Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G...

65
1 Beberapa Catatan Penting terkait Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* oleh Andri G. Wibisana** Daftar Isi 1. Pendahuluan ..................................................................................................... 1 2. Sekilas tentang Sketsa Pilihan Gugatan ........................................................ 4 2.1. Penggugat ................................................................................................... 4 2.2. Objek Gugatan dan Pilihan Pengadilan ................................................... 12 3. Dasar Pertanggungjawaban Perdata: PMH vs Strict Liability .................. 13 3.1. Pengantar Singkat tentang PMH .............................................................. 14 3.2. Strict Liability di Indonesia...................................................................... 19 3.3. Beberapa Catatan Kritis ........................................................................... 22 3.3.1. Strict Liability di AS: Sebuah Perbandingan Singkat .......................... 23 3.3.2. Strict Liability dalam Sistem Eropa Kontinental ................................. 31 3.3.3. Strict Liability dan Pembuktian Terbalik ............................................. 33 3.3.4. Format Gugatan Strict Liability: Belajar dari Praktek di AS ............... 37 4. Pembuktian..................................................................................................... 43 4.1. Pembuktian Kesalahan dan Strict Liability .............................................. 43 4.2. Pembuktian Kausalitas antara Perbuatan (atau Kegiatan) dengan Kerugian............................................................................................................... 45 4.3. Ketidakpastian Pencemar dan Pertanggungjawaban Perdata .................. 51 4.3.1. Pertanggungjawaban Bersama-sama (Joint and Several Liability) ..... 51 4.3.2. Pertanggungjawaban Alternatif (Alternative Liability) ....................... 52 4.3.3. Pertanggungjawaban Industri (Industry-wide Liabilty) ....................... 53 4.3.4. Pertanggungjawaban Berdasarkan Pasar (Market Share Liability) ..... 54 4.3.5. Pertanggungjawaban Proporsional (Proportional Liability) ............... 56 4.3.6. Pembuktian Terbalik mengenai Kausalitas .......................................... 57 4.4. Pembelaan yang Lazin dalam Kasus Perdata........................................... 58 4.3.1. Bencana Alam ...................................................................................... 59 4.3.2. Kesalahan Penggugat ........................................................................... 61 4.3.3. Perbuatan Pihak Ketiga ........................................................................ 62 5. Penutup ........................................................................................................... 63 1. Pendahuluan Secara teoritis, fungsi gugatan dan pertanggungjawaban dapat dilihat secara ex ante (sebelum terjadinya kerugian) dan ex post (setelah terjadinya kerugian). Secara ex ante, gugatan/pertanggungjawaban memiliki fungsi pencegahan. Adanya kemungkinan bahwa seseorang harus bertanggungjawab, baik berdasarkan PMH atau strict liability (kedua hal ini akan dibahas pada Bagian 3), akan mendorong orang tersebut untuk bertindak hati-hati. Sebaliknya, jika seseorang tidak akan bertanggung

Transcript of Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G...

Page 1: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  1  

Beberapa Catatan Penting terkait Aspek Prosedural Gugatan,

Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian*

oleh

Andri G. Wibisana**

Daftar Isi

1. Pendahuluan ..................................................................................................... 1 2. Sekilas tentang Sketsa Pilihan Gugatan ........................................................ 4

2.1. Penggugat ................................................................................................... 4 2.2. Objek Gugatan dan Pilihan Pengadilan ................................................... 12

3. Dasar Pertanggungjawaban Perdata: PMH vs Strict Liability .................. 13 3.1. Pengantar Singkat tentang PMH .............................................................. 14 3.2. Strict Liability di Indonesia ...................................................................... 19 3.3. Beberapa Catatan Kritis ........................................................................... 22

3.3.1. Strict Liability di AS: Sebuah Perbandingan Singkat .......................... 23 3.3.2. Strict Liability dalam Sistem Eropa Kontinental ................................. 31 3.3.3. Strict Liability dan Pembuktian Terbalik ............................................. 33 3.3.4. Format Gugatan Strict Liability: Belajar dari Praktek di AS ............... 37

4. Pembuktian ..................................................................................................... 43 4.1. Pembuktian Kesalahan dan Strict Liability .............................................. 43 4.2. Pembuktian Kausalitas antara Perbuatan (atau Kegiatan) dengan Kerugian ............................................................................................................... 45 4.3. Ketidakpastian Pencemar dan Pertanggungjawaban Perdata .................. 51

4.3.1. Pertanggungjawaban Bersama-sama (Joint and Several Liability) ..... 51 4.3.2. Pertanggungjawaban Alternatif (Alternative Liability) ....................... 52 4.3.3. Pertanggungjawaban Industri (Industry-wide Liabilty) ....................... 53 4.3.4. Pertanggungjawaban Berdasarkan Pasar (Market Share Liability) ..... 54 4.3.5. Pertanggungjawaban Proporsional (Proportional Liability) ............... 56 4.3.6. Pembuktian Terbalik mengenai Kausalitas .......................................... 57

4.4. Pembelaan yang Lazin dalam Kasus Perdata ........................................... 58 4.3.1. Bencana Alam ...................................................................................... 59 4.3.2. Kesalahan Penggugat ........................................................................... 61 4.3.3. Perbuatan Pihak Ketiga ........................................................................ 62

5. Penutup ........................................................................................................... 63  

1.   Pendahuluan

Secara teoritis, fungsi gugatan dan pertanggungjawaban dapat dilihat secara ex

ante (sebelum terjadinya kerugian) dan ex post (setelah terjadinya kerugian). Secara

ex ante, gugatan/pertanggungjawaban memiliki fungsi pencegahan. Adanya

kemungkinan bahwa seseorang harus bertanggungjawab, baik berdasarkan PMH atau

strict liability (kedua hal ini akan dibahas pada Bagian 3), akan mendorong orang

tersebut untuk bertindak hati-hati. Sebaliknya, jika seseorang tidak akan bertanggung

Page 2: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  2  

jawab akan hasil perbuatannya (secara teoritis disebut no liability), maka ia akan

kehilangan insentif untuk bertindak secara hati-hati. Dalam kondisi no liability ini,

korban adalah satu-satunya pihak yang harus bertindak secara hati-hati.1

Di samping melalui ganti rugi, fungsi pencegahan dari sebuah

gugatan/pertanggungjawaban ini dapat pula dicapai melalui permohonan injunctions

(perintah pengadilan). Dalam fungsi inilah Wilkinson menyatakan bahwa “[t]he most

important preventative aspect of the law of nuisance is the ability of a person whose

property is threatened by pollution, or the risk of pollution, to apply for an order—an

injunction—requiring the polluter to halt or modify the offending activity.”2 Dengan

demikian, seseorang dapat meminta perintah pengadilan agar pencemar menghentikan

atau memperbaiki kegiatannya sebelum pencemaran benar-benar terjadi. Karena

itulah maka perintah pengadilan seperti ini memiliki fungsi pencegahan yang lebih

besar dibandingkan dengan fungsi pemberian ganti rugi.

Secara teoritis, permohonan injuction yang bersifat pencegahan dapat

dikelompokkan ke dalam dua tipe injunction. Pertama, perintah pengadilan yang

bersifat pelarangan (prohibitory injunction). Ini adalah injunction yang berisi

perintah pengadilan agar pencemar menghentikan perbuatan yang dapat merugikan

penggugat. Prohibitory injunctions dianggap terkait erat dengan pemulihan

kepentingan properti (proprietary interests) dari penggugat. Meski demikian, untuk

meminta prohibitory injunctions, penggugat tidak perlu membuktikan bahwa kerugian

fisik atas properti penggugat benar-benar telah terjadi. 3 Kedua, adalah perintah

pengadilan yang bersifat quia timet. Perintah pengadilan ini didasarkan pada

kekhawatiran bahwa apabila tindakan tergugat diteruskan, kerugian pada penggugat

menjadi tidak terelakkan.4 Permohonan quia timet injuction mensyaratkan adanya

kemungkinan yang cukup tinggi bahwa kerugian penggugat akan terjadi apabila                                                                                                                

*Disampaikan pada Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, PUSDIKLAT MA, Bogor, 8 April 2016. Hanya untuk kepentingan Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup MA.

**Pengajar Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum UI. Memperoleh SH dari Fakultas Hukum UI (1998), LLM dari Master Program on Law and Economics, Utrecht University (2002), dan Dr dari Maastrict Univeristy (2008). Dapat dihubungi di: [email protected].

1 Menurut Cooter dan Ulen, “the rule of no liability causes the victim to internalize the marginal costs and benefits of precaution, which gives the victim incentives for efficient precaution”. Sebaliknya, “the rule of strict liability with perfect compensation causes the injurer to internalize the marginal costs and benefits of precaution, which gives him or her incentives for efficient precaution”. Lihat: Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, 6th ed. (Addison-Wesley, 2012), hal. 201-204.

2David Wilkinson, Environment and Law (Routledge, 2002), hal. 108. 3Mark Wilde, Civil Liability for Environmental Damage: A Comparative Analysis of Law and

Policy in Europe and the United States (Kluwer Law International, 2002), hal. 97-98. 4 Ibid., hal. 98.

Page 3: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  3  

tergugat meneruskan perbuatannya. Ukuran kemungkinan ini ternyata berbeda-beda

di antara satu kasus dengan kasus lainnya (atau antara satu negara dengan negara

lainnya). Di Inggris, dalam kasus Redland Bricks Ltd. V. Morris, Lord Upjohn

mensyaratkan adanya probabilitas yang sangat tinggi bahwa kerugian akan terjadi.

Dalam hal ini, Lord Upjohn menyatakan bahwa “the plaintiff shows a very strong

probability on the facts that grave damage will accrue to him in the fufure”—[garis

bawah dari penulis],5 sehingga permohonan perintah quia timet dikabulkan. Berbeda

dengan di Inggris, pengadilan di Australia meminta syarat bahwa “there must be a

fairly high degree of probability that the nuisance will occur”.6 Dalam hal ini, syarat

di Inggris tampaknya lebih sulit dibandingkan dengan di Australia, karena syarat

bahwa “kerugian hampir pasti terjadi” (atau bahwa “kerugian sangat mungkin akan

terjadi”) merupakan syarat yang lebih sulit bagi penggugat dibandingkan dengan

syarat “adanya kemungkinan yang cukup tinggi bahwa kerugian akan terjadi”. Di

AS, injunction semacam quia timet pun dimungkinkan, dengan syarat adanya

“kemungkinan yang membahayakan” (dangerous probability) bahwa kerugian akan

terjadi.7

Dari sisi ex post, gugatan/pertanggungjawaban perdata memiliki dua fungsi.

Pertama, memberikan kesempatan kepada korban agar kerugiannya diganti oleh

mereka yang menyebabkan kerugian tersebut. Atas dasar ini, Coleman menyatakan

bahwa secara struktural pertanggungjawaban perdata terkait dengan pertanyaan

siapakah di antara korban dan pelaku (injurer) yang harus memikul kerugian; sedang

secara substantif, pertanggungjawaban perdata terkait dengan adanya kewajiban bagi

mereka yang menyebabkan kerugian pada korban untuk mengganti kerugian

tersebut.8 Singkatnya, gugatan/pertanggungjawaban perdata akan memberikan dasar

hukum yang mewajibkan pencemar untuk membayar kompensasi kepada korban.

                                                                                                               5Dikutip dari: Alastair Mullis dan Ken Oliphant, Torts, 2nd ed. (Macmillan Press, 1997), hal.

340. Wilkinson menafsirkan bahwa persyaratan dalam Redland Bricks Ltd. V. Morris meminta penggugat untuk menunjukkan bahwa kerugian hampir pasti (near certainty) terjadi jika perbuatan tergugat diteruskan. Lihat: David Wilkinson, op cit., hal.109.

Pendapat Wilkinson ini mirip dengan pandangan pengadilan tinggi di Irlandia dalam Attorney General (Boswell) v. Rathmines and Pembroke Joint Hospital Board, yang menyamakan antara kemungkinan yang tinggi (strong probability) dengan hampir pasti. Dalam hal ini, pengadilan menyatakan bahwa “[t]o sustain the [quia timet] injunction the law requires proof by the plaintiff of a well founded apprehension of injury, proof of actual and real danger—a strong probability, almost amounting to a moral certainty...” Dikutip dari: Mark Wilde, op cit., hal. 99.

6David Wilkinson, loc cit. 7Mark Wilde, op cit., hal. 100. 8Jules Coleman, Risks and Wrongs (Cambridge University Press, 1992), hal. 198.

Page 4: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  4  

Kedua, gugatan/pertanggungjawaban perdata pun dapat memberikan

kesempatan kepada korban untuk meminta perintah pengadilan. Dalam literatur,

perintah pengadilan semacam ini disebut sebagai mandatory injunction (perintah

pengadilan wajib), yaitu perintah pengadilan yang mewajibkan tergugat untuk

melakukan pemulihan kerugian (rectification of physical damage) yang telah terjadi.9

Tulisan ini secara garis besar akan memperlihatkan kemungkinan gugatan

yang dapat diajukan untuk kasus pencemaran. Setelah Pendahuluan ini, Bagian 2 akan

memperlihatkan sketsa alternatif gugatan yang dapat diajukan untuk kasus

lingkungan. Dalam hal ini akan didiskusikan siapa saja yang dapat mengajukan

gugatan, siapa yang dapat menjadi tergugat, dan ke pengadilan mana gugatan tersebut

dapat ditujukan.

Bagian 3 akan mendiskusikan secara panjang lebar mengenai dasar

pertanggungjawaban perdata. Bagian ini akan membandingkan pertanggungjawaban

berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan strict liability. Bagian ini

akan memperlihatkan pula beberapa catatan kritis atas penerapan dan penafsiran atas

strict liability di Indonesia.

Bagian 4 akan mendiskusikan aspek pembuktian, tertutama terkait strict

liability. Bagian ini akan pula mendiskusikan beberapa teori terkait

pertanggungjawaban ketika terdapat ketidakjelasan mengenai pihak mana yang

sebenarnya telah menyebabkan kerugian penggugat. Bagian ini akan ditutup dengan

diskusi terkait pembelaan (defense), terutama terkait strict liability.

Catatan penutup akan diberikan dalam Bagian 5.

2.   Sekilas tentang Sketsa Pilihan Gugatan

2.1.  Penggugat

Di Indonesia, hak gugat dapat diberikan kepada:

1.   Perorangan

Gugatan perorangan merupakan gugatan yang paling konvensional. Gugatan ini

didasarkan pada adanya kepentingan dari pihak penggugat. Dalam gugatan

perorangan, penggugat adalah korban, dan tergugat adalah pihak yang didalilkan

telah menyebabkan kerugian pada penggugat. Gugatan ini dapat ditujukan pada

                                                                                                               9Mark Wilde, op cit., hal. 101-102.

Page 5: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  5  

semua pihak, baik itu pencemar ataupun pemerintah. Dalam gugatan perorangan,

penggugat dapat meminta ganti rugi dan perintah pengadilan (injunction).

2.   Organisasi Lingkungan

Hak gugat organisasi lingkungan diberikan kepada organisasi lingkungan yang

memenuhi syarat sebagai berikut:10

a.   berbentuk badan hukum;

b.  merupakan organisai lingkungan, yang menurut UU No. 32 tahun 2009 adalah

organisasi yang “menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi

tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”;

c.  merupakan organisasi yang bonafide, yang ditunjukkan dengan “telah

melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat

2 (dua) tahun”.

Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No.

36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara

Lingkungan Hidup, bukti bahwa organisasi lingkungan telah melaksanakan

kegiatan nyata dapat ditunjukkan, antara lain, bahwa organisasi telah

“melakukan kegiatan seminar atau advokasi lingkungan yang dibuktikan

dengan misalnya laporan kegiatan, laporan tahunan, foto, kliping koran.”

Organisasi lingkungan tidak bisa meminta ganti rugi, melainkan hanya “tuntutan

untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali

biaya atau pengeluaran riil”. 11 Pembatasan ini dibuat karena organisasi

lingkungan bukanlah korban, dalam arti pihak yang secara langsung mengalami

kerugian. Dengan demikian, organisasi lingkungan hanya bisa meminta perintah

pengadilan (injunction).

                                                                                                               10UU No. 32 tahun 2009, Pasal 92 ayat 3. 11UU No. 32 tahun 2009, Pasal 92 ayat 2. Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013

tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, tindakan tertentu adalah “tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.” Sedangkan yang biaya atau pengeluaran riil adalah “biaya atau pengeluaran yang secara riil dikeluarkan oleh penggugat dalam pengajuan gugatan, misalnya biaya analisa laboratorium, biaya ahli, biaya transportasi dll (harus dibuktikan dengan bukti pengeluaran yang sah)”.

Page 6: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  6  

3.   Masyarakat melalui gugatan perwakilan

Masyarakat yang menderita kerugian dapat pula mengajukan gugatan

berdasarkan gugatan perwakilan (class action). UU No. 32 tahun 2009

menyatakan bahwa “[m]asyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan

kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan

masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup.” 12 Dengan demikian penggugat dalam class action sama

dengan penggugat dalam gugatan perorangan, yaitu sama-sama merupakan

korban. Bedanya adalah di dalam class action, penggugatnya berjumlah

banyak.13

Di dalam class action, penggugat terdiri dari wakil kelas/kelompok, yaitu mereka

yang maju di pengadilan, dan anggota kelas/kelompok. Di antara wakil kelas dan

anggota kelas haruslah memenuhi syarat “terdapat kesamaan fakta atau peristiwa,

dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota

kelompoknya.” 14 Dengan demikian, wakil kelas dan anggota kelas haruslah

sama-sama merupakan korban dari sebuah tindakan tergugat yang sama.

Selain persyaratan di atas, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 tentang

Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menentukan pula syarat formil dari sebuah

surat gugatan class action, yang harus memuat: 15 a). Identitas lengkap dan jelas

dari wakil kelompok; b). Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, tanpa perlu

menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu; c). Keterangan umum terkait

anggota kelompok guna memudahkan pemberitahuan kepada para anggota

                                                                                                               12UU No. 32 tahun 2009, Pasal 91ayat (1). 13 Inilah yang disebut sebagai syarat numerousity. Dalam hal ini, jumlah anggota kelas

penggugat haruslah banyak, sehingga gugatan perorangan menjadi tidak mungkin. Lihat: Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 7th ed., cetakan ke-12 (Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 402.

UU Lingkungan Indonesia tidak menentukan jumlah tertentu untuk dapat dikatakn “banyak”. Guna mendorong kepastian hukum yang lebih baik, maka Sugiarto mengusulkan adanya ketentuan mengentai batas minimum jumlah penggugat agar dapat dikatakan “banyak” sehingga gugatan dapat diajukan melalui gugatan class action. Lihat: Indro Sugianto, Class Action: Konsep dan Strategi Gugatan Kelompok untuk Membuka Akses Keadilan bagi Rakyat (Malang: Setara Press, 2013), hal. 126.

14UU No. 32 tahun 2009, Pasal 91 ayat (2). Syarat inilah yang disebut sebagai commonality (kesamaan dasar hukum dan fakta) dan typicality (kesamaan tuntutan). Dalam literatur, syarat class action ditambah dengan kelayakan dari wakil kelas (adequacy of representation).

Lihat: Koesnadi Hardjasoemantri, loc cit. Lihat pula: Indro Sugianto, op cit., hal. 125. 15Peraturan MA No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Pasal 3.

Page 7: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  7  

tersebut; d). Posita secara jelas dan terperinci dari seluruh kelompok; e). Dalam

suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau

sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;16

f). Tuntutan atau petitum secara jelas dan rinci, serta memuat pula usulan tentang

mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan

anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang

membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian. Syarat mengenai

petitum di atas memerlihatkan bahwa di dalam gugatan class action, penggugat

dapat meminta ganti rugi dan perintah pengadilan.

Selama proses pemeriksaan persyaratan gugatan, hakim dapat memberikan

nasehat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan.17 Selanjutnya, apabila

hakim menganggap gugatan tidak memenuhi persyaratan, hakim akan

mengeluarkan putusan untuk menghentikan pemeriksaan.18 Sebaliknya, apabila

gugatan dianggap memenuhi persyaratan class action, hakim akan mengeluarkan

penetapan pengadilan,19 dan selanjutnya memerintahkan kepada penggugat untuk

mengusulkan model pemberitahuan guna memperoleh persetujuan hakim.20

Dalam gugatan class action, pemberitahuan (notifikasi) kepada anggota kelas

merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan

kesempatan kepada anggota kelas untuk menentukan sikap apakah akan ikut serta

di dalam gugatan (menjadi anggota kelas) atau tidak.

Secara teoritis terdapat dua mekanisme bagi anggota untuk bereaksi atas sebuah

gugatan class action. Pada mekanisme opt in (pernyataan masuk), hanya anggota

kelas yang melakukan pernyataan sebagai anggota kelas lah yang akan dianggap

sebagai anggota kelas. Mereka yang tidak membuat pernyataan (mereka yang

                                                                                                               16Hal ini berarti merupakan penjelasan yang cukup fleksibel atas syarat kesamaan tuntutan

(typicality), karena dengan demikian Perma mengizinkan adanya tuntutan yang berbeda-beda dari anggota kelompok. Dalam hal ini, perbedaan tuntutan—yang memang sangat mungkin terjadi karena adanya perbedaan besar dan sifat dari kerugian anggota kelompok—diatasi dengan adanya sub kelompok, yang masing-masing akan merepresentasikan sifat dan besaran kerugian (dan karenanya juga tuntutan) tertentu.

17Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (2). 18Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (5). 19Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (3). 20Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (4).

Page 8: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  8  

diam saja), dianggap bukan sebagai anggota kelas, meskipun mereka mengalami

kerugian yang sama dengan wakil kelas. Sebaliknya, pada sistem opt out

(pernyataan keluar), hanya mereka yang menyatakan diri keluar dari kelompok

lah yang akan dianggap sebagai bukan anggota kelompok. Sebaliknya, mereka

yang diam saja, apabila memang memenuhi kesamaan sebagai anggota kelas,

akan dianggap sebagai anggota kelas.21 Beberapa negara seperti Canada dan

Australia menerapkan mekanisme opt out. Demikian pula dengan sistem pada

tingkat federal dan negara bagian di Amerika Serikat, kecuali negara bagian

Pennsylvania, juga menerapkan mekanisme opt out. Pada negara bagian

Pennsylvania, sistem yang berlaku adalah campuran, di mana pengadilan

diizinkan untuk berpindah dari sistem opt out ke opt in jika menghadapi kasus

tertentu.22 Seperti akan dijelaskan pada bagian di bawah, Indonesia menganut

sistem opt out.

Menurut Peraturan MA, pemberitahuan dilakukan melalui media massa, kantor-

kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan,

atau secara langsung kepada anggota kelompok sesuai dengan persetujuan

hakim. 23 Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan segera setelah hakim

mengeluarkan penetapan pengadilan mengenai sahnya gugatan class action, dan

pada saat tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi jika gugatan

dikabulkan.24 Di samping memuat cara pernyataan keluar,25 pemberitahuan juga

harus memuat informasi mengenai:26 a). nomor gugatan dan identitas penggugat,

wakil kelompok, serta tergugat atau para tergugat; b). penjelasan singkat tentang

kasus; c). penjelasan tentang pendefinisian kelompok; d). penjelasan tentang

akibat dari keturutsertaan sebagai anggota kelompok; e). penjelasan tentang

dimungkinkannya anggota kelompok (yaitu mereka yang termasuk ke dalam

definisi kelompok) untuk menyatakan diri keluar dari keanggotaan kelompok; f).

penjelasan tentang kapan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan; g).

penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar;

                                                                                                               21 Lihat, misalnya: Susanti Adi Nugroho, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara

Lain (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 210-211. 22Ibid., hal. 215. 23Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (1). 24Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (2). 25Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (3). 26Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (4).

Page 9: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  9  

h). informasi mengeni siapa dan tempat yang tersedia untuk penyediaan informasi

tambahan; i). formulir isian tentang pernyataan keluar; dan j). penjelasan tentang

jumlah ganti rugi yang diajukan.

Menurut Peraturan MA No. 1 tahun 2002, setelah adanya pemberitahuan, anggota

kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim memiliki kesempatan

untuk menyatakan diri keluar dari keanggotaan kelompok. Pernyataan ini haurs

dituangkan di dalam formulir yang telah ditentukan di dalam Peraturan MA ini.27

Mereka yang melakukan pernyataan keluar (opt out) ini dengan demikian tidak

lagi tidak terikat dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang sedang

diadili.28

Hal penting lainnya yang perlu diketahui di dalam gugatan class action adalah

mekanisme pendistribusian ganti rugi. Dalam hal ini, Peraturan MA menyatakan

bahwa apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, maka hakim wajib memutuskan

jumlah ganti rugi secara rinci, menentukan kelompok dan/atau sub kelompok

yang berhak, menentukan pula mekanisme pendistribusian ganti rugi dan

langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses

penetapan dan pendistribusian.29 Karena sistem yang dianut di Indonesia adalah

opt out, yang memungkinkan adanya ketidakjelasan dalam penentuan siapa saja

individu yang menjadi anggota, maka mekanisme pembagian ganti rugi harus

ditentukan secara jelas dan tegas. Di samping itu, perlu pula adanya jaminan

bahwa mekanisme itu akan dijalankan oleh para pihak.

4.   Warga negara

Hak gugat warga negara (citizen suit) sebenarnya tidak dikenal di dalam

perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi hak gugat ini diakui di dalam

prakteknya semenjak putusan Kasus Nunukan. 30 Dalam kasus lingkungan,

                                                                                                               27Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 8 ayat (1). 28Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 8 ayat (2). 29Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 9. 30Lihat: Pengadilan Jakarta Pusat No. 28/PDT.G/2003/PN.JKT.PST, I. Sandyawan Sumardi,

dkk v. Negara Republik Indonesia cq. Kepala Negara, Presiden RI, cq. Megawati Soekarnoputri, dkk (2003).

Page 10: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  10  

gugatan ini dapat dilihat dalam kasus gugatan warga Samarinda terhadap

Pemerintah RI.31 “

Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No.

36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara

Lingkungan Hidup, persyaratan dari gugatan warga negara meliputi:

"a).   Penggugat adalah satu orang atau lebih WNI, dan bukan badan hukum; "b).   Tergugat adalah pemerintah dan/atau lembaga negara; "c).   Dasar gugatan adalah untuk kepentingan umum;32 "d).   Obyek gugatan adalah pembiaran atau tidak dilaksanakannya

kewajiban hukum; "e).   Notifikasi/somasi wajib diajukan dalam jangka waktu 60 hari kerja

sebelum adanya gugatan dan sifatnya wajib. Apabila tidak ada notifikasi/somasi gugatan wajib dinyatakan tidak diterima;33

"f).   Notifikasi/somasi dari calon penggugat kepada calon tergugat dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.

"g).   Jangka waktu 60 hari kerja bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Pemerintah melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diminta atau dituntut oleh calon penggugat.”

Dalam gugatan warna negara di Indonesia, pihak tergugat hanyalah terbatas pada

Pemerintah. Lebih jauh lagi, tuntutan dalam gugatan ini pun terbatas pada

permohonan perintah pengadilan, dan tidak boleh adanya permintaan ganti rugi.34

Praktek gugatan warga negara tersebut sepertinya sedikit berbeda dengan apa

yang dipraktekkan di Amerika Serikat. Perbedaan tersebut setidaknya meliputi

dua hal. Pertama, di AS, gugatan warga negara tidak hanya diajukan kepada

                                                                                                               31PN Samarinda, Putusan No. 55/Pdt.G/2013/PN Smda., Komari, dkk v. Walikota Samarinda,

dkk (2014). 32Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013

tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah “kepentingan lingkungan dan kepentingan makhluk hidup yang potensial atau sudah terkena dampak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan”.

33Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, pemberitahuan singkat/notifikasi/somasi dibuat secara tertulis dan antara lain berisi: informasi pelaku pelanggaran dan lembaga yang relevan dengan pelanggaran; jenis pelanggaran; peraturan perudang-undangan yang telah dilanggar.

34Lihat: Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Selain tidak boleh meminta ganti rugi, Nugroho juga menambahkan bahwa gugatan warga negara tidak boleh meminta pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara dan tidak boleh pula berupa permohonan pembatalan UU (karena ini adalah kewenangan MK) dan pembatalan peraturan di bawah UU (karena ini adalah kewenangan judicial review melalui MA). Lihat: Susanti Adi Nugroho, op cit., hal. 394-395.

Page 11: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  11  

pemerintah (atas kegagalannya menerapkan hukum), tetapi juga kepada sesama

warga negara atau badan usaha yang gagal menaati kewajiban hukumnya. Dalam

hal ini, kita bisa merujuk misalnya pada Clean Water Act § 505(a) [33 U.S.C. §

1365(a)], yang menyatakan bahwa:

“any citizen may commence a civil action on his own behalf— (1) against any person (including (i) the United States, and (ii) any other governmental instrumentality or agency....) who is alleged to be in violation of (A) an effluent standard or limitation... or (B) an order issued by the Administrator or a State with respect to such a standard or limitation, or (2) against the Administrator where there is alleged a failure of the Administrator to perform any act or duty.... The district courts shall have jurisdiction, without regard to the amount in controversy or the citizenship of the parties, to enforce such an effluent standard or limitation, or such an order, or to order the Administrator to perform such act or duty, as the case ma be, and to apply any appropriate civil penalties under section 1319(d) of this title.”

Dari kutipan di atas terlihat bahwa gugatan warga negara tidak hanya dapat

ditujukan kepada pemerintah yang dianggap gagal melakukan kewajibannya (a

failure of the Administrator to perform any act or duty), tetapi juga kepada siapa

pun (any person) yang dianggap telah melanggar baku mutu efluen (baku mutu

air limbah) atau perintah dari pejabat pemerintah terkait baku mutu ini. Karena

itu lah, maka petitum dalam dalam gugatan warga negara tidak hanya terkait

dengan pelaksanaan kewajiban oleh Pemerintah, tetapi juga dapat meminta siapa

pun yang telah melanggar hukum (dalam hal ini baku mutu efluen) untuk

menghentikan pelanggaran tersebut.

Kedua, seperti kutipan terlihat dari kutipan Clean Water Act § 505(a) di atas,

gugatan warga negara juga dapat meminta adanya “civil penalties”, yaitu

semacam uang paksa yang dalam hal ini dibebankan atas setiap keterlambatan

penghentian pelanggaran baku mutu. Menurut Clean Water Act § 309(d) [33

U.S.C. § 1319(d)], besarnya “civil penalties” ini paling tinggi adalah US$25.000

per hari untuk tiap pelanggaran, yang akan dibayarkan kepada negara. Selain

dari “civil penalties”, penggugat dalam gugatan warga negara juga dapat meminta

tergugat untuk membayar biaya pengadilan (litigation costs), termasuk honor

pengacara dan saksi ahli.35

                                                                                                               35Clean Water Act § 505(d) [33 U.S.C. § 1365(d)].

Page 12: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  12  

5.   Gugatan pemerintah

UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa:36

“Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.”

Dengan demikian, gugatan Pemerintah ini memungkinkan Pemerintah, dalam hal

ini Kementerian LHK atau Dinas Lingkungan, dapat meminta ganti rugi dan

perintah pengadilan. Khusus mengenai ganti rugi, UU No. 32 tahun 2009

membatasi ganti rugi ini hanya untuk kerugian lingkungan hidup, yaitu “kerugian

yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan

merupakan hak milik privat.”37

Contoh dari Gugatan Pemerintah dapat dilihat dalam kasus perdata Kalista Alam,

di mana Pemerintah berhasil memenangkan gugatan melawan PT. Kalista Alam

atas kasus kebakaran hutan yang terjadi di daerah perkebunan milik tergugat.

Dalam kasus ini, tergugat (PT. Kalista Alam) diwajibkan untuk membayar ganti

rugi kepada pemerintah sebanyak Rp. 114,3 milyar dan melakukan pemulihan

dengan biaya sebesar Rp. 251,7 milyar.38

2.2.  Objek Gugatan dan Pilihan Pengadilan

Objek gugatan, terutama apabila terkait dengan gugatan terhadap Pemerintah,

sangat terkait erat pilihan pengadilan. Apabila yang digugat adalah sebuah ketetapan

seorang pejabat pemerintah (beschikking), maka gugatan diajukan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara. Apabila yang digugat adalah tindakan nyata dari seseorang atau

                                                                                                               36UU No. 32 tahun 2009, Pasal 90 ayat (1). 37UU No. 32 tahun 2009, Penjelasan Pasal 90 ayat (1). 38PN Meulaboh, Putusan No. 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO, Menteri Negara Lingkungan

Hidup v. PT. Kalista Alam (2014).

Page 13: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  13  

Pemerintah, atau kebijakan Pemerintah, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri

sebagai gugatan perdata biasa.

Dengan demikian, untuk kasus lingkungan kita bisa melihat beberapa

kemungkinan gugatan, yaitu:

−   Gugatan ke PTUN atas izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Izin ini bisa

merupakan izin usaha/kegiatan maupun izin lingkungan atau izin perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup (izin PPLH) menurut PP No. 27 tahun 2012.

−   Gugatan perdata kepada pemegang izin. Hal ini dilakukan jika kegiatan

pemegang izin telah merugikan penggugat, atau berpotensi akan merugikan

penggugat.

−   Gugatan perdata kepada pemerintah. Gugatan ini didasarkan kepada perbuatan

melawan hukum oleh pemerintah. Dalam beberapa kasus lingkungan,

Pemerintah dilibatkan karena kebijakan atau perbuatannya dianggap gagal untuk

melindungi masyarakat dan/atau lingkungan hidup, gagal melakukan pengawasan

dan penegakan hukum. Atas dasar ini maka pemerintah dianggap telah gagal

menunaikan kewajiban hukummnya.39

Pertanyaan selanjutnya adalah atas dasar apa sebuah gugatan diajukan?

Pertanyaan ini terkait dengan dasar pertanggungjawaban seseorang, terutama, secara

perdata. Inilah yang akan dibahas dalam bagian di bawah ini.

3.   Dasar Pertanggungjawaban Perdata: PMH vs Strict Liability

Di Indonesia, gugatan perdata dapat diajukan atas dua hal: wanprestasi dan PMH.

Apabila wanprestasi didasarkan pada adanya pelanggaran perjanjian, maka PMH

merupakan pertanggungjawaban yang tidak terkait dengan pelanggaran perjanjian

(non-contractual liability). Dalam konteks lingkungan, PMH dapat dilihat dalam

Pasal 87 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009, yang menyatakan bahwa: “[s]etiap

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar

hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan

                                                                                                               39Dalam kasus perubahan iklim Samarinda, kebijakan pemerintah (termasuk pemberian izin)

dan kurangnya pengawasan dan penegakan hukum dianggap merupakan indikasi adanya perbuatan mewalan hukum oleh Pemerintah. Lihat: PN Samarinda, Putusan No. 55/Pdt.G/2013/PN Smda., Komari, dkk v. Walikota Samarinda, dkk (2014). Sementara itu, dalam kasus Mandalawangi, kurangnya pengawasan oleh pemerintah dianggap sebagai indikasi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Lihat: Mahkamah Agung RI, Putusan No. 1794 K/Pdt/2004, Dedi, dkk v. Direksi Perum Perhutani, dkk (2007).

Page 14: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  14  

kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau

melakukan tindakan tertentu—[italics dari penulis].”

Sementara itu, strict liability, yang diartikan sebagai tanggung jawab mutlak,

dapat dilihat dalam Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009, yang menyatakan: “[s]etiap

orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman

serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang

terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Penegasan bahwa tanggung jawab

mutlak adalah strict liability dapat dilihat dari Penjelasan Pasal 88 UU No. 32 tahun

2009, yang menyatakan bahwa “[y]ang dimaksud dengan “bertanggung jawab

mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex

specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.”

3.1.  Pengantar Singkat tentang PMH

Pada umumnya, pertanggungjawaban perdata baik di dalam civil law ataupun

common law didasarkan pada aturan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.

Dalam kaitannya dengan civil law, Tunc menyatakan dasar dari pertanggungjawaban

perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan bahwa "[e]very act whatever of man

that causes damage to another, obliges him by whose fault it happened to repair it.”40

Aturan inilah yang di Indonesia dikenal dengan sebuatan perbuatan melawan hukum

(PMH). Sedangkan dalam kaitannya dengan common law, Peck menyatakan bahwa

pertanggungjawaban perdata yang paling umum dan dominan adalah negligence.41

Lalu apakah negligence itu? Menurut Galligan, Jr., terdapat beberapa unsur

yang harus dibuktikan di dalam negligence, yaitu: a). adanya kewajiban (duty), b).

adanya pelanggaran terhadap kewajiban tersebut (breach of duty); c). adanya kerugian

                                                                                                               40André Tunc, “Fault: A Common Name for Different Misdeeds”, Tulane Law Review, Vol.

49, 1975, hal. 279. 41 Dalam hal ini, Peck menyatakan bahwa secara tradisional, mahasiswa fakultas hukum

diajarkan bahwa “…the principles of negligence comprise the field of tort law, and that fault is the most common basis for determining liability for harmful conduct. The space devoted in most law school torts casebooks suggests to students and future lawyers that negligence is the dominant principle of tort law”. Lihat: Cornelius J. Peck, “Negligence and Liability without Fault in Tort Law”, Washington Law Review, Vol. 46(2), 1971, hal. 225. Dalam tulisan tersebut, Peck sebenarnya bermaksud membantah pandangan di atas, dan ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya strict liability lah yang lebih sering digunakan dibandingkan dengan negligence. Terlepas dari benar tidaknya temuan Peck ini, kutipan di atas setidaknya memperlihatkan bahwa dalam pandangan mayoritas ahli hukum, negligence biasanya dianggap sebagai aturan hukum yang dominan di dalam tort.

Page 15: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  15  

pada diri penggugat; dan d). hubungan kausalitas antara perbuatan negligence dari

tergugat (berupa pelanggaran terhadap kewajiban) dengan kerugian yang diderita

penggugat.42 Menurut Galligan, duty adalah kewajiban dari tergugat untuk bertindak

secara patut dan hati-hati (reasonable care). Pelanggaran terhadap kewajiban ini

terjadi ketika tergugat tidak melakukan tindakan yang patut dan hati-hati yang secara

hipotetis akan dilakukan oleh orang lain (diistilahkan dengan “reasonable man”) jika

berada dalam situasi yang sama dengan tergugat. Artinya, tergugat dianggap

melanggar duty of care jika ia tidak melakukan apa yang akan dilakukan oleh

“reasonable man”.

Jika seluruh unsur negligence tersebut terbukti, maka tergugat dinyatakan

bertanggungjawab atas dasar fault (dalam hal ini negligence). Dengan demikian, fault

bukanlah sebuah unsur tersendiri yang harus dibuktikan dalam negligence.

Dari penjelasan di atas, sebenarnya tampak adanya kemiripan antara

negligence dengan PMH yang di antaranya juga mensyaratkan adanya pembuktian

mengenai unsur perbuatan melawan hukum (berupa pelanggaran hak, pelanggaran

kewajiban, atau pelanggaran kepatutan/kehati-hatian), kerugian, dan kausalitas.

Sepintas kita bisa menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara negligence dan PMH,

karena pada PMH penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan.43

Namun demikian, apabila kita menelusuri lebih dalam makna “kesalahan” ini,

maka sebenarnya pembuktian “kesalahan” tersebut tidak berbeda dengan pembuktian

tentang adanya perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya, sama seperti dalam

negligence, kesalahan tidaklah menjadi salah satu unsur yang harus dibuktikan secara

tersendiri. Dalam hal ini, kita dapat merujuk pada salah satu penafsiran tentang makna

“kesalahan” yang juga sebenarnya telah dikemukakan oleh Djojodirdjo. Menurutnya,

sebenarnya pembuat undang-undang juga membuka kemungkinan untuk mengartikan

“kesalahan” sebagai “melawan hukum” itu sendiri. Dalam hal ini, “[s]eseorang yang

telah melakukan sesuatu secara keliru sudah tentu melakukannya karena salahnya.

Maka kesalahan (schuld) memperkirakan adanya tindak-tanduk yang keliru”.44

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Agustina pada saat mendiskusikan

pandangan Vollmar mengenai kesalahan secara subjektif (abstrak) dan secara objektif                                                                                                                

42Thomas C. Galligan, Jr., “A Primer on the Patterns of Negligence”, Lousiana Law Review, Vol. 53, 1993, hal. 1510.

43Moegni A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hal. 65-73; juga: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hal. 117.

44Moegni A.M. Djojodirdjo, op. cit., hal. 69.

Page 16: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  16  

(konkret). Menurut Agustina, apabila kesalahan diartikan sebagai kesalahan secara

objektif (konkret), maka kesalahan dianggap ada apabila pelaku melakukan perbuatan

secara lain dari apa yang seharusnya ia lakukan. Dalam hal ini, “kesalahan dan sifat

melawan hukum menjadi satu”.45

Pandangan Djojodirdjo dan Agustina terkait kesalahan objektif inilah yang

pada saat ini tampaknya dianut oleh banyak negara di Eropa. Hal ini dapat dilihat

dari penjelasan van Schilfgaarde berikut ini.

Menurut van Schilfgaarde, Nieuw BW (KUHPerdata Baru—selanjutnya

disebut NBW) menyatakan bahwa PMH mensyaratkan adanya bukti bahwa tergugat:

a). melakukan perbuatan yang melawan hukum; dan b). bahwa perbuatan tersebut

secara hukum dapat dibebankan (attributed) kepada tergugat. Dengan demikian,

dalam PMH di Belanda, terdapat dua pengujian: pertama, bahwa perbuatan tergugat

adalah perbuatan yang salah, dan kedua, bahwa tergugat bersalah.46 Bahwa perbuatan

tergugat adalah perbuatan yang salah, ditunjukkan dengan adanya pelanggaran hak,

pelanggaran terhadap kewajiban, atau perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan

menurut hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat. Menurut van

Schilfgaarde, pelanggaran hak terjadi ketika perbuatan seseorang terkait dengan hak

orang lain untuk tidak dirugikan, atau hak orang lain atas propertinya. Sementara

pelanggaran terhadap kewajiban dapat berupa pelanggaran terhadap kewajiban yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau perizinan. Sedangkan

pelanggaran terhadap hukum tidak tertulis adalah pelanggaran terhadap apa yang

menurut masyarakat merupakan kehati-hatian atau kepatutan (societal care).47

Selanjutnya van Schilfgaarde menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum

(unlawful act) memiliki pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang

digunakan di dalam sistem common law, yaitu “kurangngya kehati-

hatian/kercermatan” (“lack of due care”), atau “pelanggaran terhadap standar kehati-

hatian/kercematan” ("violation of the standard of care"). 48 Seperti dijelaskan

sebelumnya, bukti bahwa perbuatan seseorang adalah perbuatan yang salah

(wrongful), dalam artian merupakan perbuatan yang melanggar hukum, belum lah

cukup untuk membuat orang tersebut bertanggung jawab. Dengan demikian, secara

                                                                                                               45Lihat: Rosa Agustina, op cit., hal. 47. 46Elizabeth van Schilfgaarde, “Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic

Analysist”, California Western International Law Journal, Vol. 21, 1991, hal. 272. 47Ibid., hal. 273. 48Ibid., hal. 276.

Page 17: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  17  

teoritis penggugat masih harus menunjukkan bahwa tergugat adalah pihak yang salah,

sehingga pertanggungjawaban bisa diatribusikan kepadanya.

Terkait atribusi pertanggungjawaban ini, van Schilfgaarde menyatakan bahwa

berdasarkan NBW seseorang bertanggungjawab atas sebuah perbuatan melawan

hukum, jika perbuatan ini dapat diatribusikan kepada orang tersebut berdasarkan: a).

kesalahan orang tersebut; atau b). undang-undang; atau c). pandangan yang hidup

dalam masyarakat. 49 Unsur kesalahanlah yang merupakan bagian paling relevan

dalam pembahasan ini.

Terkait unsur kesalahan tersebut, van Schilfgaarde berpendapat bahwa

meskipun kesalahan secara subjektif merupakan hal yang penting dalam

mengatribusikan sebuah pertanggungjawaban kepada seseorang, tetapi kurangnya

kesalahan subjek tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban seseorang. Karena

itulah maka van Schilfgaarde berpandangan bahwa kesalahan objektif-lah, dan bukan

kesalahan secara subjektif, yang menjadi syarat cukup bagi atribusi

pertanggungjawaban. 50 Jika terdapat bukti bahwa tergugat melakukan perbuatan

melawan hukum dengan sengaja, maka dengan mudah kita dapat menyatakan bahwa

tergugat bersalah, dan karenanya ia harus bertanggung jawab. Namun demikian, jika

bukti kesengajaan tersebut tidak ada, maka tergugat tidak lantas terbebas dari

pertanggungjawaban, sebab ia bisa bertanggung jawab karena lalai.

Bagaimana kelalaian ini ditunjukkan? Hal ini bisa kita kaitkan dengan

bagaimana kesalahan secara objektif dibuktikan. Kees van Dam, segaimana dikutip

oleh van Schilfgaarde, mengutarakan bahwa kesalahan secara objektif memiliki dua

karakter yang harus dibuktikan. Pertama adalah kemungkinan adanya pengetahuan

(possibility of knowledge) tentang resiko, yaitu pengetahuan bahwa sebuah perbuatan

dapat menimbulkan akibat tertentu. Pengetahuan ini sifatnya umum, dalam arti

pengetahuan umum yang tidak harus merupakan pengetahuan yang benar-benar

dimiliki oleh pelaku (tergugat) pada saat ia melakukan perbuatannya. Kedua, adalah

kemampuan untuk menghindari resiko tersebut. Seseorang tidak bisa dimintai

pertanggungjawaban atas sebuah akibat yang tidak bisa ia hindari.51

Dari kedua syarat ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa seseorang dianggap

bersalah atas perbuatan melawan hukum yang ia lakukan, jika orang tersebut telah

                                                                                                               49Ibid., hal. 280. 50Ibid., hal. 282-284. 51Ibid., hal. 284.

Page 18: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  18  

mengetahui (dianggap mengetahui) resiko dari perbuatannya, tetapi dia tidak

melakukan pencegahan atas resiko tersebut. Dengan demikian, maka bukti adanya

kesalahan secara objektif adalah tidak dilakukannya upaya-upaya yang seharusnya

dilakukan untuk mencegah terjadinya kerugian.

Atas dasar inilah maka van Schilfgaarde menyatakan bahwa ukuran kesalahan

objektif ini mirip dengan standar kehati-hatian (standard of optimal level of care)

yang ada dalam sistem common law. 52 Karena itu pula, maka menurut van

Schilfgaarde, ketika meneliti ada-tidaknya kesalahan pada diri tergugat, yang akan

dilihat oleh hakim biasanya bukanlah kondisi pikiran (state of mind) dari si tergugat

pada saat ia melakukan perbuatannya, tetapi pengetahuan umum tentang

kemungkinan munculnya bahaya dan upaya yang akan diambil oleh orang lain yang

berhati-hati (prudent person) untuk mencegah bahaya tersebut. Dengan cara ini,

maka sebenarnya ukuran yang digunakan hakim ketika menilai ada-tidaknya

kesalahan adalah sama ukuran yang dipakai untuk menilai ada-tidaknya perbuatan

melawan hukum. Atas dasar ini, maka van Schilfgaarde menyimpulkan, bahwa

“[s]ince unlawfulness or carelessness of the act are established by the same factors as

fault of the actor, and since both require an inquiry into what a person in general

would know and be capable of, unlawfulness and fault are really the same. Once

unlawfulness is established, fault can be established”—[garis bawah dari penulis].53

Dengan tegas van Schilfgaarde menyimpulkan bahwa di dalam hukum

Belanda, kesalahan (fault) bukanlah sebuah persyaratan tersendiri untuk menentukan

pertanggungjawaban. Pada saat seseorang terbukti telah melanggar hukum (due

care), maka ia dianggap bersalah dan bertanggungjawab atas perbuatan melawan

hukum. Kesalahan secara subjektif, karenanya, tidaklah merupakan syarat adanya

pertanggungjawaban.54

Apabila unsur kesalahan (pelanggaran atas duty of care) telah terbukti, maka

penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan adanya kausalitas antara

kerugian dengan kesalahan tergugat. Pembahasan mengenai kausalitas ini akan

dijelaskan pada Bagian 4.

                                                                                                               52Ibid., hal. 285. 53Ibid. 54Ibid., hal. 288.

Page 19: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  19  

3.2.  Strict Liability di Indonesia

Di Indonesia sendiri, strict liability untuk kegiatan berbahaya masuk pertama kali

melalui konvensi internasional. Konvensi yang bertanggungjawab atas masuknya

strict liability ini adalah Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage tahun

1969,55 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978. Setelah itu,

strict liability muncul dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UU

tentang lingkungan hidup56 dan UU tentang ketenaganukliran.57

Beberapa putusan di Indonesia memperlihatkan percobaan penerapan strict

liability di dalam beberapa kasus kongkret. Perlu disampaikan di sini, bahwa di

Indonesia, gugatan strict liabity dianggap sebagai bagian dari gugatan perbuatan

melawan hukum (PMH). Hal ini berimplikasi pada bentuk gugatan, dan juga pada

putusan. Misalnya, dalam beberapa kasus, di dalam posita-nya penggugat berusaha

menunjukkan unsur-unsur PMH, guna membuktikan bahwa tergugat telah melakukan

PMH. Sementara itu, di dalam petitunya, penggugat menunjukkan meminta bahwa

tergugat dinyatakan bersalah dan karenanya bertanggungjawab berdasarkan PMH.

Semua ini dilakukan oleh penggugat meskipun di dalam positanya dinyatakan pula

bahwa penggugat menggunakan strict liability sebagai dasar gugatan.

Hal tersebut misalnya terlihat di dalam kasus Walhi v. Freeport (2001).

Dalam kasus ini, penggugat menggunakan dasar gugatan PMH dan strict liability.58

Tetapi di dalam fakta-fakta yang diajukannya, penggugat hanya menunjukkan bahwa

tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.59 Lebih jauh lagi, di dalam

petitumnya penggugat meminta agar majelis hakim “[m]enyatakan bahwa Tergugat

telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum”, tanpa sedikitpun menyinggung

mengenai strict liability.60 Gugatan seperti ini tidak dipermasalahkan oleh tergugat,

                                                                                                               551969 Brussels Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 9 ILM 45 (1970). 56UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,

LN tahun 1982 N. 12, TLN No. 3215, Pasal 21. UU ini kemudian diganti oleh UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memuat strict liability dalam Pasal 35. UU ini kemudian diganti lagi oleh UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memuat ketentuan tentang strict liability dalam Pasal 88. Lihat: UU No. 23 tahun 1997, LN tahun 1997 No. 68, TLN No.3699, Pasal 35; dan UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88.

57UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, LN tahun 1997 No. 23, TLN No. 3676, Pasal 28-32.

58 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 11-12.

59 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 3-11.

60 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 14.

Page 20: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  20  

dan bahkan kemudian disetujui oleh hakim yang juga menyatakan bawha tergugat

telah melakukan perbuatan melawan hukum.61

Gugatan yang sama juga dapat dilihat dalam kasus Walhi v. Lapindo Brantas,

dkk (2007). Dalam kasus ini pun penggugat menggunakan PMH dan strict liability

sebagai gugatan.62 Akan tetapi, di dalam fakta hukum yang diajukan penggugat

memfokuskan dirinya untuk membuktikan bahwa tergugat telah melakukan PMH.

Lebih dari itu, penggugat menempatkan pembahasan mengenai strict liability di

dalam bagian tentang pembahasan unsur-unsur PMH. Dalam hal ini, penggugat

kemudian menyatakan bahwa sesuai dengan doktrin strict liability, “unsur kesalahan”

dari tergugat tidak perlu dibuktikan.63 Penggugat kemudian berusaha menunjukkan

bagaimana tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.64 Dan kemudian

meminta agar pengadilan menyatakan bahwa “Para Tergugat telah melakukan

perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya pengrusakan lingkungan

hidup di wilayah Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo”,

tanpa sekalipun meminta agar Para Tergugat (atau beberapa di antara Para Tergugat)

dinyatakan bertanggungjawab berdasarkan strict liability. 65 Gugatan seperti ini

tidaklah dipersoalkan oleh Para Tergugat dan juga Majelis Hakim. Pengadilan

memang menolak gugatan penggugat, tetapi penolakan ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa semburan lumpur Lapindo tidak disebabkan oleh kesalahan

pihak Lapindo, melainkan karena faktor bencana alam. 66 Majelis Hakim sama sekali

tidak menyinggung dan membahas dasar gugatan lainnya yang diajukan oleh

penggugat, yaitu strict liability.

                                                                                                               61 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort

Indonesia Company (2001), hal. 55. 62PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas,

dkk (2007), hal. 5. 63PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas,

dkk (2007), hal. 8. 64PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas,

dkk (2007), hal. 8-17. 65PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas,

dkk (2007), hal. 21. 66PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas,

dkk (2007), hal. 193 dst. Untuk analisa kritis atas putusan ini, lihat: Andri G. Wibisana, “Tangan Tuhan di Pengadilan: Dalih Bencana Alam dan Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun, Vol. 41(1), 2011, hal. 102-152. Lihat pula: Andri G. Wibisana, “The Myths of Environmental Compensation in Indonesia: Lessons from the Sidoarjo Mudflow”, dalam: Michael Faure dan Andri G. Wibisana (eds.), Regulating Disasters, Climate Change and Environmental Harm: Lessons from the Indonesian Experience, (Edward Elgar, 2013) hal. 277–354.

Page 21: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  21  

Beberapa pengarang buku hukum lingkungan di Indonesia sepertinya

mengartikan strict liability dalam pengertian yang mirip dengan penggugat dalam

Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas dkk (2007). Di dalam

beberapa literatur hukum lingkungan di Indonesia, unsur “tanpa kesalahan” dari strict

liability diartikan sebagai tanpa adanya kesalahan dalam arti subjektif, seperti

kesengajaan, kelalaian, atau mens rea. Siahaan, misalnya, berpendapat bahwa

“[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah

menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab karena pada saat

peristiwa itu timbul ia sudah memikul suatu tanggung jawab”.67 Dari kutipan ini

terlihat bahwa Siahaan mengartikan istilah “kesalahan” sebagai “mens rea”, yang

merupakan unsur subjektif dari perbuatan seseorang. Dengan demikian, jika kita

mengikuti pandangan ini, maka “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sama

dengan “tanpa mens rea”.

Sementara itu, penerapan strict liability yang sedikit berbeda dapat ditemukan

di dalam putusan Mandalawangi (2003). Dalam hal ini, majelis hakim menggunakan

asas kehatian-hatian (the precautionary principle) sebagai dasar penentuan

pertanggungjawaban perdata. Pengadilan Bandung mengadopsi prinsip 15 Deklarasi

Rio yang menyatakan bahwa apabila ada ancaman yang serius atau tidak bisa

dipulihkan (serious or irreversible threats), maka kurangnya kepastian ilmiah tidak

bisa dijadikan alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan.68 Menurut

Pengadilan Bandung,

“Menimbang, bahwa bagaimana bentuk/tanggung jawab terhadap lingkungan serta siapa yang harus diberikan tanggung jawab, maka dengan penerapan ini pembuktian unsur kesalahan (liability base [sic!] on fault) seperti dalil gugatan Penggugat agar supaya para Tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip “precautionary principle” pertanggung jawaban menjadi ketat/mutlak “Strict Liability”, yang paling penting disini adalah penentuan siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya dampak longsornya beberapa sudut di belahan Gunung Mandalawangi, dan karena secara “notoir feit” telah menimbulkan kerugian, maka bagaimana pemulihan atas adanya kerugian tersebut.”69

                                                                                                               67N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Erlangga, 2004), hal. 317. 68The 1992 Rio Declaration on Environment and Development, UN Doc. A/CONF.151/26

(vol. I) / 31 ILM 874 (1992) [selanjutnya disebut Deklarasi Rio], Prinsip 15. Untuk lebih jelasnya mengenai asas ini, lihat misalnya: Andri G. Wibisana, “Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehati-hatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004”, Jurnal Konstitusi, Vol. 8(3), Juni 2011, hal. 207-256.

69 PN. Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 102.

Page 22: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  22  

Dengan demikian, di dalam Kasus Mandalawangi terlihat bahwa fungsi dari

asas kehati-hatian adalah mengubah pertanggungjawaban dari PMH menjadi strict

liability. Dengan kata lain: PMH + asas kehati-hatian = strict liability.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka hakim dalam Kasus Mandalangi

benar-benar menghilangkan unsur “melawan hukum” sebagai dasar

pertanggungjawaban. Hal ini terlihat dari amar putusan Kasus Mandalawangi.

Petitum dari gugatan Para Penggugat dalam Kasus Mandalawangi sebenarnya

meminta agar tergugat dinyatakan “telah melakukan perbuatan melawan hukum dan

oleh karenanya patutlah dihukum untuk membayar ganti rugi”;70 namun di dalam

amar putusannya, Majelis Hakim secara tegas menyatakan bahwa para tergugat

“bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan

oleh adanya longsor di kawasan hutan Gunung Mandalawangi”.71 Melawan hukum

telah hilang di dalam amar putusan Kasus Mandalawangi, dan inilah yang menurut

penulis merupakan bentuk pengadopsian strict liability a la Indonesia.72

3.3.  Beberapa Catatan Kritis

Bagian ini akan memberikan catatan kritis tentang penerapan strict liability di

Indonesia. Pertama-tama, bagian ini akan memberikan gambaran perbandingan

dengan penerapan strict liability di AS. Gambaran ini berguna untuk menunjukkan

bahwa strict liability sebagaimana diterapkan di Indonesia ternyata tidak sepenuhnya

merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Pada

bagian ini juga akan diperlihatkan bahwa strict liability tidaklah sama dengan                                                                                                                

70PN. Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 10.

71PN. Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 107.

72Putusan tersebut diperkuat oleh Mahkamah Agung RI. Menurut MA pengadilan judex factie tidak salah menerapkan strict liability. Akibatnya, menurut MA tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penggugat berdasarkan fakta bahwa kegiatan tersebut telah terbukti menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan, yang kemudian menimbulkan kerugian kepada penggugat. Di sisi lain, MA pun menyatakan bahwa pengadilan judex factie tidak salah dalam menerapkan asas kehati-hatian (precautionary principle). Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa asas kehati-hatian telah memiliki status “ius cogen”, yaitu sebuah asas hukum yang memiliki kekuatan norma paling kuat, sehingga asas-asas atau aturan lain yang bertentangan dengannya akan dianggap batal. Lihat: Mahkamah Agung RI, Putusan No. 1794K/Pdt/2004, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 84).

Page 23: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  23  

pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur sebagaimana diyakini oleh beberapa

literatur dan putusan di Indonesia.

3.3.1.   Strict Liability di AS: Sebuah Perbandingan Singkat

Pada umumnya, pertanggungjawaban perdata baik di dalam civil law ataupun

common law didasarkan pada aturan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.

Dalam kaitannya dengan civil law, Tunc menyatakan dasar dari pertanggungjawaban

perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan bahwa "[e]very act whatever of man

that causes damage to another, obliges him by whose fault it happened to repair it.”73

Aturan inilah yang di Indonesia dikenal dengan sebuatan perbuatan melawan hukum

(PMH). Sedangkan dalam kaitannya dengan common law, Peck menyatakan bahwa

pertanggungjawaban perdata yang paling umum dan dominan adalah negligence.74

Lalu apakah negligence itu? Menurut Galligan, Jr., terdapat beberapa unsur

yang harus dibuktikan di dalam negligence, yaitu: a). adanya kewajiban (duty), b).

adanya pelanggaran terhadap kewajiban tersebut (breach of duty); c). adanya kerugian

pada diri penggugat; dan d). hubungan kausalitas antara perbuatan negligence dari

tergugat (berupa pelanggaran terhadap kewajiban) dengan kerugian yang diderita

penggugat.75 Menurut Galligan, duty adalah kewajiban dari tergugat untuk bertindak

secara patut dan hati-hati (reasonable care). Pelanggaran terhadap kewajiban ini

terjadi ketika tergugat tidak melakukan tindakan yang patut dan hati-hati yang secara

hipotetis akan dilakukan oleh orang lain (diistilahkan dengan “reasonable man”) jika

berada dalam situasi yang sama dengan tergugat. Artinya, tergugat dianggap

melanggar duty of care jika ia tidak melakukan apa yang akan dilakukan oleh

“reasonable man”. Terkait kausalitas, Galligan menyebukan bahwa dalam

prakteknya, unsur kausalitas ini akan dibuktikan dalam bentuk “cause-in-fact” dan

                                                                                                               73André Tunc, “Fault: A Common Name for Different Misdeeds”, Tulane Law Review, Vol.

49, 1975, hal. 279. 74 Dalam hal ini, Peck menyatakan bahwa secara tradisional, mahasiswa fakultas hukum

diajarkan bahwa “…the principles of negligence comprise the field of tort law, and that fault is the most common basis for determining liability for harmful conduct. The space devoted in most law school torts casebooks suggests to students and future lawyers that negligence is the dominant principle of tort law”. Lihat: Cornelius J. Peck, “Negligence and Liability without Fault in Tort Law”, Washington Law Review, Vol. 46(2), 1971, hal., 225. Dalam tulisan tersebut, Peck sebenarnya bermaksud membantah pandangan di atas, dan ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya strict liability lah yang lebih sering digunakan dibandingkan dengan negligence. Terlepas dari benar tidaknya temuan Peck ini, kutipan di atas setidaknya memperlihatkan bahwa dalam pandangan mayoritas ahli hukum, negligence biasanya dianggap sebagai aturan hukum yang dominan di dalam tort.

75Thomas C. Galligan, Jr., “A Primer on the Patterns of Negligence”, Lousiana Law Review, Vol. 53, 1993, hal. 1510.

Page 24: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  24  

“proximate cause”.76 Jika seluruh unsur negligence tersebut terbukti, maka tergugat

dinyatakan bertanggungjawab atas dasar fault (dalam hal ini negligence). Dengan

demikian, fault bukanlah sebuah unsur tersendiri yang harus dibuktikan dalam

negligence.

Dari penjelasan di atas, sebenarnya tampak adanya kemiripan antara

negligence dengan PMH yang di antaranya juga mensyaratkan adanya pembuktian

mengenai unsur perbuatan melawan hukum (berupa pelanggaran hak, pelanggaran

kewajiban, atau pelanggaran kepatutan/kehati-hatian), kerugian, dan kausalitas.

Sepintas kita bisa menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara negligence dan PMH,

karena pada PMH penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan.77 Namun

demikian, apabila kita menelusuri lebih dalam makna “kesalahan” ini, maka

sebenarnya pembuktian “kesalahan” tersebut tidak berbeda dengan pembuktian

tentang adanya perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya, sama seperti dalam

negligence, apabila kesalahan diartikan secara objektif, maka kesalahan dan perbuatan

melawan hukum adalah hal yang sama, sehingga kesalahan tidaklah menjadi salah

satu unsur yang harus dibuktikan secara tersendiri.78

Grey, yang mendasarkan padangannnya pada Holmes, menyatakan bahwa

struktur pertanggungjawaban perdata pada dasarnya adalah negligence. Peyimpangan

terhadap negligence terjadi melalui dua cara. Pada satu sisi, penyimpangan dilakukan

melalui “objective negligence”; sedang pada sisi lain dilakukan melalui strict

liability. 79 Dengan cara melihatnya dari struktur seperti ini, maka kita bisa

                                                                                                               76Ibid., hal. 150-155. Penjelasan lebih lanjut mengenai cause-in-fact dan proximate cause

lihat pada bagian 5.3. di bawah. 77Moegni A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979),

hal. 69-70. 78Lihat misalnya penjelasan van Schilfgaarde, infra. Van Schilfgaarde menunjukkan bahwa di

dalam pembuktian PMH Belanda unsur melawan hukum dengan kesalahan (fault) sebenarnya hal yang sama. Kesalahan tergugat dianggap terbukti begitu perbuatannya terbukti sebagai perbuatan yang melawan hukum.

79Thomas C. Grey, “Accidental Torts”, Vanderbilt Law Review, Vol. 54(3), 2001, hal. 1279. Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam tulisannya ini Grey bermaksud membantah pandangan umum yang menyatakan bahwa Holmes adalah salah seorang ahli hukum AS yang menentang pemberlakuan strict liability. Dalam pandangan Grey, yang ditolak oleh Holmes bukanlah strict liability, tetapi pemberlakuan strict liability sebagai prinsip dasar (umum) pertanggungjawaban yang berlaku bagi setiap kasus. Ibid.

Objective negligence adalah istilah yang membedakan negligence dengan kesengajaan (intentional tort). Dalam intentional torts kesalahan ditunjukkan dengan adanya kesengajaan atau pengetahuan subjektif dari tergugat untuk menciptakan kerugian pada orang lain. Sedangkan dalamm objective negligence kesalahan cukup ditunjukkan dengan adanya pelanggaran terhadap ukuran kehati-hatian yang layak (reasonable care). Pengetahuan subjektif dari tergugat terhadap kehati-hatian tersebut tidaklah menjadi ukuran dari kesalahan di dalam objective negligence. Untuk diskusi tentang kegua hal ini lihat, misalnya: Alan Calnan , “The Fault(s) in Negligence Law”, Quinnipiac Law

Page 25: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  25  

mengatakan bahwa strict liability berbeda (menyimpang) dari aturan umum

pertanggungjawaban, yaitu negligence. Melalui pembagian seperti ini, Cantu

membagi pertanggungjawaban perdata ke dalam dua kelompok besar yaitu fault-

based liability, dan liability without fault. Kelompok fault-based liability, terdiri dari

intentional tort dan negligence. Fault di dalam intentional tort ditunjukan dengan

kesengajaan pihak tergugat untuk menghasilkan kerugian pada penggugat, sedangkan

fault pada negligence dituntukkan dengan pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian

yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam masyarakat. Sedangkan liability

without fault, yaitu strict liability, merupakan pertanggungjawaban yang tidak

berdasarkan pada fault dalam kedua bentuk tersebut. 80

Tentu saja terdapat beberapa pengamat, bahkan termasuk Grey dan Cantu

sendiri, yang melihat bahwa di antara pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan

dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan sebenarnya tidak ada garis pemisah

yang tegas. Dalam hal ini, negligence dan strict liability saling mempengaruhi dan

bercampur satu dengan yang lainnya.81 Ketika kita berbicara strict liability, maka kita

tidak bisa menganggapnya sebagai satu aturan pertanggungjawaban, melainkan

sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa aturan pertanggungjawaban yang berbeda

dari negligence. Dalam pandangan ini, strict liability bukanlah species, tetapi genus

dari beberapa pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dapat berupa “pure, mixed,

and hybrid forms”.82

Karena itu lah maka sepintas lalu kita bisa memaklumi adanya perbedaan

antara penerapan strict liability di Indonesia, dengan strict liability di AS, Inggris,

atau bahkan Belanda sekalipun. Namun demikian, seperti yang akan ditunjukkan di

bawah ini, penulis berpendapat bahwa apabila strict liability diterapkan dengan jalan

seperti para sarjana hukum Indonesia menerapkannya selama ini, maka sebenarnya

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             Review, Vol. 25, 2007, hal. 706-707. Dalam diskusi ini, Calnan menilai bahwa batasan antara objective negligence dan intentional torts pada satu dengan strict liability pada sisi lain sebenarnya tidaklah begitu jelas.

Meski demikian, perlu diutarakan di sini bahwa tidak semua pengarang menyetujui adanya dikotomi antara objective negligence dan subjective negligence. Lihat misalnya: Warren A. Seavey, “Negligence- Subjective Or Objective?”, Harvard Law Review, Vol. 41(1), 1927, hal. 3-5.

80Charles E. Cantu, “Distinguishing the Concept of Strict Liability in Tort from Strict Products Liability: Medusa Unveiled”, The University of Memphis Law Review, Vol. 33, 2003, hal. 826.

81Lihat misalnya, Thomas Grey, op cit., hal. 1280-1281. Lihat pula: Alan Calnan, op cit., hal. 747-748.

82Vernon Palmer, “A General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62, 1988, hal. 1311.

Page 26: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  26  

kita hanya memiliki strict liability yang ompong, yang bahkan sudah bisa diterapkan

tanpa perlu merujuk pada teori atau dasar hukum tentang strict liability.

Seperti telah diutarakan pada bagian sebelumnya, beberapa kasus telah

mencoba menerapkan strict liability. Meski demikian, dari kasus tersebut terlihat

bahwa meskipun penggugat menyatakan akan menggunakan strict liability di samping

juga PMH, namun penggugat tampaknya lebih fokus pada upaya untuk menunjukkan

bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penggugat gagal

memisahkan PMH dari strict liability. Lebih jauh lagi, gugatan-gugatan strict

liability di Indonesia secara jelas masih meminta agar penggugat dinyatakan

bertanggungjawab berdasarkan PMH, dan bukan berdasarkan strict liability.

Dari contoh gugatan tersebut, tampak terlihat bahwa sepertinya strict liability

dianggap merupakan bagian dari PMH. Dalam konteks ini, maka sepertinya

pertanggungjawaban tanpa kesalahan diartikan bahwa penggugat tidak perlu

membuktikan unsur kesalahan yang bersifat subjektif, seperti kesengajaan atau

kelalaian. Karena hanya unsur kesalahan yang seperti ini yang dihilangkan, maka

sepertinya di dalam praktek di Indonesia, di dalam kasus strict liability penggugat

masih harus membuktikan adanya perbuatan melawan hukum (terutama dalam bentuk

pelanggaran terhadap kewajiban atau kehati-hatian) yang dilakukan oleh tergugat, dan

bahwa perbuatan melawan hukum itulah yang kemudian menimbulkan kerugian

berupa pencemaran. Gugatan seperti ini tidak pernah dipermasalahkan baik oleh

pengacara pihak tergugat, maupun oleh hakim. Bahkan hakim sepertinya

menyetujui dan mengikuti pola pikir seperti ini, yaitu bahwa di dalam gugatan strict

liability penggugat masih harus membuktikan bahwa perilaku dan perbuatan dari

tergugat telah melawan hukum.

Sekarang mari kita bandingkan hal ini dengan putusan di AS.

Dari penelusuran literatur dan putusan di AS, penulis berpendapat bahwa kita

akan melihat adanya upaya untuk membedakan strict liability dari negligence. Dalam

hal ini, tergugat bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan dari

perbuatannyam, meskipun ia tidak melakukan negligence, dan karenanya tidaklah

bersalah. Hal ini misalnya terlihat dalam Horace W. Green et al. v. General

Petroleum Corporation (1928), 83 atau Indiana Harbor Belt Railroad Company v.

                                                                                                               83Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation

(1928), 205 Cal. 328, hal. 333-334.

Page 27: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  27  

American Cyanamid Company and Missouri Pacific Railroad Company (1987).84

Pendapat American Law Institute dalam penjelasan Restatement (Second) of Torts

(1977) secara jelas menggambarkan hal tersebut.85

Di sisi lain, beberapa putusan pun berusaha untuk menekankan bahwa dalam

strict liability tergugat bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan dari

kegiatannya, meskipun kegiatan telah dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati dan

bukanlah termasuk perbuatan yang melawan hukum. Dalam Ann Spano v. Perini

Corporation, et al. (1969), hakim Fuld menyatakan bahwa dalam kasus penggunaan

bahan peledak, yang termasuk ke dalam strict liability, pertanyaan yang relevan

bukanlah apakah penggunaan bahan peledak tersebut merupakan kegiatan yang

melawan hukum atau tidak, serta apakah peledakan telah dilakukan dengan hati-hati

(proper) atau tidak, tetapi siapakah yang harus menanggung resiko dari peledakan

tersebut (apakah tergugat yang telah melakukan kegiatan yang berbahaya, ataukah

penggugat yang telah mengalami kerugian).86 Dari pernyataan ini, terlihat bahwa

unsur melawan hukum dari kegiatan tergugat bukanlah unsur yang perlu diperhatikan

dalam strict liability. Hal yang sama juga terlihat dalam Cllfford E. Fontenot v.

Magnolia Petroleum Co. et al. (1955), di mana Hakim Simon menyatakan bahwa “[i]t

has been universally recognized that when, as here, the defendant, though without

fault, is engaged in a lawful business, conducted according to modern and approved

methods and with reasonable care, by such activities causes risk or peril to others,

the doctrine of absolute liability is clearly applicable”—[garis bawah dari penulis].87

Pendapat Hakim Simon dan Fuld di atas telah dirujuk dan diterima oleh

beberapa putusan, misalnya dalam Victor A. Lombard v. Sewerage and Water Board

of New Orleans, et al. (1973),88 Albert I. Correa, et al. v. Roy Curbey & Dorothy

                                                                                                               84United States District Court, N.D. Illinois, Eastern Division, Indiana Harbor Belt Railroad

Company v. American Cyanamid Company and Missouri Pacific Railroad Company (1987), 662 F.Supp. 635), hal.

85Dalam salah penjelasan tentang “abnormally dangerous activity”, American Law Institute menyatakan “the unavoidable risk remaining in the activity, even though the actor has taken all reasonable precautions in advance and has exercised all reasonable care in his operation, so that he is not negligent.” Lihat: American Law Insititute, Restatement (Second) of Torts § 520 (1977), comment h.

86Court of Appeals of New York, Ann Spano v. Perini Corporation, et al. (1969), 25 N.Y.2d 11, hal. 17; 250 N.E.2d 31, hal. 35.

87Supreme Court of Louisiana, Cllfford E. Fontenot v. Magnolia Petroleum Co. et al. (1955), 227 La. 866, hal. 878; 80 So.2d 845, hal. 849.

88Supreme Court of Louisiana, Victor A. Lombard v. Sewerage and Water Board of New Orleans, et al. (1973), 284 So.2d 905, hal. 912-913.

Page 28: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  28  

Curbey (1980),89 dan Rusty Roberts, et al. v. Cardinal Services, Inc., et al. (2001).90

Pendapat bahwa dalam strict liability tergugat bertanggungjawab meskipun

kegiatannya adalah kegiatan yang lawful dan dilakukan dengan hati-hati, dapat pula

dilihat dalam putusan-putusan sebelum adanya Restatement (Second) of Torts, seperti

dalam Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928),91 Gotreaux

v. Gary (1957),92 atau Young v. Darter (1961).93

Dengan demikian, terlihat bahwa dalam strict liability seseorang tetap

bertanggungjawab meskipun ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum (dalam

arti melanggar kewajiban, atau melanggar kehati-hatian). Menurut Palmer, perbedaan

antara negligence dengan strict liability terkait dengan sifat melawan hukum

(unlawfulness) adalah bahwa sifat melawan hukum di dalam strict liabity diartikan

secara rigid (inflexible). Dalam arti ini, dalam strict liability pengadilan tidak perlu

melihat apakah kegiatan dari tergugat adalah kegiatan melawan hukum atau tidak.

Pengadilan pun tidak perlu melihat apakah langkah (actual conduct) dari tergugat

ketika melakukan kegiatannya telah melawan hukum atau tidak. Sifat melawan

hukum dalam strict liability telah ditentukan oleh pembuat undang-undang, yaitu

sebagai kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous activity) yang kemudian

menyebabkan kerugian pada penggugat. Artinya, sifat melawan hukum bukan

ditentukan oleh kegiatan/perbuatan tergugat, tetapi oleh adanya bahaya/kerugian yang

diderita penggugat.94 Dengan sifat melawan hukum yang rigid seperti ini, maka

ukuran melawan hukum dari sebuah kasus strict liability adalah adanya pelanggaran

hak penggugat, yang ditunjukkan dalam bentuk kerugian penggugat (wrongful losses),

yang disebabkan oleh kegiatan tergugat.95 Dengan demikian, maka apabila kita masih

                                                                                                               89Court of Appeals of Arizona, Albert I. Correa, et al. v. Roy Curbey & Dorothy Curbey

(1980), 124 Ariz. 480, hal. 484; 605 P.2d 458, hal. 460. 90United States Court of Appeals, Fifth Circuit, Rusty Roberts, et al. v. Cardinal Services, Inc.,

et al. (2001), 266 F.3d 368, hal. 381. Lebih jauh lagi, Hakim Wiener menyatakan bahwa meskipun kegiatan penggunaan bahan peledak telah dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang bertanggungjawab, dan mengikuti metode terbaru yang telah diterima, namun tetap pelaku kegiatan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi dari peledakan tersebut.

91Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hal. 333-334.

92Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary (1957), 232 La. 373, hal. 376; 94 So. 2d 293, hal. 294.

93Supreme Court of Oklahoma, Young v. Darter (1961), 363 P.2d 829, hal. 832-833. 94Vernon Palmer, op cit., hal. 1309. 95Coleman menyatakan bahwa sebuah kerugian (wrongful losses) dapat disebabkan oleh dua

hal. Pertama oleh adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat (wrongdoing), berupa pelanggaran kewajiban atau kehati-hatian. Kedua oleh adanya pelanggaran yang dilakukan tergugat terhadap hak penggugat (wrong). Lihat: Jules L. Coleman, op cit., hal. 331-332.

Page 29: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  29  

ingin menempatkan strict liability sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum,

maka unsur melawan hukum ditunjukkan dengan adanya kerugian penggugat yang

disebabkan oleh kegiatan tergugat. Kerugian lah yang menunjukkan adanya

pelanggaran hak (wrong), sebagai salah satu unsur melawan hukum. Pelanggaran hak

ini bisa saja disebabkan oleh kegiatan atau perbuatan nyata (actual conduct) tergugat

yang tidak melawan hukum. Dalam strict liability sifat melawan hukum dari kegiatan

dan perbuatan tergugat bukanlah dasar dari adanya pertanggungjawaban.

Penerapan strict liability di Indonesia, dalam kasus Walhi v. Freeport (2001)

dan Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007) memperlihatkan bahwa strict liability yang

ditafsirkan oleh penggugat maupun hakim sebenarnya masih berada di dalam wilayah

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Di dalam kedua kasus tersebut terlihat

jelas bahwa perbuatan melawan hukum dari kegiatan/perbuatan tergugat tetaplah

menjadi dasar dari pertanggungjawaban, meskipun penggugat mengaku bahwa

gugatannya didasarkan pada strict liability. Karena itu pula, maka penulis

menanggap, kedua kasus tersebut telah menafsirkan bahwa strict liability dan PMH

adalah sama. Sepertinya, kedua kasus itu melihat bahwa satu-satunya perbedaan di

antara kedua aturan pertanggungjawaban ini adalah bahwa dalam strict liability, unsur

kesalahan subjektif tergugat tidak perlu dibuktikan. Karena di dalam praktek tersebut

yang tidak ada di dalam strict liability hanyalah unsur kesalahan secara subjektif

(sengaja atau lalai), maka gugatan tersebut sebenarnya masih termasuk ke dalam

model pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, dalam hal ini PMH, dan bukanlah

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Singkatnya, dengan model

gugatan seperti ini, maka maka dimasukkannya strict liability di dalam gugatan

ternyata tidak membawa pengaruh apa-apa, dalam arti tidak sepenuhnya

menghilangkan unsur kesalahan karena tetap saja penggugat masih harus

membuktikan unsur kesalahan secara objektif (baca: unsur melawan hukum).

Penulis menduga bahwa penggunaan strict liability dalam model gugatan

seperti Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007) mungkin

masih dipengaruhi oleh pemahaman strict liability dalam ranah hukum pidana.

Dalam hal ini, banyak ahli hukum berpandangan bahwa strict liability dalam ranah

hukum pidana adalah pertanggungjawaban tanpa melihat adanya mens rea, kondisi

Page 30: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  30  

mentalitas, dari si pelaku.96 Pertanggungjawaban pidana ini tidak lagi membedakan

apakah perbuatan pidana dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian.

Dengan demikian, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa strict liability

dalam konteks pidana berbeda dengan strict liability dalam konteks perdata. Dalam

konteks perdata, pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (negligence) pada

dasarnya pun tidak terlalu memperhatikan adanya mens rea. Seperti telah dijelaskan

sebelumnya, dalam konteks negligence atau PMH pada ranah hukum perdata,

kesalahan seseorang sudah dianggap terbukti begitu perbuatannya dianggap perbuatan

yang melawan hukum.

Atas dasar ini maka Coleman menyatakan bahwa “[i]n torts, liability for

negligence is liability that is not defeasible by excuse. Fault liability in torts,

especially liability for negligence, therefore, does not require culpability or moral

blameworthiness”, sehingga menurut Coleman pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan di dalam konteks perdata merupakan pertanggungjawaban strict liability di

dalam konteks pidana. 97 Dalam konteks perdata, strict liability bukan hanya

menghilangkan unsur kesalahan secara subjektif, karena hal ini sudah dilakukan oleh

negligence. Dalam hal ini, seseorang yang telah melakukan kegiatan yang berbahaya

atau memiliki alat (instrumentality) yang berbahaya, maka ia bertanggungjawab atas

kerugian dari kegiatan atau penggunaan alat tersebut. Pertanggungjawaban,

karenanya, ditentukan oleh hubungan seseorang dengan kegiatannya atat penggunaan

alat (instrumentality) yang berbahaya.98 Pertanggungjawaban tidak ditentukan oleh

apakah kegiatan atau penggunaan alat tersebut melawan hukum atau tidak.

                                                                                                               96Lihat misalnya: Ricard A. Wasseestrom, “Strict Liability in the Criminal Law”, Stanford

Law Review, Vol. 12, 1960, hal.731 dan 740 atau Michael Kidd, “The Use of Strict Liability in the Prosecution of Environmental Crimes”, South African Journal of Criminal Justice, Vol. 15, 2002, hal. 24. Sementara itu, kajian Husak memperlihatkan beberapa pengertian strict liability dalam konteks pidana, termasuk di dalamnya: pertanggungjawaban untuk kesalahan yang kurang terbukti secara meyakinkan (liability that can be imposed by proof of fault less convincing than beyond a reasonable doubt), pertanggungjawaban tanpa mens rea (liability without mens rea); pertanggungjawaban tanpa alasan pembenar (liability that is not fully defeasible by justifications); pertanggungjawaban tanpa alasan pemaaf (liability that is not fully defeasible by excuses; pertanggungjawaban atasan atas perbuatan bawahan (vicarious liability); pertanggungjawaban atas perbuatan yang bukan sukarela tetapi dianggap kegiatan yang sukarela (liability for nonvoluntary conduct that includes a voluntary act); dan pertanggungjawaban atas kegiatan yang sebenarnya tidak salah (liability for relatively innocent activity). Untuk penjelasan atas jenis-jenis strict liability ini, lihat: Douglas N. Husak, “Varieties of Strict Liability”, Canadian Journal of Law and Jurisprudence, Vol. 8, 1995, hal. 189-225.

97Jules L. Coleman, op cit., hal. 219-220. 98James R. MacAyeal, “The Comprehensive Environmental Response, Compensation, and

Liability Act: The Correct Paradigm of Strict Liability and the Problem of Individual Causation”, UCLA Journal of Environmental Law & Policy, Vol. 18, 2001, hal. 232.

Page 31: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  31  

3.3.2.   Strict Liability dalam Sistem Eropa Kontinental

Bagian ini ditujukan untuk membantah pandangan bahwa strict liability hanya

cocok untuk sistem common law, dan karenanya tidak tepat diterapkan di Indonesia

yang menganut civil law. Menurut penulis, pandangan ini bukan hanya merupakan

pandangan yang ultra konservatif, tetapi juga pandangan yang tidak sesuai dengan

kenyataan karena di hampir semua negara Eropa Kontinental yang menganut civil law

nyatanya telah diadopsi strict liability dalam peraturan perundang-undangannya dan

telah pula diterapkan dalam berbagai kasus.

Dalam hal ini, menarik untuk melihat praktek di Belanda. Sejak tahun 1995,

NBW telah mengadopsi beberapa ketentuan terkait strict liability. Hal ini misalnya

dapat dilihat dalam tiga pasal di dalam Buku 6 NBW. Pertama, Pasal 6:175 memuat

ketentuan mengenai tanggung jawab mutlak atas seseorang yang kegiatan/usahanya

menggunakan atau menghasilkan bahan yang berbahaya (bijzonder gevaar). Kedua,

Pasal 6: 176 juga memberlakukan strict liability bagi pengusaha tempat pembuangan

akhir limbah (expoitant stortplaasts) atas kerugian yang timbul, sebelum atau sesudah

tempat itu ditutup, sebagai akibat dari tercemarnya udara, air, atau tanah karena

penyimpanan/pembuangan) limbah sebelum tempat itu ditutup. Pengusaha

pembuangan limbah bertanggung jawab atas semua bahan yang dibuang/disimpan

ditempat pembuangan sampah tersebut. Tanggung jawab ini berlaku tanpa

memperdulikan apakah bahan/limbah tersebut mandapat izin atau tidak, serta berlaku

pula bagi pengusaha yang telah memperoleh izin pembuangan suatu bahan namun

bahan itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh izin tersebut. Ketiga, Pasal

6:177 berisi strict liability bagi pengusaha pertambangan (boorgat). Menurut pasal

6:177 ayat 1, seorang pengusaha pertambangan bertanggung jawab atas kerugian yang

terjadi melalui pengeluaran barang tambang sebagai akibat tidak dapat dikuasainya

kekuatan alam yang diakibatkan oleh pelaksana atau ekploitasi tambang tersebut.

Di samping itu, beberapa pasal dalam Buku 8 NBW juga memuat ketentuan

terkait strict liability untuk kegiatan pengangkutan bahan-bahan yang berbahaya.

Dalam hal ini, para pemilik sarana angkutan atau pengusaha angkutan bertanggung

jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh bahan-bahan tersebut. Ketentuan-

ketentuan tersebut meliputi: Pasal 8:623 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pemilik

kapal laut), Pasal 8:1033 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pemilik kapal sungai),

Page 32: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  32  

Pasal 8:1213 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pengusaha angkutan jalan raya), dan

Pasal 8:1673 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pengusaha angkutan kereta api).

Lebih menarik lagi, jauh sebelum pengakuan di dalam UU tersebut, beberapa

putusan juga secara diam-diam telah menerapkan strict liability, meskipun rezim

pertanggungjawaban yang berlaku secara resmi adalah rezim PMH. Dalam hal ini,

Van Dunné, sebagaimana dikutip oleh Lotulung, menemukan pergeseran ke arah

strict liability di dalam beberapa putusan, yaitu: Arrest Kelderluik [HR 5 November

1965, NJ. 1966, 136], Arrest Jumbo [HR 2 Februari 1973, NJ 1973, 315], Arrest

Boerenleenbank-Van de Reek [HR 9 Maret 1973, NJ 1973, 464], Arrest Kamerik [HR

8 Januari 1982, NJ 1982, 614], dan Arrest Laadschop [HR 25 September 1981, NJ

1982, 254].99

Dari kasus-kasus tersebut van Dunné menyimpulkan bahwa dengan

diterapkannya kewajiban mengadakan penelitian, kewajiban memperingatkan,

kewajiban untuk mengambil tindakan bagi pencegahan kerugian, dan kewajiban

untuk mempertimbangkan kerugian serta pembatasannya, maka secara diam-diam

telah terjadi pergeseran dari asas kesalahan (schuldbeginsel) ke arah asas tanggung

jawab tanpa kesalahan (risicobeginsel). Hal inilah yang diistilahkan oleh Van Dunné

sebagai “pseudo-risico-aansprakelijkheid”, tanggung jawab mutlak secara semu.100

Berangkat dari kewajiban-kewajiban ini pula, maka van Dunné menyatakan bahwa

inti dari “risico-aansprakelijkheid” adalah: “…dat het scheppen een gevaarsituatie

een risico doet ontstaan dat in de sfeer van de handelende (vervuilende) partij ligt en

dat tot het nemen van maatregelen om schade te voorkomen verplicht. Het

achterwege laten daarvan leidt eo ipso tot onrechtmatig handelen”.101

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa dengan adanya kemungkinan bahwa

kerugian akan muncul maka muncul kewajiban untuk bertindak secara cermat,

termasuk di dalamnya usaha untuk mencegah timbulnya kerugian atau membatasinya.

Pelanggaran terhadap kewajiban ini, secara langsung menunjukkan adanya

pelanggaran hukum, dan karenanya menimbulkan pertanggungjawaban. Singkatnya,

                                                                                                               99Paulus Effendie Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1993), hal.83 100 J.M. van Dunné, “Milieu-aansprakelijkheid uit Onrectmatige Daad: van Schuld- naar

Risico-aansprakelijkheid”, dalam: F.C.M.A. Michiels (ed.), Zand Erover? Milieurecht in de Advocatenpraktijk, (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1989), hal.11.

101 J.M. van Dunné, “De Rechtspraak Inzake Milieu-aansprakelijkheid uit Onrechtmatige Daad: van Schuldbeginsel naar Risico Beginsel”, Tijdschrift voor Milieu Aansprakelijkheid, Vol. 1, 1987, hal.3.

Page 33: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  33  

munculnya kerugian telah merupakan bukti yang cukup bahwa telah terdapat

kegagalan mencegah dan mengatasi kerugian, sehingga sudah merupakan bukti

adanya perbuatan melawan hukum.

Tentu saja pengadopsian dan penerapan strict liability tidak hanya terjadi di

Belanda. Beberapa negara Eropa lainnya, seperti Jerman, Austria, Belgia, dan

Perancis secara konsisten telah menerapkan dan mengadopsi pula strict liability.

Oleh para guru besar tort di Eropa yang tergabung dalam European Group on Tort

Law, praktek penerapan strict liability di negara-negara Eropa ini kemudian ditarik

benang-merahnya serta dimasukkan ke dalam prinsip-prinsip pertanggungjawaban

perdata Eropa (Principles of European Tort Law). Di dalam prinsip-prinsip ini, strict

liability dirumuskan di dalam Pasal 5:101 ayat 1 yang menyatakan bahwa “[a] person

who carries on an abnormally dangerous activity is strictly liable for damage

characteristic to the risk presented by the activity and resulting from it.” Selanjutnya,

ukuran kegiatan yang sangat berbahaya dirumuskan dalam Padal 5:101 ayat 2 yang

berbunyi: “[a]n activity is abnormally dangerous if: a). it creates a foreseeable and

highly significant risk of damage even when all due care is exercised in its

management, and b). it is not a matter of common usage”.102

3.3.3.   Strict Liability dan Pembuktian Terbalik

Beberapa literatur hukum lingkungan di Indonesia juga menyamakan strict

liability dengan pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur. Dalam konteks

pembuktian terbalik, Rangkuti misalnya berpendapat bahwa strict liability “biasanya

diimbangi dengan beban pembuktian terbalik”.103 Pendapat yang lebih tegas dalam

menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari pendapat

Arifin yang menyatakan bahwa “[b]erkaitan dengan asas tanggung jawab mutlak ini

adalah beban pembuktian, yang beralih dari pihak penggugat ke tergugat”.104

                                                                                                               102Untuk pembahasan lebih lanjut tentang rumusan strict liability ini, lihat: Bernhard A. Koch,

“Chapter 5: Strict Liability”, dalam: European Group on Tort Law, Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005), hal. 101-111.

103 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga University Press, 2005), hal. 201.

104Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (Softmedia, 2011), hal. 173. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Machmud yang menyatakan bahwa “[s]trict liability bermaksud bahwa unsur kesalahan dari tergugat tidak perlu dibuktikan lagi oleh penggugat, dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat, bahwa dia benar-benar tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan. Dengan demikian beban pembuktiannya adalah beban pembuktian terbalik (shifting the burden of proof)”. Lihat: Syahrul Machmud, Penegakan Hukum

Page 34: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  34  

Terkait dengan res ipsa loquitur, Siahaan menyatakan bahwa “[d]i sini [dalam

strict liability—penulis] berlaku asas “res ipso [sic!] loquitur”, yaitu fakta sudah

berbicara sendiri (the thing speaks for itself).” 105 Pendapat ini diamini oleh Arifin

yang mengutip pernyataan Siahaan bahwa “[d]alam asas Strict Liability, kesalahan

(fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku

bertanggung jawab, di sini berlaku asas “res ipso loquitur”.106

Pendapat seperti ini tidaklah sepenuhnya tepat. Sebelum menjelaskan lebih

jauh alasan penulis, maka ada baiknya jika terlebih dahulu kita bahas pengertian dari

res ipsa loquitur.

Secara harfiah, res ipsa loquitur berarti fakta berbicara sendiri. Ini adalah

sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan pembuktian terbalik. Menurut doktrin

ini, kesalahan (dalam arti perbuatan melawan hukum, negligence) dari tergugat

diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk

membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Doktrin ini biasanya diterapkan jika beberapa

syarat terpenuhi, yaitu: a). Kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan

penyebabnya. Dalam hal ini, harus dipenuhi unsur “unknown cause”; b). Kerugian

dianggap hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper care),

atau karena adanya negligence. Dengan demikian, diasumsikan bahwa tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum (negligence) berupa kurangnya kehati-hatian;

dan c). Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang

terjadi. Unsur terakhir ini merupakan penjelasan mengapa tergugat diasumsikan

sudah terbukti melakukan negligence (sudah terbukti bersalah/melawan hukum).107

Dalam putusan pengadilan, persyaratan res ipsa loquitur dapat dilihat,

misalnya, dalam Berdella Vaughn Seavers, et al. v. Methodist Medical Center of Oak

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 (Graha Ilmu, 2012), hal. 211.

105N.H.T. Siahaan, op cit., hal. 317. 106Syamsul Arifin, op cit. hal. 173. 107Lihat: Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, 4th ed. (Cavendish Publishing Limited,

2000), hal. 144-145. Sementara itu, Carr menjelaskan tiga syarat dari res ipsa loquitur sebagai berikut. Pertama, kerugian terjadi hanya karena adanya kurangnya kehati-hatian (lack of due care). Atau dengan kata lain, adanya negligence. Atau dengan dalam konteks Indonesia, adanya pelanggaran hukum. Kedua, pengadilan menganggap bahwa tergugatlah yang sepenuhnya memiliki kontrol atas perbuatan yang mengakibatkan terjadinya kerugian. Ketiga, pengadilan pun menganggap bahwa tergugatlah yang memiliki informasi dan pengetahuan tentang penyebab terjadinya kerugian. Lihat: Charles L. Carr, “Proper Interpretation of the Res Ipsa Loquitur Doctrine in Missouri Today”, Kansas City Law Review, Vol. 4(8), 1936, hal. 616-617. Lihat pula persyaratan yang relatif mirip, misalnya, dalam: Nathan Hershey, “Res Ipsa Loquitur”, The American Journal of Nursing, Vol. 63(11), 1963, hal. 101-102; dan Joseph D. Bulman, “Res Ipsa Loquitur: When Does It Apply?”, Insurance Law Journal, Vol. 20, 1961, hal. 21 dan 25.

Page 35: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  35  

Ridge (1999) yang menyatakan bahwa untuk memberlakukan res ipsa loquitur,

penggugat masih memiliki beban untuk membuktikan bahwa kerugiannya diakibatkan

oleh peralatan/kegiatan (instrumentality) yang sepenuhnya berada di dalam kontrol

tergugat; serta membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya biasanya tidak akan

terjadi tanpa adanya negligence.108 Sedangkan di dalam John B. Wells v. Norfolk

Southern Railway Company, et al (2005), Hakim Phillips menyatakan bahwa res ipsa

loquitur bukanlah sebuah aturan tentang pertanggungjawaban, melainkan sebuah

aturan tentang pembuktian. Dalam konteks ini, agar res ipsa loquitur dapat

diterapkan penggugat memiliki beban untuk: a). menunjukkan bagaimana

kerugiannya terjadi; b). membuktikan bahwa kerugiannya adalah kerugian yang biasa

terjadi karena adanya negligence; c). membuktikan bahwa kerugiannya disebabkan

oleh instrumentality yang sepenuhnya berada di dalam kontrol tergugat.109

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa res ipsa loquitur mirip dengan

pembuktian terbalik terbatas. Tergugat bertanggung jawab karena ia diasumsikan

telah melakukan perbuatan melawan hukum (negligence). Tergugat masih bisa lepas

dari pertanggungjawaban jika ia berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah (yaitu

bahwa perbuatannya tidak melawan hukum).110 Dengan kata lain, res ipsa loquitur

sebenarnya masih berada dalam ranah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.

Hanya saja, berbeda dengan PMH biasa (negligence), di dalam doktrin res ipsa

loquitur, negligence dianggap telah terbukti, sehingga tergugatlah yang memiliki

beban untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan negligence.

Beberapa pengarang di AS memang menafsirkan bahwa res ipsa loquitur

dapat digolongkan ke dalam strict liability.111 Namun penulis menganggap bahwa res

                                                                                                               108Supreme Court of Tennessee, Berdella Vaughn Seavers, et al. v. Methodist Medical Center

of Oak Ridge (1999), 9 S.W.3d 86, hal. 91. 109United States District Court, E.D. Tennessee, Northern Division, John B. Wells v. Norfolk

Southern Railway Company, et al (2005), 2005 WL 2211152, hal. 2. 110Model pertanggungjawaban seperti ini adalah model pertanggungjawaban yang dianut oleh

UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, LN tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821. Pada awalnya, Pasal 19(1) ini menyatakan bahwa “[p]elaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Kalau pertanggungjawaban dirumuskan hanya dengan ketentuan seperti ini, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa UU No. 8 tahun 1999 telah menerapkan strict liability. Akan tetapi ketentuan tersebut “dilemahkan” oleh ketentuan pada Pasal 28 yang menyatakan bahwa “[p]embuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.” Ketentuan Pasal 28 UU No. 8 tahun 1999 inilah yang telah mengubah strict liability dalam pasal 19(1) menjadi res ipsa loquitur, sehingga apabila tergugat/produsen dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia terbebas dari pertanggungjawaban.

111 Peck, misalnya, menyatakan bahwa strict liability atau setidaknya pertanggungjawaban yang menghilangkan/mengurangi syarat adanya kesalahan (liability without fault), telah dipraktekkan

Page 36: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  36  

ipsa loquitur belumlah sepenuhnya merupakan strict liability, karena pada dasarnya

masih merupakan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Pandangan penulis ini

didasarkan pada dua alasan. Pertama, strict liability tidak menganut pembuktian

terbalik. Di dalam strict liability penggugat masih harus membuktikan adanya

kerugian dan hubungan kausal antara kerugian dengan kegiatan tergugat. Jika

kemudian tergugat berdalih dan membuktikan bahwa kerugian yang diderita bukanlah

karena perbuatan tergugat, melainkan misalnya karena force majeure, maka hal ini

tidaklah menunjukkan adanya unsur pembuktian terbalik di dalam strict liability,

sebab apa yang dilakukan oleh tergugat ini merupakan pelaksanaan dari prinsip umum

hukum yaitu “siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan”. Artinya, dalam

contoh seperti ini pun tidak ada pembuktian terbalik. Kedua, di dalam strict liability

tergugat tetap bertanggung jawab meskipun ia mampu membuktikan bahwa

kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan yang melawan hukum;

sedangkan di dalam pembuktian terbalik (terutama dalam hal res ipsa loquitur),

tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban jika ia mampu membuktikan bahwa

perbuatannya tidak melawan hukum (negligence).112

Doktrin res ipsa loquitur biasanya digunakan sebagai jembatan untuk

memuluskan perubahan/pergeseran dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan

(negligence) menuju strict liability. Dalam fungsi ini, maka meskipun pada dasarnya

yang berlaku adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, namun hakim

melakukan terobosan yang menguntungkan penggugat dengan menetapkan

pembuktian terbalik (terutama dalam hal unsur melawan hukum atau negligence).113

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             sejak lama di dalam sistem Common Law. Peck menyatakan bahwa termasuk ke dalam jenis pertanggungjawaban tanpa kesalahan (atau setidaknya mengarah pada pertanggungjawaban tanpa kesalahan) adalah aturan hukum mengenai trespass, vicarious liability, pertanggungjawaban untuk produk yang cacat, dan doktrin res ipsa loquitur. Cornelius J. Peck, op cit., hal. 237-238.

112 Pendapat penulis ini sejalan dengan pandangan Ketua MA di dalam Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa: “c) Strict Liability bukan pembuktian terbalik. Pembuktian bukan untuk kesalahannya. Walaupun sudah melakukan semua upaya sesuai peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, tetap harus bertanggung jawab—[garis bawa dari penulis].”

113Faure dan Hartlief, misalnya, mencatat bahwa pergeseran ke arah strict liability di dalam rezim yang sebenarnya masih menggunakan pertanggungajawban berdasarkan kesalahan antara lain dapat dilihat, misalnya, dalam: pertama, pengadilan sering kali menguntungkan (berpihak) kepada para korban melalui perluasan interpretasi asas kesalahan. Dalam hal ini, segera setelah kerugian fisik ditimbulkan sebagai akibat suatu kegiatan industri, maka tergugat dianggap telah melakukan kesalahan. Kedua, di dalam beberapa kasus, meskipun keberadaan asas kesalahan masih tetap diteruskan, namun hakim memberlakukan pembuktian terbalik. Artinya, tergugat akan bertanggungjawab kecuali dia membuktikan tidak bersalah. Beban pembuktian karenanya beralih dari penggungat ke tergugat. Lihat: Michael Faure dan Ton Hartlief, “Toward an Expanding Enterprise Liability in Europe? How to

Page 37: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  37  

Persoalannya adalah, kita sudah memiliki ketentuan perundang-undangan tentang

strict liability, sehingga jembatan tersebut sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi.

Dengan ketentuan tersebut, yang kita terapkan seharusnya strict liability secara utuh,

dan bukan lagi pseudo-strict liability.

3.3.4.   Format Gugatan Strict Liability: Belajar dari Praktek di AS

Di dalam gugatan di AS, penggugat akan menunjukkan dasar gugatan (count),

dengan menjelaskan fakta-fakta yang secara spesifik terkait dengan setiap unsur dari

dasar pertanggungjawaban. Dalam sebuah gugatan, penggugat dapat menggunakan

beberapa dasar gugatan (count) secara sekaligus. Yang perlu diperhatikan di sini

adalah bahwa penggugat tidak mencampuradukkan antara satu dasar gugatan dengan

dasar gugatan lainnya.

Misalnya, pada sebuah count yang didasarkan pada negligence, maka penggugat

akan menjelaskan: a). kewajiban hukum (duty of care) apa saja yang harus ditunaikan

oleh tergugat, b). dengan cara apa tergugat melanggar duty of care tersebut, c). apa

saja kerugian yang diderita oleh penggugat, d). argumen-argumen untuk menunjukkan

bahwa pelanggaran duty of care tersebutlah yang telah menimbulkan kerugian pada

pihak penggugat. Dengan kata lain, di dalam setiap count penggugat akan mencoba

memaparkan posita untuk membuktikan tiap unsur dari dasar pertanggungjawaban

yang digunakannya. Selanjutnya, dalam bagian akhir dari setiap count, penggugat

akan meminta pengadilan untuk memutuskan bahwa tergugat bertanggungjawab dan

membayar ganti rugi yang diminta.

Dalam Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms dimuat beberapa contoh dari

gugatan (complaint), yang diadopsi pada gugatan yang sesungguhnya. Dalam sebuah

contoh gugatan, diperlihatkan sebuah gugatan atas kerugian pada properti penggugat                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Analyze the Scope of Liability of Industrial Operators and Their Insurers”, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Vol. 3, 1996, hal. 243-248.

Hal senada juga ditunjukkan oleh Giesen yang menyebut bahwa pembuktian terbalik sebagai jembatan bagi terjadinya pergeseran antara negligence dengan strict liability. Lihat: Ivo Giesen, “The Reversal of the Burden of Proof in the Principles of European Tort Law: A Comparison with Dutch Tort Law and Civil Procedure Rules”, Utrecht Law Review, Vol. 6(1), 2010, hal. 25.

Di Belanda, van Dunné menyebut pergeseran ini sebagai pseudo-risico aansprakelijkheid, yaitu strict liability semu. Artinya, beberapa putusan pengadilan menunjukkan adanya pergeseran ke arah strict liability, meskipun KUHPerdata-nya masih tetap berlandaskan pada pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (PMH). Lihat: J.M. van Dunné, “De Rechtspraak Inzake Milieu-aansprakelijkheid uit Onrechtmatige Daad: van Schuldbeginsel naar Risicobeginsel”, dalam: Tijdschrift voor Milieu Aansprakelijkheid, Nr.1, 1987, hal.3. Lihat pula: J.M. van Dunné, “Een Kamikaze-aktie op de Rotte; de Visie van Vranken op de Aansprakelijkheid uit art. 1401 BW, in het Bijzonder bij Bodemvervuiling uit het Verleden”, Weekblad voor Privaatrecht, Notariaat en Registratie, 121e jrg., nr. 5976, 1990, hal. 615-616.

Page 38: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  38  

oleh kontaminasi bensin yang diduga berasal dari tergugat. Dalam count yang

didasarkan pada strict liability, contoh gugatan ini memperlihatkan bahwa kegiatan

tergugat berupa pengurusan dan penyimpanan bensin serta produk minyak lainnya

(handling and storing of gasoline and other petroleum products) adalah kegiatan yang

“abnormally dangerous”. Setelah itu, dijelaskan pula bahwa dalam kurun waktu

tertentu tergugat telah terlibat dalam kegiatan tersebut. Penggugat kemudian

menegaskan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat kegiatan tergugat

tersebut. Selanjutnya tergugat pun menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam

kegiatan yang berbahaya “abnormally dangerous activity” harus bertanggungjawab

atas kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut. Count ini kemudian ditutup

dengan permintaan agar tergugat bertanggungjawab untuk membayar ganti kerugian

sejumlah yang diminta oleh penggugat.114 Dalam contoh berikutnya, dipaparkan pula

sebuah gugatan yang didasarkan pada kerugian penggugat karena propertinya

terkontaminasi oleh bensin dari fasilitas tangki bawah tanah (underground tank) milik

tergugat dan pembongkaran (demolition) fasilitas tersebut yang dilakukan tergugat.

Pada count yang didasarkan pada strict liability, penggugat pertama-tama

memaparkan bahwa tergugat telah terlibat dalam penyimpanan bensin di dalam

fasilitas tangki bawah tanah dan pembongkaran fasilitas tersebut. Selanjutnya,

penggugat menjelaskan pula bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang

“abnormally dangerous”. Penggugat kemudian memaparkan bahwa kerugian yang

dideritanya diakibatkan oleh kegiatan tergugat. Dinyatakan pula bahwa berdasarkan

strict liability, seseorang yang terlibat dalam kegiatan yang abnormally dangerous

bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi karena kegiatan tersebut. Pada akhir

dari count ini, penggugat meminta agar tergugat membayar ganti rugi sejumlah yang

diminta oleh pihak penggugat.115

                                                                                                               114 Obermayer Rebmann Maxwell dan Hippel LLP, "Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms,

Chapter 132: Form 132.200-10", dalam: Obermayer (ed), Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms (Bisel Associates, Inc. dan Matthew Bender and Co., Inc., 2013), paragraf 21-25, diakses dari: <https://www.lexisnexis.com>, pada bulan Oktober 2013.

115 Obermayer Rebmann Maxwell dan Hippel LLP, "Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms, Chapter 132: Form 132.200-20", dalam: Obermayer (ed), Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms (Bisel Associates, Inc. dan Matthew Bender and Co., Inc., 2013), paragraf 40-42, diakses dari: <https://www.lexisnexis.com>, pada bulan Oktober 2013.

Contoh yang sama mengenai penyusunan count berdasarkan strict liability juga dapat dilihat dari: James D. Pagliaro dan Deanne L. Miller, “Environmental Law Practice Guide, III, Chapter 33 , Part C: § 33.09 Sample Complaint”, paragraf 35-39, dalam: Michael B. Gerrard (ed.), Environmental Law Practice Guide (Matthew Bender, 2013), diakses dari: <https://www.lexisnexis.com>, pada bulan Oktober 2013.

Page 39: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  39  

Dalam praktek sesungguhnya, bentuk gugatan yang diajukan juga memiliki

format yang hampir sama dengan yang dipaparkan dalam contoh di atas.116 Misalnya

saja dapat kita lihat dalam complaint yang diajukan penggugat dalam Patricia A.

Beldon v. Potomac Electric Power Company (PEPCO), yang daftarkan pada Circuit

Court of Maryland tanggal 27 Januari 2004. PEPCO adalah perusahaan yang

mendistribusikan listrik di daerah tempat tinggal penggugat. Sedangkan penggugat

adalah seorang yang propertinya terbakar karena tersengat aliran listrik dari kawat

listrik yang didistribusikan oleh tergugat. Sebelum peristiwa naas tersebut terjadi,

pihak penggugat telah berkali-kali menghubungi pihak tergugat agar memperbaiki

kawat aliran listrik yang telah menjuntai dan membahayakan orang di sekitarnya.

Akan tetapi pihak tergugat tidak pernah mengirimkan petugas untuk memperbaiki

kawat listrik tersebut, sehingga terjadilah peristiwa naas yang menyebabkan

terbakarnya properti penggugat. Dalam gugatan ini penggugat menggunakan

beberapa dasar gugatan (count), yaitu count atas dasar strict liability terkait

“abnormally dangerous activity”, count atas dasar PMH (negligence), count atas

dasar kesengajaan (dalam hal ini, Intentional Infliction of Emotional Distress), dan

count atas dasar strict liability terkait dengan tanggung jawab produk (product

liability). Di dalam count untuk strict liability terkait “abnormally dangerous

activities”, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membiarkan saluran listrik

menjuntai dan tidak memperbaikinya, sehingga secara sadar telah terlibat dalam

kegiatan yang berbahaya. Kegiatan tergugat tersebut memiliki resiko munculnya

kerugian yang sangat besar. Kerugian ini kemudian benar-benar terjadi, yang

mengakibatkan properti penggugat terkena sengatan listrik dan terbakar. Penggugat

menyatakan bahwa karena tergugat telah terlibat dalam kegiatan yang berbahaya,

maka ia bertanggungjawab berdasarkan strict liability dan bertanggung jawab untuk

membayar ganti rugi sebesar $500.000 dan membayar ganti rugi hukuman (punitive

damages) sebesar $150.000.000.117 Sedangkan di dalam count yang didasarkan pada

negligence, penggugat menyatakan bahwa kerugian penggugat diakibatkan oleh

kesalahan (negligence) tergugat berupa kegagalan untuk segera mematikan aliran

                                                                                                               116Perlu diutarakan di sini bahwa contoh yang diberikan oleh penulis di sini tidak didasarkan

pada apakah gugatan tersebut telah dimenangkan oleh penggugat atau tidak. Maksud dari dijelaskannya contoh-contoh gugatan ini adalah untuk memperlihatkan format dari sebuah gugatan strict liability, sehingga hasil akhirnya dari putusan pengadilan tentang gugatan tersebut tidaklah menjadi pertimbangan penulis dalam konteks ini.

117 Circuit Court of Maryland , Patricia A. Beldon, Plaintiff, v. Potomac Electric Power Company (2004), 2004 WL 5274838, paragraf 68-78.

Page 40: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  40  

listrik pada kabel listrik yang menjuntai di atas properti penggugat. Penggugat

meminta pengadilan untuk menyatakan bahwa tergugat bertanggung jawab untuk

membayar ganti rugi sebesar $500.000.00 dan membayar ganti rugi hukuman

(punitive damages) sebesar $150.000.000.118

Dalam Lemmons v. Howard County Board of Education, yang didaftarkan

pada Circuit Court of Maryland tanggal 24 Oktober 2008, penggugat adalah orang tua

dari seorang murid yang mengalami kecelakaan pada waktu melakukan praktek di

laboratorium sekolah. Sedangkan tergugat adalah pengelola sekolah negeri di

Maryland. Pada saat melakukan praktek yang menggunakan asam sulfat (sulfuric

acid), anak dari penggugat telah mengikuti petunjuk yang diberikan oleh gurunya.

Akan tetapi, pada saat memindahkan asam sulfat ke sebuah gelas, gelas tersebut jatuh

dan pecah. Pada saat gelas tersebut jatuh, asam sulfat yang berada di dalamnya

tumpah, sehingga kemudia mengenai dan melukai wajah, leher, kaki, dan tangan dari

anak penggugat. Pada gugatan ini, penggugat menggunakan dua count, yaitu count

tentang negligence, dan count tentang strict liability. Dalam count tentang

negligence, penggugat menjelaskan bahwa tergugat memiliki kewajiban hukum untuk

memastikan bahwa kegiatan eksperimen laboratorium dilakukan secara aman. Akan

tetapi tergugat kemudian mengizinkan siswa yang belum berpengalaman melakukan

eksperimen untuk melakukan eksperimen tanpa dilengkapi pengaman. Kegagalan

tergugat untuk melaksanakan kewajibannya antara lain berupa kegagalan untuk

menyediakan pelindung muka, kegagalan untuk memberikan peringatan kepada anak

penggugat terkait bahaya dari ekperimen yang akan diikutinya, diizinkannya anak

penggugat mengikuti dan melakukan ekperimen meskipun pada saat itu dirinya

mengenakan celana pendek dan kaus sehingga tidak aman untuk melakukan

eksperimen, serta kegagalan untuk mengawasi eksperimen yang dilakukan oleh anak

penggugat. Sebagai akibat dari adanya pelanggaran kewajiban (breach of duty) oleh

tergugat ini, maka anak penggugat mengalami kerugian berupa luka-luka akibat dari

eksperimen yang diikutinya. Atas kerugian ini penggugat meminta agar pengadilan

menetapkan bahwa tergugat bertanggung jawab untuk mengganti kerugian sebesar

$500.000.119 Sedangkan untuk count yang didasarkan pada strict liability, penggugat

menjelaskan bahwa asam sulfat merupakan bahan yang berbahaya dan dapat                                                                                                                

118 Circuit Court of Maryland , Patricia A. Beldon, Plaintiff, v. Potomac Electric Power Company (2004), 2004 WL 5274838, paragraf 79-81.

119Circuit Court of Maryland, Lemmons v. Howard County Board of Education (2009), 2009 WL 5164418 , paragraf 13-16.

Page 41: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  41  

menyebabkan luka serius apabila terkena tubuh. Selanjutnya, penggugat menyatakan

bahwa tergugat seharusnya mengetahui bahwa percobaan yang dilakukan oleh

seorang anak yang belum berpengalaman, dan melibatkan bahan yang berbahaya,

merupakan kegiatann yang memiliki resiko besar, dan karenanya termasuk

“abnormally dangerous activity”. Penggugat menyatakan bahwa anak penggugat

menderita kerugian (luka-luka serius) sebagai akibat dari kegiatan “abnormally

dangerous” yang berada di bawah pengawasan tergugat. Atas dasar ini maka

penggugat meminta agar hakim menetapkan tergugat bertanggung jawab untuk

mengganti kerugian sebesar $500.000.120

Bentuk gugatan yang salah satunya didasarkan pada strict liability juga dapat

dilihat dalam gugatan Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding,

Inc., et al. (2002), yang didaftarkan pada United States District Court, N.D. Illinois

tanggal 27 Maret 2002. Dalam gugatan ini, penggugat adalah petani jagung,

sedangkan tergugat adalah perusahaan benih yang memproduksi benih jagung

transgenik (benih hasil rekayasa genetik, Genetically Modified Organisms—GMOs)

dengan nama benih “Starlink”. Karena belum terbukti aman bagi manusia, maka

tergugat hanya diberikan izin oleh pemerintah untuk menjual benih jagung “StarLink”

terbatas bagi pakan hewan. Pada akhir tahun 1990-an, Aventis menghadapi persoalan

besar karena jagung dan produk jagung untuk konsumsi manusia diketahui telah

“tercemar” dan tercampur dengan jagung dari benih “StarLink”. Aventis menghadapi

berbagai gugatan hukum dari petani jagung yang merasa dirugikan karena

“pencemaran” ini. Salah satu kasus yang dihadapi adalah yang diajukan oleh

penggugat dalam kasus ini. Penggugat mengajukan gugatan atas nama dirinya dan

petani-petani lain yang menghadapi persoalan serupa. Penggugat menggunakan

beberapa dasar gugatan, di antaranya count terkait negligence dan count terkait strict

liability. Dalam count terkait negligence, penggugat menunjukkan bahwa tergugat

memiliki kewajiban untuk menjual dan mendistribusikan “StarLink” sesuai dengan

persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah (dalam hal ini Environmental Protection

Agency, EPA), serta sesuai dengan cara yang tidak akan menimbulkan kerugian pada

pihak penggugat. Akan tetapi, tergugat melanggar kewajiban-kewajiban ini.

Penggugat menyatakan bahwa pelanggaran kewajiban oleh tergugat ini adalah

penyebab terdekat (proximate cause) dari kerugian yang diderita oleh penggugat.                                                                                                                

120Circuit Court of Maryland, Lemmons v. Howard County Board of Education (2009), 2009 WL 5164418, paragraf 17-22.

Page 42: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  42  

Selanjutnya penggugat menjelaskan kerugian-kerugian apa saja yang diakibatkan

pelanggaran kewajiban oleh tergugat.121 Dalam count yang didasarkan pada strict

liability, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah memproduksi, menjual, dan

mendistribusikan benih jagung “StarLink” transgenik yang tidak cocok untuk

konsumsi manusia. Produk jagung transgenik ini dapat tercampur dengan, dan

mengkontaminasi, produk jagung yang non-transgenik dan dapat dikonsumsi

manusia. Kontaminasi dan pencampuran jagung ini tidak akan bisa dihindarkan

meskipun tergugat telah bertindak hati-hati. Penggugat juga menyatakan bahwa

sistem produksi pertanian di AS tidaklah cocok dengan kegiatan tergugat berupa

produksi, penjualan, dan distribusi jagung transgenik “StarLink”. Di samping itu,

penggugat pun menyatakan bahwa keuntungan tergugat memproduksi “StarLink”

tidaklah sebanding dengan kerugian besar yang dialami oleh penggugat dan petani

jagung lainnya di AS. Penggugat menyatakan bahwa dengan tercampurnya produk

jagung dari penggugat dengan jagung “StarLink”, maka penggugat mengalami

kerugian berupa ditolaknya jagung penggugat oleh pasar jagung, karena dianggap

telah terkontaminasi oleh produk jagung “StarLink”. 122 Pada bagian akhir dari

gugatannya, penggugat meminta agar pengadilan menetapkan tergugat bertanggung

jawab berdasarkan dasar gugatan (count) yang diajukan penggugat, serta membayar

kerugian-kerugian yang diderita oleh para penggugat.123

Dari uraian di atas terlihat bahwa gugatan di AS seringkali didasarkan pada

banyak dasar gugatan (count). Terlihat pula bahwa untuk setiap count yang diajukan,

penggugat akan menjelaskan fakta-fakta secara khusus, yang terkait dengan

pembuktian unsur-unsur pertanggungjawaban yang menjadi dasar dari masing-masing

count. Untuk count yang didasarkan pada strict liability, terlihat bahwa penggugat

hanya akan menunjukkan: pertama, bahwa kegiatan tergugat dapat dikenakan strict

liability, yang biasanya ditunjukkan dengan beberapa kriteria terkait “abnormally

dangerous test” dari kegiatan tergugat; kedua, bahwa penggugat mengalami kerugian;

dan ketiga, kerugian ini disebabkan oleh kegiatan dari tergugat. Selain itu, penggugat

secara tegas memisahkan antara count yang didasarkan pada pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan dengan count yang didasarkan pada pertanggungjawaban tanpa                                                                                                                

121United States District Court, N.D. Illinois, Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), 2002 WL 32600026 (N.D.Ill.), paragraf 104-109.

122United States District Court, N.D. Illinois, Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), 2002 WL 32600026 (N.D.Ill.), paragraf 120-127.

123United States District Court, N.D. Illinois, Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), 2002 WL 32600026 (N.D.Ill.), Request for Relief, paragraf 2-3.

Page 43: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  43  

kesalahan, dalam hal ini antara negligence dengan strict liability. Pada count untuk

negligence, penggugat akan memperlihatkan pelanggaran hukum dari tergugat, yaitu

pelanggaran kewajiban (duty of care) oleh tergugat, dan bahwa pelanggaran hukum

inilah yang telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat. Sedangkan dalam

count berdasarkan strict liability, penggugat sama sekali tidak menyinggung bahwa

tergugat telah melakukan pelanggaran hukum.

4.   Pembuktian

4.1.  Pembuktian Kesalahan dan Strict Liability

Seperti dijelaskan pada bagian sebelum, baha di alam pertanggungjawaban

berdasarkan PMH, selain harus membuktikan kerugian dan kausalitas (yang akan

dijelaskan pada Sub Bagian selanjutnya), penggugat juga harus membuktikan unsur

kesalahan dan sifat melawan hukum. Pembahasan pada bagian sebelumnya

memaparkan bahwa pembuktian soal kedua hal ini sepenuhnya tergantung dari

penafsiran apakah kesalahan diartikan secara subjektif atau objektif. Jika yang dianut

adalah kesalahan dalam arti objektif, maka untuk membuktikan kesalahan penggugat

hanya perlu membuktikan adanya perbuatan yang melanggar hukum. Begitu unsur

melawan hukum ini terbutkti, maka tergugat akan dianggap bersalah. Kesalahan

karenanya bukanlah merupakan unsur tersendiri yang harus dibuktikan secara terpisah

dari unsur melawan hukum. Sebaliknya, jika kesalahan diartikan secara subjektif,

maka selain harus membuktikan adanya perbuatan yang melawan hukum, penggugat

juga masih harus membuktikan adanya kesalahan secara subjektif, yaitu bahwa

perbuatan tergugat dilakukan secara sengaja atau karena kelalaiannya.

Di dalam konteks strict liability, kesalahan dalam arti subjektif dan objektif

tersebut tidak lagi harus dibuktikan. Artinya, seseorang masih harus

bertanggungjawab secara perdata, meskipun ia tidak melakukan kesalahan secara

subjektif dan objektif. Atau dengan kata lain, seseorang masih harus

bertanggungjawab, meskipun ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan

tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian dari perbuatannya.

Jika kesalahan dan sifat melawan hukum (dalam arti melanggar kewajiban

atau kehati-hatian) dari perbuatan tergugat tidak perlu dibuktikan, maka

pertanyaannya apakah di dalam strict liability penggugat masih memiliki beban

pembuktian? Untuk menjawab pertanyaan ini, Coleman menyatakan bahwa dalam

strict liability, penggugat memiliki beban untuk membuktikan bahwa: a). terugat telah

Page 44: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  44  

melakukan sebuah kegiatan; b). penggugat telah mengalami kerugian; dan c). bahwa

kerugian tersebut disebabkan oleh kegiatan tergugat.124

Pernyataan Coleman di atas menunjukkan bahwa pandangan yang menyatakan

bahwa strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa pembuktian (dalam hal

kausalitas) dan juga bahwa strict liability adalah pembuktian terbalik, adalah

pandangan yang keliru. Di dalam beberapa kasus di AS, terlihat jelas bahwa strict

liability tidak membebaskan penggugat dari seluruh beban pembuktian, karena

penggugat masih harus membuktikan beberapa hal. Salah satu putusan terpenting

terkait hal ini adalah pendapat Hakim Baldwin dalam Michael Caporale et al. v. C.

W. Blakeslee and Sons, Inc. (1961), yang menyatakan:125

“To impose liability without fault, certain factors must be present: an instrumentality capable of producing harm; circumstances and conditions in its use which, irrespective of a lawful purpose or due care, involve a risk of probable injury to such a degree that the activity fairly can be said to be intrinsically dangerous to the person or property of others; and a causal relation between the activity and the injury for which damages are claimed.”

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa dalam kasus strict liability, penggugat

harus membuktikan tiga hal, yaitu: Pertama, adanya alat atau kegiatan (yang disebut

instrumentality), yang dapat menimbulkan bahaya. Kedua, bahwa berdasarkan

kondisi tertentu, penggunaan alat atau kegiatan itu memiliki resiko untuk

menimbulkan kerugian yang besar sehingga dapat dianggap sebagai alat/kegiatan

yang secara intrinsik bersifat berbahaya. Ketiga, bahwa kerugian yang diderita oleh

penggugat diakibatkan oleh alat/kegiatan tergugat tersebut.

Kutipan di atas juga secara tegas memperlihatkan bahwa apakah kegiatan

tergugat merupakan kegiatan yang melawan hukum atau tidak serta apakah kegiatan

itu dilakukan dengan melawan hukum atau tidak, bukanlah hal yang perlu dibahas

dalam strict liability. Dalam kutipan di atas, hal ini tampak jelas dari frasa

“irrespective of a lawful purpose or due care”. Dengan kata lain, maka dalam strict

liability, seseorang yang meskipun tidak melakukan perbuatan melawan hukum

(dalam arti melanggar kewajiban atau kehati-hatian), tetapi telah melakukan kegiatan

                                                                                                               124 Coleman juga menyatatakan bahwa berbeda dengan pembuktian pada strict liability,

pembuktian dalam negligence mensyaratkan penggugat untuk membuktikan bahwa: a). tergugat telah melakukan kegiatan; b). tergugat telah melakukan kesalahan (melawan hukum) dalam menjalankan perbuatannya; c). penggugat mengalami kerugian; dan d). kerugian tergugat disebabkan oleh perbuatan tergugat yang salah tersebut. Lihat: Jules J. Coleman, op cit., hal. 212.

125Supreme Court of Errors of Connecticut, Michael Caporale et al. v. C. W. Blakeslee and Sons, Inc. (1961), 149 Conn. 79, hal 85; 175 A.2d 561, hal. 564.

Page 45: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  45  

yang sangat berbahaya, dan dari kegiatan tersebut muncul kerugian, maka ia harus

bertanggung jawab.

Pendapat Hakim Baldwin tersebut di atas dikutip dan disetujui oleh beberapa

putusan, di antaranya: Mollie Levenstein v. Yale University (1984),126 Arawana Mills

Co. v. United Technologies Corp. (1992),127 Morill Barnes v. General Electric Co.,

et al. (1995),128 dan Mary-Louise N. Albahary, et al. v. City and Town of Bristol,

Connecticut (1997).129

Beban pembuktian yang dituangkan dalam Michael Caporale et al. v. C. W.

Blakeslee and Sons, Inc. (1961) memperlihatkan bahwa penggugat memiliki beban

pembuktian terkait dua hal: Pertama-tama, penggugat harus membuktikan bahwa

kegiatan tergugat adalah kegiatan yang “abnormally dangerous”, sehingga dapat

dikenakan strict liability; selanjutnya, penggugat harus membuktikan pula bahwa

kegiatan tergugat tersebut lah yang telah menyebabkan kerugian yang diderita

penggugat. Dalam konteks terakhir inilah kita bersentuhan dengan persoalan

pembuktian kausalitas.

4.2.  Pembuktian Kausalitas antara Perbuatan (atau Kegiatan) dengan Kerugian

Terkait kausalitas, Galligan menyebukan bahwa dalam prakteknya, unsur

kausalitas ini akan dibuktikan dalam bentuk “cause-in-fact” dan “proximate

cause”.130 Cause in fact akan diuji berdasarkan apa yang disebut sebagai “the but for

test”.

Terkait pengujian cause in fact, Owen berpendapat bahwa sebuah perbuatan

dikatakan sebagai sebab faktual (cause in fact) apabila kerugian tidak akan terjadi

tanpa adanya perbuatan tersebut. Menurut Hart dan Honore, sebab faktual ini adalah

sebab sine qua non.

Lebih dari itu, meskipun perbuatan seseorang terbukti sebagai sebab faktual

dari sebuah kerugian, orang tersebut tidak secara otomatis akan bertanggungjawab

atas kerugian yang terjadi. Menurut Hart dan Honore, supaya orang tersebut

                                                                                                               126Superior Court of Connecticut, Judicial District of New Haven, Mollie Levenstein v. Yale

University (1984), 40 Conn.Supp. 123, hal. 126; 482 A.2d 724, hal. 726. 127United States District Court, D. Connecticut, Arawana Mills Co. v. United Technologies

Corp. (1992), 795 F.Supp. 1238, hal. 1251. 128Superior Court of Connecticut, Judicial District of Hartford-New Britain, Morill Barnes v.

General Electric Co., et al. (1995), 1995 WL 447904 (Conn.Super.), hal. 3. 129United States District Court, D. Connecticut, Mary-Louise N. Albahary, et al. v. City and

Town of Bristol, Connecticut (1997), 963 F.Supp. 150, hal. 154. 130Ibid., hal. 150-155.

Page 46: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  46  

bertanggungjawab, dibutuhkan sebuah pembuktian lagi untuk membedakan sebab

faktual dari faktor-faktor lain yang mungkin akan berpengaruh. Pembuktian atas

aspek non-faktual inilah yang disebut sebagai proximate cause. Owen menyatakan

bahwa di dalam literatur, proximate cause sering juga disebut sebagai legal cause atau

pun the scope of liability. Menurut Owen, di dalam pembuktian ini akan

dipertimbangkan apakah berdasarkan logika, keadilan, kebijaksanaan, dan praktek

tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penggugat. Dalam

konteks ini, supaya tergugat bertanggungjawab, perbuatan tergugat haruslah

merupakan sebab yang cukup “dekat” dengan kerugian penggugat.131

Lebih jauh lagi Grady menjelaskan dua doktrin untuk mengetahui proximate

cause. Doktrin pertama adalah “The Direct-Consequences Doctrine”. Doktrin ini

ditujukan untuk melihat apakah terdapat sebab lain yang mengintervensi (intervening

causes) di antara perbuatan tergugat dan kerugian yang diderita penggugat.

Intervening cause inilah yang, apabila terbukti, menjadi sebab konkuren yang efisien

(concurrent-efficient cause) atas kerugian yang terjadi. Dalam konteks ini, penyebab

terakhir/terdekat lah yang akan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.

Dokrtrin kedua untuk proximate cause adalah “the reasonable-foresight doctrine”.

Menurut doktrin ini, seseorang tidak akan bertanggungjawab atas kerugian yang

secara wajar (reasonably) tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian,

agar seseorang bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi, maka kerugian tersebut

haruslah termasuk ke dalam resiko yang selayaknya sudah bisa diperkirakan

(foreseeable) akan muncul dari kesalahan (dalam konteks pertanggungjwaban

berdasarkan kesalahan) atau kegiatan (dalam konteks strict liability) dari orang

tersebut.132

Sementara itu, Foster, et al. menyatakan bahwa penggunaan pendekatan

resiko (risk theory approach), yang mirip dengan doktrin “reasonable-foresight

doctrine”, akan menghasilkan kondisi yang berbeda dengan penggunaan pendekatan

“proximate cause”, yang mirip dengan “direct-consequences doctrine”. Pertama, jika

kerugian yang terjadi termasuk ke dalam resiko yang akan timbul dari perbuatan

tergugat, maka menurut pendekatan resiko tergugat akan bertanggungjawab;

                                                                                                               131H.L.A. Hart dan T. Honore, Causation in the Law (Oxford: Clarendon Press, 2002), hal.

109-111. Lihat juga: D.G. Owen, “The Five Elements of Negligence”, Hofstra Law Review, Vol. 35(4), 2007, hal. 1679-1685.

132 M.F. Grady, “Proximate Cause and the Law of Negligence”, Iowa Law Review, Vol. 69, 1984, hal. 415-447.

Page 47: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  47  

sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat belum tentu akan

bertanggungjawab, karena selama ada penyebab lain yang lebih dekat terhadap

kerugian dibandingkan dengan perbuatan tergugat, maka tergugat akan lepas dari

pertanggungjawaban . Kedua, jika kerugian yang terjadi dapat diantisipasi, tetapi

tidak ada seorang pun yang dapat diperkirakan akan menjadi korban dari kerugian

tersebut, maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggungjawab,

sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat mungkin akan tetap

bertanggungjawab. Ketiga, jika penggugat dapat diperkirakan (foreseeable) dapat

menderita beberapa kerugian, tetapi kerugian yang terjadi memiliki karakter dan tipe

yang berbeda dari kerugian yang diperkirakan tersebut, maka menurut pendekatan

resiko tergugat tidak akan bertanggungjawab, sedangkan menurut doktrin direct-

consequence tergugat mungkin akan tetap bertanggungjawab. Keempat, jika kerugian

yang terjadi tidak termasuk ke dalam zona resiko yang dapat diperkirakan (the zones

of foreseeable risk), maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan

bertanggung jawab, sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat dapat

bertanggungjawab selama perbuatannya merupakan sebab terdekat dari kerugian.133

Di dalam USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), Pengadilan Banding dari Seventh

Circuit menyatakan bahwa cause in fact merujuk pada kerugian yang terjadi. Di

dalam kasus ini kerugian yang terjadi adalah pencemaran karena adanya tumpahan

minyak oleh kapal (barge) pengangkut minyak. Sedangkan proximate cause merujuk

pada apakah pencemaran yang terjadi merupakan akibat yang dapat diperkirakan dari

perbuatan tergugat (Tex-Tow). Menurut pengadilan, proximate cause berfungsi untuk

menentukan dan membatasi pertanggungjawaban perdata.134 Seseorang tidak bisa

dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak bisa diperkirakan akan muncul

sebagai akibat perbuatan/kegiatannya.

Di dalam Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), hakim menyatakan bahwa

“proximate cause” tidaklah selalu merupakan penyebab satu-satunya dan bukanlah

pula merupakan penyebab yang terakhir atau terdekat (last or nearest cause); tetapi

lebih merupakan penyebab langsung dari kerugian (direct and existing cause).135

Untuk melihat apakah sebuah sebab merupakan penyebab langsung (proximate

cause), salah satu ukuran yang digunakan adalah apakah kerugian yang terjadi                                                                                                                

133H.H. Foster, Jr., W.H. Grant, dan R.W. Green, “The Risk Theory and Proximate Cause—A Comparative Study”, Nebraska Law Review, Vol. 32, 1952-1953, hal. 88-92.

134USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), 589 F.2d 1310 (1978), hal. 1314. 135Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765, hal. 765

Page 48: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  48  

merupakan akibat yang dapat diperkirakan (foreseeable) akan timbul dari sebab

tersebut. Menurut Pengadilan Banding dari Fifth Circuit, dalam kasus USA v. West

England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), apabila unsur foreseeability ini dapat

dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sebab tersebut adalah proximate cause dari

kerugian yang terjadi.136

Meski demikian, Palmer menyatakan bahwa strict liability memiliki ciri khas

yang berbeda dengan negligence dalam hal pembuktian kausalitas. Ciri khas pertama

adalah bahwa pembuktian kausalitas dalam strict liability sepenuhnya didasarkan

pada pembuktian faktual (pengujian “but for” atau “sine qua non”) secara sederhana.

Dalam arti ini, pengadilan tidaklah membuktikan kausalitas melalui pengujian

hipotetis (hypothetical atau counterfactual). 137 Dengan kata lain, pembuktian

kausalitas dalam strict liability terfokus pada pertanyaan apakah kerugian penggugat

secara faktual disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh tergugat. Persoalan

apakah yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh tergugat menjadi tidak

relevan, karena persoalan tersebut hanya relevan hanya dalam konteks

pertanggungjawaban berdasarkan negligence, dan bukan strict liability. Alhasil,

dalam pandangan Palmer, pada strict liability persoalan omission (tidak dilakukannya

sesuatu) oleh tergugat menjadi tidak relevan, sehingga tidak perlu dibuktikan. Dalam

hal ini, Palmer mengutip pernyataan Becht dan Miller yang menyatakan bahwa:138

“The difference between strict liability and negligence is precisely that a causal relation between conduct and harm is all that is needed for strict liability. As no negligence need be proved, there can be no problem whether there was an act or an omission, and no causal relation, simple or hypothetical, can be traced between a negligent segment and the harm. By the same token, since the liability rests upon an evaluation that the defendant should pay because of what he is doing, it follows that the causal relation between the conduct and the harm in strict liability cases must usually be simple, not hypothetical”

Ciri khas kedua adalah strict liability tidak memperhatikan memperhatikan

proximate cause dalam hal pembuktian kausalitas. Proximate cause masih dianggap

                                                                                                               136USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), 872 F.2d 1192 (5th Cir. 1989), hal.

1199. Pendekatan hakim ini mirip dengan pendekatan “the reasonable-foresight doctrine” atau pendekatan resiko (risk theory approach) dalam pembuktian proximate cause.

137Dalam negligence, pembuktian kausalitas terkait pengujian “but for” dilakukan dengan mengajukan pertanyaan hipotetis, seperti: apakah kerugian akan tetap terjadi seandainya tergugat melakukan perbuatan yang berbeda dari perbuatan yang ia lakukan. Pengujian ini dianggap counterfactual, karena pada kenyataannya tergugat tidaklah melakukan perbuatan yang berbeda ini. Lihat: Vernon Palmer, op cit., hal. 1321-1322.

138Ibid., hal. 1323-1324.

Page 49: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  49  

sebagai hal penting yang harus dibuktikan, tetapi tempatnya bukan lagi pada

pembuktian kausalitas. Menurut Palmer, ruang lingkup pertanggungjawaban (scope

of liability) yang menjadi salah satu hal utama dalam pembuktian proximate cause

tidak lagi dianggap sebagai bagian dari pembuktian kausalitas, karena ruang lingkup

pertanggungjawaban ini telah ditentukan oleh pembuat undang-undang. Hal ini,

menurut Palmer, menjadi hal yang akan dibahas/dibuktikan dalam konteks pengujian

“unlawfulness”, yaitu pengujian apakah kerugian yang terjadi termasuk ke dalam

ruang lingkup strict liability. Pengujian seperti ini menjadi pembahasan dalam

konteks “abnormally dangerous test”, pada saat menentukan apakah strict liability

dapat diterapkan pada sebuah kasus atau tidak.139 Sementara itu, hal penting lain yang

biasanya terkait dengan proximate cause, yaitu persoalan ada-tidaknya intervening

cause (penyebab lain yang mengintervensi) atau superseding cause (penyebab

eksternal yang dianggap lebih mempengaruhi terjadinya kerugian dibandingkan

dengan kegiatan tergugat), dikanalisasi menjadi persoalan pembelaan (defense), dan

bukan lagi merupakan bagian dari pembuktian kausalitas (oleh penggugat). 140

Dengan demikian maka persoalan proximate cause dan omission tidak lagi relevan

dan terkait dengan pembuktian kausalitas dalam strict liability. Khusus mengenai

proximate cause, persoalan-persoalan terpenting dari pembuktian ini, yaitu ruang

lingkup pertanggungjawaban dan ada-tidaknya penyebab lain, telah dikeluarkan dari

pembuktian kausalitas, dan menjadi bagian dari “abnormally dangerous test” atau

pembuktian dalam hal pembelaan oleh tergugat.

Hilang, atau setidaknya berkurangnya, fungsi proximate cause dalam

pembuktian kausalitas strict liability juga dinyatakan oleh MacAyeal. Lebih jauh dari

itu, MacAyeal juga menyatakan bahwa dalam strict liability, peran dari

foreseeability—yaitu sebuah syarat bahwa kerugian yang terjadi merupakan hal yang

sudah dapat diperkirakan sebelumnya—juga menjadi lebih sedikit dan berbeda

dibandingkan dengan perannya di dalam konteks negligence. Menurut MacAyeal,

dalam strict liability satu-satunya ukuran proximate cause (atau disebut legal cause)

dalam kegiatan yang menyebabkan bahaya. Tergugat tidaklah perlu mengetahui

secara pasti resiko tertentu dari kegiatannya. Dengan demikian, ukuran foreseeability

menjadi objektif, dan tidak lagi ditentukan oleh pandangan atau pengetahuan subjektif

                                                                                                               139Ibid., hal. 1328-1329. 140Ibid., hal. 1329.

Page 50: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  50  

dari tergugat.141 Pandangan ini sejalan dengan pandangan beberapa pengadilan yang

menganalogikan foreseeability dalam strict liability dengan foreseeability dalam

konteks vicarious liability (pertanggungjawaban atasan/majikan atas perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan). Terkait dengan hal ini, Hakim

Franks dalam Earl Caldwell v. Ford Motor Co. et al. (1981), mengutip pendapat Noel

dan Phillips dalam buku mereka Products Liability Cases and Materials (1976), yang

menyatakan:142

“We are not here looking for the master's fault but rather for risks that may be fairly regarded as typical of or broadly incidental to the enterprise he has undertaken. Now one of the purposes for such a quest is to mark out in a broad way the extent of tort liability (as a cost item) that it is fair and expedient to require people to expect when they engage in such an enterprise, so there can be a reasonable basis for calculating this cost. And while many things may enter into the matters of fairness and expediency besides what men at any point may reasonably expect, ... yet fairness probably cannot be altogether divorced from some kind of foreseeability. What is reasonably foreseeable in this context, however, is quite a different thing from the foreseeably unreasonable risk of harm that spells negligence. In the first place, we are no longer dealing with specific conduct but with the broad scope of a whole enterprise. Further, we are not looking for that which can and should reasonably be avoided, but with the more or less inevitable toll of a lawful enterprise. The foresight that should impel the prudent man to take precautions is not the same measure as that by which he should perceive the harm likely to flow from his long-run activity in spite of all reasonable precautions on his part”—[garis bawah dari penulis].

Pendapat di atas memperlihatkan bahwa adanya keinginan dari pengadilan

agar dalam strict liability pandangan/pengetahuan subjektif tergugat terhadap resiko

dari kegiatannya tidak lagi dipertimbangkan. Berdasarkan pendapat ini,

pandangan/pengetahuan tergugat atas resiko kegiatannya hanya relevan ketika

pertanggungjawaban didasarkan pada negligence. Dalam konteks ini, pengetahuan

tergugat tersebut berguna untuk menentukan apakah tergugat telah mengambil

langkah pencegahan yang layak (reasonable atau due care) untuk mencegah

terjadinya bahaya. Jika tindakan pencegahan tersebut tidak diambil, maka tergugat

tidak melakukan negligence, dan karenanya tidak bertanggung jawab. Dalam

konteks strict liability, hal ini tidak berlaku, karena setidaknya dua alasan. Pertama,

                                                                                                               141James R. MacAyeal, op cit., hal. 233-240. 142Court of Appeals of Tennessee, Eastern Section, Earl Caldwell v. Ford Motor Co. et al.

(1981), 619 S.W.2d 534, hal. 541-542. Lihat juga: United States District Court, W.D. Tennessee, Eastern Division, Woodrow Sterling, et al, v. Velsicol Chemical Corporation (1986), 647 F.Supp. 303, hal. 313-314.

Page 51: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  51  

strict liability dikenakan pada kegiatan yang resikonya tidak bisa dicegah oleh

reasonable care, sehingga pembuktian untuk mengetahui apakah tergugat telah

melakukan reasonable care atau tidak, menjadi tidak relevan dalam strict liability.

Kedua, karena dalam strict liability tergugat tetap bertanggung jawab meskipun jika

ia telah melakukan reasonable care, maka tidaklah penting untuk melihat apakah

tergugat telah mengambil reasonable care atau tidak. Karena dalam strict liability

fungsi dari pandangan/pengetahuan subjektif tergugat atas resiko kegiatannya telah

tidak ada, maka pembuktian tentang hal ini menjadi tidak relevan. Akibatnya, ukuran

untuk menentukan foreseeability adalah pandangan secara umum/luas terhadap resiko

dari sebuah kegiatan tertentu.143

4.3.  Ketidakpastian Pencemar dan Pertanggungjawaban Perdata

Dalam banyak kasus pencemaran lingkungan penggugat seringkali dihadapkan

pada kesulitan untuk membuktikan bahwa tergugat merupakan pihak yang benar-

benar telah menyebabkan terjadinya kerugian. Di AS, beberapa yurisdiksi telah

mengembankan beberapa teori untuk mengatasi persoalan ini, yang memungkinkan

penggugat untuk memenangkan gugatannya meskipun sebenarnya tidak terlalu jelas

bahwa tergugat merupakan pihak yang telah menimbulkan kerugian.

4.3.1.   Pertanggungjawaban Bersama-sama (Joint and Several Liability)

Para ahli hukum di AS menganggap bahwa CERCLA (Comprehensive

Enviromental Response, Compensation, and Liability Act) menganut joint and

several liability. Menurut Applegate dan Laitos, tanggung jawab ini berarti “the

                                                                                                               143Untuk lebih jelasnya, sebagai contoh kita bisa melihatnya dalam kasus hipotetis berikut.

Misalnya B menggugat A atas kerugian yang terjadi pada propertinya. Menurut B, A melakukan pengeboran minyak yang kemudian mengalami semburan liar (blowout), berupa campuran dari air, gas, dan minyak. Semburan ini selanjutnya menimbulkan kerusakan pada properti B. Dalam konteks negligence, B harus membuktikan bahwa ketika melakukan pengeboran, A tidak melakukan upaya kehati-hatian yang layak (reasonable care), misalnya berupa pemasangan selubung pengaman (casing) pada lubang pengeboran. Di samping itu, B juga harus membuktikan bahwa A mengetahui, atau seharusnya mengetahui, bahwa blowout merupakan resiko dari pengeboran minyak, dan bahwa casing dapat mencegah terjadinya blowout. Apabila A tidak menyadari adanya resiko blowout, atau bisa membuktikan ia menggunakan casing, atau bisa membuktikan bahwa pemasangan casing tidaklah dapat mencegah terjadinya blowout sehingga tidaklah wajib dilakukan, maka A tidak melakukan negligence sehingga akan terbebas dari pertanggungjawaban. Sedangkan dalam strict liability, yang harus dilakukan oleh B adalah membuktikan bahwa kerugiannya memang karena blowout yang terjadi dari pengeboran oleh A, serta bahwa peristiwa blowout adalah resiko yang biasa terjadi dalam pengeboran minyak. Dengan menunjukkan bahwa blowout adalah peristiwa yang biasa terjadi, maka resiko terjadinya blowout tersebut menjadi foreseeable. Dalam konteks ini, apakah A memasang casing atau tidak, menjadi tidak relevan.

Page 52: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  52  

entire burden can be shifted to any contributor to the harm, even one that has only a

tiny role, leaving to that party the task of seeking contribution from other defendants,

if possible”.144

Dengan demikian, dalam tanggung renteng seperti ini, penggugat hanya

meminta agar para tergugat bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi. Tergugat

mana di antara para tergugat yang akan membayar ganti rugi tersebut diserahkan

kepada tergugat. Apakah ganti rugi tersebut akan seluruhnya ditanggung oleh

seorang tergugat, atau akan dibagi rata atau berdasarkan proporsi tertentu di antara

para tergugat, sepenuhnya merupakan urusan para tergugat. Dengan demikian,

penggugat tidak perlu membuktikan proporsi/kontribusi dari tiap tergugat atas

kerugian yang diderita penggugat.

Bentuk pertanggungjawaban lain yang cukup erat dengan joint and several

liability adalah pertanggungjawaban atas perbuatan bersama (concerted action).

Dalam model “Concert of Action”, tanggung jawab diberlakukan secara bersama-

sama kepada para pihak yang secara bersama-sama ikut terlibat aktif dalam

melakukan perbuatan yang merugikan, yang dilakukan berdasarkan rencana bersama,

baik karena kerja sama (cooperation) atau permintaan (request). Tanggung jawab pun

diberlakukan kepada pihak yang memberikan bantuan, nasehat, atau dorongan kepada

orang lain untuk melakukan suatu perbuatan merugikan, demi keuntungan mereka

bersama. Menurut Mas Achmad Santosa, berdasarkan ”Concert of Action” maka

pihak konsultan yang memberikan nasehat untuk tidak mengoperasikan alat

pembuangan limbah, misalnya, dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang

dialami oleh penggugat. Juga berdasarkan teori ini dapat dituntut pemerintah yang

telah memberi persetujuan atas kegiatan yang merugikan penggugat. Pihak-pihak

yang bekerja sama dan memberikan bantuannya bertanggung jawab secara tanggung

renteng.145

4.3.2.   Pertanggungjawaban Alternatif (Alternative Liability)

Pertanggungjawaban ini mulai berkembang dari putusan Summers v. Tice.

Dalam kasus ini, dua orang pemburu, yaitu Tice dan Simonson, secara terus menerus

                                                                                                               144 John S. Applegate dan Jan G. Laitos, Environmental Law: RCRA, CERCLA, and the

Management of Hazardous Waste (Foundation Press, 2006), hal. 180. 145Mas Achmad Santosa, “Teori Tanggung Jawab Pencemaran (Liabilities Theory)”’ dalam

Sulaiman N. Sembiring (ed.), Hukum dan Advokasi Lingkungan (ICEL, 1998), hal. 91.

Page 53: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  53  

menembak ke arah penggugat (Summers). Salah satu dari tembakan-tembakan

tersebut mengenai mata dari Summers. Dalam kasus ini, penggugat kesulitan untuk

menentukan salah satu dari dua pemburu/tergugat itu yang benar-benar telah

menembaknya. Pengadilan kemudian membalikkan beban pembuktian bagi tergugat,

untuk membuktikan bahwa bukan dirinya yang menyebabkan luka pada pihak

penggugat. Pengadilan berpendapat bahwa baik Tice dan Simonson telah melakukan

pelanggaran hukum (melanggar duty of care), dan salah satu di antara mereka berdua

secara pasti merupakan penyebab dari cedera yang diderita oleh penggugat. Karena

itulah, pengadilan berpendapat bahwa tergugat lah yang memiliki beban untuk

membuktikan bukan dirinya yang telah menyebabkan kerugian pada penggugat, dan

bukan penggugat yang memiliki beban penggugat untuk menunjukkan salah satu

tergugat yang telah menyebabkan kerugian tersebut.146

Untuk kasus pencemaran lingkungan, model seperti ini dapat digunakan

apabila penggugat mengetahui pasti bahwa para tergugat lah yang telah menyebabkan

kerugian pada dirinya, tetapi tidak mengetahui mana di antara para tergugat tersebut

yang benar-benar menyebabkan kerugian tersebut. Salah satu syarat lain dari

alternative liability ini adalah bahwa para tergugat melakukan kegiatan yang sama

(dalam kasus Summers vs. Tice, para tergugat sama-sama melakukan perbuatan

melawan hukum berupa berburu yang kemudian mengakibatkan tertembaknya

penggugat).

4.3.3.   Pertanggungjawaban Industri (Industry-wide Liabilty)

Model pertanggungjawaban ini pertama kali dicetuskan dalam kasus Hall v.

E.I. Du Pont De Nemours & Co. (1972). Kasus ini bermula dari kecelakan yang

terjadi karena bahan peledak (blasting caps) yang terjadi selama beberapa tahun di

AS. Penggugat mendalilkan bahwa bahan peledak tersebut cacat karena tanpa

dilengkapi peringatan dan juga sangat mudah meledak. Dalam kasus ini, penggugat

menggugat enam produsen utama dari blasting caps dan asosiasi produsen (Institute

of Markers of Explosives, IME), dan menuntut para tergugat bertanggung jawab

secara rentent (jointly liable). Penggugat sebenarnya tidak mampu menunjukkan

mana di antara para tergugat yang telah memproduksi bahan peledak yang

merugikannya. Dalam kasus ini, para tergugat dinyatakan bertanggung jawab atas                                                                                                                

146Adam L. Fletcher, “Alternative Liability and Deprivation of Remedy: Teaching Old Tort Law New Tricks”, Cleveland State Law Review, Vol. 56, 2008, hal. 1035-1036.

Page 54: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  54  

kerugian yang terjadi. Pengadilan menyetujui pendapat penggugat bahwa masing-

masing tergugat telah mengikuti program keamanan produk sesuai dengan arahan

asosiasi produsen (IME). 147 Dalam model ini, keseluruhan industri dianggap

bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Karena itulah, model

pertanggungjawaban ini juga dikenal dengan “enterprise liability”.148

Model pertanggungjawaban industry ini mensyaratkan beberapa hal: pertama,

tergugat tidak terlalu banyak; kedua, penggugat juga menyertakan pula asosiasi

industri sebagai tergugat; ketiga, tergugat terbukti telah mengikuti standar keamanan

dari industri, yang ternyata merupakan standar yang cukup longgar sehingga

memungkinkan terjadinya kecelakaan. 149 Jika hal ini terbukti, maka beban

pembuktian beralih kepada masing-masing tergugat untuk menunjukkan bahwa

dirinya tidaklah menyebabkan kerugian pada pihak penggugat.

Lebih jauh lagi, Mallor menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban industry

merupakan gabungan dari pertanggungjawaban alternatif dan pertanggungjawaban

concert of action. Dianggap mirip dengan pertanggungjawaban alternatif karena

pertanggungjawaban industri juga memungkinkan adanya pemindahan beban

pembuktian kepada tergugat untuk membuktikan bukan dirinya yang menyebabkan

kerugian. Sementara itu, pertanggungjawaban industri ini dianggap mirip dengan

pertanggungjawaban berdasarkan concert of action karena diperlukannya bukti bahwa

para tergugat melakukan tindakan yang sama berdasarkan standar industri yang

ternyata merupakan standar yang buruk/longgar.150

4.3.4.   Pertanggungjawaban Berdasarkan Pasar (Market Share Liability)

Model ini muncul dari putusan dalam kasus Sindell v. Abott Laboratories

(1980). Dalam kasus ini pengugat mengajukan gugatan terhadap beberapa perusahaan

farmasi yang telah memproduksi obat diethylstilbestrol (DES), yaitu obat untuk

mencegah keguguran. Penggugat menderita kanker yang diakibatkan oleh selama di

dalam kandungan penggugat telah terekspos terhadap DES yang dikonsumsi oleh ibu

penggugat. Pada kasus ini penggugat tidak dapat mengidentifikasikan perusahaan

                                                                                                               147 Jane P. Mallor, “Guilt By Industry: Industry-Wide Liability for Defective Products”,

Tennessee Law Review, Vol. 49, 1981, hal. 73. 148M. Stuart Madden dan Jamie Holian, “Defendant Indeterminacy: New Wine into Old

Skins”, Louisiana Law Review, Vol. 67, 2007, hal. 792. 149Ibid., hal. 793. 150Jane P. Mallor, op cit., hal. 89-90.

Page 55: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  55  

mana di antara perusahaan-perusahan tersebut yang telah memproduksi DES yang

telah dikonsumsi oleh ibunya. Karena itulah maka pengadilan distrik menolak gugat

penggugat. Akan tetapi Mahkamah Agung California menolak putusan pengadilan

distrik ini karena Mahkamah menganggap bahwa penggugat telah berhasil

memasukkan sebagai tergugat para pembuat (manufactures) yang mempunyai peran

substansial bagi pembuatan dan penjualan DES di wilayah yang relevan dengan

kepentingan penggugat. Karena itulah, menurut Mahkamah Agung, beban

pembuktian berpindah kepada para tergugat untuk membuktikan bahwa mereka bukan

penyebab kerugian yang diderita oleh penggugat. Hal inilah yang disebut sebagai

teori market share liability.151

Mahkamah Agung California menyatakan bahwa Sindell v. Abott Laboratories

tidak bisa menggungakan pertanggungjawaban alternatif, karena dalam kasus ini

penggugat tidak menjadikan semua produsen DES (yaitu pihak yang berpotensi

menimbulkan kerugian) sebagai tergugat. Di samping itu, dalam kasus ini pun tidak

berlaku concert of action, karena tidak ada bukti persetujuan di antara beberapa

tergugat untuk melakukan tindakan secara bersama-sama. Kasus ini pun tidak bisa

diadili berdasarkan enterprise liability, karena tidak ada bukti bahwa masing-masing

tergugat telah mengikuti standar keamanan yang dibuat oleh industri.152

Lebih jauh lagi, Mahkamah Agung California menyatakan bahwa pembalikan

beban pembuktian (dalam hal ini adalah beban tergugat untuk membuktikan bahwa

dirinya tidak menyebabkan kerugian pada penggugat) dalam kasus Sindell v. Abott

Laboratories terjadi apabila penggugat sebelumnya berhasil membuktikan: a. bahan

yang telah menyebabkan kerugian (dalam hal ini DES); b. produk yang menyebabkan

kerugian bersifat fungible (yaitu bahwa satu produk memiliki fungsi, fisik, atau resiko

yang sama atau tidak bisa dibedakan dari produk lainnya. Dalam hal ini DES

dianggap memiliki sifat fungible, karena fungsi, fisik, atau resiko yang dihasilkan

tidak bisa dibedakan dari satu produk obat ke produk obat lainnya); c. penggugat

dapat menunjukkan pasar yang relevan bagi produk yang menyebabkan kerugian; dan

d. penggugat telah memasukkan ke dalam tergugat para produsen yang telah menjual

DES dan memiliki penguasaan pasar yang substansial (substantial share) pada saat

kehamilan ibu dari penggugat. Apabila bukti ini dapat dipenuhi, maka tergugat                                                                                                                

151 Michael Dore, Law of Toxic Torts: Litigation Defense Insurance (Clark Boardman Company, Ltd.NY, 1987), hal. 6-7. Lihat pula: Myra Paiewonsky Mulcahy, “Proving Causation In Toxic Torts Litigation”, Hofstra Law Review, Vol. 11, 1983, hal. 1316-1318.

152M. Stuart Madden dan Jamie Holian, op cit., hal. 796.

Page 56: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  56  

bertanggung jawab, kecuali ia dapat membuktikan bahwa tergugat tidak menjual DES

yang dikonsumsi oleh ibu penggugat.153

4.3.5.   Pertanggungjawaban Proporsional (Proportional Liability)

Dalam beberapa kasus pencemaran pun sering kali penggugat menghadapi

ketidakpastian dalam pembuktian (uncertainty of causation). Hal ini tidak hanya

terjadi karena terdapat banyak pihak yang dapat berkontribusi pada terjadinya

kerugian, tetapi juga karena terdapat banyak faktor yang dapat menjadi penyebab

kerugian, misalnya jika terdapat faktor alam.

Dua pendekatan yang lazin digunakan untuk mengatasi ketidakpastian ini

adalah pendekatan all-or-nothing dan pendekatan proportional liability. Dalam

pendekatan all-or-nothing, pelaku akan dinyatakan bertanggungjawab atas seluruh

kerugian yang terjadi manakala pengadilan menganggap probabilitas bahwa kerugian

disebabkan oleh pelaku lebih besar dari standar probabilitas. Standar yang biasanya

digunakan untuk menentukan apakah kausalitas terbukti atau tidak adalah aturan

‘preponderance of the evidence’. Jika standar ini terlewati, maka kerugian dianggap

disebabkan oleh pelaku sehingga ia bertanggungjawab atas seluruh kerugian.

Sementara itu, dalam pendekatan proporsional (proportional liability approach),

pertanggungjawaban pelaku akan secara proporsional dikaitkan dengan seberapa

besar probabilitas bahwa perbuatan pelaku adalah penyebab dari kerugian. 154

Sebagai contoh, jika misalnya standar pembuktian ‘preponderance of the evidence’

ditetapkan oleh hakim sebesar 50%, maka apabila penggugat mampu membuktikan

bahwa probabilitas kerugian disebabkan oleh perbuatan pelaku sebesar 51%, maka

pelaku akan bertanggungjawab atas 100% kerugian; sedangkan jika penggugat hanya

mampu membuktikan probabilitas ini sebesar 49%, maka pelaku akan dinyatakan

bukan sebagai penyeban kerugian dan karenanya tidak bertanggungjawab (0%

kerugian). Pada pendektan proportional liability, ketika probabilitas terbuktinya

kausilatas adalah 51%, maka pelaku bertanggungjawab sebanyak 51% dari kerugian;

sedangkan ketika probabilitas terbuktinya kausalitas adalah 49%, maka pelaku akan

bertanggungjawab sebanyak 49% dari kerugian.

                                                                                                               153Ibid., hal. 797. 154 Omri Ben-Shahar, “Causation and Foreseeability”, dalam: Boudewijn Bouckaert dan Gerrit

De Geest (eds.), Encyclopedia of Law and Economics (Edward Elgar: 2000), hal. 652-653.

Page 57: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  57  

Menurut Shavell, pendekatan proportional liability lebih superior dari

pendekatan ‘all-or-nothing’. Jika yang berlaku adalah strict liability, pendekatan

proporsional akan mendorong pelaku untuk mengambil tingkat kehati-hatian dan

tingkat kegiatan yang optimal; sedang jika yang berlaku adalah PMH, maka pelaku

akan terdorong untuk mengambil tingkat kehati-hatian yang optimal saja. Dorongan

untuk bertindak hati-hati ini tidak terjadi jika yang digunakan adalah pendekatan ‘all-

or-nothing’.155

4.3.6.   Pembuktian Terbalik mengenai Kausalitas

Di beberapa negara, salah satu terobosan untuk mengurangi beban pembuktian

dari penggugat pada saat terjadinya ketidakpastian di dalam kausalitas adalah dengan

menerapkan praduga kausalitas (presumption of causation). Dalam hal ini, kausalitas

sudah dianggap terbukti, kecuali tergugat membuktikan sebaliknya. Perlu

diperhatikan bahwa pembuktian terbalik mengenai kausalitas ini berbeda dengan

pembuktian terbalik unsur kesalahan atau res ipsa loquitur sebagaimana telah

diterangkan pada sub Bagian 3.3.

Menurut pengamatan Hinteregger, di beberapa negara Eropa, kasualitas antara

kerugian dan perbuatan tergugat dianggap telah terbukti apabila, misalnya, emisi

tergugat telah melampaui baku mutu emisi. Dalam hal ini, penggugat tidak perlu

membuktikan bahwa kerugiannya benar-benar diakibatkan oleh perbuatan tergugat

(dalam hal ini misalnya bahwa kerugian benar-benar terjadi karena tergugat telah

melampaui baku mutu emisi tertentu), tetapi cukup dibuktikan bahwa kerugian

tersebut mungkin (probable) dapat terjadi dari perbuatan tergugat (dalam hal ini

secara umum terdapat kemungkinan bahwa pelampauan baku mutu emisi tersebut

akan menyebabkan kerugian).156

Hinteregger juga menemukan bahwa berdasarkan pembuktian terbalik di

Belanda, apabila penggugat mampu menunjukkan bahwa pertama perbuatan tergugat

merupakan perbuatan yang melawan hukum, kedua perbuatan melawan hukum

tersebut telah menciptakan atau meningkatkan resiko dari kerugian tertentu, dan

ketiga kerugian tersebut telah terjadi, maka kausalitas sudah dianggap terbukti.

                                                                                                               155 Steven Shavell, “Uncertainty over Causation and the Determination of Civil Liability”,

Journal of Law and Economics, Vol. 28, 1985. 156Monika Hinteregger (ed.), Environmental Liability and Ecological Damage in European

Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hal. 610.

Page 58: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  58  

Beban pembuktian kemudian beralih kepada tergugat untuk membuktikan

sebaliknya.157

Sementara itu, menurut Hinteregger, di Austria dan Jerman untuk kasus yang

didasarkan pada strict liability berlaku juga apa yang disebut sebagai praduga

kausalitas (presumption of causation). Untuk kegiatan tertentu yang berbahaya,

seperti reaktor nuklir, pertambangan, atau rekayasa genetika, kerugian tergugat telah

dianggap terbuktik terjadi kerena kegiatan tergugat yang berbahaya tersebut.

Tergugat dapat mengelak dari pertanggungjawaban ini dengan membuktikan, di

antaranya, bahwa kerugian tidak mungkin (not probable) disebabkan oleh kegiatan

tergugat.158

4.4.  Pembelaan yang Lazin dalam Kasus Perdata

Dalam pertanggungjawaban perdata, dalam hal ini terutama strict liability,

tergugat dapat mengelak dari pertanggungjawaban apabila ia dapat membuktikan

beberapa hal (defense). Karena adanya alasan untuk mengelak inilah maka strict

liability sering dibedakan dari absolute liability. Dalam hal ini, Hakim Oakes dalam

New York v. Shore Realty Corp. (1985), menyatakan bahwa “[s]trict liability under

CERCLA, however, is not absolute; there are defenses for causation solely by an act

of God, an act of war, or acts or omissions of a third party other than an employee or

agent of the defendant or one whose act or omission occurs in connection with a

contractual relationship with the defendant.” 159 Kutipan ini menjelaskan bahwa strict

liability tidaklah absolute, karena dalam strict liability masih terdapat beberapa alasan

(defenses) yang dapat digunakan tergugat untuk mengelak dari pertanggungjawaban.

Hal senada juga dikatakan oleh Palmer, yang menyatakan bahwa pembeda utama

absolute liability dari strict liability adalah bahwa dalam absolute liability terdapat

“total (or virtually total) rejection of defenses of any kind, whether we speak of

defenses that negate causation, defenses that inculpate the plaintiff, or defenses that

exonerate the defendant.”160

Penulis sendiri berpandangan bahwa tidak selamanya istilah absolute liability

merujuk pada pertanggungjawaban tanpa adanya alasan (defenses) bagi tergugat.

                                                                                                               157Ibid., hal. 611. 158Ibid., hal. 611-612. 159United States Court of Appeals for the Second Circuit, New York v. Shore Realty Corp.

(1985), 759 F.2d 1032, hal. 1042. 160Vernon Palmer, op cit., hal. 1329.

Page 59: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  59  

Dalam beberapa putusan, hakim AS menggunakan istilah absolute liability

sebenarnya untuk merujuk pada strict liability (atau doktrin Rylands v. Fletcher).161

Dalam tulisan ini, penulis tidak dapat terlalu jauh menjelaskan apakah strict liability

atau absolute liability dua istilah yang berbeda ataukah tidak. Satu hal yang jelas,

bahwa dalam strict liability memang dikenal adanya beberapa alasan pembelaan

(defenses) yang dapat mengelakkan tergugat dari pertanggungjawaban.

Alasan-alasan tersebut sifatnya terbatas, yaitu terhadap apa yang secara tegas

ditentukan oleh Undang-undang. Di dalam beberapa undang-undang di AS, seperti

CERCLA, OPA (Oil Pollution Act), FPWCA (Federal Water Pollution Control Act),

terdapat beberapa alasan yang dapat digunakan untuk lepas dari strict liability, yaitu

bencana alam (act of god), peperangan, perbuatan pihak ketiga, kesalahan dari

tergugat sendiri. Di Indonesia, UU No. 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran,

misalnya, menyediakan beberapa alasan untuk lepas dari pertanggungjawaban, yaitu

jika kecelakaan nuklir terjadi karena bencana alam, peperangan (pertikaian), atau

kesalahan korban sendiri.162 Menurut Palmer, rigiditas alasan (defense) ini menjadi

salah satu ciri dari strict liability. Jika defense defense yang disediakan semakin

sedikit dan semakin sulit untuk digunakan, maka semakin ketatlah strict liability.

Sedangkan semakin banyak defense dan semakin mudah defense tersebut digunakan,

maka pertanggungjawaban semakin menjauh dari strict liability dan semakin

mendekat pada negligence.163 Adapun pembelaan yang lazim diketengahkan adalah

bencana alam (force majeur), kesalahan pihak korban sendiri, dan adanya perbuatan

pihak ketiga.

4.3.1.   Bencana Alam

Dalam konteks bencana alam (act of God) di AS, diketahui bahwa alasan ini

merupakan beban pembuktian dari tergugat. Beberapa putusan di AS menunjukkan

bahwa dalam pengajuan alasan ini, tergugat harus membuktikan bahwa bencana alam

bersifat luarbiasa (grave), tidak dapat diperkirakan (unforeseeable), sehingga tidak

                                                                                                               161Lihat misalnya: Court of Appeals of New York, Losee v. Buchanan (1873), 51 N.Y. 476,

hal. 490; Supreme Court of Texas, Annie Lee Turner et al. v. Big Lake Oil Company et al. (1936), 96 S.W.2d 221, hal. 223, 225-226; Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hal. 334; Circuit Court of Appeals, Second Circuit, Exner v. Sherman Power Const. Co. (1931), 54 F.2d 510, hal. 513; dan Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary (1957), 232 La. 373, hal. 378; 94 So. 2d 293, hal. 295.

162UU No. 10 tahun 1997, LN tahun 1997 No. 23, TLN No. 3676, Pasal 32 dan 33. 163Vernon Palmer, loc cit.

Page 60: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  60  

dapat dicegah (unpreventable), dan merupakan satu-satunya penyebab dari kerugian

yang terjadi. Terkait syarat terakhir ini, apabila pengadilan melihat adanya kontribusi

dari kegiatan tergugat (apalagi jika terdapat kontribusi kesalahan tergugat), maka

dalih bencana alam akan ditolak, meskipun bisa saja bencana alam ini sifatnya luar

biasa.164

Lebih penting lagi, dalih bencana alam ini sebenarnya pernah pula diuji secara

baik oleh pengadilan di Indonesia. Dalam hal ini, pengadilan menolak dalih bencana

alam apabila pengadilan melihat bahwa pihak tergugat sendiri berkontribusi dalam

terjadinya kerugian.

Di dalam Kasus Mandalawangi (2003), dalih bencana alam yang diajukan oleh

tergugat telah ditolak oleh pengadilan. Salah satunya pengadilan beralasan bahwa

wilayah hutan dengan kemiringan seperti Gunung Mandalawangi seharusnya tetaplah

merupakan hutan lindung, dan tidak bisa diubah menjadi kawasan pemanfaatan.

Secara khusus, pengadilan menyatakan bahwa longsor penyebab kerugian penggugat,

terjadi karena, antara lain adanya “[k]erusakan/pencemaran lingkungan...

pemanfaatan tanah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan

hutan lindung....”.165 Dengan demikian, kegiatan tergugat dalam mengelola hutan,

dianggap telah berkontribusi dalam terjadinya kerugian (longsor), sehingga

menghapuskan faktor alam, berupa curah hujan yang tinggi dan banjir bandang,

sebagai penyebab terjadi kerugian.

Hal senada juga dikemukakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Sylvia

H.B. Panjaitan vs Direktur Perum Perumnas Cq. Kepala Kantor Perum Perumnas

Regional VII Cabang Jayapura, dkk (2004). Dalam putusan ini, MA berpandangan

bahwa kontribusi perbuatan Tergugat I, yang tidak membuatkan saluran pembuangan

air merupakan tidanakan yang melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya banjir

                                                                                                               164Untuk pembahasan ini, lihat misalnya: Andri G. Wibisana (2011), op cit., hal. 105-135;

William D. Flatt dan Wesley R. Kliner, “When the Earth Moves and Buildings Tumble, Who Will Pay?—Tort Liability and Defenses for Earthquake Damage within the New Madrid Fault Zone”, Memphis State University Law Review, Vol. 22, 1991, hal. 1-41; Denis Binder, “Act of God? Or Act of Man?: A Reappraisal of the Act of God Defense in Tort Law”, The Review of Litigation, Vol. 15(1), 1996, hal. 1-79; R.M. Sugg, “Blame It on the Rain? El Niño is no Excuse to Pollute”, Whittier Law Review, Vol. 21, 2000, hal. 737-765; James E. Mercante, “Hurricanes and Act of God; When the Best Defense is a Good Offense”, USF Maritime Law Journal, Vol. 18(1), 2005-2006, hal. 1-39; atau Laurencia Fasoyiro , “Invoking the Act of God Defense”, Environmental & Energy Law & Policy Journal, Vol. 3(2), 2009, hal. 1-33.

165PN Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN. Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 94.

Page 61: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  61  

yang menimbulkan kerugian pada harta benda penggugat.166 Oleh MA, sebab alam

berupa curah hujan yang tinggi tidak dianggap sebagai penyebab kerugian berupa

banjir, ketika MA menemukan bahwa ada kontribusi tergugat di dalam terjadinya

kerugian penggugat (banjir).

Kedua putusan pengadilan di atas menunjukkan bahwa setidaknya syarat

bahwa faktor merupakan sebagai satu-satunya penyebab terjadinya kerugian, juga

telah diterima dan dipraktekkan di Indonesia. Menurut penulis, kedua putusan

tersebut selayaknya diikuti dan dijadikan salah satu standar dalam penilaian dalih

bencana alam di Indonesia.

4.3.2.   Kesalahan Penggugat

Terkait defense berupa kesalahan dari pihak penggugat sendiri (contributory

negligence), Coleman menyatakan bahwa defense ini membuat strict liability adalah

kebalikan dari negligence. Dalam negligence yang bertanggungjawab secara mutlak

adalah korban (penggugat); tergugat masih bisa bertanggungjawab jika korban

(penggugat) membuktikan bahwa tergugat melakukan negligence. Sedangkan dalam

strict liability yang bertanggungjawab secara mutlak adalah tergugat; korban

(penggugat) masih bisa bertanggungjawab—artinya tergugat lepas dari

pertanggungjawaban, dan penggugat menanggung sendiri kerugiannya—jika tergugat

bisa membuktikan bahwa korban (penggugat) melakukan kesalahan.167 Atas dasar ini

pula maka Coleman menyatakan bahwa di dalam strict liability sebenarnya

terkandung unsur negligence, dan demikian pula sebaliknya.168

Lebih penting lagi, menurut Martin-Casals, lepasnya tergugat dari

pertanggungjawaban atas dasar adanya kontribusi kesalahan penggugat mensyaratkan

beberapa hal. Pertama, penggugat memiliki kapasitas untuk melakukan perbuatan

melawan hukum. Dalam hal ini, penggugat haruslah merupakan pihak yang memiliki

kontrol secara aktual atau ekonomi atas kegiatan perbuatan yang melahirkan kerugian.

Kedua, penggugat tidak melakukan upaya perlindungan diri atau penggugat sendiri

telah melakukan kegiatan yang berbahaya. Ketiga, kegagalan melindungi diri atau

                                                                                                               166Mahkamah Agung RI, Putusan No. 2143 K/Pdt/2004, Sylvia H.B. Panjaitan vs Direktur

Perum Perumnas Cq. Kepala Kantor Perum Perumnas Regional VII Cabang Jayapura, dkk (2004), hal. 10-11.

167Jules C. Coleman, op cit., hal. 227-228 dan 232-233. 168Ibid., hal. 228.

Page 62: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  62  

dilakukannya kegiatan yang berbahaya ini haruslah merupakan penyebab

langsung/terdekat dari kerugian yang diderita penggugat.169

4.3.3.   Perbuatan Pihak Ketiga

Terkait pembelaan karena adanya perbuatan pihak ketiga, secara umum von

Bar menyatakan bahwa adanya perbuatan pihak ketiga dapat dijadikan alasan untuk

melepaskan diri dari pertanggungjawaban. Dalam konteks ini, apabila memang

terdapat kesengajaan dari pihak ketiga untuk menimbulkan kerugian, maka tergugat

terlepas dari pertanggungjawaban dan pihak ketiga inilah yang harus

bertanggungjawab karena dianggap sebagai penyebab kerugian. Namun demikian

von Bar menyatakan pula bahwa dalih adanya perbuatan pihak ketiga ini hanya akan

diterima oleh pengadilan apabila tergugat sendiri tidak berada dalam kewajiban untuk

mencegah terjadinya kerugian, termasuk dari kemungkinan munculnya kerugian

karena perbuatan pihak ketiga. Jika tergugat justru dianggap oleh hukum memiliki

kewajiban mencegah terjadinya perbuatan pihak ketiga ini, maka dalih adanya

perbuatan pihak ketiga akan ditolak dan tergugat tetap harus bertanggungajwab.

Dalam konteks ini, von Bar melukiskan beberapa kasus, di antaranya sebuah putusan

pengadilan di Belgia yang menyatakan pemerintah bertanggungjawab atas adanya

kerusakan pada Konsulat Irak di Brussels oleh perbuatan teroris (pihak ketiga),

dengan alasan bahwa pemerintah telah gagal memenuhi kewajiban untuk melindungi

bangunan kantor.170

Sementara itu, Koch mengaitkan dalih perbuatan pihak ketiga dengan sifat dan

resiko sebuah kegiatan. Menurutnya, dalih perbuatan pihak ketiga tidak akan diterima

apabila kegiatan tergugat sendiri merupakan kegiatan yang sangat berbahaya sehingga

perbuatan pihak ketiga tidaklah cukup untuk menjadi penyebab dari kerugian

penggugat. Lebih dari itu, Koch menyatakan bahwa alasan ini hanya akan diterima

                                                                                                               169 Miquel Martin-Casals, “Chapter 8: Contributory Conduct or Activity”, dalam: dalam:

European Group on Tort Law, Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005), hal. 132-133.

Meski demikian, perlu untuk dicatat di sini bahwa di Perancis, adanya kontribusi kesalahan penggugat tidak bisa dijadikan dalih/alasan untuk melepaskan diri pertanggungjawaban jika yang berlaku adalah strict liability. Sementara di Inggris, adanya kontribusi kesalahan dari penggugat akan mengurangi jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat, sehingga dalih ini tidak otomatis menghilangkan keseluruhan tanggung jawab dari tergugat. Lihat: Monika Hinteregger (ed.), op cit., hal.165-166.

170 Christian von Bar, The Common European Law of Torts Volume Two: Damage and Damages, Liability for and without Personal Misconduct, Causality, and Defences (Oxford: Clarendon Press, 2000), hal. 462-463.

Page 63: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  63  

apabila perbuatan pihak ketiga telah mengubah kerugian menjadi sesuatu yang berada

di luar resiko kegiatan/usaha tergugat. Apabila kerugian ini masih berada di dalam

lingkup resiko kegiatan/usaha tergugat, maka alasan perbuatan pihak ketiga akan

ditolak.171

Menurut pengamatan Hinteregger, pengadilan di Perancis biasanya menolak

dalih adanya perbuatan pihak ketiga dalam kasus yang menggunakan dasar strict

liability. Hinteregger juga menyatakan bahwa di Jerman, Portugal, Inggris dan

Irlandian, pengadilan biasanya akan menguji dalih perbuatan pihak ketiga di dalam

konteks force majeur, dalam arti bahwa perbuatan pihak ketiga ini haruslah

merupakan sesuatu yang tidak bisa diperkirakan (unforeseeable) sehingga tidak bisa

dicegah.172

5.   Penutup

Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini terlihat bahwa strict liability diartikan

dan dipraktekan secara berbeda antara di Indonesia dengan di AS. Tulisan ini tidak

ingin menunjukkan bahwa praktek dan penafsiran di AS benar, sementara di

Indonesia keliru; atau sebaliknya. Yang berhasil dikemukakan dari tulisan ini adalah

bahwa penafsiran dan praktek strict liability di Indonesia lebih dekat, terlalu dekat,

dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Hal ini pada akhirnya

menjadikan strict liability di Indonesia tidak menghasilkan perbedaan yang penting

dan signifikan dibandingkan dengan hasil yang dicapai melalui pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan (PMH). Karena itulah, perubahan praktek di Indonesia

menjadi penting untuk dilakukan.

Letak gugatan strict liability yang masih berada di dalam kelompok “Gugatan

PMH”, bukanlah persoalan yang terlalu penting, karena memang berada dalam

kelompok gugatan ini jauh lebih tepat dibandingkan dengan berada dalam kelompok

gugatan lainnya, yaitu “Gugatan Wanprestasi”. Perubahan yang perlu dilakukan

bukanlah pada pembagian kelompok gugatan, tetapi pada cara penyusunan gugatan.

Penulis mengusulkan agar untuk gugatan yang memasukkan strict liability

sebagai salah satu dasar pertanggungjawaban, maka gugatan tersebut hendaknya:

                                                                                                               171Bernhard A. Koch, “Chapter 7: Defences in General”, dalam: European Group on Tort Law,

Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005), hal. 129. 172Monika Hinteregger (ed.), op cit., hal. 163-164.

Page 64: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  64  

1.   Membuat bagian posita untuk strict liability yang terpisah dari posita untuk PMH

pada umumnya.

2.   Apabila dalam posita untuk PMH pada umumnya dicantumkan bagaimana

tergugat melakukan perbuatan melawan hukumnya, dan akibatnya bagi

penggugat, maka dalam posita untuk strict liability penggugat menjelaskan

bahwa: a). kegiatan tergugat merupakan kegiatan yang sangat berbahaya,

sehingga dapat dikenakan strict liability; b). penggugat mengalami kerugian yang

diakibatkan oleh kegiatan tergugat tersebut.

3.   Dalam bagian petitum, penggugat bisa mengajukan permohonan agar tergugat

dinyatakan bertanggungjawab atas dasar PMH atau strict liability. Dalam hal ini,

dapat saja dimohonkan agar “tergugat dinyatakan bertanggungjawab karena

melakukan perbuatan melawan hukum (jika memang gugatan meliputi pula PMH

biasa) dan/atau bertanggungjawab berdasarkan pertanggungjawaban mutlak

(strict liability)”.

Selanjutnya, hakim pun perlu mengubah pandangannya tentang strict liability

sebagai pembuktian terbalik terkait kesalahan. Penafsiran seperti ini keliru, karena

strict liability adalah sebuah teori/aturan bagi pertanggungjawaban, dan bukan

teori/aturan terkait beban pembuktian. Dalam hal ini, meskipun tergugat berhasil

membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan pelanggaran kewajiban atau kehati-

hatian, ia tetap bertanggungjawab atas kerugian penggugat yang diakibatkan kegiatan

tergugat.

Lebih dari itu, pengadilan pun perlu membuat kepastian mengenai proses

penanganan kasus yang menggunakan strict liability.173 Dalam konteks ini, penulis

mengusulkan agar pada saat menangani perkara tersebut, pengadilan pertama-tama

menentukan apakah perkara tersebut dapat dikenakan strict liability. Terkait hal ini,

pengadilan perlu membuat pertimbangan yang jelas dan tegas untuk menjelaskan

apakah kegiatan tergugat termasuk kegiatan yang sangat berbahaya, sehingga dapat

dikenakan strict liability.174 Jika hakim menganggap bahwa perkara tersebut dapat

                                                                                                               173Di dalam Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007) pengadilan

tidak memberikan pertimbangan dan pembahasan terkait dasar gugatan strict liability yang digunakan oleh penggugat.

174 Untuk konteks lingkungan hidup, sebuah kegiatan akan terkena strict liability apabila menggunakan beracun dan berbahaya (B3), atau menghasilkan limbah B3, atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Lihat: UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88.

Page 65: Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* Andri G ...bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/aspek-prosedural,-per... · Strict Liability di Indonesia ... Bencana Alam ... foto,

  65  

diadili berdasarkan strict liability, maka pertimbangan selanjutnya adalah apakah

penggugat dapat membuktikan bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kegiatan

tergugat. Sekali lagi, perlu ditegaskan kembali bahwa meskipun tergugat tidak

melawan hukum (dalam arti bahwa kegiatan tergugat tersebut tidaklah melawan

kewajiban dan kepatutan/kehati-hatian, dan bahwa kegiatan tersebut dilakukan

dengan tidak melawan kewajiban dan kepatutan/kehati-hatian), tergugat tetap

bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.

Terkait defense, terutama terkait dalih bencana alam, pengadilan pun harus

lebih berhati-hati dalam memberikan putusan. Pelajaran dari pengadilan di AS, di

mana pembuktian terkait dalih bencana alam harus memenuhi beberapa kriteria

pengujian, mungkin dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.