Pertemuan 1 Pengantar Tafsir Ahkam
Click here to load reader
-
Upload
mukhlisuddin-marzuki -
Category
Documents
-
view
659 -
download
4
description
Transcript of Pertemuan 1 Pengantar Tafsir Ahkam
PENGANTAR TAFSIR AHKAM (TAFSIR BERCORAK FIQH)
Oleh : Tgk. Mukhlisuddin, SHI, MA1
A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang
terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi
respon umat Islam dalam upaya memahaminya, Alquran sebagai referensi yang berharga bagi
umat Islam akan terasa bila seseorang memahami seluk-beluk terkandung di dalamnya melalui
jalur yang salah satunya disebut tafsir. Tafsir itu sendiri secara terminologis bermakna sebuah
ilmu yang memahamkan manusia akan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw melalui Jibril As, menjelaskan makna-maknanya, menyarikan hukum dan hikmat di
dalamnya.
Untuk maksud itulah, sekian tafsir ditawarkan ulama untuk menggali samudera al-Qur’an
yang begitu luas dan mendalam. Tarsir secara garis besar dibagi tiga, yakni tafsir bil ma’tsur
(tafsir yang rujukan utama kepada al-Qur’an, hadits and atsar sahabat), tafsir bi al-ra’yi (tafsir
yang kemampan rasionalitas yang dimiliki dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).
Dan Tafsir al-Isyari (tafsir yang rujukan utama adalah isyarah Allah dalam pendekatan sufi).
Sementara corak-corak tafsir yang berkembang adalah: tafsir al-ahkam (tafsir hukum), tafsir ilmi
(tafsir ilmiah), tafsir adabi (tafsir sastera), tafsir sufi (tafsir tasawuf), tafsir falsafi (tafsir filsafat),
tafsir ijtima’i (tafsir sosial) dan lainnya.
Urgensitas dari tafsir ahkam didasari pada sebuah pertimbangan bahwa tidak semua
permasalahan yang dimuat al-Qur’an secara rinci; menurut perkiraan para ahli hanya ada sekitar
500 ayat atau 8 % dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang mengandng ketentuan tentang iman,
ibadat dan hidup kemasyarakatan. Khusus mengenai masalah muamalah dan sosial
kemasyarakatan hanya 228 ayat, dengan rincian sebagai berikut: 70 ayat tentang hidup
kekeluargaan, perkawian, perceraian, warisan dan sebagainya; 70 ayat tentang perdagangan,
perekonomian, jual beli sewa menyewa, pinam-meminjam, gadai, pereroan kontrak dan
sebagainya; 10 ayat tentang sistem pemerintahan, hubungan antara rakyat dan pemerintah dan
sebagainya, 25 ayat tentang hubungan bilateral dan atau multilateral antara negara-negara Islam
dan negara lain di dunia, dan juga hubungan antara muslim dannon muslim dan sebagainya; dan
1 Makalah ini disampaikan sebagai pengantar matakuliah Tafsir Ahkam di Jurusan Syariah Ahwal Al-Syakhsyiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Samalanga di hadapan Mahasiswa Sem. IV Prodi SAS., 14 Februari 2013.
10 ayat tentang hubungan orang kaya dengan orang miskin, termasuk sistem pengelolaan harta
kekayaan, baik kekayaan pribadi, maupun masyarakat atau jama’ah dan . Ada sasaran dari kajian
tafsir ahkam adalah menggapai acuan yang mampu mengintegrasikan keislaman dan kearifan
lokal dalam konteks sosial, politik, budaya maupun agama. Dalam integrasi tersebut diharapkan
dapat memberikan visi moralitas transidental
B. Metode dan Corak Tafsir
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat
diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir
berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan
mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir
dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian
garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang
pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di
bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Menurut Quraish Shihab, ada enam corak penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang
dikenal selama ini, yaitu:
1) Corak sastra bahasa
2) Corak filsafat dan teologi
3) Corak penafsiran ilmiah
4) Corak fikih atau hukum
5) Corak tasawuf
6) Corak sastra budaya kemasyarakatan.
Sedangkan Muhammad Amin Suma berpendapat, selain corak-corak di atas, ia
menambahkan beberapa corak lagi dalam penafsiran Alquran, yaitu: corak tarbawi (Pendidikan)
dan corak Akhlaqi. Abdul Hay al-Farmawi menjelaskan bahwa dalam tafsir tahlili ada beberapa
corak penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`, tafsir ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi,
tafsir al-Falsafi, tafsir al-`Ilmi, dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
C. Pengertian Tafsir Ahkam
Kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa tabyin, yaitu
penjelasan dan keterangan. Pengertian tafsir seperti dikemukakan para pakar al-Qur’an tampil
dalam formulasi yang berbeda-beda, akan tetapi esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya,
mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya,
baik konteks historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau
keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah,
menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimanan dikutip al-
Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai
cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui
kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara
mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dari definisi-definisi di atas dapat ditemukan tiga ciri utama tafsir.
Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (al-Qur’an) yang di
dalamnya terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad
Saw. melalui malaikat Jibril.
Kedua, dilihat dari segi tujuannya, adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap
kandungan al-Qur’an sehingga dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung
di dalamnya.
Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad
para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga
suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa tafsir adalah
usaha manusia dalam memahami al-Qur’an dengan melakukan berbagai metode dan pendekatan.
Sementara istilah “hukum” (jamak: ahkam) itu sendiri ada yang mengartikan:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal,
rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah
kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya.
Hukum yang merupakan khitab Allah tersebut bagi umat Islam tertuang dalam al-Qur’an dengan
klasifikasi hukum sebanyak 228 ayat.
D. Klasifikasi Hukum Dalam Alquran
Secara garis besar, hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. mengenai
apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti
keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut
keyakinan ini disebut hukum i’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat
baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian
dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku
lahiriahnya dalam hubungan dengan Allah Swt., dalam hubungan dengan sesama manusia, dalam
bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah
yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Abdul Wahab Khallaf, seperti dikutip Muin Umar dkk., membagi hukum amaliyah
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-
ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah Swt.
2. Hukum-hukum mu’amalah, seperti akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain
selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia baik perorangan
maupun kelompok. Inilah yang disebut hukum mu’amalah, yang dalam hukum modern
bercabang-cabang sebagai berikut:
a. Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika bergaul
sebagai suami istri. Di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 70 ayat (akhwalusy
akhabiyah)
b. Hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan dengan perseorangan
dan juga masyarakat, seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya yang
menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 ayat (ahkamul
madaniyah)
c. Hukum pidana, sekitar 30 ayat (ahkamul jinayah)
d. Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan kesaksian dan sumpah,
sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa’at)
e. Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-
pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim
dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini
sekitar 10 ayat (al-ahkam dusturiyah)
f. Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara negara-negara Islam dengan negara
bukan Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam.
Semuanya baik ketika perang maupun damai sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyah)
g. Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak orang miskin pada harta orang kaya,
sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara negara
dengan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul iqtishadiyah wal
maliyah).
E. Jumlah dan Karakteristik Ayat Ahkam
Jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit, bahkan tidak mencapai 1/10 dari
keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Diperkirakan jumlah ayat hukum lebih kurang 250 ayat, ada pula
yang menyatakan 200 ayat seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, dan 400 ayat dalam
Ahkam al-Quran Ibn al-Arabi. Sedangkan menurut penghitungan Abdul Wahhab Khallaf,
jumlahnya sekitar 228 ayat. Bahkan jika pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia
mengatakan ayat hukum di dalam Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat. Lepas dari perbedaan jumlah
ayat hukum, apakah 150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu, namun yang jelas ada semacam
kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat hukum tidak lebih dari 500 ayat.
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan masing-masing tersebut berjumlah :
a. Yang berhubungan dengan ibadah, sebanyak 140 Ayat.
b. Yang mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c. Yang berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d. Yang berhubungan dengan perdata, sebanyak 70 Ayat.
e. Yang berhubungan dengan hubungan Islam dan bukan Islam, sebanyak 25 Ayat.
f. Yang berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
g. Yang mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.
h. Yang mengenai hubungan kaya dan miskin, sebanyak 10 Ayat.
Dari sisi karakternya, Ayat-ayat hukum dapat dibedakan dalam dua kategori.
Pertama, ayat-ayat yang bersifat qath’iyah. Ayat-ayat ini tidak dapat berubah hukumnya
dalam berbagai keadaan, situasi, kondisi, zaman, tempat dan waktu. Artinya tidak boleh ada
intervensi akal dan fikiran manusia dalam merumuskan hukum-hukumnya, akan tetapi hukum-
hukumnya berlaku sejak ayat-ayat itu diturunkan sampai berakhir kehidupan di atas permukaan
bumi ini, dan tidak akan pernah mengalami perubahan. Para mujtahid tidak diberi wewenang
untuk melakukan ijtihad dalam bidang ini, baik dengan melakukan penafsiran, pensyarahan
maupun membuat penakwilan yang berbeda dengan tekstual ayat. Penunjukannya terhadap
hukum tertentu dengan sangat detail, jelas dan tidak memiliki penafsiran ganda, seperti halnya
ayat-ayat tentang ibadah, mawaris, hudud dan qishash.
Kedua, ayat-ayat yang bersifat zhanniyah. Ayat-ayat ini dapat berubah hukumnya sesuai
dengan perubahan keadaan, ‘uruf, zaman dan tempat. Artinya para mujtahidnya diperkenankan
mengintervensi dalam memformulasi hukum-hukum yang dikandungnya sesuai dengan
perkembangan zaman, perubahan tempat, waktu dan keadaan. Penunjukannya terhadap hukum
tidak mendetail, akan tetapi memuat norma dasar yang bersifat global, sehingga memiliki
penafsiran ganda.
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an menggunakan bahasa hukum yang luas, luwes, lugas
dan akurat. Luas, karena al-Quran hampir atau bahkan selalu menampilkan kosa kata pilihan
yang bersifat substansial universal (jawami’ al-kalim). Luwes, karena ayat-ayat hukum dalam al-
Quran memiliki banyak makna (musytarak) di samping kaya dengan sinonim (muradif). Dengan
bahasa hukum yang singkat dan akurat, tetapi luas dan luwes, pada satu pihak menyebabkan
ayat-ayat hukum Al-Quran mampu menjangkau persoalan-persoalan hukum sejenis, sementara
pada pihak yang lain, juga mudah beradaptasi yang menyebabkan hukum Al-Quran tetap
dinamis. Di sinilah letak elastisitas hukum Al-Quran yang selalu sesuai dengan tuntutan zaman.
Seiring dengan hal itu fitrah manusia yang memiliki naluri untuk berfikir (berijtihad) tidak
terhambat. Seterusnya pintu ijtihad untuk mengembangkan kreatifitas nalar manusia (mujtahid)
dalam bidang hukum terbuka lebar tidak pernah ditutup.
F. Kitab Mu’tabar dalam Tafsir Ahkam
1. Tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an li Qurthubi
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh
al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Ulama besar seorang
faqih besar dan mufassir (ahli tafsir al-Qur'an) dari abad ke- 7 H yang terkenal, Ia
dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki. Al-Qurthubi dalam
tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” menggunakan bentuk penafsiran pemikiran (bi
ra’yi). Walaupun di dalam penafsirannya terdapat hadits-hadits Rasul dan pendapat
ulama terdahulu. Karna menurut al-Qurthubi penafsiran bi ra’y adalah penafsiran
yang menggunakan pemikiran dan di dukung oleh hadits-hadits dan pendapat ulama
yang terdahulu
2. Rawai’ul Bayan fi Tafsir Ayat Al Ahkma li Ashabuni
Rawa’i Al-Bayan Fi Tasair Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an. Kitab ini mengandung
keajaiban tentang ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an. Kitab ini dalam dua jilid
besar, ia adalah kitab terbaik yang pernah dikarang perihal soal ini, sebab dua jilid ini,
telah dapat menghimpun karangan-karangan klasik dengan isi yang melimpah ruah
serta ide dan fikiran yang subur, satu pihak dan karangan-karangan modern dengan
gaya yang khas dalam segi penampilan, penyusunan, dan kemudian uslub di pihak
lain
3. Tafsir Ahkamul Quran Ar-Razi
Penulis kitab ini adalah Abu Baker Ahmad bin Ar-Razi,dikenal dengan nama Al-
Jasshash, Dia salah seorang imam fikih Hanafi pada abad 4 H. Akam Al-Qur’an itu
adalah karyanya yang dipandang sebagai kitab tafsir fikih terpenting, khususnya bagi
penganut madzhab Hanafi. Dalam kitab ini penulis memfokuskan pada penafsiran
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum furu’ ia mengemukakan satu atau
beberapa ayat lalu mejelasakan maknanya secara ma’tsur, dengan perspektif fikih.
Salanjutnya ia mengetengahkan berbagai perbedaan antar madzhab fikih tenteng hal
berkenaan, oleh sebab itu, kitab ini di rasa oleh pembaca bukan lagi sebuah tafsir,
tetapi kitab fikih.
4. Tafsir “Ahkam Al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi
Penulis kitab ini adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Abdullah bin Ahmad Al-Ma’arrifi Al-Andalusi Al-Isyibili yang lebih dikenal dengan
Ibnu ‘Arabi, salah satu ulama Andalusia yang luas ilmunya. Dia bermadzhab Maliki.
Kitabnya yang bertajuk Ahkam Al Qur’an, merupakan rujukan bagi tafsir fikih
kalangan pengikut Maliki.