Pola & Penyebab - KPU NTB
Transcript of Pola & Penyebab - KPU NTB
iii
Pola & Penyebab Suara Tidak Sah Pilpres 2014 di Provinsi NTB
Editor Yan Marli, MMPd.,M.Pd.
Kontributor :
Lalu Aksar Anshori, SP.
Yan Marli, MMPd.,M.Pd.
H. Ilyas Sarbini, SH.,MH.
Suhardi Soud, SE.
Hesty Rahayu, ST.,MM.
Mars Ansori Wijaya, SIP.,MM.
Dr. H. Kadri, M.Si.
Dr. M. Sobri, M.Pd.
Jumarim, M.HI.
Agus, M.Si.
iv
Pola & Penyebab Suara Tidak Sah Pilpres 2014 di Provinsi NTB Yan Marli, MMPd.,M.Pd. ( Editor ) Kontributor :
Lalu Aksar Anshori, SP.
Yan Marli, MMPd.,M.Pd.
H. Ilyas Sarbini, SH.,MH.
Suhardi Soud, SE.
Hesty Rahayu, ST.,MM.
Mars Ansori Wijaya, SIP.,MM
Dr. H. Kadri, M.Si.
Dr. M. Sobri, M.Pd.
Jumarim, M.HI.
Agus, M.Si.
Cetakan I, 2016
All rights reserved.
Edisi dalam Bahasa Indonesia ini diterbitkan oleh
PENERBIT KPU PROVINSI NTB, Copyright @2016
Layout & Design. Edy Handika & Mahirun Pemerhati Aksara : Mars Ansori Wijaya, SIP,MM Penata Aksara : Mars Ansori Wijaya, SIP,MM
Alamat : Jl. Langko No.17 Mataram,
Telp. (0370) 630303, Fax. (0370) 632103
Email : [email protected]
Facebook : KPU PROV NTB
Instagram : kpu.ntb
Twitter : KpuNtb
Website : www.kpud-ntbprov.go.id
Bekerja sama dengan
LP2M IAIN MATARAM
v
Pola & Penyebab Suara Tidak Sah Pilpres 2014 di Provinsi NTB
Yan Marli, MMPd.,M.Pd. ( Editor )
Kontributor : Lalu Aksar Anshori, SP.
Yan Marli, MMPd.,M.Pd.
H. Ilyas Sarbini, SH.,MH.
Suhardi Soud, SE.
Hesty Rahayu, ST.,MM.
Mars Ansori Wijaya, SIP.,MM
Dr. H. Kadri, M.Si.
Dr. M. Sobri, M.Pd.
Jumarim, M.HI.
Agus, M.Si.
vii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan yang
Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Taufiq Nya dalam
meniti kehidupan berdemokrasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan dapat menyusun Buku Pola dan Penyebab Suara Tidak Sah
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Buku ini disusun berdasarkan hasil riset yang merupakan hasil
kerjasama antara KPU Provinsi NTB dengan Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat (LP2M IAIN) dan KPU Provinsi Nusa
Tenggara Barat terhadap Pola dan Penyebab Suara Tidak Sah
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Hasil Riset yang tersaji dalam Buku ini merupakan salah satu
elemen strategis yang mampu diungkap untuk format manajemen
pemilihan yang lebih baik kedepan. Hasil riset tidak hanya
memberikan rasionalitas akademik mengenai substansi pemilihan,
bahkan riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai
persoalan.
Berdasarkan hasil riset, dapat dipastikan dan kebijakan yang
akan diambil oleh pemerintah dan penyelenggara dalam
pelaksanakan pemilihan sehingga tidak dibangun atas postulat
spekulatif, tetapi dikonstruksi berdasarkan pada argument empiris
dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan,
menemukan akar masalah dan merumuskan rekomendasi sebagai
bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi dan
meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi yang berintregitas.
Dalam buku ini kita dapat mengetahui pola dan penyebab
suara tidak sah pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014,
viii
kehadiran pemilih pada hari H di TPS yang dapat mengekpresikan
Preferensi politiknya sesuai kehendak maing-masing yang dapat di
konversikan menjadi suara yang bernilai yaitu suara sah dan suara
tidak sah, ketika suaranya tidak sah kehadiran pemilih sepertinya
menjadi tidak bermakna.
Akhir kata kami sampaikan terimakasih kepada LP2M IAIN
Mataram, editor, Kontributor dan pihak Sekretariat KPU Provinsi
NTB serta Pihak lain yang telah membantu penyusunan dan
penerbitan buku ini dan menyampaikan permohonan maaf apabila
ada kekurangan dan mengharap masukan kritik yang konstruktif.
Semoga Allah SWT. Senantiasa meridhoi usaha kita amin ya
robbalalaimin.
Ketua,
Lalu Aksar Ansori
ix
DAFTAR ISI
Kata Pengantar- vii
Daftar Isi - ix
1. Latar Belakang - 1
2. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung - 11
3. Teori dan Mazhab - 23
4. Fungsi Partai Politik dan Penyelenggara Pemilu - 35
5. Suara Sah dan Suara Tidak Sah dalam Pilpres Tahun 2014- 51
6. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di NTB - 57
7. Pola Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB - 77
8. Penyebab Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB - 93
9. Kompilasi Pola Suara Tidak Sah Dengan Faktor Penyebab - 115
10. Rekomendasi dan Strategi Kebijakan - 121
11. Kesimpulan dan Saran - 135
Daftar Pustaka - 141
Perundang-undangan Terkait - 143
1
ampai era ini, pemilihan umum (pemilu) semakin
diyakini sebagai metode atau mekanisme politik
paling elegan, santun dan demokratis dalam mengisi
jabatan politik. Penyebabnya adalah, karena pemilu mampu
memproses pergantian kepemimpinan politik melalui
kesepakatan masyarakat. Metode menemukan kesepakatan,
tentu saja melalui pemungutan suara di Tempat Pemungutan
Suara (TPS).
Urgensi pemilu yang demikian penting bagi demokrasi,
menyebabkan pemilu sering dianalogikan sebagai jantung
demokrasi. Jika diibaratkan dengan organ tubuh manusia,
maka dimana manusia itu sendiri adalah demokrasi, dan
jantungnya adalah pemilu. Agar demokrasi suatu negara tetap
sehat, seharusnya pemilunya tetap dirawat agar semakin sehat
dari masa ke masa.
Berbagai indikator dapat digunakan untuk mengukur
sehat atau tidaknya pemilu. Dalam perundang-undangan
pemilu di Indonesia, indikator yang digunakan adalah
S
Latar Belakang
1
2
sejauhmana pemilu diselenggarakan dengan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Disamping ketaatan
pada asas penyelenggaraan, pemilu sehat juga dapat diukur
dari partisipasi warga negara sebagai pemilik kedaulatan
untuk memberikan suaranya dalam pemilu.
Karya Kacung Marijan, meletakkan keikutsertaan atau
partisipasi dalam pemilu, merupakan salah satu bentuk
partisipasi politik paling minimal warga negara.1 Dalam
konteks partisipasi warga negara dalam memilih, setidaknya
ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, bagaimana
angka partisipasi tersebut secara kuantitas. Kedua, bagaimana
kualitas dari keikutsertaan warga negara dalam pemilu. Yang
pertama dilihat dari berapa jumlah warga negara terdaftar
dalam daftar pemilih yang menggunakan hak pilihnya.
Sedangkan yang kedua, dilihat dari berapa besar warga negara
menggunakan hak pilihnya secara benar. Ukuran kebenaran
cara warga negara menggunakan hak pilihnya dapat dilihat
dari seberapa besar suara sah dibanding dengan suara tidak
sah. Ketika warga negara menggunakan hak pilihnya, namun
suara mereka tidak sah, maka tentu pilihannya menjadi tidak
memiliki nilai politik, dengan demikian kualitas partisipasinya
dikatakan rendah.
Suara pemilih memiliki makna politik ketika suara yang
diberikan dinyatakan sah sesuai ketentuan peraturan
1 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi
Pasca Orde Baru, diterbitkan oleh Prenada Media Group, 2011: hal.125
3
perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2014, suara yang
diberikan oleh pemilih dinyatakan sah manakala memenuhi
kreteria sebagai berikut; (1) tanda coblos pada nomor urut
pasangan calon; (2) tanda coblos pada foto pasangan calon;
(3) tanda coblos pada nama pasangan calon; (4) tanda coblos
pada garis kotak pasangan calon; (5) tanda coblos lebih dari
satu kali pada nomor urut pasangan calon yang sama; (6)
tanda coblos lebih dari satu kali pada nomor urut pasangan
calon yang sama; (7) tanda coblos lebih dari satu pada foto
pasangan calon yang sama; (8) tanda coblos lebih dari satu
kali pada pasangan calon yang sama. Sedangkan suara yang
diberikan oleh pemilih akan dinyatakan tidak sah manakala
memenuhi tiga kreteria berikut (1) terdapat tanda coblos pada
dua pasangan calon (2) terdapat tanda coblos diluar kolom
pasangan calon (3) terdapat tanda coblos pada kolom
pasangan calon dan di luar kolom pasangan calon.2
Makna dari kriteria suara sah di atas adalah apabila
pemilih memberikan suara dengan cara-cara di luar ketentuan
tersebut, maka suarannya dinyatakan tidak sah. Misalnya,
pemilih memberikan tanda coblos pada lebih dari satu
pasangan calon, atau pemberian suara dengan cara
mencentang atau melingkari dengan menggunakan spidol.
2 KPU RI, Buku Panduan KPPS Untuk Pencoblosan dan Penghitungan Suara Pemilu Presiden 2014 di TPS, (Jakarta; Sekretariat KPU RI, 2014) hal. 43-45
4
Dampak dari “ketidaksahan suara pemilih”, tidak hanya
menjadikan kerja pemilih sia-sia secara politik, juga
merugikan Negara secara ekonomis. Secara ekonomi, negara
mengalami kerugian karena setiap pemilih mendapatkan
anggaran pembiayaan untuk menggunakan hak pilihnya.
Negara harus menyediakan surat suara, melakukan sosialisasi,
melakukan pemutahiran data pemilih, dan berbagai komponen
pembiayaan lainnya. Tentu saja harapan dari seluruh
pembiayaan diatas, agar masyarakat dapat terlayani dengan
baik dalam pemungutan suara.
Pada ranah praksis, harapan kebermaknaan pilihan
masyarakat melalui keabsahan penggunaan suara tidak selalu
sesuai dengan harapan penyelenggara Pemilu. Di Nusa
Tenggara Barat, persentase suara tidak sah dari pemilu ke
pemilu dengan beragam jenisnya mengalami fluktuasi.
Pertama, pada Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur NTB
tahun 2013 terdapat persentase jumlah suara tidak sah
mencapai 4,51% (Lap. Pilgub, KPU NTB). Kedua, Pemilu
anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2014
persentase jumlah suara tidak sah meningkat menjadi 8,55%
(Potret Pileg 2014, KPU NTB). Ketiga, pada Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden RI tahun 2014 persentase jumlah suara
tidak sah mengalami penurunan menjadi 0,98%. Hal ini
tergambar dalam table berikut.
5
Tabel 1: Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah Pada Pilpres 2014 di NTB
KAB/KOTA
PASLON NO 1 PASLON NO 2 SUARA SAH SUARA TIDAK SAH
Kota Mataram 143.741 71.648 215.388 1.455
Lombok Barat 264.566 79.129 343.695 3.435
Lombok Utara 83.399 35.846 119.185 1.667
Lombok Tengah 362.628 129.040 491.668 4.438
Lombok Timur 471.546 155.595 627.141 8.568
Sumbawa Barat 43.934 22.185 66.119 549
Sumbawa 160.055 85.539 245.594 1.651
Dompu 85.635 36.005 121.640 798
Kota Bima 168.840 67.336 236.176 1.622
Kab. Bima 59.894 18.916 78.810 398
Jumlah 1.844.178 701.238 2.545.416 24.581
Prosentase 72,45 % 27,55 % 99,04 % 0,96 %
Sumber : Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014
Begitu pentingnya makna partisipasi pemilih dan makna
suara mereka dalam konstruksi pemilu langsung, maka
Konstitusi Indonesia yakni pasal 6A UUD 1945 yang kemudian
dimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 42 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
ingin meletakkan pemilu presiden di Indonesia sebagai jalan
untuk membentuk pemerintahan langsung atas kehendak
rakyat. Secara teknis kepemiluan, tujuan pemilu presiden
langsung adalah untuk mendapatkan presiden dan wakil
presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat,
6
sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan
negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.3
Dari aspek legitimasi politik, prosentase suara tidak sah
memang tidak memberi pengaruh pada keabsahan hasil
pemilu. Hanya saja seyogyanya angka partisipasi pemilih
berbanding lurus dengan angka suara sah. Apabila angka suara
tidak sah masih tinggi, maka berdampak pada beberapa
spekulasi negatif seperti kerugian negara dalam membiayai
kepentingan pemilih, kerugian peserta pemilu karena suara
pemilihnya dinyatakan tidak sah, rendahnya kepercayaan
publik terhadap akuntabilitas dan kapabilitas KPU sebagai
penyelenggara Pemilu.
Meskipun suara tidak sah selalu muncul pada setiap
momentum pemilu dengan prosentase jumlah yang bervariasi,
khusus di Nusa Tenggara Barat, namun pola dan penyebab
terjadinya suara tidak sah secara pasti atau ilmiah belum
pernah diketahui oleh siapapun, termasuk oleh KPU sendiri
sebagai pihak penyelenggara. Pola dan penyebab suara tidak
sah seperti ruang gelap yang tersembunyi atau misterius, KPU
tidak memiliki cukup referensi akademik untuk mengatasinya
dari satu momentum pemilu ke momentum pemilu berikutnya.
3 Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Provinsi NTB Tahun 2014, diterbitkan oleh KPU Provinsi NTB, 2014: hal.1-2.
7
Dalam kerangka menemukenali pola dan penyebab
suara tidak sah, khususnya pada Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tahun 2014, tulisan ini mengajak para pembaca untuk
(1) Mengenali bagaimana pola suara tidak sah pada pemilu
presiden dan wakil presiden tahun 2014 di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, (2) Mengetahui faktor penyebab terjadinya
suara tidak sah pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun
2014 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, (3) Memformulasikan
strategi kebijakan yang tepat untuk mengatasi adanya suara
tidak sah pada pemilu presiden dan wakil presiden berikutnya.
Dengan harapan bahwa buku ini dapat (1) memberi masukan
bagi pembuat regulasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
untuk memformulasi kebijakan yang tepat, (2) memberi
pelajaran penting bagi petugas yang terlibat langsung dalam
pelaksanaan Pemilu dengan belajar dari kesalahan atau
kelemahan yang membuat adanya surat suara tidak sah, dan
(3) sebagai sumber belajar pemilih agar terhindar dari
kesalahan dalam memilih sehingga suara yang diberikan tidak
termasuk sebagai surat suara tidak sah
SISTIMATIKA PENULISAN
Bab 1 dimulai dengan mengelaborasi kegelisahan
akademik yang melatarbelakangi penulisan ini yaitu fakta
bahwa pemilihan umum (pemilu) diyakini sebagai metode atau
mekanisme politik paling elegan, santun dan demokratis dalam
mengisi jabatan politik pada tingkat manapun baik pemilu
8
legislatif, pemilu presiden maupun pilkada. Pengisian jabatan
politik pastinya melibatakan partisipasi warga negara.
Setidaknya ada dua aspek yang mesti diperhatikan dalam
konteks partisipasi warga negara dalam setiap Pemilu, yaitu;
aspek kuantitas dan aspek kualitas partisipasi.
Bab 2 dari tulisan ini mengurai teori-teori yang
dijadikan sebagai kerangka fikir (theoretical framework)
dalam rangka mempertemukan kondisi seharusnya (das sollen)
dengan fakta nyata (das sein) yang berkaitan dengan idealisasi
pelaksanaan pesta demokrasi prosedural diantaranya fungsi,
model dan sistem pemilihan pejabat publik.
Bab 3 mendeskripsikan tentang teori perilaku pemilih
dan mazhab-mazhab yang terkait, seperti mazhab sosiologis,
mazhab psikologis, dan mazhab ekonomi yang baik disadari
atau tidak dapat mempengaruhi perilaku memilih para
pemilih.
Bab 4 membicarakan tentang fungsi Partai Politik dalam
Pemilu yang demokratis dan fungsi serta tugas Penyelenggara
Pemilu dalam menyelenggarakan Pemilu baik Pileg, Pilpres
maupun Pilkada. Disamping itu bagian ini juga membahas
tentang titik temu dimana kedua lembaga ini saling bertautan
satu sama lain.
Bab 5 berkaitan dengan kriteria Suara sah dan tidak sah
dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2014 berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
9
yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan
PKPU Nomor 19 Tahun 2014.
Bab 6 mengelaborasi tahapan-tahapan pelaksanaan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di NTB yang
terdiri dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan
tahapan penyelesaian.
Bab 7 membahas tentang pola suara tidak sah pada
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang terdapat
diwilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan cara
membandingkan antara pola suara tidak sah dalam tabel
dengan pola suara tidah sah dalam gambar.
Bab 8 bertautan dengan faktor-faktor penyebab suara
tidak sah dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2014 di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara garis
besar, faktor-faktor tersebut dibagi kedalam 4 kategori, yaitu:
Faktor sistim penyelenggaraan Pemilu, faktor Penyelenggara,
faktor peserta (Partai politik pengusung) dan Tim sukses, dan
yang terakhir adalah faktor Pemilih.
Bab 9 fokus pada kompilasi pola dan faktor penyebab
suara tidak sah pada pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014 di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
sebagaimana terangkum secara jelas dalam tabel 12.
Bab 10 menawarkan beberapa bentuk rekomendasi dan
strategi kebijakan yang bersifat regulatif dan teknis untuk
perbaikan pelaksanaan Pemilu pada umumnya dan Pemilu
10
Presiden dan Wakil Presiden pada khususnya diwaktu-waktu
yang akan datang.
Bab 11 bersinggungan dengan beberapa kesimpulan
terhadap pola suara tidak sah pada Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tahun 2014 di Provinsi Nusa Tenggara Barat serta
sumbangsih pemikiran atau saran untuk perbaikan pelak-
sanaan Pemilu pada umumnya diwaktu mendatang.
11
istem pemerintahan Indonesia pasca kekuasaan Rezim
Orde Baru mengalami beberapa perubahan. Menurut
Kancung Marijan, sedikitnya pasca Soeharto Indonesia
mengalami beberapa perbedaan dalam pelembagaan politik.4
Lebih lanjut Marijan mengatakan sistem kepartaian yang
dianut tidak lagi satu setengah partai, melainkan sistem
multipartai. Tentu saja tidak hanya soal sistem kepartaian
yang mengalami perubahan. Semangat berdemokrasi yang
begitu tinggi juga menyebabkan pemerintahan di era
reformasi membuat beberapa perubahan sistem pemilu dan
kelembagaan parlemen.
Sistem pemilu legislatif yang semula proporsional
tertutup diganti dengan sistem proporsional terbuka, bahkan
penetapan calon terpilih menggunakan model suara
terbanyak. Disamping itu, guna membangun efektivitas
perwakilan, besaran distrik (daerah pemilihan) diperkecil.
Tentu saja perubahan sistem kepartaian dan sistem pemilu,
telah membuka ruang yang lebih besar kepada warga negara
4 Kancung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, diterbitkan oleh Kencana Prenada, 2011: hal.10.
S
Pemilu Presiden & Wakil Pesiden secara langsung 2
12
untuk terlibat lebih aktif di arena politik. Misalnya,
perubahan tersebut menyebabkan munculnya aktor-aktor baru
baik di tingkat nasional maupun lokal. Apabila di era Orde
Baru, didominasi oleh Golkar dan Militer, maka dengan
perubahan tersebut aktor politiknya menyebar ke kekuatan-
kekuatan politik lainnya.
Pada aspek kelembagaan parlemen tingkat nasional,
perubahan politik era reformasi terlihat pada mekanisme
pengisian anggota parlemen. Di masa Orde Baru, anggota
parlemen diisi oleh perwakilan partai politik di tambah utusan
golongan dan utusan daerah, yang mana utusan golongan dan
utusan daerah tidak diisi melalui mekanisme pemilu oleh
rakyat, melainkan ditunjuk. Maka pada era reformasi, seluruh
anggota parlemen diisi melalui mekanisme pemilu yang
mempertegas sistem dua kamar, yaitu kamar DPR dan kamar
DPD. Jumlah anggota DPD sebanyak empat orang untuk
masing-masing provinsi. Karena itu kemudian sistem pemilu
Indonesia sejak tahun 2004 dikenal dengan sistem proporsional
dan sistem distrik berwakil banyak. Khusus untuk sistem
distrik berwakil banyak diperuntukan bagi pemilihan anggota
DPD.
Perubahan lain yang cukup mendasar bagi perpolitikan
Indonesia adalah mekanisme pengisian presiden dan wakil
presiden. Pada masa Orde Baru diisi melalui mekanisme
pemilihan oleh parlemen, sedangkan pada era reformasi, sejak
tahun 2004 presiden dan wakil presiden secara berpasangan
13
diisi melalui mekanisme pemilihan umum langsung oleh
rakyat. Kedaulatan rakyat untuk menentukan presiden dan
wakil presiden mereka tidak lagi dititipkan pada kekuasaan
parlemen, namun murni menjadi kekuasaan rakyat sebagai
subjek langsung demokrasi.
Pertanyaan mendasarnya kemudian, bagaimana
menjelaskan pemilihan presiden dan wakil presiden langsung
secara teoritis ?. Tulisan ini melakukan penelusuran terhadap
beberapa literatur yang membahas tentang sistem
pemerintahan. Dalam buku yang ditulis oleh John T. Ishiyama
dan Marijke Breuting tahun 2013, ditemukan dua pembagian
jenis sistem pemerintahan, yakni sistem presidensial dan
sistem parlementer.5 Bagimana perbedaan keduanya?
Ishiyama dan Breuting memberi gambaran sebagai pembeda
kedua sistem tersebut. Pada sistem presidensial terlihat
bahwa sistem ini menghasilkan kebijakan yang lebih terbuka,
tetapi pengeluaran yang lebih besar karena pemerintah harus
membayar beberapa subsidi dan biaya pelayanan public
sebagai bentuk pelaksanaan janji kepada elektorat. Namun
demikian tentu saja sistem ini lebih baik diterapkan karena
merepresentasikan keseluruhan elektorat. Dan yang seringkali
menjadi catatan kritis, sistem ini dituduh cenderung
5 John T.Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21, diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group, 2013: hal.293.
14
melahirkan konflik, dan dalam beberapa kasus mengalami
kegagalan demokrasi.
Berbeda dengan sistem presidensial, pada sistem
parlementer cenderung menimbulkan apatisme elektorat
karena mereka tidak dilibatkan dalam proses pemilihan. Pada
model parlementer, presiden dan wakil presiden dipilih oleh
parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen. Maka
posisi politik rakyat pada sistem ini tidak terlihat. Meskipun
terlihat lebih efisien dari pembiayaan pemilu, namun sistem
parlementer cenderung menimbulkan konflik antar kekuasaan
pemerintahan, khususnya konflik antara eksekutif dengan
legislatif. Konsekuensi politik dari pertanggungjawaban
presiden kepada parlemen, maka pengeluaran negara banyak
untuk elit, karena loyalitas presiden kepada elit parlemen
atau elit partai.
Sistem pemerintahan juga mempunyai relasi dengan
sistem kepartaian. Ketika menyinggung relasionalitas
keduanya, Sigit Pamungkas menyebutkan sistem dua partai
ideal untuk semua sistem pemerintahan. Sedangkan sistem
multipartai hanya cocok untuk sistem pemerintahan
parlementer.6 Indonesia era reformasi menerapkan sistem
pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai.
Menurut Pamungkas, kombinasi dua sistem ini tidak sesuai,
karena berakibat pada rendahnya keberlanjutan demokrasi.
6 Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, diterbitkan oleh Institut for Democracy and Welfarism, Yogyakarta, 2011: hal.56
15
Dalam membahas tentang pembaharuan ketatanegaraan
Indonesia pasca Orde Baru, Soewoto Mulyosudarmo, sistem
pemerintahan yang menempatkan MPR dalam posisi puncak
kekuasaan yang diberikan oleh pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
ketika belum diamademen memiliki beberapa kelemahan.
Salah satu yang disebut Mulyosudarmo sebagai kelemahannya
adalah sistem kekuasaan tersebut potensial disalahgunakan.7
Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 1 Ayat (2)
sebelum diamademen, menyebutkan “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Setelah diamademen, pasal
tersebut menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD 1945”.
Menurut Mulyosudarmo, ketentuan pasal 1 Ayat (2) hasil
amademen sangat ideal untuk sistem politik demokratis.
Menurutnya, rumusan tersebut lebih mencerminkan keadaan
yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan tertinggi.
Ketentuan ini menampung tiga prinsip ketatanegaraan
sekaligus, yakni; kedaulatan hokum, kedaulatan rakyat, dan
kedaulatan parlemen. Rumusan kalimat dalam pasal tersebut
juga sekaligus dapat menjadi dasar pelaksanaan pemilihan
presiden dan wakil presiden melalui mekanisme rakyat
langsung. Sementara pemilihan presiden dan wakil presiden
7 Soewoto Mulyosudarmo, Prof.Dr, SH.,MH, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS, Malang, 2004: hal.7
16
secara langsung merupakan pelaksanaan ajaran kedaulatan
rakyat. Dengan demikian, dasar teoritis pelaksanaan pemilu
preesiden dan wakil presiden langsung adalah sebagai
pelaksanaan nilai-nilai sistem pemerintahan presidensial.
Sedangkan dasar yuridisnya adalah amanat UUD 1945. Maka
pemilu presiden dan wakil presiden tidak dapat dikembalikan
ke MPR, kecuali mengganti sistem pemerintahan presidesial
ke parlemen dan melakukan amademen terhadap UUD 1945
terlebih dahulu.
FUNGSI PEMILIHAN
Definisi dan fungsi pemilihan tidak selalu mudah
disajikan. Andrew Heywood menyebutkan ada dua pandangan
yang berbeda tentang fungsi pemilihan, yakni pandangan
konvensional dan pandangan radikal.8 Menurut pandangan
konvensional, pemilihan merupakan sebuah mekanisme
dimana para politisi dapat dipanggil untuk memperhitungkan
dan dipaksa untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang
mencerminkan opini publik. Pandangan ini menekankan 6
fungsi bottom-up dari pemilihan, yaitu; (1) Rekrutmen para
politisi. (2) Pembentukan pemerintahan. (3) Menyediakan
perwakilan. (4) Memengaruhi kebijakan. (5) Mendidik para
pemilih. (6) Membangun legitimasi.9 Adapun pandangan
radikal menggambarkan pemilihan sebagai sebuah sarana
8 Andrew Heywood, Politik Edisi Keempat, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2014: hal 357 9 Andrew Heywood, ibid. hal 362-364
17
dimana para pemerintahan dan para elit politik dapat
melakukan kontrol atas rakyat mereka, menjadikan mereka
(rakyat) lebih tenang, lebih lunak, dan tentu lebih mudah
diatur. Pandangan ini menekankan fungsi top-down dari
pemilihan, yakni; pembangunan legitimasi, pembentukan opini
publik, dan penguatan para elit. 10
Dengan lebih sistematis, Sigit Pamungkas menerangkan
paling kurang ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi
sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa.
Pertama, melalui pemilu pemerintah bisa meyakinkan atau
setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik
dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu pemerintah dapat
mempengaruhi perilaku rakyat. Ketiga, dalam dunia modern
para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesempatan dari
rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan
legitimasinya.11
METODE PEMILIHAN
Dilihat dari cara atau metode yang dipakai, pemilihan
pejabat politik, termasuk presiden dan wakil presiden, dapat
dibagi menjadi dua, yakni; (1) metode tak langsung, dengan
cara dipilih oleh perwakilan; (2) metode langsung, yakni
memberikan ruang dan kekuasaan rakyat untuk memilih
10 Andrew Heywood, ibid. hal 362 11 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, diterbitkan oleh Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM & Jurusan Ilmu Pemerintahan, 2009: hal.5-7
18
langsung. Menurut Joko J. Prihatmoko, perbedaan substansial
dari kedua metode pemilihan pejabat politik terletak pada
bagaimana kedaulatan rakyat diposisikan dalam kerangka
sistem.12
Pada metode tak langsung, kedaulatan diserahkan atau
dititipkan pada elit politik, misalnya dititipkan pada
Parlemen. Konsekuensinya, pertanggungjawaban bahkan
pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden juga bersifat tak
langsung. Oleh sebab itu, dalam metode ini, mekanisme
check and balances sepenuhnya mengandalkan pada elit
politik dan rakyat tidak terlibat secara langsung. Metode ini
memang berbiaya murah, namun tentu tidak memberi ruang
bagi rakyat melakukan kontrol terhadap pejabat politik,
termasuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Sedangkan dalam metode langsung, kedaulatan
sepenuhnya diserahkan dan digunakan oleh rakyat, sehingga
lebih menjamin keterwakilan dan preferensi, dan yang pasti
menimbulkan kesan lebih demokratis. Hasil pemilihan
merupakan konsekuensi dari keputusan rakyat sendiri,
termasuk jika dikemudian hari kebijakan yang dikeluarkan
oleh pejabat politik, termasuk Presiden dan Wakil Presiden
yang terpilih mencerminkan kebijakan buruk dan
mengecewakan. Oleh sebab itu, kualitas pemilih dalam
12 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2005: hal. 105
19
pemilihan langsung sangat dibutuhkan. Kualitas pemilih,
menyangkut dua hal; (1) mengandung rasionalitas dan kritisme
pilihan dalam menyeleksi calon yang ada; (2) mengandung
kemampuan atau keterampilan pemilih tentang cara
menggunakan hak pilih mereka agar suaranya sah sehingga
memiliki makna politik.
SISTEM PEMILIHAN
Sistem pemilihan didefinisikan sebagai cara meng-
konversi suara rakyat menjadi kursi dalam proses pemilihan.
Dalam berbagai literatur politik, terdapat beberapa sistem
yang sering digunakan dalam pelaksanaan pemilihan pejabat
politik, mulai dari Pemilihan Presiden hingga Pemilihan Kepala
Daerah. Secara ringkas Prihatmoko telah mengidentifikasi ada
5 sistem pemilihan yang diberlakukan disertai kelebihan dan
kekurangannya sebagaimana terangkum dalam table sebagai
berikut:13
13 Ibid, hal.116-121
20
Tabel 2: Lima Sistem Pemilihan Umum
No
Sistem
Pemilihan
Kelebihan Kelemahan
1 Fisrt Past the
Post System
Sederhana, mudah,
dan murah, karena
cukup dilakukan satu
putaran
Melemahkan
legitimasi sosiologis
calon terpilih,
karena bisa jadi
jumlah suara calon
terpilih lebih kecil
disbanding akumulasi
suara sah
2 Preferential
Voting System
atau Aprroval
Voting System
Lebih akurat dalam
mencerminkan
preferensi pemilih
Terlalu rumit untuk
dilaksanakan,
memerlukan
persiapan logistic
yang efektif, mema-
kan biaya besar,
perhitungan suara
tidak dapat dilaku-
kan di tiap-tiap TPS
3 Two Round
System atau
Run-off System
Calon terpilih memi-
liki legitimasi sosio-
logis cukup besar dan
memungkinkan
koalisi pada pemilih-
an putaran kedua
Membutuhkan
tenaga dan dana
besar. Jeda yang
terlalu lama antara
putaran pertama dan
kedua cenderung
menimbulkan konflik
horizontal antar
pendukung calon
21
4 Sistem
Electoral
College
Apabila jumlah pemi-
lih kurang dari mayo-
ritas, maka bobot
Dewan Pemilih akan
dapat mengoreksi
kurangnya legitimasi
akibat sedikitnya
jumlah pemilih
Memungkinkan
seorang calon untuk
menang, meskipun
hanya memenangkan
suara di beberapa
daerah pemilihan
yang padat
penduduk
5 Sistem
(Pemilihan
Presiden)
Nigeria
Membuka peluang
calon terpilih men-
dapat dukungan luas,
mengurangi jumlah
calon, tidak mendis-
kriminasikan daerah
pemilihan dengan
jumlah penduduk
sedikit
Sulit bagi calon
untuk memenuhi
criteria menjadi pe-
menang, sehingga
perlu dilaksanakan
pemilihan putaran
kedua.
Jika menggunakan rujukan konseputal tentang jenis-
jenis sistem pemilihan diatas untuk melihat pemilihan
Presiden tahun 2014 di Indoensia, maka tampaknya sistem
yang digunakan di Indonesia pada prinsipnya adalah Two
Round System, namun mengkombinasikan dengan sistem
pemilihan Nigeria yang memperhatikan keterwakilan wilayah.
Bedanya dengan sistem pemilihan Nigeria, di Indonesia
sebaran suara ke wilayah lebih tinggi yakni lebih dari 50%
jumlah provinsi.14
14 UU No. 42 Tahun 2008 Tenang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 159 disebutkan bahwa “pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 % dari sejumlah suara dengan sedikitnya 20 % suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
50 % Provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya tidak ada yang memenuhi persyaratan tersebut, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilu putaran kedua”.
23
TEORI PERILAKU PEMILIH
emberian suara dalam pemilu merupakan tindakan
sosial penuh makna. Karena itu, cara individu
menggunakan hak pilihnya ketika pemungutan suara
dikonstruksi oleh beragam faktor. Dalam usahanya menelisik
faktor-faktor suara tidak sah dalam pemilu presiden 2014,
tulisan ini menggunakan tiga mazhab, sebagaimana penjelasan
berikut;
MAZHAB SOSIOLOGIS
Seperti yang lazim diketahui, pendekatan perilaku yang
menumpukan perhatian pada karekteristik latar belakang
sosiologis seseorang mendapat perhatian dalam penelitian
ilmu politik. Banyak ilmuan politik menggunakan pendekatan
ini untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya seseorang
berperilaku ketika dihadapkan pada pilihan politik dalam
pemilu, termasuk bagaimana mereka memperlakukan surat
suara sebagai sarana pemberian suara. Dapat dikatakan bahwa
keadaan individu untuk memilih, apalagi dalam konteks
P
Teori dan Mazhab
3
24
Pemilu menjadi stimulus yang mendorong individu tersebut
untuk berperilaku, yaitu memilih alternatif yang ditawarkan.
Karya Asrinaldi berhasil mengungkap beberapa
penelitian terkait perilaku pemilih dalam pandangan
sosiologis. Salah satu hasil penelitian yang dibeberkan adalah
karya Lazarsfeld, Bareslon & Gaudit yang bertajuk The
People`s Choice : how the voter makes up his mind in a
presidential campaign (1944). Asrinaldi menyimpulkan hal
penting dalam karya ini adalah perilaku memilih seseorang
merefleksikan keanggotaan kelompok sosial yang dibentuk
oleh kekuatan sosioekonomi dan demografi.15 Asumsi ini
berangkat dari eksistensi individu sebagai mahluk sosial yang
berada dalam lingkungan sosial yang dinamis. Lingkungan
inilah yang sebenarnya mempengaruhi nilai dan keyakinan
politik individu yang selanjutnya menjadi bagian penting
dalam perkembangan sikap, perilaku dan tindakan politik
mereka.
Lebih lanjut penelitian yang dilakukan Lazarsfeld,
Bareslon & McPhee (1954) yang berjudul Voting a study of
opinion formation in a presidential campaign, menemukan
adanya kesamaan persepsi politik individu yang dibentuk
karena interaksi antara individu yang dipengaruhi oleh latar
belakang keluarga, teman dan sejawat dalam pekerjaan. Latar
belakang sosial yang demikian merupakan aspek penting dari
15 Asrinaldi, Politik Masyarakat Miskin Kota, diterbitkan oleh Gava Media Yogyakarta, 2012 : hlm. 25-29.
25
lingkungan sosial individu ketika mereka bersosialisasi. Inilah
yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan preferensi
politik individu untuk merespon gejala poltiik yang
dihadapinya.16
Para pengikut mazhab sosiologi menyebutkan bahwa
faktor sosiologis individu adalah faktor yang menentukan
pilihan akhir yang digabungkan kedalam indeks predisposisi
politik mereka. Para sarjana yang tergabung dalam mazhab ini
meyakini bahwa pendekatan sosiologi ini pada mulanya
berasal dari Eropa, yang dimulai pada tahun 1940 ketika
pemilihan Presiden Amerika Serikat dilakukan. Oleh sebab itu
pendekatan sosiologis ini disebut sebagai model sosiologi
politik Eropa. Istilah lain yang sering digunakan terhadap
pendekatan ini adalah social determination approach karena
terkait dengan karekteristik sosiologis seseorang seperti orang
tua, status sosial, agama, kelas, dan tempat tinggal.
Penelitian yang pernah dilakukan Gerald Pomper,
misalnya berusaha merinci pengaruh pengelompokan sosial
dalam studi perilaku memilih kedalam dua variabel, yaitu
variabel predisposisi sosial ekonomi keluarga pemilih dan
predisposisi sosial ekonomi pemilih (voter). Kajian tersebut
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
predisposisi sosial ekonomi keluarga tersebut dengan perilaku
memilih seseorang. Artinya, preferensi politik keluarga seperti
16 Ibid. Hlm.26
26
preferensi politik ayah atau ibu berpengaruh pada preferensi
politik anak dalam keluarga tersebut.17 Variabel-variabel
sosiologis lainnya yang membentuk preferensi politik individu
adalah agama. Di Indonesia misalnya penelitian yang dilakukan
oleh Afan Gafar menemukan negara, agama, dan asal-usul
budaya tertentu berpengaruh pada bentuk dukungan individu
pada partai politik tertentu. Preferensi politik masyarakat
Jawa dalam kajian Gafar dikelompokkan kedalam tiga kategori
latar belakang yakni abangan, priyayi, dan santri. 18
Pengelompokkan masyarakat politik yang digambarkan
Gafar diatas telah dijelaskan oleh studi Geertz terhadap
sebuah kota kecil di Jawa timur sekitar tahun 1950-an. Geertz
menemukan tiga pengelompokan atau varian agama jawa yang
ikut berpengaruh terhadap karekteristik sosial mereka, yakni;
abagan, santri, dan priyayi.19 Berikut dijelaskan karekteristik
dari ketiga varian tersebut.
Varian abagan, dicirikan oleh menguatnya tradisi
upacara-upacara slametan atau kenduren dan kepercayaan
terhadap mahluk halus. Pada masyarakat abangan upacara
slametan menjadi wadah bersama masyarakat, yang
mempertemukan berbagai aspek kehidupan social serta
17 Pomper,G. Voters Choice : varieties of American electoral behaviore, diterbitkan oleh New York : Dodd Mead Company, 1978 : hlm.195-205. 18 Afan Gafar, Javanese voters : a study of election under a hegemonic
party system. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. 19 Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Azwab Mahasin dan Bur Rasuanto, diterbitkan oleh Komunitas Bambu, 2014.
27
pengalaman individual sehingga memperkecil ketegangan dan
konflik diantara individu-individu dalam komunitas mereka.
Upacara slametan dilakukan untuk mersepons semua kejadian
yang ingin dipergantikan atau ditebus. Misalnya, slametan
perkawinan, kelahiran, kematian, pindah rumah, panen, ganti
nama, membuka pabrik, mimpi buruk, memohon kepada
arwah penjaga desa, khitanan, dan permulaan suatu rapat
politik.20
Untuk menjelaskan karekteristik santri, Geertz
membedakannya dengan varian abangan. Ada dua perbedaan
yang mencolok menurut hasil penelitian Geertz. Pertama,
kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin
tetapi terpesona oleh detail upacara. Sementara dikalangan
santri, perhatian terhadap doktrin hampir seluruhnya
mengalahkan aspek ritual islam yang sudah menipis. Kedua,
terletak pada organisasi sosial mereka. Untuk kalangan
abangan, unit sosial paling dasar tempat hampir semua
upacara berlangsung adalah rumah tangga. Sedangkan
kalangan santri, rasa sebagai satu komunitas (umat) adalah
yang terutama. Kalangan santri melihat islam sebagai
serangkaian lingkaran sosial yang konsentris.21
Apabila abangan diidentifikasi sebagai petani Jawa yang
tidak melek huruf, maka kata Geertz varian priyayi adalah
golongan ningrat. Priyayi umumnya selalu berada di kota-kota
20 ibid: hal 3 21 ibid: hal 179-181
28
yang jumlahnya terus bertambah seiring modernisasi. Namun
pada dasarnya, priyayi merupakan islam dari kalangan
bangsawan atau ningrat, birokrat dan pengusaha. Pandangan
mereka tentang islam lebih modern bahkan cenderung liberal.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mazhab
sosiologis melihat perilaku pemilih dikonstruksi oleh proses
politik yang diterima individu yang dimulai dari lingkungan
keluarga hingga lingkungan sosial. Proses sosialisasi tersebut
ditandai dengan terbentuknya latar belakang sosiologis dan
karekteristik afiliasi politik orang tua, agama, dan latar
belakang sosial budaya lainnya, seperti kelas, jenis kelamin,
dan usia.
Apabila kerangka pikir mazhab sosiologis diatas
dijelaskan melalui gambar, maka bentuk operasionalisasinya
akan tampak seperti pada gambar dibawah ini serta dapat
dibunyikan sebagai berikut:
“Perilaku individu dalam pemilu dikonstruk oleh faktor eksternal, yaitu keluarga dan lingkungan sosial. Pengaruh keluarga dan pengaruh lingkungan sosial menyebabkan individu datang ke TPS, meskipun tidak memiliki pilihan politik. Karena konstruksi dua faktor tersebut, kemudian individu memberikan suaranya dengan cara membuat surat suara menjadi tidak sah ”.
29
Bagan 1: Model Mazhab Sosiologis
MAZHAB PSIKOLOGIS
Pendekatan ini merupakan fenomena yang muncul dari
kalangan ilmuan Amerika Serikat melalui Survey Research
Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini
merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap pendekatan
sosiologis yang dianggap kurang dapat menjelaskan secara
metodologis kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam
diri individu, terutama yang terkait dengan preferensi
politiknya terhadap suatu partai. Karena itu pendekatan ini
juga dikenal dengan Mazhab Michigan yang saat ini oleh para
sarjana dijadikan referensi dalam mengkaji perilaku pemilih.
Lingkungan Keluarga:
Afiliasi politik orang
tua.
Afiliasi politik
suami/istri
Perilaku Pemilih
Lingkungan Sosial:
Agama
Stratifikasi sosial
Geopolitik
Jenis kelamin Usia
30
Mazhab psikologis mengandaikan hipotesis kerjanya
pada adanya variabel seperti identifikasi kepartaian, orientasi
terhadap kandidat, dan orientasi terhadap isu sebagai dasar
dalam menjelaskan perilaku memilih seseorang. Menurut
mashab ini pilihan individu terhadap peserta pemilu tertentu
melalui proses psikologis panjang, namun putusan akhir
individu sangat bergantung kepada penilaiannya terhadap
perkembangan politik kontemporer (faktor jangka pendek).
Proses psikologis yang panjang yang berlangsung pada diri
individu inilah yang melahirkan istilah identifikasi.22
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah identifikasi
terhadap kandidat terjadi secara spontan dalam diri individu?
Mazhab psikologis menjawab tidak. Identifikasi peserta pemilu
tidak hadir dengan sendirinya dalam diri individu, namun
berproses sejak perkembangan individu pada masa remaja
yang cenderung mengikuti preferensi poltiik orang tua
mereka. Jika orang tua mereka mengidentikkan diri mereka
pada satu peserta pemilu tertentu, maka anak-anak mereka
(cenderung) juga mengidentikkan diri mereka dengan peserta
pemilu tersebut. Dari satu segi, identifikasi peserta pemilu ini
hanya upaya individu mendekatkan dirinya kepada satu
peserta pemilu tertentu secara psikologis dalam waktu
tertentu dan belum tentu memilih peserta pemilu tersebut
pada waktu yang lain pada saat pemilu.
22 Dr. Asrinaldi, Op Cit , hlm.30
31
Lebih jauh, pendekatan piskologis juga
mengindentifikasi perilaku memilih individu dari proses
sosialisasi yang mereka dapatkan dari lingkungan
persekitarannya. Misalnya, sosialisasi politik yang diterima
seseorang pada masa kecil, baik lingkungan keluarga maupun
perkawanan mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya
pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.
Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang adalah
refleksi dari kepribadiannya dan menjadi variable yang
menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik individu
tersebut. Karena itu pendekatan psikologis mengaitkan dengan
tiga aspek utama yaitu; ikatan emosional pada suatu partai
politik, orientasi terhadap isu yang berkembang, dan orientasi
terhadap kandidat. Ketiga aspek ini digambarkan dalam model
seperti terdapar dalam bagan 2.
Gambar dibawah menerangkan bahwa perilaku pemilih
(voting) dikonstruk secara bersama-sama atau sendiri-sendiri
oleh ikatan emosional terhadap partai, orientasi terhadap isu,
dan orientasi terhadap kandidat. Seseorang yang orang tuanya
(ayah atau ibu) berasal dari partai A, cenderung akan memilih
partai A atau kandidat yang diusung oleh partai A dibanding
dengan partai B. Namun demikian, pilihan seseorang dapat
juga dikonstruk oleh ketertarikannya terhadap isu yang
diusung oleh partai. Konstruksi lain yang mempengaruhi
pilihan seseorang adalah ketertarikannya terhadap kandidat.
Bisa saja dalam suatu pemilu seseorang tidak tertarik pada
32
suatu partai politik dan isu yang diusung partai politik
bersangkutan, tetapi dia tertarik pada seorang kandidat atau
faktor figuritas.
Bagan 2:
Model Pendekatan Mazhab Psikologis
MAZHAB EKONOMI
Kehadiran mazhab ekonomi dalam menjelaskan perilaku
memilih menjadi alternatif untuk mengetahui seberapa jauh
individu mampu bertindak rasional dalam pilihannya. Mazhab
ekonomi berangkat dari asumsi dasarnya, bahwa manusia
cenderung bertindak rasional, yaitu memaksimalkan
keuntungan yang diperoleh dari tindakannya dan
Ikatan emosional terhadap partai
Perilaku voting
Orientasi terhadap kandidat
Orientasi terhadap isu
33
meminimalkan efek negatif dari tindakan yang dilakukan
tersebut. Individu berusaha memanfaatkan potensi yang
dimilikinya agar pilihan yang dibuat menghasilkan keuntungan
kepada mereka.
Asumsi dasar mazhab ekonomi bertolak dari pandangan
ekonomi klasik bahwa manusia merupakan mahluk yang
rasional dan bertindak berdasarkan pada pertimbangan
untung-rugi (ekonomi). Asumsi ini dikembangkan dalam
dimensi politik, terutama dalam melihat perilaku memilih
individu dalam pemilu. Menurut mazhab ekonomi ini, tindakan
individu memberikan suaranya dalam pemilu tidak berhenti
pada hari pemungutan suara itu saja, namun ia juga membawa
konsekuensi yang panjang baik kepada diri individu hari itu
(saat pemungutan suara) dan juga masa depannya. Oleh
karenanya, pilihan yang dibuat tersebut haruslah membawa
keuntungan paling tidak bagi diri mereka sebagai pemilih.
Artinya, individu sebagai pemilih berusaha membuat kalkulasi
keuntungan secara ekonomis dan matematis dari tindakannya
ketika memberikan suara dalam pemilu.
Tindakan yang dianggap menguntungkan individu
didasarkan kepada kepentingan yang ingin diwujudkan individu
bersangkutan. Misalnya, seorang pemilih dalam pemilu
bertindak rasional bagi dirinya, jika ia mendapatkan
keuntungan yang maksimal dari pilihan yang dibuatnya,
apakah itu dalam konteks keuntungan jangka panjang atau
34
jangka pendek. Dengan demikian model pendekatan mazhab
ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 3:
Model pendekatan mazhab ekonomi
Rasionalitas individu Tindakan politik Perilaku pemilih
Kepentingan pribadi
Meminimumkan ketidakpastian
Memaksimumkan keuntungan rasional
35
FUNGSI PARTAI POLITIK DALAM SISTEM DEMOKRASI
ari sisi histori, partai politik berkembang bersamaan
dengan proses-proses parlementer dan proses-proses
pemilihan. Demikian dikatakan oleh Maurice
Duverger.23 Dengan demikian sepanjang ada pemilihan dalam
suatu negara sebagai mekanisme pelaksanaan demokrasi,
eksistensi peran dan fungsi partai politik diperlukan. Karena
itu, partai politik diletakkan pada posisi sebagai salah satu
pilar demokrasi.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik
memiliki sejumlah fungsi. Dalam menelusuri fungsi tersebut,
Damsar menemukan delapan (8) fungsi partai politik24.
Penjelasannya dapat dilihat di bawah ini.
1. Sebagai wahana representasi politik
Partai politik dibangun atau didirikan sebagai usaha untuk
merepresentasikan kepentingan politik baik pada lembaga
23 Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, diterjemahkan oleh Laila Hsyim, diterbitkan oleh PT.Bina Aksara, 1984 : 3 24 Damsar, Prof.Dr., Pengantar Sosiologi Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Group, 2013: hal. 246-255
D
Fungsi Partai Politik dan Penyelenggara Pemilu
4
36
legislative maupun lembaga kekuasaan eksekutif, seperti
presiden, gubernur, bupati dan walikota. Kepentingan
politik tentu beragam berdasarkan berbagai dimensi,
seperti agama, profesi, stratifikasi social, ideology dan
sebagainya.
2. Sebagai sarana komunikasi politik
Komunikasi politik merupakan proses pengalihan pesan,
yang mengandung maksud atau arti, dari pengirim kepada
penerima yang melibatkan proses pemaknaan terhadap
kekuasaan, wewenang, kehidupan public, pemerintahan,
negara, konflik dan resolusi konflik, kebijakan,
pengambilan keputusan, dan pembagian atau alokasi.
Dalam sistem demokrasi, actor penting komunikasi politik
adalah partai politik, yakni melalui anggota partai yang
berada di lembaga legislative atau eksekutif.
Fungsi komunikasi politik seharusnya dilakukan
berkelanjutan dan holistik. Yang dimaksud dengan holistik
adalah politik yang dikomunikasikan tidak sepotong-
sepotong, parsial, atau sektoral. Partai politik idealnya
mengkomunikasikan politik sepanjang masa. Ketika partai
politik tidak melakukan komunikasi politik, maka terjadi
suatu keadaan hampa (vacuum) informasi publik.
3. Sebagai sarana sosialisasi politik
Sosialisasi politik merupakan transmisi pengetahuan,
sikap, nilai, norma, perilaku esensial dalam kaitannya
dengan politik, agar mampu berpartisipasi efektif dalam
37
kehidupan politik. Di kebanyakan negara-negara Eropa,
fungsi sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik
berjalan baik. Hal ini belum terjadi di Indonesia, terlebih
lagi di daerah. Kebanyakan partai politik hanya melakukan
sosialisasi politik menjelang pemilu, setelah itu,
masyarakat dibiarkan memahami politik sendiri.
Kendala sosialisasi politik adalah biaya tinggi, karena
untuk melaksanakan pengumpulan massa, menarik massa
untuk berkumpul, dan membujuk massa untuk betah
menerima nilai dan pandangan partai, harus mengeluarkan
uang yang tidak sedikit.
4. Sebagai sarana partisipasi politik
Partisipasi politik adalah, turut ambil bagian atau
berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan kekuasaan, kewenangan, kehidupan politik,
pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik,
kebijakan, pengambilan keputusan, dan pembagian atau
alokasi. Salah satu kegiatan yang berhubungan dengan
kekuasaan adalah pemilu. karena itu, partisipasi
masyarakat dalam pemilu disebut sebagai partisipasi
politik.
Partai politik merupakan sarana partisipasi politik, karena
itu partai politik seyogianya menciptakan suatu
mekanisme dimana kebijakan dan pengambilan keputusan
para anggota legislative dan partainya mengikutsertakan
aspirasi, keinginan, dan harapan para konstituen,
38
simpatisan, dan kader partai mereka. Dengan kata lain,
semua kebijakan dan pengambilan keputusan partai
berbasis aspirasi dan suara rakyat, sehingga kedaulatan
rakyat masih berada di tangan rakyat.
5. Sebagai sarana rekrutmen politik
Perekrutan politik merupakan suatu proses melakukan
pemilahan, pengangkatan, dan penetapan sehingga
seseorang atau kelompok orang dapat menduduki jabatan
politik dan pemerintahan. Semua partai politik
melaksanakan proses perekrutmenan politik, karena
tujuan akhir dari didirikannya partai poltiik adalah untuk
mendapat kekuasaan.
Di Eropa dan Amerika Utara, proses perekrutan politik
telah terpola. Seseorang yang telah lama menjadi anggota
partai politik, maka jenjang karirnya dalam dunia politik
Nampak jelas. Berbeda dengan di Indonesia, proses
rekrutmen politik oleh partai kebanyakan dilakukan hanya
menjelang pemilu. Dan tidak ada jaminan karir politik
bagi anggota, sebab kemungkinan masuknya orang luar
sangat terbuka. Akibatnya, setelah direkrut dalam jabatan
tertentu di politik, tidak ada jaminan loyalitas terhadap
partai yang merekrut. Seseorang bisa dengan sangat
mudah pindah dari satu partai ke partai yang lainnya.
Kondisi ini memberi kesan, bahwa politik di Indonesia
penuh transaksional, dan politik tanpa roh.
39
6. Sebagai sarana persuasi dan represi politik
Persuasi politik adalah suatu proses mempengaruhi orang
lain sehingga melakukan, melaksanakan atau mengubah
sesuatu seperti yang diharapkan oleh pemberi pesan atau
sumber. Melakukan, melaksanakan, atau mengubah
sesuatu berkaitan dengan aspek kognisi, afeksi, dan sikap
serta perilaku. Fungsi persuasi politik dari partai politik
dilakukan secara intens ketika musim pemilu tiba. Partai
politik melakukan kampanye pemilu bertujuan agar
penerima pesan (konstituen, simpatisan, atau anggota)
melakukan, melaksanakan, atau mengubah sesuatu sesuai
dengan keinginan atau kehendak partai politik.
Represi politik merupakan suatu proses tekanan terhadap
orang lain sehingga melakukan, melaksanakan, atau
mengubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh pelaku
pembuat tekanan (partai politik). Seperti juga persuasi,
dalam represi politik, partai politik melakukan,
melaksanakan, atau mengubah sesuatu berkaitan dengan
kognisi, efektif, sikap, dan perilaku. Bedanya persuasi
politik bisa berdimensi positif, sedangkan represi politik
berdimensi negative. Politik uang (money politics),
misalnya dapat dikategorikan sebagai persuasi politik yang
negative. Represi politik dapat dilakukan dengan cara
pengerahan massa, demonstrasi, ancaman, bahkan dengan
menggunakan paksaan atau kekerasan.
40
7. Sebagai sarana mobilisasi politik
Mobilisasi politik merupakan proses pengerahan massa
dalam proses-proses politik. Mobilisasi politik dilakukan
untuk menghadiri kegiatan transmisi pengetahuan, sikap,
nilai, dan norma politik dari suatu partai. Mobilisasi politik
semacam ini dapat dikategorikan sebagai komunikasi
politik atau sosialisasi politik. Sedangkan apabila
mobilisasi politik dilakukan dalam rangka melakukan
pemilihan, maka dapat dikategorikan sebagai rekrutmen
politik. Kesemua proses tersebut merupakan fungsi partai
politik.
8. Sebagai sarana mobilitas sosial
Mobilisasi sosial merupakan suatu proses gerakan naik
turun individu atau kelompok dalam suatu perjenjangan
sosial (hierarkhi sosial). Keikutsertaan dalam partai dapat
menyebabkan terjadinya mobilisasi social, misalnya
dengan menjadi anggota partai politik seseorang yang
sebelumnya tidak memiliki pekerjaan menjadi anggota
legislatif.
Senada dengan Damsar, Elly M.Setiadi dan Usman Kolip
juga merinci fungsi partai politik menjadi Sembilan, yakni: (1)
pelaksana pendidikan politik; (2) partisipasi politik; (3)
rekrutmen politik; (4) pemandu kepentingan; (5) mencari dan
mempertahankan kekuasaan; (6) komunikasi politik; (7)
41
pengendali konflik; (8) pembuat keputusan; (9) kontrol
politik.25
Sementara itu, guru besar ilmu politik Universitas
Indonesia, Miriam Budiardjo mengemukakan, di negara-negara
demokrasi, fungsi partai politik mencakup: sarana komunikasi
politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan
sarana pengatur konflik (conflict management).26 Oleh karena
fungsi-fungsi yang lain telah dijelaskan di atas, berikut ini
hanya akan menjelaskan fungsi partai politik sebagai pengatur
konflik.
Budiardjo menekankan bahwa potensi konflik ada pada
setiap masyarakat, terlebih masyarakat majemuk. Pada
dasarnya setiap perbedaan menyimpan potensi konflik. Pada
negara-negara dengan demokrasi maju, perbedaan dianggap
hal yang wajar dan mendapat tempat. Tetapi kata Budiardjo,
di negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih
besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Dalam konteks diatas, maka peran partai politik
diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-
kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat
negatifnya dapat ditekan sedemikian rupa. Elit partai dapat
menumbuhkan pengertian diantara mereka dan bersamaan
dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Perbedaan dan
25 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, diterbitkan oleh Kencana Prenadamedia Group, 2013: hal.282-287 26 Miriam Budiardjo, ibid : hal.405-409.
42
perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh
kerjasama di antara elit-elit politik. Dalam konteks
kepartaian, para pemimpin partai adalah elit politik.
Dengan peran elitnya, partai politik dapat menjadi
penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara
dengan pemerintahnya. Partai politik juga melakukan
konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam dan
berkembang diberbagai kelompok masyarakat. Dengan
perannya tersebut partai politik dapat memberikan resolusi
konflik atas berbagai kepentingan kelompok.
Fungsi-fungsi partai politik juga diungkapkan oleh Abdul
Mukthie Fadjar. Menurut Fadjar, dalam kepustakaan ilmu-ilmu
politik dapat ditemukan beberapa fungsi partai politik,
sebagai berikut:
a. Dalam proses pendidikan politik
b. Sebagai sumber rekrutmen para pemimpin bangsa guna
mengisi berbagai macam posisi dalam kehidupan bernegara
c. Sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan
masyarakat
d. Sebagai penghubung antara penguasa dan rakyat.27
Dari semua pendapat para ahli diatas, dapat ditemukan
setidaknya ada empat belas fungsi partai politik, yakni;
1) Wahana representasi politik
2) Sarana komunikasi politik
27 Abdul Mukthie Fadjar, Prof.,SH,MH., Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, diterbitkan oleh Setara Press, Malang, 2012: 18
43
3) Sarana sosialisasi politik
4) Sarana partisipasi politik
5) Sarana rekrutmen politik
6) Sarana persuasi dan represi politik
7) Sarana mobilisasi politik
8) Sarana mobilitas sosial
9) Pelaksana pendidikan politik
10) Pemandu kepentingan
11) Mencari dan mempertahankan kekuasaan
12) Pembuat keputusan
13) Kontrol politik
14) Sarana pengatur konflik
TUGAS DAN FUNGSI PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA
Dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia
menurut analisis Amiruddin28 dengan diaturnya komisi
pemilihan umum dalam pasal 22E UUD 1945, secara
konstitusional KPU sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia
mendapat kedudukan dan jaminan yang penting, sehingga KPU
menjadi organ penting secara konstitusional (constiutional
importance organs). Lebih lanjut Amirudin mengatakan dalam
menyelenggarakan pemilu, KPU melaporkan hasilnya kepada
Presiden dan DPR RI. Karena itu KPU merupakan lembaga yang
28Ibramsyah Amirudin, Kedudukan KPU Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amademen UUD 1945, Laksbang Mediatama, 2008. hlm. 57-58
44
memiliki kategori kekuasaan menjalankan undang-undang
(kekuasaan eksekutif) bukan kekuasaan legislatif, dan bukan
pula kekuasaan yudikatif29.
Dari pemaparan tersebut bisa dikatakan, tugas KPU
merupakan tugas penunjang dari pelaksanaan tugas eksekutif
(Presiden). Dengan demikian lanjut Amirudin, KPU bukan
organ pemegang langsung kekuasaan eksekutif secara
konstitusional, melainkan organ penunjang kekuasaan
eksekutif (auxiliary organs), karena penyelenggaraan pemilu
sesungguhnya merupakan kewajiban pemerintah, namun
karena pemerintah belum dianggap mampu menyelenggarakan
pemilu secara independen, maka diperlukan suatu komisi
indevenden negara yang secara khusus tugas dan
kewenangannya adalah menyelenggarakan pemilu. Lembaga
tersebut kemudian dinamakan KPU.
Meskipun KPU merupakan auxiliary organs, namun KPU
tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP). Oleh undang-
undang, KPU diberi kewenangan langsung membuat peraturan
teknis. Otoritas politik yang dimiliki KPU dipertegas oleh
ketentuan pasal 119 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.
Pasal tersebut mendeskripsikan sebagai berikut. Pertama,
untuk penyelenggaraan pemilu, KPU membentuk peraturan
KPU dan keputusan KPU. Kedua, peraturan KPU merupakan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Ketiga, untuk
29Ibid.
45
menyelenggarakan pemilu, KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota membentuk keputusan dengan mengacu
kepada pedoman yang ditetapkan oleh KPU. Keempat,
peraturan KPU ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR
dan Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, memang
tidak terdapat penjelasan mengenai maksud atau definisi dari
ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga tentu saja menjadi
tidak mudah mendapatkan tafsir secara tunggal. Menurut
pandangan Agus, paling tidak terdapat dua tafsir yang
kemungkinan berkembang dari ketentuan tersebut.30
Tafsir pertama, tentang kududukan KPU. KPU bukan
lembaga negara yang memiliki kewenangan politik untuk
membuat undang-undang seperti DPR dan pemerintah, ia
merupakan lembaga yang memiliki kewenangan administrasi
(kewenangan pelaksanaan kebijakan). Instrumen untuk
melaksanakan kebijakan adalah KPU harus membuat peraturan
teknis berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan.
Namun dalam kewenangan administrasinya, KPU nyaris
kehilangan independensi ketika peraturan teknis pelaksanaan
yang dibuat harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR
dan pemerintah. Oleh karena itu seharusnya item yang harus
dikonsultasikan oleh KPU adalah persoalan yang tidak diatur
30 Agus, Aktor Penyelenggara Pemilu, diterbitkan oleh Pusat Kajian Inovasi Pemerintahan dan Kerjasa Antar Daerah, Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya, dicetak oleh CV. Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2013 : hal. 40-41
46
secara jelas dalam undang-undang, dan DPR maupun
pemerintah sebaiknya tetap menjaga independensi KPU
dengan tidak memasukkan kepentingan-kepentingan politik
praktis mereka dalam pasal-pasal Peraturan KPU.
Tafsir kedua, hirarkhis KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
sampai dengan rezim Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011,
hirarki KPU dalam pelaksanaan pemilu mulai terlihat dengan
jelas. Karena itu dalam penyelenggaraan pemilu, seluruh
kewenangan regulasi ada di KPU RI. adapun KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota merupakan pelaksana teknis dari
kebijakan KPU RI.
Lebih lanjut pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011, menyebutkan 12 poin penting yang menjadi tugas
dan kewenangan KPU Provinsi sebagai berikut:
(1) Menjabarkan program dan melaksanakan anggaran serta
menetapkan jadwal pemilu di provinsi.
(2) Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilu di
provinsi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan
tahapan penyelenggaraan pemilu oleh KPU kabupaten/
kota
(4) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data
kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh
pemerintah dengan memperhatikan data pemilu dan/atau
47
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan
menetapkannya sebagai daftar pemilih.
(5) Menerima daftar pemilih dari KPU kabupaten/kota dan
menyampaikan kepada KPU.
(6) Melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu
presiden dan wakil presiden di provinsi yang bersangkutan
dan mengumumkannya berdasarkan hasil rekapitulasi
penghitungan suara di KPU kabupaten/kota dengan
membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat
penghitungan suara
(7) Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat
sertifikat hasil penghitungan suara serta wajib
menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu, Bawaslu
provinsi, dan KPU.
(8) Menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu
provinsi atas temuan dan laporan adanya dugaan
pelanggaran pemilu.
(9) Mengenakkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan
sementara anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris KPU
provinsi, dan pegawai sekretariat KPU provinsi yang
terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu berdasar-
kan rekomendasi Bawaslu provinsi dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan
48
(10) Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan pemilu
dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang
KPU provinsi kepada masyarakat.
(11) Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu.
(12) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan
oleh KPU dan/atau peraturan perundang-undangan31
SOSIALISASI DAN KOMUNIKASI POLITIK
Setelah memperhatikan fungsi partai politik, kemudian
tugas dan fungsi penyelenggara pemilu, nampak dengan jelas
bahwa pendidikan politik merupakan fungsi partai politik,
sedangkan sosialisasi politik merupakan fungsi partai politik
maupun penyelenggara pemilu. Namun demikian, dalam
konteks peningkatan kapasitas pemilih, penyelenggara pemilu
juga melakukan tiga fungsi sekaligus, yakni: sosialisasi politik,
pendidikan politik, dan komunikasi politik. Pelaksanaan fungsi-
fungsi ini di KPU diwadahi melalui Divisi Sosialisasi, Pendidikan
Pemilih, dan Kehumasan.
Sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang
kontinyu dan melibatkan baik belajar secara emosional
(emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang
manifest (nyata) dan dimediasi (sarana komunikasi) oleh
segala partisipasi dan pengalaman si individu yang
31 Lihat ,UU Nomor 15 tahun 2011 Pasal 9 ayat 2
49
menjalaninya. Rumusan definisi ini dapat ditemukan dalam
Setiadi dan Kolip.32 Rumusan diatas menunjukkan bagaimana
peran sosialisasi dan komunikasi politik di tengah warga suatu
masyarakat. Tidak salah kemudian jika dikemukakan bahwa
segala aktivitas sosialisasi dan komunikasi politik harus
diberikan kepada warga negara sepanjang hidup mereka.
Sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam
suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik. Hasil
akhir proses ini adalah mencakup pengetahuan tentang nilai-
nilai yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan
tentang tuntutan dan claim terhadap sistem dan output
otoritatifnya.
Pada sisi yang lain, Setiadi dan Kolip menerangkan
bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifest) dan bisa
pula tidak nyata (laten). Sosialisasi politik manifest
berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau
perasaan terhadap peran, input, dan output sistem politik.
Sedangkan sosialisasi politik laten berbentuk transmisi
informasi, nilai-nilai, atau perasaan terhadap peran, input,
dan output mengenai sistem sosial yang lain, seperti keluarga
yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input, dan output
sistem politik yang analog.
Dalam suatu bangsa yang majemuk, seperti halnya
Indonesia, informasi yang diterima oleh aneka unsur
32 Setiadi & Kolip, ibid : hal.185
50
masyarakat bisa berlainan karena faktor geografis baik yang di
kota maupun di desa. Pada sebagian besar daerah-daerah di
Indonesia, misalnya pengaruh media masa (radio, surat kabar,
dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu,
pengaruh struktur-struktur social tradisional dalam
menerjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut
amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat
perbedaan orientasi dan sikap (attitude) di antara kelompok-
kelompok masyarakat.
51
etentuan dalam pasal 135 Udang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, menyebutkan bahwa surat suara
untuk pemilu presiden dan wakil presiden dinyatakan sah
apabila: (a) surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS, (b)
pemberian tanda satu kali pada nomor urut, atau foto
pasangan calon, atau nama salah satu pasangan calon.
Ketentuan ini dijelaskan secara teknis oleh Peraturan KPU RI
No. 19 Tahun 2014 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara di TPS Dalam Pemilu Presiden RI Tahun 2014. Peraturan
tersebut oleh KPU diturunkan menjadi pedoman pemungutan
suara yang menjadi panduan KPPS dalam pelaksanaan
pemungutan suara. Berdasarkan pasal 46 ayat (2) PKPU RI No.
19 Tahun 2014 bahwa Suara pemilih dinyatakan salah dalam
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2014 apabila:
(1) tanda coblos pada kolom 1 (satu) calon yang memuat
nomor urut atau nama calon atau poto pasangan calon
dinyatakan sah 1 suara untuk pasangan calon yang
K
Suara Sah dan Suara Tidak Sah dalam Pilpres Tahun 2014 5
52
bersangkutan; (2) tanda coblos lebih dari satu kali pada kolom
1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon dan poto
pasangan calon, dinyatakan sah satu suara untuk pasangan
calon yang bersangkutan; (3) tanda coblos tepat pada garis
kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon
dan poto pasangan calon dinyatakan sah satu suara untuk
pasangan calon yang bersangkutan.
Sayangnya PKPU RI No. 19 Tahun 2014 tidak
menjelaskan secara rinci kreteria suara tidak sah dalam
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2014,
melainkan menjadi kewenangan sepenuhnya bagi KPPS untuk
menyatakan sah dan tidak sahnya surat suara pemilih hanya
dengan mengacu pada pasal 46 yang mengatur tentang
kreteria suara sah. Kewenangan ketua KPPS ini ditegaskan
dalam pasal 46 ayat (3) PKPU RI No. 19 Tahun 2014 yang
menyatakan: (a) Ketua KPPS bertugas meneliti dan
menentukan sah dan tidak sah hasil pencoblosan pada surat
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2); (b) Ketua KPPS
bertugas mengumumkan hasil pencoblosan pada surat suara
dan perolehan suara pasangan calon dengan suara yang jelas
dan terdengar, serta memperlihatkan surat suara yang
dicoblos dihadapan saksi, PPL dan Masyarakat/pemilih yang
hadir.
Dalam buku panduan untuk KPPS secara rinci juga
dijelaskan terkait dengan kriteria sah dan tidaknya surat
suara. Tanda coblos pada surat suara dinyatakan sah apabila
53
terdapat pada nomor urut pasangan calon; dan/atau pada foto
pasangan calon; dan/atau pada nama pasangan calon serta
dibarengi dengan surat suara dalam keadaan;
a) Telah ditandatangani oleh ketua KPPS
b) Dalam keadaaan baik (tidak rusak)
c) Tidak terdapat tanda/coretan
d) Dicoblos menggunakan alat yang disediakan di TPS
e) Tanda coblos tidak dengan rokok/api
f) Tanda coblos tidak dengan cara merobek33
Dalam buku pedoman pemungutan suara yang dibuat
KPU, ditemukan ada 8 (delapan) contoh tanda coblos pada
surat suara yang dinyatakan sah, yaitu:
a) Tanda coblos pada nomor urut pasangan calon
b) Tanda coblos pada foto pasangan calon
c) Tanda coblos pada nama pasangan calon
d) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan yang sama
e) Tanda coblos pada garis kotak pasangan calon
f) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada nomor urut
pasangan calon
g) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada foto pasangan
calon
h) Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada nama pasangan
calon34
33KPU RI, Buku Panduan KPPS Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, Jakarta; Sekretariat KPU, 2014, hal. 49
54
Sedangkan tanda coblos pada surat suara yang
dinyatakan tidak sah terdapat 3 (tiga) contoh, yaitu:
a) Tanda coblos pada dua pasangan calon
b) Tanda coblos di luar kolom pasangan calon
c) Terdapat tanda coblos pada kolom pasangan calon dan di
luar kolom pasangan calon.35
Dalam buku pedoman pemungutan suara terdapat
contoh-contoh surat suara sah dan surat suara tidak sah,
sebagai berikut:
Gambar 1: Contoh Surat Suara Tidak Sah Pada Pilpres 2014
Tanda Coblos pada dua
pasangan calon
Tanda coblos pada
kolom luas pasangan
calon
Tanda coblos pada satu
pasnagan calon dan di luar
kolom pasangan calon
Gambar 2:
34Ibid, hal 52 35Ibid, hal 53
56
Penjelasan lebih lanjut tentang kriteria surat suara sah
dan surat suara tidak sah juga terdapat dalam Buku Pedoman
Pemungutan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2014, yang antara lain dapat dikutip dalam bentuk tabel
sebagai berikut:
Tabel 3:
Kriteria Surat Suara Sah dan Surat Suara Tidak Sah Menurut PKPU No.19 Tahun 2014
No Kriteria Surat Suara Sah
Kriteria Surat Suara
Tidak Sah
1. Surat suara ditandatangani
oleh Ketua KPPS
Tanda coblos dengan
rokok atau korek api
2. Surat suara dalam keadaan
baik atau tidak rusak
Tanda coblos dengan cara
merobek
3. Surat suara dicoblos
menggunakan alat coblos
yang disediakan
Merusak surat suara
4. Tanda coblos terdapat pada:
Nomor urut pasangan calon, atau:
a. Foto pasangan calon, atau
b. Nama pasangan calon
Mencoret surat suara
Sumber: Buku Pedoman Pemungutan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
57
emilu presiden dan wakil presiden tahun 2014,
merupakan pemilu ketiga, yang pelaksanaannya
secara langsung oleh rakyat, serta penyelenggara
pemilunya Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
pasal 22E UUD 1945.
Pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden secara
langsung oleh rakyat lahir dari pasal 6A UUD 1945. Ketentuan
pasal ini menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden di
pilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon presiden
dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Semangat yang terkandung dalam ketentuan konstitusi
di atas adalah untuk membentuk pemerintahan langsung atas
kehendak rakyat. Dari aspek manajemen pemilu, sedikitnya
ada dua tujuan pelaksanaan pemilu presiden dan wakil
presiden secara langsung oleh rakyat.
P
Pilpres Tahun 2014 di NTB
6
58
Pertama, untuk mendapatkan pemerintahan yang
memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu
menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam
rangka tercapainya tujuan nasional, sebagaimana diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945.
Kedua, untuk menegaskan sistem pemerintahan
presidensial yang kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil
presiden terpilih mendapat legitimasi politik langsung dari
rakyat. Sumber legitimasi politik dari rakyat diharapkan
menjadi modal politik bagi pemerintah terpilih dalam
menjalankan pemerintahannya. Jika pemerintah dapat
menjalankan pemerintahannya secara efektif, tentu saja efek
ikutannya adalah pemerintahan akan lebih berkontribusi bagi
percepatan pembangunan yang berpihak pada rakyat. Pada
akhirnya kesejahteraan sosial yang merupakan cita-cita
kemerdekaan Indonesia dapat segera diwujudkan.
Bab ini dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang
proses penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden
tahun 2014 di Nusa Tenggara Barat. Tentu saja deskripsi dalam
bab ini menjadi penyangga bagi pembahasan bab berikutnya.
Oleh karena itu, peneliti memulai pembahasan bab ini dari
deskripsi terhadap tahapan penyelenggaraan, penyelenggara-
an masing-masing tahapan, dan penyelesaian sengketa atas
proses penyelenggaraan tahapan.
59
TAHAPAN PENYELENGGARAAN PILPRES TAHUN 2014
Jika merujuk pada Peraturan KPU Nomor 04 tahun 2014,
maka ditemukan deskripsi bahwa pemilu presiden dan wakil
presiden di Nusa Tenggara Barat diselenggarakan dalam tiga
kelompok tahapan, yakni persiapan, pelaksanaan, dan
penyelesaian.36 Aktivitas kerja dari masing-masing tahapan
tersebut dapat digambarkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 6:
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di Nusa Tenggara Barat
No Tahapan Aktivitas Aktor
1 Persiapan Penyusunan dan pembahasan peraturan
Sosialisasi,informasi/ pendidikan pemilih
Raker/Bimbingan Teknis
Pembentukan Badan Penyelenggara Ad-hok
KPU RI
KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, PPK, PPS
KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, PPK, PPS
KPU Kab/ Kota
2 Pelaksanaan Penyusunan daftar pemilih
PPDP, PPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPU Provinsi, KPU RI
36 Peraturan KPU Nomor 04 tahun 2014 tentang Tahapan, Program dan Jadual Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014
60
Pencalonan
Pengadaan, pencetakan, dan pendistribusian logistik
Kampanye
Masa tenang
Pemungutan dan penghitungan suara
KPU RI
KPU RI, KPU Prov, KPU Kab/Kota
Peserta Pemilu
Masyarakat
KPPS
3 Penyelesaian Penyelesaian persoalan hukum
Pertanggungjawaban anggaran
Pembubaran panitia ad-hok
Konsolidasi organisasi
KPU RI, KPU Prov, KPU Kab/Kota
KPU RI, KPU Prov, KPU Kab/Kota
KPU Kab/Kota
KPU RI
Sumber: KPU Prov. NTB37
Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari tabel di atas.
Pertama, pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden
tahun 2014 didistribusikan kepada seluruh jenjang organisasi
KPU. Aktivitas yang sifatnya alokatif (politik) seperti
pengaturan, penganggaran, pencalonan merupakan
kewenangan KPU RI. Sedangkan akivitas yang sifatnya
koordinatif diberikan kepada KPU Provinsi. Adapun aktivitas
yang sifatnya administratif dan implementatif menjadi ranah
37 KPU Provinsi NTB, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden NTB Tahun 2014
61
tugas KPU Kabupaten/Kota bersama panitia ad-hok. Sistem
pembagian kewenangan yang demikian mempertegas sifat
hirarkis organisasi KPU guna menjaga indevendensi atau
kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Kedua, sosialisasi, informasi/pendidikan pemilih
ditempatkan sebagai tahapan persiapan penyelenggaraan
pemilu. Dalam faktanya, sosialisasi, informasi/pendidikan
pemilih mengikuti seluruh tahapan-tahapan pemilu. KPU
Provinsi NTB secara berkesinambungan melakukan sosialisasi,
informasi/pendidikan pemilih dari tahapan yang satu
ketahapan berikutnya. Sebagai misal, sebelum dimulai
pelaksanaan tahapan pembentukan badan ad-hok, KPU
Kabupaten/Kota melaksanakan sosialisasi dan koordinasi
dengan pemerintah daerah hingga pemerintah desa. Sebelum
dan pada saat pelaksanaan penyusunan dan pemutahiran data
pemilih, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota hingga PPK dan
PPS melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tim
pemenangan pasangan calon. Demikian seterusnya hingga
seluruh tahapan selesai dilaksanakan.
Ketiga, KPPS memainkan peran paling strategis dalam
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sebagai
tahapan paling hilir, sekaligus penting dari seluruh tahapan
pemilu yang ada. Akuntabilitas publik terhadap
penyelenggaraan pemilu ditentukan oleh kualitas pelaksanaan
pemungutan dan penghitungan suara. Demikian halnya
dengan suara sah dan suara tidak sah ditentukan oleh
62
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara oleh KPPS.
Dengan demikian, penyelidikan tentang suara sah dan suara
tidak sah difokuskan pada apa yang terjadi pada saat
pemungutan dan penghitungan suara berlangsung.
IMPLEMENTASI TAHAPAN PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN 2014 DI NUSA TENGGARA BARAT
Secara umum impelemntasi tahapan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden 2014 yang berlangsung di provinsi NTB
adalah sebagai berikut:
A. TAHAPAN PERSIAPAN
Dari empat tahapan persiapan yang digambarkan pada
tabel di atas, tiga diantaranya dilaksanakan oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota. Maka pada sub-tema ini hanya
melakukan deskripsi terhadap ketiga kerja KPU provinsi NTB
bersama KPU kabupaten/Kota di wilayah kerjanya.
1. Sosialisasi, informasi/pendidikan pemilih
Guna membuka akses informasi pemilu presiden dan
wakil presiden tahun 2014, KPU Provinsi NTB bersama KPU
Kabupaten/Kota telah melaksanakan lima (5) kegiatan
sosialisasi, sebagai berikut:
a. Penyebaran pamplet dan poster.
Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Provinsi NTB,
poster berisikan himbauan dengan tema “kenalilah visi,
misi pasangan calon presiden dan wakil presiden tahun
63
2014”. Sedangkan pamplet bertemakan “hari
pemungutan suara” yang bertujuan untuk mengingatkan
masyarakat datang ke TPS.
b. Penyediaan media center dan media relation.
Media center dan media relation disediakan sebagai wadah
bagi semua stakeholder pemilu untuk mendapatkan
informasi serta data kepemiluan. Guna mengoptimalkan
fungsi media center, KPU Provinsi NTB melakukan dua hal,
yakni: (1) menyediakan fasilitas pendukung dan ruang yang
representative untuk diskusi; (2) menempatkan SDM yang
menguasai bidang kehumasan, komunikasi, dan pers.
c. Pengadaan media sosialisasi luar ruangan.
Ada beberapa media sosialisasi luar ruang (outdoor) yang
diadakan oleh KPU Provinsi NTB, yakni: pembuatan tempat
baliho, spanduk, pencetakan dan penyebaran poster
maupun stiker, pembuatan dan pemasangan Ex Banner,
dan lain-lain. Pemasangan media sosialisasi luar ruang
dilaksanakan di tempat-tempat strategis, sarana publik,
dan pusat keramaian lainnya.
d. Sosialisasi media cetak dan elektronik.
KPU provinsi NTB melakukan kerjasama dengan beberapa
media cetak maupun media elektronik, seperti Lombok
Post, Suara NTB, RRI, TV Lombok, dan TVRI.
e. Tatap muka.
Sosialisasi dengan tatap muka dilakukan dengan;
memanfaatkan berbagai forum baik yang difasilitasi oleh
64
KPU Provinsi NTB sendiri maupun yang difasilitasi oleh
masyarakat. Melalui forum tersebut KPU Provinsi NTB
menjelaskan substansi hingga teknis penyelenggaraan
pemilu berdasarkan tahapan yang sedang berlangsung dan
isu-isu aktual.
2. Rakor/Bimbingan Teknis
Sedikitnya ada tiga kegiatan rapat koordinasi (Rakor)
dan bimbingan teknis (Bimtek) yang pernah dilakukan oleh
KPU Provinsi NTB, yakni: rakor sosialisasi dan pemutahiran
data pemilih, bimbingan teknis pemungutan suara dan
penghitungan suara, serta bimbingan teknis pengelolaan
logistik. Pola rakor dan bimbingan teknis adalah KPU Provinsi
NTB memberikan bimbingan teknis kepada KPU Kaabupaten/
Kota berdasarkan divisi masing-masing, selanjutkan KPU
Kabupaten/Kota meneruskan kepada PPK dan PPS di wilayah
kerja masing-masing.
3. Pembentukan badan penyelenggara ad-hok
Jumlah anggota PPK yang diangkat oleh KPU
Kabupaten/Kota seluruh Provinsi NTB adalah 580 orang,
jumlah anggota PPS sebanyak 3.411 orang. Sedangkan jumlah
anggota KPPS sebanyak 59.864 orang, dengan rincian sebagai
berikut:
Jumlah PPK = jumlah Kec. x 5 orang = 116 x 5 = 580
Jumlah PPS = jumlah Desa/Kel. x 3 orang = 1.137 x 3 = 3.411
Jumlah KPPS = jmlh TPS x 7 orang = 8.552 x 7 orang = 59.864
65
Pembentukan anggotan PPK dan PPS dilakukan oleh KPU
Kabupaten/Kota, sedangkan pembentukan anggota KPPS
dilakukan oleh PPS. Adapun fungsi KPU Provinsi NTB adalah
melaksanakan koordinasi, monitoring, dan supervisi untuk
memastikan pembantukan badan penyelenggara ad-hok
berjalan sesuai peraturan perundang-undangan.
B. TAHAPAN PELAKSANAAN
Terdapat 6 (enam) tahapan yang dikerjakan dalam
kelompok tahap pelaksanaan, yakni; penyusunan daftar
pemilih, pencalonan, pengadaan dan pencetakan serta
distribusi logistic, kampanye, masa tenang, serta pemungutan
dan penghitungan suara. Sub-topik ini dimaksudkan untuk
membuat deskripsi terhadap masing-masing tahapan tersebut.
1. Penyusunan daftar pemilih
Masa penyusunan daftar pemilih dimulai dari tanggal 11
April sampai dengan 2 Juli 2014. Adapun komponen-komponen
kegiatannya sebanyak 7 (tujuh) komponen, yakni;
(a) pemutahiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) dari
tanggal 11 s.d 20 April 2014;
(b) pengumuman DPS dan tanggapan masyarakat dari
tanggal 13 s.d 19 Mei 2014;
(c) perbaikan DPS hasil tanggapan masyarakat dari
tanggal 27 Mei s.d 2 Juni;
66
(d) penetapan DPT dan rekapitulasi di kabupaten/kota
dari tanggal 7 s.d 9 Juni;
(e) rekapitulasi DPT di provinsi dari tanggal 10 s.d
11 Juni;
(f) penetapan DPT tingkat nasional dari tanggal 12 s.d
hingga 13 Juni;
(g) penetapan DPK tingkat provinsi dari tanggal 1 s.d 2
Juli.
Dari seluruh rangkaian proses penyusunan daftar
pemilih ditemukan data jumlah pemilih dari masing-masing
jenis sebagai berikut:
a. Daftar Pemilih Sementara (DPS): 3.468.251
b. Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP):
3.536.769
c. Daftar Pemilih Tetap (DPT): 3.522.679
d. Daftar Pemilih Khusus (DPK): 8.983
Dari data di atas terlihat bahwa dalam sejarah pemilu
Indonesia baru pemilu tahun 2014 menerapkan berbagai nama
daftar pemilih, mulai dari DPS, DPSHP, DPT, dan DPK. Yang
dimaksud dengan DPS adalah DPT pemilu anggota DPR, DPD
dan DPRD tahun 2014. DPS ini yang dimutahirkan oleh Petugas
Pemutahiran Daftar Pemilih (PPDP). Yang dimaksud dengan
DPSHP adalah DPS yang telah mendapatkan masukan dan
tanggapan masyarakat berdasarkan DPS yang telah
diumumkan. DPT merupakan DPSHP yang telah mendapatkan
67
masukan dan tanggapan dari masyarakat. Sedangkan DPK
adalah daftar pemilih yang memuat pemilih yang tidak
memiliki identitas kependudukan dan pemilih yang memiliki
identitas kependudukan tetapi tidak terdaftar dalam DPS
2. Pencalonan
Seluruh proses pencalonan dilakukan oleh Partai Politik
atau gabungan partai politik dan dilaksanakan di Kantor KPU RI
sejak tanggal 17 Mei s.d 1 Juni 2014.
3. Pengadaan dan pencetakan serta distribusi logisltik
Pengadaan dan pencetakan serta distribusi logistik
dilakukan dengan pembagian wewenang antara Sekretariat
Jenderal KPU RI, Sekretariat KPU Provinsi, dan Sekretariat KPU
Kabupaten/Kota. Adapun jenis pengadaan yang didistribusikan
kepada masing-masing tingkatan sebagaimana tampak pada
tabel di bawah ini.
Tabel 7: Pembagian Wewenang Pengadaan Logistik
No Tingkatan Jenis logistik yang diadakan
1 Sekretariat Jenderal KPU RI
Surat suara pasangan calon
Segel
Tinta
Alat bantu tunanetra
Daftar pasangan calon
Formulir C, C1 & C1 plano berhologram
68
2 Sekretariat KPU Provinsi
Sampul kertas
Kotak suara
Bilik suara
Formulir yang digunakan untuk pemungutan dan penghitungan suara kecuali C, C1 dan C1 berhologram
3 Sekretariat KPU Kabupaten/Kota
Melakukan pengadaan dukungan perlengkapan lainnya yang berupa perlengkapan di TPS
Sumber: Pasal 32 PKPU Nomor 18 tahun 2014
4. Kampanye
Kampanye pemilu presiden dan wakil presiden tahun
2014 dilaksanakan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis,
serta bertanggung jawab dan merupakan bagian dari
pendidikan politik masyarakat. Menurut ketentuan pasal 40
ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, kampanye
dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah KPU menetapkan
nama-nama pasangan calon sampai dengan dimulainya masa
tenang. Namun khusus untuk kampanye rapat umum,
dilaksanakan mulai tanggal 4 Juni hingga 5 Juli tahun 2014.
Untuk kenyamanan kampanye pasangan calon di NTB,
KPU Provinsi NTB memfasilitasi dengan menyiapkan lapangan
umum di setiap kabupaten/kota. Adpun tim kampanye
masing-masing pasangan calon di Provinsi NTB, sebagai
berikut:
69
a. Tim kampanye pasangan calon Prabowo Subianto dan
Hatta Rajasa adalah;
Ketua : DR.TGH.M.Zainul Majdi
Sekretaris umum : Suryadi Jaya Purnama, ST
Bendahara umum : H.Muazizm Akbar, SIP
b. Tim kampanye pasangan calon Joko Widodo dan Jusuf
Kalla adalah;
Ketua : H.M. Husni Djibril, B.Sc
Sekretaris : Hakam Ali Niazi, SE., MM
Bendahara : Edy Suksmono
Ada beberapa bentuk kampanye yang disediakan
menurut ketentuan pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008, yakni:
a. Pertemuan terbatas
b. Tatap muka dan dialog
c. Penyebaran melalui media cetak dan media
elektronik
d. Penyiaran melalui radio dan/atau televisi
e. Penyebaran bahan kampanye kepada umum
f. Pemasangan alat peraga di tempat kampanye dan
tempat lain yang ditentukan oleh KPU
g. Debat pasangan calon tentang visi, misi, dan
program
h. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan
perundang-undangan
70
Dalam membangun transparansi penggunaan dana
kampanye selama tahapan kampanye berlangsung, pasangan
calon diwajibkan membuat laporan dana kampanye sesuai
tingkatan tim kampanye masing-masing. Laporan dana
kampanye yang dibuat oleh tim pemenangan masing-masing
daerah dilaporkan kepada KPU setempat. KPU mengatur
beberapa jenis laporan dana kampanye beserta jadwal
penyerahannya, sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 8: Jenis laporan dana kampanye dan jadwal penyerahan
No Jenis Laporan Jadwal
1 Penyampaian laporan rekening khusus 7 juni
2 Pembukaan penerimaan dan penggunaan
dana kampanye
3 Juni s/d
18 Juli
3 Penyampaian laporan penerimaan dana
kampanye periode 1
3 Juni
4 Penyampaian laporan penerimaan dana
kampanye periode 2
6 Juli
5 Penyampaian laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye
18 Juli
6 Penyampaian laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye ke Kantor
Akuntan Publik (KAP)
24 Juli
Sumber: Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014
71
Selain menyampaikan laporan dana kampanye, tim
pemenangan pasangan calon diwajibkan untuk menyerahkan
rekening khusus dana kampanye. Rekening khusus dana
kampanye diserahkan kepada KPU paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah pasangan calon ditetapkan sebagai peserta pemilu
oleh KPU. Di tingkat Provinsi NTB nampak laporan rekening khusus
tim kampanye, sebagaimana tabel di bawah ini.
Tebel 9: Laporan Rekening Khusus Dana Kampanye
No Uraian Laporan Paslon Prabowo-Hatta
(Rp)
Laporan Paslon
Jokowi-JK (Rp)
1 Penerimaan - 10.000.000
2 Pengeluaran - -
3 Saldo per rekening dibuka
- 10.000.000
Sumber: Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014
Selama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa
kampanye, tim kampanye masing-masing tingkatan wajib
melaporkan penggunaan dana kampanye. Di tingkat provinsi
NTB, Nampak jumlah dana kampanye yang dilaporkan oleh
masing-masing tim kampanye kepada KPU Provinsi NTB,
sebagaimana tabel di bawah ini.
72
Tebel 10: Laporan Realisasi Penggunaan Dana Kampanye
No Uraian Laporan Paslon Prabowo-Hatta
(Rp)
Laporan Paslon Jokowi-JK
(Rp)
1 Penerimaan 1.001.870.000,- 370.000.000,-
2 Pengeluaran 1.000.000.000,- 360.000.000,-
3 Saldo per rekening
dibuka
1.870.000,- 10.000.000,-
Sumber: Dokumen KPU Provinsi NTB, 2014
5. Masa tenang
Selama masa tenang berlangsung, KPU Provinsi NTB
menyampaikan himbauan kepada masyarakat melalui media
massa cetak maupun elektronik. Ada beberapa pesan
himbauan yang dibuat KPU Provinsi, sebagai berikut:
a. Mengingatkan bahwa hari Rabu tanggal 9 Juli 2014 adalah
hari dan tanggal pemungutan suara. Untuk itu dihimbau
kepada seluruh warga masyarakat untuk hadir dan
memberikan suara di TPS pada hari Rabu 9 Juli 2014
b. Bagi masyarakat yang telah terdaftar dalam DPT dan DPK
dapat memberikan suara mulai pukul 07.00 s/d 13.00
WITA. Karena itu harus dipastikan bahwa pemilih telah
menerima surat pemberitahuan pemungutan suara (model
C6) untuk diserahkan kepada petugas KPPS pada saat
pemungutan suara
73
6. Pemungutan dan Penghitungan Suara
Pemungutan suara dilaksanakan dalam dua tahap,
yakni: persiapan dan pelaksanaan. Pada tahap persiapan,
petugas KPPS melakukan tiga kegiatan, yakni: (1) penyiapan
TPS; (2) pengumuman dengan menempel daftar pemilih tetap,
daftar pemilih tambahan, serta nama dan foto pasangan calon
di TPS; (3) menyerahkan salinan daftar pemilih tetap dan
daftar pemilih tambahan kepada saksi yang hadir dan
pengawas pemilu lapangan.
Setelah menyelesaikan tiga kegiatan di atas, KPPS
melakukan beberapa kegiatan lanjutan, yakni: (1)
pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara; (2) rapat
pemungutan suara; (3) pengucapan sumpah atau janji anggota
KPPS dan petugas Linmas TPS; (4) memberikan penjelasan
kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara.
Pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 s/d
13.00 WITA secara serentak di 8.552 TPS yang tersebar di
Provinsi NTB. Untuk menjamin pelaksanaan pemungutan suara
secara transaparan dan dipercaya masyarakat, maka
pemungutan suara dihadiri oleh saksi dari setiap pasangan
calon dan pengawas lapangan. Setelah selesai pemngutan
suara, dilanjutkan dengan penghitungan dan rekapitulasi
suara. Hasil rekapitulasi suara dituangkan dalam formulir C1
setelah ditandatangan oleh Ketua dan Anggota KPPS beserta
saksi yang hadir, C1 tersebut diberikan kepada masing-masing
saksi pasangan calon dan panwas lapangan.
74
Hasil rekapitulasi perolehan suara di tingkat KPPS
diteruskan ke PPS untuk dilakukan rekapitulasi secara
berjenjang. Rakipitulasi perolehan suara pasangan calon di
masing-masing tingkat penyelenggara dilakukan melalui rapat
pleno terbuka, yang dihadiri oleh: saksi pasangan calon,
paanwaslu dimasing-masing tingkatan, pemerintah sesuai
tingkatan dan stakeholder. Proses rekapitulasi suara di
seluruh wilayah Provinsi NTB berlangsung dengan lancer
sampai tingkat KPU Provinsi.
Adapun perolehan suara masing-masing pasangan calon di
NTB diungguli oleh pasangan Nomor urut 1 atas nama Probowo
Subianto dan Hatta Rajasa dengan jumlah suara 1.844.178 72
atau 45%, sedangkan pasangan dengan nomor urut 2 atas nama
Joko Widodo dan Jussuf Kalla memperoleh suara 701.238 atau
27,55%
C. TAHAPAN PENYELESAIAN
Setelah penetapan perolehan suara, KPU Provinsi Nusa
Tenggara Barat menghadapi gugatan dari pasangan calon
nomor urut 1, di Mahkamah Konstitusi untuk sepuluh
kabupaten/kota. Melalui mekanisme pembentukan kelompok
kerja, KPU Provinsi NTB menghadapi gugatan di Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui proses persidangan, Mahkamah
Konstitusi menolak gugatan pemohon (pasangan calon nomor
urut 1).
75
Dengan berakhirnya seluruh tahapan pemilu presiden
dan wakil presiden tahun 2014 di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, KPU Kabupaten/Kota seluruh provinsi NTB
membubarkan PPK dan PPS pada bulan Oktober 2014.
Selanjutnya KPU Provinsi NTB melaksanakan konsolidasi
organisasi dengan beberapa kegiatan: (1) evaluasi pemilu
2014; (2) orientasi tugas KPU Kabupaten/Kota; (3) anugerah
award bagi KPU kabupaten/kota penyelenggara pemilu
terbaik, dan (4) penghargaan kepada stakeholder pemilu.
77
omisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU
No. 19 Tahun 2014 tentang Pemugutan dan
Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara
Dalam Pemilihan Umum Presidein dan Wakil Presiden Tahun
214 Bab I, Pasal 1 ayat (23) memberikan definisi tentang Surat
Suara secara jelas, yakni salah satu jenis perlengkapan
Pemungutan Suara yang berbentuk lembaran kertas dengan
desain khusus yang digunakan oleh Pemilih untuk memberikan
suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memuat
foto, nama, dan nomor Pasangan Calon. Lebih lanjut, KPU
melalui PKPU No. 19 Tahun 2014, pasal 33 ayat (2) mengatur
secara rinci tentang tata cara pemberian suara pada Surat
Suara dilakukan dengan cara mencoblos pada kolom yang
berisi nomor urut, pas foto dan nama pasangan calon dengan
menggunakan alat coblos yang telah disediakan berupa paku.
Pengklasifikasian surat suara menjadi Suara Sah dan
Suara Tidak Sah diperlakukan terhadap surat suara yang telah
K
Pola Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB
7
78
dipakai oleh pemilih dan dimasukkan ke dalam kotak suara
pada tahap pengitungan. Terhadap surat suara yang
dinyatakan sah, maka bernilai 1 (satu) suara bagi salah satu
pasangan calon pesiden dan wakil presiden. Sedangkan surat
suara yang dinyatakan tidak sah, maka dianggap nihil atau
tidak memiliki nilai suara bagi pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Itu sebabnya, KPU RI, dalam buku Panduan KPPS
Pelaksananan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang
diterbitkan oleh KPU RI, memberikan kreteria tanda coblos
yang dinyatakan sah dan tidak sah serta contoh surat suara
“sah” dan “tidak sah”. Kriteria surat suara “sah” dan surat
suara “tidak sah” telah dijelaskan pada bab 5. Atas dasar
kriteria itulah dan berdasarkan data hasil riset yang dilakukan
oleh LP2M IAIN Mataram bekerjasama dengan KPU Provinsi
NTB, ditemukan ada 16 pola Surat Suara yang dinyatakan
Tidak Sah. Ke 16 pola surat suara tidak sah dimaksud dapat
ditampilkan dalam dua bentuk, yaitu tabel pola surat suara
tidak sah dan gambar/foto surat suara tidak sah sebagai
berikut:
79
1. Pola Suara Tidak Sah Pada Pilpres 2014 di NTB dalam Tabel
Tabel 11: Pola Suara Tidak Sah Pada Pilpres 2014 di NTB
NO. POLA SUARA TIDAK SAH
PADA PILPRES 2014
JUMLAH
vol TTL %
1 Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon
12 42 29%
2 Terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut dua pasangan calon
6 42 14%
3 Terdapat tanda coblos pada kolom nama dua pasangan calon
1 42 2%
4 Terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut pasangn calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon yang lain
1 42 2%
5 Terdapat Tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon yang lain
1 42 2%
6
Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan calon yang lain
5 42 12%
7
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) pada masing-masing pasangan calon, yakni pada kolom nomor urut dua pasangan calon dan kolom foto dua pasangan calon
1 42 2%
8
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan calon yang lain
2 42 5%
9
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang lain
1 42 2%
80
10
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom foto dan kolom nama pasangan) dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang lain
1 42 2%
11
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto pasangan) dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon yang lain
2 42 5%
12
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang lain
3 42 7%
13
Terdapat Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada garis kolom foto pasangan yang lain
1 42 2%
14
Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos pada kolom luar di antara kolom foto dua pasangan calon
1 42 2%
15
Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kertas surat suara bagian atas kolom dua pasangan calon
3 42 7%
16
Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom foto pasangan calon dan pada bagian atas surat suara dari pinggir hingga masuk sampai dibawah gambar kotak suara
1 42 2%
TOTAL JUMLAH SUARA TIDAK SAH
DARI SAMPEL 42 42 100%
81
2. Pola Surat Suara Tidak Sah Pemilu Presiden 2014 di NTB
Dalam Gambar atau Foto
Gambaran umum penjelasan 16 pola di atas terlihat
pada hasil scan surat suara tidak sah yang menjadi objek
penelitian yang telah dilakukan. Tujuan pemaparan contoh
dalam penelitian ini semata-mata untuk kepentingan validitas
data penelitian dan tidak dimaksudkan untuk kepentingan
lain. Adapun contoh gambar surat suara tidak sah temuan
penelitian, sebagai berikut:
Pola 1
Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon
Pola 2
Terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut dua pasangan calon
Pola 3 Terdapat tanda coblos pada kolom
nama dua pasangan calon
Pola 4 Terdapat tanda coblos pada kolom
nomor urut pasangn calon dan tanda coblos pada kolom nama
pasangan calon yang lain
82
Pola 5 Terdapat Tanda coblos pada kolom
foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan calon
yang lain
Pola 6 Terdapat tanda coblos pada
kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan calon yang lain
Pola 7
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) pada masing-masing pasangan calon, yakni pada kolom nomor urut dua pasangan calon dan kolom foto
dua pasangan calon
Pola 8
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan
calon (kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos
pada kolom nomor urut
pasangan calon yang lain
83
Pola 9
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon
(kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada kolom foto
pasangan calon yang lain
Pola 10
Terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon (kolom foto dan kolom nama
pasangan) dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon yang
lain
Pola 11
Terdapat tanda coblos lebih dari 1
(satu) kali pada pasangan calon
(kolom nomor urut dan kolom foto
pasangan) dan tanda coblos pada
kolom nama pasangan calon yang
lain
Pola 12
Terdapat tanda coblos lebih dari 1
(satu) kali pada kolom foto
pasangan calon dan tanda coblos
pada kolom foto pasangan calon
yang lain
84
Pola 13
Terdapat Tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada pasangan calon
(kolom nomor urut dan kolom foto) dan tanda coblos pada garis kolom
foto pasangan yang lain
Pola 14
Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan
calon dan tanda coblos pada kolom luar di antara kolom foto dua pasangan calon
Pola 15
Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
kertas surat suara bagian atas kolom dua pasangan calon
Pola 16
Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan
terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom foto pasangn calon dan pada bagian
atas surat suara dari pinggir hingga masuk dibawah gambar
kotak surat suara
85
Dari 16 pola tidak sahnya Surat Suara pada PILPRES
2014 di atas, apabila dianalisis serta diklasifikasi berdasarkan
Buku Panduan KPPS tentang kreteria Sah dan Tidak Sah Surat
Suara pada halaman 45-46 dan pada halaman 52-52 tentang
Contoh Templet Tanda Coblos pada Surat Suara yang Sah dan
Suara Tidak Sah), setidaknya dapat dikerucutkan menjadi 3
pola sebagai berikut;
Gambar 3:
Pengelompokan 16 Pola Surat Suara Tidak Sah di Lapangan
dengan Kreteria Tidak Sah Dalam PKPU RI 19/2014 dan Buku
Panduan KPPS yang diterbitkan KPU RI tahun 2014
1. Tanda Coblos pada dua
pasangan calon
Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 4
Pola 5
Pola 6
Pola 7
Pola 8
Pola 9
Pola 10
Pola 11
Pola 12
Pola 13
Pola 14
Pola 15
2. Tanda Coblos
pada pasangan
calon dan di luar
kolom pasangan
calon (pola 14-15)
3. Tanda Coblos pada pasangan
calon & rusak, coret, tanpa
tanda tangan KPPS
Pola 16
86
1) Terdapat tanda coblos pada dua pasangan calon
Pola Tidak Sah Dalam
Buku Panduan KPPS
Contoh atau Pola
pertama suara tidak sah
yang ditetapkan dan
dicontohkan KPU dalam
buku panduan KKPS
halaman 53, secara redaksional berbunyai “terdapat tanda
coblos pada dua pasangan calon”, dan secara gambar dapat
dilihat bahwa yang dimaksud dengan “tanda coblos pada dua
pasangan calon” adalah tanda coblos pada foto dua pasangan
calon. Fakta di lapangan, ada 15 pola tanda coblos
sebagaimana terlihat pada gambar Pola No. 1 sampai Gambar
pola No. 15 dinyatakan tidak sah oleh KPPS pada Pilpres 2014,
sekalipun KPU hanya memberikan satu templet terkait contoh
suara tidak sah.
Dari kondisi demikian, setidaknya dapat dimaknai dua
hal, yaitu; Pertama, Para pihak, terutama KPPS dan Panwas
di TPS memiliki SDM yang memadai, karena mereka mampu
dengan cermat dan cerdas memutuskan surat suara yang
dipakai atau digunakan pemilih dengan beragam pola tanda
coblosnya sebagai suara tidak sah, sekalipun dalam buku
pedoman hanya mengatur dengan kalimat singkat “terdapat
tanda coblos pada dua pasangan calon” dan “satu gambar
yang menunjukkan tanda coblos pada foto dua pasangan
87
calon”. Kedua, peraturan yang singkat dan jelas justru
memberikan kecerdasan bagi para penyelenggara di level
bawah untuk memahami substansi aturannya.
2) Terdapat tanda coblos di luar kolom pasangan calon dan tanda coblos pada kolom pasangan calon dan di luar kolom pasacangan calon.
Contoh 2 Suara Tidak Sah:
Terdapat Tanda Coblos di luar
kolom pasangan calon
Contoh 3 Suara Tidak Sah:
Terdapat tanda coblos pada kolom
pasangan calon dan di luar kolom
pasangan calon
Khusus berkaitan dengan pola 14 dan pola 15 terlihat
ada “tanda coblos pada dua pasangan calon”, namun juga
terlihat dengan jelas ada “tanda coblos di luar kolom
pasangan calon”. Dengan demikian, pola 14 dan 15 dapat
ditetapkan menjadi suara tidak sah karena dua alasan,
pertama, karena sesuai dengan gambar no. 1 tentang contoh
suara tidak sah, yaitu terdapat tanda coblos pada dua
pasangan calon, kedua, mengacu pada gambar nomor 3
tentang contoh suara tidak sah, karena ada tanda coblos di
luar kolom pasangan calon.
88
Gambar 4
Perbandingan contoh 3 Suara Tidak Sah dengan Bukti Suara Tidak Sah pada Pola 14 dan Pola 15
Contoh 3 Suara Tidak Sah; Terdapat tanda coblos pada kolom pasangan calon dan di luar kolom pasangan calon
Pola 14 Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan
tanda coblos pada kolom luar di antara
kolom foto dua pasangan calon
Pola 15 Terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kertas surat suara bagian atas
kolom dua pasangan calon
Pada gambar di atas terdapat 1 contoh suara tidak sah
menurut Buku panduan KPU, yang kreterianya dirumuskan
dalam kalimat “terdapat tanda coblos di luar kolom
pasangan calon dan di luar kolom pasangan calon” menjadi
salah satu bentuk Tidak Sahnya surat suara. Sekalipun dalam
prakteknya tidak ditemukan pola yang persis sama,
sebagaimana pada pola No. 14 dan No. 15, namun berpeluang
terjadi dan potensial salah tafsir, sebagai berikut:
a. Pada Pola 14 terdapat tanda coblos di luar kolom calon,
persis sama dengan contoh, hanya alasan ditetapkannya
89
menjadi tidak sah pada pola 14, bukan karena adanya
tanda coblos di luar kolom pasanga calon, melainkan
karena terdapat tanda coblos pada dua pasangan calon.
b. Hal yang sama juga terjadi pada pola 15, namun tanda
coblos di luar pasangan calon terdapat pada posisi yang
jauh atau renggang dengan tanda coblos pada contoh yang
ditetapkan KPU.
Yang menjadi wilayah rawan multi tafsir adalah sampai
mana batasan surat suara? Apakah semua bagian kertas surat
suara yang dipakai dan dimasukkan ke dalam kotak dapat
disebut sebagai surat suara, sehingga dimanapun posisi tanda
coblos dapat dikategorikan menjadi Tanda coblos pada kolom
pasangan calon dan kolom luar pasangan calon. Khusus pola
No. 15 dapat dengan jelas ditetapkan sebagai suara tidak sah
karena terdapat tanda coblos pada dua pasangan calon,
sekalipun sesungguhnya juga terdapat dua tanda coblos di luar
kolom pasangan calon. Ambiquitas ini simetris dengan data
lapangan yang ditemukan ketika melakukan FGD di Kabupaten
Lombok Utara (KLU) dan Kota Bima dengan peserta yang
berasal dari mantan para penyelenggara dan saksi Pilpres 2014
dimana terjadi silang pendapat pada dua kemungkinan yang
dapat berkembang dari pola no. 15, yaitu:
Pertama, Apabila terdapat tanda coblos pada satu pasangan
calon dan tanda coblos (satu atau lebih) di luar kolom
pasangan calon (seperti gambar Pola No. 15), maka timbul
pertanyaan Apakah dua tanda coblos pada Pola 15 dapat
90
disebut sebagai penentu Sah dan Tidak Sah suara? Sebab, dari
3 surat suara yang tidak sah dengan pola 15, terlihat posisi
tanda coblosnya telah menjadi 3 pendapat sebagai berikut;
1. Sebagian mengatakan “suara sah”, dengan alasan tanda
coblos di luar kolom pasangan calon berada jauh dari
kolom pasangan calon (tidak seperti contoh suara tidak
sah no. 3 dalam buku panduan KPU).
2. Sebagian lagi menyatakan “Suara tidak sah”, karena
semua ruang dalam kertas surat suara termasuk
kategori kolom surat suara.
3. Sebagian lainnya menyatakan “suara Tidak Sah”, karena
beberapa alasan atau penyebab, yaitu: (a) tidak sah
karena masuk kategori merusak kertas suart suara; (b)
tidak sah karena masuk kategori memberi tanda pada
kertas surat suara.
91
3) Pola tanda coblos pada pasangan calon, tetapi ada tanda
sobekan pada sisi kertas surat suara
Pola 16
Terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan calon dan terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom foto pasangn calon dan pada bagian atas surat suara dari pinggir hingga masuk sampai dibawah gambar kotak suara
Sesuai dengan 3 templet contoh surat suara sah dalam
buku panduan KPU, maka pola 16 ini seharusnya dinyatakan
sebagai “suara sah”, akan tetapi oleh stakeholder di TPS
pada Pilpres 2014 di NTB dinyatakan sebagai “suara tidak
sah”.
93
idak sahnya suara pemilih pada pemilu merupakan
fenomena yang selalu muncul dalam setiap ornamen
pemilu. Demikian halnya pada pemilu presiden dan
wakil presiden tahun 2014. Di wilayah Provinsi NTB ditemukan
data yang menyebutkan, total suara sah sebanyak 2.545.416
(99,04%), sedangkan suara tidak sah sebanyak 24.581
(0,96%)38. Dengan demikian terdapat sejumlah 24.581 orang
pemilih tidak memiliki nilai politik atas pilihan mereka.
Rincian suara tidak sah pada masing-masing kabupaten/kota
dideskripsikan pada bab 7.
Secara umum terdapat empat faktor yang menyebabkan
terjadinya atau adanya surat suara tidak sah dalam Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di provinsi NTB, yakni:
(1) sistem penyelenggaraan pemilu; (2) penyelenggara pemilu;
(3) peserta, partai politik pengusung; tim sukses, dan saksi;
38 KPU Provinsi NTB, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Provinsi NTB tahun 2014, dicetak oleh KU Provinsi Tahun 2014: hal.75
T
Penyebab Suara Tidak Sah Dalam Pilpres 2014 di NTB
8
94
(4) pemilih. Keempat hal tersebut dan sub faktor yang terkait
dapat dijelaskan sebagai berikut:
FAKTOR SISTEM PENYELENGGARAAN PEMILU
Sistem penyelenggaraan pemilu yang dimaksud dalam
hal ini adalah beberapa ketentuan yang diatur oleh KPU, baik
terkait dengan regulasi, maupun yang berhubungan dengan
tahapan pelaksanaan Pemilu. Beberapa faktor yang secara
tidak langsung telah menyebabkan adanya surat suara tidak
sah dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Regulasi teknis / Peraturan KPU
Dalam ketentuan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014
disebutkan salah satu kriteria surat suara tidak sah manakala
“merusak surat suara”. Di Kota Bima sebagai contoh,
ditemukan pola suara tidak sah, (yaitu pola 16) dimana
pemilih mencoblos salah satu pasangan calon, namun di luar
kolom pasangan calon, terdapat tanda sobekan. Secara
substantif, pemilih telah memberikan suara dengan benar dan
memiliki nilai politik pada satu pasangan calon yang dicoblos.
Namun karena ada tanda sobekan pada surat suara (di luar
gambar pasangan calon), oleh petugas KPPS dikategorikan
sebagai suara tidak sah karena ada tanda “merusak surat
suara”.
95
Persoalannya adalah apakah surat suara itu sengaja
disobek oleh pemilih, atau surat suara tersebut telah sobek
sebelum dibawa pemilih ke dalam bilik suara? Pendapat
responden dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
kecilnya kemungkinan surat suara tersebut sengaja di sobek
oleh pemilih, yang paling mungkin adalah surat suara telah
sobek sebelum dibawa oleh pemilih ke bilik suara.
Kemungkinan yang disebutkan terakhir lebih mendekati
kebenaran, karena tidak semua KPPS menjalankan SOP secata
teliti pada hari pemungutan dan penghitungan, terutama SOP
yang mewajibkan KPPS untuk membuka, memeriksa dan
menandatangani surat suara sebelum diserahkan kepada
pemilih. Maka ada kemungkinan surat suara tersebut telah
tersobek sejak distribusi atau pada saat pelipatan surat suara
di KPU Kabupaten/Kota. Tentu saja regulasi teknis yang
mengatur detail kriteria surat suara tidak sah seperti ini,
merugikan peserta pemilu.
Kemungkinan telah sobeknya kertas suara sebelum
dicoblos dimungkinkan bila dikaitkan dengan pengakuan dari
saksi peserta pemilu yang juga menjadi responden dari
penelitian yang telah dilakukan. Ia mengatakan bahwa petugas
KPPS tidak membuka terlebih dahulu kertas suara sebelum
diberikan kepada pemilih. Namun sebenarnya peluang adanya
kerusakan surat suara dapat ditekan maksimal karena ada
mekanisme sortir yang dilakukan oleh tenaga teknis saat
pelipatan di KPU setempat.
96
Dalam buku pedoman pemungutan suara yang dipegang
KPPS ditemukan contoh-contoh surat suara sah dan surat suara
tidak sah. Dalam contoh tersebut dinyatakan jika terdapat
tanda coblos pada kolom pasangan calon dan terdapat tanda
coblos di luar kolom pasangan calon dinyatakan tidak sah.
Data menunjukkan 2% suara tidak sah disebabkan oleh pola
tersebut, seperti apa yang ditemukan di Kabupaten Lombok
Utara dan di Kota Bima.
Bahkan dari beberapa peserta FGD sebagian
menyatakan “sah” sebagian lagi menyatakan “tidak sah”,
dengan alasan sebagai berikut:
1. Kelompok yang menyatakan pola 16 ini sebagai “suara
sah” berargumen karena terdapat tanda coblos pada
satu pasangan calon.
2. Kelompok yang menyatakan pola 16 ini sebagai “suara
tidak sah” memiliki beragam pendapat:
(a) Tidak sah karena masuk kategori memberi tanda
pada kertas surat suara, sesuai buku panduan.
(b) Tidak sah karena masuk kategori merusak kertas
surat suara sesuai buku panduan KPU.
(c) Tidak sah karena mencoblos surat suara dengan dua
model, yaitu mencoblos dengan alat yang disedikan
di bilik dan sah, tetapi juga dibarengi dengan
mencoblos dengan cara merobek kertas suara sesuai
kreteria tidak sah dalam buku panduan KPU.
97
Multi interpretasi ini muncul dari:
1. Tidak jelasnya batasan “kolom” yang dalam kertas surat
suara, apakah semua space kertas surat suara selain kolom
pasangan calon dapat disebut sebagai kolom luas pasangan
calon. Dalam PKPU RI No. 19 Tahun 2014, khususnya Pada
BAB 1, Pasal 1 ayat (23) surat suara didefinisikan sebagai
“salah satu jenis perlengkapan Pemungutan Suara yang
berbentuk lembaran kertas dengan desain khusus yang
digunakan oleh Pemilih untuk memberikan suara pada
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memuat foto,
nama, dan nomor Pasangan Calon”. Artinya, tidak ada
satupun kata dalam PKPU RI ini yang mengatur posisi kertas
surat suara di luar kolom yang berisi nomor urut, pas foto
dan nama pasangan calon, melainkan ditemukan pada Buku
Panduan hal 56 pada templet no. 3 contoh suara tidak sah
dalam kalimat “terdapat tanda coblos pada kolom
pasangan calon dan tanda coblos di luar kolom pasangan
calon”. Mana batasan “di luar kolom pasangan calon” pada
kertas surat suara yang demikian luas itu?
2. Terdapat percampuradukan antara (a) hal-hal yang bersifat
tehnis-administratif sekaligus kewajiban penyelenggara,
seperti KKPS tidak menandatangani kertas suara, (b)
Kehawatiran adanya permainan kotor peserta untuk money
politik dengan memaksa pemilih memberi tanda pada surat
suara seperti tulisan atau sobekan dan (c) perilaku
98
independen pemilih yang mencoblos dengan beragam pola
di luar ketentuan yang ditetapkan, sebagai kreteria suara
tidak sah dalam buku Panduan KPU, padahal dalam PKPU
No. 19 tahun 2014 khususnya Pasal 33 ayat (2) hanya diatur
secara rinci tentang tata cara pemberian suara pada Surat
Suara dilakukan dengan cara mencoblos pada kolom yang
berisi nomor urut, pas foto dan nama pasangan calon
dengan menggunakan alat coblos yang telah disediakan
berupa paku. Sementara dalam buku panduan KPPS,
khususnya halaman 45-46 ditetapkan kreteria sah dan tidak
sahnya surat suara pada saat penghitungan sebagai berikut:
1. Surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS.
2. Surat suara dalam keadaan baik (tidak rusak).
3. Surat suara tidak terdapat tanda/coretan.
4. Surat suara dicoblos menggunakan alat coblos yang
disediakan di TPS
5. Tanda coblos tepat berada pada:
(a) No Urut Pasangan Calon; dan/atau
(b) Foto Pasangan Calon; dan/atau
(c) Nama Pasangan Calon
6. Tanda coblos bukan dengan paku/alat yang disediakan
seperti tanda coblos dengan rokok/korek api dan atau
tanda coblos dengan cara merobek, maka dinyatakan
TIDAK SAH.
99
7. Memberi tanda pada surat suara dengan cara merusak
surat suara dan atau mencoret surat suara, maka
dinyatakan TIDAK SAH
b. Sosialisasi
Sosialisasi pemilu presiden dan wakli presiden tahun
2014 tidak maksimal sebagaimana sosialisasi pemilu legislatif
tahun 2014. Apabila pada pemilu legislatif, disamping kaya
metode juga kaya kelompok-kelompok sasaran, maka
sosialisasi pemilu presiden merupakan kebalikan dari pemilu
legiislatif. Pada pemilu presiden di samping miskin intensitas,
juga miskin metode dan kelompok-kelompok sasaran.
Sosialisasi pemilu presiden dan wakil presiden lebih banyak
dilakukan oleh KPU RI, akibatnya masyarakat pedesaan
maupun perkotaan di daerah miskin akses informasi perihal
pemilu presiden dan wakil presiden.
Data hasil riset mengungkapkan bahwa masyarakat
pedesaan yang tinggalnya di daerah marginal, seperti hutan,
pulau, atau tempat tinggal yang sifatnya menyebar sesuai
lahan pertanian mereka, tidak mendapatkan akses informasi
perihal pemilu presiden karena agen sosialisasi hanya sampai
di ibukota kabupaten yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/
Kota. Metode sosialisasi seperti spanduk, baliho, siaran
melalui media elektronik (TV dan Radio) tidak semarak
sebagaimana pemilu legislatif. Akibatnya semarak pemilu
presiden dan wakil presiden tahun 2014 tidak sebesar pemilu
100
legislatif. Masyarakat kemudian tidak tertarik dengan pemilu
presiden dan wakil presiden hingga tidak memiliki pilihan
politik.
Hasil riset menunjukkan bahwa informasi tentang
pemilu presiden tidak maksimal diperoleh masyarakat karena
minimnya sosialisasi yang dilakukan, baik oleh KPU maupun
oleh tim sukses pasangan calon. Kalaupun ada sosialisasi, hal
yang disampaikan lebih bersifat umum dan tidak ada konten
sosialisasi yang secara khusus terkait dengan tata cara
pemilihan atau pencoblosan sehingga masyarakat dapat
membedakan mana cara mencoblos yang benar atau sah dan
mana yang salah atau tidak sah.
Begitu pula halnya bahwa sosialisasi dalam bentuk
baliho tidak ada yang secara khusus menjelaskan tentang
contoh hasil coblos yang benar (sah) dan salah (tidak sah).
Bahkan baliho yang mensosialisasikan pasangan calon pun
dinilai tidak banyak. Hal ini menurut pengakuan beberapa
orang anggota KPU Kab./`kota lebih disebabkan oleh
minimnya angggaran sosialisasi dan anggaran untuk itu pun
ditangani langsung oleh KPU pusat.
c. Bimbingan teknis pemungutan suara
Bimbingan teknis (Bimtek) tentang tata cara
pelaksanaan pemungutan suara merupakan media transformasi
teknis pelaksanaan pemungutan, penghitungan dan
rekapitulasi suara dari KPU kepada KPU Provinsi, dari KPU
101
Provinsi kepada KPU Kabupaten/Kota, dan dari KPU
Kabupaten/Kota kepada PPK maupun PPS, serta dari PPS
kepada KPPS. Dengan demikian, pola Bimtek dilaksanakan
secara berjenjang sebagaimana sifat organisasi KPU yang
hirarkhis. Kelebihan sifat organisasi yang demikian adalah
adanya keseragaman tindakan dan keputusan yang diambil
oleh implementator kebijakan atau aktivitas organisasi dari
tingkatan paling atas hingga tingkatan terendah. Dengan
demikian, pemahaman KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/
Kota, PPK, PPS, dan KPPS terhadap teknis pemungutan suara
adalah sama.
Permasalahannya adalah, dari 7 (tujuh) anggota KPPS,
yang diberikan Bimtek oleh PPS sebanyak 2 (dua) orang.
Harapannya, ada transformasi ilmu pengetahuan dari dua
anggota KPPS yang mengikuti Bimtek kepada 5 (lima) anggota
KPPS yang lain. Dalam das sain (kenyataannya), tidak semua
anggota KPPS yang mengikuti Bimtek di PPS dapat melakukan
transformasi kepada selururuh anggota KPPS yang lain. Ada
beberapa penyebabnya, yakni: (1) tidak ada kemauan dari
kedua anggota KPPS tersebut; (2) lima anggota KPPS yang lain
menyerahkan tugas dan tanggungjawab pemungutan suara
kepada Ketua KPPS mereka. Dan biasanya yang mengikuti
Bimtek adalah Ketua KPPS. Akibatnya, pengetahuan dan
keterampilan tujuh anggota KPPS terhadap tata cara
pemungutan suara tidak sama. Faktor ini menyebabkan
102
persepsi tentang kriteria suara sah dan tidak sah tidak ada
keseragaman.
Bimtek yang terbatas sasaran, juga belum
menyampaikan secara detail tugas dan kewenangan KPPS
secara menyeluruh, terutama terkait dengan kewenangan
KPPS untuk memberikan penjelasan tentang tatacara
pemungutan dan pemberian hak suara di TPS pada hari
pemungutan. Bagi KPPS, proses penjelasan hanya diberikan
bersamaan dengan waktu pembukaan TPS, padahal mereka
sangat mengakui pentingnya penjelasan ini sebagai media
efektif untuk pengurangan kesalahan dalam pemberian hak
suara oleh pemilih, namun waktu yang diijinkankan oleh KPU
sangat terbatas, yakni hanya pada saat pembukaan TPS,
padahal realitanya saat pembukaan TPS, masih belum banyak
pemilih yang datang. Akan efektif, menurut mereka, apabila
penjelasan itu diberikan berulang sesuai situasi atau tingkat
kehadiran pemilih di TPS, namun sayang mereka tidak
mengetahui isi PKPU No. 19 Tahun 2014 yang memberikan
kewenangan bagi KPPS untuk memberikan penjelasan berulang
sesuai kebutuhan pada hari H pemungutan suara.
d. Sortir Surat Suara
Pelipatan surat suara dilakukan di tingkat KPU
Kabupaten/Kota dengan melibatkan masyarakat. Jumlah
tenaga lipat surat suara juga berdasarkan kebutuhan dengan
perbandingan jumlah surat suara yang dilipat. Pada waktu
103
pelipatan surat suara sekaligus pelipat surat suara melakukan
sortir dengan menghitung dua puluh lembar surat suara untuk
diikat menggunakan karet gelang.
Penjelasan yang diberikan oleh Divisi Logistik KPU
Provinsi NTB dalam FGD tingkat provinsi menyebutkan bahwa;
kondisi surat suara ini cukup tipis. Ketika dalam sortir diikat
dengan jumlah dua puluh lembar maka sangat rawan
mengalami sobek pada bagian pinggir. Karena itu, faktor ini
kelihatannya berpengaruh terhadap rusaknya surat suara yang
kemudian menyebabkan surat suara tersebut menjadi tidak
sah. Faktor ini memungkinkan berkontribusi menjadi
penyebab surat suara tidak sah di NTB, seperti pada pola 16.
Padahal asal muasal atau alasan dimunculkannya “surat
suara robek” sebagai salah satu kreteria suara tidak sah,
diakui komisioner KPU NTB dalam FGD, adalah kekhawatiran
dijadikan sebagai tanda atau bukti atau kode bagi pemilih dan
peserta, berkaitan dengan money politik. Oleh karena itu,
sebaiknya, semua hal yang berkaitan dengan kekhawatiran-
kekhawatiran yang bersifat kasuistis, agar tidak ditumpuk
pada syarat sah dan tidak sah suara, sebab akan merugikan
pemilih, peserta, penyelenggara dan khususnya Negara.
e. Pengaruh indoktrinasi peserta pemilu pada Pemilu
Legislatif tentang tatacara memilih di bilik suara
Waktu pelaksanaan Pemilu Legislatif dengan Pemilu
Preiden dan Wakil Presiden yang berbeda namun dengan jarak
yang relative dekat memiliki andil terhadap perilaku pemilih
104
sehingga berdampak pada tidak sahnya suara mereka yang
ditandai dengan beragam pola dalam memberikan hak suara
atau mencoblos surat suara. Pemilu Presiden diakui bahwa
intensitas interaksi antara peserta dengan pemilih sangat jauh
dan terbatas, sangat jauh berbeda dengan Pemilu Legislatif,
terutama sejak diberlakukannya sistem terbuka dan kembali
ke sistem tertutup. Interaksi peserta, terutama calon legislatif
dan tim pemenanginya masing-masing berebut ruang interaksi
serapat mungkin dengan peserta sehingga ada ruang
indoktrinasi secara intens kepada pemilih untuk mencoblos no
urut atau nama caleg dan atau gambar calon dan gambar
partai. Indoktrinasi ini berimbas pada cara pemilih
memberikan hak suaranya pada Pilpres 2014 yang dinyatakan
tidak sah dengan mencoblos dua pasangan calon baik pada
kolom foto kedua pasangan calon, bahkan foto semua calon
yang terpampang dalam surat suara, atau seperti terlihat
dalam tabel atau gambar tentang Pola 1 sampai Pola 13 di
atas.
f. Perubahan cara memilih dari contreng pada pileg 2009
menjadi coblos pada pilpres 2014
Data yang dihasilkan lewat riset yang telah dilakukan
oleh LP2M IAIN Mataram memaparkan bahwa meskipun bukan
menjadi penyebab utama kebingungan pemilih dalam
menggunakan hak pilihnya, namun perubahan cara memilih
dari contreng menjadi coblos telah memberikan kontribusi
105
yang cukup signifikan terjadinya surat suara tidah sah dalam
Pilpres.
FAKTOR PENYELENGGARA PEMILU
Penyelenggara Pemilu terutama pada unsur pelaksana
pemungutan suara di tingkat TPS juga memiliki kontribusi
secara tidak langsung terhadap tidak sahnya surat suara,
terutama dalam beberapa hal sebagai berikut;
a. Kelalaian Dalam Menjalankan SOP oleh petugas KPPS
Surat suara yang dinyatakan tidak sah adalah surat
suara yang telah digunakan oleh pemilih dan dimasukkan ke
dalam kotak suara. Apabila ada surat suara yang tidak sah
karena adanya kerusakan pada surat suara, maka dipastikan
kerusakan tersebut disebabkan oleh pemilih. Mengapa
demikian, karena KPU sudah menetapakan SOP yang cukup
ketat dan panjang terkait dengan alur dan prosedur surat
suara dari masa percetakan hingga diberikan kepada pemilih
di TPS.
Dalam pasal 34 Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014
khususnya Ayat (1) disebutkan bahwa salah satu hal yang harus
dilakukan oleh Ketua KPPS setelah memberikan penjelasan
tentang tata cara memilih kepada pemilih di TPS adalah
memberikan surat suara kepada pemilih dalam keadaan
baik atau tidak rusak. Untuk memastikan surat suara yang
diberikan kepada pemilih tidak rusak, maka terlebih dahulu
106
dipastikan kondisi kertas surat suara dengan cara: bersama
anggota KPPS lainnya membuka lipatan kertas surat suara,
memeriksa kondisinya, dan apabila sudah dipastikan dalam
keadaan baik, maka dibubuhi tanda tangan oleh ketua KPPS
untuk selanjutnya diberikan kepda Pemilih. Hanya saja,
sebagaimana diungkap peserga FGD di tingkat provinsi, hampir
semua KPPS tidak menjalankan SOP dengan maksimal, karena
menganggap semuanya sudah berjalan dengan baik.
Apabila kondisinya demikian, maka surat suara tidak
Sah sebagaimana pola 16, sangat mungkin tidak disebabkan
oleh pemilih, melainkan kondisinya memang sudah rusak
sebelum digunakan oleh pemilih. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kelalaian menjalankan SOP secara
maksimal oleh petugas KPPS dapat menjadi faktor
penyebab Pola suara tidak sah ke 16 dalam pelaksanaan
Pilpres 2014.
b. Ketidaktahuan KPPS tentang Peraturan Yang
Membolehkan KPPS Memberikan Penjelasan Secara
Berulang Sesuai Kebutuhan di TPS.
KPPS terbentuk satu hari sebelum hari pemungutan
suara. Konsekuensinya, mereka tidak dapat melakukan
sosialisasi tentang tata cara pemungutan suara yang
merupakan informasi penting bagi masyarakat pemilih.
Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014 hanya memberi tugas
kepada KPPS menjelaskan tata cara pemungutan suara pada
107
hari pemungutan suara di TPS. Persoalannya adalah mereka
hanya mengetahui penjelasan tentang tata cara pemberian
suara kepada pemilih hanya dilakukan satu kali. Sementara
banyak pemilih datang ke TPS setelah petugas KPPS selesai
memberikan penjelasan tersebut.
Menurut mereka, petugas KPPS tidak berani
menjelaskan kepada pemilih secara berulang-ulang karena
tidak ada payung hukum. Sementara komisioner KPU
Kabupaten/Kota menjelaskan bahwa memberikan penjelasan
tentang tata cara pemberian suara yang benar kepada pemilih
merupakan kewajiban KPPS. Jika merunut penjelasan KPPS
dan KPU di atas, terlihat bahwa KPPS tidak mengetahui
adanya aturan yang memberikan tugas kepada mereka untuk
memberikan penjelasan berulang sesuai kebutuhan. Akibat
petugas KPPS hanya memberikan penjelasan secara formal
sesuai aturan yang diketahuinya, sekalipun mereka akui tidak
efektif, karena momentumnya masih sepi audien atau pemilih.
Bagi mereka penjelasan langsung tentang tata cara
pemberian hak suara di TPS sangat penting bagi pemilih
pemula dan lanjut usia. Hal ini secara tidak lagsung
berkontribusi terhadap suara tidak sah terutama pola
Nomor 1 sampai pola Nomor 16, karena tidak ada
penjelasan oleh KPPS kepada pemilih, tetapi juga
disebabkan oleh KPU yang tidak tuntas memberikan
penjelasan pada saat BIMTEK, dan termasuk tidak
dipertegas dalam buku Panduan KPU.
108
FAKTOR PESERTA, PARTAI POLITIK PENGUSUNG, DAN TIM SUKSES
Secara umum, masih besarnya suara tidak sah pada
semua jenis Pemilu, termasuk pemilu presiden dan wakil
presiden secara tidak langsung disebabkan oleh belum
maksimalnya Partai Politik di Indonesia menjalankan
fungsinya, terutama fungsinya sebagai pelaksana pendidikan
politik, Sarana rekrutmen politik sekaligus sebagai sarana
komunikasi politik.
Rekrutmen kader pada Pemilu legislative tidak
mempetimbangkan kematangan, melainkan hanya kekuatan
modal atau uang, sehingga dalam Pemilu Legislatif, misalnya,
masing-masing calon baik intern partai maupun antar partai
hanya mendekati pemilih dengan kekuatan uang, bukan
ideologi dan keberpihakan. Akibatnya, pada saat Pemilu
presiden, calon yang diusung partainya belum tentu diketahui
pemilih, bahkan belum tentu didukung oleh kader partai
pengusungnya. Dalam konteks adanya suara tidak sah pada
pilpres 2014 di NTB, maka secara tidak langsung disebabkan
oleh kurangnya komunikasi politik oleh partai pengusung
dengan pemilih, sekaligus rusaknya mental pemilih oleh
perilaku politik kader partai pada pemilu legislatif yang
membiasakan adanya money politik.
109
a. Rendahnya Komunikasi politik tim pemenangan dengan
masyarakat
Pemilu presiden dan wakil presiden memiliki
karekteristik yang berbeda dengan pemilu legislatif atau
Pilkada dari aspek kepentingan politik antara peserta pemilu
(pasangan calon) dengan pemilih. Apabila pemilu legislatif dan
Pilkada, kepentingan politik antara peserta pemilu dengan
pemilih adalah kepentingan politik langsung, karena faktor
keluarga/kerabat dan faktor kepentingan keterwakilan
wilayah, maka pemilu presiden dan wakil presiden,
kepentingan-kepentingan politik tersebut tidak nampak.
Dalam karekteristik pemilu presiden dan wakil presiden
yang demikian, intensitas komunikasi politik antara tim
pemenangan dengan pemilih menjadi sangat penting guna
mempengaruhi motivasi pemilih. Persoalannya adalah tim
pemenangan pasangan calon yang terbentuk di daerah tidak
intensif melakukan komunikasi politik dengan masyarakat
untuk memperkenalkan pasangan calon mereka. Apa visi, misi
pasangan calon untuk masyarakat, tidak pernah disampaikan.
Akibatnya masyarakat juga menjadi pasif dalam konteks
pemilu presiden dan wakil presiden. Efek ikutannya ada
dua: (1) masyarakat tidak memiliki pilihan politik karena
mereka tidak memiliki referensi terhadap peserta pemilu;
(2) masyarakat berfikir, demi keadilan harus dipilih kedua
pasangan calon sekaligus.
110
b. Politik uang (money politics) relatif kecil
Pemilu sebagai arena (spasial) merupakan fenomena
yang di dalamnya ada proses dominasi elit terhadap
masyarakat kelas bawah. Kapital merupakan alat dominasi
efektif dalam pemilu, sehingga kapital merupakan instrument
untuk mengkonstruksi perilaku memilih masyarakat. Pierre
Felix Bourdieu membagi kapital menjadi empat, yakni;
ekonomi, politik, budaya, dan simbol.39
Partisipasi masyarakat dalam pemilu di Indonesia
khususnya di daerah-daerah pedesaan tidak sepenuhnya
partisipasi mandiri atau otonom, melainkan partisipasi yang
dimobilisasi oleh elit. Proses mobilisasi masyarakat
memerlukan modal (kapital) sebagai elemen penggeraknya.
Dari empat kapital yang dikemukakan Bourdieu di atas,
ekonomi merupakan kapital yang memegang peran utama.
Praktek dari penggunaan kapital ekonomi dalam pemilu adalah
politik uang.
Pada pemilu anggota legislatif 2014, politik uang
berkembang secara jamak, sudah barang tentu fenomena ini
juga terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Akibatnya,
masyarakat telah menjadi sangat akrab dengan politik uang.
Bagi masyarakat, pemilu identik dengan aktivitas membagi-
bagi uang, gula, jilbab, sarung, kurma, dan berbagai
kebutuhan pokok lainnya. Dengan fenomena ini, masyarakat
39 Akhyar Yusuf Lubis, Pestmodernisme: Teori dan Metode, diterbitkan oleh PT RajaGrafindo Persada, 2014: hal.109
111
berpartisipasi karena “membayar hutang pada tim
pemenangan atau calon”, karena mereka sudah menerima
uang atau barang beberapa hari sebelum hari pemungutan
suara.
Fenomena politik uang pada pemilu presiden dan wakil
presiden 2014 tidak seperti fenomena politik uang pada
pemilu legislatif. Dalam situasi sosial yang demikian,
masyarakat merasakan pemilu tidak meriah, hampa, dan
dianggap tidak bermakna bagi mereka. Sementara karena
pengaruh nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan sosial
mereka, mengharuskannya datang ke TPS, meskipun mereka
tidak memiliki pilihan politik. Dalam situasi sosial yang
demikian, pilihan politik mereka kemungkinan memilih kedua
pasangan calon secara bersamaan. Dengan demikian,
kecilnya praktek politik uang pada pemilu presiden dan
wakil presiden tahun 2014 menjadi salah satu faktor
secara tidak laagsung yang mempengaruhi suara tidak sah,
dengan membuat pemilih menjadi apatis.
FAKTOR PEMILIH
a. Ketidakcermatan Pemilih
Tidak sahnya suara akibat kerusakan surat suara
sesungguhnya dapat ditelusuri melalui perilaku pemilih pada
waktu proses pemungutan suara berlangsung. Kerusakan surat
suara ini bisa terjadi karena ketidakcermatan pemilih dalam
memeriksa surat suara yang diberikan oleh petugas KPPS.
112
Dalam ketentuan pasal 35 Peraturan KPU Nomor 19 Tahun
2014 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat
Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014, disebutkan bahwa: (a) setelah menerima
surat suara dari petugas KPPS, pemilih wajib memeriksa dan
meneliti surat suara tersebut dalam keadaan baik atau rusak;
(b) apabila pemilih menerima surat suara rusak, pemilih dapat
meminta surat suara pengganti kepada Ketua KPPS, dan Ketua
KPPS wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu)
kali serta mencatatnya dalam berita acara.
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa belum adanya
pemilih yang meminta surat suara ulang ke KPPS karena salah
pilih atau surat suara yang diterimanya rusak. Pola 16 suara
tidak sah sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat
mungkin disebabkan oleh karena ketidakcermatan pemilih
dalam memeriksa kertas surat suara sebelum dimasukkan
ke dalam kotak suara, sekaligus ketidaktahuan pemilih
atas aturan yang membolehkan mereka untuk meminta
surat suara pengganti, apabila rusak sebelum dimasukkan
ke kotak suara.
b. Pemilih awam
Mendefinisikan pemilih awam bukan persoalan mudah.
Namun berdasarkan persepsi yang dihimpun melalui penelitian
yang telah dilakukan, maka definisi pemilih awam dapat
dirangkum, sebagai berikut:
113
Pemilih tidak mengenal siapa pasangan calon yang menjadi
peserta pemilu. Misalnya, ketika mereka bertanya siapa
nama calon pemilu ini, lantas dijelaskan bahwa calonnya
adalah Joko Widodo, mereka masih bertanya lebih lanjut,
siapa Joko Widodo itu. Demikian halnya ketika dijelaskan
tentang Prabowo.
Pemilih yang karena faktor usia (responden mendefinisikan
usia di atas 70 tahun) dan tidak pernah mengenyam
pendidikan formal
Pemilih pemula yang tidak mengerti tentang tata cara
pemberian suara karena cara pemberian suara antara
pemilu legislative yang baru mereka lalui dengan pemilu
presiden dan wakil presiden berbeda
Pemilih marginal, yaitu pemilih yang tempat tinggalnya
terpencil sehingga tidak terjangkau akses informasi pemilu
Karena ketidaktahuan pemilih tentang berbagai soal
teknis pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014, mereka
memberikan suaranya dengan cara yang tidak benar sehingga
menyebabkan surat suara tidak sah, sebagaimana kriteria yang
telah ditetapkan oleh Peraturan KPU. Pemilih awam ini
terdapat di pedesaan dengan tempat tinggal terpencil dari
pusat pemerintahan desa. Akibatnya mereka kurang mendapat
akses informasi tentang pemilu presiden dan wakil presiden
tahun 2014. Mereka tidak tersentuh oleh program sosialisasi
dari KPU dan tidak tersentuh oleh komunikasi politik yang
dilakukan tim pemenangan pasangan calon. Oleh karena itu
Pola 15 suara tidak sah besar kemungkinannya dilakukan
oleh pemilih awam, sehingga hanya sekali membuka
lipatan surat suara langsng diberikan tanda coblos,
114
sehingga membentuk empat tanda coblos secara simetris
atau tembus.
c. Pemilih apatis
Terjadinya pola coblos pada dua pasangan sekaligus
disebabkan oleh faktor apatisme pemilih. Pendefinisian
pemilih apatis adalah pemilih yang datang ke TPS masuk di
dalam bilik suara tetapi tidak memberikan suara dengan benar
(surat suara dicoblos pada dua pasangan calon) seperti contoh
kasus yang terjadi di TPS 7 Desa Rempek Kabupaten Lombok
Utara.
Fenomena apatisme pemilih disebabkan oleh banyak
faktor seperti yang disadurkan dibawah ini.
Karena mereka tidak menerima politik uang yang telah
menjadi tradisi setiap momentum pemilu
Tidak mengenal ketokohan pasangan calon
Sosialisasi pemilu yang rendah jika dibandingkan dengan
pemilu legislatif
Keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk
memberikan himbauan yang merupakan panutan
masyarakat rendah
Kepentingan politik langsung masyarakat dengan pasangan
calon presiden dan wakil presiden rendah
Masyarakat kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah
dalam bentuk pembangunan maupun bantuan social,
sehingga menimbulkan kekecewaan mereka.
115
encermatan terhadap seluruh data di atas,
memperlihatkan bahwa surat suara tidak sah pada
pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014
merupakan hasil (output) dari kompilasi antara input
dan proses. Tidak dapat dipastikan secara personal siapa
penyebab langsung dari suara tidak sah, namun secara umum
dapat dipastikan bahwa penyebab secara tidak langsung dari
suara tidak sah pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun
2014 di NTB adalah kompilasi peran dari empat aktor dalam
pemilu yang selalu saling berkaitan, yaitu; sistem pemilu,
penyelenggara, peserta dan pemilih. Dengan demikian,
penyebab masih adanya suara tidak sah pada pemilu di
Indonesia bersifat sistemik-timbal balik antar aktor terbatas;
sistem, penyelenggara, peserta dan Pemilih. Namun, pemilih
sebagai pihak pemegang kedaulatan dalam pemilu, maka
harus dikeluarkan sebagai penyebab, melainkan kesalahan
mereka adalah bukti mereka sebagai korban pemilu, termasuk
petugas pelaksana tehnis pemilu di TPS. Oleh karena itu, perlu
dibenahi secara langsung bukan pemilih, melainkan tiga hal
yang menjadi sumber daya utama yang mempengaruhi proses
P
Kompilasi Pola Suara Tidak Sah Dengan Faktor Penyebab 9
116
Faktor Individual
F. Tidak Langsung/Sumber Utama
Peserta Pemilu :
Komunikasi Politik Pendidikan Politik
Money politics
Penyelenggara Pemilu:
Sosialisasi Pemilu Bimtek KPPS
Sortir Surat Suara
Sistem Penyelenggaraan :
Regulasi Teknis Anggaran Sosialisasi
dan Bimtek
Pemilih Apatis
Pemilih Awam
Kurang
pengetahuan
Petugas KPPS
SURAT SUARA
TIDAK SAH PILPRES 2014 DI NTB
F. Langsung /Korban
Faktor Organisasional
pemungutan suara, yakni: peserta pemilu, penyelenggara
pemilu, dan sistem penyelenggaraan pemilu.
Gambar di bawah ini menjelaskan bahwa, faktor
penyebab suara tidak sah terbagi ke dalam dua kelompok,
yakni faktor langsung dan faktor tidak langsung. Sedangkan
sifat seluruh faktor ada dua, yaitu: faktor yang bersifat
individual dan bersifat organisasional. Faktor langsung ada
tiga, yaitu: (1) adanya pemilih apatis; (2) adanya pemilih
awam; (3) kurangnya pengetahuan petugas KPPS. Faktor tidak
langsung juga ada tiga, yakni: (1) peserta pemilu; (2)
penyelenggara pemilu; (3) sistem penyelenggaraan pemilu.
Bagan 6: Kompilasi faktor penyebab suara tidak sah Pilpres 2014 di NTB
117
Faktor pertama dan kedua disebut sebagai faktor
individual, yakni tidak sahnya surat suara karena sebab
individual dari pemilih sebagai aktor yang menggunakan surat
suara sebagai alat pemberian suara. Sedangkan faktor kedua
dan semua faktor tidak langsung merupakan faktor
organisasional, yakni tidak sahnya surat suara disebabkan oleh
konstruksi organisasional penyelenggaraan pemilu.
Munculnya pemilih apatis dan pemilih awam pada pemilu
presiden dan wakil presiden tahun 2014 di NTB disebabkan
karena lemahnya komunikasi, pendidikan politik salah kaprah
dari peserta pemilu sehingga membetuk perilaku pemilih
menjadi pemegang mazhab ekonomis praktis melalui politik
uang (money politics), maupun lemahnya pelaksanaan
sosialisasi pemilu oleh penyelenggara pemilu. Sebagaimana
dikemukakan oleh Damsar dan Budiardjo pada penjelasan bab
dua di atas, dua diantara fungsi partai politik yang penting
adalah komunikasi politik dan pendidikan politik.
Ketika dua fungsi di atas tidak dilaksanakan secara baik,
sebagaimana penjelasan pada poin faktor-faktor penyebab di
atas, maka pemilih tidak memiliki referensi politik yang
tuntas. Demikian halnya, penyelenggara pemilu memiliki
fungsi sosialisasi terhadap seluruh tahapan pemilu. Frekuensi,
metode, media, dan sasaran sosialisasi yang tidak efektif
menyebabkan masyarakat marginal pedesaan miskin akses
informasi perihal pemilu. Akibat faktor-faktor di atas,
118
referensi politik pemilih menjadi rendah, menyebabkan
mereka menjadi pemilih apatis dan awam tentang pemilu.
Salah tafsir petugas KPPS tentang kriteria surat suara sah
dan kriteria surat suara tidak sah, khususnya yang terjadi pada
pola 16 disebabkan oleh kurang maksimalnya bimbingan teknis
(Bimtek) tata cara pemungutan suara. Materi Bimtek terlalu
fokus pada tata cara rekapitulasi dan mengabaikan
pembahasan secara tuntas tentang definisi surat suara,
sebagai pemahaman awal menilai surat suara sah dan tidak
sah dalam pemungutan suara. Di samping itu, jumlah anggota
KPPS yang diberikan Bimtek hanya 2 (dua) dari 7 (tujuh) orang
anggota. Lemahnya materi dan terbatasnya jumlah anggota
KPPS yang mengikuti Bimtek menyebabkan transformasi
perihal pemungutan suara belum sampai kepada semua
anggota KPPS.
Disamping soal Bimtek, salah tafsir petugas KPPS tentang
surat suara sah dan surat suara tidak sah muncul karena buku
pedoman pemungutan suara yang merupakan “buku pinter”
KPPS memberikan contoh-contoh surat suara tidak sah. Pada
contoh surat suara tidak sah disebutkan tanda coblos di luar
kolom pasangan calon dan tanda coblos pada salah satu
pasangan calon dicontohkan sebagai tidak sah. Demikian
halnya tanda sobekan pada surat suara. Sementara dalam
Peraturan KPU tidak menjelaskan secara detail hal tersebut.
Menurut komisioner KPU Kabupaten/Kota kasus tersebut
119
seharusnya menjadi sah, namun petugas KPPS berpedoman
pada buku pedoman.
Apabila frekuensi sosialisasi dan Bimtek dalam internal
organisasi penyelenggara pemilu maksimal, sudah barang
tentu salah tafsir petugas KPPS dapat dikurangi. Artinya
bahwa kurangnya frekwensi sosialisasi dan Bimtek yang
diberikan kepada petugas KPPS cenderung menyebabkan salah
tafsir petugas KPPS terhadap kriteria surat suara sah dan tidak
sah.
Persoalan kurangnya sosialisasi dan Bimtek terjadi akibat
keterbatasan anggaran. Seluruh pembiayaan pemilu presiden
dan wakil presiden bersumber dari APBN dan dialkokasikan
oleh KPU RI. Persoalannya adalah sistem penganggaran
pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 belum
berpihak pada pemungutan suara sebagai bagian akhir yang
menentukan akuntabilitas seluruh proses penyelanggaraan
tahapan. Penganggaran pemilu gemuk pada bagian hulu dan
kurus pada bagian hilir. Akibatnya, proses persiapan
pemungutan suara di tingkat TPS kurang maksimal.
Kondisi surat suara yang telah disortir dari KPU
Kabupaten mengkonstruksi pemahaman petugas KPPS untuk
meyakini semua surat suara dalam kondisi baik atau tidak
rusak. Karena itu, sebagian petugas KPPS tidak membuka
kembali surat suara sebelum dibawa ke bilik suara oleh
pemilih. Akibat penafsiran ini, sebagian dari rusaknya surat
suara tidak teridentifikasi sebelum surat suara terpakai, dan
diketahui setelah surat suara dihitung. Konsekuensinya,
120
menjadi tidak sah. Dengan demikian, faktor organisasional
berkontribusi tidak langsung dan langsung terhadap tidak
sahnya surat suara.
Di lihat dari kompilasi pola dan faktor penyebab surat
suara tidak sah, maka nampak sebagaimana tabel dibawah ini.
Tabel 12:
Kompilasi Pola dan Penyebab Suara Tidak Sah
No Pola Faktor Penyebab yang saling berkelindan
1
1
s/d
12
Sosialisasi miskin metode, konten, frekuensi, dan
segmen (sistem penyelenggaraan)
Rendahnya komunikasi politik tim pemenangan dengan masyarakat (peserta pemilu)
Rusaknya model pendidikan politik oleh partai
melalui kader/calegnya membuat pemilih fanatik dengan mazhab ekonominya dalam pemilu.
Rendahnya atau konsistennya pemanfafatan uang sebagai capital pendidikan politik antara pileg dan pilpres (peserta pemilu)
Pemilih awam (pemilih)
Pemilih apatis (pemilih)
Indoktrinasi berlebih oleh caleg pada pemilih pada pilleg tentang cara memilih
Perubahan cara memilih dari contreng ada pileg
2009 menjadi coblos pada pilpres 2014 (sistem penyelenggaraan)
2
13
s/d
16
Kelalain KPPS menjalankan SOP secara maksimal
Ketidakcermatan petugas KPPS (penyelenggara)
Ketidakcermatan pemilih (pemilih)
Regulasi teknis dalam buku pedoman KPPS (sistem penyelenggaraan)
Bimtek petugas KPPS tidak maksimal (penyelenggara)
Sortir surat suara dengan ikatan 20 lembar
membuat sisi surat suara sobek (penyelenggara)
Sumber : Hasil Analisis Data
121
erdasarkan data hasil penelitian yang telah dihimpun
di lapangan, baik dari hasil observasi, wawancara,
maupun FGD yang dilakukan, telah dihimpun banyak
rekomendasi dan masukan untuk meminimalisir adanya surat
suara tidak sah dalam pemilu presiden berikutnya.
Rekomendasi dan strategi kebijakan yang terkait dengan hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari seluruh data
dan analisis pada bab 7, 8, 9, dan 10, tulisan ini memberikan
rekomendasi pada tiga aras, yakni; aras regulasi, aras
organisasional, dan aras individual.
Aras regulasi menfokuskan pada reformulasi petunjuk
teknis pemungutan suara. Aras organisasional merekomendasi-
kan beberapa aspek, yakni: penguatan fungsi partai politik,
reformasi manajemen sosialisasi dan Bimtek, dan membangun
anggaran berprespektif atau berbasis TPS. Sedangkan Aras
individual menekankan pentingnya pendidikan pemilih
berkelanjutan.
B
Rekomendasi dan Strategi Kebijakan 10
122
REFORMULASI PETUNJUK TEKNIS PEMUNGUTAN SUARA
Komisi Pemilihan Umum (KPU) diberi kewenangan oleh
undang-undang untuk menetapkan peraturan teknis
pelaksanaan tahapan pemilu di bawah undang-undang, tanpa
harus berpedoman pada peraturan pemerintah. Kewenangan
tersebut adalah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) yang
mengikat semua unsur terkait pemilu. PKPU mengikat
penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih, pemantau
pemilu, dan semua stakeholder. Dalam hal yang demikian,
PKPU memiliki posisi yang setara dengan Peraturan Presiden.
Meskipun tentu saja kewenangan KPU menetapkan PKPU hanya
terbatas pada aturan teknis pelaksanaan tahapan pemilu.
Dalam membuat PKPU, undang-undang mengatur KPU
untuk berkonsultasi dengan DPR. Mekanisme ini mengandung
dua makna: menghadirkan legitimasi PKPU, dan mencegah
penyalahgunaan kewenangan KPU agar tetap menjadi
penyelenggara pemilu yang imparsial. Legitimasi publik
terhadap PKPU penting, mengingat PKPU mengikat semua
aktor pemilu. Persoalannya memang tidak ada keharusan KPU
untuk mengikuti kemauan DPR dalam hal penetapan PKPU atas
hasil konsultasi. Namun demikian, konsekuensi moral dari
PKPU yang ditetapkan dengan terlebih dahulu dikonsultasikan
ke DPR adalah menuntut kehati-hatian KPU dalam membuat
peraturan lebih teknis di bawah PKPU.
Membuat pedoman tata cara pemungutan suara pemilu
presiden dan wakil presiden yang menjadi pegangan KPPS,
123
merupakan salah satu yang harus dibuat dengan cermat oleh
KPU. Oleh karena pedoman pemungutan suara merupakan
referensi utama petugas KPPS, sebab biasanya KPPS tidak mau
membaca PKPU. Maka dalam pembuatan PKPU dan pedoman
pemungutan suara, sebaiknya KPU memperhatikan beberapa
hal sebagai berikut:
a. PKPU dan Pedoman Berbasis Masalah.
Data berbasis hasil riset memperlihatkan kebiasaan-
kebiasaan KPPS karena situasi lapangan seperti tidak
melaksanakan seluruh SOP yang bersifat administratif
apabila diatur secara rigit maka dapat merugikan pemilih
dan peserta pemilu, karena surat suaranya menjadi tidak
sah. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya
penyusunan PKPU dan Pedoman menjawab persoalan
lapangan melalui proses simulasi terhadap pemungutan
suara dengan melibatkan calon KPPS untuk mendapatkan
gambaran terhadap komponen-komponen yang akan di
atur. Simulasi sebaiknya dilakukan dengan mengambil
sampel di beberapa daerah
b. Perbanyak konsultasi publik atas hasil simulasi.
Pemungutan suara merupakan bagian terpenting dari
seluruh tahapan pemilu. Semua tahapan pemilu dari hulu
bermuara pada pemungutan suara. Disamping menjadi
sumber legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih,
124
pemungutan suara juga menjadi sumber akuntabilitas
publik KPU sebagai penyelenggara pemilu. Karena itu
perangkat regulasi teknis pemungutan suara harus efektif.
Dalam rangka itu, penyusunan PKPU dan Pedoman
sebaiknya didahului dengan memperbanyak konsultasi
publik sebagai media mendapatkan masukan publik.
c. Hindari multi-tafsir pada contoh penggunaan surat suara.
Contoh-contoh kriteria surat suara sah dan surat suara
tidak sah dalam pedoman pemungutan suara menjadi
rujukan terakhir KPPS dalam menentukan putusan terhadap
status sah atau tidak sahnya surat suara. Karena itu,
pembuatan contoh kriteria surat suara sah dan surat suara
tidak sah harus menghindari multi-tafsir. Bedakan antara
kewajiban administrative dengan kreteria suara sah dan
suara tidak sah, atau dengan kata lain, jangan menjadi
kewajiban administrative seperti penandatangan kertas
surat suara sebagai kewajiban KPPS atau SOP, tapi tidak
otomatis menjadi kreteria penetapan surat suara menjadi
sah atau tidak sah. Jangan menumpukkan semua
kekhawatiran parsial atau kasuistis sebagai penambah
kreteria surat suara menjadi sah dan tidak sah, seperti
kasus sobekan dan/atau coretan. Harus disinkronkan antara
kreteria surat suara sah dan surat suara tidak sah dalam
bentuk naratif dan bentuk visual.
125
d. Pengaturan berprespektif penyelamatan pilihan rakyat.
Menghilangkan ketentuan-ketentuan yang mengarah pada
tidak sahnya surat suara diluar substansi pemberian suara.
Ruang suci atau hakekat surat suara pemilu presiden dan
wakil presiden adalah nomor urut, foto pasangan calon,
dan nama pasangan calon. Dengan demikian sepanjang
pemilih telah memberikan suaranya dengan mencoblos
bagian-bagian substansial tersebut, lantas ada tanda lain di
luar, atau sobekan dipinggir kertas suara, sebaiknya surat
suara tersebut menjadi kategori surat suara yang sah.
e. Hindari keterjebakan administratif.
Ketentuan yang mengatur tentang surat suara sah apabila
ditandatangani oleh Ketua KPPS sebaiknya dihilangkan
karena kelalaian petugas KPPS menandatangani surat suara
menyebabkan pilihan rakyat tidak bermakna, sementara
penyebabnya bukan karena pemilih. Jika dilihat secara
substantive, misalnya pemilih telah memberikan suaranya
dengan benar dengan cara mencoblos salah satu pasangan
calon. Namun karena surat suaranya tidak ditandatangani
oleh Ketua KPPS, menyebabkan suaranya menjadi tidak
sah. Fenomena ini tentu merugikan pemilih dan peserta
pemilu, akibat kelalaian petugas KPPS berdasarkan
ketentuan administrasi yang berlaku.
126
PENGUATAN FUNGSI PARTAI POLITIK
Pada bab 4 telah dijelaskan fungsi-fungsi partai politik,
yang terdiri dari empat belas fungsi. Fenomena pemilih apatis
dan pemilih awam sebagai aktor yang menyebabkan surat
suara tidak sah disebabkan oleh fungsi partai politik, yakni
minimnya fungsi komunikasi politik dan pendidikan politik di
satu sisi. Termasuk minimnya fenomena politik uang (money
politics), meskipun tentu tulisan ini bukan berarti setuju
dengan perilaku money politics. Pengakuan responden
menyebutkan bahwa masyarakat telah sangat akrab dengan
money politics yang dilakukan partai politik pada setiap
momentum pemilu. Ketika pada pemilu presiden dan wakil
presiden tahun 2014 masyarakat tidak menerima hadiah
apapun dari partai politik pengusung pasangan calon,
menyebabkan mereka menjadi apatis.
Dari temuan-temuan seperti yang ditunjukkan oleh hasil
riset yang telah dilakukan, buku ini memberi rekomendasi
yang ditujukan kepada partai politik, sebagai berikut:
1) Sosialisasi politik, komunikasi politik dan pendidikan politik
sepanjang masa.
Partai politik harus diberi ruang untuk melakukan
sosialisasi politik, komunikasi politik, dan pendidikan
politik manifest yang berlangsung dalam bentuk transmisi
informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input,
dan output sistem politik. Karena itu, diperlukan sistem
yang memberikan fungsi maksimal kepada partai politik
127
untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Misalnya,
negara harus menyediakan anggaran bagi partai secara
kontinyu setiap tahun anggaran. Dengan demikian,
aktivitas partai untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut
tidak berhenti setelah penyelenggaraan pemilu selesai.
2) Sistem pemilu bersih dari money poliics .
Fenomena money politics telah menjadi penyakit akut
dalam pemilu Indonesia. Akibatnya, muncul dua gejala,
yakni ketergantungan terhadap money politics dan budaya
money politics. Untuk memutus rantai terhadap dua gejala
ini, diperlukan tiga hal: (a) diperlukan tindakan-tindakan
persuasif negara melalui pemberian sanksi keras terhadap
pelaku money politics; (b) memperkuat fungsi Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan memberikan
kewenangan menindak langsung pelanggaran berkaitan
dengan money politics; (c) diperlukan internalisasi nilai-
nilai pemilu bersih, jujur, dan adil melalui pendidikan
politik oleh partai politik.
MANAJEMEN SOSIALISASI DAN BIMTEK
Masyarakat komunal pedesaan memiliki banyak
keterbatasan informasi yang disebabkan oleh keterbatasan
media masa (radio, surat kabar, dan televisi). Oleh karena
itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam
menerjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut
amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat
128
perbedaan orientasi dan sikap (attitude) di antara kelompok-
kelompok masyarakat. Pemilih awam termasuk perilaku
apatisme disebabkan karena masyarakat pedesaan khususnya
kelompok-kelompok yang tinggal di pedesaan terpencil,
seperti di pegungungan, tidak memiliki informasi tentang
perihal pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014.
Pada ranah petugas KPPS munculnya kesalahpahaman
mereka tentang definisi surat suara, sehingga mereka
memutuskan tidak sah kasus surat suara sobek di pinggir,
disebabkan oleh kurang efektifnya Bimtek yang dilakukan oleh
PPS. Materi bimtek lebih banyak membahas tehnik rekapitulasi
dan kurang memperhatikan transformasi tentang definisi surat
suara. Persoalan lainnya adalah jumlah anggota KPPS yang
diberikan Bimtek hanya 2 orang dari 7 anggota.
Terkait dengan persoalan di atas, buku atau tulisan ini
memberikan rekomendasi, sebagai berikut:
a) KPU perlu membentuk komunitas pemilu yang berasal dari
orang-orang yang berpotensi menjadi petugas KPPS.
Komunitas pemilu tersebut diberikan pelatihan atau
kursus singkat tentang kepemiluan, dan selanjutnya
mereka menjadi mitra KPU dalam sosialisasi pemilu.
Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat, tentu
akan membantu percepatan informasi pemilu menjangkau
masyarakat marginal di pedesaan
b) Khusus untuk pemilih pemula, sebaiknya metode simulasi
pemungutan suara lebih diperbanyak dibanding dengan
129
metode-metode yang lain. Cara ini akan membangun
keterampilan pemilih pemula menggunakan hak pilihnya.
Metode ini penting untuk menjawab kebutuhan pemilih
pemula tentang tata cara pemberian suara
c) KPU perlu melibatkan elit-elit budaya, agama, atau
pemangku adat sebagai komunikator dalam sosialisasi
guna menjawab kebutuhan masyarakat marginal
pedesaan. Disamping itu strategi komunikasi dengan
kesenian rakyat perlu dilakukan untuk efektifitas
sosialisasi pada pemilih-pemilih usia lanjut.
d). Agar terlebih dahulu KPU membuat peta kriteria pemilih,
kelompok mana yang terlihat awam tentang tata cara
pemberian suara dan kelompok mana yang pasif terhadap
pemilu. Kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
kriteria ini menjadi prioritas sosialisasi.
e). Seluruh anggota KPPS sebaiknya diikutkan dalam Bimtek
dengan materi dan alokasi waktu yang lebih banyak.
Pemahaman tentang definisi surat suara perlu menjadi
muatan materi yang harus diberikan.
f). Anggota KPPS perlu diberi kewenangan untuk melakukan
sosialisasi berulang-ulang tentang tata cara pemberian
suara pada saat proses pemungutan suara berlangsung.
Hal ini dimaksudkan agar seluruh pemilih mengetahui tata
cara pemberian suara yang benar.
130
ANGGARAN BERPRESPEKTIF PEMUNGUTAN SUARA
Sifat organisasi KPU yang hierarkhis rupanya berakibat
pada belum proporsionalnya anggaran pemilu di antara
tingkatan badan penyelenggara (KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS). Pada kasus pemilu
presiden dan wakil presiden tahun 2014 kegiatan sosialisasi
cukup tinggi dilakukan di KPU RI, namun tidak ada anggaran
sosialisasi di tingkat PPK dan PPS. Anggaran pemilu terlihat
besar di hulu, dan semakin ke hilir semakin tidak proporsional
untuk mendukung tugas-tugas sosialisasi, pendidikan pemilih,
dan Bimtek penyelenggara.
Pemilu sebagai mekanisme politik pemberian kedaulatan
kepada rakyat untuk memilih pemimpin politik mereka,
memiliki makna yang menempatkan pemungutan suara sebagai
bagian paling penting dari tahapan-tahapan lainnya. Tahap
pemungutan suara merupakan media yang disediakan negara
tentu saja melalui fungsi KPU dan Panitia Ad-hock untuk
memfasilitasi hak setiap warga dalam melaksanakan
kedaulatannya. Oleh karena itu, kualitas pelaksanaan
pemungutan suara menjadi indikator akuntabilitas publik
penyelenggaraan pemilu. Salah satu indikator yang digunakan
publik untuk melihat kualitas pemungutan suara adalah
perbandingan surat suara sah dengan surat suara tidak sah,
disamping tingkat partisipasi.
Dalam hal surat suara tidak sah tinggi, maka publik akan
memberikan kritikan kepada KPU sebagai agen yang tidak
131
mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memilih
masyarakat. Angka surat suara tidak sah pemilu presiden dan
wakil presiden 2014 di NTB masih tergolong rendah sebesar
0,93 %, jika dibanding secara nasional sebesar 1,02 %.
Meskipun surat suara tidak sah masih tergolong rendah,
namun salah satu penyebab terjadinya surat suara tidah sah
yang perlu menjadi atensi adalah pola penganggaran sosialisasi
dan Bimtek yang belum berperspektif pemungutan suara.
Anggaran sosialisasi masih didominasi oleh KPU RI dan KPU
Provinsi, sementara agen yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat pemilih adalah KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan
PPS. Demikian juga anggaran Bimtek untuk anggota KPPS
hanya tersedia untuk 2 orang anggota KPPS. Pola
penganggaran yang demikian dipandang cenderung
menyebabkan surat suara tidak sah.
Berdasarkan hal di atas, tulisan ini memberikan
rekomendasi terkait pola pengganggaran sosialiasasi dan
Bimtek pemilu, sebagai berikut:
1) PPK dan PPS hendaknya diberikan anggaran sosialisasi
pemungutan suara yang memadai guna mempercepat
transformasi keterampilan memilih masyarakat pedesaan.
2) Anggaran sosialisasi pemungutan suara hendaknya
merupakan anggaran yang lebih banyak mendesain
simulasi untuk pemilih-pemilih marginal
3) Anggaran Bimtek untuk anggota KPPS sebaiknya
ditingkatkan untuk 4 orang dengan asumsi 4 orang lebih
132
cepat melakukan transformasi kepada 3 orang anggota
KPPS yang lain, dibanding 2 orang dituntut melakukan
trasformasi kepada 5 orang anggota yang lain
4) Anggaran Bimtek anggota KPPS sebaiknya dialokasikan
untuk 2 hari dengan asumsi 1 hari untuk pemahaman isi
PKPU dan Buku Pedoman, dan 1 hari untuk simulasi dan
evaluasi proses belajar
SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN PEMILIH BERKELANJUTAN
Pendidikan pemilih merupakan proses dengan dimana
para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-
nilai, norma-norma, dan teknik pemberian suara yang benar
menurut peraturan perundang-undangan40. Output yang
diharapkan dari pendidikan pemilih sedikitnya ada dua, yakni:
(1) terinternalisasikannya nilai dan norma pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; (2)
tumbuhnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat
tentang tata cara pemberian suara dengan menggunakan surat
suara berdasarkan SOP yang ditetapkan penyelenggara.
Oleh karena pendidikan pemilih memiliki dua prinsip,
yakni prinsip nilai dan norma pemilu di satu sisi, dan prinsip
pengetahuan dan keterampilan pemilih di sisi yang lain, maka
KPU perlu menata sosialisasi dan pendidikan pemilih. Apabila
pada tahun 2014 KPU memiliki relawan demokrasi, mulai
40 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, ibid: hal.282
133
tahun 2016 sedang di bangun komunitas peduli pemilu dan
demokrasi, maka sebaiknya KPU membuat desain relawan
demokrasi dan komunitas pemilu yang berkelanjutan.
Sebaiknya agen-agen sosialisasi dan pendidikan pemilih yang
telah dibentuk KPU tidak berhenti sampai mereka diberi
pelatihan atau kursus pemilu. Idealnya agen-agen tersebut
diberi tugas untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan
pemilih secara berkelanjutan. Rumah Pintar Pemilu (RPP) yang
telah dibentuk KPU sebaiknya dimaksimalkan sebagai entitas
sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan. Dengan
demikian, dalam menyusun program sosialisasi dan pendidikan
pemilih berkelanjutan, sebaiknya KPU memfokuskan pada
bagaimana memaksimalkan semua perangkat yang telah
dibentuk.
135
KESIMPULAN
1. Terdapat enam belas jenis pola suara tidak sah pada
pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 di Provinsi
Nusa Tenggara Barat, dengan urutan sebagai berikut:
(a) terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan
calon;
(b) terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut dua
pasangan calon;
(c) terdapat tanda coblos pada kolom nama dua pasangan
calon;
(d) terdapat tanda coblos pada kolom nomor urut pasangn
calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan
calon yang lain;
(e) terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan
calon dan tanda coblos pada kolom nama pasangan
calon yang lain;
Kesimpulan dan Saran 11
136
(f) terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan
calon dan tanda coblos pada kolom nomor urut
pasangan calon yang lain;
(g) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) pada masing-
masing pasangan calon, yakni pada kolom nomor urut
dua pasangan calon dan kolom foto dua pasangan
calon;
(h) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto)
dan tanda coblos pada kolom nomor urut pasangan
calon yang lain;
(i) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto)
dan tanda coblos pada kolom foto pasangan calon
yang lain;
(j) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
pasangan calon (kolom foto dan kolom nama
pasangan) dan tanda coblos pada kolom foto
pasangan calon yang lain;
(k) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto
pasangan) dan tanda coblos pada kolom nama
pasangan calon yang lain;
(l) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
kolom foto pasangan calon dan tanda coblos pada
kolom foto pasangan calon yang lain;
137
(m) terdapat tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
pasangan calon (kolom nomor urut dan kolom foto)
dan tanda coblos pada garis kolom foto pasangan yang
lain;
(n) terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan
calon dan tanda coblos pada kolom luar di antara
kolom foto dua pasangan calon;
(o) terdapat tanda coblos pada kolom foto dua pasangan
calon dan tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada
kertas surat suara bagian atas kolom dua pasangan
calon; dan
(p) terdapat tanda coblos pada kolom foto pasangan
calon dan terdapat lebih dari 1 (satu) tanda sobekan
dari pinggir Surat Suara hingga masuk dalam kolom
foto pasangan calon dan pada bagian atas surat suara
dari pinggir hingga masuk sampai dibawah gambar
kotak surat suara.
2. Secara umum ada empat penyebab terjadinya suara tidak
sah pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 di
Provinsi Nusa Tenggara Barat, yakni;
a) sistem Penyelenggaraan Pemilu, yang di dalamnya
terkait dengan regulasi teknis/peraturan KPU yang
masih belum maksimal termasuk diantaranya tentang
perubahan cara memilih, sosialisasi yang belum massif,
bimbingan teknis pemungutan suara yang belum
138
mengcover semua petugas, sortir surat suara yang
belum sempurna;
b) faktor penyelenggara pemilu, yang didalamnya terkait
dengan kelalaian dalam menjalankan SOP secara
maksimal termasuk ketidakcermatan petugas KPPS dan
ketidaktahuan KPPS tentang kewenangan diskresi
sosialisasi mereka;
c) faktor Peserta Pemilu, Partai Politik Pengusung, dan
Tim Sukses, yang didalamnya terkait dengan rendahnya
komunikasi politik tim pemenangan dengan masyarakat,
dan juga karena suksesnya semua kalangan menekan
praktek politik uang (money politics); dan
d) factor pemilih, dengan beberapa perilaku politiknya
seperti ketidakcermatan pemilih, adanya pemilih
awam, dan pemilih yang apatis.
3. Untuk mengatasi adanya suara tidak sah pada pemilu
presiden dan wakil presiden berikutnya maka
direkomendasikan beberapa langkah strategis, yaitu:
a) reformulasi Petunjuk Teknis Pemungutan Suara, antara
lain terkait dengan membuat kebijakan yang berbasis
masalah, memperbanyak konsultasi publik atas hasil
simulasi, menghindari multitafsir pada contoh
penggunaan surat suara, mempertimbangkan untuk
penyelamatan suara rakyat pemilih, dan menghindari
keterjebakan regulasi;
139
b) penguatan fungsi partai politik agar bisa memberikan
pendidikan politik maksimal pada pemilih;
c) memperbaiki management sosialisasi dan bimtek
kepemiluan;
d) sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan; dan
e) menyusun anggaran yang berperspektif pemungutan
suara.
SARAN
Untuk menjamin adanya peningkatan kualitas pemilu
yang akan datang, maka disarankan kepada berbagai kalangan
sebagai berikut:
1. Agar terjadi penyegaran dalam penyelenggaran Pemilu,
khususnya pada level TPS, maka perlu dibangun sistem
pemilihan KPPS yang domokrasi dan terbuka, sehingga
tidak monoton. Petugas KPPS yang ditunjuk tanpa proses
demokratis, apalagi hanya berdasarkan pengalaman
sebelumnya, maka cenderung terjadi; aturan baru, praktek
lama. Kelalaian pelaksanaan SOP secara maksimal oleh
KPPS besar kemungkinan disebabkan oleh karena petugas
KPPS sudah merasa menjadi bagian dari pemilu itu sendiri,
sehingga tidak butuh pengetahuan tentang sistem dan
aturan.
2. Terjadi ketimpangan tingkat intensitas interaksi antara
peserta dengan pemilih pada beberapa jenis pemilu
nasional, terutama antara Pilleg dan Pilpres, maka
140
sebaiknya penyelenggaraan kedua jenis Pemilu nasional ini
dilaksanakan secara serentak. Hal ini akan menghemat
biaya dalam banyak hal, namun sekaligus memaksimalkan
peran dan fungsi partai.
3. Terkait dengan penelitian sebagai basis ilmiah menemukan
akar masalah dalam kepemiluan, maka terkait dengan
terus adanya suara tidak sah pada semua jenis pemilu
dengan jumlah yang variatif sekalipun tingkat
kesukarannya metode memilih dan keruwetan surat suara
antar beberapa jenis pemilu berbeda-beda, maka perlu ada
penelitian komprehensif terkait suara tidak sah baik pola
dan penyebabnya pada semua jenis pemilu pada satu
periode politik. Misalnya, KPU NTB mengkonsolidasikan
semua perguruan tinggi yang menjamur di NTB untuk
mengawal pemilu dengan sama-sama memulai dari
meneliti pola suara tidak sah, pola partisipasi dan
sebagainya.
141
DAFTAR PUSTAKA
Agus, 2013, Aktor Penyelenggara Pemilu, diterbitkan oleh Pusat Kajian Inovasi Pemerintahan Dan Kerjasama Antar Daerah Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya bekerjasama dengan CV. Kaukaba Dipantara, Jogjakarta
Amirudin, Ibramsyah, 2008, Kedudukan KPU Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amademen UUD 1945, diterbitkan oleh Laksbang Mediatama
Andrew, Heywood, 2014, Politik, Edisi Keempat, Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Asrinaldi, 2012, Politik Masyarakat Miskin Kota, Yogyakarta : Gava Media
Bungin, Burhan, 2004, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lain, Jakarta: Prenada Media Group
_____________, 2014, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Meedia Group
Budiarjdo, Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Damsar, Prof.,Dr., 2013, Pengantar Sosiologi Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group
Duverger, Maurice, 1984, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, diterbitkan oleh PT.Bina Aksara
Fadjar, Abdul Mukthie, 2012, Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Malang, Setara Press
Gafan, Afar, 1992, Javanes Voters: a study of election under a hegemonic party system, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
142
Geertz, Clifford, diterjemahkan oleh Mahasin & Rasnanto, 2014, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyai Dalam Kebudayaan Jawa, Komunitas Bambu
Marijan, Kancung, 2011, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana Prenada
Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data
Kualitatif, Terj.Tjetjep Rohendi, UI- Press, h.20.
Mulyosudarmo, Soewoto, 2004, Pembaharuan Ketatanegaraan
Melalui Perubahan Konstitusi, Malang, Asosiasi Pengajar
HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS
Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, diterbitkan oleh Kerjasama Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan JIP
________________, 2011, Partai Politik di Indonesia, Yogyakarta, Institut for Democracy and Welfarism
Prihatmoko, Joko.J., 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Ishiyama, John.T. & Marijle Breuning, 2013, Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21. Kencana Prenada Group
Kadri, 2015, Mozaik Pemilihan Umum: Esai-esai Praksis Komunikasi Politik, Mataram: GGI
Komisi Pemilihan Umum Nusa Tenggara Barat, 2014, Potret Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Provinsi NTB Tahun 2014, dicetak oleh KPU Provinsi NTB
KPU RI, 2014, Buku Panduan KPPS Pelaksanaan Pemungutan dan
Penghitungan Suara di TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
2014, Jakarta; Sekretariat KPU
143
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
UU No. 15 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden
PKPU No. 16 Tahun 2014
PKPU No. 19 Tahun 2014