PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF...
Transcript of PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF...
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF K.H. ABDUL WAHID HASYIM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untukMemenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd)
Oleh
ZIKRULLOH
1110011000127
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
.t
LEMBAR PENGESAHAN BIMBINCAN SKRIPSI
Skripsi be{udut ..Pembaharuarr pendidikan lslam dalam perspekrif K.H. Abdulwahid Hasyim"disusun oreh Zikruloh Irr00rr000127 . Jurusan pendidikan
Agama lslam Fakuttas llmu Tarbiyah dan Keguruan. UtN Syarif [,lidayatultahJakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yangberhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sc"-uai yang diretapkan oleh"fakultas.
Jakart4, J uli 2017
Yang menyatakan,
Pembirnbing
Dr. Khalimi. M.As
, NIP.t96550515t99403t006
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBryAH DAN KEGURU;N
LTNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF I.IIDAYATUI,LATI
JAKARTA
2017 M / t438H
LEMBAR PE\_ GE S.{HAN PENGUJI
Skripsi berjudul " Pembaharuan Pendidikan Islam dalrnr perspektif K.H. Abrlullvahid Hasl'im" disusun oleh Zikrultoh 111Ocii000127. Diajukan kepa,cia Fakultas IirruTarbiyah dan Keguruan (FITK) UL\- Syarif Hidal,atullali Jakarla. Dinyatakan lulus dalam
ujian rnunaqasah pada tanggal 22 jr:t; 201 ,1 di depan Cewen penguji. I(arena itu, penuiis..herhali lnernperoleh gelar s:rJan.i Perrdidikan ( S.PC ).
ratarta, .9-1....?91J......20i z t
Panitia Penguji Nlunaqasah
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Panitia ( Ketua Jurusan PAI )Dr. H. Abdul Majid Khon. Ir4.AeNIP. 19580707 198703 1 005
Sekretaris Jurr:san PAIN,{arhamah Shaleh Lc. MANtP. 19720313 200801 2 010
06' o8 - Lotl
os-00- )ot1
uVrPenguji IDrs. Abdul Haris. M.AeNIP. 19660901 199503 I001
Penguji lIProf. Dr.Ahrnad Syaf ie NoorNIP. 19,+70902 196112 1 oO1
1-o- oi' 2ot'7
eguruan ( FITK )
:,
KEMENTERIAN AGA}IAUIN J/.KARTAFITKJl t lt hada ib gt Ctptat t j! t 2 t,*t:a
SURATPER\YATM
Zikrulloh
Tangerang, 07 lvlaret I 99 i
r1i0011000053
Pendidikan Agama Islam
: Pembaharuan Pendidikan Islam Dalam Perspekrif Kll.AbdulWahid Hasyim
Dosen Pembimbing : Dr. Khalimi, M.AgDengan ini menyatakan bahwa srcipsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dansaya bertanggung j awah secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasyah.
FOR\I (FR)
Nama
Tempatffgl.Lahir
NINl
Jurusan/Prodi
Judul Skripsi
Sa1,a yang bertanda tangan di barvah ini,
17 lwti 2A fi
11r 0011000 r27
i
ABSTRAK
Zikrulloh ( 1110011000127 ) “Pembaharuan Pendidikan Islam dalamperspektif K.H. Abdul Wahid Hasyim”.
Tujuan penelitian ini adalah : untuk menambah data-data informasi tentangpemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim dalam pendidikan Islam dan untukmengetahui latar belakang dan biografi K.H Abdul Wahid Hasyim.
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif,dan metode yang digunakan metode penelitian kepustakaan (library research).Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah pendidikan maka dariitu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan sejarahpendidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gagasan pendidikan K.H. A. WahidHasyim dilatarbelakangi oleh kekecewaan dan sentiment negatif kepadakolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait hak-hak untukmengenyam pendidikan, dan kondisi umat Islam Indonesia yang terbelakangdalam hal pendidikan. Ini mendorong Wahid Hasyim untuk meramu pendidikanIslam di Indonesia untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa denganmendirikan madrasah Nizamiyah. Antara lain dengan: Pertama, Tujuanpendidikan Islam yaitu dengan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sesuaiperkembangan zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yangbaik. Kedua, Kurikulum Pendidikan Islam perlunya memasukkan ilmu pendidikanumum kedalam kurikulum pendidikan Islam. Dan Ketiga, Metode pembelajaran,yaitu tutorial yang sistematis dan aktif-dialogis.
Kata kunci : Pembaharuan Pendidikan Islam.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Alhamdulillahi rabbil ’aalamiin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
mencurahkan banyak rahmat, nikmat, dan hidayah, sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Hanya kepada-Nya, penulis memohon
pertolongan dan kemudahan dalam segala urusan.
Allahumma shali ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa sayyidinaa
Muhammad. Shalawat serta salam tidak lupa saya kirimkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, makhluk mulia yang penuh cinta dan kasih saying kepada
sesama manusia dan membawa kita pada jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam proses penyusunan skripsi dan belajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), penulis banyak
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun
materi, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, MA. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Marhamah Saleh. Lc.MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr.Khalimi,M,Ag. Dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktunya
untuk membimbing dan memotivasi penulis.
5. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Ahmad Marzuki dan Ibunda Sumiyati,
dan saudara-saudara kandungku tersayang yang telah memberikan
dukungan dan doa kepada penulis selama ini.
iii
6. Sahabat-sahabat Jurusan PAI Angkatan 2010 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang senantiasa membantu dan memotivasi dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat perjuangan, Taufiq Akbar, Wahyu Nurdiyansah,
Mustakim billah, Syaputra Purba, Fitri Yana Ahmad, dan Siti Nurmala
Sari yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, mudah-
mudahan segala bimbingan, dan bantuan, dan doa yang telah diberikan mendapat
imbalan dari Allah SWT. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi seluruh pembaca.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, Juli 2017
Zikrulloh
iii
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJI REFERENSI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................7
D. Perumusan Masalah .............................................................................8
E. Tujuan Penelitian .................................................................................8
F. Manfaat Penelitian ...............................................................................8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pembaharuan ........................................................................................9
1. Pengertian Pembaharuan...............................................................9
2. Pembaharuan Pesantren ……………………………………. ......9
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam ………………………………....11
2. Kurikulum Pendidikan Islam ……………………………… …14
3. Metode Pembelajaran ………………………………………….16
4. Tujuan Pendidikan Islam ………………………………………18
iv
5. Tujuan Pendidikan Nasional (TPN )………………………….…18
6. Tujuan Institusional ( TI )……………………………………..19
7. Tujuan Kurikuler ( TK ) ………………………………………20
8. Tujuan Pembelajaran Instruksional ( TPI )……………………21
C. Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa di
Indonesia
1. Masa Permulaan Islam… ………………………………………21
2. Masa Penjajahan Belanda… ……………..……………………22
3. Masa Jepang…………………….………………………………25
4. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama ……………………………27
D. Kajian yang Relevan…….……….………….………………………28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................30
B. Metode Penelitian……………………………………………….....30
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolahan Data ……………………30
D. Analisis Data …………………………………………..……………32
E. Teknik Penelitian……………………………………………………32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data......................................................................................33
1. Biografi KH. Abdul Wahid Hasyim .............................................33
2. Pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim.........................................36
3. Organisasi KH. Abdul Wahid Hasyim..........................................40
4. Karya-karya Tentang KH. Abdul Wahid Hasyim.........................46
5. Latar Belakang Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim.................47
6. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim ..........................................49
a. Tujuan Pendidikan Islam.........................................................50
b. Kurikulum Pendidikan Islam ..................................................54
c. Metode Pembelajaran..............................................................57
B. Pembahasan.........................................................................................59
v
C. Relevansi Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim dengan
Perkembangan Pendidikan Masa Kini ................................................64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................68
B. Saran.....................................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Manusia adalah makhluk yang selalu merindukan kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala potensi yang dimilikinya, ia berusaha maju dan
berkembaang untuk mencapai kesempurnaannya, baik secara jasmani maupun
rohani. Demi mencapai kesempurnaan manusia dituntut untuk bergaul dengan
orang lain daan alam semesta yang senantiasa berubah-ubah sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mempertahankan kehidupannya.
Dan pedidikaan sebagai salah satu cara manusia untuk memenuhi hal tersebut.
Pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat
penting. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat membentuk kepribadian
seseorang. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan
produktivitas seseorang. Dengan bantuan pedidikan, seseorang dapat
memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya, sehingga
ia dapat menciptakan suatu karya yang gemilang dalam hidupnya. Atau ia
dapat mencapai suatu peradaban yang tinggi dan gemilang dengan bantuan
pendidikan.1
Selaras dengan firman Allah SWT. Surat Al-Mujadilah ayat 11 :
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
1 Hasan Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 ), Cet. 2
h.2
2
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.( QS. Al-
Mujadilah – 11 ).
Ayat diatas menunjukan pentingnya pendidikan bagi manusia.
Sesungguhnya menuntut ilmu itu amat penting sekali bagi manusia di dunia
ini. Terutama lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan salah satu sarana
untuk menuntut ilmu dan mengembangkan potensi manusia. Tanpa
pendidikan, manusia tidak bisa berbuat dan menjadi apa-apa, karena dari
pendidikan itu sendiri manusia mampu mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya
akan bermanfaat di dalam kehidupannya. Selain ayat diatas, masih banyak lagi
ayat-ayat al-Qur’an yang menghargai akal dan pendidikan yang dapat
membedakan antara diri manusia dengan yang makhluk lain. Seperti halnya,
para pakar pendidikan mengungkapkan pentingnya pendidikan itu sendiri.
Syamsul Kurniawan, menyatakan pendidikan diartikan sebagai upaya
penanaman nilai-nilai dalam keseluruhan proses pembelajaran untuk tujuan
tertentu.2 Pada dasarnya, pendidikan merupakan proses untuk membantu
manusia dalam menggali dan mengembangkan potensi diri sehingga mampu
menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Menurut Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada tuhan yang maha esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.3
Menurut terminologi, pendidikan adalah upaya membimbing,
mengarahkan dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan
2 Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno; Modernisasi Pendidikan Islam
dalam Pemikiran Soekarno, ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2009 ), h. 9 3 Depertemen Agama RI Undang-undang dan peraturan pemerintah RI tentang
Pendidikan, ( Jakarta : Dierktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006 ), h. 8
3
terencana agar terbina suatu kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam.4 Sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mempunyai aspek-aspek
tersebut diantara lain meliputi tujuan kurikulum metode, guru,lingkungan dan
sarana.5
Islam adalah agama yang universal, ajaran didalam nya tidak hanya
menekankan pada aspek ritualitas, ubudiyah, penghambaan manusia kepada
tuhan nya semata. Lebih dari itu, ajaran Islam juga menyentuh kedalam ranah
pendidikan . Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi semua
orang (education for all) laki-laki maupun perempuan dan pendidikan
berlangsung sepanjang hayat (life long education).
Pendidikan Islam di Indonesia mengikuti masa dan dinamika
perkembangan kaum muslimin. Di Indonesia mengikuti maasa dan dinamika
perkembngan kaum muslimin. Dimana ada komunitas muslim, maka terdapat
tingkat aktivitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi
dan kondisi sejarah yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu (event the
past), jangan dianggap remeh dan dibiarkan lewat seiring dengan berlalunya
waktu, sebab begitu besar makna sejarah bagi kehidupan umat.”belajarlah
dari sejarah”, demikian kata-kata mutiraa yang dapaat mengingatkan makna
sejarah itu. Bahkan Bung Karno sebai president RI pertama telah menitipkan
sesuatu yang sangat berharga berupa, “jasmerah”, sebab akronim dari “jangan
sampai melupakan sejarah”, sejarah memang mengandung kegunaan yang
sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, karena sejarah menyimpan atau
mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan
nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan manusia.6
Dimulai dari pendidikan Islam Indonesia masa awal, sejak awal
perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat
muslim Indonesia. Di samping besarnya arti pendidikan, kepentingan
4 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo, 2004 ), Cet.9, h. 340
5 _________, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), Cet.1,h.
10. 6 Mansur, dkk., Rekontruksi Sejarah Islam di Indonesia , ( Jakarta : Direktorat jenderal
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI 2005 ), h. 3.
4
Islamisasi mendorang umat Islam melakukan pengajaran Islam kendati dalam
sistem yang sederhana, dimana pengajaran diberikan dengan sistem halaqoh
yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, musholah, bahkan
juga rumah-rumah ulama.7 Disamping itu juga yang dinamakan surau, yakni
lembaga pendidikan Islam tradisional di Sumatra barat. Di minangkabau
istilah surau telah digunakan sebelum Islam datang. Ia merupakan tempat yang
dibangun untuk tempat ibadah hindu-budha. Dikatakan bahwa raja
ditiawarman telah mendirikan komplek surau disekitar bukit Gombak. Surau
ini dipergunakan sebagai tempat berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar
ilmu agama sebagai alat yang ideal untuk memecahkan masalah-masalah
agama.8
Pada zaman kolonial belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada
yang namanya sekolah tingkat dasar, sekolah kelas II, HIS (Holloands
inlandse school), MULO (meer Unigebreid leger onderwijs), Ams (Algemene
Middlebare school), dan lain-lain sekolah sekolah tersebut seluruhnya hanya
pengajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal
ini terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial belanda. Pada tahun 1905
belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus izin dahulu, pada
tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa tidak semua kiayi boleh
memberikan pelajaran. Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam
menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Ulama-ulama dan guru-guru agama kehilangan konsistensinya untuk
memberikan pelajaran dengan begitu pelaksanaan pendidikan terganggu pada
pertengahan abad 19 pemerintah belanda mulai menyelenggarakan
pendidikan model barat yang diperuntukan bagi orang-orang belanda dan
sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok belanda). Sejak itu,
tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam.
Selanjutnya pemerintah memberlakukan politik etis yang mendidrikan dan
menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak
7 Ibid., h. 46
8 Harun Asrorah, Op. Cit., h. 146
5
mengakui para lulusan pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa
bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat. Jadi dengan adanya
diskriminasi dalam segala ini kehidupan akibat kolonialisme dan fandalisme
tersebut, maka terdapat banyak tokoh pemikir dan pejuang trakyat baik pribadi
maupun lewat organisasi yang bangkit dan sadar menolak terhadap perlakuan
atau penjajahan tersebut. Karena mereka sadar bahwa semua manusia, bangsa
adalah martabat, maka tidak pantas satu bangsa menjajah bangsa lain.
Sejarah mencatat bahwa pada masa awal laahirnya Islam, umat Islam
belum memiliki budaya membaca dan menulis karena belum adanya tuntutan
dari perkembangan masyarakat. Setelah Indonesia dijajah oleh belanda
pendidikan Islam mendapat tantangan, sekolah belanda dikembangkan oleh
pemerintah belanda untuk menghaasilkan tenaga rendah yang dapat digaji jauh
lebih murah daripada pekerja golongan belanda yang didatangkaan dari negeri
belanda. Inilah kemungkinan yang melatarbelakangi pendidikan formal
berorientasi pada kerja dan sifat-sifatnya kapitalis yang cinta pada harta benda
atau sifat materialistic, sehingga mengalami berbagai malpraktek pendidikan
yang dilakukan sekarang ini.9
Pada awal pemerintahan jepang meengambil siasat merangkul umat Islam
sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah jepang terhadap
pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam
lebih bebas ketimbang pada zaman Kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan
Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi
jepang adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu para
pemuka agama lebih diberikan keleluasaan dalam mengembangkan
pendidikannya. Dengan mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka
menempuh beberapa kebijakan. Kantor urusan agama pada zaman Belanda
disebut kantor Voor Islamitiche Zaken yang dipimpin oleh orang-orang
orientalis belanda diubah namanya oleh Jepang menjadi kantor Shumubu yang
9 Mansur, dkk. Op. Cit., h. 51-52
6
dipimpin oleh ulama Islam, yaitu KH. Hasyim Asy’ari sedangakm di daerah-
daerah Sumuka.10
Salah satu tokoh yang tidak kalah pentingnya yaitu KH. Abdul Wahid
Hasyim (selanjutnya disebut hasyim). Beliau adalah tokoh yang sangat cerdas,
tegas dan berani. Serta salah satu tokoh yang memperjuangkan BPUPKI yang
kemudian menjadi PPKI untuk menyiapkan wujud NKRI dan tokoh Islam
yang memperjuangkan pendidikan Islam di Indonesia.
Menurut Zamakhsyari, sebagaimana dikutip oleh seri buku tempo
mengungkapkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari mempercayakan jabatan Sumubu
kepada sang anak (Wahid Hasyim). Ketika memimpin kantor urusan agama
yang sesungguhnya embrio kementrian agama itu. Wahid Hasyim
memfokuskan diri pada masalah umat Islam yang bercerai-berai. Wahid
Hasyim saat itu menjadikan Shumubu sebagai jembatan perbedaan umat Islam
agar tidak terpecah.11
Sosok Wahid Hasyim yang merupakan tokoh yang lahir dari kalangan
pesantren tetapi beliau memiliki pemikiran yang bisa diterima banyak orang,
beliau melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang, yang diantaranya
adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. Pembaharuan dalam bidang
pendidikan yang dapat dibuktikan adalah dengan perombakan sistem
pendidikan pesantren Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya, yaitu KH.
Hasyim Asy’ari.12
Ia melihat pembaharuan dalam sistem pendidikan yang
tradisional dan hanya mengkaji kitab-kitab kuning, yang menggunakan
metode halaqoh, untuk kemudian di transformasikan ke arah yang lebih
progresif, tutorial. Namun yang lebih pokok dari pembaharuannya adalah
perlunya dimasukan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren,
karena ia memandang tidak semua santri itu bercita-cita ingin menjadi ulama
atau kyai.
10
Ibid., h. 61 11
Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim untuk Republik Tebuireng,( Jakarta : KPG-
Kepustakaan Populer Gramedia, 2011 ), h. 43 12
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. Abd. Waid Hasyim dan Karangan Tersiar,
(Jakarta ; Panitian Buku Peringatan Almarhum Wahid Hasyim, 1957 ), h. 739
7
Dari wacana yang telah yang dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk
menganalisa lebih jauh mengenai gagasan pendidikan K.H. Abdul Wahid
Hasyim.
Dan penulis membuat skripsi ini dengan judul “Pembaharuan
Pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Abdul Wahid Hasyim”
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidikan dianggap penting oleh semua kalangan, baik oleh
agamawan, sosialis, suku besar maupun kecil dan sebagainya.
2. Sejarah ajaran Islam dalam segi pendidikan dianggap lambat di
Indonesia mengakibatkan kurang mengena kepada lapisan masyarakat.
3. Fenomena masyarakat Indonesia yang kurang mengamalkan
pendidikan Islam sampai sekarang sangat jauh dari harapan.
C. Pembatasan Masalah
Selain dikenal sebagai tokoh kemerdekaan Indonesia. Wahid
Hasyim juga dikenal lewat pemikiran-pemikirannya. Yaitu pemikiran
agama, politik, pendidikan, dan perjuangannya. Agar masalah yang diteliti
tidak melebar dan keluar dari pembahasan, karena itu penulis memberi
batasan masalah dalam skripsi ini :
1. Mengenal sosok Wahid Hasyim Asy’ari, latar belakang keluarga,
pendidikan organisasi dan karya-karya.
2. Menguraikan konsep pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang
pembaharuan pendidikan Islam.
3. Relevansi pemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim dengan
perkembangan pendidikan masa kini.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang telah dibatasi seperti diatas, maka
perumusan masalah yang diajukan penulis adalah “Bagaimana
8
Pembaharuan Pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Abdul Wahid
Hasyim”.
E. Tujuan Pendidikan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian kualitatif ini adalah:
1. Untuk menambah data-data informasi tentang pemikiran K.H Abdul
Wahid Hasyim dalam pendidikan.
2. Untuk Mengetahui latar belakangnya dan keluarganya.
3. Untuk mengetahui lebih jelas konsep pendidikan K.H Abdul Wahid
Hasyim dan relevansi pemikirannya.
F. Manfaat Penilitian
Adapun yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Dapat dijadikan sumber referensi dalam rangka memperkaya khazanah
dalam pemikiran tokoh pendidikan.
2. Dapat memberikan kontribusi ilmiah tentang konsep pemikiran tokoh
pendidikan dan dijadikan sumber bacaan.
3. Dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi mahasiswa untuk
melakukan penelitian dan kajian pemikiran tokoh pendidikan lebih
lanjut.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembaharuan
1. Pengertian Pembaharuan
Kata pembaharuan dapat diartikan dengan reformasi, yaitu perubahan radikal
untuk perbaikan di bidang sosial, politik, hukum, agama dan lain sebagainya
dalam suatu masyarakat dan Negara.1
Menurut Abdul Rahman Saleh, sebagaimana dikutip oleh Armai Arif
mengatakan pembaharuan biasanya dipergunakan sebagai proses perubahan untuk
memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya kepada cara atau situasi dan kondisi
yang lebih baik dan lebih maju serta mencapai suatu tujuan yang lebih baik dari
sebelumnya.2
Sedangkan L. Stoddard menyatakan bahwa pembaharuan dapat
disamakan artinya dengan reformasi. Maksudnya pembaharuan adalah Reformasi
is radical change for better in social political or religious affair (pembaharuan
secara radikal kea rah yang lebih baik dalam bidang sosial, politik, maupun
masalah-masalah keagamaan).3
2. Pembaharuan Pesantren
Kata pesantren yang terdiri dari kata asal “santri” dengan imbuhan “pe” dan
akhiran “an”, yang menunjukkan” tempat para santri”, kadang-kadang ikatan kata
“sant” (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik-
baik.4
1M. Dahlan Y Al-Barri, dkk., Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, ( Surabaya :
Target Press, 2003 ), h. 660 2 Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, ( Jakarta : Suara Adi,
2009) h. 19 3Ibid., h.20
4 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Peubahan Sosial,( Jakarta : Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat – P3M, 1986 ), Cet. 1, h. 99
10
Pondok pesantren, pondok itu kamar, gubuk, rumah kecil dipakai dalam
bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga
“pondok” diturunkan dari kata arab yaitu “furuq” (ruang tidur, wisma, hotel
sederhana). Istilah pondok pesantren dimaksudkan untuk suatu bentuk pendidikan
ke-Islaman yang melembaga di Indonesia.5
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan
produk budaya Indonesia. Keberadaannya pesantren di Indonesia di nilai sejak
Islam masuk di negri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan
sebagai lembaga pendidikan yang telah lama ada di negri ini, pondok pesantren
diakui memiliki andil yang besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Pesantren
tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh d negeri
ini, tetapi juga diakui telah berhasil membentuk waktu tersendiri, dimana bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam yang dapat menyesuaikan diri dan
penuh tenggang rasa.6
Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang
modern.Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural seringkali
membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk
mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan dengan dinamika
modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren karena itu, sistem
pesantren harus selalu melakukan rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-
ajarannya agar tetap relevan dan survive.7
Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah
dimaklumi.Bukanlahh dunia pesanntren telah memperkenalkan sebuah kaidah
yang sangat jitu.Al-muhafazhah „ala al-qodim as-Shalih wa al-akhdz bi al-jadid
al-ashlah (memelihaara nilai-nilai klasik yang baik dan menerima/menggali nilai-
nilai baru yang lebih konstruktif).
5Ibid., h. 98
6 Amin Haedari, Transformasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan,
Keagamaan, dan Sosila, (Jakarta: LeKDis & Media Nusantara, 2006 ), Cet. 1, h. 3 7 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,( Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004 ), Cet. 1. h. 128
11
Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi.
Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak
terlepas dari al-ashlah (lebih baik) begitu pula, ketika dunia pesantren
diharuuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia
modern, aspek al-ashlah menjadi kunci yang harus dipegang, pesantren modern
berarti pesantren yang selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efesiensi.8
Modernisasi pendidikan Islam pertama kali setidaknya mempunyai
kecenderungan, antara lain : pertama, adopsi sistem dan lembaga pendidikan
modern secara hamper menyeluruh yang bertitik tolak pada sistem kelembagaan
pendidikan modern (Belanda), misalnya yang dilakukan oleh Abdulloh Ahmad
melalui madrasah adabiyah yang kemudiam diubah menjadi sekolah adabiyah. Di
sekolah ini mengadopsi seluruh kurikulum Belanda’ dan hanya menanmbahkan
pelajaran agama 2 jam dalam sepekan kedua modernisasi pendidikan Islam yang
bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sendiri. Modernisasi
ini dilakukan di dunia pesantren, surau, melalui adopsi aspek-aspek tertentu dari
sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan
metode pembelajaran.9
Dengan kata lain sejauh mana pesantren melakukan modernisasi tetap harus
ada batasnya. Dengan adanya modernisasi, pesantren tidak kehilangan jati
dirinya yg khas.
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum melangkah kepada pendidikan Islam, terlebih dulu kiranya
dijelaskan tentang pendidikan secara etimologi berasal dari kata “didik”yang
kemudian mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti perbuatan
(hal,cara,dsb)10
istilah pendidikan ini berasal dari Yunani, yaitu “pedagogie”
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak . Istilah ini kemudian
8Ibid., h. 129
9 Amin Haedari, Op. Cit., h. 10-11
10 W. J. S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka,
1991 ), Cet. 12, h. 250
12
ditertjemahkan ke dalam bahasa inggiris dengan “education” yang
diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.11
Sedangkan secara ertimology, pengertian pendidikan belum ada kesepakatan
bersama dari pakar pendidikan. Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003,
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri ,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.12
Dalam konteks yang lebih luas john dewey memeberikan definisi sebagai
organisasi pengalaman hidup. Sementara itu, komisi nasional pendidikan
mendefinisikan, pendidikan adalah usaha nyata menyeluruh yang setiap program
dan kegiatanya selalu terkait dengan tujuan akhir pendidikan.13
Pendidikan juga mengandung arti sebagai usaha membimbing dan membina
serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektualpribadi anak didik
kearah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.14
Adapun dalam istilah pendidikan Islam setidaknya ada tiga kata yang
berhubungan dengan istilah tersebut, yaitu at-tarbiyah, at-Ta‟lim, dan at-Ta‟dib.
Pertama kata at-Tarbiyah berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti
memimpin, memperbaiki, menambah, memelihara, mengasuh dan mendidik.15
Kata tarbiyah umumnya diartikan sebagai usaha sadar untuk membimbing,
mendidik untuk mendewasakan anak, mentransfer ilmu pengetahuan dan
keteramilan agar manusia tumbuh dewasa dan bisa berkompetitif pada zamannya.
Salah satu ayat Al-Quran yang menggunakan term rabba terdapat dalam
surat al- Isra ayat 24, yang berbunyi :
11
Armai Arief, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta : Diklat Perkuliahan 2002 ), h. 2 12
Departemen Agama RI Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang
Pendidikan, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006 ), h. 5 13
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, ( Jakarta : CRSD Press, 2005 ), Cet. 1, h. 18 14
________, Pengantar Ilmu & Metodologi Pendidikan Islam, ( Jakarta : Ciputat Pers,
2002 ), h. 40 15
A W Munawir, Kamus Lengkap Al- Munawwir Arab – Indonesia, ( Jogjakarta: Pustaka
Progresive, 1984 ), h. 462
13
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah : “Wahai tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”(QS.Al-Isra 24).
Menurut Syed M. Naquib Al-Attas, pengertian At-Tarbiyah secaraa
etimologi sebanding dengan kata ghadza yadzwu yang berarti mengasuh,
menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
membuat menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan,
memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakan.16
Keduakata at-Ta‟lim yang berasal dari kata allama yuallimu ta‟liman yang
berarti mengajar, meberitahu, mempelajari.17
Kata at-Ta’lim dalam
pendidikan,berarti kegiatan untuk mentransfer ilmu pengetahuan ataau informs
melalui pembelajaran.
Abdul Fatah Jalal berpendapat bahwa at-Ta’lim menurutnya lebih universal
dibanding dengan proses at-Tarbiyah untuk ini jalal mengajukan alasan bahwa
kata at-Ta’lim berhubungan dengan pemberian bekal pengetahuan-pengetahuan
ini dalam Islam dinilai sesuatu yang dimiliki kedudukan yang tinggi.18
Adapun kecenderungan kata at-Ta’lim lebih kepada mentransfer ilmu
pengetahuan dengan perubahan sikap yang dihasilkannya.Atau dengan kata lain
Penggambaran mengenai proses pembelajaran. Baik di lingkungan pendidikan
maupun masyarakat.
Ketiga at-Ta’dib berasal dari kata addaba-yuaddibu ta‟diban yang berarti
mendiidik dan memperbaiki, beradab dan sopan santun.19
16
Syed M Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, ( Bandung: Mizan, 1997 ),
Cet. 7, h. 428 17
A W Munawwir, Op. Cit.,h. 966 18
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), Cet. 1,
h. 8 19
A W Munawwir, Op. Cit., h. 12
14
Adapun kata at-Ta’dib dalam arti pendidikan Syekh M.Naquib Al-Attas
mengartikan At-Ta‟dib sebagai pengenalan dan pengakuan secara berangsur-
angsur yang ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah
pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan tuhan.
Ketiga istilah diatas sebenrnya memberikan kesan berbeda, istilah At-
Tarbiyah mengesankan proses pembinaan dan pengarahan untuk pembentukan
kepribadian, sikap dan mental. Kemudian istilah At-Ta‟lim mengesankan proses
pemberian bekal pengetahuan. Dan istilah At-Ta‟dib mengesankan proses
pembinaan sikap, moral dan etika.
Dari pengertian-pengertian diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa
pendidikan Islam adalah suatu usaha atau kegiatan kependidikan yang melalui
pendidik kepada peserta didik yaitu dengan bimbingan jasmani dan rohani,
pengajaran dan latihan untuk menyempurnakan dan mengarahkan kompetisi yang
ada dalam diri peserta didik agar terwujudnya pribadi yang baik, Islami, dan
menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan hidup.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan rencana pendidikan yang memberi pedoman tentang
jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan, pengertian asal kata
curriculum ialah arena perlombaan (race course). Frasa “arena perlombaaan”
seringkali dipandang sebagai metafora yang bermanfaat bagi perenungan makna
kurikulum pendidikan. Kadang-kadang arena itu dibayangkan sebagai arena
pacuan kuda yang memiliki garis start dan garis finish dengan rambu-rambu yang
harus dipatuhi oleh Jocky.20
Dalam kamus induk istilah ilmiah menyebutkan kurikulum adalah perangkat
mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan di sekolah dasar dan menengah
atau pada lembaga pendidikan, Dan juga bisa diartikan perangkat mata pelajaran
kuliah untuk suatu bidang keahlian khusus.21
20
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kalimah, 1999 ), h. 161 21
M Dahlan Y Al-Barry, dkk., Op. Cit., h. 440
15
Kemudian Zakiah Drajat menyatakan kurikulum adalah suatu program
pendidikan yang direncanakan daan dilaaksanakan untuk mencapai sejumlah
tujuan-tujuan pendidikan tertentu.22
Ada empat kompenen utama kurikulum, yaitu tujuan, bahan ajar, metode-
metode alat penilaian. Setiap praktik pendidikan diarahkan kepada pada
pencapaaian tujuan, baik berupa penguasaan pengetahuan, pengembangan
pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan berkerja. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan bahan ajar, untuk menyampaikan bahan ajar diperlukkan
metode serta alat-alat bantu, serta untuk menilai hasil dan proses pendidikan
diperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian.
Dalam pembahasan tentang bahan ajar, pengetahuan selalu didiskusikan
oleh para ahli, baik dari klarifikasi maupun space-nya. Para ulama muslim masa
lalu yang menaruh perhatian terhadap topik ini diantaranya : al-Ghazali, Ibnu
Khaldun dan al-Zarnuji.23
Osman Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyebutkan lima cirri
kurikulum pendidikan Islam, antara lain :
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujan-tujuannya dan
kandungan-kandunngannya, metode-metode, alat-alat, dan tekniknya
bercorak agama.
b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Yaitu kurikulum yang
betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran yang menyeluruh.
Disamping itu juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatijkan
perkembangan dan bimbinngan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari
segi intlektual, psikologis, sosial dan spiritual.
c. Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum
yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara pengetahuan yang
berguna bagi pengembangan individual dan pengembangan sosial.
d. Bersikaap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan
oleh anak didik.
22
Zakiah Drajat, dkk.,Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Askara, 1996 ), Cet. 3. H.
122 23
Hery Noer Aly, Op. Cit., h. 167
16
e. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan minat dan bakat anak didik.24
Pendidikan Islam dibangun atas dasar pemikiran yang Islami; bertolak dari
pandangan hidup dan pandangan tentaang manusia, serta diarahkan kepadaa
tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islam. Pemikiran terssebut pada
gilirannya akan melahirkan kurikulum yang khas Islami.25
3. Metode Pembelajaran
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaiaan yang umum,
metode diartikan sebagai cara melakukaan suatu kegiaatan atau caara melakukan
pekerjaaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep prosedur yang
sistematis.26
Seperti yang dikemukakan di atas, metode adalah cara yang digunakan
untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata
agar tujuan tercapai secara optimal. Hal ini berarti, metode yang digunakan untuk
merealisasikan strategis yang telah ditetapkan.27
Selanjutnya yang dimaksud dengan metode mengajar ialah cara yang berisi
prosedur atau langkah-langkah unntuk melaksanakan kegiatan pendidikan,
khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Bagian penting yang
sering diluapkan orang adalah strategi mengajar yang sesungguhnya melekat
dalam metode mengajar.Namun berbeda dari strategi mengajar (teaching
strategy), metode mengajar tidak langsung berhubungan dengan hasil belajar yang
dikehendaki. Artinya dibandingkan dengan strategi, metode pada umumnya
kurang berorienntasi pada tujuan (less goal oriented) karena metode dianggap
konsep yang lebih luas dari pada strategi. Gagasan ini tidak mengurangi
signifikasi metode mengajar, lantaran strategi mengajar itu lebih adaa dan
berlaaku dalam kerangka metode mengajar.28
24
Abudin Nata, Op. Cit., h. 127 25
Hery Noer Aly, Op. Cit., h. 163 26
Muhibbin Syiah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ( Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya, 2005 ), Cet. 11, h. 201 27
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta : Kencana, 2009 ), Cet. 6, h. 145 28
Muhibbin Syiah, Op. Cit., 205
17
Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektivitas dan
efesiensi pembelajaran. Pembelaajaaran perlu dilaakukan dengan sedikit ceramah
dan metode-metode yang berpusat pada guru, dan menekankan pada interaksi
peserta didik.Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membaantu peserta
didik dalam mencaapai tujuan pembelajaran.
Berikut beberapa metode pembelajaran yang dapat dijadikan acuan untuk
pendidik :
a. Metode demonstrasi
Yang dimaksud metode demonstrasi itu guru dapat memperlihatkan suatu
proses, peristiwa, atau cara kerja suatu alat kepada peserta didik. Demonstrasi
dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sekedar memberikaan
pengetahuan yang sudah diterima begitu saja oleh peserta didik,sampai pada
cara agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah.29
b. Metode Ceramah
Metode ceramah merupakan metode yang paling umum digunakan dalam
pembelajaran.Pada metode ini, guru yang menyajikan bahan melalui
penuturan atau penjelasan lisan langsung terhadap peserta didik.
c. Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab merupakan cara menyajikan bahan ajar dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk mencapai tujuan.
Pertanyaan-pertanyaan bisa muncul dari guru, bisa juga dari peserta diidik,
demikian halnya jawabannya.30
d. Metode Diskusi
Metode diskusi sebagai percakapan pesponsif yang dijalin oleh pertanyaan-
pertanyaan problematic yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan
masalah. Hal tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan dalam
kamus besar bahasa Indonesia (1988) bahwa diskusi adalah pertemuan
29
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2007 ), Cet. 5, h. 107 30
Ibid., h. 115
18
ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Di metode diskusi
pasti ada permasalahan yang harus diselesaikan.31
Dan masih banyak lagi metode-metode pembelajaran yang dapat membantu
peserta didik untuk dapat mencapai tuujuan pembelajaran di lembaga pendidikan.
Metode-Metode pembelajaran diatas aadalah metode-metode pembelajaran yang
sering diterapkan dalam pengajaran di lembaga pendidikan.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat
perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita
kehendak, dan kesenjangan, serta berkonsekuensi penyusunan daya-upaya untuk
menncapainya.32
Maka tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk
tetap dan statis tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang,
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.33
Zakiah Drajat mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara
keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang yang membuatnya menjaadi insan
kamil dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani,
dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal Karena takwanya kepada
Allah SWT.34
Tujuan pendidikan memeliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat
umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur tang
kemudian dinamakan kompetensi. Ada empat, yaitu : tujuan pendidikan
nasional/TPN, tujuan institusional/ TL, tujuan kurikuler/TK, dan tujuan
pembelajaran atau tujuan intruksional.
a. Tujuan Pendidikan Nasional (TPN)
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan yang bersifat paling umum dan
merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha
pendidikan, artinya setiap lembaga dan penyelenggara pendidikan harus dapat
31
Ibid., h. 117 32
Hery Noer Aly,Op. Cit., h. 51 33
Zakiah Drajat, dkk, Op. Cit., h. 29 34
Noer Ubiyati, Ilmu Pendidikan Islam/IPI ( Bandung : Pustaka Setia, 1997 ), h. 41
19
membentuk manusia sesuai dengan rumusan itu, baik lembaga yang
diselengarakan oleh lembaga pendidikan formal, informal, maupun non formal.
Tujuan pendidikan umum biasanya dirumuskan dalam bentuk prilaku yang ideal
sesuai dengan pandangan hidup filsafah suatu bangsa yang dirumuskan oleh
pemerinntah dalam bentuk undang-undang.
Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai
pancasila yang dirumuskan dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3,
yang merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan unntuk
berkembangnnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.35
b. Tujuan Institusional (TI)
Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga
pendidikan. Dengan kata lain, tujuan ini dapat didefinisikan sebagai kualifikasi
yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah merekaa menempuh atau dapat
menyelesaikan program disuatu lembaga pendidikan tertentu. Tujuan institusional
merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam
bentuk kompetensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan,dan jenjang
pendidikan tinggi.
Dalam peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan Bab V pasal 26 dijelaskan standar kompetensi lulusan pada jenjang
pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Dan standar kompetensi lulusan pada suatu pendidikan menengah kejuruan
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,, kepribadian, akhlak
35
Wina Sanjaya, Op. Cit., h. 63
20
mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejurusannya.
Selanjutnya standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan tinggi
bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
berakhlak mulia,memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap
untuk menemukan, mengembangkan, serta menetapkan ilmu, teknologi, dan seni
yang bermanfaat bagi kemanusiaan.36
c. Tujuan Kurikuler (TK)
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang atau
mata pelajaran. Oleh karena itu, tujuan kurikuler dapat didefinisikan sebagai
kualifikasi yang harus dimiliki anak didik setelah mereka menyelesaikan suatu
bidang studi tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuaan kurikuler juga
pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lembaga
pendidikan dengan demukian, setiap tujuan kurikuler harus dapat mendukung
daan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional.
Pada peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan paasal 6 dinyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum,
kejuruan, dan khusus paada jenjaang pendidikaan dan menengah terdiri atas :
1. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia bertujuan membentuk
peserta didik menjaadi manusia yang berimaan dan bertakwa kepada tuhaan
yang maha esa sertaa berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui
muatan xdaan kegiatan agama, kewarganegaraaan, kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.
2. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraaan daan kepribadian bertujuan :
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cintaa tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan kegiatan aagama,
akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni, dan budaya, dan pendidikan
jasmani.
36
Ibid., h. 64
21
3. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan
mengembangkan logika, kemampuan berfikir, dan analisis peserta didik.37
d. Tujuan Pembelajaran Instruksional (TPI)
Tujuan pembelajaran atau Instruksional merupakan yang paliing khusus.
Tujuan pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat
didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah
mereka mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali
pertemuan.38
C. Gambaran Umum Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa
1. Masa Permulaan Islam
Agama Islam di nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses.
Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian
menganutnya. Kedua, orang-orang asing asia, seperti arab, india, dan cina yang
telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen disuatu wilayah
Indonesia, melakukan perkawinan dan mengikuti gaya hidup local. Kedua proses
ini sering terjadi secara bersamaan.39
Ketika berdiri kerajaan perlak yang menurut seminarMedan pada tahun
1963, dan seminar di Aceh pada tahun1978, sekitar abad-abad pertama Hijriyah,
lembaga pendidikan seperti meunaasah, rangkang, dayah dan bentuk pendidikan
atau pengajian di surau dan masjid. Jadi pengertian pendidikkan pada
masapermulaan masuknya Islam di nusantara ialah pengajian disurau-surau dan
masjid.
Ketika berdiri kerajaan Islamlain lain sesudah kerajaan perlak seperti
kerajaan Islam samudra pasai (1025 M). Kerajaan Aceh (1025 M), dan kerajaan
Islam Tamiah (1184 M) dapat dipastikan bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan
Islam di wilayah-wilaayah kerajaan tersebut tentu samik berkembang luas dan
37
Ibid.,h. 65 38
Ibid.,h. 66 39
SKI Fakultas Adab UIN Jogjakarta,Sejarah Peradaban Islamdi Indonesia,( Yogyakarta
: Pustaka, 2006 ), Cet. 1, h. 33
22
daapat diperkirakan pihak kerajaan memberikan bantuan untuk pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan Islam di wilayahnya.40
Menegaskan uraian diatas bahwa pada abad-abad pertama hijriyah atau
sekitar abad 8 atau 9 masehi, pendidikan Islam telah berdiri dan berkembang di
Aceh lewat surau-surau dan masjid.
2. Masa Penjajahan Belanda
Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara yang
dimulai dengan melakukan monopoli kegiaatan perniagaan di bawah sebuah
badab bernama VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie), tahun 1602-1799
lalu diikuti masa penjajahan pemerintah kolonial mulai tahun 1799, tidak dapat
disangkal, bahwa misi keagamaan golongan Kristen telah jalan bareng,baik
dilaakukan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintah kolonial, oleh (zending
Kristen Protestan) dan misionaris (katolik).
Dalam penyiapan tenaga terampil untuk mendukung operasional kegiatan
VOC, baik yang bergerak dilapangan maupun tenaga administrasi, VOC
membuka lembaga pendidikan dibeberapa tempat wilayah barat dan timur.
Yang dipilih untuk diterima di lembaga pendidikan tersebut adalah dari
golongan Kristen, dan untuk kaum muslimin tertutup, terkecuali dalam kasus
tertentu. Sebagai organisasi perdagangan yang semata-mata terfokus pada usaha
meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, bersikap formal mereka adalah “netral
agama”, tetapi dalam kenyataannnya, VOC menjalankan “politik agama”.
Penduduk pribumi yang beragama Islamakan dikristenkan. Dibalik konsep
mengkristenkan penduduk pribumi (umat Islam) terkandung sejumlah tujuann
yang ingin dicapai secara berjenjang. Kalau penduduk pribumi berhasil
dikristenkan, maka hambatan psikologis antara Belanda dan penduduk pribumi,
dengan sendirinya akan hilang, dan kemunngkinan timbulnya koonflik dan
perlawanan pribumi terhadap Belanda dengan motif keagamaan akan sirna pula.
Orang Kristen. Tetapi sejarah mecaatat kenyataan lain ; dalam masaa VOC yang
40
Marwan Sardjo, Pendidikan Islam dari Masa Ke Masa, ( Jakarta : Yayasan Ngalih
Aksara & Penamadani, 2010 ), h. 30 - 31
23
berlangsung selama hampir dua abad 1602-1799 ia gagal mengkristenkan umat
Islam Indonesia.
Ketika mulai memikirkan, merencanakan dan mencari model pendidikan
bagi penduduk pribumi, diantara pejabat dan pemerintah kolonial terjadi
pandangan. Sebagian beranggapan, bahwa sekolah agama yang telah
memasyarakat ;ayal dipertaanggungjawabkan sebagai wadah pendidikan bagi
pribumi. Sekolah agama yang telah tersebar luas dan tellah memiliki sarana
pendidikan, walaupun masih sangat sederhana dan umumnya dibiayai
masyarakat sendiri akan menguntungkan karena pemerintah tidak perlu
mengeluarkan biaya besar dan mulai dari nol.
Tetapi sebagian pejabat koolonial menolak keras untuk menjadikan sekolah
agama madrasah menjadikan model pendidikan penduduk pribumi.
Sistem pendidikan pesantren atau diniyah dan madrasah dinilai terlalu
buruk. Didalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan Al-Quran. Di
pesantren dan madrasah tidak diperkenalkan huruf Latin. Guru-gurunya pun tidak
bisa membaca dan menulis huruf Latin. Pendidikan pesantren/madrasah, adalah
pendidikan agama dan arena secaara teknis sulit diadopsi untuk pendidikan
pribumi.
Uraian diatas terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren
atau madrasah sebagai bentuk dan model penduduk pribumi, disamping alasan
teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan.
Alasan politik dapat ditilik dari sisi pandangan pemerintah colonial Belanda,
yang memiliki ketentuan kata akhir bagi kebijakan di bidang pendidikan pribumi,
tidak bisa tidak ikut dipengaruhi oleh citra dan semangat keagamaan. Dari sisi
pandang yang kedua, yaitu dari umat Islam (pengelola dan pemilik sekolah
agama atau madrasah). Mereka tidak rela kalau pihak orang “kafir” ikut
mencampuri atau mengontroll dan mengawasi lembaga pendidikan pesantren dan
madrasah.41
Respon umat Islam dan ormas-ormas Islam atas “politik pendidik Belanda”
secara garis besar dapat diklarifikasikan ke dalam tiga golongan sebagai berikut :
41
Ibid., h. 49 - 53
24
Kelompok pertama, menolak sama sekali segala yang berbau “kafir” tidak
ada kompromi. Untuk menghindari pengaruh Belanda, golongan ini melakukan
uzlah dari kota ke desa. Pendidikan yang dikelola golongan ini menjadi sangat
eksklusif dan tertutup. Menjadilah pemerintah colonial Belanda mencurigai
kegiatan pendidikan mereka, seperti dianggap menjadi pusat perlawanan dan
arena itu harus diawasi dan dimata-matai. Symbol-simbol bangsa barat yang
“kafir” seperti pakai pentolan, jas, dasi, pakaaian, kursi,meja, bahkan papan tulis
juga di haramkan. Mata pelajaran non agama, juga “diharamkan” untuk
dipelajari.
Kelompok kedua, mereka yang disebut steenbrink, menolak sistem
pendidikan Belanda sambil meniru. Sisi-sisi yang dinggap baik untuk pendidikan
madrasah mereka terima, tapi sisi-sisi yang merusak atau yang dapat mereduksi
tujuan utama pendidikan madrasah sebagai lembaga tafaqohu fiddin mereka tolak.
Kelompok ketiga, kelompok ini dianggap sebagai terlalu akomodatif
terhadap politik pendidikan Belanda. Salah seorang yang terkenal adalah
Abdullah Ahmad dengan Madrasah Adabiyah nya di Padang Panjang.
Kelompok keempat, respon mereka terhadap “ politik pendidikan “
pemerintah Kolonial Belanda dan pembaharuan pendidikan Islam.42
Jadi pada masa Kolonial Belanda, pendidikan Islam dilaksanakan di
pesantren dan madrasah, dan hanya mempelajari ilmu agama. Kemudian Kolonial
Belenda mempermainkan politik pendidikan dengan cara semua sekolah,
madrasah dan pesantren diatur oleh Belanda yang mana sekolah agama akan
dijadikan sebagai kristenisasi dan kurikulumnya diubah menjadi agama Kristen,
bahasa Belanda, dan huuf-huruf latin.
Disini banyak pertentangan dari kalangan pesantren, masyarakat, dan ormas-
ormas Islam.Belanda mencurigai ada gerakan-gerakan tersembunyi sebagai
bentuk perlawanan terhadap pemerintah colonial Belanda.
42
Ibid., h. 63-64
25
3. Masa Jepang
Pemerintah Belanda sejak tanggal 8 maret 1942 lenyap di tanah Indonesia
karena harus bertekuk lutut kepada Jepang.Kendati demikian, Indonesia belum
bebas dari penjajahan, sebab Jepang mengambil alih kependudukan Indonesia dari
Belanda.Jepang muncul sebagai Negara kuat di Asiayang bercita-cita ingin
menjadi pemimpin Asia Timur Raya.Hal itu sudah direncanakan oleh Jepang
sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Partai-partai
Islam seakan akan mendapat kekuatan kembali setelah Jepang dating
menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan,
organisasi Islam dan nasionalisme sekuler. Jepang berpendapat bahwa organisasi-
organisasi Islam mempunyai massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan
agama, penduduk Indonesia dapat dimobilisasi.
Sejak itulah organisasi-organisasi non keagamaan dibubarkan, sedangkan
organisasi besar seperti Muhammadiyah, Nu, Persyarikatan Ulama, dan Majlis
Islam A’la Indonesia ( MIAI ) yang kemudian dilanjutkan dengan Majlis Syura
Muslimin Indonesia ( Masyumi), diperkenankan lagi meneruskan kegiatannya.
Permohonan Masyumi juga diterima oleh Jepang untuk mendirikan barisan
Hizbullah, sebuah wadah kemiliteran bagi santri untuk mempersiapkan tenaga-
tenaga militer yang ahli. Bahkan Tentara Pembela Tanah Air ( PETA ) banyak
dimiliki oleh golongan santri yang digodok dalam kemiliteran tersebut.
Kemudian Jepang menjanjikan kemerdekaan pada rakyat Indonesia dengan
janji mengeluarkan maklumat Gunseikan No. 23/29 April 1945 tentang
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (
BPUPKI ). Berbeda dengan situasi sebelumnya dimana kalangan Islam mendapat
layanan dari Jepang, keanggotaan BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis
sekuler yang saat itu disebut golongan kebangsaan, dan didalam lembaga ini,
Soekarno mencetuskan ide Pancasila.
Didalam rumusan Pancasila itu terdapat prinsip ketuhanan, tetapi terkesan
Negara dipisahkan dari agama. Setelah itu dialog resmi ideologi antara dua
golongan terbukti dalam suatu forum musyawarah. Panitia Sembilan, forum ini
membahas hal-hal yang mendasar, prembule UUD. Lima orang mewakili
26
golongan nasioanalis sekuler, yakni : Soekarno, Hatta, Yamin, Maramis dan
Subardjo. Adapun yang mewakili golongan Islam ada empat orang yaitu, Abdul
Kahar Muzakir, Wahid Hasyim, Agus Salim, dan Abikusno
Tjokrosujoso.Kompromi yang dihasilkan dalam musyawarah ini dikenal dengan
Piagam Jakarta.Adapun sila yang pertama meruapak prinsip ketuhanan berarti
kewajiban melakukan syariat Islam bagi para pemeluknya.
Menjelang kemerdekaan setelah Jepang tidak bisa menghindari kekalahan
tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia ( PPKI ).43
Kebijakan jepang terhadap Pendidikan Islam di Indonesia sangat
bagus.Seperti mengahapuskan dualism pengajaran.Dengan begitu selesailah
riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualis membedakan antara
pengajaran Barat dan pengajaran Bumi Putera.Dengan penghapusan pendidikan
bertujuan mengambil hati rakyat Indonesia dan pemerintah jepang berdalih bahwa
pendidika itu tidak ada perbedaan.Padahal Jepang mempunyai semboyan Asia
untuk bangsa Asia.Jepang menguasai Indonesia yang kaya sumber alam dan
bermanfaat untuk kepentingan perang Jepang.
Sistem sekolah pada jaman jepang banyak perbedaannya dibandingan
dengan penjajah Belanda. Hanya ada satu sekolah rendah yang diadakan untuk
lapisan masyarakat, ialah sekolah rakyat 6 tahun, yang dikenal dengan
namaKokumin Gakkoo.Sekolah-sekolah desa dibiarkan tetapi namanya diganti
menjadi sekolah pertama. Adapun susunan pengajarannya menjadi, pertama,
Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk sekolah pertama ), kedua, sekolah menengah 3
tahun, ketiga , Sekolah Menengah 3 tahun ( SMA pada jaman Jepang ). Terbukti
sekarang bahwa system perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan
warisan penjajahan Jepang.
Kelebihan pada masa Jepang ialah menjungjung tinggi dan menetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di tiap-tiap sekolah. Pemakaian bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap
43
Mansur, dkk.Rekonstruksi Sejarah Islam di Indonesia, ( Jakarta : Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005 ), h. 57-59
27
jenis sekolah telah dilaksanakan. Namun, sekolah-sekolah tersebut digunakan
untuk memperkenalkan budaya Jepang kepada rakyat.44
contohnya, setiap pagi
hari harua mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang.
4. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Dari masa kemerdekaan sampai masa orde lama dapat dibagi sebagai
berikut:
a. Masa awal kemerdekaan dimulai sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 hingga saat penyerahan kedulatan dari pemerintah Belanda tahun 1949.
Dalam periode ini, keadaan dalam negerimasih meliputi suasana revolusi
fisik melawan Belanda dan tentara sekutu yang ingin menganulir
kemerdekaan Indonesia. Disamping harus melawan tentara Belanda dan
sekutu, Indonesia harus behadapan pula dengan para anasir dalam negeri
yang melakukan makar dan pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun
tahun 1948, peristiwa Soumokil yang memproklamasikan “ Negara Maluku
Utara “ , pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo di Jawa Barat
dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan lain-lain.
b. Era “ Demokrasi Liberal “ berlangsung antara 19052-1959 ( hingga saat
dekrit Presiden kembali ke Undang-undang Dasar 1945 ) .
c. Era “ Demokrasi Terpimpin “ pemerintah Orde Lama 1959 sampai meletus
peristiwa makar G30S/PKI tahun 1965.
Kebijakan publik yang berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa awal
kemerdekaan sampai runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang dibicarakan dalam
hal ini meliputi :
a. Rancangan Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional.
b. Penyelenggaraan Pendidikan Agama di sekolah umum dan pembinaan
madrasah dan pesantren.
c. Cita-cita konvergensi antara isi pendidikan umum dan pendidikan agama
(Islam).
44
Ibid., h. 61
28
d. Pembaruan dan revitalisasi sekolah agama, menyusul penerbitan undang-
undang No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah.
Sebagai model dalam melakukan pembaruan dan revitalisasi sekolah agama
itu, kementerian agama mengembangkan proyek perintisan madrasah wajib
belajar ( MWB ).45
D. Kajian Yang Relevan
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang
relevan selama proses penelitian dan penulisan skripsi, yang membahas tentang
K.H.A. Wahid Hasyim. Terdapat dalam beberapa buku dan juga terdapat dalam
tesis dan skripsi, diantaranya dalam buku K.H. Abd.Wahid Hasyim yang berjudul
mengapa memilih NU? (Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik) yang
didalamnya membahas tentang keagamaan, kependidikan dan kepolitikan
antaranya yaitu Perbaikan Perjalanan Haji, beragamalah dengan sungguh dan
ingatlah Kebesaran Tuhan, kemajuan bahasa berarti kemajuan bangsa, tuntutan
befikir, pengurusan tinggi Islam dan mengapa saya memilih NU.46
Tesis yang ditulis oleh Rachman Basori yang berjudul The Founding
Father. Pesantren Modern Indonesia; Jejak Langkah K.H.A. Wahid Hasyim,
dalam tesis tersebut membahas mengenai pendidikan dan pembaharuan pesentren
dan madrasah, tentang K.H.A. Wahid Hasyim dan pemikirannya serta
pembaharuan pendidikan pesantren madrasah perspektif kontemporer.47
Skripsi
yang ditulis oleh Rizky Hariyanto yang berjudul K.H.A. Abdul Wahid Hasyim;
Studi Analisis tentang Pemikiran, Kiprah & Perjuangan, dalam skripsi tersebut
membahas tentang Biografi singkat K.H.A. Wahid Hasyim yang meliputi masa
45
Marwan Saridjo, Op. Cit., h. 65-66 46
KH. A Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU ?; Konsepsi Tentang Agama, Pendidikan
dan Politik, Ed. Buntaran Sanusi, dkk, ( Jakarta : PT. Inti Aksara, 1985 ), h. 101 47
Ruchman Basori, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia; Jejak Langkah
KH. A Wahid Hasyim,( Jakarta: Inceis, 2006 ), Cet. 1, Tesisnya yang berjudul Pemikiran
Pembaharuan Pendidikan Pesantren dan Madrasah ( Studi Atas Pemikiran Pendidikan Islam KH.
A Wahid Hasyim ) di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2004, dipublikasikan.
29
pra-Kemerdekaan, menjelang kemerdekaan derta sesudah kemerdekaan.48
Selanjutnya Skripsi yang ditulis oleh Fahmi Ulum yang berjudul Abdul Wahid
Hasyim; Kajian tentang Aktifitasnya dalam Bidang Pendidikan, dalam
skripsitersebut hanya membahas Biografi dan Aktifitasnya dalam bidang
pendidikan di Pondok Tebuireng.49
Dari sekian buku yang penulis temukan hampir semuanya membahas
tentang kehidupan dan perjalanan intelektual serta politiknya K.H.Abd.Wahid
Hasyim dari berbagai aspek kehidupan.Bebeda dengan diatas, dalam skripsi ini
penulis lebih fokus membahas tentang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim
tentang Pembaharuan Pendidikan Islam.
48
Riky Haryanto, KH. A Wahid Hasyim; Studi Analisis Tentang Pemikiran,Kiprah &
Perjuanangan, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, tidak dipublikasikan. 49
Fahmi Ulum, Abdul Wahid Hasyim; Kajian tentang aktivitasnya dalam bidang
pendidikan, skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2005, tidak dipublikasikan.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul Pembaharuan Pendidikan Islam dalam perspektif K.H.
Abdul Wahid Hasyim ini dilaksanakan dari bulan Desember 2016 sampai bulan Juli
2017 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari teks-book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang
mendukung penelitian.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dan metode yang
digunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan
yang akan diteliti mengkaji sejarah pendidikan maka dari itu diperlukan banyaknya
literatur-literatur yang relevan dengan sejarah pendidikan.1
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata bahwa penelitian kualitatif adalah suatu
pendekatan penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran, orang
secara individual maupun kelompok.2
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis
1 Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, ( Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIPIKIP, 1982) h. 51
2 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, ( Bandung : PT. Remaja RosdaKarya, 2007 ), Cet. 3, h. 60
31
menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data, fakta
dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang
terdapat di ruangan perpustakaan.3 Misalnya berupa buku-buku, majalah, naskah,
catatan kisah sejarah; surat kabar, internet dan sumber lain, yang berhungan dengan
Wahid Hasyim dan Pemikirannya terutama tentang Pendidikan Islam.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui
bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder
atau sumber sekunder lainnya.
Adapun sumber premier dalam penulisan skripsi ini pemikiran-pemikiran
K.H.A. Wahid Hasyim yang banyak dituangkan dalam tulisan-tulisan kecilnya yang
sudah dikumpulkan oleh H. Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup K.H.A. Wahid
Hasyim dan Karangan Tersiar. Kemudian banyak buku yang memuat pemikiran
beliau seperti karya Seri Buku Tempo yang brjudul berjudul Wahid Hasyim untuk
Republik dari Tebuireng, dan buku karya Muhammad Rifai yang berjudul Wahid
Hasyim; Biografi singkat 1914-1953. Serta buku K.H.A Wahid Hasyim Sejarah,
Pemikiran, dan Baktinya Bagi Agama dan Bangsa editor Shofiyullah Mz, dkk.
Sedangkan buku pendukung dalam penulisan skripsi ini adalah karya Ahmad
Zaini yang berjudul K.H. Ahmad Wahid Hasyim, Pemburu Pendidikan Islam, buku
karya Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren, buku The Founding
Father, Pesantren Modern Indonesia Jejak langkah K.H.A. Wahid Hasyim karya
Ruchman Basori, dan buku karya Saifullah Ma'shum yang berjudul Karisma Ulama:
Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, serta karya Saiful Uman, K.H.A. Wahid Hasyim:
Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi, dalam Azyumardi Azra, menteri-menteri
Aagama RI: Biografi sosial politik. Kemudian buku K.H.A. Wahid Hasyim: Mengap
Memilih NU? Editor Buntaran Sanusi dkk.
3 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : PT. Alfabeta, 2008 ), h. 329
32
2. Teknik Pengelolahan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya penulis lakukan adalah
membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-data yang
relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis,
simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis (historis analysis),
dan dengan pendekatan deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang
menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan tidak dimaksudkan untuk menguji
hipotesis tertentu.4 Maka di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas
dengan mengambil materi-materi yang relavan dengan permasalahan, kemudian
dianalisi, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.
E. Teknik Penulisan
Secara teknik, penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini merujuk pada
buku Pedoman penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
4 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2009 ), Cet.10, h. 234
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Biografi KH. Abdul Wahid Hasyim
Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 14 Juni 1914 atau
bertepatan dengan tanggal 5 Rabi’ul Awal 1333 di Jombang, Jawa
Timur. Dia adalah putra Kiyai Haji ( K.H. ) Hasyim Asy’ari, pendiri
Nahdlatul Ulama ( NU ).1 Dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari dan
Nyai Nafiqoh binti Kyai Ilyas Madiun.
Wahid Hasyim adalah anak kelima dari K.H. Hasyim Asy’ari dan
Nafiqoh, dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Nama aslinya adalah Abdul Wahid. Ketika dia beranjak dewasa dia
lebih suka menulis namanya A. Wahid, ditambah nama ayahnya di
belakangnya menjadi A. Wahid Hasyim.2
Ada yang menarik tentang bayi Wahid Hasyim. Ibunya merasakan
kepayahan yang lebih parah ketika mengandung Wahid Hasyim,
sehingga dia khawatir bayi yang dikandungnya tidak sempurna. Dalam
suasana tersebut, dia bernazar seandainya bayi tersebut selamat dan
tidak berkurang satu apapaun, maka ia akan berkunjung ke Kyai
Kholil, di Bangkalan Madura, yang juga guru KH. Hasyim Asy’ari.
Tradisi nazar sudah menjadi hal yang biasa dalam tradisi pesantren,
begitu juga mengunjungi rumah kiyai terkenal. Nazar tersebut
dilaksanakan pada saat Wahid berusia sekitar 3 bulan. Ketika mereka
sampai di rumah Kyai Kholil, hari sudah malam dan turun hujan.
Namun apa yang terjadi ? mereka tidak diijinkan masuk ke rumahnya
dan juga tidak boleh pulang. Mereka diminta untuk tetap berada di
depan rumah sambil kehujanan. Ketika hujan makin deras, ibunya
1 Achmad Zaini, KH. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam dan PejuangKemerdekaan ( Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011 ), h. 7
2 Azyumardi Azra; Saiful Umam ( ed. ), Menteri-menteri Agama RI : Biografi SosialPolitik ( Jakarta, PPIM 1998 ), h. 99
34
meletakkan anaknya di halaman rumah Kyai Kholil agar terhidar dari
hujan, Karen khawatir anaknya jatuh sakit. Tapi Kyai Kholil
melarangnya dan menyuruh untuk mengambilnya kembali. Kejadian
ini diyakini sebagai pertanda bahwa bayinya akan menjadi orang yang
luar biasa.
Konon cerita tersebut adalah kilas balik keberhasilan dari KH.
Wahid Hasyim menjadi orang besar di Negara ini dan menjadikannya
pribadi yang memiliki visi ke depan. Akan tetapi, semua itu tidak lepas
dari kekuasaan Tuhan yang Maha Esa. Wahid Hasyim merupakan
keturunan dari keluarga masyhur, perintis pesantren di jawa. Ayahnya,
KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan pesantren
Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sementara ibunya putri KH.
Muhammad Ilyas, pendiri pesantren Sewulan, Madiun. Seperti
umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan
perjodohan antara anak kyai atau anak kyai dengan santrinya.
Diruntun lebih jauh, dari pihak ibunya, Wahid masih keturunan Ki
Ageng Tarub I. sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada
Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, Raja pertama Kesultanan Pajang (
1549 – 1582 ) keduanya bermuara di Sultan Demak Raden Brawijaya,
yang berkuasa pada 1478 – 1498.
Gambar 4.1.
Sosok K.H. Abdul Wahid Hayim
35
Berikut silsilah KH. Abdul Wahid Hasyim yang bermuara ke
Brawijaya VI.
Gambar 4.2
Silsilah K.H. Abdul Wahid Hasyim yang bermuara ke Brawijaya VI.
BRAWIJAYA VI
JAKA TINGKIRMeninggal 1578
PANGERAN BENOWO
PANGERAN SAMBO
AHMAD
ABDUL JABBAR
SICHAH
LAYYINAH
HALIMAH / WINIH
KH. HASYIM ASY’ARI( 1871 – 1957 )
Pesantren Tebuireng
JAKA TARUB I
JAKA TARUB II
KYAI AGENG KETIS
KYAI AGENG SABA
KYAI AGENG SOLO
KYAI AGENGPEMANAHAN
PANEBAHAN SENOPATI
PANGERAN KAJURAN
MARKINAH
NAFIQOH( Meninggal 1939 )
KH. A WAHID HASYIM( 1914 – 1953 )
SHOLIHAH( 1922 – 1994 )
AbdurrahmanWahid
( 1939 – 2009 )
Aisyah( 1941)
SholahuddinAl-Ayubi
( 1942)
Umar( 1944)
LilyChodijah
( 1948)
MuhammadHasyim( 1953)
36
Jelas sekali asal usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan ulama-
ulama besar dan priyai. Menjadikannya orang yang besar dan berpengaruh juga.
Seperti pepatah bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang religious.
Ibunya, Nafiqah, anaknya Kyai Ilyas seorang Kyai terkenal dari pesantren
Sewulan Madiun, sedangkan dari garis keturunan ayah, dia merupakan keturunan
ulama yang sangat dihormati. Ayah, kakek, dan buyutnya adalah ulama yang
mengabdikan hidupnya untuk belajar dan mengamalkan ilmunya serta mereka
yang mengilhami dirinya untuk membangun pesantren di Jawa. Ayah Wahid
Hasyim adalah pendiri pesantren Tebuireng Jombang. Kakeknya KH. Haysim
Ashari adalah pendiri pesantren Keras di Jombang. Dan Buyutnya, KH. Usman
selain dikenal sebagai pendiri pesantren Gedang, beliau juga dikenal sebagai
ulama yang mengajarkan Thariqat Naqshabandiyah di Jombang. Bahkan
pesantrennya disinyalir oleh Gus Dur sebagai pusat gerakan sufi di Jawa Timur.
Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang pendiam, peramah, dan pandai
mengambil hati orang. Dikenal juga sebagai orang yang suka menolong, bergaul
dengan tidak memandang bangsa, agama dan uang. Terlalu percaya pada kawan,
suka berkorban, dan mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah tetapi
dapat mengatasi kemarahannya.3 Dengan sifat yang suka menolong dan dan
mudah bergaul, Wahid Hasyim sebagai orang yang dihormati oleh kawan maupun
lawan politiknya.
2. Pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim
Pendidikan dan bimbingan agama didapatkan langsung dari ayahnya
dalam lingkungan keluarga yang religious yaitu pesantren Tebuireng.
Sebagaimana umumnya anak-anak yang lain, saat usia beliau belajar Al-Qur’an
pada ayahnya sehabis sholat Maghrib dan Zuhur, disamping bersekolah di
madrasah salafiyah di Tebuireng dan khatam al-Qur’an pada usia 7 tahun.
3 Ruchman Basori, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia, Jejak LangkahKH. A. Wahid Hasyim, ( Jakarta: Inceis, 2006 ), Cetk. I, h. 62.
37
Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak usia 7 – 13 tahun, belajar al-
Qur’an adalah pendidikan agama tingkat dasar.4
Ketika usianya sudah mencapai 7 tahun, ia mulai belajar kitab Fathul
Qarib, Minhajul Qowim, Mutammimah pada ayahnya juga. Termasuk umur yang
relative muda untuk anak pada zamannya dan kitab-kitab tersebut baru diajarkan
pada santri yang senior. Pada usia 12 tahun Wahid Hasyim tamat dari Madrasah
Salafuyah Tebuireng, dan mulai mengajar adiknya ( A. Karim Hasyim ) tentang
kitab Izi pada malam hari. Pada saat itu Wahid Hasyim sangat giat mempelajari
ilmu-ilmu kesastraan bahasa arab dan sastranya. Akan tetapi cara belajarnya lebih
banyak dengan mutholaah dan membaca sendiri.
Perkembangan pengetahuan yang diperoleh Wahid Hasyim selalu menjadi
perhatian ayahnya. Ketika Wahid Hasyim dipandang sudah menguasai ilmu-ilmu
agama, ayahnya mengirimkannya untuk mendalami ilmu agama di berbagai
pesantren. Pada usia 13 tahun, beliau mulai mengembara dari satu pesantren ke
pesantren lainnya.
Pesantren yang pertama kali dikunjungi adalah pesantren Siwalan Panji,
Sidoarjo, tempat dimana ayahnya juga pernah belajar. Dibawah bimbingan
ayahnya dan Kyai Chozin Panji, Wahid Hasyim belajar kitab Bidayah, Sullamut
Taufiq, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Wahid Hasyim belajar disana selama 25 hari
bulan Ramadhan. Kemudian beliau kembali ke Tebuireng. Pada tahun berikutnya,
beliau meneruskan pengembaraannya ke berbagai pesantren di Jawa. Termasuk
pesantren Lirboyo, Kediri. Lalu akhirnya beliau banyak belajar otodidak di
pesantrennya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan Wahid Hasyim diperoleh secara informal
dari ayahnya dan secara formal dari beberapa Kyai dari pesantren yang pernah
dikunjunginya. Program pembelajaran yang diikuti, termasuk program Ramadhan
yaitu pesantren kilat dengan sistem halaqoh, biasanya dengan membaca kitab dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa atau Melayu. Untuk mendalami kitab,
santri diharapkan dapat mengulang kembali yang telah dipelajari secara sendiri.5
4 Ibid, h. 635 Ahmad Zaini, Op. Cit., h. 13
38
Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri dalam hitungan hari itu
seolah-olah yang diperlukan Wahid Hasyim hanya keberkahan sang guru, bukan
ilmunya itu sendiri. Soal ilmu, mungkin beliau berfikir bahwa ilmu bisa diperoleh
dengan cara apa saja dan dimana saja. Tapi soal keberkahan guru itu harus
diperoleh dengan sungguh-sungguh dan mondok di pesantren. Itulah yang
menjadi pertimbangan utama bagi Wahid Hasyim waktu itu.
Kebiasaan mengembara dari satu pesantren ke pesantren lainnya sebagai
aplikasi dari metode pengajaran modern, yaitu studi comperatif, dengan cara
melihat dari dekat, dan membandingkan sistem pengajaran, dan karakter satu
pesantren dengan pesantren lainnya. Agar nanti dapat diambil pelajaran yang
berharga untuk kehidupan. Ternyata ini sangat positif bagi pembentukan dan
pengembangan pendidikan pesantren di kemudian hari.6
Meskipun Wahid Hasyim telah menguasai bahasa arab dan kitab-kitab,
tetapi beliau belum bisa membaca tulisan dengan huruf latin. Beliau baru belajar
huruf latin saat usia 15 tahun. Dalam waktu yang cukup singkat beliau dapat
menguasai huruf latin. meskipun tidak diketahui bagamainana bisa menguasainya
begitu cepat, akan tetapi semenjak Moh. Ilyas, sepupu Wahid Hasyim, lulus dari
HIS dan datang ke Tebuireng untuk mendalami ilmu agama pada tahun 1925,
dapat diasumsikan bahwa Wahid Hasyim belajar huruf latin dari sepupunya
tersebut. Semenjak itu Wahid Hasyim menjadi seorang kutu buku. Berbagai buku,
majalah dan jurnal telah dibacanya, baik dalam bentuk tulisan bahasa Indonesia,
Jawa maupun arab. Dia juga berlangganan beberapa jurnal baik dalam negeri
maupun luar negeri, seperti penyebar semangat, Umm al-Qura, Shaut Al-Hijaz.
Kemampuan menguasai bahasa latin mengantarkan Wahid Hasyim
mengenal ilmu pengetahuan sekuler dan berbagai bahasa asing, seperti bahasa
Belanda dan bahasa Inggris. Disamping mempelajari ilmu dan bahasa secara
otodidak, beliau juga belajar kepada Imam Sukarlan,7 Moh. Ilyas,8 beberapa santri
6 Ruchman Basori, Op. Cit., h. 647 Imam Sukarlan adalah guru Taman Siswa yang belajar ilmu keIslaman dan sekaligus
mengajar bahasa Belanda di Tebuireng.8 Moh. Ilyas adalah saudara sepupu Wahid Hasyim. Dia adalah alumni sekolah Belanda,
Holland Inlandsche Scholen ( HIS ) di Surabaya dan juga mengajar bahasa Belanda dan sains.
39
ayahnya yang mempunyai kemampuan di bidang tersebut. Hal ini dimungkinkan
karena santri yang belajar di Tebuireng berasal dari berbagai lapisan dan daerah,
yang sebagian dari mereka pernah belajar di sekolah Belanda.
Wahid Hasyim juga tercatat sebagai anggota perpustakaan di Surabaya.
Dan beliau membaca semua buku yang ada di perpustakaan dan dilaporkan bahwa
dia meminjam buku berdasarkan nomor buku secara berurutan. Sayangnya,
informasi mengenai hal ini sangat sedikit. Bisa jadi benar adanya bahwa beliau
membaca semua buku dikarenakan jumlah buku yang ada terbatas. Singkatnya,
secara otodidak, pengetahuan yang diperoleh sangat luas mulai dari Tafsir, Fiqh,
Hadits, sampai pengetahuan tentang sejarah, politik dan filsafat.9 Kegemarannya
membaca kian meningkat, sehingga dia harus menggunakan kacamata.10 Ini
semua bekal dari ilmu pengetahuan yang luas sebagai modal utama untuk
mengajar di Tebuireng dan sebagai bahan ceramah dan pengajian.
Pada tahun 1931, Wahid Hasyim mulai mengajar kitab Ad-Durarul
Bahiyah dan Kafrawi kepada murid-muridnya pada malam hari. Dan kadang-
kadang beliau diminta untuk berpidato dalam rapat umum.11
Ketika menginjak umur 17 tahun ( 1932 – 1933 ), beliau dikirim ayahnya
untuk belajar selama 1 tahun di Mekkah, disamping untuk menunaikan ibadah haji
yang ditemani oleh Moh. Ilyas, sepupunya. Yang telah banyak berjasa dalam
pembentukan kecerdasan dan pribadi sosok Wahid Hasyim. Pergaulan yang
bermacam-macam dengan berbahasa Islam yang sama di Mekkah untuk
kepentingan ibadah dan menuntut ilmu pengetahuan agama membuat Wahid
Hasyim berfikir luas dan tidak sombong dalam menghadapi persoalan.
Disamping belajar ilmu pengetahuan, beliau bersama Moh. Ilyas turut
menyadarkan masyarakat Indonesia di Mekkah sesuai ukuran kebangsaannya,
berupa penentangan dari pelecehan dan penghinaan yang ditujukan kepada rakyat
Jawa pada waktu itu.
Setelah kurang lebih satu tahun di Mekkah, Wahid Hasyim kembali ke
Indonesia. Selain sebagai ulama, beliau juga menjadi staf pengajar di Tebuireng.
9 Ahmad Zaini, Op. Cit., h. 1410 Aboe Bakar Atjeh, Op. Cit., h. 14611 Ibid, h. 147
40
Beliau juga ditunjuk menjadi asisten ayahnya dengan tugasnya, antara lain
menjaga kesinambungan proses belajar dan mengajar, menjawab surat-surat fiqh
yang ditujukan kepada ayahnya dan mengisi pengajian atau ceramah. Hal yang
demikian itu, sudah menjadi hal biasa dalam kaderisasi di pesantren, seorang Gus
yang dikirim ke Mekkah dan sekembalinya dari Mekkah, statusnya bukan lagi
santri, tetapi menjadi staf pengajar bahkan suatu saat nanti menggantikan ayahnya
memimpin pesantren.12
Selanjutnya, Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya saat usia 25 tahun
dengan menikahi Solehah binti KH. Bisri Syamsuri, pendiri dan pemimpin
pesantren Denanyar Jombang serta menjadi pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah
juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari pernikahannya, Wahid Hasyim dikaruniai 6
anak, 4 putra dan 2 putri. Diantaranya adalah Abdurrahman Ad-Dachil ( Gusdur ),
Aisyah, Salahudin Al-Ayubi ( sekarang pemimpin pesantren Tebuireng ), Umar,
Lily Chadijah, dan Muhammad Hasyim.13
3. Organisasi KH. Abdul Wahid Hasyim
a. Ikatan Pelajar Islam ( IKPI )
Untuk mengorganisasikan para pemuda dan santri, Wahid Hasyim
mendirikan Ikatan Pelajar Islam ( IKPI ) pada tahun 1936. Beliau langsung yang
menjadi pemimpinnya. Pendirian taman bacaan sebagai salah satu usaha ikatan
ini.14
Tak lama kemudian, ikatan ini beranggotakan sebanyak 300 orang. Lalu,
beliau mendirikan sebuah taman bacaan atau bibtliotheek. Didalamnya kurang
lebih beris 500 buah kitab untuk anak-anak dan santri. Kitab-kitab tersebut itu
terdiri beberapa bahasa seperti bahasa Indonesia, Jawa, Madura, Sunda, Belanda
dan Inggris. Suatu kemajuan yang luar biasa pada pesantren saat itu.15
12 Ruchman Basori, Op.Cit., h. 67-6813 Lihat Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed), Op.Cit., h.10214 Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam jilid 5, ( Jakarta : Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997 ) h. 196315 Abu Bakar Etjih, Op.Cit., 154
41
b. Nahdlatul Ulama ( NU )
Nahdlatul Ulama artinya kebangkitan ulama. Sebagai organisasi yang
didirikan para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1433 H di
Surabaya.
Lahirnya NU berkaitan dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan
politik dunia Islam saat itu. Pada tahun 1924, Syarif Hussein, Raja Hijaz (
Mekkah ) yang berpaham sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang
beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu melarang semua bentuk
amaliah keagamaan ala Sunni yang sudah berjalan sudah lama di tanah Arab. Dan
akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama seperti system
bermazhab, tawashul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lainnya akan dilarang
olehnya, bahkan Raja Ibnu Saud akan melebarkan kekuasaannya ke seluruh dunia.
Sebab inilah, akhirnya Jami’ah Nahdlatul Ulama didirikan.16
Hampir semua warga NU yang berada di desa dari profesi pedagan, petani
untuk menjadi warga NU yang lebih mempertimbangkan emosiomal. Kebanyakan
dari mereka menjadi warga NU karena keluarga, kerabat, sahabat dan tokoh yang
menjadi panutan mereka.
Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada Wahid Hasyim. Beliau memiliki
pertimbangan sendiri dalam organisasi pergerakan. Padahal saat itu beliau disebut
tokoh pemuda yang cerdas, apalagi dia seorang anak dari pendiri NU. Banyak
tawaran dari berbagai organisai untuk berkiprah dalam organisasi tersebut. Akan
tetapi, Wahid Hasyim memandang saat itu bahwa organisasi selalu saja ada
kekurangan. Oleh sebab itu, beliau membutuhkan empat tahun lamanya sebelum
akhirnya keputusan untuk bergabung dengan NU.
Pada tahun 1938, Wahid Hasyim berbagung dengan Nahdlatul Ulama ( NU ).
Alasan beliau adalah tidak ada satu pun perhimpunan yang 100%
memuaskan atau sempurna. Makanya dilihat mana yang sedikit kekurangannnya.
Saat itu, beliau memakai ukuran keradikalan ( ketangkasan dan kecepatan ), NU
jelas bukan. Akan tetapi, NU merupakan organisasi yang mengalami
16 Soelaiman Fadeli dkk., Antologi NU ; Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, ( Surabaya ;Khalista, 2007 ), h. 1-2
42
perkembangan pesat dengan cabangnya dimana-mana, jadi, apa artinya radikal
jika selama 10 tahun hanya mengumpulkan 10 cabang. Sementara yang dikatakan
lambat bergerak itu sudah mempunyai cabang 60% di berbagai daerah dan hampir
merata di seluruh Indonesia.17 Melihat kenyataan ini beliau mengenyampinkan
ukuran radikalisme, beliau memandang bahwa yang terpenting bukanlah
kegagalan dalam berjuang, melainkan hasil dri perjuangan iytu sendiri. Dari sini
kita bisa lihat karakter berfikir Wahid Hasyim yaitu sisi lain beliau terlihat sebagai
sosok tradisionalis dan di sisi lain tentunya jalur radikal. Akan tetapi beliau
melihat NU mempunyai prospek yang bagus dari organisasi yang lain nya.
Dalam karir dan perjuangannya di NU ini. Wahid Hasyim tidak langsung
menjadi seseorang tokoh penting, Padahal, jika dia mau, bisa saja beliau menjadi
seorang tokoh penting NU, apalagi beliau adalah anak tokoh salah satu pendiri
organisasi NU yang sangat dihormati oleh para ulama sepuh. Namun, beliau
memulai karir dan perjuangannya di tubuh NU dari bawah sekali.
Karirnya di NU dimulai serbagai penulis ranting NU cukir, kemudian
dipilih beliau menjadi ketua NU jombang, dan kemudian pada tahun 1940 beliau
menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan).18
c. Al-Majlis Al-Islam Al-A’la al-Indonesia ( MIAI )
MIAI merupakan gabungan dari ormas-ormas Islam yang berdiri atas
prakarsa dari K.H. Abdul Wahab dari NU, K.H. mas Mansur dan K.H. Ahmad
Dahlandari Muhammadiyah serta W. Wondoamiseno dari serikat Islam. Pada
tahun 1937 M di kota surabaya.19 MIAI dikenal dalam bahasa Indonesia dengan
sebutan majlis Islam tinggi.
Kiprah Wahid Hasyim dalam organisasi MIAI ini bisa dikatakan penting
selain kepribadiannya yang terbuka, mudah bergaul, berpengetahuan yang luas,
dan kepandaiannya, juga karena pengaruh ayahnya, K.H. M. Hasyim Asyari,
17 Muhammad Rifa’I, Wahid Hasyim ; Biografi Singkat 1914 – 1953, ( Jogjakarta :Garasi, 2009 ), h. 58
18 Ibid., h. 6019 Shofiyullah, MZ ( ed ), KH. A. Wahid Hasyim ; Sejarah Pemikiran, dan Baktinya Bagi
Bangsa dan Agama, ( Yogyakarta : Pesantren Tebuireng, 2011 ), Cet. H. 276
43
yang sebenarnya ditunjuk oleh para ulama dan pemuka Islam kala itu menjadi
pemimpinnya organisasi tersebut. K.H. M. Hasyim Asyari menerima dirinya
ditunjuk sebagai penasehat MIAI, tetapi pendelegasian dan pelimpahan tugas-
tugas atas kepemimpinan organisasi tersebut dilimpahkan kepada anaknya, yaitu
Wahid Hasyim.
Wahid Hasyim masuk kedalam MIAI dan berkiprah di sana ketika MIAI
mengadakan kongres pada 1939. Dalam kongres tersebut, beliau terpilih sebagai
ketua MIAI mewakili dari NU. Organisasi yang bergabung dalam MIAI pada
1941 antara lain : PSII, PBII, Muhammadiyah, Persatuan ulama Indonesia, Persis,
Nahdlatul Ulama, Ijtihadul Islamiyah, Al-Irsyad, PAI, Musyawatun Thalibin, dan
Washilah.
Kiprahnya Wahid Hasyim adalah menjaga persaudaraan antar-umat Islam
bisa dilakukan dengan konsekuen. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan
kesamaan ketimbang perbedaan diantara golongan, aliran, dan perbedaan mazhab
Islam di Indonesia.
Perjanalanan Wahid Hasyim dalam organisasi ini relatif tidak banyak. Pada
1941 beliau mengundurkan diri dari MIAI dan mengundurkan diri pula di PBNU
ketua bidang Ma’arif NU, dengan alasan dipanggil ayahnya untuk mengasuh
pesantren tebuireng karena ayahnya sudah lanjut usia.20 Dengan demikian beliau
hanya menjadi anggota biasa di MIAI. Tidak lama MIAI dibekukan oleh Jepang,
Kemudian menjadi Masyumi.
d. Masyumi
Pada tahun 1943 didirikan Masyumi di jakarta (pada masa pendudukan
tentara Jepang) di bawah pimpinan K.H. Mas Mansur sebagai ketus dan Wahid
Hasyim sebagai wakil ketua.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka timbullah pkiran dari
pemuka-pemuka Islam, di antaranya M. Nasir dan Wahid Hasyim hendak
mengadakan Mu’tamar Islam dari segala golongan seluruh Indonesia. Akhirnya
diadakanlah : Kongres Umat Islam di Yogyakarta (November 1945). Pada waktu
20 Muhammad Rifa’I, Op. Cit., h. 65-66
44
itu lahirlah satu partai politik baru dengan nama Masyumi. Waktu itulah
diambilah ikrar bersama, yaitu hanya mengakui masyumi sebagai satu-satunya
partai politik dijadikan anggota istimewa dalam masyumi. Partai-partai politik
yang telah berdiri sebelum proklamasi ditiadakan dan dilebur menjadi masyumi.21
Wahid Hasyim menyadari bahwasanya organisasi masyumi adalah alat
penjiak Jepang terhadap gerakan politik Islam. Maka dari itu, sejak masuk ke
masyumi Wahid Hasyim mencari para pemuda untuk menyelamatkan organisasi
ini dan masyarakat agar tidak sekedar menjadi alat propaganda Jepang semata.
Wahid Hasyim mengajak M. Natsir, Harsono Cokroaminoto, Prawto,
Mangkusasmito, dan Zainul Arifin. Perekrutan ini bertujuan untuk meminimalisir
pengerahan pemerintah Jepang untuk Romusa secara masal. Dan berusaha
mengadakan persiapam-persiapan penting dan diam-diam, persiapan-persiapan
yang ditujukan untuk memperkuat perlawanan rakyat, baik rohani berupa
penyiaran ajaran Islam yang sebenernya, dan jasmani dalam mengisi tentara
pembela air (PETA) atau persiapan tentara Islam (Hizbulloh). Kebingungan
tentara Jepang berhubung dengan hasil-hasil penyerangan tentara sekutu.
Dipergunakan sebaik-baiknya untuk menguntungkan pertahanan bangsa, tanah air
dan agama.22
Kemudian Wahid Hasyim menguatkan bidang media pada organisasi ini.
Beliau bersama kawan-kawan yang progresif mendirikan majalah suara muslimin
indonseia, tempat ia menjadi pimpinannya. Media ini kebanyakan berisi himbauan
kepada pemuda untuk mengobarkan semngat jihad dan peperangan melawan
Jepang . didalam menulis beliau sering menggunakan nama samaran atau tak
bernama. Penyamaran ini dipakai untuk menyinggung “politik manis” Jepang.
Didalam media ini juga terdapat karangan semangat jihad dari berbagai penulis,
seperti K.H. A. Mokti, R.H. Adnan, Asa Bafagih, H.M. Dahlan, A.Bahri,
Abdulloh Aidit, Maupun Hatta.
Di samping itu, beliau juga memelopori berdirinya Badan Propaganda Islam
(BPI) yang anggotanya didik agar tampil dan mahir berpidato di hadapan umum.
21 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta; PT. HidakaryaAgung, 1996 ), h. 368
22 Aboe Bakar Atjeh, Op. Cit., h. 332
45
Para ahli pidato atau da’i ini digunakan sebagai penyambung gagasan-
gagasan Masyumi dan Wahid Hasyim untuk memperkuat rasa persatuan dan
persaudaraan umat Islam Indonesia. Di Jakarta diadakan latihan ulama yang di
dalamnya beliau memberikan pelajaran kedisiplinan dan ceramah-ceramah
mengenai pengetahuan umum dan perjuangan. Latihan ini setiap bulannya
mengeluarkan 60 Kyai yang tersebar di seluruh jawa.
Pada zaman inilah bisa dikatakan sebagai masa emas politik Islam ketika
muhamadiyah giat mengadakan latihan untuk menolong fakir miskin sedangkan
NU giat latihan untuk mempersiapkan Kyai-kyainya menjelang kemerdekaan
(1945) Wahid Hasyim pindah di Jakarta karena banyak tenaga dan pekerjaan yang
harus dicurahkannya di ibu kota. Bisa dikatakan pada tahun inilah fase politisnya
dimulai. Apalagi pada tahun 1945 beliau menjadi ketua Masyumi. Organisasi ini
bisa dikatakan partai politikl Islam terbesar di Indonesia saat itu.
Fase ini sebelumnya ini dimulai ketika Wahid Hasyim yang berada dalah
BPUPKI mempersiapkan proklamasi kemerdekaan dengan tujuan menyusun
Pancasila, UUD 1945. Di dalam tugas tersebut, Wahid Hasyim mewakili NU juga
mewakili MIAI. Kemudian hal itu dilanjutkan ketika beliau menjadi wakil
Masyumi masuk kedalam struktur pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk,
yaitu dalam kabinet Soekarno sebagai dan dalam kabinet parlementer sebagai
menteri agama mewakili Masyumi. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari
pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia dan berdiri R.I.S. Maka dalam
Kabinet Hatta (1950), Wahid Hasyim dipilih menjadi mentri agama. Jabatan itu
terus-menerus dipegangnya sampai 3 kali kabinet yaitu dalam kabinet Natsir dan
kabinet Sukiman.
Kiprah Wahid Hasyim dalam Masyumi juga bisa dilihat dari susunan
kepengurusan masyumi dari periode ke periode. Misalnya dalam priode 1945
dalam pengurusan pimpinan pusat Masyumi Wahid Hasyim menjabat ketua muda
II bagian majlis syuro dan ketua umumnya adalah ayahnya.
46
4. Karya-karya Tentang KH. Abdul Wahid Hasyim
Karya buku yang membahas tentang Wahid Hasyim :
a. K.H. Wahid Hasyim : Mengapa memilih NU,1985
b. Kharisma ulama : Kehidupan ringkas 26 tokoh NU, 1998
c. The Founding Father : Pesantren modern Indonesia, jejak langkah K.H.A
Wahid Hasyim, 2006.
d. Wahid Hasyim : Biografi singkat (1914- 1953),2009
e. K.H. Abdul Wahid Hasyim, pembaru pendidikan Islam dan perjuangan
kemerdekaan ,2011
f. K.H. A. Wahid Hasyim : Sejarah, pemikiran,dan baktinya bagi agama dan
bangsa,2011
g. Wahid Hasyim untuk republik dari tebuireng, Seri Buku Tempo,2011
h. Tradisi pesantren : Studi pandangan hidup kiai dan visi nya mengenai
masa depan Indonesia,2011
Karya berupa artikel :
a. “Nabi muhammad SAW dan persaudaraan manusia” pidatonya pada
acara pembukaan perayaan Nabi Muhammad Saw. di istana negara,
Jakarta. 2 januari 1950
b. “Kebangkitan dunia Islam”. Di media mimbar agama edisi no. 3-4, maret-
april 1951.
c. “Beragamalah dengan sungguh kebesaran tuhan “. Pidato perayaan hari
raya idul fitri, Indonesia masih berbentuk serikat (RIS).
d. “Fanatisme dan Fanatisme”. Dalam gempita no.I tahun ke-1 (15 maret
1955).
e. “Siapakah yang akan menang dalam pemilihan umum yang akan datang”
dalam gema muslimin, tahun ke-1 maret 1953.
f. “Abdulloh Obebayid sebagai pendidik”. Dalah subuh NU, Agustus 1941,
Th. Ke-1 No.5.
g. “Kemajuan bahasa berarti kemajuan bangsa”. Dalam Suara Ansor,Rajab
1360 Th.IV No.3.
47
h. “Pendidikan Ketuhanan”. Dalam Mimbar Agama Tahun 1 No. 5-6, 17
November-17 Desember 1950.
i. “Perguruan Tinggi Islam”. Pidato menyambut Berdirinya Universitas
Islam Sumatra Utara di Medan 21 juni 1952.
j. “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”. Pidato pembukaan dan
penyerahan PTAIN di Yogyakarta 26 September 1951.
k. “Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangunan”. Termuat
sebagai kata sambutan dalam kitab terjemah Hadis Shahih bukhori 1953.
l. “Tujuan Berfikir”. Kata Pendahuluan agenda Kementrian Agama 1951-
1952.
m. “Islam antara Materialisme dan Mistik”. Ceramah pada malam purnama
sidi Kamis malam, 4 Desember 1952
n. “Perbaikan Perjalanan Haji”. Dalam Mimbar Agama Tahun 1 No.2, 17
agustus 1951.23
5. Latar Belakang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim
Wahid Hasyim adalah sosok yang brilian dan berpandangan kedepan
melampaui kebanyakan orang pada waktu itu. Ide-ide dan gagasannya dan
kiprahnya dalam perjuangan utama Wahid Hasyim dalam berpandangan kedepan.
Untuk mencapai ke tahap itu semua selain bersal dari dirinya yang memang
mempuni, cerdas, otodidak dan mampu bergaul dengan siapa pun tanpa pandang
bulu, namun ada faktor eksternal pulalah yang turut mempengaruhi pemikiran
Wahid Hasyim, Antara lain :
a. K.H. Hasyim Asyari, ialah sosok ayah yang demokratis, Kedisiplinannya
dalam memimpin dan sikap demokratisnya tampak menonjol dalam
kehidupan keluarga, terutama dalam mendidik putra-putrinya. Sebagai ulama
besar beliau mengharapkan putra-putri nya bisa mengikuti jejak dan
berkembang menjadi generasi yang berpengetahuan luas, khususnya dalam
ilmu agama. Untuk itulah suasana kehidupan keluarga diciptakan sedemikian
rupa sehingga mendukung proses pembelajaran seluruh anggota keluarganya.
23 Aboe Bakar Atjeh, Op. Cit., h. 677 - 886
48
Sejak dini putra-putrinya diperkenalkan dengan pengetahuan umum.Tidak
soal baginya bagaimana mendapatkan buku bahan bacaan bagi puta-putrinya
sebab secara ekonomi tergolong mampu untuk ukuran saat itu. Dalam
suasana itulah Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang.24
b. K.H. Muhammad Ilyas, adalah saudara sepupu K.H. Abdul Wahid Hasyim
yang pernah mengenyam pendidkkan Hollands Indische School ( HIS ) di
surabaya. Memiliki jasa besar dalam membimbing Wahid Hasyim sehingga
tumbuh menjadi anak yg cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih bahasa arab.
Ia yang memperkenalkan berbagai ilmu pengetahuan umum yang pernah
didapatnya di HTS dan tidak terdapat dalam pondok pesantren. Misalnya
bahasa inggris dan belanda. Dari sinilah terdapat interaksi antara K.H.
Muhammad Ilyas. K.H A. Wahid Hasyim menempuh studi di tanah suci
Mekkah selama dua tahun.25 Di mekkah Wahid Hasyim dismping
menunaikan haji beliau memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu,
sharaf, fikih, tafsir dan hadis.26
c. Dan guru nya di Masjidil Haram ialah Syeikh Umar Hamdan, seseorang
ulama yang terkenal alimnya ketika itu di Mekkah. Kepadanya Wahid
Hasyim belajar terutama ilmu-ilmu hadis, tafsir, fiqih, tasawuf, nahwu, sharaf
dan lainnya. Kemudian kepada Syeikh Abdul Wahab Al-Khuqir, seorang
hafiz al-Quran dan alim. Serta guru yang lain yang di kunjungi ke rumahnya
yaitu K.H. Bakir dari Yogyakarta yang terkenal baik di Mekkah ataupun di
Indonesia.27
d. Serta pengaruh gelombang pembaharu Islam yang sangat gencar dilakukan di
negeri-negeri muslim di timur tengah, mendorong munculnya kesadaran para
pendidik Islam di Indonesia untuk melakukan perubahan. Demikian kuga,
sistem oendidikan belanda yang kala itu jauh lebih maju dan lebih modern,
24 Saifullah Ma’shum, Karisma Ulama ; Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU ( Bandung :Mizan, 1998 ), Cet. 1, h. 301
25 Muhammad Rifa’I, Op. Cit., h. 25-2626 Shofiyullah Mz ( ed ), Op. Cit., h. 5627 Aboe Bakar Atjeh, Op. Cit. h. 86-87
49
tampaknya juga menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran baru
teraebut.28
6. Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim
Diawal abad ke-20, tidak disaksikan lagi bahwa bangsa Indonesia
mengalami berbagai bemtuk pergerakan sosial, keagamaan, politik dan
pendidikan. Pergerakan ini dipelopori tidak saja oleh para pemimpin kaum sekuler
nasionalis,tetapi juga oleh pemimpin muslim nasionalis yang dalam
perkembangannya terpecah menjadi dua kubu : modernis dan tradiaionalis.
Perkembangan pergerakan tersebut termasuk para pemimpinnya telah banyak
dikaji oleh para sarjana barat dan Indonesia. Tetapi kebanyakan mereka
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pergerakan sekuler dan
modernis. Sedangkan kaum tradisionalis mendapat perhatian yang sangat kecil hal
ini mungkin disebabkan bahwa kaum modernis, dalam pandangan mereka sebagai
kelompok yang memiliki pandangan dinamis, pragmatis, dan adaptis. Sebaliknya,
kaum tradisionalis selalu mempunyai pandangan yang negatif terhadap segala
bentuk inovasi terutama barat, dan pemimpinnya dikategorikan sangat resisten
untuk menerima perubahan.
Keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal yang baru dan pemikiran
yang cukup maju dapat dipertimbangkan. Seperti dalam pergerakan kemerdekaan,
andil dan sumbangsih Wahid Hasyim menjadi ketua Majlis A’la Islam Indonesia
(MIAI), ditunjuk menjadi salah seorang anggota PPM sampai dipilihnya dia
sebagai menteri agama menunjukkan bahwa perannya sangat signifikan dalam
rangka merebut kemerdekaan dan mempersatukan wilayah Indonesia.29
Wahid Hasyim adalah sosok pejuang yang cerdas, pragmatis dan tokoh
muda yang menjadi ketua Departemen Ma’arif PBNU, ketua MIAI, ketua
Masyumi, perintis berdirinya Hizbulloh, pendiri Sekolah Tinggi Islam Jakarta,
Kepala Jawatan Agama Pusat (Shumubucho), anggota termuda BPUPKI,
penasehat Panglima Besar Jendral Sudirman, Ketua Umum PBNU, Menteri
28 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, ( Yogyakarta: Pustaka, 2006 ), Cet. H. 151
29 Achmad Zaini, op. cit., hal. 1-3.
50
Agama.30 Dan juga kyai Wahid Hasyim adalah sosok konseptor pendidikan
Indonesia yang sangat tangguh yang dibuktikan oleh kemampuannya menjadikan
Kementrian Agama sebagai Pengelola pendidikan bagi generasi muda Indonesia.31
Di abad ini Tradisi Pesantren telah melahirkan budayawan agung kyai Wahid
Hasyim, tokoh pembangunan Peradaban Indonesia Modern, setaraf kualitas dan
kelasnya dengan pendiri Peradaban Melayu Islam Nusantara antara abad ke-13
dan ke-17; Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf Singkel,dan
Nuruddin Arraniri.32
Meneliti gagasan dan pemikiran Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan,
merupakan suatu hal yang sangat menarik. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini
peneliti merumuskan konsep pemikiran pendidikan Wahid Hasyim dalam tiga
aspek, yaitu Tujuan pendidikan islam, kurikulum pendidikan, dan metode
pembelajaran.
a. Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum menuju sub pembahasan Wahid Hasyim, ada beberapa faktor
pembaharuan pendidikan yang di formulasikan oleh Wahid Hasyim yaitu ada dua
hal secara historis melatarbelakangi pembaharuan. Pertama,kondisi umat islam
yang terbelakang dalam hal pendidikan, yang berdasar pada kesadaran pentingnya
pendidikan dalam rangka membangun bangsa. Kedua, sentimen negative Wahid
Hasyim terhadap kolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait
hak-hak untuk mengenyam pendidikan, begitu pula nasionalisme yang dibangun
anak bangsa yan merambah dan mewujud dalam bentuk reformasi pendidikan
Islam sebagai peneguh atas eksistensi identitas umat islam juga sebagai
perlawanan terhadap pemerintah kolonialisme.33
Kedua faktor diatas itulah yang melatarbelakangi Wahid Hasyim dalam
melakukan perubahan pendidikan islam di Tebuireng.
30 Saifullah Ma’shum, op. cit., hal.299.31 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren;Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, ( Jakarta: LP3ES,2011 ), hal. 149.32 Ibid, hal. 37.33 Shofiyullah Mz (ed), op. cit.,hal.361
51
Setiap orang mengenal bahwa pesantren pada masa awal merupakan suatu
lembaga pendidikan klasik dan tradisional di negeri ini.34 Termasuk Pesantren
Tebuireng.
Pesantren ialah tempat di mana anak-anak muda dan dewasa belajar secara
lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama islam yang diajarkan secara
sistematis, langsung dari bahasa Arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab
klasik/ kitab kuning karangan ulama-ulama besar. Mereka yang berhasil
belajarnya memang diharapkan menjadi kyai, ulama, mubaligh, setidak-tidaknya
guru agama.35
Pesantren yang semula mempunyai tujuan untuk menjadikan kyai, ulama
dan mubaligh mendapat respon dari masyarakat, terutama orang tua yang
mempercayakan kepada kyai dan mendidik anaknya agar kelak memahami agama
secara mendalam dan pada akhirnya harapan untuk menjadikan anak-anaknya
sebagai tokoh agama.
“…….. orang tua-tua masa lalu mengambil sikap bahwa pendidikan anak-
anaknya harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ ahli-ahli
agama”. Akibatnya, kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa,
untuk berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern…”.36
Dengan demikian tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan menegakkan islam dan
kejayaan umat. 37
Dari latar belakang itulah tujuan pesantren dirumuskan hanya mencetak
para ulama dan ahli agama belaka, dengan kata lain pesantren tidak menerima
34 Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan danTransformasi Pesantren, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1999), hal.224
35 M.Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet ke-3,hal. 2.
36 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist Pada MasaPembangunan.DalamBuntaran Sanusi, dkk, H.H.A. Wahid Hasyim Mengapa Melilih NU?, (Jakarta: PT Inti SaranaAksara, 1985), hal. 71.
37 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju DemokrasiInstitusi, (Jakarta: Erlangga, tt), hal. 4.
52
atau menolak pelajar umum masuk dalam kurikulum pesantren. Dengan alasan
tidak sesuai dengan tujuan pesantren tersebut.
Kecenderungan belajar di pesantren yang demikian, menggugah Wahid Hasyim
untuk memberikan alternative lain kepada santri. Yang menyarankan kepada
sebagian santri tidak untuk menjadi ulama. Hal tersebut senada dengan kenyataan
pada waktu itu sebagian santri yang mondok bertujuan tidak untuk menjadi ulama.
Pemikiran Wahid Hasyim pula, dapat dilihat dari tulisannya tentang
“Pentingnya Terjemah Hadist Pada Masa Pembangunan”. Wahid Hasyim
mengatakan bahwa:
“….Untuk menjadikan orang beragama tidak perlu orang itu diharuskan
(ditentukan) mempunyai ilmu agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya, orang
yang berpengetahuan agama tidak mesti menjadi orang yang beragama dengan
baik. Acap kali kita dapatkan seorang yang tidak berpengetahuan agama dengan
luas dan dalam, beragama lebih sempurna dari orang yang berpengetahuan agama,
dalam arti yang dalam dan luas. Juga sering kita dapatkan orang yang mengerti.
Betul ilmu-ilmu agama dengan sedalam-dalamnya, perbuatannya tidak
memberikan nama baik sebagai orang yang beragama”.38
Tulisan Wahid Hasyim di atas, bukan semata-mata beliau anti terhadap
pengetahuan agama melainkan upaya Wahid Hasyim dalam memberikan
pemahaman akan potensi-potensi setiap individu. Oleh karena itu, Wahid Hasyim
berpendapat bahwa tidak selayaknya tujuan pendidikan di lingkup pesantren
hanya berorientasi dalam cakupan yang kecil, dan hanya bercita-cita untuk
menghasilkan lulusan/jebolah yang berpengetahuan agama yang mendalam (ahli
agama/ulama).
Menurut beliau penguasaan ilmu agama yang luas dan dalam bukanlah
jaminan untuk memastikan baiknya keagamaan seseorang dan sebaliknya ada
perilaku seseorang yang menunjukkan keagamaan yang baik yang berasaldari
orang yang keberagamaannya tidak lebih baik.
Beberapa alasan Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian; yaitu:
38 K.H. A Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan,Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op.cit., hal. 70.
53
1) Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk
belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari kyai berbagai
pesantren.
2) Para santri dapat mempelajari agama islam dari buku-buku yang ditulis
dengan bahasa non-arab.
3) Para santri dapat mempfokuskan waktu untuk mempelajari berbagai
pengetahuan dan keterampilan lainnya yang dapat digunakan untuk
kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat.39
Dengan itulah K.H. A. Wahid Hasyim berinisiatif untuk merombak dan
mengembangkan tujuan pendidikan islam, dengan menyarankan agar tidak semua
santri dicetak untuk menjadi ulama atau ahli agama. Maksud beliau itu agar santri
buka semata-mata mencari ridho Allah SWT. Melainkan mampu beradaptasi
dengan lingkungan masyarakat, kreatif, berketerampilan dan bertanggung jawab.
Dan ide ini sekarang dikenal dengan life dkill education.
Walau demikian Wahid Hasyim tetap berharap adanya sebagian santri yang
betul-betul menjadi ulama dan ahli agama. Sesuai dengan tulisannya:
“….Ini tidaklah berarti bahwa saya tidak menyetujui orang mempelajari
ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan bahasa yang mengandung bahasa
Arab. Maksud saya ialah tidak menyetujui mengarabkan angkatan (generasi) kita
yang akan datang dengan memakai bahasa dan istiadat Arab yang berbeda dari
bahasa dan istiadat Indonesia.
Dalam pada itu bagi orang yang ingin menjadi betul tentang ilmu agama
Islam, maka tiada lain jalannya kecuali melalui bahasa yang mengandungnya.
Akan tetapi hal itu hanya bagi orang-orang ahli yang sedikit jumlahnya.”.40
Menurut Shofiyullah Mz, bahwa tujuan pemikiran dari Wahid Hasyim lebih
bercorak subtantif dan inklusif, dan lebih indah lagi jika corak pemkiran tersebut
dapat diwarisi oleh generasi bangsa sekarang.41 Dengan demikian dapat dipahami
39 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 5440 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan.
Dalam Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 823.41 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal.71.
54
tujuan pendidikan menurut Wahid Hasyim harus memenuhi kebutuhan akhirat
(ukhrowi) dan Duniawi. Serta moral dan akhlak.
Seperti tulisan beliau tentang Ilmu Pengetahuan dan Ketuhanan:
“… Dua kemungkinan itu kuncinya terletak pada pendidikan, baik mengenai
pendidikan kecerdasan, maupun pendidikan jiwa (rohani), ataupun pendidikan
badan (jasmani). Dengan perkataan pendidikan disini tidaklah diartikan secara
falsafah yang berurat dengan dalamnya.” 42
Inilah progresifnya Wahid Hasyim yang mana sudah jauh mencanangkan
untuk bermartabat para santri, agar santri tidak diangggap remeh dan bisa
dikatakan sejajar atau lebih tinggi dari kelompok lain.
Jadi Tujuan Pendidikan menurut Beliau ialah mengembangkan pendidikan
Islam (pesantren) dan masyarakat agar tidak semua santri dicetak menjadi ulama,
dan orientasi pendidikan Islam kepada kebutuhan masyarakat sesuai
perkembangan zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yang
baik.
b. Kurikulum Pendidikan Islam
Pada zaman kolonial Belanda, Umat Islam mengenal dua bentuk lembaga
pendidikan yang dikelola umat islam dan dikelola colonial. Sistem pendidikan
yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern,
Liberal dan netral agama. Kenetralan Belanda terhadap agama tidak konsisten
karena Belanda lebih melindungi Kristen daripada Islam.43 Spesialis masing-
masing lembaga pendidikan jelas berbeda, jika lembaga pendidikan umat islam
kajian ilmu-ilmu agama saja sedangkan lembaga pendidikan Belanda lebih
menekankan kepada ilmu-ilmu umum atau non-agama.
Dalam konteks ini upaya Wahid Hasyim yang dilakukan adalah menengahi
perbedaan dua sistem pendidikan diatas. Kepedulian Wahid Hasyim terhadap
pendidikan umat Islam Indonesia khususnya kalangan pesantren, yaitu mencoba
42 K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op.cit.,hal.78
43 Mansur dkk, Rekonstruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat JendralKelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. 53.
55
memperbaiki sistem pendidikan Islam Indonesia dengan memodernisasi sistem
pendidikan pesantren yang nyatanya kurang ikut perkembangan zaman.
Sikap keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal yang baru dan
pemikiran yang cukup maju dapat dilihat ketika beliau mengusulkan adanya
perubahan kurikulum dipondok pesantren. Ide yang ditawarkan adalah
dimasukkannya ilmu pengetahuan “Sekuler” dalam kurikulum pesantren dengan
harapan santri tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi menguasai ilmu-
ilmu pengetahuan modern Barat, sehingga santrimenjadi ahli agama, disisi lain
santri siap bersaing dengan koleganya yang berasal dan sekolah “sekuler” dalam
memperebutkan lapangan pekerjaan.44
Bentuk realisasi dari gagasan pembaruan pendidikan Wahid Hasyim yaitu
dengan didirikannya sekolah atau lembaga pendidikan yang bernama Madrasah
Nizhamiyah.45Dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum.
Ide Wahid Hasyim yang mengembangkan pendidikan umum dengan
presentase lebih besar dari pendidikan Islam, itu bukan tanpa alasan, karena
menurut pandangan beliau bahwa santri diajari pelajaran agama secara meluas dan
mendalam, sebagian santri tidak akan menjadi ulama. Karena Wahid Hasyim
ingin membekali santri dengan keterampilan untuk bekal di masyarakat.
Materi pelajaran yang diberikan meliputi aritmatika, sejarah, geografi dan
ilmu pengetahuan alam sedang untuk bahasa meliputi Bahasa Indonesia, Inggris
dan Bahasa Belanda. Dan keterampilan mengetik.46
Lembaga pendidikan Nidhzamiyah memberikan materi yang beragam, dari
bahasa dan ilmu pengetahuan umum dikarenakan bahasa-bahasa asing dan ilmu
pengetahuan umum tersebut untuk konteks perjuangan bahasa Indonesia yang
sedang dijajah. Namun tidak melupakan bahasa Indonesia yang nantinya untuk
mempersatukan Indonesia.
44 Achmad Zaini, op. cit., hal. 245 Madrasah Nidhzamiyah berdiri tahun 1934 dan direstui oleh ayahandanya tahun 1935.
Pada awal ruang pengajarannya di Serambi masji Tebuireng dengan siswa 29. Ini adalah terobosanpendidikan, karena pertama kali pesantren yang mengembangkan pelajaran umum 70%. LihatShofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 37.
46 Achmad Zaini, op. cit., hal. 38.
56
Seperti tulisan Wahid Hasyim yang menyatakan, hanyalah sebagai bukti
bahwasanya kemajuan bahasa itu berarti kemajuan bangsa:
“… Penulis senang kepada orang yang berbahasa asing dan setuju juga, karena
kecuali termasuk menunaikan kewajiban sebagai putera Timur yang muslim yang
diharuskan menuntut akan sekalian kepandaian yang ada diatas jenapa ini dan
ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, pun penulis pernah juga belajar
sekalipun hanya satu ONE dan ONE atau se EEN du EEN tetapi dalam selama
kita belajar itu, kita harus tetap mempunyai anggapan dan kepercayaan
bahwasanya kita putra Indonesia, kita mempunyai bahasa sendiri”.47
Berkaitan dengan di atas Wahid Hasyim mendirikan perpustakaan untuk
meningkatkan kebiasaan membaca. Selain 1.000 judul buku. Bagian
perpustakaan berlangganan majalah dan surat kabar, yaitu Panji Islam, Dewan
Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, al-
Munawwaroh, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar
semangat. Ketujuh urutan pertama jurnal tersebut diterbitkan oleh berbagai
organisasi islam di tahun 1930-an, baik modernis maupun traisionalis. Keempat
jurnal yang terakhir diterbitkan oleh kelompok “Nasionalis”. Dari kesebelas jurnal
tersebut hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili
pandangan kaum tradisionalis. Kesediaan Wahid Hasyim untuk berlangganan
majalah dan surat kabar milik kaum Islam modern dan kelompok “Nasionalis”
merupakan gambaran pribadinya yang progresif.48
Dalam pembaharuan ini Wahid Hasyim tidak lepas dari kritik. Segala kritik,
segala serangan mengenai usahanya dari segala golongan, tidak diindahkan oleh
Wahid Hasyim, semuanya itu disambut dengan tenang dan beliau berjalan dengan
keyakinannya sebagai idealis.49
Yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan terobosan baru di kalangan
pesantren. Padahal pada saat itu mata pelajaran non-agama masih dianggap tabu
karena dianggap identik dengan barat. Saat itu usia baliau baru 21 tahun.
47 K.H. A. Wahid Hasyim, Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa. Dalam BuntaranSanusi, dkk, op.cit., hal.66.
48 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 17749 Aboe Bakar Atjeh, op, cit., hal. 153.
57
Hal ini Wahid Hasyim mengatakan bahwa:
“Kalau dulu orang mengartikan pendidikan barat itu pada umumnya sebagai
suatu cara pendidikan yang didasarkan atas pengetahuan barat, adat-istiadat barat,
bahasa barat secara yang lahir, maka disini yang dimaksud dengan barat adalah
lebih dari itu. Pendidikan yang didasarkan pada filsafat barat yang pokok yaitu
kebendaan (materialisme) walaupun wadahnya sudah dinasinalkan dengan adat
istiadat-nasional dan bahasa nasional”.50
Tulisan Wahid Hasyim diatas itu mengenai ketidak setujuan beliau terhadap
pandangan masyarakat pesantren pada saat itu, yang menganggap pendidikan
umum atau non-agama itu dikategorikan dalam keilmuan yang negative. Karena
pada waktu itu barat (Belanda) adalah musuh besar untuk masyarakat Indonesia.
Menurut beliau yang dimaksud dengan barat itu
Lebih dari apa yang masyarakat pikirkan, salah satunya materialism dan 3
G; Gold, Glory, Gospel.
Senada dengan diatas Wahid Hasyim dalam tulisannya mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya dalam lapangan pengetahuan, tidak perlu ada perselisihan dan
perpecahan; juga dlam pandangan islam demikian pula halnya. Dan islam pada
hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap membeda-bedakan di dalam
segala hal; juga dalam lapangan pengetahuan”.51
Menurut beliau, agama saja tidak membeda-bedakan di dalam segala hal
apalagi dalam segi ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama.
Jadi pemikiran Wahid Hasyim dalam kurikulum pendidikan islam adalah
perlunya memasukkan ilmu pendidikan umum kedalam kurikulum pesantren.
Seperti dengan adanya Madrasah Nizhamiyah yang mana kurikulum ilmu umum
70% dan ilmu agama 30%.
c. Metode Pembelajaran
Bukti-bukti historis yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan
bahwa kitab kuning menjadi text books, references, dan kurikulum dalam sistem
50 K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal.803.
51 _______________, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Dalam Aboe Bakar Ajteh,op. cit., hal. 813.
58
pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru dimulai terjadi pada
abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistic juga memperkirakan bahwa pengajaran
kitab kuning secara missal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad
ke-19 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari
program belajarnya di Mekkah.52
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah:
a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran
dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri
menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan
pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan sholat
fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut bandongan, sedangkan di Sumatera
disebut dengan halaqoh.
b. Metode sorongan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kyai
seorang demi seorang dengan membawa kitab kuning yang akan
dipelajarinya. Metode sorongan ini merupakan bagian yang paling sulit dari
keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri, kendatipun
demikian metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi
seorang dan ada kesempatan untuk Tanya jawab langsung.
c. Metode hafalan, yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau
kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.53
Sepulang dari Mekkah, Wahid Hasyim mengusulkan kepada ayahnya (K.H.
Hasyim Asy’ari) untuk merubah metode pembelajaran di pesantren. Perubahan
metode pembelajaran yang mulanya menggunakan metode sorongan atau
bandongan diganti dengan sistem tutorial dengan bentuk kelas-kelas berjenjang
yang lebih sistematis.54
52 Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan danTransformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 224.
53 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era RasulullahSampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-1, hal. 287
54 Seri Buku Tempo, op. cit., hal. 65
59
Metode tutorial merupakan cara menyampaikan bahan pelajaran yang telah
dikembangkan dalam bentuk modul untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa
dapat mengkonsultasikan tentang masalah-masalah dan kemajuan yang
ditemuinya secara periodic (berjangka).55
Wahid Hasyim mengharapkan dengan adanya perubahan itu agar terjadinya
proses belajar-mengajar yang aktif-dialogis, yang mana bukan semata-mata guru
sebagai satu-satunya sumber ilmu dan pendapat guru tidaklah suatu kebenaran
mutlak, sehingga bisa disanggah dan di musyawarahkan bersama oleh peserta
didik.
Jadi pemikiran beliau dalam metode pembelajaran itu pergantian metode
wetonan dan sorongan dengan sistem tutorial yang sistematis dan perjenjangan
dalam kelas, mengindahkan proses belajar mengajar yang aktif-dialogis dan guru
ditempatkan bukan satu-satunya sumber ilmu.
B. Pembahasan
Menurut Rupert C. Lodge, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar
mengatakan Life is education is life.56). Pendidikan tidak akan punya arti bila
manusia tidak ada di dalamnya. Hal ini disebabkan, karena manusia merupakan
subjek dan objek pendidikan. Artinya, manusia tidak akan bisa berkembang dan
mengembangkan kebudayaannya secara sempurna bila tidak ada pendidikan.
Untuk itu, tidak berlebihan dikatakan, bahwa eksistensi pendidikan merupakan
salah satu syarat yang mendasar bagi meneruskan dan mengekalkan kebudayaan
manusia. Di sini, fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan
(mengharmonisasikan) kebudayaan lama dengan kebudayaan baru secara
proporsional dan dinamis.
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting
dalam mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan
peradapan Islam dan dalam mencapai kejayaan umat Islam. Pendidikan Islam
tidak akan sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang
55 Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung PersadaPress, 2004), cet ke-2, hal. 77.
56 Samsul Nizar, op cit, hal. 5
60
baik pada seluruh generasi. Oleh sebab itu didalam al-Quran telah ditetapkan
proses awal pendidikan dan menentukan beberapa tokoh pendidikan Islam yang
harus diikuti sebagai dasar dalam membentuk dan membina kepribadian ummah.
Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu
anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan
kaidah-kaidah moral al-Quran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup (life-
skill). Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan
pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada
beberapa problema. Al-Quran dan sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber
otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan
merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia.57
Modernism muncul karena beberapa factor, antara lain kontak dengan Barat,
kesadaran reinterpretasi ajaran agama, kejumudan58 dan taqlid.59
Yang dimaksud dengan dasar-dasar modernism dalam Islam disini adalah
dasar-dasar pemikiran ulama dan cendikiawan muslim guna mengembangkan
analisa mereka dalam memperjuangkan ajaran Islam yang universal.60
Kenyataannya pendidikan Islam Indonesia pada zaman Belanda mengalami
nasib yang tragis, dimana pendidikan Islam pada saat itu dianak tirikan, bahkan
penduduk asli (bumi putera) diperlakukan sebagai penduduk kelas nomer tiga,
karena kelas nomer tiga itu kelas paling rendah di negeri ini. Dimana orang
Belanda sebagai kelas nomer satu, orang asing (termasuk Cina) sebagai kelas dua,
sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga.61
Dari latar belakang itulah para cendikiawan muslim mencoba memperbarui
pendidikan Islam, yang mana agar Indonesia dipandang dan pendidikan Islam di
Indonesia mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan tradisi lama. Salah
satu tokoh pembaharu pendidikan Islam adalah K.H. Abdul Whid Hasyim
57 Qurroti A’yun’s Blog, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Linkhttp://aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan-Islam. Diakses pada tanggal 28 Maret 2013.58 (Jumud adalah mandek atau statis dan baku. Lihat M. Dahlan Y. Al-Barry, dkk, Kamus IndukIstilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press,2003), hal.346.
59 Taqlid adalah mengikuti sesuatu tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Lihat Ibid, hal.757.60 T.H. Thalhas, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan & K.H. M. Hasyim Asy’ari, (Jakarta:
Galura Pase), hal 10.61 Mansur dkk, op. cit., hal.55.
61
merombak sistem pesantren Tebuireng, metode pembelajaran dan tujuan
pendidikannya.
Maka Wahid Hasyim mencoba untuk mengoreksi harapan (expectation)
santri belajar di pesantren. Beliau mengusulkan agar kebanyakan santri yang
datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Mereka dapat memperoleh
ilmu agama dan buku-buku yang ditulis dengan huruf latin, dan menghabiskan
waktunya untuk mempelajari berbagi ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan
menguasai keterampilan yang berguna langsung di tengah masyarakat dimana
mereka berada.
Akhirnya Wahid Hasyim mendirikan sekolah yang bernama Nizhamiyah,
dengan kurikulum 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran Agama. Yang mana
diajarkan aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam dan bahasa
Indonesia, Belanda serta keterampilan mengetik. Tidak cukup disitu Wahid
Hasyim juga mendirikan perpustakaan yang bertujuan untuk meningkatkan
kebiasaan membaca para santri.62
Dengan didirikannya Madrasah Nizhamiyah, beliau tidak lepas dari kritikan.
Antara lain kritikan yang datang itu dari kalangan ulama dan masyarakat.
Anggapan ulama bahwa ide pembaharuan Wahid Hasyim sebagai upaya
mencampur adukan ajaran agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian yang
mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih dianggap produk bangsa colonial.63 Beliau
tidak mengindahkan dengan adanya kritikan tersebut. Melainkan melanjutkan
pembaharuan yang sudah dirancangnya.
Keberhasilan Madrasah Nizhamiyah sebagai pilot project dalam
memodernisasikan pesantren merupakan langkah awal bagi Wahid Hasyim dalam
mengembangkan reformasi pendidikan di kalangan kaum tradisional. Sejak
beberapa kyai mengadopsi sistem madrasah di pesantrennya, kurikulum yang
diterapkan bervariasi disesuaikan dengan keahlian yang dimiliki oleh pesantren
tersebut dan tersedianya guru. Hasil dan pembaharuan pendidikan di Tebuireng
sangat menggembirakan dengan masuknya orang-orang NU di departemen-
62 Achmad Zaini, op. cit., hal. 37-39.63 Ibid., hal. 41.
62
departemen. Sebagai contoh, ketika Wahid Hasyim ditunjuk menjadi asisten
ayahnya sebagai menteri agama di masa penjajahan Jepang mengajukan usulan
agar dibentuk Shumuka (kantor cabang kementrian agama) di tiap residen, dia
dengan mudah menunjuk beberapa lulusan Tebuireng dan lulusan pesantren
lainnya yang layak menduduki posisi tersebut.64
Setelah bangsa Indonesia memenangkan “Perang Revolusi” melawan
Belanda, Presiden Soekarno mengangkat K.H. A. Wahid Hasyim menjadi Mentri
Agama Republik Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949, dua hari setelah
ditandatanganinya Konferensi Meha Bundar (KMB) di Denhag. Belanda
menyerahkan kedaulatan Republik IIndonesia Serikat (RIS) kepada Wakil
Presiden Mohammad Hatta pada penutupan sidang KMB yang memungkinkan
Bung Karno segera membentuk Kabinet RIS Pertama tanggal 29 Desember 1949.
Wahid Hasyim selaku Mentri Agama segera menyiapkan langkah-langkah
untuk mewujudkan impiannya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai modal untuk
memahami ajaran-ajaran Islam, menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai tuntutan
moral yang dapat menjiwai hati dan pikiran dalam upaya membangun peradaban
Indonesia Modern.
Langkah-langkah beliau sangat konkrit. Dalam waktu enam bulan setelah
menjadi Mentri Agama, Wahid Hasyim mendirikan Pendidikan Guru Agama
Negeri (PGAN) dihampir setiap keresidenan, sekolah guru dan Hakim Agama
Negeri (SGHAN) di Yogyakarta, Bukittinggi, Bandung, Malang, serta mendirikan
Perguruan Tinggi Agama Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.65
Pemikiran pendidikan guru berangkat dari pemikiran beliau bahwa guru
yang mengajar di madrasah hanya lulusan HIS atau pesantren, sehingga dinilai
masih kurang ilmunya untuk menjadi guru, itu sebabnya berdirinya pendidikan
guru Agama di setiap provinsi dan kabupaten.
Enam tahun sebelum menjadi guru Agama, Wahid Hasyim mendirikan
Sekolah Tinggi Islam. Sekolah yang diasuh K.H. Kahar Muzakkir ini berdiri di
64 Ibid., hal. 4465 Zamakhsyari Dhifier, op. cit., hal. 152.
63
gedung Kantor Imigrasi, Gondangdia, Jakarta, pada 1944. Dari sekolah itulah
bermacam Perguruan Tinggi Islam yang ada di negeri ini berhulu.66
Empat tahun kemudian tepatnya tahun 1948, sekolah ini berubah menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas: agama, pendidikan,
hukum dan ekonomi. Universitas tertua itu sejak didirikan hingga kini berada di
Yogyakarta.
Pada saat Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama pada 1950, fakultas
agama UII dinegerikan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN).
Adapun tiga fakultas lainnya tetap berstatus swasta dan dikelola pihak UII.
Penegerian Fakultas Agama UII menjadi PTAIN diatur dalam peraturan Presiden
No. 34 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950. Yang ditekan saat selaku
Pemangku Jabatan Presiden RI.
Saat peresmian PTAIN, 26 September 1951, Wahid Hasyim menyampaikan
pidato berjudul “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”. Beliau menyampaikan
pembentukan perguruan tinggi bertujuan mencapai kemajuan dengan penekanan
pada pengembangan atmosfer berfikir secara rasional.Penyelenggaraan PTAIN
selanjutnya diatur dengan peraturan bersama mentri agama dan menteri
pendidikan tertanggal 21 Oktober 1951 yang ditekan Wahid Hasyim dan Mr
Wongsonegoro.
Sejak didirikan, PTAIN mengalami perkembangan pesat, baik dari jumlah
mahasiswanya maupun dari keluasan bidang ilmu agama islam yang dipelajari.
PTAIN kelak menjadi cikal bakal Institute Agama Islam Negeri (IAIN),
Universitas Islam Negeri (UIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN).
Enam tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1957, juga berdiri Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) sebagai kelanjutan usaha mendirikan Sekolah Guru Agama
Atas serta Sekolah Guru dan Hakim Agama.67
Jadi segenap paparan diatas, dimana Wahid Hasyim menilai bahwasannya
pendidikan Islam Indonesia dinilai maju adalah pendidikan yang
66 Seri Buku Tempo, op. cit., hal 78.67 Ibid., hal. 79.
64
mengkombinasikan antara ilmu agama dan ilmu non-agama atau umum. Karena
beliau ingin membekali para santri terutama dan umumnya untuk generasi muda
Indonesia dengan meningkatkan sumber daya manusia dan mengikuti
perkembangan zaman.
C. Relevansi Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dengan perkembangan
Pendidikan Masa Kini
Cukup banyak alasan bangsa Indonesia membahas kembali kehidupan
Wahid Hasyim, antara lain :
1. Terlahir dari tradisi pesantren.
2. Wahid Hasyim adalah seorang intelektual dan budayawan besar lulusan
pesantren yang memainkan peran penting dalam peletakan batu pertama
bangunan peradaban modern, periode kemerdekaan Negra Kesatuan
Republik Indonesia.
3. Wahid Hasyim juga peletak dasar modern bagi umat Islam berupa ramuan
tradisi pesantren dengan modernitas pendidikan sampai sekarang.68
Wahid Hasyim mewarisi khazanah intelektual sang ayah dengan cara yang
paling baik. Beliau mampu mengembangkan diri jauh melebihi rekan-rekannya
yang mendidikan pendidikan formal. Ia membangun pergaulan yang luas, merintis
dan memimpin organisasi sosial dan politik, terlibat dalam gerakan kemerdekaan,
hingga menjadi menteri agama yang pertama di Republik ini.
Pikiran-pikiran beliau berkarakter progresif dan berjangkau luas kedepan.
Hal ini tampak dari perspektifnya mengenai ilmu pengetahuan dan juga praktik
mendidik putra-putrinya. Wahid Hasyim yang bahkan lahir dan tumbuh dari
keluarga pesantren beliau melihat pentingnya ilmu umum dan penguasaan bahasa
asing selain bahasa arab yang diwajibkan para santri. Sejalan sengan pandangan
itu semua putra-putrinya dimasukkan ke lembaga pendidikan modern, tanpa
meninggalkn pengetahuan agama, yang merupakan basis intelektual dan cultural
68 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hal.151.
65
yang ditekankannya. Keenam putra-putrinya, akhirnya kelak menjadi tokoh yang
berwawasan luas, tetap berwatak sendiri.69
Perhatian Wahid Hasyim dalam menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan
umum dan agama juga diimplementasikan dalam bentuk lain, yakni memberikan
pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, menyusul ditetapkannya UU
Pendidikan No. 4/1950, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan
Menteri Agama mengeluarkan keputusan bersama pada 1951, yang intinya
menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum.
Selain itu, keputusan bersama ini juga menyatakan bahwa belajar di sekolah
agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Kementrian Agama dianggap
telah memenuhi wajib belajar.70
Selama 2 tahun 4 bulan menjadi menteri agama Wahid Hasyim membidangi
lahirnya undang-undang Pendidikan RI Nomor 4 tahun 1950. Sejumlah pasalnya
tetap berlangsung sampai sekarang, antara lain:
1. Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang
cakap dan warga-warga yang demokratis dan bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air (pasal 3).
2. Belajar disekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri
agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar (pasal 10 ayat 2).
3. Cara menyelenggarakan pengajaran agama disekolah-sekolah negeri diatur
dalam peraturan yang ditetapkan oleh menteri pendidikan. Pengajaran dan
kebudayaan, bersama-sama dengan menteri agama (pasal 20 aayat 21).
4. Desemua sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tuanya
menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut (pasal 20
ayat 1).
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1950, Wahid Hasyim
berhasil memasukkan pasal-pasal kebajikan pendidikan sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama
disekolah-sekolah negeri.
69 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 361.70 Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed), op. cit., hal. 94.
66
2. Memimpin,menyokong serta mengamati pendidikan dan pengajaran di
madrasah dan perguruan agama lainnya.
3. Mengadakan pendidikan guru dan hakim agama.
4. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengajaran
rohani kepada anggota-anggota tentara asrama, rumah-rumah penjars dan
tempat-tempat lain yang dipandang perlu.71
PTAIN yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 26 September 1951 itu
tahun 2011 telah beranak pinak menjadi:
1. Enam Universitas Islam Negeri (UIN: Jakarta, Yogyakarts, Bandung,
Pekanbaru, Malang, Makasar.
2. Empat belas Institut Agama Islam Negeri (IAIN: Aceh, medan, Padang,
Jambi, Palembang,Lampung, Serang, Bengkulu, Semarang, Surabaya,
Mataram, Manado, Gorontalo dan Ambon).
3. Tiga puluh empat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) disejumlah
ibukota provinsi dan kabupaten.
4. Dan sekitar 450 Peguruan Tinggi Agama Islam swasta (PTAIS).72
Upaya dan pemikiran Wahid Hasyim dalam mengembangkan pendidikan
islam dan memajukan pendidikan Indonesia. Antara lain dengan merombak sistem
pembelajaran pesantren yang diawal menggunakan sistem wetonan dan
bandungan dirubah menjadi sistem tutorial agar aktif-dialogis, dan memasukkan
ilmu non-agama (ilmu pengetahuan umum) kedalam kurikulum pesantren,serta
tujuan pendidikan dengan mengusulkan agar santri tidak serta merta menjadi
ulama akan tetapi diajarkan ilmu pengetahuan, bahasa dan ketrampilan mengetik
untuk membekali santri dikehidupan masyarakat serta mengikuti zaman.
Dan pemikiran-pemikiran beliau tentang perguruan tinggi agama islam
negeri (PTAIN) yang nantinya menjadi UIN itu juga mengkombinasikan antara
ilmu non-agama dan ilmu agama yang mana ingin memajukan pendidikan
Indonesia dan mencerdaskan bangsa. Upaya serta pemikiran beliau tersebut
71 Zamakhsyati Dhofier, op. cit., hal 153-154.72 Ibid., hal. 160.
67
relevan dengan tujuan pendidikan nasional, yang termuat dalam sistem pendidikan
nasional Undang-uandang No 20 tahun 2003 pasal 3 bab 2, yang berbunyi:
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, ckap,
kreatif, mandiri, dan menjiadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.73
Serta relevan dengan Ketentuan Umum Undang-undang No. 20 tahun 2003,
pasal 1 tentang sistem pendidikan nasoinal, yaitu pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
Kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.74
73 Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentangPendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI,2006), hal.8.
74 Ibid, hal.5
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data dan analisis di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Gagasan pendidikan K.H. A.Wahid Hasyim dilatarbelakangi oleh kekecewaan
dan sentiment negative kepada kolonialisme yang menganaktirikan
masyarakat pribumi terkait hak-hak untuk mengenyam pendidikan, dan
kondisi umat Islam Indonesia yang terbelakang dalam hal pendidikan. Ini
mendorong Wahid Hasyim untuk meramu pendidikan Islam di Indonesia
untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa dengan mendirikan madrasah
Nizamiyah. Antara lain dengan: Pertama, Tujuan pendidikan Islam yaitu
dengan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan
zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yang baik.
Kedua, Kurikulum Pendidikan Islam perlunya memasukkan ilmu pendidikan
umum kedalam kurikulum pendidikan Islam. Dan Ketiga, Metode
pembelajaran, yaitu tutorial yang sistematis dan aktif-dialogis.
2. Kontribusinya terhadap upaya pembaharuan pendidikan pesantren, yang mana
tidak hanya bertujuan atau berorientasi kepada urusan ukhrowi saja namun
harus diimbangi oleh urusan duniawi agar umat islam khususnya di Indonesia
tidak tertinggal dan terbelakang, lebih langi mengikuti perkembangan zaman.
3. Pentingnya mempelajari pemikiran K.H. A.Wahid Hasyim yang progresif ini
yang berasaskan untuk memelihara nilai-nilai lama yang baik dan menerima
nilai-nilai baru yang lebih baik.
69
B. Saran
Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis memiliki harapan:
1. Masyarakat Indonesia, agar dapat jauh lebih mengenal sosok tokoh
pembaharu pendidikan islam yang berasal dari pesantren Tebuireng Jombang
Jawa Timur, tidak hanya mengenal tokoh-tokoh luar saja.
2. Untuk Civitas Akademika, penulis berharap agar dapat melanjutkan penelitian
dan mengembangkan pemikiran, gagasan dan cita-cita K.H. Abdul Wahid
Hasyim, untuk berperan dan sumbangsih untuk perkembangan pendidikan
Islam Indonesia.
3. Untuk pesantren di seluruh Indonesia, agar dapat mengarahkan santri atau
peserta didik berorientasi kepada perkembangan zaman, akan tetapi tidak lupa
dengan tradisi di setiap daerah masing-masing. Seperti bercocok tanam,
berdagang dan sebagainya.
4. untuk mahasiswa, agar dapat memahami pemikiran dan gagasan serta cita cita
pembaharuan pendidikan islam dan sosok pejuang kemerdekaan K.H Abdul
Wahid Hasyim dalam memajukan khasanah keilmuan Islam. Kemudian
meneladani semangat dan kegigihan dalam memperjuangkan Pendidikan
Islam pada era Belanda, Jepang dan Kemerdekaan. Yang akhirnya,
mengharapkan agar pemuda Indonesia menjadi generasi penerus untuk
memajukan pendidikan Islam Indonesia.
77
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed M. Naquib, KonsepPendidikanDalamIslam, Bandung: Mizan,Cet ke-7, 1997.
Al-Barry, M. Dahlan Y, dkk, KamusIndukIstilahIlmiah Seri Inelektual,Surabaya: Target Press, 2003.
Aly, HeryNoer, IlmuPendidikanIslam, Jakarta: Kalimah, 1999.
Arief, Armai, IlmuPendidikanIslam, Jakarta: DiklatPerkuliahan, 2002.
PembaharuanPendidikanIslam di Minangkabau, Jakarta: Suara ADI, 2009.
PengantarIlmudanMetodologiPendidikanIslam, Jakarta: CiputatPerss, 2002
ReformasiPendidikanIslam, Jakarta: CRSD Press, Cetke-I, 2005.
Arikunto, Suharsimi, ManajemenPenelitian, Jakarta: RinekaCipta, Cat ke-10,2009.
Asrorah, Hanun, SejarahPendidikanIslam, Jakarta: Logos WacanaIlmu, Cet. II,2001.
Atjeh, AboeBakar, SejarahHidup K.H.A. Wahid HasyimdanKaranganTersiar,Jakarta: PanitiaBukuPeringatanalm. K.H.A. Wahid Hasyim, 1957.
Azra, Azyumardi; Umam, Saiful (ed), Menteri-menteri Agama RI:BiografiSosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998.
Barnadib, Imam, ArtidanMetodeSejarahPendidikan, Yogyakarta:YayasanPenerbit FIP IKIP, 1982.
Basori, Ruchman, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia:JejakLangkah K.H.A. Wahid Hasyim, Jakarta: Inceis, Cat ke-I, 2006.
Blog, QorrotiA'yun's, http://aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan-Islam. Padatanggal 28 Maret 2013.
Daradjat, Zakiah, dkk, IlmuPendidikanIslam, Jakarta: BumiAksara, Cet ke-3,
1996.
78
Departemen Agama RI, al-Qur'an danTerjemahannya, Jakarta: CV Atlas, 1998.
al-Qur'andanTerjemahannya, Semarang CV Toha Putra, 1989.
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Jakarta:Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai danVisinya Mengenai MasaDepan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.
Efendi, Djohan, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi; Wancana Keagamaandi Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Du, Jakarta: PTKompas Media Nusantara, 2010.
Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: IchtiarBaru Van Hoeve, 1997.
Fadeli, Soeleiman, dkk, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah,Surabaya: Khalista, 2007.
Haryanto, Riky, K.H.A. Wahid Hasyim, Studi Analisis tentang Pemikiran,Kiprah & Perjuangan, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta2007.
Hasyim, A. Wahid, Pentingnya Terjemah Hadis pada Masa Pembangunan.Dalam Buntaran Sanusi, dkk, K.H.A Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU?,Jakarta: PT Inti Sarana Aksaram, 1985.
Kurniawan, Syamsul, Pendidikan di Mata Soekarno; Modernisasi PendidikanIslam dalam PemikiranSoekarno, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
Ma'shum, Saifullah, KarismaUlama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU,Bandung: Mizzan, Cetke-I, 1998.
Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat JendralKelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005.
Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif danMenyenangkan, Bandung: PT Remaja Rosda karya, Cet ke-5, 2007.
Munawwir, A. W, Kamus LengkapaL-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Progresive, 1984.
Mz, Shofiyullah (ed), K.H.A. Wahid Hasyim, Sejarah Pemikiran, dan Baktinyabagi Agama dan Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, Cetke-I, 2011.
79
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wancana Ilmu, Cetke-I, 1997.
Metodologi StudiIslam, Jakarta: Raja Grafindo, Cet ke-9, 2004.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah EraRasulullah Sampai Indonesia, Jakrata: Kencana, Cet ke-I, 2007.
Purwondarminto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, Cet ke-12, 1991.
Qumar, Mujamil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju DemokrasiInstitusi, Jakarta: Erlangga, tt.
Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, Cet.ke-3,1985.
Rifai, Muhammad, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. Jogjakarta:Garasi, 2009.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,Jakarta: Kencana, Cet. ke-6, 2009.
Sanusi, Buntaran, dkk, K.H.A. Wahid HasyimMengapaMemilih NU?Konseptentang Agama, PendidikandanPolitik, Jakarta: PT SaranaAksara, 1985.
Saridjo, Marwan, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan NgaliAksara & Penamadani, 2010.
Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta:KPG-Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,Yogyakarta: PenerbitPustaka, Cet.ke-I, 2006.
Sugiono, MetodePenelitianPendidikanPendekatanKuantitatif, Kualitatif,dan R&D, Bandung: PT Alfabeta, 2008.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cetke-I, 2004.
80
Syeh, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PTRemaja Rosdakarya, Cet ke-11, 2005.
Thalhas, T.H., Alam Pikiran K.H Ahmad Dahlan & K.H.M Hasyim Asy'ari,Jakarta: Galura Pase, Cet ke-1, 2002.