Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

21
Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema Kognitif Petani dalam Penggunaan Pestisida Devita dan Ezra M. Choesin Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penggunaan pestisida oleh para petani di Desa Nunuk, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat untuk tanaman di sawah mereka bukanlah sebuah hal yang baru. Hal ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan berbagai program pengendalian hama terpadu yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia ini nampaknya tidak membawa banyak perubahan dalam praktik penggunaan pestisida oleh para petani ini. Hal ini bukannya tanpa alasan. Ada kesamaan dalam skema para petani yang melandasi terus dilakukannya praktik ini, skem kognitif yang membuat para petani berada pada kerangka dunia yang disederhanakan, yaitu mengenai bagaimana mereka sendiri membayangkan dunia ini semestinya—terutama terkait padi dan sawah. Ini adalah sebuah proses kognitif, yang kemudian menghasilkan variasi dalam perilaku petani memilih dan menggunakan pestisida. Penelitian yang melewati tidak kurang dari dua kali masa panen ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan connectionism sebagai kerangka analisisnya. Melalui observasi dan wawancara mendalam kepada para informan, ditemui bahwa ekonomi menjadi alasan utama mereka dalam keberlangsungan praktik penggunaan pestisida ini. Pesticides in a Simplified World: Farmers’ Cognitive Scheme in Pesticide Use Abstract Pesticide use by farmers in Nunuk Village, Indramayu District, West Java is not a new thing. This has been going on for a long time, and even integrated pest management programs with the objective of diminishing chemical pesticides use among farmers seem to have no significant influence in changing farmers’ pesticide practices. This is not without reason. There is a similarity among their schemas which makes this practice continue, a cognitive scheme which makes the farmers exist in such a simplified world, that is about how they imagine what this world should be—mainly about paddy and their rice fields. This, including the various practices in selecting and using pesticides, is a cognitive process. This research which was undertaken through not less than two harvests season uses qualitative methods with connectionism as the analytical framework. Through observations and in-depth-interviews with the informants, it is obvious that economy has been farmers’ main reason for the continuity of these practices, Keywords: cognitive; connectionism; farmer; pesticide; simplified world Pendahuluan Selalu ada pertentangan yang terjadi antara ahli-ahli ilmu sosial budaya, termasuk antropologi, mengenai kebudayaan manusia. Strauss dan Quinn melihat bahwa antropolog- antropolog seperti Tylor (1958), Geertz (1973), dan Goodenough (1981) memiliki keyakinan bahwa kebudayaan bersifat shared, atau bahwa kebudayaan ini dipahami secara kurang lebih sama oleh setiap individu yang berada dalam kelompok masyarakat yang sama (1997). Di sisi Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Transcript of Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Page 1: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema Kognitif Petani dalam Penggunaan Pestisida

Devita dan Ezra M. Choesin

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Penggunaan pestisida oleh para petani di Desa Nunuk, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat untuk tanaman di sawah mereka bukanlah sebuah hal yang baru. Hal ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan berbagai program pengendalian hama terpadu yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia ini nampaknya tidak membawa banyak perubahan dalam praktik penggunaan pestisida oleh para petani ini. Hal ini bukannya tanpa alasan. Ada kesamaan dalam skema para petani yang melandasi terus dilakukannya praktik ini, skem kognitif yang membuat para petani berada pada kerangka dunia yang disederhanakan, yaitu mengenai bagaimana mereka sendiri membayangkan dunia ini semestinya—terutama terkait padi dan sawah. Ini adalah sebuah proses kognitif, yang kemudian menghasilkan variasi dalam perilaku petani memilih dan menggunakan pestisida. Penelitian yang melewati tidak kurang dari dua kali masa panen ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan connectionism sebagai kerangka analisisnya. Melalui observasi dan wawancara mendalam kepada para informan, ditemui bahwa ekonomi menjadi alasan utama mereka dalam keberlangsungan praktik penggunaan pestisida ini.

Pesticides in a Simplified World: Farmers’ Cognitive Scheme in Pesticide Use

Abstract

Pesticide use by farmers in Nunuk Village, Indramayu District, West Java is not a new thing. This has been going on for a long time, and even integrated pest management programs with the objective of diminishing chemical pesticides use among farmers seem to have no significant influence in changing farmers’ pesticide practices. This is not without reason. There is a similarity among their schemas which makes this practice continue, a cognitive scheme which makes the farmers exist in such a simplified world, that is about how they imagine what this world should be—mainly about paddy and their rice fields. This, including the various practices in selecting and using pesticides, is a cognitive process. This research which was undertaken through not less than two harvests season uses qualitative methods with connectionism as the analytical framework. Through observations and in-depth-interviews with the informants, it is obvious that economy has been farmers’ main reason for the continuity of these practices, Keywords: cognitive; connectionism; farmer; pesticide; simplified world Pendahuluan Selalu ada pertentangan yang terjadi antara ahli-ahli ilmu sosial budaya, termasuk

antropologi, mengenai kebudayaan manusia. Strauss dan Quinn melihat bahwa antropolog-

antropolog seperti Tylor (1958), Geertz (1973), dan Goodenough (1981) memiliki keyakinan

bahwa kebudayaan bersifat shared, atau bahwa kebudayaan ini dipahami secara kurang lebih

sama oleh setiap individu yang berada dalam kelompok masyarakat yang sama (1997). Di sisi

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 2: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

lain, ide yang dikemukakan oleh para ahli seperti Ortner meyakini bahwa kebudayaan itu

ditemukan di dalam ‘practice or action or praxis’ (1984:130) dalam kehidupan manusia

sehari-hari. Connectionism (Strauss dan Quinn, 1997) muncul sebagai pendekatan yang

menjembatani keduanya. Pendekatan ini percaya kebudayaan dihasilkan dari interaksi terus

menerus antara skema kognitif yang dimiliki oleh setiap individu manusia dengan unsur-unsur

rangsangan di luar dirinya, dalam hal ini termasuk perilaku dan kegiatan sehari-hari mereka.

Tulisan ini berupaya mengkaji penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani di

Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat menggunakan pendekatan

connectionist tersebut. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dalam memahami praktik yang

dilakukan oleh setiap individu petani ini secara menyeluruh, kita tidak bisa melihatnya secara

terpisah antara perilaku sebagai hal yang bisa diamati; dengan skema kognitif individu yang

tidak bisa dilihat secara langsung. Interaksi di antara keduanya terus menerus terjadi sehingga

perhatian secara menyeluruh juga harus dilakukan, baik terhadap perilaku maupun terhadap

skema individu-individu pelakunya. Kita tidak bisa hanya memperhatikan variasi perilaku

para petani dalam penggunaan pestisida saja, tetapi juga harus memahami bahwa skema-

skema para pelaku yang mewujudkan perilaku mereka ini juga bervariasi. Namun demikian,

ada unsur-unsur yang sama di antara skema-skema yang bervariasi ini juga menjadi satu hal

penting yang tidak bisa diabaikan keberadaannya.

Connectionism menjadi kerangka utama yang digunakan di dalam skripsi ini.

Berusaha melihat kehidupan petani—khususnya dalam penggunaan pestisida—dari berbagai

dimensi, connectionism nampaknya menjadi pendekatan yang komprehensif. Dalam upaya

memahami variasi yang terjadi dalam praktik penggunaan pestisida oleh para petani sebagai

bagian dari keyakinan yang sudah dijelaskan di awal bahwa kebudayaan ditemukan dalam

praktik dan perilaku, pendekatan ini membantu memperlihatkan proses yang terjadi dalam

pembentukan skema pengetahuan individu hingga pada akhirnya menghasilkan sebuah

tindakan. Skema kognitif (struktur intrapersonal) di dalam diri individu secara terus menerus

dipengaruhi oleh berbagai rangsangan dari luar (struktur ekstrapersonal) sehingga proses-

proses pembentukan skema pengetahuan pun terjadi dan memunculkan variasi.

Dalam menjelaskan munculnya variasi perilaku individu, Strauss dan Quinn

(1997:101) mengemukakan bahwa “... different individuals can share the same schemas but

not necessarily the same motivation to enact them.” Meskipun skema pengetahuan yang

dimiliki oleh setiap individu bisa saja memiliki kesamaan, namun demikian tindakan akhir

yang dihasilkan bisa sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh motivasi yang mengaktifkan

skema pengetahuan tersebut. Di samping model-model kognitif, perhatian pada individu-

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 3: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

individu pelaku dalam memahami sebuah fenomena juga menjadi penting (Winarto,

2006:176). Dalam hal ini adalah individu para petani yang tidak hanya sebagai subjek dengan

skema pengetahuan tertentu dan yang bertindak sebagai penerima rangsangan; namun juga

sebagai individu-individu yang mampu secara aktif melakukan percobaan dan pengamatan

terhadap lingkungan sekitar dalam kesehariannya. Percobaan dan pengamatan ini dapat

menjadi sumber pengetahuan lain bagi petani (lihat Winarto 2004), dan juga memunculkan

modifikasi terhadap ide dan teknologi yang ada di sekitarnya: “... no matter the form or

source of an idea, farmers, always modify ideas and technologies” (Millar, 1994:161). Hal ini

kemudian tidak berhenti begitu saja. Lyon (1996:42) mengatakan bahwa evaluasi dilakukan

oleh para petani dalam suatu proses pembelajaran melalui tindakan ini: “... in learning during

action, farmers evaluate their techniques ....” Evaluasi yang dilakukan oleh para petani secara

terus menerus inilah yang juga pada akhirnya menyebabkan variasi pada perilaku mereka:

Penelusuran mengenai kesamaan-kesamaan ini bisa jadi sebuah kajian yang

berlawanan arah dengan kajian-kajian mengenai pengetahuan petani akhir-akhir ini yang

kebanyakan justru mencoba melihat transmisi dan variasi-variasi yang terjadi. Sebut saja

penelitian yang dilakukan oleh Apsari (2013)—yang juga dilakukan di Indramayu—mengenai

reinterpretasi pengetahuan petani mengenai cuaca dan kosmologi yang membahas mengenai

variasi pengetahuan. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (2012)

mengenai introduksi SLPHT di Klaten pasca ledakan hama yang mencoba menelusuri adanya

perubahan praktik dalam penggunaan pestisida. Kajian senada juga dilakukan oleh Rahayu

(2010) mengenai variasi pengetahuan dan praktik petani di Karang Mulya, Indramayu, pasca

introduksi Sekolah Lapang Iklim (SLI). Masih ada beberapa penelitian terdahulu lainnya yang

kebanyakan juga membahas perihal variasi, interpretasi, dan transmisi pengetahuan.

Sebagaimana Strauss dan Quinn (1997:51-52) menggambarkan skema kognisi

manusia dengan menggunakan metafor syaraf yang berlapis-lapis, saya di sini berusaha untuk

melihat ke dalam terletaknya kesamaan antar individu itu. Skema intrapersonal individu yang

berlapis-lapis ini memang memunculkan variasi berkaitan dengan rangsangan-rangsangan

yang diterima (struktur ekstrapersonal) setiap individu. Pada akhirnya, skema pengetahuan

yang ada kemudian akan menjadi semakin mantap saat menerima semakin banyak

rangsangan; skema ini juga dapat menjadi sangat bervariasi atau spesifik (Choesin, 2002:58).

Namun, pada lapisan tertentu, setiap individu seolah memiliki kesamaan yang mendasari

mereka dalam memberikan respon terhadap rangsangan yang mereka terima.

Sweetser (1987) dalam tulisannya The Definition of Lie mencoba memberikan

kategori-kategori untuk menunjukkan suatu ujaran dapat dikatakan sebagai “bohong”.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 4: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Kategori-kategori inilah yang disebutnya sebagai prototype. Prototype adalah contoh—

model—terbaik dari sebuah kategori, “best example of a category” (lihat juga Rosch 1975).

Sesuatu yang sifatnya prototypical inilah yang kemudian bisa didefinisikan sebagai the way

things are supposed to be—atau yang dalam terminologi yang digunakan Sweetser adalah

simplified world. Dengan cara mencari prototype—simplified world—masyarakat mengenai

bohong ini, Sweetser mencoba mencari model terbaik yang bisa merepresentasikan

bagaimana suatu ujaran bisa dikategorikan sebagai lie.

Prototype dikatakan oleh Sweetser tidak lagi semata hanya bisa digunakan untuk

menjelaskan benda atau objek, di mana prototype ini adalah sebagai model terbaik dari

berbagai macam objek/benda terkait yang lebih kompleks. Namun, Sweetser menyatakan

bahwa prototype ini juga bisa digunakan untuk memahami hal-hal yang sifatnya lebih abstrak

seperti ide/gagasan dan bahasa. Argumen Sweetser inilah yang saya gunakan untuk mencoba

memahami secara menyeluruh ide mengenai penggunaan pestisida oleh para petani, dalam hal

ini termasuk bagaimana mereka memahami sendiri kegiatan mereka di sawah dalam kerangka

yang lebih sederhana (simplified world). Kesamaan dalam struktur intrapersonal individu,

yang kemudian mempengaruhi cara setiap individu ini membuat representasi tentang the way

rice fields are supposed to be, ini saya coba gambarkan dari hasil temuan saya di lapangan.

Pembahasan mengenai agensi yang dimiliki petani sebelumnya sudah pernah

dilakukan oleh Ansori (2009). Penelitian yang juga dilakukan di Kabupaten Indramayu

tersebut mengkaji agensi dalam hal proses pemilihan dan konservasi benih padi yang

dilakukan oleh petani. Jika penelitian tersebut membahas keberadaan agensi dalam diri petani

yang sebenarnya tetap memiliki intensi untuk menjaga biodiversitas—yang dalam pandangan

saya adalah untuk kepentingan yang lebih menyeluruh—penelitian ini lebih kepada melihat

agensi dalam diri petani yang digunakannya untuk kepentingan (sawahnya) sendiri. Kajian

mengenai pestisida dengan menggunakan pendekatan agensi juga baru saja diselesaikan oleh

Baskoro (2013). Dalam skripsinya yang berjudul “Menarik Keuntungan dalam Keterpurukan:

Strategi Perusahaan Pestisida dalam Memanfaatkan Ledakan Hama Wereng Batang Coklat

Tahun 2009-2011”, ia menggunakan pendekatan agensi untuk menjabarkan relasi kekuasaan

yang terjadi antara perusahaan pestisida dengan pihak pemerintah dan petani. Penelitian ini

berada dalam ruang lingkup yang lebih mikro. Agensi dan kekuasaan berada pada tiap-tiap

individu petani dan mereka gunakan sendiri dalam pengambilan keputusan atau tindakan

akhir pemilihan dan penggunaan pestisida.

Agensi kemudian muncul sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi

terwujudnya tindakan individu. Sewell (1992:21) menyatakan agensi sebagai suatu hal yang

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 5: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

melibatkan kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain. Sementara itu, Karp

(1986:137) dalam Ahearn (2001:113) menyatakan hal senada mengenai agen: “... an agent

refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of ability to bring about

effects and to (re)constitute the world.” Sewell (dalam Ortner, 2006:134) memperjelas posisi

agensi dalam diri individu dengan menyatakan “... so all humans have capacity for agency,

but the specific forms it takes will vary in different times and places.”

Dalam hal bagaimana konsep mengenai agensi ini kemudian bisa juga digunakan

untuk menjelaskan kesamaan yang ada dalam perilaku individu, mengingat bahwa agensi

merupakan pemikiran yang berkembang dari paham-paham anti-esensialis yang selalu

mengemukakan variasi alih-alih kesamaan, Strauss dan Quinn (1997:21) menyatakan

“Ortner’s analysis makes an important contribution in highlighting the role of schemas that

seem to be highly thematized across cultural domains and highly persistent across time in

society ...”. Di sini menjadi jelas bahwa analisis Ortner mengenai agensi turut memberikan

argumen bahwa skema-skema individu memiliki tema yang kurang lebih sama dalam

kelompok-kelompok tertentu yang mampu bertahan dalam rentang waktu tertentu pula di

dalam masyarakat. Agensi kemudian menjadi konsep yang aplikasinya tidak lagi terbatas

pada analisis mengenai variasi individu, melainkan juga bisa digunakan dalam menelusuri

tema-tema yang ada dan bertahan dalam skema-skema individu pada kelompok tertentu.

Agensi sebagai kemampuan yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu manusia

kemudian tidak dapat semata-mata dilihat sebagai suatu hal yang aktif ketika berhadapan

dengan individu-individu lain di luar dirinya sendiri dalam rangka mempengaruhi (dan atau

mengubah) individu-individu lain ini. Lebih dari itu, agensi ini juga sangat mungkin aktif

dalam hubungan individu dengan dirinya sendiri ketika ia berusaha untuk mempertahankan

struktur atau pemahaman tertentu di dalam dirinya. Karena itulah kemudian konsep agensi ini

menjadi sangat mungkin untuk diaplikasikan dalam menemukan kesamaan-kesamaan

pemahaman pada skema individu. Bahwa ketika setiap individu mengaktifkan agensinya

untuk mempertahankan struktur/pemahaman tertentu dalam skemanya, variasi yang muncul

dalam perilaku mereka sangat mungkin berasal dari kesamaan tertentu dalam skema mereka.

Thematicity adalah salah satu gagasan yang mengemukakan bahwa dari sekian

banyaknya skema yang dimiliki oleh setiap individu, termasuk dari kelompok masyarakat

yang berasal dari domain-domain budaya berbeda, terdapat suatu kesamaan tema yang berasal

dari pengalaman yang mereka terima sejak awal atau pertama kali mereka terlibat dalam

situasi tertentu. Tema-tema ini mungkin saja tidak mengalami perubahan yang signifikan

dalam perkembangannya meskipun rangsangan-rangsangan baru terus mereka terima dalam

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 6: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

kehidupannya sehari-hari—sebagaimana yang dijelaskan dalam kerangka connectionism—

sehingga menyebabkan posisinya dalam skema individu juga tidak berubah dari waktu ke

waktu (Strauss dan Quinn, 1997:18-20). Tema-tema inilah yang saya coba telusuri dari para

petani di Desa Nunuk yang masih menggunakan pestisida untuk sawah mereka meskipun

berbagai pengetahuan baru, seperti misalnya mengenai bahaya penggunaan pestisida, telah

mereka terima dalam keseharian mereka.

Penelitian ini melewati tidak kurang dari dua musim. Dapat dikatakan saya telah

melewati semua masa di desa ini: masa tandur1 dan panen di musim rendeng2; di musim

sadon3, masa bunting4 ketika padi berada pada tahapan kritis menjelang panen—ketika

penyemprotan pestisida oleh petani sedang banyak-banyaknya demi mencegah gagal panen;

bahkan masa rehat pasca panen musim sadon ketika tiada hari tanpa pesta hajatan di desa.

Berada di masa-masa yang penting dan sibuk bagi petani ini memungkinkan saya untuk

terlibat lebih banyak sekaligus memperoleh lebih banyak informasi dan pengetahuan dari

keterlibatan saya itu. Kehadiran dan keterlibatan inilah yang kemudian membuat saya mampu

memahami petani lebih jauh, termasuk dari analisis terhadap ujaran dan perilaku mereka,

melalui refleksi yang saya lakukan dalam setiap kegiatan saya dengan para petani ini.

Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan metode pengamatan terlibat (participant

observation) untuk memperoleh data dan informasi. Borofsky (1994:15) mengutarakan bahwa

“Anthropologists not only observe the people being studied (with some effort of objectivity)

but they also participate, with the people, in various activities (both to make themselves less

aloof and to gain an experiential understanding of the activities described)”. Saya tidak hanya

datang, melakukan wawancara, dan pergi. Dalam beberapa kesempatan pencarian data, saya

ikut masuk ke dalam setting kegiatan para informan seperti sawah dan kios untuk mengamati

secara langsung dalam situasi yang sama dengan informan. Metode ini membantu saya

memahami subjek penelitian melalui kegiatan sehari-harinya, dan mempermudah saya untuk

menganalisis hal-hal yang belum tentu dapat diperoleh melalui wawancara semata.

Petani Butuh Bukti: Variasi dalam Perilaku Pemilihan dan Penggunaan Pestisida Mungkin benar apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang bahwa “pengalaman adalah guru

terbaik”. Ungkapan inilah yang sepertinya menjadi salah satu pedoman dasar yang dipegang

oleh para petani di Desa Nunuk dalam bersawah: bahwa tidak ada yang mampu mengajar 1 tanam 2 Berlangsung sekitar November-April, disebut juga musim basah karena pada musim ini banyak hujan. 3 Berlangsung sekitar Mei-Agustus, disebut juga musim kering karena pada musim ini hujan jarang turun. 4 Keadaan ketika bulir-bulir padi sedang akan mengisi.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 7: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

lebih baik daripada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Setidaknya hal inilah yang saya

temui selama melakukan kegiatan penelitian. “Petani itu butuh bukti,” demikian ungkapan

yang hampir selalu keluar dari mulut para informan.

Bahwa pengalaman para pelaku yang menyebabkan pengetahuan selalu mengalami

penyempurnaan, pengayaan, dan perbaikan dinyatakan oleh Keller dan Keller (1993:127)

dalam tulisan mereka Thinking and Acting with Iron. Pengamatan sendiri dinyatakan oleh

Winarto (1998:3) sebagai mekanisme utama petani dalam memperoleh pengetahuannya

terkait dengan penilaian atas hasil strategi budidaya padi. Penggunaan ‘obat’ pengendali hama

boleh jadi adalah salah satu strateginya. Karena itulah menjadi penting bagi para petani untuk

selalu belajar dari pengalaman mereka dalam penggunaan produk-produk ‘obat’ tertentu,

melalui pengamatan yang mereka lakukan pada setiap musimnya untuk kemudian

menjadikannya sebagai sebuah pembelajaran untuk musim tanam berikutnya.

Keberadaan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses seleksi petani terhadap

‘obat’ yang akan digunakannya tidak dapat diabaikan atau dianggap remeh peranannya.

Faktor-faktor ini dalam kerangka Strauss dan Quinn (1997:49) dilihat sebagai elemen-elemen

yang bekerja sama untuk memproses informasi perihal seleksi ‘obat’ yang dilakukan oleh

petani. Kios menjadi salah satu komponen penting yang tidak dapat dilupakan dalam

pembahasan mengenai ‘obat’. Kios sendiri merupakan sebutan yang digunakan oleh para

petani, dan masyarakat Nunuk pada umumnya, yang merujuk pada tempat yang menjual

berbagai keperluan untuk bertani mulai dari benih dan pupuk hingga bermacam-macam

‘obat’. Kios kemudian menjadi sebuah tempat yang selalu didatangi secara rutin oleh para

petani, terutama pada masa-masa ketika sawah sedang basah. Para petani datang dari awal

masa tanam untuk membeli benih dan pupuk, dan kemudian secara rutin datang hingga pada

masa-masa akhir menjelang panen untuk membeli berbagai jenis ‘obat’.

Di Nunuk sendiri terdapat tiga kios, yaitu kios milik Ibu Ica, Kios Mekar Jaya Tani

milik Pak Wasmin, dan Kios ‘Aris Tani’ milik Haji Rangun. Dari ketiganya, cukup jelas

bahwa Kios Aris Tani milik H. Rangun-lah yang paling terkenal di Nunuk. Kios H. Rangun

nampaknya menjadi prioritas atau pilihan utama para petani di Nunuk. Keberadaannya

sebagai kios tertua di Nunuk dengan usia yang hampir mencapai 30 tahun bisa jadi adalah

salah satu faktor pendukungnya. Dengan usia selama itu, pelanggan Aris Tani tentu saja bisa

jauh melampaui pelanggan Mekar Jaya Tani yang baru berdiri pada akhir tahun 2012 lalu.

Fleksibilitas sistem pembayaran yang dikenakan pada para pelanggan menjadi salah

satu faktor yang menjadikan kios tertentu sebagai kios favorit para petani. Selain perihal

fleksibilitas dalam sistem pembayaran, beberapa faktor lain juga menjadi alasan kios tertentu

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 8: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

menjadi pilihan para petani. Harga adalah salah satunya. Harga produk yang lebih murah di

kios tertentu dibandingkan dengan kios lainnya menyebabkan pembeli menjadikan kios

tersebut sebagai pilihan utamanya. Meskipun harga yang dipasarkan antar kios biasanya tidak

terpaut jauh, petani cenderung memilih kios yang menjual produk dengan harga lebih murah.

Selain itu, lokasi juga menjadi pertimbangan lain yang menyebabkan petani memilih kios

tertentu untuk berbelanja. Meskipun harga nampaknya memiliki peran yang signifikan untuk

membuat petani memilih kios tertentu, lokasi juga menjadi pertimbangan kios tertentu dipilih

ketika harga produk antar kios relatif sama. Petani cenderung memilih kios yang letaknya

dekat dengan rumah atau sawahnya

Hubungan-hubungan yang terbangun di kios antara penjual dan pembeli tidak terbatas

pada transaksi-transaksi ekonomi dalam hal jual-beli ‘obat’ saja. Hubungan-hubungan ini

berkembang ke arah-arah yang lebih kompleks. Penjual memiliki peran yang cukup signifikan

dalam memberikan pengaruh kepada para pembeli untuk memilih produk ‘obat’ tertentu. Bagi

para petani pemula, penjual di kios boleh jadi merupakan pelaku yang memainkan peranan

penting dalam memberikan rekomendasi mengenai produk ‘obat’ yang harus digunakannya.

Para informan mengaku, bahwa ketika pertama kali mereka turun ke sawah, penjual di kios

adalah orang yang pasti mereka minta rekomendasinya sebelum memutuskan untuk membeli

dan menggunakan ‘obat’ tertentu, selain juga petani-petani lain yang sudah turun ke sawah

terlebih dahulu. Pembeli yang datang ke kios untuk menanyakan rekomendasi tertentu

biasanya akan cenderung percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh penjual. Penjual

dianggap sebagai pihak yang lebih tahu mengenai produk-produk yang dijualnya. Bahkan,

perusahaan sendiri mengakui peranan penting kios dalam mengubah keputusan petani untuk

membeli produk pestisida (lihat Baskoro 2013).

Perusahaan produsen ‘obat’ menempati posisi yang juga cukup krusial dalam hal

mempengaruhi proses seleksi produk ‘obat’ oleh petani. Berbagai cara yang ditempuh

perusahaan dalam mempromosikan produk-produknya seringkali menjadi daya tarik tersendiri

bagi para petani untuk membeli produk dari perusahaan tertentu. Oleh karena itu, metode

promosi kemudian menjadi sebuah hal yang patut diberikan perhatian lebih oleh perusahaan-

perusahaan ‘kecil’ dan ‘tidak terkenal’ ini, agar petani terpengaruh untuk membeli dan

menggunakan produk mereka. Baskoro (2013:9) mengatakan, “Untuk menciptakan loyalitas

dari pemerintah, kios, dan petani, perusahaan pestisida banyak memberikan hadiah-hadiah

souvenir perusahaan maupun insentif-insentif lain.” Tampaknya para petani ini tidak sadar

bahwa yang mereka beli adalah racun, mereka malah jadi senang ‘diracun’.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 9: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Hubungan antara kios dan perusahaan tidak dapat diabaikan di sini. Sudah menjadi

rahasia umum bahwa kios-lah yang memperoleh keuntungan paling besar dari perusahaan

apabila berhasil menjual produk-produknya. Keuntungan yang diperoleh bukan semata-mata

berupa laba penjualan, melainkan juga terdapat bonus-bonus tambahan lain jika kios mampu

menjual produknya dengan target tertentu. Hal ini senada dengan yang dikatakan Baskoro

(2013:113) mengenai sistem rewards yang diberikan oleh perusahaan pestisida kepada kios:

“Kios juga turut mendapatkan kompensasi apabila berhasil menjual produk dalam skala yang

sudah ditentukan pihak perusahaan. Bagi kios yang menjual pestisida, kompensasi dari

perusahaan tidak diberikan dalam bentuk undian, tetapi dengan sistem rewards.”

Hal-hal seperti inilah yang boleh jadi semakin memperkuat hubungan yang terjadi

antara perusahaan dengan kios-kios ‘obat’, yang kemudian secara lebih luas menjadi faktor

yang mampu mempengaruhi proses seleksi produk-produk ‘obat’ yang dilakukan oleh petani.

Bahwa petani percaya kepada penjual, dan penjual berusaha menjual produk ‘obat’

perusahaan tertentu yang lebih menjanjikan dari segi pemberian bonus, menjadi faktor-faktor

yang barangkali tidak disadari turut mempengaruhi proses seleksi yang dilakukan.

Interaksi yang terjadi antara petani yang satu dengan petani lainnya tidak dapat

dianggap kecil peranannya. Interaksi melalui percakapan-percakapan yang terjadi di antara

petani ini sesungguhnya mampu memberikan pengaruh pada petani mengenai banyak hal

terkait kegiatan bersawah mereka, tidak terkecuali perihal ‘obat’ mana yang akan mereka

gunakan. Hal ini menjelaskan secara konkret mengenai yang disampaikan Winarto (2004:94)

bahwa percakapan (di antara petani) memiliki sumbangan yang cukup signifikan dalam

mengomunikasikan dan membuat pengetahuan “berputar” sehingga kemudian percakapan

juga lah yang membuat temuan-temuan petani menjadi pengetahuan yang dimiliki secara

bersama antara orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Namun demikian, tidak semua petani memiliki kemampuan yang sama untuk

mempengaruhi petani lainnya melalui percakapan-percakapan yang terbangun. “Petani itu

ngga ngerti Mbak, baru mau percaya kalau sudah liat hasil di sawah,” demikian yang

disampaikan Pak Darsono ketika saya bertanya mengenai orang-orang yang bertanya

mengenai ‘obat’ apa yang digunakannya. Informasi-informasi ini memberikan gambaran

bahwa petani-petani yang sukses dalam kegiatan bersawah-lah yang cenderung mampu

memberikan pengaruh kepada petani lainnya, termasuk dalam hal proses seleksi ‘obat’.

Indikator kesuksesan di sini dilihat dari seberapa tahan sawah yang dimiliki oleh petani-petani

tersebut ketika terjadi serangan atau ledakan hama. Keberhasilan dalam panen, dengan kata

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 10: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

lain hasil panen yang baik dalam jumlah besar, juga menjadi indikator kesuksesan seorang

petani yang kemudian mampu menjadikannya salah satu “petani berpengaruh”.

Keberadaan petani-petani berpengaruh ini tidak bisa dilihat sebagai faktor yang berdiri

sendiri. Hal ini karena keberadaan mereka seringkali juga dimanfaatkan oleh perusahaan-

perusahaan dan kios-kios untuk menjadi perantara dalam hal promosi dan penjualan produk-

produk ‘obat’. Perusahaan cenderung mengundang petani-petani yang dianggap memiliki

pengaruh untuk hadir dalam acara-acara pertemuan besar dalam rangka kegiatan promosi

‘obat’. Mereka diharapkan mampu meneruskan informasi yang disampaikan untuk

mempromosikan produk ‘obat’ perusahaan tertentu jika ada petani lain yang meminta

rekomendasi mereka. Mereka jugalah yang kerap diberikan sample gratis oleh perusahaan,

untuk kemudian digunakan di sawahnya dengan harapan ketika hasilnya baik maka petani lain

akan ikut menggunakannya.

Sample ‘obat’ gratis ini kemudian saya ketahui tidak diberikan begitu saja oleh

formulator dari perusahaan-perusahaan pestisida. Sample ‘obat’ ini diberikan secara sengaja

kepada petani-petani yang selain memiliki sawah luas, juga yang sawahnya berada pada posisi

strategis seperti di pinggir jalan raya. Inilah yang dikatakan oleh Mas Hadi dan ayahnya, H.

Slam, sebagai demplot (demonstration plot). Demplot merupakan sebidang sawah yang

”diminta”—atau yang oleh Baskoro (2013) disebut “disponsori”—oleh perusahaan pestisida

tertentu untuk disemprot dengan produk mereka. Biasanya, demplot ini terletak di pinggir

jalan raya yang terlihat secara jelas. Bahkan, keputusan untuk memilih lahan yang akan

dijadikan demplot ini terletak sepenuhnya pada perusahaan (Baskoro, 2013:71). Demplot

dapat dipahami sebagai salah satu cara perusahaan pestisida untuk memberikan bukti

langsung yang dapat dilihat oleh para petani mengenai efektivitas produk yang digunakan

pada lahan tersebut. Sebagaimana juga dikatakan oleh para informan, kebanyakan petani ingin

melihat bukti nyata terlebih dahulu sebelum menggunakan produk ‘obat’ tertentu. Maka dari

itu demplot menjadi sebuah media yang efektif untuk memberikan apa yang diinginkan oleh

petani: bukti nyata. Jika hasil panen demplot baik, maka kemungkinan digunakannya produk

‘obat’ bersangkutan oleh petani-petani lain akan meningkat (baca juga Baskoro 2013).

Kehadiran faktor-faktor eksternal berupa aktor-aktor lain di luar diri individu petani

tidak bisa dilepaskan dari kemampuan aktor-aktor ini dalam memberikan pengaruh kepada

petani. Dalam hal ini saya melihat mulai terwujudnya agensi yang dimiliki oleh aktor-aktor

ini. Agensi ini nyata ketika kehadiran aktor-aktor tadi menjadi signifikan dalam

mempengaruhi tindakan individu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sewell (dalam

Ortner, 2006:134) bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki kapasitas agensi walaupun

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 11: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

perbedaan waktu dan tempat akan menjadikannya sangat beragam. Menjadi jelas kemudian

bahwa setiap aktor tadi memiliki agensinya masing-masing dalam bentuk yang sangat

spesifik. Masing-masing memiliki kemampuan tersendiri untuk memberikan pengaruh kepada

para petani: penjual dengan pengetahuan dan kepercayaan yang dilegitimasi oleh para petani,

perusahaan dengan pembacaannya mengenai apa yang menarik petani, serta petani-petani lain

dengan kesuksesannya yang berpengaruh.

Pemilihan ‘obat’ menjadi inti dari keberadaan faktor-faktor eksternal yang telah

dibahas sebelumnya. Pada proses inilah pengaruh dari faktor-faktor tadi akan terlihat secara

nyata. Di sinilah apa yang kemudian disampaikan Choesin (2002:58) dalam tulisannya

mengenai Connectionism terjadi, “... dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima dan

kemudian diteruskan ke lapisan berikutnya hingga menghasilkan tindakan, cara kerja kognisi

manusia yang kemudian mengarah pada tindakan juga dijelaskan dengan cara demikian.”

Pemilihan ‘obat’ adalah “tindakan” yang dihasilkan tersebut.

Kebanyakan dari informan menyatakan bahwa mereka cenderung menggunakan ‘obat’

lama dalam kegiatan bersawahnya. ‘Lama’ di sini bukan hanya mengacu pada produk-produk

‘obat’ yang diproduksi lebih dulu dibandingkan dengan yang lain, melainkan juga mengacu

pada produk-produk ‘obat’ yang sudah pernah mereka gunakan sebelumnya. “Tidak mau

coba-coba” adalah jawaban yang seringkali diucapkan oleh para informan ini ketika saya

mengajukan pertanyaan mengenai alasan mereka memilih ‘obat’ lama.

Semua informan menyatakan bahwa ‘obat’ lama tetap menjadi prioritas mereka ketika

memilih ‘obat’ tertentu yang akan mereka gunakan di sawah. Sebagaimana yang telah saya

nyatakan sejak awal, pengalaman menjadi faktor penting yang melandasi proses seleksi ‘obat’

yang dilakukan oleh petani. Pengalaman ini tentunya bukan saja hal yang berasal dari luar diri

si petani itu sendiri, melainkan adalah hal-hal yang telah mereka alami sendiri di masa

lampau. Pengalaman-pengalaman para petani dalam menggunakan produk ‘obat’ tertentu di

masa-masa sebelumnya kemudian mereka jadikan acuan untuk kembali memilih ‘obat’ yang

akan mereka gunakan di masa sekarang, juga di masa yang akan datang. Pengalaman yang

baik dengan produk ‘obat’ tertentu memacu petani untuk kembali menggunakannya.

Tindakan petani memilih ‘obat’ lama meskipun telah diberikan berbagai rangsangan

berupa informasi dan pengetahun mengenai produk-produk ‘obat’ lain dengan berbagai

kelebihan, memperlihatkan bahwa sesungguhnya skema individu yang dikatakan Choesin

(2002:58) menjadi semakin mantap saat menerima semakin banyak rangsangan sangat

bervariasi dan spesifik sifatnya. Mungkin saja rangsangan-rangsangan dari luar akan

membentuk skema baru mengenai ‘obat’ mana yang harus digunakan, atau justru semakin

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 12: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

memantapkan skema yang telah ada sebelumnya bahwa yang terbaik tetaplah ‘obat’ lama

yang sudah memberikan bukti di sawah para petani.

Hal ini juga memperjelas apa yang dikatakan Sewell (dalam Ortner, 2006:135) bahwa

setiap manusia pada dasarnya memiliki agensi. Para petani yang tetap memilih ‘obat’ lama

memperlihatkan bahwa kapasitas agensi yang mereka miliki sendirilah yang kemudian

memenangkan pertarungan pengaruh dari kapasitas agensi yang dimiliki oleh aktor-aktor lain

di luar dirinya. Penolakan yang mereka lakukan terhadap berbagai ajakan atau rekomendasi

dari penjual maupun teman-teman mereka sesama petani, juga tidak terpengaruhnya mereka

oleh berbagai cara promosi dan sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan, secara tidak

langsung menunjukkan bahwa pada akhirnya para petani inilah yang memiliki hak dalam

‘mempengaruhi’ keputusannya sendiri.

Sementara itu, berbagai macam alasan dikemukakan oleh mereka yang mengatakan

suka mencoba ‘obat’ baru untuk sawahnya. “Coba-coba” menjadi alasan yang paling banyak

dikemukakan oleh para informan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh salah

seorang informan, Mas Tatang. Ia mengaku bahwa ia sempat menggunakan berbagai macam

‘obat’, berganti-ganti dengan tujuan untuk mencoba. Penggunaan ‘obat’ di kalangan petani ini

juga menurutnya musim-musiman, mengikuti trend. Mas Hadi mengatakan bahwa hal seperti

ini dikenal dengan istilah getok tular; jika sudah ada yang bilang bagus maka akan banyak

petani lain yang menggunakannya. Namun demikian, “coba-coba” ini tidak menjadi faktor

yang berdiri sendiri. Keinginan untuk “coba-coba” seringkali muncul akibat dorongan dari

faktor-faktor lain yang berada di baliknya.

Pada tahap inilah keberadaan faktor-faktor eksternal tadi kembali terlihat. Pada tahap

ini pula, seperti yang secara tidak langsung disampaikan oleh para informan, peranan-peranan

mereka menjadi signifikan dalam pembahasan mengenai pemilihan ‘obat’ yang dilakukan

oleh para petani. Rekomendasi yang diberikan oleh penjual, promosi dan sosialisasi yang

menarik dengan berbagai tawaran hadiah langsung atau undian yang dilakukan oleh

perusahaan, serta saran-saran yang diberikan oleh petani-petani lain menjadi daya tarik

tersendiri bagi mereka yang suka mencoba ‘obat’ baru.

Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan petani dalam memilih ‘obat’ baru dapat

dilihat sebagai salah satu wujud interaksi struktur intrapersonal dan ekstrapersonal yang

dinyatakan oleh Strauss dan Quinn (1997:6-7). Pada tahap inilah interaksi yang cukup

seimbang di antara keduanya terlihat. Struktur ekstrapersonal berupa kondisi di luar diri

individu tadi memang memiliki peranan, namun tetap harus dihadapkan dengan struktur

intrapersonal berupa skema kognitif individu berupa pertimbangan-pertimbangan yang

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 13: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

dilakukan berdasarkan pengalaman sebelum akhirnya sampai pada tindakan akhir, yaitu

memilih dan menggunakan ‘obat’. Kapasitas agensi yang dimiliki oleh aktor-aktor dari luar

individu dengan yang dimiliki oleh individu itu sendiri kemudian juga saling berhadapan:

walaupun kapasitas agensi milik aktor-aktor luar itu terlihat lebih kuat sehingga menyebabkan

para petani memilih ‘obat’ baru sesuai dengan yang mereka harapkan, kapasitas agensi milik

diri para petani tetap tidak bisa dipandang remeh karena pada akhirnya para petani inilah yang

membuat keputusan akhir dengan pertimbangan dan variasi tindakan masing-masing.

Pemahaman masyarakat manusia akan berbagai hal dan fenomena yang terjadi di

sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari aspek kognisi yang melatarbelakangi mereka. Adapun

aspek kognisi ini sendiri kemudian juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan

masyarakat tempat manusia/individu tersebut tinggal (Holland dan Quinn, 1987). Holland dan

Quinn juga mengemukakan bahwa model-model budaya turut mempengaruhi penggunaan

bahasa dan kognisi seorang; tidak hanya untuk memahami dan menginterpretasi, tetapi juga

untuk bertindak. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Winarto (1998:6) bahwa kata

‘obat’ yang digunakan sebagai istilah untuk menyebut pestisida diadopsi secara luas oleh

petani karena telah menjadi bagian dari wacana budaya petani yang dimiliki sebelumnya.

Kata ‘obat’ yang dipahami sebagai penyembuh atau pencegah penyakit pada manusia diterima

dan kemudian membentuk skema pemahaman yang mapan pada petani mengenai fungsi

pestisida sebagai ‘obat’ dan pada akhirnya melandasi persepsi petani. “Terintegrasinya istilah

‘obat’ ini dalam khasanah bahasa dan wacana budaya petani merupakan pertanda dari

kenyataan bahwa pengalaman itu selalu terbentuk oleh cara pelaku merepresentasikan atau

memahami dunia yang melingkupinya melalui skema, model-model, atau ‘dunia yang telah

disederhanakan’ dari bidang-bidang pengalaman manusia.” (Winarto, 1998:58).

Pengetahuan mengenai apa itu pestisida yang selama ini menyandang nama ‘obat’

dalam kehidupan para petani dalam kacamata saya menentukan bagaimana perlakuan para

petani terhadap ‘obat-obat’an itu. Meskipun kata pestisida itu sendiri sepertinya jarang

digunakan oleh para petani, dari penelitian yang telah dilakukan nampak ada persamaan

pemahaman para informan mengenai mana ‘obat’ yang berbahaya dan mana yang tidak.

Bentuk ‘obat’ nampaknya menjadi salah satu tolok ukur mereka. ‘Obat’ bentuk bubuk

dinyatakan beberapa informan sebagai ‘obat’ yang berbahaya dan memiliki efek lebih buruk

bagi manusia dibanding ‘obat’ bentuk lain. ‘Obat’ ini memang masuk ke dalam jenis kontak

yang membunuh hama seketika begitu mengenainya. Dalam hal ini petani nampaknya belajar

melalui pengalamannya, atau meminjam terminologi Winarto (2004): “learning by doing”.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 14: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Pengetahuan tentang pencampuran ‘obat’ sebelum digunakan nampaknya sudah

menjadi pengetahuan umum yang dimiliki oleh kebanyakan petani di Desa Nunuk.

Mencampur ‘obat’ juga seperti sudah menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan dengan

berbagai macam alasan yang melatarbelakangi perilaku ini. Melengkapi kandungan ‘obat’

yang satu dengan ‘obat’ lainnya dalam kegiatan mencampur untuk memperoleh hasil yang

lebih efektif nampaknya menjadi salah satu alasan utama. Namun, sekali lagi, sayangnya hal-

hal seperti ini tidak dilandasi oleh pembenaran ilmiah apapun. Para petani mengaku

melakukannya melalui proses uji coba, yang kemudian disampaikan dari petani yang satu ke

petani lainnya dan menjadi sebuah pengetahuan bersama.

Mekanisme pencampuran ‘obat’ yang dilakukan oleh para petani sangat beragam. Hal

ini menggambarkan dengan jelas apa yang dikatakan Lyon (1996:42) bahwa dalam proses

belajar yang dijalani petani melalui tindakan-tindakannya, para petani ini melakukan evaluasi

terhadap teknik-teknik mereka. Setiap petani memiliki cara, atau dalam bahasa Lyon adalah

‘teknik’-nya, masing-masing yang terus menerus mereka evaluasi. Ini sebenarnya dapat juga

dilihat sebagai proses pembelajaran yang dilakukan sendiri oleh para petani mengenai

pencampuran ‘obat’. Hal ini sejalan pula dengan apa yang diungkapkan oleh Millar

(1994:161) bahwa tidak masalah bentuk atau sumber dari sebuah ide; petani selalu melakukan

modifikasi terhadap ide-ide tersebut. Dalam hal ini, awal munculnya ide mengenai

pencampuran ‘obat’ itu sendiri nampaknya tidak lagi begitu penting. Semua informan saya

melakukannya, begitu pula dengan petani-petani lain di Nunuk. Hanya saja, pengalaman

setiap individu-lah yang pada akhirnya menimbulkan variasi akibat modifikasi terhadap ide

dan cara-cara mencampur yang terus dilakukan. Maka dari itu, apa yang disampaikan Winarto

(2006:176) menjadi sangat jelas, yaitu bahwa perhatian terhadap individu-individu pelaku

diperlukan untuk dapat memahami sebuah fenomena.

Dari interaksi-interaksi yang terjadi ini, bukan hanya skema pengetahuan baru yang

bisa terbentuk dan kemudian menjadi jelas wujudnya dalam variasi perilaku pada individu

yang terlihat di dalamnya. Lebih daripada itu, interaksi-interaksi ini juga bisa menunjukkan

skema pengetahuan awal yang dimiliki oleh setiap individu petani terkait “bagaimana

semestinya” sawah (dan segala hal di dalamnya). Inilah yang oleh Sweetser (1987) disebut

dengan simplified world—prototype, yaitu pemahaman yang dimiliki oleh suatu kelompok

masyarakat tertentu mengenai bagaimana seharusnya dunia itu. Hal ini bisa terlihat dari

interaksi yang mereka bangun di dalam masyarakat itu, juga dari perspektif yang kemudian

mempengaruhi perilaku mereka terhadap kehidupan sehari-hari.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 15: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Thematicity dan Simplified World: Dimensi Lain Praktik Penggunaan Pestisida Sudah menjadi hal yang pasti bahwa dalam setiap musimnya, para petani harus mengeluarkan

modal untuk biaya pemeliharaan sawah mereka, mulai dari masa tandur hingga pada panen.

Sepanjang musim ini, para petani juga mengakui bahwa modal pemeliharaan yang paling

besar berada pada pos pembelian pestisida. Biaya pengadaan pestisida untuk lahan seluas 100

bata5 saja bisa mencapai Rp300.000,00 per musimnya. Hal ini belum termasuk apabila

diperkirakan akan terjadi serangan. Para petani akan membeli lebih banyak pestisida, bahkan

banyak pula yang akan membeli pestisida yang harganya lebih mahal ketika serangan

diperkirakan akan terjadi. Pestisida memakan biaya yang tidak sedikit, tetapi petani seolah-

olah begitu enggan mengurangi pengeluaran mereka untuk membeli pestisida ini. Mereka

begitu percaya bahwa pestisida adalah bagian yang sama sekali tidak dapat dieliminasi dari

rangkaian proses pemeliharaan tanaman. Bahkan, beberapa informan mengaku bahwa mereka

rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembelian pestisida karena mereka percaya

dengan demikian hasil panen yang mereka peroleh akan lebih banyak pula.

Penggunaan pestisida kimia oleh para petani guna menyelesaikan permasalahan hama

di sawah mereka memang nampak sangat tidak efisien dari segi biaya. Namun demikian, dari

segi waktu dan tenaga, penggunaan pestisida boleh dibilang merupakan cara yang paling

efisien. Setidaknya inilah yang diungkapkan oleh beberapa informan ketika saya mencoba

bertanya mengenai penggunaan pestisida organik yang dapat dibuat sendiri dan notabene

tidak menimbulkan efek samping seperti matinya musuh alami dari hama, yang kemudian

dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem sehingga ledakan hama yang lebih besar

bisa saja menyerang sewaktu-waktu atau tanah yang rusak akibat terus menerus terpapar

bahan-bahan kimia dari pestisida yang digunakan. Menyemprot dengan pestisida kimia dinilai

efisien karena menghemat waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan petani.

Berbagai pembenaran dikemukakan petani untuk menyangkal dampak negatif dari

penggunaan pestisida kimia demi mempertahankannya atas dasar efisiensi dan efektivitas.

Penelitian diklaim dapat mencegah matinya musuh alami hama karena menjadikan

penyemprotan pestisida menjadi lebih terarah dan bijaksana. Penelitian yang dimaksud adalah

pengamatan terhadap gejala munculnya serangan pada tanaman; baik serangan penyakit yang

disebabkan infeksi jamur, maupun serangan hama. Adanya jadwal penyemprotan dalam

interval waktu tertentu yang sudah ditentukan juga dikatakan membuat penyemprotan yang

dilakukan oleh petani di masa ini lebih baik daripada yang dilakukan pada masa lampau.

5 1 bata = 14 m2

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 16: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Beberapa informan secara spesifik menyebutkan masa-masa itu sebagai masa “sebelum

adanya sekolah lapang”. Hal-hal semacam inilah yang dijadikan alasan, pembenaran oleh para

petani, untuk praktik penyemprotan yang masih mereka lakukan hingga saat ini.

Dari begitu banyaknya alasan dan pembenaran yang dikemukakan oleh petani di Desa

Nunuk terkait dengan penggunaan pestisida, juga dari begitu banyaknya variasi yang ada,

tampak jelas bahwa ada satu permasalahan pokok yang sebenarnya menjadi inti dari semua

praktik penggunaan pestisida. Masalah ekonomi jelas di sini menjadi tema—thematicity—dari

skema para petani yang kemudian mewujudkan praktik tersebut. Ekonomi yang saya

maksudkan di sini adalah terkait analisis biaya dan untung-rugi, yang selalu dilakukan oleh

petani dalam kegiatan bertani mereka. Semakin dalam interaksi-interaksi yang saya lakukan,

baik melalui percakapan verbal maupun melalui pengamatan dari perilaku para petani, nilai-

nilai ekonomi mengemuka menjadi nilai yang utama dari semuanya itu.

Salah satu informan, Pak Tarwadi, secara terang-terangan mengakui bahwa

penggunaan pestisida sebenarnya adalah untuk meningkatkan pendapatan dari hasil panennya.

Pada saat itu kami sedang membahas masalah pertanian organik. Ia jelas-jelas sadar dan

mengakui bahwa beras hasil pertanian organik secara kesehatan lebih baik untuk dikonsumsi.

Namun, permasalahannya adalah ia tidak bertani padi semata-mata untuk kebutuhan

konsumsinya akan beras. Ia mengatakan bahwa hasil panennya juga akan dijual untuk

memenuhi kebutuhannya yang lain. Karena itulah ia tetap menggunakan pestisida kimia untuk

meningkatkan hasil panennya. Faktor keuntungan dari hasil penjualan panennya menjadi

pertimbangan utama yang menyebabkannya tetap menggunakan pestisida kimia.

Hal senada kurang lebih disampaikan oleh informan lainnya, Pak Wasmin. Ia

mengatakan bahwa inti utama dari penggunaan pestisida adalah supaya petani bisa panen dan

tidak mengalami kerugian. Ia juga mengatakan bahwa kadangkala petani tidak lagi

menghitung-hitung biaya pemeliharaan apabila serangan diperkirakan akan terjadi. Mereka

akan dengan masifnya menggunakan pestisida, juga meningkatkan intensitas penyemprotan

supaya tidak mengalami hal yang paling ditakutkan oleh semua petani—gagal panen. Pak

Wasmin mengatakan bahwa di Nunuk, petani akan melakukan berbagai macam cara untuk

mencegah gagal panen. Penggunaan pestisida secara jor-joran adalah salah satunya. Pada

tahap inilah menjadi jelas bahwa sevariatif apapun praktik penggunaan pestisida yang

dilakukan oleh para petani di Nunuk, tetap ada satu hal dasar utama yang melandasinya, yaitu

permasalahan ekonomi tadi. Mengejar keuntungan dalam bentuk peningkatan produktivitas

padi dan menghindari kerugian akibat gagal panen sebagai bentuk terburuknya menjadi dasar

utama dari semua variasi praktik penggunaan pestisida.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 17: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Raymond Firth melalui penelitiannya yang kemudian menghasilkan sebuah etnografi

Malay Fishermen: Their Peasant Economy (1946) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip

ekonomi adalah prinsip-prinsip universal yang berlaku di manapun. Ia mengemukakan

gagasan ini setelah melihat bahwa pada masyarakat Melayu yang secara sosial dan budaya

berbeda jauh dari masyarakat barat pun sudah ditemukan aktivitas-aktivitas ekonomi yang

berdasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Hal ini membuat rasionalitas individu

menjadi elemen yang signifikan dalam aktivitas ekonomi mereka.

Dalam konteks kehidupan petani di Nunuk, apa yang dikatakan oleh Firth ini begitu

jelas terlihat. Kegiatan ekonomi yang mereka lakukan, yang dalam konteks petani ini adalah

kegiatan produksi melalui proses penanaman padi di sawah, sangat jelas dilandasi oleh prinsip

maksimalisasi ini. Para petani, melalui penggunaan pestisida, berusaha meminimalisir resiko

dari gagal panen akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman padi mereka untuk

mendapatkan hasil semaksimal mungkin pada masa panen. Mereka percaya bahwa dengan

mengeluarkan modal lebih ini, maka hasil yang mereka peroleh akan menjadi maksimal.

Skema kognitif berupa struktur intrapersonal dimiliki oleh setiap individu.

Pemahaman yang sama, thematicity dalam skema setiap individu, bahwa sawah harus

menghasilkan panen yang baik—yang begitu terukurnya dengan kuantitas panen—inilah yang

nampaknya melandasi berbagai macam perilaku petani demi memperoleh panen yang banyak.

Penggunaan pestisida menjadi hal utama di sini. Hal inilah yang berdasarkan analisis saya

sejalan dengan penjelasan Sweetser mengenai prototipe, sebuah hal yang sama yang menjadi

model dari berbagai perilaku yang berkembang kemudian dalam aktivitas para petani ini di

sawah. Pemahaman para petani yang sama sebagai bentuk simplified world mereka ini yang

kemudian menjadi dasar dari berbagai variasi yang muncul. Berbagai variasi dalam proses

pemilihan dan penggunaan pestisida menunjukkan bahwa para petani menempuh berbagai

cara demi mencapai tujuan yang sama: panen yang berhasil. Pemahaman yang sama mengenai

bagaimana seharusnya sawah itu memunculkan berbagai variasi sebagai suatu bentuk respon

untuk mewujudkan hal tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Strauss dan Quinn (1997:45), struktur intrapersonal

ini tidak berdiri sendiri—melainkan mendapatkan pengaruh dari keberadaan struktur-struktur

ekstrapersonal di luar diri individu. Tujuan sama yang dimiliki oleh para petani terkait panen

yang berhasil menunjukkan bahwa struktur ekstrapersonal yang berada di luar diri individu-

individu ini nampaknya memiliki peranan dalam memperkuat struktur intrapersonalnya. Oleh

karena itulah struktur intrapersonal individu yang diwujudkan ke dalam tindakan dan

kemudian menjadi struktur ekstrapersonal bagi individu lainnya saat interaksi saling

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 18: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

menguatkan. Pengaruh yang diberikan semakin memperkuat skema kognisi mereka,

khususnya dalam penggunaan pestisida demi meminimalisir resiko. Hal ini ternyata terjadi

bukan semata-mata karena individu yang satu demikian kuat pengaruhnya saja (sebagaimana

yang telah dibahas di bagian sebelumnya), namun ternyata juga karena sesungguhnya mereka

memiliki struktur intrapersonal yang kurang lebih sama.

Sweetser (1985) menggunakan terminologi simplified world untuk menjelaskan hal

senada dengan Strauss dan Quinn (1997) terkait dengan struktur intrapersonal ini. Berbagai

variasi yang dilakukan oleh petani di Nunuk dalam penggunaan pestisida untuk

memaksimalkan hasil panen mewujudkan simplified world mereka ini. Mereka berada dalam

“dunia” yang sama, bahwa sawah itu sebaiknya menghasilkan panen sebanyak-banyaknya.

Karl Polanyi dalam bukunya Trade and Market in the Early Empires (1957)

mengemukakan bahwa perekonomian yang bertumpu pada pasar bukanlah sesuatu yang

universal sebagaimana diyakini oleh para ekonom klasik. Pemahaman ini berangkat dari

pengamatan Polanyi bahwa di banyak negara, khususnya di luar Eropa, perekonomian

seringkali diatur berdasarkan kepentingan bersama atau resiprositas (Gudeman, 2000:259).

Resiprositas ini sendiri oleh Polanyi dikatakan sebagai suatu cara dalam kegiatan ekonomi

masyarakat manusia yang ditempuh melalui hubungan-hubungan sosial. Transaksi ekonomi

yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tidak dapat dicapai tanpa interaksi

dalam hubungan-hubungan sosial dengan sesama (Polanyi, 1957:17).

Dalam konteks kegiatan ekonomi petani di Nunuk, ide mengenai interaksi sosial yang

mengarah pada resiprositas ini tentu tidak dapat dilupakan begitu saja. Dengan begitu giatnya

para petani mengejar maksimalisasi pada panen, interaksi sosial dengan individu-individu

lainnya tetap menjadi hal yang penting. Hal ini jelas terlihat misalnya dari bagaimana para

petani berbagi informasi satu dengan yang lain mengenai hal-hal terkait sawah mereka.

Informasi mengenai pestisida mana yang sebaiknya digunakan, sharing pengetahuan di antara

sesama mereka mengenai jenis-jenis hama dan penyakit serta penanggulangannya, dan

berbagai interaksi lainnya yang bisa saja terjadi di berbagai tempat dan kegiatan menunjukkan

bahwa keuntungan maksimal individu memang menjadi tujuan utama, namun hubungan-

hubungan sosial tetap memegang posisi yang penting dalam kegiatan ekonomi mereka ini.

Perkara resiprositas lain juga terlihat dalam hubungan yang terjalin antara pedagang

dan pembeli di kios-kios pestisida. Dari sisi penjual, hubungan sosial yang mereka coba jaga

dengan para pelanggannya terlihat dari segi kemudahan pembayaran yang mereka berikan.

Sistem ambil dulu bayar nanti, atau ‘hutang’ dalam bahasa sederhananya diberikan oleh para

penjual kepada para pelanggannya. Menurut beberapa informan, pembeli yang diperbolehkan

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 19: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

mengutang adalah mereka yang memang sudah sering berbelanja di kios tersebut. Dari sisi

pembeli, hubungan sosial yang berusaha dijaga terlihat dari kebanyakan pembeli yang

berbelanja ‘obat’ di lebih dari satu kios. Hal ini nampaknya adalah untuk tetap menjaga

hubungan antara pembeli dengan penjual di setiap kios yang memang saling kenal.

Hubungan-hubungan sosial seperti itulah yang nampaknya tidak dapat dilepaskan dari

aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh para petani di Nunuk. Hal ini menunjukkan bahwa

para petani di Nunuk tidak pernah meninggalkan hubungan-hubungan sosial dalam aktivitas

ekonomi mereka. Lebih jauh lagi, hal-hal tersebut seolah menegaskan bahwa para petani

menggunakan prinsip resiprositas ini sebagai sarana, sebuah dasar yang mereka wujudkan,

untuk mencapai maksimalisasi dari aktivitas mereka di sawah: panen. Kondisi ini

menggambarkan apa yang ditegaskan oleh Polanyi (1944) dalam The Great Transformation

(1944) bahwa ekonomi tidak bisa bergerak sendiri atau dipisahkan dari masyarakat.

Firth (1961:41) dalam bukunya Elements of Social Organization menyatakan, “a human

community is a body of people sharing in common activities and bound by multiple

relationships in such a way that the aims of any individual can be achieved only by

participation in action with others”. Paparan tersebut menjelaskan aktivitas ekonomi yang

terjadi di Nunuk. Resiprositas merupakan hal yang kemudian menjadi landasan untuk para

petani mewujudkan simplified world mereka, bahwa resiprositas ini mereka gunakan untuk

mencapai keuntungan yang maksimal dari aktivitas mereka di sawah sesuai dengan

pemahaman mereka bahwa “panen harus banyak” tadi. Dalam konteks petani di Nunuk,

hubungan sosial yang mereka bangun dan jaga sedemikian rupa tidak dapat dipungkiri

merupakan salah satu jalan demi tetap tercapainya keuntungan yang maksimal.

Hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka connectionism sebagai berikut. Resiprositas—

yang dalam hal ini saya lihat sebagai suatu bentuk kesamaan yang berada pada lapisan yang

sama dari struktur intrapersonal setiap individu—berhubungan dengan berbagai kejadian lain

di luar dirinya sebagai bentuk struktur ekstrapersonal. Hubungan ini terjadi sedemikian rupa

sehingga memantapkan pemahaman para petani ini mengenai “dunia” yang seharusnya—

simplified world mereka. Namun demikian, sebagaimana juga yang terjadi dalam proses

pemilihan dan penggunaan pestisida yang akan mereka gunakan, dapat dilihat juga dalam

proses ini bahwa struktur intrapersonal individulah yang memegang peranan signifikan dalam

interaksi yang terjadi.

Sebesar dan seberagam apapun pengaruh yang diberikan oleh faktor-faktor lain di luar

individu, struktur intrapersonal yang pada akhirnya akan lebih mendominasi para individu ini

dalam mengambil keputusan hingga pada sampai tahap mewujudkannya dalam bentuk

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 20: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

tindakan atau perilaku. Jika pada pembahasan sebelumnya mengenai pemilihan dan

penggunaan ‘obat’ hal ini terlihat dari keputusan akhir terkait proses-proses tersebut yang

tetap berada pada setiap individu, dalam perkara simplified world ini terlihat dari bagaimana

resiprositas dalam bentuk hubungan-hubungan sosial pun dimanfaatkan sedemikian rupa demi

tetap tercapainya keuntungan mereka yang maksimal sebagai skema yang mapan dalam

struktur intrapersonal mereka. Kesamaan-kesamaan, atau thematicity, yang berada pada

skema para petani ini dalam memahami the way rice fields are supposed to be menunjukkan

bahwa ada dimensi lain pada praktik penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani ini.

Kesimpulan Penggambaran yang saya lakukan terhadap pemahaman mengenai bagaimana “semestinya

dunia” sifatnya spesifik pada para petani di Desa Nunuk ini. Struktur intrapersonal—skema

kognitif—yang mewujudkan simplified world ini sangat partikular pada setiap kelompok-

kelompok masyarakat. Dalam tulisan yang saya sajikan sebagai hasil penelitian dan analisis

terakhir ini, tentu saja keseluruhan hal yang saya maksudkan dan gambarkan adalah mengenai

para petani di Desa Nunuk, Indramayu ini. Namun demkian, saya tidak sedang

menyampaikan gagasan bahwa hal-hal seperti ini tidak mungkin terjadi di daerah-daerah atau

pada kelompok masyarakat lainnya.

Hal serupa mungkin saja terjadi pada kelompok masyarakat petani di desa-desa

lainnya yang memiliki karakteristik serupa dengan petani di Desa Nunuk. Bahkan, bukan

tidak mungkin sebagian besar petani saat ini berada dalam simplified world serupa terkait

praktik penggunaan pestisida di sawahnya. Namun demikian, variasi dan perubahan pasti

akan selalu terjadi di dalamnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Strauss dan Quinn

(1997:50): “While often similar from person to person, context to context, and one period of

time to another, they can vary and change”. Oleh karena itu, ada benarnya apa yang pernah

dikatakan oleh Wade Davis, seorang antropolog, bahwa “The world in which you were born is

just one model of reality.” Saya percaya bahwa begitu banyak realita berbeda dalam setiap

dunia—setiap masyarakat—di mana tidak ada satupun di antaranya yang sama persis dan

karenanya juga tidak bisa dianggap sebagai yang lebih atau yang kurang.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014

Page 21: Pestisida dalam ‘Dunia yang Disederhanakan’: Skema ...

Referensi

Buku

Firth, Raymond. (1946). Malay Fishermen: Their Peasant Economy. London: Routledge. Firth, Raymond. (1961). Elements of Social Organization. Boston: Beacon Press. Holland, Dorothy dan Naomi Quinn. (1987). Cultural Models in Language and Thought.

USA: Cambridge Press University. Ortner, Sherry B. (2006). Culture, Power, and the Acting Subject. Durham dan London:

Duke University Press. Polanyi, Karl. (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of

Our Time. New York: Rinehart & Co. Polanyi, Karl. (1957). Trade and Market in the Early Empires: Economies in History and

Theory. New York: Free Press. Strauss, Claudia dan Naomi Quinn. (1997). A Cognitive Theory of Cultural Meaning. USA:

Cambridge University Press. Winarto, Yunita T. (2004). Seeds of Knowledge: The Beginning of Integrated Pest

Management in Java. USA: Yale University Southeast Asia Studies.

Bab dalam Buku Borofsky, Robert. (1994). Introduction. Dalam Robert Borofsky, Assessing Cultural

Anthropology. New York: McGraw-Hill. Keller, Charles M. dan Janet D. Keller. (1993). Dalam S. Chaiklin dan J. Lave (peny.),

Understanding Practice: Perspectives on Activity and Context. Cambridge: Cambridge University Press.

Millar, David. (1994). Dalam Ian Scoones dan John Thompson, Beyond Farmer First. London: Intermediate Technology Publications.

Jurnal

Ahearn, Laura M. (2001). Language and Agency. Annual Reviews Anthropology, 30, 109-137.

Choesin, Ezra M. (2002). Connectionism: An Alternative in Understanding the Dynamics of Local Knowledge in Globalization. Antropologi Indonesia, 26(69), 56-64.

Lyon, Fergus. (1996). How Farmers Research and Learn: The Case of Arable Farmers of East Anglia, UK. Agriculture and Human Values-Fall 1996, 13(4), 39-47.

Ortner, Sherry B. (1984). Theory in Anthropology since the Sixties. Comparative Studies in Society and History, 26(1), 126-166.

Rosch, Eleanor. (1975). Cognitive Representation of Semantic Categories. Journal of Experimental Psychology, 104(3), 192-233.

Sewell, William H. (1992). A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transfomation. The American Journal of Sociology, 988(1), 1-29.

Winarto, Yunita T. (1998). ’Hama dan Musuh Alami’, ‘Obat dan Racun’: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama. Antropologi Indonesia, 22(55), 53–68.

Winarto, Yunita T. (2006). Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya. Antropologi Indonesia, 30(2),.

Skripsi

Baskoro, Wahyu R. (2013). Menarik Keuntungan dalam Keterpurukan: Strategi Perusahaan Pestisida dalam Memanfaatkan Ledakan Hama Wereng Batang Coklat Tahun 2009-2011. Skripsi, Program Sarjana Antropologi Sosial, Universitas Indonesia, Depok.

Pestisida dalam..., Devita, FISIP UI, 2014