PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)

17
1 KHABAR SHA>DIQ SEBUAH METODE TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM Oleh: Mohammad Syam’u> n Sali> m A. Pendahuluan Diskursus mengenai al-Qur’an dan hadist Nabi hingga saat ini menarik untuk dikaji. Sebab selain keduanya adalah sumber tertinggi dari ilmu pengetahuan, 1 keduanya juga diriwayatkan dari berita yang benar (khabar shadiq) yang bersifat absolut (absolute authority) \ 2 sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Namun banyak dari sarjana barat (baca: orientalis) yang menuduhnya sebagai sumber yang palsu dan tidak otentik. Ini tidak lepas dari asas dasar epistemologi 3 mereka yang hanya bersumber dari panca indra dan akal. 4 Berbeda dengan barat, dalam epistemologi Islam selain pancaindra dan akal, sumber ilmu pengetahuan juga melingkupi intuisi dan kabar yang benar ‚khabar shadiq‛ (true report). 5 Dengan kata lain, tradisi khabar shadiq hanya terdapat pada epistemologi Islam. Dan tradisi inilah yang menjadikan al-Qur’an dan hadist tetap otentik, terjaga keasliannya hingga saat ini. Bukan tanpa alasan para orientalis bersikap ragu-ragu kepada al-Qur’an dan hadist. Mereka berasumsi bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber dari khabar ini tidak bisa dipertanggung jawabkan. Arthur jeffery misalnya, yang menganggap bahwa sejarah kodifikasi al-Qur’an adalah fiktif serta meragukan keabsahan mushaf Utsmani. 6 Atau William muir yang yang menganggap bahwa dalam literatur hadist nama Nabi Muhammad SAW sengaja dikutip untuk menutupi kebohongan serta berbagai keganjilan. 7 Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh seorang orientalis Peserta Program Kaderisasi Ulama angkatan ke VII Institut Studi Islam Darussalam, Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo 1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p.121 2 Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54 3 Epistemologi berasal dari Istilah Yunani Episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti ilmu. Lihat, Abdul Mun’im al Hanafi, Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah, Cetakan ke 3 (Maktabah Madbuli: Kairo, 2000), p.18. lihat juga, Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008), p.28 4 Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007), p.1-2. lihat juga, Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013), p.7 5 Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New York, 1950), p.19 6 Teks aslinya berbunyi ‚…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text.‛ Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: the Old Codices, (E.J. Brill: Leiden, 1937), p.x 7 Teks asli berbunyi ‚…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities.‛ William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira , Jilid 4 (t.p London, 1861), p.1

Transcript of PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)

1

KHABAR SHA>DIQ SEBUAH METODE TRANSMISI ILMU

PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Oleh: Mohammad Syam’u>n Sali>m

A. Pendahuluan

Diskursus mengenai al-Qur’an dan hadist Nabi hingga saat ini menarik untuk

dikaji. Sebab selain keduanya adalah sumber tertinggi dari ilmu pengetahuan,1

keduanya juga diriwayatkan dari berita yang benar (khabar shadiq) yang bersifat

absolut (absolute authority) \\2 sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Namun banyak

dari sarjana barat (baca: orientalis) yang menuduhnya sebagai sumber yang palsu dan

tidak otentik. Ini tidak lepas dari asas dasar epistemologi3 mereka yang hanya

bersumber dari panca indra dan akal.4 Berbeda dengan barat, dalam epistemologi Islam

selain pancaindra dan akal, sumber ilmu pengetahuan juga melingkupi intuisi dan kabar

yang benar ‚khabar shadiq‛ (true report).5 Dengan kata lain, tradisi khabar shadiq

hanya terdapat pada epistemologi Islam. Dan tradisi inilah yang menjadikan al-Qur’an

dan hadist tetap otentik, terjaga keasliannya hingga saat ini.

Bukan tanpa alasan para orientalis bersikap ragu-ragu kepada al-Qur’an dan

hadist. Mereka berasumsi bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber dari khabar ini

tidak bisa dipertanggung jawabkan. Arthur jeffery misalnya, yang menganggap bahwa

sejarah kodifikasi al-Qur’an adalah fiktif serta meragukan keabsahan mushaf Utsmani.6

Atau William muir yang yang menganggap bahwa dalam literatur hadist nama Nabi

Muhammad SAW sengaja dikutip untuk menutupi kebohongan serta berbagai

keganjilan.7 Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh seorang orientalis

Peserta Program Kaderisasi Ulama angkatan ke VII Institut Studi Islam Darussalam, Pondok

Modern Darussalam Gontor Ponorogo 1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition

of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p.121 2 Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA:

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54 3 Epistemologi berasal dari Istilah Yunani Episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang

berarti ilmu. Lihat, Abdul Mun’im al Hanafi, Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah, Cetakan ke 3 (Maktabah

Madbuli: Kairo, 2000), p.18. lihat juga, Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008), p.28

4 Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007), p.1-2.

lihat juga, Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013),

p.7 5 Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A

Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New

York, 1950), p.19 6 Teks aslinya berbunyi ‚…the text which Uthman canonized was only one out of many rival

texts, and we need to investigate what went before the canonical text.‛ Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: the Old Codices, (E.J. Brill: Leiden, 1937), p.x

7 Teks asli berbunyi ‚…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities.‛ William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira , Jilid 4

(t.p London, 1861), p.1

2

kebangsaan inggris Alfred Guillaume. Ia mengatakan bahwa sangat sulit untuk

mempercayai literature hadist secara keseluruhan sebagai sebuah rekaman yang otentik

dari semua perbuatan serta perkataan Rasulullah SAW.8 lebih jauh lagi Joseph Schacht

mengemukakan bahwa tidak ada hadist yang benar-benar terbukti asli dari Nabi

Muhammad.9 Ia juga berasumsi bahwa hadist baru muncul pada abad kedua hijriah

10

serta meragukan keaslian hadist-hadist yang tertulis dalam (al-kutub as-sittah).11

Artinya, para orientalis ini meragukan bahkan tidak percaya akan keaslian al-Qur’an

dan hadist, yang diriwayatkan oleh kabar yang benar (khabar shadiq).

Untuk itu tulisan ini akan menjawab asumsi para orientalis diatas yang

menafikan berita yang benar (khabar shadiq) sebagai metode transmisi ilmu

pengetahuan dalam Islam. Juga membuktikan bahwa khabar shadiq merupakan sumber

ilmu pengetahuan –dalam hal ini al-Qur’an dan hadist-- yang dapat dipertanggung

jawabkan.

B. Sumber kebenaran dalam epistemologi Islam

Dalam Islam, kebenaran (haq) dan realitas (haqi>qah) memiliki kedudukan yang

penting. Keduanya adalah hal yang paling signifikan untuk memahami hubungan

antara filsafat Islam dan sumber wahyu dalam Islam. Menurut Syeed Hossein Nasr,

pada saat yang sama, al-haqi>qah merupakan kenyataan yang berasal dari al Qur'an.12

Artinya, kebenaran dan realitas dalam Islam adalah satu kesatuan yang utuh (tauhidi)

tak terpisah antara satu dengan lainya.

Dilihat dari sumbernya, kebenaran dalam Islam dapat diraih melalui empat

sumber.13

Pertama, Persepsi indra (idra>k al-hawa>ss).14

Persepsi indra atau pancaindra

8 Teks asli berbunyi ‚it is difficult to regard the hadith literature as a whole as an accurate and

trustworthy record of the sayings and doings of Muhammad‛. Lihat Alfred Guillaume, The Traditions of Islam: An Introduction to the Study of Hadith Literature, (Clarendon Press: Oxford, 1924), p.12

9 Teks aslinya berbunyi ‚we shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic‛ lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua,

(Clarendon Press: Oxford, 1959), p.149 10 Aslinya berbunyi ‚a great many traditions in the classical and other collections were put into

circulation only after shafi’i’s time. The first considerable body of legal traditions from the Prophet originated toward the middle of the second century‛ Ibid, p.4 11 aslinya berbunyi ‚even the classical corpus contains a great many traditions which cannot possibly be authentic‛ Ibid, p.4

12 Dalam hal ini al-Attas memiliki pendapat yang sama, bahwa seluruh ilmu dalam islam

dikembangkan melalui al-Qur’an. Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, trj Kasidjo Djojosuwarno, (Penerbit Pustaka: Bandung, 1981), p.257. lihat juga, Syeed Hossein Nasr,

Encyclopedia of Islamic Philosophy, part I, (Suhail Academy: Lahore Pakistan, 2002) p.29 13Namun ada pula yang menyebutkan bahwa sumber Ilmu pengetahuan ini terdiri dari tiga

sumber ‚wa asba>bul ilmi tsala>tsun, al hawa>ss al khamsah, al aql al Sali>m, al khabar sha>diq‛ lihat Ugi

Suharto, ‚Epistemologi Islam‛ dalam buku ‚on Islamic Civilization‛ (Unissula Press: Semarang, 2010),

p.139 14 lihat juga, Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam

ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54

3

ini terbagi menjadi dua, Pancaindra eksternal dan Pancaindra internal. Pancaindra

eksternal terdiri dari indra peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran

(hearing) dan penglihatan (sight). Dari indra inilah manusia dapat mencium, dan

membedakan berdasarkan bau, dapat melihat indahnya dunia dan alam semesta, serta

dapat melihat mana yang gelap dan mana yang terang, juga mampu merasakan manis

ataupun asin, pahit, kecut, hambar, juga mampu mendengar suara-suara disekitarnya.

Begitu pentingnya kelima indra ini, hingga Aristoteles mengatakan ‚barang siapa yang

hilang darinya indra, maka telah hilanglah ilmu darinya.‛ 15 Dalam hal ini, Imam al-

Ghazali pun sependapat dengan pendapat Aristoteles, bahwa kelima indra tersebut

(tufīdu mabda' al ilmi).16 lebih jelasnya, ia mengilustrasikan tubuh manusia sebagai

sebuah kerajaan. akal sebagai raja dan kelima indra tersebut adalah pasukannya.17

Sedangkan Pancaindra internal terdiri dari, indra bersama (common sense),

representasi (the representative power), estimiasi (estimative power), rekoleksi

(retentive power or power of recollection), dan imajinasi (Imaginative power).18

Al-Attas menjabarkan bahwa proses tahapan manusia memperoleh ilmu

pengetahuan adalah melalui tahapan presepsi, abstraksi, dan inteleksi yang bersifat

intuitif. Objek ilmu pengetahuan diawali dengan melalui tahap persepsi oleh

pancaindra eksternal dan kemudian disalurkan kepada pancaindra internal pertama,

yaitu indra bersama (common sense). Indra bersama ini akan mengabstraksi bentuk

dari objek ilmu tersebut menjadi sebuah gambaran (image). Yang mana tadi disebut

kemampuan representative (the representative power). lalu ketika objek ilmu tersebut

telah hilang dari indra eksternal. Gambaran objek tersebut ditangkap makna non

indrawinya oleh fakultas estimasi (estimative power), dan membentuk putusan serta

pendapat melalui jalan imajinatif, seperti benar atau salah, baik atau buruk dst. Makna

non indrawi tersebut akan direkam dan disimpan oleh fakultas rekolektif (retentive

power or power of recollection) hingga sampai pada fakultas imajinasi.19

Fakultas imajinasi ini bertugas memadukan dan memisahkan makna-makna

particular yang telah tersimpan oleh fakultas retentif yang didasari oleh rasio praktis

maupun rasio teoritis. fakultas ini memiliki dua aspek, yaitu sebagai sensitif dari

bentuk-bentuk indrawi, juga sebagai penerima rasional dari bentuk-bentuk yang

15 Ayatullah Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, trj M. Jawad Bafaqih,

(Jakarta: Shadra Press, 2010), p. 38 16 Imam Ghazali, Ihyā’ Ulūm al Dīn, vol. 2... p. 300 17 Ibid, p. 10 18 Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghaza>li’s concept of Causality: with Reference to his

interpretations of Reality and Knowledge, (IIUM: Kuala Lumpur, 2010), p.163 19 Dalam pandangan Chittick, Ibnu Arabi menyebut ‚nalar‛ (aql) sebagai fakultas untuk

memahami bahwa Tuhan itu jauh, sedangkan ‚imajinasi‛ (khayal) sebagai fakultas untuk melihat Tuhan

itu dekat. Lihat, William C. Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam, terj Arif Mulyani, cetakan pertama, (Mizan: Bandung, 2007), p.93

4

nampak.20

Proses tahapan ini berarti, bahwa Presepsi Indra (idra>k al-hawa>ss) atau (al-

hawa>ssul khamsah) memberikan sumber informasi dan juga sumber ilmu kepada

manusia. Seperti yang termaktub dalam al-Qur’a>n:

ي يفمكوام ليمام يفض ري موا في ري ري ي ومم يأفملم ميفهريامال مييم ا ليري مو يانفل ي ميأ ريلام ليري يم قمالام يفلصدا ضريي ي ري يفلالتري ا الا و يفل يم ي لورين يي21فب صضا

‚Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai

hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan

itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,

tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada‛

Kedua, proses akal sehat (ta’aqul). Islam menempatkan akal sehat sebagai

sarana mendapatkan ilmu pengetahuan. Ia pun menjadi faktor pembeda antara manusia

dengan hewan. Ia juga berfungsi menutupi kelemahan pancaindra, yang mana panca

indra tidak mampu melakukannnya. seperti yang diungkapkan Iman al-Ghazali, bahwa

akal lebih patut disebut ‘cahaya’ ketimbang indra.22

Lebih jelasnya lagi, akal pikiran

manusia lah yang akan mengatur serta menemukan hubungan-hubungan yang sesuai

dalam setiap wilayah ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainya.23

Sebagai

contoh ketika indra mata melihat bulan, maka yang terlihat adalah bulan yang

berbentuk kecil, sekecil koin logam, padahal sejatinya bulan tersebut memimiliki

ukuran yang besar.24

Walaupun manusia yang belum pernah ke bulan sekalipun,

manusia akan menolak bahwa bulan itu kecil, sebab otak manusia tidak akan mau

menerima.

Lebih dari itu, akal juga memiliki kemampuan bertanya secara kritis tentang

segala hal. bertanya sebuah kejadian atau peristiwa misalnya, kapan terjadi, apa

kejadiannya, oleh siapa, dengan apa dan lain sebagainya. Dengan kata lain, akal bukan

hanya sebuah rasio, ia adalah fakultas mental yang mensistematisasikan dan

menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan

pengalaman menjadi sesuatu yang dapat dipahami, serta memberi informasi baru

dimana pengalaman empiris tidak dapat menerimanya dengan benar. Jadi bisa

20 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition

of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p. 151-155.

Lihat juga, Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazali’s concept of Causality: with Reference to his interpretations of Reality and Knowledge,(IIUM: Kuala Lumpur, 2010), p.168-170

21 QS (al-Ha>jj: 46) lihat juga, QS (al-Qa>f:37), QS (al-A’ra>f:179), QS (ali ‘Imra>n:138) dan QS

(al-Maidah:15) 22 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Mizan:

Bandung, 2005), p.21 23 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib

al-Attas, (Mizan: Bandung, 1998), p.159 24 Imam Ghazali, Misykāt… p. 33

5

disimpulkan bahwa akal-lah yang menutupi kelemahan pancaindra.25

Singkatnya, akal

sebagai sumber ilmu, menyempurnakan kerja indra dari sesuatu yang tidak bisa

dipahami, menjadi sesuatu yang bisa dipahami.26

Ketiga, intuisi kalbu. Dalam Islam intuisi menjadi salah satu diterimanya

sebuah ilmu dan kebenaran. Menurut seorang cendikiawan berkebangsaan Pakistan Sir

Muhammad Iqbal, intuisi menjadi pengalaman unik serta memiliki kedudukan lebih

tinggi dari alam pikiran, maka ia pun yang menghasilkan pengetahuan tertinggi.27

Bukan hanya Iqbal, al-Attas berpendapat serupa, bahwa intuisi memiliki peran sebagai

salah satu elemen mendasar dalam pencarian kebenaran.28

Dengan intuisi kalbu ini,

manusia mampu menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat Tuhan, serta menerima

ilha>m, fath, kasb,29

dan lain sebagainya. Contohnya, ketika seseorang dengan tiba-tiba

percaya tanpa harus berpikir panjang siapa dia, dari mana asalnya. Namun langsung

disimpulkan bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya, inilah intuisi yang berperan

dalam menilai sesuatu. Intuisi sebagai sumber pengetahuan bukanlah hasil dari pikiran

sadar atau persepsi langsung.30

Namun hal tersebut merupakan respon langsung dari

iman, respon total dari sebuah situasi.

Al-Attas meneruskan, bahwa meskipun pengetahuan intuitif ini tidak dapat

dikomunikasikan, namun pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan

yang berasal dari intuisi ini bisa ditransformasikan. Ia membagi intuisi ini menjadi

berbagai jenis dan tingkatan, intuisi yang terendah dialami oleh ilmuan dan sarjana

dalam penemuan-penemuan mereka, sedangkan intuisi yang tertinggi dialami oleh para

nabi.31

lanjutnya, ia berpandangan bahwa intuisi merupakan pengenalan langsung dan

cepat terhadap kebenaran religius, yaitu berupa realitas dan eksistensi Tuhan.

Pengenalan tersebut diperoleh melalui intuisi tingkat tinggi yang disebut intuisi akan

eksistensi (intuition of existence). Dan menurut al-Attas Intuisi ini adalah pekerjaan

hati (qalb).32 Selain itu al-Attas menekankan bahwa proses presepsi dan inteleksi yang

25 Dalam hal ini al-Attas menambahkan kata sifat ‚sehat‛ dalam terma akal (menjadi akal

sehat), sebab bukan saja dikarenakan pikiran manusia sering tidak betul dan berangkat dari sebuah

premis yang salah, atau kesimpulan yang keliru meskipun berdasarkan premis yang betul, namun juga

lebih kepada seringnya manusia terpengaruh oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa saja salah ketika akal

menegasikan kemampuan untuk memahami realitas spiritual melalui intuisi. Ibid, p.159 26 Bagaimanapun sempurnanya akal, ia masih memiliki kemampuan terbatas. untuk mengetahui

ruh misalnya, akal tidak mampu sampai kepada ruh tersebut. Dikarenakan keterbatasan inilah, Allah

SWT mengutus Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada Manusia. Lihat, Ismail Fajrie Alatas, Sungai Tak bermuara Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam: Sebuah Tinjauan Insani, (Diwan: Jakarta, 2006), p.150

27 Allama Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa tahun,

dan penerbit, pdf, p.10 28 Ibid, p.160 29 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p.206 30 Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan filsafat, Terj, H. M. Rosjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,

1984), p. 203-204 31 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160 32 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam…., p.119

6

bersifat intuitif. Sehingga kedua hal tersebut menegaskan bahwa proses memperoleh

ilmu pengetahuan adalah aktifitas spiritual.

Selaras dengan ini Alparslan menyebutkan bahwa tugas (qalb) sebagai pusat

pengalaman wahyu, adalah memproyeksikan kebenaran yang tak terlihat gaib. Ia pun

menafsirkan qalb dalam surat al-Qa>f ayat 3733

sebagai fakultas pengalaman‚faculty of

experience‛menurutnya hal ini disebabkan karena pada kenyataannya apa yang

dirasakan qalb berlawanan dengan apa yang didengar sebagai sebuah fakultas

pengalaman indrawi. Oleh sebab itulah Allah berfirman dalam al-Qur’an ‚Qulu>bun

ya’qilu >na biha>‛ 34

‚heart is implied as the center of experience while the revelation projects

the unseen truth , namely the truth of gaib. we can interpret qalb in this verse as a

faculty of experience, because it is contrasted with ear, a faculty of sense-

experience . in fact, we see that in the same manner, (heart) is contrasted with

other faculties of experience‛35

Dalam hal ini Imam al-Ghazali pun merumuskan bahwa intuisi terbagi menjadi

dua, intuisi pertama didapatkan tanpa pelatihan apapun, atau tanpa kesengajaan,

sedangkan intuisi yang kedua adalah, intuisi yang dapat dilatih untuk mendapakannya.

Seperti contoh sebuah inspirasi ilahi dalam bentuk mukasyafah bagi para ulama >’ dan

hukama’. Oleh sebab itu al-Ghazali menjelaskannya dengan terminologi berbeda dalam

hal intuisi kalbu ini. Yang pertama untuk hal-hal yang lembut. Yang kedua untuk hal-

hal yang nyata.36

Maka tak salah bila Iqbal menyebut intuisi kalbu ini sebagai sarana

mengenal dirinya serta mengenal lebih jauh mengenai sesuatu yang ada diluar dirinya

yang bermuara pada pengalaman intuisi mengenai Allah SWT.37

Hal ini pun selaras

dengan hadist Nabi ‚man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbah‛ 38

33

ي ام ي م ري د ي مو ال يأل م يفل يأ ايقمل م يرمليلم يلمكرير ىليلريومن ينلريم artinya, Sesungguhnya pada yang إريلالي ري

demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang

menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.

ومم 34 مميفهريامال ممييم ا ليري ممو يانفل ي مميأ ريلامم ليري يم يقمالامم يفمكوامم ليمامم يفض ري مموا في ري ري ي ييأفملمم ي لوريممن فب صممضايفلصدا ضريي ي ري يفلالتري ا الا و يفل (QS al-Ha>jj : 46) م

35 Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996),

p.47 36 Imam Ghazali, Kimiyā’ Sa’ādah in Majmū’ Rasāil Ghazali... p. 135-139 37 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160 38 Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dari perkataan ‚diri‛ diatas bukanlah

diri dalam artian fisik, melainkan diri dalam konteks spiritual yang mengenal serta mengakui Tuhan

sebagai penciptanya. Lihat, Allama Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa tahun, dan penerbit, pdf, p.17-26, lihat juga, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160. juga QS al-A’Ra>f:172

7

Keempat, informasi yang benar (khabar sha>diq), ia merupakan sumber

kebenaran yang tak kalah penting dalam Islam. Dalam bahasa inggris, khabar shadiq

sering disebut dengan ‘true report’39

atau ‘true narrative.’40

Sumber kebenaran yang

berasal dari khabar sha>diq bersandar kepada otoritas yang diterima dan diteruskan

(ruwiya wa nuqila) hingga akhir zaman, di mana sumber utamanya adalah wahyu, baik

kalam Allah maupun sunnah Rasulullah.41

Untuk lebih jelasnya, sumber kebenaran

keempat ini akan dijabarkan lebih luas pada sub bab berikutnya.

C. Pengertian Khabar sha>diq dalam epistemologi Islam

Bila ditelaah lebih dalam, khabar secara etimologi berarti berita (an-naba>’)42

dan ia adalah sekumpulan dari berita-berita atau kabar-kabar.43

Khabar bermakna pula,

cerita, riwayat, pernyataan, ucapan (talfana li>, kallama, ra>sala) 44atau (to contact,

communicate with). Ibnu Taimiyyah mendefinisikan khabar dengan lebih rinci lagi

yakni sebuah berita atau kabar, baik yang benar maupun yang keliru atau bohong.45

Secara terminologi khabar berarti berita yang mengabarkan tentang sesuatu kejadian,

yang ditransfer dan dibicarakan melalui perkataan, tulisan atau gambaran dari

kejadian-kejadian yang baru.46

Ada pula yang menyebut bahwa khabar secara bahasa,

memiliki makna sama dengan hadist, yaitu segala berita yang disampaikan oleh

seseorang kepada seseorang.47

Namun hadist memiliki makna yang lebih umum dari

khabar, sehingga tiap hadist bisa disebut sebagai khabar, tapi tidak semua khabar dapat

disebut hadist.48

Sedangkan sha>diq secara etimologi berarti benar ‚ghoiru ka >dzib‛ atau ‚shari>kh‛

(true truthful).49 Dilihat dari makna terminologisnya, sha>diq50 berarti sesuatu fakta

yang sesuai dengan realita. Lawan katanya adalah bohong (kadzb). Pelakunya disebut

39 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam….,p.14 40 Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A

Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New

York, 1950), p.19 lihat juga, Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani:

Jakarta, 2008), p.205 41 Ibid, p.206 42 Muhammad abu laits khoiru abadi, ‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha wa mu’a>shiluha>, (Darul Sya>kir:

Malaysia, 2011), p.26-27 43 Abu Abdurrahma>n al Kholi>l Ibnu Ahmad, Kita>bu al Aini, Jilid 8 (Daru Maktabah al Hila>l,

t.t), p.258 44 Rohi Baalbaki, al Maurid, Edisi ke 7,(Da>r el ilm lilmabyi>n: Beirut Lebanon, 1995), p.498 45 Ibnu Taimiyyah, ‘Ilmu al Hadi>st, (Da>r al Kutu>b al ‘A<lamiyyah: lebanon, 1985), p.36 46 Ahmad Mukhtar ‘Abdul Hami>d Uma>r, Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid 1,

cetakan pertama (‘Alim al Kitab, t.t), p.608 47 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Rajawali Press: Jakarta, 2002), p.15 48 Ibid, p.15 49 Rohi Baalbaki, al Maurid,……. , p.684 50 ‚Sadi>q‛ berakar dengan kata ‚al Sha>diq‛ . kata al Sha>diq adalah salah satu dari Nama Allah

SWT. Lihat, Ahmad Mukhta>r ‘Abdul Hami>d Uma>r, Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid

2…, p.1283

8

‚sha >diqu>n‛ (true man). Orangnya disebut ‚siddi>q‛( man of truth).51 Kebalikannya

disebut dengan berita palsu (khabar kadzi>b). Menurut al-Attas khabar sha>diq atau

berita yang benar haruslah didasari oleh sifat-sifat dasar santifik atau agama, yang

mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik. Artinya, khabar inipun benar-

benar diriwayatkan oleh ulama yang otoritatif dalam bidang agama, bukan

diriwayatkan oleh sembarang orang. Dalam bukunya ia berpendapat,

‚Islam affirms the possibility of knowledge; that knowledge of realities of

things and their ultimate nature can be established with certainty by means of our

external internal sense and faculties, reason and intuition, and the true report of

scientific or religion nature, transmitted by their authentic authorities‛ 52

D. Khabar Sha>diq Pembagiannya dan validitasnya

As Syawkani memilah khabar menjadi tiga jenis. Pertama, khabar yang sudah

pasti benar (al maqthu>’ bi shidqihi) baik yang kebenarannya bernilai pasti dan mutlak,

yang bersumber dari khabar mutawatir dan pengetahuan a priori (awwaliya>t), maupun

yang diyakini benar, setelah dilakukannya penelitian, serta dibuktikan dan diuji secara

ilmiah. Bila merujuk kepada yang sudah pasti benarnya, disini Al-Qur’an memiliki

derajat tertinggi, setelahnya adalah hadist Rasulullah SAW, dan diterima secara

universal.53

Kedua, khabar yang palsu, keliru atau dusta (al Maqthu>’ bi kidzbihi), hal

ini berlaku pada segala hal yang diketahui salahnya secara pasti dan langsung, ataupun

yang diketahui dengan cara pembuktian. Ketiga, khabar yang tidak dapat dipastikan

benar atau salahnya (ma> la> yuqtha>’ bi shidqihi wa la > kidzbihi), hal ini berupa khabar

yang sumbernya sama sekali tidak diketahui, atau sumbernya pun tidak jelas, termasuk

didalamnya khabar yang belum tentu atau kemungkinan benar, namun kedudukannya

belum pasti, maupun sebaliknya yaitu, khabar yang kemungkinan salah, palsu atau

keliru, walaupun belum pasti demikian.54

Namun, bila dilihat dari otoritasnya, khabar sha>diq ini terbagi menjadi dua.

Pertama, otoritas mutlak (absolute authority) yang terdiri dari, otoritas ketuhanan yaitu

al-Qur’an. dan otoritas kenabian, yaitu hadist Rasulullah. Kedua, Otoritas nisbi

(relative authority) yang terdiri dari, kesepakatan alim ulama (tawatur) dan khabar

51 Ali Muhammad al Khu>li, a Dictonary of Islamic Terms, (tanpa tahun, pdf), p.63-64 52 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam….,p.14. lihat

juga Dinar Dewi Kania, Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas, makalah, p.4 53 Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013),

p.xvii 54 Imam Muhammad ibn Muhammad as Syawkani, Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Ha>qq min

‘Ilmi l-Ushu>l, (Da>r al Kutu>b al Islamiyyah: Beirut, 1994), p.71,2. Dikutip dalam Syamsuddin Arif,

Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008), p.207-208

9

yang berasal dari orang terpecaya secara umum.55

Khabar inipun diperjelas lagi dengan

dua kriteria. Pertama, (lidza>tihi atau binafsihi) maksudnya, berita benar ini benar

dengan sendirinya tanpa diperkuat oleh sumber lain. Sedangkan kedua, (bi ghairihi),

yakni berita benar yang masih didukung dan diperkuat oleh sumber yang lain,56

yang

mana akal kita akan menolak bahwa mereka bersekongkol untuk berdusta. Sehingga

secara umum bahwa khabar sha>diq dapat dipahami sebagai sebuah berita benar, yang

mengabarkan tentang segala sesuatu, dibicarakan melalui perkataan, tulisan maupun

gambaran yang mana disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Merujuk dari argumentasi diatas, al-Qur’an menepati kedudukan tertinggi

dalam sumber kebenaran, ia bersifat qhat}’i al tsubu >t wa qhat}’i al dala >lah,57 yaitu dari

makna maupun maksudnya telah jelas otentisitasnya. Ia juga bersifat tsabit tetap

secara qhat’i, sebab telah diakui, dibuktikan serta dipastikan ketawaturannya oleh

seluruh umat manusia dan tidak terdapat perbedaan sedikitpun dengan yang diterima

oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an turun dalam rentang waktu 23 tahun,

diturunkan dalam satu malam ke langit terbawah (bait izzah) yang kemudian

diturunkan ke bumi secara bertahap58

kepada Nabi Muhammad SAW dengan

perantara Malaikat Jibril, disampaikan pada sahabat dari generasi hingga kegenerasi

melalui mata rantai (talaqqy>-musya>fahah) tradisi lisan yang jelas.59

Dalam

penyampaiannya Nabi Muhammad menghafalnya, namun secara silih berganti

membaca al-Qur’an bersama Malaikat Jibril. Untuk menjaga hafalan Rasulullah,

Malaikat Jibril mengunjunginya setiap tahun untuk memantapkan hafalannya.60

Setelah dihafal, Rasulullah menyampaikan al-Qur’an ini dengan diajarkan serta

dijelaskan kepada para sahabat. Ini terlihat begitu Nabi sampai di Madinah Ia membuat

sebuah kelompok belajar (suffah) di dalam masjid.61

Nabi sampai menyediakan

55 Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA:

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54 56 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p.207 57 Ibid, p. 210 58 Dalam masalah ini lebih jelasnya silahkan baca, Jalaluddi>n as Suyuti, al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l

Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003) 59

M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p. 43-128. Untuk lebih jelasnya baca,

al-Sayyid Ahmad bin Abd Rahma>n, Asa>ni>d Al-Qurra>’ al-Asyarah al-Bara>rah wa Ruwwa>tihim al-Bara>rah, (Dar al Shaha>bah: Kairo, 1424)

60 Lihat hadist yang diriwayatkan oleh Fatimah RA. Fatimah berkata, Nabi Muhammad

memberitahukan kepadaku secara rahasia, Malaikat Jibril hadir dan membacakan al-Qur’an kepadaku

dan saya membacaknnya sekali dalam setahun. Hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi kandungan

al-Qur’an selama dua kali. Saya tidak berfikir lain kecuali, rasanya, masa kematian semakin dekat. Lihat

Shahih Bukhari, Fadhail al-Qur’an, : 7 61 Perlu dicatat, hal ini disebabkan karena konsep-konsep dalam al-Qur’an yang begitu banyak

dan kaya. kemudian dipahami, ditafsirkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’i>n hingga para ulama

saat ini. Pada akhirnya hal ini berakumulasi kepada pemahaman wahyu yang masuk ke dalam berbagai

bidang kehidupan dan membentuk sebuah sebuah peradaban yang kokoh. Dengan kata lain wahyu dalam

tradisi Islam melahirkan sebuah budaya Ilmu atau tradisi intelektual yang berujung pada terciptanya

sebuah peradaban. Selain itu, dari wahyu ini pula Islam memiliki sebuah medium transformasi dalam

bentuk sebuah institusi pendidikan disebut al-Suffah. Lihat, Alparslan Acikgenc, Islamic Science:

10

makanan dan tempat tinggal.62

Dengan kata lain, tradisi pengkajian al-Qur’an begitu

sistematis sedemikian rupa lewat kelompok-kelompok belajar. selain itu al-Qur’an

tidak hanya berupa sebuah naskah teks tertulis (rasm), ia juga merupakan bacaan

(qira’ah) yang dihafalkan, sehingga al-Qur’an dapat terus dijaga.

Setelah disampaikan kepada para sahabat, al-Qur’an ini pun dicatat dan ditulis

oleh kurang lebih 65 sahabat Rasulullah, yang berperan sebagai penulis wahyu.63

Selain

menulis, para sahabat juga menghafalnya. Dua hal ini secara langsung diawasi oleh

Rasulullah SAW secara rutin. Biasanya Nabi memanggil para penulis untuk menulis

ayat al-Qur’an setiap kali ayat al-Qur’an turun. Setelah selesai para sahabat membaca

ulang dihadapan Nabi agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.

Setelah Rasulullah wafat tradisi ini pun terus berlanjut. Hingga pada zaman Abu Bakar

diputuskan untuk dikumpulkan menjadi satu kitab utuh, disebabkan banyak dari para

huffa>z (penghafal al-Qur’an) meninggal dalam peperangan Yamama. Perlu dicatat,

bahwa al-Qur’an telah ditulis secara utuh sejak zaman Nabi Muhammad, hanya saja

belum disatukan menjadi satu dan surah-surah yang ada pun belum tersusun.64

Penyusunannya pun tidak sembarang, sahabat diharapkan menyerahkan catatan mereka

serta menyetor hafalan mereka dibarengi dua saksi yang mendampingi. Ia juga

diharuskan bersumpah bahwa ia telah mendapatkan langsung dari Rasulullah SAW.65

Selain itu, penunjukan ‚Zaid bin Thabit‛ sebagai ketua pengumpul al-Qur’an

pun bukan tanpa alasan. Sejak usia dua puluhan ia sudah tinggal bersama Rasulullah

dan bertindak sebagai ‚kutta >b al wahyi‛ atau penulis wahyu yang amat cemerlang.

Karena itu Abu Bakr as-Siddiq memberikan kualifikasi kepada Zaid. Pertama, pada

masa muda, Zaid terkenal dengan kekuatan energinya serta menunjukkan vitalitas yang

luar biasa. Kedua, akhlaknya pun tidak pernah tercemar dengan perbuatan yang buruk.

Ketiga, zaid memiliki kompetensi serta kecerdasan yang tinggi. Keempat, ia pun

memiliki pengalaman sebagai penulis wahyu. Kelima, ia juga sebagai salah satu

sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an Malaikat Jibril bersama Nabi

Muhammad secara langsung.66

Keenam, Zaid bukan seorang sahabat yang memiliki

Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996), p.82-83. Juga, hamid Fahmy Zarkasyi, ‚Ikhtiar

Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat‛ dalam ‚On Islamic Civilization‛ (ed) Laode

Kamaluddin, (Unissula Press: Semarang, 2010), p. 25-26. Juga Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi pembangunannya, (CIOS ISID: Ponorogo, 2010), p.17

62 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p.46-66

63 Para sahabat.. kuttabs ini diantaranya, Abba>n bin Sa’i>d, Abu Umama, Abu Ayyu>b al Ansari,

Abu Bakr as-Siddi>q, Abu Hudhaifa, Abu Sufya>n, Abu Salama, Abu Abba>s, Ubayy bin Kaa>b, al Arqa>m,

Usaid bi Sa’a>d, Suhai>m, Hati>b, Hudhaifa, Husei>n, Hanzala, Huwaiti>b, Kha>lid bin sa’id, Kha>lid bin

Wali>d, Az-Zubei>r bin Awwa>m, Zubai>r bin Arqa>m. Untuk lebih lengkapnya, lihat al-A’Za>mi, Kutta>b an Nabi>, (t.p, Riya>d, 1981)

64 Jalaluddin as Suyuti, al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003), p.163-165 65 Ibnu Abi> Daud, al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003), p.209 66 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian

Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p.46-92

11

tipe fanatik, ia sangat mudah mendengarkan pendapat orang lain.67

Ketujuh, Zaid juga

menguasai belajar serta menguasai berbagai bahasa.68

Artinya, penunjukkan Zaid bin

Thabit bukan secara kebetulan. Semua telah diperhitungkan begitu matang. Ini pun

menunjukkan bahwa al-Qur’an bersumber dari khabar shadiq yang terjaga

kebenarannya dan bahkan dijamin sendiri oleh Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah

yang berbunyi, ‚inna > nahnu nazzalna> al dhikra wa inna> lahu lah{a>fiz{u>n‛ 69

Tidak berbeda dari al-Qur’an. sumber periwayatan hadist pun tergolong khabar

shadiq yang dapat dipertanggung jawabkan. Ia juga berperan sebagai tafsir dan penjelas

al-Qur’an yang paling otentik.70

Di dalam ilmu Hadist, terdapat empat syarat, kriteria

bagaimana sebuah khabar masuk pada tataran khabar mutawatir. Syarat pertama

adalah, diriwayatkan oleh rawi-rawi dalam jumlah yang banyak secara berturut-turut.71

Ini berarti khabar tersebut haruslah diriwayatkan secara orang perorangan dengan

jumlah yang banyak secara beruntun atau estafet, tanpa terputus. Yang kedua,

periwayatan yang banyak dan berturut-turut ini terdapat dalam setiap tingkatan sanad.

Artinya tidak hanya diriwayatkan secara berturut-turut, namun perawinya pun harus

merata, ada disetiap generasi. Syarat selanjutnya adalah, perawi yang meriwayatkan

harus terpercaya serta terbebas dari kebohongan.72

dengan kata lain, selain khabar

tersebut diriwayatkan secara terus-menerus tanpa terputus dan perawinya berasal dari

beberapa tingkatan sanad, perawinya pun harus terpercaya dan terbebas dari

kebohongan. Sedangkan yang terakhir adalah, perawi harus menjadikan panca indra

sebagai landasan periwayatannya,73

dalam artian ia pernah melihat, menyaksikan,

megalami, mendengar kabar tersebut secara langsung, ‚al-Musya>hadah wa s-sama>’ la

‘ala > sabi>l al-ghala>t}‛, tanpa disertai ilusi ataupun praduga.74

Maka tidak mengherankan

bila khabar mutawatir ini tidak diragukan kebenarannya, mengingat begitu ketatnya

kriteria sebuah khabar hingga dapat diterima menjadi sumber yang benar-benar

mutawatir.

Bila pada hadist yang derajatnya mutawatir para ulama telah menetapkan

persyaratan yang begitu ketat, maka khabar ahad atau hadist ahad 75

ini juga demikian.

67 Muhammad Husein Haekal, Abu Bakr al-Shiddi>q, (Litera Antar Nusa: Bogor, 2010), p.335 68 Ibnu Abi Daud, al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003), p.143 69 QS al Hijr: 9 yang artinya, ‚Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan

Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya‛ 70 M. Mustafa al-A’Zami, Studies In Hadith Methodology and Literature, revised edition,

(Islamic Book Trust: Kuala Lumpur, 2002), p.9 71 Adapun jumlah perawinya, Ulama berbeda pendapat. Namun, Imam al Suyuti (911 H)

memaparkan bahwa pendapat yang terpilih adalah sepuluh orang. Lihat, Jalaludin al Suyuti, Tadri>b al-Rawi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi, (Dar al-Kutu>b al-Hadi>tsah: Cairo, 1966), p.177. lihat juga, Ali Mustafa

Yaqub, Kritik Hadist……, p.132 72 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian

Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru, (Gema Insani: Jakarta, 2005), p.190 73 Muhammad abu laits khoiru abadi, ‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha> wa mu’a>shiluha>,……, p.135 74 Mahmud Tahhan, Taisi>ru Mustalah al Hadi>st, Cetakan ke 5 (t.p, Saudi Arabia, 2000), p.19

75

12

Menurut Syamsuddin Arif, khabar ahad pun harus diklasifikasi kualitas sumbernya,

siapa yang meriwayatkan, begitu pun siapa yang menyampaikannya dan yang

mengatakannya, serta bagaimana kualifikasi serta otoritas sanad dan isnadnya.76

Persyaratan yang begitu ketat ini pun tidak hanya berlaku pada narasumber atau

perawinya namun juga isi pesannya (matan) beserta penyampainnya. Dengan kata lain

bahwa khabar ahad tidak serta merta ditolak, ataupun diterima, ia juga melalui proses

panjang hingga pada akhirnya dapat diterima sebagai khabar benar.

As-Syawkani menegaskan, sebuah khabar ahad baru dapat diterima sebagai

sumber kebenaran, bila memenuhi beberapa syarat. Pertama, sumber berita/khabar

harus berasal dari seseorang yang ‚mukallaf‛ dalam artian seseorang tersebut telah

terkena kewajiban melaksanakan perintah agama serta mampu mempertanggung

jawabkannya. Oleh sebab itu hanya orang ‚baligh‛ cukup umur saja yang beritanya

dapat diterima, anak kecil, orang gila tidak diterima khabarnya. Kedua, sumber khabar

pun harus berasal dari yang beragama Islam. Hal ini pun ditegaskan pula oleh Imam

Ibnu Hibban (354 H-965 M) bahwa orang yang secara dzahir seorang Muslim namun

batinnya kafir ‚zindi>q‛. Mereka ini adalah seorang sophis, agnostic, skeptic, relativis

bahkan atheis, mengaku sebagai ulama, yang dengan sengaja menimbulkan keragu-

raguan (li yuqi>’u s-syakk wa r-rayb) pada masyarakat serta menyesatkan orang lain.77

Maka kabar, cerita ataupun pernyataan yang berasal dari seorang nasrani, kafir dalam

hal ajaran Islam tidak dapat diterima.

Ketiga, perawi haruslah seorang yang memiliki intergritas moral yang tinggi

(‘ada >lah), sehingga menunjukkan bahwa ia seorang yang dapat dipercaya karena

kerwibawaannya (muru>’ah), ketaqwaannya dan Jauh dari dosa-dosa besar maupun

dosa-dosa kecil. Ini berarti, orang yang fasiq, kabarnya tidak dapat diterima, sebab ia

bukan termasuk lagi dalam golongan orang yang adil (‘ada>lah).78 sedangkan yang

keempat, as-Asyawkani menjelaskan bahwa perawi haruslah seorang yang ‚dhabt‛

yang memiliki ketelitian serta kecermatan. Ibn Hibban memasukkan didalamnya, orang

yang tidak teliti, orang yang bukan pakar atau ahli dalam bidangnya,79

sehingga kabar

76

Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p, 209 77 Muhammad Ibn Hibba>n, Kitab al Majru>hi>n mi al Muhaditsi>n wa d Dhuafa>’ wa l Matru>ki>n,

(Dar al Wa’y: Aleppo, 1396 H), p.62-88 78 Ima>m Muhammad ibn Muhammad as Syawka>ni, Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Haqq min

‘Ilmi l-Ushu>l, (Dar al Kutu>b al Isla>miyyah: Beirut, 1994), p.78-85 79 Selain yang telah disebutkan, Ibnu Hibban menambahkan, orang yang sengaja berdusta atas

nama Rasulullah SAW dengan menyebutkan alasan sebagai amal ma’ruf nahi mungkar, seseorang yang

secara terang-terangan berdusta disebabkan karena ia menganggap bahwa hal tersebut adalah boleh,

berdusta untuk kepentingan duniawi, seseorang yang telah lanjut usia, ‚al Mukhtalithu>n‛, seseorang

yang mengajar dari buku karangan tanpa pernah belajar langsung dari kepada pengarang tersebut, ‚yuhadditsu bi al-kutubin ‘an syu>khi>n lam yara>hum‛, seseorang yang suka memutarbalikkan fakta serta

mengeneralisir otoritas semua perawi, seseorang yang mengajarkan sesuatu dimana hal tersebut tidak

pernah diajarkan oleh gurunya, orang mengajarkan apa yang didapat hanya dari dalam buku saja,

seseorang yang jujur namun sering keliru, seseorang yang sering dimanfaatkan, seseorang yang tidak

tahu bahwa karya tulisnya telah dimanipulasi, seseorang yang pernah berbuat salah secara tidak sengaja

setelah itu menyadari kesalahan tersebut akan tetapi membiarkannya, seorang yang sering mengabaikan

13

yang berasal dari seseorang yang tidak otoritatif tidak dapat diterima. Dalam hal ini

Imam Malik pun sependapat, bahwa orang bodoh yang sudah dikenal kebodohannya

ucapannya tidak perlu dicatat.80

Kelima, seorang perawi pun haruslah terbebas dari

sifat ‚mudallis‛ yakni tidak menyembunyikan sumber kabar serta senantiasa berkata

jujur dan berterus terang. Dengan kata lain, perawi yang memiliki kepribadian suka

berbohong,81

walaupun sedikit secara prosedural tidak dapat diterima khabarnya.

Mudahnya didalam epistemologi Islam kebenaran bisa didapatkan atau diraih dengan

menggunakan Khabar berita. Namun, khabar disini bukan sembarang khabar, khabar

disini adalah ‚khabar sha >diq‛ berita benar. Ia harus bener-benar terverifikasi, serta

teruji validitasnya dengan kriteria yang begitu ketat.

Khabar ini selanjutnya diklasifikasikan, berdasarkan derajat validitasnya serta

sifat yang mengikatnya menjadi, (qhat}’i) yakni yang bersifat pasti jelas atau gamblang,

dan (dzanni>) berupa kemungkinan atau sebuah dugaan. Kemudian masing-masing dari

dua hal ini terbagi lagi berdasarkan kebenaran sumbernya (tsubu>t) dan maksud,

implikasinya (dala>lah). Dengan kriteria ini khabar tersebut dapat diklasifikasi menjadi

3.82

Pertama, (qat}’i al tsubu >t wa qat}h’i dala >lah). yaitu khabar yang orsinil dan sudah

jelas otentisitasnya, tidak diragukan serta dipersoalkan kebenaran sumbernya dari segi

maksudnya maupun maknanya. Contohnya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadist mutawatir83

yang bersifat muhkama>t baik yang membicarakan masalah hukum maupun keimanan.

Kedua, (qat}h’i al tsubu >t zhanni> al dala>lah). yaitu khabar yang yang telah dibuktikan

keasliannya serta kebenaran sumbernya akan tetapi belum diketahui secara pasti

makna ataupun maksud yang terkandung didalam ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat

al-Qur’an yang mutasyabihat berbicara mengenai hal-hal yang samar-samar, ataupun

khabar mutawatir yang memiliki makna dua atau lebih.84

Ketiga, (zhanni> ats tsubu>t wa

zhanni> al dala>lah).85 yaitu khabar yang kebenaran sumbernya, otensititasnya serta

perintah agama secara terang-terangan (fasiq), seseorang yang tidak menyebutkan sumber asal

disebabkan tidak pernah menemuinya, seseorang yang menyebarkan ajaran sesat, dan seseorang yang

berdusta untuk menarik perhatian orang banyak dengan ceramahnya serta nasehatnya. Lihat,

Muhammad Ibn Hibba>n, Kitab al Majru>hi>n mi al…….., p.62-88 80 Ibid, p.80 lihat juga ‘Ali Khatib al Baghdadi, al Kifayah fi ‘Ilmi r-Riwayah, (Jam’iyyah

Da’irat al Ma’arif al ‘Utsmaniyyah, 1357 H), p. 115-134 81 Ima>m Muhammad ibn Muhammad as Syawka>ni, Irsya>d al Fuhu>l ila…,p.78-85 82 Ada pula yang membaginya menjadi 4, ditambah dengan (zhanni> al tsubu>t wa qat}h’i al

dala>lah). Contohnya, Hadist Rasulullah yang berbunyi (يرليمخسيمنيفإلبلي ة ). Hadist ini memiliki arti

makna yang jelas, tidak mengundang banyak arti, namun kebenaran sumbernya masih belum mutawatir.

Lihat, ‘Abdul Kari>m ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin, Cetakan

1, Jilid 5 (Maktabah al Rasyid: Riyadh, 1999), p.2320-2321 83 Muhammad ‘Abdul Adzi>m al Zarqa>ni, Mana>hil al Furqa>n fi al ‘Ulu>m al Qur’a>n, Cetakan ke

2, Juz 2 (Matba’ah ‘Isa al Babhi al Ja>li wa Shirkah, t.t), p.247

84 seperti ayat al-Qur’an surah al-Baqarah 228 (فملطلتيرتبصنيبأاف نيثالثةيقى ء ). Kata (quru>’)

masih terdapat makna ganda, dapat diartikan sebagai ‚haid‛ namun bisa juga diartikan sebagai

‚bersih/suci‛. Lihat ‘Abdul Karim ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin…, p. 2320-2321

85 Abd Wahha>b Khalla>f, ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, (Da>r al Kuwaitiyyah: Kuwait, 1968), p.35

14

maksud dan maknanya pun masih diperdebatkan. Contohnya, semua khabar ilmu yang

selain yang disebutkan diatas, seperti hadist ahad ataupun khabar secara umum.86

Dengan kata lain, secara epistemologis, al-Qur’an, hadist baik yang mutawatir maupun

yang ahad bersifat mengikat. Sebab validitasnya dan otoritasnya begitu tinggi. Namun

perlu pula ditelaah lebih dalam mengenai kedudukannya, bersifat qat}h’i atau zhanni>.

E. Kesimpulan

Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia dapat mengetahui ilmu,

dengan menyatukan sumber kebenaran –pancaindra, akal, intuisi, khabar shadiq- dalam

satu kesatuan utuh, tidak dikotomis dan parsial. Selain itu, kebenaran dalam al-Qur’an

dan hadist bersifat absolut dan pasti. Validitasnya pun tidak diragukan. Oleh sebab itu,

dugaan serta asumsi para orientalis terhadap al-Qur’an dan hadist adalah keliru serta

terkesan mengada-ngada dan tanpa dasar. Hingga saat ini al-Qur’an dan hadist dapat

terjaga keasliannya berkat periwayatan melalui khabar shadiq secara turun temurun.

benar-benar terverifikasi dan tidak sembarangan. Dengan kata lain, kabar yang

diterima haruslah benar-benar melalui proses penyaringan yang begitu ketat baik isi

maupun narasumber yang meriwayatkannya. maka hanya kabar yang benar sajalah

yang dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Ini berarti, khabar shadiq

sebagai sebuah metode transmisi ilmu pengetahuan dalam Islam dapat dipertanggung

jawabkan. Wallahu a’lam bi assawab.

86 Seperti sebuah hadist yang berbunyi (صمالةيملمنيييمىأيبفثامةيفلوكم), hadist ini tergolong

hadist yang periwatannya masih belum mutawatir. Selain itu hadist ini mengandung maksud ganda.

Pertama dalil tentang shalat yang benar di mulai dengan membaca surah al-Fatihah. Kedua, tidaklah

lengkap shalat, tanpa membaca surat al-fatihah hanya sebagai. Lihat, ‘Abdul Karim ibn ‘Ali ibn

Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin…, p. 2320-2321

15

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdul Hami>d Uma>r, Ahmad Mukhtar. Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid 1, cetakan pertama (‘Alim al Kitab, t.t)

Abd Rahma>n, al-Sayyid Ahmad bin. Asa>ni>d Al-Qurra>’ al-Asyarah al-Bara>rah wa Ruwwa>tihim al-Bara>rah, (Dar al Shaha>bah: Kairo, 1424)

Abi> Daud, Ibnu. al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003)

Acikgenc, Alparslan. Islamic Science: Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur,

1996)

Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam

ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-

September 2005)

Al Baghdadi, ‘Ali Khatib. al Kifayah fi ‘Ilmi r-Riwayah, (Jam’iyyah Da’irat al Ma’arif

al ‘Utsmaniyyah, 1357 H)

Al Hanafi, Abdul Mun’im. Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah, Cetakan ke 3 (Maktabah Madbuli: Kairo, 2000)

Al Kholi>l Ibnu Ahmad, Abu Abdurrahma>n. Kita>bu al Aini, Jilid 8 (Daru Maktabah al

Hila>l, t.t)

Al Khu>li, Ali Muhammad. a Dictonary of Islamic Terms, (tanpa tahun, pdf)

Al Tafta>zani>, Sa’ad al-Di>n. dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia

University: New York, 1950)

Al Zarqa>ni, Muhammad ‘Abdul Adzi>m. Mana>hil al Furqa>n fi al ‘Ulu>m al Qur’a>n, Cetakan ke 2, Juz 2 (Matba’ah ‘Isa al Babhi al Ja>li wa Shirkah, t.t)

Al-A’Zami, M. Mustafa. Studies In Hadith Methodology and Literature, revised

edition, (Islamic Book Trust: Kuala Lumpur, 2002)

______________. Kutta>b an Nabi>, (t.p, Riya>d, 1981)

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme, trj Kasidjo Djojosuwarno,

(Penerbit Pustaka: Bandung, 1981).

______________. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur,

2001)

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008)

Armas, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007)

As Suyuti, Jalaluddin. al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003)

______________. Tadri>b al-Rawi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi, (Dar al-Kutu>b al-

Hadi>tsah: Cairo, 1966)

as Syawkani, Imam Muhammad ibn Muhammad. Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Ha>qq min ‘Ilmi l-Ushu>l, (Da>r al Kutu>b al Islamiyyah: Beirut, 1994)

Baalbaki, Rohi. al Maurid, Edisi ke 7,(Da>r el ilm lilmabyi>n: Beirut Lebanon, 1995)

Chittick, William C. Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam, terj Arif Mulyani, cetakan pertama, (Mizan: Bandung,

2007)

Dewi Kania, Dinar. Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas, makalah.

16

Fajrie Alatas, Ismail. Sungai Tak bermuara Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam: Sebuah Tinjauan Insani, (Diwan: Jakarta, 2006)

Guillaume, Alfred. The Traditions of Islam: An Introduction to the Study of Hadith Literature, (Clarendon Press: Oxford, 1924)

Husaini, Adian. dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta,

2013)

Husein Haekal, Muhammad. Abu Bakr al-Shiddi>q, (Litera Antar Nusa: Bogor, 2010)

Ibn Hibba>n, Muhammad. Kitab al Majru>hi>n mi al Muhaditsi>n wa d Dhuafa>’ wa l Matru>ki>n, (Dar al Wa’y: Aleppo, 1396 H)

Imam al-Ghazali. Mi’ya>r al ‘ilm, tahqi>q bi Sulayma>n Dunya>, (Dar al-Ma’arif: Kairo,

1961)

______________. Ihyā’ Ulūm al Dīn, Juz 1, (Dar Qolam: Beirut, t.t)

______________. Kimiyā’ Sa’ādah in Majmū’ Rasāil Ghazali... ______________. Misykat al Anwar, (Dar Qutaibah: Beirut, 1990)

Jeffery, Arthur. Materials for the History of the Text of the Qur’an: the Old Codices, (E.J. Brill: Leiden, 1937)

Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Mizan: Bandung, 2005)

Khalla>f, Abd Wahha>b. ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, (Da>r al Kuwaitiyyah: Kuwait, 1968)

khoiru abadi, Muhammad abu laits.‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha wa mu’a>shiluha>, (Darul

Sya>kir: Malaysia, 2011)

Mohammad Iqbal, Allama. The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa

tahun, dan penerbit, pdf

Muhammad al Namlah, Abdul Kari>m ibn ‘Ali ibn. al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin, Cetakan 1, Jilid 5 (Maktabah al Rasyid: Riyadh, 1999)

Muir, William. The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira , Jilid 4 (t.p London, 1861)

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008)

Mustafa Yaqub, Ali, Kritik Hadist……,

Muthahhari, Ayatullah Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam, trj M. Jawad

Bafaqih, (Jakarta: Shadra Press, 2010)

Nasr, Syeed Hossein. Encyclopedia of Islamic Philosophy, part I, (Suhail Academy:

Lahore Pakistan, 2002)

Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua,

(Clarendon Press: Oxford, 1959)

Suharto, Ugi. ‚Epistemologi Islam‛ dalam buku ‚on Islamic Civilization‛ (Unissula

Press: Semarang, 2010)

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, (Rajawali Press: Jakarta, 2002)

Tahhan, Mahmud. Taisi>ru Mustalah al Hadi>st, Cetakan ke 5 (t.p, Saudi Arabia, 2000)

Taimiyyah, Ibnu. ‘Ilmu al Hadi>st, (Da>r al Kutu>b al ‘A<lamiyyah: lebanon, 1985)

Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan filsafat, Terj, H. M. Rosjidi, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1984)

Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Mizan: Bandung, 1998)

17

Zarkasyi, Hamid Fahmy. ‚Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang

Bermartabat‛ dalam ‚On Islamic Civilization‛ (ed) Laode Kamaluddin,

(Unissula Press: Semarang, 2010)

______________. al-Ghaza>li’s concept of Causality: with Reference to his interpretations of Reality and Knowledge, (IIUM: Kuala Lumpur, 2010)

______________. Peradaban Islam: Makna dan Strategi pembangunannya, (CIOS

ISID: Ponorogo, 2010)