http://industri.bisnis.com/read/20160205/12/516517/bright-award-2016-mnc-prediksi-belanja-iklan-tahun-ini-lebih-baik, pada: 9 Desember 2016, 13.12 WIB

Jewler, A. dan Drewniany, B. L. 2004. Creative Strategy in Advertising. Wadsworth Publishing.

KlikBekasi. 2015. Jumlah Stasiun Televisi di Indonesia Capai 394. Diakses dari: http://klikbekasi.co/2015/02/26/jumlah-stasiun-televisi-di-indonesia-capai-394/, pada: 6 Desember 2016, 09.38 WIB

Kotler, P. & Keller, K. 2007. Manajemen pemasaran (12th edition). PT. Indeks: Jakarta Lubis, M. 2016. Pertumbuhan Belanja Iklan Menunjukkan Arah Positif. Diakses dari:

http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2016/PERTUMBUHAN-BELANJA-IKLAN-MENUNJUKKAN-ARAH-POSITIF.html, pada: 13 Desember 2016, 08.34 WIB

Piliang, Y. A. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS Piliang, Y. A. 1999. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan Piliang, Y. A. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.

Yogyakarta: Jalasutra. Pratiwi, I., dan Moeliono, N. 2014. Pengaruh Selebriti Endorser Maudy Ayunda

Terhadap Minat Beli Produk Teh “Javana”. Artikel Ilmiah, diakses dari: https://openlibrary.telkomuniversity.ac.id/pustaka/files/104153/jurnal_eproc/pengaruh-celebrity-endorser-maudy-ayunda-terhadap-minat-beli-produk-teh-”Javana”-studi-pada-masyarakat-di-kota-bandung-.pdf, pada 13 Desember 2016, 12.02 WIB

Pujiyanto. 2001. Periklanan. Malang: Universitas Negeri Malang Purnomo, W. 2015. Persaingan bisnis teh kemasan makin hangat. Diakses dari:

http://m.kontan.co.id/news/persaingan-bisnis-teh-kemasan-makin-hangat, pada: 13 Desember 2016, 11.52 WIB

Ritzer, G. 2010. Teori Sosial Postmodern. Bantul: Juxtapose Research and Publication Study Club/Kreasi Wacana

Russel, J. T., dan Lane, R. W. 2006. Kleppner’s Advertising Procedure, 14th Edition. New Jersey: Prentice Hall

Sugiharto, B. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI)

Suryani, T. 2013. Perilaku Konsumen Di Era Internet. Yogyakarta: Graha Ilmu Sutrisno, M dan Putranto, H. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Zulkifli. 2014. Kritik Terhadap Perkembangan Posmodernisme dalam Senirupa

Kontemporer Indonesia. Jurnal Bahas, Vol. XL No. 89, h 47-61. Medan: Universitas Negeri Medan.