PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH …DIYAH-FITK.pdfTimbulnya pembaharuan pendidikan...
Transcript of PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH …DIYAH-FITK.pdfTimbulnya pembaharuan pendidikan...
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
OLEH K.H. ABDURRAHMAN WAHID
Skripsi ini Diajukan
Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Sa’diyah
NIM 106011000169
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
LEMBAR PENGESAIIAN SMANG MUNAQASAII
Skripsi Berjudul Pembaharuan Pendidikan Islam di lndonesia oleh KH. Abdurrahman Wahiddiajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tanggal 25 September 2013 di hadapan
dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana SI (SPd,i) dalam bidangkependidikan Agama Islam.
Jakarta, 03 Oktober 2013
Panitia Ujian Munaqasah,
Ketua Panitia (Ketua Jurusan)
Bahrissalim M.Ae
NrP. 19680307 1 99803 t 002
Sekertaris (Sekertaris Jurusan)
Drs.Sapiudin Shidik.M.Ae
NrP. l 9670328200003 l 00 I
Penguji I
Drs.Il.Achmad Gholib. MA
NIP. 1 954 1 0 | st97 902t001
Penguji II
Muhammad Zuhdi. M.Ed. Ph. D
I\rIP. 1 97201 04t997 03 1002
Tanggal
t/tot"tt
{* ^ L^'
'|)
,r1 Jdt)Ito
"/,o /zo rs
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Tanda Tangan
19520520 198 103 1001
LEI\{BAR PENGESAHAN PEN{BII\,IBIN G SKRIPS I
Skripsi berjudul "Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indoncsia Oleh K.I{. Abdurrakhman
Wahid", di susun oleh Sa'diyah, Nomor Induk Mahasisria 106011000169, Jurrrsan Pendidikan
Agama Islam. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak
untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas iftnu
tarbiyah dan keguruan, uin syarif hidayatullah, jakarla.
Jakarta, 23 Mei 2013
Yang Mengesahkan,
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBIMBING SKRIPSI
PEMBAI{ARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
OLEH K]AI HAII ABDURRAKHMAN WAHID
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan mencaoai gelar sarjana
Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I) pada Jurusan Pendidikan Agarna Islam
Fakultas Ilrnu Tarbiyah dan Keguruan
OIeh:
Sa'divah
NIM:106011000169
JT]RUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBTYAII DAI\ KEGURUAI\
T]NIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIT' HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012iM
NIP : I 9580918.198701.2.001
KEMENTERIAN AGAMAUIN JAKARTAFITKJl. lr. H. Juada No 95 Aputat 15412 lndoresia
FoRM (FR)
FITK-FR.AKDO63Tgl. Terbit : 1 Maret 2O10
No. Revisi:
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di
Nama
NIM
Tempat, Tgl.Lahir
Judul Skripsi
Dosen Pembimbing
10601 1000169
Indramayu,2l Juli 1987
Pembaharuan Pendidikan Islam di lndonesia Oleh
K.H.Abdunahman Wahid
Dra.Hj.Dj unaedatuI Munawarah
bawah ini,
:Sa'diyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqosah
Jakarta,23 Mei 2013
NIM.1060i 1000169
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Gagasan K.H. Abdurrahman Wahid dalam
Pembaharuan Pendidikan Islam”, ditulis oleh Sa’diyah (106011000169)
dibawah bimbingan Dra. Djunaedatul Munawaroh. Skripsi ini
mendeskripsikan mengenai pembaharuan yang dilakukan Gus Dur dalam
rangka memajukan pendidikan Islam di Indonesia khususnya dipesantren.
Peranan pendidikan merupakan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan. Namun pada perkembangannya, lembaga yang ditawarkan yaitu
lembaga modern yang tidak menggabungkan pendidikan keagamaan dengan
pendidikan formal. Seiring perjalanannya pun pendidikan Islam mulai merambah
pada pendidikan modern. Hal ini terlihat dengan banyak lembaga pendidikan
pesantren dan pendidikan umum lainnya.
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan
karena memiliki kekhasan sendiri, namun juga karena kaya akan konsep yang
tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Maka dari itu,
pada abad 20 terdapat pembaharuan pada bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari
banyaknya lembaga pendidikan yang menyatukan antara kurikulum modern
dengan kurikulum pendidikan Islam.
Timbulnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia dilatar belakangi
oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam, seperti
Mesir dan Turki. Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan oleh pemimpin
modernisasi di Timur Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin Islam di
Indonesia untuk melakukan perubahan, dalam bentuk kebangkitan agama,
perubahan dan pencerahan, termasuk pada bidang pendidikan.
Pemikiran ini juga dilakukan oleh Gus Dur untuk merubah pola
pendidikan yang ada di Indonesia. Pembaharuan pendidikan yang dilakukan Gus
Dur sama seperti pemikiran Muhammad Abduh, yaitu kewajiban belajar tidak
hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa arab yang berisikan dogma ilmu
kalam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains
modern, serta menumbuhkan semangat intelektualisme Islam yang padam dan
diharapkan dapat dihidupkan kembali. Oleh karena itu, Gus Dur sangat
mengharapkan pesantren yang ada di Indonesia bisa memadukan antara
pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Gus Dur juga menginginnkan, agar pesantren tidak hanya berperan sebagai
lembaga pendidikan keagamaan dalam arti yang selama ini berjalan, melainkan
juga sebagai lembaga yang mampu memberikan sumbangan yang berarti serta
membangun sistem nilai dan kerangka moral pada individu dan masyarakat, juga
sistem pesantren dapat menjawab tantangan zaman.
Kata kunci : Pendidikan Islam
ABSTRACTION
Thesis with the title "idea K.H. Abdurrahman Wahid in the renewal of Islamic
education", written by Sa'diyah (106,011,000,169) under the guidance of Dra. Djunaedatul
Munawaroh. This thesis describes the updates done on Wahid in order to promote Islamic
education in Indonesia particularly dipesantren.
The role of education is a very important role in my life. However, in the process, the
Agency offered a modern institution that is not religious education combines with formal
education. Along her journey any Islamic education began venturing on a modern education. It is
seen by many institutions and other general education boarding school.
Islamic education always becomes an interesting study not because it has its own
peculiarities, but also because it is rich in concepts that are not inferior quality compared to
modern education. Thus, in the twentieth century there were updates on education. This can be
seen from the large number of institutions bringing together between the modern curriculum with
Islamic education curriculum.
The onset of the renewal of Islamic education in Indonesia with their renewing Islamic
thought arising handy of the Islamic world, such as Egypt and Turkey. Thoughts evoked by the
leader of the modernization in the Middle East was later influenced leaders of Islam in Indonesia
to make changes, in the form of a religious awakening, enlightenment and change, including in
the field of education.
This thinking is also signed by Wahid to revamp the existing pattern of education in
Indonesia. The renewal of education conducted the same as Gus Dur Muhammad Abduh's
thinking, namely the obligation of learning not only study the books containing the Arabic
classic the dogma of science of kalam. However, the obligation of learning also lies in the study
of modern science, as well as fostering the spirit of Islamic intelektualisme outages and expected
to be revived. Therefore, Wahid was keen to boarding school that existed in Indonesia could be
combining public education and Islamic education.
Wahid also menginginnkan boarding school, so that not only plays the role of religious
institutions in the sense that during this run, but also as an institution capable of providing a
meaningful contribution as well as building a system of values and moral framework on
individuals and society, as well as boarding system can respond to the challenges of the times.
Keywords : Islamic education
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil ’alamin, atas segala puji dan syukur penulis persembahkan kepada
Allah SWT, Karena atas rakhmat dan hidayah-Nya, serta kekuatan lahir dan batin, sehingga
dengan segala kemurahan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat
dan salam penulis panjatkan kepada Rasulullah saw.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, namun berkat bantuan dan motivasi yang tidak ternilai dari berbagai pihak,
maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah
membantu serta memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua jurusan pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Sekertaris jurusan pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Abdul Ghofur, Dosen Penasehat Akademik.
5. Dra. Djunaedatul Munawarrah, dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen serta staf pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan
keguruan yang telah mendidik dan memberikan banyak bekal berupa ilmu kepada
penulis.
7. Bapak pimpinan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf yang telah
memberikan kemudahan dalam penggunaan sarana perpustakaan.
8. Ibu Nuriyah Wahid, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan tempat untuk
memberikan keterangan mengenai pemikiran gus dur yang bersangkutan dengan bahan
skripsi penulis, syukro kastir.
9. Ma dan bapa, terimakasih atas motivasinya baik berupa materi maupun non materi, buat
kaka qu yang cantik Nurhikmah makasih banyak atas saran dan nasihat yang kamu
berikan kepada adikmu ini, buat adik-adik qu Abdul Mukhyi Tardo dan Nurul
Kholifatussalam yang ganteng, harapan dan keinginan kalian akhirnya tercapai juga.
10. Buat keluarga besar ARKADIA dan eL-Na’ma, penulis ucapkan terimakasih banyak atas
bantuan kalian, tanpa kalian hidup penulis pasti tidak seperti ini.
11. Buat sahabat-sahabat aku, Fuzi, Ephee, Ponyam, Meyta dan Rukoyah chan, penulis
sangat berterimakasih kepada kalian yang telah memberikan sport tanpa henti-hentinya,
samapai akhirnya sidang juga, terimakasih banyak.
12. Bang Zong, penulis ucapkan terimakasih banyak, karena rela dan mau meluangkan
waktu, tenagadan pikiran untuk mencari bahan skripsi penulis, samapai penulisan skripsi
ii
ini selesai. Walaupun penulis tahu ucapan terimakasih ini tidak bisa mewakili atas apa
yang bang zong berikan ke penulis, terimakasih banyak.
13. Buat bangir dan jimbet makasih ya sudah bersedia membantu penulis dalam proses
menuju siding munaqasah, syukron.
14. Kepada semua pihak yang telah membantu penulkis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang penulis tidak bisa sebutkan namanya satu persatu.
Hanya harapan dan do’a, semoga dan mudah-mudahan Allah SWT memberikan balasan
yang lebih baik kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis dalam
penulisan skripsi ini, amiin.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis dan
umumnya bagi masyarakat.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ........................................................................................... 4
D. Perumusan Masalah ............................................................................................ 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
F. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gagasan dan Pembaharuan ............................................................... 10
B. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia pada
abad 20 ................................................................................................................ 12
C. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia ............................................................ 15
1. Pendidikan Tradisional ................................................................................... 15
2. Dinamika Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam ............................. 21
D. Faktor Pendorong Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Abad 20 ............................................................................................................... 30
E. Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Indonesia ......................................... 32
BAB III BIOGRAFI K.H. ABDURRAKHMAN WAHID
A. Latar Belakang Keluarga .................................................................................. 36
B. Pendidikan K.H. Abdurrakhman Wahid .......................................................... 38
C. Aktivitas K.H. Abdurrakhman Wahid dalam .................................................. 40
iv
1. Organisasi .................................................................................................... 40
2. Masyarakat .................................................................................................. 51
3. Budaya ......................................................................................................... 52
4. Politik .......................................................................................................... 54
BAB IV PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH
K.H.ABDURRAHMAN WAHID
A. Gagasan K.H. Abdurrahman Wahid tentang Pesantren .................................. 64
1. Gagasan Pembaharuan Kurikulum Pesantren…………………………… 66
2.Gagasan Pembaharuan Kepemimpinan Pesantren………………………. 72
3.Gagasan Pembaharuan Institusi Pendidikan Pesantren………………….. 76
4.Gerakan Pembaharuan di Ciganjur……………………………………… .. 80
B. Kebijakan K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam .................... 84
1. Semasa Menjabat Sebagai Ketua PBNU (1989-1994) .................................. 84
2. Sewaktu menjabat sebagai Presiden (1999-2000)……… ............................. 87
3. Menyeimbangkan Lembaga Pendidikan Islam dan Umum…………........... 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 95
B. Kritik dan Saran ............................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan hanya
karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep yang
tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern.1 Pada abad 20
pembaharuan pendidikan di Indonesia, dengan ditandai munculnya lembaga
pendidikan madrasi, masuknya bidang kajian non agama dalam kurikulum
pesantren, adanya pembelajaran yang terprogram dengan mengintegrasikan ilmu
pengetahuan agama. Bahkan pada waktu itu berdiri lembaga pendidikan Islam yang
kurikulumnya lebih menyerupai sekolah.
Pada abad itu juga lahirlah tokoh pemikir dan pembaharu pendidikan Islam,
khususnya di bidang pendidikan di Jawa seperti: K.H.Hasyim Asy’ari, K.H.Ahmad
Dahlan. Di Sumatra seperti: Abdullah Ahmad, zainuddin labia, rahmah el-yunsiah
1 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos, 1997), h.183
2
Ide-idenya yang cerdas dan kreatif menjadi inspirasi dan kontribusi yang besar
bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu peran tokoh pembaharuan
tersebut sebagai kelompok terpelajar adalah membawa pencerahan kepada
masyarakat sekitarnya.
Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka baik dalam bentuk
sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga yang ikut
mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan.
Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat
karya yang telah di tulis atau melalui jalur dakwah.2
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur adalah salah seorang
pemikir pembaharuan pada generasi sekarang, dan merupakan mata rantai pada
generasi sebelumnya. Sebagai pemikir dan pembaharuan Islam. Gus Dur memiliki
banyak gagasan,tidak hanya dalam pendidikan Islam,tapi juga dalam bidang lain
seperti:budaya dan sastra, sosial dan budaya. Secara khusus di bidang pendidikan,
gagasannya antara lain mengenai pembaharuan institusi pesantren, pembaharuan
kurikulum dan kepemimpinan pesantren.
Gagasan Gus Dur memberi pengaruh besar pada masyarakat muslim Indonesia,
dan khususnya pada komunitas muslim tradisional. Melihat peranan Gus Dur yang
begitu besar dalam pembaharuan pendidikan Islam, maka pemikirannya patut untuk
dikaji. Telah banyak orang yang membahas pemikirannya, antara lain: Abdul Munir
Mulkhan, Perjalanan Politik Gus Dur, (Jakarta:pt Kompas Media Nusantara, 2010), Moh.
Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur, (Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada, 2010), H.
Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang:Zahra book, 2009).
Pemikiranya tentang pendidikan, terselip pada tulisan-tulisan tersebut, dan sebagian
menjadi bagian dari bunga rampai, sebagian menjadi jurnal.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling sedikit
mendapatkan perhatian di negara ini dan dengan demikian paling sedikit diselidiki
dan diteliti. Dalam sejarahnya yang panjang, pesantren baru diselidiki oleh
2 Hanun Asrohah, sejarah pendidikan Islam, (Jakarta:Logos, 1997), h.183
3
beberapa tahun terakhir ini. Baru dalam lima tahun terakhir ini dilakukan penelitian
kolektif yang bersifat komperensif atas lembaga pendidikan yang mayoritasnya
berada di pedesaan.3
Gagasannya mengenai pendidikan yang menjadi perhatian utamanya adalah
institusi pesantren.
Memperhatikan pengaruh bidang pendidikan Gus Dur yang begitu besar dalam
masyarakat muslim Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran
pendidikannya yang terselip dalam berbagai sumber yang ada dalam sebuah skripsi
yang berjudul PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
OLEH K.H.ABDURRAHMAN WAHID.
Pemikiran Gus Dur ini, tidak terlepas dari kontek sejarah dan sosial budaya
pada masa hidupnya. Oleh karena, terdapat berbagai macam sumber yang
mendorong timbulnya gagasan pemabaharuan pendidikan sehingga mewarnai
pemikirannya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka diidentifikasi masalah
yaitu
1. Peran serta Gus Dur sebagai tokoh pemikir besar di Indonesia pada paroh abad
kedua abad 20 dibidang pendidikan.
2. Gagasan Gus Dur dalam bidang pendidikan umat Islam.
3. Pembaharuan Gus Dur dalam institusi pesantren.
4. Kebijakan Gus Dur dalam bidang pendidikan Islam.
5. Faktor pengaruh gagasan pembaharuan Gus Dur dibidang pendidikan.
3 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi,(Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010), h.99
4
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi di atas maka penulis merasa perlu untuk membatasi
pembahasan pada dua permasalahan yaitu
a. Pembaharuan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah upaya untuk melakukan
perubahan dalam pendidikan Islam kearah yang lebih berkualitas sesuai dengan
tuntunan zaman dengan tetap berpedoman pada asas-asas ke Islaman,
pembaharuan Gus Dur yang dikaji dalam skripsi ini: gagasan, gerakan, kebijakan.
Gerakan pembaharuan pendidikan disini adalah memodernisasikan sistem yang
ada di pesantren.
b.Gagasan pembaharuan pendidikan yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan
dan kurikulum pendidikan dalam pesantren.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari pembaharuan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gagasan Gus Dur tentang pembaharuan di pesantren?
2. Gerakan pembaharuan seperti apa yang dilakukan Gus Dur pada institusi
pesantren?
3. Kebijakan politik seperti apa yang ditetapkan Gus Dur dalam pendidikan selama
menjabat menjadi presiden?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah:
5
1. Memberikan wacana dalam rangka mengembangkan pembaharuan pendidikan
Islam.
2. Menyumbangkan wacana tentang pentingnya meningkatkan pendidikan Islam.
b. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
Penulis berharap skripsi ini dapat berguna untuk memberikan informasi bagi
siapa saja yang ingin mengetahui tentang gagasan Gus Dur dalam pendidikan Islam.
Sebagai sumbangsih terhadap pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang
pemikiran dari sosok tokoh pembaharuan pendidikan Islam di atas.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi inisiatif sebagai kajian awal yang
mendeskripsikan. Pemikiran pendidikan Gus Dur, skripsi ini diharapkan dapat
dijadikan pembukaan wacana untuk ditindak lanjuti oleh pengkaji yang lain, untuk
lebih mendalam lagi.
F. Metodologi Penelitian
1. Objek Penelitian
Dalam skripsi ini, objek penelitian difokuskan pada studi tokoh tentang
gagasan Gus Dur dalam pembaharuan pendidikan Islam.
2. Disain dan Metode
Dalam menggarap skripsi ini, jenis data yang digunakan adalah data
kualitatif dimana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Data
tersebut terbagi kepada dua.
3. Sumber data:
a. Data primer yaitu, diperoleh dari karya Gus Dur sendiri seperti,
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam anda Islam kita, Jakarta:The Wahid
Instute, 2006,
K.H. Abdurrakhman Wahid, Tabayun Gus Dur, Yogyakarta:LKIS
Yogyakarta, 2010
6
. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta,
2010
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Jakarta:The Wahid Institute, 2007
b. Data sekunder yaitu, diperoleh dari buku-buku yang menulis tentang Gus Dur,
seperti,
H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, Jombang:Zahra
book, 2009,
K.H. Zainal arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, Yogyakarta:Kutub, 2010
4.Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data akurat dalam penulisan ini, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data:
Studi dokumentasi
Menginventaris hasil pemikiran K.H.Abdurrahman Wahid yang tertuang
dalam karya pemikirannya maupun dalam literatur lain yang berkaitan dengan
masalah pendidikan.
5.Prosedur Pengolahan Data
Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya dilakukan
pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Langkah-langkah pengolahan data
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data
Data yang terkumpul diperiksa kembali apakah masih terdapat
kekurangan atau tidak cocok dengan masalah penelitian.
b. Klasifikasi Data
7
Klasifikasi data dilakukan dengan cara mengelompokan data sesuai
dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa.
c. Penyusunan Data
Penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan
data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan
pembahasan.
6. Prosedur Analisa Data
Teknik analisisnya menggunakan content Analisys yaitu menarik
kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara
objektif dan sistematis.
Seluruh data akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif dengan
melalui proses:
I. Reduksi Data
Data yang diperoleh melalui kajian pustaka ditulis dalam bentuk uraian
atau laporan terperinci. Laporan yang disusun kemudian direduksi, dirangkum,
dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicairkan
temannya.
II. Display Data
Data yang telah di peroleh diklasifikasikan menurut pokok permasalahan
dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat
hubungan suatu data dengan data yang lainnya.
III. Mengambil Kesimpulan atau Verifikasi
8
Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses
melalui reduksi dan display data.4
4 S. Nasutioan, Metodologi Penelitian Naturalistik Kulaitatif, (Bandung:Tarsito, 1988), H.192-130
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gagasan dan Pembaharuan
Pengertian gagasan dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah rancangan
yang tersusun dipikiran, dan orang lain tau akan rancangan tersebut. Semua itu
artinya sama dengan cita-cita.1
Adapun pembaharuan menurut Harun Nasution adalah proses atau upaya
memaknai ajaran Islam secara benar agar sesuai dengan perkembangan masa.2
Sedangkan pengertian pembaharuan dalam perspektif Islam adalah usaha
untuk memperbaiki kembali ajaran Islam agar tetap solid dan responsive terhadap
perkembangan zaman. Pengertian pembaharuan pendidikan Islam sendiri adalah
usaha untuk memperbaiki sistem pendidikan Islam dalam segala aspek.3
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Ra’d:11
1 Kamus Besar bahasa Indonesia, h.21 2 Harun Nasution, Islam Rasional:Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:Mizan, 1996), h.21 3 Dr. Armai Arief. M.A, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagn Lembaga Pendidikan Islam Klasik,
(Bandung:Angkasa, 2005), h. 216
10
ير إن الله لا يغ له هعقبات هن بين يديه وهن خلفه يحفظىنه هن أهر الله
وها لهن وإذا أراد الله بقىم سىءا فلا هرد له يغيروا ها بأنفسهن ها بقىم حتى
﴾١١﴿هن دونه هن وال
“Sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Dalam pengertian sejarah, pembaharuan pendidikan Islam itu berkembang
seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Melihat tantangan yang demikian besar,
tampaknya sulit bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam modern untuk mampu
menggali dan mengembangkan potensi umat dalam menghadapi permasalahan yang
sangat kompleks.4
Dari pengertian di atas, sudah sangat jelas bahwa pembaharuan adalah usaha
untuk memperbaiki sistem yang lama dan mengambil sistem baru yang baik agar
sesuai dengan perkembangan zaman, dan dapat menerima tantangan zaman dengan
cara menyiapkan para alumni pendidikan Islam khususnya pesantren sesuai dengan
kebutuhan lapangan kerja.
B. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam pada abad 20 di Indonesia
Timbulnya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia baik dalam bidang
agama, sosial, dan pendidikan diawali dan dilatarbelakangi oleh pembaharuan
pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama oleh
pembaharuan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki.
Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibu kota dengan universitas al-Azhar
yang didirikan pada abad kesepuluh, merupakan pusat peradaban Islam pada masa
lampau. Abad 19-20 mulai bermunculan tokoh-tokoh Islam diantaranya: Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Akhmad Khan. Pembaharuan
4 H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan kembali Pendidikan Islam, (Jakarta:Karsa Utama Mandiri, 1998),
h.40-45
11
pendidikan yang dilakukan Muhammad Abduh di Mesir yaitu kewajiban belajar itu
tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu
kalam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains modern,
serta menumbuhkan semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat
dihidupkan kembali.5 Pemikiran Muhammad Abduh itu sama dengan pemikiran gus
dur mengenai pendidikan, yaitu memadukan antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum.
Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga negara besar di dunia Islam pada
abad kedelapan belas, ketika Eropa, Inggris dan Prancis belum muncul sebagai negara
yang berpengaruh dalam politik Internasional. Pemikir dan pembaharuan di
pendidikan.
“Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan pemimpin modernisasi di Timur
Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin Islam di Indonesia dan timbul pula di
kalangan pemimpin Islam di Indonesia untuk melakukan usaha-usaha modernisasi
yang dimulai pada permulaan abad kedua puluh.”6
Latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia pada abad 20,
dipengaruhi oleh:
1) Pembaharuan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh
para tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama bermukim
di luar Negeri seperti: Madinah, Mekkah dan Kairo. Ide-ide yang mereka peroleh
di perantauan itu menjadi wacana pembaharuan setelah mereka kembali ke tanah
air.
2) Faktor yang bersumber dari kondisi tanah air juga banyak mempengaruhi
pembaharuan pendidikan Islam. Kondisi tanah air di Indonesia pada awal abad ke-
20 adalah dikuasai oleh kaum penjajah Barat. Dalam bidang pendidikan,
pemerintah kolonial Barat melakukan kebijakan pendidikan diskriminatif,
sementara di kalangan umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren dan
5 Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), h.246 6 Harun Nasution, Islam Rasional :Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:Mizan, 1996), h.151-185
12
surau. Melihat kondisi yang demikian itu, maka sebagian tokoh umat Islam
berupaya untuk melaksanakan pembaharuan dalam bidang pendidikan.7
Pada permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami
beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan dan
pencerahan. Gerakan pembaharuan tidak akan berjalan bila tidak diikuti perubahan di
bidang pendidikan, maka perubahan dalam Islam harus berjalan seiring dengan
pembaharuan pendidikan. Eksploitasi dan intervensi Barat lama kelamaan
menggugah, menginsafkan dan menyadarkan akan terbelakangnya umat Islam.
Mereka sadar bahwa kuatnya kontrol Barat terhadap mereka adalah karena kemajuan
modern yang dimiliki oleh Barat. Keinginan untuk melawan Barat haruslah didahului
dengan mengadakan perubahan dalam diri umat Islam yaitu dengan cara melakukan
pembaharuan dalam pendidikan Islam.8
Berkenaan dengan alternatif dari lembaga pendidikan yang lebih merakyat serta
bersifat egalitarian adalah lembaga pendidikan di pesantren, surau, dayah dsb, maka
lembaga-lembaga pendidikan itu adalah merupakan pilihan yang memungkinkan bagi
masyarakat Indonesia, karena masyarakat Indonesia waktu itu banyak memasukan
anak-anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut.9
Sebagaimana dijelaskan di atas, pada abad ke 20, masyarakat Islam di Indonesia,
telah melakukan kebangkitan yaitu dengan cara melakukan perubahan dalam
pendidikan. Perubahan ini dimaksudkan untuk melawan Barat, karena pada abad 20
bangsa Barat melakukan penjajahan kepada negara Islam itu dengan teknologi.
Sehingga mau tidak mau, negara Islam khususnya Indonesia, harus melakukan
perubahan dalam pendidikan Islam khususnya di pesantren.
C. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
1. Pendidikan Tradisional
7 Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Pemabaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007), h.21 8 Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), h.280 9 Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Pemabaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007), h.30-31
13
Pendidikan merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini
menjadi bangsa yang bermartabat.10
“Sistem pendidikan tradisional adalah banyak
diberikannya pengajaran diluar kurikulum formalnya, pengajaran tambahan yang
senantiasa berubah-ubah formatnya dari tahun ke tahun. Pemberian pengajaran
dalam pendidikan tradisional lebih menekankan pada penangkapan harfiah atas
suatu kitab tertentu.”11
Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Ada
beberapa lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia, yaitu
a. Masjid dan Langgar
Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya
juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan
wetonan. Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna sendiri. Menurut
Gus Dur, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas
dari hawa nafsu, masjid berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah
mengikuti model wayang, ditengah-tengah ada gunungan.12
Selain dari fungsi utama, masjid dan langgar difungsikan juga untuk
tempat pendidikan. Di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa
maupun anak-anak. Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah
penyampaian ajaran oleh mubaligh kepada para jamaah dalam bidang yang
berkenaan dengan akidah, ibadah dan akhlak.
Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anak-anak berpusat pada
pengajian al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membacanya
dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan. Selain dari itu, anak-anak
juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan akhlak. Masjid merupakan modal
dasar dan utama tempat mendidik dan melatih para santri mengamalkan tata
cara ibadah, pengajaran kitab, terutama yang kental dengan aroma Islamnya
dan menjadi pusat kegiatan kemasyarakatan.13
10 Dr.Hasbi Indra, MA, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta:Ridamulia, 2005), h.187 11 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi,…………..., h.71-75 12 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.21 13 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.89
14
Pada mulanya di masjid inilah yang banyak dijadikan sebagai tempat
belajar membeca al-Qur’an dan belajar agama, tetapi lama kelamaan masjid
tidak cukup luas untuk belajar anak, sehingga dibuatlah suatu tempat untuk
belajar agama. Belajar agama ke kyai yang tersohor telah mengundang mereka
yang tinggal letaknya jauh dari seorang kyai, maka dalam jangka waktu
tertentu. Dengan demikia tampaknya pendidikan agama mengalami dinamika
dari masjid, ke tempat khusus untuk belajar agama yang kemudian disebut
dengan pesantren.14
b. Pesantren
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di jawa, sebelum datangnya agama
Islam telah ada lembaga pendidikan jawa kuno yang praktik kependidikannya
sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan jawa kuno itu bernama
pawiyatan. Di lembaga tersebut tingggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar
orang yang mengajar dan cantrik orang yang diajar. Dengan menganalogikan
pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren. Sebetulnya tidak terlalu sulit untuk
menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal perkembangan Islam
di Indonesia khususnya di Jawa. Dengan masuknya Islam, maka sekaligus
diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan
dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan, sistem nilai yang
digunakan dikalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam.
Kalangan pesantren sendiri, menamakan sistem nilai yang dipakainya dengan
ungkapan ahl-u’l-sunnah wal-Jama’ah15
. “Pesantren sendiri dikenal sebagai
basis pendidikan tradisional yang mampu bertahan lama di Nusantara.”16
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan
dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi,
menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Karena itu
hingga saat sekarang pesantren tersebut secara garis besar dibagi dua,
pesantren salafi dan pesantren khalafi.
14 Dr.Hasbi Indra, MA, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, (Jakarta:Ridamulia, 2005), h.191 15 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.31 16 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.37
15
c. Meunasah
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat
belajar atau sekolah. Bagi masyarakat Aceh meunasah tidak hanya semata-
mata tempat belajar, bagi mereka meunasah memiliki multi fungsi. Meunasah
di samping tempat belajar, juga berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat
pertemuan, musayawarah, pusat informasi, tempat tidur dan menginap bagi
musafir. Ditinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan
awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkat sekolah dasar.
Karena, di meunasah para murid diajari menulis, membaca huruf Arab, ilmu
agama dalam bahasa jawa (melayu), akhlak.17
d. Rangkang
Rangkang adalah tempat tinggal murid, yang dibangun disekitar masjid.
Masjid berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan umat, termasuk didalamnya
kegiatan pendidikan. Karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu
dibangun tempat tinggal mereka disekitar masjid, tempat tinggal murid
disekitar masjid inilah yang disebut dengan rangkang. Pendidikan di rangkang
terpusat kepada pendidikan agama, disini telah diajarkan kitab-kitab yang
berbahasa Arab, tingkat pendidikan ini jika dibandingkan dengan sekolah saat
sekarang setingkat dengan sekolah lanjutan pertama.
Sistem pendidikan dirangkang ini sama dengan sistem pendidikan
dipesantren, murid-murid duduk berbentuk lingkaran dan si guru menerangkan
pelajaran, berbentuk halakah, metode yang disampaikan di dunia pesantren
disebut namanya dengan sorogan dan wetanon.
e. Dayah
Dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah yang artinya. Dengan
demikian, kata dayah yang berasal dari kata zawiyah di samping memiliki
hubungan kebangsaan yakni berubahnya kata zawiyah menjadi dayah menurut
17 Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), h.284-288
16
dialek Aceh, juga memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama merujuk
kepada tempat pendidikan.
f. Surau
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, surau diartikan tempat umat Islam
melakukan ibadahnya. Pengertian ini apabila dirinci mempunyai arti bahwa
surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar
mengaji anak-anak, tempat wirid bagi orang dewasa. Sistem pendidikan
disurau banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan dipesantren. Murid
tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat, syekh atau guru mengajar
dengan metode bandongan dan sorogan, ada juga murid yang berpindah ke
surau lain apabila dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di surau
terdahulu. Inti dari pelajaran adalah ilmu-ilmu agama, yang pada tingkat
tertentu mendasarkannya kepada pengajian kitab klasik.18
“Pesantren telah mengalami perubahan dan pengembangan format yang
bermacam-macam mulai dari surau atau masjid hingga pesantren yang makin
lengkap. Cikal bakal pesantren berasal dari pengajian di langgar atau surau.
Peralihan dari langgar dan masjid lalu berkembang menjadi pondok pesantren
ternyata membawa perubahan materi pengajaran.”19
Sebagai budaya pendidikan sekolah nasional, pondok pesantren mempunyai
kultur yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam
subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Gus dur berpendapat bahwa
pesantren sebagai sebuah subkultur karena memiliki keunikan dan perbedaan cara
hidup dari umumnya masyarkat Indonesia,20
sehingga menurut Gus Dur ada tiga
elemen yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah subkultur, yaitu
pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara,
18Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007), h.19-28 19 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.86-87 20 Amin Haedari, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta:Maloho Jaya abadi, 2009), h.15
17
kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad, sistem nilai
yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.21
Oleh karena itu, Gus Dur mengajukan gagasan tentang perlunya membangun
komitmen untuk mencari jalan tengah, yaitu mengimbangi agama dan tuntutan yang
muncul akibat terjadinya modernisasi dan kemajuan zaman.22
Yang dimaksud mengimbangi agama dan tuntutan disini yaitu memadukan
antara pelajaran agama dan umum, mendirikan madrasah dan sekolah umum di dalam
pesantren, sehingga dapat menyeimbangkan diri dengan kemajuan zaman.
2. Dinamika Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan yang
menganut sistem terbuka sehingga amat fleksibel dalam mengakomodasi harapan-
harapan masyarakat dengan cara yang khas dan unik. Dengan sistem yang terbuka
pesantren memiliki peluang besar untuk menerima dan melakukan gagasan
pembaharuan. Oleh karena itu, dalam perubahan pesantren berusaha mencapai prestasi
baru yang lebih baik, namun sama sekali tidak boleh merusak nilai inti yang dianut.
Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang
menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri
yang bersifat permanen. Dengan karakter seperti itu, profile lembaga ini sebetulnya
selalu berubah sejak dulu sampai sekarang, baik dari sudut perubahan kepemimpinan,
sistem pendidikan, kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya.
Kesaksian Azyumardi Azra, membuktikan secara fisik pesantren mengalami kemajuan
yang cukup fenomenal. Fenomena ini menunjukan bahwa dalam kalangan pesantren
sekarang ini mulai ada kepedulian terhadap kemegahan dan kualitas bangunan.
Agaknya ada pergeseran pandangan yang cukup signifikan di pesantren terhadap
kelayakan sarana dan prasarana belajar para santri.23
“Sistem pesantren sendiri merupakan sesuatu yang bersifat asli Indonesia dan
penilaian ini menempatkan dunia pesantren pada deretan daftar perbendaharaan
21Said Aqiel Siradj, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung:Pustaka Hidayah,
1999), h.13-14 22 Prof.Dr. H.Abuddin Nata, M.A, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2005), h.350 23 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren dari Transformasi ………………………h.25-190
18
nasional, dan menumbuhkan pengakuan akan peranannya dalam pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan nasional.”24
“Otonomi yang tinggi dalam lembaga pesantren sebenarnya dapat dijadikan
modal utama satuan pendidikan agama tersebut dalam memasuki era kompetisi global
dalam pendidikan.”25
“Belakangan ini, seiring dengan gencarnya program
pemberdayaan pesantren, baik yang diprakarsai Pemerintah maupun LSM, lambat laun
asumsi itu semakin kabur.”26
Mempertimbangkan proses perubahan yang terjadi di pesantren, tampak bahwa
hingga dewasa ini lembaga tersebut telah memberi kontribusi penting dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Keberadaan pesantren sebagai lembaga
pendidikan, baik yang masih mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya
maupun yang sudah mengalami perubahan, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Walaupun pesantren mengalami perubahan, namun pesantren tetap memiliki
fungsi sebagai:
a. Lembaga pendidikan yang mentransfer ilmu agama dan nilai-nilai Islam.
b. Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial.
Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko
guru bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia. Karena pendidikan
pesantren yang berkembanng sampai saat ini dengan berbagai ragam modelnya
senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam.27
Sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan,
pesantren pada saat ini juga diharapkan mampu berfungsi sebagai pelopor
pembaharuan. Dalam arti, keberadaannya diharapkan mampu memberikan alternative
pemikiran dan tindakan. Sebab, didirikannya lembaga pendidikan pesantren adalah
didasarkan atas panggilan kepada manusia untuk menjadi subyek yang selalu sadar
24 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.103 25 Drs. H.Mundzier Suparta, MA, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta:Diva Pustaka, 2005), h.26 26 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.38-39 27 Drs.H.Mundzier suparta, Manajemen Pondok Pesantren, ………….………… h.6-9
19
dengan kemampuannya dan agar berpegang teguh pada nilai-nilai etika dan moralitas
universal yang bersumber dari mata air Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.28
Sehingga dinamika pesantren tercermin secara alami, yang terjadi dalam
perubahan dimensi kurikulumnya. Pesantren menurut Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag
selalu memantau kebutuhan ril yang hidup di masyarakat, agar kurikulum yang
ditetapkannya nanti dapat merefleksikan jenis ilmu yang diperlukan dalam kehidupan
mereka. Dalam deretan ilmu agama yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam
tradisional tersebut.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan terpadu yang bertumpu pada pendidikan
agama, sekaligus mengembangkan fungsi sosial. Karena selain mendidik santrinya,
lembaga ini membimbing masyarakat sekitarnya. Ia hadir di tengah-tengah rakyat,
untuk mencerdaskan rakyat dan membentuk kesadaran hukum di kalangan rakyat
dengan membina nilai moral yang bersumber dari agama.29
Transformasi kelembagaan di kalangan pesantren dalam konteks ini tidak
menghapus bentuk lembaga yang lama. Jika perubahan bentuk yang baru menghapus
bentuk yang lama, orientai pesantren jelas menuju kearah pendidikan sekuler, tetapi
perubahan yang terjadi tidak demikian. Perubahan demi perubahan tidak menggusur
bentuk yang lama, bahkan bentuk yang paling awal pun masih dilestarikan sebagai
bagian dari komponen pendidikan pesantren. Meskipun suatu pesantren telah
mencapai kemajuan, tetapi masjid sebagai warisan bentuk paling awal selalu
melengkapi setiap pesantren, sebenarnya melestarikan unsur-unsur lama itu
merupakan gaya kehidupan pesantren.30
Pesantren tradisional, pendidikan dan pengajaran berpusat di masjid dan di
rumah kiai. Tetapi dewasa ini pesantren besar sudah mempunyai gedung dan lokal
sarana belajar, terutama pesantren yang sudah mulai mengembangkan pendidikan
dalam bentuk madrasah atau sekolah. Perkembangan pesantren yang mengarah kepada
pembentukan pendidikan formal dalam lingkungannya, meningkatkan kesadaran
28 Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana KIai, (Yogyakarta:Kutub, 2003), h.36 29 Saifullah Ma’shum, Dinamika Pesantren, (Jakarta:Yayasan Asaifuddin Zuhri, 1998), h.92, cet.1 30 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
sInstitusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.100
20
mereka akan perlunya melibatkan diri dalam suatu pola pengembangan yang sesuai
dengan watak dan misi pesantren itu sendiri.31
Transformasi kelembagaan Pesantren terus berkembang sambil menghadapi
rintangan demi rintangan, sikap ini
bukan ofensif, melainkan tidak lebih dari
defensive, hanya untuk menyelamatkan kehidupannya dan kelangsungan dakwah
islamiyah. Pesantren tidak pernah memulai konfrontasi sebab orientasi utamanya
adalah melancarkan dakwah dan menanamkan pendidikan.32
Dalam perkembangan zaman pesantren banyak menyimpan persoalan yang
menjadikannya agak tertatih dalam merespon perkembangan zaman. Beberapa
pesantren yang masih mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya masih
sophistited dalam menghadapi persoalan eksternal. Dan seiring berkembangnya
zaman, maka persoalan yang harus dihadapi dan dijawab oleh pesantren juga semakin
kompleks, dan harus disadari mulai dari sekarang persoalan-pesolan yang dihadapi ini
tercakup juga dalam pengertian persoalan yang dibawa kehidupan modern, yang
artinya pesantren dihadapkan pada tantangan yang ditimbulkan oleh kehidupan
modern33
. “Sehingga sebagai suatu institute pendidikan keagamaan dan sosial,
pesantren dituntut untuk melakukan kontekstualitas tanpa mengorbankan watak
aslinya.”34
“yang dimaksud dengan menyesuaikan diri dengan keadaan itu adalah
keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan modern,
termasuk di dalamnya bagian yang merupakan ciri utama kehidupan abad ini yaitu
teknologi.”35
Secara teknis pesantren adalah tempat para santri tinggal, fase ini merupakan
gambaran paling penting dari pesantren, yaitu sebagai suatu lingkungan pendidikan
dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.
Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh sistem
pendidikan umum sekarang yang menjadi kultur pendidikan umum.
31 Saifullah Ma’shum, Dinamika Pesantren, …………………… h.97, cet.1 32 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.11 33 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.88 34 A. malik fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Pt Temprint, 1999), h.114, cet.1 35 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, …………………………….. h.105
21
Tak terhitung jumlah santri unggulan lulusan pesantren yang memberi sumbangan
signifikan sepanjang perjalanan negeri ini, sejak fase konfrontasi anti kolonial, tahap
perumusan draft konstitusi pada periode genting menjelang kemerdekaan, masa
konsolidasi kesatuan Negara baru merdeka di tengah ancaman separatisme, periode
pembangunan hingga fase reformasi. Ribuan pesantren telah berjasa di nusantara telah
berjasa membuka akses jutaan anak bangsa paling marjinal, baik secara ekonomi
maupun intelektual untuk menjalani proses pembelajaran. Hanya saja, seluruh catatan
prestasi itu selama ini dicapai melalui proses sporadis, manajemen sekedarnya, lebih
sebagai hasil kerja keras orang per-orang, belum menjadi gerakan kolektif dan nyaris
tanpa uluran tangan signifikan pemerintah. Akibatnya, arus utama pesantren masih
terperangkap dalam ketertinggalan mutu, keterpurukan daya saing, bahkan ancaman
kepunahan.
Dalam istilah Menteri Agama Muhammad M.Basyuni, pemerintah selama ini
menanggung dosa sejarah bertumpuk, karena kelamaan menelantarkan pesantren, yang
berjasa besar membangun pilar negeri ini, dan terus mengawalinya dengan kesetiaan
tak perlu di sangsikan. Maka sepanjang 4 tahun terakhir, Negara lewat DEPAG
memberi perhatian tinggi pada pengembangan pesantren, sebuah kebijakan penebus
dosa.36
Dalam situasi di mana pesantren dari sisi konstitusi sudah menjadi bagian dari
sisdiknas dan pada sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren sudah
bercampur dengan kurikulum standard nasional, maka visi yang perlu dikembangkan
adalah menjadikan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang tetap mampu
melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam sekaligus
siap pakai dalam dunia kerja.37
“Suatu pengamatan dari jarak dekat terhadap konteks sejarah tersebut akan
memberikan kepada kita kemungkinan-kemungkinan yang menarik dalam rangka
mengembangkan pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang lebih maju dan
diminati.”38
36 Asrori S.Karni, Etos Studi Kaum Santri, (Bandung:Mizan Pustaka, 2009), h.152, cet.1 37 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.43 38Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi………………………………... h.233-234
22
Latar belakang pembaharuan dalam pesantren adalah karena pendidikan di
Indonesia sudah dibatasi oleh kebijakan pemerintah yang berupa ijazah, di mana ijazah
sendiri digunakan untuk melamar kerja di mana-mana, sehingga mau tidak mau
pesantren melakukan perubahan, agar para alumni pesantren tetap diterima di tengah
masyarakat. Kiai sebenarnya berperan aktif dalam perubahan sosial. Bukan karena
sang kiai mencoba meredam akibat perubahan-perubahan yang terjadi, melainkan
justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri, kiai bukan
melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang
dianggapnya sesuai kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Dan kiai bukan
kurang berperan karena menunda datangnya perubahan melalui proses penyaringan
informasi, melainkan kiai berperan karena kiai mengerti bahwa perubahan sosial
adalah perkembangan yang tak terelakan lagi.39
Sebenarnya pesantren cukup tanggap terhadap perubahan zaman, namun respon
terhadap perubahan ini berhadapan dengan pedoman “memegang hal-hal lama yang
baik” yang begitu kuat mengakar dikalangan kiai, ustadz maupun santri. Maka
perubahan dan perkembangan yang terjadi lambat sekali terutama diteropong dari
perspektif usianya yang mengiringi masuknya Islam di Indonesia.40
Setelah proses
modernisasi melanda dunia pesantren, lambat laun watak kesederhanaan,
kebersahajaan, rasa kepemilikan umat, dan tingkat kemandirian dunia pesantren
semakin terkikis oleh nilai-nilai modern.41
“Menurut Gus Dur, selama pesantren dapat menjalankan fungsi pendidikan yang
relevan bagi kehidupan masyarakat, selama itu pula pesantren dapat menjaga
keberadaan dan kelangsungan hidupnya.”42
Dari pembahasan di atas, sudah sangat jelas bahwa perubahan dalam Islam harus
didahului oleh perubahan dalam pendidikannya, para tokoh pembaharu dalam Islam
seperti Gus Dur sendiri tidak hanya melakukan pembaharuan dalam politik, tapi juga
dalam pendidikan, khususnya pendidikan di pesantren.
39 Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, (Yogayakarta:Kutub, 2003), h.59 40 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.105 41 Amien Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta: LEKDIS, 2006), h.51 42 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.122
23
Gerakan pembaharuan tidak akan berjalan bila tidak diikuti perubahan di bidang
pendidikan, maka perubahan dalam Islam harus berjalan seiring dengan pembaharuan
pendidikan. Dari kalimat di atas sudah sangat jelas bahwasanya setiap perubahan pasti
dibarengi dengan pembaharuan dalam pendidikan.
Pada paruh abad ke-20 adanya dorongan arus besar dari pendidikan ala Barat yang
dikembangkan pemerintah Belanda dengan mengenalkan sistem sekolah. Di kalangan
pemimpin Islam, kenyataan ini direspon positif dengan memperkenalkan sistem
pendidikan berkelas dan berjenjang dengan nama madrasah yang beberapa hal berbeda
dengan sistem sekolah. Namun, perkembangan ini tidak banyak mempengaruhi
keberadaan pesantren, kecuali pesantren yang mencoba memasukan unsur pendidikan
umum ke dalam kurikulum pesantren.43
D. Faktor Pendorong Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia abad 20
Steenbrink, menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, yaitu:
a) Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur’an dan sunnah
yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
Tema sentralnya adalah menolak taklid. Dengan kembali ke al-Qur’an dan sunnah
mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama.
b) Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan Nasional terhadap penguasa kolonial
Belanda.
c) Dorongan ketiga, adalah adanya usaha dari umat Islam untuk memperkuat
organisasinya di bidang sosial dan ekonomi.
d) Dorongan keempat, berasal dari pembaharuan pendidikan Islam. Dalam bidang ini
cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam
mempelajari al-Qur’an dan studi agama.44
Menurut Martin Van Bruinessen, pesantren telah sukses membangun tradisi dalam
pengjaran agama Islam berbasis kitab-kitab klaisk yang popular dengan kitab kuning.
Tradisi yang dikembangkan pesantren itu memuiliki keunikan dan perbedaan jika
43 Drs.H.Mundzier suparta, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta:Diva Pustaka, 2005), h.3 44 Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta:LP3ES), h.26-28
24
dibandingkan dengan tradisi dan entitas Islam lainnya di Indonesia seperti kaum reformis
dan modernis45
.
Usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia yang telah dimulai sejak
awal abad ke-20. Dimotivasi oleh kondisi intren umat Islam maupun faktor ekstren. Dari
uraian yang dikemukakan terdahulu dapat dimaklumi bahwa pembaharuan itu
terkonsentrasi kepada dua hal yaitu sistem dan materi pelajaran. Sistem yang ada sebelum
masuknya ide pembaharuan, itu terpusat kepada mata pelajaran agama saja, dengan
berpedoman kepada kitab-kitab klasik dan setelah diinspirasi oleh ide-ide pembaharuan
mata pelajarannya telah berimbang antara ilmu agama dengan ilmu umum.46
Seperti yang disebutkan oleh Steenbrink, bahwa faktor pembaharuan pendidikan Islam
adalah dengan kembali ke al-Qur’an dan sunnah untuk djadikan titik tolak menilai
kebiasaan agama dan kebudayaan. Banyak yang merasa tidak puas dengan metode
tradisional dalam mempelajari al-Qur’an dan studi agama. Rasa ketidak puasan
menimbulkan pembaharuan dalam sistem dan materi pelajaran di pesantren.
E. Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem pesantren merupakan sesuatu yang bersifat asli Indonesia, sehingga penilaian
itu menempatkan dunia pesantren pada deretan daftar perbendaharaan nasional dan
menumbuhkan pengakuan akan peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan nasional.47
Agar pendidikan Islam bermutu, maka sistem pendidikan Islam dituntut untuk
memiliki 3 kemampuan:
a. Kemampuan untuk mengetahui pola-pola perubahan dan kecendrungan yang sedang
berjalan.
b. Kemampuan untuk menyusun gambaran tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh
kecendrungan yang sedang berjalan.
45 Martin Van Bruineesen, kitab kuning, pesantren dan tarekat:tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1995), 46 Haidar, Sejarah………,h.49
47 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.103
25
c. Kemampuan untuk menyusun program penyesuaian diri yang akan ditempuhnya
dalam jangka waktu tertentu.48
“Pesantren adalah sistem pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari.
Pendidikan pesantren merupakan suatu sistem sosial yang kompleks,”49
sehingga sistem
pendidikan semacam ini membawa banyak keuntungan, yaitu:
a. Pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat
perilaku santri baik yang terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun
kepribadiannya.
b. Adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh
pengetahuan yang diterimanya. Dalam teori pendidikan diakui bahwa belajar satu jam
yang dilakukan lima kali lebih baik dari pada belajar selama lima jam yang dilakukan
sekali, padahal rentang waktunya sama.50
c. Adanya proses pembiasaan akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri
dengan ustadz maupun ustadz dengan kiai.
Sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren pada mulanya memiliki keunikan
tersendiri dibanding sistem pendidikan lembaga pendidikan lain. Sistem pendidikan di
pesantren tersebut adalah
a. Menggunakan sistem pendidikan tradisional, dengan ciri adanya kebebasan penuh
dalam proses pembelajarannya, terjadinya hubungan interaktif antara kiai dan santri.
b. Pola kehidupan di pesantren menonjolkan semangat demokrasi dalam praktek
memecahkan masalah internal non-kulikuler.
c. Peserta didik dalam menempuh pendidikan di pesantren tidak berorientasi semata-mata
mencari ijazah dan gelar, sebagaimana sistem pendidikan di sekolah formal.
d. Kultur pendidikan diarahkan untuk membangun dan membekali para santri agar hidup
sederhana, memiliki idealisme, persaudaraan, persamaan, percaya diri, kebersamaan
dan memiliki keberanian untuk siap hidup di masa depan.
48 Prof.Dr.Armai Arief, MA,Reformaulasi Pendidikan Islam, (Jakarta:CRSD Press, 2003), h.32, cet.1 49 Drs. H.Mundzier Suparta, MA, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta:diva pustaka, 2005), h.65 50 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.64
26
e. Dalam sejarahnya, alumni pesantren umumnya tidak bercita-cita untuk menjadi atau
menguasai kedudukan di pemerintahan, karena itu mereka juga sulit untuk bisa dikuasai
oleh pemerintah.
Berkaitan dengan perubahan sistem kehidupan politik nasional dan masuknya era
reformasi sekarang ini, justru pesantren terkesan ada perubahan orientasi sistem
penyelenggaraan pendidikannya. Pada awalnya sistem modernitas dunia pendidikan belum
masuk ke pesantren, tetapi sekarang ini terjadi perubahan yang cukup mendasar. Bukti
modernisasi sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren ini dapat dilihat dari aspek
sarana dan prasarana gedung bangunannya sudah dibentuk seperti bangunan gedung
megah, fasilitas pembelajarannya sudah banyak yang menggunakan teknologi modern,
seperti komputer, TV, internet, laboratorium bahasa asing.51
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan keilmuan, maka wajar jika pesantren
berusaha mengembangkan tradisi keilmuan yang khas. Wajar pula jika pesantren
mengambil posisi sebagai agen perubahan sosial, mengingat posisi pesantren yang dekat
dengan kehidupan masyarakat.52
Yang dimaksud dengan agen perubahan adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus
pengembangan ilmu pengetahuan modern, termasuk didalamnya bagian yang merupakan
ciri utama kehidupan abad ini yaitu teknologi.53
Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya
kebanyakan pesantren mengikuti sistem yang dikembangkan pemerintah secara
keseluruhan.54
Gus Dur menginginkan agar pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga
pendidikan keagamaan dalam arti yang selama ini berjalan, melainkan juga sebagai
lembaga yang mampu memberikan sumbangan yang berarti serta membangun sistem nilai
dan kerangka moral pada individu dan masyarakat.55
Sistem pesantren pada saat sekarang, telah banyak melakukan perubahan, dengan
ditandai sarana dan prasarana yang memadai. Sehingga sistem pesantren dapat menjawab
51 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (UIN Malang Press, 2008), h.243-245 52 Dr.Yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan, (Jakarta:Rajawali Press, 2011),
h.6 53 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.105 54 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.102 55Prof.Dr. H.Abuddin Nata, M.A, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2005), h.352
27
tantangan zaman. Sebagaimana Gus Dur menginginkan agar pesantren tidak hanya
berperan sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tapi juga sebagai lembaga yang mampu
memberikan sumbangan yang berarti serta membangun sistem nilai dan kerangka moral
pada individu dan masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam sistem pesantren sangat
diharapkan oleh semua pihak, untuk menjadikan pendidikan di pesantren lebih baik.
28
BAB III
BIOGRAFI K.H. ABDURRAKHMAN WAHID
A. Latar Belakang Keluarga K.H. Abdurrakhman Wahid
Abdurrakhman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur dan dengan nama lengkap
Abdurrakhman al-Dakhil yang berarti sang penakluk. Nama al-Dakhil diambil dari
seorang perintis Dinasti Umayah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di
Spanyol. Secara leksial, Gus Dur berarti Abdurrahman sang penakluk, beliau lahir
pada tanggal 4 Sya‟ban atau 4 Agustus 1940, di Denanyar Jombang, Jawa Timur,
dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibu, sebuah lingkungan Desa
Pesantren yang cukup terkenal di daerah itu. Dan beliau meninggal pada usia 69
tahun, pada tanggal 30 Desember 2009.1 Beliau anak pertama dari 6 bersaudara, dari
garis ayahnya yang bernama KH. A. Wahid Hasyim adalah putra Hadratus Syekh
K.H. Hasyim Asy‟ari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng dan pendiri Nahdatul
Ulama organisasi terbesar di Indonesia, dan salah seorang penanda tangan piagam
Jakarta, serta pernah menjabat sebagai menteri Agama pada kabinet Hatta, Natsir dan
Sukiman. Sedang dari garis ibunya bernama Hj. Solehah Wahid Hasyim, putri K.H.
Bisri Syansuri, tokoh besar Denanyar Jombang dan Ro‟is Am Syuriah pengurus besar
1 Risalah Nahdlatul Ulama, h.55
29
Nahdatul Ulama. Gus Dur menikah dengan Siti Nuriyah putri Haji Abdul Syukur
pada tahun 1968 dan dikaruniai 4 orang putri. Yang bernama Alissa Qutrannada
Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah Chapsoh (Yenny), Annida Chyatunufus (Nita)
dan Inayah Wulandari (Ina)2.
Dari sini kita melihat bagaimana Gus Dur dalam silsilahnya atau trahnya
merupakan campuran darah biru kalangan priyayi dan darah putih kalangan kiai.
Selain itu, Gus Dur adalah trahnya para pahlawan. Melihat silsilah terebut kiranya
wajar kalau Gus Dur mewarisi bakat, mental, dan perjuangan orang-orang besar dan
memang menjadi orang besar, selain besar fisiknya, besar pemikirannya, besar
perjuangannya, juga besar hatinya. Pada masa kecilnya Gus Dur tidak seperti
kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur belajar membaca al-Qur‟an dan mesantren
di pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang
merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang penting
lainnya, maka dari sejak kecil Gus Dur sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan
orang-orang penting tersebut. Dan pada usia 12 tahun, Gus Dur sudah kehilangan
ayah yang sangat dicintainya, yang meninggal pada usia 38 tahun dan Gus Dur hidup
sebagai anak yatim.3
Gus Dur sendiri tidak terlalu mempermasalahkan keturunan, karena Gus Dur
beranggapan bahwa semua orang bisa menjadi orang besar. Tidak hanya karena
keturunan kiai lalu menjadi kiai lagi. Oleh karena itu, walaupun anak beliau
perempuan semua, Gus Dur tidak ada pikiran mempunyai anak laki-laki. Karena
menurut Gus Dur anak laki-laki dan perempuan sama saja.
B. Latar Belakang Pendidikan K.H. Abdurrakhman Wahid
Mengenai riwayat pendidikan Gus Dur, memulai pendidikan SD di Jakarta pada
tahun 1953. Setelah itu Gus Dur melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah
2 K.H. Abdurrakhman Wahid, Tabayun Gus Dur, (Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010), h.147 3 Muhammad Rifai, Gus Dur Biografi (Jakarta:Ar-Ruz Medi), h.26
30
Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang pada tahun 1956.4 Selanjutnya ia pindah
ke Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang tokoh Muhammadiyah, yang bernama
K.H. Junaid, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk belajar diberbagai pesantren
yang berada di bawah naungan NU. Pada mulanya ia mondok di Tegal Rejo
Magelang (1957-1959). Selama di pesantren ini, Gus Dur menunjukan bakat dan
kemampuan dirinya dalam bidang ilmu agama Islam di bawah asuhan kiai Khudari.
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Gus Dur menimba ilmu di Muallimin Bahrul
Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Setelah itu Gus Dur mondok di
pesantren Krapyak, Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang tokoh NU terkemuka,
K.H. Ali Maksum. Dari Jombang ini Gus Dur membuka jalan melangkah ke
Universitas al-Azhar di Mesir, mengingat pesantren Tambak Beras Jombang
merupakan salah satu dari beberapa pesantren yang diakui oleh Universitas al-
Azhar.5
Selanjutnya pada tahun 1963 Gus Dur menerima beasiswa dari kementrian
Agama untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.
Meskipun Gus Dur mahir dalam berbahasa Arab, tapi Gus Dur tetap diberitahu oleh
pihak Universitas bahwa Gus Dur harus mengambil kelas remedial sebelum belajar
Islam dan bahasa Arab. Di Universitas al-Azhar yang dinilainya sudah tertinggal
zaman, dan merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di al-Azhar tersebut, maka
pada tahun 1966-1970 Gus Dur meninggalkan Kairo untuk melanjutkan studinya di
Fakultas seni Universitas Baghdad. Selama belajar di Universitas Baghdad inilah
Gus Dur merasa puas dan telah menemukan apa yang sesuai dengan panggilan
jiwanya yang modernis. Perkuliahan di Universitas Baghdad ini Gus Dur tempuh
dengan menyelesaikan ujian S2 pada tahun 1970. Kemudian Gus Dur pergi ke
Belanda untuk meneruskan pendidikannya, Gus Dur ingin belajar di Universitas
Leiden, tetapi Gus Dur kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad
4Abdul Munir Mulkhan, Perjalanan Politik Gus Dur, (Jakarta:Buku Kompas, 2010), h..XIV 5 Abdul Munir Mulkhan, op.cit.,h..27
31
kurang diakui di Belanda. Dari Belanda Gus Dur pergi ke Jerman dan Prancis
sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1971.6
Pengalaman yang beragam, luas pergaulannya menjadikan pemikiran Gus Dur
begitu dinamis, sehingga mempengaruhi cara berfikir Gus Dur ketika melakukan
sesuatu dalam hidupnya. Termasuk menuangkan gagasannya ke dalam tulisan.
C. Aktivitas K.H. Abdurrakhman Wahid dalam
1. Organisasi
Dalam konteks Indonesia, NU adalah organisasi Islam yang tidak sekedar
mengaku secara formal dan organisatoris sebagai penganut Ahlus-Sunnah wal-
Jama‟ah, tetapi juga mengembangkannya secara lebih komprehensif sejak semula
ketika organisasi ini di dirikan di Surabaya, Jawa Timur pada tahun1926. Dalam
mengembangkan pengertian Ahlus-Sunnah wal-Jama‟ah, ulama NU
menempatkan kalam, fikih dan tasawuf bukan sebagai disiplin yang terpisah,
melainkan sebagai tiga aspek dari kesatuan ajaran Islam. Melalui rumusan ini,
Gus Dur mengembangkan Islam tradisional di Indonesia melalui banyak
pendekatan serta melembagakannya terutama di Jawa dan Madura melalui
pesantren sebagai institusi tradisional yang sampai batas tertentu terbuka untuk
modernisasi. Kelestarian paham Aswaja dalam kehidupan muslim santri tidak
dapat dipisahkan dari peranan pesantren yang merupakan benteng NU. Secara
struktural, pesantren mewakili entitas sosial budaya keagamaan komunitas santri
tradisional di Jawa.7
Masa kepemimpinan Gus Dur di PBNU selama tiga periode:
1. Periode pertama (1984- 1989)
6 Prof. Dr.H.Abudin Nata, M.A, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:PT
raja Grafindo persada, 2005), h.-338-341 7 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlusunnah Waljama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi
NU,(Jakarta:Lantabora, 2005), h.307-309
32
Muktamar NU ke-26 di Semarang merupakan pintu gerbang pertama Gus
Dur di organisasi NU, pada saat muktamar di Situbondo tahun 1984, banyak
orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Gus Dur
sebagai ketua baru NU. Gus Dur menerima nominasi itu dengan syarat Gus Dur
mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja
di bawahnya. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri
para pengurus dibawahnya tidak terpenuhi. Uraian ini dimulai dengan melihat
perubahan yang terjadi sejak Gus Dur menjadi ketua umum Tanfidziyah NU.
Gus Dur muncul dalam pentas seni nasional sebagai tokoh yang menonjol di
masyarakat Indonesia selama dasawarsa 1980-an. Hal itu bukan hanya karena
pemikiran Gus Dur yang menjadi polemik, tapi juga karena atmosfir politik
membutuhkan orang seperti Gus Dur. Perubahan penting dalam tubuh NU sejak
1980-an adalah perubahan sikap politik yang jauh lebih lunak terhadap
pemerintah. Lalu perubahan sikap politik, dari politik perjuangan untuk
mendapatkan jatah dalam bentuk kursi parlemen, kepada kebijakan yang lebih
eksplisit menyuarakan kebutuhan lapisan masyarakat bawah yang sebagian
besar merupakan warga NU.8
Kehadiran NU sebagai organisasi pada hakikatnya merupakan bagian dari
proses modernisasi yang dibentuk oleh para ulama untuk menjawab tantangan
sosial budaya pada zaman mereka. Untuk menjawab tantangan yang mereka
hadapi, para kiai NU telah melakukan pembaruan tanpa merusak tradisi, seperti
ditunjukan dalam pengembangan pesantren selama ini.9
Bagi kelompok NU progresif, tampilnya Gus Dur sebagai ketua
Tanfidziyah PBNU, tentu saja diharapkan memiliki keunggulan strategis, yaitu
1) Sebagai seorang “darah biru” NU, Gus Dur memiliki dukungan basis massa
yang kuat di lapisan kiai dan sekaligus massa bawah Nahdaliyin.
8 Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi, (Jakarta:Buku Kompas, 2010), h..44-109 9 Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi, (Jakarta:Buku Kompas, 2010), h..44-109
33
2) Sebagai tokoh dengan pemikiran-pemikiran yang berpengaruh luas di
masyarakat, diharapkan Gus Dur juga sekaligus berpengaruh ke luar NU.
3) Gus Dur dianggap bisa membangun hubungan baik dengan pemerintah yang
dalam beberapa kasus kepemimpinan NU sebelumnya ternyata tidak bisa
mengayomi warga NU dengan segala aktivitasnya di lapangan.
Pada awal tahun 1984, Gus Dur menunjukan sikap komprominya terhadap
pemerintah, yaitu menerima pancasila sebagai asas organisasi NU, bahkan NU
merupakan organisasi yang pertama kali menerima asas tunggal sebelum
organisasi lain menerima pancasila sebagai asas organisasi.10
.
Penegasan NU untuk kembali ke khittah 1926 sebetulnya bukan hanya
bermakna melepaskan diri dari aplikasi politik dengan ketiga partai yang ada di
Indonesia. Corak politik NU adalah kebangsaan yang rahmtan lil „alamin, tidak
berambisi berkonsentrasi meraih kesuksesan, tetapi secara arif bersenyawa
dengan wong cilik dan memberi pelajaran politik moral kebangsaan. Itulah
pesan politik NU kembali ke khittah 1926, karena khittah merupakan ruh, jiwa,
semangat dan garis perjuangan yang menetapkan konsistensi dan independensi
NU sebagai sosok organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan11
. Gus Dur
telah mengajukan himbauan bagi seluruh masyarakat demokratis yang
prasyaratannya mengandalkan pancasila sebagai penjamin atas terbinanya
sebuah civil society demokratis yang sifatnya non-Islam dan non-militer. Dalam
hubungan antara agama dan pancasila, keduanya dapat berjalan saling
menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak
boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lain.12
Butir penting sebagai konsekuensi dari political equidistance ini adalah
mengajak anggota NU menegaskan jati dirinya sebagai warga Negara yang
10 Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta:Badan Litbang
Agama Dan Diklat Keagamaan, 2004), h.54 11 Ibid, h.33 12 Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzaili, NU Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, (Jakarta:Pt
Kompas Media Nusantara, 2010) , h. 71-79
34
merdeka dan berdaulat penuh di Republik Indonesia. Jati diri ini lalu
menempatkan warga NU untuk bergumul dengan dasar Negara. Inilah maksud
dari deklamasi hubungan Islam dan pancasila yang menyatakan bahwa NU juga
berkewajiban untuk menjaga pemahaman pancasila yang benar. Padahal pada
dasarnya pancasila juga mewakili cita-cita luhur untuk membangun bangsa,
Bagi kelompok NU kenyataan seperti itu benar-benar dipahami, strategi
perubahan yang hendak dilakukan ke dalam NU tidaklah bersifat radikal
melainkan lebih menunjukan watak kompromistisnya terhadap kondisi internal
dan eksternal. Dan mencoba memerankan para kiai di jajaran syuriah dan
mustasyar (penasehat) yang bisa akomodatif dengan gagasan perubahan.13
Gagasan Gus Dur tentang pendidikan Islam, yaitu memodernisasi pendidikan
di pesantren, untuk memodernisasikan pesantren menurut Gus Dur harus melakukan
langkah-langkah dinamis yaitu
a. Perlu adanya perbaikan keadaan pesantren yang didasarkan pada proses
regenerasi kepemimpinan yang sehat dan kuat.
b. Perlu adanya persyaratan yang melandasi terjadinya proses dinamisasi tersebut.
Persyaratan yang dimaksdu meliputi rekontruksi bahan-bahan penagjaran ilmu
agama dalam skala besar. Dalam hubungan ini gus dur mengatakan bahwa
kitabkalsik dan kitab modern yang ada selama ini sudah tidak relevan lagi untuk
dikaji. Inilah yang melandasi gagasan pemikiran gus dur tenatng perlunya
melakukan rekontrukssi dan reorientasi terhadap semua sistem pendidikan
pesantren.
2. Periode kedua (1989-1994)
Gus Dur terpilih untuk masa jabatan kedua pada tahun 1989-1994 di
Yogyakarta, sebagai ketua NU pada muktamar tahun 1989, eksistensi lembaga
13 Badrun Alaena, NU Kritisisme dan pergeseran makna aswaja,(Yogyakarta:Pt. Tiara Wacana Yogya)
h.116-118
35
syuriah NU masih tetap, namun pada saat yang sama pernyataan-pernyataan
program lebih menunjukan komitmen terhadap demokratisasi dan HAM sudah
dimunculkan secara lebih terbuka. Di bidang:
1) Pendidikan dan Kebudayaan
a. Menurut Gus Dur orientasi pendidikan di kalangan NU harus ditata
kembali dengan mengembangkan cara baru yang tepat, guna mengukur
kemampuan anak didik dalam melakukan kerja nyata kemanusiaan dan
kemasyarakatan, serta diarahkan pada pengenalan hajat hidup dan sumber
pemenuhannya tanpa menggoyahkan sikap yang dilandasi aqidah Islamiyah
Ahlusunnah Waljama‟ah.
b.Keterbukaan, kemandirian dan kemampun bekerjasama dengan pihak lain
untuk menyusun masa depan yang lebih baik serta ketrampilan
mengamalkan ilmu dan teknologi yang merupakan perwujudan dan
pengabdian kepada Allah swt. menciptakan sikap yang berorientasi kepada
kehidupan dunia akhirat yang imbang dan dinamis, tercermin dalam
kurikulum pendidikan dalam lingkungan NU yang berkaitan demgan
persoalan-persoalan masa kini.
c. Pendidikan agama menurut Gus Dur merupakan bagian dari pendidikan
nasional, dan di arahkan pada pemberian porsi yang lebih besar di bidang
pendidikan non-formal, kejuruan dan ketrampilan melalui lembaga
keagamaan, pesantren, majlis ta‟lim mengembangkan pendidikan bengkel-
bengkel rintisan untuk menerapkan teknologi tepat guna serta
mengembangkan hubungan interaktif dalam proses belajar mengajar,
proses mengajar dan proses komunikasi timbal balik antara guru, murid,
para perencana pendidikan serta para pengelolanya. Meskipun demikian,
pendidikan formal sekolah akan tetap memperoleh perhatian yang
memadai, khususnya pada tingkat sekolah lanjutan atas dan perguruan
tinggi dalam rangka mencetak kaum intelektual di berbagai rasional dan
meliputi aspek bidang keilmuan. Sedangkan, program dasar di bidang
36
pendidikan dilaksanakan bersamaan dengan faktor yang berupa penggalian
dana dan pengaturan sumber-sumber dana dan menetapkan strategi
pembiayaan secara tepat dan berhasil guna. Di samping itu dilakukan juga
pengalangan lebih aktif kerjasama di antara perguruan swasta lainnya, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri.
d.Kebudayaan secara umum meliputi aspek rasional dan emosional dari
manusia, secara individu maupun masyarakat yang merupakan salah satu
sumber inspirasi ummat manusia. Karenanya, pengembangan kebudayaan
menurut Gus Dur hendaknya dipelopori untuk mengembangkan warisan
rohaniah dan jasmaniah generasi lampau, untuk generasi masa kini serta
untuk diteruskan dan diwariskan pada generasi selanjutnya dalam menuju
tercapainya peningkatan kecerdasan dan cita rasa manusia sebagai hamba
Allah swt. watak kultural khas NU sendiri dapat dikembangkan antara lain
dengan pengenalan warisan kultural dikalangan NU, baik berupa keyakinan
maupuan ritual seremonial disajikan dalam bentuk bacaan yang berisi
berupa warisan historis kaum Ahlus Sunnah Waljama‟ah antara lain dengan
menanamkan rasa cinta akan jasa-jasa para wali penyebar Islam.14
a. Agama
1. Mendorong dan menumbuhkan semangat menuntut ilmu minal mahdi ilal
lahdi bagi seluruh warga dan melengkapi diri dengan berbagai ilmu fardu
kifayah yang layak bagi kemanusiaan dan kemajuan untuk menyongsong
masa depan NU. Dan Memberikan fatwa-fatwa mengenai masalah-
masalah yang dipandang sangat penting dan dinantikan oleh masyarakat.
2. Menyadari akan hajat hidup orang banyak, dalam hal ini syuriah NU di
semua tingkatan diharapkan membina dan mendorong pemupukan
silaturahmi dan islahu dzatul bain, mengefektifkan ta’awun bairri
wattaqwa serta menggairahkan pelaksanaan furudlul kifayah dengan
14Kacung Marijan, Quo Vadis NU, (Jakarta:Erlangga, 1992) , h.261-263, cet.
37
mendorong semangat umat melakukan zira’ah, ihyaulmawat,
iqtisyadiyah.
b. Dakwah
1. Bentuk dakwah secara tradisional tetap dilakukan dengan pengembangan
sesuai tradisi yang baik dan murni menurut ajaran Ahlusunnah
Waljama‟ah. Oleh karena itu, kegiatan lailatul ijtima‟ perlu dilestarikan
dan ditingkatkan pelaksanaanya, terutama ditingkat majlis wakil cabang
dan ranting. Menghadapi perubahan sosial sebagai akibat modernisasi,
pelaksanaan dakwah perlu dikelola dengan teknis penyajian secara teratur
dan sistematis melalui media cetak atau audio visual.
2. Mengingat generasi muda merupakan jumlah terbesar dari populasi
penduduk Indonesia, maka di perlukan perhatian khusus dibidang
dakwah, baik mengenai metode maupun metarinya dan memberikan
perhatian yang lebih besar dalam pembinaan lingkungan hidup,
kemandirian, kesadaran hukum, saling menghargai, memberantas
keterbelakangan, kemiskinan serta kebodohan. Oleh karena, ruang
lingkup permasalahan dakwah harus luas, dan kelembagaan yang
berkaitan dengan permasalahan dakwah harus lebih meningkatkan
perannya agar dapat turut mewarnai perkembangan masyarakat. Lebih
meningkatkan kegiatan dakwah di daerah transmigrasi dan memberikan
perhatian pada suku-suku terasing.
c. Sosial
1. Dalam hal pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, perlu
didirikan rumah sakit dan usaha-usaha lain yang berhubungan dengan itu
dan juga perlu menambah jumlah panti asuhan dan balai pendidikan
penderita cacat. Dan melakukan pembinaan kepada para mualaf dengan
jalan membantu dan membimbingnya dengan aqidah dan Syariah Islam
Ahlusunnah Waljama‟ah
38
2. Membantu mereka yang terkena bencana alam, kematian, musibah dan
pemberian beasiswa bagi yang tidak mampu, perlu dibangkitkan semangat
berta‟awun (kesetiakawanan sosial) karenannya perlu penataan dan infaq,
sehingga dapat membantu pelajar dan mahasiswa. diusahakan asrama
putra-putri warga NU kususnya, ditempat-tempat yang memungkinkan
untuk itu, sekaligus dapat dimanfaatkan untuk tempat kaderisasi jam‟iyah
NU.15
"Pengembangan sumberdaya manusia, sudah mulai secara terbuka
menyatakan untuk mengembangkan program pendidikan dengan prinsip sebagai
proses pendewasaan.”16
c. Periode ketiga (1994-1999)
Menjelang muktamar 1994 di Cipasung, Gus Dur menominasikan dirinya
untuk masa jabatan ketiga (1994-1999). Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar
Gus Dur tidak terpilih lagi. Pada minggu-minggu sebelum Muktamar,
pendukung Soeharto seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan
terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika muktamar diadakan, tempat pemilihan
dijaga ketat oleh ABRI. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak
memilih Gus Dur. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa
jabatan ketiga. Rumusan program kerjanya sudah semakin dipertajam.
Eksistensi lembaga syuriah dimasukan secara eksplisit. Yang dikedepankan
adalah program pengembangan SDM, di mana orang-orang NU baik secara
individu maupun kelompok, diharapkan sebagai kekuatan pengubah dengan
cara-cara yang damai. Ideologi yang lebih sosialistik juga tetap diekspresikan,
dengan menyatakan “menjaga keadilan dan berbagi dalam kesejahteraan”. Hal
yang sama juga muncul dalam program pendidikan latihan yang diarahkan pada
proses dan pemeranan orang-orang NU dalam perubahan sosial. Seluruh
15 Kacung Marijan, op.cit. h.264-266 16 Badrun Alaena, op.cit., h.118
39
program ini memang secara umum didasarkan pada perkembangan masyarakat
di luar NU dan di dalam NU yang terus berubah, yang secara eksplisit
dicantumkan sebagai pertimbangan utama, yaitu
a. Sedang berlangsungnya gelombang perubahan kebudayaan dunia yang begitu
cepat.
b. Nilai-nilai yang terkandung dan telah lama melekat dalam tubuh NU dan
diyakini sebagai motivasi perjuangan sekaligus sebagai faktor yang
memperkuat dalam mencapai tujuan organisasi.
Selama masa ini Gus Dur, Kepada pada para pejabat, bahkan kepada
presiden sekalipun, tidak beda dengan sikap yang diberikannya kepada wong
cilik. Seperti diketahui, sekuler-kulernya Gus Dur dan seliberal-libernya putra
mantan mentri Agama (1949-1952) K.H. A.Wahid Hasyim itu Gus Dur tetap
ketua Tanfidiyah PBNU, yang artinya kiai. Seperti yang dikatakan mahasiswa al-
Azhar, Kairo bahwasanya sekuler-sekulernya dan seliberal-liberalnya pengajar di
al-Azhar, mereka masih tetap dihormati mahasiswanya, sebab selain mereka
masih tetap dihormati mahasiswanya, sebab lain adalah karena mereka orang
yang hafidz, juga menguasai secara mendalam berbagai literatur klasik Islam.17
2. Masyarakat
Bagi Gus Dur, nilai terpenting dari sebuah agama adalah pemaknaan
terhadap bagaimana manusia menempatkan dirinya di dunia untuk bisa mengelola
dan mengaturnya bagi tujuan kebaikan hidupnya. Ekspresi keagamaan yang
paling benar hanya dapat diraih ketika semangat hukum dijadikan hal yang paling
utama. Bagi Gus Dur, masyarakat seharusnya dirangsang untuk tidak terlalu
memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam kehidupan, tetapi lebih
17 K.H. Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, (Yogyakarta:Kutub, 2010), h.. 29-30
40
mementingkan esensinya. Keadilan adalah milik semua bangsa dan harus
ditegakan oleh umat beragama.18
Nama Abdurrahman Wahid mulai dikenal sejak tahun 1977, ketika Gus Dur
banyak menulis media massa di Jakarta seperti pada surat kabar Kompas,
majalah Prisma dan Tempo. Tulisan-tulisan kontroversial sudah mulai muncul. Di
majalah Tempo Gus Dur selalu menulis tentang keunikan para kiai. Gus Dur
seolah ingin memperkenalkan dunia pesantren dan para kiai kepada pembaca
yang asing. Setiap menulis Gus Dur selalu mencantumkan nama pondok
pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah namanya. Karena itu sejak 1978 Gus
Dur menjadi semacam konsultan untuk pengembangan pesantren, yang beberapa
tahun kemudian dibidani kelahiran P3M (Perhimpunan Pesantren untuk
Pengembangan Masyrakat).
Sekjen presidium dewan Papua Thaha M. al-Hamid mengatakan “Gus Dur
mampu menjembatani segala perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat
tertentu di Papua pada tahun 2000 silam melalui proses bermartabat yang jauh
dari tindakan anarki yang melibatkan pertentangan antara rakyat dengan aparat.”
Rakyat Indonesia, termasuk Papua masih membutuhkan nasihat dan ketokohan
Gus Dur dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politk dan sosial yang muncul
baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.”19
3. Budaya
Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mengadakan penelitian tentang 14 sistem budaya daerah di Indonesia, diantaranya
adalah sistem budaya daerah Aceh hingga NTT diteliti, termasuk sistem budaya
Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem budaya Jawa I yang ada di
18 Muhammad Rifai, op.cit.., h.98-99-102 19 H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang:Zahra book, 2009), h. 149
41
daerah-daerah keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem budaya
Jawa II adalah pinggiran, terutama di Jawa Timur. Budaya pesantren dalam hal
ini, termasuk sistem budaya Jawa II. Penelitian menunjukan, terdapat kemampuan
hidup sistem daerah kita ditengah-tengah arus modernisasi yang datang tanpa
dicegah.20
Seniman dan budayawan pun merasa kehilangan dengan wafatnya K.H.
Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur Presiden RI ke-4 pada rabu
30/12 malam. Pasalnya ketokohan Gus Dur sebagai anak bangsa mampu
memberikan pencerahan dalam pelbagai perspektif kehidupan termasuk
kebudayaan. Realitas itulah yang membuat seniman dan budayawan amat tekesan
dan ekstensial sang guru bangsa tersebut.21
Dalam negara dan kebudayaan Gus Dur menyatakan, jarang dan hampir tidak
pernah terjadi suatu kebudayaan dikatakan sebagai kebudayaan negara. Karena
negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan. Oleh
karenanya, kebudayaan harus dipisahkan dari negara, karena negara terjelma oleh
hasrat menguasai, sementara kebudayaan merupakan kebebasan kultural
manusiawi. Pemahaman ini tergerak karena Gus Dur memaknai kebudayaan
sebagai human social life (kehidupan sosial manusia), kebudayaan bukan
conditioning tempat manusia beradaptasi dengan lingkungan, kebudayaan lebih
merupa arah ideasional, di mana manusia mempertaruhkan nilai kemanusiaan
dalam mengolah kehidupan. Jika mengharapkan Gus Dur untuk tidak berpolitik,
tentu saja menjauhkan Gus Dur dari kebudayaannya. Artinya, kebudayaan Gus
Dur memanglah kebudayaan politik.22
Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa politik yang Gus Dur lakukan
adalah politik yang berbudaya atau bisa dikatakan, bahwa Gus Dur melakukan
politik di dalam kebudayaan.
20 Abdurrahman Wahid, op.cit., h. 161-258 21 Muhammad Rifai, op.cit., h.174 22 Wawan kurniawan, Jurnal Kajian Kebudayaan Dan Demokrasi Pesantren Ciganjur, (Jakarta:Litbang
2010), h. 14-19
42
4. Politik
Kemunculan K.H. Abdurrahman Wahid di kursi presidenan RI pada tanggal
20 Oktober 1999,23
bukanlah hal yang mengejutkan, walaupun sudah tentu sangat
membanggakan. Artinya dengan itu, pondok pesantren sesungguhnya memiliki
nilai lebih dalam hal kepemimpinan dibandingkan dengan lembaga-lembaga
pendidikan umum. Ini menjadi nilai plus orang pesantren dalam hal
kepemimpinan, selain berkenaan dengan apa yang tersebut di atas. Ada beberapa
kunci pokok yang memungkinkan langkah Gus Dur menuju jabatan kepresidenan,
yaitu
1) Faktor internal dalam diri Gus Dur sendiri. Selama ini Gus Dur dikenal
dengan sosok demokrat yang tidak berorientasi sempit. Visinya adalah untuk
seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok, apalagi individu.
Karakteristik Gus Dur yang luwes dalam menjalin hubungan dengan sesama
membuat dirinya memiliki hubungan kemana-mana. Penerimaan rakyat
terhadap Gus Dur tidak diragukan lagi. Bagi masyarakat yang terdiri dari
aneka macam kelompok, Gus Dur adalah yang terbaik diantara calon-calon
presiden yang lain.
2) Restu dari PBNU dan para kiai NU, legitimasi vertikal seperti ini sangat
signifikan terhadap langkah-langkah dan manuver Gus Dur. Di sisi rasional
“isyarat langit” yang diterima Gus Dur juga sangat beralasan. Potensi
disintegrasi terbuka lebar ketika polarisasi kekutan politik kian menggumpal.
Hanya Gus Dur yang bisa mencairkan gumpalan tersebut.24
Ketika beliau menjabat sebagai presiden RI ke-4, usaha yang berhasil beliau
lakukan adalah
23 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.132 24 H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang:Zahra book, 2009), h.41-42
43
a. Menahan laju pemburukan krisis multidimensi, termasuk didalamnya proses
pemarahan disintegrasi bangsa.
b. Gus Dur sangat memperhatikan dan memprihatinkan nasib pegawai negeri,
TNI dan Polri yang gajinya kecil. Jangan heran jika pada masa Gus Dur gaji
pegawai negeri pernah naik sampai dua kali ditambah dengan kenaikan
tunjangan stuktural. Gus Dur sangat sedih kalau gaji pegawai negeri yang
lulusan SI ada yang dibawah gaji pembantu rumah tangga. Ketika mau
menaikkan gaji pegawai negeri dan tunjangan jabatan birokrasi, menurut
informasi, ada menteri terkait yang menolak dengan alasan masuk akal,
“keuangan negara tak cukup dan bisa timbul gejolak.” Namun, Gus Dur tetap
meminta agar gaji dinaikkan, dengan berkata “naikkan, nanti kalau ada yang
tidak terima saya yang pasang badan.”
c. Langkah selanjutnya adalah menerbitkan Kepres No.6 tahun 2000 yang
mencabut Inpres No.14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina. Kebijakan yang dilakukan Gus Dur ini telah meletakan fondasi
bagi kebebasan beragama yang selama ini tidak di peroleh kalangan Konghucu.
Secara umum, ada empat kecendrungan gaya komunikasi yang dilakukan
Gus Dur, yaitu
1. Kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik secara equifocal, berarti pesan-
pesan dengan sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak berterusa
terang. Penerima pesan harus menduga artinya dari pada menangkapnya secara
langsung. Dalam pengertian politik sebagai art of possibility, komunikasi
equifocal terkadang perlu. Hal ini memang menjadi kebisaan gus dur sehingga
langkah-langkahnya tidak mudah di prediksi oleh lawan politiknya.
2. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai sosok yang pluralitas sehingga lebih
banyak diterima oleh berbagai kalangan yang berbeda etnis, agama maupun
ras.25
25 Prof. dr. Faisal Ismail, M.A, op.cit., h.158-159
44
3. Menurut Moh.Mahfud MD rasanya Gus Dur itu cukup terbuka terhadap kritik
dan toleran terhadap perbedaan, yang penting dalam berbeda pendapat dengan
Gus Dur itu kita harus jujur dan terus terang.
4. Siapapun bisa sewaktu-waktu memberi informasi kepada Gus Dur tanpa
prosedur-protokoler yang bertele-tele. Setiap informasi yang datang diserap
oleh Gus Dur tanpa membedakan siapa yang menyampaikan, dengan hatinya
yang selau berprasangka baik dan bisa juga Gus Dur itu percaya pada
informasi yang mungkin belum lengkap, bahkan menyesatkan. 26
Secara antropologis, yang dinamakan kiai biasanya mereka yang tergolong
ahli agama, tinggal ditengah para santrinya, jauh dari kepentingan dan perdebatan
politik, menjadi teladan dalam hal kesederhanaan dan kesalehan hidup dan
menjadi tempat orang untuk berkonsultasi untuk mencari ketenangan hidup.
Gambaran kiai semacam ini tentu saja masih banyak dan mudah ditemukan.
Namun, karena dihadapkan kepada tantangan dan peluang modernisasi, banyak
pesantren dan profil kiai yang telah mengalami transformasi. Pada dasarnya
masyarakat bukannya anti partai politik, tetapi mereka tetap ingin melihat yang
namanya lembaga pendidikan pesantren dan figur kiai itu tidak terlibat perebutan
kekuasaan politik. Secara antropologis, sudah tertanam sebuah pandangan bahwa
panggung politik itu penuh intrik, kotor, saling jegal, fitnah, penuh kebohongan,
bahasa yang digunakan penuh ambisi dunia. Sementara dunia kiai dan pesantren
adalah dunia yang damai, penuh dengan sopan santun, religius, sumber ilmu, dan
batinnya dekat dengan urusan akhirat. Pendukung terbesar NU ada di pelosok-
pelosok desa, selain itu nahdliyin juga dikenal sebagai kelompok masyarakat yang
mempunyai ketergantungan amat tinggi pada kepmimpinan seorang tokoh
panutan. Mereka bergantung pada kiai, bukan saja saat hendak memilih jalan
ibadah untuk menuju tuhan-Nya, melainkan juga saat memilih jalan politik untuk
membangun dunianya, membangun masyarakat dan negaranya.27
26 Moh. Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur, (Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada, 2010), h. 216-223 27Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzaili, NU Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, (Jakarta:pt
Kompas Media Nusantara, 2010), h.9
45
“Dengan tampilnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden, mendadak
sontrak citra dan fenomena kiai berubah secara sangat drastis. Transformasi
pesantren dalam rangka merespons modernisasi sesungguhnya sudah berlangsung
cukup lama, yaitu ketika dr. H. A. Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada
dekade 80-an.”28
Tidak dapat dipungkiri ketidakpuasan memang membayangi sebagian besar
masyarakat. Namun, ungkapan ketidakpuasan tersebut, bagi mereka tidak berarti
secara langsung harus diikuti pula oleh mereka terhadap kekuasaan yang dimiliki
oleh pemerintah saat ini. Mereka masih memberikan toleransi, menganggap
pemerintahan Gus Dur belum perlu untuk diganti. Penyikapan demikian oleh
sebagian responden (62 %). Berdasarkan hasil penelitian ini, mereka yang tidak
merasa perlu keberadaan pemerintahan saat ini masih dibawah sepertiga bagian
saja. Artinya, posisi presiden di mata masyarakat masih diinginkan hampir dua
pertiga responden.
Berbagai alasan di lontarkan setiap responden berkaitan dengan keberadaaan
pemerintahan Gus Dur. Mereka yang masih merasa Gus Dur masih perlu
dipertahankan, sedikitnya melontarkan tiga macam alasan:
a) Menyangkut usia pemerintahan kali ini. bagi mereka usia pemerintahan kali ini
masih relative pendek. Masa kerja satu tahun, disadari belum memadai untuk
memvonis berakhirnya sebuah pemerintahan. Oleh Karen itu, masih perlu
diberikan kesempatan kepada pemeritahan kali ini agar memperbaiki segenap
kekurangannya.
b) Presiden tetap dipertahankan dengan alasan kualitas kepemimpinan. Penilaian
mereka bagaimanapun sosok Gus Dur masih yang terbaik di antara calon
pemimpin bangsa saat ini.
c) Mereka yang berpandangan belum ditemukan kesalahan besar dalam
pemerintahan kali ini. Kalangan ini berpendapat, sepanjang sembilan bulan
pemerintahannya, apa yang dilakukan kabinet masih dalam batas-batas normal
28 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.3-4
46
apabila dibandingkan dengan begitu besar dan rumitnya persoalan yang ada.
Sisanya, mereka yang mengangggap perlu mempertahankan Gus Dur, dengan
mempertimbangkan dampak dari pergantian presiden sebelum masa waktunya
berakhir. Bagi kalangan ini, pergantian akan menimbulkan persolaan baru,
ketidakpuasan pendukung presiden.
Bagi pemerintah, bisa jadi sepanjang satu tahun usia pemerintahannya apa
yang dilakukan sudah merupakan langkah maksimal. Namun, dimata masyarakat,
sepanjang satu tahun pemerintahan dianggap belum banyak menyentuh segenap
kepentingan mereka. Malah, dalam kurun waktu tersebut, yang justru muncul
semakin besarnya ungkapan ketidakpuasan terhadap segenap kinerja
pemerintahan. Kenyataan demikian terungkap dalam pandangan responden jangka
pendapat di 13 kota besar di Indonesia. Mereka tidak puas lantaran apa yang
mereka harapkan belum juga terwujud. Menurut hasil penelitian ini, rasa
ketidakpuasan mereka terungkap dalam tiga macam persoalan besar:
a) Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam bidang perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat.
b) Ketidakpuasan yang dilontarkan terhadap penanganan politik dan keamanan.
c) Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam upaya menegakkan
hukum.29
Kita semua sudah tau, Gus Dur merupakan seorang tokoh yang sudah lama
memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia dan bahkan di dunia
Internasional. Selama Orde Baru Gus Dur dengan tegar, kritis selalu membela
kepentingan bangsa secara keseluruhan di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Hal itu terlihat dengan jelas, di antarannya melalui pembelaannya yang tidak
kenal kompromi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan orang-orang yang
tertindas meskipun untuk itu Gus Dur harus menerima hujatan dari kelompok
mayoritas, atau bahkan dari kelompoknya sendiri. Berdasarkan kenyataan itu,
ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, tuduhan bahwa jati diri Gus Dur telah
29Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.151-164
47
berubah hanya karena Gus Dur mengeluarkan dekrit sangat kecil kemungkinan
kebenarannya. Interpretasi yang lebih bijkasana dan aman dalam membaca dekrit
Gus Dur adalah melalui pembacaan menyeluruh terhadap kehidupan dan
pemikiran Gus Dur, pendekatan hermeneutik. Melalui tafsiran ini, kita akan
mengetahui bahwa keluarnya dekrit itu kemungkinan besar lebih merujuk kepada
kepolosan Gus Dur dan husnuzzan-nya kepada orang-orang yang di sekelilingnya.
Lebih dari itu, melalui tindakan tersebut Gus Dur sebenarnya tidak ingin
mendapat pujian dalam menegakan demokrasi di Tanah Air ini. Justru yang Gus
Dur inginkan adalah menjadi martir demokrasi dalam arti yang senyatanya, tanpa
seorang pun yang mengetahui dan mengenangnya, maka Gus Dur mengeluarkan
dekrit. Pada tanggal 1 Agustus 2000, MPR mengadakan Sidang Istimewa.30
Untuk kian memperkukuh hal tersebut, Gus Dur pun sesudah itu tampil
seadanya di depan publik dengan tanpa beban sedikit pun. Dengan demikian,
ketika ia meninggalkan hiruk pikuk panggung politik, Gus Dur berharap tidak
seorang pun yang mengenangnya. Bila itu telah terjadi, berarti semua yang Gus
Dur lakukan dengan tujuan semata-semata untuk dipersembahkan kepada Tuhan
dan kemanusiaan universal benar-benar telah dicapainya. Namun, Gus Dur adalah
seorang manusia seperti kita semua, bukan Nabi apalagi seperti Tuhan. Gus Dur
pasti tidak lepas dari segala kekurangan dan kelemahan. Pada sisi itu kita harus
melihat Gus Dur dalam menggapai cita-citanya mengembangkan demokrasi
secara utuh dan tuntas di negeri ini sebagai sesuatu yang lumrah. Demikian pula
kita hendaknya menerima kelemahan yang lain, semisal ketidak mampuannya
dalam merangkul elite-elite politik yang sangat beragam dalam kepentingan dan
pemikiran. Semua itu muncul dari keberadaanya sebagai manusia biasa yang tidak
akan menghilangkan sisi-sisi kekuatan yang dimilikinya.31
Kasus bulog yang membawa blunder bagi kepresidenan Gus Dur, sebenarnya
paling tidak menurut M.Mahfud MD. Dalam bukunya yang berjudul setahun
bersama Gus Dur, hanya disebabkan oleh gaya dan selera Gus Dur dalam
30 Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Jakarta:LKIS Yogyakarta, 2003), h. 21 31 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., h.240-242
48
mengurus dan menyikapi persoalan. Ada tiga kelemahan Gus Dur yang
menyebabkan kasus itu menjadi blunder bagi dirinya:
1) Gus Dur tidak suka pada detail dan teknisnya dari persoalan. Dalam kasus
bulog, Gus Dur langsung tidak mau tahu lagi dengan kelanjutannya, tetapi
orang-orang yang tidak bertanggung jawablah yang kemudian melanjutkan
operasinya di luar pengetahuan Gus Dur.
2) Gus Dur acap kali suka menyederhanakan persoalan. Gus Dur tidak suka
dilawan dan tidak mau melakukan kompromi jika ia merasakan bahwa
kompromi itu merugikan dirinya dalam politik.32
Menurut Gus Dur, mendirikan sebuah Negara Islam tidak wajib bagi kaum
muslimin, tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran
Islam adalah sesuatu yang wajib. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila sangat
penting dipakai sebagai landasan untuk memberi legitimasi bagi kegiatan politik
organisasinya, serta sebagai titik tolak untuk menyatakan keprihatinan atas
masalah-masalah dasar yang berkenaan dengan persatuan dan tujuan nasional.
Para pendukung dan pengkritiknya mengesankan betapa Gus Dur telah secara
sadar memilih strategi yang menjadikan pancasila sebagai wahana dan bahasa
politik untuk menyampaikan gagasannya.33
Sosok seorang Gus Dur tampaknya membekas begitu mendalam di benak
orang-orang yang pernah mengenalnya. Tokoh nasional Adnan Buyung Nasution
mengenang Gus Dur sebagai cendikiawan dan pejuang demokrasi yang berperan
besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.34
Dari uairaian di atas, sudah sangat jelas bahwa Gus Dur tidak menginginkan
adanya Negara Islam, tapi yang Gus Dur inginkan adalah masyarakat yang tetap
berpegang teguh terhadap ajaran Islam, dan beliau termasuk dalam golongan
substantive – enkulisifme.
32 Moh. Mahfud MD, op.cit.., h. 100-101 33 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta:The Wahid Instiitute, 2006), h.17-105 34 Muhammad Rifai,op.cit., h.170-171
49
Kebijakan Gus Dur tentang pendidikan ketika menjabat sebagai presiden
yaitu membuat UU No.22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan
desentralisasi, yang di dalam UU tersebut adanya kebijakan tentang pendidikan.
Dengan adanya UU No.22 dan 25 tahun 1999 telah membuktikan bahwa Gus Dur
sangat peduli terhadap pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan di
pesantren.
50
BAB IV
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA OLEH
K.H.ABDURRAHMAN WAHID
A. Gagasan K.H. Abdurrahman Wahid Tentang Pesantren
Gagasan Gus Dur dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada
modernisasi pendidikan pesantren. “Menurut Gus Dur berbagai aspek pendidikan di
pesantren, mulai dari kurikulum, manajemen dan kepemimpinan yang ada di
pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi.”1
Dengan memperbaiki aspek-aspek yang ada di pesantren, pesantren dapat membantu
lulusannya agar dapat menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan zaman, sehingga
terlibat secara aktif dalam memberdayakan masyarakat dan tampil sebagai agen
pembaharu sosial.
Seiring dengan itu, kurikulum pesantren seharusnya tidak hanya berisi mata
pelajaran agama saja, melainkan juga memuat mata pelajaran umum, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
“Menurut Gus Dur pendekatan dalam pengajaran yang ada di pesantren harus
disempurnakan dengan metode pengajaran yang merangsang kemampuan berfikir
1 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Tokoh-Tokoh Pemabaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta:Pt
Raja Graindo Persada, 2005), h.350
51
kritis dan bersikap kreatif. Sedangkan dalam segi kepemimpinan harus dilakukan
perpaduan antara yang bercorak karismatik dengan kepemimpinan yang demokratis
dan menerapkan manajemen yang modern.”2
Tidak seperti kebanyakan modernis, sekuler maupun islami, di dunia Islam yang
mencela ulama atas keterbelakangannya dan kegagalan masyarakat muslim. Gus Dur
justru menekankan pentingnya ulama dalam reformasi Islam, menurut Gus Dur dalam
reformasi Islam, kepemimpinan dinamis pesantren akan mampu mencegah krisis
yang berlarut-larut dalam pesantren, dan mengembangkan pesantren untuk menjadi
lembaga pendidikan dan sosial yang benar-benar mampu menghadapi tantangan
zaman. Gus Dur tidak menutup mata terhadap kegagalan banyak ulama tradisional
dan lembaga-lembaga mereka. Gus Dur berupaya menghidupkan kembali ulama dan
sistem pesantren, menggabungkan pemikiran dan kultural tradisional Islam yang
terbaik dengan pemikiran Barat modern yang terbaik.3
Tujuan Gus Dur adalah menghubungkan intelektual dengan reformasi sosial.
Untuk itu Gus Dur sangat menekankan revitalisasi melalui pengembangan
keberadaan dan peran kepemimpinan muda dalam pesantren yang akan mampu
merangkul kemajuan khususnya yang bersifat material dengan tradisi-tradisi yang
telah mereka warisi dari generasi terdahulu. Menurut Gus Dur, pendidikan Islam
harus sanggup meluruskan respon terhadap tantangan modernisasi, namun kesadaran
dalam hal itu, justru belum ada dalam pendidikan Islam. Hal inilah yang merisaukan
hati para pengamat seperti Gus Dur, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam
terjadi seperti terlihat di tanah air, ketidak mampuan memahami kenyataan ini, yaitu
hanya melihat lembaga pendidikan formal, seperti sekolah atau madrasah di tanah air
sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan
tentang pendidikan Islam itu sendiri.4
2 Ibid, h.352-360 3 Jhon L. Esposito, Tokoh Kunci Gerkaan Islam Kontemporer, (Jakarta:Pt. Raja grafindo persada, 2002),
h.260 4 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta:the Wahid Instute, 2006), h.225-226
52
Maksud dari gagasan Gus Dur, sudah sangat jelas bahwasanya pendidikan di
pesantren haruslah diubah baik dari kurikulum, menejemen dan kepemimpinannya.
Kepemimpinan di pesantren yang telah diketahui banyak orang, bersistem vertikal,
sehingga hanya keturunan dari para kiai yang akan meneruskan pesantren tersebut. Di
sini Gus Dur sebagai seorang keturunan kiai dan darah biru, ingin mengubah pola
kepemimpinan tersebut, sehingga siapapun bisa menjadi pemimpin pesantren, dengan
syarat orang tersebut mempunyai skill dan bisa membawa pesantren ke arah yang
lebih baik dan para alumninnya bisa bersaing di dunia kerja.
1. Gagasan Pembaharuan Kurikulum Pesantren
Pengembangan kurikulum di pesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki
kehidupan nasional yang tertera dalam GBHN. Oleh karena itu, perkembangan
tersebut hendaknya mengakomodasi tuntunan sistematik dan lebih-lebih tuntutan
sosiologis masyarakat Indonesia. Secara umum sebuah pesantren telah memiliki
kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang padat dan didukung dengan bahan
pelajaran khusus. Untuk memudahkan cara kerja pengembangan kurikulum,
pesantren sebaiknya perlu diidentifikasi semua program pesantren. Dari sini akan
diperoleh pemetaan yang jelas, mana kegiatan yang termasuk ke dalam sistem
persekolahan dan mana yang masuk ke dalam non persekolahan. Sesungguhnya
ada dua proses yang lazim ditempuh dalam perkembangan kurikulum pendidikan,
termasuk pesantren, yaitu pengembangan pedoman kurikulum dan pengembangan
intruksional.5
Gus Dur menginginkan kurikulum pesantren memiliki keterkaitan dengan
kebutuhan lapangan kerja, menurut Gus Dur sangat penting menghilangkan
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, dengan catatan penguasaan ilmu
agama harus diberi porsi cukup besar dalam kurikulum pesantren.
5 Drs.H.Mundzier suparta, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta:Diva Pustaka, 2005), h.73-79
53
“Betapapun kecilnya pengembangan isi kurikulum telah membuktikan adanya
gerak kemajuan yang mengarah pada pemenuhan keperluan santri terutama
sebagai pembentukan intelektual disamping pengembangan kepribadian. Penataan
kurikulum pesantren terkait erat dengan ciri khas keilmuan pesantren.”6 Di masa
ini menurut Gus Dur, sistem pendidikan di pesantren tidak didasarkan pada
kurikulum yang digunakan secara luas, tetapi diserahkan pada penyesuaian yang
elastis antara kehendak kiai dan santri secara individual. Kemudian kurikulum
pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan ilmu yang
masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang diajarkan pada masa awal
pertumbuhannya.
“Pengembangan kurikulum tersebut lebih bersifat rincian materi pelajaran yang
sudah ada daripada penambahan disiplin ilmu yang baru sama sekali.”7 Kurikulum
yang berkembang di pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap.
Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut:
1) Kurikulum ditunjukan untuk mencetak ulama di kemudian hari.
2) Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam
segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan
kepada santri secara pribadi oleh kiai.
3) Secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel, dalam
artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya
atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada
pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.
Dalam hubungannya dengan penyediaan tenaga kerja, kurikulum dengan
karakteristik di atas telah menghasilkan alumni yang hanya memasuki lapangan
kerja tradisional, seperti menjadi guru, petani, pedagang kecil, dan pejabat
pemerintah pada jabatan yang tidak membutuhkan spesialisasi. Karena, pendidikan
6 Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta:Lekdis, 2006), h.43 7 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.110-112
54
yang diberikan tidak menjurus pada spesialisasi tertentu diluar penguasaan
pengetahuan agama maka tidaklah dapat diminta dari pesantren menurut pola di
atas untuk menyediakan tenaga kerja yang terdidik khusus untuk sesutau jenis
pekerjaan. Sifatnya yang ditekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup
tertentu yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan kerja yang tidak
direncanakan sebelumnya.8
Menurut penulis, kurikulum seperti yang di ataslah yang ingin dirubah oleh Gus
Dur. Karena, kalau kurikulum seperti di atas tetap dipertahankan maka para
lulusan pesantren hanya akan menjadi pekerja yang tidak mempunyai spesialisasi.
Perubahan dalam kurikulum yang dimaksud Gus Dur sesuai dengan prinsip
mengambil yang baru yang lebih baik dan mempertahankan yang lama yang baik.
Dengan dipertahankannya seperti: kurikulum pengajian non sekolah dan
kurikulum sekolah tradisional.
Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam variasi
bermacam-macam, namun kesemua perkembangan itu tetap mengambil bentuk
pelestarian watak utama pendidikannya sebagai tempat menggembleng ahli-ahli
agama yang di kemudian hari akan menunaikan tugas untuk melakukan
transformasi total atas kehidupan masyarakat di tempat masing-masing. Beberapa
jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas dalam hubungan ini:
1) Kurikulum pengajian nonsekolah, santri belajar pada beberapa orang kiai dalam
sehari semalamnya. Kurikulum ini walaupun memiliki jenjangnya sendiri,
bersifat sangat fleksibel, dalam arti pembuatan kurikulum itu sendiri bersifat
individual oleh masing-masing santri. Sistem pendidikan seperti ini, yang
dinamai sistem lingkaran memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri
untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri
pengajian mana yang akan dilakukannya.
2) Kurikulum sekolah tradisional, pelajaran telah diberikan di kelas dan disusun
berdasarkan kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini
8 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi,(Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010), h.145-146
55
tidak berarti pendidikannya sendiri telah menjadi klasikal karena kurikulumnya
masih didasarkan pada penahapan dan penjenjangan berdasarkan urut-urutan
teks kuno secara berantai. Walaupun sebagian besar sekolah agama tradisional
ini telah memasukan mata pelajaran nonagama dalam kurikulumnya, belum ada
integrasi kohesif antara komponen mata pelajaran agama dan nonagama.
Akibatnya, komponen nonagama lalu kehilangan relevansinya di mata guru dan
santrinya, dipelajari tanpa diyakini kebenarannya. Paling jauh, mata pelajaran
nonagama hanya dipakai untuk menunjang penggunaan mata pelajaran agama
bagi tugas penyebaran agama nantinya.
3) Pondok modern, kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-masing
kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi bagian integral
dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang. Akan tetapi, di sini mata
pelajaran nonagama, walaupun telah diakui pentingnya, masih ditundukkan
pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama sehingga kelompok mata
pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualitas dengan tekanan pada
penumbuhan ketrampilan skolatis.9
Dari tinjauan di atas bahwa beberapa pedoman harus senantiasa diingat dalam
merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren, yang memenuhi tuntuan dan
kebutuhan penyediaan angkatan kerja dalam hidup modern ini. Pertama-pertama
haruslah diingat bahwa terdapat kesulitan untuk membuat pesantren menerima
kurikulum yang bertentangan dengan tujuan penyebaran agama dan fungsi
transformasi kultural yang dimiliki pesantren.
Menurut Gus Dur penyedian tenaga trampil dan terlatih untuk berbagai jenis
profesi haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki hubungan dengan
tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana dipahami oleh warga pesantren selama ini.
Selain itu, harus pula diingat bahwa penguasaan pengetahuan agama haruslah diberi
porsi cukup besar dalam kurikulum apa pun yang diterapkan dilingkungan
pesantren. Porsi itu dapat diberikan dalam ukuran besar kualitatif, walaupun sedikit
9 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, op.cit. , h.350
56
secara kuantitatif. Di masa depan yang dekat ini masih belum mungkin dicapai
konsensus luas tentang sebuah kurikulum umum yang diterima bersama, walaupun
dalam bentuk sederhana sekalipun. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan
kebutuhan tenaga kerja yang semakin menjurus pada spesialisasi, percobaan yang
dilakukan masih harus diteruskan dan diselesaikan dengan sempurna, guna
menemukan kerangka kurikulum umum yang nantinya disepakati bersama tetapi
memiliki relevansi dengan kebutuhan di atas. Pendidikan kejuruan melalui
ketrampilan yang telah di modifikasi, misalnya, memberikan kemungkinan seperti
itu. Menurut Gus Dur kurikulum pesantren seharusnya tidak hanya berisi mata
pelajaran agama saja, melainkan juga memuat mata pelajaran umum, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan
kerja.10
Ketika ingin memasukan kurikulum harus diberikan pedoman kepada pesantren
yang akan dimasuki oleh kurikulum baru, dan pesantren mampu merencanakan
kurikulum baru dengan kurikulum lama, sehingga para lulusannya dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan tenaga kerja yang spesialisasi dalam kehidupan modern ini.
2. Gagasan Pembaharuan Kepemimpinan Pesantren
Kiai adalah pemimpin non formal sekaligus pemimpin spiritual, dan posisinya
sangat dekat dengan kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. “Oleh
karena itu, segi kepemimpinan harus dilakukan perpaduan antara yang bercorak
karismatik dengan kepemimpinan yang demokratis dan menerapkan menejemen
yang modern.”11
“Sebagai pemimpin masyarakat, kiai memiliki jema’ah komunitas dan masa
yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya patrenalistik.
Kiai memang memiliki posisi yang serba menentukan kebijaksanaan di tengah
11 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, op.cit., h.351-360
57
masyarakat, sehingga cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada
akhirnya justru berakibat fatal.”12
Biasanya, pesantren didirikan oleh seseorang yang bercita-cita tinggi dan
mampu mewujudkan cita-citanya itu. Proses pendirian pesantren secara
sedemikian ini menampilkan seorang pemimpin yang tertimpa oleh pengalaman,
memiliki keunggulan kepribadian yang dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain di
sekitar pesantren. Kekuatan pribadi seperti itu menimbulkan corak kepemimpinan
yang sangat pribadi sifatnya, yang berlandaskan penerimaan masyarakat luar dan
warga pesantrennya secara mutlak. Sifat mutlak dan pribadi dari kepemimpinan
seperti ini dinamai kharisma.13
Dalam pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam kelompok kebijakan
yang melibatkan sejumlah pihak yaitu ustadz, wali santri dan santri. Di dalam
pesantren salafiyah sendiri yang telah melaksanakan madrasah, maka
pemimpinnya boleh untuk menjalankan kewenangan dan pembuatan keputusan
secara formal sebagai kepala madrasah. Sedangkan pesantren salafiyah yang tidak
menyelenggarakan sekolah formal, tugas pemimpin mungkin cukup memberi
pengarahan dan kordinasi untuk melaksanakan program-program pesantren,
sedangkan urusan teknis diserahkan kepada staf yang telah ditunjuk. Dalam
mengemban sebagai lembaga pendidikan, menurut Gus Dur sebuah pesantren
hendaknya memfokuskan program dan kegiatannya untuk memberi layanan
pendidikan dan belajar-mengajar demi mempersiapkan lulusan santri yang
berkualitas. Di sinilah para pemimpin pendidikan pesantren diharapkan mampu
menjadi inspirator demi terciptannya komunitas belajar yang dinamis.14
Kepemimpinan di pesantren selama ini pada umumnya bercorak alami. Baik
pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan
menggantikan pimpinan yang ada, belum memiliki bentuk yang teratur dan
menetap. Dalam beberapa hal, pembinaan dan pengembangan seperti itu dapat
12 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, op.cit., h.29-41 13 Abdurrahman Wahid, op.cit., h.179-194 14 Drs. H.Mundzier Suparta, MA, op.cit., h.24-32
58
juga menghasilkan persambungan kepemimpinan yang baik, namun pada
umumnya hasil sedemikian itu tidak tercapai. Akibatnya, sering kali terjadi
penurunan kualitas kepemimpinan dengan berlangsungnya pergantian pimpinan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, pimpinan pesantren
yang memiliki kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan sekarang dan masa
depan harus pula memahami kebutuhan integrasi pesantren ke dalam pendidikan
nasional. Bagaimana pun juga harus diakui bahwa saat ini pesantren sebagai suatu
sistem pendidikan masih berada di luar lingkungan pendidikan nasional yang ada.
Ia diakui sebagai satu pendidikan yang hidup ditengah-tengah dan menjadi bagian
dari masyarakat bangsa. Secara potensial, ia merupakan salah satu dari lembaga
pendidikan ideal bagi bangsa Indonesia karena kemampuannya mengembangkan
watak mandiri dalam diri para lulusannya selama ini.
Satu hal dapat ditunjukan sebagai sebab belum menetapnya pola
kepemimpinan di pesantren selama ini, yaitu watak kharismatis yang dimilikinya.
Kenyataan bahwa pola kepemimpinan seorang kiai adalah pola kepemimpinan
karismatik sudah cukup menunjukan segi tidak demokratisnya, sebab tidak
rasional, apalagi jika disertai dengan tindakan yang secara sadar maupun tidak
bertujuan memelihara karisma itu, seperti prinsip jaga jarak dan ketinggian dari
para santri, maka pola kepemimpinan itu benar-benar akan kehilangan kualitas
demokratisnya. Karena kepemimpinan kiai adalah karismatik, maka dengan
sendirinya juga bersifat pribadi. Dengan karisma yang dimiliki kiai para santri
akan patuh pada perintah kiai.15
Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang kiai tak mungkin
digantikan oleh orang lain, serta sulit ditundukan ke bawah-nya administrasi dan
manajemen modern. Karena dasar kepemimpinan pesantren adalah seperti
diterangkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi tidak
begitu penting. Kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya
pesantren dari perkembangan zaman.16
15 Amin Haedari, op.cit., h.87 16 Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, (Jakarta:Paramadina, 1997), h.95-96
59
“Menurut Gus Dur, kepemimpinan di pesantren, tidak harus diatasi dengan
cara menghilangkan kepemimpinan karismatik kiai yang sudah tumbuh berabad-
abad lamanya di pesantren, melainkan dengan cara menuntut adanya perombakan
kepada pola kepemimpinan yang lebih dipersiapkan dan direncanakan
sebelumnya.”17
Seperti melakukan pengkaderan, memilih calon pemimpin
pesantren, pemilihanya tersebut tidak hanya dari kalangan keluarga kiai tapi, bisa
juga dari santri senior atau ustadz yang mempunyai jiwa kepemimpinan dan punya
skill untuk membawa perubahan pesantren kearah yang lebih baik dan sesuai
dengan tuntunan zaman.
“Oleh karena itu, pada kepemimpinan alami dalam pesantren yang berupa
pola pewarisan pesantren, termasuk estafet kepemimpinannya harus segera
dirombak supaya pesantren tidak ditinggalkan masyarakat.”18
Pemimpin yang mempunyai sifat kharismatis sangatlah diperlukan akan
tetapi, kalau tidak dibarengi dengan demokrasi, maka yang ada kepemimpinan
tersebut menjadi otoriter. Kepemimpinan yang otoriter inilah yang akan
menghambat pesantren dalam kehidupan modern seperti sekarang. Oleh karena itu,
alangkah lebih baiknya jika kepemimpinan pesantren yang kharismatis itu
dibarengi dengan demokrasi, demokrasi disini adalah mau menerima masukan dari
luar dan cara pergantian kiai yang tidak vertikal.
3. Gagasan Pembaharuan Institusi Pendidikan Pesantren
Pembaharuan institusi di pesantren sangat diperlukan dalam menghadapi
perkembangan zaman seperti sekarang, “madrasah sebagai wujud pembaharuan
pesantren, sebagai perluasan yang terbatas dari model pesantren itu sendiri, yang
dipengaruhi tradisi keilmuan Mekah. Keputusan pesantren menerima perubahan
status madrasahnya menjadi madrasah negeri itu sangat menguntungkan dari segi
17 Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, op.cit., h .356 18 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, op.cit., h.50
60
keuangan pesantren.”19
Madrasah lahir di Indonesia pada abad ke-20, pada masa
Belanda madrasah belum terkoordinasi dalam satu kesatuan di antara seluruh
madarasah. Masing-masing madrasah muncul dengan caranya sendiri. Dengan
tampilnya para pembaharu di kalangan umat Islam tersebut, sistem pendidikan
dalam pesantren juga mengalami perubahan dengan cara memodernisasi
madrasahnya.
Eksistensi madrasah di dalam pesantren makin mempertegas keterlibatan
lembaga pendidikan Islam ini dalam memperbaiki sistem pendidikannya dan
menunjukan adanya persaingan menghadapi model pendidikan yang
dikembangkan Belanda. Kehadiran madrasah tidak dimaksudkan menggusur
pengajian tradisional, melainkan justru melengkapinya. Madrasah dan pengajian
tradisional yang menggunakan metode sorogan dan bandongan ini selalu berjalan
berdampingan. Kehadiran lembaga madrasah di pesantren seharusnya memiliki
konsekuensi yang signifikan karena sistem pendidikan yang dibawa madrasah ini
dalam bnayak hal berbeda dengan sistem pendidikan pesantren murni. Gus Dur
menyadari urgensi lembaga pendidikan madrasah di pesantren, sehingga Gus Dur
sejak dini telah menawarkan alternative dengan mendirikan sekolah umum yang
dikombinasikan dengan pengajaran agama melalui pengajian weton. Mungkin
bentuk ini akan mencapai momentum terbesar dikalangan pesantren.20
“Kehadiran
madrasah di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan
secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam
kegiatan pendidikan dikalangan umat Islam.”21
“Model pendidikan di NU, menurut Gus Dur adalah pendidikan madrasah
yang mengutamakan kitab kuning, yaitu kitab-kitab agama yang lama.”22
Untuk dapat memahami perubahan dalam sebuah pola pendidikan di
pesantren, haruslah diketahui terlebih dahulu sebab yang mendorong terjadinya
perubahan itu sendiri, yaitu
19 Dr. Nurcholish Madjid, op.cit., h.77 20 Ibid, h.91-99 21 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang:UIN Malang Press, 2008), h.259 22 Matra, Wawancara Gus Dur 1996, h.24
61
1) Keinginan sangat kuat pada permulaan abad ini untuk menerapkan sistem
sekolah pada pendidikan pesantren.
2) Terjadinya pergeseran tidak terasa dalam tujuan pendidikan pesantren,
pergeseran ini mau tidak mau lalu mengubah arah yang dituju oleh sistem
pendidikan di pesantren secara keseluruhan.
Proses ini dimulai oleh tawaran pemerintah untuk menegerikan beberapa
madrasah di sementara pesantren utama, semula sebagai pilot project untuk
membuat madrasah teladan. Walaupun jauh sebelum itu telah ada juga satu dua
buah pesantren yang dengan sadar menyelenggarakan sistem pendidikan elit,
seperti pada pesantren Gontor di Ponorogo.
Selama enam tahun terakhir ini telah berlangsung perubahan-perubahan
cukup mendasar dikalangan pesantren karena penerapan beberapa pola
pengembangan di dalamnya, ada tiga pola pembangunan yang dapat dibedakan,
yaitu
a. Pola pendidikan ketrampilan yang ditawarkan dan dikelola oleh Kementrian
Agama, pola ini sekarang telah diikuti oleh lebih dari seratus pesantren. Mulai
dicetuskan oleh mantan Mentri Agama H.A. Mukti Ali pendidikan ketrampilan
telah turut mengubah arah kehidupan pesantren, lebih-lebih karena ia ditopang
oleh dukungan Kementrian Agama secara moral dan materil.
b. Pola pengembangan sporadis yang ditempuh oleh beberapa pesantren utama
secara sendiri-sendiri, tanpa tema tunggal yang memikat kesemua upaya
mereka itu, dan dilaksanakan berdasarkan persepsi dan aspirasi masing-
masing.
Perubahan itu sendiri hanya akan ada arti positifnya bagi kita semua jika ia
secara sadar diletakan pada dua jalur utama oleh semua kalangan yang
bersangkutan, yaitu
1) Jalur pertama adalah mengarahkan semua perubahan yang dilakukan pada
tujuan mengintegrasikan pesantren sebagai sistem pendidikan kedalam pola
62
umum pendidikan nasional yang membangun dan kreatif. Hanya dengan tujuan
pendidikan seperti ini dapat disimpulkan relevansi yang sesungguhnya bagi
pengembangan pesantren itu sendiri.
2) Jalur kedua adalah meletakan fungsi kemasyarakatan pesantren dalam konteks
atau kerangka menumbuhkan lembaga pemerintahan yang kuat dan matang di
pedesaan sehingga mampu menjadi rekan yang sesungguhnya bagi pemerintah
dalam kerja pembangunan.23
Perubahan dalam pendidikan yang dimaksud di sini adalah perubahan
pendidikan di madrasah dan pesantren yang mana kedua tempat pendidikan ini
mulai melakukan perubahan dikarenakan oleh tawaran pemerintah untuk
menegerikan madrasah dan sekolah umum yang ada di pesantren.
4. Gerakan Pembaharuan di Ciganjur
Di masa sebelum kemerdekaan, pesantren adalah satu-satunya lembaga
pendidikan. Semua yang memiliki darah biru kebangsaan dan mereka yang karena
hubungannya dengan keraton dididik dalam lembaga pendidikan keraton,
pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam
lembaga pendidikan keraton. Pesantren merupakan hasil usaha mandiri kiai yang
dibantu santri dan masyarakat, sehingga memiliki berbagai bentuk.24
Pesantren yang ada di Ciganjur, adalah bukti pergerakan yang dilakukan
Gus Dur dalam perubahan di pesantren. Pesantren Ciganjur memiliki sistem
diskusi, karena para santri yang tinggal umumnya mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi yang ada di Jakarta. Santri yang tinggal berjumlah 20-30 orang.
Yang mengatur sistem di pesantren tersebut adalah para santrinya sendiri. Gus
Dur mendirikan pesantren di Ciganjur bertujuan untuk merubah pola pikir dan
23 Abdurrahman Wahid, op.cit., h..105-176 24 Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, op.cit., h.16
63
cara pandang masyarakat muslim Indonesia, karena itu pesantren di Ciganjur
yang hidup dan menghidupkan pesantren adalah santrinya.
Pesantren di Indonesia menunjukan kemampuan unik untuk menanggapi
dengan cara yang lebih kompleks dari pada semata-mata menolak bentuk
pendidikan yang berupa sekolah. Pengalaman-pengalaman terpisah diberbagai
pesantren untuk mendirikan sekola-sekolah nonagama di sekitar lingkungan
mereka dengan pendidikan agama hanya diberikan sebagai kegiatan ekstra
kurikuler selama jam-jam di luar sekolah. Di sisi lain, percobaan untuk
mendorong pesantren agar menjadi basis pembangunan desa atau masyarakat, kini
telah berkembang pesat menjadi suatu usaha yang masif bagi transformasi sosial
yang diawali oleh pesantren.25
“Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga sistem
pendidikan pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan mengakar kuat.”26
Sehingga, kalangan pesantren lebih memberikan kesan sebagai lembaga
pendidikan keagamaan itu adalah kesan yang sulit dielakan. Akan tetapi,
pengertiannya harus dijelaskan terlebih dahulu, karena ada memang pesantren di
mana di khususkan pendidikannya untuk mencapai spesialisasi dalam bidang
keagamaan. Misalnya di Tebuireng di adakan spesialisasi tentang hadis, ilmu
tafsir, atau di Krapyak dibuat spesialisasi tentang ilmu bahasa Arab. Akan tetapi,
ada juga yang hanya memberikan pelajaran agama sebagai dasar. Tidak sampai
kepada spesialisasi, dari segi pandangan lain bisa dikatakan sebagai berikut
“pendidikan keusahawanan misalnya bukanlah suatu yang asing dalam pesantren,
terutama dalam konsekuensi dari pendidikan semacam itu, yaitu etos kerja.
Hal semacam itu selalu menjadi tekanan pokok dalam pendidikan di
pesantren. Akan tetapi pendidikan kepengusahaan itu tidak terkoordinir dan tidak
direncanakan dan untuk itu perlu dibuat kerangkannya. Sehingga tidak berakibat
lulusan usahawan yang otodidak, yang tidak mendekati masalahnya dari segi
ilmiah, tetapi berdasarkan instuisi. Yang terpenting ialah pada mereka ditanam
25 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, (Jakarta:The Wahid Institute, 2007), h.145-146 26 Dr. Nurcholish Madjid, op.cit., h.88
64
kesadaran dan keinginan mengubah kehidupan masyarakat melalui penciptaan
etos kerja berdasarkan suatu pandangan agama. Asal saja ada kerangkanya, sebab
kalau hanya ketrampilan yang diajarkan, tanpa dibilang mengapa dan apa
gunannya, hasilnya seperti yang disaksikan sekarang. Dalam buku Abuddin Nata
yang berjudul tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, menurut
Gus Dur banyak pesantren yang menolak pendidikan ketrampilan dari
Kementrian Agama. Ini suatu kenyataan yang harus diakui, program ini hanya
diterima oleh pesantren yang kecil, sedangkan pesantren yang besar dan
berpengaruh menolaknya. Kalaupun menerima, hanyalah sebagai hiasan bibir
belaka. Dan tidak ada yang menerima secara terbuka dan menjadikannya suatu
program karena memang tidak ada kerangkannya.27
Di dalam buku yang berjudul menggerakan tradisi, Gus Dur berpendapat
bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan
terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya pesantren dapat
mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi
juga dalam setting sosial dan keagamaan. Dengan pembaharuan yang Gus Dur
lakukan, dia menginginkan agar pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga
pendidikan keagamaan dalam arti yang selama ini berjalan, melainkan juga
sebagai lembaga yang mampu memberikan sumbangan yang berarti serta
membangun sistem nilai dan kerangka moral pada individu dan masyarakat.
Dengan cara demikian, pesantren dapat menjadi lembaga yang mendidik manusia
untuk bisa menjalani kehidupan dalam arti yang sesungguhnya.28
Tuntunan untuk mengembangkan pengetahuan nonagama adalah kebutuhan
nyata yang harus dihadapi para lulusan pesantren di masa depan. Karena
tantangan masa depan umat manusia, selain menuntut dimilikinnya landasan
berupa bekal rohani yang kuat, juga akan sangat ditentukan oleh penguasaan atas
perkembangan pengetahuan dan teknologi. Justru tantangan untuk berlomba
28 Abdurrahman Wahid, op.cit., h.105-186
65
menguasai pengetahuan nonagama merupakan salah satu tugas yang harus
dilaksanakan oleh pesantren. Manusia yang sedemikian itu memiliki cakrawala
pemikiran yang luas, pandangan hidup yang matang dan pendekatan yang praktis
dan berwatak multisektoral dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan
kata lain, manusia yang mampu memandang jauh ke muka sekaligus memiliki
ketrampilan praktis untuk menyelesaikan persoalan sendiri secara terbatas. Tujuan
pengembangan pesantren dengan demikian adalah integrasi antara pengetahuan
agama dan nonagama sehingga lulusan yang dihasilkan akan memiliki suatu
kepribadian yang utuh dan bulat, yang menggabungkan dalam dirinya unsur-unsur
keimanan yang kuat dan penguasaan atas pengetahuan secara berimbang.29
Gerakan yang Gus Dur lakukan dalam pembaharuan pesantren tidak
sebanyak gagasannya, di karenakan Gus Dur tipikal orang yang tidak bisa diam
dan dia ingin melakukan banyak hal, terutama tentang kemanusiaan. Berdasarkan
pada pendapatnya, Gus Dur menginginkan agar peserta didik yang belajar di
pesantren adalah peserta didik yang memiliki ilmu umum yang kuat secara
seimbang. Beliau juga menginginkan agar disamping mencetak ahli ilmu agama
Islam, pesantren juga mampu mencetak orang yang memiliki keahlian dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
B. Kebijakan K.H. Abdurrahman Wahid di Bidang Pendidikan
Reformasi pendidikan telah dilakukan dan regulasi atas perubahan kebijakan
pembangunan pendidikan telah dimulai. Untuk itu, seluruh kebijakan yang tekait
dengan perubahan, penyempurnaan, pembaharuan dan jenis pendidikan harus
diarahkan pada upaya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu, sesuai
dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan.30
29 Abdurrahman Wahid, op.cit., h..105-186 30 Dr.yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan, (Jakarta:rajawali Press, 2011),
h.11
66
1. Semasa Menjabat Sebagai Ketua PBNU dan Presiden
Ketika Gus Dur menjabat sebagai ketua PBNU periode ke dua (1989-
1994), beliau mulai menuangkan gagasannya tentang pembaharuan pendidikan
Islam.
a. Menurut Gus Dur orientasi pendidikan harus ditata kembali dengan
mengembangkan cara baru yang tepat, guna mengukur kemampuan anak didik
dalam melakukan kerja nyata kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta
diarahkan pada pengenalan hajat hidup dan sumber pemenuhannya tanpa
menggoyahkan sikap yang dilandasi aqidah Islamiyah Ahlusunnah
Waljama’ah.
b. Keterbukaan, kemandirian dan kemampun bekerjasama dengan pihak lain
untuk menyusun masa depan yang lebih baik serta ketrampilan mengamalkan
ilmu dan teknologi yang merupakan perwujudan dan pengabdian kepada Allah
swt. Menciptakan sikap yang berorientasi kepada kehidupan dunia akhirat yang
imbang dan dinamis, tercermin dalam kurikulum pendidikan.
c. Pemahaman hukum agama yang praktis bagi kehidupan masyarakat,
meningkatkan solidaritas sosial antara anak didik dengan kaum yang tidak
punya, dengan menanamkan jiwa rifqah, ta’awun dan mawadah warahmah.
Kesadaran akan perlunya menggunakan pendekatan akal dalam kehidupan
mereka perlu memiliki antisipasi dan menatap ke depan terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi serta dampaknya dalam kehidupan kelak.
Menumbuhkan jiwa mandiri dan kreatif melalui latihan-latihan ketrampilan.31
d. Menurut Gus Dur pendidikan yang merupakan bagian dari pendidikan nasional
di arahkan pada pemberian porsi yang lebih besar di bidang pendidikan non-
formal, kejuruan dan ketrampilan melalui lembaga keagamaan, pesantren,
majlis ta’lim mengembangkan pendidikan bengkel-bengkel rintisan untuk
menerapkan teknologi tepat guna serta mengembangkan hubungan interaktif
31 Pengurus Besar NU, Hasil Muktamar NU Ke-28, 1989, h.153-154
67
dalam proses belajar mengajar, proses mengajar dan proses komunikasi timbal
balik antara guru, murid, para perencaan pendidikan serta para pengelolanya.
Meskipun demikian, pendidikan formal sekolah akan tetap memperoleh
perhatian yang memadai, khususnya pada tingkat sekolah lanjutan atas dan
perguruan tinggi dalam rangka mencetak kaum intelektual di berbagai rasional
dan meliputi aspek bidang keilmuan.
e. Program dasar di bidang pendidikan dilaksanakan bersamaan dengan faktor
yang berupa penggalian dana, pengaturan sumber-sumber dana dan
menetapkan strategi pembiayaan secara tepat dan berhasil guna. Disamping itu
dilakukan juga penggalangan lebih aktif kerjasama di antara perguruan swasta
lainnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
f. Mendorong dan menumbuhkan semangat menuntut ilmu minal mahdi ilal lahdi
bagi seluruh warga dan melengkapi diri dengan berbagai ilmu fardu kifayah
yang layak bagi kemanusiaan dan kemajuan untuk menyongsong masa
depan.32
g. Mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta
pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina
manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil,
serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara.
h. Pandangan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Gus Dur, konsep
ilmu adalah memiliki dimensi yang berbeda daripada pengertian umum yang
berlaku, ilmu berdimensi esoteris yaitu, pengenalan hakikat melalui keluhuran
dari pihak yang berupaya melakukan pengenalan yang diperoleh tidak melalui
wawasan rasional, disamping dimensinya yang rasional.33
Lambat laun
pesantren pun memodernisasi dirinya. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu
agama Islam, tetapi juga mengadopsi sistem pendidikan nasional. Gus Dur
mengingatkan, sebagai lembaga pendidikan khas Islam, pesantren tetap harus
32 Kacung Marijan, Quo Vadis NU, (Jakarta:Erlangga, 1992) h.264-266 33 Abdurrahman Wahid, op.cit., h.33-43
68
memberikan dasar-dasar pengembangan karakter, kepribadian, penciptaan
sikap hidup dan penataan basis kehidupan yang tercermin dalam akhlak, cara
memimpin, cara pergaulan dan dalam pengambilan keputusan.34
Semasa menjabat ketua PBNU Gus Dur memodernisasikan pesantren dan
mengadopsi sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan nasional dapat
masuk ke dalam pendidikan di pesantren, seperti di pesantren Tebuireng, Cirebon.
Semasa menjabat sebagai Presiden RI ke-4
Ketika Gus Dur menjabat menjadi Presiden, walaupun dalam waktu yang
sangat singkat, tetapi Gus Dur tetap melakukan kebijakan yang sangat penting,
yaitu
a.Kesejahteraan di Bidang Pendidikan
Gus Dur sangat memperhatikan dan memprihatinkan nasib pegawai
negeri, yang gajinya kecil. Jangan heran jika pada masa Gus Dur gaji pegawai
negeri pernah naik sampai dua kali ditambah dengan kenaikan tunjangan
stuktural. Gus Dur sangat sedih kalau gaji pegawai negeri yang lulusan SI ada
yang dibawah gaji pembantu rumah tangga. Ketika mau menaikkan gaji
pegawai negeri dan tunjangan jabatan birokrasi, menurut informasi, ada menteri
terkait yang menolak dengan alasan masuk akal, “keuangan negara tak cukup
dan bisa timbul gejolak.” Namun, Gus Dur tetap meminta agar gaji dinaikkan,
dengan berkata “naikkan, nanti kalau ada yang tidak terima saya yang pasang
badan.” Tujuan Gus Dur menaikan gaji pegawai negeri adalah agar para guru,
lebih konsentrasi terhadap anak didik mereka. Sehingga pelajaran yang
disampaikan dapat diterima baik oleh anak didik, dan menjadikan mereka anak
yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.35
34 Dr. Nurcholish Madjid, op.cit., h.130-131 35 Wawancara bu Nuriyah, 06-10-2011, di kantor bu Nuriyah.
69
Dalam pendidikan, kebijakan yang Gus Dur lakukan adalah menaikan
gaji para guru dan PNS, alasanya adalah agar para guru mengabdi dan berbakti
kepada masyarakat dengan sepenuh hati.
Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan
Pemerintah Pusat dan Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota
meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan,
perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan
pertanahan.
Bangsa Indonesia pada era globalisasi yang menantang ini dihadapkan
pada perubahan yang menuntut adanya sistem keterbukaan politik, ekonomi,
dan budaya. Atas dasar inilah, maka memasuki era baru ini masyarakat
menghendaki adanya dekonsentrasi dan desentralisasi serta otonomi dalam
mengambil kebijkaan pembangunan. Keinginan ini telah dituangkan melalui
UU No.25 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah.36
Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, Gus Dur membuat kebijakan yaitu
mensejahterakan kehidupan khususnya para guru dan umumnya para PNS. Karena
Gus Dur merasa sedih kalau melihat ada para pendidik yang gajinya dibawah
PRT, selain itu alasan Gus Dur menaikan gaji para guru, agar para pengajar ketika
mengajar melakukannya dengan sepenuh hati.
b.Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan
Di dalam reformasi sekarang ini potensi daerah menjadi tumpuan dalam
pembangunan. Sehingga, pembinaan pendidikan yang dilakukan oleh
Kementrian Agama selama ini masih perlu langkah-langkah penyesuaian yang
strategis, utamanya dalam rangka mencari bentuk dan pemecahan masalah
36 Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan anak Bangsa, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006),
h.127-128
70
sehubungan dengan diberlakukannya otonomi Daerah dan desentralisasi
dibidang pendidikan secara keseluruhan. Berkenaan dengan UU No. 22 tahun
1999 dan UU No.25 tahun 1999, perlu segera ditetapkan kebijaksanaan yang
tinjauan kepentingannya diletakan keberpihakan pada masyarakat madrasah
bukan pada kesulitan yang dihadapi oleh Kementrian Agama.37
Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten dan daerah kota meliputi:
a) Pekerjaan umum
b) Kesehatan
c) Pendidikan
d) Pertanian
e) Perhubungan
f) Perdagangan dan Industry
g) Penanaman Modal
h) Lingkungan Hidup, dan Pertanahanan.
Selain itu, otonomi harus senafas dengan akuntabilitas mengenai
penyelenggaraan dan kinerja pengelola pendidikan. Penyelanggaraan otonomi
daerah, yaitu memberikan kewenangan lebih besar pada pemerintah daerah
kepemimpinansekolah dipilih oleh masyarakat dengan menggunakan kriteria
yang transparan, sekolah diberi kewenangan untuk mengubah kurikulum.38
Adanya otonomi daerah, membuat pemerintah daerah dapat melakukan
sesuai kebutuhannya. Khususnya mengenai pendidikan, sekolah-sekolah yang
ada di daerah bisa melakukan perubahan kurikulum sesuai kebutuhan mereka,
karena para staf mengajar di sekolah itu yang tau bagaimana kurikulum yang
tepat untuk anak didik mereka.
c.Desentralisasi Pendidikan
Istilah desentralisasi sering dibahas dalam konteks diskusi tentang
sistem penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Pengertian ini
37 Ibid. h.129-164 38 Amien Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta: LEKDIS, 2006), h.65
71
menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Sektor pendidikan merupakan salah satu yang termasuk
sektor pelayanan dasar yang akan mengalami perubahan secara mendasar
dengan akan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, baik
dari segi birokrasi kewenangan penyelenggaraan pendidikan maupun dari aspek
pendanaannya. Desentralisasi pendidikan berusaha untuk mengurangi campur
tangan atau intervensi pejabat pusat terhadap persoalan pendidikan yang
sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran bawah,
pemerintah daerah dan masyarakat. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya
otonomi dalam pendidikan diberikan kepada daerah, tetap harus konsisten
dengan sistem konstitusi. Sesuai tuntunan reformasi dalam pembangunan di
Indonesia, tampaknya pelaksanaan desentralisasi pendidikan merupakan suatu
keharusan.39
Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan
kuantitas dan kualitas pendidikan. Secara konseptual, terdapat dua jenis
desentralisasi pendidikan, yaitu:
a. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan
pendidikan. Kewenangan disini adalah
a) Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
b) Waktu belajar di sekolah.
c) Penentuan buku yang digunakan.
d) Kurikulum.
e) Metode pembelajaran.
f) Manajemen guru Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
g) Memilih dan memberhentikan guru.
h) Menentukan gaji guru.
i) Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
j) Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
k) Struktur dan perencanaan Membuka atau menutup suatu sekolah.
l) Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
39 Dr.yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd, op.cit., h.66-86
72
m) Definisi dari isi mata pelajaran.
n) Pengawasan atas kinerja sekolah.
o) Sumber daya Program pengembangan sekolah.
p) Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
q) Alokasi anggaran non-personnel.
r) Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
b. Aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
c. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah.
Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan
sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya
dilakukan oleh pejabat tingkat pusat kepada pejabat tingkat kabupaten.
Desentralisasi merupakan sarana untuk mengembangkan dan memenuhi
kebutuhan pembangunan daerah, dianggap pola yang paling tepat dan relevan
dengan tuntunan otonomi tersebut.40
“Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan
kuantitas dan kualitas pendidikan Islam. Untuk mendukung terlaksananya
program pendidikan pesantren seperti yang disebutkan di atas.”41
Di zaman reformasi sperti sekarang ini, sangat diperlukan
desentralisasi. Karena dengan adanya desentralisasi, itu sama halnya dengan
menjadikan pemerintah daerah untuk mandiri. Sehingga tidak bergantung
dengan pemerintah pusat. Pendidikan di daerah, sebetulnya sudah sejak lama
ingin mandiri, dengan mandirinya sekolah yang ada di daerah para staf dan
kepala sekolah yang ada disekolah daerah tersebut dapat melakukan apa yang
sesuai dengan kebutuhan anak didik yang ada di daerah.
40 Dr.yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd, op.cit., h.81-84 41 Amien Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta: LEKDIS, 2006), h.47
73
C. Menyeimbangkan Lembaga Pendidikan Islam dan Umum
Gus Dur juga berupaya sekuat tenaga untuk menyeimbangkan lembaga
pendidikan, baik itu pendidikan Islam maupun umum, menurut Gus Dur dengan
menyeimbangkan lembaga pendidikan dapat menghilangkan kecemburuan sosial
antara pendidikan Islam dan umum. Gus Dur melakukan penyeimbangan sebagai
pendorong pertumbuhan pendidikan yang lebih seragam, menurut Gus Dur rakyat
Indonesia yang akan memetik hasil dari program penyeimbangan lembaga
pendidikan dalam jangka panjang, terutama dari segi hilangnya dualisme pendidikan
di Indonesia secara berangsur-angsur, dengan tidak merugikan pihak mana pun yang
bersangkut paut dengan dunia pendidikan.42
Alasan Gus Dur berpihak pada lembaga pendidikan swasta, lembaga
pendidikan swasta yang dimaksud disini yaitu madarasah yang ada di pesantren,
dikarenakan lembaga tersebut sangat kurang mendapat perhatian dari pemerintah,
apalagi pada masa Orde Baru lembaga pendidikan swasta tersebut tidak mendapat
perhatian sama sekali. Oleh karena itu, Gus Dur ingin menyeimbangkan lembaga
pendidikan swasta tersebut dengan lembaga pendidikan lainnya. Sehingga ketika
Gus Dur menjabat menjadi presiden, banyak madrasah-madrasah baik yang Aliyah
maupun Tsanawiyah yang tadinya swasta menjadi Negeri. Dengan begitu umat
Islam di Indonesia tidak merasa iri atau minder terhadap sekolah orang non muslim.
Dengan menyeimbangkan lembaga pendidikan agama dan umum dapat
menghilangkan diskriminasi antara pendidikan Islam dan pendidikan umum, tanpa
menghilangkan jati diri masing-masing. Dengan demikian diskriminasi antara
pendidikan Islam dan umum tidak terjadi lagi. Gus Dur sangat menginginkan tidak
adanya diskriminasi dalam seluruh aspek kehidupan di Indonesia, khususnya tentang
pendidikan. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga Gus Dur mnghilangkan
diskriminasi dalam pendidikan.
42 Abdurrahman Wahid, op.cit, h..66-70
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia oleh KH. Abdurrahman Wahid. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengembangan kurikulum dipesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi
pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan
nasional yang tertera dalam GBHN.
Menurut Gus Dur sangat penting menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
umum, dengan catatan penguasaan ilmu agama harus diberi porsi lebih besar dalam
kurikulum pesantren. Menurutnya juga, kurikulum pesantren memiliki keterkaitan
dengan kebutuhan lapangan kerja.
Menurut Gus Dur, kurikulum pesantren seharusnya tidak hanya berisi mata pelajaran
agama saja, melainkan juga memuat mata pelajaran umum, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta keterampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
75
2. Pembaharuan institusi di pesantren sangat diperlukan dalam menghadapi perkembangan
zaman sekarang, “madrasah” sebagai wujud pembaharuan pesantren, juga sebagai
perluasan yang terbatas dari model pesantren itu sendiri, yang dipengaruhi tradisi
keilmuan mekkah.
Kehadiran madrasah di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan
secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan
pendidikan dikalangan umat Islam.
Perubahan itu sendiri harus dapat memberikan arti positif bagi semua kalangan, dengan
tujuan mengintegritaskan pesantren sebagai sistem pendidikan kedalam pola umum
pendidikan nasional yang membangun dan kreatif, serta meletakan fungsi
kemasyarakatan pesantren dalam konteks atau kerangka menumbuhkan lembaga
pemerintahan yang kuat dan matang sehingga mampu menjadi rekan yang sesungguhnya
bagi pemerintah dalam kerja pembangunan.
3. Menurut Gus Dur, orientasi pendidikan harus ditata kembali dengan mengembangkan
cara baru yang tepat, guna mengukur kemampuan anak didik dalam melakukan kerja
nyata kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta diarahkan pada pengenalan hajat hidup dan
sumber pemenuhannya tanpa menggoyahkan sikap yang dilandasi aqidah Islamiyah
Ahlusunnah Waljama’ah.
Gus Dur juga berupaya sekuat tenaga untuk menyeimbangkan lembaga pendidikan, baik
itu pendidikan Islam maupun umum, menurut Gus Dur dengan menyeimbangkan
lembaga pendidikan dapat menghilangkan kecemburuan sosial antara pendidikan Islam
dan umum, juga menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan di Indonesia.
76
B. Saran
Ada banyak hal yang harus diperhatikan untuk mengaplikasikan gagasan yang
dikembangkan oleh KH. Abdurrahman Wahid pada pembaharuan dibidang pendidikan.
Maka dari itu, penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Pengembangan kurikulum yang ditawarkan dilembaga pendidikan pesantren seharusnya
tidak hanya pada kurikulum pesantren, melainkan juga memuat mata pelajaran umum,
ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
2. Orientasi pendidikan harus ditata kembali dengan mengembangkan cara baru yang tepat,
guna mengukur kemampuan anak didik dalam melakukan kerja nyata kemanusiaan dan
kemasyarakatan, serta diarahkan pada pengenalan hajat hidup pada kehidupan nyata.
3. Harus terdapat keseimbangan antara lembaga pendidikan umum dengan pendidikann
Islam, guna dapat menghilangkan kecemburuan sosial antara pendidikan Islam dan
umum, juga menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan di Indonesia.
77
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Armai Arief. M.A, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagn Lembaga Pendidikan
Islam Klasik, Bandung:Angkasa, 2005
Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010
Amin Haedari, Transformasi Pesantren, Jakarta:Lekdis, 2006
Amin Haedari, Khazanah Intelektual Pesantren, Jakarta:Maloho Jaya abadi, 2009
A. malik fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta:Pt Temprint, 1999
Asrori S.Karni, Etos Studi Kaum Santri, Bandung:Mizan Pustaka, 2009
Prof.Dr.Armai Arief, MA,Reformaulasi Pendidikan Islam, Jakarta:CRSD Press, 2003
Prof.Dr. H.Abuddin Nata, M.A, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005
Prof.Dr.Armai Arief, MA,Reformaulasi Pendidikan Islam, Jakarta:CRSD Press, 2003
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, UIN Malang Press, 2008
K.H. Abdurrakhman Wahid, Tabayun Gus Dur, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010
Abdul Munir Mulkhan, Perjalanan Politik Gus Dur, Jakarta:Buku Kompas, 2010
Prof. Dr.H.Abudin Nata, M.A, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta:PT raja Grafindo persada, 2005
Abdul Munir Mulkhan, Perjalanan Politik Gus Dur, Jakarta:Buku Kompas, 2010
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta:The Wahid Instiitute, 2006
Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2010
S. Nasutioan, Metodologi Penelitian Naturalistik Kulaitatif, Bandung:Tarsito, 1988
Hanun Asrohah, sejarah pendidikan Islam, Jakarta:Logos, 1997
Kamus Besar bahasa Indonesia,
Harun Nasution, Islam Rasional:Gagasan dan Pemikiran, Bandung:Mizan, 1996
H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan kembali Pendidikan Islam, Jakarta:Karsa Utama
Mandiri, 1998
Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Prenada Media Group,2007
78
Harun Nasution, Islam Rasional :Gagasan dan Pemikiran, Bandung:Mizan, 1996
Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Pemabaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007
Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Prenada Media Group,2007
Dr.Hasbi Indra, MA, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta:Ridamulia, 2005
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Dr.Hasbi Indra, MA, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta:Ridamulia, 2005
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
Prof.Dr. H.Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Prenada Media Group,2007
Prof.Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Said Aqiel Siradj, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
Bandung:Pustaka Hidayah, 1999
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
Drs. H.Mundzier Suparta, MA, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:Diva Pustaka,
2005
Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana KIai, Yogyakarta:Kutub, 2003
Saifullah Ma’shum, Dinamika Pesantren, (Jakarta:Yayasan Asaifuddin Zuhri, 1998
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi sInstitusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai, Yogayakarta:Kutub, 2003
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
79
Drs.H.Mundzier suparta, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:Diva Pustaka, 2005
Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta:LP3ES
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
Martin Van Bruineesen, kitab kuning, pesantren dan tarekat:tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1995
Drs. H.Mundzier Suparta, MA, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:diva pustaka,
2005
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Dr.Yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan, Jakarta:Rajawali
Press, 2011
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Prof.Dr. H.Abuddin Nata, M.A, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005
Risalah Nahdlatul Ulama
Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi, Jakarta:Buku Kompas, 2010
Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik,
Jakarta:Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, 2004
Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzaili, NU Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan,
Jakarta:Pt Kompas Media Nusantara, 2010
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, Jakarta:Erlangga, 1992
K.H. Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, Yogyakarta:Kutub, 2010
H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, Jombang:Zahra book, 2009
Wawan kurniawan, Jurnal Kajian Kebudayaan Dan Demokrasi Pesantren Ciganjur,
Jakarta:Litbang 2010
H. Syamsyul Hadi, Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, Jombang:Zahra book, 2009
Prof. dr. Faisal Ismail, M.A, Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik,
Jakarta:Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, 2004
80
Moh. Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur, Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada, 2010
Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzaili, NU Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan,
Jakarta:pt Kompas Media Nusantara, 2010
Greg Barton, Biografi Gus Dur, Jakarta:LKIS Yogyakarta, 2003
Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Tokoh-Tokoh Pemabaharuan Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta:Pt Raja Graindo Persada, 2005
Jhon L. Esposito, Tokoh Kunci Gerkaan Islam Kontemporer, Jakarta:Pt. Raja grafindo
persada, 2002
Drs.H.Mundzier suparta, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:Diva Pustaka, 2005
Amin Haedari, Transformasi Pesantren, Jakarta:Lekdis, 2006
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta:Pt Raja Graindo Persada, 2005
Prof.Dr.Mujamil Qomar, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
Dr. Nurcholish Madjid, Bili-Bilik Pesantren, Jakarta:Paramadina, 1997
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang:UIN Malang Press, 2008
Matra, Wawancara Gus Dur 1996
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Jakarta:The Wahid Institute, 2007
Dr.yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan, Jakarta:rajawali
Press, 2011
Pengurus Besar NU, Hasil Muktamar NU Ke-28, 1989
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, Jakarta:Erlangga, 1992
Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan anak Bangsa, Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2006
Amien Haedari, Transformasi Pesantren, Jakarta: LEKDIS, 2006
Hasil Wawancara dengan Ibu Sita Nuriyah
1. Bagaimana kehidupan gus dur pada saat beliau masih hidup?
Jawab: kehidupan kami sama seperti keluarga yang lain.
2. Bagaimana interaksi antara gus dur dengan istri dan anak-anaknya?
Jawab: bapak itu orangnya jarang di rumah, tapi beliau selalu menyempatkan diri untuk
ngobrol dan bertukar pikiran.
3. Bagaimana sosok kepribadian gus dur di mata anak dan istri beliau?
Jawab: beliau orang yang sangat bertanggung jawab, baik sebagai seorang ayah maupun
seoranng suami.
4. Dalam hal apa saja gus dur menuangkan pemikirannya?
Jawab: agama, social, budaya, politik dan pendidikan.
5. Dalam pendidikan, gagasan apa saja yang gus dur tuangkan?
Jawab: bapak berupaya memodernisasikan pendidikan di pesantren.
6. Dalam hal pendidikan, kebijakan seperti apa yang dilakukan gus dur sebagai presiden?
Jawab: Pengembangan kebudayaan menurut bapak hendaknya dipelopori untuk
mengembangkan warisan rohaniah dan jasmaniah generasi lampau, untuk generasi masa
kini serta untuk diteruskan dan diwariskan pada generasi selanjutnya dalam menuju
tercapainya peningkatan kecerdasan dan cita rasa manusia sebagai hamba Allah swr.
7. Dalam hal budaya, kebijakan seperti apa yang dilakukan gus dur sebagai presiden?
Jawab: mensejahterakan kehidupan khususnya para guru dan umumnya para PNS,
diberlakukannya otonomi daerah dan destralisasi dibidang pendidikan secara
keseluruhan. Berkenaan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999.