Posisi Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat
-
Upload
tua-hasiholan-hutabarat -
Category
Documents
-
view
774 -
download
1
description
Transcript of Posisi Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Posisi Modal Sosial dalam Upaya-Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Tua Hasiholan Hutabarat2010
Ada kekhawatiran yang cukup besar bagi pemerintah, pekerja social maupun
komponen-komponen masyarakat yang bermimpi membangun kemandirian dan
kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam di negeri ini. Kekhawatiran yang patut
sangat beralasan, karena berhubungan secara langsung dengan kemampuan bangsa
ini menjaga kelangsungan sumber-sumber penghidupannya.
Ada beberapa dasar pengalaman dan teoritis yang patut dijadikan landasan
kita berfikir untuk benar-benar bisa memahami mengapa kekhawatiran tersebut
muncul. Pertama, modal sosial atau social capital merupakan fundamen tindakan-
tindakan kolektif yang sangat penting dalam membangun sebuah struktur sosial
yang lebih adil. Kedua, ada kecenderungan, sebaik apapun kebijakan-kebijakan,
program dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia kini berkontribusi terhadap
kehancuran modal sosial. Niat untuk memberdayakan masyarakat, visi dan misi
membangun kemandirian, hasrat untuk membangun ketahanan sosial, malah
berakhir dengan semakin runtuhnya tiang-tiang struktur sosial. Kalau dilihat dari
proposisi barusan, maka terlihat ada kesalahan yang tersistematis tengah
berlangsung saat ini.
Pengalam saya sendiri dan beberapa kawan yang menceburkan diri dalam
kerja-kerja pemberdayaan dan pengorganisasian menunjukkan fakta-fakta
kehancuran sosial modal. Seorang pekerja sosial dan organizer dihadapkan dengan
kondisi dimana rakyat sudah enggan untuk terlibat, berpartispasi atau berkontribusi
terhadap kerja-kerja kolektif. Lihat saja bagaimana sulitnya saat ini untuk mengajak
masyarakat di desa maupun komunitas urban untuk melibatkan diri dalam
mekanisme-mekanisme perencanaan, kerja dan evaluas-evaluasi kolektif. Ada
keengganan, kemalasan, pesimis, skeptis, maupun resisten terhadap upaya-upaya
kolektif. Sering sekali kendala-kendala dan reaksi-reaksi yang muncul di
masyarakat menjadi penghambat yang rencana dan pelaksanakan usaha-usaha
kolektif, termasuk upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan
sumberdaya alam.
Pandangan subyektif tersebut dari pekerja-pekerja sosial tersebut tentu saja
tak adil, karena komunitas memiliki alasan yang sebenarnya dipengaruhi oleh
struktur sosial secara lebih luas. Sayangnya kegagalan dan beratnya upaya-upaya
membangun gerakan kolektif tersebut tak pernah menjadi variabel penting yang
harus diselesaikan, namun dimasukkan sebagai sebuah social pathology yang
penyelesaiannya diserahkan pada institusi lain yang ada di masyarakat.
Resistensi, penolakan, keengganan, pesimisme/skeptisisme, pragmatisme,
egoisme dan faktor-faktor lain yang dianggap menggerus kolektivisme gerak ini
banyak dihubungkan dengan kehancuran, ataupun mungkin juga ketiadaan sosial
modal atau sosial kapital, sebuah konsep yang bukan tergolong baru namun tak
pernah dibumikan oleh banyak pihak.
Sosial modal atau sosial kapital dalam beberapa dekade ini kerap dijadikan
pisau analisis dalam konteks mengkritisi carut-marutnya pembangunan di seluruh
dunia. Tak terhitung lagi ilmuan sosial yang menggunakan konsep ini dalam
menganalisis kondisi masyarakat kita, termasuk dalam memberi penjelasan tentang
retaknya hubungan antara manusia dengan dunia biofisik atau alamnya. Tahun 1992
ada RS Burt yang memahami sosial modal/kapital sebagai kemampuan masyarakat
melakukan hubungan atau asosiasi satu sama lain dan menjadikannya kekuatan
dalam setiap aspek eksistensi sosial. Juga ada Fukuyama (1995) yang melihat sosial
moda sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama
antara anggota suatu kelompok, dimana serangkaian nilai dan norma tersebut
menjadi dasar terjalinnya kerasama. Ada juga Eva Cox yang lebih memaknai sosial
modal sebagai sebuah proses. Sebuah rangkaian proses hubungan antar manusia
yang ditopang oleh jaringan norma, kepercayaan sosial, sehingga kerjasama dan
kebijakan bersama dapat terjalin secara efektif dan efisien.
Kekhawatiran beberapa ilmuan sosial yang disebutkan di atas tersebut sudah
menjadi kekhawatiran global. Sebahagian pihak menyatakan, kehancuran atau
terkikisnya sosial moda tersebut ada hubungannya dengan tindakan-tindakan dan
perilaku elit yang cenderung melakukan penyelewengan amanah (trust abuse)
sehingga dalam jangka waktu tertentu, khususnya di negara-negara dunia ketiga,
termasuk Indonesia telah mengkonstrukskan sebuah masyarakat yang dipenuhi
dengan ketidakpercayaan satu sama lainnya (distrust society). Malah pandangan
Mancur Olson dan Douglas North lebih ekstrim lagi, dimana dia menganggap
kondisi di negara-negara berkembang, diantara Indonesia kini telah terjadi
ketidakpercayaan, baik secara impersonal, dan institusional, dimana antar sesama
dan kepercayaan terhadap lembaga publik sudah hilang sama sekali.
Ada banyak lagi ilmuan sosial, ekonomi dan politik yang resah dengan realitas
keruntuhan modal sosial tersebut. Ada Adler dan Kwon yang melihat modal sosial
sebagai gambaran keterikatan internal yang mendasari struktur kolektif dan
kohesivitas, Woolcock dan Narayan yang menganggap modal sosial sebagai norma
dan nilai yang mengatur pola-pola interaks sosial dan banyak lagi ilmuan yang tidak
bisa disebutkan satu persatu dalam tulisan singkat ini.
Semua pandangan tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda satu sama lain. Ada
sebuah pranata, yakni bernama sosial modal yang sudah hilang, runtuh atau terkikis
sampai pada titik nadir, dimana keruntuhannya berkorelasi sangat besar terhadap
kekacauan pembangunan di dunia, dan ironisnya, negara-negara miskin dan
berkembang seperti di Indonesia-lah hal itu terjadi secara ekstrim.
Milyaran bahkan triliunan dana sudah membanjiri desa, kota dan seluruh
wilayah-wilayah terpencil. Besarnya dana yang diturunkan sangat tak sebanding
dengan kisah-kisah sukses, terutama kisah sukses yang dicapai oleh kerja-kerja
kolektif. Jika pun ada, ternyata peran personal dan individu masih dominan,
sehingga tak bisa kita katakan keberhasilan tersebut berhubungan dengan landasan
moda sosial.
Kecenderungan kehancuran sosial moda tersebut paling parah terlihat dari
program-program kelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam.
Program-program dan upaya-upaya membangun kesinambungan sumberdaya alam
banyak terkendala akibat menipisnya sosial modal.
Kisah-kisah kegagalan, kekecewaan, jauhnya capaian dari target, tak
berjalannya kegiatan, bahkan sengketa-sengketa sering mewarnai upaya-upaya
membangun kerja-kerja upaya kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Jika
pun ada yang menunjukkan keberhasilan, tetap saja aspek kolektivitasnya tidak
kelihatan. Malah keberhasilan-keberhasilan tersebut banyak dicapai oleh upaya-
upaya individual dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak berbasis
kolektivitas.
Menyalahkan masyarakat atau komunitas-komunitas di desa dan urban tentu
tidak fair. Mereka berlaku seperti itu karena punya alasan yang kuat. Ada bangunan
struktur sosial yang memaksa mereka untuk berlaku pasif, malas, enggan dan
menolak kerja-kerja kolektif yang didasari moda sosial. Salah satunya adalah
perilaku elit yang dalam sistem kultur patrimonial punya efek besar terhadap
perilaku dan sikap masyarakat. Ada budaya meniru yang terus berlangsung di
masyarakat, sehingga mempertegas determinisme struktur sosial terhadap perilaku
dan tindakan masyarakat.
Tentu saja para pekerja sosial, pemimpin lokal, pemerintah dan komponen-
komponen sosial yang melibatkan diri dalam bidang pemberdayaan masyarakat,
khususnya dalam isu-isu lingkungan hidup dan sumberdaya alam tak bisa
membutakan diri dari persoalan ini. Keberhasilan, capaian dan manfaat merupakan
satu hal, namun bagaimana capaian dan tujuan itu dicapai dengan berbasis modal
sosial menjadi penting. Upaya-upaya membangun kembali reruntuhan modal sosial
tersebut harus menjadi bagian penting yang harus dikerjakan. Mungkin terlihat
berat dan sangat kompleks, tapi tanpa penguatan modal sosial, maka upaya
membangun perilaku yang ramah lingkungan dan sustainability pengelolaan
sumberdaya alam tak akan tercapai, atau hanya berjalan sebentar saja jika modal
sosial sebagai perekat, panduan dan mekanisme kerja internal masyarakat tak
dijadikan mainstream kerja-kerja sosial.
***
Mataram, Rabu 28 April 2010