Pola & Penyebab - KPU NTB

154

Transcript of Pola & Penyebab - KPU NTB

i

Pola & Penyebab Suara Tidak Sah

Pilpres 2014 di Provinsi NTB

ii

iii

Pola & Penyebab Suara Tidak Sah Pilpres 2014 di Provinsi NTB

Editor Yan Marli, MMPd.,M.Pd.

Kontributor :

Lalu Aksar Anshori, SP.

Yan Marli, MMPd.,M.Pd.

H. Ilyas Sarbini, SH.,MH.

Suhardi Soud, SE.

Hesty Rahayu, ST.,MM.

Mars Ansori Wijaya, SIP.,MM.

Dr. H. Kadri, M.Si.

Dr. M. Sobri, M.Pd.

Jumarim, M.HI.

Agus, M.Si.

iv

Pola & Penyebab Suara Tidak Sah Pilpres 2014 di Provinsi NTB Yan Marli, MMPd.,M.Pd. ( Editor ) Kontributor :

Lalu Aksar Anshori, SP.

Yan Marli, MMPd.,M.Pd.

H. Ilyas Sarbini, SH.,MH.

Suhardi Soud, SE.

Hesty Rahayu, ST.,MM.

Mars Ansori Wijaya, SIP.,MM

Dr. H. Kadri, M.Si.

Dr. M. Sobri, M.Pd.

Jumarim, M.HI.

Agus, M.Si.

Cetakan I, 2016

All rights reserved.

Edisi dalam Bahasa Indonesia ini diterbitkan oleh

PENERBIT KPU PROVINSI NTB, Copyright @2016

Layout & Design. Edy Handika & Mahirun Pemerhati Aksara : Mars Ansori Wijaya, SIP,MM Penata Aksara : Mars Ansori Wijaya, SIP,MM

Alamat : Jl. Langko No.17 Mataram,

Telp. (0370) 630303, Fax. (0370) 632103

Email : [email protected]

Facebook : KPU PROV NTB

Instagram : kpu.ntb

Twitter : KpuNtb

Website : www.kpud-ntbprov.go.id

Bekerja sama dengan

LP2M IAIN MATARAM

v

Pola & Penyebab Suara Tidak Sah Pilpres 2014 di Provinsi NTB

Yan Marli, MMPd.,M.Pd. ( Editor )

Kontributor : Lalu Aksar Anshori, SP.

Yan Marli, MMPd.,M.Pd.

H. Ilyas Sarbini, SH.,MH.

Suhardi Soud, SE.

Hesty Rahayu, ST.,MM.

Mars Ansori Wijaya, SIP.,MM

Dr. H. Kadri, M.Si.

Dr. M. Sobri, M.Pd.

Jumarim, M.HI.

Agus, M.Si.

vi

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan yang

Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Taufiq Nya dalam

meniti kehidupan berdemokrasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat

dan dapat menyusun Buku Pola dan Penyebab Suara Tidak Sah

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Provinsi Nusa

Tenggara Barat

Buku ini disusun berdasarkan hasil riset yang merupakan hasil

kerjasama antara KPU Provinsi NTB dengan Lembaga Penelitian

dan Pengabdian Masyarakat (LP2M IAIN) dan KPU Provinsi Nusa

Tenggara Barat terhadap Pola dan Penyebab Suara Tidak Sah

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Provinsi Nusa

Tenggara Barat

Hasil Riset yang tersaji dalam Buku ini merupakan salah satu

elemen strategis yang mampu diungkap untuk format manajemen

pemilihan yang lebih baik kedepan. Hasil riset tidak hanya

memberikan rasionalitas akademik mengenai substansi pemilihan,

bahkan riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai

persoalan.

Berdasarkan hasil riset, dapat dipastikan dan kebijakan yang

akan diambil oleh pemerintah dan penyelenggara dalam

pelaksanakan pemilihan sehingga tidak dibangun atas postulat

spekulatif, tetapi dikonstruksi berdasarkan pada argument empiris

dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan,

menemukan akar masalah dan merumuskan rekomendasi sebagai

bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi dan

meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi yang berintregitas.

Dalam buku ini kita dapat mengetahui pola dan penyebab

suara tidak sah pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014,

viii

kehadiran pemilih pada hari H di TPS yang dapat mengekpresikan

Preferensi politiknya sesuai kehendak maing-masing yang dapat di

konversikan menjadi suara yang bernilai yaitu suara sah dan suara

tidak sah, ketika suaranya tidak sah kehadiran pemilih sepertinya

menjadi tidak bermakna.

Akhir kata kami sampaikan terimakasih kepada LP2M IAIN

Mataram, editor, Kontributor dan pihak Sekretariat KPU Provinsi

NTB serta Pihak lain yang telah membantu penyusunan dan

penerbitan buku ini dan menyampaikan permohonan maaf apabila

ada kekurangan dan mengharap masukan kritik yang konstruktif.

Semoga Allah SWT. Senantiasa meridhoi usaha kita amin ya

robbalalaimin.

Ketua,

Lalu Aksar Ansori

ix

DAFTAR ISI

Kata Pengantar- vii

Daftar Isi - ix

1. Latar Belakang - 1

2. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung - 11

3. Teori dan Mazhab - 23

4. Fungsi Partai Politik dan Penyelenggara Pemilu - 35

5. Suara Sah dan Suara Tidak Sah dalam Pilpres Tahun 2014- 51

6. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di NTB - 57

7. Pola Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB - 77

8. Penyebab Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB - 93

9. Kompilasi Pola Suara Tidak Sah Dengan Faktor Penyebab - 115

10. Rekomendasi dan Strategi Kebijakan - 121

11. Kesimpulan dan Saran - 135

Daftar Pustaka - 141

Perundang-undangan Terkait - 143

1

ampai era ini, pemilihan umum (pemilu) semakin

diyakini sebagai metode atau mekanisme politik

paling elegan, santun dan demokratis dalam mengisi

jabatan politik. Penyebabnya adalah, karena pemilu mampu

memproses pergantian kepemimpinan politik melalui

kesepakatan masyarakat. Metode menemukan kesepakatan,

tentu saja melalui pemungutan suara di Tempat Pemungutan

Suara (TPS).

Urgensi pemilu yang demikian penting bagi demokrasi,

menyebabkan pemilu sering dianalogikan sebagai jantung

demokrasi. Jika diibaratkan dengan organ tubuh manusia,

maka dimana manusia itu sendiri adalah demokrasi, dan

jantungnya adalah pemilu. Agar demokrasi suatu negara tetap

sehat, seharusnya pemilunya tetap dirawat agar semakin sehat

dari masa ke masa.

Berbagai indikator dapat digunakan untuk mengukur

sehat atau tidaknya pemilu. Dalam perundang-undangan

pemilu di Indonesia, indikator yang digunakan adalah

S

Latar Belakang

1

2

sejauhmana pemilu diselenggarakan dengan asas langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Disamping ketaatan

pada asas penyelenggaraan, pemilu sehat juga dapat diukur

dari partisipasi warga negara sebagai pemilik kedaulatan

untuk memberikan suaranya dalam pemilu.

Karya Kacung Marijan, meletakkan keikutsertaan atau

partisipasi dalam pemilu, merupakan salah satu bentuk

partisipasi politik paling minimal warga negara.1 Dalam

konteks partisipasi warga negara dalam memilih, setidaknya

ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, bagaimana

angka partisipasi tersebut secara kuantitas. Kedua, bagaimana

kualitas dari keikutsertaan warga negara dalam pemilu. Yang

pertama dilihat dari berapa jumlah warga negara terdaftar

dalam daftar pemilih yang menggunakan hak pilihnya.

Sedangkan yang kedua, dilihat dari berapa besar warga negara

menggunakan hak pilihnya secara benar. Ukuran kebenaran

cara warga negara menggunakan hak pilihnya dapat dilihat

dari seberapa besar suara sah dibanding dengan suara tidak

sah. Ketika warga negara menggunakan hak pilihnya, namun

suara mereka tidak sah, maka tentu pilihannya menjadi tidak

memiliki nilai politik, dengan demikian kualitas partisipasinya

dikatakan rendah.

Suara pemilih memiliki makna politik ketika suara yang

diberikan dinyatakan sah sesuai ketentuan peraturan

1 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi

Pasca Orde Baru, diterbitkan oleh Prenada Media Group, 2011: hal.125

3

perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2014, suara yang

diberikan oleh pemilih dinyatakan sah manakala memenuhi

kreteria sebagai berikut; (1) tanda coblos pada nomor urut

pasangan calon; (2) tanda coblos pada foto pasangan calon;

(3) tanda coblos pada nama pasangan calon; (4) tanda coblos

pada garis kotak pasangan calon; (5) tanda coblos lebih dari

satu kali pada nomor urut pasangan calon yang sama; (6)

tanda coblos lebih dari satu kali pada nomor urut pasangan

calon yang sama; (7) tanda coblos lebih dari satu pada foto

pasangan calon yang sama; (8) tanda coblos lebih dari satu

kali pada pasangan calon yang sama. Sedangkan suara yang

diberikan oleh pemilih akan dinyatakan tidak sah manakala

memenuhi tiga kreteria berikut (1) terdapat tanda coblos pada

dua pasangan calon (2) terdapat tanda coblos diluar kolom

pasangan calon (3) terdapat tanda coblos pada kolom

pasangan calon dan di luar kolom pasangan calon.2

Makna dari kriteria suara sah di atas adalah apabila

pemilih memberikan suara dengan cara-cara di luar ketentuan

tersebut, maka suarannya dinyatakan tidak sah. Misalnya,

pemilih memberikan tanda coblos pada lebih dari satu

pasangan calon, atau pemberian suara dengan cara

mencentang atau melingkari dengan menggunakan spidol.

2 KPU RI, Buku Panduan KPPS Untuk Pencoblosan dan Penghitungan Suara Pemilu Presiden 2014 di TPS, (Jakarta; Sekretariat KPU RI, 2014) hal. 43-45

4

Dampak dari “ketidaksahan suara pemilih”, tidak hanya

menjadikan kerja pemilih sia-sia secara politik, juga

merugikan Negara secara ekonomis. Secara ekonomi, negara

mengalami kerugian karena setiap pemilih mendapatkan

anggaran pembiayaan untuk menggunakan hak pilihnya.

Negara harus menyediakan surat suara, melakukan sosialisasi,

melakukan pemutahiran data pemilih, dan berbagai komponen

pembiayaan lainnya. Tentu saja harapan dari seluruh

pembiayaan diatas, agar masyarakat dapat terlayani dengan

baik dalam pemungutan suara.

Pada ranah praksis, harapan kebermaknaan pilihan

masyarakat melalui keabsahan penggunaan suara tidak selalu

sesuai dengan harapan penyelenggara Pemilu. Di Nusa

Tenggara Barat, persentase suara tidak sah dari pemilu ke

pemilu dengan beragam jenisnya mengalami fluktuasi.

Pertama, pada Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur NTB

tahun 2013 terdapat persentase jumlah suara tidak sah

mencapai 4,51% (Lap. Pilgub, KPU NTB). Kedua, Pemilu

anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2014

persentase jumlah suara tidak sah meningkat menjadi 8,55%

(Potret Pileg 2014, KPU NTB). Ketiga, pada Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden RI tahun 2014 persentase jumlah suara

tidak sah mengalami penurunan menjadi 0,98%. Hal ini

tergambar dalam table berikut.

5

Tabel 1: Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah Pada Pilpres 2014 di NTB

KAB/KOTA

PASLON NO 1 PASLON NO 2 SUARA SAH SUARA TIDAK SAH

Kota Mataram 143.741 71.648 215.388 1.455

Lombok Barat 264.566 79.129 343.695 3.435

Lombok Utara 83.399 35.846 119.185 1.667

Lombok Tengah 362.628 129.040 491.668 4.438

Lombok Timur 471.546 155.595 627.141 8.568

Sumbawa Barat 43.934 22.185 66.119 549

Sumbawa 160.055 85.539 245.594 1.651

Dompu 85.635 36.005 121.640 798

Kota Bima 168.840 67.336 236.176 1.622

Kab. Bima 59.894 18.916 78.810 398

Jumlah 1.844.178 701.238 2.545.416 24.581

Prosentase 72,45 % 27,55 % 99,04 % 0,96 %

Sumber : Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014

Begitu pentingnya makna partisipasi pemilih dan makna

suara mereka dalam konstruksi pemilu langsung, maka

Konstitusi Indonesia yakni pasal 6A UUD 1945 yang kemudian

dimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 42 tahun

2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

ingin meletakkan pemilu presiden di Indonesia sebagai jalan

untuk membentuk pemerintahan langsung atas kehendak

rakyat. Secara teknis kepemiluan, tujuan pemilu presiden

langsung adalah untuk mendapatkan presiden dan wakil

presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat,

6

sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan

negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana

diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.3

Dari aspek legitimasi politik, prosentase suara tidak sah

memang tidak memberi pengaruh pada keabsahan hasil

pemilu. Hanya saja seyogyanya angka partisipasi pemilih

berbanding lurus dengan angka suara sah. Apabila angka suara

tidak sah masih tinggi, maka berdampak pada beberapa

spekulasi negatif seperti kerugian negara dalam membiayai

kepentingan pemilih, kerugian peserta pemilu karena suara

pemilihnya dinyatakan tidak sah, rendahnya kepercayaan

publik terhadap akuntabilitas dan kapabilitas KPU sebagai

penyelenggara Pemilu.

Meskipun suara tidak sah selalu muncul pada setiap

momentum pemilu dengan prosentase jumlah yang bervariasi,

khusus di Nusa Tenggara Barat, namun pola dan penyebab

terjadinya suara tidak sah secara pasti atau ilmiah belum

pernah diketahui oleh siapapun, termasuk oleh KPU sendiri

sebagai pihak penyelenggara. Pola dan penyebab suara tidak

sah seperti ruang gelap yang tersembunyi atau misterius, KPU

tidak memiliki cukup referensi akademik untuk mengatasinya

dari satu momentum pemilu ke momentum pemilu berikutnya.

3 Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Provinsi NTB Tahun 2014, diterbitkan oleh KPU Provinsi NTB, 2014: hal.1-2.

7

Dalam kerangka menemukenali pola dan penyebab

suara tidak sah, khususnya pada Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden tahun 2014, tulisan ini mengajak para pembaca untuk

(1) Mengenali bagaimana pola suara tidak sah pada pemilu

presiden dan wakil presiden tahun 2014 di Provinsi Nusa

Tenggara Barat, (2) Mengetahui faktor penyebab terjadinya

suara tidak sah pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun

2014 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, (3) Memformulasikan

strategi kebijakan yang tepat untuk mengatasi adanya suara

tidak sah pada pemilu presiden dan wakil presiden berikutnya.

Dengan harapan bahwa buku ini dapat (1) memberi masukan

bagi pembuat regulasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

untuk memformulasi kebijakan yang tepat, (2) memberi

pelajaran penting bagi petugas yang terlibat langsung dalam

pelaksanaan Pemilu dengan belajar dari kesalahan atau

kelemahan yang membuat adanya surat suara tidak sah, dan

(3) sebagai sumber belajar pemilih agar terhindar dari

kesalahan dalam memilih sehingga suara yang diberikan tidak

termasuk sebagai surat suara tidak sah

SISTIMATIKA PENULISAN

Bab 1 dimulai dengan mengelaborasi kegelisahan

akademik yang melatarbelakangi penulisan ini yaitu fakta

bahwa pemilihan umum (pemilu) diyakini sebagai metode atau

mekanisme politik paling elegan, santun dan demokratis dalam

mengisi jabatan politik pada tingkat manapun baik pemilu

8

legislatif, pemilu presiden maupun pilkada. Pengisian jabatan

politik pastinya melibatakan partisipasi warga negara.

Setidaknya ada dua aspek yang mesti diperhatikan dalam

konteks partisipasi warga negara dalam setiap Pemilu, yaitu;

aspek kuantitas dan aspek kualitas partisipasi.

Bab 2 dari tulisan ini mengurai teori-teori yang

dijadikan sebagai kerangka fikir (theoretical framework)

dalam rangka mempertemukan kondisi seharusnya (das sollen)

dengan fakta nyata (das sein) yang berkaitan dengan idealisasi

pelaksanaan pesta demokrasi prosedural diantaranya fungsi,

model dan sistem pemilihan pejabat publik.

Bab 3 mendeskripsikan tentang teori perilaku pemilih

dan mazhab-mazhab yang terkait, seperti mazhab sosiologis,

mazhab psikologis, dan mazhab ekonomi yang baik disadari

atau tidak dapat mempengaruhi perilaku memilih para

pemilih.

Bab 4 membicarakan tentang fungsi Partai Politik dalam

Pemilu yang demokratis dan fungsi serta tugas Penyelenggara

Pemilu dalam menyelenggarakan Pemilu baik Pileg, Pilpres

maupun Pilkada. Disamping itu bagian ini juga membahas

tentang titik temu dimana kedua lembaga ini saling bertautan

satu sama lain.

Bab 5 berkaitan dengan kriteria Suara sah dan tidak sah

dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun

2014 berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

9

yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan

PKPU Nomor 19 Tahun 2014.

Bab 6 mengelaborasi tahapan-tahapan pelaksanaan

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di NTB yang

terdiri dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan

tahapan penyelesaian.

Bab 7 membahas tentang pola suara tidak sah pada

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang terdapat

diwilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan cara

membandingkan antara pola suara tidak sah dalam tabel

dengan pola suara tidah sah dalam gambar.

Bab 8 bertautan dengan faktor-faktor penyebab suara

tidak sah dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun

2014 di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara garis

besar, faktor-faktor tersebut dibagi kedalam 4 kategori, yaitu:

Faktor sistim penyelenggaraan Pemilu, faktor Penyelenggara,

faktor peserta (Partai politik pengusung) dan Tim sukses, dan

yang terakhir adalah faktor Pemilih.

Bab 9 fokus pada kompilasi pola dan faktor penyebab

suara tidak sah pada pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden Tahun 2014 di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

sebagaimana terangkum secara jelas dalam tabel 12.

Bab 10 menawarkan beberapa bentuk rekomendasi dan

strategi kebijakan yang bersifat regulatif dan teknis untuk

perbaikan pelaksanaan Pemilu pada umumnya dan Pemilu

10

Presiden dan Wakil Presiden pada khususnya diwaktu-waktu

yang akan datang.

Bab 11 bersinggungan dengan beberapa kesimpulan

terhadap pola suara tidak sah pada Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden tahun 2014 di Provinsi Nusa Tenggara Barat serta

sumbangsih pemikiran atau saran untuk perbaikan pelak-

sanaan Pemilu pada umumnya diwaktu mendatang.

11

istem pemerintahan Indonesia pasca kekuasaan Rezim

Orde Baru mengalami beberapa perubahan. Menurut

Kancung Marijan, sedikitnya pasca Soeharto Indonesia

mengalami beberapa perbedaan dalam pelembagaan politik.4

Lebih lanjut Marijan mengatakan sistem kepartaian yang

dianut tidak lagi satu setengah partai, melainkan sistem

multipartai. Tentu saja tidak hanya soal sistem kepartaian

yang mengalami perubahan. Semangat berdemokrasi yang

begitu tinggi juga menyebabkan pemerintahan di era

reformasi membuat beberapa perubahan sistem pemilu dan

kelembagaan parlemen.

Sistem pemilu legislatif yang semula proporsional

tertutup diganti dengan sistem proporsional terbuka, bahkan

penetapan calon terpilih menggunakan model suara

terbanyak. Disamping itu, guna membangun efektivitas

perwakilan, besaran distrik (daerah pemilihan) diperkecil.

Tentu saja perubahan sistem kepartaian dan sistem pemilu,

telah membuka ruang yang lebih besar kepada warga negara

4 Kancung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, diterbitkan oleh Kencana Prenada, 2011: hal.10.

S

Pemilu Presiden & Wakil Pesiden secara langsung 2

12

untuk terlibat lebih aktif di arena politik. Misalnya,

perubahan tersebut menyebabkan munculnya aktor-aktor baru

baik di tingkat nasional maupun lokal. Apabila di era Orde

Baru, didominasi oleh Golkar dan Militer, maka dengan

perubahan tersebut aktor politiknya menyebar ke kekuatan-

kekuatan politik lainnya.

Pada aspek kelembagaan parlemen tingkat nasional,

perubahan politik era reformasi terlihat pada mekanisme

pengisian anggota parlemen. Di masa Orde Baru, anggota

parlemen diisi oleh perwakilan partai politik di tambah utusan

golongan dan utusan daerah, yang mana utusan golongan dan

utusan daerah tidak diisi melalui mekanisme pemilu oleh

rakyat, melainkan ditunjuk. Maka pada era reformasi, seluruh

anggota parlemen diisi melalui mekanisme pemilu yang

mempertegas sistem dua kamar, yaitu kamar DPR dan kamar

DPD. Jumlah anggota DPD sebanyak empat orang untuk

masing-masing provinsi. Karena itu kemudian sistem pemilu

Indonesia sejak tahun 2004 dikenal dengan sistem proporsional

dan sistem distrik berwakil banyak. Khusus untuk sistem

distrik berwakil banyak diperuntukan bagi pemilihan anggota

DPD.

Perubahan lain yang cukup mendasar bagi perpolitikan

Indonesia adalah mekanisme pengisian presiden dan wakil

presiden. Pada masa Orde Baru diisi melalui mekanisme

pemilihan oleh parlemen, sedangkan pada era reformasi, sejak

tahun 2004 presiden dan wakil presiden secara berpasangan

13

diisi melalui mekanisme pemilihan umum langsung oleh

rakyat. Kedaulatan rakyat untuk menentukan presiden dan

wakil presiden mereka tidak lagi dititipkan pada kekuasaan

parlemen, namun murni menjadi kekuasaan rakyat sebagai

subjek langsung demokrasi.

Pertanyaan mendasarnya kemudian, bagaimana

menjelaskan pemilihan presiden dan wakil presiden langsung

secara teoritis ?. Tulisan ini melakukan penelusuran terhadap

beberapa literatur yang membahas tentang sistem

pemerintahan. Dalam buku yang ditulis oleh John T. Ishiyama

dan Marijke Breuting tahun 2013, ditemukan dua pembagian

jenis sistem pemerintahan, yakni sistem presidensial dan

sistem parlementer.5 Bagimana perbedaan keduanya?

Ishiyama dan Breuting memberi gambaran sebagai pembeda

kedua sistem tersebut. Pada sistem presidensial terlihat

bahwa sistem ini menghasilkan kebijakan yang lebih terbuka,

tetapi pengeluaran yang lebih besar karena pemerintah harus

membayar beberapa subsidi dan biaya pelayanan public

sebagai bentuk pelaksanaan janji kepada elektorat. Namun

demikian tentu saja sistem ini lebih baik diterapkan karena

merepresentasikan keseluruhan elektorat. Dan yang seringkali

menjadi catatan kritis, sistem ini dituduh cenderung

5 John T.Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21, diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group, 2013: hal.293.

14

melahirkan konflik, dan dalam beberapa kasus mengalami

kegagalan demokrasi.

Berbeda dengan sistem presidensial, pada sistem

parlementer cenderung menimbulkan apatisme elektorat

karena mereka tidak dilibatkan dalam proses pemilihan. Pada

model parlementer, presiden dan wakil presiden dipilih oleh

parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen. Maka

posisi politik rakyat pada sistem ini tidak terlihat. Meskipun

terlihat lebih efisien dari pembiayaan pemilu, namun sistem

parlementer cenderung menimbulkan konflik antar kekuasaan

pemerintahan, khususnya konflik antara eksekutif dengan

legislatif. Konsekuensi politik dari pertanggungjawaban

presiden kepada parlemen, maka pengeluaran negara banyak

untuk elit, karena loyalitas presiden kepada elit parlemen

atau elit partai.

Sistem pemerintahan juga mempunyai relasi dengan

sistem kepartaian. Ketika menyinggung relasionalitas

keduanya, Sigit Pamungkas menyebutkan sistem dua partai

ideal untuk semua sistem pemerintahan. Sedangkan sistem

multipartai hanya cocok untuk sistem pemerintahan

parlementer.6 Indonesia era reformasi menerapkan sistem

pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai.

Menurut Pamungkas, kombinasi dua sistem ini tidak sesuai,

karena berakibat pada rendahnya keberlanjutan demokrasi.

6 Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, diterbitkan oleh Institut for Democracy and Welfarism, Yogyakarta, 2011: hal.56

15

Dalam membahas tentang pembaharuan ketatanegaraan

Indonesia pasca Orde Baru, Soewoto Mulyosudarmo, sistem

pemerintahan yang menempatkan MPR dalam posisi puncak

kekuasaan yang diberikan oleh pasal 1 Ayat (2) UUD 1945

ketika belum diamademen memiliki beberapa kelemahan.

Salah satu yang disebut Mulyosudarmo sebagai kelemahannya

adalah sistem kekuasaan tersebut potensial disalahgunakan.7

Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 1 Ayat (2)

sebelum diamademen, menyebutkan “kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat”. Setelah diamademen, pasal

tersebut menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut UUD 1945”.

Menurut Mulyosudarmo, ketentuan pasal 1 Ayat (2) hasil

amademen sangat ideal untuk sistem politik demokratis.

Menurutnya, rumusan tersebut lebih mencerminkan keadaan

yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan tertinggi.

Ketentuan ini menampung tiga prinsip ketatanegaraan

sekaligus, yakni; kedaulatan hokum, kedaulatan rakyat, dan

kedaulatan parlemen. Rumusan kalimat dalam pasal tersebut

juga sekaligus dapat menjadi dasar pelaksanaan pemilihan

presiden dan wakil presiden melalui mekanisme rakyat

langsung. Sementara pemilihan presiden dan wakil presiden

7 Soewoto Mulyosudarmo, Prof.Dr, SH.,MH, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS, Malang, 2004: hal.7

16

secara langsung merupakan pelaksanaan ajaran kedaulatan

rakyat. Dengan demikian, dasar teoritis pelaksanaan pemilu

preesiden dan wakil presiden langsung adalah sebagai

pelaksanaan nilai-nilai sistem pemerintahan presidensial.

Sedangkan dasar yuridisnya adalah amanat UUD 1945. Maka

pemilu presiden dan wakil presiden tidak dapat dikembalikan

ke MPR, kecuali mengganti sistem pemerintahan presidesial

ke parlemen dan melakukan amademen terhadap UUD 1945

terlebih dahulu.

FUNGSI PEMILIHAN

Definisi dan fungsi pemilihan tidak selalu mudah

disajikan. Andrew Heywood menyebutkan ada dua pandangan

yang berbeda tentang fungsi pemilihan, yakni pandangan

konvensional dan pandangan radikal.8 Menurut pandangan

konvensional, pemilihan merupakan sebuah mekanisme

dimana para politisi dapat dipanggil untuk memperhitungkan

dan dipaksa untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang

mencerminkan opini publik. Pandangan ini menekankan 6

fungsi bottom-up dari pemilihan, yaitu; (1) Rekrutmen para

politisi. (2) Pembentukan pemerintahan. (3) Menyediakan

perwakilan. (4) Memengaruhi kebijakan. (5) Mendidik para

pemilih. (6) Membangun legitimasi.9 Adapun pandangan

radikal menggambarkan pemilihan sebagai sebuah sarana

8 Andrew Heywood, Politik Edisi Keempat, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2014: hal 357 9 Andrew Heywood, ibid. hal 362-364

17

dimana para pemerintahan dan para elit politik dapat

melakukan kontrol atas rakyat mereka, menjadikan mereka

(rakyat) lebih tenang, lebih lunak, dan tentu lebih mudah

diatur. Pandangan ini menekankan fungsi top-down dari

pemilihan, yakni; pembangunan legitimasi, pembentukan opini

publik, dan penguatan para elit. 10

Dengan lebih sistematis, Sigit Pamungkas menerangkan

paling kurang ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi

sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa.

Pertama, melalui pemilu pemerintah bisa meyakinkan atau

setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik

dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu pemerintah dapat

mempengaruhi perilaku rakyat. Ketiga, dalam dunia modern

para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesempatan dari

rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan

legitimasinya.11

METODE PEMILIHAN

Dilihat dari cara atau metode yang dipakai, pemilihan

pejabat politik, termasuk presiden dan wakil presiden, dapat

dibagi menjadi dua, yakni; (1) metode tak langsung, dengan

cara dipilih oleh perwakilan; (2) metode langsung, yakni

memberikan ruang dan kekuasaan rakyat untuk memilih

10 Andrew Heywood, ibid. hal 362 11 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, diterbitkan oleh Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM & Jurusan Ilmu Pemerintahan, 2009: hal.5-7

18

langsung. Menurut Joko J. Prihatmoko, perbedaan substansial

dari kedua metode pemilihan pejabat politik terletak pada

bagaimana kedaulatan rakyat diposisikan dalam kerangka

sistem.12

Pada metode tak langsung, kedaulatan diserahkan atau

dititipkan pada elit politik, misalnya dititipkan pada

Parlemen. Konsekuensinya, pertanggungjawaban bahkan

pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden juga bersifat tak

langsung. Oleh sebab itu, dalam metode ini, mekanisme

check and balances sepenuhnya mengandalkan pada elit

politik dan rakyat tidak terlibat secara langsung. Metode ini

memang berbiaya murah, namun tentu tidak memberi ruang

bagi rakyat melakukan kontrol terhadap pejabat politik,

termasuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Sedangkan dalam metode langsung, kedaulatan

sepenuhnya diserahkan dan digunakan oleh rakyat, sehingga

lebih menjamin keterwakilan dan preferensi, dan yang pasti

menimbulkan kesan lebih demokratis. Hasil pemilihan

merupakan konsekuensi dari keputusan rakyat sendiri,

termasuk jika dikemudian hari kebijakan yang dikeluarkan

oleh pejabat politik, termasuk Presiden dan Wakil Presiden

yang terpilih mencerminkan kebijakan buruk dan

mengecewakan. Oleh sebab itu, kualitas pemilih dalam

12 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2005: hal. 105

19

pemilihan langsung sangat dibutuhkan. Kualitas pemilih,

menyangkut dua hal; (1) mengandung rasionalitas dan kritisme

pilihan dalam menyeleksi calon yang ada; (2) mengandung

kemampuan atau keterampilan pemilih tentang cara

menggunakan hak pilih mereka agar suaranya sah sehingga

memiliki makna politik.

SISTEM PEMILIHAN

Sistem pemilihan didefinisikan sebagai cara meng-

konversi suara rakyat menjadi kursi dalam proses pemilihan.

Dalam berbagai literatur politik, terdapat beberapa sistem

yang sering digunakan dalam pelaksanaan pemilihan pejabat

politik, mulai dari Pemilihan Presiden hingga Pemilihan Kepala

Daerah. Secara ringkas Prihatmoko telah mengidentifikasi ada

5 sistem pemilihan yang diberlakukan disertai kelebihan dan

kekurangannya sebagaimana terangkum dalam table sebagai

berikut:13

13 Ibid, hal.116-121

20

Tabel 2: Lima Sistem Pemilihan Umum

No

Sistem

Pemilihan

Kelebihan Kelemahan

1 Fisrt Past the

Post System

Sederhana, mudah,

dan murah, karena

cukup dilakukan satu

putaran

Melemahkan

legitimasi sosiologis

calon terpilih,

karena bisa jadi

jumlah suara calon

terpilih lebih kecil

disbanding akumulasi

suara sah

2 Preferential

Voting System

atau Aprroval

Voting System

Lebih akurat dalam

mencerminkan

preferensi pemilih

Terlalu rumit untuk

dilaksanakan,

memerlukan

persiapan logistic

yang efektif, mema-

kan biaya besar,

perhitungan suara

tidak dapat dilaku-

kan di tiap-tiap TPS

3 Two Round

System atau

Run-off System

Calon terpilih memi-

liki legitimasi sosio-

logis cukup besar dan

memungkinkan

koalisi pada pemilih-

an putaran kedua

Membutuhkan

tenaga dan dana

besar. Jeda yang

terlalu lama antara

putaran pertama dan

kedua cenderung

menimbulkan konflik

horizontal antar

pendukung calon

21

4 Sistem

Electoral

College

Apabila jumlah pemi-

lih kurang dari mayo-

ritas, maka bobot

Dewan Pemilih akan

dapat mengoreksi

kurangnya legitimasi

akibat sedikitnya

jumlah pemilih

Memungkinkan

seorang calon untuk

menang, meskipun

hanya memenangkan

suara di beberapa

daerah pemilihan

yang padat

penduduk

5 Sistem

(Pemilihan

Presiden)

Nigeria

Membuka peluang

calon terpilih men-

dapat dukungan luas,

mengurangi jumlah

calon, tidak mendis-

kriminasikan daerah

pemilihan dengan

jumlah penduduk

sedikit

Sulit bagi calon

untuk memenuhi

criteria menjadi pe-

menang, sehingga

perlu dilaksanakan

pemilihan putaran

kedua.

Jika menggunakan rujukan konseputal tentang jenis-

jenis sistem pemilihan diatas untuk melihat pemilihan

Presiden tahun 2014 di Indoensia, maka tampaknya sistem

yang digunakan di Indonesia pada prinsipnya adalah Two

Round System, namun mengkombinasikan dengan sistem

pemilihan Nigeria yang memperhatikan keterwakilan wilayah.

Bedanya dengan sistem pemilihan Nigeria, di Indonesia

sebaran suara ke wilayah lebih tinggi yakni lebih dari 50%

jumlah provinsi.14

14 UU No. 42 Tahun 2008 Tenang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 159 disebutkan bahwa “pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 % dari sejumlah suara dengan sedikitnya 20 % suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari

50 % Provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya tidak ada yang memenuhi persyaratan tersebut, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilu putaran kedua”.

22

23

TEORI PERILAKU PEMILIH

emberian suara dalam pemilu merupakan tindakan

sosial penuh makna. Karena itu, cara individu

menggunakan hak pilihnya ketika pemungutan suara

dikonstruksi oleh beragam faktor. Dalam usahanya menelisik

faktor-faktor suara tidak sah dalam pemilu presiden 2014,

tulisan ini menggunakan tiga mazhab, sebagaimana penjelasan

berikut;

MAZHAB SOSIOLOGIS

Seperti yang lazim diketahui, pendekatan perilaku yang

menumpukan perhatian pada karekteristik latar belakang

sosiologis seseorang mendapat perhatian dalam penelitian

ilmu politik. Banyak ilmuan politik menggunakan pendekatan

ini untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya seseorang

berperilaku ketika dihadapkan pada pilihan politik dalam

pemilu, termasuk bagaimana mereka memperlakukan surat

suara sebagai sarana pemberian suara. Dapat dikatakan bahwa

keadaan individu untuk memilih, apalagi dalam konteks

P

Teori dan Mazhab

3

24

Pemilu menjadi stimulus yang mendorong individu tersebut

untuk berperilaku, yaitu memilih alternatif yang ditawarkan.

Karya Asrinaldi berhasil mengungkap beberapa

penelitian terkait perilaku pemilih dalam pandangan

sosiologis. Salah satu hasil penelitian yang dibeberkan adalah

karya Lazarsfeld, Bareslon & Gaudit yang bertajuk The

People`s Choice : how the voter makes up his mind in a

presidential campaign (1944). Asrinaldi menyimpulkan hal

penting dalam karya ini adalah perilaku memilih seseorang

merefleksikan keanggotaan kelompok sosial yang dibentuk

oleh kekuatan sosioekonomi dan demografi.15 Asumsi ini

berangkat dari eksistensi individu sebagai mahluk sosial yang

berada dalam lingkungan sosial yang dinamis. Lingkungan

inilah yang sebenarnya mempengaruhi nilai dan keyakinan

politik individu yang selanjutnya menjadi bagian penting

dalam perkembangan sikap, perilaku dan tindakan politik

mereka.

Lebih lanjut penelitian yang dilakukan Lazarsfeld,

Bareslon & McPhee (1954) yang berjudul Voting a study of

opinion formation in a presidential campaign, menemukan

adanya kesamaan persepsi politik individu yang dibentuk

karena interaksi antara individu yang dipengaruhi oleh latar

belakang keluarga, teman dan sejawat dalam pekerjaan. Latar

belakang sosial yang demikian merupakan aspek penting dari

15 Asrinaldi, Politik Masyarakat Miskin Kota, diterbitkan oleh Gava Media Yogyakarta, 2012 : hlm. 25-29.

25

lingkungan sosial individu ketika mereka bersosialisasi. Inilah

yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan preferensi

politik individu untuk merespon gejala poltiik yang

dihadapinya.16

Para pengikut mazhab sosiologi menyebutkan bahwa

faktor sosiologis individu adalah faktor yang menentukan

pilihan akhir yang digabungkan kedalam indeks predisposisi

politik mereka. Para sarjana yang tergabung dalam mazhab ini

meyakini bahwa pendekatan sosiologi ini pada mulanya

berasal dari Eropa, yang dimulai pada tahun 1940 ketika

pemilihan Presiden Amerika Serikat dilakukan. Oleh sebab itu

pendekatan sosiologis ini disebut sebagai model sosiologi

politik Eropa. Istilah lain yang sering digunakan terhadap

pendekatan ini adalah social determination approach karena

terkait dengan karekteristik sosiologis seseorang seperti orang

tua, status sosial, agama, kelas, dan tempat tinggal.

Penelitian yang pernah dilakukan Gerald Pomper,

misalnya berusaha merinci pengaruh pengelompokan sosial

dalam studi perilaku memilih kedalam dua variabel, yaitu

variabel predisposisi sosial ekonomi keluarga pemilih dan

predisposisi sosial ekonomi pemilih (voter). Kajian tersebut

menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

predisposisi sosial ekonomi keluarga tersebut dengan perilaku

memilih seseorang. Artinya, preferensi politik keluarga seperti

16 Ibid. Hlm.26

26

preferensi politik ayah atau ibu berpengaruh pada preferensi

politik anak dalam keluarga tersebut.17 Variabel-variabel

sosiologis lainnya yang membentuk preferensi politik individu

adalah agama. Di Indonesia misalnya penelitian yang dilakukan

oleh Afan Gafar menemukan negara, agama, dan asal-usul

budaya tertentu berpengaruh pada bentuk dukungan individu

pada partai politik tertentu. Preferensi politik masyarakat

Jawa dalam kajian Gafar dikelompokkan kedalam tiga kategori

latar belakang yakni abangan, priyayi, dan santri. 18

Pengelompokkan masyarakat politik yang digambarkan

Gafar diatas telah dijelaskan oleh studi Geertz terhadap

sebuah kota kecil di Jawa timur sekitar tahun 1950-an. Geertz

menemukan tiga pengelompokan atau varian agama jawa yang

ikut berpengaruh terhadap karekteristik sosial mereka, yakni;

abagan, santri, dan priyayi.19 Berikut dijelaskan karekteristik

dari ketiga varian tersebut.

Varian abagan, dicirikan oleh menguatnya tradisi

upacara-upacara slametan atau kenduren dan kepercayaan

terhadap mahluk halus. Pada masyarakat abangan upacara

slametan menjadi wadah bersama masyarakat, yang

mempertemukan berbagai aspek kehidupan social serta

17 Pomper,G. Voters Choice : varieties of American electoral behaviore, diterbitkan oleh New York : Dodd Mead Company, 1978 : hlm.195-205. 18 Afan Gafar, Javanese voters : a study of election under a hegemonic

party system. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. 19 Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Azwab Mahasin dan Bur Rasuanto, diterbitkan oleh Komunitas Bambu, 2014.

27

pengalaman individual sehingga memperkecil ketegangan dan

konflik diantara individu-individu dalam komunitas mereka.

Upacara slametan dilakukan untuk mersepons semua kejadian

yang ingin dipergantikan atau ditebus. Misalnya, slametan

perkawinan, kelahiran, kematian, pindah rumah, panen, ganti

nama, membuka pabrik, mimpi buruk, memohon kepada

arwah penjaga desa, khitanan, dan permulaan suatu rapat

politik.20

Untuk menjelaskan karekteristik santri, Geertz

membedakannya dengan varian abangan. Ada dua perbedaan

yang mencolok menurut hasil penelitian Geertz. Pertama,

kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin

tetapi terpesona oleh detail upacara. Sementara dikalangan

santri, perhatian terhadap doktrin hampir seluruhnya

mengalahkan aspek ritual islam yang sudah menipis. Kedua,

terletak pada organisasi sosial mereka. Untuk kalangan

abangan, unit sosial paling dasar tempat hampir semua

upacara berlangsung adalah rumah tangga. Sedangkan

kalangan santri, rasa sebagai satu komunitas (umat) adalah

yang terutama. Kalangan santri melihat islam sebagai

serangkaian lingkaran sosial yang konsentris.21

Apabila abangan diidentifikasi sebagai petani Jawa yang

tidak melek huruf, maka kata Geertz varian priyayi adalah

golongan ningrat. Priyayi umumnya selalu berada di kota-kota

20 ibid: hal 3 21 ibid: hal 179-181

28

yang jumlahnya terus bertambah seiring modernisasi. Namun

pada dasarnya, priyayi merupakan islam dari kalangan

bangsawan atau ningrat, birokrat dan pengusaha. Pandangan

mereka tentang islam lebih modern bahkan cenderung liberal.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mazhab

sosiologis melihat perilaku pemilih dikonstruksi oleh proses

politik yang diterima individu yang dimulai dari lingkungan

keluarga hingga lingkungan sosial. Proses sosialisasi tersebut

ditandai dengan terbentuknya latar belakang sosiologis dan

karekteristik afiliasi politik orang tua, agama, dan latar

belakang sosial budaya lainnya, seperti kelas, jenis kelamin,

dan usia.

Apabila kerangka pikir mazhab sosiologis diatas

dijelaskan melalui gambar, maka bentuk operasionalisasinya

akan tampak seperti pada gambar dibawah ini serta dapat

dibunyikan sebagai berikut:

“Perilaku individu dalam pemilu dikonstruk oleh faktor eksternal, yaitu keluarga dan lingkungan sosial. Pengaruh keluarga dan pengaruh lingkungan sosial menyebabkan individu datang ke TPS, meskipun tidak memiliki pilihan politik. Karena konstruksi dua faktor tersebut, kemudian individu memberikan suaranya dengan cara membuat surat suara menjadi tidak sah ”.

29

Bagan 1: Model Mazhab Sosiologis

MAZHAB PSIKOLOGIS

Pendekatan ini merupakan fenomena yang muncul dari

kalangan ilmuan Amerika Serikat melalui Survey Research

Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini

merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap pendekatan

sosiologis yang dianggap kurang dapat menjelaskan secara

metodologis kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam

diri individu, terutama yang terkait dengan preferensi

politiknya terhadap suatu partai. Karena itu pendekatan ini

juga dikenal dengan Mazhab Michigan yang saat ini oleh para

sarjana dijadikan referensi dalam mengkaji perilaku pemilih.

Lingkungan Keluarga:

Afiliasi politik orang

tua.

Afiliasi politik

suami/istri

Perilaku Pemilih

Lingkungan Sosial:

Agama

Stratifikasi sosial

Geopolitik

Jenis kelamin Usia

30

Mazhab psikologis mengandaikan hipotesis kerjanya

pada adanya variabel seperti identifikasi kepartaian, orientasi

terhadap kandidat, dan orientasi terhadap isu sebagai dasar

dalam menjelaskan perilaku memilih seseorang. Menurut

mashab ini pilihan individu terhadap peserta pemilu tertentu

melalui proses psikologis panjang, namun putusan akhir

individu sangat bergantung kepada penilaiannya terhadap

perkembangan politik kontemporer (faktor jangka pendek).

Proses psikologis yang panjang yang berlangsung pada diri

individu inilah yang melahirkan istilah identifikasi.22

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah identifikasi

terhadap kandidat terjadi secara spontan dalam diri individu?

Mazhab psikologis menjawab tidak. Identifikasi peserta pemilu

tidak hadir dengan sendirinya dalam diri individu, namun

berproses sejak perkembangan individu pada masa remaja

yang cenderung mengikuti preferensi poltiik orang tua

mereka. Jika orang tua mereka mengidentikkan diri mereka

pada satu peserta pemilu tertentu, maka anak-anak mereka

(cenderung) juga mengidentikkan diri mereka dengan peserta

pemilu tersebut. Dari satu segi, identifikasi peserta pemilu ini

hanya upaya individu mendekatkan dirinya kepada satu

peserta pemilu tertentu secara psikologis dalam waktu

tertentu dan belum tentu memilih peserta pemilu tersebut

pada waktu yang lain pada saat pemilu.

22 Dr. Asrinaldi, Op Cit , hlm.30

31

Lebih jauh, pendekatan piskologis juga

mengindentifikasi perilaku memilih individu dari proses

sosialisasi yang mereka dapatkan dari lingkungan

persekitarannya. Misalnya, sosialisasi politik yang diterima

seseorang pada masa kecil, baik lingkungan keluarga maupun

perkawanan mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya

pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.

Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang adalah

refleksi dari kepribadiannya dan menjadi variable yang

menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik individu

tersebut. Karena itu pendekatan psikologis mengaitkan dengan

tiga aspek utama yaitu; ikatan emosional pada suatu partai

politik, orientasi terhadap isu yang berkembang, dan orientasi

terhadap kandidat. Ketiga aspek ini digambarkan dalam model

seperti terdapar dalam bagan 2.

Gambar dibawah menerangkan bahwa perilaku pemilih

(voting) dikonstruk secara bersama-sama atau sendiri-sendiri

oleh ikatan emosional terhadap partai, orientasi terhadap isu,

dan orientasi terhadap kandidat. Seseorang yang orang tuanya

(ayah atau ibu) berasal dari partai A, cenderung akan memilih

partai A atau kandidat yang diusung oleh partai A dibanding

dengan partai B. Namun demikian, pilihan seseorang dapat

juga dikonstruk oleh ketertarikannya terhadap isu yang

diusung oleh partai. Konstruksi lain yang mempengaruhi

pilihan seseorang adalah ketertarikannya terhadap kandidat.

Bisa saja dalam suatu pemilu seseorang tidak tertarik pada

32

suatu partai politik dan isu yang diusung partai politik

bersangkutan, tetapi dia tertarik pada seorang kandidat atau

faktor figuritas.

Bagan 2:

Model Pendekatan Mazhab Psikologis

MAZHAB EKONOMI

Kehadiran mazhab ekonomi dalam menjelaskan perilaku

memilih menjadi alternatif untuk mengetahui seberapa jauh

individu mampu bertindak rasional dalam pilihannya. Mazhab

ekonomi berangkat dari asumsi dasarnya, bahwa manusia

cenderung bertindak rasional, yaitu memaksimalkan

keuntungan yang diperoleh dari tindakannya dan

Ikatan emosional terhadap partai

Perilaku voting

Orientasi terhadap kandidat

Orientasi terhadap isu

33

meminimalkan efek negatif dari tindakan yang dilakukan

tersebut. Individu berusaha memanfaatkan potensi yang

dimilikinya agar pilihan yang dibuat menghasilkan keuntungan

kepada mereka.

Asumsi dasar mazhab ekonomi bertolak dari pandangan

ekonomi klasik bahwa manusia merupakan mahluk yang

rasional dan bertindak berdasarkan pada pertimbangan

untung-rugi (ekonomi). Asumsi ini dikembangkan dalam

dimensi politik, terutama dalam melihat perilaku memilih

individu dalam pemilu. Menurut mazhab ekonomi ini, tindakan

individu memberikan suaranya dalam pemilu tidak berhenti

pada hari pemungutan suara itu saja, namun ia juga membawa

konsekuensi yang panjang baik kepada diri individu hari itu

(saat pemungutan suara) dan juga masa depannya. Oleh

karenanya, pilihan yang dibuat tersebut haruslah membawa

keuntungan paling tidak bagi diri mereka sebagai pemilih.

Artinya, individu sebagai pemilih berusaha membuat kalkulasi

keuntungan secara ekonomis dan matematis dari tindakannya

ketika memberikan suara dalam pemilu.

Tindakan yang dianggap menguntungkan individu

didasarkan kepada kepentingan yang ingin diwujudkan individu

bersangkutan. Misalnya, seorang pemilih dalam pemilu

bertindak rasional bagi dirinya, jika ia mendapatkan

keuntungan yang maksimal dari pilihan yang dibuatnya,

apakah itu dalam konteks keuntungan jangka panjang atau

34

jangka pendek. Dengan demikian model pendekatan mazhab

ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 3:

Model pendekatan mazhab ekonomi

Rasionalitas individu Tindakan politik Perilaku pemilih

Kepentingan pribadi

Meminimumkan ketidakpastian

Memaksimumkan keuntungan rasional

35

FUNGSI PARTAI POLITIK DALAM SISTEM DEMOKRASI

ari sisi histori, partai politik berkembang bersamaan

dengan proses-proses parlementer dan proses-proses

pemilihan. Demikian dikatakan oleh Maurice

Duverger.23 Dengan demikian sepanjang ada pemilihan dalam

suatu negara sebagai mekanisme pelaksanaan demokrasi,

eksistensi peran dan fungsi partai politik diperlukan. Karena

itu, partai politik diletakkan pada posisi sebagai salah satu

pilar demokrasi.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik

memiliki sejumlah fungsi. Dalam menelusuri fungsi tersebut,

Damsar menemukan delapan (8) fungsi partai politik24.

Penjelasannya dapat dilihat di bawah ini.

1. Sebagai wahana representasi politik

Partai politik dibangun atau didirikan sebagai usaha untuk

merepresentasikan kepentingan politik baik pada lembaga

23 Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, diterjemahkan oleh Laila Hsyim, diterbitkan oleh PT.Bina Aksara, 1984 : 3 24 Damsar, Prof.Dr., Pengantar Sosiologi Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Group, 2013: hal. 246-255

D

Fungsi Partai Politik dan Penyelenggara Pemilu

4

36

legislative maupun lembaga kekuasaan eksekutif, seperti

presiden, gubernur, bupati dan walikota. Kepentingan

politik tentu beragam berdasarkan berbagai dimensi,

seperti agama, profesi, stratifikasi social, ideology dan

sebagainya.

2. Sebagai sarana komunikasi politik

Komunikasi politik merupakan proses pengalihan pesan,

yang mengandung maksud atau arti, dari pengirim kepada

penerima yang melibatkan proses pemaknaan terhadap

kekuasaan, wewenang, kehidupan public, pemerintahan,

negara, konflik dan resolusi konflik, kebijakan,

pengambilan keputusan, dan pembagian atau alokasi.

Dalam sistem demokrasi, actor penting komunikasi politik

adalah partai politik, yakni melalui anggota partai yang

berada di lembaga legislative atau eksekutif.

Fungsi komunikasi politik seharusnya dilakukan

berkelanjutan dan holistik. Yang dimaksud dengan holistik

adalah politik yang dikomunikasikan tidak sepotong-

sepotong, parsial, atau sektoral. Partai politik idealnya

mengkomunikasikan politik sepanjang masa. Ketika partai

politik tidak melakukan komunikasi politik, maka terjadi

suatu keadaan hampa (vacuum) informasi publik.

3. Sebagai sarana sosialisasi politik

Sosialisasi politik merupakan transmisi pengetahuan,

sikap, nilai, norma, perilaku esensial dalam kaitannya

dengan politik, agar mampu berpartisipasi efektif dalam

37

kehidupan politik. Di kebanyakan negara-negara Eropa,

fungsi sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik

berjalan baik. Hal ini belum terjadi di Indonesia, terlebih

lagi di daerah. Kebanyakan partai politik hanya melakukan

sosialisasi politik menjelang pemilu, setelah itu,

masyarakat dibiarkan memahami politik sendiri.

Kendala sosialisasi politik adalah biaya tinggi, karena

untuk melaksanakan pengumpulan massa, menarik massa

untuk berkumpul, dan membujuk massa untuk betah

menerima nilai dan pandangan partai, harus mengeluarkan

uang yang tidak sedikit.

4. Sebagai sarana partisipasi politik

Partisipasi politik adalah, turut ambil bagian atau

berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan

dengan kekuasaan, kewenangan, kehidupan politik,

pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik,

kebijakan, pengambilan keputusan, dan pembagian atau

alokasi. Salah satu kegiatan yang berhubungan dengan

kekuasaan adalah pemilu. karena itu, partisipasi

masyarakat dalam pemilu disebut sebagai partisipasi

politik.

Partai politik merupakan sarana partisipasi politik, karena

itu partai politik seyogianya menciptakan suatu

mekanisme dimana kebijakan dan pengambilan keputusan

para anggota legislative dan partainya mengikutsertakan

aspirasi, keinginan, dan harapan para konstituen,

38

simpatisan, dan kader partai mereka. Dengan kata lain,

semua kebijakan dan pengambilan keputusan partai

berbasis aspirasi dan suara rakyat, sehingga kedaulatan

rakyat masih berada di tangan rakyat.

5. Sebagai sarana rekrutmen politik

Perekrutan politik merupakan suatu proses melakukan

pemilahan, pengangkatan, dan penetapan sehingga

seseorang atau kelompok orang dapat menduduki jabatan

politik dan pemerintahan. Semua partai politik

melaksanakan proses perekrutmenan politik, karena

tujuan akhir dari didirikannya partai poltiik adalah untuk

mendapat kekuasaan.

Di Eropa dan Amerika Utara, proses perekrutan politik

telah terpola. Seseorang yang telah lama menjadi anggota

partai politik, maka jenjang karirnya dalam dunia politik

Nampak jelas. Berbeda dengan di Indonesia, proses

rekrutmen politik oleh partai kebanyakan dilakukan hanya

menjelang pemilu. Dan tidak ada jaminan karir politik

bagi anggota, sebab kemungkinan masuknya orang luar

sangat terbuka. Akibatnya, setelah direkrut dalam jabatan

tertentu di politik, tidak ada jaminan loyalitas terhadap

partai yang merekrut. Seseorang bisa dengan sangat

mudah pindah dari satu partai ke partai yang lainnya.

Kondisi ini memberi kesan, bahwa politik di Indonesia

penuh transaksional, dan politik tanpa roh.

39

6. Sebagai sarana persuasi dan represi politik

Persuasi politik adalah suatu proses mempengaruhi orang

lain sehingga melakukan, melaksanakan atau mengubah

sesuatu seperti yang diharapkan oleh pemberi pesan atau

sumber. Melakukan, melaksanakan, atau mengubah

sesuatu berkaitan dengan aspek kognisi, afeksi, dan sikap

serta perilaku. Fungsi persuasi politik dari partai politik

dilakukan secara intens ketika musim pemilu tiba. Partai

politik melakukan kampanye pemilu bertujuan agar

penerima pesan (konstituen, simpatisan, atau anggota)

melakukan, melaksanakan, atau mengubah sesuatu sesuai

dengan keinginan atau kehendak partai politik.

Represi politik merupakan suatu proses tekanan terhadap

orang lain sehingga melakukan, melaksanakan, atau

mengubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh pelaku

pembuat tekanan (partai politik). Seperti juga persuasi,

dalam represi politik, partai politik melakukan,

melaksanakan, atau mengubah sesuatu berkaitan dengan

kognisi, efektif, sikap, dan perilaku. Bedanya persuasi

politik bisa berdimensi positif, sedangkan represi politik

berdimensi negative. Politik uang (money politics),

misalnya dapat dikategorikan sebagai persuasi politik yang

negative. Represi politik dapat dilakukan dengan cara

pengerahan massa, demonstrasi, ancaman, bahkan dengan

menggunakan paksaan atau kekerasan.

40

7. Sebagai sarana mobilisasi politik

Mobilisasi politik merupakan proses pengerahan massa

dalam proses-proses politik. Mobilisasi politik dilakukan

untuk menghadiri kegiatan transmisi pengetahuan, sikap,

nilai, dan norma politik dari suatu partai. Mobilisasi politik

semacam ini dapat dikategorikan sebagai komunikasi

politik atau sosialisasi politik. Sedangkan apabila

mobilisasi politik dilakukan dalam rangka melakukan

pemilihan, maka dapat dikategorikan sebagai rekrutmen

politik. Kesemua proses tersebut merupakan fungsi partai

politik.

8. Sebagai sarana mobilitas sosial

Mobilisasi sosial merupakan suatu proses gerakan naik

turun individu atau kelompok dalam suatu perjenjangan

sosial (hierarkhi sosial). Keikutsertaan dalam partai dapat

menyebabkan terjadinya mobilisasi social, misalnya

dengan menjadi anggota partai politik seseorang yang

sebelumnya tidak memiliki pekerjaan menjadi anggota

legislatif.

Senada dengan Damsar, Elly M.Setiadi dan Usman Kolip

juga merinci fungsi partai politik menjadi Sembilan, yakni: (1)

pelaksana pendidikan politik; (2) partisipasi politik; (3)

rekrutmen politik; (4) pemandu kepentingan; (5) mencari dan

mempertahankan kekuasaan; (6) komunikasi politik; (7)

41

pengendali konflik; (8) pembuat keputusan; (9) kontrol

politik.25

Sementara itu, guru besar ilmu politik Universitas

Indonesia, Miriam Budiardjo mengemukakan, di negara-negara

demokrasi, fungsi partai politik mencakup: sarana komunikasi

politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan

sarana pengatur konflik (conflict management).26 Oleh karena

fungsi-fungsi yang lain telah dijelaskan di atas, berikut ini

hanya akan menjelaskan fungsi partai politik sebagai pengatur

konflik.

Budiardjo menekankan bahwa potensi konflik ada pada

setiap masyarakat, terlebih masyarakat majemuk. Pada

dasarnya setiap perbedaan menyimpan potensi konflik. Pada

negara-negara dengan demokrasi maju, perbedaan dianggap

hal yang wajar dan mendapat tempat. Tetapi kata Budiardjo,

di negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih

besar dan dengan mudah mengundang konflik.

Dalam konteks diatas, maka peran partai politik

diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-

kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat

negatifnya dapat ditekan sedemikian rupa. Elit partai dapat

menumbuhkan pengertian diantara mereka dan bersamaan

dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Perbedaan dan

25 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, diterbitkan oleh Kencana Prenadamedia Group, 2013: hal.282-287 26 Miriam Budiardjo, ibid : hal.405-409.

42

perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh

kerjasama di antara elit-elit politik. Dalam konteks

kepartaian, para pemimpin partai adalah elit politik.

Dengan peran elitnya, partai politik dapat menjadi

penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara

dengan pemerintahnya. Partai politik juga melakukan

konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam dan

berkembang diberbagai kelompok masyarakat. Dengan

perannya tersebut partai politik dapat memberikan resolusi

konflik atas berbagai kepentingan kelompok.

Fungsi-fungsi partai politik juga diungkapkan oleh Abdul

Mukthie Fadjar. Menurut Fadjar, dalam kepustakaan ilmu-ilmu

politik dapat ditemukan beberapa fungsi partai politik,

sebagai berikut:

a. Dalam proses pendidikan politik

b. Sebagai sumber rekrutmen para pemimpin bangsa guna

mengisi berbagai macam posisi dalam kehidupan bernegara

c. Sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan

masyarakat

d. Sebagai penghubung antara penguasa dan rakyat.27

Dari semua pendapat para ahli diatas, dapat ditemukan

setidaknya ada empat belas fungsi partai politik, yakni;

1) Wahana representasi politik

2) Sarana komunikasi politik

27 Abdul Mukthie Fadjar, Prof.,SH,MH., Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, diterbitkan oleh Setara Press, Malang, 2012: 18

43

3) Sarana sosialisasi politik

4) Sarana partisipasi politik

5) Sarana rekrutmen politik

6) Sarana persuasi dan represi politik

7) Sarana mobilisasi politik

8) Sarana mobilitas sosial

9) Pelaksana pendidikan politik

10) Pemandu kepentingan

11) Mencari dan mempertahankan kekuasaan

12) Pembuat keputusan

13) Kontrol politik

14) Sarana pengatur konflik

TUGAS DAN FUNGSI PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA

Dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia

menurut analisis Amiruddin28 dengan diaturnya komisi

pemilihan umum dalam pasal 22E UUD 1945, secara

konstitusional KPU sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia

mendapat kedudukan dan jaminan yang penting, sehingga KPU

menjadi organ penting secara konstitusional (constiutional

importance organs). Lebih lanjut Amirudin mengatakan dalam

menyelenggarakan pemilu, KPU melaporkan hasilnya kepada

Presiden dan DPR RI. Karena itu KPU merupakan lembaga yang

28Ibramsyah Amirudin, Kedudukan KPU Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amademen UUD 1945, Laksbang Mediatama, 2008. hlm. 57-58

44

memiliki kategori kekuasaan menjalankan undang-undang

(kekuasaan eksekutif) bukan kekuasaan legislatif, dan bukan

pula kekuasaan yudikatif29.

Dari pemaparan tersebut bisa dikatakan, tugas KPU

merupakan tugas penunjang dari pelaksanaan tugas eksekutif

(Presiden). Dengan demikian lanjut Amirudin, KPU bukan

organ pemegang langsung kekuasaan eksekutif secara

konstitusional, melainkan organ penunjang kekuasaan

eksekutif (auxiliary organs), karena penyelenggaraan pemilu

sesungguhnya merupakan kewajiban pemerintah, namun

karena pemerintah belum dianggap mampu menyelenggarakan

pemilu secara independen, maka diperlukan suatu komisi

indevenden negara yang secara khusus tugas dan

kewenangannya adalah menyelenggarakan pemilu. Lembaga

tersebut kemudian dinamakan KPU.

Meskipun KPU merupakan auxiliary organs, namun KPU

tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP). Oleh undang-

undang, KPU diberi kewenangan langsung membuat peraturan

teknis. Otoritas politik yang dimiliki KPU dipertegas oleh

ketentuan pasal 119 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.

Pasal tersebut mendeskripsikan sebagai berikut. Pertama,

untuk penyelenggaraan pemilu, KPU membentuk peraturan

KPU dan keputusan KPU. Kedua, peraturan KPU merupakan

pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Ketiga, untuk

29Ibid.

45

menyelenggarakan pemilu, KPU provinsi dan KPU

kabupaten/kota membentuk keputusan dengan mengacu

kepada pedoman yang ditetapkan oleh KPU. Keempat,

peraturan KPU ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR

dan Pemerintah.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, memang

tidak terdapat penjelasan mengenai maksud atau definisi dari

ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga tentu saja menjadi

tidak mudah mendapatkan tafsir secara tunggal. Menurut

pandangan Agus, paling tidak terdapat dua tafsir yang

kemungkinan berkembang dari ketentuan tersebut.30

Tafsir pertama, tentang kududukan KPU. KPU bukan

lembaga negara yang memiliki kewenangan politik untuk

membuat undang-undang seperti DPR dan pemerintah, ia

merupakan lembaga yang memiliki kewenangan administrasi

(kewenangan pelaksanaan kebijakan). Instrumen untuk

melaksanakan kebijakan adalah KPU harus membuat peraturan

teknis berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan.

Namun dalam kewenangan administrasinya, KPU nyaris

kehilangan independensi ketika peraturan teknis pelaksanaan

yang dibuat harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR

dan pemerintah. Oleh karena itu seharusnya item yang harus

dikonsultasikan oleh KPU adalah persoalan yang tidak diatur

30 Agus, Aktor Penyelenggara Pemilu, diterbitkan oleh Pusat Kajian Inovasi Pemerintahan dan Kerjasa Antar Daerah, Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya, dicetak oleh CV. Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2013 : hal. 40-41

46

secara jelas dalam undang-undang, dan DPR maupun

pemerintah sebaiknya tetap menjaga independensi KPU

dengan tidak memasukkan kepentingan-kepentingan politik

praktis mereka dalam pasal-pasal Peraturan KPU.

Tafsir kedua, hirarkhis KPU dalam pelaksanaan pemilu.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007

sampai dengan rezim Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011,

hirarki KPU dalam pelaksanaan pemilu mulai terlihat dengan

jelas. Karena itu dalam penyelenggaraan pemilu, seluruh

kewenangan regulasi ada di KPU RI. adapun KPU Provinsi dan

KPU Kabupaten/Kota merupakan pelaksana teknis dari

kebijakan KPU RI.

Lebih lanjut pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2011, menyebutkan 12 poin penting yang menjadi tugas

dan kewenangan KPU Provinsi sebagai berikut:

(1) Menjabarkan program dan melaksanakan anggaran serta

menetapkan jadwal pemilu di provinsi.

(2) Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilu di

provinsi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(3) Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan

tahapan penyelenggaraan pemilu oleh KPU kabupaten/

kota

(4) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data

kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh

pemerintah dengan memperhatikan data pemilu dan/atau

47

pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan

menetapkannya sebagai daftar pemilih.

(5) Menerima daftar pemilih dari KPU kabupaten/kota dan

menyampaikan kepada KPU.

(6) Melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu

presiden dan wakil presiden di provinsi yang bersangkutan

dan mengumumkannya berdasarkan hasil rekapitulasi

penghitungan suara di KPU kabupaten/kota dengan

membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat

penghitungan suara

(7) Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat

sertifikat hasil penghitungan suara serta wajib

menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu, Bawaslu

provinsi, dan KPU.

(8) Menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu

provinsi atas temuan dan laporan adanya dugaan

pelanggaran pemilu.

(9) Mengenakkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan

sementara anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris KPU

provinsi, dan pegawai sekretariat KPU provinsi yang

terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan

terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu berdasar-

kan rekomendasi Bawaslu provinsi dan/atau ketentuan

peraturan perundang-undangan

48

(10) Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan pemilu

dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang

KPU provinsi kepada masyarakat.

(11) Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan

penyelenggaraan pemilu.

(12) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan

oleh KPU dan/atau peraturan perundang-undangan31

SOSIALISASI DAN KOMUNIKASI POLITIK

Setelah memperhatikan fungsi partai politik, kemudian

tugas dan fungsi penyelenggara pemilu, nampak dengan jelas

bahwa pendidikan politik merupakan fungsi partai politik,

sedangkan sosialisasi politik merupakan fungsi partai politik

maupun penyelenggara pemilu. Namun demikian, dalam

konteks peningkatan kapasitas pemilih, penyelenggara pemilu

juga melakukan tiga fungsi sekaligus, yakni: sosialisasi politik,

pendidikan politik, dan komunikasi politik. Pelaksanaan fungsi-

fungsi ini di KPU diwadahi melalui Divisi Sosialisasi, Pendidikan

Pemilih, dan Kehumasan.

Sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang

kontinyu dan melibatkan baik belajar secara emosional

(emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang

manifest (nyata) dan dimediasi (sarana komunikasi) oleh

segala partisipasi dan pengalaman si individu yang

31 Lihat ,UU Nomor 15 tahun 2011 Pasal 9 ayat 2

49

menjalaninya. Rumusan definisi ini dapat ditemukan dalam

Setiadi dan Kolip.32 Rumusan diatas menunjukkan bagaimana

peran sosialisasi dan komunikasi politik di tengah warga suatu

masyarakat. Tidak salah kemudian jika dikemukakan bahwa

segala aktivitas sosialisasi dan komunikasi politik harus

diberikan kepada warga negara sepanjang hidup mereka.

Sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam

suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik. Hasil

akhir proses ini adalah mencakup pengetahuan tentang nilai-

nilai yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan

tentang tuntutan dan claim terhadap sistem dan output

otoritatifnya.

Pada sisi yang lain, Setiadi dan Kolip menerangkan

bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifest) dan bisa

pula tidak nyata (laten). Sosialisasi politik manifest

berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau

perasaan terhadap peran, input, dan output sistem politik.

Sedangkan sosialisasi politik laten berbentuk transmisi

informasi, nilai-nilai, atau perasaan terhadap peran, input,

dan output mengenai sistem sosial yang lain, seperti keluarga

yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input, dan output

sistem politik yang analog.

Dalam suatu bangsa yang majemuk, seperti halnya

Indonesia, informasi yang diterima oleh aneka unsur

32 Setiadi & Kolip, ibid : hal.185

50

masyarakat bisa berlainan karena faktor geografis baik yang di

kota maupun di desa. Pada sebagian besar daerah-daerah di

Indonesia, misalnya pengaruh media masa (radio, surat kabar,

dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu,

pengaruh struktur-struktur social tradisional dalam

menerjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut

amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat

perbedaan orientasi dan sikap (attitude) di antara kelompok-

kelompok masyarakat.

51

etentuan dalam pasal 135 Udang-Undang Nomor 42

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden, menyebutkan bahwa surat suara

untuk pemilu presiden dan wakil presiden dinyatakan sah

apabila: (a) surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS, (b)

pemberian tanda satu kali pada nomor urut, atau foto

pasangan calon, atau nama salah satu pasangan calon.

Ketentuan ini dijelaskan secara teknis oleh Peraturan KPU RI

No. 19 Tahun 2014 tentang Pemungutan dan Penghitungan

Suara di TPS Dalam Pemilu Presiden RI Tahun 2014. Peraturan

tersebut oleh KPU diturunkan menjadi pedoman pemungutan

suara yang menjadi panduan KPPS dalam pelaksanaan

pemungutan suara. Berdasarkan pasal 46 ayat (2) PKPU RI No.

19 Tahun 2014 bahwa Suara pemilih dinyatakan salah dalam

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2014 apabila:

(1) tanda coblos pada kolom 1 (satu) calon yang memuat

nomor urut atau nama calon atau poto pasangan calon

dinyatakan sah 1 suara untuk pasangan calon yang

K

Suara Sah dan Suara Tidak Sah dalam Pilpres Tahun 2014 5

52

bersangkutan; (2) tanda coblos lebih dari satu kali pada kolom

1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon dan poto

pasangan calon, dinyatakan sah satu suara untuk pasangan

calon yang bersangkutan; (3) tanda coblos tepat pada garis

kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon

dan poto pasangan calon dinyatakan sah satu suara untuk

pasangan calon yang bersangkutan.

Sayangnya PKPU RI No. 19 Tahun 2014 tidak

menjelaskan secara rinci kreteria suara tidak sah dalam

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2014,

melainkan menjadi kewenangan sepenuhnya bagi KPPS untuk

menyatakan sah dan tidak sahnya surat suara pemilih hanya

dengan mengacu pada pasal 46 yang mengatur tentang

kreteria suara sah. Kewenangan ketua KPPS ini ditegaskan

dalam pasal 46 ayat (3) PKPU RI No. 19 Tahun 2014 yang

menyatakan: (a) Ketua KPPS bertugas meneliti dan

menentukan sah dan tidak sah hasil pencoblosan pada surat

suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2); (b) Ketua KPPS

bertugas mengumumkan hasil pencoblosan pada surat suara

dan perolehan suara pasangan calon dengan suara yang jelas

dan terdengar, serta memperlihatkan surat suara yang

dicoblos dihadapan saksi, PPL dan Masyarakat/pemilih yang

hadir.

Dalam buku panduan untuk KPPS secara rinci juga

dijelaskan terkait dengan kriteria sah dan tidaknya surat

suara. Tanda coblos pada surat suara dinyatakan sah apabila

53

terdapat pada nomor urut pasangan calon; dan/atau pada foto

pasangan calon; dan/atau pada nama pasangan calon serta

dibarengi dengan surat suara dalam keadaan;

a) Telah ditandatangani oleh ketua KPPS

b) Dalam keadaaan baik (tidak rusak)

c) Tidak terdapat tanda/coretan

d) Dicoblos menggunakan alat yang disediakan di TPS

e) Tanda coblos tidak dengan rokok/api

f) Tanda coblos tidak dengan cara merobek33

Dalam buku pedoman pemungutan suara yang dibuat

KPU, ditemukan ada 8 (delapan) contoh tanda coblos pada

surat suara yang dinyatakan sah, yaitu:

a) Tanda coblos pada nomor urut pasangan calon

b) Tanda coblos pada foto pasangan calon

c) Tanda coblos pada nama pasangan calon

d) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan yang sama

e) Tanda coblos pada garis kotak pasangan calon

f) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada nomor urut

pasangan calon

g) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada foto pasangan

calon

h) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada nama pasangan

calon34

33KPU RI, Buku Panduan KPPS Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, Jakarta; Sekretariat KPU, 2014, hal. 49

54

Sedangkan tanda coblos pada surat suara yang

dinyatakan tidak sah terdapat 3 (tiga) contoh, yaitu:

a) Tanda coblos pada dua pasangan calon

b) Tanda coblos di luar kolom pasangan calon

c) Terdapat tanda coblos pada kolom pasangan calon dan di

luar kolom pasangan calon.35

Dalam buku pedoman pemungutan suara terdapat

contoh-contoh surat suara sah dan surat suara tidak sah,

sebagai berikut:

Gambar 1: Contoh Surat Suara Tidak Sah Pada Pilpres 2014

Tanda Coblos pada dua

pasangan calon

Tanda coblos pada

kolom luas pasangan

calon

Tanda coblos pada satu

pasnagan calon dan di luar

kolom pasangan calon

Gambar 2:

34Ibid, hal 52 35Ibid, hal 53

55

Contoh Surat Suara Sah Pada Pilpres 2014

56

Penjelasan lebih lanjut tentang kriteria surat suara sah

dan surat suara tidak sah juga terdapat dalam Buku Pedoman

Pemungutan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun

2014, yang antara lain dapat dikutip dalam bentuk tabel

sebagai berikut:

Tabel 3:

Kriteria Surat Suara Sah dan Surat Suara Tidak Sah Menurut PKPU No.19 Tahun 2014

No Kriteria Surat Suara Sah

Kriteria Surat Suara

Tidak Sah

1. Surat suara ditandatangani

oleh Ketua KPPS

Tanda coblos dengan

rokok atau korek api

2. Surat suara dalam keadaan

baik atau tidak rusak

Tanda coblos dengan cara

merobek

3. Surat suara dicoblos

menggunakan alat coblos

yang disediakan

Merusak surat suara

4. Tanda coblos terdapat pada:

Nomor urut pasangan calon, atau:

a. Foto pasangan calon, atau

b. Nama pasangan calon

Mencoret surat suara

Sumber: Buku Pedoman Pemungutan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.

57

emilu presiden dan wakil presiden tahun 2014,

merupakan pemilu ketiga, yang pelaksanaannya

secara langsung oleh rakyat, serta penyelenggara

pemilunya Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional,

tetap, dan mandiri sebagaimana disebutkan dalam ketentuan

pasal 22E UUD 1945.

Pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden secara

langsung oleh rakyat lahir dari pasal 6A UUD 1945. Ketentuan

pasal ini menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden di

pilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon presiden

dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan

partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

Semangat yang terkandung dalam ketentuan konstitusi

di atas adalah untuk membentuk pemerintahan langsung atas

kehendak rakyat. Dari aspek manajemen pemilu, sedikitnya

ada dua tujuan pelaksanaan pemilu presiden dan wakil

presiden secara langsung oleh rakyat.

P

Pilpres Tahun 2014 di NTB

6

58

Pertama, untuk mendapatkan pemerintahan yang

memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu

menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam

rangka tercapainya tujuan nasional, sebagaimana diamanatkan

dalam pembukaan UUD 1945.

Kedua, untuk menegaskan sistem pemerintahan

presidensial yang kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil

presiden terpilih mendapat legitimasi politik langsung dari

rakyat. Sumber legitimasi politik dari rakyat diharapkan

menjadi modal politik bagi pemerintah terpilih dalam

menjalankan pemerintahannya. Jika pemerintah dapat

menjalankan pemerintahannya secara efektif, tentu saja efek

ikutannya adalah pemerintahan akan lebih berkontribusi bagi

percepatan pembangunan yang berpihak pada rakyat. Pada

akhirnya kesejahteraan sosial yang merupakan cita-cita

kemerdekaan Indonesia dapat segera diwujudkan.

Bab ini dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang

proses penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden

tahun 2014 di Nusa Tenggara Barat. Tentu saja deskripsi dalam

bab ini menjadi penyangga bagi pembahasan bab berikutnya.

Oleh karena itu, peneliti memulai pembahasan bab ini dari

deskripsi terhadap tahapan penyelenggaraan, penyelenggara-

an masing-masing tahapan, dan penyelesaian sengketa atas

proses penyelenggaraan tahapan.

59

TAHAPAN PENYELENGGARAAN PILPRES TAHUN 2014

Jika merujuk pada Peraturan KPU Nomor 04 tahun 2014,

maka ditemukan deskripsi bahwa pemilu presiden dan wakil

presiden di Nusa Tenggara Barat diselenggarakan dalam tiga

kelompok tahapan, yakni persiapan, pelaksanaan, dan

penyelesaian.36 Aktivitas kerja dari masing-masing tahapan

tersebut dapat digambarkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 6:

Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di Nusa Tenggara Barat

No Tahapan Aktivitas Aktor

1 Persiapan Penyusunan dan pembahasan peraturan

Sosialisasi,informasi/ pendidikan pemilih

Raker/Bimbingan Teknis

Pembentukan Badan Penyelenggara Ad-hok

KPU RI

KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, PPK, PPS

KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, PPK, PPS

KPU Kab/ Kota

2 Pelaksanaan Penyusunan daftar pemilih

PPDP, PPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPU Provinsi, KPU RI

36 Peraturan KPU Nomor 04 tahun 2014 tentang Tahapan, Program dan Jadual Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014

60

Pencalonan

Pengadaan, pencetakan, dan pendistribusian logistik

Kampanye

Masa tenang

Pemungutan dan penghitungan suara

KPU RI

KPU RI, KPU Prov, KPU Kab/Kota

Peserta Pemilu

Masyarakat

KPPS

3 Penyelesaian Penyelesaian persoalan hukum

Pertanggungjawaban anggaran

Pembubaran panitia ad-hok

Konsolidasi organisasi

KPU RI, KPU Prov, KPU Kab/Kota

KPU RI, KPU Prov, KPU Kab/Kota

KPU Kab/Kota

KPU RI

Sumber: KPU Prov. NTB37

Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari tabel di atas.

Pertama, pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden

tahun 2014 didistribusikan kepada seluruh jenjang organisasi

KPU. Aktivitas yang sifatnya alokatif (politik) seperti

pengaturan, penganggaran, pencalonan merupakan

kewenangan KPU RI. Sedangkan akivitas yang sifatnya

koordinatif diberikan kepada KPU Provinsi. Adapun aktivitas

yang sifatnya administratif dan implementatif menjadi ranah

37 KPU Provinsi NTB, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden NTB Tahun 2014

61

tugas KPU Kabupaten/Kota bersama panitia ad-hok. Sistem

pembagian kewenangan yang demikian mempertegas sifat

hirarkis organisasi KPU guna menjaga indevendensi atau

kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Kedua, sosialisasi, informasi/pendidikan pemilih

ditempatkan sebagai tahapan persiapan penyelenggaraan

pemilu. Dalam faktanya, sosialisasi, informasi/pendidikan

pemilih mengikuti seluruh tahapan-tahapan pemilu. KPU

Provinsi NTB secara berkesinambungan melakukan sosialisasi,

informasi/pendidikan pemilih dari tahapan yang satu

ketahapan berikutnya. Sebagai misal, sebelum dimulai

pelaksanaan tahapan pembentukan badan ad-hok, KPU

Kabupaten/Kota melaksanakan sosialisasi dan koordinasi

dengan pemerintah daerah hingga pemerintah desa. Sebelum

dan pada saat pelaksanaan penyusunan dan pemutahiran data

pemilih, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota hingga PPK dan

PPS melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tim

pemenangan pasangan calon. Demikian seterusnya hingga

seluruh tahapan selesai dilaksanakan.

Ketiga, KPPS memainkan peran paling strategis dalam

pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sebagai

tahapan paling hilir, sekaligus penting dari seluruh tahapan

pemilu yang ada. Akuntabilitas publik terhadap

penyelenggaraan pemilu ditentukan oleh kualitas pelaksanaan

pemungutan dan penghitungan suara. Demikian halnya

dengan suara sah dan suara tidak sah ditentukan oleh

62

pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara oleh KPPS.

Dengan demikian, penyelidikan tentang suara sah dan suara

tidak sah difokuskan pada apa yang terjadi pada saat

pemungutan dan penghitungan suara berlangsung.

IMPLEMENTASI TAHAPAN PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN 2014 DI NUSA TENGGARA BARAT

Secara umum impelemntasi tahapan Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden 2014 yang berlangsung di provinsi NTB

adalah sebagai berikut:

A. TAHAPAN PERSIAPAN

Dari empat tahapan persiapan yang digambarkan pada

tabel di atas, tiga diantaranya dilaksanakan oleh KPU Provinsi

dan KPU Kabupaten/Kota. Maka pada sub-tema ini hanya

melakukan deskripsi terhadap ketiga kerja KPU provinsi NTB

bersama KPU kabupaten/Kota di wilayah kerjanya.

1. Sosialisasi, informasi/pendidikan pemilih

Guna membuka akses informasi pemilu presiden dan

wakil presiden tahun 2014, KPU Provinsi NTB bersama KPU

Kabupaten/Kota telah melaksanakan lima (5) kegiatan

sosialisasi, sebagai berikut:

a. Penyebaran pamplet dan poster.

Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Provinsi NTB,

poster berisikan himbauan dengan tema “kenalilah visi,

misi pasangan calon presiden dan wakil presiden tahun

63

2014”. Sedangkan pamplet bertemakan “hari

pemungutan suara” yang bertujuan untuk mengingatkan

masyarakat datang ke TPS.

b. Penyediaan media center dan media relation.

Media center dan media relation disediakan sebagai wadah

bagi semua stakeholder pemilu untuk mendapatkan

informasi serta data kepemiluan. Guna mengoptimalkan

fungsi media center, KPU Provinsi NTB melakukan dua hal,

yakni: (1) menyediakan fasilitas pendukung dan ruang yang

representative untuk diskusi; (2) menempatkan SDM yang

menguasai bidang kehumasan, komunikasi, dan pers.

c. Pengadaan media sosialisasi luar ruangan.

Ada beberapa media sosialisasi luar ruang (outdoor) yang

diadakan oleh KPU Provinsi NTB, yakni: pembuatan tempat

baliho, spanduk, pencetakan dan penyebaran poster

maupun stiker, pembuatan dan pemasangan Ex Banner,

dan lain-lain. Pemasangan media sosialisasi luar ruang

dilaksanakan di tempat-tempat strategis, sarana publik,

dan pusat keramaian lainnya.

d. Sosialisasi media cetak dan elektronik.

KPU provinsi NTB melakukan kerjasama dengan beberapa

media cetak maupun media elektronik, seperti Lombok

Post, Suara NTB, RRI, TV Lombok, dan TVRI.

e. Tatap muka.

Sosialisasi dengan tatap muka dilakukan dengan;

memanfaatkan berbagai forum baik yang difasilitasi oleh

64

KPU Provinsi NTB sendiri maupun yang difasilitasi oleh

masyarakat. Melalui forum tersebut KPU Provinsi NTB

menjelaskan substansi hingga teknis penyelenggaraan

pemilu berdasarkan tahapan yang sedang berlangsung dan

isu-isu aktual.

2. Rakor/Bimbingan Teknis

Sedikitnya ada tiga kegiatan rapat koordinasi (Rakor)

dan bimbingan teknis (Bimtek) yang pernah dilakukan oleh

KPU Provinsi NTB, yakni: rakor sosialisasi dan pemutahiran

data pemilih, bimbingan teknis pemungutan suara dan

penghitungan suara, serta bimbingan teknis pengelolaan

logistik. Pola rakor dan bimbingan teknis adalah KPU Provinsi

NTB memberikan bimbingan teknis kepada KPU Kaabupaten/

Kota berdasarkan divisi masing-masing, selanjutkan KPU

Kabupaten/Kota meneruskan kepada PPK dan PPS di wilayah

kerja masing-masing.

3. Pembentukan badan penyelenggara ad-hok

Jumlah anggota PPK yang diangkat oleh KPU

Kabupaten/Kota seluruh Provinsi NTB adalah 580 orang,

jumlah anggota PPS sebanyak 3.411 orang. Sedangkan jumlah

anggota KPPS sebanyak 59.864 orang, dengan rincian sebagai

berikut:

Jumlah PPK = jumlah Kec. x 5 orang = 116 x 5 = 580

Jumlah PPS = jumlah Desa/Kel. x 3 orang = 1.137 x 3 = 3.411

Jumlah KPPS = jmlh TPS x 7 orang = 8.552 x 7 orang = 59.864

65

Pembentukan anggotan PPK dan PPS dilakukan oleh KPU

Kabupaten/Kota, sedangkan pembentukan anggota KPPS

dilakukan oleh PPS. Adapun fungsi KPU Provinsi NTB adalah

melaksanakan koordinasi, monitoring, dan supervisi untuk

memastikan pembantukan badan penyelenggara ad-hok

berjalan sesuai peraturan perundang-undangan.

B. TAHAPAN PELAKSANAAN

Terdapat 6 (enam) tahapan yang dikerjakan dalam

kelompok tahap pelaksanaan, yakni; penyusunan daftar

pemilih, pencalonan, pengadaan dan pencetakan serta

distribusi logistic, kampanye, masa tenang, serta pemungutan

dan penghitungan suara. Sub-topik ini dimaksudkan untuk

membuat deskripsi terhadap masing-masing tahapan tersebut.

1. Penyusunan daftar pemilih

Masa penyusunan daftar pemilih dimulai dari tanggal 11

April sampai dengan 2 Juli 2014. Adapun komponen-komponen

kegiatannya sebanyak 7 (tujuh) komponen, yakni;

(a) pemutahiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) dari

tanggal 11 s.d 20 April 2014;

(b) pengumuman DPS dan tanggapan masyarakat dari

tanggal 13 s.d 19 Mei 2014;

(c) perbaikan DPS hasil tanggapan masyarakat dari

tanggal 27 Mei s.d 2 Juni;

66

(d) penetapan DPT dan rekapitulasi di kabupaten/kota

dari tanggal 7 s.d 9 Juni;

(e) rekapitulasi DPT di provinsi dari tanggal 10 s.d

11 Juni;

(f) penetapan DPT tingkat nasional dari tanggal 12 s.d

hingga 13 Juni;

(g) penetapan DPK tingkat provinsi dari tanggal 1 s.d 2

Juli.

Dari seluruh rangkaian proses penyusunan daftar

pemilih ditemukan data jumlah pemilih dari masing-masing

jenis sebagai berikut:

a. Daftar Pemilih Sementara (DPS): 3.468.251

b. Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP):

3.536.769

c. Daftar Pemilih Tetap (DPT): 3.522.679

d. Daftar Pemilih Khusus (DPK): 8.983

Dari data di atas terlihat bahwa dalam sejarah pemilu

Indonesia baru pemilu tahun 2014 menerapkan berbagai nama

daftar pemilih, mulai dari DPS, DPSHP, DPT, dan DPK. Yang

dimaksud dengan DPS adalah DPT pemilu anggota DPR, DPD

dan DPRD tahun 2014. DPS ini yang dimutahirkan oleh Petugas

Pemutahiran Daftar Pemilih (PPDP). Yang dimaksud dengan

DPSHP adalah DPS yang telah mendapatkan masukan dan

tanggapan masyarakat berdasarkan DPS yang telah

diumumkan. DPT merupakan DPSHP yang telah mendapatkan

67

masukan dan tanggapan dari masyarakat. Sedangkan DPK

adalah daftar pemilih yang memuat pemilih yang tidak

memiliki identitas kependudukan dan pemilih yang memiliki

identitas kependudukan tetapi tidak terdaftar dalam DPS

2. Pencalonan

Seluruh proses pencalonan dilakukan oleh Partai Politik

atau gabungan partai politik dan dilaksanakan di Kantor KPU RI

sejak tanggal 17 Mei s.d 1 Juni 2014.

3. Pengadaan dan pencetakan serta distribusi logisltik

Pengadaan dan pencetakan serta distribusi logistik

dilakukan dengan pembagian wewenang antara Sekretariat

Jenderal KPU RI, Sekretariat KPU Provinsi, dan Sekretariat KPU

Kabupaten/Kota. Adapun jenis pengadaan yang didistribusikan

kepada masing-masing tingkatan sebagaimana tampak pada

tabel di bawah ini.

Tabel 7: Pembagian Wewenang Pengadaan Logistik

No Tingkatan Jenis logistik yang diadakan

1 Sekretariat Jenderal KPU RI

Surat suara pasangan calon

Segel

Tinta

Alat bantu tunanetra

Daftar pasangan calon

Formulir C, C1 & C1 plano berhologram

68

2 Sekretariat KPU Provinsi

Sampul kertas

Kotak suara

Bilik suara

Formulir yang digunakan untuk pemungutan dan penghitungan suara kecuali C, C1 dan C1 berhologram

3 Sekretariat KPU Kabupaten/Kota

Melakukan pengadaan dukungan perlengkapan lainnya yang berupa perlengkapan di TPS

Sumber: Pasal 32 PKPU Nomor 18 tahun 2014

4. Kampanye

Kampanye pemilu presiden dan wakil presiden tahun

2014 dilaksanakan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis,

serta bertanggung jawab dan merupakan bagian dari

pendidikan politik masyarakat. Menurut ketentuan pasal 40

ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, kampanye

dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah KPU menetapkan

nama-nama pasangan calon sampai dengan dimulainya masa

tenang. Namun khusus untuk kampanye rapat umum,

dilaksanakan mulai tanggal 4 Juni hingga 5 Juli tahun 2014.

Untuk kenyamanan kampanye pasangan calon di NTB,

KPU Provinsi NTB memfasilitasi dengan menyiapkan lapangan

umum di setiap kabupaten/kota. Adpun tim kampanye

masing-masing pasangan calon di Provinsi NTB, sebagai

berikut:

69

a. Tim kampanye pasangan calon Prabowo Subianto dan

Hatta Rajasa adalah;

Ketua : DR.TGH.M.Zainul Majdi

Sekretaris umum : Suryadi Jaya Purnama, ST

Bendahara umum : H.Muazizm Akbar, SIP

b. Tim kampanye pasangan calon Joko Widodo dan Jusuf

Kalla adalah;

Ketua : H.M. Husni Djibril, B.Sc

Sekretaris : Hakam Ali Niazi, SE., MM

Bendahara : Edy Suksmono

Ada beberapa bentuk kampanye yang disediakan

menurut ketentuan pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008, yakni:

a. Pertemuan terbatas

b. Tatap muka dan dialog

c. Penyebaran melalui media cetak dan media

elektronik

d. Penyiaran melalui radio dan/atau televisi

e. Penyebaran bahan kampanye kepada umum

f. Pemasangan alat peraga di tempat kampanye dan

tempat lain yang ditentukan oleh KPU

g. Debat pasangan calon tentang visi, misi, dan

program

h. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan

perundang-undangan

70

Dalam membangun transparansi penggunaan dana

kampanye selama tahapan kampanye berlangsung, pasangan

calon diwajibkan membuat laporan dana kampanye sesuai

tingkatan tim kampanye masing-masing. Laporan dana

kampanye yang dibuat oleh tim pemenangan masing-masing

daerah dilaporkan kepada KPU setempat. KPU mengatur

beberapa jenis laporan dana kampanye beserta jadwal

penyerahannya, sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 8: Jenis laporan dana kampanye dan jadwal penyerahan

No Jenis Laporan Jadwal

1 Penyampaian laporan rekening khusus 7 juni

2 Pembukaan penerimaan dan penggunaan

dana kampanye

3 Juni s/d

18 Juli

3 Penyampaian laporan penerimaan dana

kampanye periode 1

3 Juni

4 Penyampaian laporan penerimaan dana

kampanye periode 2

6 Juli

5 Penyampaian laporan penerimaan dan

pengeluaran dana kampanye

18 Juli

6 Penyampaian laporan penerimaan dan

pengeluaran dana kampanye ke Kantor

Akuntan Publik (KAP)

24 Juli

Sumber: Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014

71

Selain menyampaikan laporan dana kampanye, tim

pemenangan pasangan calon diwajibkan untuk menyerahkan

rekening khusus dana kampanye. Rekening khusus dana

kampanye diserahkan kepada KPU paling lambat 7 (tujuh) hari

setelah pasangan calon ditetapkan sebagai peserta pemilu

oleh KPU. Di tingkat Provinsi NTB nampak laporan rekening khusus

tim kampanye, sebagaimana tabel di bawah ini.

Tebel 9: Laporan Rekening Khusus Dana Kampanye

No Uraian Laporan Paslon Prabowo-Hatta

(Rp)

Laporan Paslon

Jokowi-JK (Rp)

1 Penerimaan - 10.000.000

2 Pengeluaran - -

3 Saldo per rekening dibuka

- 10.000.000

Sumber: Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014

Selama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa

kampanye, tim kampanye masing-masing tingkatan wajib

melaporkan penggunaan dana kampanye. Di tingkat provinsi

NTB, Nampak jumlah dana kampanye yang dilaporkan oleh

masing-masing tim kampanye kepada KPU Provinsi NTB,

sebagaimana tabel di bawah ini.

72

Tebel 10: Laporan Realisasi Penggunaan Dana Kampanye

No Uraian Laporan Paslon Prabowo-Hatta

(Rp)

Laporan Paslon Jokowi-JK

(Rp)

1 Penerimaan 1.001.870.000,- 370.000.000,-

2 Pengeluaran 1.000.000.000,- 360.000.000,-

3 Saldo per rekening

dibuka

1.870.000,- 10.000.000,-

Sumber: Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014

5. Masa tenang

Selama masa tenang berlangsung, KPU Provinsi NTB

menyampaikan himbauan kepada masyarakat melalui media

massa cetak maupun elektronik. Ada beberapa pesan

himbauan yang dibuat KPU Provinsi, sebagai berikut:

a. Mengingatkan bahwa hari Rabu tanggal 9 Juli 2014 adalah

hari dan tanggal pemungutan suara. Untuk itu dihimbau

kepada seluruh warga masyarakat untuk hadir dan

memberikan suara di TPS pada hari Rabu 9 Juli 2014

b. Bagi masyarakat yang telah terdaftar dalam DPT dan DPK

dapat memberikan suara mulai pukul 07.00 s/d 13.00

WITA. Karena itu harus dipastikan bahwa pemilih telah

menerima surat pemberitahuan pemungutan suara (model

C6) untuk diserahkan kepada petugas KPPS pada saat

pemungutan suara

73

6. Pemungutan dan Penghitungan Suara

Pemungutan suara dilaksanakan dalam dua tahap,

yakni: persiapan dan pelaksanaan. Pada tahap persiapan,

petugas KPPS melakukan tiga kegiatan, yakni: (1) penyiapan

TPS; (2) pengumuman dengan menempel daftar pemilih tetap,

daftar pemilih tambahan, serta nama dan foto pasangan calon

di TPS; (3) menyerahkan salinan daftar pemilih tetap dan

daftar pemilih tambahan kepada saksi yang hadir dan

pengawas pemilu lapangan.

Setelah menyelesaikan tiga kegiatan di atas, KPPS

melakukan beberapa kegiatan lanjutan, yakni: (1)

pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara; (2) rapat

pemungutan suara; (3) pengucapan sumpah atau janji anggota

KPPS dan petugas Linmas TPS; (4) memberikan penjelasan

kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara.

Pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 s/d

13.00 WITA secara serentak di 8.552 TPS yang tersebar di

Provinsi NTB. Untuk menjamin pelaksanaan pemungutan suara

secara transaparan dan dipercaya masyarakat, maka

pemungutan suara dihadiri oleh saksi dari setiap pasangan

calon dan pengawas lapangan. Setelah selesai pemngutan

suara, dilanjutkan dengan penghitungan dan rekapitulasi

suara. Hasil rekapitulasi suara dituangkan dalam formulir C1

setelah ditandatangan oleh Ketua dan Anggota KPPS beserta

saksi yang hadir, C1 tersebut diberikan kepada masing-masing

saksi pasangan calon dan panwas lapangan.

74

Hasil rekapitulasi perolehan suara di tingkat KPPS

diteruskan ke PPS untuk dilakukan rekapitulasi secara

berjenjang. Rakipitulasi perolehan suara pasangan calon di

masing-masing tingkat penyelenggara dilakukan melalui rapat

pleno terbuka, yang dihadiri oleh: saksi pasangan calon,

paanwaslu dimasing-masing tingkatan, pemerintah sesuai

tingkatan dan stakeholder. Proses rekapitulasi suara di

seluruh wilayah Provinsi NTB berlangsung dengan lancer

sampai tingkat KPU Provinsi.

Adapun perolehan suara masing-masing pasangan calon di

NTB diungguli oleh pasangan Nomor urut 1 atas nama Probowo

Subianto dan Hatta Rajasa dengan jumlah suara 1.844.178 72

atau 45%, sedangkan pasangan dengan nomor urut 2 atas nama

Joko Widodo dan Jussuf Kalla memperoleh suara 701.238 atau

27,55%

C. TAHAPAN PENYELESAIAN

Setelah penetapan perolehan suara, KPU Provinsi Nusa

Tenggara Barat menghadapi gugatan dari pasangan calon

nomor urut 1, di Mahkamah Konstitusi untuk sepuluh

kabupaten/kota. Melalui mekanisme pembentukan kelompok

kerja, KPU Provinsi NTB menghadapi gugatan di Mahkamah

Konstitusi. Setelah melalui proses persidangan, Mahkamah

Konstitusi menolak gugatan pemohon (pasangan calon nomor

urut 1).

75

Dengan berakhirnya seluruh tahapan pemilu presiden

dan wakil presiden tahun 2014 di Provinsi Nusa Tenggara

Barat, KPU Kabupaten/Kota seluruh provinsi NTB

membubarkan PPK dan PPS pada bulan Oktober 2014.

Selanjutnya KPU Provinsi NTB melaksanakan konsolidasi

organisasi dengan beberapa kegiatan: (1) evaluasi pemilu

2014; (2) orientasi tugas KPU Kabupaten/Kota; (3) anugerah

award bagi KPU kabupaten/kota penyelenggara pemilu

terbaik, dan (4) penghargaan kepada stakeholder pemilu.

76

77

omisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU

No. 19 Tahun 2014 tentang Pemugutan dan

Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara

Dalam Pemilihan Umum Presidein dan Wakil Presiden Tahun

214 Bab I, Pasal 1 ayat (23) memberikan definisi tentang Surat

Suara secara jelas, yakni salah satu jenis perlengkapan

Pemungutan Suara yang berbentuk lembaran kertas dengan

desain khusus yang digunakan oleh Pemilih untuk memberikan

suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memuat

foto, nama, dan nomor Pasangan Calon. Lebih lanjut, KPU

melalui PKPU No. 19 Tahun 2014, pasal 33 ayat (2) mengatur

secara rinci tentang tata cara pemberian suara pada Surat

Suara dilakukan dengan cara mencoblos pada kolom yang

berisi nomor urut, pas foto dan nama pasangan calon dengan

menggunakan alat coblos yang telah disediakan berupa paku.

Pengklasifikasian surat suara menjadi Suara Sah dan

Suara Tidak Sah diperlakukan terhadap surat suara yang telah

K

Pola Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB

7

78

dipakai oleh pemilih dan dimasukkan ke dalam kotak suara

pada tahap pengitungan. Terhadap surat suara yang

dinyatakan sah, maka bernilai 1 (satu) suara bagi salah satu

pasangan calon pesiden dan wakil presiden. Sedangkan surat

suara yang dinyatakan tidak sah, maka dianggap nihil atau

tidak memiliki nilai suara bagi pasangan calon presiden dan

wakil presiden.

Itu sebabnya, KPU RI, dalam buku Panduan KPPS

Pelaksananan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang

diterbitkan oleh KPU RI, memberikan kreteria tanda coblos

yang dinyatakan sah dan tidak sah serta contoh surat suara

“sah” dan “tidak sah”. Kriteria surat suara “sah” dan surat

suara “tidak sah” telah dijelaskan pada bab 5. Atas dasar

kriteria itulah dan berdasarkan data hasil riset yang dilakukan

oleh LP2M IAIN Mataram bekerjasama dengan KPU Provinsi

NTB, ditemukan ada 16 pola Surat Suara yang dinyatakan

Tidak Sah. Ke 16 pola surat suara tidak sah dimaksud dapat

ditampilkan dalam dua bentuk, yaitu tabel pola surat suara

tidak sah dan gambar/foto surat suara tidak sah sebagai

berikut:

79

1. Pola Suara Tidak Sah Pada Pilpres 2014 di NTB dalam Tabel

Tabel 11: Pola Suara Tidak Sah Pada Pilpres 2014 di NTB

NO. POLA SUARA TIDAK SAH

PADA PILPRES 2014

JUMLAH

vol TTL %

1 Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon

12 42 29%

2 Terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut dua pasangan calon

6 42 14%

3 Terdapat tanda coblos pada kolom nama dua pasangan calon

1 42 2%

4 Terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut pasangn calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon yang lain

1 42 2%

5 Terdapat Tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon yang lain

1 42 2%

6

Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan calon yang lain

5 42 12%

7

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) pada masing-masing pasangan calon, yakni pada kolom nomor urut dua pasangan calon dan kolom foto dua pasangan calon

1 42 2%

8

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan calon yang lain

2 42 5%

9

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang lain

1 42 2%

80

10

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom foto dan kolom nama pasangan) dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang lain

1 42 2%

11

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto pasangan) dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon yang lain

2 42 5%

12

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang lain

3 42 7%

13

Terdapat Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada garis kolom foto pasangan yang lain

1 42 2%

14

Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos pada kolom luar di antara kolom foto dua pasangan calon

1 42 2%

15

Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kertas surat suara bagian atas kolom dua pasangan calon

3 42 7%

16

Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom foto pasangan calon dan pada bagian atas surat suara dari pinggir hingga masuk sampai dibawah gambar kotak suara

1 42 2%

TOTAL JUMLAH SUARA TIDAK SAH

DARI SAMPEL 42 42 100%

81

2. Pola Surat Suara Tidak Sah Pemilu Presiden 2014 di NTB

Dalam Gambar atau Foto

Gambaran umum penjelasan 16 pola di atas terlihat

pada hasil scan surat suara tidak sah yang menjadi objek

penelitian yang telah dilakukan. Tujuan pemaparan contoh

dalam penelitian ini semata-mata untuk kepentingan validitas

data penelitian dan tidak dimaksudkan untuk kepentingan

lain. Adapun contoh gambar surat suara tidak sah temuan

penelitian, sebagai berikut:

Pola 1

Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon

Pola 2

Terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut dua pasangan calon

Pola 3 Terdapat tanda coblos pada kolom

nama dua pasangan calon

Pola 4 Terdapat tanda coblos pada kolom

nomor urut pasangn calon dan tanda coblos pada kolom nama

pasangan calon yang lain

82

Pola 5 Terdapat Tanda coblos pada kolom

foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon

yang lain

Pola 6 Terdapat tanda coblos pada

kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan calon yang lain

Pola 7

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) pada masing-masing pasangan calon, yakni pada kolom nomor urut dua pasangan calon dan kolom foto

dua pasangan calon

Pola 8

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan

calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos

pada kolom nomor urut

pasangan calon yang lain

83

Pola 9

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon

(kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada kolom foto

pasangan calon yang lain

Pola 10

Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom foto dan kolom nama

pasangan) dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang

lain

Pola 11

Terdapat tanda coblos lebih dari 1

(satu) kali pada pasangan calon

(kolom nomor urut dan kolom foto

pasangan) dan tanda coblos pada

kolom nama pasangan calon yang

lain

Pola 12

Terdapat tanda coblos lebih dari 1

(satu) kali pada kolom foto

pasangan calon dan tanda coblos

pada kolom foto pasangan calon

yang lain

84

Pola 13

Terdapat Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon

(kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada garis kolom

foto pasangan yang lain

Pola 14

Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan

calon dan tanda coblos pada kolom luar di antara kolom foto dua pasangan calon

Pola 15

Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

kertas surat suara bagian atas kolom dua pasangan calon

Pola 16

Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan

terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom foto pasangn calon dan pada bagian

atas surat suara dari pinggir hingga masuk dibawah gambar

kotak surat suara

85

Dari 16 pola tidak sahnya Surat Suara pada PILPRES

2014 di atas, apabila dianalisis serta diklasifikasi berdasarkan

Buku Panduan KPPS tentang kreteria Sah dan Tidak Sah Surat

Suara pada halaman 45-46 dan pada halaman 52-52 tentang

Contoh Templet Tanda Coblos pada Surat Suara yang Sah dan

Suara Tidak Sah), setidaknya dapat dikerucutkan menjadi 3

pola sebagai berikut;

Gambar 3:

Pengelompokan 16 Pola Surat Suara Tidak Sah di Lapangan

dengan Kreteria Tidak Sah Dalam PKPU RI 19/2014 dan Buku

Panduan KPPS yang diterbitkan KPU RI tahun 2014

1. Tanda Coblos pada dua

pasangan calon

Pola 1

Pola 2

Pola 3

Pola 4

Pola 5

Pola 6

Pola 7

Pola 8

Pola 9

Pola 10

Pola 11

Pola 12

Pola 13

Pola 14

Pola 15

2. Tanda Coblos

pada pasangan

calon dan di luar

kolom pasangan

calon (pola 14-15)

3. Tanda Coblos pada pasangan

calon & rusak, coret, tanpa

tanda tangan KPPS

Pola 16

86

1) Terdapat tanda coblos pada dua pasangan calon

Pola Tidak Sah Dalam

Buku Panduan KPPS

Contoh atau Pola

pertama suara tidak sah

yang ditetapkan dan

dicontohkan KPU dalam

buku panduan KKPS

halaman 53, secara redaksional berbunyai “terdapat tanda

coblos pada dua pasangan calon”, dan secara gambar dapat

dilihat bahwa yang dimaksud dengan “tanda coblos pada dua

pasangan calon” adalah tanda coblos pada foto dua pasangan

calon. Fakta di lapangan, ada 15 pola tanda coblos

sebagaimana terlihat pada gambar Pola No. 1 sampai Gambar

pola No. 15 dinyatakan tidak sah oleh KPPS pada Pilpres 2014,

sekalipun KPU hanya memberikan satu templet terkait contoh

suara tidak sah.

Dari kondisi demikian, setidaknya dapat dimaknai dua

hal, yaitu; Pertama, Para pihak, terutama KPPS dan Panwas

di TPS memiliki SDM yang memadai, karena mereka mampu

dengan cermat dan cerdas memutuskan surat suara yang

dipakai atau digunakan pemilih dengan beragam pola tanda

coblosnya sebagai suara tidak sah, sekalipun dalam buku

pedoman hanya mengatur dengan kalimat singkat “terdapat

tanda coblos pada dua pasangan calon” dan “satu gambar

yang menunjukkan tanda coblos pada foto dua pasangan

87

calon”. Kedua, peraturan yang singkat dan jelas justru

memberikan kecerdasan bagi para penyelenggara di level

bawah untuk memahami substansi aturannya.

2) Terdapat tanda coblos di luar kolom pasangan calon dan tanda coblos pada kolom pasangan calon dan di luar kolom pasacangan calon.

Contoh 2 Suara Tidak Sah:

Terdapat Tanda Coblos di luar

kolom pasangan calon

Contoh 3 Suara Tidak Sah:

Terdapat tanda coblos pada kolom

pasangan calon dan di luar kolom

pasangan calon

Khusus berkaitan dengan pola 14 dan pola 15 terlihat

ada “tanda coblos pada dua pasangan calon”, namun juga

terlihat dengan jelas ada “tanda coblos di luar kolom

pasangan calon”. Dengan demikian, pola 14 dan 15 dapat

ditetapkan menjadi suara tidak sah karena dua alasan,

pertama, karena sesuai dengan gambar no. 1 tentang contoh

suara tidak sah, yaitu terdapat tanda coblos pada dua

pasangan calon, kedua, mengacu pada gambar nomor 3

tentang contoh suara tidak sah, karena ada tanda coblos di

luar kolom pasangan calon.

88

Gambar 4

Perbandingan contoh 3 Suara Tidak Sah dengan Bukti Suara Tidak Sah pada Pola 14 dan Pola 15

Contoh 3 Suara Tidak Sah; Terdapat tanda coblos pada kolom pasangan calon dan di luar kolom pasangan calon

Pola 14 Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan

tanda coblos pada kolom luar di antara

kolom foto dua pasangan calon

Pola 15 Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kertas surat suara bagian atas

kolom dua pasangan calon

Pada gambar di atas terdapat 1 contoh suara tidak sah

menurut Buku panduan KPU, yang kreterianya dirumuskan

dalam kalimat “terdapat tanda coblos di luar kolom

pasangan calon dan di luar kolom pasangan calon” menjadi

salah satu bentuk Tidak Sahnya surat suara. Sekalipun dalam

prakteknya tidak ditemukan pola yang persis sama,

sebagaimana pada pola No. 14 dan No. 15, namun berpeluang

terjadi dan potensial salah tafsir, sebagai berikut:

a. Pada Pola 14 terdapat tanda coblos di luar kolom calon,

persis sama dengan contoh, hanya alasan ditetapkannya

89

menjadi tidak sah pada pola 14, bukan karena adanya

tanda coblos di luar kolom pasanga calon, melainkan

karena terdapat tanda coblos pada dua pasangan calon.

b. Hal yang sama juga terjadi pada pola 15, namun tanda

coblos di luar pasangan calon terdapat pada posisi yang

jauh atau renggang dengan tanda coblos pada contoh yang

ditetapkan KPU.

Yang menjadi wilayah rawan multi tafsir adalah sampai

mana batasan surat suara? Apakah semua bagian kertas surat

suara yang dipakai dan dimasukkan ke dalam kotak dapat

disebut sebagai surat suara, sehingga dimanapun posisi tanda

coblos dapat dikategorikan menjadi Tanda coblos pada kolom

pasangan calon dan kolom luar pasangan calon. Khusus pola

No. 15 dapat dengan jelas ditetapkan sebagai suara tidak sah

karena terdapat tanda coblos pada dua pasangan calon,

sekalipun sesungguhnya juga terdapat dua tanda coblos di luar

kolom pasangan calon. Ambiquitas ini simetris dengan data

lapangan yang ditemukan ketika melakukan FGD di Kabupaten

Lombok Utara (KLU) dan Kota Bima dengan peserta yang

berasal dari mantan para penyelenggara dan saksi Pilpres 2014

dimana terjadi silang pendapat pada dua kemungkinan yang

dapat berkembang dari pola no. 15, yaitu:

Pertama, Apabila terdapat tanda coblos pada satu pasangan

calon dan tanda coblos (satu atau lebih) di luar kolom

pasangan calon (seperti gambar Pola No. 15), maka timbul

pertanyaan Apakah dua tanda coblos pada Pola 15 dapat

90

disebut sebagai penentu Sah dan Tidak Sah suara? Sebab, dari

3 surat suara yang tidak sah dengan pola 15, terlihat posisi

tanda coblosnya telah menjadi 3 pendapat sebagai berikut;

1. Sebagian mengatakan “suara sah”, dengan alasan tanda

coblos di luar kolom pasangan calon berada jauh dari

kolom pasangan calon (tidak seperti contoh suara tidak

sah no. 3 dalam buku panduan KPU).

2. Sebagian lagi menyatakan “Suara tidak sah”, karena

semua ruang dalam kertas surat suara termasuk

kategori kolom surat suara.

3. Sebagian lainnya menyatakan “suara Tidak Sah”, karena

beberapa alasan atau penyebab, yaitu: (a) tidak sah

karena masuk kategori merusak kertas suart suara; (b)

tidak sah karena masuk kategori memberi tanda pada

kertas surat suara.

91

3) Pola tanda coblos pada pasangan calon, tetapi ada tanda

sobekan pada sisi kertas surat suara

Pola 16

Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom foto pasangn calon dan pada bagian atas surat suara dari pinggir hingga masuk sampai dibawah gambar kotak suara

Sesuai dengan 3 templet contoh surat suara sah dalam

buku panduan KPU, maka pola 16 ini seharusnya dinyatakan

sebagai “suara sah”, akan tetapi oleh stakeholder di TPS

pada Pilpres 2014 di NTB dinyatakan sebagai “suara tidak

sah”.

92

93

idak sahnya suara pemilih pada pemilu merupakan

fenomena yang selalu muncul dalam setiap ornamen

pemilu. Demikian halnya pada pemilu presiden dan

wakil presiden tahun 2014. Di wilayah Provinsi NTB ditemukan

data yang menyebutkan, total suara sah sebanyak 2.545.416

(99,04%), sedangkan suara tidak sah sebanyak 24.581

(0,96%)38. Dengan demikian terdapat sejumlah 24.581 orang

pemilih tidak memiliki nilai politik atas pilihan mereka.

Rincian suara tidak sah pada masing-masing kabupaten/kota

dideskripsikan pada bab 7.

Secara umum terdapat empat faktor yang menyebabkan

terjadinya atau adanya surat suara tidak sah dalam Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di provinsi NTB, yakni:

(1) sistem penyelenggaraan pemilu; (2) penyelenggara pemilu;

(3) peserta, partai politik pengusung; tim sukses, dan saksi;

38 KPU Provinsi NTB, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Provinsi NTB tahun 2014, dicetak oleh KU Provinsi Tahun 2014: hal.75

T

Penyebab Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB

8

94

(4) pemilih. Keempat hal tersebut dan sub faktor yang terkait

dapat dijelaskan sebagai berikut:

FAKTOR SISTEM PENYELENGGARAAN PEMILU

Sistem penyelenggaraan pemilu yang dimaksud dalam

hal ini adalah beberapa ketentuan yang diatur oleh KPU, baik

terkait dengan regulasi, maupun yang berhubungan dengan

tahapan pelaksanaan Pemilu. Beberapa faktor yang secara

tidak langsung telah menyebabkan adanya surat suara tidak

sah dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana

dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Regulasi teknis / Peraturan KPU

Dalam ketentuan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014

disebutkan salah satu kriteria surat suara tidak sah manakala

“merusak surat suara”. Di Kota Bima sebagai contoh,

ditemukan pola suara tidak sah, (yaitu pola 16) dimana

pemilih mencoblos salah satu pasangan calon, namun di luar

kolom pasangan calon, terdapat tanda sobekan. Secara

substantif, pemilih telah memberikan suara dengan benar dan

memiliki nilai politik pada satu pasangan calon yang dicoblos.

Namun karena ada tanda sobekan pada surat suara (di luar

gambar pasangan calon), oleh petugas KPPS dikategorikan

sebagai suara tidak sah karena ada tanda “merusak surat

suara”.

95

Persoalannya adalah apakah surat suara itu sengaja

disobek oleh pemilih, atau surat suara tersebut telah sobek

sebelum dibawa pemilih ke dalam bilik suara? Pendapat

responden dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

kecilnya kemungkinan surat suara tersebut sengaja di sobek

oleh pemilih, yang paling mungkin adalah surat suara telah

sobek sebelum dibawa oleh pemilih ke bilik suara.

Kemungkinan yang disebutkan terakhir lebih mendekati

kebenaran, karena tidak semua KPPS menjalankan SOP secata

teliti pada hari pemungutan dan penghitungan, terutama SOP

yang mewajibkan KPPS untuk membuka, memeriksa dan

menandatangani surat suara sebelum diserahkan kepada

pemilih. Maka ada kemungkinan surat suara tersebut telah

tersobek sejak distribusi atau pada saat pelipatan surat suara

di KPU Kabupaten/Kota. Tentu saja regulasi teknis yang

mengatur detail kriteria surat suara tidak sah seperti ini,

merugikan peserta pemilu.

Kemungkinan telah sobeknya kertas suara sebelum

dicoblos dimungkinkan bila dikaitkan dengan pengakuan dari

saksi peserta pemilu yang juga menjadi responden dari

penelitian yang telah dilakukan. Ia mengatakan bahwa petugas

KPPS tidak membuka terlebih dahulu kertas suara sebelum

diberikan kepada pemilih. Namun sebenarnya peluang adanya

kerusakan surat suara dapat ditekan maksimal karena ada

mekanisme sortir yang dilakukan oleh tenaga teknis saat

pelipatan di KPU setempat.

96

Dalam buku pedoman pemungutan suara yang dipegang

KPPS ditemukan contoh-contoh surat suara sah dan surat suara

tidak sah. Dalam contoh tersebut dinyatakan jika terdapat

tanda coblos pada kolom pasangan calon dan terdapat tanda

coblos di luar kolom pasangan calon dinyatakan tidak sah.

Data menunjukkan 2% suara tidak sah disebabkan oleh pola

tersebut, seperti apa yang ditemukan di Kabupaten Lombok

Utara dan di Kota Bima.

Bahkan dari beberapa peserta FGD sebagian

menyatakan “sah” sebagian lagi menyatakan “tidak sah”,

dengan alasan sebagai berikut:

1. Kelompok yang menyatakan pola 16 ini sebagai “suara

sah” berargumen karena terdapat tanda coblos pada

satu pasangan calon.

2. Kelompok yang menyatakan pola 16 ini sebagai “suara

tidak sah” memiliki beragam pendapat:

(a) Tidak sah karena masuk kategori memberi tanda

pada kertas surat suara, sesuai buku panduan.

(b) Tidak sah karena masuk kategori merusak kertas

surat suara sesuai buku panduan KPU.

(c) Tidak sah karena mencoblos surat suara dengan dua

model, yaitu mencoblos dengan alat yang disedikan

di bilik dan sah, tetapi juga dibarengi dengan

mencoblos dengan cara merobek kertas suara sesuai

kreteria tidak sah dalam buku panduan KPU.

97

Multi interpretasi ini muncul dari:

1. Tidak jelasnya batasan “kolom” yang dalam kertas surat

suara, apakah semua space kertas surat suara selain kolom

pasangan calon dapat disebut sebagai kolom luas pasangan

calon. Dalam PKPU RI No. 19 Tahun 2014, khususnya Pada

BAB 1, Pasal 1 ayat (23) surat suara didefinisikan sebagai

“salah satu jenis perlengkapan Pemungutan Suara yang

berbentuk lembaran kertas dengan desain khusus yang

digunakan oleh Pemilih untuk memberikan suara pada

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memuat foto,

nama, dan nomor Pasangan Calon”. Artinya, tidak ada

satupun kata dalam PKPU RI ini yang mengatur posisi kertas

surat suara di luar kolom yang berisi nomor urut, pas foto

dan nama pasangan calon, melainkan ditemukan pada Buku

Panduan hal 56 pada templet no. 3 contoh suara tidak sah

dalam kalimat “terdapat tanda coblos pada kolom

pasangan calon dan tanda coblos di luar kolom pasangan

calon”. Mana batasan “di luar kolom pasangan calon” pada

kertas surat suara yang demikian luas itu?

2. Terdapat percampuradukan antara (a) hal-hal yang bersifat

tehnis-administratif sekaligus kewajiban penyelenggara,

seperti KKPS tidak menandatangani kertas suara, (b)

Kehawatiran adanya permainan kotor peserta untuk money

politik dengan memaksa pemilih memberi tanda pada surat

suara seperti tulisan atau sobekan dan (c) perilaku

98

independen pemilih yang mencoblos dengan beragam pola

di luar ketentuan yang ditetapkan, sebagai kreteria suara

tidak sah dalam buku Panduan KPU, padahal dalam PKPU

No. 19 tahun 2014 khususnya Pasal 33 ayat (2) hanya diatur

secara rinci tentang tata cara pemberian suara pada Surat

Suara dilakukan dengan cara mencoblos pada kolom yang

berisi nomor urut, pas foto dan nama pasangan calon

dengan menggunakan alat coblos yang telah disediakan

berupa paku. Sementara dalam buku panduan KPPS,

khususnya halaman 45-46 ditetapkan kreteria sah dan tidak

sahnya surat suara pada saat penghitungan sebagai berikut:

1. Surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS.

2. Surat suara dalam keadaan baik (tidak rusak).

3. Surat suara tidak terdapat tanda/coretan.

4. Surat suara dicoblos menggunakan alat coblos yang

disediakan di TPS

5. Tanda coblos tepat berada pada:

(a) No Urut Pasangan Calon; dan/atau

(b) Foto Pasangan Calon; dan/atau

(c) Nama Pasangan Calon

6. Tanda coblos bukan dengan paku/alat yang disediakan

seperti tanda coblos dengan rokok/korek api dan atau

tanda coblos dengan cara merobek, maka dinyatakan

TIDAK SAH.

99

7. Memberi tanda pada surat suara dengan cara merusak

surat suara dan atau mencoret surat suara, maka

dinyatakan TIDAK SAH

b. Sosialisasi

Sosialisasi pemilu presiden dan wakli presiden tahun

2014 tidak maksimal sebagaimana sosialisasi pemilu legislatif

tahun 2014. Apabila pada pemilu legislatif, disamping kaya

metode juga kaya kelompok-kelompok sasaran, maka

sosialisasi pemilu presiden merupakan kebalikan dari pemilu

legiislatif. Pada pemilu presiden di samping miskin intensitas,

juga miskin metode dan kelompok-kelompok sasaran.

Sosialisasi pemilu presiden dan wakil presiden lebih banyak

dilakukan oleh KPU RI, akibatnya masyarakat pedesaan

maupun perkotaan di daerah miskin akses informasi perihal

pemilu presiden dan wakil presiden.

Data hasil riset mengungkapkan bahwa masyarakat

pedesaan yang tinggalnya di daerah marginal, seperti hutan,

pulau, atau tempat tinggal yang sifatnya menyebar sesuai

lahan pertanian mereka, tidak mendapatkan akses informasi

perihal pemilu presiden karena agen sosialisasi hanya sampai

di ibukota kabupaten yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/

Kota. Metode sosialisasi seperti spanduk, baliho, siaran

melalui media elektronik (TV dan Radio) tidak semarak

sebagaimana pemilu legislatif. Akibatnya semarak pemilu

presiden dan wakil presiden tahun 2014 tidak sebesar pemilu

100

legislatif. Masyarakat kemudian tidak tertarik dengan pemilu

presiden dan wakil presiden hingga tidak memiliki pilihan

politik.

Hasil riset menunjukkan bahwa informasi tentang

pemilu presiden tidak maksimal diperoleh masyarakat karena

minimnya sosialisasi yang dilakukan, baik oleh KPU maupun

oleh tim sukses pasangan calon. Kalaupun ada sosialisasi, hal

yang disampaikan lebih bersifat umum dan tidak ada konten

sosialisasi yang secara khusus terkait dengan tata cara

pemilihan atau pencoblosan sehingga masyarakat dapat

membedakan mana cara mencoblos yang benar atau sah dan

mana yang salah atau tidak sah.

Begitu pula halnya bahwa sosialisasi dalam bentuk

baliho tidak ada yang secara khusus menjelaskan tentang

contoh hasil coblos yang benar (sah) dan salah (tidak sah).

Bahkan baliho yang mensosialisasikan pasangan calon pun

dinilai tidak banyak. Hal ini menurut pengakuan beberapa

orang anggota KPU Kab./`kota lebih disebabkan oleh

minimnya angggaran sosialisasi dan anggaran untuk itu pun

ditangani langsung oleh KPU pusat.

c. Bimbingan teknis pemungutan suara

Bimbingan teknis (Bimtek) tentang tata cara

pelaksanaan pemungutan suara merupakan media transformasi

teknis pelaksanaan pemungutan, penghitungan dan

rekapitulasi suara dari KPU kepada KPU Provinsi, dari KPU

101

Provinsi kepada KPU Kabupaten/Kota, dan dari KPU

Kabupaten/Kota kepada PPK maupun PPS, serta dari PPS

kepada KPPS. Dengan demikian, pola Bimtek dilaksanakan

secara berjenjang sebagaimana sifat organisasi KPU yang

hirarkhis. Kelebihan sifat organisasi yang demikian adalah

adanya keseragaman tindakan dan keputusan yang diambil

oleh implementator kebijakan atau aktivitas organisasi dari

tingkatan paling atas hingga tingkatan terendah. Dengan

demikian, pemahaman KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/

Kota, PPK, PPS, dan KPPS terhadap teknis pemungutan suara

adalah sama.

Permasalahannya adalah, dari 7 (tujuh) anggota KPPS,

yang diberikan Bimtek oleh PPS sebanyak 2 (dua) orang.

Harapannya, ada transformasi ilmu pengetahuan dari dua

anggota KPPS yang mengikuti Bimtek kepada 5 (lima) anggota

KPPS yang lain. Dalam das sain (kenyataannya), tidak semua

anggota KPPS yang mengikuti Bimtek di PPS dapat melakukan

transformasi kepada selururuh anggota KPPS yang lain. Ada

beberapa penyebabnya, yakni: (1) tidak ada kemauan dari

kedua anggota KPPS tersebut; (2) lima anggota KPPS yang lain

menyerahkan tugas dan tanggungjawab pemungutan suara

kepada Ketua KPPS mereka. Dan biasanya yang mengikuti

Bimtek adalah Ketua KPPS. Akibatnya, pengetahuan dan

keterampilan tujuh anggota KPPS terhadap tata cara

pemungutan suara tidak sama. Faktor ini menyebabkan

102

persepsi tentang kriteria suara sah dan tidak sah tidak ada

keseragaman.

Bimtek yang terbatas sasaran, juga belum

menyampaikan secara detail tugas dan kewenangan KPPS

secara menyeluruh, terutama terkait dengan kewenangan

KPPS untuk memberikan penjelasan tentang tatacara

pemungutan dan pemberian hak suara di TPS pada hari

pemungutan. Bagi KPPS, proses penjelasan hanya diberikan

bersamaan dengan waktu pembukaan TPS, padahal mereka

sangat mengakui pentingnya penjelasan ini sebagai media

efektif untuk pengurangan kesalahan dalam pemberian hak

suara oleh pemilih, namun waktu yang diijinkankan oleh KPU

sangat terbatas, yakni hanya pada saat pembukaan TPS,

padahal realitanya saat pembukaan TPS, masih belum banyak

pemilih yang datang. Akan efektif, menurut mereka, apabila

penjelasan itu diberikan berulang sesuai situasi atau tingkat

kehadiran pemilih di TPS, namun sayang mereka tidak

mengetahui isi PKPU No. 19 Tahun 2014 yang memberikan

kewenangan bagi KPPS untuk memberikan penjelasan berulang

sesuai kebutuhan pada hari H pemungutan suara.

d. Sortir Surat Suara

Pelipatan surat suara dilakukan di tingkat KPU

Kabupaten/Kota dengan melibatkan masyarakat. Jumlah

tenaga lipat surat suara juga berdasarkan kebutuhan dengan

perbandingan jumlah surat suara yang dilipat. Pada waktu

103

pelipatan surat suara sekaligus pelipat surat suara melakukan

sortir dengan menghitung dua puluh lembar surat suara untuk

diikat menggunakan karet gelang.

Penjelasan yang diberikan oleh Divisi Logistik KPU

Provinsi NTB dalam FGD tingkat provinsi menyebutkan bahwa;

kondisi surat suara ini cukup tipis. Ketika dalam sortir diikat

dengan jumlah dua puluh lembar maka sangat rawan

mengalami sobek pada bagian pinggir. Karena itu, faktor ini

kelihatannya berpengaruh terhadap rusaknya surat suara yang

kemudian menyebabkan surat suara tersebut menjadi tidak

sah. Faktor ini memungkinkan berkontribusi menjadi

penyebab surat suara tidak sah di NTB, seperti pada pola 16.

Padahal asal muasal atau alasan dimunculkannya “surat

suara robek” sebagai salah satu kreteria suara tidak sah,

diakui komisioner KPU NTB dalam FGD, adalah kekhawatiran

dijadikan sebagai tanda atau bukti atau kode bagi pemilih dan

peserta, berkaitan dengan money politik. Oleh karena itu,

sebaiknya, semua hal yang berkaitan dengan kekhawatiran-

kekhawatiran yang bersifat kasuistis, agar tidak ditumpuk

pada syarat sah dan tidak sah suara, sebab akan merugikan

pemilih, peserta, penyelenggara dan khususnya Negara.

e. Pengaruh indoktrinasi peserta pemilu pada Pemilu

Legislatif tentang tatacara memilih di bilik suara

Waktu pelaksanaan Pemilu Legislatif dengan Pemilu

Preiden dan Wakil Presiden yang berbeda namun dengan jarak

yang relative dekat memiliki andil terhadap perilaku pemilih

104

sehingga berdampak pada tidak sahnya suara mereka yang

ditandai dengan beragam pola dalam memberikan hak suara

atau mencoblos surat suara. Pemilu Presiden diakui bahwa

intensitas interaksi antara peserta dengan pemilih sangat jauh

dan terbatas, sangat jauh berbeda dengan Pemilu Legislatif,

terutama sejak diberlakukannya sistem terbuka dan kembali

ke sistem tertutup. Interaksi peserta, terutama calon legislatif

dan tim pemenanginya masing-masing berebut ruang interaksi

serapat mungkin dengan peserta sehingga ada ruang

indoktrinasi secara intens kepada pemilih untuk mencoblos no

urut atau nama caleg dan atau gambar calon dan gambar

partai. Indoktrinasi ini berimbas pada cara pemilih

memberikan hak suaranya pada Pilpres 2014 yang dinyatakan

tidak sah dengan mencoblos dua pasangan calon baik pada

kolom foto kedua pasangan calon, bahkan foto semua calon

yang terpampang dalam surat suara, atau seperti terlihat

dalam tabel atau gambar tentang Pola 1 sampai Pola 13 di

atas.

f. Perubahan cara memilih dari contreng pada pileg 2009

menjadi coblos pada pilpres 2014

Data yang dihasilkan lewat riset yang telah dilakukan

oleh LP2M IAIN Mataram memaparkan bahwa meskipun bukan

menjadi penyebab utama kebingungan pemilih dalam

menggunakan hak pilihnya, namun perubahan cara memilih

dari contreng menjadi coblos telah memberikan kontribusi

105

yang cukup signifikan terjadinya surat suara tidah sah dalam

Pilpres.

FAKTOR PENYELENGGARA PEMILU

Penyelenggara Pemilu terutama pada unsur pelaksana

pemungutan suara di tingkat TPS juga memiliki kontribusi

secara tidak langsung terhadap tidak sahnya surat suara,

terutama dalam beberapa hal sebagai berikut;

a. Kelalaian Dalam Menjalankan SOP oleh petugas KPPS

Surat suara yang dinyatakan tidak sah adalah surat

suara yang telah digunakan oleh pemilih dan dimasukkan ke

dalam kotak suara. Apabila ada surat suara yang tidak sah

karena adanya kerusakan pada surat suara, maka dipastikan

kerusakan tersebut disebabkan oleh pemilih. Mengapa

demikian, karena KPU sudah menetapakan SOP yang cukup

ketat dan panjang terkait dengan alur dan prosedur surat

suara dari masa percetakan hingga diberikan kepada pemilih

di TPS.

Dalam pasal 34 Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014

khususnya Ayat (1) disebutkan bahwa salah satu hal yang harus

dilakukan oleh Ketua KPPS setelah memberikan penjelasan

tentang tata cara memilih kepada pemilih di TPS adalah

memberikan surat suara kepada pemilih dalam keadaan

baik atau tidak rusak. Untuk memastikan surat suara yang

diberikan kepada pemilih tidak rusak, maka terlebih dahulu

106

dipastikan kondisi kertas surat suara dengan cara: bersama

anggota KPPS lainnya membuka lipatan kertas surat suara,

memeriksa kondisinya, dan apabila sudah dipastikan dalam

keadaan baik, maka dibubuhi tanda tangan oleh ketua KPPS

untuk selanjutnya diberikan kepda Pemilih. Hanya saja,

sebagaimana diungkap peserga FGD di tingkat provinsi, hampir

semua KPPS tidak menjalankan SOP dengan maksimal, karena

menganggap semuanya sudah berjalan dengan baik.

Apabila kondisinya demikian, maka surat suara tidak

Sah sebagaimana pola 16, sangat mungkin tidak disebabkan

oleh pemilih, melainkan kondisinya memang sudah rusak

sebelum digunakan oleh pemilih. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kelalaian menjalankan SOP secara

maksimal oleh petugas KPPS dapat menjadi faktor

penyebab Pola suara tidak sah ke 16 dalam pelaksanaan

Pilpres 2014.

b. Ketidaktahuan KPPS tentang Peraturan Yang

Membolehkan KPPS Memberikan Penjelasan Secara

Berulang Sesuai Kebutuhan di TPS.

KPPS terbentuk satu hari sebelum hari pemungutan

suara. Konsekuensinya, mereka tidak dapat melakukan

sosialisasi tentang tata cara pemungutan suara yang

merupakan informasi penting bagi masyarakat pemilih.

Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014 hanya memberi tugas

kepada KPPS menjelaskan tata cara pemungutan suara pada

107

hari pemungutan suara di TPS. Persoalannya adalah mereka

hanya mengetahui penjelasan tentang tata cara pemberian

suara kepada pemilih hanya dilakukan satu kali. Sementara

banyak pemilih datang ke TPS setelah petugas KPPS selesai

memberikan penjelasan tersebut.

Menurut mereka, petugas KPPS tidak berani

menjelaskan kepada pemilih secara berulang-ulang karena

tidak ada payung hukum. Sementara komisioner KPU

Kabupaten/Kota menjelaskan bahwa memberikan penjelasan

tentang tata cara pemberian suara yang benar kepada pemilih

merupakan kewajiban KPPS. Jika merunut penjelasan KPPS

dan KPU di atas, terlihat bahwa KPPS tidak mengetahui

adanya aturan yang memberikan tugas kepada mereka untuk

memberikan penjelasan berulang sesuai kebutuhan. Akibat

petugas KPPS hanya memberikan penjelasan secara formal

sesuai aturan yang diketahuinya, sekalipun mereka akui tidak

efektif, karena momentumnya masih sepi audien atau pemilih.

Bagi mereka penjelasan langsung tentang tata cara

pemberian hak suara di TPS sangat penting bagi pemilih

pemula dan lanjut usia. Hal ini secara tidak lagsung

berkontribusi terhadap suara tidak sah terutama pola

Nomor 1 sampai pola Nomor 16, karena tidak ada

penjelasan oleh KPPS kepada pemilih, tetapi juga

disebabkan oleh KPU yang tidak tuntas memberikan

penjelasan pada saat BIMTEK, dan termasuk tidak

dipertegas dalam buku Panduan KPU.

108

FAKTOR PESERTA, PARTAI POLITIK PENGUSUNG, DAN TIM SUKSES

Secara umum, masih besarnya suara tidak sah pada

semua jenis Pemilu, termasuk pemilu presiden dan wakil

presiden secara tidak langsung disebabkan oleh belum

maksimalnya Partai Politik di Indonesia menjalankan

fungsinya, terutama fungsinya sebagai pelaksana pendidikan

politik, Sarana rekrutmen politik sekaligus sebagai sarana

komunikasi politik.

Rekrutmen kader pada Pemilu legislative tidak

mempetimbangkan kematangan, melainkan hanya kekuatan

modal atau uang, sehingga dalam Pemilu Legislatif, misalnya,

masing-masing calon baik intern partai maupun antar partai

hanya mendekati pemilih dengan kekuatan uang, bukan

ideologi dan keberpihakan. Akibatnya, pada saat Pemilu

presiden, calon yang diusung partainya belum tentu diketahui

pemilih, bahkan belum tentu didukung oleh kader partai

pengusungnya. Dalam konteks adanya suara tidak sah pada

pilpres 2014 di NTB, maka secara tidak langsung disebabkan

oleh kurangnya komunikasi politik oleh partai pengusung

dengan pemilih, sekaligus rusaknya mental pemilih oleh

perilaku politik kader partai pada pemilu legislatif yang

membiasakan adanya money politik.

109

a. Rendahnya Komunikasi politik tim pemenangan dengan

masyarakat

Pemilu presiden dan wakil presiden memiliki

karekteristik yang berbeda dengan pemilu legislatif atau

Pilkada dari aspek kepentingan politik antara peserta pemilu

(pasangan calon) dengan pemilih. Apabila pemilu legislatif dan

Pilkada, kepentingan politik antara peserta pemilu dengan

pemilih adalah kepentingan politik langsung, karena faktor

keluarga/kerabat dan faktor kepentingan keterwakilan

wilayah, maka pemilu presiden dan wakil presiden,

kepentingan-kepentingan politik tersebut tidak nampak.

Dalam karekteristik pemilu presiden dan wakil presiden

yang demikian, intensitas komunikasi politik antara tim

pemenangan dengan pemilih menjadi sangat penting guna

mempengaruhi motivasi pemilih. Persoalannya adalah tim

pemenangan pasangan calon yang terbentuk di daerah tidak

intensif melakukan komunikasi politik dengan masyarakat

untuk memperkenalkan pasangan calon mereka. Apa visi, misi

pasangan calon untuk masyarakat, tidak pernah disampaikan.

Akibatnya masyarakat juga menjadi pasif dalam konteks

pemilu presiden dan wakil presiden. Efek ikutannya ada

dua: (1) masyarakat tidak memiliki pilihan politik karena

mereka tidak memiliki referensi terhadap peserta pemilu;

(2) masyarakat berfikir, demi keadilan harus dipilih kedua

pasangan calon sekaligus.

110

b. Politik uang (money politics) relatif kecil

Pemilu sebagai arena (spasial) merupakan fenomena

yang di dalamnya ada proses dominasi elit terhadap

masyarakat kelas bawah. Kapital merupakan alat dominasi

efektif dalam pemilu, sehingga kapital merupakan instrument

untuk mengkonstruksi perilaku memilih masyarakat. Pierre

Felix Bourdieu membagi kapital menjadi empat, yakni;

ekonomi, politik, budaya, dan simbol.39

Partisipasi masyarakat dalam pemilu di Indonesia

khususnya di daerah-daerah pedesaan tidak sepenuhnya

partisipasi mandiri atau otonom, melainkan partisipasi yang

dimobilisasi oleh elit. Proses mobilisasi masyarakat

memerlukan modal (kapital) sebagai elemen penggeraknya.

Dari empat kapital yang dikemukakan Bourdieu di atas,

ekonomi merupakan kapital yang memegang peran utama.

Praktek dari penggunaan kapital ekonomi dalam pemilu adalah

politik uang.

Pada pemilu anggota legislatif 2014, politik uang

berkembang secara jamak, sudah barang tentu fenomena ini

juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Akibatnya,

masyarakat telah menjadi sangat akrab dengan politik uang.

Bagi masyarakat, pemilu identik dengan aktivitas membagi-

bagi uang, gula, jilbab, sarung, kurma, dan berbagai

kebutuhan pokok lainnya. Dengan fenomena ini, masyarakat

39 Akhyar Yusuf Lubis, Pestmodernisme: Teori dan Metode, diterbitkan oleh PT RajaGrafindo Persada, 2014: hal.109

111

berpartisipasi karena “membayar hutang pada tim

pemenangan atau calon”, karena mereka sudah menerima

uang atau barang beberapa hari sebelum hari pemungutan

suara.

Fenomena politik uang pada pemilu presiden dan wakil

presiden 2014 tidak seperti fenomena politik uang pada

pemilu legislatif. Dalam situasi sosial yang demikian,

masyarakat merasakan pemilu tidak meriah, hampa, dan

dianggap tidak bermakna bagi mereka. Sementara karena

pengaruh nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan sosial

mereka, mengharuskannya datang ke TPS, meskipun mereka

tidak memiliki pilihan politik. Dalam situasi sosial yang

demikian, pilihan politik mereka kemungkinan memilih kedua

pasangan calon secara bersamaan. Dengan demikian,

kecilnya praktek politik uang pada pemilu presiden dan

wakil presiden tahun 2014 menjadi salah satu faktor

secara tidak laagsung yang mempengaruhi suara tidak sah,

dengan membuat pemilih menjadi apatis.

FAKTOR PEMILIH

a. Ketidakcermatan Pemilih

Tidak sahnya suara akibat kerusakan surat suara

sesungguhnya dapat ditelusuri melalui perilaku pemilih pada

waktu proses pemungutan suara berlangsung. Kerusakan surat

suara ini bisa terjadi karena ketidakcermatan pemilih dalam

memeriksa surat suara yang diberikan oleh petugas KPPS.

112

Dalam ketentuan pasal 35 Peraturan KPU Nomor 19 Tahun

2014 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat

Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden Tahun 2014, disebutkan bahwa: (a) setelah menerima

surat suara dari petugas KPPS, pemilih wajib memeriksa dan

meneliti surat suara tersebut dalam keadaan baik atau rusak;

(b) apabila pemilih menerima surat suara rusak, pemilih dapat

meminta surat suara pengganti kepada Ketua KPPS, dan Ketua

KPPS wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu)

kali serta mencatatnya dalam berita acara.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa belum adanya

pemilih yang meminta surat suara ulang ke KPPS karena salah

pilih atau surat suara yang diterimanya rusak. Pola 16 suara

tidak sah sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat

mungkin disebabkan oleh karena ketidakcermatan pemilih

dalam memeriksa kertas surat suara sebelum dimasukkan

ke dalam kotak suara, sekaligus ketidaktahuan pemilih

atas aturan yang membolehkan mereka untuk meminta

surat suara pengganti, apabila rusak sebelum dimasukkan

ke kotak suara.

b. Pemilih awam

Mendefinisikan pemilih awam bukan persoalan mudah.

Namun berdasarkan persepsi yang dihimpun melalui penelitian

yang telah dilakukan, maka definisi pemilih awam dapat

dirangkum, sebagai berikut:

113

Pemilih tidak mengenal siapa pasangan calon yang menjadi

peserta pemilu. Misalnya, ketika mereka bertanya siapa

nama calon pemilu ini, lantas dijelaskan bahwa calonnya

adalah Joko Widodo, mereka masih bertanya lebih lanjut,

siapa Joko Widodo itu. Demikian halnya ketika dijelaskan

tentang Prabowo.

Pemilih yang karena faktor usia (responden mendefinisikan

usia di atas 70 tahun) dan tidak pernah mengenyam

pendidikan formal

Pemilih pemula yang tidak mengerti tentang tata cara

pemberian suara karena cara pemberian suara antara

pemilu legislative yang baru mereka lalui dengan pemilu

presiden dan wakil presiden berbeda

Pemilih marginal, yaitu pemilih yang tempat tinggalnya

terpencil sehingga tidak terjangkau akses informasi pemilu

Karena ketidaktahuan pemilih tentang berbagai soal

teknis pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014, mereka

memberikan suaranya dengan cara yang tidak benar sehingga

menyebabkan surat suara tidak sah, sebagaimana kriteria yang

telah ditetapkan oleh Peraturan KPU. Pemilih awam ini

terdapat di pedesaan dengan tempat tinggal terpencil dari

pusat pemerintahan desa. Akibatnya mereka kurang mendapat

akses informasi tentang pemilu presiden dan wakil presiden

tahun 2014. Mereka tidak tersentuh oleh program sosialisasi

dari KPU dan tidak tersentuh oleh komunikasi politik yang

dilakukan tim pemenangan pasangan calon. Oleh karena itu

Pola 15 suara tidak sah besar kemungkinannya dilakukan

oleh pemilih awam, sehingga hanya sekali membuka

lipatan surat suara langsng diberikan tanda coblos,

114

sehingga membentuk empat tanda coblos secara simetris

atau tembus.

c. Pemilih apatis

Terjadinya pola coblos pada dua pasangan sekaligus

disebabkan oleh faktor apatisme pemilih. Pendefinisian

pemilih apatis adalah pemilih yang datang ke TPS masuk di

dalam bilik suara tetapi tidak memberikan suara dengan benar

(surat suara dicoblos pada dua pasangan calon) seperti contoh

kasus yang terjadi di TPS 7 Desa Rempek Kabupaten Lombok

Utara.

Fenomena apatisme pemilih disebabkan oleh banyak

faktor seperti yang disadurkan dibawah ini.

Karena mereka tidak menerima politik uang yang telah

menjadi tradisi setiap momentum pemilu

Tidak mengenal ketokohan pasangan calon

Sosialisasi pemilu yang rendah jika dibandingkan dengan

pemilu legislatif

Keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk

memberikan himbauan yang merupakan panutan

masyarakat rendah

Kepentingan politik langsung masyarakat dengan pasangan

calon presiden dan wakil presiden rendah

Masyarakat kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah

dalam bentuk pembangunan maupun bantuan social,

sehingga menimbulkan kekecewaan mereka.

115

encermatan terhadap seluruh data di atas,

memperlihatkan bahwa surat suara tidak sah pada

pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014

merupakan hasil (output) dari kompilasi antara input

dan proses. Tidak dapat dipastikan secara personal siapa

penyebab langsung dari suara tidak sah, namun secara umum

dapat dipastikan bahwa penyebab secara tidak langsung dari

suara tidak sah pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun

2014 di NTB adalah kompilasi peran dari empat aktor dalam

pemilu yang selalu saling berkaitan, yaitu; sistem pemilu,

penyelenggara, peserta dan pemilih. Dengan demikian,

penyebab masih adanya suara tidak sah pada pemilu di

Indonesia bersifat sistemik-timbal balik antar aktor terbatas;

sistem, penyelenggara, peserta dan Pemilih. Namun, pemilih

sebagai pihak pemegang kedaulatan dalam pemilu, maka

harus dikeluarkan sebagai penyebab, melainkan kesalahan

mereka adalah bukti mereka sebagai korban pemilu, termasuk

petugas pelaksana tehnis pemilu di TPS. Oleh karena itu, perlu

dibenahi secara langsung bukan pemilih, melainkan tiga hal

yang menjadi sumber daya utama yang mempengaruhi proses

P

Kompilasi Pola Suara Tidak Sah Dengan Faktor Penyebab 9

116

Faktor Individual

F. Tidak Langsung/Sumber Utama

Peserta Pemilu :

Komunikasi Politik Pendidikan Politik

Money politics

Penyelenggara Pemilu:

Sosialisasi Pemilu Bimtek KPPS

Sortir Surat Suara

Sistem Penyelenggaraan :

Regulasi Teknis Anggaran Sosialisasi

dan Bimtek

Pemilih Apatis

Pemilih Awam

Kurang

pengetahuan

Petugas KPPS

SURAT SUARA

TIDAK SAH PILPRES 2014 DI NTB

F. Langsung /Korban

Faktor Organisasional

pemungutan suara, yakni: peserta pemilu, penyelenggara

pemilu, dan sistem penyelenggaraan pemilu.

Gambar di bawah ini menjelaskan bahwa, faktor

penyebab suara tidak sah terbagi ke dalam dua kelompok,

yakni faktor langsung dan faktor tidak langsung. Sedangkan

sifat seluruh faktor ada dua, yaitu: faktor yang bersifat

individual dan bersifat organisasional. Faktor langsung ada

tiga, yaitu: (1) adanya pemilih apatis; (2) adanya pemilih

awam; (3) kurangnya pengetahuan petugas KPPS. Faktor tidak

langsung juga ada tiga, yakni: (1) peserta pemilu; (2)

penyelenggara pemilu; (3) sistem penyelenggaraan pemilu.

Bagan 6: Kompilasi faktor penyebab suara tidak sah Pilpres 2014 di NTB

117

Faktor pertama dan kedua disebut sebagai faktor

individual, yakni tidak sahnya surat suara karena sebab

individual dari pemilih sebagai aktor yang menggunakan surat

suara sebagai alat pemberian suara. Sedangkan faktor kedua

dan semua faktor tidak langsung merupakan faktor

organisasional, yakni tidak sahnya surat suara disebabkan oleh

konstruksi organisasional penyelenggaraan pemilu.

Munculnya pemilih apatis dan pemilih awam pada pemilu

presiden dan wakil presiden tahun 2014 di NTB disebabkan

karena lemahnya komunikasi, pendidikan politik salah kaprah

dari peserta pemilu sehingga membetuk perilaku pemilih

menjadi pemegang mazhab ekonomis praktis melalui politik

uang (money politics), maupun lemahnya pelaksanaan

sosialisasi pemilu oleh penyelenggara pemilu. Sebagaimana

dikemukakan oleh Damsar dan Budiardjo pada penjelasan bab

dua di atas, dua diantara fungsi partai politik yang penting

adalah komunikasi politik dan pendidikan politik.

Ketika dua fungsi di atas tidak dilaksanakan secara baik,

sebagaimana penjelasan pada poin faktor-faktor penyebab di

atas, maka pemilih tidak memiliki referensi politik yang

tuntas. Demikian halnya, penyelenggara pemilu memiliki

fungsi sosialisasi terhadap seluruh tahapan pemilu. Frekuensi,

metode, media, dan sasaran sosialisasi yang tidak efektif

menyebabkan masyarakat marginal pedesaan miskin akses

informasi perihal pemilu. Akibat faktor-faktor di atas,

118

referensi politik pemilih menjadi rendah, menyebabkan

mereka menjadi pemilih apatis dan awam tentang pemilu.

Salah tafsir petugas KPPS tentang kriteria surat suara sah

dan kriteria surat suara tidak sah, khususnya yang terjadi pada

pola 16 disebabkan oleh kurang maksimalnya bimbingan teknis

(Bimtek) tata cara pemungutan suara. Materi Bimtek terlalu

fokus pada tata cara rekapitulasi dan mengabaikan

pembahasan secara tuntas tentang definisi surat suara,

sebagai pemahaman awal menilai surat suara sah dan tidak

sah dalam pemungutan suara. Di samping itu, jumlah anggota

KPPS yang diberikan Bimtek hanya 2 (dua) dari 7 (tujuh) orang

anggota. Lemahnya materi dan terbatasnya jumlah anggota

KPPS yang mengikuti Bimtek menyebabkan transformasi

perihal pemungutan suara belum sampai kepada semua

anggota KPPS.

Disamping soal Bimtek, salah tafsir petugas KPPS tentang

surat suara sah dan surat suara tidak sah muncul karena buku

pedoman pemungutan suara yang merupakan “buku pinter”

KPPS memberikan contoh-contoh surat suara tidak sah. Pada

contoh surat suara tidak sah disebutkan tanda coblos di luar

kolom pasangan calon dan tanda coblos pada salah satu

pasangan calon dicontohkan sebagai tidak sah. Demikian

halnya tanda sobekan pada surat suara. Sementara dalam

Peraturan KPU tidak menjelaskan secara detail hal tersebut.

Menurut komisioner KPU Kabupaten/Kota kasus tersebut

119

seharusnya menjadi sah, namun petugas KPPS berpedoman

pada buku pedoman.

Apabila frekuensi sosialisasi dan Bimtek dalam internal

organisasi penyelenggara pemilu maksimal, sudah barang

tentu salah tafsir petugas KPPS dapat dikurangi. Artinya

bahwa kurangnya frekwensi sosialisasi dan Bimtek yang

diberikan kepada petugas KPPS cenderung menyebabkan salah

tafsir petugas KPPS terhadap kriteria surat suara sah dan tidak

sah.

Persoalan kurangnya sosialisasi dan Bimtek terjadi akibat

keterbatasan anggaran. Seluruh pembiayaan pemilu presiden

dan wakil presiden bersumber dari APBN dan dialkokasikan

oleh KPU RI. Persoalannya adalah sistem penganggaran

pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 belum

berpihak pada pemungutan suara sebagai bagian akhir yang

menentukan akuntabilitas seluruh proses penyelanggaraan

tahapan. Penganggaran pemilu gemuk pada bagian hulu dan

kurus pada bagian hilir. Akibatnya, proses persiapan

pemungutan suara di tingkat TPS kurang maksimal.

Kondisi surat suara yang telah disortir dari KPU

Kabupaten mengkonstruksi pemahaman petugas KPPS untuk

meyakini semua surat suara dalam kondisi baik atau tidak

rusak. Karena itu, sebagian petugas KPPS tidak membuka

kembali surat suara sebelum dibawa ke bilik suara oleh

pemilih. Akibat penafsiran ini, sebagian dari rusaknya surat

suara tidak teridentifikasi sebelum surat suara terpakai, dan

diketahui setelah surat suara dihitung. Konsekuensinya,

120

menjadi tidak sah. Dengan demikian, faktor organisasional

berkontribusi tidak langsung dan langsung terhadap tidak

sahnya surat suara.

Di lihat dari kompilasi pola dan faktor penyebab surat

suara tidak sah, maka nampak sebagaimana tabel dibawah ini.

Tabel 12:

Kompilasi Pola dan Penyebab Suara Tidak Sah

No Pola Faktor Penyebab yang saling berkelindan

1

1

s/d

12

Sosialisasi miskin metode, konten, frekuensi, dan

segmen (sistem penyelenggaraan)

Rendahnya komunikasi politik tim pemenangan dengan masyarakat (peserta pemilu)

Rusaknya model pendidikan politik oleh partai

melalui kader/calegnya membuat pemilih fanatik dengan mazhab ekonominya dalam pemilu.

Rendahnya atau konsistennya pemanfafatan uang sebagai capital pendidikan politik antara pileg dan pilpres (peserta pemilu)

Pemilih awam (pemilih)

Pemilih apatis (pemilih)

Indoktrinasi berlebih oleh caleg pada pemilih pada pilleg tentang cara memilih

Perubahan cara memilih dari contreng ada pileg

2009 menjadi coblos pada pilpres 2014 (sistem penyelenggaraan)

2

13

s/d

16

Kelalain KPPS menjalankan SOP secara maksimal

Ketidakcermatan petugas KPPS (penyelenggara)

Ketidakcermatan pemilih (pemilih)

Regulasi teknis dalam buku pedoman KPPS (sistem penyelenggaraan)

Bimtek petugas KPPS tidak maksimal (penyelenggara)

Sortir surat suara dengan ikatan 20 lembar

membuat sisi surat suara sobek (penyelenggara)

Sumber : Hasil Analisis Data

121

erdasarkan data hasil penelitian yang telah dihimpun

di lapangan, baik dari hasil observasi, wawancara,

maupun FGD yang dilakukan, telah dihimpun banyak

rekomendasi dan masukan untuk meminimalisir adanya surat

suara tidak sah dalam pemilu presiden berikutnya.

Rekomendasi dan strategi kebijakan yang terkait dengan hal

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari seluruh data

dan analisis pada bab 7, 8, 9, dan 10, tulisan ini memberikan

rekomendasi pada tiga aras, yakni; aras regulasi, aras

organisasional, dan aras individual.

Aras regulasi menfokuskan pada reformulasi petunjuk

teknis pemungutan suara. Aras organisasional merekomendasi-

kan beberapa aspek, yakni: penguatan fungsi partai politik,

reformasi manajemen sosialisasi dan Bimtek, dan membangun

anggaran berprespektif atau berbasis TPS. Sedangkan Aras

individual menekankan pentingnya pendidikan pemilih

berkelanjutan.

B

Rekomendasi dan Strategi Kebijakan 10

122

REFORMULASI PETUNJUK TEKNIS PEMUNGUTAN SUARA

Komisi Pemilihan Umum (KPU) diberi kewenangan oleh

undang-undang untuk menetapkan peraturan teknis

pelaksanaan tahapan pemilu di bawah undang-undang, tanpa

harus berpedoman pada peraturan pemerintah. Kewenangan

tersebut adalah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) yang

mengikat semua unsur terkait pemilu. PKPU mengikat

penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih, pemantau

pemilu, dan semua stakeholder. Dalam hal yang demikian,

PKPU memiliki posisi yang setara dengan Peraturan Presiden.

Meskipun tentu saja kewenangan KPU menetapkan PKPU hanya

terbatas pada aturan teknis pelaksanaan tahapan pemilu.

Dalam membuat PKPU, undang-undang mengatur KPU

untuk berkonsultasi dengan DPR. Mekanisme ini mengandung

dua makna: menghadirkan legitimasi PKPU, dan mencegah

penyalahgunaan kewenangan KPU agar tetap menjadi

penyelenggara pemilu yang imparsial. Legitimasi publik

terhadap PKPU penting, mengingat PKPU mengikat semua

aktor pemilu. Persoalannya memang tidak ada keharusan KPU

untuk mengikuti kemauan DPR dalam hal penetapan PKPU atas

hasil konsultasi. Namun demikian, konsekuensi moral dari

PKPU yang ditetapkan dengan terlebih dahulu dikonsultasikan

ke DPR adalah menuntut kehati-hatian KPU dalam membuat

peraturan lebih teknis di bawah PKPU.

Membuat pedoman tata cara pemungutan suara pemilu

presiden dan wakil presiden yang menjadi pegangan KPPS,

123

merupakan salah satu yang harus dibuat dengan cermat oleh

KPU. Oleh karena pedoman pemungutan suara merupakan

referensi utama petugas KPPS, sebab biasanya KPPS tidak mau

membaca PKPU. Maka dalam pembuatan PKPU dan pedoman

pemungutan suara, sebaiknya KPU memperhatikan beberapa

hal sebagai berikut:

a. PKPU dan Pedoman Berbasis Masalah.

Data berbasis hasil riset memperlihatkan kebiasaan-

kebiasaan KPPS karena situasi lapangan seperti tidak

melaksanakan seluruh SOP yang bersifat administratif

apabila diatur secara rigit maka dapat merugikan pemilih

dan peserta pemilu, karena surat suaranya menjadi tidak

sah. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya

penyusunan PKPU dan Pedoman menjawab persoalan

lapangan melalui proses simulasi terhadap pemungutan

suara dengan melibatkan calon KPPS untuk mendapatkan

gambaran terhadap komponen-komponen yang akan di

atur. Simulasi sebaiknya dilakukan dengan mengambil

sampel di beberapa daerah

b. Perbanyak konsultasi publik atas hasil simulasi.

Pemungutan suara merupakan bagian terpenting dari

seluruh tahapan pemilu. Semua tahapan pemilu dari hulu

bermuara pada pemungutan suara. Disamping menjadi

sumber legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih,

124

pemungutan suara juga menjadi sumber akuntabilitas

publik KPU sebagai penyelenggara pemilu. Karena itu

perangkat regulasi teknis pemungutan suara harus efektif.

Dalam rangka itu, penyusunan PKPU dan Pedoman

sebaiknya didahului dengan memperbanyak konsultasi

publik sebagai media mendapatkan masukan publik.

c. Hindari multi-tafsir pada contoh penggunaan surat suara.

Contoh-contoh kriteria surat suara sah dan surat suara

tidak sah dalam pedoman pemungutan suara menjadi

rujukan terakhir KPPS dalam menentukan putusan terhadap

status sah atau tidak sahnya surat suara. Karena itu,

pembuatan contoh kriteria surat suara sah dan surat suara

tidak sah harus menghindari multi-tafsir. Bedakan antara

kewajiban administrative dengan kreteria suara sah dan

suara tidak sah, atau dengan kata lain, jangan menjadi

kewajiban administrative seperti penandatangan kertas

surat suara sebagai kewajiban KPPS atau SOP, tapi tidak

otomatis menjadi kreteria penetapan surat suara menjadi

sah atau tidak sah. Jangan menumpukkan semua

kekhawatiran parsial atau kasuistis sebagai penambah

kreteria surat suara menjadi sah dan tidak sah, seperti

kasus sobekan dan/atau coretan. Harus disinkronkan antara

kreteria surat suara sah dan surat suara tidak sah dalam

bentuk naratif dan bentuk visual.

125

d. Pengaturan berprespektif penyelamatan pilihan rakyat.

Menghilangkan ketentuan-ketentuan yang mengarah pada

tidak sahnya surat suara diluar substansi pemberian suara.

Ruang suci atau hakekat surat suara pemilu presiden dan

wakil presiden adalah nomor urut, foto pasangan calon,

dan nama pasangan calon. Dengan demikian sepanjang

pemilih telah memberikan suaranya dengan mencoblos

bagian-bagian substansial tersebut, lantas ada tanda lain di

luar, atau sobekan dipinggir kertas suara, sebaiknya surat

suara tersebut menjadi kategori surat suara yang sah.

e. Hindari keterjebakan administratif.

Ketentuan yang mengatur tentang surat suara sah apabila

ditandatangani oleh Ketua KPPS sebaiknya dihilangkan

karena kelalaian petugas KPPS menandatangani surat suara

menyebabkan pilihan rakyat tidak bermakna, sementara

penyebabnya bukan karena pemilih. Jika dilihat secara

substantive, misalnya pemilih telah memberikan suaranya

dengan benar dengan cara mencoblos salah satu pasangan

calon. Namun karena surat suaranya tidak ditandatangani

oleh Ketua KPPS, menyebabkan suaranya menjadi tidak

sah. Fenomena ini tentu merugikan pemilih dan peserta

pemilu, akibat kelalaian petugas KPPS berdasarkan

ketentuan administrasi yang berlaku.

126

PENGUATAN FUNGSI PARTAI POLITIK

Pada bab 4 telah dijelaskan fungsi-fungsi partai politik,

yang terdiri dari empat belas fungsi. Fenomena pemilih apatis

dan pemilih awam sebagai aktor yang menyebabkan surat

suara tidak sah disebabkan oleh fungsi partai politik, yakni

minimnya fungsi komunikasi politik dan pendidikan politik di

satu sisi. Termasuk minimnya fenomena politik uang (money

politics), meskipun tentu tulisan ini bukan berarti setuju

dengan perilaku money politics. Pengakuan responden

menyebutkan bahwa masyarakat telah sangat akrab dengan

money politics yang dilakukan partai politik pada setiap

momentum pemilu. Ketika pada pemilu presiden dan wakil

presiden tahun 2014 masyarakat tidak menerima hadiah

apapun dari partai politik pengusung pasangan calon,

menyebabkan mereka menjadi apatis.

Dari temuan-temuan seperti yang ditunjukkan oleh hasil

riset yang telah dilakukan, buku ini memberi rekomendasi

yang ditujukan kepada partai politik, sebagai berikut:

1) Sosialisasi politik, komunikasi politik dan pendidikan politik

sepanjang masa.

Partai politik harus diberi ruang untuk melakukan

sosialisasi politik, komunikasi politik, dan pendidikan

politik manifest yang berlangsung dalam bentuk transmisi

informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input,

dan output sistem politik. Karena itu, diperlukan sistem

yang memberikan fungsi maksimal kepada partai politik

127

untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Misalnya,

negara harus menyediakan anggaran bagi partai secara

kontinyu setiap tahun anggaran. Dengan demikian,

aktivitas partai untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut

tidak berhenti setelah penyelenggaraan pemilu selesai.

2) Sistem pemilu bersih dari money poliics .

Fenomena money politics telah menjadi penyakit akut

dalam pemilu Indonesia. Akibatnya, muncul dua gejala,

yakni ketergantungan terhadap money politics dan budaya

money politics. Untuk memutus rantai terhadap dua gejala

ini, diperlukan tiga hal: (a) diperlukan tindakan-tindakan

persuasif negara melalui pemberian sanksi keras terhadap

pelaku money politics; (b) memperkuat fungsi Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan memberikan

kewenangan menindak langsung pelanggaran berkaitan

dengan money politics; (c) diperlukan internalisasi nilai-

nilai pemilu bersih, jujur, dan adil melalui pendidikan

politik oleh partai politik.

MANAJEMEN SOSIALISASI DAN BIMTEK

Masyarakat komunal pedesaan memiliki banyak

keterbatasan informasi yang disebabkan oleh keterbatasan

media masa (radio, surat kabar, dan televisi). Oleh karena

itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam

menerjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut

amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat

128

perbedaan orientasi dan sikap (attitude) di antara kelompok-

kelompok masyarakat. Pemilih awam termasuk perilaku

apatisme disebabkan karena masyarakat pedesaan khususnya

kelompok-kelompok yang tinggal di pedesaan terpencil,

seperti di pegungungan, tidak memiliki informasi tentang

perihal pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014.

Pada ranah petugas KPPS munculnya kesalahpahaman

mereka tentang definisi surat suara, sehingga mereka

memutuskan tidak sah kasus surat suara sobek di pinggir,

disebabkan oleh kurang efektifnya Bimtek yang dilakukan oleh

PPS. Materi bimtek lebih banyak membahas tehnik rekapitulasi

dan kurang memperhatikan transformasi tentang definisi surat

suara. Persoalan lainnya adalah jumlah anggota KPPS yang

diberikan Bimtek hanya 2 orang dari 7 anggota.

Terkait dengan persoalan di atas, buku atau tulisan ini

memberikan rekomendasi, sebagai berikut:

a) KPU perlu membentuk komunitas pemilu yang berasal dari

orang-orang yang berpotensi menjadi petugas KPPS.

Komunitas pemilu tersebut diberikan pelatihan atau

kursus singkat tentang kepemiluan, dan selanjutnya

mereka menjadi mitra KPU dalam sosialisasi pemilu.

Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat, tentu

akan membantu percepatan informasi pemilu menjangkau

masyarakat marginal di pedesaan

b) Khusus untuk pemilih pemula, sebaiknya metode simulasi

pemungutan suara lebih diperbanyak dibanding dengan

129

metode-metode yang lain. Cara ini akan membangun

keterampilan pemilih pemula menggunakan hak pilihnya.

Metode ini penting untuk menjawab kebutuhan pemilih

pemula tentang tata cara pemberian suara

c) KPU perlu melibatkan elit-elit budaya, agama, atau

pemangku adat sebagai komunikator dalam sosialisasi

guna menjawab kebutuhan masyarakat marginal

pedesaan. Disamping itu strategi komunikasi dengan

kesenian rakyat perlu dilakukan untuk efektifitas

sosialisasi pada pemilih-pemilih usia lanjut.

d). Agar terlebih dahulu KPU membuat peta kriteria pemilih,

kelompok mana yang terlihat awam tentang tata cara

pemberian suara dan kelompok mana yang pasif terhadap

pemilu. Kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki

kriteria ini menjadi prioritas sosialisasi.

e). Seluruh anggota KPPS sebaiknya diikutkan dalam Bimtek

dengan materi dan alokasi waktu yang lebih banyak.

Pemahaman tentang definisi surat suara perlu menjadi

muatan materi yang harus diberikan.

f). Anggota KPPS perlu diberi kewenangan untuk melakukan

sosialisasi berulang-ulang tentang tata cara pemberian

suara pada saat proses pemungutan suara berlangsung.

Hal ini dimaksudkan agar seluruh pemilih mengetahui tata

cara pemberian suara yang benar.

130

ANGGARAN BERPRESPEKTIF PEMUNGUTAN SUARA

Sifat organisasi KPU yang hierarkhis rupanya berakibat

pada belum proporsionalnya anggaran pemilu di antara

tingkatan badan penyelenggara (KPU, KPU Provinsi, KPU

Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS). Pada kasus pemilu

presiden dan wakil presiden tahun 2014 kegiatan sosialisasi

cukup tinggi dilakukan di KPU RI, namun tidak ada anggaran

sosialisasi di tingkat PPK dan PPS. Anggaran pemilu terlihat

besar di hulu, dan semakin ke hilir semakin tidak proporsional

untuk mendukung tugas-tugas sosialisasi, pendidikan pemilih,

dan Bimtek penyelenggara.

Pemilu sebagai mekanisme politik pemberian kedaulatan

kepada rakyat untuk memilih pemimpin politik mereka,

memiliki makna yang menempatkan pemungutan suara sebagai

bagian paling penting dari tahapan-tahapan lainnya. Tahap

pemungutan suara merupakan media yang disediakan negara

tentu saja melalui fungsi KPU dan Panitia Ad-hock untuk

memfasilitasi hak setiap warga dalam melaksanakan

kedaulatannya. Oleh karena itu, kualitas pelaksanaan

pemungutan suara menjadi indikator akuntabilitas publik

penyelenggaraan pemilu. Salah satu indikator yang digunakan

publik untuk melihat kualitas pemungutan suara adalah

perbandingan surat suara sah dengan surat suara tidak sah,

disamping tingkat partisipasi.

Dalam hal surat suara tidak sah tinggi, maka publik akan

memberikan kritikan kepada KPU sebagai agen yang tidak

131

mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memilih

masyarakat. Angka surat suara tidak sah pemilu presiden dan

wakil presiden 2014 di NTB masih tergolong rendah sebesar

0,93 %, jika dibanding secara nasional sebesar 1,02 %.

Meskipun surat suara tidak sah masih tergolong rendah,

namun salah satu penyebab terjadinya surat suara tidah sah

yang perlu menjadi atensi adalah pola penganggaran sosialisasi

dan Bimtek yang belum berperspektif pemungutan suara.

Anggaran sosialisasi masih didominasi oleh KPU RI dan KPU

Provinsi, sementara agen yang langsung bersentuhan dengan

masyarakat pemilih adalah KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan

PPS. Demikian juga anggaran Bimtek untuk anggota KPPS

hanya tersedia untuk 2 orang anggota KPPS. Pola

penganggaran yang demikian dipandang cenderung

menyebabkan surat suara tidak sah.

Berdasarkan hal di atas, tulisan ini memberikan

rekomendasi terkait pola pengganggaran sosialiasasi dan

Bimtek pemilu, sebagai berikut:

1) PPK dan PPS hendaknya diberikan anggaran sosialisasi

pemungutan suara yang memadai guna mempercepat

transformasi keterampilan memilih masyarakat pedesaan.

2) Anggaran sosialisasi pemungutan suara hendaknya

merupakan anggaran yang lebih banyak mendesain

simulasi untuk pemilih-pemilih marginal

3) Anggaran Bimtek untuk anggota KPPS sebaiknya

ditingkatkan untuk 4 orang dengan asumsi 4 orang lebih

132

cepat melakukan transformasi kepada 3 orang anggota

KPPS yang lain, dibanding 2 orang dituntut melakukan

trasformasi kepada 5 orang anggota yang lain

4) Anggaran Bimtek anggota KPPS sebaiknya dialokasikan

untuk 2 hari dengan asumsi 1 hari untuk pemahaman isi

PKPU dan Buku Pedoman, dan 1 hari untuk simulasi dan

evaluasi proses belajar

SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN PEMILIH BERKELANJUTAN

Pendidikan pemilih merupakan proses dengan dimana

para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-

nilai, norma-norma, dan teknik pemberian suara yang benar

menurut peraturan perundang-undangan40. Output yang

diharapkan dari pendidikan pemilih sedikitnya ada dua, yakni:

(1) terinternalisasikannya nilai dan norma pemilu yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; (2)

tumbuhnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat

tentang tata cara pemberian suara dengan menggunakan surat

suara berdasarkan SOP yang ditetapkan penyelenggara.

Oleh karena pendidikan pemilih memiliki dua prinsip,

yakni prinsip nilai dan norma pemilu di satu sisi, dan prinsip

pengetahuan dan keterampilan pemilih di sisi yang lain, maka

KPU perlu menata sosialisasi dan pendidikan pemilih. Apabila

pada tahun 2014 KPU memiliki relawan demokrasi, mulai

40 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, ibid: hal.282

133

tahun 2016 sedang di bangun komunitas peduli pemilu dan

demokrasi, maka sebaiknya KPU membuat desain relawan

demokrasi dan komunitas pemilu yang berkelanjutan.

Sebaiknya agen-agen sosialisasi dan pendidikan pemilih yang

telah dibentuk KPU tidak berhenti sampai mereka diberi

pelatihan atau kursus pemilu. Idealnya agen-agen tersebut

diberi tugas untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan

pemilih secara berkelanjutan. Rumah Pintar Pemilu (RPP) yang

telah dibentuk KPU sebaiknya dimaksimalkan sebagai entitas

sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan. Dengan

demikian, dalam menyusun program sosialisasi dan pendidikan

pemilih berkelanjutan, sebaiknya KPU memfokuskan pada

bagaimana memaksimalkan semua perangkat yang telah

dibentuk.

134

135

KESIMPULAN

1. Terdapat enam belas jenis pola suara tidak sah pada

pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 di Provinsi

Nusa Tenggara Barat, dengan urutan sebagai berikut:

(a) terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan

calon;

(b) terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut dua

pasangan calon;

(c) terdapat tanda coblos pada kolom nama dua pasangan

calon;

(d) terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut pasangn

calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan

calon yang lain;

(e) terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan

calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan

calon yang lain;

Kesimpulan dan Saran 11

136

(f) terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan

calon dan tanda coblos pada kolom nomor urut

pasangan calon yang lain;

(g) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) pada masing-

masing pasangan calon, yakni pada kolom nomor urut

dua pasangan calon dan kolom foto dua pasangan

calon;

(h) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto)

dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan

calon yang lain;

(i) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto)

dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon

yang lain;

(j) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

pasangan calon (kolom foto dan kolom nama

pasangan) dan tanda coblos pada kolom foto

pasangan calon yang lain;

(k) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto

pasangan) dan tanda coblos pada kolom nama

pasangan calon yang lain;

(l) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada

kolom foto pasangan calon yang lain;

137

(m) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto)

dan tanda coblos pada garis kolom foto pasangan yang

lain;

(n) terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan

calon dan tanda coblos pada kolom luar di antara

kolom foto dua pasangan calon;

(o) terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan

calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada

kertas surat suara bagian atas kolom dua pasangan

calon; dan

(p) terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan

calon dan terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan

dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom

foto pasangan calon dan pada bagian atas surat suara

dari pinggir hingga masuk sampai dibawah gambar

kotak surat suara.

2. Secara umum ada empat penyebab terjadinya suara tidak

sah pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 di

Provinsi Nusa Tenggara Barat, yakni;

a) sistem Penyelenggaraan Pemilu, yang di dalamnya

terkait dengan regulasi teknis/peraturan KPU yang

masih belum maksimal termasuk diantaranya tentang

perubahan cara memilih, sosialisasi yang belum massif,

bimbingan teknis pemungutan suara yang belum

138

mengcover semua petugas, sortir surat suara yang

belum sempurna;

b) faktor penyelenggara pemilu, yang didalamnya terkait

dengan kelalaian dalam menjalankan SOP secara

maksimal termasuk ketidakcermatan petugas KPPS dan

ketidaktahuan KPPS tentang kewenangan diskresi

sosialisasi mereka;

c) faktor Peserta Pemilu, Partai Politik Pengusung, dan

Tim Sukses, yang didalamnya terkait dengan rendahnya

komunikasi politik tim pemenangan dengan masyarakat,

dan juga karena suksesnya semua kalangan menekan

praktek politik uang (money politics); dan

d) factor pemilih, dengan beberapa perilaku politiknya

seperti ketidakcermatan pemilih, adanya pemilih

awam, dan pemilih yang apatis.

3. Untuk mengatasi adanya suara tidak sah pada pemilu

presiden dan wakil presiden berikutnya maka

direkomendasikan beberapa langkah strategis, yaitu:

a) reformulasi Petunjuk Teknis Pemungutan Suara, antara

lain terkait dengan membuat kebijakan yang berbasis

masalah, memperbanyak konsultasi publik atas hasil

simulasi, menghindari multitafsir pada contoh

penggunaan surat suara, mempertimbangkan untuk

penyelamatan suara rakyat pemilih, dan menghindari

keterjebakan regulasi;

139

b) penguatan fungsi partai politik agar bisa memberikan

pendidikan politik maksimal pada pemilih;

c) memperbaiki management sosialisasi dan bimtek

kepemiluan;

d) sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan; dan

e) menyusun anggaran yang berperspektif pemungutan

suara.

SARAN

Untuk menjamin adanya peningkatan kualitas pemilu

yang akan datang, maka disarankan kepada berbagai kalangan

sebagai berikut:

1. Agar terjadi penyegaran dalam penyelenggaran Pemilu,

khususnya pada level TPS, maka perlu dibangun sistem

pemilihan KPPS yang domokrasi dan terbuka, sehingga

tidak monoton. Petugas KPPS yang ditunjuk tanpa proses

demokratis, apalagi hanya berdasarkan pengalaman

sebelumnya, maka cenderung terjadi; aturan baru, praktek

lama. Kelalaian pelaksanaan SOP secara maksimal oleh

KPPS besar kemungkinan disebabkan oleh karena petugas

KPPS sudah merasa menjadi bagian dari pemilu itu sendiri,

sehingga tidak butuh pengetahuan tentang sistem dan

aturan.

2. Terjadi ketimpangan tingkat intensitas interaksi antara

peserta dengan pemilih pada beberapa jenis pemilu

nasional, terutama antara Pilleg dan Pilpres, maka

140

sebaiknya penyelenggaraan kedua jenis Pemilu nasional ini

dilaksanakan secara serentak. Hal ini akan menghemat

biaya dalam banyak hal, namun sekaligus memaksimalkan

peran dan fungsi partai.

3. Terkait dengan penelitian sebagai basis ilmiah menemukan

akar masalah dalam kepemiluan, maka terkait dengan

terus adanya suara tidak sah pada semua jenis pemilu

dengan jumlah yang variatif sekalipun tingkat

kesukarannya metode memilih dan keruwetan surat suara

antar beberapa jenis pemilu berbeda-beda, maka perlu ada

penelitian komprehensif terkait suara tidak sah baik pola

dan penyebabnya pada semua jenis pemilu pada satu

periode politik. Misalnya, KPU NTB mengkonsolidasikan

semua perguruan tinggi yang menjamur di NTB untuk

mengawal pemilu dengan sama-sama memulai dari

meneliti pola suara tidak sah, pola partisipasi dan

sebagainya.

141

DAFTAR PUSTAKA

Agus, 2013, Aktor Penyelenggara Pemilu, diterbitkan oleh Pusat Kajian Inovasi Pemerintahan Dan Kerjasama Antar Daerah Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya bekerjasama dengan CV. Kaukaba Dipantara, Jogjakarta

Amirudin, Ibramsyah, 2008, Kedudukan KPU Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amademen UUD 1945, diterbitkan oleh Laksbang Mediatama

Andrew, Heywood, 2014, Politik, Edisi Keempat, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Asrinaldi, 2012, Politik Masyarakat Miskin Kota, Yogyakarta : Gava Media

Bungin, Burhan, 2004, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lain, Jakarta: Prenada Media Group

_____________, 2014, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Meedia Group

Budiarjdo, Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama

Damsar, Prof.,Dr., 2013, Pengantar Sosiologi Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group

Duverger, Maurice, 1984, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, diterbitkan oleh PT.Bina Aksara

Fadjar, Abdul Mukthie, 2012, Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Malang, Setara Press

Gafan, Afar, 1992, Javanes Voters: a study of election under a hegemonic party system, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

142

Geertz, Clifford, diterjemahkan oleh Mahasin & Rasnanto, 2014, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyai Dalam Kebudayaan Jawa, Komunitas Bambu

Marijan, Kancung, 2011, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana Prenada

Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data

Kualitatif, Terj.Tjetjep Rohendi, UI- Press, h.20.

Mulyosudarmo, Soewoto, 2004, Pembaharuan Ketatanegaraan

Melalui Perubahan Konstitusi, Malang, Asosiasi Pengajar

HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS

Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, diterbitkan oleh Kerjasama Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan JIP

________________, 2011, Partai Politik di Indonesia, Yogyakarta, Institut for Democracy and Welfarism

Prihatmoko, Joko.J., 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Ishiyama, John.T. & Marijle Breuning, 2013, Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21. Kencana Prenada Group

Kadri, 2015, Mozaik Pemilihan Umum: Esai-esai Praksis Komunikasi Politik, Mataram: GGI

Komisi Pemilihan Umum Nusa Tenggara Barat, 2014, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Provinsi NTB Tahun 2014, dicetak oleh KPU Provinsi NTB

KPU RI, 2014, Buku Panduan KPPS Pelaksanaan Pemungutan dan

Penghitungan Suara di TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

2014, Jakarta; Sekretariat KPU

143

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

UU No. 15 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden

PKPU No. 16 Tahun 2014

PKPU No. 19 Tahun 2014