Policy Brief PPI Dunia · 2019. 7. 27. · PPI Dunia ini tidak sekadar menjadi arsip, melainkan...

128
Volume I (Oktober 2018-Juli 2019) Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia Policy Brief PPI Dunia

Transcript of Policy Brief PPI Dunia · 2019. 7. 27. · PPI Dunia ini tidak sekadar menjadi arsip, melainkan...

  • Volume I (Oktober 2018-Juli 2019)Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia

    Policy

    Brief

    PPI Dunia

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    KATA PENGANTAR

    Arus globalisasi seakan tidak tertahan dan malah disokong penuh oleh para ekonom mapan di negara maju. Di saat yang sama, negara-negara berkembang merasakan tarikan dari pusaran-pusaran kekuatan yang ada di kancah geopolitik dunia. Bagaimanapun, negara-negara berkembang termasuk Indonesia seakan kebingungan untuk mencari acuan dan teladan (benchmark) terkait model pertumbuhan ekonomi mana yang ideal untuk Indonesia. Di satu sisi, Indonesia tidak bisa berdiam karena terus bertambahnya jumlah populasi dan jumlah angkatan kerja usia produktif. Di sisi lain, Indonesia tidak bisa begitu permisif memuluskan agenda-agenda negara lain yang ingin menancapkan pengaruhnya dan mengencangkan hegemoni kekuatannya, baik di level nasional maupun regional. Pemerintah harus mencoba membuka mata bahwa ada preseden-presenden yang mungkin terjadi sehingga dapat dihindari bahkan dicarikan solusinya sedari awal.

    Di sini peran ruang diskusi dan kritisi atas kebijakan yang sudah ada menjadi penting, mengingat elemen penduduk terdidik yang makin besar dan semakin banyak anak-anak muda yang telah melihat langsung dan merasakan pengalaman-pengalaman hidup dan belajar di luar negeri yang bisa diambil hikmahnya. Di tataran akademis, proses belajar dan interaksi mancanegara (international exposure) telah membuka wawasan para pelajar Indonesia di luar negeri untuk lebih bijak melihat tren dan dinamika yang terjadi di negara-negara maju dan merefleksikannya pada keadaan Indonesia hari ini, sejauh ini. Di tataran teknis, ekosistem riset yang sinergis dan kucuran investasi pada teknologi-teknologi baru telah lama menjadi amunisi utama negara maju untuk terus mengembangkan ekonomi berbasis inovasi. Sehingga di sini, ada kesejalanan antara diskursus akademis dan praktik di lapangan, baik di level masyarakat maupun di level kebijakan.

    Indonesia telah dianugerahi sumber daya alam yang melimpah. Berada di antara rangkaian gunung aktif dengan tanah yang subur, di sabuk khatulistiwa dengan limpahan sinar mentari, dan berbentuk kepulauan dimana sumberdaya peraian menjadi kekayaan tersendiri, Indonesia sudah semestinya menjadi negara bermodal besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri dalam kacamata kesinambungan dan kedaulatan, serta memainkan peran penting di dalam lingkup ekonomi dan politik regional dan internasional. Tapi, sumber daya alam saja tidaklah cukup. Dunia dewasa ini telah berkembang menjadi gelanggang kemajuan teknologi, dimana negara-negara (termasuk negara berkembang) berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama dan terbaik.

    Tidak hanya itu. Perlombaan dalam kemajuan teknologi juga dapat dikaitkan dengan bagaimana manusia bisa meningkatkan produktivitasnya dan menjaga lingkungan di saat bersamaan. Di sini kemudian, ada gaya tarik-menarik antara peningkatan kualitas hidup dan penurunan kualitas alam dan antara percepatan pertumbuhan ekonomi lewat pembebasan pasar dan

    i

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    kesenjangan. Pertumbuhan-kesenjangan, kemajuan teknologi-kerusakan lingkungan, dan beberapa elemen tukar-menukar (trade-off) yang harus diperkirakan dalam membuat kebijakan yang seharusnya tidak hanya berpihak pada kemajuan dan angka-angka tapi juga pada pemerataan dan peningkatan kualitas hidup manusia secara keseluruhan.

    Dalam tarik-menarik yang terjadi, di sini lah peran manusia sebagai representatif—pemimpin yang mewakili yang banyak dalam peta demokrasi. Terlebih, untuk kaum terdidik, sudah menjadi fitrah dalam dirinya untuk memberi dan menularkan apa yang dia tahu baik dan berfaedah kepada orang lain sehingga ‘tahu’ menjadi ‘laku’ yang mewujud dalam kenyataan dengan usaha kolektif. Usaha tersebut mungkin memakan waktu. Namun begitulah kiranya esensi kehidupan, tidak ada makan siang gratis.

    Terlebih, tahun 2019 adalah momen penentu kemana arah perubahan Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah melakukan investasi demi investasi, baik secara fisik maupun sumber daya manusia, untuk mengejar ketertinggalan dan bersiap keluar dari jebakan kelas menengah (middle-income trap) dan memanfaatkan bonus demografi. Dalam hal ini, belum ada gambaran yang konkret kemana Indonesia akan dibawa, apakah menjadi negara maritim yang mampu mengoptimalkan sumber daya laut dan mempertahankan kedaulatan perairannya, negara industri yang mampu bersaing tidak hanya dengan sumber daya manusia (SDM) yang murah tapi juga kemajuan dan penguasaan teknologi, atau menjadi negara agraris yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan sumber daya alam (SDA) pertanian, perkebunan, peternakan, dan hutan.

    Bagaimanapun, mengutip Anies Baswedan, kemajuan suatu negara bukan semata soal modal SDA tapi kesiapan SDM. Sebenarnya Indonesia sudah memulai mendisrupsi status quo (go with the flow) dengan dukungan untuk menyekolahkan anak-anak bangsa yang kompeten untuk menuntut ilmu yang tinggi di kampus-kampus terbaik dunia lewat program beasiswa maupun kerja sama bilateral dalam misi kebudayaan dan pendidikan. Hanya saja peta jalan (roadmap) atau gambaran besar tujuan bersama itu kabur, seakan mengesampingkan pilar-pilar ideologi Indonesia Pancasila, khususnya sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang terlihat sekilas di dunia maya adalah pemerintah Indonesia berjuang mengikuti tren yang ada dan mengadopsi banyak jargon seperti Revolusi Industri 4.0, start-up digital, dan sebagainya, tanpa benar-benar menilik dimana kaki ini seharusnya berpijak dan kemana badan akan dibawa melangkah.

    “Kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya, bukan sumber daya alamnya.”- Anies Baswedan -

    ii

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Dalam hal ini, dengan mengakui keterbatasan-keterbatasan sebagai para pelajar (umumnya pascasarjana), kami mencoba mengumpulkan analisa akademis, studi komparatif, dan suntikan ide-ide segar dari rumpun ilmu sosial humaniora, ekonomi, lingkungan, sains dan teknologi, yang merupakan pelajaran (lesson learned) yang didapat di ruang kelas (hasil sintesa studi akademis dan produksi pengetahuan yang terjadi dalam diri pribadi) maupun kajian kolektif yang menawarkan angin segar kemajuan berdasarkan data, pengetahuan, dan temuan-temuan yang relevan.

    Keluar dari konotasi ‘kebijakan’ yang terkesan politis dan sarat agenda (vested interest), kami telah mengumpulkan dan menerima 21 manuskrip analisa kritis kebijakan, proposal konseptual (proof of concept), maupun kajian teknis yang bisa dijadikan pertimbangan dalam merumuskan, menyesuaikan, dan memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia di masa kini dan yang akan datang. Setelah proses editorial dan review sejawat (peer review), per Juli 2019 Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia 2018-2019 telah menerbitkan dua belas (12) hasil kajian dan sumbang pikiran anak-anak muda Indonesia yang sedang dan/atau baru saja menyelesaikan studinya di luar negeri dalam kompilasi Policy Brief PPI Dunia, di bawah payung besar Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia).

    Merujuk pada kebijakan-kebijakan terkait di dalam negeri dan menyelaraskan dengan 9 dari 16 Sustainable Development Goals (SDGs) dunia, diharapkan kementerian terkait dan para pemangku kepentingan (stakeholders) dapat mengambil sari pikiran kami dalam menyiapkan kebijakan yang tepat sasaran dan berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, peningkatan kualitas hidup, stabilitas ekonomi dan sosial, serta pendayagunaan kekuatan-kekuatan Indonesia sebagai bangsa dan negara.

    Dalam bidang ekonomi Hadied Safarayuza dan Muhammad Putra Hutama mengulas fenomena pelemahan rupiah (#1) yang pernah terjadi di tahun 2018. Kemudian, Leonardus Meta Noven Hendranto mengusik kembali mimpi lawas kedaulatan pangan (#11) yang seakan kabur di tengah mudahnya mengimpor beras dan komoditas lainnya di era global. Mengingat kekuatan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Ahmad Zacky Makarim, Vinny Dwi Melliny, dan Muhammad Fadhil Habibie ingin Indonesia melihat potensi pasar dan jasa keuangan syariah (#12) di dalam negeri. Lewat kekayaan hayati dan biodiversitas, Nova Syafni, Anthony L. Tanaku, Eko C. Sinamo, dan Michael C. Siagian beropini bahwa integrasi obat tradisional (#9) ke sistem kesehatan nasional layak diperjuangkan.

    Dalam pemenuhan kebutuhan energi dan upaya mencapai target bauran energi yang sudah disepakati, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan sumber energi baru/terbarukan, dimana Aldin Adrian membahas tantangan pengembangan gas metana batubara (#2) dan Laode Marzujriban Masfara shale gas (#7) sebagai sumber energi baru/terbarukan di Indonesia. Lebih lanjut, Anissa Sukma Safitri berargumen bahwa pengolahan limbah air (#3) tidak hanya

    iii

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    berguna bagi ketersediaan air bersih tapi juga bisa menghasilkan biogas yang bisa dijadikan sumber energi alternatif. Kemudian, Wisnu Ananda dan Ahmad Ibrahim cukup optimis melihat potensi sel surya generasi kedua (#10) sebagai celah Indonesia mengejar target bauran energi, khususnya porsi energi terbarukan (renewable energy) yang masih jauh panggang dari api lewat pendirian manufaktur teknologi baru ini di dalam negeri. Didukung dengan penguasaan teknologi additive manufacturing atau 3D printing (#4), Indonesia bisa meningkatkan kualitas material aktif penghasil dan pengkonversi energi.

    Sedangkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan peningkatan kualitas hidup, Alamsyah Agus mengusulkan pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi 1951 (#5) terkait kejelasan dan itikad baik pemerintah dalam menangani pengungsi dari negara yang dilanda bencana maupun konflik/perang. Sedangkan terkait penghapusan kemiskinan dan respon terhadap bencana alam yang mengganggu pencaharian dan kegiatan ekonomi masyarakat, Naimah Talib berargumen bahwa pendekatan perlindungan sosial dalam merespon bencana (#8) menjadi krusial sehingga bantuan sosial tidak bergantung pada bantuan sporadis dan perekonomian rumah tangga segera bangkit tanpa mengorbankan marwah (dignity) para korban bencana. Terakhir, dengan semangat mengevaluasi dan menuju “best practice” di dunia pendidikan, Muhammad Fadlian Amhar merasa program Bantu Guru Melihat Dunia atau BGMD (#6) yang pertama kali diinisiasi oleh Komisi Pendidikan PPI Dunia kepengurusan 2017-2018 bisa menjadi acuan dalam program-program studi banding yang sudah lazim dilakukan tapi minim persiapan dan tindak lanjut.

    Sebagai penutup pengantar ini, saya ucapkan terima kasih banyak kepada Koordinator PPI Dunia Fadjar Mulya (Permitha Thailand) dan ketua komisi-komisi PPI Dunia yang telah menjalankan mandat Simposium Internasional di Moskow, 2018. Terkhusus, ketua Komisi Energi Avianto Nugroho (PPI Jerman), ketua Komisi Ekonomi Hadied Safarayuza (PPI Hongaria), ketua Komisi Kesehatan Michael C. Siagian (PPI Tiongkok), dan ketua Komisi Pendidikan Agus Ghulam (PPI Maroko). Terima kasih juga saya aturkan untuk co-editor Policy Brief PPI Dunia Ahmad Rizky M. Umar (PPI Australia), associate editor Muhammad Iqbal Maulana (PPI Belanda), dan designer Angga Fauzan (PPI United Kingdom).

    Semoga kumpulan hasil kajian dan sumbang pikiran yang terbit dalam kompilasi Policy Brief PPI Dunia ini tidak sekadar menjadi arsip, melainkan menjadi pemantik kajian-kajian lebih lanjut dan lebih mendalam, serta modal awal untuk terus mengawal rezim baru yang akan segera dilantik dalam waktu dekat.

    Singapura, 6 Juni 2019Tertanda,Bening Tirta MuhammadChief Editor Policy Brief PPI Dunia 2018-2019

    iv

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    POLICY BRIEF

    PPI DUNIA

    DALAM ANGKA

    v

    21manuskripditerima

    13negaratempatstudi

    9penulis

    12policybrief

    4kajianonline(webinar)

    9SustainableDevelopmentGoals

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    DAFTAR ISI

    Menyikapi pelemahan rupiah: tantangan dan prospek kebijakan

    Pengembangan gas metana batubara sebagai energi baru terbarukan di Indonesia: kebijakan dan strategi percepatan

    Integrated wastewater treatment concept for water resource recovery Tinjauan potensi teknologi additive manufacturing (3d printing) untuk material instrumen penghasil energi

    Masalah sosial pengungsi di Indonesia dan pentingnya ratifikasi Konvensi 1951

    Studi komparatif praktis dan pengembangan kapasitas guru di Indonesia: belajar dari program bantu guru melihat dunia

    Shale gas: tantangan dan perkembangannya untuk pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia Building a better response towards natural disasters’ resilience: a social protection policy approach

    Prospek obat tradisional di Indonesia dan integrasinya dalam sistem kesehatan nasional

    Realisasi industri manufaktur sel surya di Indonesia: kesempatan mengejar di generasi kedua Ambisi kedaulatan pangan dan tantangan sektor pertanian Indonesia

    Tantangan dan prospek ekonomi syariah di Indonesia

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

    10.

    11.

    12.

    vi

  • PPI BriefPerhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    PPI Brief no. 1 / 2018

    Oleh Hadied Safarayuza dan Muhammad Putra Hutama

    Menyikapi Pelemahan Rupiah: Tantangan

    dan Prospek Kebijakan

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    • Penyebab dari pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kombinasi faktor internal, yang terkait dengan perbaikan twin deficit, serta faktor eksternal yang disebabkan kenaikan tingkat suku Bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve.

    • Namun demikian, pelemahan nilai tukar rupiah sangat jauh dengan kondisi pelemahan rupiah saat mengalami depresiasi tahun 1998. Pemerintah dan Bank Indonesia telah memili ki beberapa kebijakan yang merespons krisis.

    • Ada beberapa kebijakan lainnya yang harus diambil guna menahan laju dan menjaga stabili tas nilai tukar rupiah. Secara jangka-panjang, perlu adanya koordinasi kebijakan yang lebih efektif di Kementerian terkait bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta revisi UU tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar.

    • Secara jangka-pendek, pengurangan subsidi BBM secara bertahap juga bisa dilakukan, dengan catatan pemerintah juga bisa menanggulangi dampak sosial bagi masyarakat miskin.

    • Masyarakat diharapkan untuk tetap tenang serta tidak mencampur kondisi ini dengan politik praktis yang justru akan menghambat upaya pemerintah dalam menstabilkan nilai tukar rupiah.

    PENYEBAB PELEMAHAN RUPIAH

    Sejak awal tahun 2018, pergerakan mata uang Rupiah terus melemah atau mengalami depre-siasi yang cukup signifikan terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Pada awal tahun, Rupiah berada di posisi Rp 13.542 dan melemah menjadi Rp 14.927 per 5 September 2018, atau men-galami depresiasi sekitar 10.23% (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate)[1] . Penurunan nilai tukar Rupiah ini menjadi yang tertinggi sejak periode “krisis moneter 1998” dimana saat itu Dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di angka Rp 16.650. Pergerakan atau fluk-tuasi rupiah dalam kurun waktu 1998–2018 dapat dilihat pada Gambar 1.

    Kondisi pelemahan nilai tukar rupiah saat ini tidak dapat disamakan dengan pelemahan nilai tukar rupiah pada saat krisis moneteter tahun 1998 karena terdapat kondisi makroekonomi yang sangat berbeda. Meskipun demikian, pelemahahan rupiah ini tentunya tidak boleh dib-iarkan berkepanjangan karena akan membawa efek negatif ke berbagai sektor.

    1

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Figure 1. Pergerakan Rupiah Periode 1998 – 2018

    Faktor Eksternal

    Kondisi politik dan ekonomi global berperan besar dalam pelemahan rupiah. Kami berargu-men bahwa ada setidaknya lima faktor yang berkontribusi terhadap pelemahan Rupiah saat ini.

    1. Pengetatan kebijakan moneter AS dengan menerapkan kebijakan Tapering Off Quantita-tive Easing. Federal Reserve Bank (The Fed) atau Bank Sentral AS menerapkan peningkatan suku bunga atau Federal Reserve Rate sejak Desember 2015 sebesar 0.5%, Desember 2016 sebesar 0.75%, Desember 2017 sebesar 1.5%, hingga melebar menjadi 3% pada Juni 2018 dan bertahan hingga sekaran[2] . Lebih lanjut, terdapat kebijakan Presiden Donald Trump yang memberikan insentif lebih kepada kebijakan fiskal AS.

    Beberapa kebijakan di atas berimbas pada meningkatnya modal atau investasi yang masuk ke AS sehingga meningkatkan perekonomian dan nilai mata uang AS. Di sisi lain, aliran modal atau investasi yang masuk ke negara lain, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, semakin berkurang dan mengakibatkan nilai mata uang melemah. Laporan Morgan Stanley, lembaga keuangan internasional, pada tahun 2013, menempatkan Indonesia dalam kelompok

    Apa penyebab rupiah melemah? Apakah kita sedang mengalami “krisis moneter jilid 2”? Bagaimana kondisi hutang Indonesia terkini setelah Rupiah mengalami depresiasi? Lang-kah-langkah apa yang sudah dan seharusnya di lakukan oleh pemerintah dan Bank Indo-nesia?

    [2] Data Federal Reserve Bank[3] Bloomberg, dilihat di www.voaindonesia .com

    2

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Faktor Internal

    The Fragile Five bersama Afrika Selatan, Brazil, India dan Turki. Negara-negara ini tergolong fragile selain karena besarnya defisit transaski berjalan, juga dikarenakan besarnya ketergan-tungan terhadap short-term investment.

    2. Perang dagang dua perkenomian terbesar saat ini, AS dan Tiongkok. Perlu digaris bawahi bahwa kedua negara tersebut termasuk dalam kategori partner dagang terbesar Indonesia. AS dan Tiongkok telah menerapkan kebijakan peningkatan bea masuk impor dengan menarget-kan berbagai barang asal kedua negara tersebut. Polemik ini meningkatkan ketidakpastian pasar global yang akan berimbas pada perekonomian negara lain, sehingga penguatan daya saing pasar keuangan domestik menjadi sangat vital.

    3. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir. Lalu apa dampaknya terhadap laju perekonomian Indonesia? Tiongkok mengimpor banyak barang mentah atau setengah jadi dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan perlambatan Ekonomi Tiongkok, hal ini berimbas pada pengurangan ekspor Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa ekspor non migas Indonesia ke China pada April 2018 sebesar US$ 1,82 miliar, turun 22,81% dibanding bulan sebelumnya. [3]

    4. Krisis ekonomi yang terjadi di Argentina dan Turki turut memberikan dampak senti-ment negatif terhadap perekonomian di negara berkembang lain. SSejak awal tahun 2018, mata uang Peso Argentina mengalami depresiasi terhadap Dolar AS terburuk sebesar 51.85% per 31 Agustus 2018. Adapun nilai mata uang Lira Turki per 13 Agustus 2018 telah terdepre-siasi sebesar 66% sejak awal tahun. Kedua mata uang tersebut telah menguat walaupun belum cukup signifikan. Akibatnya, fenomena ini membawa sentimen negatif berupa kekhawatiran para investor yang menarik uang mereka keluar dan menurunnya kepercayaan global terh-adap negara emerging markets lainnya termasuk Indonesia.

    Selain itu, juga ada beberapa faktor internal. Secara umum, kami melihat tiga faktor internal penting yang juga memberi saham terhadap pelemahan Rupiah saat ini.

    1. Munculnya Fenomena Twin Deficits yang dialami Indonesia, yaitu defisit neraca transak-si berjalan dan APBN. Defisit neraca transaksi berjalan ini disebabkan oleh tingginya aktivi-tas domestik yang memicu peningkatan investasi dan permintaan impor tanpa dibarengi dengan pertumbuhan ekspor yang memadai. Menurut data Bank Indonesia, defisit transasksi berjalan kuartal II-2018 tercatat 3% dari Gross Domestic Product (GDP) atau sebesar USD 8 miliar. Angka defisit ini lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 1.96%

    3

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    ataupun kuartal I-2018 sebesar 2.6%. Risiko pelemahan rupiah akan terus terjadi sepanjang transaki berjalan mengalami defisit [4].

    2. Defisit transaksi berjalan dipicu oleh performa buruk neraca perdagangan Indonesia. Menurut data BPS, pada periode Januari-Agustus 2018 defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai angka USD 40.86 miliar[5]. Peniliti INDEF, Abraham El Talattov menyampaikan, defisit pendapatan primer merupakan penyebab utama dari defisit transaksi berjalan ini dan seringkali luput dalam dalam pembahasan di media[6]. Defisit primer ini dipicu oleh besarn-ya aliran dana keluar atau repatriasi untuk pembayaran laba atau dividen kepada pemodal atau investor asing, serta bunga utang luar negeri. Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit pendapatan primer telah terjadi sejak tahun 2010, dan pada kuartal I dan II- 2018 berada di angka defisit USD 16.06 Miliar[7]. Seluruh item dalam perhitungan pendapatan primer men-galami defisit diantaranya: pendapatan kompenasi tenaga kerja defisit USD 726.5 juta, pen-dapatan investasi langsung defisit USD 9 miliar, pendapatan investasi portfolio defisit USD 5.3 milir dan pendapatan investasi lainnya 1.08 miliar.

    3. Defisit APNB menggambarkan bahwa penerimaan negara tidak mampu mengompensasi pengeluaran atau pembiayaan negara. Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara belum mencukupi untuk membiaya pengeluaraan negara sehingga opsi lain harus diambil antara lain melalui pinjaman negara atau hutang.

    Salah satu hal yang menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia adalah Krisis Moneter tahun 1998 dimana harga kebutuhan primer dan sekunder mengalami hyperinflasi menyentuh hingga titik 78.2%. Lebih lanjut mata uang rupiah jatuh terdepresiasi sebesar Rp 16.650 dengan persentase 254%[8] . Meskipun terdapat kecenderungan nilai tukar rupiah yang sudah menyentuh level Rp 15.000 dan mengaitkan kondisi tersebut dengan Krisis Moneter tahun 1998, faktanya adalah kondisi makroekonomi Indonesia saat ini berbanding terbalik dengan kondisi periode krisis tahun 1998[9].

    Dapat dilihat bahwa kondisi perekonomian Indonesia secara fundamental masih dikatagori-kan cukup baik. Inflasi Indonesia yang sebesar 3.2 % masih sesuai ekspektasi Bank Indonesia ditambah dengan depresiasi saat ini yang secara persentasi hanya menyentuh 11 -13%. Lebih lanjut saat ini Bank Indonesia menerapkan kebijakan floating exchange rate dimana sebelum krisis tahun 1998 masih menggunakan kebijakan fixed exchange rate sehingga Bank Indonesia tidak perlu menggunakan banyak cadangan devisa untuk mengintervensi nilai tukar rupiah [10]. Di sisi lain dampak yang ditimbulkan akibat nilai tukar rupiah adalah hutang luar negeri Indonesia meningkat secara prinsip dikarenakan adanya gap nilai tukar. Pelemahan nilai rupiah ini akan jelas lebih terasa jika telah jatuh tempo. Namun kondisi hutang luar negeri

    APAKAH KONDISI EKONOMI INDONESIA TAHUN 2018 SERUPA DENGAN KRISIS 1998?

    4

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Indonesia saat ini tidak seperti dahulu saat hutang didominasi dengan dolar.

    Menurut Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jendaral Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko menjelaskan bahwa hutang luar negeri Indonesia 60% menggunakan mata uang rupiah [11]. Meskipun terdapat faktor internal khususnya twin deficit, dapat dikatakan bahwa kon-disi Indonesia saat ini tidak dapat disamakan dengan krisis moneter tahun 1998.

    Pemerintah sudah mengambil langkah cepat sebagai solusi jangka pendek menstabilkan nilai rupiah. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reserve Rate Repo Rate (7DRRR) sebanyak 25 bps menjadi 5.50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4.75% dan suku bunga Lending Facilty sebesar 25 bps menjadi 6.25%[12]. Jika dibandingkan dengan awal tahun, BI 7-Day Reserve Rate Repo Rate (7DRRR) telah meningkat sebanyak 125 bps. Kenaikan suku bunga acuan BI ini menjadi krusial untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan meningkatkan aliran dana atau investasi masuk ke Indonesia.

    Pemerintah juga menetapkan perluasan mandatory penggunaan Biodiesel 20 persen (B20) mulai 1 September 2018 pada kendaraan bersubsidi atau public service obligation (PSO) dan Non PSO melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan dan Penggu-naan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Biodisel (B20) merupakan bahan bakar minyak jenis solar yang dicampur 20 persen komponen minyak kelapa sawit. Program mandatory B20 merupakan strategi pemerintah untuk penghematan devisa dan menekan impor solar dalam rangka menyehatkan neraca pembayaran dan menstabilkan nilai rupiah.

    Pemerintah juga memberlakukan peningkatan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 terhadap 1.147 komoditas impor yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 110/PM-K.010/2018. Kebijakan tarif tersebut bervariasi mulai naik 30 persen sampai empat kali lipat [13]. Kebijakan ini tentunya memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan kajian Kementrian Keuangan, setiap kenaikan bea masuk sebesar 2-4 persen, akan menurun-kan impor hingga satu persen[14]. Langkah ini perlu diambil untuk menstabilkan nilai rupiah yang menjadi prioritas utama pemerintah saat ini.

    5

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Lantas, kebijakan seperti apa yang bisa dipertimbangkan Indonesia untuk memitigasi potensi krisis 2018 agar tidak berdampak negatif terhadap perekonomian nasional? Kami menawar-kan kombinasi kebijakan jangka-panjang dan kebijakan jangka-pendek untuk memitigasi potensi krisis agar tidak meluas dan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.

    Secara jangka panjang, Implementasi koordinasi yang efektif antar kementerian/lembaga pemerintah perlu menjadi perhatian serius. Masalah pelemahan Rupiah tidak hanya menjadi domain Bank Indonesia, tetapi juga Kementerian lain yang terkait. Sebagai contoh, polemik kasus perizinan impor beras antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan Perusa-haan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog). Kemendag memberikan izin impor beras seban-yak 500 ribu ton pada bulan Februari, 500 ribu ton tambahan pada bulan Mei, dan kembali menerbitkan izin impor beras sebanyak 1 juta ton pada Agustus 2018, dengan total potensi volume beras mencapai 2 juta ton. Sebaliknya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menegaskan gudang-gudang beras milik Bulog sudah penuh[15]. Mengapa hal ini menjadi signifikan? Di saat rupiah mengalami pelemahan yang direspons dengan implementasi stimu-lus moneter oleh BI, penekanan jumlah impor umumnya juga perlu dielaborasikan terkait dengan penggunaan nilai kurs dalam transaksi perdagangan. Selanjutnya, koordinasi yang efektif antar pemangku kepentingan akan membawa sentimen positif meningkatkan keper-cayaan investor untuk menanamkan modal.

    Masih dalam konteks strategi jangka panjang, revisi kebijakan Undang-Undang (UU) No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar perlu untuk dilakukan. Kebijakan ini dirasa tidak menguntung bahkan cenderung merugikan perekonomian nasional dimana tidak ada kewajiaban Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk dikonversi ke dalam denominasi rupiah dan tidak ada pengaturan batas minimal waktu dana investasi asing untuk ditahan di dalam negeri. Para pemodal dan spekulan asing bebas untuk mempermainkan nilai tukar rupiah melalui penarikan kembali modal yang ditanamkan secara tiba-tiba tanpa perlu memerhatikan batas waktu tertentu[16].

    Indonesia juga bisa belajar dari Malaysia dan Thailand dalam hal pencegahan kebocoran devisa. Misalnya, Malaysia menetapkan aturan yang mensyaratkan mengubah 75 persen DHE menjadi denominasi ringgit. Dalam konteks yang berbeda, Thailand yang mewajibkan DHE diendapkan selama 6-9 bulan di bank domestik. Dengan dibelakukannya revisi UU ini, memu-dahkan pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah sekaligus mengatur devisa yang masuk ke kas negara secara efektif.

    REKOMENDASI KEBIJAKAN

    6

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Secara jangka pendek, Dr. Fithra Faisal Hastiadi dari Universitas Indonesia berpendapat bahwa pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bisa menjadi strategi jangka pendek yang bisa diambil oleh pemerintah[17]. Defisit neraca migas saat ini cukup besar yang distimulasi oleh naiknya demand dalam negeri akibat ketidakseimbangan harga yang disebabkan oleh penerapan subsidi tersebut. Jika dibandingkan dengan pengenaan tarif PPh 22 sebesar rata-rata 8% untuk impor barang konsumsi berpotensi mengurangi output hingga 0,18% atau sebesar Rp47,23 triliun dan menurunkan pendapatan rumah tangga sebesar 0,26% atau sebesar Rp5,36 triliun. Sebaliknya, kontraksi output dengan skenario pengurangan subsi-di BBM sebesar 10%, maksimal akan menyentuh 0,042% atau setara dengan Rp11 triliun dimana pendapatan masyarakat hanya akan berkurang 0,05% atau setara Rp1 triliun[18]. Namun demikian, kebijakan ini hanya bisa diambil jika pemerintah bisa meminimalisasi dampak sosial yang mungkin saja terjadi, seperti penurunan daya beli masyarakat ber-pendapatan rendah.

    Di luar rekomendasi di atas, kami mengapresiasi upaya pemerintah untuk melancarkan proyek pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim usaha. Apabila Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang baik, ekonomi Indonesia akan sulit untuk mencapai potensi mak-simal. Ini bisa berujung pada jebakan kelas menengah (middle income trap), kutukan bagi negara berpendapatan menengah yang sulit naik kelas menjadi negara maju[20] . Dengan perbaikan infrastruktur, industri akan mampu meningkatkan daya saing dan produktifitas sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, sektor pariwisata yang tetap perlu didorong pertumbuhannya sebagai alternatif pemasukan devisa negara.

    7

    Lorem ipsum

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    8

    Hadied Safarayuza adalah Ketua Komisi Ekonomi PPI Dunia 2018/2019 dan Mahasiswa MSc dalam bidang International Economics di Corvinus University of Budapest, Hongaria.

    TENTANG PENULIS

    Muhammad Putra Hutama adalah Anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2018/2019 dan Mahasiswa MSc dalam bidang International Economy and Business di Corvinus University of Budapest, Hongaria

    PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas Kondisi nasional dan internasional terkini. Kritik dan Saran bisa diberikan pada [email protected]

    Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, Rachmad Adi Riyanto

    1. Data Jakarta Internbank Spot Dollar Rate, lihat di https://www.bi.go.id/en/moneter/in-formasi-kurs/referensi-jisdor/Default.aspx/ 2. Tentang Quantitative Easing di Federal Reserve Bank, lihat Kiley, Michael T. (2018). “Quantitative Easing and the “New Normal” in Monetary Policy,” Finance and Economics Discussion Series 2018-004. Washington: Board of Governors of the Federal Reserve System, https://doi.org/10.17016/FEDS.2018.004.

    3. “Ekspor ke China, AS, dan Inggris Penyebab Ekspor April Tertekan”, Kontan Nasional, lihat di https://nasional.kontan.co.id/news/ekspor-indonesia-ke-chi-na-as-dan-inggris-penyebab-ekspor-april-tertekan

    CATATAN AKHIR

  • 4. “Selama Transaksi Berjalan Defisit, Risiko Rupiah Keok Tetap Ada”, Detik Finance, lihat di https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d 4219168/selama-transaksi-berjalan-defis-it-risiko-rupiah-keok-tetap-ada/

    5. Data Kementerian Perdagangan RI. lihat di http://www.kemendag.go.id/id/economic-pro-file/indonesia-export-import/indonesia-trade-balance/

    6. Abraham El Talattov, Policy Talk PPI Dunia #1 - Menyikapi Pelemahan Rupiah: Tantangan dan Prospek Kebijakan, lihat di https://www.youtube.com/watch?v=p939ICRzOFI&t=3300s

    7. Data Bank Indonesia, lihat di https://www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5_4.pdf

    8. “ Sejarah Bank Indonesia: Moneter 1997-1999”. Arsip Bank Indonesia. Lihat Website Bank Indonesia, http://www.bi.go.id/

    9. Lihat siaran pers Badan Pusat Statistik, September 2018.

    10. Anwar Nasution, “Indonesia’s Long Road to Economic Stability” East Asia Forum, 17 April 2015. http://www.eastasiaforum.org/2015/04/17/indonesias-long-road-to-economic-stability/

    11. “Ini Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Kemampuan Bayar Hutang Pemerntah”, Kompas Online, https://ekonomi.kom-pas.com/read/2018/08/23/061500526/ini-dampak-pelemahan-rupiah-terhadap-kemampuan-bayar-utang-pemerintah/

    12. Data Bank Indonesia, lihat di https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pag-es/sp_206618.aspx

    13. ”Pajak 1147 Barang Impor Dinaikkan”, Pikiran Rakyat, 5 September 2018. lihat di http://w-ww.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2018/09/05/pajak-1147-barang-impor-dinaikkan-429792

    14. Ibid.

    15. “Jor Joran Buka Izin Impor Beras, Mengamankan Jokowi di 2019”, Tirto, 13 September 2018. lihat di https://tirto.id/jor-joran-buka-izin-impor-beras-mengamankan-jokowi-di-2019-cUkv diakses pada 13 September 2018

    16. “Pelemahan Rupiah: Hipmi Rekomendasikan Langkah Jangka Panjang”, Bisnis, 21 Mei 2018. Lihat di http://industri.bisnis.com/read/20180521/12/797898/pelema-han-rupiah-hipmi-rekomendasikan-langkah-jangka-panjang

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    9

  • 17. Dr. Fithra Faisal Hastiadi, Policy Talk PPI Dunia #1 - Menyikapi Pelemahan Rupiah: Tantan-gan dan Prospek Kebijakan, lihat di https://www.youtube.com/watch?v=p939ICRzOFI&t=3300

    18. Fithra Faisal Hastiadi, “Pertunjukan Wagnerian Rupiah”, Republik 11 September 2018. lihat di https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/09/11/pe-q2d2440-pertunjukan-wagnerian-rupiah-part1

    19. “Ambisi Infrastruktur Jokowi & anjloknya nilai rupiah”, CNVC, 26 Juli 2018. Lihat di https://www.cnbcindonesia.com/mar-ket/20180726142128-17-25512/ambisi-infrastruktur-jokowi-anjloknya-nilai-rupiah/2

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    9

  • PPI Brief SeriesPerhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    PPI Brief no. 2 / 2018

    Oleh Aldin Ardian

    Pengembangan Gas Metana Batubara sebagai

    Energi Baru Terbarukan di Indonesia: Kebijakan

    dan Strategi Percepatan

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    • Dewan Energi Nasional telah menyusun diversifikasi energi nasional hingga tahun 2050, dan Energi baru terbarukan (EBT) diproyeksikan mampu memiliki tingkat pertumbuhan paling tinggi. Gas Metana Batubara atau Coalbed methane (CBM) menjadi salah satu anda lan EBT. Namun, produksi listrik dari CBM diragukan pertumbuhannya untuk mencapai target bauran energi nasional.

    • Evaluasi kebijakan, pemetaan hambatan, dan pemberian solusi prospektif harus dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan industri CBM di Indonesia.

    • Tantangan pada pengembangan industri CBM di Indonesia adalah (1) eksplorasi dan pem bebasan lahan, (2) aspek teknis pada proses dewatering (proses pengeringan sumur produk si), dan (3) rezim fiskal. Pemerintah perlu mengupayakan kebijakan untuk merespons beber apa hal ini melalui aturan hukum dan peta jalan yang komprehensif.

    ENERGI BARU TERBARUKAN DI INDONESIA

    Keterangan:

    Dewan Energi Nasional (DEN) telah menyusun target bauran energi nasional dari tahun 2015 hingga tahun 2050. Pada tahun 2015 hingga 2020, minyak masih mendominasi bauran energi nasional, diikuti oleh batubara pada tahun 2025 hingga 2035. Namun demikian, Energi baru terbarukan (EBT) pada 2050 diproyeksikan mendominasi bauran energi nasional (gambar 1).

    ET : Energi Terbarukan

    EB : Energi Baru

    EBT : Energi Baru Terbarukan

    MTOE : Million Tonnes of Oil Equivalent

    1

    Bagan 1. Bauran Energi Nasional Tahun 2015 dan 2050

    Sumber: (DEN, 2014)2015 2050

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Tabel 1. Tingkat Pertumbuhan Sumber Produksi Energi Nasional

    Sumber: (Dewan Energi Nasional, 2014) (diolah)

    Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia bisa dikatakan cukup bervariasi. Energi nuklir menjadi alternatif terakhir karena alasan keselamatan, hidrogen dan batubara tergaskan masih belum terlihat perkembangannya, kemudian batubara tercairkan sempat digadang-ga-dang menjadi sumber energi baru pada tahun 2009 yang akan dibangun di Sumatera Selatan, tetapi hingga saat ini perkembangannya belum terlihat signifikan (Kementerian-ESDM, 2018a). Sementara itu, meskipun pengembangan Coalbed Methane cenderung lambat, perkembangannya saat ini mulai menunjukkan hasil untuk menjadi sumber energi baru.

    Oleh karena itu, pengembangan energi baru perlu mendapat perhatian lebih, terutama di bidang CBM. PPI Brief ini mengupas prospek pengembangan kebijakan sektor energi baru di Indonesia, ditinjau dari aspek teknis dan regulasi. Kami berargumen bahwa pengembangan CBM di Indonesia tak terlepas dari tiga sisi penting: eksplorasi, pengembangan, dan rezim fiskal. PPI Brief ini mengulas pengembangan CBM berdasarkan tiga aspek tersebut dan mere-komendasikan beberapa strategi percepatan ke depan.

    Menariknya, EBT ditargetkan memiliki tingkat pertumbuhan paling tinggi dari awal hingga akhir (tabel 1). Khususnya energi baru (EB) seperti Gas Metana Batubara Coalbed methane (selanjutnya akan disebut CBM), nuklir, hidrogen, batubara tergaskan dan tercair-kan hingga tahun 2030 diproyeksikan memiliki pertumbuhan lebih dari 2 kali lipat. Bahkan, pemerintah menargetkan kontribusinya sebesar 22% dari total EBT atau 6,8% (68 MTOE) dari total bauran energi nasional.

    2

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    MENGAPA GAS METANA BATUBARA PENTING BAGIPENGEMBANGAN ENERGI DI DI INDONESIA?

    Coalbed Methane atau Gas Metana Batubara (CBM) adalah gas yang terbentuk melalui proses geologi pembatubaraan (koalifikasi) dengan suhu dan tekanan tinggi atau aktivitas metabo-lisme mikroorganisme pada batubara (Haq et al., 2018). Gas ini sebelumnya hanya dianggap racun pada kegiatan penambangan batubara, tetapi sekarang gas ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dengan menerapkan teknologi baru (Debnath, 2016; Haswell & Beth-mont, 2016). Amerika serikat merupakan negara pertama yang mengeksploitasi CBM pada tahun 1930, diikuti oleh Tiongkok Australia, Kanada, dan Jerman sebagai negara dengan angka produksi CBM terbesar di dunia (Formolo, Martini, & Petsch, 2008; IEA, 2018). Sementara itu, eksplorasi CBM di Indonesia dimulai pada tahun 2009 dengan mengeluarkan 54 PSC (production-sharing contract). Stevens (2004) memperkirakan sumber daya CBM Indo-nesia berkisar pada angka 453 TCF (trillion cubic feet), dengan potensi terbesar di Sumatera Selatan. Sayangnya hingga hari ini, produksi CBM di Indonesia belum mencapai target bauran energi nasional.

    Pada tahun 2013, salah satu pemegang PSC, PT. Virginia Indonesia Company (VICO) untuk pertama kali memproduksi listrik dengan jumlah kecil (Kontan, 2014). Sedangkan perkemban-gan produksi pemegang PSC lainnya masih dibelakang VICO. Hingga tahun 2015, produksi listrik dari CBM Indonesia masih di angka 0,08 MTOE. Perlu diketahui bahwa CBM ditarget-kan mampu memproduksi listrik 3 MTOE pada tahun 2015, kemudian pada tahun 2014 diper-barui bahwa target pada tahun 2015 menjadi 0 MTOE dan pada tahun 2020 menjadi 5 MTOE (Blueprint, 2006; DEN, 2014).

    Hingga 2018, paling tidak ada 22 PSC memilih menghentikan operasinya karena alasan keekonomian dan lingkungan (Kementerian-ESDM, 2018b). Hal ini tentunya mengkhawatir-kan, mengingat Indonesia memiliki sumber daya CBM yang tinggi, harga minyak yang terus meningkat, dan target capaian bauran energi nasional yang patut dipatuhi. Oleh sebab itu, strategi percepatan perlu dirumuskan untuk memastikan Indonesia bisa mencapai target bauran energi nasional yang sudah ditetapkan. Sebagai tambahan, industri pertambangan batubara menjadi lebih aman dari emisi gas beracun dan risiko ledakan jika gas metananya telah dieksploitasi (Rychlicki & Twardowski, 2002; Zhou et al., 2015).

    PENGEMBANGAN GAS METANA BATUBARA DI INDONESIA: TANTANGAN KEBIJAKAN

    Pemerintah sudah merumuskan beberapa kebijakan CBM di Indonesia, misalnya melalui Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 tentang Pengusahaan CBM. Peraturan ini kemu-dian direvisi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 36 tahun 2008, yang merevisi peraturan sebelumnya untuk mempercepat proses investasi dan pengusahaan CBM. Belakangan, Men-

    3

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    teri ESDM menggabungkan peraturan menteri tersebut ke dalam Peraturan Menteri ESDM No. 8 tahun 2017 tentang Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Bumi.

    Melihat perkembangan industri CBM di Indonesia saat ini yang masih jauh dari target, anali-sis teknis maupun non-teknis perlu dilakukan. Oleh karena itu, beberapa tantangan kebijakan pengembangan CBM yang dilakukan oleh pemerintah perlu dievaluasi, agar peta jalan yang lebih komprehensif bisa dirumuskan untuk mempercepat pengembangan energi baru terbaru-kan di Indonesia. PPI Brief ini memetakan tantangan tersebut di dalam tiga tahap: eksplorasi, pengembangan (development), dan rezim fiskal.

    4

    Tahap Eksplorasi

    Nampaknya hambatan pengembangan industri CBM Indonesia bermula sejak tahap paling awal, yaitu eksplorasi. Pada tahap ini, lahan yang luas diperlukan untuk membangun sumur bor dalam jumlah besar (Flores, 2004). Sehingga, peran pemerintah dalam pembebasan lahan dirasa cukup signifikan. Sebenarnya, pemerintah dalam hal ini, telah mengeluarkan peraturan tentang pembebasan lahan yang tertuang dalam Permen ESDM No. 33 tahun 2016. Namun, fakta di lapangan masih terjadi konflik yang belum terselesaikan antara pihak investor dan warga sekitar atau pemilik lahan.

    Tahap Pengembangan

    Masalah selanjutnya pada tahap development. Iklim Indonesia dengan curah hujan tinggi, mengakibatkan proses dewatering (pengeringan sumur produksi, sebelum eksploitasi CBM) membutuhkan waktu hingga tahunan (Sumarno & Bergmann, 2017). Ini jauh lebih lama dib-anding dengan negara produsen CBM lainnya seperti USA, Australia, dan Kanada yang memiliki iklim kering dengan proses dewatering 1 – 6 bulan (Montgomery, 1999). Proses dewatering yang lebih lama meningkatkan biaya development. Hal ini diperparah bila untuk mendapatkan ijin plan of development (POD) menghabiskan waktu berbulan-bulan.

    Rezim Fiskal

    Masalah ketiga adalah fiscal regime. Modal pengusahaan CBM lebih besar dibanding usaha hidrokarbon konvensional ditambah dengan risiko pada industri CBM di Indonesia masih tinggi dibanding minyak dan gas konvensional, maka perlu dibentuk skema khusus untuk meningkatkan minat investor. Pemerintah telah memberikan skema PSC terbaru yaitu Gross Split yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 8 tahun 2017 serta insentif fiskal berupa pembebasan bea masuk atas impor barang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.177/PMK.011/2007. Namun, nampaknya hingga akhir 2018, produksi CBM masih belum signifikan dibanding akhir tahun 2015 lalu.

  • 1. Memperbaiki proses pembebasan lahan yang berkeadilan dan mengakomodasi kepentin-gan semua pihak, baik warga terdampak maupun investor

    Masalah pembebasan lahan hampir terjadi di semua pengusahaan CBM di Indonesia maupun luar negeri, karena dengan target produksi yang sama, CBM membutuhkan jumlah sumur lebih banyak dibanding eksploitasi gas konvensional. Peran pemerintah cukup krusial untuk memberikan ketenangan bagi warga terdampak dan bagi investor. Jika memungkinkan. ker-jasama investor dengan pemilik lahan dapat dilakukan melalui perjanjian kontrak atau royalti dan disetujui dewan konservasi sumber daya energi. Dalam konteks Indonesia, perlu adanya upaya untuk menengahi konflik kepentingan yang muncul, termasuk juga dampak-dampak lingkungan yang menyertai proses pembebasan lahan tersebut. Beberapa instrument seperti Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau analisis sosial perlu dipertimbangkan dalam konteks ini.

    2. Memperbaiki Kesenjangan Pengetahuan dan Biaya Ekonomi dalam Pengembangan Teknologi, khususnya Dewatering

    Masalah selanjutnya adalah kendala teknis pada tahap development berupa proses dewater-ing. Proses dewatering yang memakan waktu hingga menahun berakibat pada besarnya capi-tal expenditure investor. Keringanan pajak dan bagi hasil khusus CBM dapat menjadi solusi efektif. Masalah ini dapat pula dilihat dari sisi knowledge gap berupa sumber daya manusia dan teknologi.

    Mengatasi masalah pada proses dewatering, kerjasama lintas kementerian dapat menjadi solusi. Sebagai contoh, pemerntah bisa memfasilitasi perguruan tinggi untuk mengembang-kan riset terkait dewatering. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bisa mem-berikan hibah penelitian di bidang eksplorasi, dewatering, dan pengembangan teknologi. Selain itu, Kementerian Keuangan bisa memberikan tax holiday bagi investor CBM atau peru-sahaan yang memanfaatkan CBM, subsidi alat produksi, kemudahan perbankan, atau beasis-wa pendidikan.

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Sampai saat ini, secara umum kebijakan CBM di Indonesia merupakan turunan dari kebijakan Migas yang mengalami modifikasi khusus untuk gas nonkonvensional. Oleh karena itu, dari masalah di atas dan kebijakan yang telah ada, perlu dikaji lebih jauh dengan tujuan mening-katkan produksi CBM guna mencapai target bauran energi nasional.

    MENCAPAI TARGET BAURAN ENERGI NASIONAL: STRATEGI PERCEPATAN

    5

  • Hal ini tentu membutuhkan kerjasama antara kementerian, yang sampai saat ini masih menja-di pekerjaan rumah besar bagi birokrasi di Indonesia. Dewan Energi Nasional bisa memainkan peran untuk memfasilitasi koordinasi lintas Kementerian/Lembaga ini, sehingga risiko pen-gusahaan CBM secara khusus dan energi baru terbarukan secara umum dapat dikurangi.

    3. Mengembangkan Skema Investasi Fiskal Khusus CBM pada tahap eksplorasi hingga produksi

    Masalah rezim fiskal membutuhkan koordinasi kebijakan terkait dengan perekonomian. Makmun and Sitepu (2012) berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya memberikan skema PSC atau insentif fiskal khusus CBM pada tahap eksplorasi hingga produksi untuk menguran-gi biaya produksi dan meningkatkan daya beli, mengingat industri CBM masih baru. Dengan diterbitkannya Permen ESDM No. 8 tahun 2017, dapat dikatakan kebijakan ini memancing investor gas alam nonkonvensional, seperti CBM, dengan memberi peluang split lebih besar dan waktu perijinan jauh lebih singkat.

    Namun, perlu dipertimbangkan juga bahwa risiko CBM di Indonesia terbilang tinggi sebagai energi baru. Oleh karena itu, fleksibilitas pemerintah merubah persentase split, insentif perpa-jakan lainnya dapat dipertimbangkan. Sebagai contoh, pemerintah bisa menerbitkan regulasi terkait dengan, misalnya, tax holiday hingga periode capaian bauran energi berikutnya. Hal ini akan memberikan keringanan untuk mempercepat investasi di sektor energi baru tersebut.

    Jika target bauran energi sudah tercapai atau iklim investasi CBM sudah baik, insentif dapat dihentikan. Di samping itu, manfaat yang diterima pemerintah harus lebih tinggi (misal multi-plier effect). Jika ternyata pemberian insentif hanya bertujuan mencapai target bauran energi dan mengorbankan manfaat yang lebih fundamental, kebijakan bauran energi untuk EB atau CBM bisa menjadi kajian tersendiri.

    Industri CBM masih tergolong baru di Indonesia. Bagi investor, risiko untuk terjun di industri ini masih tinggi. Di sisi lain, pemerintah harus menjaga ketahanan energi nasional guna men-jamin pemerintahan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat vital teru-tama sebagai pengatur, pengarah, dan pengawas. Pengambilan kebijakan yang tepat oleh pemerintah akan memberikan hasil yang optimal bagi para pemangku kepentingan pada industri CBM. Iklim investasi CBM yang kondusif, tercapainya ketahanan energi nasional dan kesejahteraan masyarakat menjadi kondisi ideal yang diharapkan.

    KESIMPULAN

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    6

  • Aldin Ardian adalah Kandidat PhD dalam Kajian Miner-al Economics di McGill University, Montreal, Kanada dan Anggota Komisi Energi PPI Dunia.

    TENTANG PENULIS

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    7

    Blueprint. (2006). Blueprint pengelolaan energi nasional 2006-2025.

    Debnath, R. (2016). Studies on recovery of coal bed methane and its possible utilization in power generation systems. Everyman's Science, L1(4), 247.

    DEN. (2014). Laporan Dewan Energi Nasional 2014. Dewan Energi Nasional Republik Indone-sia.

    Flores, R. (2004). Coalbed methane in the Powder River Basin, Wyoming and Montana: an assessment of the Tertiary–Upper Cretaceous coalbed methane total petroleum system. US Geological survey digital data series dds-69-c, 2, 56.

    Formolo, M., Martini, A., & Petsch, S. (2008). Biodegradation of sedimentary organic matter associated with coalbed methane in the Powder River and San Juan Basins, USA. International Journal of Coal Geology, 76(1-2), 86-97.

    Haq, S. R., Tamamura, S., Ueno, A., Tamazawa, S., Aramaki, N., Murakami, T., . . . Kaneko, K. (2018). Biogenic methane generation using solutions from column reactions of lignite with hydrogen peroxide. International Journal of Coal Geology, 197, 66-73.

    Haswell, M., & Bethmont, A. (2016). Health concerns associated with unconventional gas mining in rural Australia. Rural Remote Health, 16, 3825.

    CATATAN AKHIR

    PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas Kondisi nasional dan internasional terkini. Kritik dan Saran bisa diberikan pada [email protected]

    Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, Rachmad Adi Riyanto, dan Tim Pusat Kajian & Gerakan PPI Dunia 2018/2019

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    8

    IEA (Producer). (2018, November 23rd 2018). Unconventional gas production database. Retrieved from https://www.iea.org/ugforum/ugd/

    Kementerian-ESDM (Producer). (2018a). Ditjen EBTKE gelar diskusi tax allowance dan solusi alternatif pendanaan EBT. Retrieved from https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direk-torat-jenderal-ebtke/ditjen-ebtke-gelar-diskusi-tax-allowance-dan-solusi-alternatif-pendanaan-ebt

    Kementerian-ESDM (Producer). (2018b, November 23rd 2018). Sembilan WK CBM lakukan tes produksi. [Berita] Retrieved from https://www.migas.esdm.go.id/post/read/sembi-lan-wk-cbm-lakukan-tes-produksi

    Kontan (Producer). (2014, November 23rd 2018). VICO investasi US$200 juta di blok CBM San-ga-Sanga. [Berita] Retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/vico-investasi-us200-ju-ta-di-blok-cbm-sanga-sanga

    Makmun, M., & Sitepu, E. M. P. (2012). Effect of fiscal incentives on coal bed methane price: a hypothetical analysis. Review of Indonesian Economic and Business Studies, 3(2), 37.

    Montgomery, S. L. (1999). Powder River basin, Wyoming: an expanding coalbed methane (CBM) play. AAPG bulletin, 83(8), 1207-1222.

    Rychlicki, S., & Twardowski, K. (2002). World coalbed methane projects. Polish Geological Insti-tute Special Papers, 7, 215-224.

    Stevens, S. H. (2004). Indonesia: coalbed methane indicators and basin evaluation. Paper pre-sented at the SPE Asia Pacific oil and gas conference and exhibition.

    Sumarno, T. B., & Bergmann, A. (2017). Coal Bed Methane (CBM) in Indonesia: A comparative analysis of Net Production Sharing Contract (PSC) and Non-Cost Recovery Gross PSC Sliding Scale. Paper presented at the East Meets West SPE Congress, Krakow, Poland.

    Zhou, H., Zhang, R., Cheng, Y., Dai, H., Ge, C., & Chen, J. (2015). Methane and coal exploitation strategy of highly outburst-prone coal seam configurations. Journal of Natural Gas Science and Engineering, 23, 63-69.

  • PPI Brief SeriesPerhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    PPI Brief no. 3 / 2019

    Anissa Sukma Safitri

    Integrated Wastewater Treatment Concept

    for Water Resource Recovery

  • Figure 1 River Water Quality Monitoring result in 2013 (Ministry of Environment and Forestry, 2015)

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    EXECUTIVE SUMMARY

    • Wastewater can be a source of energy, nutrients and water. This concept describes a potential for high quality water recovery from municipal wastewater treatment by combining anaero- bic conversion, membrane filtration, algal ponds and constructed wetlands.

    • The concept only requires low energy and technology unit processes without compromising on effluent water quality using an integrated approach suitable for regions where energy and budget are limited.

    •The concept can be implemented in Indonesia though with several foreseeable challenges, in cluding the financial support from the stakeholders, public awareness and engagement, as well as the risks that may arise.

    INTRODUCTION

    At present, Indonesia is experiencing severe problems related to water quality, especially rivers. Rivers in Indonesia continue to show a decreasing water quality trend every year. Data from the Directorate of Water Pollution Control, Ministry of Environment and Forestry shows that the quality status of heavily polluted river water amounts to 67.94% (Directorate of Water Pollution Control, 2016). In 2018, Indonesia was highlighted as the home to the World’s most polluted river, Citarum River. Pollution in the river also has the potential to pollute the ocean as its last water body recipient.

    Moreover, Indonesia is one of five countries responsible for more than 50% of total pollution in the oceans, together with China, Vietnam, Philippines, and Thailand (Jambeck et al., 2015). Figure 1 shows the river water quality monitoring result in 2013 in which only 2 out of 411 sam-pling points (0.49%) met standard. With regards to the source of river water pollution, more than half were from domestic wastewater, as shown in Figure 2.

    1

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Figure 2 Pollution Sources in Musi, Citarum, Ciliwung, Brantas, and Barito river basins,Indonesia (Ministry of Environment and Forestry, 2015)

    Though sustainable wastewater management as well as wastewater prevention and reduc-tion have become major political priorities in Indonesia, the regulations seem not ready for immediate control and enforcement. General rules regarding supervision and enforcement of environmental law have been stated in Act No. 32, 2009. These rules have also been further specified in several implementing regulations. However, the execution often encountered legal obstacles, especially by the local/regional bodies, e.g. Badan Lingkungan Hidup Daerah. These obstacles include interpretation of the existing rules and legal vacancies for some instruments such as the Statement of Environmental Management and Monitoring (SPPL).

    For instance, the control framework of water pollution regulated in Government Regulation No. 82, 2001 concerning Water Quality Management and Control Water Pollution actually requires an amendment to Act No. 32, 2009 because the former uses Act No. 23 of 1997 con-cerning Environmental Management as its legal basis. Aside from the legal framework, gov-ernment’s active supervision and law enforcement are of desirable internal instruments for water quality management and water pollution control.

    Responding to this, Indonesian government has included 15 river stream regions (DAS) as priority in the National Medium Term Development Plan (RPJMN) 2015-2019. However, the program has not yet been implemented. This article proposes a concept for high quality water recovery from municipal wastewater with an integrated wastewater treatment system. The integrated system is expected not only to give reusable water but also biogas and algal-biomass as recovered resource.

    2

    INDONESIA’S WASTEWATER STATUS

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    In 2000, the Indonesian Ministry of National Development Planning (BAPPENAS) launched a series of initiatives to reform water supply and sanitation sector policies (The World Bank, 2013). These improvements were aligned with decentralization, which gave responsibility for sanitation to the local government. Despite these initiatives, urban sanitation (particularly wastewater management) continues to perform inadequately and faces severe critical issues. For instance, The World Bank (2013) reported the total amount of municipal wastewater being treated is only 115 million liters per day, approximately 1% of the total municipal wastewater produced (Figure 3).

    WASTEWATER TREATMENT FOR REUSABLE WATER PLUS ENERGY

    As Indonesia’s population increases in number, it becomes more challenging to provide ade-quate and good quality water supplies for everyone. Therefore, it is imperative to develop a more circular and sustainable wastewater treatment concept and to value wastewater as a potential resource, rather than abandoning it. Aside from the legal issues on water pollution control in Indonesia discussed above, hereby an integrated wastewater treatment is proposed to contribute to water reclamation and resource recovery from municipal wastewater.

    Fundamentally, there are three resource components in raw wastewater, namely i) organic mate-rial content in wastewater as a potential energy resource; ii) dissolved and particulate nutrients for nutritional recovery and of course iii) reusable water. In terms of potential energy recovery from wastewater, the total energy content of domestic wastewater is approximately

    3

    Figure 3 Wastewater and Septage Flow in Urban Indonesia (The World Bank, 2013)

  • CHALLENGES AND RECOMMENDATIONS

    Considering the space requirement, development cost, and outlet of recovered products (biogas and biomass), several challenges might arise during the development and implementation of this integrated wastewater treatment system, especially in developing countries such as Indonesia. Firstly, the financial support of stakeholders. The real design

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    23 W/capita contained in organic carbon content and about 7 W/capita embedded in ammoni-um (nitrogen) and phosphate (phosphor) combined (Gao, Scherson, & Wells, 2014). Although complete capture of this energy potential is highly improbable, emerging technologies have enabled the recovery of significant energy resources from wastewater.

    The main idea of integrated wastewater treatment is to use low technology and less energy demanding unit processes without compromising on effluent water quality. Firstly, after pre-treatment, wastewater will undergo anaerobic processes. The advantage of using anaerobic processes is the conversion of organics to methane (a biogas) requires relatively low energy, making this treatment process suitable for regions with less energy availability and/or financial capability (Wu, Carvalho, Müller, Manoj, & Dong, 2015). The methane gas obtained from the anaerobic process can be then used as alternative energy source.

    Secondly, the reduction of particulate matters and pathogenic microorganisms from treated water is also important after anaerobic process. The hygienic quality of water is essential to pre-vent spreading of water-borne diseases. Hence, the next unit process is filtration. From anaero-bic process unit, the water effluent will go through membranes that are considered sufficient for particulate and pathogen removal unit process (Ottoson, Hansen, Björlenius, Norder, & Sten-ström, 2006).

    Thirdly, the recovery of nutrients and reduction of residual organics is carried out by utilising photosynthetic organisms such as algae, in algal ponds. The algal ponds have been developed and used for decades as an economic and energy efficient way primarily for removal of nutri-ents (Chisti, 2007). Moreover, the algal biomass later can be used as additional energy resources in the form of lipid, biofuel, and other bio-products (García, Soto, González, & Bécares, 2008; Unkefer et al., 2017). Algal ponds are also known to reduce pathogens and parasites by inactiva-tion promoted by UV exposure from sunlight (García et al., 2008).

    Lastly, the constructed wetland (CW) is selected to uptake the remaining residual organics and nutrients (Liu, Zhao, Doherty, Hu, & Hao, 2011). It is also applicable not only for nutrient pollu-tion control but also for the reduction of particulates and pathogens from wastewater (Liu et al., 2011; Wu et al., 2015). From this last step, the effluent may later go for chlorination step before reuse.

    4

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    and respective costs highly depend on the scope and the size of the system. Depending on design, the investment may include building feedstock storage unit, pre-treatment (dehydration) unit, anaerobic digesters, gas treatment and storage unit, and heat exchangers. Secondly, when it comes to the effluent of reusable water and algal biomass for downstream benefit such as for agriculture, public awareness and engagement are very important because they will be the user of the end-products. As end users, public needs to understand and be aware about the system which is safe to use. Thirdly, all stakeholders will question about the risks involved. A careful risk assessment should be carried out and it is important to appoint a body responsible for the running system. Questions on the impacts, intended or otherwise, (for example economic, health, and environmental ones) also might arise.

    Thus, to encounter those challenges, a responsible innovation approach should continuously seek to:

    • AnticipateShould political, economic and environmental concerns arise, this integrated system design has to be equipped with thorough description and analysis on the potential impacts from its imple-mentation, intended or otherwise. For example, in the case of the use of biogas and biomass obtained, economic feasibility study should be anticipated. The level of required support to real-ize a profitable investment for biogas energy generator depends not only on the capital and oper-ational costs, but also other fuels’ price. Moreover, laboratory safety assessment of the end prod-ucts should also conducted to confirm the viability of proposed design.

    • EngageMulti-stakeholder partnerships, forums, the inclusion of members on scientific advisory com-mittees should be done to promote dialogues, engagement and debate in an inclusive way. This would also encourage participation and partnership of the stakeholders in renewable ener-gy-fueled power plants. Public awareness on the broader public health and environmental bene-fits of more comprehensively and effectively managing wastewater is also important, including active participations of local government, NGOs, community leaders, residents and local busi-nesses and schools to improve proper wastewater management practices. Furthermore, commu-nity-level initiatives to protect and conserve the environment, existing in some cities, should be widely promoted.

    • ActUsing this integrated wastewater treatment as an innovation platform to provide clean water for everyone, there will several advances that are foreseen to materialize in the future that include spreading research and innovation in maturing this integrated wastewater treatment process, widening the potential market for biogas as a renewable energy alternative source and develop-ing the grid injection system, i.e. selling electricity surplus to State Electricity Company (PLN).

    5

  • Anissa Sukma Safitri is a PhD candidate in the Department of Chemistry, Bioscience and Environmental Engineering, University of Stavanger, Norway

    TENTANG PENULIS

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    6

    Chisti, Y. (2007). Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances, 25(3), 294–306. https://-doi.org/10.1016/j.biotechadv.2007.02.001

    Gao, H., Scherson, Y. D., & Wells, G. F. (2014). Towards energy neutral wastewater treatment: methodology and state of the art. Environmental Science: Processes & Impacts, 16(6), 1223–1246. https://doi.org/10.1039/C4EM00069B

    García, M., Soto, F., González, J. M., & Bécares, E. (2008). A comparison of bacterial removal effi-ciencies in constructed wetlands and algae-based systems. Ecological Engineering, 32(3), 238–243. https://doi.org/10.1016/j.ecoleng.2007.11.012

    Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A., … Law, K. L. (2015). Plastic waste inputs from land into the ocean. Science, 347(6223), 768. https://-doi.org/10.1126/science.1260352

    Liu, R., Zhao, Y., Doherty, L., Hu, Y., & Hao, X. (2011). A review of incorporation of constructed wetland with other treatment processes. Chemical Engineering Journal, 279, 220–230. https://-doi.org/10.1016/j.cej.2015.05.023

    REFERENCES

    PPI Brief is a monthly policy brief and analysis of the Overseas Indonesian Students’ Associ-ation Alliance (OISAA). Please direct advices to [email protected].

    Editorial Board: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, and members of OISAA Scientific and Strategic Committee.

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    7

    Ministry of Environment and Forestry. (2015). Index Kualitas Lingkungan Hidup.

    Ottoson, J., Hansen, A., Björlenius, B., Norder, H., & Stenström, T. A. (2006). Removal of viruses, parasitic protozoa and microbial indicators in conventional and membrane processes in a waste-water pilot plant. Water Research, 40(7), 1449–1457. https://doi.org/10.1016/-j.watres.2006.01.039

    The World Bank. (2013). East Asia Pasific Region Urban Sanitation Review: Indonesia Case Study.

    Unkefer, C. J., Sayre, R. T., Magnuson, J. K., Anderson, D. B., Baxter, I., Blaby, I. K., … Olivares, J. A. (2017). Review of the algal biology program within the National Alliance for Advanced Biofu-els and Bioproducts. Algal Research, 22, 187–215. https://doi.org/10.1016/j.algal.2016.06.002

    Wu, S., Carvalho, P. N., Müller, J. A., Manoj, V. R., & Dong, R. (2015). Sanitation in constructed wetlands: A review on the removal of human pathogens and fecal indicators. Science of The Total Environment, 541, 8–22. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2015.09.047

  • PPI Brief SeriesPerhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    PPI Brief no. 4 / 2019

    Aditya Rio Prabowo

    Tinjauan Potensi Teknologi Additive Manufacturing

    (3D Printing) untuk Material Instrumen Penghasil Energi

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Kebutuhan akan sumber daya energi akan terus melonjak dikarenakan terus bertambahnya penduduk dunia dan berkembangnya kualitas hidup. Lebih jauh, kondisi ini memerlukan suatu antisipasi dimana ketergantungan dunia, terutama negara berkembang akan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan sebagai sumber daya energi primer.

    Aplikasi dan pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi salah satu solusi dalam menga-tasi masalah energi ini.

    Namun, beberapa tantangan hadir ketika efisiensi biaya pada investasi dan faktor teknis lain dalam pemanfaatan sumber energi tipe ini perlu dijawab agar penggunaan sumber daya energi primer dapat sepenuhnya digeser dari bahan bakar fosil yang notabene juga punya andil dalam kerusakan lingkungan karena sisa hasil pembakarannya.

    Karena kemampuannya memproduksi material hingga tingkat ketelitian mikrometer dan nanometer dengan biaya yang lebih terjangkau dan minim sisa produksi, teknologi additive manufacturing (AM) yang terkenal dengan istilah 3D printing mulai mendapat perhatian dunia secara signifikan satu dekade terakhir ini.

    Tulisan ini disajikan untuk menilik potensi dan arah kemajuan teknologi AM dalam pemenu-han kebutuhan material untuk instrumen penghasil energi. Pemanfaatan AM pada bidang riset dan pengembangan teknologi energi didiskusikan, seperti reaktor kimia dan sel surya.

    PENDAHULUAN

    Riset dan penelitian di bidang energi merupakan suatu hal yang selalu menantang untuk dikembangkan, mengingat kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas manusia di berbagai belahan dunia yang diperkirakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menembus angka 9 miliar orang pada tahun 2050.[1] Ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan, seperti bahan bakar fosil (minyak), panas bumi, dan gas alam yang mengakibatkan kerusakan lapisan ozon akibat hasil sisa pembakarannya, sudah mulai ditinggalkan.

    Amerika Serikat memulai tren massal penggunaan listrik sebagai sumber energi kendaraan bermotor dengan diwakili oleh perusahaan multinasional Tesla yang memproduksi mobil listrik. Di beberapa negara Eropa Barat, telah membangun berbagai infrastruktur penggunaan listrik sebagai sumber energi otomotif. Negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia, Denmark dan Finlandia juga sudah berinvestasi jangka panjang untuk pembangunan fasilitas pemanfaatan sumber daya angin dan ombak sebagai penghasil listrik untuk keperluan industri dan rumah tangga. Negara-negara Afrika dan Timur Tengah yang dianugerahi sinar matahari

    1

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    meskipun sebagian mereka dianugerahi persediaan minyak mentah berlimpah. Dari berbagai sumber energi di atas, sinar matahari merupakan salah satu yang sumber energi yang hampir selalu tersedia sepanjang tahun di negara-negara di sekitar khatulistiwa, salah satunya adalah Indonesia.

    Dalam pemanfaatan berbagai sumber skala kecil, menengah dan besar, biaya investasi merupakan salah satu faktor penting dimana sangat dipengaruhi oleh bahan/material dari instrumen yang digunakan untuk memanen hasil sumber energi. Salah satu usaha peningkatan efisiensi dari biaya produksi tersebut adalah penggunaan material yang yang diproduksi dengan metodologi manufaktur mutakhir, yaitu additive manufacturing (AM) dimana proses ini tidak menghasilkan banyak sisa bahan baku seperti manufaktur konvensional dan bisa membuat produk dengan presisi kerumitan tingkat tinggi.

    Tulisan ini ditujukan khususnya kepada akademisi dan peneliti di bidang material dan energi, dan lebih luas kepada pihak peneliti, industri dan pemerintah. Materi disusun untuk memetakan tingkat perkembangan teknologi AM sejak akhir abad ke-20 serta proporsi aplikasinya secara makro di dunia industri internasional terutama pada bidang material untuk penggunaan di industri energi, seperti reaktor kimia, sel surya, dan reaktor fotokatalitik.

    2

    Perkembangan tekonologi manufaktur dunia terus dikembangkan oleh berbagai pihak untuk meningkatkan mutu dan kualitas produksi dari berbagai bidang industri, terutama militer, otomotif dan teknologi informasi. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan tersebut, studi diarahkan kepada jumlah paten yang tercatat dengan pokok penelitian mengarah pada percepatan laju perkembangan teknologi AM. Berdasarkan data yang tercatat di US Patent and Trademark Office[2,3], terdapat lebih dari 3800 paten yang terkait dengan AM terhitung sejak 1989 hingga 2017. Tren yang disajikan pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada awal abad ke-20, jumlah paten tidak terlalu menonjol dengan masih berkisar 30 paten per dua tahun. Semenjak berkembangnya teknologi AM secara masif diawali pada tahun 2000-an, jumlah paten yang berkaitan dengan AM naik hingga 50% pada tahun 1999 dan 2001, dan terus meningkat hingga mencapai dua kali lipat pada tahun 2003. Stagnant point terjadi antara 2003 hingga 2009 dimana rata-rata jumlah paten berkisar antara 100-120 per tahun. Meningkatnya kebutuhan akan energi terbarukan, membuka tren baru dunia AM dengan fokus pada pengembangan proses produksi materialnya setelah tahun 2010.

    PERKEMBANGAN PATEN TEKNOLOGI ADDITIVE MANUFACTURING (AM)

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Pemegang paten seiring dengan berjalannya waktu mengalami pergeseran yang cukup signifikan hingga akhirnya perusahaan swasta menguasai kurang lebih 87% paten teknologi AM di dekade terakhir. Perubahan di Gambar 2 mengindikasikan bahwa di akhir 1990-an, institusi penelitian dan individu memegang jumlah paten hingga lebih dari 35%. Namun, di awal abad ke-20 persentase ini turun drastis hingga 19% dimana jumlah paten perusahaan mengalami kenaikan sebesar 19%. Hal ini menunjukkan geliat perusahaan menjadikan teknologi AM sebagai prioritas dan visi perkembangan masa depan untuk menghasilkan produk secara massal.

    3

    Gambar 1. Jumlah paten yang berkaitan dengan additive manufacturing (AM).

    Gambar 2. Perkembangan pihak pemegang paten dalam rentan waktu 1989-2017.

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Proporsi fokus perkembangan teknologi AM yang ditunjukkan pada Gambar 3 mengindikasi-kan subjek terdepan pada awal perkembangan AM terletak pada teknologi processing-nya dengan persentase sebesar 42%, diikuti oleh peralatan AM dengan nilai 18%, produk akhir AM 15% dan material khusus 12%. Di akhir periode dekade ketiga (2008-2017), jumlah paten menge-nai regulasi proses teknologi AM tercatat meningkat sebagai pertanda bahwa aturan dan keten-tuan mengenai penggunaan AM secara luas sudah menjadi perhatian publik.

    Lebih jauh, Gambar 4 mengindikasikan riset untuk aspek proses menjalankan teknologi AM berkembang pesat, dan mengalahkan paten terkait produk akhir dan material khusus. Namun, riset lanjutan di bidang material lebih lanjut dapat menjadi referensi untuk tema penelitian dan pengembangan, mengingat keluaran produk untuk pemanfaatan sumber daya energi terbaru-kan yang akan menggantikan bahan bakar fosil di masa depan.

    4

    Gambar 3. Proporsi penemuan yang berkaitan dengan bidang additive manufacturing.

    Gambar 4. Compound Annual Growth Rate (CAGR) paten Amerika Serikat yang berkaitandengan additive manufacturing dalam satu dekade terakhir.

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    Pemegang paten di awal perkembangan AM didominasi oleh negara maju dimana lebih dari 90% dikuasi oleh Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Kanada, dengan pemilik paten terbesar adalah Amerika Serikat (lihat Gambar 5). Perkembangan teknologi AM yang terjadi di perode dekade kedua membuat negara-negara selain Amerika Serikat turut memberikan perhatiannya dan turut andil pada penelitian AM. Hal ini ditandai dengan naiknya persentase negara lain-lain (others) sebesar 9x lipat dibandingkan periode dekade pertama.

    5

    Gambar 5. Perbandingan negara pemegang paten dengan Amerika Serikat.

    • Mengurangi kebutuhan penggunaan dosis katalisKemampuan untuk mengontrol struktur mikro dan bentuk geometri bahan aktif yang dimiliki oleh AM tidak hanya memberikan peningkatan rasio luas permukaan-volume, tetapi dapat mengurangi kebutuhan penggunaan dosis katalis yang secara positif mampu menghasilkan intensifikasi proses dan penghematan biaya. Salah satu pendekatan untuk mengurangi keterbatasan dalam hal reaksi katalitik heterogen adalah menggunakan material berpori terstruktur, dengan jaringan makropori dan mesopori yang teroptimasi.[5]

    • Meningkatkan perpindahan massa dan panas pada reaktor mikroAM dapat dengan mudah digunakan untuk membuat struktur dengan fitur berdimensi mikrometer dan yang lebih besar secara keseluruhan, dimana geometri, diameter saluran, dan porositas dapat dikendalikan untuk membuat material pendukung katalis. Hal ini mampu menghasilkan rasio luas permukaan-volume yang tinggi dan meningkatkan

    IMPLEMENTASI ADDITIVE MANUFACTURING (AM) DALAM BIDANG ENERGI

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    5

    perpindahan massa dan panas, yang mengarah kepada reaktor mikro tiga dimensi yang aktif dan stabil.[6] Sebagai contoh, Luo et al. menggunakan inkjet printer untuk membentuk pola-pola katalitik nano-Platina yang digunakan sebagai pemanas berukuran mikro.[7] Tinta cetak disiapkan dengan membuat larutan asam kloroplatinat 0,01 mol/L, kemudiaan ditunggu selama 48 jam dan penyaringan dilakukan kemudian untuk menghindari penyumbatan lubang keluar tinta (nozzle). Dengan cara ini, pemanfaatan tingkat tinggi 34,7 W/mg katalis Pt bisa dicapai. Investigasi lebih lanjut dilakukan untuk menentukan parameter pencetakan yang optimal dan keseragaman untuk menghindari efek cincin kopi.[8]

    • Potensi sebagai komponen pelengkap teknologi sel suryaAM menunjukkan potensi yang sangat menjanjikan pada aplikasi teknologi sel surya, seperti yang ditunjukkan oleh produksi massal yang bersifat langsung dengan biaya rendah melalui modifikasi fused deposition modeling (FDM) dan fabrikasi perangkap cahaya internal. Selain itu, AM juga dapat digunakan untuk membentuk bingkai untuk arsitektur panel surya yang tidak memerlukan kebutuhan menangkap cahaya (light trapping). Untuk mengintegrasikan semua perkembangan yang disebutkan di atas dalam satu perangkat teknologi sel surya, beberapa kendala perlu diselesaikan, di antaranya pengembangan dalam bahan aktif yang dapat dicetak untuk memungkinkan fabrikasi multilapis, serta pengembangan AM pada material konduktor yang fleksibel, dan material optik berkualitas tinggi.[6]

    • Potensi sebagai teknik fabrikasi reaktor mikro fotokatalitikAM juga terbukti sangat bermanfaat dalam aplikasi fotokatalitik, seperti yang ditunjukkan oleh fabrikasi konfigurasi baru dengan pondasi fotokatalitik, template untuk fabrikasi reaktor mikro fotokatalitik (photocatalytic microreactor), dan fabrikasi langsung struktur semikonduktor ber-pori. Kemajuan besar dalam pengembangan tinta cetak semikonduktor dan strategi baru untuk lebih lanjut menyempurnakan struktur mikro masih diperlukan. Untuk kasus photocatalytic microreactors, kemajuan mutakhir dalam pencetakan 3D polydimethyl siloxane (PDMS) berpo-tensi digunakan untuk fabrikasi langsung photocatalytic microreactor. Kemudian, polimer kon-duktif seperti polypyrrole (PPy) dan polyaniline (PANI) telah menunjukkan perkembangan menjanjikan dalam pemisahan air menjadi hidrogen (H2) dan pengurangan karbon dioksida (CO2) menjadi bahan bakar.[9] Namun, dikarenakan kemampuan memproses polimer konduk-tif yang rendah, aplikasi dan pengembangannya masih terbatas. Diperkirakan bahwa pengem-bangan bahan polimer konduktif 3D printing akan memajukan penerapan AM dalam pem-buatan instrumen energi berbasis sinar matahari.

  • Aplikasi teknologi AM pada dunia material dan energi telah mencapai tahap lanjut dimana pemanfaatannya dianggap vital untuk menekan jumlah gas sisa pembakaran bahan bakar fosil. Beberapa tantangan untuk pengembangan AM di bidang material dan energi adalah pengenda-lian ukuran dan bentuk pada produksi objek. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, poin-poin ini dapat menjadi specific research opportunity yang berpotensi menjadi salah satu bidang unggulan, terutama untuk industri dan manufaktur instrumen penghasil energi di saat persentase penggunaan sumber daya energi terbarukan harus sudah mulai ditingkatkan. Bagaimanapun, investasi awal merupakan faktor penting dalam agenda inovasi jangka panjang terkait pengembangan material khusus dan instrumen penghasil energi. Penggunaan AM diharapkan bisa menekan biaya produksi dan di saat yang bersamaan meningkatkan kapasitas dan efektivitas instrumen produk akhir dalam mewujudkan teknologi penghasil energi terba-rukan di Tanah Air.

    REKOMENDASI

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    6

  • Aditya Rio Prabowo adalah Anggota Komisi Energi PPI Dunia dan baru saja meraih gelar Doctor of Engineering dari Pukyong National University, Korea Selatan

    TENTANG PENULIS

    PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    7

    Tempo.co, 2017. PBB: Jumlah Penduduk Dunia 9,8 Miliar Tahun 2050, Tempo.co, diakses pada 14 November 2018: https://dunia.tempo.co/read/886917/pbb-jumlah-penduduk-dun-ia-98-miliar-tahun-2050.

    USPTO, 2018. Additive manufacturing patents, US Patent and Trademark Office, diakses pada 20 Desember 2018: https://www.uspto.gov/.

    Mahto, M., Sniderman, B., Cotteleer, M., 2018. 3D Opportunity for Innovation, Trends in addi-tive manufacturing patents, Deloitte Development LLC., diakses pada 19 Desember 2018: h t t p s : / / w w w . d e l o i t t e . c o m / i n s i g h t s / u s / e n / m u l t i m e d i a / i n f o g r a p h -ics/trends-in-additive-manufacturing-patents.html.

    Zhakayev, A., Wang, P., Zhang, L., Shu, W., Wang, H., Xuan, J., 2017. Additive manufacturing: Unlocking the evolution of energy materials. Journal of Advanced Science, 4, article no. 1700187.

    Coppens, M.O., 2012. A nature-inspired approach to reactor and catalysis engineering. Current Opinion in Chemical Engineering, 1, pp. 281-289.

    REFERENSI

    PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas Kondisi nasional dan internasional terkini. Kritik dan saran bisa ditujukan langsung ke [email protected]

    Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, dan Tim Pusat Kajian & Gerakan PPI Dunia 2018/2019

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    8

    Ruiz-Morales, J.C., Tarancón, A., Canales-Vázquez, J., Méndez-Ramos, J., Hernández-Afonso, L., Acosta-Mora, P., Marín-Rueda, J.R., Fernández-González, R., 2017. Three dimensional print-ing of components and functional devices for energy and environmental applications. Energy and Environmental Science, 10, pp. 846-859.

    Luo, X., Zeng, Z., Wang, X., Xiao, J., Gan, Z., Wu, H., Hu, Z., Power, J., 2014. Preparing two-di-mensional nano-catalytic combustion patterns using direct inkjet printing. Journal of Power Sources, 271, pp. 174-179.

    Xiao, J., Wang, X., Luo, X., Hu, Z., 2015. In situ preparation of catalytic combustion films used as micro heat source by inkjet printing method. Applied Surface Science, 327, pp. 400-405.Hursan, D., Kormanyos, A., Rajeshwar, K., Janaky, C., 2016. Chemical Communications, 52, pp. 8858-8861.

  • PPI Brief SeriesPerhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    PPI Brief no. 5 / 2019

    Alamsyah Agus

    Masalah Sosial Pengungsi di Indonesia dan Pentingnya

    Ratifikasi Konvensi 1951

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Kehadiran para pengungsi di Indonesia sebagai isu global kini berimplikasi pada terciptanya masalah sosial baru. Beragam konflik dan masalah muncul pada diri pengungsi serta mulai bersinggungan pada aktivitas di level grass root (masyarakat). Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian serius dan penanganan secara komprehensif dari pemerintah Indonesia dan seluruh pihak terkait, lambat laun fenomena ini bisa merambat pada terganggunya stabilitas di berbagai sektor kehidupan di Indonesia.

    Para profesional di bidang pelayanan kemanusiaan mewakili suatu aspek penting dalam mempromosikan aktivitas perlindungan dan pelayanan bagi terpenuhinya kebutuhan dasar, kesejahteraan, dan kemandirian para pengungsi selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat terkait dengan status mereka.

    Seiring dengan meningkatnya volume pengungsi dan pencari suaka yang masuk ke Indone-sia, pengakuan akan pentingnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 memiliki cakupan yang sifatnya universal untuk perlindungan pengungsi dan mengkonsolidasikan pembentukan standar minimum penanganan pengungsi dianggap cukup esensial dalam upaya meratifikasi instrumen hukum internasional tersebut.

    PENDAHULUAN

    Nasib para pengungsi dan pencari suaka telah menjadi masalah sosial di Indonesia dewasa ini. Pada akhir Februari 2018, beragam liputan muncul di media massa terkait sejumlah besar pengungsi yang memadati trotoar jalanan di depan Kantor Imigrasi Jakarta. Kehadiran mereka tentunya perlu menjadi perhatian oleh pemerintah dan bagi profesi di bidang layanan kemanusiaan di Indonesia karena perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan tanggung jawab setiap negara termasuk Indonesia. Sudah sejak lama negara-negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga negara yang menjadi korban penindasan atau kekerasan di negara asal tempat tinggalnya. Tradisi tersebut telah dibentuk dalam sebuah instrumen hukum internasional tentang pengungsi yaitu Convention Relating to The Status of Refugees tahun 1951, sebuah konvensi mengenai status dan hak-hak pengungsi serta didukung oleh sejumlah prinsip-prinsip dasar dan kewajiban negara-negara peserta konvensi. Namun, sampai dengan saat ini Konvensi 1951 tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia.

    Brief ini memberikan analisis terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia sebagai implikasi dari absennya Indonesia sebagai negara anggota Konvensi 1951, menguraikan peran profesi di bidang layanan kemanusiaan (humanity services) bagi pengungsi, dan menyajikan beberapa pertimbangan atau rekomendasi kebijakan untuk pemerintah Indonesia dalam upaya meratifikasi Konvensi 1951 tersebut.

    1

    1.

    2.

    3.

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    2

    Interaksi Indonesia dengan pengungsi dimulai pada tahun 1979 sebanyak 170.000 orang pengungsi dengan mendirikan kamp penampungan di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Pada saat itu, selain belum meratifikasi Konvensi 1951 pemerintah Indonesia juga belum memiliki payung hukum tentang pengungsi utamanya dari luar negeri, sehingga penentuan status pengungsi ditentukan oleh UNHCR. Pada tahun 1999 Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 37 tentang Hubungan Luar Negeri dimana terdapat tiga pasal memuat tentang Pencari Suaka dan Pengungsi. Namun, peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, daerah maupun stakeholder belum diatur secara jelas.

    Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional ketiga (RANHAM), yang menyajikan kerangka pragmatis nasional untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi manusia tahun 2011-2014. RANHAM tersebut mencantumkan keputusan pemerintah untuk menelaah kedua instrumen hukum pengungsi pada tahun 2014, yaitu Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 dan RANHAM tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang mengatur secara komprehensif tentang pengungsi dan pencari suaka. Adapun dalam peraturan presiden tersebut, mengacu pada perjanjian internasional, sudah memberikan perhatian khusus untuk kaum rentan yang berada dalam kondisi darurat di laut dan darat, sakit, hamil, difabel, anak, dan lanjut usia; memberikan pengakuan untuk penyatuan keluarga (permanency); kejelasan definisi pengungsi; distribusi peran antarlembaga, pemerintah daerah dan prinsip berbagi tanggung jawab; serta penggunaan APBN untuk perlindungan pengungsi. Hal tersebut patut diapresiasi, mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Bagaimanapun, asas politik luar negeri bebas aktif mendorong pemerintah Indonesia untuk terus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia mencakup hak sipil, anak, perempuan, disabilitas dan lanjut usia.

    Sebanyak 13.840 pengungsi terdaftar di UNHCR secara kumulatif dan datang dari Afghanistan (55%), Somalia (11%), dan Iraq (6%). Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara-negara yang memiliki potensi untuk menerima pengungsi. Sampai dengan akhir Maret 2017, ada sebanyak 6.191 pencari suaka dan 8.279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif.

    Meskipun volume pengungsi cukup tinggi memasuki wilayah Indonesia untuk transit,

    KILAS BALIK DAN POSISI INDONESIA DALAM KONVENSI PENGUNGSI TAHUN 1951

  • PPI Brief

    Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia

    3

    hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 terkait dengan Status Pengungsi, pada akhirnya pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam hal penanganan pengungsi tersebut. Pemerintah Indo