Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib

4
Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib Oleh Handi Agus H. Sebenarnya seluruh gagasan Ahmad Wahib termasuk dalam konteks pembaruan Islam, namun yang patut menjadi sebuah benang merah ialah bahwa konsep-konsep yang ditawarkan oleh Wahib berkaitan dengan liberalisasi pemahaman yang saat ini sedang menjadi trend. Pola piker Wahib yang lebih dekat dengan logika proses selalu menghendaki dinamika sekaligus relativitas pemahaman Islam. Jadi sebenarnya tidak ada pemahaman yang mapan dalam konsepnya. Gagasan liberal Wahib tertuang dalam diskusi yang di gelar di rumah Dawam Rahardjo, tercatat beberapa bulan sebelum kematiannya. Wahib mengusung empat pokok pemikirannya yang meliputi Tidak mengindentikkan Al Quran dengan Islam, al Quran adalah abstrak dan tidak konkrit, Al Quran adalah wajah Islam yang terbaik pada masanya, dan sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad. Menurut Wahib, Al Quran sama sekali tidak diidentikkan dengan Islam mengingat sisi “kondisionalitas” (parsialitas) bentuknya sebagai budaya Arab (bahasa dan tulisan Arab). Oleh karena itu, Wahib

Transcript of Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib

Page 1: Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib

Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib

Oleh Handi Agus H.

Sebenarnya seluruh gagasan Ahmad Wahib termasuk dalam konteks

pembaruan Islam, namun yang patut menjadi sebuah benang merah ialah bahwa

konsep-konsep yang ditawarkan oleh Wahib berkaitan dengan liberalisasi

pemahaman yang saat ini sedang menjadi trend. Pola piker Wahib yang lebih dekat

dengan logika proses selalu menghendaki dinamika sekaligus relativitas pemahaman

Islam. Jadi sebenarnya tidak ada pemahaman yang mapan dalam konsepnya.

Gagasan liberal Wahib tertuang dalam diskusi yang di gelar di rumah Dawam

Rahardjo, tercatat beberapa bulan sebelum kematiannya. Wahib mengusung empat

pokok pemikirannya yang meliputi Tidak mengindentikkan Al Quran dengan Islam,

al Quran adalah abstrak dan tidak konkrit, Al Quran adalah wajah Islam yang terbaik

pada masanya, dan sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad.

Menurut Wahib, Al Quran sama sekali tidak diidentikkan dengan Islam

mengingat sisi “kondisionalitas” (parsialitas) bentuknya sebagai budaya Arab

(bahasa dan tulisan Arab). Oleh karena itu, Wahib mengambil kesimpulan sementara

bahwa Al Quran itu secara lahiriah sebagai bukan Islam. Sementara gagasan kedua

Wahib memandang substansi Al Quran yang parsial (kondisional) itu berisi muatan

ajaran yang sangat abstrak (universal), melampaui bentuk kondisionalnya. Sepintas

memang terasa paradox antara gagasan pertama dengan kedua ini. Akan tetapi jika

keduanya dilihat dalam perspektif universal dan kondisionalitas, maka keduanya

sangat jelas. Sementara itu Wahib memandang bahwa Al Quran pada masa itu adalah

bentuk Islam yang terbaik. Namun itu hanya berlaku untuk konteks zamannya saja,

yaitu zaman Nabi SAW. Tentunya akan lain dengan konteks sekarang yang telah

mengalami perubahan cukup jauh. Sedangkan gagasan terakhir, Wahib mencatat

bahwa sebenarnya sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad. Gagasan ini

Page 2: Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib

dalam perspektif kondisionalitas yakni bahwa antara Al Quran dan Al Sunnah

sebenarnya dalam kontek sejarah (sirah)Muhammad. Secara tidak langsung

sebenarnya Wahib menolak konsep al Quran dan Al Hadist sebagai sumber Islam.

Dalam catatan Harian tertanggal 30 Juli 1970, Wahib malah menandaskan bahwa

sebenarnya tidak ada yan namanya Hukum Islam itu. Menurutnya, seluruh sumber

memahami Islam adalah sejarah Muhammad.

Karena pemahaman Islam yang diusungnya betul-betul murni dengan

mempergunakan common sense, maka ijtihad adalah menjadi causa formalnya.

Ijtihad kontekstual ialah memahami pesan-pesan inti dibalik teks-teks. Wahib

menggarisbawahi bahwa dalam ijtihad konstektual harus peka pada dua unsure

sekaligus, yakni teks dan konteks. Selama ini umat Islam ketika mempelajari sejarah

terlalu focus pada teksnya saja. Yang terjadi kemudian ialah usaha dengn mati-

matian menerapkan model khas Rasulullah dan para sahabatnya yang pada dasarnya

berbentuk budaya Arab. Oleh karena itu kita terjebak pada pola arabisasi bukannya

Islamisasi.

Sesuai dengan konsep awalnya bahwa ajaran Islam yang universal itu

memang harus membutuhkan konsep-konsep konkrit. Atau Islam itu “melangit” –

menurut Nurcholish Madjid dalam konsep sekularisasinya- kemudian dibutuhkan

usaha untuk melandingkannya. Dalam proses berikutnya, Islam harus diberi bentuk

karena pada dasarnya tidak berbentuk.

Gagasan Wahib yang berkaitan dengan persoalan sejarah Muhammad ialah

pada kesalahpahaman umat dalam memahaminya. Wahib melihat figure Muhammad

bukanlah sebagai seorang filosof yang dating dengan petuah-petuah abstra. Namun,

Nabi merupakan figure reformer atau pemimpin yang terlibat langsung dengan

persoalan-persoalan social sesuai dengan masanya. Oleh karena itu, dalam

pembahasan Islam berkaitan dengan Sunnah hendaknya melihat latar belakang

persoalannya (abstrak wurud).

Page 3: Peta Pemikiran Pembaharuan Islam Ahmad Wahib

Memahami sejarah, kemudian tidak melulu terpaku pada teks-teks, namun

konteksnya yang jauh lebih penting. Sebab pesan utama dalam sejarah itu terdapat

dalam pemahaman konteksnya. Dengan demikian, Wahib kemudian menggagas

dibutuhkannya “ijtihad konstekstual” yang peka pada dua unsure sekaligus, yaitu

teks-teks dan konteks. Pemahaman seperti ini jika menurut Drs. Chumaidi Syarif

Romas, M. Si. Sebenarnya identik dengan metode hermeneutic. Hanya saja saat itu

wacana hermeneutic belum muncul seperti sekarnag ini.

* Mahasiswa aktif Jurusan Pendidikan Teknik Elektro FPTK UPI. Aktif di organisasi

kemahasiswaan, antara lain HME FPTK UPI, HMI PTK UPI, dan ESTETIKA UPI.

Diselesaikan pada tanggal 10 Juli 2012, berdasarkan buku Pembaharuan Pemikiran

Islam karangan Mu’arif diterbitkan Pondok Edukasi Bantul pada Tahun 2005