(Polymorphism Gene Cyp 1a1 in Mild Acne at Makassar) Martha...
Transcript of (Polymorphism Gene Cyp 1a1 in Mild Acne at Makassar) Martha...
1
POLIMORFISME GEN CYP 1A1 PADA PENDERITA AKNE RINGAN DI MAKASSAR
(Polymorphism Gene Cyp 1a1 in Mild Acne at Makassar)
Martha P.Nurul
ABSTRAK
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran polimorfisme gen CYP 1A1 pada kasus akne ringan. Metode: Metode yang digunakan adalah metode eksploratif. Jumlah sampel sebanyak 21 orang yang diambil sampel darahnya sebanyak 1 μL. Polymerase Chain Reaction-Sekuensing (PCR-sequencing) digunakan untuk mendeteksi adanya polimorfisme gen CYP 1A1, kami mengamati kelompok genom dan membandingkan hasil frekuensi genotif dan frekuensi alelnya serta membandingkan kelompok sebaran genotif dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian: Pada kasus ditemukan alel GG sebanyak 6 sampel (homosigot), alel GA 9 sampel (heterosigot) dan alel AA 6 sampel (homosigot mutan). Tidak terdapat hubungan signifikan pada kelompok sebaran genotif penelitian kami dibandingkan dengan kelompok penelitian sebelumnya di Jerman.
ABSTRACT
Objective: the aim of this study was to determine the polymorphism gene CYP 1A1 in mild acne. Methods : research method applied is an explorative study. 1 microliters of blood samples were collected from 21 patients with mild acne were included in the study. Sequencing Polymerase chain reaction-restriction (PCR-sequencing) assay was used for detection of the CYP 1A1, we do some observational our genomic collection in and we compared allele frequencies and the resulting genotype between our study and the other previous study. Result : The frequencies of the GG allele was 6 (homozygote) and the allele GA was 9 (heterozygt) and allele AA was 6 (mutant homozygote). There is no significant associated between our study and the previous study in German.
Keywords: polimorphisms, CYP 1A1, mild acne
PENDAHULUAN
Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit inflamasi kronik folikel
pilosebaseus yang sering terjadi pada remaja dan dewasa(Baz et al., 2008).
Umumnya insiden terjadi sekitar usia 14 -17 tahun pada wanita dan 16-19
2
tahun pada pria (Pindha, 2007). Angka kunjungan penderita akne vulgaris
pada tahun 2007 sekitar 5,5% dari seluruh kunjungan pasien dipoliklinik kulit
dan Kelamin RSUP Wahidin sudirohusodo Makassar dan meningkat menjadi
7,8% pada tahun 2008 (Sudirohusodo, 2008). Akne vulgaris dapat ditandai
dengan adanya komedo, papul, pustul, nodul dan skar (Zaenglein et al.,
2008, James et al., 2006, Simpson dan Cunliffe, 2007).
Berdasarkan Combined Acne Severity Classification oleh Lehmann dkk
(2002) tingkat akne vulgaris dibagi menjadi akne ringan, sedang, dan berat.
Dikatakan akne vulgaris ringan bila jumlah komedo kurang dari 20, atau lesi
inflamasi kurang dari 15 atau lesi total berjumlah kurang dari 30 buah
(Lehmann et al., 2002).
Akne vulgaris merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktor.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya AV adalah produksi sebum
yang berlebihan, keratinisasi folikular yang abnormal, proliferasi
Propionibacterium acnes, inflamasi, faktor-faktor eksternal dan genetik.(Baz et
al., 2008, He et al., 2006, Simpson and Cunliffe, 2007, Zanglein et al., 2008)
Keterlibatan faktor genetik dalam patogenesis penyakit ini telah
dibuktikan pada saudara kembar, akan tetapi penelitian yang berhubungan
dengan elemen genetik ini masih jarang ditemukan.(Baz et al., 2008, Zanglein
et al., 2008) Penelitian yang dilakukan oleh Goulden dkk menunjukkan faktor
keluarga merupakan hal yang penting dalam kerentanan terhadap akne yang
persisten.(Goulden et al., 1999a) Goulden dkk menunjukkan bahwa faktor
genetik menentukan keratinisasi folikuler yang abnormal dan respon androgen
kelenjar sebasea pada individu dengan akne persisten.(Ballanger et al., 2008)
3
Retinol (vitamin A) dan metabolit retinoid aktifnya penting dalam
diferensiasi epitel. Retinoid mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel.
Retinoid dapat mempengaruhi proliferasi keratinosit epidermal dan
sebosit.(Gollnick, 2003) Hiperkeratinisasi folikuler dapat terjadi akibat
kurangnya retinoid alami aktif.(Paraskevaidis et al., 1998)
Salah satu enzim yang terlibat dalam metabolisme vitamin A (retinol)
adalah sitokrom P-450. Di antara famili enzim ini, CYP 1A1 merupakan
subfamili isozim yang paling aktif. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa
polimorfisme gen CYP 1A1 berhubungan dengan akne. (Paraskevaidis et al.,
1998)
Berdasarkan hal tersebut, penting untuk melihat adanya polimorfisme
gen CYP 1A1 terhadap kerentanan akne vulgaris ringan khususnya di
Makassar yang sebelumnya belum pernah dilaporkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan Laboratorium FK - UNHAS Makassar pada 21 kasus
penderita akne ringan dengan metode rancangan penelitian eksploratif.
Kriteria inklusi penderita akne ringan berdasarkan kriteria Combined
Acne Severity Classification yang dinilai oleh dokter spesialis kulit dan kelamin
dan penderita menyetujui serta menandatangani informed consent,
sedangkan kriteria eksklusi adalah penderita akne ringan yang mendapat
pengobatan antibiotik dan anti inflamasi selama satu bulan terakhir, penderita
akne ringan yang hamil dan penderita akne ringan yang sedang menyusui.
4
Spesimen darah diambil sebanyak 1 mL dari 21 penderita akne ringan ,
spesimen selanjutnya akan diberi perlakuan isolasi DNA (sedimen) untuk uji
PCR. Metode PCR disiapkan menggunakan ekstrak DNA sebagai kontrol
positif dan aquades steril sebagai kontrol negatif. Hasil ekstraksi DNA
dimasukkan sebanyak 1,5 µL ke dalam PCR mix yang terdiri dari : produk
PCR/ super mix sebanyak 22,5 ul ditambah dengan primer Forward (40 pM)
0,5 µL dan primer Reverse (40 pM) 0,5 µL sehingga jumlah keseluruhan PCR
mix menjadi 25 µL .
Hasil PCR siap di running di agarose gel 2,5% Hasil PCR yang didapat
kemudian di-running di agarose gel 2% (NuSieve GTG Agarose) dan Band
yang terlihat di UV light dipotong dan dimasukkan dalam tabung effendorf 1.5
mL, kemudian dilakukan proses purifikasi dengan kit (QIAquick PCR
purification kit), dengan teknik PCR sekuensing adalah dengan melakukan
PCR biasa dengan komposisinya : Primer Forward :
5’TAGGAGTCTTGTCTCATGCCT ‘3, Primer Reverse:
5’AAGAGGTGTAGCCGCTGCACT’3 (TIB Molbiol) 1 pmol. Hasil PCR
kemudian dilakukan presipitasi sebelum dimasukkan dalam mesin sekuensing
untuk diidentifikasi urutan nukleotidanya.
Data dalam penelitian ini diolah secara manual dengan bantuan
komputer, semua hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel disertai
dengan penjelasan.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran polimorfisme gen
CYP 1A1 pada penderita akne ringan. Dua puluh satu penderita AV ringan
5
yang terdaftar dalam rekam medis RS Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring
pendidikan Unhas diikutkan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini dilakukan
pemeriksaan molekuler dengan menggunakan metode PCR untuk melihat pita
DNA dari kelompok sampel kasus AV berat, kemudian dilanjutkan dengan
PCR-sekuensing untuk menentukan urutan nukleotida pada suatu fragmen
DNA.
Elektroforesis produk PCR pada kelompok sampel penderita akne
ringan menunjukkan dominasi positif terdeteksi pada target band 355 bp
(gambar 1)
Ket .: K1 – K16 ; Pita DNA penderita akne ringan Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR pada kasus akne ringan.
Hasil sekuensing gen CYP 1A1 tampak pada gambar 2. Pada
kelompok kasus ditemukan alel GG sebanyak 6 sampel, alel GA sebanyak 9
sampel dan alel AA sebanyak 6 sampel. (tabel 2).
6
Gambar 2. Gambaran hasil sekuensing alel GG, alel GA dan alel AA Tabel 2. Hasil Sekuensing Alel gen CYP 1A1
Alel Kasus GG GA AA
K1 + K2 + K3 + K4 + K5 + K6 + K7 + K8 + K9 + K10 + K11 + K12 + K13 + K14 + K15 + K16 + K17 + K18 + K19 + K20 + K21 +
Jumlah 6 9 6
7
Jumlah alel G pada sampel adalah 64,28% dominan bila dibandingkan
dengan jumlah alel A, dengan demikian alel A tidak selalu merefleksikan
individu sehat dan alel G tidak selalu merefleksikan penderita akne ringan
(tabel 3).
Tabel 3. Pola Sequencing Alel Gen CYP 1A1 Kelompok Alel G (%) Alel A (%) Jumlah
(%) K (n =21) 27 (64,28) 15 (35,72) 42(100)
Tabel 4 menunjukkan perbedaan frekuensi genotif kelompok
homozigot (GG) dan genotif kelompok heterozigot (GA). Persentase frekuensi
genotif kelompok homozigot (GG) sebesar 28,6 % dan dan kelompok
heterozigot (GA) sebesar 42,8% dan kelompok homozigot (AA) sebesar
28,6%
Tabel 4. Kelompok frekuensi genotif gen CYP 1A1 Frekuensi
Genotif Kasus (n = 21)
Frekuensi % Homozigot (GG) 6 28,6 Heterozigot(GA) 9 42,8 Homozigot (AA) 6 28,6
Pada penelitian ini, semua hasil sekuensing dibandingkan dengan full
sequencing gen CYP 1A1 sepanjang 355 basepair (bp) rujukan dari gen bank
dengan menggunakan program BLAST (basic local alignment search tool)
(alert-2) dari webside: NBCI dan kami tak menemukan mutasi baru.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini digunakan gen CYP 1A1 berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Paraskevaidis et al. (1998) terhadap 96 penderita akne
berkebangsaan Jerman. Penelitian tersebut menunjukkan frekuensi normal
(odds ratio 1,02, confidence limit 0,41-2,52, p=0,96) alel m2 (mutasi m2)
8
berupa penggantian adenin oleh guanin (A ke G). Mutasi m2 mengakibatkan
bentuk enzim yang lebih aktif. Penelitian sebelumnya yang fokus pada kanker
bronkogenik juga menunjukkan bahwa polimorfisme CYP 1A1 menyebabkan
aktivitas enzim yang lebih tinggi.(Paraskevaidis, Drakoulis et al. 1998) Pada
penelitian kami, frekuensi genotif GG sebesar 28,6%, frekuensi genotif GA
42,8% dan frekuensi genotif AA sebesar 28,6%, tampak bahwa frekuensi
genotif GA yang lebih meningkat dan frekuensi genotif GG dan AA yang
menurun, hal ini memperlihatkan perbedaan yang berada di bawah penelitian
lainnya yang tidak signifikan. Pada penelitian kami tidak dilakukan uji statistik
oleh karena penelitian ini hanya bersifat deskriptif.
Enzim CYP 1A1 merupakan bentuk yang paling aktif dari famili enzim
sitokrom P-450 yang mengoksidasi retinal menjadi atRA. Selain itu, enzim ini
juga terlibat dalam metabolisme dan inaktivasi atRA menjadi 4-hidroksi dan 4-
oxo-retinoic acid menjadi metabolit yang lebih polar. 4-hidroksi dan 4-oxo
retinoid ini bersifat lebih hidrofilik sehingga turnover dan ekskresi retinoid
menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, terjadi defisit retinoid alami yang
menyebabkan hiperkeratinisasi kanal folikuler pada perkembangan akne
.(Paraskevaidis, Drakoulis et al. 1998)
Penelitian lainnya telah menunjukkan adanya polimorfisme CYP 1A1
dan sebuah mutasi pada ekson 7 gen CYP 1A1 dimana hal ini dihubungkan
dengan peningkatan kerentanan terhadap kanker paru.(Cosma et al., 1993)
Sejauh ini, melalui telaah kepustakaan belum ditemukan laporan
penelitian mengenai polimorfisme gen CYP 1A1 pada penderita akne ringan di
Indonesia. Pada penelitian ini, gen CYP 1A1 menunjukkan target band
terdeteksi positif hampir semua pada kelompok kasus akne ringan yaitu pada
9
335 bp. PCR-sekuensing kelompok kasus menunjukkan jumlah genotif GG
pada kasus sebesar 2,86%, genotif GA 42,8% sedangkan jumlah genotif AA
pada kasus sebesar 28,6%. Dengan demikian frekuensi ditemukannya alel GA
pada gen CYP 1A1 pada penderita AV ringan lebih besar bila dibandingkan
dengan frekuensi alel GG dan AA, hal ini berbeda dengan penelitian di Berlin
yang mendapatkan 6 kasus genotif GA dari 96 kasus (3,13%) (Paraskevaidis
et al., 1998).
Penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh Wiwiek dkk, menemukan
kontribusi alel GG (homozigot) pada kasus yang 2,54 kali lebih besar
dibandingkan dengan kontrol, sedangkan alel AA (homozigot) pada kelompok
kasus hanya 1,19 kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Kekuatan
perbandingan alel GG (homozigot) dan alel AA (homozigot) untuk terjadinya
kasus adalah 2,13 kali sehingga alel GG (homozigot) merupakan faktor risiko
kasus. Penelitian ini juga menunjukkan analisis perbedaan kebiasaan makan
makanan berisiko pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Penelitian ini menunjukkan individu yang mempunyai kebiasaan
makan makanan berisiko pada kasus sebesar 60,6% dan yang tidak
mempunyai kebiasaan makan makanan berisiko pada kasus sebesar 12,5%
sehingga frekuensi individu yang mempunyai kebiasaan makan makanan
berisiko pada kasus lebih besar 4,85 kali lipat dibandingkan dengan individu
yang tidak mempunyai kebiasaan makan makanan berisiko dengan nilai
berbeda yang signifikan (p=0,015). Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan
makan makanan berisiko merupakan faktor risiko kasus. (Wiwiek et al. 2010)
Coklat, makanan berminyak atau berlemak, dan makanan dengan
kandungan gula yang tinggi dianggap sebagai penyebab atau pemicu
10
terjadinya akne. Efek diet lemak dan resistensi insulin masih kontroversi.
Penelitian pada hewan hampir semua menunjukkan resistensi insulin pada
diet tinggi lemak, sedangkan pada manusia kurang konklusif. Meskipun ada
beberapa penelitian tentang hubungan antara diet lemak dan resistensi
insulin, tapi sebagian besar tidak menunjukkan adanya hubungan.(Batya et
al., 2010) Telah dilaporkan bahwa coklat tidak berpengaruh secara signifikan
sebagai pemicu terjadinya akne; akan tetapi metodologi yang digunakan
kurang memadai.(Layton, 2010)
Anggapan bahwa beratnya akne berhubungan dengan sekresi sebum
mengakibatkan dugaan bahwa makanan dengan kadar lemak dan karbohidrat
yang tinggi dapat memicu terjadinya akne karena produksi sebum yang lebih
komedogenik (karena kadar lemak darah meningkat) kemudian menyumbat
folikel pilosebaseus lalu terjadi ruptur folikel dan inflamasi.(Batya et al., 2010)
Sehubungan dengan hasil sekuensing yang dihubungkan dengan
gambaran klinis pada sampel kasus penelitian ini diperoleh frekuensi genotif
GG 6 kasus. Empat kasus dengan jumlah lesi komedo kurang dari 20 dan dua
kasus lainnya dengan jumlah lesi inflamasi kurang dari 15, sedangkan
beberapa kasus lainnya dengan manifestasi klinis jumlah lesi total kurang dari
30 dan jumlah komedo kurang dari 20 serta inflamasi kurang dari 15
menunjukkan frekuensi GA yang dominan, sehingga dapat dikatakan bahwa
klinis AV ringan pada penelitian kami tidak berhubungan dengan faktor
genetik gen CYP 1A1 sebagaimana penelitan di negara Jerman. Untuk itu
sangat diperlukan sampel yang lebih banyak lagi serta kriteria AV ringan
yang menitikberatkan pada jumlah komedo kurang dari 20 atau lesi inflamasi
kurang dari 15 untuk melihat kemungkinan hasil yang berbeda dengan
11
kemungkinan untuk mendapatkan frekuensi genotif homosigot mutan atau
mutasi baru pada posisi lainnya seperti pada penelitian sebelumnya.
Apakah gen CYP 1A1 posisi tertentu berperan sebagai faktor
kerentanan penderita akne ringan pada populasi di Indonesia, perlu
dikonfirmasikan dengan penelitian lebih lanjut yang menggunakan sampel
lebih besar dan populasi etnik yang berbeda.
KESIMPULAN
1. Panjang pita DNA gen CYP 1A1 yang terdeteksi melalui elektroforesis
produk PCR adalah 335 bp
2. Polimorfisme gen CYP 1A1 pada penderita akne vulgaris ringan dapat
terdeteksi melalui pemeriksaan lanjutan dengan PCR-Sekuensing
3. Penelitian ini memperoleh frekuensi genotif GG sebanyak 6 kasus (28,6%),
genotif heterozigot sebanyak 9 kasus (42,8%) dan genotif homozigot AA
sebanyak 6 kasus (28,6%)
Saran
1. Jumlah sampel yang lebih besar dengan kriteria AV ringan yang
menitikberatkan pada lesi komedo atau inflamasi serta sampel kontrol
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil polimorfisme yang bermakna secara
signifikan pada penderita AV ringan
2. Sebagai salah satu faktor yang berperan dalam etiologi AV, dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peran berbagai gen lain disamping gen
CYP 1A1
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballanger, F., Baudry, P., N’Guyen, J. M., Khammari, A. & Dreno, B. 2006 Heredity: A Prognostic Factor for Acne. Dermatology. 212: 145-149
2. Baran, R., Chivot, M., Shalita, A., Lewis, A. & Wechsler, A. 2005 Acne. dalam Baran, R.& Maibach, H. (Eds.) Textbook of cosmetic dermatology. 3rd ed. London, Taylor & Francis.
3. Batya, B., Davidovici, M. & Wolf, R. 2010 The role of diet in acne: facts and
controversies. Clin Dermatol. 28: 12-6.
4. Baumann, M. 2002 Acne. dalam Bauman, L. & Weisberg, E. (Eds.) Cosmetic dermatology principles and practise New York, The McGraw-Hill Companies.. 2002 Acne, New York, Mc Graw Hill company.
5. Baz, K., Erdal, M., Yazici, A., Soymelez, F., Guvenec, U., Tasdelen, B. &
Ikizoglu, G. 2008 Association between tumor necrosis factor-alpha gene promoter Polymorphism at-308 and acne in Turkish patients. Arch Dermatol Res. 300: 371-6.
6. Chiu, A., Chon, S. & Kimball, A. 2003 The response of skin disease to stress.
Arch Dermatol. 139: 897-900.
7. Cordain, L. 2005 Implications for the role of diet in acne. Semin Cutan Med Surg. 24: 84-91.
8. Cordain, L., Lindeberg, S., Hurtado, M., Hill, K., Eaton, S. & Brand-Miller, J.
2002 Acne vulgaris a disease of western civilization. Arch Dermatol. 138: 1584-90.
9. Cosma, G., Crofts, F., Currie, D. & Toniolo, P. 1993 Racial differences in
restriction fragment length polymorphism and messenger RNA inducibility of the human CYP 1A1 gene. Cancer Epidemiol., Biomarkers & Prev. 2:53-7.
10. Gollnick, H. 2003 Current concepts of the pathogenesis of acne. Drugs. 63:
1579-96.
11. Gollnick, H. & Cunliffe, W. 2003 Management of acne a report from a global alliance to improve outcomes in acne. J Am Acad Dermatol. 49: S1-38.
12. Goulden, H. & Cunliffe, W. 1999a The familial risk of adult acne: a comparison
Between first-degree relatives of affected and unaffected individuals. British Journal of Dermatology. 141: 297-300.
13. Goulden, V., Stables, G. & Cunliffe, W. 1999 Prevalence of facial acne in
adults. J Am Acad Dermatol. 41: 577-80.
14. Harper, J. (2008) Acne Vulgaris
13
15. Hatta, M. (2002) Teknik Isolasi dan Pengukuran DNA. Seminar Teknik Isolasi
DNA, Makassar, Universitas Hasanuddin.
16. He, L., Yang, Z., Yu, H., Cheng, B. Tang, W. (2006) The relationship between CYP17- 34T/C polymorphysm and acne in chinese subjects revealed by sequencing. Dermatology, 212, 338-342
17. Hunter, J. & Dahl, M. (2003) Clinical dermatology, Massachusetts, Blackwell
science.
18. James, W. D., Berger, T. G. & Elston, D. M. (2006a) Andrews’ disease of the skin clinical dermatology, Philadelphia, Saunders Elsevier.
19. Kaminer, M. & Gilchrest, B. (1995) The many faces of acne. J Am Acad
Dermatol, 32, S6-14.
20. Layton, A. 2010 Disorders of the sebaceous glands. dalam Burns, T., Breathnach, S., Cox, N. & Griffiths, C. (Eds.) Rook's textbook of dermatology. 8th ed. Massachusetts, Wiley-Blackwell.
21. Lehmann, H. P., Robinson, K. A., Andrews, J. S., Holloway, V. & Goodman, S.
N. (2002) Acne therapy: a methodologic review. J Am Acad Dermatol, 47, 231-240.
22. Leyden, J. (1998) Topical treatment of acne vulgaris: retinoid and cutaneus
irritation. J Am Acad Dermatol, 38, S1-4.
23. Loveckova, Y. & Havlikovab, I. (2002) A microbiological approach to acne vulgaris. Biomed Papers, 146, 29-32.
24. Mills, C., Peters, T. & Finlay, A. (1993) Does smoking influences acne? Clin
Exp Dermatol, 18, 100-1
25. Mills, O., Porte, M. & Kligman, A. (1978) Enhancement of comedogenic substances by ultraviolet radiation. Br J Dermatol, 98, 145-50
26. Paraskevaidis, A., Drakoulis, N., Roots, I., Orfanos, C. E. & Zouboulis, C. C.
(1998) Polymorphism in the human cytochrome P-450 1A1 Gene (CYP 1A1) as a factor developing acne. Dermatology, 196, 171-175.
27. Pawin, H., Beylot, C., Chivot, M., Faure, M., Poli, F. & Revuz, J. (2004)
28. Physiopathology of acne vulgaris: recent data, new understanding of the
treatments. Eur J Dermatol, 14, 4-12.
29. Pelczar, C. E. (1998) Dasar-dasar mikrobiologi 1 & 2, Jakarta, UI-Pressh
14
30. Q. Group, Q. (2007) QIAmp® DNA Mini and Blood Mini Handbook, USA, ICI Americas Inc.
31. Roos, T. C., Jugert, F. K., Merk, H. F. & Bickers, D. R. (1998) Retinoid
metabolism in the skin. Pharmacological Reviews, 50, 315-333.
32. Schaefer, T., Nienhaus, A., Vieluf, D. D., Berger, J. & Ring, J. (2001) Epidemiological of acne in the general population: the risk of smoking. Br J Dermatol, 145 100-4
33. Sidiropoulos, M. (2006) Back to basic: acne vulgaris: pathogenesis and retinoid
therapy. University of Toronto Medical Journal, 83, 94-95.
34. Simpson, N. & Cunliffe, W. (2007) Disorders of the sebaceous glands. In Breathnach, T., Cox, S. & Griffiths, C. (Eds.) Rook’s textbook of dermatology. Massachusetts, Blackwell Science.
35. Soprano, D. & Soprano, K. (2003) Pharmacological doses of some synthetic
retinoids can modulate both the aryl hydrocarbon receptor and retinoid receptor pathways. J Nutr, 133, 277S-281S.
36. Spencer, E., Ferdowsian, H. & Barnar, N. (2009) Diet and acne: a review of the
of evidence. Int J Dermatol, 48, 339-47.
37. Suryo (1998) Genetika, Yogyakarta, Gadjah Mada.
38. Walton, S., E. Wyatt & Cunliffe, W. (1998) Genetic control of sebum excretion and acne-a-twin study. Br J Dermatol, 118, 393-6
39. Webster, G. (2007) Overview of the pathogenesis of acne. In Webster, G. &
Rawlings, A. (Eds.) Acne and it’s therapy. New York, Informa healthcare.
40. Dewiyanti, W., Anwar, A. I., Massi, N., Budu & Bahar, B. (2010) Peran polimorfisme gen CYP 1A1 pada akne berat. Dermatovenerelogy Departement. Makassar, Hasanuddin Uiversity.
41. Yuwono, T. (2002) Biologi Molekuler, Jakarta, Erlangga.
42. Yuwono, T. (2006) Teori dan Aplikasi Polymerase Chain, Panduan Eksperimen
PCR untuk memecahkan masalah biologi terkini. Yogyakarta.
43. Zanglein, A. L., Graber, E. M. Thiboutot, D. M. & Strauss, J. S. (2008) Acne vulgaris and acneiform eruptions. In Wolf, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I. & Gilchrest, B. A. (Eds.) Fitzpatrick’s Textbook of` Dermatology. 7th ed. New York, Mc Graw Hill.
44. Zouboulis, C. & Bohm, M. (2004) Neuroendocrine regulation of sebocyte a
pathogenic link between stress and acne. Exp Dermatol, 13, 31-5.