pkn
-
Upload
hafidz-galant -
Category
Documents
-
view
230 -
download
6
description
Transcript of pkn
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis, oleh
sebab itu Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan keempat sila lainnya . Sila Persatuan Indonesia didasari dan
dijiwai oleh sila Kesatuan Yang Maha Esa dan Kemanusian Yang Adil dan
Beradab serta mendasari dan menjiwai sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Perwujudan Persatuan Indonesia adalah tempat bagi keberagaman
budaya atau etnis untuk mempereratnya persatuan, solidaritas tinggi, serta rasa
bangga dan kecintaan kepada bangsa dan kebudayaan. Salah satu alat
pemersatu bangsa Indonesia adalah bahasa indonesia itu sendiri. Hal yang
dapat mempengaruhi lunturnya budaya indonesia yang beragam, salah stunya
adalah dampak dari globalisasi.
Makalah ini di tulis, bertujuan agar kita dapat menghayati dan
mengamalkan sila Persatuan Indonesia ini dalam berkehidupan berbangsa dan
bernegara. Saling hormat dan menghormati dan menghargai keberagaman
disekitarnya. Meyakini bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan
suatu hal yang nyata dan itu pasti adanya, karena dimanapun kita tinggal,
dengan bahasa apa kita berbicara, agama apa yang kita anut, dan adat yang kita
pakai
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana hubungan antara sila ke-3 Pancasila dengan keanekaragaman
budaya Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap budaya Indonesia?
3. Bagaimana fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa, dsri
beragam budaya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan antara Sila ke-3 Pancasila dengan keanekaragaman budaya
Indonesia.
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah
sebagai penjelmaan sifat kodrat manuasia monodualis yaitu sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Negara adalah suatu persekutuan hidup bersama
diantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras,
kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu perbedaan
merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-
elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah
beranekaragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang
diliukiskan dalam Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukan untuk diruncingkan
menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa
yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk
mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa.
Negara mengatasi segala paham golongan, etnis, suku, ras, indvidu,
maupun golongan agama. Mengatasi dalam arti memberikan wahana atas
tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara memberikan
kebebasan atas individu, golongan, suku, ras, maupun golongan agama untuk
merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat
integral. Oleh karena itu tujuan negara dirumuskan untuk melindungi segenap
warganya dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum
(kesejahteraan seluruh warganya) mencerdaskan kehidupan warganya serta
dalam kaitannya dengan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk
mewujudkan suatu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Keanekaragaman yang kita miliki harus dijaga sebaik mungkin.
Keanekaragaman yang kita inginkan adalah keanekaragaman yang
bermartabat, yang berdiri tegak di atas moral dan etika bangsa kita sesuai
dengan keragaman budaya kita sendiri. Untuk menjaga keanekaragaman yang
bermartabat itulah, maka berbagai hal yang mengancam keanekaragaman
mesti ditolak, pada saat yang sama segala sesuatu yang mengancam moral
keanekaragaman mesti diberantas.
B. Separatisme di Negeri Rawan Konflik
Indonesia kembali bergejolak. Negeri kita bak karang yang diterjang ombak
terus-terusan. Kita lihat saja apakah karang itu mampu bertahan atau justru
terkikis oleh kerasnya badai lautan. Di tengah hangat-hangatnya kisruh
politik di Ibu Kota, di seberang timur Papua terjadi serangan oleh kelompok
separatis yang menewaskan 8 anggota TNI.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menpolhukam),
Djoko Suyanto menduga kuat, Penembakan yang terjadi pada Kamis (21/02)
di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, itu merupakan
penyerangan yang dilakukan kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)
pimpinan Goliath Tabuni. Sementara penembakan yang terjadi di Distrik
Sinak diduga dilakukan kelompok bersenjata pimpinan Murib.
Akhir-akhir ini memang banyak sekali kasus konflik yang mengancam
integritas bangsa Indonesia, baik yang bernuasa politik, sosial, ekonomi, atau
bahkan agama. Konflik tambang batu-bara di Papua, kekerasan agama di
Sampang, konflik lahan di Lampung, konflik tambang emas di Bima, dan
terakhir penyerangan oleh kelompok separatis di Papua ini.
Kekerasan dengan berbagai modus ternyata masih saja marak terjadi.
Selama delapan tahun belakang ini, kasus kekerasan diskriminasi meningkat
menjadi 1.483 kasus. Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar,
mengatakan, berdasarkan catatan yayasan yang bergerak di bidang
keberagaman itu, setidaknya ada 915 kasus kekerasan diskriminasi yang
terjadi pascareformasi tahun 1998-2004. Dari jumlah itu, kekerasan
diskriminasi per tahun mencapai 150 kasus.
Kasus penembakan di Papua ini bukan hal yang baru. Pada akhir
tahun 2012, penembakan juga terjadi terhadap 3 Polisi di Mapolsek Pirime,
Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Bahkan, pada akhir Mei 2012, seorang turis
warga negara Jerman, Dietmar Pieper, menjadi korban penembakan orang tak
dikenal di Pantai Base G, Jayapura, Papua. Sebelumnya juga sudah sering
terjadi konflik di daerah ini. Seperti konflik tambang, konflik antarsuku,
sampai aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM) pernah terjadi. Ini
menandakan bahwa keberagaman di negeri ini belum sepenuhnya aman. TNI
yang notabene adalah alat pertahanan malah menjadi korban.
Separatisme
Penembakan yang terjadi di Papua ini diindikasikan adalah gerakan
separatis kelompok yang dulu menamakan diri sebagai Organisasi Papua
Merdeka (OPM). OPM ditengarai sering melakukan aksi kekerasan dan
melakukan penyerangan bersenjata terhadap warga sipil termasuk TNI dan
Polri di berbagai wilayah Papua untuk menciptakan ketidakstabilan.
Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan
religius. Separatisme juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan
politis dan ekonomi suatu kelompok. Sebagai contoh, di daerah Basque di
Spanyol, yang belum merdeka selama berabad-abad lamanya, mereka
mengembangkan kelompok separatis yang kasar sebagai reaksi terhadap aksi
penindasan oleh rezim Francisco Franco.
Di Indonesia gerakan ingin memisahkan diri dari NKRI sudah sering
terjadi. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memiliki tujuan supaya Aceh
merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
salahsatu contohnya. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang
diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan
menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.
Di Maluku Selatan juga terjadi gerakan separatis. Pada 25 April 1950,
telah dideklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS) dengan maksud untuk
memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih
berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS
dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS
ditumpas tuntas pada November 1950.
C. Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia dalam Multikulturalisme
Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan
asas gerakan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap
mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan
tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol
budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari
masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya
lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas
cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
c) Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog
berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat
persatuan dan kesatuan.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma
hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk
mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa.
Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural
mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan,
kemasyarakatan dan kepribadian.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam
wacana Bhineka Tunggal Ika perlu menjadi ruh atau spirit penggerak setiap
tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan
politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai
bangsa dan negara. Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah
komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan
menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam konsepsi politik yang
baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang
memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap
terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar
komponen politik yang diatur secara resmi (legitimate) tanpa
menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi politik yang disepakati harus
mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan
konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.
Dengan demikian kita melihat semboyan “Satu bangsa, satu tanah air
dan satu bahasa” dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ bermakna bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras
dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah
bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukan itu menjadi suatu yang
tangguh sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat
dihindari.
Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan
dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas
bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru
dengan kebijakan inilah kita dapat memaknai Bhinneka Tunggal Ika secara
baik, seimbang dan proporsional. Dengan kebijakan ini pula kita dapat
membangun masa depan bangsa melalui penerapan “Persatuan Indonesia”
serta mengembangkan semangat nasionalisme sebagaimana diharapkan.
Untuk jangka waktu menengah dan panjang, ada lima agenda yang
perlu dilakukan untuk membangun bangsa Indonesia ke depan. Pertama,
bagaimana agar seluruh komponen bangsa dapat kembali pada komitmen
bersama yang mendasari lahirnya Republik Indonesia. Kita perlu
menghidupkan kembali dalam arti yang sedalam-dalamnya semangat Sumpah
Pemuda. Kita juga perlu memperbaharui cita-cita para “pendiri bangsa”.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
perlu dihayati dan diamalkan kembali dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya harus dijadikan landasan tetap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita perlu memperbarui makna dan pemahaman pada Pancasila yang sesuai
dengan cita-cita di awal kemerdekaan dan cita-cita reformasi. Penerimaan
terhadap landasan dasar negara ini akan menghindarkan bangsa Indonesia
dari konflik ideologi yang tidak berkesudahan.
Kedua, mengkonsolidasikan demokrasi. Ada lima langkah yang harus
ditempuh bangsa Indonesia dalam rangka konsolidasi demokrasi, yaitu:
1. Membangun landasan konstitusional yang mampu menjamin
keberlangsungan demokrasi. Untuk ini diperlukan UUD yang telah
mengalami pembaruan dalam bentuk amandemen, sesuai dengan keadaan
nasional maupun global, yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
informasi dan globalisasi dengan segala akibatnya. Untuk itu perlu
dibentuk suatu Komisi Negara, yang terdiri dari sejumlah ahli, untuk
menyusun konsep penyempurnaan UUD 45 yang lebih komprehensif,
yang mampu mengantar bangsa Indonesia memasuki abad pertama
milenium ketiga.
2. Membangun serta memperkuat institusi-institusi demokrasi, seperti:
berlakunya Trias Politika dalam kehidupan politik, berkembangnya
Masyarakat Madani, dan berlangsungnya Supremasi Hukum. Di samping
itu, perlu dipertegas berbagai hal yang berkaitan dengan tugas-tugas pokok
Polri dan TNI dalam sistem pertahanan dan keamanan.
3. Menaati proses dan mekanisme demokrasi, antara lain dalam hal: saling
menghargai perbedaan pendapat, menyelesaikan konflik melalui dialog
dan cara-cara damai, menabukan penggunaan kekerasan atau ancaman
kekerasan dalam menyelesaikan konflik, dan menghindari politisasi
agama.
4. Penghormatan terhadap HAM, antara lain dalam bentuk: menjamin civil
and political rights yang merupakan dasar demokrasi dan menjamin
kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan lain-lain.
Ketiga, membangun hubungan yang setara dan adil antara pusat dan daerah.
Hal ini diwujudkan, antara lain dengan:
1. Melaksanakan otonomi daerah secara bertahap tapi bersungguh-sungguh,
termasuk mempersiapkan berbagai peraturan perundangan dan
infrastruktur yang memadai.
2. Menjamin keadilan dalam pembagian kekayaan antara pusat dan daerah
serta antara daerah yang kaya dengan yang miskin.
Keempat, mengembalikan momentum pembangunan nasional, yang
dilaksanakan dengan merujuk pada UUD 45 yang telah disempurnakan serta
sejalan dengan aspirasi rakyat yang tertuang dalam berbagai Ketetapan MPR,
terutama dalam mewujudkan kehidupan demokrasi dan penghormatan pada
hak-hak asasi manusia sebagai wahana tercapainya masyarakat madani.
Kembalinya momentum pembangunan diupayakan dapat mencapai
pertumbuhan minimum yang mampu menampung dan menyiapkan lapangan
kerja bagi generasi penerus yang semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke
tahun.
Kelima, memperbaiki citra RI di dunia internasional. Dengan cara
mengembalikan peran Indonesia dalam kancah kehidupan regional maupun
internasional, dalam mewujudkan tata kehidupan global baru yang adil dan
damai. Di samping itu, perbaikan citra dilakukan dengan penanganan yang
serius terhadap berbagai permasalahan di dalam negeri. Politik luar negeri
dikembangkan dan dilaksanakan secara terencana dan sistematis, untuk
mencapai sasaran-sasaran yang jelas.
Hal penting lainnya dalam rangka membangun masa depan kehidupan
berbangsa adalah melalui kebijakan strategi kebudayaan nasional. Kita
mengetahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dan
multikultural. Ciri pluralistik, dengan keanekaragaman suku-suku bangsa
dengan adat istiadatnya masing-masing, bahasa, tradisi, keragaman agama dan
kepercayaan tradisional. Ciri multikultural, dengan melihat setiap suku bangsa
sebagai kesatuan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya, masing-masing
dengan keunggulan budayanya maupun hambatan budayanya. Keunggulan
diangkat untuk didayagunakan sebaik-baiknya dalam pembangunan nasional,
sedangkan hambatan budaya diatasi melalui pendekatan kultural yang seksama.
Kepada anak-anak bangsa, sejak usia dini harus ditanamkan keyakinan bahwa
penduduk negara kita yang multikultural merupakan suatu mozaik yang
membentuk suatu gambar indah, dalam kesatuan bangsa di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Strategi kebudayaan nasional pada dasarnya merupakan strategi untuk
membangun suatu pedoman bagi kehidupan bersama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ciri bangsa Indonesia yang
pluralistik dan multikultural menyebabkan strategi kebudayaan nasional harus
diisi dengan nilai-nilai yang tepat, diantaranya prinsip mutualisme, yakni
kebersamaan dan kerjasama yang memberi manfaat kepada semua pihak yang
bekerjasama, bukan yang hanya searah dan menguntungkan satu pihak saja.
Strategi kebudayaan nasional Indonesia juga harus diisi dengan nilai-nilai
yang mendorong kemajuan bangsa, dimulai dengan membangun manusia yang
cerdas hidupnya, yang bukan hanya cerdas otaknya tetapi lebih penting lagi
mempunyai kehidupan yang berharkat dan bermartabat tinggi, tidak rendah
diri, sehingga mampu mendesain sendiri arah dan tujuan membangun bangsa
dan negara, tanpa ketergantungan terhadap pihak asing, baik negara atau
kekuatan asing. Dengan kata lain, menjadi tuan di negeri sendiri.
Dalam konteks ini nasionalisme merupakan landasan utama membangun
negara. Dengan mempertahankan nasionalisme yang diperoleh melalui
perjuangan kemerdekaan yang berat dan tangguh, kerjasama dengan dunia
internasional dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan kemitraan, bukan
ketergantungan. Inilah yang harus ditanamkan pada bangsa Indonesia dalam
pendidikan mengenai karakter dan pekerti bangsa. Banyak pihak, baik
masyarakat awam, birokrat maupun intelektual sekalipun, dewasa ini sering
tidak menyadari bahwa nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bangsa Indonesia telah
ditetapkan oleh para pendiri bangsa Indonesia secara serius sejak sebelum
kemerdekaan dan tertuang pada Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945.
(Hidayat Nur Wahid, 2008)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
memiliki banyak ragam budaya yang berbeda-beda dari setiap suku daerah yang
berbeda pula. Perbedaan itu sendiri justru memberikan kontribusi yang cukup
besar pada citra bangsa Indonesia. Kebudayaan dari tiap-tiap suku daerah inilah
yang menjadi penyokong dari terciptanya budaya nasional Indonesia.
Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa
dipandang perlu untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku
bangsa dan kebudayaan agama yang ada di Indonesia. Dalam konteks itu pula
maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat yang multikultural yang terdapat di
Indonesia serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai aset
negara yang dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya
adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi
berkembangnya masyarakat multikultural yang masing-masing harus diakui
haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka.
Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh
kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal
mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik. Oleh karena itu,
walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk
mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran
leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan
kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya
yang sama-sama merupakan warga negara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa
Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia.
Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti
juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun
karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.
B. Saran
Nilai-nilai dan identitas kebudayaan daerah yang menjadi citra bangsa,
yang juga merupakan sebagai alat untuk mempertahankan harga diri bangsa ini
mulai luntur. Masyarakat mulai enggan mengenali budaya nenek moyang mereka.
Padahal, sebagaimana yang telah tertulis di atas, bahwa kebudayaan daerah adalah
dasar dari kebudayaan nasional.
Oleh karena itu, demi terbentuknya kebudayaan Nasional yang benar-
benar dapat menyatukan kembali seluruh komponen budaya bangsa, perlu kita
mempelajari dan mengenal lebih dalam lagi tentang sejarah dan warisan-warisn
budaya kita, dan juga demi mencari jati diri yang bhineka itu. MERDEKA !!!
DAFTAR PUSTAKA
http://dutashare.blogspot.com/2012/12/makalah-kewarganegaraan-
penerapan.html (Diakses pada tanggal 17 November 2013 pukul 21.57
WIB)
http://sumutpos.co/2013/03/53346/separatisme-di-negeri-rawan-konflik
(Diakses pada tanggal 17 November 2013 pukul 21.58 WIB)
http://technurlogy.wordpress.com/2010/03/31/multikulturalisme/ (Diakses pada
tanggal 17 November 2013 pukul 22.00 WIB)