Pokok Pokok Materi Kuliah Agama
-
Upload
wewakatsuki -
Category
Documents
-
view
142 -
download
7
description
Transcript of Pokok Pokok Materi Kuliah Agama
POKOK POKOK MATERI KULIAHRELIGIOSITAS
I. KEHIDUPAN BERIMAN
A. PENGALAMAN RELIGIUS MANUSIA
Rumusan “pengalaman religius manusia” dimaksudkan untuk mengatakan bahwa
pengalaman manusia akan Allah (ordo ad Deum) dihayati secara manusiawi. Oleh karena
itu, keterangan mengenai pengalaman manusia akan Allah diuraikan bertolak pada
pengalaman manusia itu sendiri dalam komunikasi dengan yang lain.
Istilah “komunikasi” berasal dari kata Latin : co artinya bersama, unus-a-um, artinya
satu dan facere : membuat, melaksanakan. Dari asal kata itu komunikasi diartikan sebagai
suatu proses persatuan menuju kesatuan.
1. Analisa mengenai komunikasi antar pribadi manusia
Pengalaman manusia terjadi bila manusia menyadari relasinya dengan realitas yang
lain (diri sendiri, sesama, alam dunia dan Tuhan) Istilah pengalaman menunjuk
kepada suatu yang dialami oleh manusia, yang wilayahnya lebih luas daripada
pengetahuan saja. Pengalaman manusia ini meliputi aspek-aspek : kognitif, afektif dan
psikomotorik. Supaya pengalaman menjadi utuh lengkap diperlukan usaha
internalisasi.
Komunikasi antar pribadi manusia merupakan suatu bentuk relasi yang dialami
manusia.
Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya komunikasi antar pribadi adalah sebagai
berikut :
1. Adanya pribadi-pribadi yang berperanan sebagai subjek PENYAMPAI (sender)
dan subjek PENERIMA (receiver) dalam komunikasi itu. Komunikasi pribadi bisa
terjadi kalau ada tanggapan timbal balik antara kedua pribadi tersebut. Kalau
demikian, yang terjadi adalah DIALOG antar pribadi.
2. Komunikasi itu mempunyai ISI (subtansi), yaitu apa yang disampaikan oleh
penyampai dan diterima oleh penerima isi komunikasi ini bersifat formatif, artinya
membentuk pribadi-pribadi satu sama lain. Bila yang disampaikan adalah
keterangan mengenai pikiran, pendapat, pengetahuan, maka isi komunikasi itu
berciri informatif, artinya penyampai membuat penerima isi komunikasi menjadi
tahu (aspek kognitif). Lebih dari itu bila isi komunikasi semakin melibatkan diri
pribadi si penyampai (misalnya perasaan, isi hati, pengalaman batin) isi
komunikasi menjadi semakin transformatif artinya memiliki kekuatan untuk
mengubah pribadi-pribadi yang terlibat dalam komunikasi itu. Informasi akan
membuat orang tergerak hatinya (aspek afektif) untuk memiliki sikap hidup yang
baru (aspek psikomotorik). Perhatikanlah proses persahabatan antara dua pribadi
yang semakin mendalam. Yang semula satu sama lian asing, bisa menjadi sahabat
yang saling mencinta. Dalam menuju persahabatan itu terjadilah proses dari
perkenalan sampai pada pencurahan isi hati yang melibatkan seluruh diri pribadi,
sehingga keduanya mengalamai transformasi diri menuju kesatuan.
3. Dalam komunikasi itu diperlukan SARANA/MEDIA komunikasi. Penyampai
mengalami proses merumuskan ada yang menjadi isi komunikasi, memasukkan isi
komunikasi dalam kode-kode yang dipahami oleh penerima (‘encoding”),
sedangkan penerima mengalami proses menafsirkan kode-kode yang diterima itu
(“decoding”). Kode-kode itu bisa berbentuk VERBAL (kata-kata yang bermakna
menurut sistem bahasa tertentu) atau NON-VERBAL (tanda isyarat, simbol,
lambang atau perbuatan yang bermakna).
4. Komunikasi antar pribadi itu secara konkret terjadi dalam RUANG dan WAKTU
tertentu dalam suatu KONTEKS BUDAYA tertentu. Konteks budaya yang sama
antar penyampai dan penerima mempermudah terjadinya komunikasi antar pribadi
itu.
Faktor-faktor yang terdapat dalam pengalaman komunikasi antar pribadi ini sebagai
pengalaman manusia menjadi titik tolak bagi pemahaman akan pengalaman religius
dimana dimengerti wahyu dan iman.
2. Pengalaman Religius : Wahyu dan Iman
a. Religio
Kata “religio” berasal dari kata Latin “re” dan “ligare”, artinbya mengikat
kembali. Dari kata itu terbentuk kata-kata lain seperti : religi, religiusitas. Istilah
itu digunakan untuk menerangkan relasi manusia dengan Yang Lain, yaitu Tuhan
Allah.
Pengalaman religius terjadi bila manusia mengalami dia berhadapan dengan “The
Ultimate Reality”, bilamana ia berada dalam kesadaran dirinya yang terbatas
berhadapan dengan misteri yang tak terbatas. Kesadaran itu bisa muncul secara
intensif, bilamana manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat
mendasar dalam hidupnya, mengapa manusia ada, dari mana asal dan tujuannya,
mengapa manusia sengsara dan mati, mengapa manusia terbatas?? Manusia yang
terbatas ada dihadapan Yang Lain, Yang Transenden, Yang Mengatasi Segala-
galanya.
RUDOLF OTTO (Des Heilige – The idea of the Holy) menyebut Yang
Transenden itu Yang Kudus, sebagai Numinosum (Latin: Numen, artinya
kekuasaan ilahi) Yang Kudus itu dialami manusia sebagai “Misterium tremendum
et fascinans”, sebagai yang menggetarkan dan menakutkan, namun sekaligus
menarik dan mempesonakan. Sikap religius manusia terhadap misterium itu ialah
takut penuh hormat dan cinta (Jawa : wedi asih ing Pangeran).
Dalam pengalaman religius manusia berkomunikasi dengan Allah yang Transeden
itu, yang menjadi keselamatan manusia. Faktor-faktor yang terjadi dalam
komunikasi antar pribadi manusia seluruhnya mendapat dimensi baru dalam
relasinya dengan Allah yang Transenden itu.
b. Wahyu dan Iman
Dalam pengalaman religius PENYAMPAI-nya adalah Allah yang Transenden
itu , yang menjadi dasar segala yang ada. Sedangkan PENERIMA-nya adalah
manusia, yang adanya diadakan oleh Allah. Oleh karena itu, prakarsa
terjadinya komunikasi itu ada di pihak Allah, yang menhendaki agar manusia
menjadi satu dengan Allah. Persatuan antara Allah dengan Manusia itulah
keselamatan, sehingga dialog pun menjadi dialog keselamatan.
ISI yang dikomunikasikan oleh Allah berciri formatif pula. Yang disampaikan
itu kehendakNya untuk menyelamatkan manusia, ya bahkan diri Allah sendiri
dicurahkan kepada manusia supaya manusia selamat. Dengan kata lain, dari
pihak Allah dikatakan bahwa Allah meWAHYUkan dirinya sendiri kepada
manusia, supaya manusia selamat. Dialog keselamatan baru terjadi kalau ada
tanggapan dari pihak manusia. Tanggapan manusia penerima pewahyuan
Allah itu disebut dengan sikap IMAN. Dalam dialog keselamatan ini terjadi
transformasi pada pihak manusia. Manusia yang adanya diadakan oleh Allah
itu, oleh karena pewahyuan Allah dan Iman manusia, menjadi dekat dengan
Allah, menjadi sahabat Allah, menjadi Anak Allah.
Untuk mewahyukan diriNya itu Allah menggunakan SARANA/MEDIA
komunikasi yang bisa dipahami manusia, baik VERBAL maupun NON-
VERBAL. Manusia-manusia tertentu (para nabi) dipilih oleh Allah, agar
mengalami Allah secara otentik, sehingga bisa menyampaikan pesan-pesan
Allah, untuk pegangan hidup religius bagi manusia-manusia lain. Kitab Suci
(Latin: Scriptura; Inggris : Scripture) adalah bentuk verbal sebagai media
komunikasi religius ini. Yang NON-VERBAL; seluruh dunia ciptaan ini dan
manusia sendiri menurut taraf dan kualitasnya masing-masing menjadi tanda
yang manyatakan Allah, Pencipta dan Penyelamatnya).
Pewahyuan Allah kepada manusia terjadi dalam RUANG dan WAKTU
tertentu, dalam suatu KONTEKS BUDAYA pula.
Disinilah letak permasalahan mengenai “inkulturasi”, sebagai proses
menjadikan keselamatan Allah tetap relevan untuk suatu konteks budaya
tertentu. Di dalamnya terkait pula masalah mengenai penafsiran dan
penerjemahan Kitab Suci dan lain-lain.
3. Beriman dan Beragama
Perlu dibedakan dua istilah tersebut, supaya diketahui hubungannya satu sama lain.
Beriman kepada Allah merupakan sikap manusia menanggapi pewahyuan diri Allah :
Sikap serah diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah. Istilah beriman lebih menunjuk
kepada sikap batin manusia yang mengalami Allah, sebagai keselamtannya.
Sedangkan istilah ‘agama’ untuk menunjuk segi lahiriah dari sikap batin itu. Agama
merupakan pelembagaan (institusionalisasi) dari hidup beriman itu, namun sekaligus
bisa disfungsional bagi kehidupan beragama.
4. Pola-pola relasi : Separasi, Identifikasi, dan Distingsi
Pemahaman dan sikap manusia dalam terhadap agama dan Separasi berarti
pemisahan.
5. Substansialis – Kontekstual dan Skripturalis – Fundamentalistik
Dalam menghayati hidup beragama terdapat berbagai macam bentuk pemikiran yang
berbeda-beda. Menurut tekanan yagn diberikan pada aspek-aspek tertentu dalam
hidup beragama itu bisa dibedakan adanya kelompok substansialis-kontekstual dan
yang lain skrituralis-fundamentalistik.
Kelompok substansialis-kontekstual lebih mengutamakan substansi (isi) pengalaman
iman manusia; yang terus menerus perlu diimplementasikan dalam konteks yang
berbeda. Kelompok ini mengutamakan isi pokok apa yang tersirat dalam ajaran
agama.
Sedangkan kelompok skripturalis-fundamentalis lebih mengutamakan hidup
beragamanya berdasarkan pada scripture, pada Kitab Suci agamanya, yang dimengerti
secara harafiah sebagaimana yagn tersurat di dalamnya. Yang diutamakan adalah
fundamen-fundamen agamanya lebih besar daripada konteks di mana umat beragama
hidup.
B. FAHAM KESELAMATAN
Penghayatan hidup beriman mengandung suatu faham keselamatan tertentu, yang
menekankan aspek-aspek tertentu dalam dialog keselamatan antara Allah dan manusia.
Untuk mengenal faham keselamatan yang berbeda-beda itu, dibagikan angket tentang
faham keselamatan, yang kemudian akan dianalisa :
1. Rumusan tentang Faham Keselamatan
Pilihlah salah satu rumusan di bawah ini yang anda anggap paling cocok atau
mendekati kecocokan dengan sikap/pendapat anda. Tuliskan pendapat anda pada
lembar jawaban yang tersedia.
1. Saya sebagai seorang beragama percaya bahwa keselamatan manusia hanya
terjadi melalui agama saya. Hanya orang yang memeluk agama saya akan
diselamatkan. Orang-orang yang mau diselamatkan Allah harus memeluk agama
yang sama dengan agama saya, karena agama saya dikehendaki begitu oleh Allah
sendiri.
Faham keselamatan ini berlaku bagi seluruh bangsa saya. Kalau bangsa saya mau
diselamatkan, maka negara kita harus berjuang keras mempertobatkan orang-
orang kafir supaya masuk agama saya.
2. Saya sebagai seorang pemeluk agama memang percaya bahwa satu-satunya yang
benar adalah ajaran agama saya. Namun, saya pun percaya masing-masing
pemeluk agama lain sesuai dengan keyakinannya sendiri-sendiri akan
diselamatkan juga oleh Allah, kalau mereka dengan jujur dan tekun menaati ajaran
agamanya.
Faham ini cocok untuk masyarakat yang majemuk dalam banyak hal : suku,
agama, ras dan lain-lain seperti di Indonesia ini. Pokoknya semua orang harus
beragama “demi stabilitas nasional”.
3. Sebagai seorang beriman saya percaya bahwa Allah menyelamatkan semua orang
menurut kebijaksanaan-Nya yang tak terselami oleh pikiran manusia. Saya
berpendapat bahwa masalah kepercayaan pada Allah ini adalah masalah rohani
pribadi seseorang dengan Tuhan Allahnya. Masalah rohani ini tidak ada sangkut
pautnya dengan masalah sosial kemasyarakatan.
Faham ini perlu disadari oleh seluruh bangsa Indonesia, supaya masyarakat kita
yang majemuk ini tidak terpecah belah oleh perbedaan agama tetapi bisa hidup
rukun dan damai.
4. Sebagai seorang beriman saya percaya bahwa dengan menciptakan manusia, Allah
mencintaiNya. Ia mencintai semua manusia. Cinta Allah dilimpahkan kepada
semua orang, tanpa pandang bulu. Saya menyadari pentingnya peran agama saya
bagi keselamatan. Namun, saya juga berpendapat bahwa setiap orang yang tidak
beragama sekalipun, kalau ia secara jujur mencari kebenaran, diselamatkan juga
oleh Allah.
Oleh karena itu, perlullah dibina kerjasama kritis dan dialog jujur di antara orang-
orang yang berkehendak baik untuk menegakkan keadilan dan memperjuangkan
hak-hak asasi manusia. Hanya demikianlah bangsa Indonesia bisa mengalami
persaudaraan yang sejati.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan ini :
1. Manakah yang anda pilih?
2. Sebutkanlah alasan-alasan pilihan anda !
3. Sebutkanlah alasan-alasannya pula, mengapa tidak memilih nomor yang lain !
Jawablah dengan kata-kata sendiri !
1. Apakah arti keselamatan bagi anda ?
2. Bagaimana anda diselamatkan ?
3. Bagaimana orang lain yang tidak seagama dengan anda diselamatkan ?
4. Bagaimana orang lain yang tidak beragama diselamatkan ?
2. Analisa Struktural tentang Faham Keselamatan
Agama / religi mencakup wilayah relasi antara manusia dengan Tuhan Allah. Ditinjau
dari pelaksana keselamatan itu bisa muncul dua kemungkinan : pertama, peran
manusia lebih ditekankan dalam pelaksanaan keselamatan dan kedua peran Allah
lebih ditekankan dalam pelaksanaan keselamatan itu. Kemungkinan pertama disebut
Faham keselamatan anthropocentris, karena manusialah (Yunani : Anthropos) yang
menjadi pusat keselamatan itu; sedangkan kemungkinan kedua disebut faham
keselamatan yang theocentris, karena Allah-lah (Yunani : Theo) menjadi pusat
keselamatan.
a. Dari Faham Keselamatan yang anthropocentris ini bisa muncul 2 (dua)
kemungkinan, yaitu :
1. Sekterianisme Eksklusif
Menurut paham ini agama/religi merupakan lembaga/institusi keselamatan.
Tindakan manusia masuk dalam kelompok itu merupakan tindakan
penyelamatan. Untuk bisa diselamatkan seseorang harus menjadi anggota
kelompoknya (sektenya). Keselamatan terjadi bila manusia menaati,
melaksanakan aturan/petunjuk/ ajaran agama, yang diakui berasal dari Allah.
Yang berada di luar kelompok tidak bisa diselamatkan. Mereka ini disebut
kafir. Faham keselamatan jenis ini disebut sektarianisme eksklusif, karena
kelompok menjadi syarat mutlak bagi keselamatan manusia; di luar kelompok
tidak ada keselamatan. Kebenaran menjadi monopoli kelompok ini. Faham ini
menyebabkan timbulnya semangat dakwah/misioner yang tinggi, berdasar
pada keyakinan untuk memasukkan sebanyak mungkin orang di luar
kelompok ke dalam kelompok supaya bisa diselamatkan.
2. Sektarianisme yang toleran
Pada dasarnya sektarianisme yang toleran ini bertolak pada paham
keselamatan anthropocentris yang membuahkan sektarianisme. Namun, paham
ini memiliki toleransi, meskipun terbatas. Toleransinya memungkinkan
pemeluk-pemeluk agama lain bisa diselamatkan, namun tetap terbatas pada
batas-batas agama sebagai lembaga keselematan.
Toleransinya pada agama-agama lain didasarkan pada pendapat bahwa semua
agama baik, karena mempunyai tujuan yang baik dan benar.
b. Dari paham Theocentris bisa muncul 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
1. Anti Religi
Allah adalah pokok pangkal keselamatan semua orang. Agama/religi adalah
sekedar ciptaan manusia yang bahka membeda-bedakan manusia yang satu
dari yang lainnya. Perhatiakan sejaarah manusia : perbedaan agama menyulut
peperangan antara manusia. Lalu, apakah gunanya agama/religi? Beragama
secara institusional tidak perlu bagi keselamatan. Religi adalah masalah
pribadi, batin dan rohani.
Faham keselamatan Theocentris jensi ini bersikap indeferen terhadap religi,
bahkan secara ekstrem bisa sampai pada sikap anti religi.
2. Religi sebagai Konteks Mediasi
Subjek utama yang menyelamatkan manusia adalah Allah. Allah
menyelamatkan manusia secara manusiawi melalui mediasi, yaitu melalui
fungsi pengantara. Mediasi yang sejati dalam religi harus memiliki kesesuaian
dua arah, pada yang Ilahi dan sekaligus pada yang insani. Institusi insani
(agama/religi) saja tidak bisa memuat misteri keselamatan Ilahi itu.
Karena itu, agama/religi sendiri tidak bisa menjadi mediasi penyelamatan
Ilahi. Religi berfungsi sebagai konteks mediasi penyelamatan. Mediasi macam
ini mengandaikan mungkinnya manusia menjadi pengantara (mediator) antara
Allah dan Manusia.
Dari dasar pemikiran ini keselamatan itu ditujukan kepada semua orang, tidak
pandang bulu (faham universalisme keselamatan). Keselamatan pertama-tama
dan terutama adalah anugerah Allah, yang perlu ditanggapi oleh manusia
dengan sikap iman.
C. MULTIDIMENSIONALITAS MANUSIA
Karena relasinya dengan realitas yang lain (diri sendiri, sesama, dunia dan Tuhan) pribadi
manusia yang adalah materi itu menampakkan dimensi-dimensinya. Pribadi manusia
sebagai misteri menampakkan dimensi-dimensinya. Oleh karena itu dibicarakan multi-
dimensionalistas manusia.
1. Ada 3 (tiga) dimensi dasariah dari pribadi manusia yang multidimensi itu.
1. Dimensi religius-spiritual : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya
dengan Yang Transenden (sekaligus imanen), yang disebut dengan Tuhan Allah,
sebagai asal dan tujuan manusia, pengada dari segala yang ada.
2. Dimensi Moral Etis : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya dengan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, yang menjadi norma bagi hidupnya.
3. Dimensi Sekuler : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya dengan
dunia (Latin : “saeculum”) yang tercipta. Manusia berrelasi dengan dunia
lingkungan alam semesta (yang infrahuman); dan juga dengan sesama manusia
(human) dalam tata dunia ini manusia sebagai makhluk yang berakal budi,
berkehendak bebas merupakan puncak dari karya ciptaan Allah. Seluruh alam
semesta mendapat kepenuhan maknanya dalam kemanusiaan.
Berkat ilmu pengetahuan dan teknologinya ‘tata dunia’ (sekularitas) semakin
transparan bagi manusia, meliputi berbagai macam aspek kehidupan : sosial, budaya,
politik, ekonomi dan lain-lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang paling
mendorong proses sekularisasi, sebagai proses penemuan ekonomi tata dunia.
2. Skema proses perkembangan pribadi manusia
Dimensi-dimensi dasariah ini dalam proses perkembangan manusia tampil dalam
berbagai macam fungsi, institusi, yang bisa mengarah pada penyimpangan (deviasi)
yang mengkerdilkan pribadi manusia itu sendiri. Pada saat itulah diperlukan fungsi
profetis yang membebaskan manusia demi suatu humanisme integral.
Institusionalisasi dalam proses perkembangan memiliki segi ganda positif dan negatif.
Positif, bila proses yang memperkaya manusia dalam segala seginya, dimana
manusia berkembang semakin manusiawi. Bila proses ini terjadi, maka proses itu
disebut humanisasi yang intregratif.
Negatif, bila terjadi proses sebaliknya, yaitu proses yang mempermiskin manusia,
sehingga manusia menjadi semakin kerdil; miski secara rohani dan jasmani. Bila
proses ini yang terjadi, maka proses itu disebut dehumanisasi yang desintegratif.
DIMENSI FUNGSI INSTITUSI DEVIASI AKIBAT PROSES PEMBEBASAN DEMI
Religius-spiritual Menguduskan nama Tuhan
Agama-agama :Islam, Protestan,Katolik, Hindu, Aliran Kepercayaan
Fariseisme Fanatisme Sektarianisme Primordialisme Ritualisme
Perpecahan antar umat , Kerukunan semu
ILAHITRANSENDENTAL
Moral – etis Menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
KATA / SUARAHATI
Sloganisme Eufemisme Pemberangsuran Perampasan hak berpendapat
Kata tak bermakna
Kebohongan
Ketenangan semu
MEKANISME INTEGRAL
Sekuler Mengabdi kemanusiaan kelestarian lingkungan
Negara Pancasila Otoriter-birokratis oligarkhi nepotisme dikotomi antara negara vs rakyat kaya vs miskun
Demokrasi seolah-olah
Kesenjangan antar kelompok
MANUSIAWI SEKULER
Nilai-nilai kebenaran dalam arti tertentu > < juga bisa mengalami institusionalisasi KATA /
SUARA HATI dalam proses perkembangan pribadi manusia itu sangatlah penting
diusahakannya pendidikan suara hati, supaya tetap sanggup memilih apa yang baik dan benar
secara manusiawi.
Kalau dikatakan bahwa manusia itu multidimensional, maksudnya ialah bahwa hidup
manusia tidak boleh terpisah-pisah menurut bidang-bidang kehidupan yang tak berhubungan
satu sama lain. Dengan satu nafas harus dikatakan, bahwa manusia itu religius-spiritual,
bermoral-etis dan sekuler. Dengan kata lain seorang manusia menjadi semakin manusiawi,
bila ia semakin beriman mendalam, dengan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
serta terlibat dalam perjuangan menegakkan kemanusiaan.
II
BERIMAN BERSAMA DENGAN YANG LAIN
A. HUMANISME INTEGRAL - UNIVERSAL
Humanisme yang integral (JACQUES MARITAIN) atau kemanusiaan yang utuh
dijadikan dasar dan tujuan bagi penghayatan iman bersama dengan yang lain. Dalam
humanisme integral ini hak asasi manusia (termasuk didalamnya hak kebebasan
beragama) mendapat tempatnya yang tepat. Penghargaan akan hak asasi manusia inilah
yang bisa dijadikan dasar kokoh untuk membangun persaudaraan sejati.
Istilah ‘humanisme integral’ ini digunakan untuk menghindarkan kecenderungan-
kecenderungan yang tidak seimbang dalam mencari bentuk humanisme macam apa yang
harus ditempuh untuk membangun peradaban dunia ini.
Dua arus kritik yang menjernihkan apa yaitu humanisme, datang dari 2 (dua) jalur
pemikiran, yaitu humanisme strukturalis dan humanisme spiritualis (MUDJI
SUTRISNO).
1. Humanisme Strukturalis
Menegaskan humanisme hanya mungkin bila dirombak struktur-struktur dan sistem
masyarakat yan gmemasung, membelenggu kemanusiaan, entah itu berwujud
ketimpangan struktur ekonomis, sistem sosial dan hukum yang tidak adil, ataupun
hegemoni kekuasaan yang memasung kebebasan manusia untuk berpikir sendiri dan
mengekspresikan pemikirannya dan pendapatnya.
2. Humanisme Spiritualistis :
Berpendapat humanisme harus kembali menyumberkan humanisme pada dimensi
makna dan ‘roh’ ciptaan semesta ini (dimana manusia termasuk didalamnya). Oleh
karena penentu proses humanisasi adalah dimensi kualitas (makna) dan dimensi
rohaniah, maka religiositas menjadi basisnya.
Berhadapan dengan jalur pemikiran tersebut perlulah dikembangkan pemikiran
humanisme integral, yang secara dialektik memadukan dimensi ganda ilahi-
tansendental dan manusiawi dari humanisme itu, supaya martabat pribadi manusia
tetap dihormati.
Dalam penghayatan iman penghormatan akan martabat pribadi manusia itu terletak
dalam penghormatan akan kebebasan beragama.
B. KEBEBASAN BERAGAMA
Oleh karena akal budi dan kehendak serta hati nuraninya manusia menyadari
kemampuannya untuk memilih nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya. Oleh karena itu ia
bebas memilih religiositas mana yang sesuai dengan keyakinannya.
1. Beberapa Pengertian tentang Kebebasan
a . Kebebasan Moral
Banyak nilai yang bisa dipilih oleh manusia, sesuai makna bagi dirinya: apakah
nilai itu bermakna menyenangkan (Latin: “bonum delectabile”) atau nilai itu
bermakna menguntungkan (Latin: “bonum utile”). Bisa jadi yang menyenangkan
tidak harus dipilih karena tidak menguntungkan. Misalnya, merokok tidak dipilih
karena merugikan kesehatan, meskipun menyenangkan.
Bila terjadi yang menguntungkan pun tidak boleh dipilh, kalau pilihan itu tidak
sesuai dengan nilai moral (Latin : “bonum humanum”) Misalnya, korupsi itu biusa
menguntungkan, tapi tindakan itu salah secara moral. Tindakan manusia dinilai
sebagai tindakan manusiawi (Latin: “actus hominis menjadi actus …..”) bila
tindakah manusia semakin mengembangkan dirinya sebagai manusia.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kebebasan yang bertanggungjawab terjadi
bila manusia dengan kesadaran dan kebebasannya memilih untuk berbuat yagn
baik dan benar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
b. Kebebasan Religius
Kebebasan sejati dan kebaikan sejati bersumber dan bertujuan pada Tuhan Allah.
Setiap orang berhak untuk berusaha terus menerus mencari dan menemukan
kebenaran dan kebaikan yang ditanamkan oleh Allah dalam segala-galanya untuk
bisa sampai pada Allah sendiri.
Kebebasan religius itu terdapat dalam sikap terbuka tanpa batas pada Allah, yang
menghendaki keselamatan bagi manusia. Disinilah muncul paradoks kebebasan
religius yaitu kebebasan sejati manusia terlaksana dalam ketaatannya pada
kehendak Allah.
Untuk melaksanakan kebebasan ini manusia perlu selalu membina kepekaan untuk
selalu mendengarkan suara hati serta bertindak menurut suara hati yang terdidik
secara benar.
2. Kebebasan Beragama
Kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia bersifat universal, artinya ditawarkan
kepada semua orang; dan transedental, artinya mengatasi segala bentuk institusional.
Pengalaman akan Allah yang menyelamatkan itu merupakan pengalaman yang pra-
konseptual.
Agama-agama ada sebagai institusionalisasi dari pengalaman akan Allah itu. Sebagai
institusi agama hidup secara kontekstual; muncul dalam suatu waktu dan pada
temapat tertentu; sistem hukum, ibadat, tradisi tertentu pula.
Manusia hidup pun hidup secara kontekstual pula; lahir pada suatu waktu dan pada
tempat tertentu: hidup dalam suatu kondisi budaya tertentu; berkembang dalam sistem
hukum, dan tradisi tertentu pula.
Dalam konteks tertentu itu manusia bebas memilih agama sesuai dengan pengalaman
religiusnya, sesuai dengan keyakinan pribadinya.
3. Martabat Pribadi Manusia Dasar Hak Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama bukanlah pemberian /anugerah /hadiah dari lembaga-lembaga
ciptaan (entah itu lembaga agama maupun lembaga negara), akan tetapi merupakan
pelaksanaan dari hak asasinya sebagai manusia. Lembaga-lembaga tersebut berfungsi
untuk melindungi martabat pribadi manusia itu. Oleh karen aitu bisa dikatakan
tidaklah manusiawi segala bentuk kekerasan dan paksaan yang datang dari manapun
untuk memaksakan suatu agama kepada orang lain.
4. Kebebasan Beragama sebagai Kebebasan Warga Negara
UUD 1945 menjamin kebebasan beragama melalui Bab XI pasal 29 :
Negara berdasar atas ke Tuhan-an yang Maha Esa.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian negara Indonesia adalah negara yang berke-Tuhan-an, bukanlah
negara agama ataupun negara sekularistik. Pluralisme agama tidak boleh dijadikan
alasan perpecahan antara umat beragama, tetapi merupakan kenyataan riil hidup
bersama dengan yang lain. Perbedaan agama justru saling melengkapi dan
memperkaya satu sama lain dalam upaya membangun persaudaraan yang sejati.
C. MEMBANGUN PERSAUDARAAN SEJATI
1. Allah sebagai Pokok Keselamatan Manusia
Agama-agama membedakan, tetapi religiositas mempersatukan manusia yang berbeda
agama, karena pada tataran religiositas manusia tidak hanya mengetahui Allah yang
dirumuskan secara kategorial-simbolik, yang selalu tidak memadai, akan tetapi
manusia berhadapan dengan Allah sebagai Misteri yang Transenden, sekaligus
sebagai Pencipta dan Penyelamat manusia. Iman kepercayaan kepada Allah sebagai
pokok keselamtan manusia menjadi dasar untuk membangun persaudaraan sejati di
antara umat bangsa dan umat manusia seluruhnya.
Visi persaudaraan baru ini hanya mungkin terjadi, bila manusia bersedia melepaskan
kepentingan diri dan golongan, misalnya: egoisme, sektarianisme, primordialisme ;
dan mengutamakan kehendak. Allah sebagai dasar persaudaraan sejati. Untuk
megenali kehendak Allah diperlukan keterbukaan hati tanpa batas pada nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan, dengan dibekali kesediaan untuk dialog, bekerjasama
dengan siapapun yang berkehendak baik.
Dialog pada tataran hidup religius rupanya perlu dikembangkan terus dan
dimasyarakatkan. Kalau demikian kita boleh berharap bahwa persaudaraan itu akan
tumbuh dari bawah, berakar kuat dalam kehidupan rakyat.
2. Dialog antar Iman
3. Pemihakkan kepada Kaum Miskin
Kesediaan yang tulus untuk membangun persaudaraan yang sejati akan menjadi
semakin murni, apabila kita sanggup melibatkan diri dalam kegembiraan dan
kecemasan manusia dewasa ini terutama yang miskin dan terlantar. Kaum miskin
adalah mereka yang tak bermilik dalam bentuk apapun: kekuasaan, kedudukan, harta
milik, dan lain-lain. Yang tinggal pada mereka adalah kemanusiaan. Kalau kita masih
menghargai mereka yang miskin dan terlantar sebagai sesama kita, kita bisa
menghargai pula apa artinya kemanusiaan dan martabat pribadi manusia.
III
PERAN AGAMA-AGAMA
DALAM PROSES PEMBANGUNAN BANGSA
Hubungan antara lembaga agama dan lembaga negara hanya bisa dilhat secara betul dalam
visi yang utuh mengenai humanisme integral yang menjadi dasar dan tujuan pembangunan
bangsa. Oleh karena itu, perlu ditinjau lebih dahulu hubungan antara komponen-komponen
dalam multidimensionalitas manusia.
A. POLA HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA
Terjadi berbagai macam pola hubungan antara lembaga agama dan lembaga negara. Pola
hubungan ini ditentukan oleh kuat lemahnya kekuasaan yang dimiliki oleh masing-
masing lembaga itu, maka bisa muncul pola hubungan integristik atau yang separatistik.
1. Pola Hubungan yang Integristik
Yang dimaksud pola hubungan yang integristik ialah pola pikir yang memandang
realitas komplek dari satu dimensi saja. Otonomi dari masing-masing lembaga
tidaklah diakui. Tergantung kuat lemahnya kekuasaan yang dimiliki masing-masing
lembaga itu, maka bisa muncul sikap integristik dari pihak agama ataupun dari pihak
negara.
a. Sikap integristik dari pihak Agama
Bila lembaga agama lebih kuat dari lembaga negara, maka ada kecenderungan
dari pihak lembaga agama untuk menjadi hukum agama berlaku sebagai hukum
negara. Ibadar agama dijadikan ibadat negara. Ingat adanya doa politik, yaitu doa
yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan politik tertentu. Diperjuangkannya satu
agama bagi seluruh warga negara, sehingga ada agama negara
b. Sikap integristik dari pihak Negara
Bila lembaga negara lebih kuat dari lembaga agama, maka negara cenderung untuk
mencampuri masalah interen iman kepercayaan warga negaranya di luar batas-
batas kewenangannya. Agama dipandang melulu demi kepentingan politik. Politik
adalah panglima. Dan panglima perang bertindak sebagai pemimpin agama.
Negara menjadi negara agama.
Sikap integristik ini bertumbuh subur dalam suatu masyarakat yang sinkretistik,
yang suka mencampuradukan unsur-unsur berbeda, bahkan bertentangan, dalam
suatu harmono yang semu. Meng-agama-kan politik dan mem-politik-an agama
adalah buah-buah dari sikap integristik ini.
2. pola Hubungan yang Separatistik
Kalau sikap integristik memandang realitas dari satu dimensi saja, maka sikap
separatistik memisahkan dimensi yang satu dari dimensi yang lain.
a. Sikap separatistik dari pihak Agama
Dalam sikap separatistik ini agama dihayati melulu sebagai urusan pribadi atau
sektenya dengan Tuhan. Dengan demikian urusan sosio-politik bukanlah urusan
agama. Iman kepercayaan adalah soal batin dan hidup akhirat. Menjadi larangan
bagi orang beragama untuk berpolitik, karena politik itu kotor. Dunia harus
ditinggalkan. Maka sekte semacam ini cenderung untuk mengisolasi diri dari
masyarakat.
b. Sikap separatistik dari pihak Negara
Sikap separatistik dari pihak negara berpendapat bahwa agama bukanlah urusan
negara. Negara tidak perlu mengurus masalah kepercayaan warganya, bersikap
dari indeferen sampai memusat. Karena itu warga negara dilarang untuk
beragama. Sikap ini bisa melahirkan negara sekularistik-atheis.
Sikap-sikap ekstrem bagi yang integristik maupun yang separatistik tidak mengakui
adanya otonomi masing-masing lembaga. Bila sikap ekstrem itu menjadi sikap hidup
bermasyarakat yang dirusak adalah martabat pribadi manusia itu sendiri.
3. Kerjasama Kritis antar Agama dan Negara
Kerjasama kritis saling melengkapi antara agama dan negara hanya mungkin terjadi
bila otonomi masing-masing lembaga diakui dan dihargai, sebagai otonomi yang tidak
terisolasi, tetapi yang berkorelasi dengan yang lain. Dasar pemikiran dari otonomi
yang korelatif ini ialah dasar pembedaan (Latin: “disctinctio”). Lembaga agama
berbeda dengan lembaga negara menurut perbedaan tekanan dimensi, tetapi masing-
masing lembaga mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengusahakan terwujudnya
humanisme integral. Dengan demikian masing-masing lembaga akan mampu
bekerjasama secara kristis, saling melengkapi.
Untuk Indonesia, Pancasila dikemukakan sebagai asas dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara bagi seluruh warga Indonesia. Asas itu menegaskan bahwa
negara Indonesia bukan negara agama (integristik), bukan pula negara sekularistik-
atheis (separatistik), melainkan negara yang berke-Tuhan-an yang berdasarkan
Pancasila.
B. POLA HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN IPTEK
Apakah akal budi manusia bertentangan dengan iman ? Apakah kemajuan iptek
merongrong kehidupan beragama ?
1. Sekularisasi
Humanisme merupakan ciri pokok dunia moderen. Penemuan otonomi tata dunia
(sekularitas) berkat kemajuan iptek mendorong terjadi proses sekularisasi. Istilah
‘sekularisasi’ berarti suatu proses historis yang menempatkan manusia sebagai pusat
dan tujuan evolusi dunia, memajukan otonomi dunia yang semakin besar seiring
dengan penemuan-penemuan hukum-hukum alam, yang bertujuan bagi pengabdian
seluruh masyarakat manusia tanpa harus secara langsung meminta legitimasinya pada
prinsip-prinsip dan norma-norma agama.
Dengan kemajuan Iptek, proses sekularisasi memantau manusia untuk menyadari
kemampuannya, yang membuatnya semakin dewasa. Ini tidak berarti dekadensinya
nilai-nilai spiritual, apabila kedewasaan manusia dan otonomi dunia dipahami dalam
korelasinya dengan Tuhan yang Transenden. Tanpa kesadaran akan korelasinya
dengan Tuhan, Allah Pencipta ini, sekularisasi memang bisa jatuh pada sekularisme
atheis.
2. Demitologisasi dan Desakralisasi
Seiring dengan proses sekularisasi itu terjadi pula demitologisasi dan desakralisasi.
Kemajuan Iptek membebaskan manusia dari mitologi-mitologi, di mana Tuhan
dipandang secara langsung terlibat dalam kehidupan manusia dan dunia ini. Iptek
akan menerangkan secara ilmiah bahwa gunung yang meletus atau banjir atau wabah
penyakit tidaklah secara langsung tanpa kemarahan Tuhan.
Relasi manusia dengan Allah yang kudus (Latin: “sanctus”) akan menjadikan manusia
dan seluruh dunia ini dikuduskan (Inggris : “sacred”). Sakralisasi ini memisahkan
antara yang ‘sakral’ dari yang ‘profan’. Kemajuan iptek akan terus mengurangi
wilayah-wilayah ‘sakral’ itu, juga dalam bidang hidup keagamaan, yang menyangkut
konsep-konsep mengenai Allah sekalipun dengan demikian iptek mendorong
desakralisasi.
Dalam arus demitologisasi dan desakralisasi ini hidup beriman kita memang bisa
diguncangkan, namun sekaligus bisa dimurnikan, supaya kita beriman secara dewasa
dan bertanggungjawab.
3. Beriman secara Dewasa dan Bertanggungjawab
Pada zaman moderen ini, manusia dituntut untuk beriman secara dewasa dan
bertanggungjawab. Iman kepercayaan akan Allah menjadi dewasa bila agama dihayati
buka sebagai kebutuhan psikologi manusia yang lemah dan kekanak-kanakkan di
hadapan Allah. Iman kepercayaan yang dewasa akan memberi makna hidup, arah bagi
tujuan hidup yang harus diperjuangkan. Dengan demikian agama menjadi fungsi kritis
dan berdaya kreatif bagi manusia untuk hidup berkembang menuju kedewasaan yang
integral.
Untuk itu, beriman harus lebih diutamakan dari beragama, sehingga beragama
menjadi suatu pilihan pribadi yang dipertanggungjawabkan.
C. PERAN AGAMA-AGAMA DALAM PROSES PEMBANGUNAN BANGSA
Situasi masyarakat Indonesia yang sedang membangun di segala bidang harus kita
jadikan konteks bagi refleksi teologis bagi kita untuk menentukan sikap kita.
1. Gambaran Situasi Masyarakat Indonesia
Situasi sosio-religius
Situasi sosio-budaya
Situasi sosio-politik
Situasi sosio-ekonomi
Dan lain-lain.
2. Peran Profetis Agama-agama
Istilah ‘profetis’ berasal dari kata Latin ‘profeta’. Kata pro bermakna banyak menurut
dimensi spasial; yang berbicara di depan; menurut dimensi temporal : yang berbicara
sebelumnya dan menurut dimensi personal : yang berbicara atas nama.
Agama-agama melaksanakan peran profetisnya bila sanggup mewartakan kebenaran
dan keadilan yang bersumber pada Allah, dan menjadi tanda serta saksi hidup bagi
kemanusiaan yang dipermiskin oleh lembaga-lembaga karena mau bertahan pada
‘status quo’ dan vested interest.