PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT...
Transcript of PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT...
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA
SERIKAT DALAM PERJANJIAN UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE
(UNFCCC) PADA PERIODE TAHUN 2013-2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
M Aziz Fikri
11141130000023
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM
PERJANJIAN THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTON ON
CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA PERIODE TAHUN 2013-2016
1. Merupakan Karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 04 Juli 2018
M Aziz Fikri
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : M Aziz Fikri
Nim : 11141130000023
Progran Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi, dengan judul:
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM
PERJANJIAN UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA PERIODE TAHUN 2013-2016
dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 10 Juli 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ahmad Alfajri, MA M Adian Firnas M. Si
iii
PENGESAAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM
PERJANJIAN UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE
CHANGE (UNFCCC) PADA PERIODE TAHUN 2013-2016
Oleh
M Aziz FIkri
11141130000023
Telah dipertahankan dalam ujian sidang skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Agustus
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, MA Eva Mushoffa, MHSPS
Penguji I, Penguji II,
Irfan R. Hutagalung, SH, L., LM Febri Dirgantara Hasibuan, MM
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 09 Agustus 2018
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Ahmad Alfajri, MA
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa perubaan kebijakan luar negeri yang terjadi di dalam
pemerintahan Amerika Serikat, perubahan tersebut terjadi pada dua tindakan
internasional yag dilakukan oleh Amerika Serikat dalam merespon mekanisme yang
dikeluarkan oleh UNFCCC untuk memperbaiki dampak dari perubhaan iklim..
Penelitian dalam skripsi ini mempunyai tujuan untuk menganalisa alasan dan juga
kepentingan nasional Amerika Serikat di balik tindakan merubah kebijakan luar
negeri dalam dukungannya pada mekanisme hasil UNFCCC yaitu Copenhagen
Accord dan Perjanjian Paris. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
dikumpulkan melalui teknik studi pustaka atas data sekunder menjelaskan bahwa
Amerika Serikat memiliki kepentingan nasional pada perubahannya yang dilakukan
dalam merespon mekanisme UNFCCC.
Penelitian ini menggunakan kerangka teoretis konsep Kebijakan Luar Negeri,
konsep Kepentingan Nasional, konsep Decision Making Analysis, dan konsep Model
Aktor Rasional. Penggunaan konsep Kebijakan Luar negeri dimaksudkan untuk
memahami kebijakan luar negeri atau tindakan internasional Amerika Serikat dalam
keputusannya untuk tidak mendukung Copenhagen Accord dan meratifikasi
Perjanjian Paris. Adapun konsep kepentingan nasional digunakan untuk dapat
mengungkapkan alasan dibalik perubahan kebijakan luar negeri tersebut dilakukan
dan memahami lebih jauh keadaan pemerintahan Amerika Serikat dalam proses
pembuatan kebijakan luar negerinya. Sedangkan Decision Making Analysis dan
model aktor rasional digunakan untuk memahami Barrack Obama sebagai aktor
rasional yang memimpin pemerintahan Amerika Serikat disaat perubahan kebijakan
luar negeri tersebut terjadi. Dengan menggunakan berbagai kerangka teoretis tersebut
dihasilkan suatu kesimpulan bahwa perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
disebabkan oleh faktor internal seperti Kerasionalitasan Presiden Barrack Obama,
Opini Publik Amerika Serikat terhadap isu perubahan iklim sedangkan dalam faktor
eksternal terdapat hal seperti tekanan internasional yang merupakan alasan dibalik
perubahan kebijakan luar negeri tersebut, selain itu juga terdapat kepentingan
nasional Amerika Serikat dalam melakukan perubahan tersebut yaitu untuk dapat
membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik dan membuat Amerika Serikat ikut
serta dalam upaya UNFCCC untuk segera memperbaiki dampak negatif dari
perubahan iklim agar dapat menjaga keberlangsungan hidup masyarakat Amerika
Serikat.
Kata kunci: Perubahan Iklim, Amerika Serikat, UNFCCC, Kebijakan Luar Negeri,
Kepentingan Nasional.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta‟ala yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang dan Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu „alaihi wasalam. Dengan keridhoan oleh Allah Subhanahu
wa ta‟ala, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi yang
berjudul “Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Perjanjian
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Pada
Periode Tahun 2013-2016”. Skripsi ini bertujuan untuk memnuhi syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) di studi Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan skripsi, penulis mendapatkan banyak motivasi dan
bantuan yang berupa materi maupun imateriel. Penulis sadar bahwa dalam proses
penyusunan skripsi ini banyak bantuan yang diterima oleh penulis dari berbagai pihak.
Maka dari itu dalam kesempatan kali ini penulis akan menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zulkifli, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Ahmad Alfajri M.A selaku Kepala Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta seluruh staf dan jajarannya.
4. M Adian Firnas, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimingan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.. Terimakasih banyak pak, semoga Allah
Subhanahu wa ta‟ala memberikan keberkahan kepada bapak beserta
keluarga.
5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, yang telah memberikan berbagai ilmu yang berguna
sehingga membantu penulis dalam penyelesaian proses pembuatan skripsi
ini.
6. Keluarga dan kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan
motivasi dalam setiap kesempatan.
7. Kepada Erika Fitriani yang selalu ada untuk memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis di kala penulis sedang mengalami kemunduran
dalam penulisan skripsi.
vii
8. Kepada teman kontrakan Inhutani, Abdurrahman Rabbani, Akbar Ali
Yafie, dan Robi Hariyanto yang selalu saling memberikan tekanan dan
motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman Mahasiswa dan Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional
angkatan 2014 khususnya kelas A. Tanpa mengurangi rasa hormat
penulis, maaf karena tidak bisa menulis namanya satu persatu. Terima
kasih karena telah memberikan rasa kebersamaan dan keakraban yang
terjalin selama kurang lebih dari 4 tahun. Penulis berharap dapat terus
melanjutkan silaturahmi dengan kalian semua.
10. Teman-teman KKN Tetralogi yang telah memberikan pengalaman
berharga dalam menyelesaikan tugas KKN
11. Teman grup diskusi dalam membentu penyelesaian skripsi ini, Azmi,
Hakim, Ibnu, Rizki dan masih banyak lainnya. Terimakasih atas berbagi
pengalamannya.
Jakarta, 05 Juli 2018
M Aziz Fikri
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 11
E. Kerangka Teoretis ................................................................................. 17
E.1 Konsep Kebijakan Luar Negeri ......................................................... 17
E.2 Konsep Kepentingan Nasional .......................................................... 19
E.3 Decision Making Analysis ................................................................. 22
E.4 Model Aktor Rasional ....................................................................... 25
F. Metode Penelitian .................................................................................. 27
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 28
BAB II UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE
CHANGE (UNFCCC) ................................................................................. 31
A. Konvensi UNFCCC ................................................................................. 31
B. Prinsip UNFCCC ...................................................................................... 34
ix
C. Kelembagaan UNFCCC ........................................................................... 36
D. Pertemuan CoP ......................................................................................... 41
E. Perbandingan Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.......................... 46
BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI PEMERINTAHAN AMERIKA
SERIKAT TERHADAP UNFCCC ............................................................... 51
A. Sistem Pemerintahan Amerika Serikat ..................................................... 51
B. Respon Amerika Serikat Terhadap UNFCCC .......................................... 55
B.1 Masa Pemerintahan Presiden George Helbert Walker Bush ............ 57
B.2 Masa Pemerintahan Presiden William Jefferson Clinton ................. 58
B.3 Masa Pemerintahan Presiden George Walker Bush ......................... 59
B.4 Masa Pemerintahan Presiden Barack Hussein Obama ..................... 61
C. Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam UNFCCC .. 63
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PERUBAHAN
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT DALAM PERJANJIAN
UNFCCC ........................................................................................................... 68
A. Faktor Internal ......................................................................................... 70
A.1 Kerasionalitasan Presiden Barack Obama........................................ 70
A.2 Opini Publik Amerika Serikat Terhadap Isu Perubahan Iklim ........ 76
B. Faktor Eksternal ....................................................................................... 81
B.1 Tekanan Internasional ..................................................................... 82
C. Kepentingan Nasional Amerika Dalam Meratifikasi Perjanjian Paris ..... 85
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 91
A. Kesimpulan ............................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xiii
x
DAFTAR TABEL
Tabel
Gambar II.D.1 Pertemuan CoP Beserta Hasilnya ............................................... 44
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Copenhagen Accord
Lampiran II : Paris Agreement
xii
DAFTAR SINGKATAN
BAPA Buenos Airea Plans of Action
BTU British Thermal Unit
CoP Conference of Parties
EDF Enviromental Defense Fund
EGTT Expert Group on Technology Transfer
IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
LEG Least Developed Countries Expert Group
OECD Organization for Economic Cooperation and Development
OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
REDD Reducing Emissions from Deforesation and Forest-Degradation
UNCED United Nations Conference on Enviromental Development
UNFCCC United Nations Framework Convention on Climate Change
WMC World Meteorogical Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Pada masa perang dingin negara-negara di tatanan dunia internasional masih
hanya berfokus pada agenda mengenai tatanan politik dan keamanan di dalam sistem
internasional, tetapi setelah Uni Soviet runtuh dan perang dingin berakhir banyak
agenda baru yang lebih spesifik bermunculan di dalam sistem internasional, seperti
halnya isu Lingkungan Hidup, Hak Asasi Manusia, dan bahkan Gender.1
Isu Lingkungan hidup merupakan salah satu isu penting saat ini. Hal tersebut
diakibatkan oleh banyaknya negara yang mengeksploitasi sumber daya alam tanpa
memperhatikan akibatnya terhadap lingkungan hidup disekitarnya sehingga merusak
lingkungan hidup. Kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup semakin besar,
bukan hanya akibat dari pengeksploitasian sumber daya alam tetapi juga karena
banyak negara berusaha untuk melakukan proses industrialisasi dengan menggunakan
1 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: Pustaka
LP3S, 1990), 3-5.
2
batu bara dan minyak bumi yang nantinya akan menghasilkan karbondioksida atau
CO2 dengan jumlah besar.2
Adapun dengan meningkatnya tingkat emisi gas rumah kaca seperti CO2 akan
membuat masalah yang cukup besar bagi atmosfer bumi dalam jangka panjang,
energi ataupun sinar dari matahari yang diterima oleh bumi nantinya akan harus
dilepaskan kembali ke luar atmosfer bumi tetapi meningkatnya emisi gas rumah kaca
telah membuat pelepasan energi ini menjadi lebih lama dan membuat energi panas
yang seharusnya segera dilepaskan menjadi terjebak di atmosfer bumi. Proses
terjebaknya energi panas tersebut pada akhirnya membuat suhu bumi menjadi lebih
panas dan menyebabkan pemanasan global.3
Iklim nantinya akan menyesuaikan diri dengan pemanasan global yang terjadi
di atmosfer sehingga nantinya akan ada perubahan dalam sistem iklim yang terjadi di
dunia. Selain itu pemanasan global juga akan menyebabkan kenaikan level air
permukaan laut, pengurangan tutupan salju, semakin banyak gletser yang mencair,
dan menghangatnya benua arktik.4 Semua efek kerusakan yang terjadi tersebut telah
mengubah perspektif banyak negara terhadap isu lingkungan hidup menjadi salah
satu isu penting yang harus segera ditangani.
2 Kate O’Neill, The Enviroment and International Relations (New York: Cambridge University
Press, 2009), 4-5. 3 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, Dan
Nationally Determined Contribution (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016), 1-5. 4 Kate O’Neill, The Enviroment and International Relations (New York: Cambridge University
Press, 2009), 4-5.
3
Banyak negara yang merasakan efek yang signifikan akibat dari rusaknya
lingkungan hidup dan juga Global Warming, seperti perubahan iklim atau Climate
Change dan juga peningkatan level air laut di lepas pantai seluruh dunia. Efek buruk
tersebut mendorong masyarakat internasional untuk melakukan upaya-upaya yang
bertujuan untuk mencegah dan menghentikan laju dari dampak berkembangnya
bahaya Global Warming di dunia dan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang
semakin rusak juga tercemar akibat dari ulah manusia.
PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi masyarakat
internasional tidak tinggal diam dalam menanggapi isu lingkungan ini, salah satu
upayanya adalah dengan mengadakan Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi di Rio de Janairo pada tahun 1992. Melalui konferensi tersebut
dibentuklah dua badan khusus PBB yaitu United Nations Conference on
Enviromental Development (UNCED) dan United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC).5
UNFCCC bertujuan untuk mengatasi dampak-dampak dari perubahan iklim.
Seperti yang tertulis dalam artikel dua, UNFCCC mempunyai tujuan untuk menjadi
wadah untuk upaya-upaya menstabilkan konsentrasi emisi gas rumah kaca di
atmosfer pada jumlah tertentu dengan cara mengendalikan dan membatasi kegiatan
manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Melalui perundingan UNFCCC
5 Arya Hadi Dharmawan, et.al, SVLK, jalan menuju REDD++ (Jakarta: Forest Governance and
Multistakeholder Forestry Programme, 2011), 14.
4
juga telah disepakati untuk membagi negara-negara yang meratifikasi UNFCCCC
menjadi dua kelompok yaitu negara Annex I dan negara Non Annex I. 6
Negara kategori Annex I merupakan kelompok negara yang terdiri dari negara
dengan pertumbuhan ekonomi maju, dan dianggap bertanggung jawab terhadap
pengerusakan lingkungan yang terjadi di dunia akibat dari kegiatan industrialisasi
manusia selama 150 tahun terakhir akibat dari revolusi industri pada tahun 1850-an.
Negara Non Annex I merupakan kelompok yang terdiri dari negara dengan
pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang dan menghasilkan jumlah emisi gas
rumah kaca yang tidak terlalu besar.7
Negara-negara Annex I dikategorikan sebagai negara industri maju yang
mempunyai kewajiban untuk melaporkan juga menurunkan emisi gas rumah kaca di
negara mereka, seperti Jepang, Amerika, juga Uni Eropa. Sedangkan, Negara Non
Annex I merupakan kumpulan negara yang tidak mempunyai kewajiban untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca, tetapi dapat berpatisipasi melalui Mekanisme
yang ada dalam UNFCCC.8
Dalam menjalankan konferensi-konferensi yang terdapat di dalam UNFCCC
dibentuklah badan yang disebut sebagai Conference of Parties atau CoP. CoP sendiri
merupakan badan tertinggi dalam konferensi UNFCCC yang mempunyai otoritas
6 Dharmawan, SVLK, jalan menuju REDD++, 14.
7 Dharmawan, SVLK, jalan menuju REDD++, 14.
8 Dharmawan, SVLK, jalan menuju REDD++, 14.
5
tertinggi dalam mengambil suatu keputusan. CoP bertanggung jawab menjaga upaya
penanganan terhadap isu perubahan iklim tetap berjalan dalam arah yang tepat.9
Anggota CoP terdiri dari negara-negara yang meratifikasi UNFCCC dan
beberapa observer perwakilan dari sekretariat lembaga-lembaga organisasi antara
pemerintah maupun non pemerintah yang menangani isu lingkungan hidup. Tugas
dari CoP adalah untuk merancang upaya-upaya memperbaiki dan mengatasi masalah
lingkungan hidup yang terjadi saat ini, salah satu caranya adalah dengan
menyelenggarakan pertemuan CoP setahun sekali.10
Pertemuan CoP yang diadakan setahun sekali oleh UNFCCC pun terus
mengambil tempat yang berbeda-beda. Diantara pertemuan-pertemuan CoP tersebut
terdapat beberapa CoP yang menghasilkan pencapaian besar sehingga menimbulkan
dampak besar terhadap upaya UNFCCC dalam memperbaiki lingkungan hidup,
seperti pada CoP 3 yang menghasilkan Protokol Kyoto di mana banyak negara
industrial terikat secara legal untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di
negaranya.11
Selain itu juga terdapat juga pertemuan CoP 15 di Copenhagen pada tahun 2009
yang dianggap penting bagi upaya perbaikan iklim dunia dan juga kelestarian hidup
9 UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change (Bonn: United Nations,
1992), 1-3. 10
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, 3. 11
Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto “Implikasinya Bagi Negara Berkembang” (Jakarta:
Kompas, 2003), 1-10.
6
berbagai negara karena telah menghasilkan Copenhagen Accord yang mengharuskan
untuk setiap negara di dalam UNFCCC menetapkan target pengurangan emisi gas
rumah kaca sampai pada tahun 2020 setelah masa berlaku dari Protokol Kyoto
berakhir, tetapi berbeda dengan Protokol Kyoto Copenhagen Accord ini tidak
mengikat secara hukum.12
Pertemuan CoP lainnya yang juga berdampak besar terhadap upaya perbaikan
lingkungan hidup adalah pada CoP ke 21 di Paris. Melalui CoP 21 telah dibentuk
Perjanjian Paris atau Paris Agreement. Perjanjian Paris tersebut merupakan hasil
kompromi dari seluruh negara yang tergabung dalam UNFCCC untuk menahan laju
kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2°C di atas suhu pada masa pra industrialisasi
dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu
pada masa praindustrialisasi.13
CoP di Paris yang menghasilkan Perjanjian Paris tersebut telah menjadi
penanda bagi negara- negara yang tergabung dalam UNFCCC untuk segera
merumuskan rencana perbaikan lingkungan mereka pasca tahun 2020, terutama bagi
negara-negara maju penghasi; emisi gas rumah kaca yang besar seperti Amerika
Serikat, China, dan negara-negara adidaya lainnya.
12
United Nations Framework Convention on Climate Change, “Copenhagen Accord” , 20 April
2011 [artikel on-line]; tersedia di http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf#page=4
Internet; diunduh pada 06 Desember 2017. 13
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, Dan
Nationally Determined Contribution (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016), 11.
7
Amerika Serikat sendiri telah dikategorikan sebagai negara adidaya yang telah
masuk sebagai kelompok negara Annex I dalam mekanisme UNFCCC, karena
Amerika Serikat merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua. Maka
dari itu Amerika Serikat seharusnya mengikuti perjanjian-perjanjian yang dibentuk
dalam konferensi UNFCCC untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di dunia,
seperti Protokol Kyoto, Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.
Dalam sejarahnya sendiri, Amerika Serikat menunjukan sikap atau kebijakan
luar negeri yang negatif atau tidak mendukung terhadap upaya yang dibentuk oleh
UNFCCC untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di dunia. Salah satunya adalah
pada saat kepemimpinan Presiden George W Bush yang memilih sikap atau kebijakan
luar negeri untuk menjauhi komitmen dari Protokol Kyoto karena Presiden Bush
beranggapan bahwa Protokol Kyoto bukanlah pendekatan yang tepat dalam
penurunan emisi gas rumah kaca di dunia.14
Presiden George W Bush terus menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto
sampai pada tahun 2009 pada saat Amerika Serikat memilih Presiden baru. Melalui
pemilihan umum di Amerika Serikat terpilihlah Barrack Obama sebagai Presiden
Amerika Serikat yang baru. Dengan terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden
maka banyak pihak yang berharap terdapat perubahan sikap atau kebijakan luar
14
UNFCCC, “Copenhagen Accord” ,Desember 2009 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/meetings/copenhagen_dec_2009/items/5262.php Internet; diunduh pada 16 Maret
2018.
8
negeri Amerika Serikat dalam menghadapi UNFCCC karena perbedaan latar
belakang yang dimiliki oleh Obama.
Pada kenyataannya Presiden Obama tidak benar-benar menunjukan sifat yang
mendukung upaya UNFCCC dalam menangani perubahan iklim yang terjadi di dunia
akibat dari emisi gas rumah kaca. Hal tersebut terbukti dengan Presiden Obama yang
tetap tidak ingin meratifikasi Protokol Kyoto walaupun mendapat tekanan dari
negara-negara anggota UNFCCC. Sikap menolak dari Presiden Obama tersebut terus
berlajut sampai pada CoP-CoP selanjutnya yang diadakan oleh UNFCCC, bahkan
pada saat terbentuknya Copenhagen Accord Presiden Barrack Obama tidak benar-
benar mendukung dan terlihat menolak secara tertutup.15
Sikap Amerika Serikat yang menolak dan tidak mendukung upaya UNFCCC
tentu sangat mempengaruhi keseluruhan mekanisme UNFCCC. Tetapi secara tiba-
tiba sikap atau kebijakan luar negeri dari Amerika Serikat dalam menghadapi
mekanisme dalam UNFCCC berubah. Perubahan kebijakan luar negeri tersebut
terdapat dalam Perjanjian Paris yang dibentuk pada pertemuan CoP ke 21 yang mana
Pemerintahan Amerika Serikat menunjukan respon yang positif dan bersedia untuk
15
UNFCCC, Copenhagen Accord, Desember 2009.
9
mengikuti mekanisme dalam Perjanjian Paris. Hal tersebut dibuktikan dengan
diratifikasinya Perjanjian Paris pada September 2016.16
Kedua mekanisme yang telah dibentuk oleh UNFCCC untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca di dunia yaitu Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris merupakan
tindakan penting yang dibentuk oleh negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di dunia, maka dari itu keikutsertaan
negara-negara maju yang menghasilkan total emisi gas rumah kaca yang besar seperti
Amerika Serikat sangatlah penting bagi kesuksesan mekanisme UNFCCC.
Dalam menghadapi kedua mekanisme yang dibentuk oleh UNFCCC tersebut
terdapat dua keputusan pengambilan kebijakan yang cukup berbeda karena dalam
mekanisme Copenhagen Accord Pemerintahan Amerika Serikat menolak untuk
meratifikasinya tetapi dalam mekanisme Perjanjian Paris Pemerintahan Amerika
Serikat menyetujui dan meratifikasinya.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas maka timbulah rumusan masalah sebagai
berikut: “Apa yang Menjadi Latar Belakang Perubahan Kebijakan Luar Negeri
Amerika Serikat Terkait Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris?”
16
United Nations Framework Convention on Climate Change, “Paris Agreement – Status of
Ratification” ,12 Desember 2015 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/paris_agreement/items/9444.php Internet; diunduh pada 29 Oktober 2017.
10
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yang diharapkan dapat dipenuhi,
seperti:
1. Mengetahui sikap yang diambil oleh Pemerintahan Amerika Serikat dalam
menghadapi mekanisme UNFCCC pada Copenhagen Accord dan Perjanjian
Paris.
2. Mengetahui kepentingan nasional dibalik pembuatan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat dalam ratifikasi Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.
3. Mengetahui dan menjelaskan faktor yang membedakan pembuatan kebijakan
luar negeri pemerintahan Amerika Serikat terhadap Copenhagen Accord dan
Perjanjian Paris
Selain tujuan juga terdapat manfaat yang didapatkan dari penelitian ini, yaitu:
1. Memberikan pengetahuan mengenai alasan dibalik perbedaan pengambilan
keputusan kebijakan luar negeri terhadap Copenhagen Accord dan Perjanjian
Paris yang terdapat dalam pemerintahan Amerika Serikat.
2. Selain itu, juga untuk memberikan pengetahuan mengenai kepentingan
nasional Amerika Serikat saat meratifikasi Perjanjian Paris.
11
3. Dan memahami perbedaan pengambilan keputusan oleh Pemerintahan
Amerika Serikat dalam Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.
D. Tinjauan Pustaka
Di bawah ini terdapat beberapa Studi yang dapat dijadikan sebagai sumber
informasi mengenai Perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam
Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris, untuk dapat menganalisa pertanyaan yang
terdapat dalam penelitian ini terdapat beberapa literatur atau pustaka yang terkait
dengan penelitian ini.
Terdapat tiga pustaka atau literatur yang dianggap cukup relevan untuk dapat
dijadikan sebagai referensi penelitian. Pertama, yaitu Skripsi berjudul “Sikap Amerika
Serikat Di Masa Pemerintahan Barrack Obama Dalam Negosiasi United Nations
Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) Di Copenhagen Tahun 2009”
yang ditulis oleh Muhamad Derry Alfikry pada tahun 2014.
Skripsi Alfikry merupakan penelitian yang menjabarkan berbagai faktor yang
melatarbelakangi pemboikotan Amerika Serikat terhadap hasil dari CoP ke 15 di
Copenhagen pada tahun 2009, pemerintahan Amerika yang saat itu dipimpin oleh
Barrack Obama tidak menyetujui hasil pertemuan dari CoP ke 15 yaitu Copenhagen
12
Accord dan berusaha untuk mensabotasenya dengan membuat negera-negara lain juga
tidak menyetujuinya.17
Terdapat argumen bahwa ada dua akar masalah yang membuat pemerintahan
Barrack Obama tidak menyetujui dan berusaha untuk membajak hasil dari CoP ke 15,
yaitu keterbatasan anggaran domestik Amerika Serikat untuk komitmen perbaikan
lingkungan global dan ketidaksetujuan pemerinthanan Barrack Obama terhadap
skema pembagian tanggung jawab tiap-tiap negara di dalam mekanisme UNFCCC.18
Adapun keterkaitan skripsi Alfikry dengan penelitian ini terletak pada sikap
atau kebijakan luar negeri yang ditunjukan oleh Amerika Serikat pada masa
pemerintahan Barrack Obama, dalam hal ini adalah pemerintahan Obama terhadap
salah satu perjanjian yang dibentuk dalam UNFCCC yaitu Copenhagen Accord.19
Skripsi Alfikry menambah referensi mengenai sikap atau dapat dikatakan kebijakan
luar negeri Amerika Serikat terhadap upaya UNFCCC dalam menurunkan emisi gas
rumah kaca di mana dalam kasus ini upaya tersebut adalah Copenhagen Accord.
Perbedaan diantara skirpsi Alfikry dengan penelitian ini terdapat pada fokus
penelitiannya. Skripsi Alfikry mengkaji mengenai kasus boikot yang dilakukan oleh
pemerintahan Amerika Serikat pada negosiasi CoP ke 15 di Copenhagen, penelitian
17
Muhamad Derry Alfikry, Sikap Amerika Serikat Di Masa Pemerintahan Barrack Obama
Dalam Negosiasi United Nations Framework Convention On Climate Change ( Jakarta: UIN Jakarta,
2014), 1-8. 18
Alfikry, Sikap Amerika Serikat Di Masa Pemerintahan Barrack Obama Dalam Negosiasi
United Nations Framework Convention On Climate Change, 1-8. 19
Alfikry, Sikap Amerika Serikat Di Masa Pemerintahan Barrack Obama Dalam Negosiasi
United Nations Framework Convention On Climate Change, 1-8.
13
ini sendiri menggunakan variabel yang lebih banyak dalam fokus penelitiannya bukan
hanya meneliti kebijakan luar negeri Amerika Serikat tetapi juga membandingkannya
dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Perjanjian Paris.
Literatur kedua yaitu Skripsi yang berjudul “Perubahan Kebijakan Lingkungan
Amerika Serikat Dibawah Kepemimpinan Barrack Obama Dalam Menanggapi Hasil
Protokol Kyoto” yang ditulis oleh Adistya Yuliandani pada Tahun 2012. Penelitian
ini merupakan gambaran deskripsi fenomena perubahan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh Barrack Obama terhadap mekanisme
yang dibentuk oleh UNFCCC yaitu Protokol Kyoto.20
Argumentasi dalam tulisan ini berusaha menghadirkan dua sudut pandang yang
menjadi pendorong perubahan kebijakan lingkungan Amerika Serikat dibawah
kepemimpinan Amerika Serikat. Pertama melalui perspektif internal yaitu perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat didorong oleh pemerintahan Barrack Obama
sebagai aktor rasional. Kedua melihatnya melalui perspektif eksternal yaitu
perubahan kebijakan luar negeri didorong oleh adanya tekanan oleh masyarakat
internasional kepada pemerintahan Amerika Serikat. 21
20
Adistya Yuliandani, Perubahan Kebijakan Lingkungan Amerika Serikat Di Bawah
Kepemimpinan Barrack Obama Dalam Menanggapi Hasil Protokol Kyoto (Yogyakarta: UMY, 2012),
1-10. 21
Yuliandani, Perubahan Kebijakan Lingkungan Amerika Serikat Di Bawah Kepemimpinan
Barrack Obama Dalam Menanggapi Hasil Protokol Kyoto, 1-10.
14
Terdapat keterkaitan skripsi Adistya dengan penelitian yang akan diteliti.
Seperti halnya Adistya yang membahas adanya perubahan dalam kebijakan luar
negeri pemerintahan Amerika Serikat, penelitian ini juga akan membahas mengenai
perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap isu lingkungan.
Pemerintahan Amerika Serikat yang tidak menyetujui upaya UNFCCC untuk
memperbaiki lingkungan alam mengubah sikapnya dan memberlakukan kebijakan
luar negeri yang mendukung upaya UNFCCC dan meratifikasi Perjanjian Paris.22
Tentu juga terdapat perbedaan di antara kedua penelitian tersebut, yaitu dalam
variabel yang dipilih. Dalam skripsi Aditya hanya dianalisa perubahan kebijakan luar
negeri yang dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat Barrack Obama dalam
hasil dari Protokol Kyoto23
sedangkan penelitian ini tidak berfokus pada Protokol
Kyoto tetapi berfokus pada, Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.
Terlebih lagi penelitian ini tidak akan membagi elemen yang mempengaruhi
kebijakan luar negeri Amerika Serikat menjadi dua perpektif, yaitu internal dan
eksternal tetapi memilih untuk fokus pada level analisis domestik atau internal dalam
pemerintahan Amerika Serikat yang mempengaruhi proses kebijakan luar negerinya
seperti pengaruh dari kekuasaan birokrat dalam Kongres Amerika Serikat dan
22
Yuliandani, Perubahan Kebijakan Lingkungan Amerika Serikat Di Bawah Kepemimpinan
Barrack Obama Dalam Menanggapi Hasil Protokol Kyoto, 1-10. 23
Yuliandani, Perubahan Kebijakan Lingkungan Amerika Serikat Di Bawah Kepemimpinan
Barrack Obama Dalam Menanggapi Hasil Protokol Kyoto, 1-10.
15
Presiden yang berkuasa saat itu sebagai aktor rasional dapat mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan luar negerinya.
Literatur ketiga adalah skripsi yang berjudul “Perubahan Kebijakan Luar
Negeri Amerika Serikat Dalam Memerangi Terorisme Internasional di Afghanistan
Pada Periode Pemerintahan Barrack Obama” yang ditulis oleh Atik Fadilatul Husna
pada tahun 2012. Skripsi milik Atik tersebut membahas mengenai perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memerangi terorisme internasional di
Afghanistan pada masa Pemerintahan Barrack Obama, bahwa terdapat faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
tersebut.24
Dalam Skripsi tersebut dibahas mengenai adanya faktor domestik dan eksternal
yang mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam
kebijakannya memerangi terorisme di Afghanistan . Dijelaskan bahwa Faktor internal
yang mempengaruhi perubahan tersebut terdiri dari segi ekonomi, sosial, politik, dan
pengaruh ideologi. Sedangkan Faktor eksternal terdiri dari sikap dan pernyataan
negara-negara lain dalam merespon kebijakan luar negeri Amerika Serikat
24
Atik Fadilatul Husna, Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Memerangi
Terorisme Internasional di Afghanistan Pada Periode Pemerintahan Barrack Obama (Jakarta: UIN
Jakarta, 20012), 1-5.
16
memerangi terorisme di Afghanistan dalam periode kepresidenan George W Bush di
masa sebelumnya.25
Atik mempunyai argumen bahwa kebijakan dari Presiden Amerika Sebelumnya
yaitu George W Bush mempunyai sikap yang agresif dan condong pada
menggunakan hard power dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya. Sedangkan
Barrack Obama Sebagai Presiden yang menggantikan Bush lebih menunjukan sifat
kebijakan luar negeri yang berbeda, dengan cara lebih menggunakan smart power
dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya.26
Skripsi Atik dijadikan tinjauan pustaka karena terdapat keterkaitan. Dalam
skripsi Atik terdapat perubahan dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam
menghadapi perangnya dengan terorisme di Afghanistan, hal tersebut terkait karena
penelitian ini juga berusaha untuk meneliti lebih jauh alasan dibalik perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap hasil perjanjian yang berasal dari
pertemuan yang diadakan oleh UNFCCC. Selain itu juga terdapat kesamaan dalam
periode pemerintahan yang diteliti, yaitu pada pemerintahan Presiden Barrack Obama.
Walaupun begitu skripsi Atik juga mempunyai perbedaan dengan penelitian ini
dalam objek penelitian yang diteliti yaitu dalam skripsi Atik objek yang diteliti adalah
kebijakan luar negeri Amerika Serikat memerangi terorisme di Afghanistan
25
Husna, Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Memerangi Terorisme
Internasional di Afghanistan Pada Periode Pemerintahan Barrack Obama, 1-5. 26
Husna, Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Memerangi Terorisme
Internasional di Afghanistan Pada Periode Pemerintahan Barrack Obama, 1-5.
17
sedangkan penelitian ini meneliti objek kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam
merespon perjanjian yang dibentuk oleh UNFCCC.27
E. Kerangka Teoritis
E.1. Konsep Kebijakan Luar Negeri
Konsep kebijakan luar negeri dapat didenifisikan sebagai tindakan atau
kebijakan pemerintah untuk dapat mencapai kepentingan nasional yang berada di luar
batas kewilayahan dan otoritas negaranya. Kebijakan luar negeri dapat dikatakan
sebagai jembatan penting untuk menyelesaikan masalah ataupun hambatan yang
dihadapi oleh suatu negara, respon dari suatu negara terhadap suatu isu maupun itu
memilih untuk merespon ataupun tidak merespon tetap dapat dikatakan sebagai suatu
kebijakan luar negeri yang didasarkan kepada kepentingan nasional negara tesebut.28
Holsti juga mengeluarkan argumen bahwa kebijakan luar negeri merupakan
dasar rencana dari tindakan yang akan diambil oleh para pengambil keputusan di
pemerintahan suatu negara dalam menghadapi negara lain ataupun suatu isu
internasional dengan upaya untuk mencapai tujuan nasional yang tercermin dalam
kepentingan nasionalnya. Pembuatan kebijakan luar negeri sendiri pun mempunyai
27
Husna, Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Memerangi Terorisme
Internasional di Afghanistan Pada Periode Pemerintahan Barrack Obama, 1-5. 28
K.J Holsti, Sixth Edition International Politics “A Framework for Analysis” (London:
Prentice-Hall International Inc, 1992), 272.
18
beberapa landasan yang menjadi acuan dari pembuatan kebijakan luar negerinya
seperti faktor eksternal dan faktor internal.29
Faktor eksternal sendiri mencakup tindakan, kebijakan, tekanan, maupun
ancaman dari negara lain yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
pembuatan kebijakan luar negeri dari negara tersebut. Sedangkan faktor internal
mencakup seluruh elemen dari struktur pemerintah yang akan memperluas maupun
membatasi pemilihan dari pembuatan kebijakan luar negeri, selain itu juga mencakup
elemen non pemerintah seperti keadaan sosial domestik dari negara tersebut dan opini
publiknya.30
Kebijakan luar negeri dalam hal ini juga harus memperhatikan nilai-nilai yang
mendasari perumusan tujuan suatu negara serta alat untuk mencapai tujuan tersebut,
dikarenakan kebijakan luar negeri juga bisa diartikan sebagai seperangkat rencana
dan komitmen yang menjadi pedoman bagi pemerintah dalam berhubungan dengan
aktor-aktor lain di lingkungan eksternal. Nantinya rencana dan komitmen tersebut
diterjemahkan ke dalam langkah dan tindakan yang nyata berupa mobilisasi sumber
daya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek dalam pencapaian tujuan.31
Menurut Rosenau tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan
fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tiap negara memiliki tujuan
29
Holsti, Sixth Edition International Politics “A Framework for Analysis”, 272. 30
Holsti, Sixth Edition International Politics “A Framework for Analysis”, 272. 31
James N Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy (New York: Nichols Publishing
Company, 1980), 115-136.
19
kebijakan luar negeri yang berbeda-beda, tetapi setiap negara mengeluarkan
kebijakannya untuk memenuhi dan mencapai kepentingan nasionalnya masing-
masing. Pada umumnya kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh suatu negara
melalui kebijakan luar negerinya adalah untuk dapat mempengaruhi negara lain,
menjaga keamanan nasional, dan mendapatkan keuntungan untuk negaranya..32
Kebijakan luar negeri yang diambil dari Amerika Serikat merupakan bentuk
dari sikap yang ingin diambilnya dalam suatu isu tertentu dan perwujudan dari
kepentingan nasional yang ingin diacapai pemerintahan Amerika Serikat, dalam
kasus ini adalah dalam isu lingkungan hidup. Kebijakan luar negeri Pemerintahan
Amerika Serikat yang berubah dalam menghadapi mekanisme yang dibentuk oleh
UNFCCC tersebut karena terdapat pengambilan kebijakan luar negeri yang berbeda
dalam Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris sebagai mekanisme dalam UNFCCC.
E.2. Konsep Kepentingan Nasional
Menurut James N Rosenau konsep kepentingan nasional digunakan dalam
kedua aksi politik dan analisa politik. Dalam penggunaan sebagai instrumen dari aksi
politik maka kepentingan nasional digunakan sebagai cara untuk membenarkan dan
mengusulkan kebijakan luar negeri suatu negara. Sedangkan bila digunakan sebagai
alat analisis maka kepentingan nasional merupakan alat untuk menjelaskan,
32
Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, 125-127.
20
mendeskripsikan, dan mengevaluasi kebijakan luar negeri suatu negara.33
Konsep
kepentingan nasional bila digunakan dalam aksi politik maupun analisa politik sama-
sama mempunyai tujuan untuk mencari kondisi yang terbaik bagi negaranya.
Konsep Kepentingan nasional merupakan suatu kondisi permanen yang
menjadi panduan nasional bagi pembuat kebijakan di suatu negara dalam proses
pembuatan kebijakan. Konsep ini sangat penting untuk digunakan karena dapat
menjelaskan perilaku ataupun tindakan internasional yang dilakukan oleh suatu
negara. Dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional suatu negara merupakan prinsip
dan tujuan dari dasar yang melandasi setiap pembuatan kebijakan luar negeri negara
tersebut dan tentu juga sebagai dasar dari keberadaan negara tersebut.34
Dalam kepentingan nasional di suatu negara sendiri juga terdapat beberapa
identifikasi kepentingan yang berbeda-beda, dimana terdapat empat kebutuhan dasar
dari dalam kepentingan nasional suatu negara. adapun dasar dari kepentingan
nasional suatu negara dapat dijelaskan pada aspek pertahanan, aspek ekonomi, aspek
tatanan dunia, dan aspek ideologi.35
Aspek pertahanan berusaha untuk memfokuskan kepentingan nasional suatu
negara pada perlindungan negara dan warga negaranya terhadap ancaman fisik dari
33
Nazaruddin Nasution, Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: Yayasan Bina Insan
Cita, 2017), 6. 34
James N Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy (New York: Nichols Publishing
Company, 1980), 283. 35
Donald E. Nuechterlein, United States National Interest in a Changing World (Lexington,Ky,
1973), 2-15.
21
negara lain maupun ancaman terhadap sistem pemerintahan negara tersebut. Aspek
ekonomi berfokus pada penguatan perekonomian negara dan hubungannya dengan
negara lain. Aspek tatanan dunia fokus dalam perbaikan sistem ekonomi dan politik
internasional sehingga negara dan warga negaranya dapat merasa aman beraktivitas
diluar batas teritori negaranya. Aspek ideologi fokus pada perlindungan nilai yang
warga negara tersebut percayai. Dengan aspek kepentingan nasional tersebut yang
saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan prioritas maka akan lebih
mudah untuk dapat melihat proses pembuatan keputusan dan menentukan lebih tepat
alasan dibalik keputusan yang diambil oleh pemimpin pemerintahan tersebut.36
Selain aspek dasar dari kepentingan nasional, juga terdapat intensitas dari
kepentingan nasional itu sendiri dimana intensitas kepentingan dapat dibagi menjadi
empat isu. Pertama adalah isu keberlangsungan hidup dimana keberadaan dari negara
sedang mengalami serangan militer dari negara lain. Lalu terdapat isu vital dimana
akan terdapat kerugian yang cukup besar dialami oleh negara kecuali jika negara
tersebut melakukan tindakan pencegahan yang cukup kuat atau berpengaruh. Isu
utama merupakan suatu situasi dimana aspek ekonomi, politil, ideologi dari negara
terlah dipengaruhi oleh suatu tren internasional sehingga membutuhkan tindakan
perbaikan agar tidak menjadi ancaman yang serius. Juga terdapat isu periperal dimana
36
Nuechterlein, United States National Interest in a Changing World, 2-15.
22
kepentingan dari warga negara dan perusahaan yang beroperasi di negara lain
terancam keamanannya.37
Kepentingan nasional harus mencakup kepentingan masyarakat yang
direpresentasikan oleh elit-elit politik dalam suatu pemerintahan melalui proses yang
demokrasi. Sangat sulit untuk memisahkan kepentingan nasional dari kebijakan luar
negeri suatu negara.38
Hal tersebut tentu berkaitan karena terdapat kepentingan
nasional dibalik proses pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat untuk
memilih tidak meratifikasi Copenhagen Accord dan memilih untuk meratifikasi
Perjanjian Paris.
E.3. Decision Making Analysis
Dalam level proses pembuatan kebijakan luar negeri terdapat banyak hal yang
dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri yang akan dikeluarkan oleh suatu negara,
seperti halnya budaya norma yang terdapat di dalam negara tersebut, sejarah
kebijakan luar negeri sebelumnya, dan tekanan atau permintaan dari sistem
internasional maupun masyarakat negara itu sendiri.39
37
Nuechterlein, United States National Interest in a Changing World, 2-15. 38
James N Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy (New York: Nichols Publishing
Company, 1980), 283. 39
Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, 320-321.
23
Menurut Rosenau sendiri negara dapat mempertahankan keberlangsungan
hidupnya dan juga memperoleh keuntungan dari tatanan sistem internasional melalui
kebijakan luar negeri yang dikeluarkannya. Rosenau juga melihat bahwa dalam
menganalisa sifat dari suatu kebijakan luar negeri suatu negara akan selalu
berhubungan dengan faktor lingkungan internal dan eksternal dari negara tersebut.
Faktor lingkungan internal di dalamnya adalah masyarakat negara tersebut,
pemerintahan yang berkuasa, dan kepribadian dari elit politik yang memerintah atau
idiosinkratik. Sedangkan faktor lingkungan eksternal meliputi hubungan negara
tersebut dengan negara-negara lain di tatanan dunia internasional.40
Dalam menganalisa suatu kebijakan luar negeri terdapat beberapa pendekatan
ataupun model perumusan dalam proses pembuatannya, adapun salah satunya adalah
model aktor rasional. Pendekatan ini melihat bahwa negara dapat dilihat sebagai
kesatuan aktor yang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan mereka dengan
menggunakan kebijakan luar negeri yang rasional di tatanan sistem internasional,
para pembuat keputusan dalam negara dilihat sebagai black box yang membuat tidak
mengetahui kekuatan politik dalam negeri yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
yang dibentuk oleh negara tersebut.41
40
James N. Rosenau, Gavin boyd, Kenneth W. Thompson, World Politics: An Introduction
(New york: The Free Press, 1976), 15-18. 41
Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochammad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 53-66.
24
Lalu terdapat model analisa organisasi yang merupakan alat analisa kebijakan
luar negeri menggunakan bukan hanya satu individu tetapi melibatkan berbagai aktor
dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Model
ini melihat bahwa dalam membentuk dan mengambil suatu kebijakan luar negeri
negara akan mengikuti standar prodesur operasional atau rutinitas sebelumnya dari
organisasi yang terdapat dalam pemerintahan negara tersebut.42
Selain itu juga terdapat model analisis birokrasi yang mempunyai pendekatan
kebijakan luar negeri melalui peranan dari para birokrat, model ini melihat proses
pembuatan kebijakan luar negeri bukan hanya dari para pengambil keputusan tetapi
juga dari birokrat, karena para birokrat dinilai mempunyai pengaruh besar dalam
sistem pemerintahan suatu negara sehingga dapat mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan luar negeri suatu negara.43
Jika dilihat dari seluruh model analitis tersebut
model analitis birokrasi merupakan model analisa yang paling cocok dalam
menganalisa permasalahan di penelitian ini.
42
Debbie Affianty, Analisa Politik Luar Negeri (Ciputat:UIN Press, Januari 2015), 42-43. 43
Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochammad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 53-66.
25
E.4. Model Aktor Rasional
Dalam model aktor rasional digambarkan bahwa perilaku negara dicerminkan
dengan aktor individual yang rasional dan juga sempurna, biasanya aktor rasional
tersebut memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap situasi dan selalu berusaha
secara rasional untuk mendapatkan dan memaksimalkan tujuannya. Berbagai macam
tindakan negara dianalisis dengan asumsi bahwa negara-negara tersebut selalu
mempertimbangkan semua pilihan yang ada dan memilih tindakan yang ada itu
dengan bertindak rasional agar mendapatkan keuntungan yang maksimal..44
Aktor rasional dalam suatu negara tersebut diharapkan dapat mengenal
kepentingan dari negaranya sendiri dan berusaha untuk mencapai kepentingan
tersebut dengan cara yang paling efisien dan rasional. Suatu aktor rasional dalam
negara harus dapat tindakan yang dimotivasi oleh kepentingan ataupun tujuan
negaranya, selain itu juga harus dapat memilih alternatif jalan dimana ia dapat
menyediakan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara yang paling efisien bagi
negaranya.45
Model aktor rasional berbeda dengan model analisa lainnya karena
pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara
dilakukan oleh satu aktor saja tidak seperti model organisasi dan birokrasi yang
44
Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai
Konstruktivisme (Bandung: Penerbit Nuansa, 2011), 24. 45
Alex Mintz & Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 57-60.
26
keputusannya dipengaruhi oleh banyak aktor atau pihak. Hal tersebut tentu
memberikan keuntungan pada model analisa aktor rasional karena keputusan dalam
kebijakan luar negeri dapat lebih cepat diambil dan tidak melewati proses rumit di
birokrasi ataupun organisasi, walaupun begitu bukan berarti hasil dari pengambilan
keputusan kebijakan luar negeri tersebut akan selalu lebih baik.46
Dalam diri aktor rasional tersebut terdapat idiosinkratik yang merupakan salah
satu elemen yang membentuk keputusan rasional yang diambil oleh individu tersebut,
dalam idiosinkratik tersebut terdapat sumber internal yang berupa nilai atau prinsip
yang dianut, pengalaman, bakat, dan kepribadian politik dari aktor rasional itu sendiri.
Semua hal tersebut nantinya akan mempengaruhi perhitungan, pandangan, dan
tindakan yang nantinya akan diambil oleh aktor rasional dalam membentuk suatu
kebijakan luar negeri, pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan luar negeri
yang melalui idiosinkratik tersebut lah yang dapat dikatakan sebagai tindakan
rasional yang diambil oleh aktor individu.47
Dalam membentuk kebijakan luar negerinya, pemimpin suatu negera tersebut
harus melihat keadaan politik dalam negeri dan internasional terlebih dahulu, karena
kedua hal tersebut dapat mempengaruhi proses pembuatannya. Dalam faktor politk
dalam negeri sendiri biasanya terbagi menjadi birokrasi, opini publik, dan faktor
46
Alex Mintz & Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making, 57-62. 47
Alex Mintz & Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making, 57-62
27
internal lainnya. Sedangkan dalam faktor internasional akan dilihat dari perlombaan
senjata, keadaan regional, dan fakor lainnya.48
F. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif,
penelitian ini merupakan suatu proses penelitan dan pemahaman yang dilandasi oleh
fenomena sosial di masyarakat dunia internasional saat ini. Penelitian ini juga bersifat
deskriptif karena dapat digunakan untuk mengobservasi fakta yang terjadi di dunia
internasional dibantu dengan teori dalam menganalisa fenomena tersebut, dengan
menggambungkan pandangan, teori dan ide untuk menganalisa suatu fenomena maka
akan dihasilkan suatu kesimpulan yang berbentuk pengetahuan baru. 49
Masalah atau fenomena yang dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena
perubahan kebijakan di dalam proses pembuatan kebijakan pemerintahan Amerika
Serikat pada masa periode Presiden Barrack Obama dalam menanggapi mekanisme
yang dibentuk oleh UNFCCC, yaitu Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.
Penelitian ini akan menggunakan sumber data sekunder. Penelitian
menggunakan sumber data sekunder merupakan penelitian yang berasal dari sumber-
48
Alex Mintz & Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making, 57-62. 49
John W. Creswell, Research Design: Qualitative Quantitative & Mixed Methods Approaches.
(Wahington DC: SAGE Publications Inc, 2013), 32.
28
sumber kepustakaan, seperti: buku, jurnal, hasil penelitian, dan data dari situs-situs
internet. Dengan menggunakan sumber data sekunder tersebut maka akan
memudahkan analisa dalam penelitian yang akan diteliti.
Adapun sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
data-data riset kepustakaan di perpustakaan (Library Research), seperti buku, hasil
penelitian, dan jurnal. Tempat-tempat yang akan dipakai dalam riset perpustakaan
yaitu perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan
Perpustakaan Universitas Indonesia. Kemudian penelitian ini juga memakai sarana
internet dalam proses pengumpulan datanya yang terkait dengan permasalahan
penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Pada proposal penelitian ini tedapat sistematika penulisan yang pembahasannya
terbagi menjadi lima bagian utama. Bab I dalam penelitian ini berisi mengenai
pendahuluan masalah yang diteliti, terdiri dari latar belakang masalah mengenai
mekanisme-mekanisme yang terdapat dalam UNFCCC dan bagaimana perubahan
sikap atau kebijakan luar negeri dari Amerika Serikat. Selain latar belakang, Bab I
juga membahas mengenai pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
29
tinjauan pustaka, kerangka teoritis yang akan digunakan untuk menganalisa
permasalahan, dan metode penelitian yang akan digunakan.
Bab II dalam penelitian ini berisi tentang pembahasan yang nantinya akan
menjadi isi dari penelitian ini. Terdapat pembahasan mengenai terbentuknya
UNFCCC, mekanisme-mekanisme yang ada di dalam UNFCCC, pertemuan-
pertemuan CoP, juga protokol dan perjanjian yang tercipta dari pertemuan-pertemuan
tersebut seperti Protokol Kyoto, Copenhagen Accord, dan Perjanjian Paris. Selain itu,
juga akan sedikri disinggung mengenai pentingnya keikutsertaan Amerika Serikat
dalam mekanisme yang dibentuk oleh UNFCCC.
Bab III pada penelitian ini membahas mengenai sikap atau kebijakan luar
negeri dari Amerika Serikat terhadap protokol dan perjanjian yang dibentuk oleh
UNFCCC. Dalam Bab ini akan dibahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika
Serikat terhadap UNFCCC dari masa ke masa, mulai dari periode Presiden Bush
sampai pada periode kepresidenan kedua dari Presiden Obama. Juga akan dibahas
sedikit mengenai perubahan kebijakan luar negeri yang terjadi di dalam pemerintahan
Amerika Serikat dalam merespon Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris.
Bab IV akan berisi mengenai analisa permasalahan dari penelitian ini. Dalam
Bab IV akan dianalisa alasan dibalik perubahan kebijakan luar negeri Amerika
Serikat dalam merespon mekanisme yang dibentuk oleh UNFCCC, yaitu Copenhagen
Accord dan Perjanjian Paris menggunakan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya.
30
Bab IV juga akan membahas kepentingan nasional dibalik proses perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Bab V adalah bab yang berisi mengenai kesimpulan yang terdapat dari
penelitian ini. Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan jawaban dari seluruh
hasil analisa permasalahan penelitian yang sudah dibahas dalam bab-bab
sebelummnya dan juga jawaban dari pertanyaan penelitian tersebut.
31
BAB II
UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE
CHANGE
A. Konvensi UNFCCC
Perubahan iklim yang disebabkan oleh fenomena pemanasan global
merupakan masalah internasional atau lintas batas negera yang membutuhkan
komitmen dan upaya dari seluruh negara untuk dapat diselesaikan. Adapun dengan
meningkatnya pemanasan global terebut telah berakibat pada berbagai aspek yang
terdapat di atas permukaan bumi, seperti halnya meningkatnya suhu pemanasan di
bumi, jumlah karbondioksida yang meningkat secara pesat di atmosfer bumi,
penyebaran air yang tidak merata, dan juga kenaikan dari permukaan laut.
Maka dari itu untuk menyikapi masalah lingkungan tersebut banyak negara
merasa akan dibutuhkannya organisasi antar pemerintah yang menyediakan informasi
ilmiah mengenai perubahan iklim, maka pada tahun 1988 dibentukalah
Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC. Pada tahun yang sama
Majelis umum PBB mengangkat isu perubahan iklim untuk pertama kalinya pada
tahun 1988 di Malta dan mengangkat resolusi no 44/53 yang berisi “Perlindungan
32
atas iklim dunia untuk generasi masa kini dan generasi yang akan datang”50
untuk
dapat menarik perhatian dunia terkait perubahan iklim.
Pada Oktober 1990 telah diadakan Ministerial Declaration of the Second
World Climate Conference yang diadakan di Jenewa dimana IPCC mengangkat isu
perubahan iklim dan memperlihatkan hasil penelitiannya yang menegaskan kembali
bahwa perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini merupakan ancaman bagi
keberlangsungan hidup manusia dan untuk mencegah dan menyelesaikan hal tersebut
akan dibutuhkan kerjasama dari seluruh negara. hasil penelitian IPCC tersebut sangat
berkontribusi penting bagi perubahan iklim yang pada saat itu masih diragukan
kebenarannya secara ilmiah.51
Dengan menggunakan momentum yang dibentuk oleh hasil penelitian IPCC,
PBB pun berusaha untuk membentuk Intergovernmental Negotiating Committe for a
Framework Convention on Climate Change dimana komite tersebut dibentuk dengan
tujuan untuk menjadi wadah dari negosiasi mengenai isu perubahan iklim diantara
negara-negara. Melalui Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil
pada tahun 1992 dibentuklah negosiasi untuk membentuk konvensi kerangka kerja
yang mengatasi masalah perubahan iklim yaitu UNFCCC atau United Nations
Framework Convention on Climate Change, yang didasarkan pada tujuan awal dari
50
Climate Change Secretariat, A Guide to The Climate Change Convention Process (Bonn:
Climate Change Secretariat, 2002), 6. 51
Lorraine Elliot, The Global Politics of The Environment (New York: New York University
Press Wahington Square, 2004), 82.
33
PBB dalam usahanya untuk membentuk Intergovernmental Negotiating Committe for
a Framework Convention on Climate Change. 52
UNFCCC mempunyai fungsi pada pengurangan tingkat perubahan iklim dan
suhu bumi dengan mengurangi pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara akibat dari
perkembangan industri di negara-negara maju. Kerangka kerjasama UNFCCC sendiri
sudah ditandatangani 154 negara anggota KTT Bumi PBB pada Juni 1992 dan
konvensi ini mulai diberlakukan semenjak tanggal 21 Maret 1994, dengan tujuan
bersama untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di udara pada level yang
tidak lagi membahayakan manusia.53
Berdasarkan pada artikel dua konvensi, UNFCCC mempunyai tujuan untuk
“menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sampai pada level yang dapat
mencegah gangguan pada atmosfer bumi”. Dapat dilihat melalui artikel dua konvensi
tersebut bahwa negara-negara anggota UNFCCC mempunyai tujuan bersama untuk
menurunkan konsentrasi gas rumah kaca sampai pada jumlah yang tidak lagi
membahayakan bagi atmosfer bumi dari kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
perubahan iklim bumi.54
52
UNFCCC Secretariat, United Nations Framework Convention on Climate Change Handbook
(Bonn: Climate Change Secretariat, 2006), 16-17. 53
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change Handbook, 16-17. 54
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change (Bonn:United Nations,
1992), 7.
34
Melalui konvensi UNFCCC para pemimpin negara-negara anggota saling
menyepakati untuk mengumpulkan dan membagi informasi mengenai perubahan
iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca, Negara-negara anggota UNFCCC
saling bekerjasama untuk dapat beradaptasi dan memperbaiki dampak dari
meningkatnya konsentrasi emisi gas rumah kaca dengan cara menyediakan dukungan
keuangan untuk perbaikan lingkungan dan transfer teknologi dari negara industri
maju ke negara berkembang. Juga dalam ranka untuk dapat mencapai tujuan dari
UNFCCC tersebut maka akan sangat diperlukan prinsip-prinsip yang dapat menjadi
langkah dasar dalam melaksanakan adaptasi dari perubahan iklim.
B. Prinsip UNFCCC
Dalam konvensi UNFCCC sendiri terdapat beberapa prinsip yang telah
menjadi panduan bagi berjalannya kebijakan yang diadakan dalam UNFCCC,
prinsip-prinsip tersebut telah diatur dalam pasal 3 UNFCCC. Prinsip dalam UNFCCC
tersebut telah disusun dengan memperhatikan kepentingan dari UNFCCC yang ingin
mencapai tujuannya tetapi juga tidak menghiraukan kesetaraan dari para negara maju
dan berkembang yang ada dalam konvensi tersebut.
Prinsip pertama adalah Common but Differentiated Responsibilities and
Respective Capabilities, yang mana prinsip ini mengakui bahwa setiap negara
35
anggota UNFCCC mempunyai tujuan yang sama untuk menekan laju peningkatan
emisi gas rumah kaca di negaranya namun dengan kontribusi yang berbeda-beda,
terutama diantara negara maju dan negara berkembang. setiap negara anggota
memiliki tanggung jawab yang berbeda dikarenakan kapabilitas teknologi dan
ekonomi tiap negara yang berbeda-beda dalam menangani perubahan iklim.55
Prinsip kedua adalah The Specific Needs and Special Circumtances of
Developing Country yang mana merupakan prinsip yang berisi adanya keadaan
khusus yang dibutuhkan bagi negara-negara anggota UNFCCC, terlebih lagi kepada
negara berkembang yang masih berfokus dalam pertumbuhan ekonomi.56
Maka dari
itu negara-negara berkembang tersebut harus diberi pertimbangan penuh dan bantuan
dana untuk dapat beradaptasi dengan dampak dari perubahan iklim.
Prinsip ketiga adalah The Principle of The Precautionary Measures. Prinsip
ini menyatakan bahwa egara-negara anggota UNFCCC harus mengambil tindakan
pencegahan untuk mengatisipasi dan mencegah penyebab dari munculnya perubahan
iklim. Selain itu juga mengurangi dampak negatif yang terjadi di berbagai negara
akibat dari perubahan iklim.57
Prinsip keempat adalah The Principle of Sustainable Development yang
menyatakan bahwa negara-negara anggota UNFCCC memiliki kewajiban dan hak
55
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change (Bonn:United Nations,
1992), 9. 56
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, 9. 57
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, 9.
36
untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negaranya. Adapun elemen
dari pembangunan berkelanjutan adalah tercukupinya kebutuhan dasar, pemanfaatan
sumber daya yang hemat dan efisien, teknologi ramah lingkungan, demokratisasi
dalam pengambilan keputusan sumber daya, dan pembatasan jumlah penduduk.58
Prinsip kelima adalah Principle Cooperate to Promote a Supportive and Open
International Economic System. Prinsip ini memfokuskan pada Negara anggota
UNFCCC yang harus saling bekerja sama untuk meningkatkan sistem ekonomi
internasional yang terbuka sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi di semua negara anggota UNFCCC, terutama negara
berkembang.59
Dengan sistem ekonomi internasional yang lebih terbuka diantara
negara-negara anggota UNFCCC maka negara berkembang akan mempunyai tingkat
perekonomian yang lebih baik dan mampu mengatasi masalah perubahan iklim di
negaranya.
C. Kelembagaan UNFCCC
Dalam menjalankan konvensi ataupu pertemuan dari UNFCCC sendiri
terdapat beberapa badan yang mempunyai tugas dan kewajibannya masing-masing
dalam menjalankan kegiatan dari UNFCCC. Adapun badan tertinggi dalam UNFCCC
58
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, 10. 59
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, 10.
37
adalah CoP atau Conference of the Parties yang merupakan otoritas utama dan juga
sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam konvensi UNFCCC. COP merupakan
badan yang bertanggung jawab dalam merancang upaya internasional yang terkait
dengan adaptasi perubahan iklim juga meninjau secara teratur pelaksanaan dari upaya
konvensi setiap negara anggota UNFCCC.60
CoP terdiri dari semua negara anggota UNFCCC dan mempunyai rutinitas
untuk mengadakan petemuan setiap tahunnya selama jangka waktu dua minggu.
Pertemuan ini diikuti oleh delegasi pemerintah negara anggota UNFCCC, pengamat
organisasi, dan wartawan. Adapun pertemuan CoP diadakan di negara anggota PBB
secara bergantian. CoP mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh setiap negara
anggota dalam mengimplementasikan konvensi yang telah diambil dan apakah
pengimplementasiannya sudah efektif. Dalam melaksanakan tugasnya, COP meninjau
komunikasi nasional dan persediaan emisi serta memanfaatkan pengalaman untuk
melanjutkan mengatasi perubahan iklim.61
Sesi pertemuan dalam CoP diadakan dan biasanya dipimpin oleh Presiden
CoP yang merupakan seorang menteri lingkungan dari negara pertemuan CoP
diadakan, juga presiden tersebut dipilih secara aklamasi setelah diadakannya
pembukaan CoP. Presiden yang terdapat dibawah naungan CoP hanya diperbolehkan
60
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan
Nationally Determined Contribution (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016), 9. 61
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan
Nationally Determined Contribution, 10.
38
untuk memihak pertemuan dari CoP dan bukan negaranya, juga tidak diperbolehkan
untuk melaksanakan kewajiban diluar pertemuan CoP. Presiden yang memimpin CoP
mempunyai keterlibatan dalam negosiasi antara menteri-menteri tiap negara anggota
CoP pada saat itu, selain itu Presiden CoP juga mempunyai tugas untuk memfasilitasi
pelaksanaan pertemuan program CoP dan untuk mengkompromikannya diantara
negara-negara anggota pertemuan konvensi.62
Presiden yang diotorisasi oleh CoP juga dibantu dan didukung oleh biro yang
terdiri dari tujuh wakil presiden, ketua bidang dari Subsdiary Bodies dan pelapor.
Tujuh wakil presiden tersebut mempunyai tugas untuk mempimpin sesi pertemuan
CoP tingkat tinggi, sedangkan ketua bidang Subsdiary Bodies dan pelapor
mempunyai tugas untuk membentuk laporan dan melaporkannya di tiap sesi
pertemuan CoP. Biro tersebut beranggotakan sepuluh orang yang mewakili lima
regional dalam PBB yaitu Asia, Afrika, Eropa Barat, Eropa Timur, Amerika Latin
dan Karibia. Biro tersebut akan dipilih lagi anggotanya setelah satu tahun menjabat.63
Dalam CoP terdapat dua Subsdiary Bodies, yaitu Subsdiary for Scientific and
Technological Advise atau SBSTA yang mempunyai tugas terkait dengan masalah
teknologi juga ilmiah dan juga bertugas untuk menjembatani konvensi dengan badan
informasi ilmiah internasional seperti IPCC. Badan lainnya adalah Subsdiary Body
for Implementation atau SBI yang mempunyai tugas untuk mengamati dan menilai
62
UNFCCC Secretariat, United Nations Framework Convention on Climate Change Handbook
(Bonn: Climate Change Secretariat, 2006), 31. 63
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change Handbook, 31-32.
39
pelaksanaan konvensi, selain itu juga mempunyai tugas untuk memberi saran kepada
COP terkait bidang administrasi.
Sesi pertemuan COP umumnya berjalan selama dua minggu dan dilakukan
paralel dengan sesi pertemuan SBSTA dan SBI, kedua badan pendukung CoP
tersebut mempunyai perang yang penting dalam proses menangani perubahan iklim
dikarenakan hasil dari pertemuan kedua badan tersebut akan diolah dan ditampilkan
dalam pertemuan CoP.64
Dalam menjalankan tugasnya, COP dibantu oleh badan-badan khusus yang
menangani isu UNFCCC di bidang-bidang tertentu,. Adapun badan-badan khusus
yang menagani bidang tertentu tersebut salah satunya adalah Badan khusus Expert
Group on Technology Transfer (EGTT) yang menangani bidang teknologi dalam
UNFCCC. Badan khusus EGTT mempunyai tugas untuk memberikan saran ilmiah
juga teknis kepada konvensi dalam UNFCCC untuk dapat mengembangkan teknologi
ramah lingkungan, selain itu juga untuk memulai transfer teknologi ramah
lingkungan dari negara maju ke negara berkembang.65
Badan khusus lainnya adalah Least Developed Countries Expert Group (LEG)
yang mempunyai tujuan untuk membantu negara-negara berkembang untuk dapat
mengintregasikan kebijakan nasionalnya dengan kebijakan perbaikan iklim UNFCCC
64
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change Handbook, 32. 65
Climate Change Secretariat, A Guide to The Climate Change Convention Process (Bonn:
Climate Change Secretariat, 2002), 22.
40
sehingga negara tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Consultive
Group of Experts atau CGE merupakan badan khusus lainnya yang mempunyai tugas
untuk membangun proses komunikasi diantara negara-negara anggota UNFCCC
mengenai isu perubahan iklim.66
Selain badan khusus yang terdapat di dalam UNFCCC juga terdapat mitra
kerja UNFCCC yang saling bekerjasama untuk dapat mencapai tujuan UNFCCC.
Pertama yaitu Global Environment Facility atau GEF yang bertugas untuk mengatur
mekanisme keuangan dalam berbagai kegiatan atau proyek perlindungan iklim di
negara-negara berkembang. Kedua adalah Intergovernmental Panel on Climate
Change atau IPCC yang berkontribusi penting dalam pengolahan informasi ilmiah
terhadap perubahan iklim sehingga dapat digunakan oleh UNFCCC untuk
bernegosiasi dengan negara-negara anggotanya terkait implementasi konvensi.67
Selain itu juga terdapat Sekretariat UNFCCC yang mempunyai posisi di
bawah langsung CoP dan merupakan badan organisasi yang terkait dengan PBB,
yang bertempat di Bonn, Jerman semenjak Agustus 1996. Adapun anggota yang
terdapat di dalam sekretariat UNFCCC terdiri dari Kepala dan Sekertaris Eksekutif
dan 400 pegawai lainnya yang dipekerjakan oleh Sekretaris Jenderal PBB.
Fungsi dari sekretariat dalam UNFCCC adalah untuk membentuk peraturan di
setiap konferensi, menyusun laporan yang diterima dan dikirimkan kepada PBB,
66
Climate Change Secretariat, A Guide to The Climate Change Convention Process, 22-23. 67
Climate Change Secretariat, A Guide to The Climate Change Convention Process, 10-17.
41
memfasilitasi bantuan kepada negara anggota UNFCCC yang melaksanakan
perjanjian dalam konvensi, membentuk laporan kegiatan sekretariat kepada COP,
mengkoordinasikan sekretariat badan internasional yang terkait dengan UNFCCC,
mengatur kontak dan administratif dalam melaksanakan konvensi UNFCCC,
mengfungsikan sekretariat lainnya yang terdapat dari hasil konvensi, COP, maupun
Protokol. Lembaga dan badan lain dalam UNFCCC juga telah diatur sesuai dengan
Subsdiary Bodies, Bureau dan Sekretariat.68
Melalui lembaga-lembaga yang telah dibentuk untuk dapat memenuhi tujuan
dari UNFCCC tersebut maka dapat dilihat isu lingkungan hidup, khususnya isu
perubahan iklim menjadi salah satu isu yang menarik perhatian banyak negara dan
juga telah menjadi isu utama dari berbagai pertemuan dan konvensi dari setiap negara
baik dalam tingkat bilateral, regional maupun internasional.
D. Pertemuan CoP
Dalam setiap pertemuan CoP selalu diharapkan adanya peran aktif dari para
negara maju atau negara Annex I untuk dapat memimpin negara berkembang pada
upaya mencegah perubahan iklim. Kelompok negara Annex I sangat diharapkan
dapat memimpin negara lain dalam keikutsertaannya pada kegiatan UNFCCC dan
68
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change (Bonn:United Nations,
1992), 17.
42
memberikan bantuan keuangan terhadap negara berkembang dalam melakukan
kegiatan atau program UNFCCC untuk dapat beradaptasi terhadap dampak dari
perubahan iklim.
Keanggotaan negara dari UNFCCC sendiri dapat dilihat melalui dua kategori,
yaitu negara Annex I dan negara non Annex. Negara Annex I merupakan negara maju
yang bertanggung jawab terhadap rusaknya lingkungan di masa industrialisasi dan
merupakan negara yang memiliki kapasitas ekonomi yang cukup besar. Sedangkan
negara non annex merupakan negara berkembang yang rentan terhadap akibat dari
dampak perubahan iklim sehingga diberi pertimbangan khusus di bawah konvensi
UNFCCC.69
Salah satu negara Annex I yang yang diharapkan dapat memimpin negara lain
dalam mengikuti kegiatan UNFCCC adalah Amerika Serikat, karena bukan hanya
sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar tetapi juga sebagai
negara dengan kapasitas ekonomi yang besar sehingga diharapkan dapat memberikan
bantuan keuangan kepada negara berkembang dan sekaligus juga memimpin negara-
negara lain agar mengikuti kegiatan dan program dari UNFCCC.
Hal tersebut dapat dilakukan oleh negara yang masuk kedalam kategori Annex I
karena terdapat kapasitas besar yang dimiliki oleh negara maju untuk dapat mengikuti
kegiatan UNFCCC dalam upayanya mencegah perubahan iklim, yang mana negara
69
Arya Hadi Dharmawan, et. al, SVLK, Jalan Menuju REDD++ (Jakarta: Forest Governance
and Multistakeholder Foresty Programme, 2011), 14.
43
berkembang tentu tidak memilikinya sehingga membuat negara berkembang lebih
berfokus kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi negaranya dibandingkan dengan
mengikuti kegiatan ataupun program UNFCCC. Maka dari itu bantuan dari negara
maju akan sangat dibutuhkan bagi negara berkembang agar dapat
mengimplementasikan program dari UNFCCC.
Selain itu konvensi perubahan iklim UNFCCC juga dihadiri oleh para Observer
yang merupakan kelompok lembaga antar pemerintah dan mewakili kepentingan dari
suatu kelompok ekonomi, lingkungan hidup, maupun akademik. Kelompok observer
tersebut merupakan kelompok ataupun lembaga yang diizinkan untuk mengikuti dan
bahkan mengemukakan pendapat kelompoknya di dalam pertemuan UNFCCC, tetapi
walaupun begitu observer tidak dapat berpatisipasi secara langsung dalam
pengamibilan keputusan UNFCCC.70
Adapun lembaga-lembaga antar pemerintah yang secara rutin mengikuti
konvensi yang diadakan UNFCCC merupakan lembaga yang biasanya mempunyai
kepentingan dengan hasil dari pembahasan perubahan iklim di dunia. Seperti halnya
lembaga Organization of Petroleum Exporting Countries atau OPEC, World
Meteorogical Organization atau WMC, juga Organization for Economic Cooperation
and Development atau OECD, dan lembaga-lembaga antar pemerintah lainnya.
70
Climate Change Secretariat, A Guide to The Climate Change Convention Process (Bonn:
Climate Change Secretariat, 2002), 18-19.
44
Pertemuan CoP setiap tahunnya diikuti oleh setiap negara anggota UNFCCC
dan membahas mengenai topik perubahaan iklim yang mengancam kehidupan
lingkungan alam dan mahluk hidup di dalamnya, akan tetapi isi dari pembahasan
dalam upaya dari pertemuan CoP tersebut untuk menghadapi dampak dari perubahan
iklim selalu berbeda-beda. Sampai pada periode tahun skripsi ini dibentuk , UNFCCC
telah melaksanakan 21 pertemuan CoP, Adapun pertemuan-pertemuan tersebut
adalah sebagai berikut.71
Tabel II.1 Pertemuan CoP Beserta Hasilnya
Sesi Tempat dan Waktu Pekembangan dan Hasil
CoP-1 Berlin, 1995 Pembahasan mengenai komitmen negara maju
untuk melaksanakan perjanjian UNFCCC dibentuk
dalam Berlin Mandate
CoP-2 Jenewa, 1996 Perubahan signifikan dari posisi Amerika Serikat
terhadap isu-isu yang dinegosiasikan dalam CoP-2
CoP-3 Kyoto, 1997 Menghasilkan kesepakatan bersama untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, yang tercantum
dalam Protokol Kyoto.
CoP-4 Buenos Aires, 1998 Dihasilkan Buenos Airea Plans of Action (BAPA)
untuk dapat menyelesaikan masalah implementasi
Protokol Kyoto yang belum disepakati.
CoP-5 Bonn, 1999 Lanjutan pembahasan mengenai mekanisme
implementasi Protokol Kyoto.
CoP-6 Den Haag, 2000 dan
Bonn, 2000
CoP ditunda dan dilanjutkan di Bonn, Jerman yang
menghasilkan Bonn Agreement.
CoP-7 Marrakesh, Maroko,
2001
Menghasilkan Marrakesh Accord yang berisi
penyelesaian masalah mekanisme pendanaan
UNFCCC berupa GEF
CoP-8 New Delhi, 2002 Menghasilkan New Delhi Declaration yang berisi
desakan untuk negara maju dan negara berkembang
71
UNFCCC, “Calender Recent Session of UNFCCC” ,Januari 2018 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/meetings/items/6240.php Internet; diunduh pada 13 Maret 2018.
45
agar segera meratifikasi Protokol Kyoto dan
melakukan diversifikasi kepada energi terbarukan.
CoP-9 Milan, 2003 Implementasi Marrakesh Accord dan persiapan dari
negara berkembang yang baru mulai melakukan
proses ratifikasi Protokol Kyoto agar dapat
beadaptasi dengan Perubahan iklim.
CoP-10 Buenos Aires, 2004 Menghasilkan Adaptation CoP karena pembahasan
mengenai adaptasi dari efek negatif perubahan iklim
mendominasi jalannya negosiasi
CoP-11 Montreal, 2005 Pembahasan mengenai komitmen baru yang akan
menggantikan Protokol Kyoto yang akan habis pada
tahun 2012
CoP-12 Nairobi, 2006 Pembahasan lanjutan mengenai pembentukan
komitmen baru pasca Protokol Kyoto.
CoP-13 Bali, 2007 Dihasilkan Bali Road Map dan Bali Action Plan
sebagai hasil pertemuan terbaru yang dihasilkan
menjelang berakhirnya kesepakatan Protokol Kyoto
tahun 2012
CoP-14 Poznan, 2008 Pembahasan mengenai implementasi berjalannya
Bali Road Map dan Bali Action Plan
CoP-15 Copenhagen, 2009 Dihasilkannya Copenhagen Accord
CoP-16 Cancun, 2010 Dibentuknya Cancun Agreement dan Cancun
Adaptation Framework
CoP-17 Durban, 2011 Working Group pada Durban Platform untuk
implementasi Framework CoP yang sudah dibentuk
sebelumnya
CoP-18 Doha, 2012 Terbentuknya Doha Gateway, Doha Amandement
CoP-19 Warszawa, 2013 Dihasilkannya Warsaw International Mechanism
For Loss And Damage Associated With Climate
CoP-20 Lima, 2014 Pembahasan segera mengenai aksi adaptasi
perubahan iklim.
CoP-21 Paris, 2015 Pembentukan Paris Agreement yang merupakan
pengganti Kyoto Protocol 1997 yang akan dimulai
tahun 2020
Hasil-hasil di atas menunjukan bahwa perundingan rezim perubahan iklim
berlangsung sangat dinamis. Perubahan dari tahun ke tahun dari perundingan satu ke
46
perundingan lainnya sering tidak dapat diduga, akan selalu terdapat hambatan dalam
mengimplementasikan perjanjian-perjanjian yang dibentuk dalam pertemuan CoP.
Dari seluruh pertemuan CoP yang sudah diadakan terdapat beberapa pertemuan
CoP yang sangat penting bagi terpenuhinya tujuan dari UNFCCC untuk menghadapi
perubahan iklim dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari negara-negara Annex
I, seperti Amerika Serikat untuk dapat berfungsi dengan baik yaitu Copenhagen
Accord dan Perjanjian Paris. Dalam hasil perjanjian dari kedua pertemuan CoP yaitu
Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris terdapat respon dari Amerika Serikat yang
mempengaruhi partisipasi dari negara lain dalam mengikuti kedua perjanjian tersebut.
E. Perbandingan Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris
Adapun Copenhagen Accord merupakan hasil pertemuan CoP yang diadakan di
Copenhagen, Denmark pada Desember 2009. Pertemuan konferensi tersebut
dianggap penting bagi iklim dunia, dan negara-negara anggota UNFCCC karena
Copenhagen Accord merupakan Protokol yang berusaha untuk mencegah dan
memperbaiki pemanasan global dan perubahan iklim. Hal tersebut dilakukan karena
pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan habis masa berlakunya maka dari itu
47
Copenhagen Accord diharapkan menjadi pengganti Protokol Kyoto dalam
memperbaiki dampak negatif dari perubahan iklim.72
Dalam Copenhagen Accord tersebut terdapat pernyataan bahwa pada Januari
2010 setiap negara harus menetapkan target pengurangan emisi GRK pada tahun
2020. Harus terdapat komiten bersama diantara negara-negara anggota UNFCCC
mengenai pengurangan dampak negatif dari perubahan iklim dan harus disepakati
oleh seluruh negara anggotanya. Adapun dalam Copenhagen Accord terdapat 12 poin
yang saling disepakati oleh para negara anggota UNFCCC73
. Walaupun begitu dalam
perundingannya terdapat hambatan yang disebabkan oleh Amerika Serikat sehingga
membuat Copenhagen Accord tersebut tidak dapat terlaksanakan.
Sedangkan Perjanjian Paris merupakan hasil dari pertemuan CoP ke 21
mengenai Perubahan Iklim yang telah dilaksanakan di Paris, Perancis pada tahun
2015 dan dihadiri oleh negara-negara anggota UNFCCC. Persetujuan Paris di
dalamnya memuat ketentuan dan kesepakatan diantara negara-negara mengenai
penetapan kontribusi nasional di setiap negara anggota UNFCCC dalam pengurangan
emisi gas rumah kaca di negara masing-masing yang diharapkan nantinya akan
diimplementasikan pada tahun 2020.
72
UNFCCC, “Copenhagen Accord” ,Desember 2009 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/meetings/copenhagen_dec_2009/items/5262.php Internet; diunduh pada 13 Maret
2018. 73
UNFCCC, Copenhagen Accord, Desember 2009.
48
Tujuan dari Persetujuan Paris ini tertulis pada pasal dua yang berisi mengenai
harus adanya upaya dari negara-negara UNFCCC untuk menahan rata-rata
peningkatan suhu global dibawah 2°C di atas suhu bumi pada masa pra-industrialisasi
dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu di
masa praindustrialisasi. Upaya ini diharapkan akan secara signifikan mengurangi
risiko dan dampak merugikan perubahan iklim. Tujuan lainnya adalah untuk
meningkatakan kemampuan adaptasi dari negara-negara di dunia terhadap dampak
negatif dari perubahan iklim.74
Banyak pihak yang berharap melalui Perjanjian Paris tersebut pada akhirnya
terdapat perjanjian maupun mekanisme yang akhirnya dapat digunakan oleh negara-
negara UNFCCC dalam menghadapi perubahan iklim, menggantikan Protokol Kyoto.
Tentu seperti halnya perjanjian-perjanjian lain yang dibentuk melalui pertemuan CoP
keikutsertaan negara-negara anggota UNFCCC sangat diperlukan untuk melancarkan
pelaksanaan dari perjanjian tersebut tidak terkecuali Perjanjian Paris. Maka dari itu
kepemimpinan dan contoh dari negara-negara maju atau Annex I dalam mengikuti
Perjanjian Paris ini akan sangat dibutuhkan agar negara-negara lain terutama negara
berkembang atau Non Annex ikut meratifikasi dan melaksanakan Perjanjian Paris.
Dari kedua perjanjian hasil pertemuan UNFCCC tersebut dapat dilihat terdapat
persamaan substansi dari Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris yang membuat
74
United Nations, “Paris Agreement” ,2015 [artikel on-line] tersedia di
https://unfccc.int/files/meetings/paris_nov_2015/application/pdf/paris_agreement_english_.pdf
Internet; diunduh pada 13 Maret 2018.
49
kedua perjanjian tersebut dapat dibandingkan satu sama lain dalam melihat perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Seperti pada tujuan dari Copenhagen Accord
dan Perjanjian Paris yang sama-sama mempunyai tujuan untuk menghadapi ancaman
dari perubahan iklim dengan cara membatasi kenaikan suhu bumi dibawah suhu yang
sudah ditentukan.75
Kedua perjanjian tersebut mempunyai kesamaan dalam substansi dari tujuan
diadakannnya perjanjian tersebut sesuai yang tertera dalam Copenhagen Accord pada
“...to reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below
2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with science and
on the basis of equity...”76
dan tertera juga di Perjanjian Paris dalam “...Holding the
increase in the global average temperature to well below 2 °C above pre-industrial
levels...”77
dimana kedua perjanjian tersebut berusaha untuk membatasi kenaikan
suhu bumi dibawah 2 derajat.
Selain itu juga terdapat persamaan substansi dari kedua perjanjian tersebut pada
mekanisme transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang dimana
Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris sama-sama mempunyai mekanisme untuk
mendukung negara berkembang menghadapi dampak dari perubahan iklim melalui
transfer teknologi. Mekanisme keikutsertaan dari setiap negara dalam National
75
UNFCCC, Copenhagen Accord, Desember 2009. 76
UNFCCC, Copenhagen Accord, Desember 2009 77
United Nations, “Paris Agreement” ,2015 [artikel on-line] tersedia di
https://unfccc.int/files/meetings/paris_nov_2015/application/pdf/paris_agreement_english_.pdf
Internet; diunduh pada 13 Maret 2018.
50
Determined Contribution di kedua perjanjian pun juga mempunyai substansi yang
sama dimana keduanya menetapkan kontribusi dari setiap negara terhadap
pengaplikasian Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris sesuai dengan kapabilitas
dari negara tersebut.78
Kesamaan pada substansi dari Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris
membuat kedua perjanjian tersebut dapat dibandingkan satu sama lain dalam
menganalisa perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalammerespon hasil
perjanjian UNFCCC. Dapat dikatakan bahwa Perjanjian Paris merupakan perjanjian
yang mempunyai substansi atau isi yang sama dengan Copenhagen Accord tetapi
dengan data perubahan iklim yang sudah terlebih dahulu diperbaharui.
Amerika Serikat sendiri merupakan negara maju yang mempunyai peran cukup
penting dalam berjalannya perjanjian-perjanjian hasil pertemuan CoP, seperti
Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris. Dapat dikatakan Amerika Serikat
merupakan negara role model bagi negara-negara lain dalam mengikuti perjanjian-
perjanjian tersebut, maka respon dari Amerika sendiri menjadi cukup penting dalam
melihat apakah perjanjian perjanjian tersebut dapat benar-benar dilaksanakan dengan
baik. Tetapi respon ataupun kebijakan luar negeri Amerika Serikat pun sering
mengalami perubahan seiring dengan pergantian pemerintahan setiap tahunnya dalam
menghadapi perjanjian hasil UNFCCC.
78
United Nations, “Paris Agreement” ,2015 [artikel on-line] tersedia di
https://unfccc.int/files/meetings/paris_nov_2015/application/pdf/paris_agreement_english_.pdf
Internet; diunduh pada 13 Maret 2018.
51
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI PEMERINTAHAN AMERIKA
SERIKAT TERHADAP UNFCCC
A. Sistem Pemerintahan Amerika Serikat
Amerika Serikat sendiri merupakan negara besar yang mempunyai kapasitas
ekonomi yang besar dan juga sebagai negara superpower yang mempunyai pengaruh
cukup besar dalam tatanan sistem internasional. Negara tersebut juga dianggap
sebagai negara multikultural karena banyaknya imigran dari berbagai negara lain
yang datang ke Amerika untuk menetap.79
Amerika Serikat juga merupakan negara
yang menganut ideologi liberalisme sehingga membuat konsep demokrasi,
pemerintahan yang terbatas, dan kebebasan berekspresi sangatlah kuat mengakar
dalam dasar negara tersebut.
Dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat menganut sistem ekonomi kapitalis
dimana pemerintahan Amerika sendiri tidak ikut campur pada hal apapun dalam
79
Stephen S. Birdsall, Garis Besar Geografi Amerika Serikat (Carolina: John Wiley & Sons,
Inc, 1992), 193-194.
52
ekonomi yang terjadi di negaranya, sehingga membuat individu maupun perusahaan
swasta dapat dengan bebas menggunakan sumber ekonomi yang terdapat di negara
tersebut. Melalui sistem ekonomi kapitalis atau pasar bebas tersebut Amerika pun
menjadi salah satu negara dengan kapasitas ekonomi terbesar di dunia,80
terbukti
dengan mata uangnya yang dijadikan sebagai tolak ukur mata uang bagi berbagai
negara di dunia.
Terdapat aturan dasar yang mengatur jalannya pemerintahan secara keseluruhan
dan menjadi dasar hukum dari Amerika Serika, aturan dasar tersebut dikenal dengan
konstitusi dalam pemerintahan Amerika Serikat. Konstitusi tersebut dibentuk
semenjak tahun 1788, konstitusi tersebut bukan hanya sebagai sumber kekuasaaan
pemerintahan tetapi juga sebagai aturan dasar pemerintah untuk melindungi hak dari
mayarakat sipil sehingga kekuasaan pemerintan dapat dibatasi dan mencegah adanya
penyalahgunaan penggunaan kekuasaan pemerintah.81
Sistem politik Amerika Serikat sendiri menggunakan sistem bikameral atau
sering dikenal dengan Kongres dalam pemerintahan Amerika Serikat, dalam kongres
tersebut terdapat House of Representative dan Senate. Kongres Amerika Serikat
terdiri dari 535 anggota, yang dibagi dalam 435 anggota House of Representative dan
100 anggota Senate. Dalam setiap kamar di kongres tersebut terdapat partai mayoritas
dan minoritas yang menguasai proses pengambilan keputusan di setiap kebijakan
80
Birdsall, Garis Besar Geografi Amerika Serikat, 193-194. 81
White House, “The Constitution of The United States” ,1995 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.usconstitution.net/const.pdf Internet; diunduh pada 31 Maret 2018.
53
yang dibentuk,82
partai mayoritas dan minoritas akan ditentukan oleh banyaknya
anggota partai yang menduduki kursi jabatan di dalam House of Representative dan
Senate.
Anggota House of Representative mempunyai wewenang untuk mengajukan
pendapatan UU, memanggil pejabat pemerintahan untuk dimintai
pertanggungjawabannya, dan memilih Presiden saat tidak ada mayoritas dalam
Electoral College. Sedangkan Senate mempunyai wewenang dalam persetujuan
ratifikasi dalam suatu perjanjian, menyetujui pengangkatan pejabat pemerintahan.
Disahkannya suatu undang-undang maupun meratifikasi suatu perjanjian harus dapat
disetujui terlebih dahulu oleh kedua Houses dalam Kongres Amerika Serikat.83
Dalam sistem politik Amerika yang bikameral tersebut terdapat dua partai besar
yang saling memperebutkan pengaruh untuk dapat mendominasi arah kebijakan dari
Pemerintahan Amerika Serikat, dua partai tersebut adalah Partai Demokrat dan Partai
Republik. Kedua partai tersebut dinilai sebagai kelompok kepentingan yang sangat
mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Amerika baik itu kebijakan
dalam negeri maupun kebijakan luar negerinya.84
82
G. Calvin Mackenzie, American Government: Politics and Public Policy (New York:
Random House, 1986), 99-101. 83
Mildred Amer, “Pages of the United States Congress: Selection, Duties, and Program
Administration” ,Mei 2008 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.senate.gov/reference/resources/pdf/98-758.pdf Internet; diunduh pada 04 April 2018. 84
Alexander DeConde, Richard Dean Burns, Fredrik Logevall, Encyclopedia of American
Foreign Policy (Charles Scribner’s Sons, 2002), 190.
54
Jika kita lihat terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalan budaya politik
dari kedua partai tersebut yang tentu sangat mempengaruhi tujuan dan sasaran
kebijakan luar negeri yang diambil. Seperti pada Partai Demokrat yang mempunyai
kebijakan yang lebih progresif dan lebih mendukung dengan masyarakat kalangan
menengah ke bawah, sedangkan budaya politik Partai Republik yang lebih
memperlihatkan kebijakan yang konservatif dan juga lebih mendukung masyarakat
menengah ke atas.85
Kedua partai besar tersebut saling bersaing untuk
memperebutkan kursi jabatan dalam pemerintahan.
Salah satu hal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat
adalah keadaan politiknya saat itu, terutama oleh keadaan partai mayoritas dan
minoritas dari Partai Demokrat dan Republik dalam kongres Amerika Serikat. Hal
tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam budaya politik mereka dalam
mengambiil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan luar negeri.
Tentu selain kongres yang diisi oleh anggota Senat dan House of Representative
juga terdapat Presiden dari Amerika Serikat sendiri yang memutuskan arah dari
kebijakan luar negerinya. Presiden juga mempunyai pengaruh dalam proses
pembuatan kebijakan luar negeri. Hal-hal seperti, idiosikentrik, latar belakang
pendidikan, dan budaya politik partai dari Presiden tersebut tentu akan mempengaruhi
kebijakan luar negeri yang dibentuknya.
85
Ronja Ritthaler-Andree, “The U.S Climate Policy and The 2016 Presidential and
Congresseional Elections” ,2016 [artikel on-line]; tersedia di http://www.uni-
heidelberg.de/md/politik/harnisch/mitarbeiter/aa-r2e-no1.pdf. Internet; diunduh pada 25 Maret 2018.
55
B. Respon Amerika Serikat Terhadap UNFCCC
Amerika Serikat sebagai negara maju dan salah satu negara penghasil emisi gas
rumah kaca terbesar di dunia tentu mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam
berlangsungnya suatu perjanjian, respon dari Amerika terhadap suatu perjanjian akan
dilihat oleh negara lain dan mempengaruhi keputusan negara lain dalam
keikutsertaannya di perjanjian tersebut. Banyak perjanjian yang sangat dipengaruhi
oleh respon dari Amerika Serikat seperti pada UNFCCC dan UNCED, UNFCCC
sendiri mempunyai fokus pada perbaikan dampak dari perubahan iklim sedangkan
UNCED mempunyai fokus pada pengembangan berkelanjutan dalam seluruh
lingkungan alam.86
UNFCCC dan UNCED sendiri tidak mengikat secara hukum atau Legally
Binding dan juga tidak dapat menetapkan secara paksa batasan wajib dari
pengeluaran emisi gas rumah kaca yang dapat dikeluarkan oleh negara tersebut.
Tetapi UNFCCC dapat diproyeksikan sebagai perjanjian yang mengikat secara
hukum atau Legally Binding jika protokol atau mekanisme yang dihasilkan oleh
UNFCCC menetapkan suatu batasan target emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan
oleh negara tersebut dan mempunyai penegakan hukum yang mengikat. Seperti
86
Arya Hadi Dharmawan, et.al, SVLK, jalan menuju REDD++ (Jakarta: Forest Governance and
Multistakeholder Forestry Programme, 2011), 14.
56
halnya pada Protokol Kyoto yang mempunyai batasan emisi gas rumah kaca yang
harus dipatuhi oleh setiap negara dan mekanisme untuk menegakan hal tersebut.87
Maka dari itu berbeda dengan UNCED, respon Amerika Serikat di dalam
UNFCCC dapat dikatakan lebih berpengaruh karena sifat protokol yang dihasilkan
oleh UNFCCC kadang dapat bersifat Legally Binding sehingga dapat membuat
Amerika Serikat ikut serta secara paksa dalam upaya UNFCCC untuk memperbaiki
dampak dari perubahan iklim. Dengan terikatnya secara hukum Amerika Serikat ke
dalam suatu perjanjian yang dihasilkan oleh UNFCCC tersebut akan membuat
perjanjian tersebut dapat terlaksana dengan baik.
Walaupun begitu sejarah dari pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
dapat dikatakan memperlihatkan kebijakan luar negeri yang negatif terhadap hasil
keputusan pertemuan di dalam UNFCCC, bahkan semenjak awal UNFCCC pertama
kali dibentuk. Pernyataan tersebut terbukti pada tahun 1992 dimana Amerika Serikat
yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden George Helbert Walker Bush menolak
untuk mengikuti Protokol Kyoto yang merupakan perjanjian UNFCCC, karena saat
itu Presiden Bush menganggap bahwa perubahan iklim belum benar-benar
memberikan efek yang signifikan.88
87
Arya Hadi Dharmawan, et.al, SVLK, jalan menuju REDD++ (Jakarta: Forest Governance and
Multistakeholder Forestry Programme, 2011), 14. 88
Miranda A. Schreurs, Enviromental Politics in Japan, Germany and the United States
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 150-151.
57
Selain Presiden Bush juga terdapat presiden-presiden Amerika lainnya yang
memiliki sikap yang sama ataupun berbeda dengang Bush dalam merespon perjanjian
yang dibentuk oleh UNFCCC. Seperti halnya Presiden Clinton yang memberikan
dukungan positif terhadap perbaikan dampak perubahan iklim, dan Presiden Bush Jr
yang memilik sikap yang kurang lebih sama dengan Presiden George W Bush dalam
merespon UNFCCC, sampai pada Presiden Obama yang benar-benar mendukung
secara positif hasil perjanjian dari UNFCCC dan bahkan meratifikasi salah satu
perjanjian yang dihasilkannya.
B.1. Masa Pemerintahan Presiden George Helbert Walker Bush
Pada saat masa pemerintahan Presiden George H W Bush terlihat Amerika
Serikat lebih memilih menggunakan kapasitas ekonomi negaranya untuk memenuhi
kepentingan nasional yang dianggap penting pada saat itu. Amerika Serikat lebih
memilih untuk menjaga kestabilitasan ekonomi di negaranya dibandingkan dengan
memperbaiki dampak dari munculnya perubahan iklim karena pada saat itu Presiden
Bush beranggapan bahwa perubahan iklim tidak sedang terjadi di dunia saat ini.
Ketidakpercayaan Presiden Bush terhadap isu perubahan iklim tentu
berpengaruh pada kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat,
khususnya pada bidang lingkungan alam. Anggapan Presiden Bush membentuk
58
tindakan Amerika Serikat yang tidak ingin mendukung maupun mengikuti upaya
perbaikan dampak perubahan iklim, hal tersebut dibuktikan dengan tidak
didukungnya salah satu perjanjian UNFCCC yang berlaku saat itu yaitu Protokol
Kyoto. Presiden Bush mempunyai anggapan bahwa kepentingan nasional yang harus
dipenuhi oleh Amerika Serikat saat itu adalah kestabilitasan ekonomi dan bukan
perubahan iklim.
B.2. Masa Pemerintahan Presiden William Jefferson Clinton
Masa kepemimpinan Presiden Bush pun berganti dan Amerika Serikat dipimpin
oleh presiden yang berasal dari partai Demokrat, yaitu Presiden William Jefferson
Clinton. Hal ini menimbulkan Amerika Serikat yang lebih peduli terhadap isu
lingkungan yang terjadi karena seperti yang sudah diketahui sebelumnya partai
Demokrat mempunyai fokus pada bidang serikat pekerja, kontrol senjata dan juga isu
lingkungan. Dapat dilihat melalui kebijakan pro lingkungan yang dikeluarkan oleh
Presiden Clinton dalam usulan pajak British Thermal Unit atau BTU yang
dikeluarkan pada tahun 1993,89
BTU sendiri merupakan upaya pemerintahan Presiden
Clinton untuk memberikan pajak pada pencemar emisi gas rumah kaca berlebih.
89
Schreurs, Enviromental Politics in Japan, Germany, and The United States, 177-178.
59
Walaupun kebijakan BTU tidak berhasil dikarenakan kongres yang tidak
mendukung kebijakan tersebut, tetap saja dapat dikatakan bahwa Presiden Clinton
merupakan presiden yang mempunyai sikap mendukung terhadap kebijakan yang
memperbaiki dampak dari perubahan iklim dibandingkan dengan presiden-presiden
Amerika Serikat sebelumnya.
Selain pada kebijakan BTU Presiden Clinton juga menunjukan dukungannya
terhadap perbaikan lingkungan dalam pertemuan UNFCCC, yaitu pada upaya
penandatanganan Protokol Kyoto. Tetapi seperti halnya kebijakan BTU upaya
penandatanganan Protokol Kyoto juga dicegah oleh kongres Amerika Serikat dan
pada akhirnya digagalkan.90
Hal tersebut tentu berpengaruh dalam menghambat
pelaksanaan dari Protokol Kyoto itu sendiri karena Amerika Serikat yang merupakan
negara kategori Annex I tidak mengikuti mekanisme dalam Protokol Kyoto.
B.3. Masa Pemerintahan Presiden George Walker Bush
Sampai pada masa pemerintahan Presiden Clinton berakhir dan digantikan oleh
Presiden George W Bush terlihat tidak ada kebijakan dari Amerika Serikat yang
benar-benar mendukung perbaikan dampak perubahan iklim. Presiden Bush Jr sendiri
merupakan presiden yang berasal dari Partai Republik sehingga bukan kejutan lagi
saat Amerika Serikat mengeluarkan sikap yang menentang hasil dari pertemuan
90
Schreurs, Enviromental Politics in Japan, Germany, and The United States, 177-178.
60
UNFCCC, Presiden Bush Jr percaya bahwa Protokol Kyoto yang dihasilkan dari
pertemuan UNFCCC tidak dengan tepat dapat memperbaiki dampak dari perubahan
iklim yang terjadi di dunia saat ini.
Seperti halnya pernyataan dari Presiden Bush Sr, Presiden Bush Jr juga
mempercayai bahwa dengan mengikuti mekanisme dalam Protokol Kyoto maka akan
merugikan ekonomi Amerika Serikat dan menimbulkan gangguan pada stabilitas
perekonomian Amerika Serikat. Presiden Bush Jr juga percaya dengan tidak
dikategorikannya negara Cina dan Indian dalam kategori Annex I maka akan
membuat Protokol Kyoto menjadi tidak efektif dan merugikan negara-negara maju
yang mengikuti Protokol Kyoto.91
Penolakan Presiden Bush Jr terhadap perjanjian UNFCCC terus berlanjut pada
masa periode pemerintahannya, terlihat pada penolakan Protokol Kyoto yang terus
dilanjutkan oleh Amerika Serikat dalam pertemuan CoP ke 6,7, dan 8. Selain itu
Amerika Serikat juga menolak hasil pertemuan CoP ke 13 yang menghasilkan Bali
Road Map dengan alasan yang sama dalam penolakan mereka di dalam Protokol
91
The White House, “Text of a Letter from the President to Senators Hagel, Helms, Craig, and
Roberts” ,Maret 2001 [artikel on-line]; tersedia di https://georgewbush-
whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/03/20010314.html Internet; diunduh pada 04 April 2018.
61
Kyoto. Penolakan Amerika Serikat ini tentu sangat mempengaruhi jalannya
perjanjian yang berusaha disukseskan oleh UNFCCC.92
B.4. Masa Pemerintahan Presiden Barack Hussein Obama
Lalu masa pemerintahan Bush Jr pun berakhir dan digantikan oleh Barack
Hussein Obama pada tahun 2008 dimana hal ini membawa harapan baru pada
masyarakat internasional agar sikap Amerika Serikat dalam menghadapi perjanjian
yang dihasilkan oleh UNFCCC menjadi lebih positif karena seperti halnya Presiden
Clinton, Presiden Obama merupakan presiden yang berasal dari Partai Demokrat.
Pada masa awal periodenya menjabat menjadi Presiden yaitu tahun 2008
sampai dengan tahun 2012 Presiden Obama tidak benar-benar mengeluarkan
kebijakan yang mempunyai inisiatif untuk membantu UNFCCC dalam tujuannya
mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim. Kerjasama antara Pemerintahan
Amerika yang dipimpin oleh Presiden Obama dengan UNFCCC tidak berjalan
92
International Institute for Sustainable Development, “Earth Negotiations Bulletin” ,Vol. 12
No. 354, Desember 2007 [jurnal on-line]; tersedia di http://enb.iisd.org/download/pdf/enb12354e.pdf.
Internet; diunduh pada 04 April 2018.
62
dengan apa yang diharapkan sebelumnya karena ketiadaan kebijakan Amerika Serikat
dalam perubahan iklim di area internasional.93
Terlihat adanya kebijakan yang mendukung perubahan iklim dari Amerika
Serikat seperti dalam peningkatan bantuan internasional dalam Reducing Emissions
from Deforestation and Forest-Degradation (REDD) menjadi 300 Miliar dolar
amerika dan meyumbang 3 biliun dolar amerika lainnya sebagai bantuan finansial
dalam Green Climate Fund pada tahun 2014.94
Walaupun begitu Amerika Serikat
tetap menahan diri dari mendukung dan bergabung dengan perjanjian internasional
yang mengikat mengenai kebijakan perubahan iklim, seperti halnya pada perjanjian
yang dibentuk oleh UNFCCC.
Terdapat beberapa proposal kebijakan dari pemerintahan legislaif Amerika
Serikat yang seharusnya dapat mendukung tujuan dari UNFCCC dengan mengurangi
emisi gas rumah kaca dan penggunaan energi terbarukan, tetapi proposal-proposal
tersebut pada akhirnya tidak dapat benar-benar terealisasi dan gagal akibat kurangnya
dukungan dari Presiden Obama dan juga Kongres. Proposal kebijakan seperti
American Clean Energy and Security Act dan American Clean Leadership Act pada
93
Ronja Ritthaler-Andree, “The U.S Climate Policy and The 2016 Presidential and
Congresseional Elections” ,2016 [artikel on-line]; tersedia di http://www.uni-
heidelberg.de/md/politik/harnisch/mitarbeiter/aa-r2e-no1.pdf. Internet; diunduh pada 25 Maret 2018. 94
White House, “Fact Sheet: United States Support for Global Efforts to Combat Carbon
Pollution and Build Resilience” ,2014 [artikel on-line]; tersedia di
https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2014/11/15/fact-sheet-united-states-support-
global-efforts-combat-carbon-pollution- Internet; diunduh pada 31 Maret 2018.
63
tahun 2009 yang berusaha untuk menerapkan penggunaan energi terbarukan dalam
Amerika Serikat segara ditolak oleh Kongres Amerika Serikat.95
C. Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam UNFCCC
Sangat terlihat bahwa dalam masa periode pertama Presiden Obama memimpin
Amerika Serikat tidak terdapat kebijakan luar negeri yang benar-benar secara efektif
mendukung perbaikan dampak negatidf dari perubahan iklim. Periode Presiden
Obama yang dimulai semenjak tahun 2008 sampai pada tahun 2012 tersebut
memperlihatkan sikap yang tidak terlalu mendukung terhadap perjanjian yang
dikeluarkan oleh UNFCCC, terbukti dengan tidak adanya ratifikasi maupun
penandatanganan Protkol Kyoto oleh Amerika Serikat pada masa periode pertama
Presiden Obama memimpin.
Tetapi sifat yang ditunjukan oleh Presiden Obama dengan tidak mendukung
perjanjian dari UNFCCC tidak seterusnya ditunjukan dalam masa periode kedua dari
kepemimpinannya. Barack Obama tidak hanya menjadi Presiden dari Amerika
Serikat pada periode tahun 2008 sampai dengan 2012 saja, tetapi juga menjadi
Presiden Amerika Serikat di periode keduanya pada tahun 2013 sampai dengan 2016.
Dalam periode kedua dalam kepemimpinannya, Presiden Obama tidak menunjukan
95
Federal Election Commission, “2010 Election Results” ,2010 [artikel on-line]; tersedia di
https://classic.fec.gov/pubrec/fe2012//tables2012.pdf Internet; diunduh pada 05 April 2018.
64
sifat yang sama terhadap UNFCCC, yaitu dengan menunjukan sifat yang lebih
mendukung dan positif terhadap perjanjian yang dibentuk oleh UNFCCC.
Keinginan untuk bekerja sama dengan UNFCCC dalam menghadapi perubahan
iklim ditunjukan oleh Presiden Obama dengan berbagai kebijakan, dimana salah
satunya yang sangat berpengaruh bagi berjalannya perjanjian UNFCCC adalah
dengan ratifikasi Perjanjian Paris di tahun 2016. Peratifikasian Perjanjian Paris oleh
Amerika Serikat merupakan peristiwa penting, karena ratifikasi Perjanjian Paris oleh
Amerika Serikat secara tidak langsung telah membantu jalannya pelaksanaan
Perjanjian Paris dengan menghilangkan hambatan tersebesar dalam
pengaplikasiannya yaitu Amerika Serikat itu sendiri.
Peratifikasian Perjanjian Paris dilaksanakan oleh Amerika Serikat pada
September 2016 dimana Pemerintahan Amerika Serikat menyetujui Perjanjian yang
dihasilkan oleh UNFCCC, yaitu Perjanjian Paris pada periode pemerintahan Presiden
Obama.96
Hal tersebut membuktikan bahwa Presiden Obama memang mempunyai
arah kebijakan luar negeri yang mendukung pada perbaikan dampak negatif dari
perubahan iklim.
Dalam proses peratifikasian Perjanjian Paris terdapat beberapa hambatan yang
ditemui oleh Presiden Obama, salah satunya adalah hambatan dari dalam Kongres
96
United Nations Framework Convention on Climate Change, “Paris Agreement – Status of
Ratification” ,12 Desember 2015 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/paris_agreement/items/9444.php Internet; diunduh pada 04 April 2018.
65
Amerika Serikat itu sendiri. Karena pada tahun 2014 keanggotaan di dalam Kongres
berisi 54 dari anggota Senate dan 247 dari anggota House of Representative
merupakan anggota yang berasal dari Partai Republik sehingga membuat Partai
Republik menjadi partai mayoritas di dalam Kongres pada periode kedua
pemerintahan Presiden Obama, mayoritas anggota Republik di dalam Kongres
dibandingkan dengan Partai Demokrat membuat kebijakan dalam mendukung
perbaikan perubahan iklim pun menjadi terhambat.97
Begitu juga dengan tahun 2016 dimana Partai Republik sekali lagi menjadi
partai mayoritas di dalam kongres yaitu dengan 52 anggota Partai Republik di dalam
Senat dan 241 anggota Partai Republik di dalam House of Representative. Dengan
adanya mayoritas Partai republik di kedua kamar dalam kongres tentu semakin
menyulitkan Presiden Obama untuk meratifikasi Perjanjian Paris, terutama
dikarenakan kebijakan luar negeri harus terlebih dahulu diproses dan disetujui oleh
Kongres terlebih dahulu.
Dengan hilangnya dukungan dari Kongres karena adanya mayoritas dari Partai
Republik di House of Representative dan House of Senate, maka Presiden Obama
memilih untuk tidak menggunakan mekanisme yang biasanya digunakan dalam
proses pembuatan kebijakan luar negeri dan lebih memilih untuk menggunakan
haknya sebagai lembaga eksekutif yaitu Sole Executive Agreement dimana Presiden
97
Federal Election Commission, “2014 Election Results” ,2014 [artikel on-line] tersedia di
https://classic.fec.gov/pubrec/fe2014//tables2014.pdf Internet; diunduh pada 05 April 2018.
66
Obama dapat menyetujui dan meratifikasi suatu perjanjian tanpa masukan dan
partisipasi dari Kongres.98
Keputusan sepihak dari Presiden Obama yang tidak
memperhatikan masukan dari kongres tersebut tentu menimbulkan reaksi negatif dari
para anggota Kongres.
Sole Executive Agreement sendiri merupakan hak spesial dari Presiden Amerika
Serikat yang memberikan wewenang bagi Presiden Obama untuk menyetujui ataupun
menyepakati suatu perjanjian sebagai lembaga eksekutif tanpa melalui proses
partisipasi dari anggota Kongres.99
Presiden Obama menggunakan wewenangnya
dalam Sole Executive Agreement karena tidak adanya dukungan dari dalam Kongres
untuk mengikuti ataupun meratifikasi Perjanjian Paris
Persetujuan perjanjian internasional yang dilakukan melalui hak wewenang
lembaga eksekutif saja dan tidak melewati perstujuan ataupun partisipasi dari kongres
dinamakan sebagai Sole Executive Agreement. Presiden mempunyai kekuasaan untuk
segera menyetujui atau mengikuti suatu perjanjian internasional dan tidak harus
menegosiasikan keputusan tersebut dengan kongres terlebih dahulu untuk
mendapatkan persetujuan.100
98
Valerie Richardson, “White House defends Obama evading Senate on Paris climate deal”,
Washington Times, 29 Agustus 2016, diakses dari
https://www.washingtontimes.com/news/2016/aug/29/obama-will-bypass-senate-ratify-paris-climate-
acco/ Pada 10 April 1996. 99
Glen S. Krutz & Jeffrey S. Peake, Treaty Politics and The Rise of Executive Agreements
(Michigan: The University of Michigan Press, 2009), 30-34. 100
Richard F. Grimmett, CRS Report for Congress: Foreign Policy Roles of The Presiden and
Congres (Washington:The Library of Congress, June 1999), 7-8.
67
Amerika Serikat sendiri mempunyai kebijakan dalam negeri yang memberikan
otoritas kepada Presiden Obama untuk menggunakan wewenang Sole Executive
Agreement nya untuk meratifikasi Perjanjian paris. Seperti pada Clean Air Act bagian
617 yang mengarahkan Presiden untuk masuk ke dalam perjanjian internasional
melindungi stratosfer, lalu juga terdapat dalam Global Climate Protection Act bagian
1103 (a)(4) yang mengarahkan Amerika Serikat untuk mengikuti perjanjian
multilateral.
Banyaknya kebijakan dalam negeri yang memberikan otoritas kepada Presiden
untuk mengikuti perjanjian internasional tersebut membuat Presiden Obama dapat
mengatasi hambatan yang dihadapinya pada kongres dalam meratifikasi perjanjian
Paris, yaitu dengan menggunakan wewengannya dalam Sole Executive Agreement.
Presiden Obama telah membawa arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang
awalnya tidak mendukung ataupun menyetujui perjanjian yang dihasilkan oleh
UNFCCC menjadi mendukung dan bahkan meratifikasinya, yang mana dilakukannya
dalam Perjanjian Paris.
68
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA
SERIKAT DALAM PERJANJIAN UNFCCC
Jika dilihat secara seksama terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari
tindakan yang dilakukan oleh Presiden Obama pada dua periode kepresidenan yang ia
jalani. Pada periode pertamanya walaupun Presiden Obama sudah menunjukan
dukungan terhadap upaya perbaikan iklim, belum ada tindakan nyata yang
merepresentasikan pernyataan tersebut dalam skala internasional. Seperti halnya pada
saat Presiden Obama dihadapkan pada Copenhagen Accord yang merupakan
perjanjian hasil pertemuan CoP ke 15, Presiden Obama tidak menyetujui dan bahkan
tidak mendukung Copenhagen Accord yang akhirnya membuat perjanjian tersebut
tidak terlaksana dengan baik.
Sedangkan dalam periode kedua kepresidenannya terdapat tindakan yang nyata
diberikan oleh Presiden Obama dalam mendukung perbaikan dampak perubahan
iklim yaitu pada ratifikasi Perjanjian Paris di pertemuan CoP ke 21, perubahan ini
69
tentu menimbulkan pertanyaan dimana terdapat dua tindakan ataupun kebijakan luar
negeri yang berbeda terhadap isu yang sama yaitu isu perubahan iklim. Dalam
menganalisa perbedaan tersebut terdapat beberapa instrumen analisa yang dapat
digunakan untuk dapat menjelaskan fenomena yang terjadi, salah satunya adalah
Decision making Analysis dimana tindakan yang dilakukan oleh Presiden Obama
tersebut akan dianalisa melalui proses pembuatan kebijakan luar negeri yang mana
terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar
negeri tersebut, seperti Faktor Internal, Faktor Eksternal, dan Kepentingan Nasional.
Selain adanya kepentingan nasional yang merupakan salah satu faktor
pendorong peratifikasian Perjanjian Paris dari Amerika Serikat, terdapat juga faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi tindakan Amerika Serikat sehingga dapat
berujung pada diratifikasinya Perjanjian Paris. Menurut Rosenau faktor yang dapat
mempengaruhi kebijakan luar negeri atau tindakan dari suatu negara dapat dilihat
melalui dua faktor yaitu faktor lingkungan eksternal dan internal,101
dalam
pemerintahan Amerika Serikat juga berlaku dimana terdapat faktor lingkungan
eksternal dan internal yang mempengaruhi tindakan Amerika Serikat dalam
meratifikasi Perjanjian Paris
101
James N. Rosenau, Gavin boyd, Kenneth W. Thompson, World Politics: An Introduction
(New york: The Free Press, 1976), 15-18.
70
A. Faktor Internal
Faktor internal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan
Amerika Serikat dalam meratifikasi Perjanjian Paris. Terdapat beberapa instrumen
dalam faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, seperti
keadaan ekonomi, politik, dan juga opini publik negara tersebut. Dalam kasus ini,
peratifikasian Perjanjian Paris oleh Barrack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat
saat itu akan dianalisa melalui faktor internal dimana dilihat instrumen
kerasionalitasan dari Barrack Obama selaku Presiden dan opini publik dari
masyarakat Amerika Serikat.
A.1. Kerasionalitasan Presiden Barrack Obama
Telah dijelaskan sebelumnya dalam konsep Decision Making Analysis bahwa
terdapat beberapa hal yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri
suatu negara dimana salah satunya adalah aktor rasional yang memimpin negara
tersebut.102
Jika konsep tersebut diterapkan dalam analisa penelitian ini maka
Presiden Barrack Obama dapat dilihat sebagai aktor rasional yang mempengaruhi
kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahannya.
Sebagai aktor rasional akan dilihat terlebih dahulu biografi dan latar belakang
dari Presiden Barrack Obama sehingga dapat dianalisa lebih jauh pengaruh dari
Barrack Obama sebagai individu terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
102
Rosenau, World Politics: An Introduction , 15-18.
71
Barrack Obama lahir di negara bagian Honolulu pada tahun 1961, pada tahun 1979 ia
lulus dari Akademi Punahou dengan penghargaan akademik, selain itu dari
pembelajarannya di akademik tersebut Obama menyadari krisis dari isu rasial yang
ada di sekitarnya karena dalam akademi hanya terdapat tiga murid Afrika-Amerika
dan ia merupakan salah satunya.103
Setelah lulus dari sekolah tingginya Obama melanjutkan kuliah di Perguruan
tinggi Los Angeles selama dua tahun setelah itu ia ditransfer ke Universitas Kolombia
dan lulus pada tahun 1983 dengan gelar di ilmu politik. Pada tahun 1989 Obama
bergabung dengan tim Profesor Laurance Tribe sebagai asisten peneliti di Universitas
Hukum Havard, disana Profesor Tribe melihat bahwa Obama merupakan seorang
individu yang ingin membuat perbedaan dalam masyarakat dan komunitas.104
Latar belakang dari Barrack Obama tersebut telah membuatnya memilih Partai
Demokrat sebagai partai yang akan didukungnya, hal tersebut dikarenakan adanya
kesamaan prinsip dan pemikiran yang dimiliki oleh Barrack Obama dengan Partai
Demokrat. Hal tersebut tentu ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibentuk
pada saat Obama menjadi Presiden Amerika Serikat.
Masuknya Obama ke dalam dunia politik Amerika Serikat dapat dihitung
semenjak tahun 1996 dimana ia memenangkan eleksi sebagai seorang Demokrat dan
103
The Biography, “Barrack Obama Biography”, A&E Television Networks, 09 Maret 2018
[artikel on-line]; tersedia di: https://www.biography.com/people/barack-obama-12782369 Internet;
diunduh pada 03 Mei 2018. 104
The Biography, “Barrack Obama Biography”.
72
menjadi senator di negara bagian Illinois. Dalam masa pengabdiannya di Illinois ia
berfokus pada peningkatan taraf hidup masyarakat Illinois, hal ini memperlihatkan
bahwa bahkan semenjak tindakan pertamanya di dalam pemerintahan Amerika
Serikat merupakan tindakan yang selalu mendukung dan mensejahterakan masyarakat
yang ia wakili dan hal tersebut ia representasikan melalui kebijakan yang mendukung
bantuan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat Illinois.
Lalu pada tahun 2004 Obama menjadi anggota Senat Amerika Serikat. Pada
saat ia menjadi Senat terdapat beberapat kebijakan yang ia dukung seperti
mendukung adaya pengembangan energi alternatif untuk digunakan oleh mayarakat
Amerika Serikat,105
tindakan Obama yang dilakukannya pada saat ia menjadi anggota
Senat tersebut memperlihatkan bahwa individu Barrack Obama merupakan individu
yang mempunyai kepentingan dalam melindung lingkungan alam dimana salah satu
cara untuk memenuhi kepentingan tersebut adalah dengan mendorong penggunaan
energi alternatif.
Pada tahun 2008 Obama menjadi Presiden Amerika Serikat ke 44 dan juga
menjadi Presiden Afrika-Amerika pertama untuk Amerika Serikat. Dalam pidato
inagurasinya di tahun 2008, Obama berkata bahwa terdapat beberapa isu yang akan ia
fokuskan untuk diselesaikan karena isu tersebut dianggap sebagai isu yang harus
segera diatasi oleh Obama. Adapun isu-isu tersebut adalah reformasi finansial,
perlindungan kesehatan dan juga energi alternatif.
105
The Biography, “Barrack Obama Biography”.
73
Lalu Obama terpilih lagi menjadi Presiden di tahun 2012 dan membuatnya
memimpin Amerika Serikat pada periode kedua kepresidenannya. Pada pidato
inagurasinya tahun 2012 Obama lagi-lagi menekankan betapa pentingnya isu
lingkungan dan bahkan mengumumkan harus adanya tindakan internasional untuk
menangani isu perubahan iklim yang sedang terjadi di dunia saat ini.106
Pernyataannya tersebut didemonstrasikannya pada CoP ke 21 di Paris pada tahun
2015 yaitu dengan mendukung Perjanjian Paris yang merupakan hasil dari pertemuan
tersebut.
Selain sejarah dari Presiden Obama, juga akan dilihat melalui idiosinkratik
Barack Obama sebagai presiden dari Amerika Serikat. Idiosinkratik akan melihat
nilai atau prinsip yang dianut, pengalaman, bakat, dan kepribadian politik dari aktor
rasional itu sendiri. Dalam kasus ini nilai, pengalaman, maupun kepribadian politik
dari Barack Obama memperlihatkan sifat positif terdapat pembuatan kebijakan luar
negeri yang mendukung perbaikan lingkungan alam yang telah rusak.
Hal tersebut dibuktikan dengan Barack Obama yang mempunyai prinsip untuk
segera memperbaiki dampak dari perubahan iklim, juga jika dilihat dari pengalaman
Barack Obama sendiri terdapat banyak kebijakan dalam negeri yang mendukung
perbaikan lingkungan alam di sekitar Amerika Serikat. Selain itu kepribadian politik
dari Barack Obama terceminkan pada partai politik yang ia ikuti yaitu Partai
Demokrat, dimana partai ini melihat isu lingkungan hidup merupakan isu yang cukup
106
The Biography, “Barrack Obama Biography”.
74
penting untuk segera ditangani dan menganggap harus ada kebijakan luar negeri
untuk segera mengatasi isu perubahan iklim yang ada saat ini.
Barrack Obama sendiri mempunyai pribadi diri yang selalu berfokus pada
lingkungan alam di dunia dimana salah satu isu yang sangat mengkhawatirkan saat
ini adalah isu perubahan iklim. Presiden Obama mempunyai anggapan bahwa
perubahan iklim merupakan ancaman yang serius bagi dunia ini, hal tersebut
dibuktikan dengan banyaknya fenomena alam yang terjadi di sepuluh tahun terakhir
ini seperti meningkatnya level air pasang laut, pola-pola musim yang berubah, badai
yang lebih sering terjadi, hutan dan terumbu karang yang mati, juga meningkatnya
penyakit saluran pernafasan.107
Perubahan iklim merupakan ancaman yang nyata dan ancaman ini dipercepat
oleh pelepasan karbon dioksida secara terus menerus di negara-negara penghasil
karbondioksida terbesar di dunia seperti Amerika Serikat, maka Obama berfokus
pada pembatasan pelepasan karbon dioksida di Amerika Serikat dengan menciptakan
sumber energi alternatif yang terbarukan dan bersih sehingga masyarakat Amerika
dapat menghilangkan ketergantungannya pada industri minyak yang akhirnya akan
menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Amerika Serikat. Hal ini
107
Barack Obama, Barack Obama Menerjang Harapan (Jakarta:UFUK Press, 2007), 528-529.
75
membuktikan bahwa Obama merupakan pribadi diri yang peduli terhadap isu
lingkungan alam seperti perubahan iklim.108
Dapat dilihat bahwa Barrack Obama mempunyai pemikiran yang positif
mengenai perubahan iklim. Obama melihat bahwa Amerika Serikat merupakan
negara penghasil emisi karbon terbesar kedua di dunia dan harus ada tindakan yang
dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai bentuk tanggung jawab terhadap peningkatan
emisi gas karbon di dunia saat ini. Maka pada tahun 2016 Obama akhirnya
meratifikasi Perjanjian Paris sebagai bentuk keikutsertaan Amerika Serikat dalam
mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim.
Bahkan semenjak awal karir politiknya dimulai Obama sudah memperlihatkan
sikap yang mendukung perbaikan lingkungan hidup, hal tersebut berlanjut sampai
periode pertama kepresidenannya tetapi belum ada tindakan internasional yang nyata
dilakukan oleh Presiden Obama saat itu. Hal tersebut dapat terlihat dalam tindakan
Amerika Serikat yang tidak mendukung Copenhagen Accord dikarenakan
Copenhagen Accord tidak dianggap sebagai mekanisme yang tepat untuk menghadapi
dampak perubahan iklim dan juga karena opini masyarakat Amerika Serikat yang
masih belum melihat Perubahan iklim sebagai ancaman yang nyata dan serius.
Sedangkan pada periode kedua kepemimpinannya pada tahun 2012 sampai
dengan tahun 2016, Presiden Obama memberikan tindakan yang nyata terhadap
108
Barack Obama, Barack Obama Menerjang Harapan, 528-529.
76
keberlangsungan perbaikan dampak perubahan iklim yaitu dengan meratifikasi
Perjanjian Paris. Dalam meratifikasi Perjanjian Paris itu sendiri, Presiden Obama
tidak menggunakan mekanisme yang biasanya digunakan dalam pemerintahan
Amerika Serikat tetapi lebih memilih untuk menggunakan wewenang eksekutifnya
yaitu melalui Sole Executive Agreement. Ratifikasi Perjanjian Paris merupakan salah
satu tindakan Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Presiden Obama sebagai aktor
rasional
A.2. Opini Publik Amerika Serikat Terhadap Isu Perubahan Iklim
Selain wewenang eksklusif dari Presiden Obama dalam Sole Executive
Agreement terdapat juga beberapa hal lainnya yang mempengaruhi secara internal
tindakan internasioanl yang dilakukan oleh Presiden Obama dalam merespon kedua
perjanjian yang sebelumnya dibahas. Dalam Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris
terdapat respon yang berbeda dari Presiden Obama dan yang mempengaruhi
pebedaan tersebut bukan hanya idiosinkratik dari Barrack Obama saja tetapi juga
dukungan publik Amerika Serikat terhadap isu lingkungan hidup.
Dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan luar negeri oleh pemerintahan
Amerika Serikat akan selalu ada kepentingan dari masyarakan Amerika Serikat itu
sendiri maka dari itu dukungan dari publik Amerika Serikat tentu akan
77
mempengaruhi arah dari kebijakan luar negerinya. Presiden Obama sebagai aktor
rasional tentu akan selalu melihat dukungan dari masyrakatnya, seperti arah dari
dukungan dan kepentingan mana yang harus dipenuhi untuk dapat mensejahterakan
masyarakatnya.
Dalam menganalisa suatu sikap politik, opini publik merupakan salah satu hal
yang harus diperhatikan karena melalui perubahan dalam opini publik akan
berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh pemimpin oleh
negera tersebut. Lebih tepatnya dapat dikatakan bahwa opini publik suatu negara
akan sangat mencerminkan kebijakan luar negeri yang dikeluarkannya.109
Dalam isu
lingkungan hidup di Amerika Serikat juga terdapat opini publik yang membentuk
arah dari tindakan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam merespon
perjanjian yang ditawarkan oleh UNFCCC.
Jika publik menginginkan suatu kebijakan untuk terealisasikan maka tentu
kebijakan tersebut seharusnya segera dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat
karena pemerintahan Amerika Serikat mewakili kepentingan masyarakatnya. Pada
tahun 2009 71% masyarakat Amerika Serikat mempunyai opini agar pemerintahan
Presiden Obama berfokus pada kebijakan dalam negerinya, 11% ingin agar Presiden
Obama berfokus pada kebijakan luar negeri dan sisanya 14% ingin fokus kepada
109
Gary W Cox, Making Votes Counts: Strategic Coordination in the World Electoral Systems
(Cambridge:Cambridge University Press, 1997), 1-7.
78
keduanya.110
Maka dapat dianalisa bahwa Presiden Obama melihat opini masyarakat
Amerika Serikat saat itu dan memutuskan untuk tidak membentuk kebijakan yang
terlalu berfokus pada kebijakan luar negeri.
Terlebih lagi pada tahun 2009 hanya sebesar 30% dari keselurahan opini publik
Amerika Serikat yang mengingikan isu perubahan iklim menjadi prioritas utama
dalam fokus proses pembuatan kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat
saat itu. Opini publik Amerika Serikat saat itu masih menjadikan pertumbuhan
ekonomi sebagai prioritas utama dalam fokus pembuatan kebijakan Amerika
Serikat.111
Opini dari masyarakat Amerika Serikat tersebut membuat Presiden Obama
bertindak sebagai aktor rasional dan berusaha untuk memenuhi kepentingan nasional
dari masyarakat Amerika Serikat.
Survey pada opini publik Amerika Serikat tersebut membuktikan bahwa pada
periode pertama Presiden Obama memimpin sebagai Presiden Amerika Serikat belum
ada dorongan dari masyarakat Amerika Serikat sendiri untuk mengeluarkan kebijakan
atau tindakan internasional pada upaya memperbaiki dampak negatif dari perubahan
iklim di tatanan sistem internasional. Opini Masyarakat Amerika tersebut
memberikan pengaruh pada keputusan Presiden Obama pada tindakan
110
Pew Research Center U.S Politics & Policy, “Economy, Jobs Trump All Other Policy
Priorities In 2009” ,Pew Research Center, 22 Januari 2009 [artikel on-line]; tersedia di
http://www.people-press.org/2009/01/22/economy-jobs-trump-all-other-policy-priorities-in-2009/
Internet; diunduh pada 12 Mei 2018. 111
Pew Research Center U.S Politics & Policy, “Economy, Jobs Trump All Other Policy
Priorities In 2009” ,Pew Research Center, 22 Januari 2009 [artikel on-line]; tersedia di
http://www.people-press.org/2009/01/22/economy-jobs-trump-all-other-policy-priorities-in-2009/
Internet; diunduh pada 12 Mei 2018.
79
internasionalnya untuk tidak mendukung dan meratifikasi Copenhagen Accord karena
Presiden Obama melihat kepentingan nasional Amerika Serikat pada saat itu tidak
berfokus pada isu lingkungan alam.
Jika dilihat sebenarnya peningkatan kepercayaan dari opini masyarakat
Amerika Serikat terhadap terjadinya isu pemanasan global akibat dari perubahan
iklim sudah mulai meningkat pada tahun 2014 dimana terdapat 63% masyarakat
Amerika Serikat yang percaya bahwa pemanasan global benar-benar terjadi.112
Peningkatan tersebut tentu cukup mempengaruhi pemikiran Presiden Obama terhadap
keinginan Masyarakatnya atas kebijakan luar negeri yang dapat memperbaiki dampak
dari perubahan iklim dan pemanasan global.
Sedangkan pada tahun 2016 atau pada periode kedua kepresidenan Obama,
opini publik terhadap isu lingkungan alam berubah. Pada tahun 2016 sendiri, 70%
masyarakat Amerika Serikat beranggapan bahwa pemanasan global sedang terjadi di
dunia saat ini dan 69% masyarakat Amerika Serikat mendukung adanya kebijakan
untuk membatasi gas CO2 yang dikeluarkan pembangkit listrik bertenaga batu
bara.113
sehingga tentu membuat keadaan domestik Amerika Serikat yang berubah
112
Jennifer Marlon, Peter Howe, Matto Mildenberger, dan Anthony Leiserowitz, “Yale Climate
Opinion Maps – U.S. 2014” ,Yale Program on Climate Change Communication, 2016 [artikel on-line];
tersedia di http://climatecommunication.yale.edu/visualizations-data/ycom/ Internet, diuduh pada 09
Juli 2018. 113
Jennifer Marlon, Peter Howe, Matto Mildenberger, dan Anthony Leiserowitz, “Yale Climate
Opinion Maps – U.S. 2016” ,Yale Program on Climate Change Communication, 2016 [artikel on-line];
tersedia di http://climatecommunication.yale.edu/visualizations-data/ycom-us-
2016/?est=happening&type=value&geo=county Internet; diunduh pada 13 Mei 2018.
80
dan lebih mendukung terhadap kebijakan UNFCCC yang membatasi emisi gas rumah
kaca.
Presiden Obama melihat adanya perubahan dalam opini publik Amerika Serikat
terhadap isu lingkungan. Pada awalnya tidak banyak dari masyarakat Amerika Serikat
yang fokus ataupun mendukung adanya kebijakan Amerika Serikat yang mendukung
upaya UNFCCC untuk memperbaiki dampak negatif dari perubahan iklim, tetapi
opini publik tersebut berubah dan cukup banyak dari masyarakat yang menginginkan
adanya keikutsertaan dari Amerika Serikat pada perjanjian yang dibentuk oleh
UNFCCC untuk memperbaiki dampak dari perubahan iklim.
Maka dari itu adanya perubahan dalam opini publik Amerika Serikat juga telah
merubah pandangan Presiden Obama terhadap kepentingan nasional yang ingin
dipenuhi oleh masyarakat Amerika Serikat. Opini publik Amerika Serikat yang
awalnya tidak berfokus pada isu perubahan iklim membuat Presiden Obama tidak
mendukung dan meratifikasi Copenhagen Accord tetapi opini publik tersebut berubah
menjadi lebih peduli terhadap isu perubahan iklim sehingga membuat Presiden
Obama mengambil keputusan untuk meratifikasi Perjanjian Paris untuk dapat
memenuhi kepentingan nasional masyarakat Amerika Serikat yang juga berubah.
81
B. Faktor Eksternal
Selain faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam mengubah tindakan internasionalnya
yang awalnya tidak mendukung dan meratifikasi perjanjian yang dibentuk oleh
UNFCCC pada tahun 2008 yaitu Copenhagen Accord menjadi tindakan internasional
yang mendukung dan meratifikasi perjanjian hasi pertemuan UNFCCC yaitu
Perjanjian Paris.
Menurut Rosenau terdapat beberapa instrumen yang terdapat di dalam faktor
eksternal, yaitu antara lain adalah hubungan negara tersebut dengan negara-negara
lain di tatanan sistem internasional.114
Dalam menganalisa faktor eksternal yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat, terlebih dahulu harus dilihat
hubungan Amerika Serikat dengan dengan negara-negara lain dalam isu lingkungan.
Berdasarkan sejarah Amerika Serikat banyak presiden Amerika Serikat yang
tidak mendukung perjanjian hasil pertemuan UNFCCC yang diadakan setiap
tahunnya. Hal tersebut menimbulkan banyaknya respon negatif dari negara-negara
lain terhadap Amerika Serikat yang tidak mendukung sama sekali hasil pertemuan
UNFCCC, salah satu contohnya adalah pada Copenhagen Accord dimana Amerika
Serikat tidak mendukung dan meratifikasi perjanjian tersebut sehingga membuat
114
James N. Rosenau, Gavin boyd, Kenneth W. Thompson, World Politics: An Introduction
(New york: The Free Press, 1976), 15-18.
82
Copenhagen Accord tidak terlaksana dengan baik dan banyak negara lain yang
menekan Amerika Serikat karena tidak meratifikasi Copenhagen Accord.
B.1. Tekanan Internasional
Penolakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin
oleh Presiden Obama terhadap Copenhagen Accord tentu telah menimbulkan kesan
yang negatif kepada negara-negara lain yang meratifikasi Copenhagen Accord.
Banyak negara anggota UNFCCC yang telah medorong Amerika Serikat untuk
segera meratifikasi Copenhagen Accord tetapi pada akhirnya upaya tersebut tidak
berhasil dan Amerika Serikat tetap pada keputusannya untuk tidak meratifikasi
Copenhagen Accord. Hal itu membuat banyak negara anggota UNFCCC kecewa
terhadap tindakan Amerika Serikat tersebut.
Ketidaksertaan Amerika Serikat dalam mendukung Copenhagen Accord telah
membuat perjanjian itu sendiri menjadi tidak dapat terlaksana dan tentu hal tersebut
menimbulkan reaksi yang negatif dari negara-negara lain, akibat itu Amerika Serikat
dianggap oleh banyak negara sebagai negara yang tidak melihat isu perubahan iklim
merupakan isu yang serius dan harus segera diatasi. Reputasi Amerika Serikat
menjadi buruk di mata dunia sebagai negara yang tidak ingin membantu mengatasi
dampak perubahan iklim di dunia.
83
Kesan negatif yang dimiliki oleh Amerika Serikat pada isu perubahan iklim
tentu telah membuat negara anggota UNFCCC untuk tidak mengulangi kesalahan
yang sama, yaitu ketidaksertaan Amerika Serikat yang membuat Copenhagen Accord
menjadi tidak terlaksana. Maka dari itu pada saat Perjanjian Paris pertama kali
dikemukakan banyak negara yang menekan Amerika Serikat untuk mendukung dan
meratifikasi Perjanjian Paris agar dapat terlaksana dengan baik.
Salah satu tekanan internasional tersebut datang dari organisasi lingkungan non
profit yaitu Environmental Defense Fund atau EDF. EDF menyatakan dengan keras
bahwa Amerika Serikat sebagai negara maju yang berkontribusi terhadap
meningkatnya emisi gas rumah kaca di dunia harus mendukung dan meratifikasi
Perjanjian Paris karena isu perubahan iklim yang semakin krisis, Nathaniel Keohane
sebagai wakil presiden dari EDF menyatakan bahwa “ Dunia tidak akan menunggu
Amerika Serikat maupun juga iklim, tahun ini dampak dari perubahan iklim akan
merugikan ratusan miliar dolar Amerika Serikat dan juga membuat setidaknya 40 juta
orang di benua Afrika bagian selatan akan terancam mengalami kelaparan”.115
Dengan banyaknya tekanan yang diberikan dari berbagai pihak seperti EDF,
UNFCCC, dan pemimpin dari negara lain menempatkan Amerika Serikat di posisi
yang sulit. Amerika Serikat pun pada akhirnya untuk dapat memperbaiki reputasi
115
John Vidal dan Oliver Milman, “Paris climate deal thrown into uncertainty by US election
result” ,The Guardian, 09 November 2016 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.theguardian.com/environment/2016/nov/09/us-election-result-throws-paris-climate-deal-
into-uncertainty Internet; diunduh pada 13 Mei 2018.
84
buruk yang dimilikinya dalam isu perubahan iklim mendukung hasil perjanjian
UNFCCC yang baru yaitu Perjanjian Paris, dengan mendukung Perjanjian Paris maka
diharapkan reputasi dan kesan buruk yang menempel pada Amerika Serikat jika
dihadapkan pada upaya perbaikan isu perubahan iklim dapat dihilangkan juga
diharapkan dapat mengatasi banyaknya tekanan yang dinyatakan oleh berbagai pihak
luar Amerika Serikat.
Presiden Obama sendiri di level internasional sudah secara terbuka mendukung
pelaksanaan Perjanjian Paris. Secara jelas Presiden Obama menyatakan bahwa
perubahan iklim merupakan ancaman terbesar yang dialami oleh umat manusia saat
ini dan keikutsertaan dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Cina
diharapkan dapat mengatasi isu perubahan iklim saat ini.116
Maka dengan meratifikasi
Perjanjian Paris Presiden Obama sebgai pemimpin Amerika Serikat mengharapkan
dapat menyelamatkan lingkungan untuk generasi yang akan datang dan juga dapat
merespon tekanan internasional yang disampaikan oleh pihak luar.
116
Obama White House, “Remarks by The President in State of the Union Addres” , The White
House Office of the Press Secretary, 20 Januari 2015 [artikel on-line]; diakses dari
https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2015/01/20/remarks-president-state-union-
address-january-20-2015. Internet; diunduh pada 10 Mei 2018.
85
C. Kepentingan Nasional Amerika Dalam Meratifikasi Perjanjian Paris
Sebelumnya telah dibahas bahwa di setiap kebijakan luar negeri yang
dikeluarkan suatu negara akan selalu terdapat elemen kepentingan nasional di
dalamnya karena kepentingan nasional merupakan salah satu fondasi dari
dibentuknya kebijakan luar negeri suatu negara.117
Dalam Kasus ini tindakan
Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Obama untuk meratifikasi Perjanjian
Paris dalam mekanisme UNFCCC merupakan hasil dari kepentingan nasional dan
beberapa faktor lainnya yang dianggap rasional oleh Presiden Obama pada masa
pemerintahannya.
Pada periode pertama kepresidenannya, Presiden Obama tidak
memeperlihatkan adanya dukungan terhadap hasil pertemuan dari UNFCCC yaitu
Copenhagen Accord tetapi pada periode kedua kepemimpinannya hal tersebut
berubah dengan diratifikasinya Perjanjian Paris oleh Presiden Obama sendiri.
Perubahan tersebut cukup signifikan karena dari satu individu yang sama didapatkan
dua tindakan internasional atau kebijakan luar negeri yang berbeda terhadap satu isu.
Dalam perubahan yang terjadi tersebut sendiri tentu terdapat alasan ataupun
faktor yang melatarbelakanginya, dimana salah satunya adalah kepentingan nasional
yang didapatkan oleh Amerika Serikat dalam meratifikasi Perjanjian Paris. Terdapat
kepentingan nasional dalam tindakan Amerika Serikat meratifikasi Perjanjian Paris
117
James N Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy (New York: Nichols Publishing
Company, 1980), 283.
86
yang dapat merepresentasikan kepentingan dari masyarakat Amerika Serikat lebih
baik dibandingkan dengan kepentingan nasional dalam meratifikasi Copenhagen
Accord.
Isu perubahan iklim sendiri jika dilihat merupakan salah satu isu yang
seharusnya dianggap penting oleh Amerika Serikat karena isu ini dapat secara
langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi beberapa aspek dasar dari
kepentingan nasional Amerika Serikat. Jika kita lihat isu perubahan iklim telah
mempengaruhi aspek ekonomi Amerika Serikat, dalam aspek ekonomi sendiri
perubahan iklim telah menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi Amerika Serikat
dimana banyaknya ladang pertanian yang gagal panen akibat dari adanya perubahan
iklim dan juga penurunan aktifitas perikanan. Selain itu banjir yang disebabkan oleh
perubahan iklim menyebabkan terganggunya aktifitas perekonomian masyarakat
Amerika Serikat.
Sedangkan jika kita lihat intensitas dari kepentingan nasional isu perubahan
iklim dapat dikategorikan sebagai isu yang vital dimana isu perubahan iklim
merupakan isu yang mengancam keamanan nasional dari Amerika Serikat dan harus
segera diatasi karena jika tidak nantinya akan menyebabkan kerugian yang cukup
besar bagi Amerika Serikat. Maka dari itu untuk segera menghadapi perubahan iklim
yang dianggap sebagai isu vital dan untuk segera memperbaiki dampak negatif yang
terjadi di aspek ekonomi, Amerika Serikat segera melakukan tindakan pencegahan
87
dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim yaitu dengan meratifikasi
Perjanjian Paris.
Dengan menjelaskan apa saja kepentingan nasional yang didapatkan oleh
Amerika Serikat dalam meratifikasi Perjanjian Paris maka akan dapat
mendeskripsikan sifat ataupun tindakan internasional Amerika Serikat dalam
merubah kebijakan luar negeri yang sebelumnya tidak meratifikasi perjanjian apapun
yang dihasilkan oleh UNFCCC menjadi mendukung dan meratifikasinya dalam
Perjanjian Paris.
Tujuan dari Amerika Serikat dalam mengikuti negosiasi dalam UNFCCC pada
ratifikasi Perjanjian Paris merupakan cara agar Amerika Serikat dapat mewujudkan
kepentingan nasionalnya dimana salah satunya adalah untuk menghadapi ancaman
dan dampak dari perubahan iklim yang akan datang. Dalam sejarahnya banyak
Presiden Amerika Sebelumnya yang tidak mempercayai bahwa perubahan iklim
benar-benar terjadi di dunia saat ini, terutama Presiden Amerika yang berasal dari
Partai Republik tetapi hal tersebut berbeda dengan Presiden Obama yang berasal dari
Partai Demokrat. Presiden Obama sendiri mempercayai bahwa perubahan iklim
benar-benar terjadi dam dampaknya akan merugikan Amerika Serikat jika tidak
segera ditindaklanjuti. 118
118
Tanya Somanader, “President Obama: The United States Formally Enters the Paris
Agreement” ,Obama White House, 03 September 2016 [artikel on-line]; tersedia di
88
Pada periode kedua kepresidenannya, Presiden obama melihat bahwa
perubahan iklim merupakan isu mendesak yang harus segera dihadapi. Terlebih lagi
dikarenakan suhu bumi yang terus meningkat selama abad ke 21 akibat dari
bertambahnya emisi gas rumah kaca di dunia saat ini.119
Peningkatan suhu bumi
tersebut tentu secara langsung akan mempengaruhi berbagai bidang yang ada di
dalam Amerika Serikat, termasuk pada bidang ekonomi, bidang ekosistem, dan
bahkan bidang sosial.
Menurut data NASA atau National Aerobautics and Space Administration suhu
bumi meningkat dengan pesat akibat dari peningkatan emisi gas rumah kaca di dunia,
selama satu abad terakhir rata-rata suhu bumi telah meningkat sebesar 2 derajat
farenheit dan pada tahun 2017 sendiri suhu bumi menacapai suhu terhangat kedua
semenjak tahun 1880.120
. Peningkatan suhu bumi yang signifikan ini tentu membuat
banyak pemimpin dunia makin sadar atas ancaman nyata yang diberikan oleh
perubahan iklim termasuk salah satunya adalah Barack Obama sehingga membuat
Presiden Obama mengeluarkan kebijakan luar negeri atau tindakan internasional yang
https://obamawhitehouse.archives.gov/blog/2016/09/03/president-obama-united-states-formally-
enters-paris-agreement Internet; diunduh pada 14 Mei 2018. 119
Intergovernmental Panel on Climate Change, “Summary for Policymakers. In: Climate
Change 2013: The Physical Science Basis” ,Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, 2013 [artikel on-line]; tersedia di
http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar5/wg1/WG1AR5_SPM_FINAL.pdf Internet; diunduh
pada 14 Mei 2018. 120
Steve Cole dan Leslie McCharty, “Long-term Warning Trend Continued in 2017: NASA,
NOAA, NASA News, 18 Januari 2018 [artikel on-line]; tersedia di https://www.nasa.gov/press-
release/long-term-warming-trend-continued-in-2017-nasa-noaa Internet diunduh pada 10 Juli 2018.
89
berusaha untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan iklim.di dalam mekanisme
UNFCCC yaitu pada Perjanjian Paris.
Amerika Serikat sendiri bertanggung jawab terhadap 15% dari seluruh emisi
gas rumah kaca di dunia sehingga banyak negara di dunia termasuk UNFCCC yang
mengharapkan adanya kontribusi global dari Amerika Serikat dalam mengurangi
emisi gas rumah kaca di dunia.121
Maka dengan usaha Presiden Obama untuk
menghadapi perubahan iklim di dunia saat ini diharapkan dapat mengurangi emisi gas
rumah kaca yang Amerika Serikat miliki dan dalam jangka panjang juga akan dapat
mengurangi resiko dari dampak perubahan iklim terhadap generasi yang akan datang.
Dengan menyetujui dan meratifikasi Perjanjian Paris, Presiden Obama berharap
dapat mencegah dan menanggapi dampak dari perubahan iklim yang nanti akan
mempengaruhi negaranya. Karena untuk menghadapi isu global yang mengancam
negara di seluruh dunia akan dibutuhkan juga respon global dari Amerika Serikat
untuk menghadapinya, walaupun respon tersebut belum pernah dilakukan
sebelumnya dalam sejarah pemerintahan Amerika Serikat.
Sehingga dapat terlihat dengan meratifikasi Perjanjian Paris yang merupakan
upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di dunia, Amerika Serikat
dapat memenuhi kepentingan nasionalnya yang berupaya menghadapi perubahan
121
Boden, T.A., Marland, G., and Andres, R.J, “National CO2 Emissions from Fossil-Fuel
Burning, Cement Manufacture, and Gas Flaring: 1751-2014, Carbon Dioxide Information Analysis
Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, 2017 [artikel on-line]; tersedia di
http://cdiac.ess-dive.lbl.gov/trends/emis/tre_coun.html Internet;diunduh pada 15 Mei 2018.
90
iklim dan juga untuk mencegah ataupun meminimalisir dampak dari perubahan iklim
pada berbagai bidang di dalam Amerika Serikat.
Memperbaiki dampak dari perubahan iklim dengan meratifikasi Perjanjian
Paris merupakan salah satu cara Amerika Serikat untuk dapat memenuhi salah satu
dari tiga tujuan kebijakan luar negerinya yang tercantum dalam Konstitusi Amerika
Serikat, yaitu keamanan, kemakmuran, dan berupaya untuk membuat dunia menjadi
tempat yang lebih baik. Amerika Serikat sendiri selalu berfokus untuk memenuhi dua
tujuan kebijkaan luar negerinya yaitu keamanan dan kemakmuran dengan
memfokuskan kebijakan luar negerinya pada bidang militer dan ekonomi sedangkan
tujuan ketiga dari kebijakan luar negerinya sangat jarang dipenuhi.
Maka dari itu Presiden Obama berupaya untuk dapat memenuhi tujuan dari
kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang ketiga yaitu membuat dunia menjadi
tempat yang lebih baik dengan meratifikasi Perjanjian Paris sehingga dampak dari
perubahan iklim dapat terhentikan dan menyediakan dunia yang lebih baik bagi
generasi yang akan datang.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan kebijakan luar negeri atau tindakan internasional yang dilakukan
oleh Presiden Obama di kedua masa pemerintahannya pada tahun 2008 sampai pada
tahun 2016 terhadap perjanjian yang dibentuk oleh UNFCCC tentu telah memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap upaya dunia dalam memperbaiki dampak negatif
dari perubahan iklim. Dengan keikutsertaan Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris
maka tentu akan memberikan contoh kepada negara-negara lain seperti Cina untuk
segera meratifikasi Perjanjian Paris dan membuat pelaksanaan Perjanjian Paris
berjalan dengan lancar.
Dalam sejarah Amerika Serikat sendiri sangat jarang terlihat pemimpin yang
mempunyai keinginan sebagai aktor rasional untuk benar-benar melakukan kebijakan
luar negeri atau tindakan internasional dalam isu perubahan iklim di UNFCCC.
Adapun beberapa presiden Amerika Serikat yang memiliki kebijakan untuk
mendukung perbaikan lingkungan alam di negaranya sendiri tidak benar-benar
mendukung kebijakan perbaikan lingkungan hidup di lingkup sistem internasional.
Maka dari itu akan sangat dibutuhkan presiden Amerika Serikat yang mempunyai
92
pandangan positif dan mendukung terhadap perjanjian internasional yang berusaha
untuk memperbaiki dan mencegah kerusakan lebih jauh lagi akibat dari perubahan
iklim.
Peran dan pengaruh dari kongres dan Presiden Amerika Serikat dapat membuat
kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh pemerintahan Amerika Serikat berbeda
setiap waktunya, perubahan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pribadi diri dari
presiden yang berkuasa saat itu, posisi partai yang berkuasa di kongres, maupun opini
masayarakat terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Maka dalam menganalisa
perubahan ini akan sangat penting melihat posisi dari pemerintahan Amerika Serikat.
Salah satu presiden Amerika Serikat yang menunjukan adanya dukungan
terhadap mekanisme ataupun perjanjian yang dihasilkan oleh UNFCCC adalah
presiden Barack Obama. Presiden Obama sendiri telah menunjukan sifat positifnya
terhadap perbaikan lingkungan melalui berbagai kebijakan dalan negerinya, seperti
Clean Air Act dan Global Climate Protection Act dimana kedua kebijakan dalam
negeri tersebut berusaha untuk memperbaiki dampak dari perubahan iklim yang
terjadi di Amerika Serikat.
Walaupun begitu pada awal masa pemerintahannya, presiden Obama tidak
memperlihatkan dukungannya terhadap mekanisme yang saat itu dihasilkan oleh
UNFCCC yaitu Copenhagen Accord. Hal ini disebabkan oleh opini publik Amerika
Serikat yang masih belum sadar dan mendukung upaya internasional dari UNFCCC
93
untuk memperbaiki dampak negatif dari perubahan iklim melalui mekanisme
Copenhagen Accord, sehingga membuat Amerika Serikat mengeluarkan tindakan
ataupun kebijakan luar negeri yang tidak mendukung Copenhagen Accord.
Seiring berjalannya waktu opini masyarakat Amerika Serikat terhadap
pemanasan global semakin berubah, mulai banyak masyarakat Amerika Serikat yang
menyadari bahaya dari dampak pemanasan global terhadap kehidupan sehari-hari
mereka sehingga membuat mereka mulai mendukung dan mendorong pemerintahan
Amerika Serikat untuk segera mengeluarkan kebijakan luar negeri yang menyetujui
ataupun meratifikasi mekanisme UNFCCC dalam memperbaiki dampak negatif dari
pemanasan global. Maka dari itu Presiden Obama pada periode kepresidenan
keduanya membentuk tindakan ataupun kebijakan luar negeri yang meratifikasi
mekanisme UNFCCC, yaitu Perjanjian Paris.
Adapun kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Presiden Obama dapat
dikategorikan sebagai negosiasi dalam perjanjian internasional. Dalam mengikuti
perjanjian internasional biasanya harus terdapat persetujuan dari kongres, tetapi
terdapat perjanjian internasional yang dapat dilakukan tanpa harus menuggu opini
ataupun persetujuan dari kongres dan perjanjian tersebut disebut sebagai Sole
Executive Agreement.
Peratifikasian perjanjian Paris yang dilakukan oleh Presiden Obama pun
menggunakan metode Sole Executive Agreement dimana Presiden Obama dapat
94
menyetujui dan meratifikasi suatu perjanjian tanpa menunggu adanya masukan dan
partisipasi dari House of Senate dan House of Representative di Kongres Amerika
Serikat. Dengan menggunakan wewenang eksekutifnya Presiden Obama dapat
meratifikasi Perjanjian Paris tanpa persetujuan dari Kongres, hal tersebut dilakukan
karena kondisi kongres yang saat itu sedang dikuasai oleh partai Republik.
Kedua tindakan ataupun kebijakan luar negeri Presiden Obama yang saling
berlawanan tersebut terjadi di dua masa kepresidenan yang berbeda, dapat dilihat
bahwa terdapat perubahan yang lebih positif dari Presiden Obama pada responnya
terhadap mekanisme UNFCCC. Perubahan tersebut bukan hanya terjadi karena
adanya perubahan dalam opini publik Amerika serikat terhadap pemanasan global
tetapi juga karena Barrack Obama sebagai aktor rasional yang mempunyai pengaruh
terhadap proses pembuatan kebijakan luar negeri dari ratifikasi Perjanjian Paris.
Perubahan tindakan atau kebijakan luar negeri dari Presiden Obama dalam
penolakan Copenhagen Accord dan peratifikasian Perjanjian Paris merupakan
perubahan arah kebijakan luar negeri yang cukup signifikan. Copenhagen Accord dan
Perjanjian Paris merupakan dua perjanjian hasil UNFCCC yang pada intinya
memiliki konsentrasi pada isu yang sama tetapi dengan data yang berbeda satu sama
lainnya, hal tersebut dikarenakan baik itu Copenhagen Accord maupun Perjanjian
Paris memiliki regulasi yang bersifat review terhadap satu sama lain.
95
Maka dari itu sebenarnya Copenhagen Accord dan Perjanjian Paris merupakan
dua perjanjian yang saling terkait, dapat dikatakan Perjanjian Paris merupakan
perjanjian yang sama dengan Copenhagen Accord tetapi dengan data dan solusi yang
sudah diperbaharui terlebih dahulu. Sehingga perbandingan dari kebijakan luar negeri
yang dikeluarkan untuk merespon dua perjanjian tersebut sangatlah signifikan, karena
terdapat perubahan respon di satu Presiden yang sama yaitu Presiden Barack Obama
dalam dua perjanjian UNFCCC yang saling berkesinambungan.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Bagian Buku
Affianty, Debbie. Analisa Politik Luar Negeri. Jakarta: UIN Press, Januari 2015.
Allison, Graham T. Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis.
Boston: Little, Brown, and Company, 1971.
Birdsall, Stephen S. Garis Besar Geografi Amerika Serikat. Carolina: John Wiley &
Sons, Inc, 1992.
Cox, Gary W. Making Votes Counts: Strategic Coordination in the World Electoral
Systems. Cambridge:Cambridge University Press, 1997.
Climate Change Secretariat. A Guide to The Climate Change Convention Process
Bonn: Climate Change Secretariat, 2002.
Creswell, John W. Research Design: Qualitative Quantitative & Mixed Methods
Approaches. Washington DC: SAGE Publications Inc, 2013.
DeConde, Alexander, Richard Dean Burns, dan Fredrik Logevall. Encyclopedia of
American Foreign Policy Charles Scribner’s Sons, 2002.
Dharmawan, Arya Hadi, et.al. SVLK, jalan menuju REDD++. Jakarta: Forest
Governance and Multistakeholder Forestry Programme, 2011.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Perubahan Iklim, Perjanjian
Paris, Dan Nationally Determined Contribution. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
2016.
xiv
Elliot, Lorraine. The Global Politics of The Environment. New York: New York
University Press Wahington Square, 2004..
Grimmett, Richard F. CRS Report for Congress: Foreign Policy Roles of The
Presiden and Congres. Washington:The Library of Congress, June 1999.
Halperin, Morton H. dan Priscilla A. Clapp. Bureaucratic Politics And Foreign
Policy (Second Edition).Washington D.C: Brookings Institution Press, 2006.
Holsti, K J. Sixth Edition International Politics “A Framework for Analysis”.
London: Prentice-Hall International Inc, 1992.
Hara, Abubakar Eby. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai
Konstruktivisme. Bandung: Penerbit Nuansa, 2011.
Krutz, Glen S. dan Jeffrey S. Peake. Treaty Politics and The Rise of Executive
Agreements. Michigan: The University of Michigan Press, 2009.
Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
Pustaka LP3S, 1990.
Mintz, Alex. dan Karl DeRouen. Understanding Foreign Policy Decision Making
Cambridge: Cambridge University Press, 2010.
Mackenzie, G. Calvin. American Government: Politics and Public Policy. New York:
Random House, 1986
Murdiyarso, Daniel. Protokol Kyoto “Implikasinya Bagi Negara Berkembang”.
Jakarta: Kompas, 2003
Nasution, Nazaruddin. Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Yayasan
Bina Insan Cita, 2017.
xv
Nuechterlein, Donald E. United States National Interest in a Changing World.
Lexington: Ky, 1973.
Obama, Barack. Barack Obama Menerjang Harapan. Jakarta:UFUK Press, 2007.
O’Neill, Kate. The Enviroment and International Relations. New York: Cambridge
University Press, 2009.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochammad Yani. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
Rosenau, James N. The Scientific Study of Foreign Policy. New York: Nichols
Publishing Company, 1980.
Rosenau, James N, Gavin boyd, dan Kenneth W. Thompson. World Politics: An
Introduction. New york: The Free Press, 1976.
Schreurs, Miranda A. Enviromental Politics in Japan, Germany and the United States
Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Scott, Burchil, et all. Theories of International Relations (3rd Edition). Basingtoke:
Palgrave Macmillan, 2005.
UNFCCC. United Nations Framework Convention on Climate Change. Bonn: United
Nations, 1992.
UNFCCC Secretariat. United Nations Framework Convention on Climate Change
Handbook. Bonn: Climate Change Secretariat, 2006.
xvi
Jurnal dan Skripsi:
Alfikry, Muhamad Derry. Sikap Amerika Serikat Di Masa Pemerintahan Obama
Dalam Negosiasi United Nations Framework Convention On Climate Change
(UNFCCC) Di Copenhagen Tahun 2009. Jakarta: UIN Jakarta, 2014.
Husna, Atik Fadilatul. Perubahan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam
Memerangi Terorisme Internasional di Afghanistan Pada Periode
Pemerintahan Barrack Obama. Jakarta: UIN Jakarta, 2012.
Yuliandani, Adistya. Perubahan Kebijakan Lingkungan Amerika Serikat Di Bawah
Kepemimpinan Barrack Obama Dalam Menanggapi Hasil Protokol Kyoto.
Yogyakarta: UMY, 2012.
Sumber Internet:
Amer, Mildred. “Pages of the United States Congress: Selection, Duties, and Program
Administration” ,Mei 2008 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.senate.gov/reference/resources/pdf/98-758.pdf Internet; diunduh
pada 04 April 2018.
Boden, T.A., Marland, G., and Andres, R.J, “National CO2 Emissions from Fossil-
Fuel Burning, Cement Manufacture, and Gas Flaring: 1751-2014”, Carbon
Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S.
Department of Energy, 2017 [artikel on-line]; tersedia di http://cdiac.ess-
dive.lbl.gov/trends/emis/tre_coun.html Internet;diunduh pada 15 Mei 2018.
Cole, Steve dan Leslie McCarthy, “Long-term Warning Trend Continued in 2017:
NASA, NOAA”, NASA News, 18 Januari 2018 [artikel on-line]; diakses dari
https://www.nasa.gov/press-release/long-term-warming-trend-continued-in-
2017-nasa-noaa Internet; diunduh pada 10 Juli 2018.
xvii
Federal Election Commission, “2010 Election Results” ,2010 [artikel on-line];
tersedia di https://classic.fec.gov/pubrec/fe2012//tables2012.pdf Internet;
diunduh pada 05 April 2018.
Federal Election Commission, “2014 Election Results” ,2014 [artikel on-line]
tersedia di https://classic.fec.gov/pubrec/fe2014//tables2014.pdf Internet;
diunduh pada 05 April 2018.
International Institute for Sustainable Development, “Earth Negotiations
Bulletin” ,Vol. 12 No. 354, Desember 2007 [jurnal on-line]; tersedia di
http://enb.iisd.org/download/pdf/enb12354e.pdf Internet; diunduh pada 04
April 2018.
Intergovernmental Panel on Climate Change, “Summary for Policymakers. In:
Climate Change 2013: The Physical Science Basis” ,Contribution of Working
Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, 2013 [artikel on-line]; tersedia di
http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-
report/ar5/wg1/WG1AR5_SPM_FINAL.pdf Internet; diunduh pada 14 Mei
2018.
Jennifer Marlon, Peter Howe, Matto Mildenberger, dan Anthony Leiserowitz, “Yale
Climate Opinion Maps – U.S. 2014” ,Yale Program on Climate Change
Communication, 2016 [artikel on-line]; tersedia di
http://climatecommunication.yale.edu/visualizations-data/ycom/ Internet,
diuduh pada 09 Juli 2018.
Marlon, Jennifer, Peter Howe, Matto Mildenberger, dan Anthony Leiserowitz, “Yale
Climate Opinion Maps – U.S. 2016” ,Yale Program on Climate Change
Communication, 2016 [artikel on-line]; tersedia di
http://climatecommunication.yale.edu/visualizations-data/ycom-us-
2016/?est=happening&type=value&geo=county Internet; diunduh pada 13 Mei
2018.
Obama White House, “Remarks by The President in State of the Union Addres” , The
White House Office of the Press Secretary, 20 Januari 2015 [artikel on-line];
diakses dari https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-
xviii
office/2015/01/20/remarks-president-state-union-address-january-20-2015.
Internet; diunduh pada 10 Mei 2018.
Pew Research Center U.S Politics & Policy, “Economy, Jobs Trump All Other Policy
Priorities In 2009” ,Pew Research Center, 22 Januari 2009 [artikel on-line];
tersedia di http://www.people-press.org/2009/01/22/economy-jobs-trump-all-
other-policy-priorities-in-2009/ Internet; diunduh pada 12 Mei 2018.
Richardson, Valerie. “White House defends Obama evading Senate on Paris climate
deal”, Washington Times, 29 Agustus 2016, diakses dari
https://www.washingtontimes.com/news/2016/aug/29/obama-will-bypass-
senate-ratify-paris-climate-acco/ Pada 10 April 1996.
Somanader, Tanya, “President Obama: The United States Formally Enters the Paris
Agreement” ,Obama White House, 03 September 2016 [artikel on-line];
tersedia di https://obamawhitehouse.archives.gov/blog/2016/09/03/president-
obama-united-states-formally-enters-paris-agreement Internet; diunduh pada 14
Mei 2018.
Ritthaler-Andree, Ronja. “The U.S Climate Policy and The 2016 Presidential and
Congresseional Elections” ,2016 [artikel on-line]; tersedia di http://www.uni-
heidelberg.de/md/politik/harnisch/mitarbeiter/aa-r2e-no1.pdf. Internet; diunduh
pada 25 Maret 2018.
The White House, “Text of a Letter from the President to Senators Hagel, Helms,
Craig, and Roberts” ,Maret 2001 [artikel on-line]; tersedia di
https://georgewbush-
whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/03/20010314.html Internet;
diunduh pada 04 April 2018.
The Biography, “Barrack Obama Biography”, A&E Television Networks, 09 Maret
2018 [artikel on-line]; tersedia di: https://www.biography.com/people/barack-
obama-12782369 Internet; diunduh pada 03 Mei 2018.
UNFCCC. Copenhagen Accord. 20 April 2011, diakses dari
http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf#page=4 Pada 06
Desember 2017.
xix
UNFCCC, “Calender Recent Session of UNFCCC” ,Januari 2018 [artikel on-line];
tersedia di http://unfccc.int/meetings/items/6240.php Internet; diunduh pada 13
Maret 2018.
United Nations, “Paris Agreement” ,2015 [artikel on-line] tersedia di
https://unfccc.int/files/meetings/paris_nov_2015/application/pdf/paris_agreeme
nt_english_.pdf Internet; diunduh pada 13 Maret 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change, “Paris Agreement –
Status of Ratification” ,12 Desember 2015 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/paris_agreement/items/9444.php Internet; diunduh pada 29
Oktober 2017.
UNFCCC, “Copenhagen Accord” ,Desember 2009 [artikel on-line]; tersedia di
http://unfccc.int/meetings/copenhagen_dec_2009/items/5262.php Internet;
diunduh pada 16 Maret 2018.
Vidal, John dan Oliver Milman, “Paris climate deal thrown into uncertainty by US
election result” ,The Guardian, 09 November 2016 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.theguardian.com/environment/2016/nov/09/us-election-result-
throws-paris-climate-deal-into-uncertainty Internet; diunduh pada 13 Mei 2018.
White House, “The Constitution of The United States” ,1995 [artikel on-line];
tersedia di https://www.usconstitution.net/const.pdf Internet; diunduh pada 31
Maret 2018.
White House, “Fact Sheet: United States Support for Global Efforts to Combat
Carbon Pollution and Build Resilience” ,2014 [artikel on-line]; tersedia di
https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2014/11/15/fact-sheet-
united-states-support-global-efforts-combat-carbon-pollution- Internet;
diunduh pada 31 Maret 2018.
xx
Lampiran 1
FCCC/CP/2009/11/Add.1 Page 5
Copenhagen Accord
Copenhagen Accord The Heads of State, Heads of Government, Ministers,
and other heads of the following delegations present at the United Nations Climate
Change Conference 2009 in Copenhagen: Albania, Algeria, Armenia, Australia,
Austria, Bahamas, Bangladesh, Belarus, Belgium, Benin, Bhutan, Bosnia and
Herzegovina, Botswana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Cambodia, Canada, Central
African Republic, Chile, China, Colombia, Congo, Costa Rica, Côte d’Ivoire, Croatia,
Cyprus, Czech Republic, Democratic Republic of the Congo, Denmark, Djibouti,
Eritrea, Estonia, Ethiopia, European Union, Fiji, Finland, France, Gabon, Georgia,
Germany, Ghana, Greece, Guatemala, Guinea, Guyana, Hungary, Iceland, India,
Indonesia, Ireland, Israel, Italy, Japan, Jordan, Kazakhstan, Kiribati, Lao People’s
Democratic Republic, Latvia, Lesotho, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg,
Madagascar, Malawi, Maldives, Mali, Malta, Marshall Islands, Mauritania, Mexico,
Monaco, Mongolia, Montenegro, Morocco, Namibia, Nepal, Netherlands, New
Zealand, Norway, Palau, Panama, Papua New Guinea, Peru, Poland, Portugal,
Republic of Korea, Republic of Moldova, Romania, Russian Federation, Rwanda,
Samoa, San Marino, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Singapore, Slovakia, Slovenia,
South Africa, Spain, Swaziland, Sweden, Switzerland, the former Yugoslav Republic
of Macedonia, Tonga, Trinidad and Tobago, Tunisia, United Arab Emirates, United
Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, United Republic of Tanzania, United
States of America, Uruguay and Zambia.
In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2,
Being guided by the principles and provisions of the Convention,
Noting the results of work done by the two Ad hoc Working Groups,
Endorsing decision 1/CP.15 on the Ad hoc Working Group on Long-term
Cooperative Action and decision 1/CMP.5 that requests the Ad hoc Working Group
on Further Commitments of Annex I Parties under the Kyoto Protocol to continue its
work.
Have agreed on this Copenhagen Accord which is operational immediately.
xxi
1. We underline that climate change is one of the greatest challenges of our time.
We emphasise our strong political will to urgently combat climate change in
accordance with the principle of common but differentiated responsibilities
and respective capabilities. To achieve the ultimate objective of the
Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a
level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the
climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in
global temperature should be below 2 degrees Celsius, on the basis of equity
and in the context of sustainable development, enhance our long-term
cooperative action to combat climate change. We recognize the critical
impacts of climate change and the potential impacts of response measures on
countries particularly vulnerable to its adverse effects and stress the need to
establish a comprehensive adaptation program including international support.
2. We agree that deep cuts in global emissions are required according to science,
and as documented by the IPCC Fourth Assessment Report with a view to
reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below
2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with
science and on the basis of equity. We should cooperate in achieving the
peaking of global and national emissions as soon as possible, recognizing that
the time frame for peaking will be longer in developing countries and bearing
in mind that social and economic development and poverty eradication are the
first and overriding priorities of developing countries and that a low-emission
development strategy is indispensable to sustainable development.
3. Adaptation to the adverse effects of climate change and the potential impacts
of response measures is a challenge faced by all countries. Enhanced action
and international cooperation on adaptation is urgently required to ensure the
implementation of the Convention by enabling and supporting the
implementation of adaptation actions aimed at reducing vulnerability and
building resilience in developing countries, especially in those that are
particularly vulnerable, especially least developed countries, small island
developing States and Africa. We agree that developed countries shall provide
adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and
capacity-building to support the implementation of adaptation action in
developing countries.
4. Annex I Parties commit to implement individually or jointly the quantified
economy wide emissions targets for 2020, to be submitted in the format given
in Appendix I by Annex I Parties to the secretariat by 31 January 2010 for
compilation in an INF document. Annex I Parties that are Party to the Kyoto
Protocol will thereby further strengthen the emissions reductions initiated by
xxii
the Kyoto Protocol. Delivery of reductions and financing by developed
countries will be measured, reported and verified in accordance with existing
and any further guidelines adopted by the Conference of the Parties, and will
ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and
transparent.
5. Non-Annex I Parties to the Convention will implement mitigation actions,
including those to be submitted to the secretariat by non-Annex I Parties in
the format given in Appendix II by 31 January 2010, for compilation in an
INF document, consistent with Article 4.1 and Article 4.7 and in the context
of sustainable development. Least developed countries and small island
developing States may undertake actions voluntarily and on the basis of
support. Mitigation actions subsequently taken and envisaged by Non-Annex I
Parties, including national inventory reports, shall be communicated through
national communications consistent with Article 12.1(b) every two years on
the basis of guidelines to be adopted by the Conference of the Parties. Those
mitigation actions in national communications or otherwise communicated to
the Secretariat will be added to the list in appendix II. Mitigation actions taken
by Non-Annex I Parties will be subject to their domestic measurement,
reporting and verification the result of which will be reported through their
national communications every two years. Non-Annex I Parties will
communicate information on the implementation of their actions through
National Communications, with provisions for international consultations and
analysis under clearly defined guidelines that will ensure that national
sovereignty is respected. Nationally appropriate mitigation actions seeking
international support will be recorded in a registry along with relevant
technology, finance and capacity building support. Those actions supported
will be added to the list in appendix II. These supported nationally appropriate
mitigation actions will be subject to international measurement, reporting and
verification in accordance with guidelines adopted by the Conference of the
Parties.
6. We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and
forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas
emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to
such actions through the immediate establishment of a mechanism including
REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed
countries.
7. We decide to pursue various approaches, including opportunities to use
markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote mitigation
actions. Developing countries, especially those with low emitting economies
xxiii
should be provided incentives to continue to develop on a low emission
pathway.
8. Scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as
improved access shall be provided to developing countries, in accordance with
the relevant provisions of the Convention, to enable and support enhanced
action on mitigation, including substantial finance to reduce emissions from
deforestation and forest degradation (REDD-plus), adaptation, technology
development and transfer and capacity-building, for enhanced implementation
of the Convention. The collective commitment by developed countries is to
provide new and additional resources, including forestry and investments
through international institutions, approaching USD 30 billion for the period
2010–2012 with balanced allocation between adaptation and mitigation.
Funding for adaptation will be prioritized for the most vulnerable developing
countries, such as the least developed countries, small island developing
States and Africa. In the context of meaningful mitigation actions and
transparency on implementation, developed countries commit to a goal of
mobilizing jointly USD 100 billion dollars a year by 2020 to address the
needs of developing countries. This funding will come from a wide variety of
sources, public and private, bilateral and multilateral, including alternative
sources of finance. New multilateral funding for adaptation will be delivered
through effective and efficient fund arrangements, with a governance structure
providing for equal representation of developed and developing countries. A
significant portion of such funding should flow through the Copenhagen
Green Climate Fund.
9. To this end, a High Level Panel will be established under the guidance of and
accountable to the Conference of the Parties to study the contribution of the
potential sources of revenue, including alternative sources of finance, towards
meeting this goal.
10. We decide that the Copenhagen Green Climate Fund shall be established as an
operating entity of the financial mechanism of the Convention to support
projects, program, policies and other activities in developing countries related
to mitigation including REDD-plus, adaptation, capacity building, technology
development and transfer.
11. In order to enhance action on development and transfer of technology we
decide to establish a Technology Mechanism to accelerate technology
development and transfer in support of action on adaptation and mitigation
that will be guided by a country-driven approach and be based on national
circumstances and priorities.
xxiv
12. We call for an assessment of the implementation of this Accord to be
completed by 2015, including in light of the Convention’s ultimate objective.
This would include consideration of strengthening the long-term goal
referencing various matters presented by the science, including in relation to
temperature rises of 1.5 degrees Celsius.
xxv
Lampiran 2
FCCC/CP/2015/L.9
PARIS AGREEMENT
The Parties to this Agreement,
Being Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change,
hereinafter referred to as “the Convention”,
Pursuant to the Durban Platform for Enhanced Action established by decision
1/CP.17 of the Conference of the Parties to the Convention at its seventeenth session,
In pursuit of the objective of the Convention, and being guided by its principles,
including the principle of equity and common but differentiated responsibilities and
respective capabilities, in the light of different national circumstances,
Recognizing the need for an effective and progressive response to the urgent threat of
climate change on the basis of the best available scientific knowledge,
Also recognizing the specific needs and special circumstances of developing country
Parties, especially those that are particularly vulnerable to the adverse effects of
climate change, as provided for in the Convention,
Taking full account of the specific needs and special situations of the least developed
countries with regard to funding and transfer of technology,
Recognizing that Parties may be affected not only by climate change, but also by the
impacts of the measures taken in response to it,
Emphasizing the intrinsic relationship that climate change actions, responses and
impacts have with equitable access to sustainable development and eradication of
poverty,
xxvi
Recognizing the fundamental priority of safeguarding food security and ending
hunger, and the particular vulnerabilities of food production systems to the adverse
impacts of climate change,
Taking into account the imperatives of a just transition of the workforce and the
creation of decent work and quality jobs in accordance with nationally defined
development priorities,
Acknowledging that climate change is a common concern of humankind, Parties
should, when taking action to address climate change, respect, promote and consider
their respective obligations on human rights, the right to health, the rights of
indigenous peoples, local communities, migrants, children, persons with disabilities
and people in vulnerable situations and the right to development, as well as gender
equality, empowerment of women and intergenerational equity,
Recognizing the importance of the conservation and enhancement, as appropriate, of
sinks and reservoirs of the greenhouse gases referred to in the Convention,
Noting the importance of ensuring the integrity of all ecosystems, including oceans,
and the protection of biodiversity, recognized by some cultures as Mother Earth, and
noting the importance for some of the concept of “climate justice”, when taking
action to address climate change,
Affirming the importance of education, training, public awareness, public
participation, public access to information and cooperation at all levels on the matters
addressed in this Agreement,
Recognizing the importance of the engagements of all levels of government and
various actors, in accordance with respective national legislations of Parties, in
addressing climate change,
xxvii
Also recognizing that sustainable lifestyles and sustainable patterns of consumption
and production, with developed country Parties taking the lead, play an important role
in addressing climate change,
Have agreed as follows:
Article 1
For the purpose of this Agreement, the definitions contained in Article 1 of
the Convention shall apply. In addition:
1. “Convention” means the United Nations Framework Convention on Climate
Change, adopted in New York on 9 May 1992.
2. “Conference of the Parties” means the Conference of the Parties to the
Convention.
3. “Party” means a Party to this Agreement.
Article 2
1. This Agreement, in enhancing the implementation of the Convention,
including its objective, aims to strengthen the global response to the threat of
climate change, in the context of sustainable development and efforts to
eradicate poverty, including by:
a) Holding the increase in the global average temperature to well below
2 °C above pre-industrial levels and to pursue efforts to limit the
temperature increase to 1.5 °C above pre-industrial levels, recognizing
that this would significantly reduce the risks and impacts of climate
change;
b) Increasing the ability to adapt to the adverse impacts of climate change
and foster climate resilience and low greenhouse gas emissions
development, in a manner that does not threaten food production
xxviii
c) Making finance flows consistent with a pathway towards low
greenhouse gas emissions and climate- resilient development.
2. This Agreement will be implemented to reflect equity and the principle of
common but differentiated responsibilities and respective capabilities, in the
light of different national circumstances.
Article 3
As nationally determined contributions to the global response to climate change, all
Parties are to undertake and communicate ambitious efforts as defined in Articles 4, 7,
9, 10, 11 and 13 with the view to achieving the purpose of this Agreement as set out
in Article 2. The efforts of all Parties will represent a progression over time, while
recognizing the need to support developing country Parties for the effective
implementation of this Agreement.
Article 4
1. In order to achieve the long-term temperature goal set out in Article 2, Parties
aim to reach global peaking of greenhouse gas emissions as soon as possible,
recognizing that peaking will take longer for developing country Parties, and
to undertake rapid reductions thereafter in accordance with best available
science, so as to achieve a balance between anthropogenic emissions by
sources and removals by sinks of greenhouse gases in the second half of this
century, on the basis of equity, and in the context of sustainable development
and efforts to eradicate poverty.
2. Each Party shall prepare, communicate and maintain successive nationally
determined contributions that it intends to achieve. Parties shall pursue
domestic mitigation measures, with the aim of achieving the objectives of such
contributions.
xxix
3. Each Party’s successive nationally determined contribution will represent a
progression beyond the Party’s then current nationally determined contribution
and reflect its highest possible ambition, reflecting its common but
differentiated responsibilities and respective capabilities, in the light of
different national circumstances.
4. Developed country Parties should continue taking the lead by undertaking
economy-wide absolute emission reduction targets. Developing country
Parties should continue enhancing their mitigation efforts, and are encouraged
to move over time towards economy-wide emission reduction or limitation
targets in the light of different national circumstances.
5. Support shall be provided to developing country Parties for the
implementation of this Article, in accordance with Articles 9, 10 and 11,
recognizing that enhanced support for developing country Parties will allow
for higher ambition in their actions.
6. The least developed countries and small island developing States may prepare
and communicate strategies, plans and actions for low greenhouse gas
emissions development reflecting their special circumstances.
7. Mitigation co-benefits resulting from Parties’ adaptation actions and/or
economic diversification plans can contribute to mitigation outcomes under
this Article.
8. In communicating their nationally determined contributions, all Parties shall
provide the information necessary for clarity, transparency and understanding
in accordance with decision 1/CP.21 and any relevant decisions of the
Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement.
9. Each Party shall communicate a nationally determined contribution every five
years in accordance with decision 1/CP.21 and any relevant decisions of the
Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
xxx
Agreement and be informed by the outcomes of the global stocktake referred
to in Article 14.
10. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall consider common time frames for nationally determined
contributions at its first session.
11. A Party may at any time adjust its existing nationally determined contribution
with a view to enhancing its level of ambition, in accordance with guidance
adopted by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties
to the Paris Agreement.
12. Nationally determined contributions communicated by Parties shall be
recorded in a public registry maintained by the secretariat.
13. Parties shall account for their nationally determined contributions. In
accounting for anthropogenic emissions and removals corresponding to their
nationally determined contributions, Parties shall promote environmental
integrity, transparency, accuracy, completeness, comparability and consistency,
and ensure the avoidance of double counting, in accordance with guidance
adopted by the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties
to the Paris Agreement.
14. In the context of their nationally determined contributions, when recognizing
and implementing mitigation actions with respect to anthropogenic emissions
and removals, Parties should take into account, as appropriate, existing
methods and guidance under the Convention, in the light of the provisions of
paragraph 13 of this Article.
15. Parties shall take into consideration in the implementation of this Agreement
the concerns of Parties with economies most affected by the impacts of
response measures, particularly developing country Parties.
16. Parties, including regional economic integration organizations and their
member States, that have reached an agreement to act jointly under paragraph
2 of this Article shall notify the secretariat of the terms of that agreement,
xxxi
including the emission level allocated to each Party within the relevant time
period, when they communicate their nationally determined contributions. The
secretariat shall in turn inform the Parties and signatories to the Convention of
the terms of that agreement.
17. Each party to such an agreement shall be responsible for its emission level as
set out in the agreement referred to in paragraph 16 above in accordance with
paragraphs 13 and 14 of this Article and Articles 13 and 15.
18. If Parties acting jointly do so in the framework of, and together with, a
regional economic integration organization which is itself a Party to this
Agreement, each member State of that regional economic integration
organization individually, and together with the regional economic integration
organization, shall be responsible for its emission level as set out in the
agreement communicated under paragraph 16 of this Article in accordance
with paragraphs 13 and 14 of this Article and Articles 13 and 15.
19. All Parties should strive to formulate and communicate long-term low
greenhouse gas emission development strategies, mindful of Article 2 taking
into account their common but differentiated responsibilities and respective
capabilities, in the light of different national circumstances.
Article 5
1. Parties should take action to conserve and enhance, as appropriate, sinks and
reservoirs of greenhouse gases as referred to in Article 4, paragraph 1(d), of
the Convention, including forests.
2. Parties are encouraged to take action to implement and support, including
through results-based payments, the existing framework as set out in related
guidance and decisions already agreed under the Convention for: policy
approaches and positive incentives for activities relating to reducing emissions
from deforestation and forest degradation, and the role of conservation,
xxxii
sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in
developing countries; and alternative policy approaches, such as joint
mitigation and adaptation approaches for the integral and sustainable
management of forests, while reaffirming the importance of incentivizing, as
appropriate, non-carbon benefits associated with such approaches.
Article 6
1. Parties recognize that some Parties choose to pursue voluntary cooperation in
the implementation of their nationally determined contributions to allow for
higher ambition in their mitigation and adaptation actions and to promote
sustainable development and environmental integrity.
2. Parties shall, where engaging on a voluntary basis in cooperative approaches
that involve the use of internationally transferred mitigation outcomes towards
nationally determined contributions, promote sustainable development and
ensure environmental integrity and transparency, including in governance, and
shall apply robust accounting to ensure, inter alia, the avoidance of double
counting, consistent with guidance adopted by the Conference of the Parties
serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement.
3. The use of internationally transferred mitigation outcomes to achieve
nationally determined contributions under this Agreement shall be voluntary
and authorized by participating Parties.
4. A mechanism to contribute to the mitigation of greenhouse gas emissions and
support sustainable development is hereby established under the authority and
guidance of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties
to the Paris Agreement for use by Parties on a voluntary basis. It shall be
supervised by a body designated by the Conference of the Parties serving as
the meeting of the Parties to the Paris Agreement, and shall aim:
xxxiii
a) To promote the mitigation of greenhouse gas emissions while
fostering sustainable development;
b) To incentivize and facilitate participation in the mitigation of
greenhouse gas emissions by public and private entities authorized by
a Party;
c) To contribute to the reduction of emission levels in the host Party,
which will benefit from mitigation activities resulting in emission
reductions that can also be used by another Party to fulfil its nationally
determined contribution; and
d) To deliver an overall mitigation in global emissions.
5. Emission reductions resulting from the mechanism referred to in paragraph 4
of this Article shall not be used to demonstrate achievement of the host Party’s
nationally determined contribution if used by another Party to demonstrate
achievement of its nationally determined contribution.
6. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall ensure that a share of the proceeds from activities under the
mechanism referred to in paragraph 4 of this Article is used to cover
administrative expenses as well as to assist developing country Parties that are
particularly vulnerable to the adverse effects of climate change to meet the
costs of adaptation.
7. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall adopt rules, modalities and procedures for the mechanism
referred to in paragraph 4 of this Article at its first session.
8. Parties recognize the importance of integrated, holistic and balanced non-
market approaches being available to Parties to assist in the implementation of
their nationally determined contributions, in the context of sustainable
development and poverty eradication, in a coordinated and effective manner,
including through, inter alia, mitigation, adaptation, finance, technology
transfer and capacity-building, as appropriate. These approaches shall aim to:
xxxiv
a) Promote mitigation and adaptation ambition;
b) Enhance public and private sector participation in the implementation
of nationally determined contributions; and
c) Enable opportunities for coordination across instruments and relevant
institutional arrangements.
9. A framework for non-market approaches to sustainable development is hereby
defined to promote the non- market approaches referred to in paragraph 8 of
this Article.
Article 7
1. Parties hereby establish the global goal on adaptation of enhancing adaptive
capacity, strengthening resilience and reducing vulnerability to climate change,
with a view to contributing to sustainable development and ensuring an
adequate adaptation response in the context of the temperature goal referred to
in Article 2.
2. Parties recognize that adaptation is a global challenge faced by all with local,
subnational, national, regional and international dimensions, and that it is a
key component of and makes a contribution to the long-term global response
to climate change to protect people, livelihoods and ecosystems, taking into
account the urgent and immediate needs of those developing country Parties
that are particularly vulnerable to the adverse effects of climate change.
3. The adaptation efforts of developing country Parties shall be recognized, in
accordance with the modalities to be adopted by the Conference of the Parties
serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement at its first session.
4. Parties recognize that the current need for adaptation is significant and that
greater levels of mitigation can reduce the need for additional adaptation
efforts, and that greater adaptation needs can involve greater adaptation costs.
xxxv
5. Parties acknowledge that adaptation action should follow a country-driven,
gender-responsive, participatory and fully transparent approach, taking into
consideration vulnerable groups, communities and ecosystems, and should be
based on and guided by the best available science and, as appropriate,
traditional knowledge, knowledge of indigenous peoples and local knowledge
systems, with a view to integrating adaptation into relevant socioeconomic and
environmental policies and actions, where appropriate.
6. Parties recognize the importance of support for and international cooperation
on adaptation efforts and the importance of taking into account the needs of
developing country Parties, especially those that are particularly vulnerable to
the adverse effects of climate change.
7. Parties should strengthen their cooperation on enhancing action on adaptation,
taking into account the Cancun Adaptation Framework, including with regard
to:
a) Sharing information, good practices, experiences and lessons learned,
including, as appropriate, as these relate to science, planning, policies
and implementation in relation to adaptation actions;
b) Strengthening institutional arrangements, including those under the
Convention that serve this Agreement, to support the synthesis of
relevant information and knowledge, and the provision of technical
support and guidance to Parties;
c) Strengthening scientific knowledge on climate, including research,
systematic observation of the climate system and early warning
systems, in a manner that informs climate services and supports
decision- making;
d) Assisting developing country Parties in identifying effective
adaptation practices, adaptation needs, priorities, support provided and
received for adaptation actions and efforts, and challenges and gaps, in
a manner consistent with encouraging good practices;
xxxvi
e) Improving the effectiveness and durability of adaptation actions.
8. United Nations specialized organizations and agencies are encouraged to
support the efforts of Parties to implement the actions referred to in paragraph
7 of this Article, taking into account the provisions of paragraph 5 of this
Article.
9. Each Party shall, as appropriate, engage in adaptation planning processes and
the implementation of actions, including the development or enhancement of
relevant plans, policies and/or contributions, which may include:
a) The implementation of adaptation actions, undertakings and/or efforts;
b) The process to formulate and implement national adaptation plans;
c) The assessment of climate change impacts and vulnerability, with a
view to formulating nationally determined prioritized actions, taking
into account vulnerable people, places and ecosystems;
d) Monitoring and evaluating and learning from adaptation plans, policies,
programmes and actions; and
e) Building the resilience of socioeconomic and ecological systems,
including through economic diversification and sustainable
management of natural resources.
10. Each Party should, as appropriate, submit and update periodically an
adaptation communication, which may include its priorities, implementation
and support needs, plans and actions, without creating any additional burden
for developing country Parties.
11. The adaptation communication referred to in paragraph 10 of this Article shall
be, as appropriate, submitted and updated periodically, as a component of or in
conjunction with other communications or documents, including a national
adaptation plan, a nationally determined contribution as referred to in Article 4,
paragraph 2, and/or a national communication.
12. The adaptation communications referred to in paragraph 10 of this Article
shall be recorded in a public registry maintained by the secretariat.
xxxvii
13. Continuous and enhanced international support shall be provided to
developing country Parties for the implementation of paragraphs 7, 9, 10 and
11 of this Article, in accordance with the provisions of Articles 9, 10 and 11.
14. The global stocktake referred to in Article 14 shall, inter alia:
a) Recognize adaptation efforts of developing country Parties;
b) Enhance the implementation of adaptation action taking into account
the adaptation communication referred to in paragraph 10 of this
Article;
c) Review the adequacy and effectiveness of adaptation and support
provided for adaptation; and
d) Review the overall progress made in achieving the global goal on
adaptation referred to in paragraph 1 of this Article.
Article 8
1. Parties recognize the importance of averting, minimizing and addressing loss
and damage associated with the adverse effects of climate change, including
extreme weather events and slow onset events, and the role of sustainable
development in reducing the risk of loss and damage.
2. The Warsaw International Mechanism for Loss and Damage associated with
Climate Change Impacts shall be subject to the authority and guidance of the
Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement and may be enhanced and strengthened, as determined by the
Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement.
3. Parties should enhance understanding, action and support, including through
the Warsaw International Mechanism, as appropriate, on a cooperative and
facilitative basis with respect to loss and damage associated with the adverse
effects of climate change.
xxxviii
4. Accordingly, areas of cooperation and facilitation to enhance understanding,
action and support may include:
a) Early warning systems;
b) Emergency preparedness;
c) Slow onset events;
d) Events that may involve irreversible and permanent loss and damage;
e) Comprehensive risk assessment and management;
f) Risk insurance facilities, climate risk pooling and other insurance
solutions;
g) Non-economic losses;
h) Resilience of communities, livelihoods and ecosystems.
5. The Warsaw International Mechanism shall collaborate with existing bodies
and expert groups under the Agreement, as well as relevant organizations and
expert bodies outside the Agreement.
Article 9
1. Developed country Parties shall provide financial resources to assist
developing country Parties with respect to both mitigation and adaptation in
continuation of their existing obligations under the Convention.
2. Other Parties are encouraged to provide or continue to provide such support
voluntarily.
3. As part of a global effort, developed country Parties should continue to take
the lead in mobilizing climate finance from a wide variety of sources,
instruments and channels, noting the significant role of public funds, through a
variety of actions, including supporting country-driven strategies, and taking
into account the needs and priorities of developing country Parties. Such
mobilization of climate finance should represent a progression beyond
previous efforts.
xxxix
4. The provision of scaled-up financial resources should aim to achieve a balance
between adaptation and mitigation, taking into account country-driven
strategies, and the priorities and needs of developing country Parties,
especially those that are particularly vulnerable to the adverse effects of
climate change and have significant capacity constraints, such as the least
developed countries and small island developing States, considering the need
for public and grant-based resources for adaptation.
5. Developed country Parties shall biennially communicate indicative
quantitative and qualitative information related to paragraphs 1 and 3 of this
Article, as applicable, including, as available, projected levels of public
financial resources to be provided to developing country Parties. Other Parties
providing resources are encouraged to communicate biennially such
information on a voluntary basis.
6. The global stocktake referred to in Article 14 shall take into account the
relevant information provided by developed country Parties and/or Agreement
bodies on efforts related to climate finance.
7. Developed country Parties shall provide transparent and consistent
information on support for developing country Parties provided and mobilized
through public interventions biennially in accordance with the modalities,
procedures and guidelines to be adopted by the Conference of the Parties
serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement, at its first session,
as stipulated in Article 13, paragraph 13. Other Parties are encouraged to do so.
8. The Financial Mechanism of the Convention, including its operating entities,
shall serve as the financial mechanism of this Agreement.
9. The institutions serving this Agreement, including the operating entities of the
Financial Mechanism of the Convention, shall aim to ensure efficient access to
financial resources through simplified approval procedures and enhanced
readiness support for developing country Parties, in particular for the least
xl
developed countries and small island developing States, in the context of their
national climate strategies and plans.
Article 10
1. Parties share a long-term vision on the importance of fully realizing
technology development and transfer in order to improve resilience to climate
change and to reduce greenhouse gas emissions.
2. Parties, noting the importance of technology for the implementation of
mitigation and adaptation actions under this Agreement and recognizing
existing technology deployment and dissemination efforts, shall strengthen
cooperative action on technology development and transfer.
3. The Technology Mechanism established under the Convention shall serve this
Agreement.
4. A technology framework is hereby established to provide overarching
guidance to the work of the Technology Mechanism in promoting and
facilitating enhanced action on technology development and transfer in order
to support the implementation of this Agreement, in pursuit of the long-term
vision referred to in paragraph 1 of this Article.
5. Accelerating, encouraging and enabling innovation is critical for an effective,
long-term global response to climate change and promoting economic growth
and sustainable development. Such effort shall be, as appropriate, supported,
including by the Technology Mechanism and, through financial means, by the
Financial Mechanism of the Convention, for collaborative approaches to
research and development, and facilitating access to technology, in particular
for early stages of the technology cycle, to developing country Parties.
6. Support, including financial support, shall be provided to developing country
Parties for the implementation of this Article, including for strengthening
cooperative action on technology development and transfer at different stages
xli
of the technology cycle, with a view to achieving a balance between support
for mitigation and adaptation. The global stocktake referred to in Article 14
shall take into account available information on efforts related to support on
technology development and transfer for developing country Parties.
Article 11
1. Capacity-building under this Agreement should enhance the capacity and
ability of developing country Parties, in particular countries with the least
capacity, such as the least developed countries, and those that are particularly
vulnerable to the adverse effects of climate change, such as small island
developing States, to take effective climate change action, including, inter alia,
to implement adaptation and mitigation actions, and should facilitate
technology development, dissemination and deployment, access to climate
finance, relevant aspects of education, training and public awareness, and the
transparent, timely and accurate communication of information.
2. Capacity-building should be country-driven, based on and responsive to
national needs, and foster country ownership of Parties, in particular, for
developing country Parties, including at the national, subnational and local
levels. Capacity-building should be guided by lessons learned, including those
from capacity-building activities under the Convention, and should be an
effective, iterative process that is participatory, cross-cutting and gender-
responsive.
3. All Parties should cooperate to enhance the capacity of developing country
Parties to implement this Agreement. Developed country Parties should
enhance support for capacity-building actions in developing country Parties.
4. All Parties enhancing the capacity of developing country Parties to implement
this Agreement, including through regional, bilateral and multilateral
approaches, shall regularly communicate on these actions or measures on
xlii
capacity-building. Developing country Parties should regularly communicate
progress made on implementing capacity-building plans, policies, actions or
measures to implement this Agreement.
5. Capacity-building activities shall be enhanced through appropriate
institutional arrangements to support the implementation of this Agreement,
including the appropriate institutional arrangements established under the
Convention that serve this Agreement. The Conference of the Parties serving
as the meeting of the Parties to the Paris Agreement shall, at its first session,
consider and adopt a decision on the initial institutional arrangements for
capacity-building.
Article 12
Parties shall cooperate in taking measures, as appropriate, to enhance climate change
education, training, public awareness, public participation and public access to
information, recognizing the importance of these steps with respect to enhancing
actions under this Agreement.
Article 13
1. In order to build mutual trust and confidence and to promote effective
implementation, an enhanced transparency framework for action and support,
with built-in flexibility which takes into account Parties’ different capacities
and builds upon collective experience is hereby established.
2. The transparency framework shall provide flexibility in the implementation of
the provisions of this Article to those developing country Parties that need it in
the light of their capacities. The modalities, procedures and guidelines referred
to in paragraph 13 of this Article shall reflect such flexibility.
3. The transparency framework shall build on and enhance the transparency
arrangements under the Convention, recognizing the special circumstances of
xliii
the least developed countries and small island developing States, and be
implemented in a facilitative, non-intrusive, non-punitive manner, respectful
of national sovereignty, and avoid placing undue burden on Parties.
4. The transparency arrangements under the Convention, including national
communications, biennial reports and biennial update reports, international
assessment and review and international consultation and analysis, shall form
part of the experience drawn upon for the development of the modalities,
procedures and guidelines under paragraph 13 of this Article.
5. The purpose of the framework for transparency of action is to provide a clear
understanding of climate change action in the light of the objective of the
Convention as set out in its Article 2, including clarity and tracking of
progress towards achieving Parties’ individual nationally determined
contributions under Article 4, and Parties’ adaptation actions under Article 7,
including good practices, priorities, needs and gaps, to inform the global
stocktake under Article 14.
6. The purpose of the framework for transparency of support is to provide clarity
on support provided and received by relevant individual Parties in the context
of climate change actions under Articles 4, 7, 9, 10 and 11, and, to the extent
possible, to provide a full overview of aggregate financial support provided, to
inform the global stocktake under Article 14.
7. Each Party shall regularly provide the following information:
a) A national inventory report of anthropogenic emissions by sources and
removals by sinks of greenhouse gases, prepared using good practice
methodologies accepted by the Intergovernmental Panel on Climate
Change and agreed upon by the Conference of the Parties serving as
the meeting of the Parties to the Paris Agreement;
b) Information necessary to track progress made in implementing and
achieving its nationally determined contribution under Article 4.
xliv
8. Each Party should also provide information related to climate change impacts
and adaptation under Article 7, as appropriate.
9. Developed country Parties shall, and other Parties that provide support should,
provide information on financial, technology transfer and capacity-building
support provided to developing country Parties under Article 9, 10 and 11.
10. Developing country Parties should provide information on financial,
technology transfer and capacity-building support needed and received under
Articles 9, 10 and 11.
11. Information submitted by each Party under paragraphs 7 and 9 of this Article
shall undergo a technical expert review, in accordance with decision 1/CP.21.
For those developing country Parties that need it in the light of their capacities,
the review process shall include assistance in identifying capacity-building
needs. In addition, each Party shall participate in a facilitative, multilateral
consideration of progress with respect to efforts under Article 9, and its
respective implementation and achievement of its nationally determined
contribution.
12. The technical expert review under this paragraph shall consist of a
consideration of the Party’s support provided, as relevant, and its
implementation and achievement of its nationally determined contribution.
The review shall also identify areas of improvement for the Party, and include
a review of the consistency of the information with the modalities, procedures
and guidelines referred to in paragraph 13 of this Article, taking into account
the flexibility accorded to the Party under paragraph 2 of this Article. The
review shall pay particular attention to the respective national capabilities and
circumstances of developing country Parties.
13. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall, at its first session, building on experience from the
arrangements related to transparency under the Convention, and elaborating on
xlv
the provisions in this Article, adopt common modalities, procedures and
guidelines, as appropriate, for the transparency of action and support.
14. Support shall be provided to developing countries for the implementation of
this Article.
15. Support shall also be provided for the building of transparency-related
capacity of developing country Parties on a continuous basis.
Article 14
1. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall periodically take stock of the implementation of this
Agreement to assess the collective progress towards achieving the purpose of
this Agreement and its long-term goals (referred to as the “global stocktake”).
It shall do so in a comprehensive and facilitative manner, considering
mitigation, adaptation and the means of implementation and support, and in
the light of equity and the best available science.
2. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall undertake its first global stocktake in 2023 and every five
years thereafter unless otherwise decided by the Conference of the Parties
serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement.
3. The outcome of the global stocktake shall inform Parties in updating and
enhancing, in a nationally determined manner, their actions and support in
accordance with the relevant provisions of this Agreement, as well as in
enhancing international cooperation for climate action.
Article 15
1. A mechanism to facilitate implementation of and promote compliance with the
provisions of this Agreement is hereby established.
xlvi
2. The mechanism referred to in paragraph 1 of this Article shall consist of a
committee that shall be expert-based and facilitative in nature and function in
a manner that is transparent, non-adversarial and non-punitive. The committee
shall pay particular attention to the respective national capabilities and
circumstances of Parties.
3. The committee shall operate under the modalities and procedures adopted by
the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement at its first session and report annually to the Conference of the
Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement.
Article 16
1. The Conference of the Parties, the supreme body of the Convention, shall
serve as the meeting of the Parties to this Agreement.
2. Parties to the Convention that are not Parties to this Agreement may
participate as observers in the proceedings of any session of the Conference of
the Parties serving as the meeting of the Parties to this Agreement. When the
Conference of the Parties serves as the meeting of the Parties to this
Agreement, decisions under this Agreement shall be taken only by those that
are Parties to this Agreement.
3. When the Conference of the Parties serves as the meeting of the Parties to this
Agreement, any member of the Bureau of the Conference of the Parties
representing a Party to the Convention but, at that time, not a Party to this
Agreement, shall be replaced by an additional member to be elected by and
from amongst the Parties to this Agreement.
4. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement shall keep under regular review the implementation of this
Agreement and shall make, within its mandate, the decisions necessary to
xlvii
promote its effective implementation. It shall perform the functions assigned
to it by this Agreement and shall:
a) Establish such subsidiary bodies as deemed necessary for the
implementation of this Agreement; and
b) (b) Exercise such other functions as may be required for the
implementation of this Agreement.
5. The rules of procedure of the Conference of the Parties and the financial
procedures applied under the Convention shall be applied mutatis mutandis
under this Agreement, except as may be otherwise decided by consensus by
the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement.
6. The first session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the
Parties to the Paris Agreement shall be convened by the secretariat in
conjunction with the first session of the Conference of the Parties that is
scheduled after the date of entry into force of this Agreement. Subsequent
ordinary sessions of the Conference of the Parties serving as the meeting of
the Parties to the Paris Agreement shall be held in conjunction with ordinary
sessions of the Conference of the Parties, unless otherwise decided by the
Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement.
7. Extraordinary sessions of the Conference of the Parties serving as the meeting
of the Parties to the Paris Agreement shall be held at such other times as may
be deemed necessary by the Conference of the Parties serving as the meeting
of the Parties to the Paris Agreement or at the written request of any Party,
provided that, within six months of the request being communicated to the
Parties by the secretariat, it is supported by at least one third of the Parties.
8. The United Nations and its specialized agencies and the International Atomic
Energy Agency, as well as any State member thereof or observers thereto not
party to the Convention, may be represented at sessions of the Conference of
xlviii
the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement as
observers. Any body or agency, whether national or international,
governmental or non-governmental, which is qualified in matters covered by
this Agreement and which has informed the secretariat of its wish to be
represented at a session of the Conference of the Parties serving as the meeting
of the Parties to the Paris Agreement as an observer, may be so admitted
unless at least one third of the Parties present object. The admission and
participation of observers shall be subject to the rules of procedure referred to
in paragraph 5 of this Article.
Article 17
1. The secretariat established by Article 8 of the Convention shall serve as the
secretariat of this Agreement.
2. Article 8, paragraph 2, of the Convention on the functions of the secretariat,
and Article 8, paragraph 3, of the Convention, on the arrangements made for
the functioning of the secretariat, shall apply mutatis mutandis to this
Agreement. The secretariat shall, in addition, exercise the functions assigned
to it under this Agreement and by the Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Paris Agreement.
Article 18
1. The Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice and the
Subsidiary Body for Implementation established by Articles 9 and 10 of the
Convention shall serve, respectively, as the Subsidiary Body for Scientific and
Technological Advice and the Subsidiary Body for Implementation of this
Agreement. The provisions of the Convention relating to the functioning of
these two bodies shall apply mutatis mutandis to this Agreement. Sessions of
the meetings of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
xlix
and the Subsidiary Body for Implementation of this Agreement shall be held
in conjunction with the meetings of, respectively, the Subsidiary Body for
Scientific and Technological Advice and the Subsidiary Body for
Implementation of the Convention.
2. Parties to the Convention that are not Parties to this Agreement may
participate as observers in the proceedings of any session of the subsidiary
bodies. When the subsidiary bodies serve as the subsidiary bodies of this
Agreement, decisions under this Agreement shall be taken only by those that
are Parties to this Agreement.
3. When the subsidiary bodies established by Articles 9 and 10 of the Convention
exercise their functions with regard to matters concerning this Agreement, any
member of the bureaux of those subsidiary bodies representing a Party to the
Convention but, at that time, not a Party to this Agreement, shall be replaced
by an additional member to be elected by and from amongst the Parties to this
Agreement.
Article 19
1. Subsidiary bodies or other institutional arrangements established by or under
the Convention, other than those referred to in this Agreement, shall serve this
Agreement upon a decision of the Conference of the Parties serving as the
meeting of the Parties to the Paris Agreement. The Conference of the Parties
serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement shall specify the
functions to be exercised by such subsidiary bodies or arrangements.
2. The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris
Agreement may provide further guidance to such subsidiary bodies and
institutional arrangements.
Article 20
l
1. This Agreement shall be open for signature and subject to ratification,
acceptance or approval by States and regional economic integration
organizations that are Parties to the Convention. It shall be open for signature
at the United Nations Headquarters in New York from 22 April 2016 to 21
April 2017. Thereafter, this Agreement shall be open for accession from the
day following the date on which it is closed for signature. Instruments of
ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the
Depositary.
2. Any regional economic integration organization that becomes a Party to this
Agreement without any of its member States being a Party shall be bound by
all the obligations under this Agreement. In the case of regional economic
integration organizations with one or more member States that are Parties to
this Agreement, the organization and its member States shall decide on their
respective responsibilities for the performance of their obligations under this
Agreement. In such cases, the organization and the member States shall not be
entitled to exercise rights under this Agreement concurrently.
3. In their instruments of ratification, acceptance, approval or accession, regional
economic integration organizations shall declare the extent of their
competence with respect to the matters governed by this Agreement. These
organizations shall also inform the Depositary, who shall in turn inform the
Parties, of any substantial modification in the extent of their competence.
Article 21
1. This Agreement shall enter into force on the thirtieth day after the date on
which at least 55 Parties to the Convention accounting in total for at least an
estimated 55 percent of the total global greenhouse gas emissions have
deposited their instruments of ratification, acceptance, approval or accession.
li
2. Solely for the limited purpose of paragraph 1 of this Article, “total global
greenhouse gas emissions” means the most up-to-date amount communicated
on or before the date of adoption of this Agreement by the Parties to the
Convention.
3. For each State or regional economic integration organization that ratifies,
accepts or approves this Agreement or accedes thereto after the conditions set
out in paragraph 1 of this Article for entry into force have been fulfilled, this
Agreement shall enter into force on the thirtieth day after the date of deposit
by such State or regional economic integration organization of its instrument
of ratification, acceptance, approval or accession.
4. For the purposes of paragraph 1 of this Article, any instrument deposited by a
regional economic integration organization shall not be counted as additional
to those deposited by its member States.
Article 22
The provisions of Article 15 of the Convention on the adoption of amendments to the
Convention shall apply mutatis mutandis to this Agreement.
Article 23
1. The provisions of Article 16 of the Convention on the adoption and
amendment of annexes to the Convention shall apply mutatis mutandis to this
Agreement.
2. Annexes to this Agreement shall form an integral part thereof and, unless
otherwise expressly provided for, a reference to this Agreement constitutes at
the same time a reference to any annexes thereto. Such annexes shall be
restricted to lists, forms and any other material of a descriptive nature that is of
a scientific, technical, procedural or administrative character.
lii
Article 24
The provisions of Article 14 of the Convention on settlement of disputes shall apply
mutatis mutandis to this Agreement.
Article 25
1. Each Party shall have one vote, except as provided for paragraph 2 of this
Article.
2. Regional economic integration organizations, in matters within their
competence, shall exercise their right to vote with a number of votes equal to
the number of their member States that are Parties to this Agreement. Such an
organization shall not exercise its right to vote if any of its member States
exercises its right, and vice versa.
Article 26
The Secretary-General of the United Nations shall be the Depositary of this
Agreement.
Article 27
No reservations may be made to this Agreement.
Article 28
1. At any time after three years from the date on which this Agreement has
entered into force for a Party, that Party may withdraw from this Agreement
by giving written notification to the Depositary.
2. Any such withdrawal shall take effect upon expiry of one year from the date of
receipt by the Depositary of the notification of withdrawal, or on such later
date as may be specified in the notification of withdrawal.
liii
3. Any Party that withdraws from the Convention shall be considered as also
having withdrawn from this Agreement.
Article 29
The original of this Agreement, of which the Arabic, Chinese, English, French,
Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations.
DONE at Paris this twelfth day of December two thousand and fifteen.
IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorized to that effect,
have signed this Agreement.