Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...
Transcript of Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...
Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema Kognitif Petani dalam Penggunaan Pestisida
Devita dan Ezra M. Choesin
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penggunaan pestisida oleh para petani di Desa Nunuk, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat untuk tanaman di sawah mereka bukanlah sebuah hal yang baru. Hal ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan berbagai program pengendalian hama terpadu yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia ini nampaknya tidak membawa banyak perubahan dalam praktik penggunaan pestisida oleh para petani ini. Hal ini bukannya tanpa alasan. Ada kesamaan dalam skema para petani yang melandasi terus dilakukannya praktik ini, skem kognitif yang membuat para petani berada pada kerangka dunia yang disederhanakan, yaitu mengenai bagaimana mereka sendiri membayangkan dunia ini semestinya—terutama terkait padi dan sawah. Ini adalah sebuah proses kognitif, yang kemudian menghasilkan variasi dalam perilaku petani memilih dan menggunakan pestisida. Penelitian yang melewati tidak kurang dari dua kali masa panen ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan connectionism sebagai kerangka analisisnya. Melalui observasi dan wawancara mendalam kepada para informan, ditemui bahwa ekonomi menjadi alasan utama mereka dalam keberlangsungan praktik penggunaan pestisida ini.
Pesticides in a Simplified World: Farmers’ Cognitive Scheme in Pesticide Use
Abstract
Pesticide use by farmers in Nunuk Village, Indramayu District, West Java is not a new thing. This has been going on for a long time, and even integrated pest management programs with the objective of diminishing chemical pesticides use among farmers seem to have no significant influence in changing farmers’ pesticide practices. This is not without reason. There is a similarity among their schemas which makes this practice continue, a cognitive scheme which makes the farmers exist in such a simplified world, that is about how they imagine what this world should be—mainly about paddy and their rice fields. This, including the various practices in selecting and using pesticides, is a cognitive process. This research which was undertaken through not less than two harvests season uses qualitative methods with connectionism as the analytical framework. Through observations and in-depth-interviews with the informants, it is obvious that economy has been farmers’ main reason for the continuity of these practices, Keywords: cognitive; connectionism; farmer; pesticide; simplified world Pendahuluan Selalu ada pertentangan yang terjadi antara ahli-ahli ilmu sosial budaya, termasuk
antropologi, mengenai kebudayaan manusia. Strauss dan Quinn melihat bahwa antropolog-
antropolog seperti Tylor (1958), Geertz (1973), dan Goodenough (1981) memiliki keyakinan
bahwa kebudayaan bersifat shared, atau bahwa kebudayaan ini dipahami secara kurang lebih
sama oleh setiap individu yang berada dalam kelompok masyarakat yang sama (1997). Di sisi
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
lain, ide yang dikemukakan oleh para ahli seperti Ortner meyakini bahwa kebudayaan itu
ditemukan di dalam ‘practice or action or praxis’ (1984:130) dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Connectionism (Strauss dan Quinn, 1997) muncul sebagai pendekatan yang
menjembatani keduanya. Pendekatan ini percaya kebudayaan dihasilkan dari interaksi terus
menerus antara skema kognitif yang dimiliki oleh setiap individu manusia dengan unsur-unsur
rangsangan di luar dirinya, dalam hal ini termasuk perilaku dan kegiatan sehari-hari mereka.
Tulisan ini berupaya mengkaji penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani di
Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat menggunakan pendekatan
connectionist tersebut. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dalam memahami praktik yang
dilakukan oleh setiap individu petani ini secara menyeluruh, kita tidak bisa melihatnya secara
terpisah antara perilaku sebagai hal yang bisa diamati; dengan skema kognitif individu yang
tidak bisa dilihat secara langsung. Interaksi di antara keduanya terus menerus terjadi sehingga
perhatian secara menyeluruh juga harus dilakukan, baik terhadap perilaku maupun terhadap
skema individu-individu pelakunya. Kita tidak bisa hanya memperhatikan variasi perilaku
para petani dalam penggunaan pestisida saja, tetapi juga harus memahami bahwa skema-
skema para pelaku yang mewujudkan perilaku mereka ini juga bervariasi. Namun demikian,
ada unsur-unsur yang sama di antara skema-skema yang bervariasi ini juga menjadi satu hal
penting yang tidak bisa diabaikan keberadaannya.
Connectionism menjadi kerangka utama yang digunakan di dalam skripsi ini.
Berusaha melihat kehidupan petani—khususnya dalam penggunaan pestisida—dari berbagai
dimensi, connectionism nampaknya menjadi pendekatan yang komprehensif. Dalam upaya
memahami variasi yang terjadi dalam praktik penggunaan pestisida oleh para petani sebagai
bagian dari keyakinan yang sudah dijelaskan di awal bahwa kebudayaan ditemukan dalam
praktik dan perilaku, pendekatan ini membantu memperlihatkan proses yang terjadi dalam
pembentukan skema pengetahuan individu hingga pada akhirnya menghasilkan sebuah
tindakan. Skema kognitif (struktur intrapersonal) di dalam diri individu secara terus menerus
dipengaruhi oleh berbagai rangsangan dari luar (struktur ekstrapersonal) sehingga proses-
proses pembentukan skema pengetahuan pun terjadi dan memunculkan variasi.
Dalam menjelaskan munculnya variasi perilaku individu, Strauss dan Quinn
(1997:101) mengemukakan bahwa “... different individuals can share the same schemas but
not necessarily the same motivation to enact them.” Meskipun skema pengetahuan yang
dimiliki oleh setiap individu bisa saja memiliki kesamaan, namun demikian tindakan akhir
yang dihasilkan bisa sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh motivasi yang mengaktifkan
skema pengetahuan tersebut. Di samping model-model kognitif, perhatian pada individu-
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
individu pelaku dalam memahami sebuah fenomena juga menjadi penting (Winarto,
2006:176). Dalam hal ini adalah individu para petani yang tidak hanya sebagai subjek dengan
skema pengetahuan tertentu dan yang bertindak sebagai penerima rangsangan; namun juga
sebagai individu-individu yang mampu secara aktif melakukan percobaan dan pengamatan
terhadap lingkungan sekitar dalam kesehariannya. Percobaan dan pengamatan ini dapat
menjadi sumber pengetahuan lain bagi petani (lihat Winarto 2004), dan juga memunculkan
modifikasi terhadap ide dan teknologi yang ada di sekitarnya: “... no matter the form or
source of an idea, farmers, always modify ideas and technologies” (Millar, 1994:161). Hal ini
kemudian tidak berhenti begitu saja. Lyon (1996:42) mengatakan bahwa evaluasi dilakukan
oleh para petani dalam suatu proses pembelajaran melalui tindakan ini: “... in learning during
action, farmers evaluate their techniques ....” Evaluasi yang dilakukan oleh para petani secara
terus menerus inilah yang juga pada akhirnya menyebabkan variasi pada perilaku mereka:
Penelusuran mengenai kesamaan-kesamaan ini bisa jadi sebuah kajian yang
berlawanan arah dengan kajian-kajian mengenai pengetahuan petani akhir-akhir ini yang
kebanyakan justru mencoba melihat transmisi dan variasi-variasi yang terjadi. Sebut saja
penelitian yang dilakukan oleh Apsari (2013)—yang juga dilakukan di Indramayu—mengenai
reinterpretasi pengetahuan petani mengenai cuaca dan kosmologi yang membahas mengenai
variasi pengetahuan. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (2012)
mengenai introduksi SLPHT di Klaten pasca ledakan hama yang mencoba menelusuri adanya
perubahan praktik dalam penggunaan pestisida. Kajian senada juga dilakukan oleh Rahayu
(2010) mengenai variasi pengetahuan dan praktik petani di Karang Mulya, Indramayu, pasca
introduksi Sekolah Lapang Iklim (SLI). Masih ada beberapa penelitian terdahulu lainnya yang
kebanyakan juga membahas perihal variasi, interpretasi, dan transmisi pengetahuan.
Sebagaimana Strauss dan Quinn (1997:51-52) menggambarkan skema kognisi
manusia dengan menggunakan metafor syaraf yang berlapis-lapis, saya di sini berusaha untuk
melihat ke dalam terletaknya kesamaan antar individu itu. Skema intrapersonal individu yang
berlapis-lapis ini memang memunculkan variasi berkaitan dengan rangsangan-rangsangan
yang diterima (struktur ekstrapersonal) setiap individu. Pada akhirnya, skema pengetahuan
yang ada kemudian akan menjadi semakin mantap saat menerima semakin banyak
rangsangan; skema ini juga dapat menjadi sangat bervariasi atau spesifik (Choesin, 2002:58).
Namun, pada lapisan tertentu, setiap individu seolah memiliki kesamaan yang mendasari
mereka dalam memberikan respon terhadap rangsangan yang mereka terima.
Sweetser (1987) dalam tulisannya The Definition of Lie mencoba memberikan
kategori-kategori untuk menunjukkan suatu ujaran dapat dikatakan sebagai “bohong”.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Kategori-kategori inilah yang disebutnya sebagai prototype. Prototype adalah contoh—
model—terbaik dari sebuah kategori, “best example of a category” (lihat juga Rosch 1975).
Sesuatu yang sifatnya prototypical inilah yang kemudian bisa didefinisikan sebagai the way
things are supposed to be—atau yang dalam terminologi yang digunakan Sweetser adalah
simplified world. Dengan cara mencari prototype—simplified world—masyarakat mengenai
bohong ini, Sweetser mencoba mencari model terbaik yang bisa merepresentasikan
bagaimana suatu ujaran bisa dikategorikan sebagai lie.
Prototype dikatakan oleh Sweetser tidak lagi semata hanya bisa digunakan untuk
menjelaskan benda atau objek, di mana prototype ini adalah sebagai model terbaik dari
berbagai macam objek/benda terkait yang lebih kompleks. Namun, Sweetser menyatakan
bahwa prototype ini juga bisa digunakan untuk memahami hal-hal yang sifatnya lebih abstrak
seperti ide/gagasan dan bahasa. Argumen Sweetser inilah yang saya gunakan untuk mencoba
memahami secara menyeluruh ide mengenai penggunaan pestisida oleh para petani, dalam hal
ini termasuk bagaimana mereka memahami sendiri kegiatan mereka di sawah dalam kerangka
yang lebih sederhana (simplified world). Kesamaan dalam struktur intrapersonal individu,
yang kemudian mempengaruhi cara setiap individu ini membuat representasi tentang the way
rice fields are supposed to be, ini saya coba gambarkan dari hasil temuan saya di lapangan.
Pembahasan mengenai agensi yang dimiliki petani sebelumnya sudah pernah
dilakukan oleh Ansori (2009). Penelitian yang juga dilakukan di Kabupaten Indramayu
tersebut mengkaji agensi dalam hal proses pemilihan dan konservasi benih padi yang
dilakukan oleh petani. Jika penelitian tersebut membahas keberadaan agensi dalam diri petani
yang sebenarnya tetap memiliki intensi untuk menjaga biodiversitas—yang dalam pandangan
saya adalah untuk kepentingan yang lebih menyeluruh—penelitian ini lebih kepada melihat
agensi dalam diri petani yang digunakannya untuk kepentingan (sawahnya) sendiri. Kajian
mengenai pestisida dengan menggunakan pendekatan agensi juga baru saja diselesaikan oleh
Baskoro (2013). Dalam skripsinya yang berjudul “Menarik Keuntungan dalam Keterpurukan:
Strategi Perusahaan Pestisida dalam Memanfaatkan Ledakan Hama Wereng Batang Coklat
Tahun 2009-2011”, ia menggunakan pendekatan agensi untuk menjabarkan relasi kekuasaan
yang terjadi antara perusahaan pestisida dengan pihak pemerintah dan petani. Penelitian ini
berada dalam ruang lingkup yang lebih mikro. Agensi dan kekuasaan berada pada tiap-tiap
individu petani dan mereka gunakan sendiri dalam pengambilan keputusan atau tindakan
akhir pemilihan dan penggunaan pestisida.
Agensi kemudian muncul sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi
terwujudnya tindakan individu. Sewell (1992:21) menyatakan agensi sebagai suatu hal yang
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
melibatkan kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain. Sementara itu, Karp
(1986:137) dalam Ahearn (2001:113) menyatakan hal senada mengenai agen: “... an agent
refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of ability to bring about
effects and to (re)constitute the world.” Sewell (dalam Ortner, 2006:134) memperjelas posisi
agensi dalam diri individu dengan menyatakan “... so all humans have capacity for agency,
but the specific forms it takes will vary in different times and places.”
Dalam hal bagaimana konsep mengenai agensi ini kemudian bisa juga digunakan
untuk menjelaskan kesamaan yang ada dalam perilaku individu, mengingat bahwa agensi
merupakan pemikiran yang berkembang dari paham-paham anti-esensialis yang selalu
mengemukakan variasi alih-alih kesamaan, Strauss dan Quinn (1997:21) menyatakan
“Ortner’s analysis makes an important contribution in highlighting the role of schemas that
seem to be highly thematized across cultural domains and highly persistent across time in
society ...”. Di sini menjadi jelas bahwa analisis Ortner mengenai agensi turut memberikan
argumen bahwa skema-skema individu memiliki tema yang kurang lebih sama dalam
kelompok-kelompok tertentu yang mampu bertahan dalam rentang waktu tertentu pula di
dalam masyarakat. Agensi kemudian menjadi konsep yang aplikasinya tidak lagi terbatas
pada analisis mengenai variasi individu, melainkan juga bisa digunakan dalam menelusuri
tema-tema yang ada dan bertahan dalam skema-skema individu pada kelompok tertentu.
Agensi sebagai kemampuan yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu manusia
kemudian tidak dapat semata-mata dilihat sebagai suatu hal yang aktif ketika berhadapan
dengan individu-individu lain di luar dirinya sendiri dalam rangka mempengaruhi (dan atau
mengubah) individu-individu lain ini. Lebih dari itu, agensi ini juga sangat mungkin aktif
dalam hubungan individu dengan dirinya sendiri ketika ia berusaha untuk mempertahankan
struktur atau pemahaman tertentu di dalam dirinya. Karena itulah kemudian konsep agensi ini
menjadi sangat mungkin untuk diaplikasikan dalam menemukan kesamaan-kesamaan
pemahaman pada skema individu. Bahwa ketika setiap individu mengaktifkan agensinya
untuk mempertahankan struktur/pemahaman tertentu dalam skemanya, variasi yang muncul
dalam perilaku mereka sangat mungkin berasal dari kesamaan tertentu dalam skema mereka.
Thematicity adalah salah satu gagasan yang mengemukakan bahwa dari sekian
banyaknya skema yang dimiliki oleh setiap individu, termasuk dari kelompok masyarakat
yang berasal dari domain-domain budaya berbeda, terdapat suatu kesamaan tema yang berasal
dari pengalaman yang mereka terima sejak awal atau pertama kali mereka terlibat dalam
situasi tertentu. Tema-tema ini mungkin saja tidak mengalami perubahan yang signifikan
dalam perkembangannya meskipun rangsangan-rangsangan baru terus mereka terima dalam
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
kehidupannya sehari-hari—sebagaimana yang dijelaskan dalam kerangka connectionism—
sehingga menyebabkan posisinya dalam skema individu juga tidak berubah dari waktu ke
waktu (Strauss dan Quinn, 1997:18-20). Tema-tema inilah yang saya coba telusuri dari para
petani di Desa Nunuk yang masih menggunakan pestisida untuk sawah mereka meskipun
berbagai pengetahuan baru, seperti misalnya mengenai bahaya penggunaan pestisida, telah
mereka terima dalam keseharian mereka.
Penelitian ini melewati tidak kurang dari dua musim. Dapat dikatakan saya telah
melewati semua masa di desa ini: masa tandur1 dan panen di musim rendeng2; di musim
sadon3, masa bunting4 ketika padi berada pada tahapan kritis menjelang panen—ketika
penyemprotan pestisida oleh petani sedang banyak-banyaknya demi mencegah gagal panen;
bahkan masa rehat pasca panen musim sadon ketika tiada hari tanpa pesta hajatan di desa.
Berada di masa-masa yang penting dan sibuk bagi petani ini memungkinkan saya untuk
terlibat lebih banyak sekaligus memperoleh lebih banyak informasi dan pengetahuan dari
keterlibatan saya itu. Kehadiran dan keterlibatan inilah yang kemudian membuat saya mampu
memahami petani lebih jauh, termasuk dari analisis terhadap ujaran dan perilaku mereka,
melalui refleksi yang saya lakukan dalam setiap kegiatan saya dengan para petani ini.
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan metode pengamatan terlibat (participant
observation) untuk memperoleh data dan informasi. Borofsky (1994:15) mengutarakan bahwa
“Anthropologists not only observe the people being studied (with some effort of objectivity)
but they also participate, with the people, in various activities (both to make themselves less
aloof and to gain an experiential understanding of the activities described)”. Saya tidak hanya
datang, melakukan wawancara, dan pergi. Dalam beberapa kesempatan pencarian data, saya
ikut masuk ke dalam setting kegiatan para informan seperti sawah dan kios untuk mengamati
secara langsung dalam situasi yang sama dengan informan. Metode ini membantu saya
memahami subjek penelitian melalui kegiatan sehari-harinya, dan mempermudah saya untuk
menganalisis hal-hal yang belum tentu dapat diperoleh melalui wawancara semata.
Petani Butuh Bukti: Variasi dalam Perilaku Pemilihan dan Penggunaan Pestisida Mungkin benar apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang bahwa “pengalaman adalah guru
terbaik”. Ungkapan inilah yang sepertinya menjadi salah satu pedoman dasar yang dipegang
oleh para petani di Desa Nunuk dalam bersawah: bahwa tidak ada yang mampu mengajar 1 tanam 2 Berlangsung sekitar November-April, disebut juga musim basah karena pada musim ini banyak hujan. 3 Berlangsung sekitar Mei-Agustus, disebut juga musim kering karena pada musim ini hujan jarang turun. 4 Keadaan ketika bulir-bulir padi sedang akan mengisi.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
lebih baik daripada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Setidaknya hal inilah yang saya
temui selama melakukan kegiatan penelitian. “Petani itu butuh bukti,” demikian ungkapan
yang hampir selalu keluar dari mulut para informan.
Bahwa pengalaman para pelaku yang menyebabkan pengetahuan selalu mengalami
penyempurnaan, pengayaan, dan perbaikan dinyatakan oleh Keller dan Keller (1993:127)
dalam tulisan mereka Thinking and Acting with Iron. Pengamatan sendiri dinyatakan oleh
Winarto (1998:3) sebagai mekanisme utama petani dalam memperoleh pengetahuannya
terkait dengan penilaian atas hasil strategi budidaya padi. Penggunaan ‘obat’ pengendali hama
boleh jadi adalah salah satu strateginya. Karena itulah menjadi penting bagi para petani untuk
selalu belajar dari pengalaman mereka dalam penggunaan produk-produk ‘obat’ tertentu,
melalui pengamatan yang mereka lakukan pada setiap musimnya untuk kemudian
menjadikannya sebagai sebuah pembelajaran untuk musim tanam berikutnya.
Keberadaan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses seleksi petani terhadap
‘obat’ yang akan digunakannya tidak dapat diabaikan atau dianggap remeh peranannya.
Faktor-faktor ini dalam kerangka Strauss dan Quinn (1997:49) dilihat sebagai elemen-elemen
yang bekerja sama untuk memproses informasi perihal seleksi ‘obat’ yang dilakukan oleh
petani. Kios menjadi salah satu komponen penting yang tidak dapat dilupakan dalam
pembahasan mengenai ‘obat’. Kios sendiri merupakan sebutan yang digunakan oleh para
petani, dan masyarakat Nunuk pada umumnya, yang merujuk pada tempat yang menjual
berbagai keperluan untuk bertani mulai dari benih dan pupuk hingga bermacam-macam
‘obat’. Kios kemudian menjadi sebuah tempat yang selalu didatangi secara rutin oleh para
petani, terutama pada masa-masa ketika sawah sedang basah. Para petani datang dari awal
masa tanam untuk membeli benih dan pupuk, dan kemudian secara rutin datang hingga pada
masa-masa akhir menjelang panen untuk membeli berbagai jenis ‘obat’.
Di Nunuk sendiri terdapat tiga kios, yaitu kios milik Ibu Ica, Kios Mekar Jaya Tani
milik Pak Wasmin, dan Kios ‘Aris Tani’ milik Haji Rangun. Dari ketiganya, cukup jelas
bahwa Kios Aris Tani milik H. Rangun-lah yang paling terkenal di Nunuk. Kios H. Rangun
nampaknya menjadi prioritas atau pilihan utama para petani di Nunuk. Keberadaannya
sebagai kios tertua di Nunuk dengan usia yang hampir mencapai 30 tahun bisa jadi adalah
salah satu faktor pendukungnya. Dengan usia selama itu, pelanggan Aris Tani tentu saja bisa
jauh melampaui pelanggan Mekar Jaya Tani yang baru berdiri pada akhir tahun 2012 lalu.
Fleksibilitas sistem pembayaran yang dikenakan pada para pelanggan menjadi salah
satu faktor yang menjadikan kios tertentu sebagai kios favorit para petani. Selain perihal
fleksibilitas dalam sistem pembayaran, beberapa faktor lain juga menjadi alasan kios tertentu
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
menjadi pilihan para petani. Harga adalah salah satunya. Harga produk yang lebih murah di
kios tertentu dibandingkan dengan kios lainnya menyebabkan pembeli menjadikan kios
tersebut sebagai pilihan utamanya. Meskipun harga yang dipasarkan antar kios biasanya tidak
terpaut jauh, petani cenderung memilih kios yang menjual produk dengan harga lebih murah.
Selain itu, lokasi juga menjadi pertimbangan lain yang menyebabkan petani memilih kios
tertentu untuk berbelanja. Meskipun harga nampaknya memiliki peran yang signifikan untuk
membuat petani memilih kios tertentu, lokasi juga menjadi pertimbangan kios tertentu dipilih
ketika harga produk antar kios relatif sama. Petani cenderung memilih kios yang letaknya
dekat dengan rumah atau sawahnya
Hubungan-hubungan yang terbangun di kios antara penjual dan pembeli tidak terbatas
pada transaksi-transaksi ekonomi dalam hal jual-beli ‘obat’ saja. Hubungan-hubungan ini
berkembang ke arah-arah yang lebih kompleks. Penjual memiliki peran yang cukup signifikan
dalam memberikan pengaruh kepada para pembeli untuk memilih produk ‘obat’ tertentu. Bagi
para petani pemula, penjual di kios boleh jadi merupakan pelaku yang memainkan peranan
penting dalam memberikan rekomendasi mengenai produk ‘obat’ yang harus digunakannya.
Para informan mengaku, bahwa ketika pertama kali mereka turun ke sawah, penjual di kios
adalah orang yang pasti mereka minta rekomendasinya sebelum memutuskan untuk membeli
dan menggunakan ‘obat’ tertentu, selain juga petani-petani lain yang sudah turun ke sawah
terlebih dahulu. Pembeli yang datang ke kios untuk menanyakan rekomendasi tertentu
biasanya akan cenderung percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh penjual. Penjual
dianggap sebagai pihak yang lebih tahu mengenai produk-produk yang dijualnya. Bahkan,
perusahaan sendiri mengakui peranan penting kios dalam mengubah keputusan petani untuk
membeli produk pestisida (lihat Baskoro 2013).
Perusahaan produsen ‘obat’ menempati posisi yang juga cukup krusial dalam hal
mempengaruhi proses seleksi produk ‘obat’ oleh petani. Berbagai cara yang ditempuh
perusahaan dalam mempromosikan produk-produknya seringkali menjadi daya tarik tersendiri
bagi para petani untuk membeli produk dari perusahaan tertentu. Oleh karena itu, metode
promosi kemudian menjadi sebuah hal yang patut diberikan perhatian lebih oleh perusahaan-
perusahaan ‘kecil’ dan ‘tidak terkenal’ ini, agar petani terpengaruh untuk membeli dan
menggunakan produk mereka. Baskoro (2013:9) mengatakan, “Untuk menciptakan loyalitas
dari pemerintah, kios, dan petani, perusahaan pestisida banyak memberikan hadiah-hadiah
souvenir perusahaan maupun insentif-insentif lain.” Tampaknya para petani ini tidak sadar
bahwa yang mereka beli adalah racun, mereka malah jadi senang ‘diracun’.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Hubungan antara kios dan perusahaan tidak dapat diabaikan di sini. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa kios-lah yang memperoleh keuntungan paling besar dari perusahaan
apabila berhasil menjual produk-produknya. Keuntungan yang diperoleh bukan semata-mata
berupa laba penjualan, melainkan juga terdapat bonus-bonus tambahan lain jika kios mampu
menjual produknya dengan target tertentu. Hal ini senada dengan yang dikatakan Baskoro
(2013:113) mengenai sistem rewards yang diberikan oleh perusahaan pestisida kepada kios:
“Kios juga turut mendapatkan kompensasi apabila berhasil menjual produk dalam skala yang
sudah ditentukan pihak perusahaan. Bagi kios yang menjual pestisida, kompensasi dari
perusahaan tidak diberikan dalam bentuk undian, tetapi dengan sistem rewards.”
Hal-hal seperti inilah yang boleh jadi semakin memperkuat hubungan yang terjadi
antara perusahaan dengan kios-kios ‘obat’, yang kemudian secara lebih luas menjadi faktor
yang mampu mempengaruhi proses seleksi produk-produk ‘obat’ yang dilakukan oleh petani.
Bahwa petani percaya kepada penjual, dan penjual berusaha menjual produk ‘obat’
perusahaan tertentu yang lebih menjanjikan dari segi pemberian bonus, menjadi faktor-faktor
yang barangkali tidak disadari turut mempengaruhi proses seleksi yang dilakukan.
Interaksi yang terjadi antara petani yang satu dengan petani lainnya tidak dapat
dianggap kecil peranannya. Interaksi melalui percakapan-percakapan yang terjadi di antara
petani ini sesungguhnya mampu memberikan pengaruh pada petani mengenai banyak hal
terkait kegiatan bersawah mereka, tidak terkecuali perihal ‘obat’ mana yang akan mereka
gunakan. Hal ini menjelaskan secara konkret mengenai yang disampaikan Winarto (2004:94)
bahwa percakapan (di antara petani) memiliki sumbangan yang cukup signifikan dalam
mengomunikasikan dan membuat pengetahuan “berputar” sehingga kemudian percakapan
juga lah yang membuat temuan-temuan petani menjadi pengetahuan yang dimiliki secara
bersama antara orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Namun demikian, tidak semua petani memiliki kemampuan yang sama untuk
mempengaruhi petani lainnya melalui percakapan-percakapan yang terbangun. “Petani itu
ngga ngerti Mbak, baru mau percaya kalau sudah liat hasil di sawah,” demikian yang
disampaikan Pak Darsono ketika saya bertanya mengenai orang-orang yang bertanya
mengenai ‘obat’ apa yang digunakannya. Informasi-informasi ini memberikan gambaran
bahwa petani-petani yang sukses dalam kegiatan bersawah-lah yang cenderung mampu
memberikan pengaruh kepada petani lainnya, termasuk dalam hal proses seleksi ‘obat’.
Indikator kesuksesan di sini dilihat dari seberapa tahan sawah yang dimiliki oleh petani-petani
tersebut ketika terjadi serangan atau ledakan hama. Keberhasilan dalam panen, dengan kata
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
lain hasil panen yang baik dalam jumlah besar, juga menjadi indikator kesuksesan seorang
petani yang kemudian mampu menjadikannya salah satu “petani berpengaruh”.
Keberadaan petani-petani berpengaruh ini tidak bisa dilihat sebagai faktor yang berdiri
sendiri. Hal ini karena keberadaan mereka seringkali juga dimanfaatkan oleh perusahaan-
perusahaan dan kios-kios untuk menjadi perantara dalam hal promosi dan penjualan produk-
produk ‘obat’. Perusahaan cenderung mengundang petani-petani yang dianggap memiliki
pengaruh untuk hadir dalam acara-acara pertemuan besar dalam rangka kegiatan promosi
‘obat’. Mereka diharapkan mampu meneruskan informasi yang disampaikan untuk
mempromosikan produk ‘obat’ perusahaan tertentu jika ada petani lain yang meminta
rekomendasi mereka. Mereka jugalah yang kerap diberikan sample gratis oleh perusahaan,
untuk kemudian digunakan di sawahnya dengan harapan ketika hasilnya baik maka petani lain
akan ikut menggunakannya.
Sample ‘obat’ gratis ini kemudian saya ketahui tidak diberikan begitu saja oleh
formulator dari perusahaan-perusahaan pestisida. Sample ‘obat’ ini diberikan secara sengaja
kepada petani-petani yang selain memiliki sawah luas, juga yang sawahnya berada pada posisi
strategis seperti di pinggir jalan raya. Inilah yang dikatakan oleh Mas Hadi dan ayahnya, H.
Slam, sebagai demplot (demonstration plot). Demplot merupakan sebidang sawah yang
”diminta”—atau yang oleh Baskoro (2013) disebut “disponsori”—oleh perusahaan pestisida
tertentu untuk disemprot dengan produk mereka. Biasanya, demplot ini terletak di pinggir
jalan raya yang terlihat secara jelas. Bahkan, keputusan untuk memilih lahan yang akan
dijadikan demplot ini terletak sepenuhnya pada perusahaan (Baskoro, 2013:71). Demplot
dapat dipahami sebagai salah satu cara perusahaan pestisida untuk memberikan bukti
langsung yang dapat dilihat oleh para petani mengenai efektivitas produk yang digunakan
pada lahan tersebut. Sebagaimana juga dikatakan oleh para informan, kebanyakan petani ingin
melihat bukti nyata terlebih dahulu sebelum menggunakan produk ‘obat’ tertentu. Maka dari
itu demplot menjadi sebuah media yang efektif untuk memberikan apa yang diinginkan oleh
petani: bukti nyata. Jika hasil panen demplot baik, maka kemungkinan digunakannya produk
‘obat’ bersangkutan oleh petani-petani lain akan meningkat (baca juga Baskoro 2013).
Kehadiran faktor-faktor eksternal berupa aktor-aktor lain di luar diri individu petani
tidak bisa dilepaskan dari kemampuan aktor-aktor ini dalam memberikan pengaruh kepada
petani. Dalam hal ini saya melihat mulai terwujudnya agensi yang dimiliki oleh aktor-aktor
ini. Agensi ini nyata ketika kehadiran aktor-aktor tadi menjadi signifikan dalam
mempengaruhi tindakan individu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sewell (dalam
Ortner, 2006:134) bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki kapasitas agensi walaupun
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
perbedaan waktu dan tempat akan menjadikannya sangat beragam. Menjadi jelas kemudian
bahwa setiap aktor tadi memiliki agensinya masing-masing dalam bentuk yang sangat
spesifik. Masing-masing memiliki kemampuan tersendiri untuk memberikan pengaruh kepada
para petani: penjual dengan pengetahuan dan kepercayaan yang dilegitimasi oleh para petani,
perusahaan dengan pembacaannya mengenai apa yang menarik petani, serta petani-petani lain
dengan kesuksesannya yang berpengaruh.
Pemilihan ‘obat’ menjadi inti dari keberadaan faktor-faktor eksternal yang telah
dibahas sebelumnya. Pada proses inilah pengaruh dari faktor-faktor tadi akan terlihat secara
nyata. Di sinilah apa yang kemudian disampaikan Choesin (2002:58) dalam tulisannya
mengenai Connectionism terjadi, “... dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima dan
kemudian diteruskan ke lapisan berikutnya hingga menghasilkan tindakan, cara kerja kognisi
manusia yang kemudian mengarah pada tindakan juga dijelaskan dengan cara demikian.”
Pemilihan ‘obat’ adalah “tindakan” yang dihasilkan tersebut.
Kebanyakan dari informan menyatakan bahwa mereka cenderung menggunakan ‘obat’
lama dalam kegiatan bersawahnya. ‘Lama’ di sini bukan hanya mengacu pada produk-produk
‘obat’ yang diproduksi lebih dulu dibandingkan dengan yang lain, melainkan juga mengacu
pada produk-produk ‘obat’ yang sudah pernah mereka gunakan sebelumnya. “Tidak mau
coba-coba” adalah jawaban yang seringkali diucapkan oleh para informan ini ketika saya
mengajukan pertanyaan mengenai alasan mereka memilih ‘obat’ lama.
Semua informan menyatakan bahwa ‘obat’ lama tetap menjadi prioritas mereka ketika
memilih ‘obat’ tertentu yang akan mereka gunakan di sawah. Sebagaimana yang telah saya
nyatakan sejak awal, pengalaman menjadi faktor penting yang melandasi proses seleksi ‘obat’
yang dilakukan oleh petani. Pengalaman ini tentunya bukan saja hal yang berasal dari luar diri
si petani itu sendiri, melainkan adalah hal-hal yang telah mereka alami sendiri di masa
lampau. Pengalaman-pengalaman para petani dalam menggunakan produk ‘obat’ tertentu di
masa-masa sebelumnya kemudian mereka jadikan acuan untuk kembali memilih ‘obat’ yang
akan mereka gunakan di masa sekarang, juga di masa yang akan datang. Pengalaman yang
baik dengan produk ‘obat’ tertentu memacu petani untuk kembali menggunakannya.
Tindakan petani memilih ‘obat’ lama meskipun telah diberikan berbagai rangsangan
berupa informasi dan pengetahun mengenai produk-produk ‘obat’ lain dengan berbagai
kelebihan, memperlihatkan bahwa sesungguhnya skema individu yang dikatakan Choesin
(2002:58) menjadi semakin mantap saat menerima semakin banyak rangsangan sangat
bervariasi dan spesifik sifatnya. Mungkin saja rangsangan-rangsangan dari luar akan
membentuk skema baru mengenai ‘obat’ mana yang harus digunakan, atau justru semakin
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
memantapkan skema yang telah ada sebelumnya bahwa yang terbaik tetaplah ‘obat’ lama
yang sudah memberikan bukti di sawah para petani.
Hal ini juga memperjelas apa yang dikatakan Sewell (dalam Ortner, 2006:135) bahwa
setiap manusia pada dasarnya memiliki agensi. Para petani yang tetap memilih ‘obat’ lama
memperlihatkan bahwa kapasitas agensi yang mereka miliki sendirilah yang kemudian
memenangkan pertarungan pengaruh dari kapasitas agensi yang dimiliki oleh aktor-aktor lain
di luar dirinya. Penolakan yang mereka lakukan terhadap berbagai ajakan atau rekomendasi
dari penjual maupun teman-teman mereka sesama petani, juga tidak terpengaruhnya mereka
oleh berbagai cara promosi dan sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan, secara tidak
langsung menunjukkan bahwa pada akhirnya para petani inilah yang memiliki hak dalam
‘mempengaruhi’ keputusannya sendiri.
Sementara itu, berbagai macam alasan dikemukakan oleh mereka yang mengatakan
suka mencoba ‘obat’ baru untuk sawahnya. “Coba-coba” menjadi alasan yang paling banyak
dikemukakan oleh para informan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh salah
seorang informan, Mas Tatang. Ia mengaku bahwa ia sempat menggunakan berbagai macam
‘obat’, berganti-ganti dengan tujuan untuk mencoba. Penggunaan ‘obat’ di kalangan petani ini
juga menurutnya musim-musiman, mengikuti trend. Mas Hadi mengatakan bahwa hal seperti
ini dikenal dengan istilah getok tular; jika sudah ada yang bilang bagus maka akan banyak
petani lain yang menggunakannya. Namun demikian, “coba-coba” ini tidak menjadi faktor
yang berdiri sendiri. Keinginan untuk “coba-coba” seringkali muncul akibat dorongan dari
faktor-faktor lain yang berada di baliknya.
Pada tahap inilah keberadaan faktor-faktor eksternal tadi kembali terlihat. Pada tahap
ini pula, seperti yang secara tidak langsung disampaikan oleh para informan, peranan-peranan
mereka menjadi signifikan dalam pembahasan mengenai pemilihan ‘obat’ yang dilakukan
oleh para petani. Rekomendasi yang diberikan oleh penjual, promosi dan sosialisasi yang
menarik dengan berbagai tawaran hadiah langsung atau undian yang dilakukan oleh
perusahaan, serta saran-saran yang diberikan oleh petani-petani lain menjadi daya tarik
tersendiri bagi mereka yang suka mencoba ‘obat’ baru.
Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan petani dalam memilih ‘obat’ baru dapat
dilihat sebagai salah satu wujud interaksi struktur intrapersonal dan ekstrapersonal yang
dinyatakan oleh Strauss dan Quinn (1997:6-7). Pada tahap inilah interaksi yang cukup
seimbang di antara keduanya terlihat. Struktur ekstrapersonal berupa kondisi di luar diri
individu tadi memang memiliki peranan, namun tetap harus dihadapkan dengan struktur
intrapersonal berupa skema kognitif individu berupa pertimbangan-pertimbangan yang
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
dilakukan berdasarkan pengalaman sebelum akhirnya sampai pada tindakan akhir, yaitu
memilih dan menggunakan ‘obat’. Kapasitas agensi yang dimiliki oleh aktor-aktor dari luar
individu dengan yang dimiliki oleh individu itu sendiri kemudian juga saling berhadapan:
walaupun kapasitas agensi milik aktor-aktor luar itu terlihat lebih kuat sehingga menyebabkan
para petani memilih ‘obat’ baru sesuai dengan yang mereka harapkan, kapasitas agensi milik
diri para petani tetap tidak bisa dipandang remeh karena pada akhirnya para petani inilah yang
membuat keputusan akhir dengan pertimbangan dan variasi tindakan masing-masing.
Pemahaman masyarakat manusia akan berbagai hal dan fenomena yang terjadi di
sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari aspek kognisi yang melatarbelakangi mereka. Adapun
aspek kognisi ini sendiri kemudian juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan
masyarakat tempat manusia/individu tersebut tinggal (Holland dan Quinn, 1987). Holland dan
Quinn juga mengemukakan bahwa model-model budaya turut mempengaruhi penggunaan
bahasa dan kognisi seorang; tidak hanya untuk memahami dan menginterpretasi, tetapi juga
untuk bertindak. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Winarto (1998:6) bahwa kata
‘obat’ yang digunakan sebagai istilah untuk menyebut pestisida diadopsi secara luas oleh
petani karena telah menjadi bagian dari wacana budaya petani yang dimiliki sebelumnya.
Kata ‘obat’ yang dipahami sebagai penyembuh atau pencegah penyakit pada manusia diterima
dan kemudian membentuk skema pemahaman yang mapan pada petani mengenai fungsi
pestisida sebagai ‘obat’ dan pada akhirnya melandasi persepsi petani. “Terintegrasinya istilah
‘obat’ ini dalam khasanah bahasa dan wacana budaya petani merupakan pertanda dari
kenyataan bahwa pengalaman itu selalu terbentuk oleh cara pelaku merepresentasikan atau
memahami dunia yang melingkupinya melalui skema, model-model, atau ‘dunia yang telah
disederhanakan’ dari bidang-bidang pengalaman manusia.” (Winarto, 1998:58).
Pengetahuan mengenai apa itu pestisida yang selama ini menyandang nama ‘obat’
dalam kehidupan para petani dalam kacamata saya menentukan bagaimana perlakuan para
petani terhadap ‘obat-obat’an itu. Meskipun kata pestisida itu sendiri sepertinya jarang
digunakan oleh para petani, dari penelitian yang telah dilakukan nampak ada persamaan
pemahaman para informan mengenai mana ‘obat’ yang berbahaya dan mana yang tidak.
Bentuk ‘obat’ nampaknya menjadi salah satu tolok ukur mereka. ‘Obat’ bentuk bubuk
dinyatakan beberapa informan sebagai ‘obat’ yang berbahaya dan memiliki efek lebih buruk
bagi manusia dibanding ‘obat’ bentuk lain. ‘Obat’ ini memang masuk ke dalam jenis kontak
yang membunuh hama seketika begitu mengenainya. Dalam hal ini petani nampaknya belajar
melalui pengalamannya, atau meminjam terminologi Winarto (2004): “learning by doing”.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Pengetahuan tentang pencampuran ‘obat’ sebelum digunakan nampaknya sudah
menjadi pengetahuan umum yang dimiliki oleh kebanyakan petani di Desa Nunuk.
Mencampur ‘obat’ juga seperti sudah menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan dengan
berbagai macam alasan yang melatarbelakangi perilaku ini. Melengkapi kandungan ‘obat’
yang satu dengan ‘obat’ lainnya dalam kegiatan mencampur untuk memperoleh hasil yang
lebih efektif nampaknya menjadi salah satu alasan utama. Namun, sekali lagi, sayangnya hal-
hal seperti ini tidak dilandasi oleh pembenaran ilmiah apapun. Para petani mengaku
melakukannya melalui proses uji coba, yang kemudian disampaikan dari petani yang satu ke
petani lainnya dan menjadi sebuah pengetahuan bersama.
Mekanisme pencampuran ‘obat’ yang dilakukan oleh para petani sangat beragam. Hal
ini menggambarkan dengan jelas apa yang dikatakan Lyon (1996:42) bahwa dalam proses
belajar yang dijalani petani melalui tindakan-tindakannya, para petani ini melakukan evaluasi
terhadap teknik-teknik mereka. Setiap petani memiliki cara, atau dalam bahasa Lyon adalah
‘teknik’-nya, masing-masing yang terus menerus mereka evaluasi. Ini sebenarnya dapat juga
dilihat sebagai proses pembelajaran yang dilakukan sendiri oleh para petani mengenai
pencampuran ‘obat’. Hal ini sejalan pula dengan apa yang diungkapkan oleh Millar
(1994:161) bahwa tidak masalah bentuk atau sumber dari sebuah ide; petani selalu melakukan
modifikasi terhadap ide-ide tersebut. Dalam hal ini, awal munculnya ide mengenai
pencampuran ‘obat’ itu sendiri nampaknya tidak lagi begitu penting. Semua informan saya
melakukannya, begitu pula dengan petani-petani lain di Nunuk. Hanya saja, pengalaman
setiap individu-lah yang pada akhirnya menimbulkan variasi akibat modifikasi terhadap ide
dan cara-cara mencampur yang terus dilakukan. Maka dari itu, apa yang disampaikan Winarto
(2006:176) menjadi sangat jelas, yaitu bahwa perhatian terhadap individu-individu pelaku
diperlukan untuk dapat memahami sebuah fenomena.
Dari interaksi-interaksi yang terjadi ini, bukan hanya skema pengetahuan baru yang
bisa terbentuk dan kemudian menjadi jelas wujudnya dalam variasi perilaku pada individu
yang terlihat di dalamnya. Lebih daripada itu, interaksi-interaksi ini juga bisa menunjukkan
skema pengetahuan awal yang dimiliki oleh setiap individu petani terkait “bagaimana
semestinya” sawah (dan segala hal di dalamnya). Inilah yang oleh Sweetser (1987) disebut
dengan simplified world—prototype, yaitu pemahaman yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu mengenai bagaimana seharusnya dunia itu. Hal ini bisa terlihat dari
interaksi yang mereka bangun di dalam masyarakat itu, juga dari perspektif yang kemudian
mempengaruhi perilaku mereka terhadap kehidupan sehari-hari.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Thematicity dan Simplified World: Dimensi Lain Praktik Penggunaan Pestisida Sudah menjadi hal yang pasti bahwa dalam setiap musimnya, para petani harus mengeluarkan
modal untuk biaya pemeliharaan sawah mereka, mulai dari masa tandur hingga pada panen.
Sepanjang musim ini, para petani juga mengakui bahwa modal pemeliharaan yang paling
besar berada pada pos pembelian pestisida. Biaya pengadaan pestisida untuk lahan seluas 100
bata5 saja bisa mencapai Rp300.000,00 per musimnya. Hal ini belum termasuk apabila
diperkirakan akan terjadi serangan. Para petani akan membeli lebih banyak pestisida, bahkan
banyak pula yang akan membeli pestisida yang harganya lebih mahal ketika serangan
diperkirakan akan terjadi. Pestisida memakan biaya yang tidak sedikit, tetapi petani seolah-
olah begitu enggan mengurangi pengeluaran mereka untuk membeli pestisida ini. Mereka
begitu percaya bahwa pestisida adalah bagian yang sama sekali tidak dapat dieliminasi dari
rangkaian proses pemeliharaan tanaman. Bahkan, beberapa informan mengaku bahwa mereka
rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembelian pestisida karena mereka percaya
dengan demikian hasil panen yang mereka peroleh akan lebih banyak pula.
Penggunaan pestisida kimia oleh para petani guna menyelesaikan permasalahan hama
di sawah mereka memang nampak sangat tidak efisien dari segi biaya. Namun demikian, dari
segi waktu dan tenaga, penggunaan pestisida boleh dibilang merupakan cara yang paling
efisien. Setidaknya inilah yang diungkapkan oleh beberapa informan ketika saya mencoba
bertanya mengenai penggunaan pestisida organik yang dapat dibuat sendiri dan notabene
tidak menimbulkan efek samping seperti matinya musuh alami dari hama, yang kemudian
dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem sehingga ledakan hama yang lebih besar
bisa saja menyerang sewaktu-waktu atau tanah yang rusak akibat terus menerus terpapar
bahan-bahan kimia dari pestisida yang digunakan. Menyemprot dengan pestisida kimia dinilai
efisien karena menghemat waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan petani.
Berbagai pembenaran dikemukakan petani untuk menyangkal dampak negatif dari
penggunaan pestisida kimia demi mempertahankannya atas dasar efisiensi dan efektivitas.
Penelitian diklaim dapat mencegah matinya musuh alami hama karena menjadikan
penyemprotan pestisida menjadi lebih terarah dan bijaksana. Penelitian yang dimaksud adalah
pengamatan terhadap gejala munculnya serangan pada tanaman; baik serangan penyakit yang
disebabkan infeksi jamur, maupun serangan hama. Adanya jadwal penyemprotan dalam
interval waktu tertentu yang sudah ditentukan juga dikatakan membuat penyemprotan yang
dilakukan oleh petani di masa ini lebih baik daripada yang dilakukan pada masa lampau.
5 1 bata = 14 m2
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Beberapa informan secara spesifik menyebutkan masa-masa itu sebagai masa “sebelum
adanya sekolah lapang”. Hal-hal semacam inilah yang dijadikan alasan, pembenaran oleh para
petani, untuk praktik penyemprotan yang masih mereka lakukan hingga saat ini.
Dari begitu banyaknya alasan dan pembenaran yang dikemukakan oleh petani di Desa
Nunuk terkait dengan penggunaan pestisida, juga dari begitu banyaknya variasi yang ada,
tampak jelas bahwa ada satu permasalahan pokok yang sebenarnya menjadi inti dari semua
praktik penggunaan pestisida. Masalah ekonomi jelas di sini menjadi tema—thematicity—dari
skema para petani yang kemudian mewujudkan praktik tersebut. Ekonomi yang saya
maksudkan di sini adalah terkait analisis biaya dan untung-rugi, yang selalu dilakukan oleh
petani dalam kegiatan bertani mereka. Semakin dalam interaksi-interaksi yang saya lakukan,
baik melalui percakapan verbal maupun melalui pengamatan dari perilaku para petani, nilai-
nilai ekonomi mengemuka menjadi nilai yang utama dari semuanya itu.
Salah satu informan, Pak Tarwadi, secara terang-terangan mengakui bahwa
penggunaan pestisida sebenarnya adalah untuk meningkatkan pendapatan dari hasil panennya.
Pada saat itu kami sedang membahas masalah pertanian organik. Ia jelas-jelas sadar dan
mengakui bahwa beras hasil pertanian organik secara kesehatan lebih baik untuk dikonsumsi.
Namun, permasalahannya adalah ia tidak bertani padi semata-mata untuk kebutuhan
konsumsinya akan beras. Ia mengatakan bahwa hasil panennya juga akan dijual untuk
memenuhi kebutuhannya yang lain. Karena itulah ia tetap menggunakan pestisida kimia untuk
meningkatkan hasil panennya. Faktor keuntungan dari hasil penjualan panennya menjadi
pertimbangan utama yang menyebabkannya tetap menggunakan pestisida kimia.
Hal senada kurang lebih disampaikan oleh informan lainnya, Pak Wasmin. Ia
mengatakan bahwa inti utama dari penggunaan pestisida adalah supaya petani bisa panen dan
tidak mengalami kerugian. Ia juga mengatakan bahwa kadangkala petani tidak lagi
menghitung-hitung biaya pemeliharaan apabila serangan diperkirakan akan terjadi. Mereka
akan dengan masifnya menggunakan pestisida, juga meningkatkan intensitas penyemprotan
supaya tidak mengalami hal yang paling ditakutkan oleh semua petani—gagal panen. Pak
Wasmin mengatakan bahwa di Nunuk, petani akan melakukan berbagai macam cara untuk
mencegah gagal panen. Penggunaan pestisida secara jor-joran adalah salah satunya. Pada
tahap inilah menjadi jelas bahwa sevariatif apapun praktik penggunaan pestisida yang
dilakukan oleh para petani di Nunuk, tetap ada satu hal dasar utama yang melandasinya, yaitu
permasalahan ekonomi tadi. Mengejar keuntungan dalam bentuk peningkatan produktivitas
padi dan menghindari kerugian akibat gagal panen sebagai bentuk terburuknya menjadi dasar
utama dari semua variasi praktik penggunaan pestisida.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Raymond Firth melalui penelitiannya yang kemudian menghasilkan sebuah etnografi
Malay Fishermen: Their Peasant Economy (1946) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip
ekonomi adalah prinsip-prinsip universal yang berlaku di manapun. Ia mengemukakan
gagasan ini setelah melihat bahwa pada masyarakat Melayu yang secara sosial dan budaya
berbeda jauh dari masyarakat barat pun sudah ditemukan aktivitas-aktivitas ekonomi yang
berdasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Hal ini membuat rasionalitas individu
menjadi elemen yang signifikan dalam aktivitas ekonomi mereka.
Dalam konteks kehidupan petani di Nunuk, apa yang dikatakan oleh Firth ini begitu
jelas terlihat. Kegiatan ekonomi yang mereka lakukan, yang dalam konteks petani ini adalah
kegiatan produksi melalui proses penanaman padi di sawah, sangat jelas dilandasi oleh prinsip
maksimalisasi ini. Para petani, melalui penggunaan pestisida, berusaha meminimalisir resiko
dari gagal panen akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman padi mereka untuk
mendapatkan hasil semaksimal mungkin pada masa panen. Mereka percaya bahwa dengan
mengeluarkan modal lebih ini, maka hasil yang mereka peroleh akan menjadi maksimal.
Skema kognitif berupa struktur intrapersonal dimiliki oleh setiap individu.
Pemahaman yang sama, thematicity dalam skema setiap individu, bahwa sawah harus
menghasilkan panen yang baik—yang begitu terukurnya dengan kuantitas panen—inilah yang
nampaknya melandasi berbagai macam perilaku petani demi memperoleh panen yang banyak.
Penggunaan pestisida menjadi hal utama di sini. Hal inilah yang berdasarkan analisis saya
sejalan dengan penjelasan Sweetser mengenai prototipe, sebuah hal yang sama yang menjadi
model dari berbagai perilaku yang berkembang kemudian dalam aktivitas para petani ini di
sawah. Pemahaman para petani yang sama sebagai bentuk simplified world mereka ini yang
kemudian menjadi dasar dari berbagai variasi yang muncul. Berbagai variasi dalam proses
pemilihan dan penggunaan pestisida menunjukkan bahwa para petani menempuh berbagai
cara demi mencapai tujuan yang sama: panen yang berhasil. Pemahaman yang sama mengenai
bagaimana seharusnya sawah itu memunculkan berbagai variasi sebagai suatu bentuk respon
untuk mewujudkan hal tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Strauss dan Quinn (1997:45), struktur intrapersonal
ini tidak berdiri sendiri—melainkan mendapatkan pengaruh dari keberadaan struktur-struktur
ekstrapersonal di luar diri individu. Tujuan sama yang dimiliki oleh para petani terkait panen
yang berhasil menunjukkan bahwa struktur ekstrapersonal yang berada di luar diri individu-
individu ini nampaknya memiliki peranan dalam memperkuat struktur intrapersonalnya. Oleh
karena itulah struktur intrapersonal individu yang diwujudkan ke dalam tindakan dan
kemudian menjadi struktur ekstrapersonal bagi individu lainnya saat interaksi saling
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
menguatkan. Pengaruh yang diberikan semakin memperkuat skema kognisi mereka,
khususnya dalam penggunaan pestisida demi meminimalisir resiko. Hal ini ternyata terjadi
bukan semata-mata karena individu yang satu demikian kuat pengaruhnya saja (sebagaimana
yang telah dibahas di bagian sebelumnya), namun ternyata juga karena sesungguhnya mereka
memiliki struktur intrapersonal yang kurang lebih sama.
Sweetser (1985) menggunakan terminologi simplified world untuk menjelaskan hal
senada dengan Strauss dan Quinn (1997) terkait dengan struktur intrapersonal ini. Berbagai
variasi yang dilakukan oleh petani di Nunuk dalam penggunaan pestisida untuk
memaksimalkan hasil panen mewujudkan simplified world mereka ini. Mereka berada dalam
“dunia” yang sama, bahwa sawah itu sebaiknya menghasilkan panen sebanyak-banyaknya.
Karl Polanyi dalam bukunya Trade and Market in the Early Empires (1957)
mengemukakan bahwa perekonomian yang bertumpu pada pasar bukanlah sesuatu yang
universal sebagaimana diyakini oleh para ekonom klasik. Pemahaman ini berangkat dari
pengamatan Polanyi bahwa di banyak negara, khususnya di luar Eropa, perekonomian
seringkali diatur berdasarkan kepentingan bersama atau resiprositas (Gudeman, 2000:259).
Resiprositas ini sendiri oleh Polanyi dikatakan sebagai suatu cara dalam kegiatan ekonomi
masyarakat manusia yang ditempuh melalui hubungan-hubungan sosial. Transaksi ekonomi
yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tidak dapat dicapai tanpa interaksi
dalam hubungan-hubungan sosial dengan sesama (Polanyi, 1957:17).
Dalam konteks kegiatan ekonomi petani di Nunuk, ide mengenai interaksi sosial yang
mengarah pada resiprositas ini tentu tidak dapat dilupakan begitu saja. Dengan begitu giatnya
para petani mengejar maksimalisasi pada panen, interaksi sosial dengan individu-individu
lainnya tetap menjadi hal yang penting. Hal ini jelas terlihat misalnya dari bagaimana para
petani berbagi informasi satu dengan yang lain mengenai hal-hal terkait sawah mereka.
Informasi mengenai pestisida mana yang sebaiknya digunakan, sharing pengetahuan di antara
sesama mereka mengenai jenis-jenis hama dan penyakit serta penanggulangannya, dan
berbagai interaksi lainnya yang bisa saja terjadi di berbagai tempat dan kegiatan menunjukkan
bahwa keuntungan maksimal individu memang menjadi tujuan utama, namun hubungan-
hubungan sosial tetap memegang posisi yang penting dalam kegiatan ekonomi mereka ini.
Perkara resiprositas lain juga terlihat dalam hubungan yang terjalin antara pedagang
dan pembeli di kios-kios pestisida. Dari sisi penjual, hubungan sosial yang mereka coba jaga
dengan para pelanggannya terlihat dari segi kemudahan pembayaran yang mereka berikan.
Sistem ambil dulu bayar nanti, atau ‘hutang’ dalam bahasa sederhananya diberikan oleh para
penjual kepada para pelanggannya. Menurut beberapa informan, pembeli yang diperbolehkan
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
mengutang adalah mereka yang memang sudah sering berbelanja di kios tersebut. Dari sisi
pembeli, hubungan sosial yang berusaha dijaga terlihat dari kebanyakan pembeli yang
berbelanja ‘obat’ di lebih dari satu kios. Hal ini nampaknya adalah untuk tetap menjaga
hubungan antara pembeli dengan penjual di setiap kios yang memang saling kenal.
Hubungan-hubungan sosial seperti itulah yang nampaknya tidak dapat dilepaskan dari
aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh para petani di Nunuk. Hal ini menunjukkan bahwa
para petani di Nunuk tidak pernah meninggalkan hubungan-hubungan sosial dalam aktivitas
ekonomi mereka. Lebih jauh lagi, hal-hal tersebut seolah menegaskan bahwa para petani
menggunakan prinsip resiprositas ini sebagai sarana, sebuah dasar yang mereka wujudkan,
untuk mencapai maksimalisasi dari aktivitas mereka di sawah: panen. Kondisi ini
menggambarkan apa yang ditegaskan oleh Polanyi (1944) dalam The Great Transformation
(1944) bahwa ekonomi tidak bisa bergerak sendiri atau dipisahkan dari masyarakat.
Firth (1961:41) dalam bukunya Elements of Social Organization menyatakan, “a human
community is a body of people sharing in common activities and bound by multiple
relationships in such a way that the aims of any individual can be achieved only by
participation in action with others”. Paparan tersebut menjelaskan aktivitas ekonomi yang
terjadi di Nunuk. Resiprositas merupakan hal yang kemudian menjadi landasan untuk para
petani mewujudkan simplified world mereka, bahwa resiprositas ini mereka gunakan untuk
mencapai keuntungan yang maksimal dari aktivitas mereka di sawah sesuai dengan
pemahaman mereka bahwa “panen harus banyak” tadi. Dalam konteks petani di Nunuk,
hubungan sosial yang mereka bangun dan jaga sedemikian rupa tidak dapat dipungkiri
merupakan salah satu jalan demi tetap tercapainya keuntungan yang maksimal.
Hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka connectionism sebagai berikut. Resiprositas—
yang dalam hal ini saya lihat sebagai suatu bentuk kesamaan yang berada pada lapisan yang
sama dari struktur intrapersonal setiap individu—berhubungan dengan berbagai kejadian lain
di luar dirinya sebagai bentuk struktur ekstrapersonal. Hubungan ini terjadi sedemikian rupa
sehingga memantapkan pemahaman para petani ini mengenai “dunia” yang seharusnya—
simplified world mereka. Namun demikian, sebagaimana juga yang terjadi dalam proses
pemilihan dan penggunaan pestisida yang akan mereka gunakan, dapat dilihat juga dalam
proses ini bahwa struktur intrapersonal individulah yang memegang peranan signifikan dalam
interaksi yang terjadi.
Sebesar dan seberagam apapun pengaruh yang diberikan oleh faktor-faktor lain di luar
individu, struktur intrapersonal yang pada akhirnya akan lebih mendominasi para individu ini
dalam mengambil keputusan hingga pada sampai tahap mewujudkannya dalam bentuk
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
tindakan atau perilaku. Jika pada pembahasan sebelumnya mengenai pemilihan dan
penggunaan ‘obat’ hal ini terlihat dari keputusan akhir terkait proses-proses tersebut yang
tetap berada pada setiap individu, dalam perkara simplified world ini terlihat dari bagaimana
resiprositas dalam bentuk hubungan-hubungan sosial pun dimanfaatkan sedemikian rupa demi
tetap tercapainya keuntungan mereka yang maksimal sebagai skema yang mapan dalam
struktur intrapersonal mereka. Kesamaan-kesamaan, atau thematicity, yang berada pada
skema para petani ini dalam memahami the way rice fields are supposed to be menunjukkan
bahwa ada dimensi lain pada praktik penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani ini.
Kesimpulan Penggambaran yang saya lakukan terhadap pemahaman mengenai bagaimana “semestinya
dunia” sifatnya spesifik pada para petani di Desa Nunuk ini. Struktur intrapersonal—skema
kognitif—yang mewujudkan simplified world ini sangat partikular pada setiap kelompok-
kelompok masyarakat. Dalam tulisan yang saya sajikan sebagai hasil penelitian dan analisis
terakhir ini, tentu saja keseluruhan hal yang saya maksudkan dan gambarkan adalah mengenai
para petani di Desa Nunuk, Indramayu ini. Namun demkian, saya tidak sedang
menyampaikan gagasan bahwa hal-hal seperti ini tidak mungkin terjadi di daerah-daerah atau
pada kelompok masyarakat lainnya.
Hal serupa mungkin saja terjadi pada kelompok masyarakat petani di desa-desa
lainnya yang memiliki karakteristik serupa dengan petani di Desa Nunuk. Bahkan, bukan
tidak mungkin sebagian besar petani saat ini berada dalam simplified world serupa terkait
praktik penggunaan pestisida di sawahnya. Namun demikian, variasi dan perubahan pasti
akan selalu terjadi di dalamnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Strauss dan Quinn
(1997:50): “While often similar from person to person, context to context, and one period of
time to another, they can vary and change”. Oleh karena itu, ada benarnya apa yang pernah
dikatakan oleh Wade Davis, seorang antropolog, bahwa “The world in which you were born is
just one model of reality.” Saya percaya bahwa begitu banyak realita berbeda dalam setiap
dunia—setiap masyarakat—di mana tidak ada satupun di antaranya yang sama persis dan
karenanya juga tidak bisa dianggap sebagai yang lebih atau yang kurang.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014
Referensi
Buku
Firth, Raymond. (1946). Malay Fishermen: Their Peasant Economy. London: Routledge. Firth, Raymond. (1961). Elements of Social Organization. Boston: Beacon Press. Holland, Dorothy dan Naomi Quinn. (1987). Cultural Models in Language and Thought.
USA: Cambridge Press University. Ortner, Sherry B. (2006). Culture, Power, and the Acting Subject. Durham dan London:
Duke University Press. Polanyi, Karl. (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of
Our Time. New York: Rinehart & Co. Polanyi, Karl. (1957). Trade and Market in the Early Empires: Economies in History and
Theory. New York: Free Press. Strauss, Claudia dan Naomi Quinn. (1997). A Cognitive Theory of Cultural Meaning. USA:
Cambridge University Press. Winarto, Yunita T. (2004). Seeds of Knowledge: The Beginning of Integrated Pest
Management in Java. USA: Yale University Southeast Asia Studies.
Bab dalam Buku Borofsky, Robert. (1994). Introduction. Dalam Robert Borofsky, Assessing Cultural
Anthropology. New York: McGraw-Hill. Keller, Charles M. dan Janet D. Keller. (1993). Dalam S. Chaiklin dan J. Lave (peny.),
Understanding Practice: Perspectives on Activity and Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Millar, David. (1994). Dalam Ian Scoones dan John Thompson, Beyond Farmer First. London: Intermediate Technology Publications.
Jurnal
Ahearn, Laura M. (2001). Language and Agency. Annual Reviews Anthropology, 30, 109-137.
Choesin, Ezra M. (2002). Connectionism: An Alternative in Understanding the Dynamics of Local Knowledge in Globalization. Antropologi Indonesia, 26(69), 56-64.
Lyon, Fergus. (1996). How Farmers Research and Learn: The Case of Arable Farmers of East Anglia, UK. Agriculture and Human Values-Fall 1996, 13(4), 39-47.
Ortner, Sherry B. (1984). Theory in Anthropology since the Sixties. Comparative Studies in Society and History, 26(1), 126-166.
Rosch, Eleanor. (1975). Cognitive Representation of Semantic Categories. Journal of Experimental Psychology, 104(3), 192-233.
Sewell, William H. (1992). A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transfomation. The American Journal of Sociology, 988(1), 1-29.
Winarto, Yunita T. (1998). ’Hama dan Musuh Alami’, ‘Obat dan Racun’: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama. Antropologi Indonesia, 22(55), 53–68.
Winarto, Yunita T. (2006). Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya. Antropologi Indonesia, 30(2),.
Skripsi
Baskoro, Wahyu R. (2013). Menarik Keuntungan dalam Keterpurukan: Strategi Perusahaan Pestisida dalam Memanfaatkan Ledakan Hama Wereng Batang Coklat Tahun 2009-2011. Skripsi, Program Sarjana Antropologi Sosial, Universitas Indonesia, Depok.
Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014