Piutang Tanpa Bunga
-
Upload
wwwridlinecom -
Category
Documents
-
view
607 -
download
1
Transcript of Piutang Tanpa Bunga
![Page 1: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/1.jpg)
Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs
www.tinyurl.com/syariah
al-Qord al-hasan (piutang tanpa bunga);
aktifitas jasa dan investasi bank islam.
I. Sekilas konsep qord.
a. Prolog
Sudah menjadi sunnatullah kemampuan ekonomi tiap individu
ataupun lembaga berbeda-beda; ada yang kaya dan ada yang miskin,
tidak jarang fenomena alami ini berubah menjadi kesenjangan sosial
dengan dampak negatifnya terhadap hubungan moral dan sosil-
kemasyarakatan. Dalam ekonomi islam untuk menanggulangi
kesenjangan ekonomi yang melebar antara kedua segmen tersebut
dikenal dengan istilah i'adatu at tauzi' (distribusi ulang), maksudnya harta
yang sudah dimiliki akan didistribusi ulang kepada orang-orang yang
membutuhkannya. Salah satu perangkatnya adalah piutang tanpa bunga
sebagai jasa untuk memenuhi kebutuhan primer kaum du'afa atau
sebagai proyek investasi sehingga dengan demikian ada pemerataan
sumber daya alam di antara manusia.
Dewasa ini bank islam sebagai salah satu lembaga keuangan dalam
negara ikut andil dengan menerapkan al-qhord atau yang lebih umum
dikenal dengan al-qhord al-hasan sebagai salah satu produk jasanya.
Dalam bank islam produk ini tidak hanya menjadi perangkat jasa tetapi
lebih dari itu sebagai perangkat investasi.
Di samping itu penerapan al-qhord al-hasan akan memberikan lebih
banyak pengaruh positif dan luas terhadap maasyarakat pada umumnya
muslim ataupun non muslim begitu pula terhadap negara.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang produk ini dalam bank
islam, terlebih dahulu akan dijelaskan konsep al-qhord dalam islam
sebagai acuan penerapannya dalam bank islam.
b. Pengertian al-qord.
Dalam linguistik arab, kata al-qhord adalah masdar dari qorodo
yaqridu qordon yang berarti memotong.
![Page 2: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/2.jpg)
Dalam literatur fikih klasik, setiap madzhab fikih berbeda-beda
dalam mendefinisikan kata al-qord, namun substansinya hampir sama.
Diantaranya definisi ulama hanabilah bahwa al-qord adalah pemberian
harta atas dasar sosial untuk dimanfa'atkan dan harus dibayar dengan
sejenisnya.(1)
Atau dengan kata lain pemberian piutang tanpa mengharapkan
imbalan sebagai bentuk tolong menolong dan bisa ditagih kembali
kemudian.
c. Landasan Syari'ah.
Dalam islam al-qhord adalah hal yang dianjurkan sebagaimana
ditegaskan dengan jelas dalam Al-Qur'an, hadits dan ijma.
b.1 Al-Qur'an
Diantara ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang hal ini
adalah surat al-Hadid ayat 11:
كريم أجر وله له فيضاعفه حسنا قرضا الله يقرض ذالذي من
"Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah swt. pinjaman
yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya
dan dia akan memperoleh pahala yang banyak."
Sebagai catatan kata qhord disebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak
enam kali yaitu dalam surat al-baqoroh;245, al-ma'idah;12, al-hadid;11
dan 18, at-taghobun; 64, dan al-muzammil;73.(2)
Seluruh ayat ini menjelaskan tentang meminjamkan kepada Allah,
artinya membelanjakan harta di jalan Allah. Dan seluruh perbuatan hamba
yang diperintahkan oleh syari'at itu termasuk jalan dan ridho Allah,
termasuk didalamnya memberikan pinjaman untuk mengurangi beban
hidup saudaranya.
b.2 Al-Hadits
مرتين قرضا مسلما يقرض مسلم من ما قال ص النبي أن مسعود ابن عن
مرة كصدقتها كان إال
1(?) Dr. Nazih Hammad, 'Aqdu al-qhord fi as syari'ah al –islamiyah, hal. 7 dan 9
2(?) Dr. Husein Muh. Fahmi as-syafi'i, ad-dalil al mufahros li alfadzil quran al karim, hal. 645-646.
![Page 3: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/3.jpg)
Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi saw. Berkata, "tidak ada
seorang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali
yang satunya adalah (senilai) sedekah" (HR Ibnu Majah).
Hadits ini merupakan anjuran untuk memberikan pinjaman karena
pahalanya sama dengan bersedekah.
b.3 Ijma
Para ulama telah menyepakati bolehnya al-qord. Kesepakatan ini
didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya karena tidak ada seorangpun yang memiliki seluruh
barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah
menjadi bagian dari kehidupan ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan kebutuhan umatnya.(1)
Dari keterangan di atas, bahwa yang dimaksud dengan al-qhord
dalam dalil-dalil di atas adalah al-qhord yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan primer kaum dhuafa atau al-qhord konsumtif yaitu hukumnya
sunnah seperti halnya ibadah shodaqoh.
Berbeda dengan qhord untuk kebutuhan investasi atau al-qhord
produktif, itu dijelaskan dengan dua hal,
Pertama, Sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Atho’, ia berkata
ketika Ibnu Zubeir mengambil beberapa dirham dari masyarakat Mekah
kemudian ia menulis tentang uang tersebut kepada Mush’ab bin Zubeir di
Irak supaya mereka mengambilnya kepada Mush’ab.
Ibnu Zubeir adalah orang kaya ketika itu, ia tidak menggunakan
uang tersebut untuk keperluan hidup tetapi untuk keperluan investasi.
Kedua, Pemberian pitutang dapat membrikan manfa’at kepada
muqtaridh khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam
meningkatkan tarap kegidupan ekonomi.(2)
Dua dasar tersebut menjelaskan bahwa pemberian al-qhord
produktif itu dibolehkan.
d. Rukun al-qhord dan syarat-syaratnya
Dari kajian para ulama tentang jumlah rukun qhord, disimpulkan
ada tiga rukun akad ini yaitu,
1(?) Dr. Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah : Dari Teori ke praktik hal. 132.
2(?) Dr. Muh. Syahhat al Jindi, Al qordu ka adatin li at tamwil fi as syari’ah al islamiyah hal. 26.
![Page 4: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/4.jpg)
1. Shighot
Shigot adalah ungkapam dari keinginan kedua belah pihak untuk
melakukan akad tersebut. Shighot ini penting karena niat kedua belah
pihak tidak bisa diketahui kecuali dengan ungkapan ataupun tulisan di
samping itu pemberian harta itu bisa berarti piutang, hadiah, shodaqoh
dan lain sebagainya.
Akad ini bisa mengunakan kata aqrodtuka, aslaftuka atau setiap
kata yang menunjukan pengertian pemberian pinjaman dari pihak
pertama dan menerima dari pihak kedua.(1)
Dalam perbankan islam, shighot ini sudah termasuk dalam
transaksi tertulis akad al-qhord al-hasan dengan bahasa apapun shighot
tersebut disampaikan.
2. Pihak akad
Pihak akad tersebut ada dua yaitu,
Yang pertama, muqridh (yang meminjamkan)
Para ulama sepakat individu atau lembaga yang memberikan
pinjaman disyaratkan harus memiliki kriteria ahliyyatu at-tabarru'
(kelayakan bersedekah) yaitu balig, berakal dan rosyd karena al-qhord
adalah akad sosial seperti halnya sedekah.
Dalam transaksi bank islam, pihak muqridh atau da'in adalah
nasabah atau lembaga bank itu sendiri.
Yang kedua, Muqtaridh.
Ulama Syafi'iyah mensyaratkan bagi yang meminta pinjaman atau
yang menerimanya harus memiliki kriteria ahliyyatu al-mu'amalah.
Sedangkan Hanabilah memberikan syarat ahliyytau adz-dzimmah yaitu
setiap orang atau lembaga yang sudah mempunyai hak dan tanggung
jawab. Sedangkan Hanfiyah cukup dengan syarat ahliyatu at tasharufat al
qouliyah (kelayakan melakukan uacapan).
Nampak syarat seorang muqtaridh lebih ringan dari muqridh,
karena muqridh tidak diwajibkan memberikan imbalan atas jasa pinjaman
tersebut.
Dalam transaksi perbankan, pihak muqtaridh atau madin ini adalah
bank atau nasabah peminjam.
1(?) Lihat Dr. Nazih Hammad, 'Aqdu al-qhord fi as syari'ah al –islamiyah, hal. 24 dan 25.
![Page 5: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/5.jpg)
3. Muqrodh (harta yang dipinjamkan)
Para ulama menyebutkan tiga syarat penting harta yang
dipinjamkan ini. Syarat-syarat menjadi standar penilaian transaksi al-
qhord kontemporer baik yang dilakukan oleh individu ataupun lembaga
seperti perbankan islam. Oleh karena itu di sini akan disebutkan secara
rinci tiga syarat tersebut beserta pandangan para ulama. Syarat-syarat
tersebut sebagai berikut:
Pertama, Pinjaman itu tersebut berupa mitsliyat yaitu barang-
barang sejenis yang tidak ada perbedaan yang menyebabkan perbedaan
harga tiap barang tersebut, seperti halnya uang logam dan kertas. Dan
sebaliknya pinjaman tersebut tidak boleh berupa qimiyat yaitu barang
yang berbeda satu sama lainya yang menyebabkan perbedan harga tiap
barang tersebut seperti halnya hewan, bangunan dan lain sebagainya. Ini
adalah pendapat Hanafiyah. Mereka memberikan alasan -seperti yang di
kemukakan oleh Ibnu 'Abidin- bahwa transaksi al-qord itu awalnya piutang
dan berakhir dengan mu'awadhoh (tukar menukar) dan barang tersebut
tidak bisa di manfaatkan kecuali dengan dikonsumsi yang harus dibayar
dengan barang sejenis.
Ulama Syafi'iyah memberikan batasan yang lebih luas dari
Hanafiyah. Batasannya adalah setiap barang yang bisa dijadikan komoditi
salam yaitu barang yang bisa dimiliki dengan jual beli, bisa di identifikasi
sifatnya walaupun barang tersebut berupa qimiyat karena sudah menjadi
dzimmah Seperti halnya hewan dan lain sebaginya. Adapun yang tidak
bisa dijadikan komoditi salam seperti perhiasan maka tidak boleh
dipinjamkan dengan beberapa pengecualian.
Ulama Malikiyah sependapat dengan Syafi'iyah, hanya mereka
mengecualikan peminjaman budak perempuan karena itu berarti 'ariyatul
furuj yang diharamkan.
Menurut pendapat mu'tamad madzhab Hambali setiap barang boleh
dijadikan bahan pinjaman kecuali budak dengan alasan yang sama
dengan yang di atas.
Lebih luas lagi Ibnu Hazm yang tidak memberikan batasan, yakni
setiap barang boleh dipinjamkan karena ayat yang berkenaan dengan hal
ini umum yaitu:
إذا تداينتم بدين الى اجل مسمى
![Page 6: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/6.jpg)
"…apabila kamu sekalian bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan.."(Q.S Al-baqoroh ; 282) (1)
Dalam transaksi perbankan, seluruh transaksi menggunakan uang
seperti mata uang rupiah dan lain sebagainya sebagai modal atau harta
pinjaman, dengan begitu ketika bank menggunakan uang tersebut maka
bank harus menggantinya dengan yang sejenis. seperti halnya mata uang
rupiah an lain sebagainya.
Kedua, pinjaman tersebut berupa harta bukan manfa'at sebuah
barang. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan qaul mu'tamad madzhab
Hanabilah.
Hanafiyah berdalil bahwa manfa'at suatu barang tidak bisa
dikategorikan harta karena menurut madzhab Hanafi harta adalah sesuatu
yang disukai oleh tabiat manusia dan bisa di miliki dan disimpan. Karena
barang pinjaman harus dikembalikan dengan barang sejenisnya dan itu
tidak bisa dilakukan dengan manfa'at sebuah barang.
Pendapat kedua membolehkan manfa'at dipinjamakan, yaitu
pendapat Ibnu Taimiyah seperti menghutangkan manfa'at sebuah rumah
dengan bayaran menempati rumahnya.
Adapun Syafi'iyah dan Malikiyah memberikan batasan yang umum,
yaitu setiap barang yang bisa dijadikan komoditi salam itu bisa
dipinjamkan dan manfa'at sebuah barang bisa dijadikan komoditi salam.
Dan dalam transaksi perbankan barang yang dipinjamkan berupa
uang sebagai sarana konsumtif atau modal investasi.
Ketiga, pinjaman tersebut harus diketahui jumlah dan jenisnya
seperti 200 juta rupiah.(2)
e. Perbedaan al-qord dengan akad-akad lain.
Setiap akad dalam mu’amalat islam mempunyai substansi dan
karakteristik yang berbeda-beda termasuk akad-akad yang serupa, tetapi
dalam mekanismenya akad-akad ersebut ada kemiripan. Akad-akad yang
serupa dengan qhord antara lain:
Pertama, ‘ariyah (pinjaman) dengan al-qhord (piutang). ‘Ariyah
artinya memberikan sesuatu untuk dimanfaatkan tanpa ada imbalan,
sedangkan al-qhord harus membayarnya dengan barang sejenis.
1(?) Lihat Dr. Nazih Hammad, 'Aqdu al-qhord fi as syari'ah al –islamiyah, hal. 33 - 35.
2(?) Lihat referensi sebelumnya hal. 38.
![Page 7: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/7.jpg)
Disamping itu dalam akad ‘ariyah barang yang di pinjam tetap
menjadi milik mu’ir (yang meminjamkan) sedangkan dalam akad qhord
barang piutang sudah menjadi milik muqtaridh.(1)
Kedua, wakalah yaitu seorang muwakkil mengamanatkan kepada
muwakkal alaih untuk mengelola modalnya dengan imbalan upah yang
sudah ditentukan.
Berbeda dengan qhord, barangnya sudah menjadi milik muqtaridh.
Tapi jika barangnya diinvestasikan, maka sepintas kedua akad tersebut
sama. Perbedaannnya adalah dalam akad wakalah muwakkil menanggung
resiko kerugian usaha dan keuntungan karena modal masih menjadi
miliknya. Sedangkan dalam akad qord, muqridh tidak menanggung apa-
apa.
Ketiga Qirod, yaitu seorang robbul mal mengamanatkan kepada
mudhorib untuk mengelola modalnya dengan pembagian keuntungan
tertentu sesuatu dengan kesepakatan. Dalam hal ini mudhorib (pemanfaat
dana) tidak menjamin resiko kerugian usaha kecuali jika kerugian tersebut
disebabkan oleh kesengajaannya.
Berbeda dengan qhord, muqtaridh menjamin resiko kerugian usaha,
oleh karena itu ia berhak mendapatkan keuntungan usaha tanpa campur
tangan muqridh.(2)
f. Kaidah-kaidah umum dalam al-qhord
Qhord sebagai akad islami memiliki kaidah-kaidah sebagai aturan
penerapan qhord. Walaupun mekanisme penerapannya berubah sesuai
dengan tuntutan zaman dan tempat tetapi tidak boleh menyalahi aturan-
aturan ini. Kaidah-kaidah tersebut adalah,
f.1 Qhord adalah akad dhoman.
Yaitu dimana Muqridh (pemberi piutang) menjamin untuk
mengembalikan pengganti barang yang dipinjam, jika yang dipinjam 2
juta rupiah maka ia hanya wajib mengembalikan 2 juta rupiah baik ketika
jatuh tempo pembayaran yang disepakati atau ketika ada penagihan.
Maka dalam akad ini tidak boleh ada tambahan yang disyaratkan.
Dan sudah ada konsensus diantara para ulama bahwa setiap tambahan
yang disyaratkan atau dijamin oleh muqtarid terhadap muqtarid untuk
1(?) Dr. Muh. Syahhat al Jindi, Al qordu ka adatin li at tamwil fi as syari’ah al islamiyah hal. 42.
2(?) Dr. Husein Hamid Hassan, Fatwa majma al buhuts la tanthobiqu ala ala ,wada’i al bunuk ar ribawiyah, majalah iqtishod islami edisi 260-
261 januari-pebruari hal. 80
![Page 8: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/8.jpg)
dibayarkan dengan sejumlah piutang ketika jatuh tempo atau waktu
penagihan itu adalah riba yang diharamkan. Dalam hal ini Rosulullah saw
bersabda,
كل قرض جر نفعا فهو ربا
Setiap piutang yang ditambah dengan manfaat itu termasuk riba.
Disamping itu sesuai dengan kaidah dalam muamalat islam
algunmu bi algurmi (yaitu setiap keuntungan harus berdasarkan
kerugian), maka ketika muqrid (pemberi piutang) tidak mengalami
kesusahan apapun karena muqtarid menjamin untuk mengembalikan
uangnya, ia tidak berhak mendapatkan keuntungan besar ataupun kecil,
tetap atupun berubah dan apapun nama keuntungan yang diperoleh
tersebut.(1) Ketentuan ini berlaku baik terhadap piutang konsumtif ataupun
piutang produktif.
f.2 Kepemilikan.
Walaupun dalam masalah ini ada perbedaan pendapat antara para
ulama tentang waktu perpindahan kepemilikan, tetapi bisa disimpulkan
pada dasarnya dengan akad ini, barang piutang berpindah kepemilikan
dari muqrid (pemberi piutang) kepada muqtaridh (pemanfaat piutang).(2)
Maka, jika pinjaman tersebut diinvestasikan, seluruh keuntungan
ataupun kerugian ditanggung oleh muqtaridh (pemanfaat piutang) karena
sudah menjadi barang miliknya.
Begitu halnya dalam perbankan islam, al-qhord al-hasan itu tidak
akan ada tambahan yang disyaratkan tetapi yang ada adalah bonus
sebagai hadiah dari bank islam kepada muwaddi’ (penitip dana), adapun
besar dan kecil bonus tersebut tidak ditentukan tapi disesuaikan dengan
hasil usaha yang dijalankan.
f.3 Pembayaran hutang
Hal ini berkenaan denga dua hal:
Masalah pertama, perubahan nilai uang, misalnya menghutang 200
juta rupiah dan ketika membayar -pada waktu yang telah disepakati- nilai
moneternya menurun atau bahkan naik. Pada dasarnya para ulama
sepakat bahwa madin (pemanfaat piutang) harus membayar sebesar
1(?) Opcit hal. 80
2(?) Menurut Malikiyah batasannya adalah akad,maka dengan akad kepemilikan itu berpindah. Sedangkan Syafi'iyah dalam qaul muqobil
ashohnya muqtaridh memilikinya dengan istihlak (memanfaatkannya). Dan Abi Yusuf membatasinya dengan taqobud (serah terima) selama
belum di pakai. Sedangakan Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah dalam pendapat ashohnya memberikan batasan taqhobud (serah terima).
![Page 9: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/9.jpg)
piutang dan setiap tambahan yang disyaratkan itu riba, perbedaan
pendapat dalam melihat nilai yang sama dengan jumlah piutang,yaitu:
Yang pertama, pembayaran sesuai dengan harga nominal karena
perubahan tersebut bukan karena mata uangnya tetapi karena
menurunnya permintaan, ini adalah pendapat Dr. Ali as-Salus
Kedua, Pembayaran sesuai dengan harga moneternya (ketika
menghutang), karena pada dasarnya walaupun bilangannya berbeda
tetapi nilainya sama dengan waktu menghutang, ini adalah pendapat
Syekh ‘Atiyyah Shoqor.
Selanjutnya beliau berpendapat bahwa pendapat ini ijtihad semata,
oleh karena untuk menghindari perselisihan antara da’in (pemberi
piutang) dan madin (pemanfaat piutang), hendaknya ada kesepakatan
ketika menghutang mengenai jenis pembayaran walaupun dengan
kesepakatan ini masih ada ghoror tetapi itu lebih aslam (selamat) sesuai
dengan kaidah yurtakabu akhoffu ad dhororain (melakukanyang lebih
kecil dhorornya).(1)
Masalah kedua, Jenis piutang yang dibayarkan.
Para ulama berbeda-beda dalam menghukuminya, yaitu sebagai
berikut,
Pertama, Hanafiyah berpendapat bahwa muqtaridh (pemanfaat
piutang) wajib mengembalikan sejenis barang yang dihutang dan bukan
barang yang dipinjam walaupun kondisinya masih baik, dan boleh
membayarnya dengan qimah jika kedua belah pihak saling ridho.
Kedua, Ibnu Hazm berpendapat bahwa muqtaridh (pemanfaat
piutang)wajib membayar piutang dengan sejenis barang yang dihutang
karena itu sudah menjadi miliknya.
Ketiga, Malikiyah dan pendapat ashoh Syafi'iyah mengatakan, jika
barang pinjaman itu berupa barang mitsli, maka muqtaridh (pemanfaat
piutang) mempunyai pilihan mengembalikan barang sejenis atau
mengembalikan barang yang dipinjam jika belum berubah.
Tetapi jika pinjaman itu berupa qimi, ia membayar dengan barang
yang dipinjam jika tidak berubah.
Keempat, Hanabilah berpendapat bahwa piutang bisa dibedakan
kepada tiga jenis yaitu:
1(?) -Lihat Dr. Atiyah Shoqor, Ahsnul kalam fi al fatawa wa al ahkam jilid I hal. 83 dan 84.
-Lihat Uqinu at taqi, Riba dalam tinjauan fikih kontemporer, produk-produk investasi bank islam ; teori dan praktek, hal 54 dan 55.
![Page 10: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/10.jpg)
1. Mitsli berupa kiloan atau takaran, muqtaridh wajib membayar
dengan barang sejenis, dan boleh membayarnya dengan dengan
barangnya jika belum berubah.
2. qimi yang tidak bisa diidentifikasi, maka yang wajib adalah
membayar dengan qimah.
3. Selain kedua di atas, menurut qaul rojih yang wajib adalah
qimah karena qimah wajib bagi barang yang tidak mempunyai
barang sejenisnya.(1)
Namun perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat di atas hanya
berlaku bagi barang pinjaman yang bisa diambil manfaatnya dan ada
kemungkinan tidak berubah. Berbeda dengan uang yang tidak bisa
dikembalikan barangnya karena perputaran mata uang, oleh karena itu
kaidah piutang dalam perbankan adalah membayar piutang dengan uang
sejenis.
II. Aplikasi al-qord dalam perbankan islam
Untuk mengetaui aplikasi al-qhord al-hasan dalam bank islam,
berikut ini akan dijelaskan manfaat dan resiko penerapannya, sumber
dana, penyalurannya, dan contoh transaksi al-qhord al-hasan a.
a. Manfaat dan resiko al-qord al-hasan
Manfaat akad ini banyak sekali, diantaranya:
a. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak
untuk mendapatkan talangan jangka pendek.
b. Akad ini juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank
syari’ah dan bank konvensional yang didalamnya terkandung misi
sosial, disamping misi komersial.
c. Adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citrta
baik dan meningkatkan loyalitas masyarkat terhadap bank syari’ah.
Adapun resiko produk ini adalah,
a. Resiko tak terbayarnya utang nasabah (wan prestasi).
b. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.(2)
b Sumber dana.
Dana yang digunakan untuk pembiayaan produk al-qhord al-hasan
ini bersumber dari,
1(?) Lihat Dr. Nazih Hammad, 'Aqdu al-qhord fi as syari'ah al –islamiyah, hal. 43 - 51
2(?) Dt. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, hal 134
![Page 11: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/11.jpg)
1. Modal Bank
Modal adalah dana yang diserahkan oleh pemilik (owner). Pada
akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada
tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha
yang dikenal dengan dividen.
Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dalam perbankan
islam dapat dilakukan melalui musyarokah fi sahm asy-syarikah atau
equity participation pada saham perseroan bank.(1)
Disamping modal pemilik saham juga sebagian keuntungan yang
dihasilkan dari proyek usaha yang disimpan oleh bank juga sebagian
dialokasikan menjadi dana al-qhord al-hasan(2)
2. Zakat, infaq, waqap dan sedekah
Bank islam menerapkan kewajiban zakat terhadap setiap
keunungan usaha dalam perbankan islam karena modal tersebut berupa
uang dan itu harta wajib zakat dengan syarat sudah mencapai haul dan
nishob. Baik keuntungan tersebut dari modal pemegang saham atau
keuntungan dari modal nasabah yang dikelola oleh bank.
Disamping itu bank isalm sebagai lembaga keuangan syar’i menjadi
badan pengumpul waqap, infaq dan sodaqoh untuk disalurkan kepada
yang membutuhkan.
3. Wadi’ah (titipan).
Bentuk wadi’ah yang menjadi dana al-qhord ini adalah,
Pertama, wadi’ah jariyah yaitu bentuk simpanan yang bisa diambil
sewaktu-waktu jika dibutuhkan.
Kedua, Wadi’ah tahta tholab, yaitu bentuk simpanan yang bisa
diambil pada waktu yang telah disepakati antara bank dengan nasabah.
Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad amanah (tangan
amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau
keusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang
titipan (karena faktor-fakor diluar batas-bats kemampuan). Hal ini
dikemukakan oleh Rosulullah saw dalam hadits.
1(?) Referensi sebelumya hal,147
2(?) Dr. Muh. Syahhat al Jindi, al qordu ka adatin li at tamwil fi as syari’ah al islamiyah hal. 171
![Page 12: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/12.jpg)
“Jaminan pertanggungjawaban tidak dimiinta dari peminjam yang
tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penmeriman titipan yang tidak
lalai terhadap titipan tersebut.”
Akan tetapi dalam aktifitas perekonomian modern, si penerima
simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi
mempergunakannya dalam aktifitas perekonomian tertentu. Dengan
demikian ia bukan lagi yad amanah tetapi yad dhoman (tangan
penannggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada barang tersebut. (1)
Dengan demikian jika transaksinya adalah qhord maka dana qhord
ini kemudian diberikan untuk membiayai produk jasa qhord tersebut.
c. Penyaluran dana al-qhord al-hasan
Seperti yang disinggung dimuka, dana ini akan disalurkan pada dua
jenis, yaitu:
1. Jasa murni bank (konsumif).
Ini adalah salah satu produk jasa bank islam untuk membantu
orang yang tidak mampu.
Dikarenakan resikonya tinggi karena dianggap pembiayaan yang
tidak ditutup dengan jaminan dan kemungkinan penerima dana tidak
membayar piutang atau tidak membayar pada waktunya, maka untuk
menghindari hal tersebut bank islam menerapkan hal berikut:
a. Kategori penerima dana
Dana al-qhord al-hasan hendaknya diberikan kepada orang-orang
yang membutuhkan sesuai dengan misi disyari’atkannya akad ini yaitu
adanya pemerataan harta dan keadilan diantara anggota masyarakat.
Disamping itu bank islam melihat skala prioritas di antara
masyarkat yang mengajukan pinjaman ke bank islam. Seperti halnya
orang yang membutuhkan kebutuhan dhoruriyat didahulukan dari pada
kebutuhan hajiyat.
Di antara contoh prioritas tersebut adalah,
Pertama, pakir miskin.
Kedua, orang yang tertimpa musibah.
Ketiga, yang terlilit piutang.
1(?) Dr. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, hal 86
![Page 13: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/13.jpg)
Keempat, ibnu sabil.
Kelima, kebutuhan sosial, seperti kebutuhan belajar dan lain-lain.
Keenam, kebutuhan ekonomi.(1)
b. Batas minimal piutang
Setiap bank islam membatasi minimal piutang yang diberikan,
sebagai langkah antisipasi jika piutang itu tidak bisa dikembalikan akan
membahayakan modal bank itu sendiri.
c. Jaminan piutang.
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari jaminan ini adalah:
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bemain-main
dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
b. Memberikan keamanan bagi semua penabung atau dan pemegang
deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah
peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun)
yang dipegang oleh bank.
c. Jika rohn (jaminan barang) diterapkan dalam mekanisme
pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara
kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.(2)
Adapun bentuk jaminan tersebut sebagia berikut:
Pertama, Kafil (penanggung piutang)
yaitu orang atau pihak yang bertanggung jawab membayar piutang
tersebut jika madin tidak bisa membayarnya.
Oleh karena itu bank bisa meminta kepada madin untuk
memberikan jaminan orang atau lembaga yang tidak bermuamalah
dengan riba sebagai jaminannya. Dan bank bisa meminta kepada kafil cek
atau kambelah (?) seharga piutang yang disimpan di bank yang
bersangkutan pada tanggal pelunasan piutang sehinga kafil bisa
membayarnya dengan simpanan tersebut.(3)
Kedua, Rohn (jaminan barang)
1(?) Dr. Muh. Syahhat al Jindi, Al qordu ka adatin li at tamwil fi as syari’ah al islamiyah hal. 172 - 175
2(?) Dt. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, hal 130
3(?) Dr. Muh. Syahhat al Jindi, Al qordu ka adatin li at tamwil fi as syari’ah al islamiyah hal 182 - 184
![Page 14: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/14.jpg)
Rohn sebagai produk pelengkap dari al-qhord al-hasan. Nasabah
tidak dikenakan bunga atas rohn ini, yang dipungut dari nasabah adalah
biaya penitipan, pemeliharaan serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rohn dengan pegadaian adalah dari
sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya
rohn hanya sekali dan ditetapkan di muka.(1)
Secara umum penerapan al-qhord al-hasan konsumtif sebagai
berikut:
Keterangan:
Bank islam menerima dana titipan dan menyerahkannya kepada
muqridh dan mengembalikannya kepada penitip secara utuh
2. Investasi (al-qhord al-hasan produktif).
Dana al-qhord al-hasan selain digunakan untuk kegiatan sosial
tetapi bisa dimanfaatkan untuk investasi yang menghasilkan keuntungan
dengan syarat bank atau nasabah peminjam harus mengembalikan modal
1(?) Dt. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, hal 130
NasabahMuwaddi’(penitip)
Bank(Mustawda’)(Penyimpan)
Muqridh(Peminjam
dana)
(1)Titip dana
(2)Beri
pinjaman
(3)kembalikan
pinjaman 100 %
(4)kembalikan pinjaman
100 %
![Page 15: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/15.jpg)
itu secara utuh kepada penitip dana pada waktu dan tempat yang telah
disepakati bersama.
2.a Bentuk penyaluran
Seperti halnya penyaluran wadi’ah istitsmariyah (dana investasi),
dan ini juga disalurkan dengan akad-akad bank islam seprti mudhorobah,
musyarokah, muzaro’ah, dan bentuk produk-produk investasi yang lain.
Investasi ini baik dilakukan dengan cara musyarokah antara bank
dengan nasabah peminjam dana dengan hasil usaha ditanggung oleh
kedua pihak tersebut dan mereka harus mengembalikan modal tersebut
secara utuh kepada penitip dana.
Atau investasi itu dilakukan sendiri oleh nasabah peminjam dengan
resiko usaha ditanggung sendiri oleh nasabah dan harus mengembalikan
modal (piutang) secara utuh kepada bank dan mengembaliknnya kepada
penitip dana(1).
Dr Antonio Syafi’i menjelaskan bentuk penyalurannya , yaitu:
a. Membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek.
b. Membantu usaha kecil para nasabah(2)
2.b Jaminan
Secara umum jaminan yang dibebankan oleh bank islam dalam al-
qhord al-hasan produktif ini adalah sama dengan jaminan al-qhord al-
hasan konsumtif yaitu kafalah dan rohn tetapi peranannya di sini tidak
asasi.
Menurut Dr. Mun’im Abu Zaid, ada jaminan – jaminan lain yang
lebih penting dengan target tidak hanya mengembalikan piutang dari
nasabah tetapi lebih dari itu menjadi jaminan terjadinya kelalaian dan
tidak konsisitennya nasabah dengan kesepakatan, jaminan-jaminan
tersebut yaitu:
Pertama, Moral para nasabah.
Keberhasilan usaha nasabah sangat ditentukan oleh koimitmennya
dengan moral dan profesionislme dalam bidang usaha yang dijalankan.
Semakin tinggi komitmen mereka semakin terbuka kemungkinan berhasil
usaha tersebut. Oleh karena itu menjadi kewajiban bank islam untuk
memilih nasabah yang mempunyai karakteristik ini.
1(?) Dr. Muh. Syahhat al Jindi, al qordu ka adatin li at tamwil fi as syari’ah al islamiyah hal 105 - 117
2(?)Dr. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, hal 133- 134
![Page 16: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/16.jpg)
Lebih jelasnya karakter yang harus dimiliki oleh nasabah,
a. Mempunyai moral yang baik seperti amanah (tanggung jawab),
mempunyai citra yang baik.
b. Propesional dalam bidang usaha yang digeluti baik dalam
manajemem administrsi dan sebagainya.
c. Citra usahanya baik, tidak pailit atau terlilit piutang.
Kedua, Memilih proyek prospektif, baik usaha ini dijalankan oleh
bank islam itu sendiri ataupun oleh nasabah peminjam.
Ketiga, sarana-sarana penunjang lain yang dibolehkan oleh syara’
yang bisa mengatasi resiko usaha yaitu sarana-sarana fanniyah (?).(1)
Keterangan:
Bank menyerahkan dana al-qhord al-hasan kepada nasabah
peminjam dan menginvestasikannya kemudian mengembalikan modal
tersebut kepada Bank dan mengembalikannya kepada nasabah penitip
1(?) Dr. Mun’im Muh. Abd. Zaid, Ad dhoman fi alfiqh al islami watathbiqotuhu fi al mashorif al islamiyah, hal 47-50
Nasabah Bank
Proyek Usaha
Keuntungan
Kembalimodal
100 %
Tenagakerja
Modal100%
PerjanjianAl-qhord al-hasan
![Page 17: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/17.jpg)
III. Kesimpulan dan penutup.
Walaupun sekedar pengulangan, ada beberapa hal penting dari
keterangan di atas penting diintisarikan, hal-hal tersebut sebagai berikut:
a. Al-qhord adalah pemberian pinjaman tanpa bunga sebagai usaha
untuk mendistribusiakna kembali setiap harta individu agar terjadi
pemerataan kekayaan diantara anggota masyarakat.
b. Pemberian al-qhord untuk keperluan konsumtif itu di anjurkan oleh
islam dan dibolehkan juga memberikan al-qhord untuk
diinvestasikan.
c. Al-qhord al-hasan adalah akad dhoman, maka setiap muqtaridh
(pemanfaat pinjaman) menjamin kembalinya pinjaman tersebut
pada waktu dan tempat yang telah disepakati, baik al-qhord
konsumtif ataupun al-qhord produktif, dan dilarang untuk
mensyaratkan imbalan dimuka betapapun kecilanya bunga tersebut
dan apapun namanya.
d. Sumber dana al-qhord al-hasan tidak hanya sekedar dari modal
pemegang saham Bank atau ZIS tetapi juga dana simpanan dari
para nasabah karena hubungan antar muwaddi’ (penitip dana)
dengan bank berubah menjadi hubungan qhord dengan
pemanfaatan dana tersebut oleh bank.
e. Penyaluran dana al-qhord al-hasan baik dilakukan oleh bank dengan
bekerja sama dengan nasabah peminjam atau dilakukan sendiri
oleh nasabah peminjam dengan tanpa bunga yang dikenakan.
f. Untuk mengantisipasi dana al-qhord al-hasan ini bank menerapkan
jaminan piutang baik berupa kafalah (jaminan dari orang lain)
ataupun rohn (jamuinan barang).
g. Untuk al-qhord al-hasan produktif, hendaknya bank lebih
mengandalkan unsur moral dan profesuionalisme nasabah, usaha
prospektif sebagai jaminan berhasil dan kembalinya pinjaman.
Wallahu a’lam
Daftar referensi,
1. Hammad, nazih Dr, ‘Aqdu al qhord fi as syari’ah al islamiyah, cet. I
1991, Dar al qolam Damaskus.
![Page 18: Piutang Tanpa Bunga](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082405/5571f25e49795947648c7dd6/html5/thumbnails/18.jpg)
2. Al-Jindi, Muhammad Syahhat Dr, Al qhordu ka adatin li at tamwil fi
asy syari;ah al islamiyah, cet I 1996, IIIT Kairo.
3. Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah ; dari Teori ke Praktik,
Cet. ___, Gema Insani Pers Jakarta.
4. Abu Zaid, Muhammad Abdul Mun’im Dr, Ad dhoman fi al fiqh al
islami wa tathbiqotiha fi al mashorif al islamiyah, cet 1996, IIIT
Kairo.
5. Majalah al-Iqtishod al-Islami, Bank Islam Dubai, Edisi 260-261
Dzulqo’dah-Dzulhijjah 1422 / Januari – Pebruari 2003.
6. Shoqr, Athiyyah Syekh, Ahsanu al kalam fi al fatawa wa al ahkam,
jilid I, cet II 1994, Dar al ghod al ‘arobi, Kairo.
7. As-Syafi’i, Husein Muhammad Fahmi Dr, Ad dalil al mufahros li
alfadzi al qur’an, cet. II 2002, Dar as salam Kairo.
8. PKEI, Produk-produk investasi Bank Islam ; Teori dan Praktek, Cet. I
Juli 2002, ICMI Orsat Kairo.