Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

17
7 TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food) ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan. Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak. Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP- ASI) (Hartoyo et al., 2000). MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin, 1992). Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi, yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal. Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997). Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan kesehatan dan pertumbuhan bayi, selain itu yang perlu diingat

Transcript of Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

Page 1: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

7

TINJAUAN PUSTAKA

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering

disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food)

ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan.

Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat

memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan

tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak.

Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-

ASI) (Hartoyo et al., 2000).

MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai

pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI

dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi

yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat

badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan

kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa

dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta

melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin,

1992).

Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya

memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi,

yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam

Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi

yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga

relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.

Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi

usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari

ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997).

Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi

bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk

mempertahankan kesehatan dan pertumbuhan bayi, selain itu yang perlu diingat

Page 2: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

8

bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik

bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap

rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba

dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum

diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul.

Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat

ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak,

tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000).

Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit

dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian

makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4

bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi

untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI

berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak

jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi

belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan

tambahan yang terlalu dini akan mengakibatkan obesitas. Sebaliknya

keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan

bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan

pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk

menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat

memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya

umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami

peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi

secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi

hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat.

Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga

memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000)

Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi

makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan

sebanyak 2-6 kali/hari, buah-buahan diberikan sebanyak 1-2 kali/hari, makanan

Page 3: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

9

lumat sebanyak 2 kali/hari, makanan lembek sebanyak 1 kali/hari dan telur

sebanyak 1 kali/ha

Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI

Sejak anak berusia 5 bulan, kebutuhannya akan berbagai zat gizi sudah

tidak dapat dipenuhi hanya dengan ASI, maka perlu diberikan makanan tambahan

sebagai pendamping ASI (Moehji, 2003). Penberian MP-ASI pertama kali kepada

bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan-lahan dibiasakan

dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah

secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran ASI dan makanan lain yang

berbentuk padat. Selama proses ini terkadang menjadi masa yang berbahaya

karena sering terjadi resiko infeksi yang lebih tinggi terutama penyakit diare. Hal

ini disebabkan karena terjadinya perubahan konsumsi ASI yang bersih dan

mengandung faktor anti-infeksi, menjadi makanan yang seringkali disiapkan,

disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. Masalah

kurang gizi lebih banyak terjadi pada masa transisi ini (Muchtadi, 1994). Hal ini

sesuai dengan pendapat Pudjiadi (2001), yang menyatakan bahwa pemberian

makanan tambahan sebelum usia 4-5 bulan akan beresiko :

1. Tingginya solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality

2. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas

3. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut

4. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan

kesehatan bayi (dilihat dari segi pandang ilmu toksikologi)

5. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna dan

pengawet yang tidak diinginkan

6. Kemungkinan pencemaran dalam menyediakan atau menyimpannya.

Jika terjadi penundaan pemberian makanan tambahan pada bayi dapat

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bayi, hal ini dikarenakan jumlah energi

dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan bayi

yang terus menerus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia bayi tersbut

(Pudjiadi, 2001).

Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan

bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan.

Page 4: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

10

Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua

tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk

anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa.

Tabel 1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita

Umur (bulan)

ASI Makanan

Lumat Halus

Makanan Lumat

Makanan Lunak

Makanan Padat

0-4 X 4-6 X X 6-9 X X 9-12 X X

12-24 X X Sumber : Depkes RI, 2000

Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan

ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan

dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak

kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai

gizi makanan.

Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada

umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara

bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan

selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1

kali sehari.

Makanan Anak Umur 12-24 bulan.

Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4-

6 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang

dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan

frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun

hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994).

Pemberian ASI juga tetap diteruskan,

dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga

diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan

Kessos RI, 2000).

Page 5: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

11

Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI

Jenis makanan pendamping-ASI yang pertama kali diberikan kepada

anak bayi cukup beragam. Jenis MP-ASI yang diberikan oleh kebanyakan ibu

sekitar 78% adalah bubur instant seperti SUN, Promina dan Milna dengan alasan

praktis cara membuatnya dan mudah diperoleh. Selain itu juga ada ibu yang

memberikan pisang mas (11.9%), bubur beras (6.8%) dan biskuit (3.4%) (Sitti,

2004). Pada Tabel 2. Diketahui bahwa sebagian besar (98.3 %) bentuk MP-ASI

yang pertama kali diberikan adalah lumat halus. Hal ini sesuai dengan anjuran

Depkes agar bayi umur 4-6 bulan mulai diperkenalkan MP-ASI berbentuk lumat

halus karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Untuk lebih jelasnya dapat

di lihat pada Tabel 2. jenis dan bentuk MP-ASI yang umumnya diberikan pada

bayi.

Tabel 2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan Jenis dan bentuk MP-ASI

yang diberikan pertama kali n % (persen)

Jenis MP-ASI Bubur tepung beras

Bubur beras Sun/Promina/Milna

Pisang mas Popeda Biskuit

2 3

44 7 1 2

3.4 5.1

74.6 11.9 1.7 3.4

Total 59 100.0 Bentuk MP-ASI

Lumat halus Cair

58 1

98.3 1.7

Total 59 100.0 Sumber : Sitti, 2004

Makanan anak baduta harus mengandung enam kelompok bahan pangan,

yaitu 1) makanan pokok, 2) kacang-kacangan, 3) bahan pangan hewani, 4)

sayuran berwarna, 5) buah-buahan dan 6) lemak dan minyak. Secara komersial,

makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biscuit yang

dapat dimakan langsung atau dapat dijadikan bubur. Beberapa merek yang

beredar di pasaran adalah SUN, Promina, Milna, Goodmil, Cerelac, dan

Page 6: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

12

sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern

dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000).

Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat

berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain :

1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x

104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif,

Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari

1.0 x 102

2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih

dari 1.0 x 10

koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup

gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas

(negatif) Clostridium botulinum.

4 koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram,

Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram

contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102

3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak

lebih dari 1.0 x 10

koloni/gram

dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple,

fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari

Clostridium botulinum.

4 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli

harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih

dari 1.0 x 102

4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak

lebih dari 1.0 x 10

koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk

yang menggunakan madu atau sirup gula.

2 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli

harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus

negatif dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang

menggunakan madu atau sirup gula.

Page 7: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

13

Selain Indonesia yang memiliki persyaratan mikrobiologi untuk produk

susu formula dan makanan bayi, ada beberapa negara yang memiliki kiteria

khusus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di negaranya.

Peraturan yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi dibuat lebih

ketat dan lebih terinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut

menggambarkan persyaratan standar mikrobiologi yang tercantum dalam sebuah

peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula

dan makanan bayi (dalam CFU).

Tabel 3. Standar Mikrobiologi Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi (dalam CFU/g).

Nama Peraturan Standar Codex standard n c m M dalam Code of Hygienic - bakteri aerob mesofilik/g 5 2 5.0 x 102 5.0 x 10Practice for Powdered - Enterobacteriaceae/10 g 10 2 0 0

3

Formulae for Infants and - E. sakazakii/10g 30 0 0 0 Young Children, - Salmonella negatif/25g 60 0 0 0 CAC/RCP 66-2008, perbaikan CAC/RCP 21-1979 (CAC 2008) Canadian standard n c m M dalam Health Products - Mikroba aerob/g 5 2 1.0 x 103 1.0 x 10and Food Branch - E. coli/g 10 1 < 1.8 1.0 x 10

4

Standards and Guidelines - Salmonella negatif/25g 20 0 0 0 For Microbiological - S. aureus/g 10 1 1.0 x 10 1.0 x 10Safety of Food (HPFB - Bacillus cereus/g 10 1 1.0 x 10

2

2 1.0 x 102008) - C. perfringens/g 10 1 1.0 x 10

4

2 1.0 x 10

3

FDA dalam 21 Current - Mikroba aerob/g ≤ 1.0 x 10Federal Rules (CFR)106- - Koliform/g ≤ 3.05 MPN

4

107 (FDA 1996) - Fekal koliform/g ≤ 3.05 MPN Salmonella negatif/25 g n=60, c=0, m=0, M=0

L. monocytogenes/g negatif S. aureus/g ≤ 3.05 MPN B. cereus/g ≤ 1.0 x 10

2

Australia-New Zealand n c m M dalam Standard 1.6.1 - B. cereus/g 5 1 1.0 x 102 1.0 x 10Microbiological Limit for - Koagulase positif 5 1 0 1.0 x 10

3

Food (FSANZ 2001) staphylococci/g - Kolifrom/g 5 2 < 3 1.0 x 102

- Salmonella negatif/25 g 5 0 0 0

- C. perfringens/g 5 2 < 1 1.0 x 10 - L. monocytogenes/25 g 5 0 0 0 - SPC* / g 5 2 1.0 x 104 1.0 x 10

5

Keterangan : n = jumlah unit sampel minimal yang harus duji dari sebuah lot makanan, c = jumlah maksimun unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m =

Page 8: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

14

konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada 2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate count (SPC) pada suhu 300

C, selama 72 jam.

Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar

(>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri

ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel.

Spora hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob

fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat

tumbuh pada suhu optimal 30-35◦

C (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri

Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari

dua dan mengeliling seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus

dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora sel B.cereus

bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial

pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa

inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan

kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan

pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker 2000).

Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal Bacillus cereus terdapat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus Parameter Nilai data Referensi

pH minimal 4.3 Reed, 1994 pH maksimal 9.3 Fluer and Ezepchuk, 1970

% maksimal NaCl 18 Pradhan et al., 1985 Suhu minimal 4◦ FDA, 1998 C

Suhu maksimal 50◦ FDA, 1998 C

Bacillus cereus (Gambar 1) mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan

suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30◦C adalah

Page 9: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

15

26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989).

Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah 0.91-

0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas

kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan

untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan

relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara

strain. Secara umum, D100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini

dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang

dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel

vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain

dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa

molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif

dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel

vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et

al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan

pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum

terjadi pada suhu 370

C (White et al., 1974).

Gambar 1. Penampakan Bacillus cereus pada media MYP

Page 10: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

16

Sifat Biokimiawi

Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim

(protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan

mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan

susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan

mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air

(Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002).

Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada

agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦

Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat

menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu,

mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk

mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan

sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005).

C, selama 48 jam akan

membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan

datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat α-

hemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan

anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal

bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya

bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999).

Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus

cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP).

Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain,

sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak

digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna

merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan

pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin,

mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus

cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk

Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa

dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji Voges Proskauer dan

Page 11: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

17

motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting

Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus spp.

Ciri-ciri Bacillus cereus

Bacillus thuringiensis

Bacillus mycoides

Bacillus anthracis

Reaksi gram + + + + Katalase + + + +

Motil +/- +/- - - Reduksi nitrat + + + +

Pengurai tirosin

+ + +/- -

Resisten lisozim

+ + + +

Reaksi terhadap

kuning telur + + + +

Uji fermentasi glukosa anaerob

+ + + +

Reaksi VP + + + + Produksi asam dari manitol

- - - -

Hemolysis (domba RBC)

+ + + -

Karakteristik sifat patogen

Produksi enterotoksi

n

Kristal endotoksin

patogen terhadap serangga

Rhizoidal growth

Patogen terhadap manusia

dan hewan

Sumber : BAM, 2001

Habitat

Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran

pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai

peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun

tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan

karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta

dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002). Genus Bacillus biasanya

Page 12: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

18

ditemukan pada beberapa jenis pangan, seperti madu, keju, rempah-rempah

(Iurlina et al., 2006), nasi yang telah dimasak (From et al., 2007), susu

pasteurisasi (Zhou et al., 2008), dan daging (Borge et al., 2001). Pangan yang

mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk

dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108

sel atau

spora per gram (Beattie et al., 1999).

Endospora

Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel

bakteri vegetatif, seperti proses pemanasan, pembekuan, pengeringan,

penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan

mati dengan temperatur di atas 70◦

Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan

yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora

tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses

germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi

Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya

kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora

Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama

permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga

memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi.

Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali

selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses

pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai

C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup

dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang

membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus

cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal,

rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi

debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan

tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang

berakibat dapat menimbulkan gejala penyakit (Naim, 2003).

Page 13: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

19

mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba,

Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997).

Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan

produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin

internal) memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat

pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang

membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih

kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara

bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk

(mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat.

Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang

berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase.

Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan

mati karena lisis (Dahl, 1999).

Germinasi Spora

Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi

lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan

kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan

ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora

menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel

dapat tumbuh (Fardiaz, 1992).

Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan

kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang

proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi

Ca2+

Perubahan struktur yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi

korteks, ekskresi Ca

dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai

terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).

2+ dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil.

Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik,

aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil

pelisisan korteks. Germinasi dapat dihambat oleh D-alanin, etanol, EDTA, NaCl

Page 14: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

20

(konsentrasi tinggi), NO2

, dan sorbat. Proses aktivasi spora diperlukan sebelum

germinasi untuk reorganisasi makromolekul di dalam spora. Aktivasi spora dapat

dilakukan dengan perlakuan panas subletal, radiasi, tekanan tinggi, kombinasi

tekanan tinggi dengan oksidator atau reduktor, pH yang ekstrim, dan sonifikasi.

Perlakuan tersebut akan meningkatkan permeabilitas struktur spora untuk

reorganisasi makromolekul. Setelah germinasi maka akan terjadi proses

outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah

germinasi dan sebelum perumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi

pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan

sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan

lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah

outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2004).

Patogenesis

Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama

enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap

saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul

sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5

menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107

sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit

perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama

fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus

halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium

perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi

berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk

mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus

enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran

sel karena adanya ion Ca2+

Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan

berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu

yang mencapai 120

(Beattie et al., 1999).

◦C selama 1 jam. Toksin ini biasanya dapat ditemukan pada

Page 15: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

21

nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105

– 108

Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi

susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.,

1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus

halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang

disebabkan oleh

sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al.,

1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat

stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic

biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah

pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media

tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan

toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus

cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin

BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide.

Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus

cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990),

mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan

L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai

komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel.

Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan

peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung

ileum kelinci (Beecher et al., 1995).

Bacillus cereus dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 16: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

22

Tabel 6. Karakteristik Penyakit Akibat

Bacillus cereus

Sindrom diare Sindrom emetik Dosis infektif 105 – 107 10 sel/g 5 – 108 sel/g Produksi toksin Di usus halus penderita Terbentuk di dalam makanan

Tipe toksin Protein Peptide siklik Masa inkubasi 8-16 jam (bisa > 24 jam) 0,5-5 jam Lama penyakit 12-24 jam (bisa beberapa hari) 6-24 jam Gejala Sakit perut, diare encer dan ada

mual Mual, muntah dan lesu

Makanan yang sering terlibat

Produk daging, sup, sayuran, susu dan produk susu, pudding/sausnya

Nasi, nasi goring, pasta, pastry, dan mie

Sumber : Granum dan Lund, 1997

Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi

Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah

dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa,

yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada

tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif

mengandung Bacillus cereus dengan kisaran sebesar 0.3-600 sel/g. Di negara

Chile, lebih dari 1.3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak

sekolah oleh School Feeding Program positif mengandung Bacillus cereus.

Makanan yang disajikan tersebut terdiri dari produk-produk kering seperti :

produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang

mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur

susu), yang pada umumnya sering terkontaminasi Bacillus cereus, produk-produk

ini dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada suhu ruang yang tinggi

untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi oleh anak-anak (Kain et al., 2002).

Bacillus cereus dinyatakan sebagai penyebab berbagai infeksi saluran

pencernaan. Hal ini terbukti secara signifikan dimana Bacillus cereus menjadi

penyebab beberapa infeksi sistemik klinis pada bayi (Hilliard et al., 2003). Rowan

dan Anderson (1997), menemukan bahwa Bacillus cereus tumbuh di 63 sampel

susu formula dari 100 sampel yang diuji, hal ini terjadi pada susu formula bayi

yang dilarutkan kemudian dibiarkan selama 4 jam pada suhu 25⁰C. Baru-baru ini

Page 17: Pewarnaan Spora Dan Fungsi Spora TIPUS

23

beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap

sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;. Ehling-

Schulz et al., 2005).

Fitting Model Pertumbuhan

DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel

97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti

oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya

seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase)

sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan

dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house

di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari

konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini

berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya

cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameter-

parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model

dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di

download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor,

yang dikembangkan oleh DMFit.