PNPM RESPEK: KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN …psflibrary.org/catalog/repository/3738_SRS_PNPM...
-
Upload
vuongduong -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of PNPM RESPEK: KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN …psflibrary.org/catalog/repository/3738_SRS_PNPM...
1PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA(OKTOBER 2011)OLEH AKATIGA
http://pnpm–support.org/pnpm–respek–evaluation
Kementerian KoordinatorBidang Kesejahteraan Rakyat
SERI RINGKASAN STUDI
32 PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
MENGATASI TANTANGAN PEMBANGUNAN DI WILAYAH PAPUA1
Wilayah Papua mencakup area yang sangat luas dan kaya
akan sumber daya alam. Terdapat 250 bahasa lokal di
seluruh wilayah Papua. Faktor ini menjadikan Papua unik
dengan tantangan serta peluang tersendiri untuk melaku-
kan pengembangan sumber daya manusia. Terlepas
dari budaya dan sumber daya alamnya yang luar biasa,
Papua memiliki indeks pembangunan manusia terendah,
sementara Papua Barat berada di peringkat 28 dari keselu-
ruhan 33 provinsi di Indonesia (2009). Kedua provinsi ini
tertinggal jauh dengan provinsi lainnya dalam memenuhi
indikator kunci yang ditetapkan untuk mencapai tujuan
pembangunan millennium (MDGs). Tantangan pemban-
gunan utama di wilayah Papua meliputi kemiskinan yang
tersebar luas, peluang ekonomi yang terbatas, penyeba-
ran penyakit, dan tingkat pendidikan yang rendah.
Wilayah Papua mencakup area yang sangat luas, yang
meliputi 22 persen dari total luas daratan Indonesia.
Wilayah ini terdiri dari berbagai pegunungan, kepulauan,
dan hutan lebat. Namun demikian, hanya kurang dari tiga
juta penduduk tinggal di wilayah Papua. Wilayah Papua
tergolong sebagai salah satu wilayah dengan populasi
paling sedikit di Indonesia. Lebih dari seperempat popu-
lasi di wilayah Papua tinggal di perkotaan yang dibangun
di sekitar pelabuhan utama dan area pengelolaan tam-
bang. Mereka yang tinggal di kota merupakan pendatang
dari pulau lain. Sisanya tinggal di lokasi terpencil di pegu-
nungan atau pulau-pulau. Seringkali, fasilitas transportasi,
kesehatan, dan pendidikan di area ini sangat terbatas atau
bahkan tidak ada sama sekali.
Berdasarkan kajian data kuantitatif sekunder dan kualitatif
yang didapatkan dari evaluasi lapangan (field assessment)
tahun 2008, UNDP melakukan kajian terhadap kebutuhan
di Papua (Papua Needs Assessment) yang mengidentifika-
sikan hambatan utama pembangunan manusia di Papua,
yaitu:
zz Tingkat kapasitas pemerintah lokal yang rendah
dalam pembuatan kebijakan, perencanaan dan
penyampaian layanan dasar di luar wilayah perkotaan;
zz Tingkat akuntabilitas pemerintah lokal yang rendah;
zz Organisasi masyarakat yang mampu melakukan pem-
berdayaan namun memiliki ruang gerak sangat ter-
batas;
zz Kurangnya rancangan program yang mampu mere-
spon kebutuhan lokal;
zz Setiap komunitas memiliki latar belakang dan kondisi
yang sangat berbeda namun memiliki kebutuhan
dasar yang sama.
DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUSSetelah tahun 1998, paska pemerintahan mantan pres-
iden Suharto, pemerintah Indonesia melakukan serang-
kaian program untuk meningkatkan penerapan oto-
nomi daerah dan desentralisasi yang mendelegasikan
kekuasaan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah. Program ini telah diterapkan di
seluruh wilayah Indonesia, namun menciptakan tekanan
tersendiri di Papua. Sejarah penyatuan Papua dengan
Indonesia diwarnai dengan ketegangan sosial, politik,
ekonomi, dan militer. Ketegangan ini terkadang memicu
terjadinya konflik bersenjata antara kelompok gerakan
separatis dengan pasukan dari pemerintah pusat. Kete-
gangan di Papua telah menarik perhatian internasional
yang menuntut pemerintah Indonesia untuk melaku-
kan perubahan.
Pada November 2001, dalam rangka untuk mengatasi
ketegangan di Papua, pemerintah Indonesia memberikan
status “otonomi khusus” bagi Papua. Sebagai perwujudan
untuk mengakui hak masyarakat lokal dalam melakukan
pengambilan keputusan dan berbagai hak lainnya, pem-
berian status ini diikuti dengan ketetapan yang mengatur
alokasi dana yang lebih besar dari penerimaan pajak yang
didapat dari wilayah Papua, untuk dimanfaatkan bagi
pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.
Dengan memberikan status “otonomi khusus” bagi Papua,
pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengalokasi-
kan 80 persen dari penerimaan pajak yang dikumpulkan
dari Papua untuk pembangunan di Papua. Pada tahun
2003, provinsi Papua Barat terbentuk. Provinsi yang bera-
da di kepala burung pulau Papua juga menerima status
“otonomi khusus”.
Sejak menyandang status otonomi khusus, Papua mener-
ima kenaikan alokasi dana yang sangat besar dari pemer-
intah pusat. Namun demikian, dikarenakan kapasitas
pemerintah lokal yang terbatas, alokasi dana tambahan
ini belum termanfaatkan secara optimal untuk kesejahter-
aan masyarakat lokal. Masyarakat yang tinggal di luar
perkotaan (district centers) masih belum memiliki akses air
bersih, listrik, guru, petugas kesehatan, dan pasar. Kebutu-
han ibu dan anak serta kelompok masyarakat rentan lain-
nya tidak diprioritaskan dalam kebijakan pemerintah atau-
pun ketentuan lainnya terkait pelayanan sosial. Organisasi
masyarakat, terutama institusi agama yang telah lama
membantu pengembangan masyarakat lokal dan terpen-
cil, memiliki akses terbatas terhadap alokasi dana tamba-
han pemerintah tersebut. Secara keseluruhan, partisipasi
masyarakat dalam penyusunan kebijakan dan program
pemerintah adalah rendah, walaupun ada pertumbuhan
kesadaran untuk mewujudkan partisipasi masyarakat
yang lebih besar, pengaruh dan manfaat pembangunan.
Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 2007, gubernur
provinsi Papua dan Papua Barat, yang terpilih pertama kali
melalui pemilu, mengenalkan sebuah program ambisius
untuk menerapkan program pembangunan berbasis
masyarakat atau community-driven development program
(CDD). Melalui program ini, dana masyarakat sebesar
Rp100 juta disalurkan ke lebih 4,000 desa di dua provinsi
untuk mendanai kegiatan pembangunan yang meliputi:
(a) pengamanan nutrisi dan pangan; (b) pendidikan; (c)
pelayanan kesehatan utama; (d) pembangunan infrastruk-
tur desa; dan (e) peningkatan sumber mata pencaharian
ekonomi (economic livelihoods). Walaupun memiliki tujuan
pembangunan dan mekanisme yang sama seperti PNPM
Perdesaan, terdapat perbedaan yang signifikan pada
program RESPEK yaitu dana disalurkan secara langsung
melalui kepala kampung untuk dikelola bersama dengan
masyarakat. Dalam PNPM Perdesaan, dana disalurkan
melalui mekanisme perencanaan masyarakat yang difasili-
tasi oleh distrik dan Tim Pelaksana Kegiatan Kampung
(TPKK).
Pada tahun 2008, program bernama Rencana Strategis
Pembangunan Kampung, atau yang disingkat RESPEK,
disatukan dengan program PNPM Mandiri Perdesaan.
Melalui RESPEK, ratusan fasilitator pembangunan terlatih
dan tenaga ahli lapangan didatangkan untuk membantu
masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan
kegiatan sub-proyek yang didanai oleh dana RESPEK.
Pada saat ini, secara prinsip, program PNPM RESPEK men-
gadopsi mekanisme partisipasi yang sama dengan PNPM
Perdesaan yaitu dalam hal memilih dan memprioritaskan
proyek pembangunan desa.
EVALUASI PNPM RESPEK: KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESALaporan ini mencatat bahwa sebelum penerapan PNPM
RESPEK, dana otonomi khusus pada umumnya disalurkan
langsung ke kepala keluarga melalui kepala kampung,
dengan maksud agar seluruh masyarakat dapat turut
menikmati dana ini. Setiap keluarga menerima dana
antara Rp150,000 hingga Rp300,000. Namun demikian,
penyaluran dana, yang diawasi oleh kepala kampung
tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, menciptakan
perdebatan mengenai apakah cara ini memberikan
mafaat yang sama rata atau tidak. Cara ini juga menimbul-
kan pertanyaan apakah pemberian dana tunai langsung
kepada setiap keluarga merupakah cara terbaik dalam
membangun fasilitas dan infrastruktur masyarakat, walau-
pun jika dana tersebut tersebar secara adil. Laporan ini
mencatat bahwa terutama di Papua Barat, cara ini telah
membuat masyarakat merasa berhak untuk menerima
dana ini secara tunai. Banyak dari mereka kecewa ketika
cara ini diganti dengan cara lain yang mengalokasikan
dana untuk membiayai proyek masyarakat yang dapat
memberikan manfaat kepada mereka semua. Mereka
yang kecewa terutama adalah golongan elit kampung
yang menunjukkan ketidaksukaannya dengan mekanisme
baku PNPM tahun 2008 yang memprioritaskan alokasi
dan pencairan dana. Mekanisme PNPM ini mengancam
campur-tangan mereka dalam pengaturan dana. Laporan
ini juga menemui bahwa sistem penerapan PNPM banyak
ditentang secara diam-diam maupun terbuka di banyak
wilayah. Kalangan elit kampung berupaya berbagai cara
untuk mempertahankan kuasa mereka atas dana tersebut.
Dengan adanya tekanan politik ini, komitmen pemerintah
Mengatasi Tantangan Pembangunan di Wilayah Papua
Evaluasi PNPM RESPEK: Kapasitas Infrastruktur dan Kelembagaan Desa
54 PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
provinsi untuk menegakkan program yang berbasiskan
pada partisipasi masyarakat, berkali-kali goyah. Pada
tahun 2010, Papua Barat mengeluarkan peraturan provinsi
yang menerapkan kembali cara lama yaitu pendistribu-
sian dana langsung kepada tiap keluarga yang disalurkan
melalui kepala kampung.
Sejak penerapannya, komitmen pemerintah pusat ter-
hadap prinsip dasar otonomi khusus di Papua juga telah
berkali-kali berubah setiap terjadi pergantian administrasi.
Perubahan ini juga telah menyebabkan inkonsistensi
dalam pelaksanaan PNPM RESPEK.
LATAR BELAKANG, TUJUAN, DAN RANCANGANDiterbitkan pada tahun 2011, kajian terhadap PNPM RES-
PEK mengevaluasi penerapan program PNPM Mandiri
RESPEK di provinsi Papua dan Papua Barat. Dana yang dis-
alurkan melalui PNPM RESPEK dapat dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan terkait dengan salah satu dari lima pri-
oritas pembangunan yang telah disebutkan sebelumnya
dalam laporan ini. Sebanyak 70 persen dari dana tersebut
dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan infrastruk-
tur desa. Oleh karena itu, fokus kajian ini berpusat teruta-
ma pada i) kualitas dan tingkat pemanfaatan infrastruktur
desa yang dibangun melalui program ini; dan ii) dampak
penerapan program ini di desa dan institusi PNPM.
Kajian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan
sebagai berikut:
a. Bagaimana kualitas pembangunan infrastruktur
perdesaan yang dibangun melalui dana PNPM RES-
PEK?
b. Apakah infrastruktur yang dibangun melalui PNPM
RESPEK efektif? Apa manfaat infrastruktur tersebut
bagi masyarakat lokal (sebagai contoh, peningkatan
pada akses pendidikan dasar, pelayanan kesehatan,
dan sumber penghidupan)?
c. Apa dampak PNPM RESPEK bagi institusi lokal dan
para pelaku pembangunan (para Pendamping Kam-
pung (PK), dan Tim Pelaksana Kegiatan Kampung
(TPKK)? Apakah aspek kelembagaan TPKK telah mem-
baik sejak diterapkannya PNPM RESPEK? Apa saja
yang menjadi tantangan?
Kajian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantita-
tif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk
mengukur kualitas teknis infrastruktur dan efektivitas dan
cakupan pemanfaatan infrastruktur tersebut.
Pendekatan kualitatif (studi data sekunder, pemetaan
sosial, observasi, wawancara mendalam) digunakan untuk
menyajikan kajian mendalam akan kualitas pemanfaatan
infrastruktur, dan pengembangan institusi, serta untuk
memahami hubungan sebab-akibat antara kualitas infra-
struktur, pemanfaatan infrastruktur, dan kapasitas institusi.
Penelitian ini dilakukan di 16 kampung (setara desa)
yang tersebar di 8 distrik (setara kecamatan) dari 4 kabu-
paten di dua provinsi, dan berlangsung pada Novem-
ber 2010 hingga awal Januari 2011. Pemilihan lokasi mewa-
kili keragaman aksesibilitas dan wilayah geografis2.
Konteks sosial di wilayah penerapan PNPM RESPEK
memiliki karakteristik yang unik, yang berbeda dengan
dengan tempat lain di Indonesia. Oleh karena itu, kajian
ini mencakup bab tambahan untuk menggambarkan
konteks sosial ini termasuk adat, struktur kekuasaan, dan
hubungan yang mempengaruhi penerapan program ini
di wilayah Papua.
PNPM RESPEK: KONTEKS SOSIAL
PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PROSES PEMBANGUNANKajian ini mencatat bahwa pada tingkat desa, hubungan
kekuasaan terutama didefinisikan oleh interaksi antar ber-
bagai lembaga dan kelompok, termasuk:
1. Lembaga tradisional adat dan klan/marga (traditional
ethnic and clan institutions)
2. Lembaga pemerintah
3. Institusi gereja
4. Masyarakat pendatang yang bukan masyarakat asli
wilayah Papua (non-Papuan immigrants).
LEMBAGA TRADISIONAL ADAT DAN KLAN
Kajian ini mencatat bahwa terdapat banyak kelompok
suku berbeda, yang tinggal berdekatan dan berinteraksi
antara satu dan lainnya walaupun memiliki kebiasaan adat
serta bahasa yang sangat berbeda. Mengidentifikasikan
diri berdasarkan suku tertentu adalah hal yang sangat laz-
im di wilayah Papua. Tiap kelompok suku berbeda memi-
liki badan tersendiri. Di Papua Barat, badan ini dikenal
dengan sebutan Baperkam atau Badan Perwakilan Kam-
pung, sementara di Papua adalah Bamuskam atau Badan
Musyawarah Kampung. Kelompok suku mayoritas terbagi
ke dalam beberapa klan yang terdiri dari kelompok-
kelompok perpanjangan keluarga (extended family groups).
Di sebagian besar wilayah, kelompok suku tertentu dan
klan tertentu memiliki status sosial lebih tinggi, antar
kelompok mereka sendiri, yang disebabkan oleh hubun-
gan baik mereka dengan pemilik lahan, kekuatan militer,
atau sebab lainnya. Terdapat perbedaan yang mencolok
antara suku dan klan yang ada. Beberapa distrik terdiri
dari masyarakat yang mayoritas berasal dari satu suku dan
klan, sementara lainnya terdiri dari berbagai kelompok
berbeda. Faktor ini menimbulkan persaingan kekuasaan.
Kepala kampung biasanya adalah seseorang yang senior,
yang merupakan anggota terhormat dari suatu klan atau
suku yang paling berkuasa dan atau kelompok suku di
wilayah tertentu.
LEMBAGA PEMERINTAH INDONESIA
Kajian ini mencatat bahwa lembaga pemerintah Indone-
sia di tingkat desa didominasi oleh individu-individu yang
berpendidikan dan atau memiliki kemampuan berbahasa
Indonesia lebih baik daripada kebanyakan penduduk
desa. Pegawai pemerintahan ini tidak selalu datang dari
klan yang dominan atau kelompok suku di wilayah mer-
eka bekerja. Posisi mereka dalam struktur pemerintahan
dan akses mereka terhadap berbagai sumber daya bisa
jadi merupakan pilihan lain dalam meraih kekuasaan,
yang seringkali diincar oleh mereka yang tidak dapat
meraih kekuasaan melalui struktur tradisional.
LEMBAGA GEREJA
Kajian ini mencatat bahwa paling tidak hingga tahun
1980-an, lembaga gereja merupakan penyedia utama
layanan pendidikan dan kesehatan, terutama di wilayah
terpencil. Namun seiring dengan meningkatnya pem-
batasan terhadap misi dan dana asing sejak tahun 1980-
an, dan dengan meningkatnya akses terhadap sumber
dana alternatif, terutama dengan adanya penerapan oto-
nomi khusus, pengaruh lembaga gereja menurun. Walau-
pun demikian, gereja masih memiliki pengaruh signifikan
di beberapa wilayah.
MASYARAKAT PENDATANG
Kajian ini mencatat bahwa masyarakat pendatang yang
bukan keturunan asli masyarakat Papua tidak meme-
gang posisi dalam hirarki kelembagaan adat, serta lemah
haknya dalam hal kepemilikan tanah. Namun demikian,
mereka memegang kekuasaan ekonomi di pusat-pusat
perkotaan selain di perdesaan. Mereka datang ke wilayah
Papua melalui program transmigrasi yang dijalankan oleh
pemerintah. Secara umum, masyarakat pendatang memi-
liki tingkat pendidikan yang lebih tinggi; kemampuan ber-
bahasa Indonesia yang baik; dan memiliki akses modal.
Pada konteks tertentu, budaya dan suku mereka yang
sama dengan kebanyakan pemegang birokrasi Indonesia,
dapat memberikan mereka pengaruh yang tidak propor-
sional. Telah terjadi ketegangan dan terkadang kekerasan,
konflik antara masyarakat Papua dan masyarakat bukan
Papua di beberapa tempat.
INTERAKSI ANTARA PEMEGANG KEPENTINGAN DAN PEREBUTAN KEKUASAANKajian ini mencatat bahwa mayoritas masyarakat Papua,
terutama yang hidup di wilayah terpencil, sangat ter-
gantung pada pertanian, peternakan dan kegiatan ber-
buru. Kebanyakan ternak adalah sapi, babi dan ayam.
Sementara kebanyakan jenis tanaman pangan adalah
kentang, wortel, buncis, bawang merah dan ubi. Mayori-
tas masyarakat memiliki akses transportasi yang terbatas
sehingga hasil pertanian seringkali tidak diperjualbelikan.
Hasil pertanian dikonsumsi oleh keluarga dan kelompok
klan yang menanam pangan tersebut. Kelebihan hasil
pertanian didistribusikan bedasarkan keputusan hukum
tradisional dan adat. Lahan pertanian pada umumnya
dimiliki oleh kelompok klan dan diolah secara bersama-
Latar Belakang, Tujuan, dan Rancangan PNPM RESPEK: Konteks Sosial
76 PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
sama (komunal). Kepala klan dan kelompok disekitarnya
memiliki kekuasaan dan kontrol yang kuat atas keg-
iatan ini.
Laporan ini menyatakan bahwa kelompok elit kampung
dipimpin oleh seorang kepala suku yang berasal dari klan
atau marga terkuat. Kelompok elit berkuasa atas sumber
daya produktif desa (lahan, babi, pemukiman tradisional).
Di bawah group ini adalah aktifis kampung, yaitu mereka
yang memiliki jaringan kekeluargaan dengan elit kam-
pung. Mereka ini memiliki keterampilan spesifik dan atau
posisi struktural, seperti kemampuan berbahasa Indo-
nesia yang baik dan atau memiliki profesi sebagai guru,
pegawai pemerintahan, bidan atau perawat. Kemudian
di bawah group ini adalah masyarakat kebanyakan yaitu
yang diakui sebagai anggota masyarakat sepenuhnya
dengan hak terhadap lahan tradisional, bahkan jika dera-
jat posisi mereka relatif jauh di bawah kelompok elit.
Lapisan terakhir adalah masyarakat miskin dan terping-
girkan yang merupakan anggota kelompok suku atau
klan yang dipandang rendah, masyarakat pendatang
baru, atau mereka yang memiliki cacat fisik atau keterba-
tasan lainnya dengan hak sosial dan ekonomi yang tidak
diakui masyarakat.
Posisi pemegang kepentingan sangat tergantung pada
konteks tertentu. Kekuasaan kelompok elit tradisional
terasa kuat pada wilayah yang memiliki akses terbatas ter-
hadap infrastruktur transportasi, kegiatan komersial yang
produktif, dan pelayanan pemerintah. Pada wilayah den-
gan pelayanan pemerintah yang terjangkau, kekuasaan
mereka yang termasuk dalam hirarki birokratis lebih kuat.
Terdapat kemungkinan bahwa hal ini merupakan efek dari
perebutan kekuasaan antara mereka dengan kelompok
elit tradisional. Sementara kekuasaan para pendatang
lebih besar di wilayah dengan kegiatan komersial yang
tinggi. Para pendatang memiliki akses modal, keahlian,
dan jaringan yang lebih kuat daripada masyarakat asli.
Di wilayah perdesaan yang memiliki akses transportasi,
kegiatan jual-beli hasil pertanian, dan atau kedekatan
mereka dengan wilayah perkotaan, kekuasaan merupakan
persaingan antara kelompok elit tradisional dan kelompok
pendatang. Di pusat-pusat perkotaan, kelompok pen-
datang biasanya memiliki kekuasaan tertinggi, walaupun
kelompok elit tradisional masih memiliki kekuatan atas
tanah dan sumber daya lainnya.
PERMASALAHAN TERKAIT PENDIDIKAN DASARKesuksesan dari penerapan PNPM Perdesaan sangat ter-
gantung pada kualitas fasilitator lokal dan kemampuan
anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan mengawasi
penerapan program. Laporan ini mencatat bahwa tan-
tangan terbesar dalam penerapan PNPM RESPEK adalah
terbatasnya jumlah dan kualitas fasilitator, baik fasilitator
teknik maupun pemberdayaan, dengan kesulitan terbesar
terletak pada perekrutan fasilitator teknik yang berkualitas
cukup. Laporan ini juga menemui bahwa permasalahan
ini sangat terkait dengan kualitas dan tingkat pendidikan
di wilayah Papua, terutama di lokasi terpencil. Secara
khusus, laporan ini menyatakan bahwa kurangnya tenaga
fasilitator dengan keahlian yang sesuai, terkait dengan:
1. Kurangnya fasilitas pendidikan, terutama di wilayah
terpencil atau di berbagai distrik di Papua dan
Papua Barat;
2. Kurangnya tenaga pengajar, terutama di wilayah
terpencil secara sebagian besar guru memilih untuk
bekerja di kota besar;
3. Masalah budaya dan kemiskinan di wilayah Papua,
anak-anak yang harus bekerja di ladang;
4. Kurikulum pendidikan nasional yang diterapkan di
Papua dan Papua Barat kurang sesuai dengan konteks
kehidupan di wilayah ini.
Walaupun laporan ini menyatakan bahwa kurangnya
tenaga fasilitator yang terlatih merupakan suatu tan-
tangan besar, namun dapat dikatakan bahwa lemahnya
kemampuan baca dan hitung pada masyarakat juga
secara signifikan membatasi kemampuan mereka untuk
melakukan pengawasan atau terlibat secara aktif dalam
program ini.
TEMUAN DAN OBSERVASI
KUALITAS INFRASTRUKTURTemuan dalam kajian ini berdasarkan pada pengamatan
terhadap 70 sub-proyek infrastruktur di 16 kampung.
Mayoritas dari sub-proyek ini (76,56 persen) merupakan
infrastruktur basah (wet infrastructure) yaitu jamban, sumur
terbuka, penampungan air hujan, pipa sumur bor, penam-
pungan mata air, profil tank. Sebanyak 6,25 persen dari
sub-proyek ini merupakan konstruksi pembuatan jalan
tanah; 4,7 persen adalah pembangunan Posyandu dan
Pustu; 4,7 persen meliputi pembangunan rumah; 3,1 pers-
en adalah pengadaan rumah diesel; dan sisanya terdiri
dari pembangunan taman kanak-kanak, balai perempuan,
dan pasar.
Laporan ini menemui bahwa pembangunan infrastruktur
melalui program PNPM RESPEK rata-rata memiliki biaya
lebih rendah 60 persen daripada pembangunan infra-
struktur oleh pemerintah daerah.
Laporan ini menemui bahwa dari semua kampung yang
disurvei, infrastruktur kering (dry infrastructure) yang
dibangun melalui PNPM RESPEK (seperti perumahan,
pasar, balai perempuan, rumah diesel, dan sebagainya)
memiliki kualitas teknis yang “bagus”. Ini berarti bahwa
infrastruktur tersebut memiliki kondisi struktural dan
fungsional yang yang baik.
Kualitas pembangunan infrastruktur basah (wet infrastruc-
ture) adalah “bagus” pada 60 persen proyek yang diban-
gun. Sebagian besar sisa infrastruktur memiliki kualitas
“rata-rata” (moderate). Sejumlah proyek infrastruktur basah
tidak berfungsi dengan baik, seperti kebocoran di jarin-
gan pipa dan penampungan air, serta sumber air bersih
yang tidak mencukupi. Dengan demikian, laporan ini
menunjukkan bahwa di Papua dan Papua Barat, tersedia
kapasitas untuk membangun infrastruktur kering yang
berkualitas cukup, namun terdapat kapasitas yang terba-
tas untuk pembangunan infrastruktur basah.
Rendahnya kualitas pembangunan infrastruktur basah
disebabkan oleh tingginya tingkat kesulitan untuk
melakukan pembangunan ini. Model standar yang digu-
nakan oleh fasilitator teknik gagal mengatasi masalah
seperti ketersediaan sumber air bersih, dan pemilihan
serta penggunaan bahan-bahan yang dapat mence-
gah kebocoran.
PEMANFAATAN INFRASTRUKTURLaporan ini menemui bahwa sekitar separuh dari keg-
iatan yang disurvei, infrastruktur hanya digunakan oleh
sebagian kecil kelompok masyarakat kampung. Hal ini
biasanya berhubungan dengan kepentingan kelompok
elit kampung. Sebanyak 17 persen infrastruktur tidak
digunakan, bahkan ketika infrastruktur tersebut memiliki
kualitas teknis yang baik (secara struktural dan fungsional).
Secara total, 67 persen dari keseluruhan infrastruktur tidak
digunakan secara efektif. Dari keseluruhan infrastruktur
yang dibangun melalui program ini, hanya 33 persen
yang memiliki kualitas bagus dan digunakan seca-
ra efektif.
Laporan ini menyatakan bahwa alasan utama dari ren-
dahnya pemanfaatan tersebut adalah terbatasnya kualitas
fasilitasi dan adanya dominasi kelompok elit kampung.
Dengan proses perencanaan pembangunan infrastruk-
tur yang didominasi oleh elit kampung, proposal yang
menang biasanya adalah yang memberikan manfaat bagi
mereka yang terkait dengan kepentingan kelompok elit.
Para fasilitator tidak memiliki kapasitas untuk mengatasi
dominasi kelompok elit dan untuk meningkatkan kualitas
perencanaan pembangunan.
Sebagaimana yang telah disebutkan, kualitas pemban-
gunan infrastruktur basah juga dipengaruhi oleh masalah
teknis dan operasional termasuk kebocoran, sumber air
bersih yang tidak cukup, dan masalah teknis lainnya. Per-
masalahan ini yang mengurangi tingkat pemanfaatan
infrastruktur tersebut. Dalam kasus ini, terbatasnya kuali-
tas fasilitasi teknis menjadi permasalahan utama.
Temuan Dan Observasi
98 PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
DAMPAK PNPM RESPEK PADA PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN MASYARAKATLaporan ini meneliti dampak PNPM RESPEK terhadap
pengembangan i) lembaga-lembaga yang bertang-
gungjawab terhadap penerapan program, terutama
pada kemampuan dan kemauan lembaga tersebut untuk
mencatat aliran dana dan menerapkan standar untuk
memastikan akuntabilitas; dan ii) keterlibatan masyara-
kat, terutama dalam hal partisipasi dan kapasitas untuk
melakukan pengawasan.
Laporan ini menemui bahwa dampak positif terkuat terle-
tak pada pengembangan akuntabilitas dalam program ini
sendiri. Sebanyak 12 dari 16 kampung memiliki catatan ali-
ran dana yang jelas, lengkap dengan kumpulan bukti tan-
da terima pembelian. Catatan tersebut tidak ditemukan
pada 4 kampung lainnya. Pada 2 kampung dengan akunt-
abilitas baik, administrasi kampung mencontoh model
mekanisme PNPM RESPEK untuk kemudian mengem-
bangkan sistem akuntabilitas pada program yang tidak
terkait dengan pembelanjaan kampung. Laporan ini men-
catat bahwa pengembangan sistem akuntabilitas seperti
ini tidak banyak ditemui bahkan di wilayah luar Papua
yang menerapkan PNPM Perdesaan. Dengan demikian,
pengembangan ini, walaupun hanya terjadi di sebagian
kecil kampung, sebaiknya dilihat sebagai hal yang positif.
Pada 7 dari 16 kampung, terdapat tanda-tanda masyara-
kat mencoba melakukan standar kegiatan pengawasan.
Pengawasan ini biasanya dilakukan oleh anggota klan
yang senior, bukan anggota klan yang mendominasi.
Laporan ini menunjukkan bahwa dengan beberapa
pengecualian, Pendamping Kampung (PK) pada umum-
nya lulus pendidikan dasar dan mereka tidak dapat
melengkapi laporan tanpa bantuan Pendamping Distrik
(PD). PD biasanya lulus pendidikan SMP dan atau memi-
liki kemampuan literasi dan berhitung yang lebih baik
dikarenakan aktivitas mereka di gereja. Namun demikian,
laporan ini menunjukkan bahwa dengan adanya penera-
pan PNPM RESPEK, PK dan anggota TPKK di 10 kampung
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam hal mencatat
dan mendokumentasikan kegiatan mereka.
PARTISIPASI MASYARAKATLaporan ini menunjukkan bahwa kegiatan memantau dan
mengawasi pembelanjaan dan hal detail lainnya kemung-
kinan besar dapat terwujud ketika terdapat satu klan
yang berkuasa di desa tersebut. Dalam kasus ini, anggota
senior dari klan yang berkuasa (bukan klan yang mendo-
minasi) mampu memobilisasi fasilitator dan menerapkan
mekanisme menjaga akuntabilitas. Pada kasus seperti ini,
pemanfaatan infrastruktur pada umummnya lebih tinggi,
dan memberikan manfaat lebih banyak pada anggota
masyarakat daripada kelompok elit. Terdapat perebutan
kekuasaan antara klan-klan kuat di 4 kampung. Laporan
ini menemukan bahwa di 4 kampung tersebut, PNPM
RESPEK memberikan celah bagi para aktivis yang terdiri
dari guru, sukarelawan gereja, sukarelawan kesehatan,
dan lainnya dengan pendidikan yang lebih tinggi. PNPM
RESPEK juga membuka jalan bagi mereka untuk mempen-
garuhi pembelanjaan kampung.
Pada kasus di mana terdapat satu klan dominan yang
mengontrol administrasi kampung, maka mekanisme ini
sulit untuk diterapkan. Fasilitator seringkali tidak berdaya
mempertanyakan otoritas administrasi kampung. Pada
kasus seperti ini, ruang gerak para aktivis cenderung
dibatasi oleh elit kampung. Secara khusus, laporan ini
menyebutkan bahwa fasilitator PNPM seringkali terkait
dengan atau memiliki ikatan dengan elit kampung. Ter-
dapat dominasi monolitis seperti ini di 10 dari 16 kampu-
ng yang disurvei.
Laporan ini mencatat bahwa tingkat partisipasi masya-
rakat adalah sangat lemah dengan sedikit pengetahuan
umum mengenai struktur dan penerapan PNPM RESPEK.
Pada masyarakat miskin dan terpinggirkan, tingkat parti-
sipasi biasanya hampir tidak ada. Kelompok masyarakat
yang lebih miskin pada umumnya tidak diundang untuk
menghadiri rapat atau bahkan tidak mengetahui kegiatan
rapat. Partisipasi mereka dalam program ini terbatas pada
kontribusi tenaga kerja pembangunan infrastruktur.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASILaporan ini menyimpulkan bahwa program PNPM RESPEK
meraih hasil yang sangat baik dalam hal pembangunan
infrastruktur kering, dan meraih hasil sangat bagus untuk
pembangunan infrastruktur basah. Infrastruktur yang
dibangun melalui program ini memiliki kualitas yang
sama atau bahkan lebih baik daripada insfrastruktur yang
dibangun melalui distrik atau program pemerintah lain-
nya, dengan biaya rata-rata 60 persen lebih rendah.
Namun demikian, laporan ini menemukan mayoritas
infrastruktur yang dibangun tidak digunakan atau hanya
memberikan manfaat bagi sebagian kecil masyarakat. Hal
ini biasanya terkait dengan kepentingan kelompok elit
kampung. Pada kasus lainnya, terutama pada pemban-
gunan infrastruktur basah, masalah teknis muncul karena
infrastruktur tersebut jarang digunakan. Sekitar sepertiga
dari keseluruhan kasus, infrastruktur dapat berjalan secara
efektif dan memberikan manfaat bagi sebagian besar
masyarakat termasuk mereka yang tidak memiliki hubun-
gan dekat dengan elit kampung.
Laporan ini menyatakan bahwa alasan utama gagalnya
pemanfaatan infrastruktur oleh sebagian besar masyara-
kat adalah karena adanya dominasi kelompok elit kam-
pung dan rendahnya kualitas fasilitasi.
Laporan ini juga menyatakan bahwa agar program ini
dapat mencapai tujuannya membangun infrastruktur
yang efektif dan untuk memperkuat lembaga kampung,
langkah-langkah berikut ini harus dapat dilakukan:
1. Memperkuat partisipasi masyarakat;
2. Memperbaiki aspek fungsional infrastruktur basah
dari sisi desain; dan
3. Mengembangkan sistem operasional dan pemeli-
haraan untuk infrastruktur yang telah dibangun.
MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DAN MEMPERKUAT LEMBAGA DESAMeningkatkan partisipasi masyarkat yang bukan terma-
suk dalam kelompok elit kampung sebaiknya dilaku-
kan melalui:
1. Mengembangkan kapasitas fasilitator melalui sebuah
program pengembangan kapasitas (a capacity build-
ing program);
2. Mengembangkan sebuah mekanisme pemberian
insentif demi meningkatkan kapasitas fasilitasi PNPM;
3. Memciptakan ruang bagi masyarakat di luar elit kam-
pung untuk dapat berpartisipasi, dan untuk mendo-
rong orientasi pro-miskin di antara para elit kampu-
ng; dan
4. Melakukan sinkronisasi dengan pemerintah provinsi
MENGEMBANGKAN KAPASITAS FASILITASIUntuk mengatasi kapasitas fasilitator yang terbatas di
tingkat kampung, distrik, dan distrik, laporan ini melihat
adanya kebutuhan akan program pengembangan kapa-
sitas seperti program barefoot engineers yaitu program
kursus 6-bulan untuk melatih lulusan SLTA dengan pendi-
dikan dasar teknik sipil, konstruksi, dan fasilitasi, sebelum
mengangkat mereka sebagai PD teknik(lihat kotak di hala-
man selanjutnya). Laporan ini merekomendasikan peng-
gunaan program yang telah ada sebagai model untuk
mengembangkan keterampilan fasilitasi lainnya, termasuk
keahlian dalam pemberdayaan masyarakat, dan mungkin
bekerja sama dengan LSM internasional maupun lokal
yang memiliki keterampilan pada bidang ini, seperti
misalnya organisasi World Vision. Program ini dapat diper-
panjang untuk mengikutsertakan kandidat dengan pen-
didikan rendah agar dapat melayani fasilitasi di tingkat
kampung. Pendanaan untuk kegiatan ini dapat diperoleh
melalui otonomi khusus atau melalui pendanaan lemba-
ga international.
MENGEMBANGKAN RANCANGAN PNPM RESPEK AGAR DAPAT MENDORONG PEMBANGUNAN KAPASITAS FASILITASI DAN KELEMBAGAANUntuk mengembangkan kemampuan fasilitasi, laporan
ini merekomendasikan perubahan pada sistem insentif
dan sistem tanpa insentif sehingga seluruh institusi dan
pemangku kepentingan termotivasi untuk mengembang-
kan kapasitas fasilitasi. Sebagai contoh, dana tambahan
dapat diberikan kepada kampung yang dapat menunjuk-
1110 PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
kan kemajuan dalam mengembangkan partisipasi aktif,
memanfaatkan infrastruktur dengan baik, dan kelom-
pok operasional yang aktif, serta proposal yang efektif.
Sistem pemberian insentif tersebut perlu ditunjang oleh
pengembangan institusi yang mampu melakukan penga-
wasan. Laporan ini juga menyatakan adanya kebutuhan
untuk mengembangkan fasilitasi yang lebih intensif di
wilayah terpencil.
MENDORONG PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT MISKINLaporan ini melihat adanya kebutuhan untuk menin-
gkatkan partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan
dengan menciptakan ruang bagi kelompok yang tidak
terkait dengan elit kampung sehingga mereka dapat
menyalurkan aspirasi dan berperan dalam proses pen-
gambilan keputusan. Untuk mencapai tujuan ini, laporan
ini merekomendasikan untuk memprioritaskan proposal
yang dikembangkan melalui kelompok khusus seperti
masyarakat wanita. Agar alokasi dana tidak jatuh kepada
proyek yang hanya memberikan manfaat bagi kelom-
pok elit, laporan ini menyarankan untuk menciptakan
kontrol internal dengan membentuk kelompok kolektif
wanita di tingkat distrik dengan perwakilan dari beberapa
kampung. Para perwakilan ini sebaiknya mendapatkan
pelatihan sehingga mereka memiliki pengetahuan untuk
melihat apakah proposal yang diajukan dapat mem-
berikan manfaat bagi kebanyakan masyarakat termasuk
masyarakat miskin dan terpinggirkan. Untuk mengatasi
kendala subjektivitas, para perwakilan kampung ini sebai-
knya tidak diperkenankan untuk memeriksa proposal dari
kampung mereka sendiri. Mekanisme ini dapat juga dite-
rapkan untuk memperkuat institusi lokal di tingkat distrik
dan kampung. Untuk distrik dengan kampung-kampung
yang letaknya saling berjauhan dan sulit untuk dijang-
kau, sebaiknya disediakan biaya transportasi yang dapat
dikeluarkan dari dana otonomi khusus.
MENDORONG SINKRONISASI ANTARA PEMERINTAH PROVINSI DAN DISTRIKLaporan ini mencatat bahwa beberapa peraturan provinsi
gagal mendukung proses partisipasi masyarakat dan
berlawanan dengan prinsip-prinsip PNPM. Di Papua
Barat, pada saat survei ini dilaksanakan, kebijakan provinsi
memberikan celah bagi elit kampung untuk mengontrol
proses perencanaan di tingkat kampung dengan meny-
alurkan dana otonomi khusus kepada kepala kampung.
Kebijakan ini merusak proses partisipasi masyarakat yang
merupakan dasar program PNPM Perdesaan. Laporan ini
menyarankan agar kebijakan tersebut dapat direvisi untuk
mendukung pelaksanaan PNPM RESPEK yang menyalur-
kan dana melalui TPKK.
MEMPERBAIKI INFRASTRUKTUR BASAHLaporan ini menyatakan dengan jelas bahwa infrastruktur
basah yang dibangun melalui PNPM RESPEK pada umum-
nya memiliki kualitas lebih rendah daripada infrastruktur
kering. Laporan ini menyarankan agar fasilitator teknik
menerima pelatihan intensif sehingga dapat mengatasi
permasalahan ini. Pelatihan tersebut sebaiknya meliputi:
zz Analisis kelayakan rencana dari sisi sumber mata air
zz Pemahaman mengenai sumber mata air
zz Pengetahuan mengenai perpipaan
zz Keahlian memproduksi campuran beton
zz Keahlian untuk penanganan kebocoran
zz Pembelajaran mengenai kesalahan umum dari
pembangunan infrastruktur basah dan bagaima-
na menanganinya
Laporan ini juga menyarankan penerapan suatu standar
untuk mengukur apakah suatu proyek infrastruktur basah
memenuhi ketentuan pra-kondisi tertentu, dan terutama
lulus verifikasi bahwa terdapat sumber air bersih yang
cukup untuk mendukung kinerja infrastruktur tersebut.
MENGEMBANGKAN SISTEM PENGELOLAAN INFRASTRUKTURTerdapat banyak infrastruktur baru yang dibangun
melalui program PNPM RESPEK. Infrastruktur ini mem-
butuhkan pemeliharaan yang berkesinambungan untuk
mejaga keberadaan infrastruktur tersebut. Banyak kasus
menunjukkan bahwa kegiatan pemeliharaan hanya akan
terwujud dengan menarik biaya dari para pengguna, kec-
uali jika tersedia dana tambahan khusus untuk kegiatan
BAREFOOT ENGINEERS PROGRAM
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tantan-
gan terbesar yang dihadapi PNPM RESPEK adalah sangat
terbatasnya pendamping yang berkualitas, terutama
pendamping teknis dengan keahlian dan kualifikasi teknis.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pada Agustus 2008,
Bank Dunia memberikan sekitar US$1 juta kepada Uni-
versitas Cendrawasih (UnCen) di Jayapura untuk meran-
cang dan melaksanakan pelatihan selama 6 bulan yang
mengkombinasikan pembelajaran di dalam kelas dengan
aplikasi pengetahuan di lapangan. Pembelajaran ini meli-
puti proyek infrastruktur umum berskala kecil yang dida-
nai oleh PNPM RESPEK.
Pelatihan berlangsung sukses dengan siswa seban-
yak 120 orang. Sebesar 90 persen dari siswa tersebut
adalah masyarakat asli Papua, 30 persennya adalah
wanita. Sebanyak 106 siswa lulus pada Maret 2009. Lulu-
san ini kemudian diangkat menjadi pendamping teknis
dan dipekerjakan di kabupaten rumah mereka. Mereka ini
merupakan lulusan Barefoot Engineers gelombang II. Gel-
ombang I telah dilaksanakan sebelumnya pada 2003 dan
menghasilkan lulusan sebanyak 56 orang. Jumlah lulusan
dari kedua gelombang ini mencakup lebih dari seten-
gah tenaga ahli lapangan yang bekerja untuk program
PNPM RESPEK.
Untuk menyediakan kebutuhan teknis bagi masyarakat
kampung yang berada di wilayah terpencil, di mana sulit
untuk merekrut dan mendapatkan tenaga ahli didikan
universitas, program Barefoot Engineers memberikan
pelatihan khusus bagi pemuda Papua sehingga mereka
mendapat keahlian baru, rasa percaya diri, dan kesempa-
tan bekerja.
Temuan awal yang dilakukan melalui misi pengawasan
Bank Dunia (supervision missions) di Papua dan Papua
Barat, serta melalui kegiatan lainnya, menunjukkan pen-
empatan lulusan program Barefoot Engineers sebagai
fasilitator teknik PNPM RESPEK adalah efektif. Kualitas tek-
nis infrastruktur yang dirancang oleh lulusan ini memberi-
kan tingkat kepuasan yang bagus. Kualitas fasilitasi juga
memberikan kepuasan yang sangat baik. Kemampuan
fasilitator ini berbicara dalam bahasa lokal memungkinkan
terjadinya partisipasi yang lebih luas dan aktif. Keahlian
dan kontribusi mereka menjadi kebanggaan tersendiri
bagi masyarakat lokal.
Walaupun program Barefoot Engineers di
tahun 2003 dan 2009 telah sangat membantu kebutuhan
program, PNPM RESPEK masih menghadapi kelangkaan
fasilitator teknik. Sekitar 300 posisi tenaga ahli teknik
masih kosong, dan tingkat pergantian fasilitator teknik
masih tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan fasilitator ini,
proyek dua tahun telah disetujui pada tahun 2011 bagi
program Barefoot Engineers untuk membuka kelas tamba-
han dengan siswa sebanyak 140 orang.
Program Barefoot Engineers gelombang III ditutup antara
bulan November 2012dan Maret 2013 oleh BAKTI. Seban-
yak 290 lulusan telah menyelesaikan program dengan
sukses dan telah ditempatkan di berbagai lokasi di Papua
dan Papua Barat. Dalam beberapa bulan kedepan, fasili-
tator baru ini akan menerima pendampingan di tempat
kerja (on-the-job coaching) dan pelatihan tambahan.
12 PNPM RESPEK:KAPASITAS INFRASTRUKTUR DAN KELEMBAGAAN DESA
NOTES1 Istilah “wilayah Papua” dalam laporan ini mencakup dua provinsi
yaitu Papua dan Papua Barat. PNPM RESPEK telah diterapkan di wilayah yang memiliki status otonomi khusus ini.
2 Penelitian ini dilaksanakan di empat distrik yang tersebar di provinsi Papua dan Papua Barat. Pada setiap kabupaten, peneliti memilih satu distrik terpencil dan satu distrik yang berlokasi dekat kota. Pada setiap distrik, para peneliti menyeleksi dua kampung. Pada awal penelitian ini, pemilihan lokasi ditentukan berdasarkan masukan dan konsultasi dengan Bank Dunia serta konsultan provinsi dan kabupaten PNPM. Beberapa lokasi terpilih ada yang harus diganti dikarenakan faktor keamanan (terutama di KabupatenJayawijaya dan Boven Digoel). Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan kriteria:
1) Lama keterlibatan: meliputi serangkaian keterlibatan dengan PNPM RESPEK, yaitu desa yang terlibat dengan PNPM selama 2-3 tahun, dan kampung yang baru saja menerapkan PNPM RESPEK untuk pertama kalinya; 2) Dilihat dari ketersediaan akses transportasi dan fisik: Pada setiap kabupaten, dua distrik dipilih, yaitu satu dengan akses transportasi terbatas, sementara yang lainnya adalah yang memiliki akses memadai; 3) Kedua provinsi: Untuk mencakup keragaman di antara administrasi pemerintah, lokasi terpilih dalam penelitian ini meliputi lokasi di dua provinsi, Papua dan Papua Barat.
Referensi: Sari, Y., Rahman, H. and Manaf, D. (2011). “Evaluasi Laporan Akhir PNPM RESPEK: Kapasitas Lembaga dan Kelembagaan Desa”, AKATIGA, Jakarta.
pemeliharaan. Laporan ini menyarankan untuk mengem-
bangkan sebuah sistem sehingga masyarakat dapat men-
gusulkan sebuah proposal pemeliharaan kepada pemer-
intah daerah dengan maksud agar biaya operasional
dapat dialokasikan dari dana otonomi khusus.
Laporan ini juga menyarankan agar mekanisme pem-
berian insentif dapat dikembangkan untuk mendorong
kegiatan pemeliharaan infrastruktur. Melalui mekanisme
tersebut, kampung-kampung dengan sistem pemeli-
haraan yang baik sebaiknya dihargai dengan pemberian
dana tambahan yang disalurkan pada dana PNPM RESPEK
di tahun depannya.
Terakhir, laporan ini menegaskan kembali perlunya per-
baikan model konstruksi infrastruktur basah. Kegiatan
pemeliharaan yang berbiaya tinggi dapat diatasi dengan
mengembangkan model yang lebih memerhatikan pada
kebutuhan lokal termasuk ketersediaan bahan bakar, air
bersih, dan sumber daya penting lainnya.
SERI RINGKASAN STUDI
Tujuan utama PNPM Support Facility (PSF) adalah men-
jadi sarana obyektif untuk mengulas, berbagi pengala-
man, dan menerapkan pelajaran dari berbagai program
kemiskinan dan untuk menumbuhkan diskusi mengenai
solusi untuk program kemiskinan. PSF memfasilitasi
pelaksanaan analisis dan penelitian terapan untuk men-
goptimalkan desain program berbasis komunitas yang
merespon terhadap dampak kemiskinan yang semakin
tinggi dan untuk lebih memahami dinamika sosial di
Indonesia dan pengaruhnya terhadap pembangunan dan
pengentasan kemiskinan. Penelitian dan analisis ini ber-
tujuan memberikan basis yang kuat untuk perencanaan,
pengelolaan, dan perbaikan program pemberantasan
kemiskinan pemerintah Indonesia. Penelitian ini juga
dapat mendorong pembelajaran antar negara berkem-
bang, dan menjadi masukan berharga bagi akademisi,
instansi pemerintah, dan pelaku pembangunan lain yang
menerapkan program berbasis komunitas di mana pun
di dunia.
Penelitian dan kerja analisis ini diterbitkan oleh PSF dalam
rangka mempublikasi dan mempromosikan temuan,
kesimpulan, dan rekomendasi dari penelitian dan analisis
kepada khalayak yang lebih luas, termasuk akademisi,
jurnalis, anggota parlemen, dan pihak–pihak lain yang
memiliki ketertarikan terhadap pengembangan masyara-
kat.