Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI...

63
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II 1 Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan Oleh: Andri G.Wibisana 1 ISI 1. Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum ................... 1 2. Pembangunan Berkelanjutan .............................................................................. 4 2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law ................................................. 4 2.2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi ................................ 6 2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan ................................... 8 2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia) ................................... 8 2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda)........ 11 2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay) ...... 11 2.4. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia .................................................... 15 2.5. Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan ............................................. 16 3. Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity) ............................. 18 3.1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif ......................................... 19 3.2. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Korektif ......................................... 25 3.3. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Prosedural ...................................... 25 3.4. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Sosial ............................................. 27 4. Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity) ...................................... 28 4.1. Perlindungan opsi, kualitas, dan akses yang lahir dari keadilan antar generasi 29 4.2. Hak atas lingkungan yang baik, hak gugat, dan keadilan antar generasi ...... 31 5. Prinsip Pencegahan (The Principle of Preventive Action)................................ 33 6. Prinsip Kehati-hatian (The Precautionary Principle) ...................................... 37 6.1. Perkembangan Prinsip Kehati-hatian ........................................................... 38 6.2. Berbagai Dimensi dari Prinsip Kehati-hatian .............................................. 44 6.3. Asas Kehati-hatian di Indonesia .................................................................. 48 7. Prinsip Pencemar Membayar (The Polluter-Pays Principle) .......................... 57 1. Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum Pada era 1960an, perhatian masyarakat dunia terhadap masalah lingkungan menjadi semakin besar. Pada tahun 1962, terbitnya sebuah buku yang ditulis oleh Rachel Carson, “the Silent Spring”, menandai mulai terbukanya mata dunia akan bahaya lingkungan. Pada waktu itu, buku yang menggemparkan ini tercatat sebagai buku terlaris di AS selama 31 minggu. Di samping itu, era 1960an dan awal 1970an, juga ditandai dengan kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society, yang kemudian menjadi pertanda akan lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia 2 . 1 Pengajar Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum UI. SH dari Fakultas Hukum UI (2002), LLM dari Utrecht University (2002), dan Dr. dari Maastricht University (2008). Bahan ini adalah bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI, draft bulan Oktober 2014. Kontak: [email protected]. 2 Tony Brenton, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics (London: Earthscan, 1994), hal. 18-19.

Transcript of Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI...

Page 1: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

1

Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan

Oleh: Andri G.Wibisana1

ISI 1.   Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum ................... 1  2.   Pembangunan Berkelanjutan .............................................................................. 4  

2.1.   Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law ................................................. 4  2.2.   Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi ................................ 6  2.3.   Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan ................................... 8  

2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia) ................................... 8 2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda) ........ 11 2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay) ...... 11

2.4.   Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia .................................................... 15  2.5.   Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan ............................................. 16  

3.   Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity) ............................. 18  3.1.   Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif ......................................... 19  3.2.   Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Korektif ......................................... 25  3.3.   Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Prosedural ...................................... 25  3.4.   Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Sosial ............................................. 27  

4.   Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity) ...................................... 28  4.1.   Perlindungan opsi, kualitas, dan akses yang lahir dari keadilan antar generasi 29  4.2.   Hak atas lingkungan yang baik, hak gugat, dan keadilan antar generasi ...... 31  

5.   Prinsip Pencegahan (The Principle of Preventive Action) ................................ 33  6.   Prinsip Kehati-hatian (The Precautionary Principle) ...................................... 37  

6.1.   Perkembangan Prinsip Kehati-hatian ........................................................... 38  6.2.   Berbagai Dimensi dari Prinsip Kehati-hatian .............................................. 44  6.3.   Asas Kehati-hatian di Indonesia .................................................................. 48  

7.   Prinsip Pencemar Membayar (The Polluter-Pays Principle) .......................... 57   1. Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum Pada era 1960an, perhatian masyarakat dunia terhadap masalah lingkungan menjadi semakin besar. Pada tahun 1962, terbitnya sebuah buku yang ditulis oleh Rachel Carson, “the Silent Spring”, menandai mulai terbukanya mata dunia akan bahaya lingkungan. Pada waktu itu, buku yang menggemparkan ini tercatat sebagai buku terlaris di AS selama 31 minggu. Di samping itu, era 1960an dan awal 1970an, juga ditandai dengan kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society, yang kemudian menjadi pertanda akan lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia2.

1Pengajar Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum UI. SH dari Fakultas Hukum UI (2002),

LLM dari Utrecht University (2002), dan Dr. dari Maastricht University (2008). Bahan ini adalah bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI, draft bulan Oktober 2014. Kontak: [email protected].

2Tony Brenton, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics (London: Earthscan, 1994), hal. 18-19.

Page 2: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

2

Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masyarakat Barat pada masa itu mulai memperhatikan masalah lingkungan. Pertama, adalah semakin meningkatnya polusi di negara-negara maju pada waktu itu. Kedua, permasalahan lingkungan ini kemudian mendapat sorotan yang tajam dan terus-menerus dari pers Barat, sehingga semakin membuat masyarakat tersadarkan akan bahaya dari efek samping pembangunan. Ketiga, pertumbuhan ekonomi negara maju sedikit banyak telah menggeser preferensi masyarakat. Dalam hal ini, preferensi masyarakat mulai bergeser dari hal yang bersifat material ke arah non-material, seperti perbaikan kualitas lingkungan hidup. Keempat, pada masa itu masyarakat di negara-negara Barat, terutama kaum kudanya, juga sedang “counter-culture”, budaya anti kemapanan. Gerakan ini, pada gilirannya akan melihat bahwa kehancuran lingkungan hidup juga disebabkan oleh sistem ekonomi yang telah mapan: kapitalisme. Kelima: adanya perkembangan teknologi dan informasi telah turut serta menyadarkan masyarakat tentang betapa kecilnya planet kita ini. Masyarakat dunia mulai merasa bahwa kasus Minamata, kerusakan danau di Scandinavia, atau hancurnya sungai-sungai di Oregon seperti terjadi di tempat yang tak jauh darinya3.

Pergeseran pemikiran masyarakat, Barat pada waktu itu, mau tidak mau menuntut suatu perubahan sikap pemerintah dalam menghadapi masalah lingkungan. Di samping itu, beberapa negara berkembang, seperti India, yang juga telah beberapa kali mengalami bencana yang disebabkan oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan, mulai menyadari pentingnya perlindungan lingkungan. Pergeseran pemikiran masyarakat inilah, ditambah dengan semakin banyaknya masalah lingkungan yang bersifat lintas batas negara, yang mendorong adanya pertemuan internasional yang membahas mengenai masalah lingkungan secara lebih luas dan mendalam, dibandingkan dengan beberapa perjanjian lingkungan internasional sebelumnya4. Pada tahun 1968, Majelis Umum PBB menyepakati proposal Swedia untuk menyelenggarakan sebuah pertemuan internasional pertama yang akan membahas masalah lingkungan hidup secara luas. Pertemuan ini nantinya diharapkan akan mampu memberikan arahan bagi perkembangan hukum lingkungan di tingkat internasional.

Pada tahun 1972, di Stockholm, Swedia, diadakanlah konferensi internasional mengenai lingkungan hidup, yang menghasilkan tiga hal utama yaitu di bidang pelaksanaan (the Stockholm Action Plan), kelembagaan dan dana (United Nations Environment Program—UNEP dan Environment Fund), serta dalam bidang politik (the Stockholm Declaration on the Human Environment ).

Pertemuan itu sendiri ditandai dengan adanya pertentangan antara negara-negara maju dan berkembang. Negara berkembang, yang pada waktu itu sebagian besar merupakan negara yang baru merdeka, merasa bahwa tuntutan negara maju mengenai perlindungan lingkungan hidup akan memberi dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang baru saja mereka alami. Negara berkembang sering kali menggunakan alasan hak untuk membangun, kedaulatan untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, dan kebutuhan untuk menangani masalah lingkungan di tingkat nasional dari pada di tingkat global, sebagai alasan untuk menentang usulan negara-negara maju5. Di samping itu, masalah pertumbuhan penduduk juga menjadi salah satu sebab pertentangan antara negara maju dan berkembang. Negara maju berungkali menyatakan bahwa salah satu penyebab

3Ibid., hal. 20-24. 4Ibid., hal. 33-34. 5David Hunter, James Salzman, dan Durwood Zaelke, International Environmental Law and

Policy (New York: Foundation Press, 1998), hal. 281.

Page 3: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

3

kerusakan lingkungan hidup adalah pertumbuhan penduduk dunia, sehingga kontrol terhadap populasi penduduk juga merupakan salah satu poin penting bagi perlindungan lingkungan. Pendapat ini tentu saja ditentang oleh negara-negara berkembang. Delegasi RRC menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk di negaranya tidaklah menyebabkan terhambatnya peningkatan kualitas hidup penduduk. Sementara PM Indira Gandhi menyatakan bahwa seorang penduduk di negara maju menghabiskan sumber daya dan menimbulkan pencemaran yang jauh lebih banyak dibandingan dengan yang dilakukan oleh seorang penduduk di negara berkembang6.

Perdebatan-perdebatan di atas pada akhirnya menyebabkan hasil yang dicapai dari konferensi tersebut sering kali merupakan jalan tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan politik yang dihasilkan, Deklarasi Stockholm. Pada deklarasi ini, penekanan akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup selalu diletakkan bersama-sama dengan kebutuhan akan pembangunan dan kedaulatan untuk mengolah sumber daya alam (Prinsip 21). Pada prinsip 23 dari deklarasi ini dinyatakan pula bahwa standar yang diterapkan di negara maju belum tentu sesuai bagi negara berkembang—artinya memberikan hak bagi negara berkembang untuk menyusun standarnya sendiri. Sedang pada prinsip 9-12 dinyatakan pentingnya bantuan dari negara maju, misalnya teknologi, dalam rangka pengelolaan lingkungan.

Banyak pengamat yang mengkritik hasil dari Konferensi Stockholm, dengan menyatakan bahwa konferensi ini tidak mampu menghasilkan sesuatu yang dapat menghasilkan suatu perubahan radikal bagi perkembangan hukum lingkungan internasional. Konferensi ini sering kali dituduh sebagai “cosmetic event”, sebuah propaganda dari pemerintahan negara Barat bagi rakyatnya untuk menunjukkan bahwa pemerintahan mereka memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan telah berjuang bagi perlindungan lingkungan di dalam pertemuan global tersebut. Di sisi lain, kritik sering pula ditujukan pada tidak adanya kesepakan mendasar mengenai keterkaitan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan. Tanpa adanya kesepahaman mengenai hal ini, maka hasil-hasil Konferensi Stockholm seringkali menjadi tidak tegas7.

Terlepas dari banyaknya kritik terhadap konferensi Stockholm, beberapa pengamat melihat bahwa konferensi ini menghasilkan sesuatu yang, meskipun marjinal, mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan. Konferensi Stockholm paling tidak telah mendorong tiap-tiap negara peserta untuk lebih memusatkan perhatian bagi masalah lingkungan dibandingkan dengan yang telah mereka lakukan sebelumnya8. Deklarasi Stockholm juga merupakan sebuah kesepakatan politik internasional pertama yang memuat pengakuan atas kewajiban generasi sekarang bagi generasi yang akan datang9.

Perkembangan politik dan cara pandang terhadap lingkungan hidup pada akhirnya sering kali berkelindan dengan perkembangan hukum lingkungan. Melalui perkembangan politik dan cara pandang inilah biasanya lahir apa yang dikenal sebagai prinsip-prinsip yang mendasari perubahan kebijakan dan hukum lingkungan. Dalam pandangan Dworkin, aturan hukum (rules of law) perlu dibedakan dari prinsip atau asas hukum (legal principles). Menurutnya, aturan bekerja menurut “all-or-nothing”

6Tony Brenton, Op.cit., hal. 40-41. 7Ibid., hal. 49. 8Ibid., hal. 50 9David Hunter, et.al., op.cit. hal. 285. Hal ini terlihat dari prinsip 1 Stockhol Declaration yang

menyatakan: “[m]an has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generations.”

Page 4: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

4

(misalnyanya apakah dalam kasus tertentu berlaku aturan A atau tidak). Sehingga aturan lebih memiliki kejelasan, baik dari isi maupun konsekuensi hukum apabila aturan ini dilanggar. Sebaliknya, menurut Dworkin, prinsip hukum berfungsi untuk memberikan bobot (weight) atas sebuah keputusan. Dalam hal ini, pengakuan atas sebuah prinsip dapat dibandingkan dengan prinsip lain yang bertentangan sebelum prinsip tersebut memiliki pengaruh dalam sebuah keputusan. Artinya, jika sebuah keputusan terkait hal tertentu lebih didasarkan pada prinsip A dan bukan prinsip B, maka tidak berarti dalam hal tersebut prinsip B tidak berlaku. Prinsip-prinsip tersebut berfungsi sebagai latar belakang yang implisit dari sistem hukum.

Bab ini akan membahas mengenai beberapa prinsip hukum lingkungan, yaitu: Pembangunan Berkelanjutan, Keadilan dalam Satu Generasi, Keadilan Antar Generasi, Prinsip Pencegahan, Prinsip Kehati-hatian, dan Prinsip Pencemar Membayar. 2. Pembangunan Berkelanjutan 2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law

Sustainabel Development bukanlah merupakan sebuah konsep yang muncul pada satu ketika, melainkan merupakan hasil dari proses perdebatan panjang antara kebutuhan akan pembangunan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup. Pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membuat sebuah lembaga yang bertugas mengkaji ulang beberapa masalah penting yang terkait dengan pembangunan dan lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang inovatif, kongkret dan realistik yang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Lembaga ini bernama World Commission on Environment and Development (WCED) atau sering disebut sebagai Brundtland Commission.

Pada tahun 1987, WCED mengluarkan sebuah laporan yang berjudul Our Common Future. Komisi ini bukanlah komisi yang menemukan istilah Sustainable Development, meski diakui bahwa komisi inilah yang mempopulerkan istilah tersebut dan menempatkannya tepat di pusat pembuatan kebijakan internasional. Definisi komisi ini atas Sustainable Development adalah “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Selanjutnya di dalam rangkuman dari Our Common Future tampak jelas bagaimana pandangan WCED dalam merumuskan langkah-langkah mewujudkan Sustainable Development, yaitu:10 - Revive Growth, menggiatkan kembali pertumbuhan. Dalam hal ini kemiskinan

dianggap sebagai sebuah sumber utama bagi kerusakan lingkungan, yang tidak hanya berakibat buruk pada sejumlah besar rakyat di negara berkembang, tetapi juga berpengaruh buruk bagi pembangunan berkelanjutan pada tingkat dunia. Karena itu, pembangunan ekonomi harus didorong, terutama di negara berkembang, dengan memperbaiki sumber daya lingkungan.

- Change the Quality of Growth, perubahan kualitas pertumbuhan. Pertumbuhan (ekonomi) haruslah merupakan pertumbuhan yang di dalamnya terdapat konsep keberlanjutan, keadilan social, dan keamanan sebagai tujuan social yang utama. Pola energi yang aman dan ramah lingkungan merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari pertumbuhan ini. Distribusi pendapatan yang lebih baik, penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana alam dan dampak teknologi, perbaikan kesehatan, serta perlindungan warisan budaya merupakan factor-faktor yang berperan dalam perubahan kualitas pertumbuhan ekonomi ini.

10Ibid., hal. 291-291.

Page 5: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

5

- Conserve and Enhance the Resource Base, perlindungan dan perbaikan sumber daya. Keberlanjutan mensyaratkan adanya perlindungan terhadap sumber daya lingkungan (seperti udara bersih, air, hutan dan tanah), pemeliharaan atas keanekaragamaan genetika, serta penggunaan energi, air, dan bahan baku secara efisien. Semua negara harus didorong untuk melakukan pencegahan pencemaran lingkungan dengan melakukan penegakan peraturan-peraturan lingkungan hidup, pengupayaan teknologi yang menghasilkan sedikit limbah, serta mengantisipasi dampak dari produk, teknologi dan limbah yang baru.

- Ensure a Sustainable Level of Population, menjamin adanya tingkat populasi yang berkelanjutan. Dalam hal ini, kebijakan kependudukan harus dirumuskan dan diintegrasikan dengan program-program pembangunan social dan ekonomi lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan perluasan mata pencaharian masyarakat miskin. Diperlukan juga adanya peningkatan akses masyarakat pada program keluarga berencana.

- Reorient Technology and Manage Risks, reorientasi teknologi dan pengelolaan resiko. Pembangunan teknologi haruslah diarahkan pada upaya untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada factor lingkungan hidup. Mekanisme nasional dan internasional diperlukan untuk menganalisa dampak dari teknologi baru sebelum teknologi ini digunakan. Pertanggungajawaban atas kerugian yang timbul sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan harus diperkuat dan ditegakkan. Partisipasi publik dan akses yang lebih besar atas informasi harus didorong di dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan masalah pembangunan dan lingkungan hidup.

- Integrate Environment and Economics in Decision-Making, pengintegrasian aspek lingkungan hidup dan ekonomi di dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan harus diarahkan pada upaya yang saling mendukung tercapainya tujuan-tujuan ekonomi dan lingkungan hidup. Keberlanjutan mensyaratkan adanya tanggung jawab yang lebih besar atas dampak yang timbul dari suatu kebijakan. Mereka yang membuat kebijakan harus bertanggung jawab, dan karenanya harus memperhatikan, dampak yang timbul dari kebijakannya pada sumberdaya lingkungan.

- Reform International Economic Relations, reformasi hubungan ekonomi internasional. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang mensyaratkan adanya perubahan besar menuju alur perdagangan, modal, dan teknologi yang lebih adil dan lebih sejalan dengan aspek perlindungan lingkungan hidup. Dalam hal ini, diperlukan adanya perubahan mendasar bagi transfer teknologi dan keuangan internasional untuk membantu negara berkembang memperluas kesempatan mereka dalam melakukan diversifikasi ekonomi dan perdagangan serta membangun kemandirian ekonomi mereka.

- Strengthen Internasional Co-operation, penguatan kerja sama internasional. Faktor lingkungan hidup dapat mendorong terjadinya hubungan internasional yang penting dan saling menguntungkan, sebab kegagalan untuk bekerja sama dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan munculnya peningkatan kemiskinan dapat mengakibatkan terjadinya eksternalitas serta persoalan lingkungan global. Pembangunan internasional harus memberikan prioritas yang lebih tinggi bagi pemantauan lingkungan, analisa, riset, serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini memerlukan adanya komitmen yang lebih serius dari semua negara bagi terciptanya institusi internasional yang lebih memuaskan, bagi terciptanya dialog yang lebih konstruktif, serta bagi terciptanya keamanan dan perdamaian dunia.

Page 6: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

6

Pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, diadakan sebuah konferensi tingkat tinggi, yang dihadiri oleh para kepala negara dari seluruh dunia, yang diberi nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konferensi Rio. Konferensi ini menghasilkan 5 dokumen serta 1 institusi yang penting bagi pembangunan berkelanjutan yaitu: Rio Declaration (Deklarasi Rio), Agenda 21—sebuah blueprint bagi rencana kerja pengimplementasian pembangunan berkelanjutan pada abad 21, Forestry Principles (Prinsip-prinsip Kehutanan), Biodiversity Convention (Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati), the Climate Change Convention (Konvensi mengenai perubahan iklim), serta Commission on Sustainable Development—sebuah komisi yang diciptakan untuk memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakan Rio dan Agenda 21.

Istilah pembangunan berkelanjutan secara jelas tertuang di dalam prinsip 1, 3 dan 4 Deklarasi Rio serta menjiwai keseluruhan prinsip dari deklarasi ini. Pada prinsip 1 dinyatakan bahwa umat manusia merupakan pusat dari perhatian pada pembangunan berkelanjutan. Manusia berhak atas hidup yang sehat dan produktif yang harmonis dengan alam. Dalam prinsip 3 dinyatakan bahwa hak atas pembangunan harus dicapai untuk secara seimbang memenuhi kebutuhan akan pembangunan dan lingkungan hidup dari genarasi sekarang dan yang akan datang. Pada prinsip 4 dinyatakan bahwa dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan hidup harus merupakan bagian yang integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah darinya.

2.2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi

Seperti telah disebutkan sebelumnya, KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 telah menghasilkan dua buah konvensi, yaitu UNFCCC dan CBD. Kedua konvensi ini secara jelas telah mengadopsi pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks perubahan iklim, paragraf pembukaan dari UNFCCC menyatakan bahwa Negara Peserta bertekad “to protect the climate system for present and future generations”.11 Selanjutnya, UNFCCC menyatakan pula bahwa Negara Peserta memiliki hak atas dan harus mendukung pembangunan berkelanjutan. Kebijakan dan langkah-langkah perlindungan iklim haruslah sesuai dengan kondisi dari tiap Negara, serta harus terintegrasi di dalam program pembangunan tiap Negara. Dalam hal ini, UNFCCC mengakui bahwa pembangunan ekonomi merupakan unsur yang esensial bagi penanganan perubahan iklim.12 Selanjutnya, UNFCCC juga menginginkan terwujudnya kerja sama di antara Negara Peserta untuk menciptakan sistem ekonomi dunia yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terutama di negara berkembang, sehingga memungkinkan Negara Peserta untuk mengatasi perubahan iklim secara lebih baik.13

11UNFCCC, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992), preambular par. 12UNFCCC menyatakan,

“The Parties have a right to, and should, promote sustainable development. Policies and measures to protect the climate system against human-induced change should be appropriate for the specific conditions of each Party and should be integrated with national development programmes, taking into account that economic development is essential for adopting measures to address climate change.”

UNFCCC, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992), art. 3(4). 13Dalam hal ini, UNFCCC menyatakan: “[t]he Parties should cooperate to promote a supportive

and open international economic system that would lead to sustainable economic growth and

Page 7: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

7

Masih di dalam konteks perubahan iklim, beberapa rujukan terhadap perubahan iklim juga dimuat di dalam Protokol Kyoto 1997.14 Dalam Protokol ini dinyatakan bahwa secara umum penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan oleh negara maju (negara Annex 1) diarahkan untuk mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan.15 Untuk mencapai maksud tersebut, negara maju diharuskan melakukan beberapa langkah penurunan emisi, antara lain dengan jalan menerapkan praktek pertanian dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.16 Dalam rangka pelibatan negara non-Annex 1 dalam upaya penurunan emisi, Protokol Kyoto telah melahirkan sebuah mekanisme yang disebut Clean Development Mechanism (CDM—Mekanisme Pembangungan Bersih).17 Dalam hal ini, Protokol Kyoto menyatakan bahwa pada satu sisi CDM bertujuan untuk membantu negara non-Annex 1 mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan terlibat dalam upaya penurunan emisi GRK; sedangkan pada sisi lain, CDM bertujuan pula untuk membantu negara Annex 1 melakukan upaya penaatan komitmen penurunan emisi GRK mereka.18

Terkait dengan keanekaragaman hayati (biodiversity), CBD memuat rujukan pada pembangunan berkelanjutan, yang dalam hal ini diartikan sebagai pemakaian sumber daya hayati secara berkelanjutan (sustainable use). Di dalam CBD dinyatakan bahwa tujuan konvensi ini adalah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan sumber daya ini secara berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang dari pemanfaatan ini secara adil (fair and equitable sharing of benefits).19 Dalam hal ini, pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) dimaknai sebagai pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan dalam laju pemanfaatan yang dalam jangka panjang tidak akan mengarah pada penurunan keanekaragaman hayati, sehingga mampu menjaga potensi sumber daya keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.20

development in all Parties,particularly developing country Parties, thus enabling them better to address the problems of climate change.” UNFCCC, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992), art. 3(5).

14The 1997 Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, 10 Dec. 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998)—selanjutnya disebut Protokol Kyoto.

15Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 2(1). 16Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 2(1a) (ii) dan

(iii). 17Melalui mekanisme ini, negara non-Annex 1 dapat melakukan upaya penurunan emisi GRK

dengan bantuan dari negara Annex 1. Hasil dari penurunan emisi ini disebut dengan Certified Emission Reduction (CER), yang kemudian dianggap sebagai penurunan emisi yang dilakukan oleh negara Annex 1. Dengan demikian, negara non-Annex 1 diharapkan dapat memperoleh keuntungan dari proyek penurunan emisi tersebut; sedangkan bagi negara Annex 1, keuntungan yang diharapkan adalah bahwa dengan adanya CER, proyek penurunan emisi tersebut dapat digunakan sebagai upaya penuruan emisi mereka. Secara lebih detail, Protokol Kyoto merumuskan mekanisme CDM dalam: Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 12.

18Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 12(2). 19Secara lengkap, tujuan dari CBD adalah sebagai berikut:

“The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its relevant provisions, are the conservation of biological diversity, the sustainable use of its components and the fair and equitable sharing of the benefits arising out of the utilization of genetic resources, including by appropriate access to genetic resources and by appropriate transfer of relevant technologies, taking into account all rights over those resources and to technologies, and by appropriate funding.”

Lihat: CBD, 1760 UNTS 79, 31 ILM 818 (1992), art. 1. 20CBD, 1760 UNTS 79, 31 ILM 818 (1992), art. 2.

Page 8: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

8

Konvensi lainnya yang juga memuat berbagai rujukan pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah UN Convention to Combat Desertification (UNCCD), konvensi PBB terkait upaya pencegahan penggurunan, tahun 1994.21 Dalam bagian pembukaan, UNCCD menyadari bahwa pembangunan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial, dan pengentasan kemiskinan merupakan prioritas dari negara berkembang, serta merupakan bagian penting dalam pencapaian tujuan keberlanjutan. Pada bagian ini juga dinyatakan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan penggurunan haruslah diletakkan dalam kerangkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.22 Atas dasar ini, maka UNCCD menyatakan bahwa sebagai tujuan konvensi, upaya mengatasi penggurunan dan dampak-dampaknya dilakukan dalam rangka berkontribusi bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengalami penggurunan.23 Di samping itu, seperti dicatat oleh Segger, UNCCD memuat lebih dari 40 rujukan kepada kata “berkelanjutan” (sustainable), baik dalam konteks pembangungan, pemanfaatan, pengelolaan, ekspolitasi, produksi, maupun praktek yang berkelanjutan (atau tidak berkelanjutan).24 2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan

Di samping telah diadopsi di dalam berbagai deklarasi dan konvensi, pembangunan berkelanjutan juga telah dimuat di dalam berbagai putusan. Dalam level internasional, beberapa kasus yang secara jelas merujuk pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah putusan International Court of Justice (ICJ) dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia),25 keputusan badan arbitrase permanen antara Belgia dan Belanda dalam kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway pada tahun 2005,26 dan putusan ICJ dalam kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay),27 terutama pendapat dari Hakim Trindade.28 2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia)

Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros,29 ICJ berpendapat bahwa dampak lingkungan, yang mungkain akan dihasilkan dari pengerjaan proyek bendungan

21The 1994 United Nations Convention to Combat Desertification, 12 September 1994, UN Doc. A/AC.241/27, 33 ILM 1328 (1994)—selanjutnya disebut UNCCD.

221994 UNCCD, UN Doc. A/AC.241/27, 33 ILM 1328 (1994), preambular par. 231994 UNCCD, UN Doc. A/AC.241/27, 33 ILM 1328 (1994), art. 2(3). 24Marie-Claire Cordonier Segger, “The Role of International Forums in the Advancement of

Sustainable Development”, Sustainable Development Law & Policy, Vol. 10, 2009, hal. 7. 25Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia), 1997 ICJ 7

(selanjutnya disebut Kasus Gabcikovo-Nagymaros). 26The Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway case (Belgium v. Netherlands) Perm. Ct. Arb. (2005).

Tersedia pada <http://www.pca-cpa.org/upload/files/BE-NL%20Award%20corrected%20200905.pdf> 27Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Case No. 135,

Judgment, 20 April 2010. tersedia pada: <http://www.icj-cij.org/docket/files/135/15877.pdf> (Selanjutnya disebut: Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay).

28Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Separate Opinion of Judge Cançado Trindade, <http://www.icj-cij.org/docket/files/135/15885.pdf > (Selanjutnya disebut Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade).

29Pada tahun 1977, Hungaria dan Cekoslovakia menandatangani perjanjian pembangunan dan pengoperasian sistem bendungan di Sungai Danube, di daerah Gabcikovo (wilayah Cekoslovakia) dan Nagymaros (wilayah Hungaria). Perjanjian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Danube, perbaikan sistem navigasi di sungai tersebut, perlindungan daerah aliran Sungai Danube dari banjir. Di samping itu, Hungaria dan Cekoslovakia pun sepakat untuk menjamin bahwa proyek pembangunan yang direncanakan tersebut tidak akan menurunkan kualitas air dari Sungai Danube dan bahwa dalam pengerjaan dan pengoperasian proyek

Page 9: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

9

Sungai Danube di wilayah Gabcikovo-Nagymaros, merupakan sebuah issue yang penting. Meski demikian, ICJ juga menyatakan bahwa kebutuhan akan pembangunan juga merupakan aspek yang sama pentingnya. ICJ melihat bahwa dalam kasus ini terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan akan pembangunan di satu sisi, dan kebutuhan akan perlindungan di sisi lain. Dalam hal ini, ICJ melihat pembangungan berkelanjutan sebagai sebuah prinsip untuk mendamaikan kedua kebutuhan yang saling bertentangan ini. Lebih tegas lagi, ICJ menyatakan:

“Throughout the ages, mankind has, for economic and other reasons, constantly interfered with nature. In the past, this was often done without consideration of the effects upon the environment. Owing to new scientific insights and to a growing awareness of the risks for mankind—for present and future generations—of pursuit of such interventions at an unconsidered and unabated pace, new norms and standards have been developed, set forth in a great number of instruments during the last two decades. Such new norms have to be taken into consideration, and such new standards given proper weight, not only when States contemplate new activities but also when continuing with activities begun in the past. This need to reconcile economic development with protection of the environment is aptly expressed in the concept of sustainable development.”—[garis bawah tambahan dari penulis].30

Putusan ICJ dalam Gabcikovo-Nagymaros mendapat perhatian luas dari

kalangan ahli hukum, terutama karena dissenting opinion yang dikemukakan oleh Weeramantry, salah seorang hakim ICJ yang mengadili kasus ini. Dalam dissenting opinion ini Weeramantry menyatakan bahwa seandainya saja pertimbangan tersebut juga dilakukan dengan memperhatikan perlindungan lingkungan. Berdasarkan perjanjian tersebut, Hungaria bertanggung jawab atas pengerjaan proyek di wilayah Nagymaros, dan Cekoslovakia bertanggung jawab atas pengerjaan proyek di Gabcikovo. Di samping itu, perjanjian juga menyatakan bahwa kedua proyek di kedua wilayah ini harus dianggap sebagai satu kesatuan proyek yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kasus Gabcikovo-Nagymaros, 1997 ICJ 7, hal. 17-20.

Sebagai akibat dari tekanan dalam negeri, pada tanggal 13 Mei 1989 Hungaria secara sepihak memutuskan untuk menunda pekerjaan di Nagymaros. Pada tanggal 27 Oktober 1989, Hungaria kemudian memutuskan untuk menghentikan sama sekali proyek di Nagymaros. Sebagai reaksi atas keputusan sepihak ini, Cekoslovakia memutuskan untuk mengembangkan alternatif proyek pembangunan bendungan, yang disebut dengan “Variant C”. Alternatif ini mengubah rencana pembangunan bendungan yang sebelumnya telah disepakati berdasarkan perjanjian tahun 1977. Pada tanggal 23 Oktober 1992, Cekoslovakia memutuskan untuk membendung Sungai Danube berdasarkan rencana barunya tersebut (“Variant C”). Ibid., hal. 25.

ICJ memutuskan, antara lain, bahwa Hungaria tidak memiliki hak untuk secara sepihak menunda dan kemudian pada tahun 1989 menghentikan pembangunan di Nagymaros. Di sisi lain, ICJ juga mengatakan bahwa Cekoslovakia tidak memiliki hak untuk mengoperasikan alternatif sementara mereka (yaitu “Variant C”) sejak Oktober 1992. Selanjutnya, ICJ juga menyatakan bahwa Hungaria dan Slovakia (sebagai negara penerus Cekoslovakia dalam kasus ini) harus bekerja sama dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan Perjanjian tahun 1977. Dalam hal ini, ICJ juga memerintahkan kedua negara untuk membentuk joint operational regime, yaitu sebuah sistem kerja sama dalam pelaksanaan proyek sesuai dengan perjanjian tahun 1977. ICJ memerintahkan Hungaria untuk membayar kompensasi kepada Slovakia atas kerugian yang diderita Slovakia karena penghentian proyek yang menjadi tanggung jawab Hungaria (proyek di Nagymaros); sedangkan Slovakia harus membayar kompensasi kepada Hungaria atas kerugian yang diderita oleh Hungaria akibat dari pengerjaan dan pengoperasian proyek “Variant C”. Ibid., hal. 82-83.

30Ibid., hal. 78.

Page 10: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

10

lingkungan adalah satu-satunya pertimbangan yang digunakan dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros, maka langkah yang diambil oleh Hungaria (yaitu menghentikan secara sepihak pelaksanaan pembangunan berdasarkan Perjanjian tahun 1977) dapatlah dibenarkan. Namun, menurut Weeramantry, ICJ haruslah memberikan pertimbangan yang seimbang bagi kebutuhan akan pembangunan di satu sisi (dalam hal ini kepentingan dari Slovakia) dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan di sisi lain (dalam hal ini kepentingan dari Hungaria). Dalam pandangan Weeramantry, prinsip hukum yang dapat menjembatani dua kebutuhan yang saling bertentangan ini adalah prinsip pembangunan berkelanjutan.31 Lebih jauh lagi, Weeramantry mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya merupakan sebuah konsep, tetapi sudah merupakan sebuah prinsip hukum yang bersifat normatif. Tanpa prinsip hukum ini, maka kasus Gabcikovo-Nagymaros akan sangat sulit untuk diputuskan. Menurutnya, “…I consider it to be more than a mere concept, but as a principle with normative value which is crucial to the determination of this case. Without the benefits of its insights, the issues involved in this case would have been difficult to resolve.”32 Lebih lanjut, Weeramantry beranggapan bahwa baik Hungaria maupun Slovakia sebenarnya sama-sama mengakui keberadaan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perbedaan di antara mereka hanyalah pada pertanyaan bagaimana menjalankan prinsip ini.33

Untuk mendukung pendapatnya ini, Weeramantry kemudian menunjukkan berbagai deklarasi, konvensi, praktek di beberapa negara, dan praktek di beberapa lembaga internasional yang mengadopsi dan menerapkan pembangunan berkelanjutan.34 Dari uraiannya ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah prinsip hukum bukan hanya karena logika yang dikandungnya, tetapi juga karena adanya penerimaan secara luas oleh masyarakat internasional. Menurutnya, “[t]he principle of sustainable development is thus a part of modern international law by reason not only of its inescapable logical necessity, but also by reason of its wide and general acceptance by the global community.”35

Lebih lanjut lagi, Weeramantry menggambarkan berbagai pengalaman pengalaman di beberapa negara dan dari berbagai masa yang memperlihatkan bagaimana sejak zaman dahulu sebenarnya manusia telah terbiasa untuk mendamaikan dan menjembatani pertentangan antara kebutuhan akan pembangunan dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan.36 Atas dasar ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan sekedar sebuah prinsip hukum modern, tetapi juga merupakan salah satu ide manusia yang paling tua dan telah berkembang selama ribuan tahun, serta memiliki peran yang penting dalam hukum internasional. Dalam hal ini, Weeramantry menyatakan bahwa “[s]ustainable development is thus not merely a principle of modern international law. It is one of the most ancient of ideas in the human heritage. Fortified by the rich insights that can be gained from millennia of human experience, it has an important part to play in the service of international law.”37

31Ibid., hal. 88. 32Ibid. Bandingkan dengan pendapat ICJ yang menyatakan bahwa pembangunan adalah sebuah

konsep, dan bukannya prinsip hukum. Lihat Kasus Gabcikovo-Nagymaros, op.cit note 25, hal. 78. 33Kasus Gabcikovo-Nagymaros: Pendapat Weeramantry, op.cit. note Error! Bookmark not

defined. hal. 90. 34Ibid., hal. 92-94. 35Ibid., hal. 95. 36Ibid., hal. 97-110. 37Ibid., hal. 110-111.

Page 11: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

11

2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda)

Sementara itu, kasus “Ijzeren Rijn” merupakan keputusan dari badan arbitrase, yaitu the   Permanent   Court   of   Arbitration   di   Den   Haag,   yang   mengadili   sengketa  antara   Belgia   melawan   Belanda,   terkait   dengan   reaktivasi   rel   kereta   yang  menghubungkan   pelabuhan   Antwerpen,   Belgia,   dengan   pinggiran   sungai   Rhine   di  Jerman,   dengan   melalui   Noord-­‐Brabant   dan   Limburg   di   Belanda.     Jalur   kereta   ini  dibuka  pada   tahun  1830-­‐an,   dan   beroperasi   sampai   tahun  1991. Kemudian, pada tahun 1998 muncul usulan dari Pemerintah Belgia untuk mengaktifkan kembali, mengadaptasi, dan memperbarui jalur kereta ini.38 Salah satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh Badan Arbitrase adalah sejauh mana Belgia atau Belanda harus menanggung biaya dan resiko keuangan terkait dengan pemakaian, restorasi, adaptasi, dan modernisasi jalur Iron Rhine di wilayah Belanda. Atas pertanyaan ini, Badan Arbitrase memberikan sebuah pernyataan penting terkait hukum lingkungan, yaitu bahwa:

“Applying the principles of international environmental law, the Tribunal observes that it is faced, in the instant case, not with a situation of a transboundary effect of the economic activity in the territory of one state on the territory of another state, but with theeffect of the exercise of a treaty-guaranteed right of one state in the territory of another state and a possible impact of such exercise on the territory of the latter state. The Tribunal is of the view that, by analogy, where a state exercises a right under international law within the territory of another state, considerations of environmental protection also apply. The exercise of Belgium’s right of transit, as it has formulated its request, thus may well necessitate measures by the Netherlands to protect the environment to which Belgium will have to contribute as an integral element of its request. The reactivation of the Iron Rhine railway cannot be viewed in isolation from the environmental protection measures necessitated by the intended use of the railway line. These measures are to be fully integrated into the project and its costs.”39

Terkait dengan pembangungan berkelanjutan, Badan Arbitrase menyadari

bahwa di dalam bidang hukum lingkungan terdapat perdebatan mengenai istilah aturan (rules), prinsip (principles), dan “soft law”, serta mengenai kontribusi perjanjian atau prinsip lingkungan bagi perkembangan hukum kebiasaan internasional. Meski demikain, Badan Arbitrase menyatakan bahwa prinsip hukum lingkungan, terlepas dari status hukumnya, selalu merujuk, salah satunya, pada upaya pencegahan, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan generasi yang akan datang. Dalam hal ini, Arbitrase menyatakan: “[t]he emerging principles, whatever their current status, make reference to conservation, management, notions of prevention and of sustainable development, and protection for future generations [garis bawah dari penulis].”40 2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay)

Pada tanggal 4 Mei 2006, Argentina mengajukan gugatan kepada ICJ terkait dengan dugaan pelanggaran Uruguay atas beberapa kewajiban yang termuat di dalam

38The Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway case (Belgium v. Netherlands) Perm. Ct. Arb. (2005), par. 16, 20-21.

39Ibid., par. 223. 40Ibid., par.

Page 12: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

12

Perjanjian mengenai Sungai Uruguay (Statute of the River Uruguay) yang ditandatangani oleh Argentina dan Uruguay pada tanggal 26 Februari 1975. Dalam hal ini, Argentina berpendapat bahwa keputusan Pemerintah Uruguay untuk mengizinkan pembangunan dua pabrik kertas (pulp mills) di pinggir Sungai Uruguay di dalam wilayah Uruguay merupakan bentuk pelanggaran atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, terutama dalam kaitannya dengan dampak dari kedua pabrik tersebut pada kualitas air Sungai Uruguay dan daerah sekitarnya.41 Dalam hal ini,

41Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay, op.cit note 27, par. 1. Kasus ini melibatkan pembangunan dua pabrik kertas (pulp mill) yang dibangun di pinggiran

Sungai Uruguay di wilayah Uruguay. Pabrik pertama adalah “Celulosas de M’Bopicuá S.A.” (“CMB”), sebuah pabrik yang dibangun oleh sebuah perusahaan Spanyol, “Empresa Nacional de Celulosas de España” (“ENCE”). Pada tanggal 22 Juli 2002, pemrakarsa pembengunan proyek CMB-ENCE mengajukan dokumen Amdal kepada Direktorat Lingkungan Uruguay, “Dirección Nacional de Medio Ambiente” (DINAMA). Pada saat yang sama, perwakilan dari CMB juga memberikan informasi tentang rencana proyeknya kepada Kepala CARU (“Comisión Administradora del Río Uruguay”—Komisi Administratif Sungai Uruguay). Kemudian, pada tanggal 17 Oktober 2002, dan diulang kembali pada tanggal 21 April 2003, Kepala CARU meminta Menteri Lingkungan Uruguay untuk memberikan dokumen Amdal dari proyek CMB-ENCE. Permintaan ini kemudian dipenuhi oleh Uruguay pada tanggal 14 Mei 2003. Selanjutnya, pada tanggal 15 Agustus 2003, dan diulang kembali pada tanggal 12 September 2003, CARU meminta Uruguay untuk memberikan informasi tambahan terkait beberapa hal dari proyek pabrik kertas CMB-ENCE. Pada tanggal 2 Oktober 2003, DINAMA memberikan laporannya kepada Kementerian Perumahan, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup Uruguay (MVOTMA) yang berisi rekomendasi untuk memberikan izin lingkungan bagi proyek CMB-ENCE. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2003, Pemerintah Uruguay berjanji kepada CARU bahwa DINAMA akan segera memberikan laporannya mengenai proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 9 Oktober 2003, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi pembangunan pabrik CMB-ENCE.

Pada tanggal 9 Oktober 2003, Presiden Argentina dan Presiden Uruguay melakukan pertemuan. Dalam pertemuan ini, berdasarkan klaim Argentina, Presiden Uruguay berjanji tidak akan memberikan izin bagi pembangunan CMB-ENCE sebelum adanya pembahasan mengenai kekhawatiran Argentina atas dampak lingkungan yang mungkin timbul dari pembangunan tersebut.

Pada tanggal 10 Oktober 2003, CARU menyatakan akan segera melanjutkan analisa teknis atas proyek CMB-ENCE apabila Uruguay menyerahkan dokumen yang diperlukan. Pada tanggal 17 Oktober 2003, atas permintaan Argentina, CARU mengadakan pertemuan khusus untuk membahas proyek CMB-ENCE. Dalam pertemuan tersebut, Argentina mengajukan keberatan atas dikeluarkan izin lingkungan pada tanggal 9 Oktober 2003.

Pada tanggal 27 Oktober 2003, Uruguay mengirimkan salinan Amdal dan penilaian DINAMA atas rencana pengelolaan lingkungan proyek CMB-ENCE kepada Argentina. Atas hal ini, Argentina mengatakan bahwa prosedur menurut Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975 telah diabaikan, dan bahwa salinan Amdal dan penilaian DINAMA tidak memberikan informasi yang memadai mengenai dampak dari proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 7 November 2003, Uruguay mengirimkan seluruh dokumen terkait proyek CMB-ENCE kepada Kementerian Lingkungan Hidup Argentina, yang kemudian pada tanggal 23 Februari 2004 meneruskan dokumen-dokumen tersebut kepada CARU.

Pada tanggal 15 Mei 2004, Sub-komite Pengawasan Kualitas Air dan Pencemaran dari CARU membuat rencana pemantauan kualitas air di sekitar Sungai Uruguay. Rencana ini disetujui oleh CARU pada tanggal 12 November 2004.

Pada tanggal 28 November 2005, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi dimulainya pembangunan pabrik CMB-ENCE. Meski demikian, pada tanggal 28 Maret 2006, CMB-ENCE menghentikan proyek pembangunan pabrik, dan kemudian pada tanggal 21 September 2006, perusahaan ini menyatakan bahwa mereka tidak lagi berniat untuk membangun pabrik kertas di wilayah yang sebelumnya direncanakan. Lihat: Ibid., par. 28-36.

Proyek kedua yang terlibat dalam kasus ini adalah pembangunan pabrik kertas Orion oleh perusahaan Oy Metsä-Botnia AB, sebuah perusahaan Finlandia, di daerah Fray Bentos, beberapa kilometer dari lokasi proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 31 Maret 2004, pemrakarsa pembangunan pabrik Orion mengajukan permohonan izin lingkungan kepada Pemerintah Uruguay. Kemudian pada tanggal 29 dan 30 April 2004, CARU mengadakan pertemuan informal dengan pihak Botnia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan itu, pada tanggal 18 Juni 2004 CARU meminta Botnia untuk memberikan informasi tambahan terkait proyek pembangunan Orion. Dalam pertemuan lanjutan dengan Botnia, CARU kembali meminta Botnia untuk memberikan informasi terkait dengan permohonan izin

Page 13: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

13

Argentina berpendapat bahwa Uruguay telah melanggar Perjanjian Sungai Uruguay 1975 dan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional, berupa: kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi pemanfaatan Sungai Uruguay secara optimal dan rasional; kewajiban untuk memberikan notifikasi kepada Komisi Administratif Sungai Uruguay (CARU) dan kepada pihak Argentina; kewajiban prosedural menurut Perjanjian Sungai Uruguay 1975; kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga lingkungan akuatik dan mencegah pencemaran, serta kewajiban untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya perikanan, termasuk di dalamnya kewajiban untuk melakukan kajian lingkungan secara menyeluruh dan objektif; serta kewajiban untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan pencemaran dan perlindungan keanekaragaman hayati.42 Atas dasar hal tersebut, Argentina meminta ICJ untuk menyatakan bahwa dengan pemberian izin secara sepihak atas pembangunan pabrik kertas CMB dan Orion, serta berbagai fasilitas yang terkait dengan pabrik tersebut, Pemerintah Uruguay telah melanggar Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina selanjutnya meminta agar ICJ memerintahkan Uruguay untuk: segera menghentikan perbuatan melanggar hukumnya (internationally wrongful acts); melakukan penaatan atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975; mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi perbuatan melawan hukum tersebut; membayar kompensasi kepada Argentina atas kerusakan yang terjadi karena perbuatan melawan hukum tersebut dalam jumlah yang diperlukan oleh Argentina untuk melakukan pemulihan kerusakan; dan menjamin bahwa di kemudian hari Uruguay akan senantiasa mentaati Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, khususnya ketentuan tentang kewajiban prosedural untuk melakukan konsultasi.43

ICJ melihat bahwa Uruguay tidak memberikan informasi kepada CARU secara cepat dan komprehensif. ICJ menganggap bahwa pemberian izin lingkungan oleh Pemerintah Uruguay telah dilakukan tanpa keterlibatan CARU.44 Atas dasar itu, ICJ menyimpulkan bahwa “by not informing CARU of the planned works before the

lingkungan yang telah diajukannya kepada DINAMA. Pada tanggal 12 November 2004, CARU memutuskan untuk meminta Uruguay agar memberikan informasi tentang permohonan izin lingkungan yang diajukan oleh Botnia.

Pada tanggal 21 Desember 2004, DINAMA mengadakan dengar pendapat yang dihadiri oleh perwakilan CARU, terkait proyek pembangunan Orion (Botnia) di Fray Bentos. Kemudian pada tanggal 11 Februari 2005, DINAMA memberikan rekomendasi kepada MVOTMA agar memberikan izin lingkungan bagi proyek Orion (Botnia). Pada tanggal 14 Februari 2005, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi Botnia untuk membangun pabrik Orion (Botnia) dan sebuah dermaga yang berdekatan dengan pabrik tersebut.

Kemudian dalam pertemuan CARU pada tanggal 11 Maret 2005, Pemerintah Argentina mempertanyakan apakah pemberian izin lingkungan tersebut telah sesuai dengan kewajiban prosedural berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina mengulangi keberatannya ini dalam pertemuan CARU pada tanggal 6 Mei 2005.

Sementara itu, pada tanggal 12 April 2005, Pemerintah Uruguay mengeluarkan persetujuan atas dimulainya tahap awal pengerjaan proyek Orion (Botnia), dan pada tanggal 5 Juli 2005, mengizinkan pembangunan dermaga di dekat Orion (Botnia). Selanjutnya, dalam bulan-bulan berikutnya, Pemerintah Uruguay memberikan persetujuan atas pembangunan cerobong asap, fondasi, instalasi pengolahan air limbah dari pabrik Orion (Botnia). Pada tanggal 24 Agustus 2006, Pemerintah Uruguay mengizinkan pengoperasian dermaga di dekat lokasi Orion (Botnia), dan akhirnya pada tanggal 8 November 2007, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi beroperasinya pabrik Orion (Botnia). Persetujuan-persetujuan ini, meskipun telah dilaporkan oleh Pemerintah Uruguay kepada CARU, tetap diberikan di tengah permintaan Argentina agar pembangunan Orion (Botnia) dihentikan. Lihat: Ibid., par. 37-43.

42Ibid., par. 22. 43Ibid., par. 23. 44Ibid., par. 105-110.

Page 14: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

14

issuing of the initial environmental authorizations for each of the mills and for the port terminal adjacent to the Orion (Botnia) mill” Uruguay telah gagal memenuhi kewajiban prosedural berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975.45

Dalam pertimbangannya, ICJ menyatakan bahwa Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, khususnya pasal 27, tidak hanya merefleksikan kebutuhan masing-masing negara (dalam hal ini riparian States) dalam penggunaan sumber daya secara bersama, tetapi juga menggambarkan kebutuhan untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk memanfaatkan sungai dan kebutuhan untuk melakukan perlindungan sungai yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.46 Sayangnya, ICJ kemudian hanya sepintas saja melakukan pembahasan mengenai pembangunan berkelanjutan tersebut. Dalam konteks ini, ICJ menyatakan

“...utilization [of River Uruguay— tambahan penulis] could not be considered to be equitable and reasonable if the interests of the other riparian State in the shared resource and the environmental protection of the latter were not taken into account. Consequently, it is the opinion of the Court that Article 27 embodies this interconnectedness between equitable and reasonable utilization of a shared resource and the balance between economic development and environmental protection that is the essence of sustainable development.”47

Dari kutipan ini, terlihat bahwa ICJ menafsirkan pembangunan berkelanjutan

sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan antara kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan perlindungan lingkungan. Bagaimana “jembatan” ini bekerja, ternyata tidak dijelaskan lebih lanjut oleh ICJ.

Terbatasnya pembahasan oleh ICJ inilah yang kemudian mendorong Hakim Trindade memiliki pendapat berbeda, dissenting opinion, dari pertimbangan ICJ. Menurut Trindade, hasil dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay menyisakan tiga persoalan yang tidak secara mendalam dibahas baik oleh para pihak maupun oleh ICJ. Pertama, kurangnya argumen dari para pihak terkait dengan dampak sosial nyata dari pabrik kertas. Kedua, kurangnya perhatian dari ICJ terhadap beberapa poin khusus dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay. Ketiga, tidak adanya pernyataan ICJ mengenai pengakuan terhadap peran dari prinsip-prinsip hukum lingkunan internasional.48

Dalam pandangan Trindade, lebih dari sekedar lembaga biasa, ICJ memuat kata “justice” di dalamnya sehingga seharusnya ICJ tidak boleh mengabaikan pentingnya prinsip umum hukum internasional, termasuk prinsip pembangunan berkelanjutan, dalam pemberian pertimbangannya.49 Prinsip hukum inilah yang memberikan jaminan terintegrasinya sistem hukum internasional di satu sisi, dan menjadi sumber hukum material dari semua hukum.50

45Ibid., par. 111. 46Ibid., par. 177. 47Ibid. 48Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade, op. cit. note 28, par. 140. 49Ibid., par. 218 dan 220. 50Dalam hal ini Trindade mengungkapkan:

“[i]t is the principles of the international legal system that can best ensure the cohesion and integrity of the international legal system as a whole. Those principles are intertwined with the very foundations of International Law, pointing the way to the universality of this latter, to the benefit of humankind. Those principles emanate from human conscience, the universal juridical conscience, the ultimate material “source” of all Law.” Ibid., par. 2217.

Page 15: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

15

Trindade pada dasarnya menyetujui bahwa pembangunan berkelanjutan berfungsi menjembatani kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan akan perlindungan lingkungan di sisi lain. Dalam konteks ini, Trindade menyatakan: “[s]ustainable development came to be perceived, furthermore, as a link between the right to a healthy environment and the right to development; environmental and developmental considerations came jointly to dwell upon the issues of elimination of poverty and satisfaction of basic human needs.”51 Trindade, seperti juga Weeramantry dalam Kasus Gabcikovo-Nagymaros, mengakui pembangunan berkelanjutan, bersama-sama dengan prinsip pencegahan (principle of preventive action), keadilan antar generasi (principle of intergenarional equity), dan kehati-hatian (precautionary principle), sebagai sebuah prinsip hukum lingkungan internasional.52 Dalam dissenting opinion-nya ini, Trindade juga menunjukkan bahwa baik Argentina dan Uruguay sama-sama mengakui pembangunan berkelanjutan sebagai prinsip hukum.53

2.4. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Undang-undang lingkungan hidup di Indonesia sendiri sejak awal telah memuat gagasan-gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan. Pada Pasal 3 UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup (UULH) dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilakukan untuk “menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.”54 Di samping itu, Pasal 4 UU No. 4 tahun 1982 menyatakan pula bahwa salah satu tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.” Dari bunyi Pasal 3 dan 4 tersebut terlihat bahwa meskipun UU No. 4 tahun 1982 menggunakan istilah pembangunan berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, namun kedua istilah ini masih dapat dikatakan sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Gagasan tentang keadilan antar generasi pun bahkan sudah terlihat dari Pasal 4 tersebut.

Sementara itu, UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang merupakan pengganti UU No. 4 tahun 1982, secara jelas sudah memasukan pembangunan berkelanjutan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari Pasal 3 tentang asas yang menyatakan bahwa salah satu asas dari pengelolaan lingkungan adalah “pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan”. Dengan demikian, maka UU No. 23 tahun 1997 telah mulai menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”, meskipun masih digabungkan dengan frase “berwawasan lingkungan”. Di samping itu, pengakuan terhadap keadilan antar generasi pun terlihat di dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa salah satu sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup adalah “terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.” Pengakuan terhadap pentingnya issue keadilan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan dipertegas kembali di dalam Penjelasan Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

“[a]sas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan

51Ibid., par. 132. 52Ibid., par. 210. 53Ibid., par. 143-144. 54Dapat dimengerti bahwa UU ini tidak menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”

(sustainable development) karena pada saat itu istilah ini memang belumlah lazim digunakan.

Page 16: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

16

tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.”

Pembangunan berkelanjutan pun mendapat pengakuan di dalam UU No. 32

tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagai pengganti dari UU No. 23 tahun 1997. Pasal 2 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa asas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah asas kelestarian dan keberlanjutan dan asas keadilan. Penjelasan Pasal 2 ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah “bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.” Sedangkan yang dimaksud dengan asas keadilan adalah “bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.” Dari kutipan Pasal 2 dan penjelasannya tersebut dapat disimpulkan dua hal. Pertama, UU No. 32 tahun 2009 mengakui pembangunan berkelanjutan merupakan asas hukum lingkungan. Kedua, UU No. 32 tahun 2009 menambahkan keadilan dalam satu generasi, di samping juga keadilan antar generasi, sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Di samping itu, UU No. 32 tahun 2009 juga menyatakan bahwa tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk “menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan”, dan “mewujudkan pembangunan berkelanjutan”. Dengan demikian, maka pembangunan berkelanjutan dan keadilan intra dan antar generasi dianggap tidak hanya sebagai asas hukum lingkungan, tetapi juga merupakan tujuan dari pengaturan hukum lingkungan di Indonesia.

Pada bagian ini, perlu pula disebutkan bahwa di samping di dalam UU tentang pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan bahkan dimasukkan ke dalam konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (Amandemen Keempat) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia didasarkan beberapa asas, di antaranya asas berkelanjutan dan asas berwawasan lingkungan. Dengan demikian, maka sesungguhnya Indonesia tidak saja merupakan salah satu dari sedikit negara yang memasukkan ketentuan mengenai perlindungan lingkunan di dalam konstitusinya, tetapi juga negara yang secara jelas telah menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai asas dari sistem ekonominya. 2.5. Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan

Bell dan McGillivray menyatakan bahwa terdapat paling tidak dua penafsiran yang saling bertentangan mengenai makna dari Sustainable Development55.

55Stuart Bell dan Donald McGillivray, Environmental Law: the Law and Policy Relating to the Protection of the Environment, 5th ed. (London: Blackstone Press, 2000), hal. 44. Bandingkan dengan David Hunter, et.al., yang menggambarkan adanya 4 versi pemahaman keberlanjutan lingkungan, yaitu: “weak sustainability”, “intermediate sustainability” (yang menyatakan bahwa di samping harus menjaga tingkat keutuhan modal, kita juga harus memperhatikan komposisi dari modal kap ital tersebut, yaitu sumber daya alam, manufaktur, dan manusia), “strong sustainability”, dan “absurdly strong sustainability” (bahwa sumber daya alam yang tak terbarui tidak boleh mengalami perngurangan sedikit pun, sedangkan sumber daya yang tidak dapat diperbarui hanya dapat dikonsumsi sebatas tingkat pertumbuhan tahunan sumber daya tersebut). Lihat: David Hunter, et.al., op.cit., hal. 136-137. Berdasar ilmu ekonomi, perbedaan antara weak dan strong sustainability terletak pada pertanyaan

Page 17: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

17

Pandangan pertama disebutnya sebagai “weak sustainability”. Pandangan pertama ini berpendapat bahwa sumber daya alam saat ini dapat dikonsumsi atau “dikorbankan” apabila hal tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan tidak mengkonsumsi sumber daya tersebut, yaitu apabila persediaan sumber daya alam yang akan diberikan bagi generasi yang akan datang tidak mengalami pengurangan. Sumber daya di sini tidak hanya meliputi sumber daya lingkungan, tetapi juga sumber daya manusia dan pengetahuan, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan hilangnya sebuah sumber daya lingkungan selama manusia dapat menciptakan gantinya yang bernilai sama atau lebih baik. Pandangan kedua, adalah “strong sustainability”. Pandangan ini menyatakan bahwa sumber daya alam merupakan sesuatu yang tidak tergantikan, dalam arti bahwa penurunan atau hilangnya sumber daya ini tidak akan dapat terkompensasi.

Masing-masing pandangan ini tentu saja memiliki kelemahan. Pandangan pertama memiliki kelemahan dalam hal pandangan ini sesungguhnya tidak berbeda dari konsep pembangunan yang dianut sebelum dikenalnya konsep Sustainable Development. Pandangan pertama sering kali dianggap sebagai sebuah konsep yang “kosong”. Sedang pandangan kedua sering dianggap cacat secara moral, sebab pandangan ini terlalu mengutamakan pentingnya perlindungan sumber daya alam di atas segalanya, bahkan di atas kelangsungan hidup umat manusia. Dan tentu saja kita tidak tidak bisa menerima kedua pandangan ini, sehingga karenanya harus mencari alternatif yang dapat mensintesakan kedua kontradiksi ini. Dalam hal ini, ada baiknya jika di sini diungkapkan pemaknaan Sustainable Development yang dilakukan oleh l Jacobs, yaitu:

“Sustainability means that the environment should be protected in such a condition and to such a degree the environmental capacities (the ability of the environment to perform its various functions) are maintained over time: at least at levels sufficient to avoid future catastrophe, and at most at levels which give future generations the opportunity to enjoy an equal measure of environmental consumption”56

Beberapa ekonom menyatakan bahwa konsep pembagungan berkelanjutan

haruslah dipandang sebagai sebuah perlindungan terhadap critical natural capital, yaitu sumber daya alam yang kritis. Dalam hal ini, Costanza dan Daly, sebagaimana dikutip oleh Common dan Stagl, telah mengajukan dua buah kondisi minimum untuk keberlakuan pembagunan berkelanjutan; yaitu57: a. SDA yang terbarui hanya boleh dieksploitasi sampai pada batas yang efisien.

Dengan demikian, tujuan dari pembangungan berkelanjuan adalah penggunaan SDA yang efisien.

b. Hasil eksploitasi dari SDA yang tidak terbarui haruslah di-investasi ulang untuk pemulihan SDA yang terbarui.

apakah sumber daya alam dapat digantikan dengan sumber daya buatan. Menurut pendapat strong sustainability, sumberd daya alam dan buatan adalah dua hal yang dapat disubstitusikan. Artinya, sumber daya alam dapat dieksploitasi sepanjang hasil dari eksploitasi ini dialokasikan untuk pembangunan sumber daya alam buatan yang nilainya sama dangan atau lebih besar dari eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan.

56Michael Jacobs, The Green Economy: Environment, Sustainable Development and the Politics of the Future (London: Pluto Press, 1991), hal. 79-80.

57M. Common and S. Stagl, Ecological Economics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), pp. 378.

Page 18: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

18

Pertanyaannya tentu saja adalah bagaimana kita bisa menentukan bahwa eksploitasi SDA terbarui yang kita lakukan adalah efisien. Pada kondisi ideal, tentu saja kita harus mengandalkan ilmu pengetahuan yang tersedia untuk menentukan sampai sejauh mana dan seperti apa ekploitasi terhadap SDA terbarui tersebut dapat dilakukan. Namun demikian, seringkali ilmu pengetahuan mengalami kesulitan untuk menentukan secara pasti tingkat eksploitasi yang boleh dilakukan. Di samping itu, seringkali kita jumpai bahwa ilmu pengetahuan, terutama dalam kasus sarat kepentingan ekonomi seperti dalam pengelolaan SDA, tidak lagi bisa satu suara. Ketika ilmu pengetahuan menjadi sarat ketidakpastian, penuh dengan perbedaan nilai, dan rentan terhadap berbagai kepentingan, maka ilmu pengetahuan tidak lagi bisa dianggap netral. Kondisi inilah yang oleh Functowicz dan Ravetz disebut sebagai Post-normal science.

Menurut Functowicz dan Ravetz, dalam situasi post-normal science, kebijakan publik tidak lagi sepenuhnya bisa diserahkan pada para ahli. Sebaliknya, situasi ini justru semakin mempertegas pentingnya transparansi dan partisipasi publik, yang notabene bukan ahli, dalam proses pengambilan keputusan58. Secara singkat, kita dapat merujuk pada pendapat seorang ekonom Inggris, P. Anand, yaitu bahwa “[i]f decisions have to be made under conditions of substantial uncertainty, then decision analysis indicates that people should be consulted about their values”59.

Sejalan dengan kebutuhan akan partisipasi publik dan transparansi yang lebih besar dalam pengambilan kebijakan publik, dalam beberapa dekade terakhir telah berkembang sebuah prinsip hukum lingkungan baru, yaitu asas kehati-hatian dini (the precautionary principle—akan diterangkan dalam bagian 3). Dalam konteks pemanfaatan SDA terbarui, asas ini diterapkan sebagai Safe Minimum Standard (SMS), standar keamanan minimum. Menurut Ciriacy-Wantryp, SMS diterapkan untuk menghindari pemakaian SDA pada “zone kritis”, yaitu sebuah kondisi fisik yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, di mana pemulihan penipisan cadangan SDA secara ekonomi sudah tidak mungkin lagi dilakukan60. Hal ini karena meskipun SDA tertentu, misalnya hutan, dapat dikatakan terbarui, namun jika eksploitasi terhadap SDA tersebut telah melewati “zone kritis”, maka masyarakat secara luas harus memikul beban ekonomi yang besar untuk memulihkan cadangan SDA tersebut bagi pemakaian di masa depan. Dengan kata lain, pemakaian SDA pada “zone kritis” telah menimbulkan dampak yang tidak dapat dipulihkan, irreversible61. Dengan demikian, mereka yang hendak melakukan pemanfaatan SDA memiliki beban untuk membuktikan bahwa pemanfaatan SDA tersebut tidak akan melampaui standar keamanan minimum. 3. Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity)

Keadilan intra generasi merupakan keadilan yang ditujukan pada mereka yang hidup di dalam satu generasi. Keadilan intra generasi ini terkait dengan distribusi sumber daya secara adil, yang berlaku pada tingkat nasional maupun internasional.62 Lebih dari itu, di samping terkait dengan distribusi sumber daya dan manfaat/hasil

58J. Ravetz, ”The Post-Normal Science of Precaution”, Futures (article in press), 2003, pp. 7-8. 59P. Anand, “Decision-Making when Science is Ambiguous”, Science, Vol. 295, March 2002, p.

1839. 60 S.V. Ciriacy-Wantrup, Resource Conservation: Economics and Policies (Berkeley: University

of California Press, 1952), p.253. 61R.C. Bishop, “Endangered Species and Uncertainty: the Economics of a Safe Minimum

Standard”, in: American Journal of Agricultural Economics, Vol. 60, 1978, p. 10. 62Sharon Beder, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 71.

Page 19: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

19

pembangunan, konsep keadilan intra generasi juga bisa dikaitkan dengan distribusi resiko/biaya sosial dari sebuah kegiatan pembangunan.

Bagi Langhelle, keadilan intra generasi merupakan prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini, menurut Langhelle, ditunjukkan dalam bagian pertama dari definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu “development that meets the needs of the present...”. Bagian inilah yang menunjukkan adanya komitmen dari negara-negara terhadap keadilan, termasuk redistribusi dari pihak yang kaya kepada yang miskin, baik dalam level nasional maupun internasional.63

Dalam pengelompokan yang dibuat oleh Kuehn, persoalan keadilan lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif, keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural, dan keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial.64 Tulisan ini akan menjelaskan keadilan intra generasi dengan mengikuti pengelompokkan yang dibuat oleh Kuehn tersebut.

3.1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif

Berdasarkan pendapat Dobson, sebagaimana dikutip oleh Langhelle, keadilan distributif memiliki kaitan yang sangat erat dengan pembangunan berkelanjutan karena tiga alasan, yaitu: pertama, lingkungan hidup merupakan sumber daya yang harus didistribusikan secara adil; kedua, keadilan bersifat fungsional bagi terciptanya keberlanjutan; dan ketiga, keberlanjutan juga membutuhkan adanya keadilan bagi lingkungan hidup itu sendiri. Langhelle sendiri kemudian menambahkan alasan keempat, yaitu bahwa keberlanjutan pun merupakan syarat yang dibutuhkan (necessary condition) bagi terciptanya keadilan. 65

Keadilan distributif dapat didefinisikan sebagai hak atas persamaan perlakuan (equal treatment), dalam hal ini persamaan atas distribusi barang dan kesempatan. Dalam konteks lingkungan hidup, keadilan distributif ini terkait dengan persamaan atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang membahayakan lingkungan. Dalam konteks ini, maka keadilan distributif memberikan perhatian pada dampak lingkungan yang terdistribusi secara tidak adil, di mana mereka dari kelompok masyarakat miskin, perempuan, dan ras tertentu sering kali merupakan kelompok yang paling merasakan dampak lingkungan.66

Dengan demikian, kondisi ketidakadilan lingkungan bisa ditunjukkan dengan merujuk pada pembagian sumber daya alam dan pemanfaatan yang tidak merata, ataupun pada pembagian resiko kerusakan lingkungan yang juga tidak seimbang. Dalam hal ini, berbagai contoh menunjukkan bahwa mereka yang menerima porsi terbesar dari manfaat pembangunan dan berkontribusi paling besar pada terjadinya degradasi kualitas lingkungan, justru adalah mereka yang tidak terlalu menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Sebaliknya, dampak ini biasanya lebih sering dirasakan oleh penduduk lokal, masyarakat adat, atau rakyat miskin, yang kontribusinya pada persoalan lingkungan biasanya tidak terlalu besar. Kondisi ketidakadilan ini dapat terjadi baik pada level nasional maupun global. Dengan demikian, maka prinsip keadilan intra generasi biasanya ditujukan untuk

63Oluf Langhelle, “Sustainable Development and Social Justice: Expanding the Rawlsian

Framework of Global Justice”, Environmental Values, Vol. 9, 2000, hal. 300. 64Robert R. Kuehn, “A Taxonomy of Environmental Justice”, Environmental Law Reporter, Vol.

30, 2000, hal. 10681. 65Oluf Langhelle, op cit. note 63, hal. 296. 66Robert Kuehn, op cit. note 64, hal. 10684.

Page 20: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

20

menghilangkan, atau setidaknya meminimalkan, ketidakmerataan pembagian manfaat dan resiko lingkungan dari pemanfaatan sumber daya lingkungan.

Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa keadilan distributif tidaklah menghendaki adanya redistribusi pencemaran atau resiko lingkungan. Sebaliknya, keadilan distributif dalam konteks keadilan lingkungan pada satu sisi menghendaki adanya perlindungan yang sama terhadap dampak lingkungan, serta adanya pencegahan dan penurunan resiko lingkungan. Dalam hal ini, yang diinginkan oleh keadilan distributif bukanlah adanya redistribusi resiko lingkungan, tetapi adanya penurunan resiko. Pada sisi lain, keadilan lingkungan juga meminta adanya pemerataan manfaat dari upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan saat ini.67 Tentu saja, beban biaya yang ditanggung untuk pencegahan dan penurunan resiko lingkungan secara proporsional harus terkait dengan kontribusi terhadap persoalan lingkungan.

Ketidakadilan lingkungan memiliki keterkaitan dengan berbagai faktor, di antaranya kemiskinan, kerentanan, pekerjaan, dan ras atau etnik. - Kemiskinan

Bukti ketidakadilan lingkungan dapat terlihat dari sumber-sumber pencemaran yang biasanya berlokasi di daerah kumuh. Berder menunjukkan bahwa sebagian besar dari pabrik-pabrik yang paling mencemari biasanya terletak dekat dengan komunitas masyarakat berpenghasilan rendah.68 Dengan kata lain, maka dampak dari pencemaran dan kerusakan lingkungan biasanya pertama kali dan paling parah dirasakan oleh masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu. Masyarakat yang secara ekonomi lebih mampu biasanya memikul beban dari dampak lingkungan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang miskin. Hal ini terjadi karena masyarakat yang secara ekonomi mampu sering kali lebih memiliki banyak pilihan untuk menentukan bagaimana mereka akan hidup. Misalnya, mereka dapat dengan mudah memilih tempat tinggal di lokasi yang kualitas lingkungannya masih baik, sehingga mereka pun memiliki akses yang lebih mudah untuk menikmati kualitas lingkungan yang baik. Di samping itu, karena kemampuan ekonominya, pendidikan, atau pengaruhnya, masyarakat yang secara ekonomi mapan juga lebih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan yang dapat terkait dengan kualitas lingkungan.69

- Kerentanan Tingkat keseriusan dampak dari berbagai persoalan lingkungan dapat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, penghasilan, dan status kesehatan seseorang. Dalam hal ini, anak-anak, perempuan, mereka yang berpenghasila rendah, dan orang sakit dianggap lebih rentan terhadap berbagai persoalan lingkungan.70 Ironisnya, standar lingkungan yang ditetapkan berdasarkan ukuran rata-rata manusia, cenderung untuk mengabaikan dampak terhadap mereka yang lebih rentan ini.

- Pekerjaan Pekerja di dalam sektor/industri tertentu, misalnya pertambangan, menghadapi resiko yang lebih tinggi dari anggota masyarakat kebanyakan. Di beberapa negara, seperti AS, para pekerja ini biasanya berasal dari ras tertentu atau imigran. Di samping itu, di banyak negara, standar lingkungan di tempat kerja biasanya lebih rendah dari standar kualitas lingkungan secara umum, sehingga

67Ibid. 68Ibid., hal. 72. 69Ibid. 70Ibid., hal. 72-73.

Page 21: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

21

para pekerja ini memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.71

- Ras atau etnik Di negara-negara tertentu, ras atau kelompok etnik merupakan faktor yang bisa mempengaruhi beban dampak lingkungan yang diderita seseorang. Misalnya, sebuah kajian EPA menunjukkan bahwa warga kulit hitam AS memiliki kemungkinan sebanyak 79% lebih tinggi dibandingkan dengan warga kulit putih untuk tinggal di daerah yang tercemar. Lebih buruk lagi, masyarakat ini biasanya juga adalah masyarakat yang paling miskin dan paling tinggi tingkat penganggurannya.72

Lebih jauh lagi, perlu pula dijelaskan di sini bahwa ketidakadilan lingkungan

dapat terjadi dalam skala global, yaitu berupa ketidakadilan terhadap negara miskin/berkembang. Misalnya, negara berkembang sering kali dijadikan tujuan sebagai tempat pembuangan limbah dari negara maju.73 Lebih dari itu, dalam banyak persoalan lingkungan global, seperti pemanasan global, negara berkembang seringkali merupakan pihak yang paling rentan dan paling menderita akibat dari persoalan tersebut, meskipun kontribusinya terhadap persoalan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi negara maju.74

Keadilan distributif dalam kerangka hubungan antar negara bisa dilihat dari prinsip hukum Common-but-Differentiated Responsibility (CBDR), yaitu sebuah prinsip hukum yang menyatakan bahwa persoalan lingkungan sering kali merupakan tanggung jawab bersama, tetapi beban setiap negara atas tanggung jawab tersebut seharusnya berbeda-beda. CBDR secara jelas terlihat di dalam Prinsip 6 dan 7 Deklarasi Rio 1992. Prinsip 6 menyatakan bahwa negara berkembang, terutama negara miskin dan paling rentan terhadap persoalan lingkungan, berhak untuk menjadi prioritas.75 Sedangkan Prinsip 7 menyatakan bahwa kerja sama antar negara dalam pengelolaan lingkungan harusnya didasarkan pada CBDR. Dalam hal ini, negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih bagi perwujudan pembangunan berkelanjutan dikarenakan kontribusi mereka terhadap persoalan lingkungan global, dan juga kemampuan teknologi dan keuangan mereka yang lebih mapan.76

CBDR memuat tiga aspek penting, seperti dikemukakan oleh Weiss, yang perlu dijelaskan di sini. Pertama adalah aspek kebersamaan, yang oleh Weiss disebut sebagai “shared aspect”. Dalam aspek ini, CBDR memuat pesan bahwa lingkungan

71Ibid., hal. 73. 72Ibid. 73Surat dari Lawrence Summer dengan jelas menyatakan bahwa secara ekonomi pembuangan

limbah lebih efisien jika dilakukan di negara miskin. 74Dalam konteks perubahan iklim, misalnya, porsi terbesar (sekitar 80%) dari konsentrasi gas

rumah kaca sebagai penyebab perubahan iklim, berasal dari negara maju. Namun demikian, negara berkembang memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan dengan negara maju. Lihat: Ibid., hal. 74-75.

75Dalam hal ini, Prinsip 6 Deklarasi Rio menyatakan: “The special situation and needs of developing countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable, shall be given special priority...”

76Prinsip 7 Deklarasi Rio menyatakan: “States shall cooperate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's ecosystems. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.”

Page 22: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

22

hidup global merupakan milik bersama (commons), sehingga pada satu sisi akses terhadap lingkungan hidup tidak bisa dibatasi, dan pada sisi lain sebuah kegiatan di sebuah tempat dapat memiliki dampak lingkungan yang bersifat global. Karena itulah, maka persoalan lingkungan merupakan persoalan bersama yang penyelesaiannya mensyaratkan adanya kerja sama dari semua pihak.77 Aspek kedua adalah aspek kontekstual (contextual aspect), yaitu bahwa tanggung jawab bersama untuk mengatasi persoalan lingkungan perlu dibuat dengan jalan memperhatikan perbedaan tiap negara. Konsekuensi dari perhatian terhadap persoalan kontekstual dapat dilihat dari adanya kelonggaran yang diberikan kepada negara berkembang untuk memenuhi komitmen internasional, serta adanya bantuan terhadap negara berkembang dan peningkatan kapasitas mereka dalam rangka pemenuhan komitmen tersebut.78 Aspek ketiga adalah aspek keadilan (equity aspect), dalam arti bahwa perbedaan tanggung jawab dari tiap negara terkait dengan kontribusi dari negara tersebut atas persoalan lingkungan yang ada. Dalam hal ini, aspek keadilan dari CBDR meminta agar negara yang memiliki kontribusi lebih besar bagi munculnya persoalan lingkungan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatasi persoalan lingkungan tersebut.79

Dua aspek terakhir yang dikemukakan di atas, yaitu aspek kontekstual dan aspek keadilan, menunjukkan bahwa bagian terpenting dari CBDR adalah adanya pembedaan perlakuan, diferensiasi, antara negara maju dan negara berkembang. Dengan demikian, diferensiasi dapat dibenarkan secara konseptual maupun secara kontekstual. Secara konseptual, terdapat beberapa alasan untuk membenarkan adanya diferensiasi. Pertama, diferensiasi dibenarkan karena adanya perbedaan kontribusi. Dalam hal ini, negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih dari negara berkembang karena negara maju memiliki kontribusi yang lebih besar bagi munculnya persoalan lingkungan global. Alasan konseptual inilah yang terdapat pada kalimat ketiga dari Prinsip 7 Deklarasi Rio, yang menyatakan bahwa “[t]he developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment” [garis bahwa dari penulis]. Alasan ini dapat pula dilihat dari Paragraf ke-16 Bagian Pembukaan dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 44/228 tahun 1989, yang menyatakan bahwa “the responsibility for containing, reducing, and eliminating global environmental damage must be borne by the countries causing such damage, must be in relation to the damage caused and must be in accordance with their respective capabilities and responsibilities” [garis bawah dari penulis].80 Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa alasan konseptual dari diferensiasi tanggung jawab sesungguhnya terkait sangat erat dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Kedua, diferensiasi konseptual dapat dibenarkan karena sebagai pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dari adanya eksploitasi lingkungan, negara maju selayaknya memikul porsi tanggung jawab terbesar untuk mengatasi dampak dari eksploitasi tersebut.81 Ketiga, secara konseptual diferensiasi pun dapat dibenarkan sebagai perlakuan istimewa bagi negara berkembang yang berlaku untuk

77Edith Brown Weiss, “Common but Differentiated Responsibilities in Perspective”, Proceedings

of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 96, 2002, hal. 366-367. 78Ibid., hal. 367. 79Ibid., hal. 368. 80Sixteenth preambular paragraph, UNGA A/RES/44/228, 22 December 1989. 81Duncan French, “Developing States and International Environmental Law: The Importance of

Differentiated Responsibilities”, The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 49(1), 2000, hal. 48-49.

Page 23: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

23

sementara waktu saja. Dalam hal ini, French mengatakan bahwa dengan tingkat pencemaran di negara berkembang yang saat ini telah mencapai tingkat yang cukup tinggi, bahkan mungkin sudah melampaui tingkat pencemaran dari negara maju, maka tanggung jawab yang lebih tinggi dari negara maju tidak bisa berlangsung selamanya.82 Ini berarti bahwa pada suatu saat nanti, negara berkembang haruslah memikul tanggung jawab yang relatif sama dengan negara maju.

Secara kontekstual, diferensiasi tanggung jawab dapat dibenarkan karena adanya alasan-alasan khusus yang diberikan kepada negara berkembang. Dalam hal ini, pada dasarnya diakui bahwa tanggung jawab haruslah sama. Tetapi mengingat kondisi dari negara berkembang, maka tanggung jawab tersebut mengalami diferensiasi, dalam arti bahwa negara berkembang diberikan beberapa pengecualian atau kelonggaran untuk memenuhi tanggung jawab (komitmen) yang ada. French mengemukakan beberapa alasan mengapa pembedaan kontekstual ini terjadi. Pertama, negara maju dianggap memiliki kemampuan teknologi dan keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang, sehingga wajar jika negara maju memiliki tanggung jawab (komitmen) yang lebih dibandingkan dengan negara berkembang. Kedua, persoalan lingkungan yang paling dahsyat sering kali terjadi di negara berkembang, yang sayangnya memiliki kapasitas yang lemah untuk menghadapi persoalan lingkungan tersebut. Wajarlah jika negara maju memiliki kewajiban yang lebih untuk membantu negara berkembang dalam mengatasi persoalan lingkungan tersebut.83 Ketiga, perlakuan istimewa kepada negara berkembang dibenarkan karena negara berkembang belum memiliki kemampuan teknologi dan keuangan yang memadai. Dalam hal ini, bagi banyak negara berkembang, yang saat ini masih berjuang untuk mencapai kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan, persoalan lingkungan sering kali bukanlah merupakan persoalan yang dianggap prioritas.84 Keempat, diferensiasi tanggung jawab yang mengistimewakan kedudukan negara berkembang diperlukan agar negara berkembang mau terlibat dalam berbagai perjanjian lingkungan internasional.85 Dalam hal ini, diferensiasi dianggap sangat penting karena negara-negara berkembang, sebagai negara yang kontribusinya tidak bisa dianggap kecil bagi terjadinya persoalan lingkungan global dan sebagai negara yang juga menerima dampak yang sangat besar dari persoalan lingkungan tersebut, perlu diberikan insentif untuk terlibat dalam upaya global untuk mengatasi persoalan lingkungan.

Diferensiasi tanggung jawab yang sering ditemukan dalam berbagai kesepakatan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe. Pertama, adalah perbedaan dalam hal komitmen (standar). Dalam hal ini, kita bisa merujuk pada konvensi tentang perubahan iklim, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang secara jelas membagi negara-negara ke dalam “Annex 1 countries” (negara maju), dan “non-Annex 1 countries” (negara berkembang). Negara Annex 1 memiliki berbagai kewajiban yang bertujuan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada level tahun 1990,86 sedangkan negara Non-Annex 1

82Ibid., hal. 49-50. 83Ibid., hal. 50-51. 84Ibid., hal. 52. 85Ibid., hal. 56. 86The 1992 UN Framework Convention on Climate Change, 9 May 1992 (in force 21 March

1994), 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992)—selanjutnya disebut UNFCCC, dalam Pasal 4 par. 2b menyatakan bahwa

“In order to promote progress to this end, each of these Parties [negara Annex I—penulis] shall communicate, within six months of the entry into force of the Convention for it and periodically thereafter, and in accordance with Article 12, detailed information on its

Page 24: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

24

dibebaskan dari kewajiban ini. Oleh Protokol Kyoto, kewajiban ini secara lebih tegas lagi dirumuskan di dalam target penurunan emisi yang tercantum di dalam Annex B dari Protokol Kyoto.87 Singkatnya, berdasarkan rezim UNFCCC dan Protokol Kyoto, hanya negara majulah yang memiliki kewajiban/target untuk melakukan pengurangan dan pembatasan emisi GRK.

Kedua, diferensiasi juga dapat bersifat kontekstual. Dalam hal ini, French merujuk pada beberapa dokumen, seperti UNFCCC, Protokol Kyoto, Convention on Biological Diversity (CBD), Prinsip-prinsip Kehutanan tahun 1992 (1992 Forest Principles), dan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD 1994), yang secara tegas memberikan perhatian khusus pada keadaan dan kebutuhan negara berkembang. Difersifikasi seperti ini merupakan pendekatan yang fleksibel terhadap persoalan lingkungan internasional dengan memberikan perhatian pada realitas ekonomi dan sosial yang ada.88

Ketiga, diferensiasi tanggung jawab dapat pula terkait dengan persoalan pendanaan. Terkait hal ini beberapa perjanjian, seperti Montreal Protocol on Ozone Depleting Substances, memuat beberapa ketentuan mengenai adanya bantuan keuangan dan tekonologi dari negara maju kepada negara berkembang.89 Bentuk lain dari diferensiasi ini dapat pula terlihat dari pembentukan lembaga dana bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan global, yang sumber pendanaannya berasal dari negara maju. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada Copenhagen Green Climate Fund, yang dihasilkan dari Copenhagen Accord sebagai produk kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuan negara anggota (Conference of Parties—COP) dari UNFCCC. Dalam hal ini, Copenhagen Accord memuat komitmen negara maju bagi pendanaan Climate Fund.90

policies and measures referred to in subparagraph (a) above, as well as on its resulting projected anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol for the period referred to in subparagraph (a), with the aim of returning individually or jointly to their 1990 levels these anthropogenic emissions of carbon dioxide and other greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol.”—[garis bawah dari penulis].

87The 1997 Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, 10 Dec. 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998)—selanjutnya disebut Protokol Kyoto, dalam Pasal 3 par. 1 menyatakan bahwa

“The Parties included in Annex I shall, individually or jointly, ensure that their aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts, calculated pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in accordance with the provisions of this Article, with a view to reducing their overall emissions of such gases by at least 5 per cent below 1990 levels in the commitment period 2008 to 2012”

Ketentuan di atas kemudian diperjelas di dalam Annex B dari Protokol Kyoto yang memaparkan target penurunan dan pembatasan emisi dari masing-masing negara maju (Negara Annex I menurut UNFCCC).

88Duncan French, op cit. note 81, hal. 40-41. 89Dalam hal ini, Protokol Montreal menyatakan bahwa “[t]he Parties shall establish a mechanism

for the purposes of providing financial and technical co-operation, including the transfer of technologies, to Parties operating under paragraph 1 of Article 5 of this Protocol to enable their compliance with the control measures”. Lihat Pasal 10 par. 1, the Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer as Either Adjusted and/or Amended in London 1990, Copenhagen 1992, Vienna 1995, Montreal 1997 (unofficial consolidated text), …

90The Copenhagen Accord, FCCC/CP/2009/11/Add.1, Decision 2/CP.15, para. 8. Komitmen negara maju tersebut juga diulang dalam COP Cancun 2010 dan COP Durban 2011. Lihat: “The Cancun Agreements: Outcome of the Work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention”, FCCC/CP/2010/7/Add.1, Decision 1/ CP, par. 95 dan 98; serta “Outcome of the Work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the

Page 25: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

25

3.2. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Korektif Keadilan korektif merupakan bentuk keadilan yang ditujukan sebagai upaya pemberian sanksi, pemulihan, atau kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.91 Dalam konteks ini, mereka yang menimbulkan kerugian lingkungan (dan berarti menyebabkan ketidakadilan lingkungan) memikul tanggung jawab untuk mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut.

Karena keadilan korektif menginginkan agar mereka yang menyebabkan terjadinya kerugian untuk memperbaiki kerugian yang terjadi, maka Adler dan Wilkinson menganggap keadilan korektif memiliki keterkaitan dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Dalam hal ini, kedua pengarang tersebut menganggap keadilan korektif merupakan salah satu alasan pembenar bagi prinsip pencemar membayar.92

3.3. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Prosedural Keadilan prosedural merupakan keadilan untuk memperoleh perlakuan yang

sama. Perlakuan yang sama ini bukanlah persamaan dalam hal distribusi barang dan kesempatan, tetapi persamaan dalam hal mendapatkan perhatian (concern and respect) dalam pengambilan keputusan politik terkait distribusi barang dan kesempatan tersebut.93 Dalam pandangan penulis, keadilan prosedural setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hak atas informasi, dan akses terhadap keadilan.

Terkait dengan hak untuk berpartisipasi, maka keadilan prosedural dapat dilihat dari apakah pihak yang berpotensi untuk terkena dampak dari sebuah keputusan telah terlibat dalam proses pengambilan keputusan serta menyetujui keputusan yang akan diambil. Dalam hal ini, Kuehn menyatakan bahwa keadilan prosedural tidaklah sekedar terkait partisipasi di dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga apakah proses pengambilan keputusan tersebut telah dirancang sedemikian rupa sehingga proses ini akan mengarah pada hasil (yaitu distribusi) yang adil.94 Dalam konteks ini, maka proses pengambilan keputusan secara deliberatif dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan prosedural. Dalam proses yang deliberatif ini pihak yang lemah (baik secara ekonomi, politik, maupun sosial) diberikan bantuan sumber daya, teknis, dan hukum yang akan memungkinkan mereka untuk memperoleh akses yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.95

Menurut Fisher dan Harding, proses pengambilan keputusan deliberatif dapat dibenarkan karena tiga alasan.96 Pertama, melalui demokratisasi pengambilan keputusan melalui dialog dan diskursus, proses deliberatif dapat memperbaiki kualitas keputusan yang dibuat. Demokratisasi dan perluasan partisipasi dalam pengambilan

Convention”, FCCC/CP/2011/9/Add.1, Decision 2/CP.17, terutama keputusan terkait pendanaan jangka panjang (long-term finance).

91Robert Kuehn, op cit. note 64, hal. 10693-10694. 92John Adler dan David Wilkinson, Environmental Law and Ethics (Mac Millan Press, 1999), hal.

174-174. 93Robert Kuehn, op cit. note 64, hal. 10688. 94Ibid. 95Ibid., hal. 10689. 96Elizabeth Fisher and Ronny Harding, 1999, “The Precautionary Principle: Toward a

Deliberative, Transdisciplinary Problem-Solving Process”, in: R. Harding and E. Fisher, Perspective on the Precautionary Principle (The Federation Press, 1999), hal. 291.

Page 26: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

26

keputusan menjamin bahwa pendapat publik akan didengarkan selama proses berlangsung.

Kedua, proses deliberasi merupakan jaminan bahwa pembuatan keputusan, terutama ketika terdapat ketidakpastian ilmiah, telah diambil secara demokratis. Dalam konteks ini, Fisher dan Harding berpendapat bahwa ketika terdapat ketidakpastian ilmiah, keputusan tidak lagi dapat didasarkan sepenuhnya pada landasan ilmiah, sebab ilmu pengetahuan tidak akan mampu memberikan jawaban yang memadai. Pada situasi seperti ini, proses pengambilan keputusan haruslah dilakukan secara terbuka dan kolektif, di mana semua issue yang relevan telah didiskusikan.97

Lebih jauh lagi, proses demokratisasi juga dapat membuat keputusan dan proses pengambilan keputusan memiliki dasar yang lebih kuat. Pendapat dari publik dapat memberikan informasi berharga, yang mungkin telah diabaikan oleh para pakar atau teknokrat dalam pengambilan keputusan. Dengan cara ini, partisipasi dipandang sebagai cara untuk menghasilkan informasi yang lebih beragam dan kaya, yang dapat membantu pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang lebih kuat baik secara sosial maupun secara ilmiah. Alasan seperti ini yang oleh Stirling disebut sebagai pembenaran substantif bagi partisipasi, di mana partisipasi dianggap sebagai “a means to consider broader issues, questions, conditions, causes or possibilities that might otherwise be missed in appraisal.”98

Ketiga, karena proses deliberasi dilakukan melalui perdebatan yang mendalam dan demokratis, maka proses ini berpotensi untuk menjaga kepercayaan publik, atau bahkan menurunkan ketidakpercayaan publik, terhadap keputusan pemerintah. Dalam hal ini, Stirling berpendapat bahwa demokratisasi proses pengambilan keputusan memiliki fungsi pragmatis, yaitu untuk memediasi perbedaan antara publik dan pakar, serta untuk mengurangi ketidakpercayaan publik terhadap proses pengambilan keputusan. Meningkatnya kepercayaan publik terhadap proses pembuatan keputusan pada gilirannya akan meningkatkan pula penerimaan publik terhadap keputusan yang diambil, serhingga meningkatkan pula efektivitas kebijakan publik. Inilah yang oleh Stirling disebut sebagai pembenaran instrumental (instrumental justification) bagi partisipasi publik. Dalam konteks ini, partisipasi publik dianggap sebagai sebuah instrumen untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan publik, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi dan prosedur pengambilan kebijakan publik.99

Di Indonesia, pengakuan terhadap pentingnya proses pengambilan keputusan secara demokratis dan partisipasi publik sedini mungkin, dapat dilihat dari berbagai ketentuan, mulai dari ketentuan mengenai KLHS, izin lingkungan, Amdal, sampai

97E.C. Fisher, “The Precautionary Principle as a Legal Standard for Public Decision-Making: the Role of Judicial and Merits Review in Ensuring Reasoned Deliberation”, in: R. Harding and E. Fisher, Perspectives on the Precautionary Principle (The Federation Press, 1999), pp. 90-91.

98Andy Stirling, “Opening up or Closing down? Analysis, Participation and Power in the Social Appraisal of Technology”, dalam: M. Leach, I. Scoones, and B. Wynne (eds.), Science and Citizens: Globalization and the Challenge of Engagement (Zed Books, 2005), hal. 223.

Hal senada juga disampaikan oleh Vos. Menurutnya, partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan tidak hanya berpotensi meningkatkan kepercayaan dan penerimaan publik kepada keputusan yang diambil, tetapi juga berperan untuk menyediakan informasi yang berguna bagi peningkatan kualitas keputusan yang diambil. Lihat: E.Vos, “Overcoming the Crisis of Confidence: Risk Regulation in an Enlarged European Union”, inauguration speech, University of Maastrich, 2004, hal. 18.

Dalam fungsi terakhir ini, Vos menyatakan partisipasi public dapat memfasilitasi munculnya input dari publik, yang pada gilirinnya akan mampu untuk menyediakan “relevant knowledge, values, or questions, which scientists have neglected.” Ibid., hal. 19.

99Andy Stirling, op.cit. note 98, hal. 221.

Page 27: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

27

dengan pemberian izin usaha. Di samping keterlibatan terkait dengan perizinan, masyarakat pun memiliki peran dalam hal pengawasan dan penegakan hukum, dengan difasilitasinya pengaduan masyarakat dan hak gugat.

Di samping aspek partisipasi dalam pengambilan keputusan, keadilan prosedural dapat pula terkait dengan aspek perlindungan hak atas informasi. UU No. 32 tahun 2009 melihat bahwa pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan mensyaratkan pada adanya pemberian informasi transparan dan lengkap sebelum sebuah kegiatan dilaksanakan.100 Lebih dari itu, UU No. 32 tahun 2009 juga mengakui bahwa akses atas informasi merupakan hak setiap orang.101 Atas dasar inilah maka UU No. 32 tahun 2009 pada satu sisi telah memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup, yang harus dibuat terbuka bagi masyarakat. Sistem informasi ini setidaknya memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lainnya.102 Pada sisi lain, UU No. 32 tahun 2009 juga membebankan kewajiban kepada pelaku usaha/kegiatan untuk memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.103 Mereka yang dianggap telah menyampaikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diancam dengan sanksi pidana.104

Aspek terakhir yang perlu dibahas dalam keadilan prosedural adalah aspek akses terhadap keadilan. Untuk mudahnya, akses terhadap keadilan dapat dilihat dari adanya berbagai hak gugat yang mungkin diambil oleh seseorang, sekelompok orang, atau organisasi untuk menjamin adanya perlindungan hak-haknya pada khususnya, atau perlindungan lingkungan hidup pada umumnya. UU No. 32 tahun 2009 dapat dianggap sebagai undang-undang yang telah cukup lengkap memuat berbagai hak gugat, yaitu: hak gugat LSM lingkungan,105 hak gugat masyarakat (class action),106 hak gugat Pemerintah,107 dan hak gugat setiap orang untuk melakukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.108 Di samping itu, secara umum, hukum acara perdata Indonesia juga telah mengakui adanya hak gugat perorangan dan hak gugat warga negara (citizen lawsuits).

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa secara teoritis, hukum Indonesia telah cukup lengkap dan komprehensif mengakui berbagai aspek dari keadilan prosedural. Tentu saja, seperti juga persoalan hukum lainnya di Indonesia, persoalannya adalah pada penerapan dari apa yang tertulis di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

3.4. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Sosial Dalam taksonomi Kuehn, keadilan lingkungan dapat pula diartikan sebagai keadilan sosial. Dalam konteks ini, Kuehn menafsirkan keadilan sosial sebagai cabang dari keadilan yang akan mendorong kita untuk melakukan upaya terbaik guna tercapainya tatanan masyarakat yang adil, yaitu tatanan masyarakat yang mampu memenuhi

100UU No. 32 tahun 2009, Pasal 26 ayat 2. 101UU No. 32 tahun 2009, Pasal 65 ayat 2. 102UU No. 32 tahun 2009, Pasal 62. 103UU No. 32 tahun 2009, Pasal 68. 104UU No. 32 tahun 2009, Pasal 113. 105UU No. 32 tahun 2009, Pasal 92. 106UU No. 32 tahun 2009, Pasal 91. 107UU No. 32 tahun 2009, Pasal 90. 108UU No. 32 tahun 2009, Pasal 93.

Page 28: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

28

kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, keadilan sosial meminta bahwa setiap anggota masyarakat memiliki sumber daya dan kekuasaan yang cukup untuk hidup secara layak sebagai manusia, dan bahwa kelas masyarakat yang berada dalam posisi yang diuntungkan (the priviledged classes) memikul tanggungjawab atas cara mereka dalam penggunaan keuntungan-keuntungan yang diperolehnya.109 Kuehn menyatakan pula bahwa prinsip keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial meminta adanya alternatif sistem ekonomi yang:110 - mampu memberikan kontribusi pada pembangunan yang ramah lingkungan; - mendukung pembebasan masyarakat secara politik, ekonomi, dan budaya; - memajukan kebijakan yang didasarkan pada saling menghormati, keadilan bagi

semua orang, dan tanpa diskriminasi; - mendorong terjadinya pemulihan lingkungan baik di perkotaan maupun desa; - menghormati integritas budaya masyarakat - menyediakan akses bagi semua masyarakat atas sumber daya yang dimiliki oleh

masyarakat.

Sementara itu, keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial juga dapat dilihat dari pandangan yang menyatakan bahwa upaya pengentasan kemiskinan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini, Langhelle menegaskan bahwa laporan WCED, Our Common Future, mengindikasikan adanya hubungan empiris dan fungsional antara keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini terlihat dari pandangan Komisi, bahwa pada satu sisi kemiskinan merupakan penyebab dari banyak persoalan lingkungan (“major cause and effect of global environmental problems”), dan pada sisi lain pengentasan kemiskinan merupakan prasyarat bagi pembangunan yang ramah lingkungan (“precondition for environmentally sound development”).111 4. Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity)

Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan yang diberikan oleh WCED, mandat bagi terwujudnya keadilan antar generasi tercermin di dalam pernyataan “without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan menginginkan adanya keseimbangan keadilan: adil terhadap generasi sekarang, dan adil pula terhadap generasi yang akan datang. Menurut Voigt, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, keseimbangan keadilan tersebut hanya bisa dijalankan melalui perlindungan terhadap integritas ekosistem Bumi. Akibatnya, pembangunan yang dilakukan haruslah merupakan pembangunan yang melindungi pula sistem penyangga kehidupan, terutama jika sistem ini berada dalam ancaman.112 Dalam artian ini, maka konsep keadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan tidak hanya menitikberatkan pada persoalan alokasi yang adil atas hak dan kewajiban, tetapi juga mengakui bahwa keutuhan dan integritas lingkungan hidup merupakan bagian tidak terpisahkan dari konsep keadilan.113

109Robert Kuehn, op.cit. note 64, hal. 10698. 110Ibid., hal. 10699. 111Oluf Langhelle, op.cit. note 63, hal. 299-300. 112Christina Voigt, op.cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 51. 113Ibid., hal. 52.

Page 29: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

29

4.1. Perlindungan opsi, kualitas, dan akses yang lahir dari keadilan antar generasi

Dalam pandangan Weiss, konsep keadilan antara generasi telah melahirkan kewajiban lingkungan (planetary obligations) berupa tiga jenis perlindungan, yaitu: perlindungan opsi (conservation of options), perlindungan kualitas (conservation of quality), dan perlindungan atas akses (conservation of access).114 Ketiga aspek perlindungan ini berlaku tidak hanya dalam konteks intra generasi, tetapi juga antar generasi. Dalam hal ini, ketiga aspek perlindungan ini bertujuan agar setiap generasi memiliki tingkat pemanfaatan yang setidaknya sama dengan tingkat pemanfaatan dari generasi sebelumnya, sambil mendorong terjadinya perbaikan keadaan bagi tiap generasi. Ketiganya berfungsi pula untuk menetapkan batasan bagi tiap negara ketika mengeksploitasi sumber daya miliknya. Lebih penting lagi, ketiga aspek perlindungan ini memiliki peran untuk mengubah asumsi pembangunan, dari asumsi yang mendorong terjadinya konsumsi dan eksploitasi selama belum ada alasan untuk menghentikannya, menjadi asumsi yang menginginkan adanya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan perlindungan lingkungan selama belum ada alasan kuat untuk tidak melakukan pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan tersebut.115

Perlindungan opsi (conservation of options) diartikan sebagai perlindungan keanekaragaman sumber daya yang tersedia. Menurut Weiss, perlindungan opsi ini tidaklah berarti bahwa kondisi status quo harus dilindungi, karena perlindungan seperti ini hanya akan melanggenggkan kondisi hidup dari mereka yang miskin. Weiss berpendapat bahwa perlindungan opsi dapat berarti perbaikan kehidupan, yang dicapai melalui pengembangan teknologi dan penciptaan berbagai alternatif sumber daya alam, sambil melakukan upaya pemanfaatan secara lebih efisien dan perlindungan terhadap sumber daya alam yang saat ini tersedia. Tujuannya adalah tercapainya keseimbangan keanekaragaman sumber daya alam.116 Dengan demikian, perlindungan opsi menginginkan agar keanekaragaman pilihan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh generasi yang akan datang, setidaknya, tidak lebih buruk dari keaneragaman pilihan yang dimiliki oleh generasi sekarang. Jika kita memiliki opsi untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan sumber daya hutan, maka generasi yang sama pun harus memiliki opsi yang tidak boleh lebih buruk dari opsi yang kita miliki sekarang.

114Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity and Rights of Future Generation”, The Modern

World of Human Rights: Essays in Honour of Thomas Buergenthal, hal. 608-609. 115Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity in International Law”, Proceedings of the

Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 81, April 8-11, 1987, hal. 131. Keseluruhan pendapat Weiss dalam kaitannya dengan keadilan antar generasi didasarkan pada teori keadilan John Rawls. Sebagai landasan etis untuk keadilan antar generasi, Weiss menyatakan:

“In answering this question it is useful to borrow from John Rawls who describes a condition of veiled ignorance in which every generation exists somewhere in the spectrum of time, but does not know in advance where it will be located. Future generations would want to inherit the Earth in as good a condition as did their ancestors and with at least comparable access to its resources. This requires that each generation leave the planet in no worse condition than it received it, and to provide succeeding generations equitable access to its resources and benefits.”

Lihat: Edith Brown Weiss, “In Fairness to Future Generations and Sustainable Development”, American University International Law Review, Vol. 8(1), 1992, hal. 21. Untuk diskusi tentang penggunaan teori John Rawls dalam pembangunan berkelanjutan (termasuk keadilan antar generasi), lihat: Andri G.Wibisana, “Pembangungan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2013 (forthcoming).

116Edith Brown Weiss, 1987, op.cit. note 115, hal. 130.

Page 30: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

30

Perlindungan atas kualitas (Conservation of Quality) menginginkan agar kita meninggalkan kualitas alam dan lingkungan hidup yang tidak lebih buruk dari kualitas yang kita terima dari generasi sebelum kita. Hal ini tidak berarti kondisi lingkungan saat ini tidak boleh berubah, sebab jika demikian halnya, maka perlindungan kualitas akan bertentangan dengan perlindungan akses yang memang memungkinkan adanya pemanfaatan lingkungan. Lebih jauh lagi, dalam pandangan Weiss, perlindungan kualitas memerlukan adanya pengembangan ukuran mengenai kualitas sumber daya lingkungan, serta peningkatan kapasitas pengetahuan dan kemampuan manusia untuk memprediksi titik kritis (breaking points) dari sistem alam dan sosial yang ada.117 Dengan demikian, maka keadilan antar generasi menuntut agar kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang dimiliki oleh generasi yang akan datang, tidak lebih buruk dari kualitas yang dimiliki oleh generasi sekarang. Mengingat generasi yang akan datang sepenuhnya tergantung dari keputusan dan tindakan yang diambil dari generasi sekarang, maka generasi sekaranglah yang memikul kewajiban untuk menjamin tidak menurunnya kualitas lingkungan dan sumber daya alam ini.

Perlindungan akses (conservation of access) mencerminkan adanya alokasi hak dan akses terhadap sumber daya alam yang seimbang antar generasi yang berbeda dan antar sesama anggota dari generasi sekarang. Dengan demikian, perlindungan akses memberikan hak yang adil (equitable rights) dan non-diskriminatif terhadap setiap warga dari generasi sekarang untuk menggunakan sumber daya lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Namun demikian, dalam penggunaan sumber daya ini, setiap anggota generasi sekarang memiliki kewajiban yang adil (equitable duties) untuk menjamin bahwa tindakannya tidak akan mengurangi akses generasi yang datang terhadap sumber daya tersebut.118 Lebih jauh lagi, mengingat ketergantungan dari generasi yang akan datang terhadap generasi sekarang, maka generasi sekarang lah yang memikul kewajiban untuk menjamin

117Ibid., hal. 130-131. 118Ibid., hal. 131. Atas dasar ini, maka Weiss meyakini bahwa keadilan antar generasi sangat

terkait erat dengan keadilan intra generasi. Bahkan, menurut Weiss, keadilan antar generasi ini mengandung dimensi keadilan intra generasi, di mana pada satu sisi generasi yang akan datang memiliki hak dan kewajiban atas perlindungan lingkungan yang dapat mereka minta kepada setiap anggota dari generasi yang akan datang dan dari generasi yang berbeda, sedang di sisi lainnya setiap anggota dari satu generasi memiliki hak dan kewajiban atas alokasi yang adil dari manfaat dan biaya dari perlindungan lingkungan. Lebih jauh lagi, dimensi keadilan intra generasi di dalam keadilan antar generasi dapat dilihat, misalnya, dari pengentasan kemiskinan sebagai upaya yang tidak hanya berguna bagi peningkatan kesejahteraan generasi sekarang, tetapi juga bagi kesejahteraan generasi yang akan datang. Setiap anggota dari generasi sekarang, karenanya, memiliki hak atas alokasi dan akses yang adil terhadap manfaat dari lingkungan hidup. Dalam bahasa Weiss,

“[T]he fulfillment of intergenerational obligations requires attention to certain aspects of intragenerational equity. As is well-known, poverty is a primary cause of ecological degradation. Poverty-stricken communities, which by definition have unequal access to resources, are forced to overexploit the resources they do have so as to satisfy their own basic needs. As an ecosystem begins to deteriorate, the poor communities suffer most, because they cannot afford to take the mieasures necessary to control or adapt to the degradation, or to move to pristine areas. “Thus, to implement intergenerational equity, countries need to help poor communities to use the natural environment on a sustainable basis, to assist them in gaining equitable access to the economic benefits from our planet, such as potable water, and to help protect them from degraded environmental quality. As beneficiaries of the planetary legacy, all members of the present generation are entitled to equitable access to and use of the legacy.”—[garis bawah dari penulis].

Lihat: Edith Brown Weiss, “Our Rights and Obligations to Future Generations For The Environnient”, The American Journal of International Law, Vol. 84(1), Jan. 1990, hal. 201.

Page 31: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

31

ketersediaan akses yang tidak lebih buruk bagi generasi yang akan datang, serta untuk memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kapasitas yang sama untuk hidup dalam tingkat kesejahteraan yang tidak lebih buruk dari generasi sekarang. Dalam bahasa Beder, perlindungan akses mengindikasikan bahwa “current generations should ensure that future generations can also enjoy this access. Equity and fairness would seem to require that future generations not only be able to subsist but that they have the same level of opportunities to thrive and be happy as current generations”.119 4.2. Hak atas lingkungan yang baik, hak gugat, dan keadilan antar generasi

Secara hukum, pengakuan terhadap keadilan antar generasi dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Filipina dalam kasus Minors Oposa v. Factoran. Kasus ini adalah kasus gugatan anak-anak di bawah umur, yaitu Juan Antonio Oposa, Anna Rosario Oposa, dan Jose Alfonso Oposa, yang diwakili oleh orang tua mereka Antonio Oposa dan Rizalina Oposa, serta beberapa anak di bawah umur lainnya yang masing-masing diwakili oleh orang tua mereka. Para penggugat ini menggunakan class action dari para pembayar pajak, dan menyatakan bahwa mereka adalah warga negara Filipina yang mewakili generasi mereka dan juga generasi yang akan datang.120 Para penggugat ini menggugat Department of Environment and Natural Resources (DENR), dalam hal ini Factoran, Jr. sebagai sekretaris departemen, terkait dengan pengelolaan kehutanan di Filipina. Penggugat menyatakan bahwa kebijakan kehutanan Filipina, yang telah mengizinkan eksploitasi hutan secara besar-besarang, merupakan pelanggaran hak konstitusional para penggugat dan generasi yang akan datang atas lingkungan yang baik dan sehat.121 Atas dasar itu, penggugat meminta agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk menghentikan semua izin penebangan (timber licensing agreements—TLA) yang telah ada, pembaruan izin lama, atau pemberian izin baru.122 Atas gugatan tersebut, tergugat pada satu sisi menyatakan bahwa TLA merupakan kebijakan yang didasarkan pada diskresi sehingga tidak bisa digugat, dan bahwa TLA adalah kontrak yang harus dilindungi sehingga pencabutannya haruslah sesuai dengan prosedur. Lebih penting lagi, pada sisi lain tergugat menyatakan bahwa para penggugat tidak memiliki hak gugat (cause of action, maupun locus standi) karena hak atas lingkungan yang baik bukanlah hak yang cukup spesifik (specific legal right) untuk dijadikan dasar gugatan.123

Setelah memperhatikan berbagai putusan pengadilan terkait dengan izin penebangan, Mahkamah Agung memutuskan bahwa TLA bukanlah kontrak. Seandainya pun TLA dianggap kontrak, maka keberlakukannya tidaklah bersifat absolut. Artinya, sebagai kontrak pun TLA masih dapat dihentikan, jika TLA melanggar hak orang lain atas lingkungan yang baik.124

Lebih penting lagi, Mahkamah Agung Filipina mengakui bahwa hak atas lingkungan hidup merupakan hak konstitusional yang tidak hanya dimiliki oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi yang akan datang. Hak ini juga mengindikasikan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menjamin terpeliharanya keseimbangan ekologi. Atas dasar inilah maka pengadilan menyatakan

119Sharon Beder, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 89. 120Putusan MA Filipina No. G. R. No. 101083, Minors Oposa v. The Honorable Fulgencio S.

Factoran, Jr.[selanjutnya disebut Minors Oposa v. Factoran], 33 I.L.M. 173 (1994), hal. 176-177. 121Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 180. 122Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 177. 123Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 183-184. 124Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 195-198.

Page 32: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

32

bahwa penggugat memiliki hak gugat untuk menggugat bagi kepentingannya sendiri serta sekaligus atas nama kepentingan generasi yang akan datang! Dalam hal ini, Mahkamah Agung Filipina menyatakan:

“This case, however, has a special and novel element. Petitioners minors assert that they represent their generation as well as generations yet unborn. We find no difficulty in ruling that they can, for themselves, for others of their generation and for the succeeding generations, file a class suit. Their personality to sue in behalf of the succeeding generations can only be based on the concept of intergenerational responsibility insofar as the right to a balanced and healthful ecology is concerned. Such a right, as hereinafter expounded, considers the “rhythm and harmony of nature.” Nature means the created world in its entirety. Such rhythm and harmony indispensably include, inter alia, the judicious disposition, utilization, management, renewal and conservation of the country’s forest, mineral, land, waters, fisheries, wildlife, off-shore areas and other natural resources to the end that their exploration, development and utilization be equitably accessible to the present as well as future generations. Needless to say, every generation has a responsibility to the next to preserve that rhythm and harmony for the full enjoyment of a balanced and healthful ecology. Put a little differently, the minors’ assertion of their right to a sound environment constitutes, at the same time, the performance of their obligation to ensure the protection of that right for the generations to come—[catatan kaki diabaikan].”125

Di samping itu, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak kurang penting dibandingkan dengan hak sipil dan politik. Hak-hak asasi ini, menurut Mahkamah Agung, bahkan tidak akan berkurang nilainya jika tidak dicantumkan di dalam Konstitusi, sebab hak-hak ini merupakan hak asasi yang muncul seiring keberadaan manusia. Pencantuman hak atas lingkungan yang baik di dalam Konstitusi dilakukan untuk menggarisbawahi pentingnya hak tersebut dan untuk mengaskan adanya kewajiban negara untuk melindungi dan memajukan hak tersebut. Menurut pandangan Mahkamah Agung, apabila hak tersebut tidak tercantum di dalam Konstitusi, maka tidak akan lama lagi generasi sekarang akan mengalami musnahnya sumber daya lingkungan, serta tidak akan mampu mewariskan apa-apa kepada generasi yang akan datang, kecuali lingkungan hidup yang sudah tidak mampu lagi untuk menyangga kehidupan. Hak atas lingkungan hidup yang baik, karenanya, melahirkan kewajiban untuk tidak menyebabkan gangguan pada lingkungan hidup.126

Putusan Minors Oposa v. Factoran memiliki arti yang sangat penting bagi pengakuan dan implementasi keadilan antar generasi. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, secara praktis, meskipun pengadilan tidak memutuskan mencabut atau menghentikan TLA, faktanya pada tahun 2006 hanya terdapat 3 (tiga) TLA (satu di antaranya tidak aktif, dan satu lagi dalam proses review). Di sisi lain, putusan Minors Oposa v. Factoran pun telah menginspirasi lahirnya beberapa putusan pengadilan di Filipina yang melahirkan putusan yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup.127 Kedua, putusan

125Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 185. 126Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 187-188. 127Oliver A. Houck, “Light from the Trees: The Stories of Minors Oposa and the Russian Forest

Cases”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 19, 2007, hal. 339-341.

Page 33: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

33

Minors Oposa v. Factoran memberikan penegasan bahwa hak atas lingkungan yang baik merupakan hak yang dapat ditegakkan, sehingga dapat menjadi dasar gugatan bagi pihak yang merasa hak tersebut telah dilanggar (actionable right).128 Dalam hal ini, actionable right tersebut bukan hanya dimiliki oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi yang akan datang. Ketiga, pengakuan putusan Minors Oposa v. Factoran atas keadilan antar generasi dan kaitannya hak gugat, tidaklah bersifat obiter dictum. Sebaliknya, pada saat putusan Minors Oposa v. Factoran secara langsung mengaitkan antara hak atas lingkungan yang baik dari generasi sekarang dengan hak atas lingkungan yang baik dari generasi yang akan datang, maka putusan tersebut dapat dianggap telah menjadi dasar preseden mengenai bagaimana hak atas lingkungan yang baik dapat ditafsirkan dan ditegakkan, serta sejauhmana hak tersebut dapat dikaitkan dengan hak konstitusional dari generasi yang akan datang.129 Dalam hal ini, putusan Minors Oposa v. Factoran secara tegas menyatakan bahwa karena hak atas lingkungan yang baik dimiliki baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, maka generasi sekarang dapat melakukan gugatan tidak hanya untuk melindungi haknya tersebut, tetapi juga hak dari generasi yang akan datang.130 Keempat, seperti dinyatakan oleh Maggio, putusan Minors Oposa v. Factoran memiliki arti yang sangat penting karena untuk pertama kalinya sebuah lembaga pengadilan tertinggi secara tegas mengakui adanya keadilan antar generasi, dan kemudian mengaitkan pengakuan tersebut dengan hak gugat dari generasi yang akan datang.131

Mengingat bahwa Indonesia pada satu sisi telah mengakui adanya hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai hak konstitusional,132 serta pada sisi lain telah pula mengakui keadilan intra dan antar generasi,133 serta berbagai hak gugat,134 maka sangatlah tepat jika pada suatu saat pengadilan Indonesia pun mampu mengikuti pengadilan Filipina, untuk memutuskan bahwa: pertama, hak atas lingkungan yang baik merupakan actionable right yang dimiliki baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang; dan karenanya, kedua, hak gugat tidak hanya dimiliki oleh generasi sekarang, tetapi juga dimiliki oleh generasi yang akan datang. 5. Prinsip Pencegahan (The Principle of Preventive Action)

Beberapa ahli hukum seringkali berpendapat bahwa asas pencegahan tercantum dalam Prinsip Ke-21 dari Deklarasi Stockholm 1972, yang berbunyi135:

“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that

128Ma. Socorro Z. Manguiat dan Vicente Paolo B. Yu III, “Maximizing the Value of Oposa v.

Factoran”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 15, 2003, hal. 496. 129Ibid., hal. 493. 130Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 (194), hal. 185. 131G.F. Maggio, “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under International Law

for Promoting the Sustainable Development of Natural Resources”, Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4, Spring, 1997, hal. 192.

132UUD 1945 Pasal 28H, dan UU No. 32 tahun 2009 Pasal 65 ayat 1. 133UU No. 32 tahun 2009 Pasal 2g dan 3f. 134UU No. 32 tahun 2009 Pasal 90 s.d. 93. 135Prinsip ke-2 dari Deklarasi Rio 1992 juga berbunyi kurang lebih sama dengan Prinsip ke-21

dari Deklarasi Stockholm.

Page 34: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

34

activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction”.

Namun demikian, perlu dinyatakan di sini sedikit perbedaan antara Prinsip ke-

21 tersebut dengan Asas Pencegahan. Pertama, Prinsip Ke-21 berangkat dari pengakuan atas kedaulatan Negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayahnya, sedanga Asas Pencegahan berangkat dari pengakuan atas perlingdungan lingkungan sebagai sebuah tujuan. Kedua, Prinsip ke-21 diterapkan dalam kerangka pencemaran lintas batas Negara (transboundary pollution), sedangkan Asas Pencegahan diterapkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar transboundary pollution. Dalam hal ini, penerapan Asas pencegahan ditujukan untuk meminimasi munculnya resiko pencemaran lingkungan136.

Dalam level internasional, pengakuan terhadap asas pencegahan dapat dilihat dari beberapa konvensi tentang perlindungan lingakunan, mulai dari persoalan perlindungan ekosistem laut sampai pada persoalan keanekaragaman hayati137. Asas ini pun telah memperoleh pengakuan di dalam keputusan ICJ tentang kasus Gabcikovo-Nagymaros, di mana dinyatakan bahwa penerapan asas pencegahan merupakan sebuah keharusan bagi tiap negara, karena terdapat karakter ketakpulihan (irreversibility) dari kerusakan lingkungan138.

Meski demikian, haruslah diingat bahwa berdasarkan asas pencegahan, sebuah negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keruskan yang timbul apabila negara tersebut telah melakukan upaya pencegahan. Pertanyaannya adalah sejauh mana upaya pencegahan dapat dianggap memadai? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa ahli mencoba mengkaitkannya dengan beberapa kewajiban seperti Amdal, monitoring, dan konsultasi. Ahli yang lain menyatakan bahwa upaya pencegahan dapat dianggap tepat apabila telah dilakukan sesuai dengan teknologi terbaik yang tersedia (“Best Available Technologi”—BAT).

Hal lain yang patut dikemukakan ialah bahwa Asas Pencegahan merupakan prinsip yang ditujukan untuk pencegahan resiko. Apa itu resiko? Ketika mecoba membedakan resiko (risk) dengan ketidakpastian (uncertainty), para ekonomi biasanya merujuk pada karya klasik Frank Knight, Risk, Uncertainty and Profit. Dalam karyanya ini, Knight membedakan resiko dari ketidakpastian berdasarkan probabilitas yang dapat kita berika pada sebuah kejadian. Dalam hal ini, Knight membagi probabilitas ke dalam tiga kategori.139 Kategori pertama adalah probabilitas yang bisa diperolah secara a priori, “a priori probability”. Dalam kondisi ini, probabilitas adalah peluang munculnya kejadian yang dihitung berdasarkan prinsip umum. Kategori kedua adalah probabilitas probabilitas secara statistic, “statistical probability”, di mana peluang munculnya kejadian hanya bisa ditentukan berdasarkan evaluasi emipiris.140 Kategori ketiga disebut oleh Knight sebagai estimasi,

136Arie Trouwborst, Evolution and Status of the Precautionary Principle in International Law

(The Hague: Kluwer Law International, 2002), pp. 35-36. 137Nicolas de Sadeleer (2002), Environmental Principles: From Political Slogans to Legal Rules,

(Oxford: Oxford University Press, 2002), pp. 65-66. 138Ibid., p. 67. 139F.H. Knight, Risk, Uncertainty and Profit (New York: Augustus M. Kelley, 1964), hal. 224-

225. 140J. Runde memberikan contoh dari “a priory probability” dan “statistical probability”. Contoh

pertama: kita bisa menentukan bahwa jika sebuah dadu dilempar, maka kemungkinan munculnya sisi

Page 35: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

35

“estimates”, yaitu situasi ketika kita tidak memiliki dasar valid untuk menentukan peluang berdasarkan contoh atau percobaan.

Probabilitas secara a priori dan statistik merujuk pada situasi resiko, yaitu kondisi ketika distribusi probabilitas dan hasil yang mungkin (outcomes) dapat kita ukur. Sedangkan bentuk probabilitas ketiga, yaitu estimasi, adalah situasi ketika kita hanya memiliki informasi tentang outcomes, tetapi kita tidak memiliki kemampuan untuk menentukan seberapa besar probabilitas dari outcomes tersebut. Ekonom kemudian menamakan kondisi ketidaktahuan akan probabilitas ini dengan istilah “uncertainty”, ketidakpastian.141

Di luar situasi risk (situasi ketika kita bisa mengetahui informasi tentang hasil yang mungkin dan probabilitasnya) dan uncertainty (situasi ketika kita hanya tahu informasi tentang hasil yang mungkin, tanpa mengatahui probabilitasnya), beberapa pengarang beranggapan bahwa kadang kala kita berhadapan dengan situasi di mana meskipun kita mengetahui probabilitas dari hasil yang akan muncul, kita tidak mengetahui secara pasti besaran dari tiap hasil yang akan muncul tersebut. Situasi inilah yang disebut dengan kegamangan (ambiguity). Menurut Stirling, situasi ambiguity lahir ketika resiko yang dikaji bersifat multidimensi, sehingga memungkinkan munculnya “different perspectives concerning the scope, characterization, and prioritization”.142

dengan angka 3, misalnya, adalah 1/6. Pada contoh ini, 1/6 kita peroleh secara a priori (berdasarkan aturan umum), yaitu bahwa karena dadu memiliki 6 buah sisi, maka kemungkinan munculnya salah satu sisi (sisi dengan angka 3) adalah 1/6. Contoh kedua: dari sebuah proses produksi botol diperkirakan bahwa munculnya botol yang rusak dalam produksi ini adalah, misalnya, 1/300. Pengetahuan tentang probabilitas sebesar 1/300 ini hanya bisa kita peroleh dari serangkaian evaluasi frekuensi statistik yang menunjukkan bahwa kemungkinan munculnya produk botol yang rusak adalah sekali dalam 300 produksi botol. Contoh pertama adalah contoh dari “a priori probability”, sedang contoh kedua adalah contoh dari “statistical probability”. Lihat: J. Runde, “Clarifying Frank Knight’s Discussion of the Meaning of Risk and Uncertainty”, Cambridge Journal of Economics, Vol. 22, 1998: hal. 540-541.

141Lihat misalnya: R. Perman, et al., Natural Resources and Environmental Economics, 2nd ed. (Essex: Longman, 1999), hal. 431; dan R.K. Turner, D. Pearce, dan I. Bateman, Environmental Economics: an Elementary Introduction (New York: Harvester Wheatsheaf, 1994), hal. 130.

142A. Stirling, “Risk, Uncertainty and Precaution: Some Instrumental Implications from the Social Sciences”, dalam: F. Berkhout, M. Leach, dan I. Scoones (eds.), Negotiating Change: New Perspectives in Environmental Social Science (London: Edward Elgar, 2003), hal. 45. Ambiguity juga mengindikasikan bahwa hasil dari evaluasi resiko sebenarnya sangat sensitif terhadap asumsi yang dibuat, yang pada gilirannya akan sangat menentukan bagaimana resiko ditanyakan, dibuat prioritasnya, dan kemudian diinterpratisakan. Lihat: P. Van Zwanenberg dan A. Stirling, “Risk and Precaution in the US and Europe: A Response to Vogel”, dalam: H. Somsen, et al. (eds.), The Yearbook of European Environmental Law Vol. 3 (Oxford: Oxford University Press, 2003), hal. 46.

Menurut penulis, situasi ambiguity banyak terjadi di dalam kajian-kajian mengenai dampak dari perubahan iklim, terutama dampak dari perubahan secara bertahap (gradual climate change). Meskipun para ahli saat ini telah mampu menentukan probabilitas dari beberapa dampak yang akan timbul dari perubahan iklim ini, tetapi mereka masih sering berbeda pendapat mengenai besaran yang pasti dari tiap dampak tersebut. Perdebatan akan semakin kentara ketika besaran-besaran dampak tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk uang dalam rangka menentukan valuasi ekonomi atas dampak yang terjadi. Dalam hal ini, ekonom sering kali berdebat tentang kevalidan penggunaan value of statistical life (VOSL, semacam harga untuk nyawa manusia) atau penggunaan discount rate dalam valuasi ekonomi. Akibatnya, kita seringkali menemukan besaran yang berbeda di antara para pengarang. Untuk perdebatan tentang VOSL lihat misalnya: M. Grubb, “Seeking Fair Weather: Ethics and the International Debate on Climate Change”, International Affair, Vol. 71(3), 1995: hal. 463-496. Untuk kritik atas penggunaan discount rate lihat misalnya: N. Khanna dan D. Chapman, “Time Preference, Abatement Costs, and International Climate Policy: An Appraisal of IPCC 1995”, Contemporary Economic Policy, Vol. XIV, 1996: hal. 58.

Page 36: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

36

Di samping itu, ada kalanya pula kita dihadapkan pada situasi di mana baik besaran hasil maupun probabilitasnya tidak kita ketahui. Dalam situasi terakhir ini kita sedang dihadapkan pada keserbataktahuan (ignorance). Kita bisa melihat ignorance dari berbagai keterkejutan kita ketika mengetahui penipisan lapisan ozon dan dampaknya, atau ketika kita tersadarkan akan dampak luar biasa dari PCBs (polychlorinated biphenyls) dan DES (synthetic oestrogen diethylstilboestrol).143 Contoh-contoh ini menunjukkan berbagai peristiwa tragis yang sepertinya muncul sebagai kejutan, sebab peristiwa itu sebelumnya gagal diantisipasi karena dianggap kurang bukti.

Keempat situasi yang lahir dari seberapa luas pengetahuan kita atas hasil dan probabilitasnya, yaitu risk, uncertainty, ambiguity, dan ignorance, oleh beberapa pengamat disebut sebagai ketidakmenentuan (incertitude).144 Spekrum dari ketidakmenentuan ini dapat dilihat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar ini terlihat bahwa masing-masing kondisi ditentukan oleh pengetahuan kita tentang dampak/hasil yang akan terjadi dan probabilitas dari dampak/hasil tersebut.145 Semakin baik kita mengetahui informasi tentang dampak dan probabilitas, maka semakin kita mengarah pada situasi risk, dan semakin kita tidak memiliki informasi yang memadai tentang dampak dan probabilitas tersebut, maka semakin kita berada pada situasi keserbataktahuan (ignorance).

143Menurut Strirling, ignorance muncul karena berbagai factor, seperti kurangnya pengetahuan,

informasi yang kontradiktif, ketidakpresisian konsep, perbedaan cara pandang terhadap rujukan (divergent frames of reference), serta kompleksitas dari proses alam dan sosial yang dihadapi. Stirling beranggapan bahwa pengadopsian asas kehati-hatian merupakan pengakuan bahwa ignorance merupakan faktor yang dominan ketika kita melakukan pilihan jangka panjang terhadap teknologi yang akan digunakan, atau ketika kita melakukan penilaian atas investasi (investment appraisal) dan risk assessment. A. Stirling, “Risk at a Turning Point?”, Journal of Environmental Medicine, Vol. 1, 1999: hal. 122.

144Untuk diskusi lebih jauh tentang incertitude, lihat: A. Stirling dan D. Gee, “Science, Precaution, and Practice”, Public Health Reports,Vol. 117, 2002: hal. 524-526.

145T. O’Riordan, J. Cameron, dan A. Jordan, “The Evolution of the Precautionary Principle”, dalam: T. O’Riordan, J. Cameron, dan A. Jordan (eds.), Reinterpreting the Precautionary Principle (London: Cameron May, 2001), hal. 25.

Kno

wle

dge

abou

t lik

elih

ood

No

basi

s for

Som

e ba

sis

pr

obab

ilitie

s

for p

roba

bilit

ies

Knowledge about outcomes Well-defined Poorly-defined outcomes outcomes

Risk Ambiguity

Incertitude

Uncertainty Ignorance

Sumber: T. O’Riordan, J. Cameron, and A. Jordan, 2001.

Page 37: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

37

Untuk keadaan resiko (risk) yang dapat diterapkan adalah prinsip pencegahan.

Sedangkan untuk keadaan uncertainy, ambiguity, atau ignorance yang berlaku bukan lagi prinsip pencegahan, tapi prinsip kehati-hatian (the precautionary principle).146 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip kehati-hatian merupakan prinsip pencegahan yang diberlakukan untuk keadaan di luar resiko (risk). Baik prinsip pencegahan maupun prinsip kehati-hatian sama-sama meminta dilakukannya upaya pencegahan. Perbedaannya terletak pada kondisi yang mendasari dilakukannya upaya pencegahan tersebut. 6. Prinsip Kehati-hatian (The Precautionary Principle)

Asas kehati-hatian pertama kali diterapkan di dalm kebijakan lingkungan hidup di Jerman pada tahun awal 1970-an, dan dikenal sebagai Vorsorgeprinzip. Tujuan dari vorsorgeprinzip adalah untuk mencegah pencemaran dengan memperkirakan secara seksama potensi timbulnya pencemaran. Disebutkan pula bahwa prinsip ini merupakan dasar bagi keberlanjutan sumber-sumber ekologi bagi generasi yang datang melalui penggunaan yang hati-hati atas sumber-sumber tersebut. Harald Hohmann menyatakan bahwa vorsorgeprinzip menghasilkan beberapa kewajiban sebagai berikut:147 - Kewajiban meminimasi sebab-sebab yang mungkin dari kerusakan

lingkungan dengan mengambil tindakan-tindakan berdasarkan teknologi atau ilmu pengetahuan terbaru (state of technology atau state of science and technology). Jika bukti tentang kerusakan tersebut belum terkumpul, adanya kemungkinan saja tentang kerusakan tersebut telah cukup sebagai dasar dilakukannya tindakan-tindakan pencegahan.

- Kewajiban tentang penghindaran (avoidance) dihasilkannya limbah serta pengangkutan/penggunaan bahan-bahan berbahaya sejak proses produksi; serta kewajiban untuk melakukan proses recycle terhadap limbah yang dihasilkan

- Pelarangan terhadap penurunan kondisi lingkungan saat ini (principle of status quo preservation). Artinya, setiap orang didorong untuk tidak melakukan perusakan yang sebenarnya bisa dihindari (avoidable impairments). Status quo preservation juga berarti adanya kewajiban untuk membayar kompensasi terhadap kerusakan yang tidak bisa dihindari;

- Aspek lingkungan secara terus-menerus harus diperhatikan dalam setiap perencanaan kebijakan. Hal ini berarti adanya kebutuhan yang lebih besar terhadap diberlakukannya Amdal

- Pengelolaan lingkungan hidup yang mempertimbangkan aspek ekonomi dari alam, perlindungan dan sumber daya alam

- Penggunaan sumber daya alam yang secara ekonomi efisien

146Nicholas de Sadeleer, op cit., hal. Nicholas Treich, 2001, “What is the Economic Meaning of

the Precautionary Principle?”, The Geneva Papers on Risk and Insurance, Vol. 26, No. 3, 2001, hal. 337-338.

147Harald Hohmann, Precautionary Legal Duties and Principles of Modern International Environmental Law: The precautionary principle: International Environmental Law between Exploitation and Protection, (London: Graham & Trotman, 1994), pp. 10-11.

Page 38: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

38

- Kewajiban untuk membuat pembatasan terhadap penggunaan dan pemasaran bahan-bahan kimia

Lebih lanjut, Tickner dan Reffensperger menjelaskan bahwa asas kehati-hatian

memiliki komponen-komponen turunan, baik secara yuridis maupun politis, sebagai berikut:148

- Diambilnya langkah kehati-hatian (precautionary action) sebelum kepastian ilmiah akan sebab dan akbibat berhasil diperoleh.

- Ditetapkannya tujuan, yaitu bahwa asas kehati-hatian mendorong terwujudnya perencanaan yang lebih didasarkan pada tujuan yang telah didefinisikan secara akurat, dan bukan tujuan yang didasarkan pada scenario atau perhitungan resiko yang justru seringkali keliru dan bias.

- Penelusuran dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan. Artinya, asas kehatian-hatian lebih menekankan pada pertanyaan bagaimana mengurangi atau menghilangkan bahaya dan mencoba mencari semua alternatif untuk mencapai tujuan tersebut, dan bukan didasarkan pada pertanyaan tingkat pencemaran yang seperti apa yang dapat dikatakan aman.

- Keputusan-keputusan yang dibuat dalam rangka penerapan asas kehati-hatian harus bersifat terbuka, demokratik, terinformasikan, serta harus menyertakan pihak-pihak yang mungkin terkena dampak dari dikeluarkannya keputusan tersebut.

- Harus terdapat pengalihan beban pembuktian, di mana pemrakarsa kegiatan menjadi berkewajiban untuk membuktikan bahwa kegiatannya tidak akan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan dan keselamatan manusia dan ekosistem.

- Dikembangkannya metode dan criteria pengambilan keputusan yang lebih demokratik dan seksama. Asas kehati-hatian mensyaratkan adanya pertimbangan ilmiah serta bukti/pertimbangan lain (non-ilmiah) ketika manghadapi ketidakpastian, sehingga juga mensyaratkan adanya pertimbangan yang lebih seksama dan lebih banyak melibatkan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan.

Prinsip kehati-hatian merupakan perwujudan dari pengelolaan lingkungan

yang didasrkan pada pendekatan antisipatif. Pendekatan ini merupakan pendekatan tahap ketiga dari pendekatan yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan.149 6.1. Perkembangan Prinsip Kehati-hatian

Prinsip kehati-hatian seperti tercantum dalam berbagai dokumen internasional dianggap sebagai arahan (guidance) bagi pengambilan keputusan di dalam situasi ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Pada umumnya asas kehati-hatian dirumuskan dalam pernyataan bahwa apabila terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan (threats of serious or irreversible damage), pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut.

Beberapa sarjana menyambut baik munculnya asas kehati-hatian ini sebagai sebuah perkembangan baru di dalam kebijakan nasional dan internasional yang bertujuan untuk melindungi manusia dan lingkungan hidup dari bahaya yang serius

148Joel Tickner and Carolyn Reffensperger, “The precautionary principle in Action: A Handbook”, first edition, <http://www.biotech_info.net/handbook.pdf>, pp. 3-4.

149Nicholas de Sadeleer, op cit., hal.

Page 39: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

39

dan tidak bisa dipulihkan. Dalam hal ini, asas kehati-hatian dianggap berperan besar untuk mengubah arah kebijakan dalam menghadapi bahaya yang serius tetapi masih bersifat tidak pasti. Apabila selama ini para pengambil kebijakan seringkali enggan melakukan tindakan pencegahan terhadap bahaya seperti itu, maka dengan adanya asas kehati-hatian, potensi bahaya tidak lagi dapat diabaikan hanya berdasarkan alasan bahwa bahaya tersebut masih belum jelas dan diliputi oleh ketidakpastian ilmiah.150

Asas kehati-hatian pertama kali muncul sebagai sebuah asas pengelolaan lingkungan di dalam hukum lingkungan Jerman, dengan istilah Vorsorgeprinzip, yang berarti foresight (tinjauan ke masa depan) dan taking care (berhati-hati). Vorsorgeprinzip mewajibkan negara untuk menghindari terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan dengan melakukan perencanaan secara hati-hati. Prinsip ini juga menjadi pembenaran bagi program pencegahan dan penanggulangan pencemaran secara besar-besaran, melalui pemberlakuan teknologi terbaik (best available technology) untuk meminimasi kemungkinan terjadinya pencemaran.151

Selanjutnya, berawal dari inisiatif Jerman dan juga negara-negara Skandinavia, asas kehati-hatian kemudian diadopsi di dalam berbagai deklarasi atau perjanjian tentang perlindungan laut di Eropa. Dalam hal ini, formulasi asas kehati-hatian pada level internasional pertama kali muncul dalam The 1984 Bremen Declaration yang diadopsi pada the First International Conference on the Protection of the North Sea. Deklarasi ini menyatakan bahwa “…damage to the marine environment can be irreversible or remediable only at considerable expense and over long periods and… therefore, coastal states...must not wait for proof of harmful effects before taking action”.

150M. Geistfeld, “Implementing the Precautionary Principle”, Environmental Law Reporter, Vol.

31, 2001: hal. 11328. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh De Sadeleer yang menganggap asas kehati-hatian sebagai wujud dari pendekatan antisipatif (anticipatory approach), yaitu sebuah tahapan terkini dalam perkembangan pengambilan keputusan yang menekankan pada dilakukannya tindakan-tindakan antisipatif. Menurut De Sadeleer, pendekatan baru ini (i.e. pendekatan antisipatif) dapat dibedakan dari dua tahapan perkembangan dalam pengambilan kebijakan lingkungan yang selama ini digunakan. Pada tahap pertama, kebijakan lingkungan menekankan pada tindakan-tindakan pemulihan, yang diwujudkan dalam bentuk campur tangan pemerintah untuk memulihkan kondisi lingkungan setelah terjadinya sebuah pencemaran/kerusakan. Pada tahap kedua, kebijakan lingkungan sudah mulai menekankan pada pendekatan pencegahan (preventive approach). Dalam tahap kedua ini, pejabat berwenang diperkenankan melakukan tindakan intervensi (berupa tindakan pencegahan) sebelum pencemaran/kerusakan lingkungan terjadi. Tahap kedua ini muncul karena ancaman kerusakan lingkungan dipandang sebagai ancaman yang nyata, sehingga tindakan pencegahan pada saat yang tepat dipandang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran. Kedua tahap ini dianggap tidak memadai lagi, terbukti dari banyaknya dampak lingkungan serius yang gagal diantisipasi oleh para pengambil kebijakan. Kegagalan-kegalan ini lah yang kemudian memunculkan pendekatan ketiga, yaitu pendekatan antisipatif, dengan asas kehati-hatian sebagai ciri utamanya. Lihat : N. de Sadeleer, Environmental Principles: From Political Slogans to Legal Rules (Oxford: Oxford University Press, 2002), hal. 91-92.

Diskusi tentang kegagalan pendekatan pemulihan dan pendekatan preventif dalam mengantisipasi dan mencegah berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan liengkungan dapat dilihat dalam: P. Harremoës, et al. (eds.), Late Lessons From Early Warnings: The Precautionary Principle 1896-2000 (Copenhagen: European Environment Agency, 2001).

151A. Jordan dan T. O’Riordan, “The Precautionary Principle in Contemporary Environmental Policy and Politics”, dalam: C. Raffensperger dan J. Tickner (eds.), Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle (Washington, DC: Island Press, 1999), hal. 19-20. Lihat pula: E. Fisher, J. Jones, dan R. Von Schomberg, “Implementing the Precautionary Principle: Perspective and Prospects”, dalam: E. Fisher, J. Jones, dan R. Von Schomberg (eds.), Implementing the Precautionary Principle: Perspective and Prospects (Cheltenham, UK: Edward Edgard, 2006), hal. 2-3.

Page 40: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

40

Pengakuan atas asas kehati-hatian kemudian dinyatakan kembali dan diperjelas di dalam The 1987 London Declaration yang diadopsi pada the Second International Conference on the Protection of the North Sea, The 1990 Hague Declaration yang diadopsi pada the Third International Conference on the Protection of the North Sea, The 1995 Esjberg Declaration yang diadopsi pada the Fourth International Conference on the Protection of the North Sea, serta The 2002 Bergen Declaration the Fifth International Conference on the Protection of the North Sea.

Bertitik tolak dari deklarasi-deklarasi tersebut, asas kehati-hatian kemudian diadopsi di dalam The 1992 Convention on the Protection of the Marine Environment of the Baltic Sea Area, The 1992 Convention for the Protection of the Marine Environment of the North-East Atlantic (OSPAR Convention), The 1995 Barcelona Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranean (The 1995 Barcelona Convention), The 1996 Izmir Protocol on the Prevention of Pollution of the Mediterranean Sea by Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal, dan The 2002 Valletta Protocol Concerning Cooperation in Preventing Pollution from Ships, and in cases of Emergency.

Di luar rezim perlindungan laut, asas kehati-hatian telah pula dimasukkan di dalam World Charter of Nature (Piagam Lingkungan Dunia) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982. Piagam Lingkungan Dunia merumuskan asas kehati-hatian sebagai berikut:

a) “Activities which are likely to cause irreversible damage to nature shall be avoided”

b) “Activities which are likely to pose a significant risk to nature shall be preceded by an exhaustive examination; their proponents shall demonstrate that expected benefits outweigh potential damage to nature, and where potential adverse effects are not fully understood, the activities should not proceed…”

Dokumen lain di luar rezim perlindungan laut yang mengakui asas

kehati-hatian adalah the 1985 Vienna Convention on the Protection of the Ozone Layer yang dianggap sebagai konvensi internasional pertama yang secara eksplisit mengadopsi asas kehati-hatian.152 Dalam Paragraf kelima dari bagian Pembukaan dari Konvensi Vienna ini dinyatakan bahwa Negara Peserta “mindful also of the precautionary measures for the protection of the ozone layer which has been taken at the national and international levels.” Namun demikian, penjelasan tentang asas kehati-hatian dalam rezim perlindungan ozon barulah diketemukan di dalam the 1990 London Protocol yang mengamandemen the 1987 Montreal Protocol on Ozone Depleting Sunstances.

Selanjutnya the 1990 Bergen Ministerial Declaration on Sustainable Development in ECE Region telah pula mengakui asas kehati-hatian. Dalam hal ini, Deklarasi Bergen menyatakan “[w]here there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing measures to prevent environmental degradation.”153

152J. Cameron, “The International Principle in International Law”, dalam: T. O’Riordan, J.

Cameron dan A. Jordan (eds.), Reinterpreting the Precautionary Principle (London: Cameron May, 2001), hal. 114.

153Diadopsi dari: C. Raffensperger dan J. Tickner (eds.), Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle (Washington, DC: Island Press,1999), hal. 357-358.

Page 41: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

41

Contoh lain dari Konvensi yang mengadopsi asas kehati-hatian adalah the 1991 Bamako Convention on the Ban of the Import into Africa and the Control of Transboundary Movement and Management of Hazardous Wastes within Africa. Konvensi ini secara eksplisit menyatakan bahwa “[e]ach Party shall strive to adopt and implement the preventive, precautionary approach to pollution problems which entails, inter-alia, preventing the release into the environment of substances which may cause harm to humans or the environment without waiting for scientific proof regarding such harm.”—[garis bawah dari penulis]. 154

Tahun 1992 merupakan tahun yang penting bagi perkembangan asas kehati-hatian. Pada tahun ini, asas kehati-hatian diadopsi di dalam Maastricht Treaty, Konvensi Helsinki, UNFCCC, CBD, dan Deklarasi Rio. Setelah tahun 1992, asas kehati-hatian semakin luas diadopsi oleh berbagai perjanjian internasional tentang lingkungan hidup. Berikut adalah beberapa dokumen internasional sejak tahun 1992 yang memuat asas kehati-hatian: - The 1992 Maastricht Treaty yang dalam menyatakan bahwa kebijakan

lingkungan dari Komunitas Eropa harus ditujukan untuk mencapai tingkat perlindungan yang tinggi, dan harus didasarkan pada asas kehati-hatian.155

- The 1992 Helsinki Convention on the Protection and Use of Transboundary Watercourses and International Lakes, yang mengakui asas kehati-hatian sebagai asas yang melandasi upaya untuk mencegah, mengendalikan, dan mengurangi dampak negatif dari sumber air lintas negara dan danau internasional, di samping juga untuk menjamin konservasi dan pemulihan ekonsistem.156

- the 1992 UN Framework Convention on Climate Change,157 yang menegaskan pentingnya asas kehati-hatian sebagai landasan kebijakan perubahan iklim.158

- Prinsip 15 dari the 1992 United Nation Conference on Environment and Development (Deklarasi Rio tahun 1992), yang menyatakan: “[i]n order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by

154Pasal 4 ayat (3) (f) Konvensi Bamako. 155Pasal 130r Maastricht Treaty. Pasal ini secara implisit membedakan asas kehati-hatian dari

asas pencegahan (principle of preventive action) dan asas pencemar membayar (polluter pays principle), karena pasal ini menyatakan bahwa kebijakan lingkungan Eropa “shall be based on the precautionary principle and on the principles that preventative action should be taken, that environmental damage should as a priority be rectified at source and that the polluter should pay”. Meski demikian, Maastricht Treaty ternyata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan asas-asas tersebut.

156Pasal 2 ayat 5 dari 1992 Helsinki Convention menyatakan: “…the Parties shall be guided by the following principles: (a) The precautionary principle, by virtue of which action to avoid the potential transboundary impact of the release of hazardous substances shall not be postponed on the ground that scientific research has not fully proved a causal link between those substances, on the one hand, and the potential transboundary impact, on the other hand.”

157Indonesia telah meratifikasi UNFCCC melalui UU No. 6 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim).

158Pasal 3 ayat 3 UNFCCC menyatakan: “The Parties should take precautionary measures to anticipate, prevent or minimize the causes of climate change and mitigate its adverse effects. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing such measures, taking into account that policies and measures to deal with climate change should be cost-effective so as to ensure global benefits at the lowest possible cost.”

Page 42: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

42

states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation.”

- The 1992 Convention on Biological Diversity (CBD),159 yang mengakui asas kehati-hatian dengan formulasi yang mirip dengan yang dimuat dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio.160

- The 1994 Energy Charter Treaty, yang mengakui asas kehati-hatian dengan mewajibkan para Negara Peserta untuk “take precautionary measures” (mengambil upaya kehati-hatian) guna mencegah atau meminimasi degradasi lingkungan.161

- The 1994 Convention on the Cooperation for the Protection and Sustainable Development of Danube River (atau the 1994 Danube River Protection Convention), yang menggunakan asas kehati-hatian sebagai dasar kebijakan untuk mencapai pengelolaan Sungai Danube yang berkelanjutan dan berkeadilan.162

- Asas kehati-hatian juga diakui di dalam berbagai Protokol dari the 1979 Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution (LRTAP). Protokol-protokol tersebut adalah: Pertama, the 1994 Oslo Protocol on Further Reduction of Sulphur Emissions yang di dalam pembukaannya menyatakan bahwa Negara Peserta telah sepakat “to take precautionary measures to anticipate, prevent or minimize emissions of air pollutants and mitigate their adverse effects”; Kedua, the 1998 Aarhus Protocol on Heavy Metals, yang di dalam pembukaannya juga menyatakan bahwa negara peserta telah sepakat “to take measures to anticipate, prevent, or minimize emissions of certain heavy metals and their related compounds, taking into account the application of the precautionary approach, as set forth in principle 15 of the Rio Declaration on Environment and Development”; Ketiga, the 1998 Aarhus Protocol on Persistent Organic Pollutants; dan Keempat, the 1999 Gothenburg Protocol to Abate Acidification, Eutrophication, and Ground-Level Ozone. Kedua Protokol terkahir ini mengakui asas kehati-hatian dalam perumusan yang mirip dengan rumusan Pembukaan dari the 1998 Aarhus Protocol on Heavy Metals.

159Indonesia telah meratifikasi CBD melalui UU No. 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United

Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati).

160Paragraf 9 dari Pembukaan CBD menyatakan“…. where there is a threat of significant reduction or loss of biological diversity, lack of scientific certainty should not be used as a reason for postponing measures to avoid or minimise such a threat.” Meskipun Paragraf 9 ini tidak menyebutkan secara eksplisit asas kehati-hatian, tetapi kutipan dari Paragraf tersebut secara jelas merujuk pada asas kehati-hatian seperti yang dirumuskan dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio.

161Pasal 19 ayat 1 dari the 1994 Energy Charter Treaty menyatakan bahwa “each Contracting Party shall strive to minimize in an economically efficient manner harmful environmental impacts …In doing so each Contracting Party shall act in a Cost-Effective manner. In its policies and actions each Contracting Party shall strive to take precautionary measures to prevent or minimize environmental degradation.”

162Pasal 2 ayat 4 dari the 1994 Danube River Protection Convention menyatakan bahwa “[t]he Polluter pays principle and the Precautionary principle constitute a basis for all measures aiming at the protection of the Danube River and of the waters within its catchment area.” Selanjutnya, Annex I Part 2 paragraf 2 dari Konvensi ini juga mewajibkan Negara Peserta untuk memperhatikan asas kehatian-hatian dalam menentukan kebijakan dan upaya perlindungan yang dikateogorikan sebagai praktek pengelolaan lingkungan terbaik (the best environmental practice).

Page 43: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

43

- The 2000 Cartagena Protocol on Biosafety,163 juga telah mengadopsi asas kehati-hatian sebagai arahan (guidance) bagi pengambilan keputusan terkait dengan organisme hasil rekayasa genetika (GMOs).164

- The 2001 Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (atau disebut juga dengan The 2001 POPs Convention)165, dalam Pembukaannya menyatakan bahwa kehati-hatian telah digunakan sebagai pemikiran oleh para Negara Anggota, dan kemudian telah pula dimasukkan di dalam Konvensi tersebut.166

Berdasarkan rangkaian sejarah perkembangan asas kehati-hatian, para ahli hukum menyimpulkan bahwa setelah pertama kali diadopsi dalam hukum lingkungan Jerman, asas kehati-hatian kemudian diakui, diadopsi, dan diterapkan dalam berbagai pertemuan dan perjanjian internasional atau regional terkait perlindungan laut. Dari rezim perlindungan laut inilah kemudian asas kehati-hatian mendapat pengakuan yang

163Indonesia telah meratifikasi Protokol Cartagena melalui UU No. 21 tahun 2004 tentang

Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati).

164Pasal 11 ayat 8 dari Protokol Cartagena menyatakan: “Lack of scientific certainty due to insufficient relevant scientific information and knowledge regarding the extent of the potential adverse effects of a living modified organism on the conservation and sustainable use of biological diversity in the Party of import, taking also into account risks to human health, shall not prevent that Party from taking a decision, as appropriate, with regard to the import of that living modified organism intended for direct use as food or feed, or for processing, in order to avoid or minimise such potential adverse effects.”

165POPs adalah bahan kimia yang dapat bertahan lama di dalam media lingkungan (persistent). Beberapa bahan ini bahkan bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Bahan kimia yang digolongkan sebagai POPs dapat berakumulasi dalam tubuh manusia atau hewan (bioaccumulate), serta bersifat racun. Dampak terburuk dari POPs adalah kemampuannya untuk mengganggu sistem hormon (endoctrine disruption) pada makhluk hidup, yang pada gilirannya akan menimbulkan gangguan sangat serius pada sistem reproduksi dan imunitas tubuh. POPs terdiri dari sejumlah bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida, sebagai bahan dalam dalam produksi obat-obatan, plastik, dan industri kimia, serta sebagai produk sampingan dari proses industri. Bahan POPs yang terkenal (disebut sebagai “the dirty dozen”) adalah: aldrin, dieldrin, chlordane, taxaphene, DDT (1,1,1-trichloro-2,2-bis(4-chlorophenyl)ethane), endrin, mirex, heptachlor, PCBs (Polychlorinated Biphenyls), hexachlorobenzene, dioxins, dan furans. Lihat: D. Hunter, J. Salzman, dan D. Zaelke (eds.), International Environmental Law and Policy (New York: Foundation Press, 1998), hal. 902-905.

Indonesia telah merafitifikasi Konvensi POPs melalui UU No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten).

166Di samping itu, rujukan kepada asas kehati-hatian dapat pula dilihat dalam Pasal 1, Pasal 8 ayat 7, dan Annex C Part V(B) dari Konvensi. Ketiga rujuka ini dapat diterangkan sebagai berikut.

Pasal 1 menyatakan bahwa tujuan dari Konvensi ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari POPs. Pasal ini juga mengindikasikan bahwa asas kehati-hatian telah digunakan sebagai dasar untuk mencapai tujuan dari Konvensi ini.

Pasal 8 ayat 7 dari Konvensi ini menggunakan asas kehati-hatian sebagai dasar bagi penentuan bahan kimia yang dicantumkan dalam Annex A (bahan kimia berupa POPs yang sengaja diproduksi atau intentionally-produced POPs, yang baik produksi, pemakaian, ekport, maupun import-nya haruslah dilarang atau dihapuskan), Annex B (intentionally produced POPs yang produksi dan pemakaiannya haruslah dibatasi), dan Annex C (bahan kimia yang dianggap sebagai POPs yang tidak sengaja dihasilkan atau unintentionally produced POPs).

Annex C Part V(B) terkait dengan penggunaan teknik terbaik (the best available techniques) dalam penentuan daftar bahan kimia yang diatur di dalam Konvensi. Dalam hal ini, Annex C Part V(B) menyatakan bahwa “in determining best available techniques, special consideration should be given, generally or in specific cases, to the following factors, bearing in mind the likely costs and benefits of a measure and consideration of precaution and prevention.” Dari kutipan ini terlihat jelas bahwa Annex C Part V(B) bermaksud untuk menerapkan asas kehati-hatian dengan berbagai pertimbangan lain, termasuk pertimbangan mengenai biaya dan manfaat (cost-benefit analysis).

Page 44: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

44

lebih luas, sebagai salah satu asas pengelolaan lingkungan yang diakui di dalam Deklarasi Rio tahun 1992, untuk selanjutnya diadopsi di hampir semua perjanjian internasional terkait perlindungan lingkungan yang muncul setelah Deklarasi Rio tersebut.167

6.2. Berbagai Dimensi dari Prinsip Kehati-hatian Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap asas kehati-hatian adalah terdapatnya rumusan yang berbeda-beda dari asas kehati-hatian.168 Atas dasar ini, beberapa pengarang meragukan bahwa asas kehati-hatian telah berfungsi sebagai sebuah asas hukum.169 Karena alasan ini, penting kiranya apabila pada bagian ini diperlihatkan elemen-elemen apa saja yang biasanya terdapat dalam perumusan asas kehati-hatian.

Untuk maksud tersebut, kita bisa merujuk kepada tulisan dari Sandin, yang telah menjelaskan berbagai versi dari asas kehati-hatian, dan kemudian menguraikan

167D. Freestone dan E. Hey, “Origin and Development of the Precautionary Principle”, dalam: D.

Freestone dan E. Hey (eds.), The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation (The Hague: Kluwer Law International, 1996), hal. 3-4.

168Wiener misalnya mengelompokkan rumusan asas kehati-hatian ke dalam tiga kelompok, yaitu “Uncertainty Does Not Justify Inaction”, “Uncertain Risk Justifies Action”, dan “Shifting the Burden of Proof”. Menurut Wiener, rumusan “Uncertainty Does Not Justify Action” merupakan versi yang paling lunak, sedangkan “Shifting the Burden of Proof” merupakan versi yang paling keras dari asas kehati-hatian. Lihat penjelasan Wiener terhadap ketiga jenis versi ini dalam: J.B. Wiener, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 1514-1518.

Contoh lain dikemukakan pula, misalnya, oleh Munthe yang membedakan rumusan asas kehati-hatian ke dalam ketegori: Pertama, “The Requirement of Precaution”, yang memuat rumusan bahwa kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya tidak boleh dilakukan kecuali dapat dibuktikan bahwa kegiatan ini tidak akan menghasilkan resiko yang sangat serius (“Activities, which may bring great harm, should not be (or be allowed to be) undertaken unless they have been shown not to impose too serious risks”). Kedua, “The Proof Requirement of Justifiable Policy Claim”, yang menyatakan bahwa tindakan terhadap kegiatan yang dapat menghasilkan bahaya yang besar dapat dibenarkan meskipun tidak ada bukti ilmiah bahwa kegiatan ini (akan) menimbulkan bahaya tersebut (“Policy measures against some activity that may bring great harm may be justified even if there is no scientific proof that this activity imposes (or would impose) this harm”). Prinsip ke-15 Dekralrasi Rio, menurut Munthe, adalah contoh dari versi kedua ini. Ketiga, “The Burden of Proof Requirement”, menyatakan bahwa pemrakarsa kegiatan memilkul beban untuk menunjukkan bahwa kegiatannya memenuhi syarat untuk diizinkannya kegiatan tersebut (“Showing that some condition for the permissibility of activities is met is the responsibility of those who propose to undertake the activity in question”). Lihat: C. Munthe, The Price of Precaution and the Ethics of Risk (Dordrecht: Springer, 2011), hal. 11-12.

169Misalnya saja, Bodansky, sebagai dikutip oleh Boehmer-Christiansen, menyatakan bahwa asas kehati-hatian terlalu tidak jelas (vague) untuk berfungsi sebagai standard bagi pembuatan regulasi, sebab asas ini tidak menjelaskan sampai sejauh mana tindakan kehati-hatian harus dilakukan. S. Boehmer-Christiansen, “The Precautionary Principle in Germany—Enabling Government”, dalam: T. O’Riordan dan J. Cameron (eds.), Interpreting Precautionary Principle (London: Earthscan Publication, 1994), hal. 52.

Untuk alasan yang sama, Birnie dan Boyle secara skeptis menulis: “Despite its attraction, the great variety of interpretations given to the precautionary principle, and the novel and far-reaching effects of some applications suggest that it is not yet a principle of international law. Difficult questions concerning the point at which it becomes applicable to any given activity remain unanswered and seriously undermine its normative character and practical utility, although support for it does indicate a policy of greater prudence on the part of those states willing to accept it.”—[garis bawah dari penulis].”

Lihat: P. Birnie dan A. Boyle, International Law and the Environment (Oxford: Clarendon Press, 1995), hal.98.

Page 45: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

45

versi tersebut ke dalam empat elemen pembentuk asas kehati-hatian.170 Keempat elemen ini akan dijabarkan dalam penjelasan berikut ini.

Elemen yang pertama adalah batas minimum (“threshold”) yang dijadikan ukuran untuk memicu tindakan kehati-hatian.171 Sebelum tindakan pencegahan terhadap resiko tertentu dilakukan, terlebih dahulu harus terdapat batas minimum yang merujuk pada potensi bahaya yang ingin dicegah. Begitu batas minimum ini dilampaui, maka tindakan pencegahan menjadi dapat dibenarkan. Semakin mudah batasan minimum ini dianggap terlampaui, maka asas kehati-hatian akan menjadi semakin kuat (semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya). Meski demikian, perlu lah diingat bahwa asas kehati-hatian ini merupakan asas yang eksepsional dan hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu, sehingga perumusan yang sangat longgar atas batasan minimum ini justru akan bertentangan dengan niat awal dari dibuatnya asas kehati-hatian.172 Beberapa dokumen hukum yang berhasil dikumpulkan memperlihatkan adanya perbedaan penggunaan istilah yang dipakai untuk menentukan batas minimum ini. Meskipun demikian, istilah yang paling sering digunakan adalah “serious or irreversible damage”, yaitu kerusakan yang serius dan tidak bisa dipulihkan. Batasan ini dapat dikatakan cukup tinggi, dalam arti cukup susah untuk dilampaui.173

De Sadeleer beranggapan bahwa asas kehati-hatian seharusnya hanya diterapkan pada kerusakan kolektif dan bersifat katastropik (“collective damage which is catastrophic in nature”).174 Dengan demikian, bahaya yang akan dicegah tidaklah sekedar bersifat tidak bisa dipulihkan (irreversible), tetapi lebih dari itu haruslah merupakan bahaya serius yang akan berdampak secara luas.

Elemen kedua dari asas kehati-hatian adalah ketidakpastian (uncertainty). Sandin menyimpulkan bahwa asas kehati-hatian akan semakin keras apabila unsur ketidakpastian ini dirumuskan secara luas. Semakin luas unsur ketidakpastian dirumuskan, semakin mudah pula bahaya dibuktikan, dan semakin sering tindakan

170Berdasarkan terminologi yang digunakan untuk mengekrpresikan masing-masing elemen yang oleh Sandin disebut sebagai dimensi (dimention) ini, Sandin kemudian menjelaskan setiap versi asas kehati-hatian berdasarkan kepresisian dan kekuatannya (strength). Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah tingkat kehati-hatian (“degree of cautiousness”), yaitu sejumlah kasus yang akan kemudian akan terkena oleh asas kehati-hatian ini. Semakin banyak kasus/kegiatan yang akan terkena, maka semakin tinggi tingkat kahati-hatian yang ingin dicapai. Lihat: P. Sandin, “Dimensions of the Precautionary Principle”, Human and Ecological Risk Assessment, Vol. 5(5), 1999: hal. 890.

171Sandin menggunakan istilah ancaman (“threat”) untuk merujuk pada patokan ini. Meski demikian, penulis akan menggunakan istilah batas minimum (threshold) karena hal ini merujuk pada ukuran minimum yang seharusnya ada sebelum tindakan kehati-hatian dilakukan.

172Nollkaemper menyatakan bahwa pada dasarnya batas inimum ini dapat mengesampingkan pertimbangan mengenai biaya dari upaya pencegahan. Meski demikian, di dalam prakteknya, penentuan batasan minimum ini seringkali memberikan ruang bagi diskresi dan masuknya pertimbangan biaya, sebab pada kenyataannya biasanya sangat sulit untuk secara ilmiah menunjukkan apakah batasan minimum tersebut telah dilampaui atau tidak. A. Nollkaemper, “What You Risk Reveals What You Value and Other Dilemmas Encountered in the Legal Assault on Risks”, dalam: D. Freestone dan E. Hey (eds.), The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation (The Hague: Kluwer Law International, 1996), hal. 81-82.

173Bandingkan misalnya dengan batasan berupa “possible or potentially damaging effects” atau “harm or hazards to humans or the environment”, yang menurut penulis sangat mudah untuk dilampaui.

Biasanya para pengamat mengkategorikan istilah “irreversible”, “serious”, dan “catastrophic” ke dalam satu kelompok, sebagai lawan dari kerugian yang “reversible”, “non catastrophic”, dan “well behaved”. Lihat: D. Flemming, “The Economics of Taking Care: an Evaluation of the Precautionary Principle”, dalam: D. Freestone dan E. Hey (eds.), The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation (The Hague: Kluwer Law International, 1996), hal. 157-158.

174N. de Sadeleer, op cit. note 150, hal. 165.

Page 46: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

46

kehati-hatian diambil.175 Secara umum, berbagai dokumen hukum biasanya menginterpretasikan ketidakpastian sebagai ketidakpastian ilmiah, yaitu “lack of scientific certainty”. Meski demikian, beberapa dokumen secara spesifik merumuskan ketidakpastian dalam kaitannya dengan hubungan kausalitas antara input dan efek. Lebih jauh lagi, fakta bahwa sebagian besar dokumen menggunakan istilah “lack of scientific certainty” secara implisit menunjukkan bahwa asas kehati-hatian digunakan tidak hanya untuk situasi uncertainty (yang ditandai dengan tidak adanya informasi mengenai probabilitas), tetapi juga berlaku untuk situasi ambiguity dan ignorance.176

Elemen ketiga adalah elemen yang terkait dengan tindakan yang akan diambil (precautionary measures). Sebagian besar dokumen mengartikan elemen ini sebagai tindakan untuk menghindari (avoid) atau mencegah (prevent) ancaman. Hal ini memperlihatkan bahwa asas kehati-hatian sangat terkait erat dengan asas pencegahan, karena kedua asas ini sama-sama bertujuan untuk menghindar/mencegah terjadi bahaya. Perbedaannya terletak pada kapan upaya pencegahan tersebut akan dilakukan. Dalam asas kehati-hatian, tindakan pencegahan dilakukan terhadap bahaya besar tetapi belum pasti (uncertain threats), sedangkan dalam asas pencegahan tindakan pencegahan ditujukan pada bahaya yang lebih pasti (certain threats). Dengan demikian, asas kehati-hatian tidak lain dari pada perluasan asas pencegahan, yang akan dikenakan pada situasi incertitude serta hanya diperuntukkan bagi bahaya yang serius dan tidak bisa dipulihkan.177

175P. Sandin, op cit. note 170, hal. 892-893. Pengarang lain justru menyatukan elemen “uncertainty” dengan elemen “threshold”. Puder

misalnya, menggabungkan elemen “uncertainty” dan “threshold” di dalam elemen “if” (if-criteria) yang menunjukkan kapan tindakan kehati-hatian ini akan dilakukan. Lihat: M.G. Puder, “The Rise of Regional Integration Law (RIL): Good News for International Environmental Law (IEL)?”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 23, 2011: hal. 190-191. Pembagian Puder ini dapat dimengerti apabila kita melihat bahwa adalam konteks asas kehati-hatian, baik “uncertainty” dan “threshold” sebenarnya merupakan kesatuan yang akan menjadi pemicu (trigger) dari upaya kehati-hatian. Dalam hal ini, tindakan kehati-hatian tidak hanya dipicu oleh keseriusan tingkat ancaman, tetapi juga oleh informasi ilmiah untuk membuktikan ancaman tersebut.

176Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar dokumen telah menginterpretasikan ketidakpastian secara luas, yaitu sebagai ketidakmenentuan (incertitude). Lihat diskusi tentang hal ini pada pembahasan jawaban atas kritik terhadap asas kehati-hatian di atas.

177Marr dan Schwemer mendiskusikan bagaiman asas kehati-hatian diterapkan dalam hukum lingkungan Jerman. Menurut mereka, asas kehati-hatian di Jerman “implies the adverse effects to the environment or human health on the basis of potential risks (Risikovorsorge), rather than classical hazard prevention (Gefahrenabwehr) under the preventive principle.” Perbedaan antara penghindaran resiko (risk avoidance) dalam konteks asas pencegahan dan upaya kehati-hatian terletak pada kemungkinan untuk mengidentifikasi sebuah resiko. Dalam hal ini, asas pencegahan merujuk pada adanya kemampuan untuk mengidentifikasi resiko secara ilmiah, sedangkan asas kehati-hatian merujuk pada pengakuan atas luasnya ketidakpastian ilmiah (the pervasiveness of uncertainty). Lihat: S. Marr dan A. Schwemer, “The Precautionary Principle in German Environmental Law”, dalam: H. Somsen, et al. (eds.), The Yearbook of European Environmental Law Vol. 3 (Oxford: Oxford University Press, 2003), hal. 134. Lihat pula: K. von Moltke, “The Relationship between Policy, Science, Technology, Economics and Law in the Implementation of the Precautionary Principle”, dalam: D. Freestone dan E. Hey (eds.), The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation (The Hague: Kluwer Law International, 1996), hal. 102.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Cameron dan Abouchar yang menyatakan bahwa asas kehati-hatian merupakan pengimplementasian asas pencegahan menurut Prinsip ke-21 Dekralarsi Stockhom, yaitu tentang kewajiban untuk tidak menyebabkan bahaya, kepada situasi yang diliputi ketidakpastian ilmiah. Lihat: J. Cameron dan J. Abouchar, The Status of the Precautionary Principle in International Law, in: dalam: D. Freestone dan E. Hey (eds.), The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation (The Hague: Kluwer Law International, 1996), hal. 46.

Page 47: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

47

Dalam hal ini penting pula untuk menjelaskan di sini bahwa beberapa dokumen juga mengaitkan upaya pencegahan tersebut di atas dengan beberapa batasan atau pertimbangan. Secara umum, pertimbangan kepada hal-hal di luar persoalan keselamatan (safety) ternyata juga mendapat perhatian. Pembatasan atau pertimbangan ini merupakan hal yang dapat pula menentukan kekuatan dari asas kehati-hatian yang dirumuskan.178 Di dalam asas kehati-hatian versi Deklarasi Rio pembatasan ini dilakukan dengan menyatakan bawha tindakan pencegahan haruslah merupakan tindakan yang “cost-effective”. Sementara itu, the 2002 Stockholm Convention on POPs, secara eksplisit meminta agar asas kehati-hatian diterapkan sesuai dengan cost-benefit analysis (CBA).179 Lebih jauh lagi, Piagam Lingkungan Hidup Perancis menyatakan bahwa asas kehati-hatian justru dilaksanakan dalam bentuk risk assessment dan tindakan yang provisional dan proporsional.

Elemen keempat dari asas kehati-hatian adalah elemen perintah (command). Dalam hal ini, kekuatan asas kehati-hatian akan ditentukan oleh status dari tindakan kehati-hatian.180 Status tindakan yang wajib (mandatory) biasanya diekspresikan dalam rumusan “shall strive to adopt” atau “must not wait.” Meskipun demikian, sebagian besar dokumen merumuskan tindakan kehati-hatian dalam status yang tidak jelas (vague), yaitu bahwa ketidakpastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda tindakan kehati-hatian (shall not be used as a reason for postponing). Dalam rumusan seperti ini, tidak jelas apakah tindakan kehati-hatian tersebut diharuskan atau tidak, sebab rumusan yang seperti ini hanya menyatakan bahwa, meminjam istilah Wiener, Uncertainty Does Not Justify Inaction.181

Meskipun Piagam Lingkungan Dunia (World Charter of Nature) tahun 1982 adalah satu-satunya dokumen yang secara eksplisit merumuskan adanya pembalikan beban pembuktian (shifting the burden of proof), persoalan beban pembuktian ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan. Tickner dan Raffensperger menyatakan bahwa dalam asas kehati-hatian pemrakarsa kegiatan memikul beban untuk membuktikan bahwa kegiatan tidak akan menimbulkan bahaya yang tidak perlu (undue harm) bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Menurut pengarang ini, mereka yang memiliki kekuasaan, kontrol, dan sumber daya, memikul tanggung jawab pembuktian ini, yang dapat meliputi tanggung jawab finansial, tanggung jawab untuk mengawasi, memahami, menginformasikan kepada masyarakat dan pejabat, serta untuk melakukan tindakan atas potensi dampak. Dalam hal ini, ketidakpastian ilmiah tidak lagi dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda upaya pencegahan

178Sandin sayangnya tidak memberikan perhatian pada persoalan pembatasan ini. Sebaliknya,

beberapa pengarang justru menyatakan bahwa pembatasan/pertimbangan ini merupakan elemen yang penting karena dapat berguna untuk mencegah penerapan asas kehati-hatian secara absolute. Beberapa pengarang menyatakan bahwa ketika melaksanakan tindakan kehati-hatian penting untuk selalu menimbang manfaat dan resiko dari sebuah kegiatan (yang ingin dicegah), atau menimbang antara resiko (yang ingin dicegah) dengan resiko (dari tindakan pencegahan). Pendeknya, faktor manfaat dan biaya dari tindakan kehati-hatian harus tetap diperhatikan secara serius. Lihat: A. Nollkaemper, op cit. note 172, hal. 87-93. Lihat pula: T. Christoforou, “The Precautionary Principle in European Community Law and Science”, dalam: J.A. Tickner (ed.), Precaution, Environmental Science, and Preventive Public Policy (Washington, DC: Island Press, 2003), hal. 249-250.

179Limitasi lain yang juga digunakan di dalam beberapa dokumen adalah rujukan kepada “the Best Available Technology” (BAT), “The developments in scientific knowledge” atau “Technical and economic considerations”.

180P. Sandin, op cit. note 170, at 895. 181Meski demikian, Wiener menginterpretasikan rumusan demikian memiliki status non-

mandatory, sebab rumusan ini hanya memperbolehkan untuk dilakukannya tindakan kehati-hatian. Lihat: J.B. Wiener, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 1515.

Page 48: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

48

bahaya tersebut.182. Dalam hal ini, maka dapat disimpulkan pula bahwa persoalan pembalikan beban pembuktian merupakan hal yang secara otomotis termaktub di dalam asas kehati-hatian, bahkan di dalam versi terlemah dari asas kehati-hatian ini.

Beberapa pengarang, meski demikian, telah mengajukan kritik pedas terhadap pembalikan beban pembuktian ini. Mereka menyatakan bahwa pembalikan beban pembuktian telah memberikan beban yang sangat berat dan tidak mungkin teratasi kepada para pemrakarsa kegiatan, karena dengan pembalikan beban ini para pemrakarsa harus menunjukkan bahwa kegiatannya sama sekali tidak akan menimbulkan bahaya atau seringkali diistilahkan sebagai bukti tidak adanya resiko (the zero risk proof).183 Menurut penulis, kritik tersebut telah salah alamat, karena telah mencampuradukkan antara pengertian “the standard of proof” yang berfungsi menentukan bukti apa yang harus diajukan, dengan “the burden of proof” yang berfungsi menentukan siapa yang memiliki beban pembuktian. Bukti zero risk merupakan bagian dari “standard of proof”, dan bukan bagian dari “shifting the burden of proof”, sehingga bukti ini juga bukan merupakan bagian dari asas kehati-hatian. Lebih jauh lagi, pembalikan beban pembuktian ini bukanlah merupakan ciri khas yang dimiliki hanya oleh asas kehati-hatian, sebab asas pencegahan pun sesungguhnya memiliki ciri ini, terutama apabila diterapkan di dalam instrumen analisa dampak, seperti Amdal. Penulis pun sependapat dengan Munthe yang menyatakan bahwa dalam asas kehati-hatian, pemrakarsa tidaklah sepenuhnya memegang beban pembuktian. Pada tahap awal, masyarakat atau pejabat negara lah yang harus membuktian bahwa batas minimum (threshold) telah terlampaui, yaitu bahwa kegiatan yang akan dilakukan dapat menimbulkan bahaya yang serius.184 Pembalikan beban pembuktian karenanya hanya terjadi apabila kegiatan/ancaman bahaya yang dianalisa telah terbukti melewati batasan minimum ini.

6.3. Asas Kehati-hatian di Indonesia Untuk pertama kalinya, asas kehati-hatian dibahas di ruang pengadilan Indonesia

dalam kasus Kapas Transgenik (kapas hasil rekayasa genetika), pada tahun 2001. Dalam kasus ini, beberapa LSM lingkungan dan perlindungungan konsumen di Indonesia mengajukan gugatan di PTUN Jakarta atas dikeluarkan izin pelepasan terbatas dari Menteri Pertanian terhadap kapas transgenik yang diproduksi oleh Monagro Kimia, anak perusahaan Monsanto di Indonesia.185 Para penggugat meminta pembatalan izin karena menganggap izin tersebut diberikan tanpa didahului adanya Amdal. Penggugat juga menganggap pengeluaran izin pelepasan produk transgenik

182J. Tickner dan C. Raffensperger, “The Precautionary Principle in Action: A Handbook”, first edition, written for Science and Environmental Health Network (SEHN), http://www.biotech_info.net/handbook.pdf, diakses pada tanggal 26 Maret 2004, hal. 4. Lihat pula: S. Dovers, “Precautionary Policy Assessment for Sustainability”, dalam: E. Fisher, J. Jones, dan R. Von Schomberg (eds.), Implementing the Precautionary Principle: Perspective and Prospects (Cheltenham, UK: Edward Edgard, 2006), hal. 92; S. Marr dan A. Schwemer, op cit. note 177, hal. 144-146; dan T. Christoforou, op cit. note 178, hal. 251-252.

183Lihat misalnya: L. Bergkamp, “Understanding the Precautionary Principle (Part I)”, Environmental Liability, Vol. 10, 2002: hal. 27.

Dalam konteks ini, Godard menyatakan bahwa asas kehati-hatian sebenarnya tidaklah menganjurkan adanya pembalikan beban pembuktian. Pembalikan ini lahir apabila asas kehati-hatian diterjemahkan dalam perspektif catastrophism, yang dikritiknya sebagai irrasional. Lihat: O. Godard, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 66 dan 72.

184Lihat: C. Munthe, op cit. note 168, hal. 168-169. 185Anonymous, Bt Cotton through the Back Door, 18(4) SEEDLING,

<http://www.grain.org/seedling/?id=151>, 2001, diakses pada Agustus 2011.

Page 49: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

49

tanpa didasarkan pada dokumen Amdal merupakan pelanggaran terhadap asas kehati-hatian.186

Baik Menteri Pertanian maupun Monagro tidak mengajukan bantahan atas status hukum dari asas kehati-hatian. Meski demikian, keduanya sepakat bahwa kegiatan pelepasan terbatas produk kapas transgenik bukanlah termasuk kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal. Di samping itu, para tergugat juga menyatakan bahwa meskipun tidak didasarkan pada Amdal (karena dianggap tidak wajib), izin yang diberikan telah didasarkan pada hasil risk assessment oleh komite independen serta berdasarkan beberapa pengujian yang kesemuanya menunjukkan bahwa kapas transgenik aman bagi lingkungan hidup.187

Pengadilan TUN Jakarta sepakat dengan pendapat tergugat dan menolak gugatan para penggugat. Menurut Pengadilan, Menteri Pertanian tidak melanggar asas kehati-hatian berdasarkan pertimbangan bahwa sebelum izin dikeluarkan Menteri telah melakukan pengumuman kepada publik tentang rencana pemberian izin pelepasan kapas transgenik, serta bahwa Menteri telah pula mendengarkan berbagai pendapat para ahli dan hasil kajian ilmiah (semaca risk assessment) yang kesemuanya menyatakan bahwa kapas transgenik aman.188 Dengan demikian, maka secara implisit Pengadilan menafsirkan bahwa asas kehati-hatian telah diterapkan oleh Menteri Pertanian dengan jalan melakukan berbagai konsultasi dengan para ahli dan instansi terkait, mengadakan pengumuman kepada publik, dan memperhatikan hasil risk assessment.

Di samping itu, Pengadilan juga berpendapat bahwa pelepasan kapas transgenik masih bersifat sementara, karena masih merupakan uji coba, sehingga Pengadilan tidak bisa memberikan pertimbangan hukum tentang dampak dari pelepasan kapas transgenik, termasuk dampak terhadap kepentingan para penggugat.189 Lebih lanjut Pengadilan menyatakan bahwa apabila di kemudian hari pelepasan kapas transgenik ini ternyata menimbulkan kerugian pada penggugat, maka para penggugat tetap memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum guna melindungi kepentingannya.190

Para penggugat kemudian mengajukan banding ke PT TUN Jakarta, yang kemudian pada Maret 2002 mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN Jakarta.191 Kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap, karena para penggugat ternyata tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kasus kedua yang melibatkan penafsiran terhadap asas kehati-hatian adalah kasus Kasus Mandalawangi pada tahun 2003. Dalam kasus ini, para penggugat adalah sekelompok korban longsor di Garut, yang mengajukan gugatan perwakilan (class action) di PN Bandung terhadap Perhutani dan Pemerintah (Presiden, Menteri Kehutanan, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Garut). Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa desa mereka berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani, dan karenanya meminta agar Perhutani bertanggung jawab berdasarkan strict liability (tanggung jawab mutlak) atas kerugian yang terjadi. Selain itu, penggugat juga menyatakan bahwa Pemerintah ikut bertanggungjawab

186ICEL, dkk. v. Menteri Pertania, Putusan PTUN Jakarta No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, hal.

35. 187Id, hal 40-47. 188Id., hal. 183. 189Id., hal. 181. 190Id., hal. 184. 191Putusan PT TUN Jakarta No. 120/2001/Bd.071/G.TUN/2001/PTTUN. JKT.

Page 50: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

50

karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.192

Para tergugat menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa mereka telah melakukan segala upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadi longsor. Lebih penting lagi, tergugat juga menyatakan bahwa longsor yang terjadi merupakan akibat dari bencana alam, berupa curah hujan di atas normal.193

Saksi-saksi ahli yang diajukan para pihak ternyata memberikan keterangan yang saling bertentangan mengenai apakah longsor yang terjadi merupakan akibat dari curah hujan yang ekstrim atau lebih karena kegagalan tergugat untuk mengelolan hutan secara baik. Dalam pandangan pengadilan, hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakpastian ilmiah mengenai sebab sesungguhnya dari longsor yang terjadi. Untuk mengatasi hal ini, pengadilan kemudian merujuk kepada asas kehati-hatian sebagaimana dirumuskan dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio.194 Pengadilan menyatakan bahwa meskipun asas kehati-hatian ini belumlah dimasukkan ke dalam sistem hukum Indonesia, akan tetapi asas ini dapat digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusan Pengadilan.195

Pengadilan berpendapat bahwa dengan diterapkannya asas kehati-hatian dalam kasus ini, maka pertanggungjawaban telah bergeser dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (perbuatan melawan hukum) menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalah (strict liability).196 Putusan ini secara implisit juga menunjukkan bahwa asas kehati-hatian telah digunakan oleh Pengadilan untuk menolak dalih tergugat bahwa longsor yang terjadi merupakan akibat bencana alam. Atas dasar ini, Pengadilan kemudian menyatakan bahwa para tergugat (kecuali Presiden) secara bersama-sama bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi, dan diwajibkan untuk melakukan pemulihan kerugian, menyediakan dana pemulihan sebesar Rp. 20 Milyar, dan memberikan ganti rugi kepada para korban sebesar Rp. 10 Milyar.

Para tergugat mengajukan banding kepada PT Bandung, yang kemudian pada bulan Februari 2004 mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PN Bandung.197 Selanjutnya, para tergugat mengajukan kasasi ke MA dengan alasan bahwa PN dan PT telah salah menerapkan hukum. Tergugat menolak penerapan strict liability, karena menurutnya kegiatan kehutanan tidaklah termasuk kegiatan yang akan terkena strict liability.198 Di samping itu, tergugat juga menyatakan bahwa PN dan PT telah mengabaikan beberapa alasan pengecualian strict liability seperti diatur dalam Pasal 35 UU No. 23 tahun 1997.199 Tergugat juga menyatakan bahwa PN dan

192Dedi, dkk v. Perhutani, dkk., Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG , hal. 9-10. 193Id., hal. 36. 194Id., hal. 102. 195Id., hal. 101. 196Id., hal. 102. 197Lihat: Dedi, dkk. v. Perhutani, dkk., Putusan PT Bandung No. 507/PDT/2003/PT.Bdg. 198Para tergugat merujuk pada Pasal 35 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 (UU lingkungan yang waktu

itu berlaku). Menurut ayat ini, strict liability hanya dapat diterapkan bagi kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3), menghasilkan limbah B3, dan menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan. Tergugat berpandangan bahwa ketiga syarat ini bersifat kumulatif, dan bukanlah alternatif, sehingga karena kegiatan tergugat tidak menggunakan B3 dan menghasilkan limbah B3, maka tergugat tidak dapat dikenai strict liability. Lihat: Dedi, dkk. v. Perhutani, dkk., Putusan MA No. 1794 K/Pdt/2004, hal. 52-53.

199Pasal 35 ayat 2 UU No. 23 tahun 1997 menyatakan bahwa tergugat dapat lepas dari strict liability apabila kerugian yang diderita merupkan akibat dari: a). Bencana alam atau peperangan; b). keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia (force majeure); atau c). Tindakan pihak ketiga. See: Id., hal. 53-54. Seperti diungkapkan sebelumnya, tergugat berpendapat bahwa longsor yang terjadi merupakan akibat dari bencana alam berupa curah hujan di atas normal.

Page 51: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

51

PT tidak memiliki landasan hukum untuk menerapkan asas kehati-hatian, karena asas ini belumlah diadopsi di dalam sistem hukum Indonesia.200

MA menolak alasan yang diajukan oleh tergugat. Menurut MA, PN dan PT tidak salah dalam menerapkan strict liability untuk kasus ini. Dalam hal ini, MA berpendapat bahwa karena sebab-akibat dari longsor dan kegiatan pengelolaan hutan oleh tergugat telah terbukti, dan karena tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya, maka tergugat bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi.201

Lebih penting lagi, MA juga mendukung penerapan asas kehati-hatian sebagai dasar penetapan strict liability. Menurut MA:

“bahwa Hakim tidak salah menerapkan hukum apabila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup adalah untuk mengisi kekosongan hukum (Rechts vinding), pendapat para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan, karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum Internasional. Bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional, apabila telah dipandang sebagai “ius cogen”[sic!]”202

Setelah asas kehati-hatian diakui melalui putusan pengadilan, barulah pada

tahun 2005, melalui PP No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG), asas kehati-hatian masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini menyatakan bahwa asas kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.

Pengakuan asas kehati-hatian sebagai sebuah prinsip pengelolaan lingkungan secara umum (tidak hanya terbatas pada persoalan GMOs) akhirnya dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan kita melalui Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH, yaitu UU lingkungan hidup yang saat ini berlaku). Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan didasarkan, salah satunya, pada asas kehati-hatian. Dalam Penjelasan Pasal 2f kemudian dinyatakan bahwa “[y]ang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak

200Id., hal. 58-59. 201Id., hal. 84. 202Loc.cit. Menurut Pasal 53 Vienna Convention on the Law of Treaties tahun 1969, status jus

cogens atau preemptory norm of general international law adalah asas yang memiliki tingkat validitas tertinggi, yang tidak bisa dilanggar oleh perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah munculnya asas tersebut. Asas ini hanya bisa dibatalkan/dikalahkan oleh asas lain yang muncul belakangan dan memiliki status jus cogens pula. Pasal 53 dari Konvensi Vienna tersebut menyatakan:

“A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”.

Sayangnya, MA tidak menjelaskan atas dasar alasan apa mereka memutuskan bahwa asas kehati-hatian telah memiliki status jus cogens.

Page 52: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

52

suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.

Rumusan Pasal 2f perlu dikritik, karena rumusan ini hanya memuat dimensi uncertainty, dimensi precautionary measures, dan dimensi command; tetapi tidak melibatkan rumusan tentang dimensi threshold. Dimensi threshold-lah yang menerangkan alasan dan syarat dari diambilnya tindakan pencegahan tersebut. Alasan dan syarat yang biasanya digunakan adalah: “jika ada ancaman yang serius atau tidak bisa dipulihkan”. Tanpa dicantumkan dimensi threshold, maka rumusan Pasal 2f menjadi absurd, karena pasal ini berarti meminta dilakukannya upaya pencegahan pada semua kondisi ketidakpastian ilmiah, tanpa adanya syarat yang menjelaskan mengapa tindakan pencegahan tersebut harus diambil.

Lebih dari itu, diskusi pada bagian ini juga memperlihatkan di Indonesia sepertinya telah muncul anggapan bahwa prinsip kehati-hatian telah terwujud dalam bentuk risk assessment. Anggapan ini perlu dikritik karena beberapa alasan. Pertama, berdasarkan perkembangan asas kehati-hatian kita bisa melihat bahwa implementasi dari asas ini sama sekali tidak terkait dengan kewajiban untuk melakukan risk assessment ataupun Amdal. Karena itu, penulis beranggapan bahwa asas kehati-hatian tidaklah menyarankan instrumen analisa resiko apa yang sebaiknya dilakukan. Sebaliknya, asas kehati-hatian haruslah dilihat sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan yang selama ini dilakukan, yaitu proses yang tertutup, tidak demokratis, dan berpura-pura sebagai proses yang ilmiah. Adanya risk assessment tidak serta merta menunjukkan bahwa asas kehati-hatian telah dilaksanakan. Sebaliknya, kita justru masih harus melihat apakah risk assessment telah dilaksanakan sesuai asas kehati-hatian atau tidak. Dalam konteks ini, kita bisa bertanya apakah semua dampak yang mungkin muncul, termasuk dampak jangka panjang, telah diperhatikan oleh pengambil keputusan, apakah ketidakpastian telah diakui dan telah dibahas secara mendalam, apakah tindakan alternatif dan solusi yang lebih baik telah dibahas secara memadai dan terbuka, serta apakah perbedaan pendapat—termasuk pendapat dari mereka yang akan terkena dampak—telah dihormati, secara seksama dipertimbangkan, dan tercermin di dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, risk assessment sebenarnya tidak bisa dijadikan indikator yang baik untuk menunjukkan bahwa asas kehati-hatian telah dilaksanakan, karena risk assessment selama ini justru telah digunakan oleh berbagai pihak sebagai senjata untuk melawan asas kehati-hatian.203 Dalam hal ini, asas kehati-hatian justru muncul sebagai sebuah reaksi atas penggunaan persyaratan “sound science” dalam pengambilan keputusan, sebab syarat yang merupakan inti dari risk assessment

203Kritik terhadap asas kehati-hatian biasanya menuntut pengambil keputusan untuk mendasarkan

keputusannya pada “science-based risk assessment” dan mengabaikan asas kehati-hatian. Mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan pendekatan dan alat terbaik untuk digunakan sebagai landasan kebijakan terkait teknologi baru seperti GMOs. Lihat: A.J. Conner, T.R. Glare dan J.P. Nap, “The Release of Genetically Modified Crops into the Environment. Part II: Overview of Ecological Risk Assessment”, The Plant Journal, Vol. 33, 2003: hal. 39.

Para pengkritik asas kehati-hatian berpendapat bahwa ketika ilmu pengetahuan digunakan sebagai sandaran pengambilan keputusan, maka teknologi akan dinilai berdasarkan kemampuannya menunjukkan tingkat keselamatan, dan bukan berdasarkan spekulasi, tuduhan-tuduhan tanpa dasar, dan faktor ideologis. Lihat: A.J. Trewavas dan C.J. Leaver, “Is Opposition to GM Crops Science or Politics?”, EMBO Reports, Vol. 2(6), 2001: 458.

Page 53: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

53

tersebut justru seringkali digunakan sebagai kedok untuk menolak pendapat publik di dalam pengelolaan resiko.204

Ketiga, risk assessment sebenarnya seringkali gagal untuk secara terbuka membahas risk dan uncertainty.205 Di samping itu, meskipun seandainya risk dan uncertainty telah dibahas, risk assessment belum tentu mampu mendefinisikan secara mendalam tingkat keseriusan (besaran) dari tiap dampak yang mungkin muncul.206 Apabila ini terjadi, maka risk assessment pun gagal untuk memperhatikan kondisi ambiguity. Kegagalan untuk memperhatikan ketidakmenentuan (incertitude) pada akhirnya dapat mengubah risk assessment menjadi sebuah proses yang tidak demokratis, di mana uncertainty, ambiguity, dan ignorance akan disederhanakan sebagai risk, sedang pada saat yang bersamaan, pendapat penting dari masyarakat akan ditolak dengan alasan tidak ilmiah dan rasional.207

Beberapa penelitian menunjukkan bagaimana praktek risk assessment membuktikan keamanan dari teknologi dengan beradasarkan pada beberapa asumsi dan bukti yang tidak langsung. Dalam hal ini, situasi ambiguity dan ignorance disembunyikan atau diabaikan agar assessment yang dikerjakan dapat mendukung klaim keamanan teknologi tersebut.208 Putusan PTUN dalam Kapas Transgenik

204Dalam konteks ini, ketika ilmu pengetahuan terbukti tidak mampu memberikan semua jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka kebijakan yang mengklaim dirinya telah didasarkan sepenuhnya pada “sound science” justru sebenarnya merupakan kebijakan yang tidak ilmiah. Lihat: ESRC-Global Environmental Change Programme, “The Politics of GM Foods: Risk, Science, and Public Trust”, Special Briefing, No. 5, 1999: hal. 4.

205D. Santillo, et al., “The Precautionary Principle: Protecting Against Failures of Scientific Method and Risk Assessment”, Marine Pollution Bulletin, Vol. 36(12), 1998: hal. 942.

206A. Steinemann, “Rethinking Human Health Impact Assessment”, Environmental Impact Assessment Review, Vol. 20, 2000: hal. 639.

207Atas dasar ini, maka Cameron, et al menyerukan agar dengan diberlakukannya asas kehati-hatian, kita sekaligus pula mengubah risk assessment seperti yang selama ini dipraktekkan. Menurutnya, risk assessment justru memiliki kecenderungan untuk membahas resiko secara tidak ilmiah, karena metode ini justru sering menutupi ketidakpastian ilmiah dan asumsi-asumsi subyektif, sambil menyederhanakan kompleksitas persoalan lingkungan. Lihat: J. Cameron, W. Wade-Gerry dan J. Abouchar, “Precautionary Principle and Future Generation”, dalam: E. Agius, et al., (eds.), Future Generation and International Law (London: Earthscan Publications, 1998), hal. 105-107.

208Ely, misalnya, menunjukkan dalam kajian emipirisnya tentang risk assessment terhadap jagung transgenik (disebut sebagai Bt corn) yang dipraktekkan di AS, Perancis, Inggris, dan Austria. Menurut Ely, bukti tentang bahaya dari Bt corns baru dianggap cukup apabila bukti ini diturunkan secara langsung dari Bt crops, sedang bukti tentang probabilitas munculnya bahaya tersebut dianggap cukup apabila diambil dari bukti lapangan. Dalam penelitian ini Ely justru menemukan bahwa meskipun semua risk assessment yang ditelitinya menghasilkan kesimpulan bahwa Bt corns tidak berbahaya bagi species non target, akan tetapi kesimpulan ini ternyata hanya didasarkan pada penelitian laboratorium, dan bukan penelitian lapangan. Penelitian Ely juga menemukan bahwa hampir semua risk assessement yang dikaji ternyata menggunakan racun Bt dari bakteri (bacterial Bt toxins), dan bukannya racun Bt yang secara langsung diderivasi dari tumbuhan Bt corns. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian resiko yang dilakukan sebenarnya berada pada situasi uncertainty (yang terwujud dengan digunakannya penelitian laboratorium dengan racun yang diambil dari Bt corn) and ignorance (terwujud dalam penggunaan tes laboratorium dengan racun Bt dari bakteri). Meski demikian, kondisi uncertainy dan ignorance ini ditampilkan sebagai resiko, di mana probabilitas dari resiko tersebut dianggap sebagai nol. Lihat: A. Ely, Regulatory Appraisals of Bt Maizes: A Study of Science in Governance Vol. 1, dissertation in Science and Technology Policy, University of Sussex (2006), hal. 145-165; dan A. Ely, Regulatory Appraisals of Bt Maizes: A Study of Science in Governance Vol. 2, dissertation in Science and Technology Policy, University of Sussex (2006), hal. 220-234,

Penelitian Ely menunjukkan bahwa klaim tentang ketiadaan atau dapat diabaikannya resiko (the claims of zero or negligible risks) sebenarnya didasarkan pada bukti-bukti yang sebenarnya tidak terkait dengan resiko, tetapi lebih terkait dengan uncertainty dan ignorance. Sebagai akibatnya, dengan mengandalkan pada data dari tes laboratorium, ditambah dengan penggunaan racun dari bakteri, klaim tentang ketiadaan atau dapat diabaikannya resiko dari Bt corns sebenarnya hanya dapat dibuat

Page 54: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

54

(disebut juga sebagai “Kapas Bt”) juga tidak terlepas dari oversimplifikasi situasi ketidakmenentuan. Dalam kasus ini pengadilan menyimpulkan bahwa Kapas Bt aman bagi manusia dan lingkungan tanpa sedikit pun mempertimbangkan bahwa saksi ahli tergugat maupun dokumen risk assessment yang dibuat ternyata sama sekali tidak membahas kemungkinan munculnya resistensi hama (pest resistance) sebagai akibat dari pelepasan Kapas Bt ini.209 Putusan ini menunjukkan pula bahwa pengadilan, maupun para saksi ahli tergugat, dan hasil risk assessment sama sekali tidak peduli dengan pertanyaan kebutuhan untuk mengurangi kemungkunan munculnya resistensi hama dari Kapas Bt.210 Di samping itu, persoalan lain, seperti dampak terhadap serangga yang bukan merupakan target (hama) dibuktikan hanya berdasarkan pengalaman atau penelitian di negara lain yang menunjukkan bahwa dampak tersebut tidak ada.211

Hal di atas menunjukkan bahwa karena tidak didasarkan pada bukti langsung, maka kesimpulan yang menyatakan bahwa kapas transgenik aman sebenarnya hanya bisa dicapai melalui manipulasi dan pengabaian terhadap uncertainty dan ignorance. Lebih parahnya lagi, dalam kenyataannya pelepasan kapas transgenik kemudian dihentikan oleh pemrakarsa. Salah satu alasan atau tuduhan yang mengemuka adalah bahwa ternyata hama kapas yang ada di sekitar lokasi pelepasan (Sulawesi) ternyata berbeda dari hama yang menjadi target dari kapas Bt ini.212 Pelepasan kapas Bt di

berdasarkan bukti tidak langsung, sehingga mengaburkan dan menutupi kondisi yang sebenarnya yaitu uncertainty dan ignorance.

209Kalangan ahli berpendapat bahwa berkembangnya resistensi pada hama, atau sering disebut dengan istilah “hama super” (super pest), merupakan salah satu dampak negatif terpenting dari tumbuhan yang direkayasa sehingga mampu mengekspresikan racun yang diturunkan dari gen bakteri Bt (Bacillus thuringiensis). Dan kapas transgenik yang dikembangkan dalam kasus ini adalah kapas yang direkayasa dari gen Bt tersebut, sehingga disebut pula sebagai “kapas Bt”. Lihat: B.E. Tabashnik, “Evolution of Resistance to Bacillus thuringiensis”, Annual Review of Entomology, Vol. 39, 1994: hal. 47; M.A. Altieri dan P. Rosset, “Ten Reasons Why Biotechnology will not Help the Developing World”, AgBioForum, Vol. 2 (3&4), 1999: hal. 157; M.A. Altieri dan P. Rosset, “Strengthening the Case for Why Biotechnology Will not Help the Developing World: A Response to McGloughlin”, AgBioForum, Vol. 2(3&4), 1999: hal. 229; Royal Society of Canada, “Elements of Precaution: Recommendations for the Regulation of Food Biotechnology in Canada: An Expert Report on the Future of Biotechnology” (2001), hal. 139-141, diakses dari: http://www.rsc.ca/ foodbiotechnology/GMreportEN.pdf; dan L. Anderson, Genetic Engineering, Food, and Our Environment: A Brief Guide (Devon, UK: Green Books, 1999), hal. 28.

210Salah satu upaya untuk mengurangi kemungkinan munculnya resistensi hama adalah dengan ditetapkannya kewajiban untuk membuat refugia (refuge), yaitu persentase lahan pertanian yang tidak akan ditanami dengan tumbuhan atau tidak akan disemprot dengan insektisida. Lahan ini berfungsi sebagai sebagai zona penyangga untuk memperkecil kemungkinan berkembanganya resistensi pada hama. Lihat: U. Regev, “Pest Resistance in Agriculture: An Economic Perspective”, dalam: T. Swanson (ed.), The Economics of Managing Biotechnologies (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2002), hal. 65. Cara bekerja dan asumsi yang melandasi dari refugia dijelaskan, misalnya, oleh: D.A. Andow dan W.D. Hutchison, “Bt-Corn Resistance Management”, dalam: M. Mellon dan J. Rissler (eds.), Now or Never:Serious New Plans to Save a Natural Pest Control (Cambridge, MA: Union of Concerned Scientists, 1998), hal. 25.

Pada tahun 2000, Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency—EPA) AS membuat ketentuan bahwa luas refugia adalah 20% dari luas lahan (jika yang ditanam adalah jagung Bt) dan 50% dari luas lahan (jika yang ditanam adala kapas Bt). Lihat: R. Bratspies, , “The Illusion of Care: Regulation, Uncertainty, and Genetically Modified Crops”, New York University Environmental Law Journal, Vol. 10, 2002: hal. 340.

211Lihat: ICEL v. Menteri Pertanian, dkk, Putusan PTUN Jakarta No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, hal. 55.

212Li menyatakan bahwa Kapas Bt didesain untuk mampu bertahan terhadap Helicoverpa armigera padahal hama kapas yang lebih berbahaya di Sulawesi adalah Empoasca. Lihat: T.C. Li, “Farmer's Bane: GMOs”, The Star, 2 Maret 2004, dikutip dari:

Page 55: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

55

Sulawesi bahkan berubah menjadi skandal ketika Pemerintah AS menghukum Monsanto untuk membayar denda sebesar US$ 1 Juta karena dianggap telah melakukan suap terhadap pejabat Indonesia agar terbebas dari kewajiban membuat dokumen Amdal.213 Pertanyaan besar yang tersisa dari kasus ini adalah bagaimana mungkin para ahli sampai keliru menentukan hama, dan bagaimana mungkin metode ilmiah yang obyektif bisa sampai gagal untuk melihat bahwa dampak utama dari tumbuhan Bt, termasuk kapas transgenik ini, adalah kemungkinan munculnya hama yang resisten.

Contoh kasus di Indonesia jelas menunjukkan bahwa asas kehatian-hatian seharusnya tidak dibuktikan semata-mata dengan menunjukkan adanya izin, konsultasi dengan para ahli, atau risk assessment, tetapi seharusnya dengan menunjukkan bahwa pengambilan keputusan—termasuk pemberian izin dan studi risk assessment tersebut—telah mempertimbangkan semua potensi dampak (termasuk dampak jangka panjang), telah mempertimbangkan ketidakpastian ilmiah, telah memperhatikan berbagai alternatif kegiatan yang lebih baik berdasarkan best available technology, serta telah dengan sangat seksama memperhatikan pendapat dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang tidak menyetujui kegiatan yang diusulkan dan mereka yang berpotensi akan terkena dampak dari kegiatan tersebut.

Dengan jalan demikian, Van Zwanenberg dan Stirling mengartikan asas kehati-hatian sebagai sebuah proses pembuatan peraturan (a regulatory process). Dalam makna seperti ini, asas kehati-hatian akan dimulai dengan kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan dalam menghadapi ketakmenentuan. Dengan kejujuran dan kerendahan hati ini maka berbagai disiplin ilmu, stakeholders, dan juga masyarakat umum akan lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan, bahkan sejak dimulainya penilaian terhadap resiko (risk assessment). Dibandingkan dengan risk assessment yang selama ini dilakukan secara tertutup dan teknoratis, keterlibatan yang lebih luas dari para pihak diperkirakan akan mampu mengungkapkan hasil penilaian yang lebih kaya serta lebih mampu untuk mengungkapkan dampak tidak langsung maupun dampak kumulatif dari bahaya yang sedang dianalisa. Dengan adanya pengakuan atas faktor subyektif dan politis dari regulasi terhadap resiko (risk regulations), asas kehati-hatian memiliki potensi untuk menciptakan keputusan yang lebih transparan, di mana asumsi dan alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut akan diungkapkan secara eksplisit.214

Dengan demikian, terlihat bahwa dengan memperluas pengertian ketidakmenentuan atau, jika mengikuti bahasa Deklarasi Rio, “kurangnya kepastian ilmiah” (“lack of scientific certainty”), maka asas kehati-hatian akan memberikan dukungan bagi partisipasi publik dalam pembuatan peraturan mengenai resiko. Atas dasar ini, para penyokong asas kehati-hatian menyatakan bahwa asas kehati-hatian mengandaikan, dan akan mengarah pada, demokratisasi dalam pengambilan

http://www.mindfully.org/GE/2004/Farmers-Bane-GMOs2mar04.htm , diakses tanggal 13 Agustus 2011.

Sementara itu, Gala menyatakan bahwa meskipun perusahaan benih (Monsanto) berjanji bahwa kapas Bt akan mampu menghasilkan panen sebesar 3-4 ton kapas per hektar, pada kenyataannya rata-rata panen hanyalah 1,1 ton per hektar. Sebanyak 74% lahan yang ditanami kapas Bt ternyata menghasilkan panen kurang dari 1 ton per hektar, sementara lahan seluas 522 mengalami kegagalan panen. R. Gala “GM Cotton Fiascos Around the World”, dari: http://www.i-sis.org.uk/GMCFATW.php, diakses tanggal 13 Agustus 2011.

213M.S Saraswati, “KPK to investigate Monsanto Bribery Case”, The Jakarta Post, 1 Oktober 20105, tersedia pada: http://www.thejakartapost.com/news/2005/01/10/kpk-investigate-monsanto-bribery-case.html, diakses pada tanggal 13 Agustus 2011.

214P. Van Zwanenberg dan A. Stirling, op cit. note 142, hal. 55-56.

Page 56: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

56

keputusan, khususnya berkenaan dengan analisa resiko (risk analysis). Tickner, misalnya, menyatakan bahwa berbeda yang dengan risk assessment, yang menurutnya “is based on closed, assumption-laden, quantitative models and the supremacy of objective science that virtually excludes the public,” asas kehati-hatian justru akan memperhatikan pendapat masyarakat sebab “democratic decision-making processes are an important component of the precautionary principle.”215 Dalam pengertian semacam ini, efektivitas dari asas kehati-hatian pada akhirnya tergantung dari seberapa demokratis, transparan, dan partisipatif proses pembuatan keputusan yang kita miliki. Karenanya, dalam konteks kehati-hatian, evaluasi terhadap tindakan pencegahan tidak bisa hanya dilihat apakah tindakan ini akan mampu menciptakan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan biaya, tetapi juga apakah tindakan ini telah diputuskan melalui proses yang demokratis atau tidak.

Sejalan dengan interpretasi asas kehati-hatian seperti ini, Fisher mengusulkan agar asas kehati-hatian dipahami di dalam konteks pembuatan keputusan secara deliberatif (“deliberative decision-making”). Menurutnya, ketika menghadapi persoalan ketidakmenentuan, pembuat keputusan tidak lagi dapat sepenuhnya melandaskan keputusannya pada bukti-bukti ilmiah, sebab dalam situasi serba tak menentu ini ilmu pengetahuan pun akan gagal untuk memberikan dasar yang cukup valid bagi keputusan yang akan diambil. Akibatnya, menurut Fisher, muncul tuntutan agar proses pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan semakin terbuka.216 Bagi Fisher, asas kehati-hatian tidak hanya terkait kebutuhan untuk membuat keputusan yang hati-hati, tetapi lebih merupakan sebuah petunjuk bahwa pengambilan keputusan haruslah didasarkan pada proses demokratis, yang oleh Fisher disebut sebagai “extended peer reviews”, yaitu proses yang mampu seluas mungkin melibatkan para pihak. Atas dasar hal tersebut, Fisher menulis, “… the application of the precautionary principle is not merely about scientific uncertainty but rather about good governance in the democratic state.”217 Dengan demikian, meminjam istilah

215J.A. Tickner, “A Map toward Precautionary Decision Making”, dalam: C. Raffensperger dan J. Tickner, (eds.), Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle (Washington, DC: Island Press, 1999), hal. 175. Hal yang sama juga dikemukakan oleh O’Riordan dan Cameron yang berpendapat bahwa asas kehati-hatian hanya dapat bekerja ketika proses pengambilan keputusan ditandai dengan adanya keterbukaan dan akuntabilitas. Menurut mereka, asas kehati-hatian baru dapat berperan jika partisipasi dalam pembuatan keputusan telah berjalan secara efektif. Sebaliknya, asas kehati-hatian akan kehilangan maknanya “where care is not prized, where consultation is not welcomed, and where public interpretations of danger at odds with expert judgement are not accepted.” T. O’Riordan dan J. Cameron, “The History Significance of the Precautionary Principle”, dalam: T. O’Riordan dan J. Cameron (eds.), Interpreting the Precautionary Principle (London: Earthscan Publication, 1994), hal. 26.

216E.C. Fisher, “The Precautionary Principle as a Legal Standard for Public Decision-Making: the Role of Judicial and Merits Review in Ensuring Reasoned Deliberation”, dalam: R. Harding dan E. Fisher (eds.), Perspectives on the Precautionary Principle (Leichhardt, NSW: The Federation Press, 1999), hal. 90-91.

Fisher percaya bahwa penerapan asas kehati-hatian melalui proses deliberatif memiliki beberapa keunggulan. Pertama, dengan membuat proses pengambilan keputusan semakin terbuka terhadap dialog, proses deliberative dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil. Kedua, proses deliberatif memberikan jaminan bahwa dalam situasi ketidakpastian ilmiah, keputusan akan diambil oleh pejabat yang memiliki legitimasi dan telah melaksanakan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Ketiga, karena proses deliberatif dilaksanakan melalui perdebatan terkait resiko yang dianalisa, maka proses ini memiliki kemampuan untuk menjaga kepercayaan (trust) atau untuk mengurangi ketidakpercayaan (distrust). Lihat: E. Fisher dan R. Harding, “The Precautionary Principle: Toward a Deliberative, Transdisciplinary Problem-Solving Process”, dalam: R. Harding dan E. Fisher (eds.) Perspectives on the Precautionary Principle (Leichhardt, NSW: The Federation Press, 1999), hal. 293.

217Id., hal. 297.

Page 57: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

57

Ashford, asas kehati-hatian berfungsi tidak hanya sebagai upaya untuk mencegah bahaya, tetapi juga sebuah upaya untuk menjamin adanya keadilan (fairness) dalam proses pengambilan keputusan.218 7. Prinsip Pencemar Membayar (The Polluter-Pays Principle)

Secara teoritis, Prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian biaya-biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian memiliki implikasi bagi perkembangan hukum lingkungan internasional dan nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya lingkungan yang harus dipikul oleh pejabat publik. Asas ini pertama-tama tercantum dalam beberapa rekomendasi OECD pada tahun 70-an yang pada dasarnya menyatakan bahwa asas pencemar membayar mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka upaya-upaya yang diambil oleh pejabat publik untuk menjaga agar kondisi lingkungan berada pada kondisi yang dapat diterima, atau dengan kata lain ialah bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan upaya-upaya ini harus tercermin di dalam harga barang dan jasa yang telah menyebabkan pencemaran selama dalam proses produksi atau proses konsumsinya219.

Dengan demikian, secara teoritis asas pencemar membayar merupakan upaya yang langsung terkait dengan konsep internalisasi eksternalitas. Alan Boyle menyatakan bahwa dalam rangka penerapan asas pencemar membayar, kita tidak hanya dapat mengandalkan pajak atau charge, karena instrumen ini sering kali gagal mengurangi permintaan atas barang yang merusak lingkungan.220 Dalam hal ini, asas pencemar membayar membutuhkan adanya dukungan dari instrumen lain, yaitu pertanggung jawaban perdata. Jenis pertanggung jawaban apa yang lebih efektif untuk menginternalkan eksternaliti ini tergantung dari banyak factor, di antaranya tingkat keseriusan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan.221

Asas pencemar membayar dan internalisasi eksternalitas sesungguhnya merupakan dua asas yang berfungsi sama. Karena itulah maka di dalam Rio Declaration, kedua asas ini diletakkan dalam satu prinsip (prinsip 16), yaitu:

“National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to

218Dalam hal ini, Ashford menulis, “[i]n the case of a possible, but highly uncertain harm, an

equitable outcome may depend more on an equitable decision-making process than on a defensible argument about the technical correctness of an outcome based on existing information. The precautionary principle may be invoked to ensure a fair decision-making process, as much as to prevent harm.”. N.A. Ashford, “A Conceptual Framework for the Use of the Precautionary Principle in Law”, dalam: C. Raffensperger dan J. Tickner (eds.), Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle (Washington, DC: Island Press, 1999), hal. 203.

219Alan Boyle, “Impact of International Law and Policy” dalam Environmental Regulation and Economic Growth (Alan Boyle, ed.), (Oxford: Clarendon Press, 1994), hal. 179.

220Efektifitas pajak untuk mengubah pola konsumsi sangat tergantung pada dua hal: elastisitas barang yang dikenai pajak serta seberapa besar pajak yang akan dikenakan. Apabila permintaan atas barang tersebut tidak elastis, maka sebanyak apapun pajak yang akan dikenakan tidak akan dapat mengubah pola konsumsi. Di sisi lain, penentuan tingkat pajak juga sering bermasalah karena pajak sering kali berdampak luas bagi masyarakat dan karenanya besarnya sering kali merupakan kompromi politik.

221Lihat: Alan Boyle, Ibid., hal. 180-182. Lihat juga: Alan Boyle dan Patricia Birnie, International Law and the Environment, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), hal. 92-95.

Page 58: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

58

the public interest and without distorting international trade and investment”

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar merupakan sebuah prinsip yang ditujukan sebagai upaya untuk mendorong adanya internalisasi eksternalitas. Dalam perspektif ekonomi, eksternalitas adalah bentuk dari kegagalan pasar (market failure), sebab pasar gagal mempertimbangkan total biaya (dalam hal ini pencemaran) yang diakibatkan oleh sebuah proses produksi. Dengan demikian, eksternalitas ini dibuktikan dengan adanya harga yang tidak mencerminkan biaya-biaya lingkungan.222 Eksternalitas memberikan arah yang salah pada individu ketika mengambil keputusan, sebab dengan adanya eksternalitas ini pasar gagal untuk mencerminkan harga yang sebenarnya dari sebuah produk atau kegiatan.223 Setiap orang, baik sebagai produsen maupun konsumen, gagal untuk mempertimbangkan seluruh biaya dari keputusan dan perbuatannya, karena ada komponen biaya yang mengalami eksternalisasi dan menjadi beban dari masyarakat secara umum. Pendeknya, eksternalitas mencerminkan tingkah laku yang ingin meraup keuntungan secara pribadi, tetapi tidak mau menanggung biaya yang diperlukan untuk memperoleh keuntungan tersebut.

Dalam buku teks ekonomi, pencemaran seringkali digunakan sebagai contoh klasik dari eksternalitas.224 Karenanya, berdasarkan perspektif ekonomi, hukum lingkungan terutama bertujuan untuk menginternalisasi eksternalitas (to internalize the externality).225 Proses ini dibuat untuk memaksa agar semua pihak memasukkan pertimbangan biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam pengambilan keputusannya. Semakin besar biaya lingkungan yang berhasil diinternalkan oleh adanya aturan hukum, maka semakin baiklah aturan tersebut. Dengan dimasukkannya pertimbangan biaya lingkungan ke dalam pertimbangan uasaha keseluruhan, maka diharapkan konsumen akan menghadapi harga produk yang sesungguhnya.226 Internalisasi eksternalitas karenanya dianggap sebagai sebuah prinsip penting untuk melaksanakan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Selain diterapkan melalui pertanggungjawaban perdata, internalisasi juga biasa diterapkan dengan penggunaan instrumen-instrumen ekonomi yang diharapkan dapat memberikan insentif/disinsentif ekonomi bagi penaatan lingkungan. Instrumen

222Eksternalitas terjadi ketika keputusan yang diambil oleh seseorang mempengaruhi keputusan

dankeadaan orang lain secara langsung, tanpa melalui mekanisme pasar sebab pasar justru gagal untuk mencerminkan harga yang sebenarnya. Dengan adanya eksternalitas ini, individu pengambil keputusan hanya akan menanggung biaya pribadi (private costs), sedangkan biaya yang mengalami eksternalisasi merupakan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat (social costs). Secera singkat, eksternalits ditandai dengan adanya perbedaan antara private costs (atau marginal costs of private production) dengan social costs (atau marginal social external costs). Lihat: R.S. Pindyck and D.L. Rubinfield, Microeconomics (Prentice Hall, 2001), hal. 592.; atau: E.J. Solberg, Intermediate Microeconomics (Business Publication, 1982), hal. 540.

223Michael Faure dan Goran Skogh, The Economic Analysis of Environmental Policy and Law: An Introduction (Edward Elgar, 2003), hal. 95.

224Lihat misalnya: Edwin Mansfield, Principles of Microeconomics, 4th ed. (W.W. Norton & Company, 1983), hal. 75-76.

225Michael Faure, “Environmental Law and Economics”, METRO—Maastricht University, 2001, hal. 10.

226Secara ekonomi, harga (P) ditentukan sebesar biaya marginal (MC). Apabila terjadi eksternalitas, maka MC tidak sama dengan biaya social marjinal (MSC), karena terdapat factor biaya ekternal marjinal (MEC) yang tidak diperhitungkan. Internalisasi eksternalitas dimaksudkan agar MEC diperhitungkan, sehingga biaya marjinal menjadi MSC: P = MC + MEC = MSC. Lihat: D. Hunter, J. Salzman, D. Zaelke, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 108.

Page 59: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

59

ekonomi yang lazim digunakan adalah pajak lingkungan (misalnya carbon tax atau landfill tax) dan tradeable permit.

Secara teoritis, Prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya merupakan sebuah penerapan teori ekonomi dalam rangka pengalokasian biaya-biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian memiliki implikasi bagi perkembangan hukum lingkungan internasional dan nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya lingkungan yang harus dipikul oleh pejabat publik. Prinsip ini pertama-tama tercantum dalam beberapa rekomendasi OECD pada tahun 70-an yang pada dasarnya menyatakan bahwa prinsip pencemar membayar mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka upaya-upaya yang diambil oleh pejabat publik untuk menjaga agar kondisi lingkungan berada pada kondisi yang dapat diterima, atau dengan kata lain ialah bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan upaya-upaya ini harus tercermin di dalam harga barang dan jasa yang telah menyebabkan pencemaran selama dalam proses produksi atau proses konsumsinya.227

Dengan demikian, secara teoritis prinsip pencemar membayar merupakan upaya yang langsung terkait dengan konsep internalisasi eksternalitas. Boyle menyatakan bahwa dalam rangka penerapan prinsip pencemar membayar, kita tidak hanya dapat mengandalkan pajak atau charge, karena instrumen ini sering kali gagal mengurangi permintaan atas barang yang merusak lingkungan.228 Dalam hal ini, prinsip pencemar membayar membutuhkan adanya dukungan dari instrumen lain, yaitu pertanggung jawaban perdata. Jenis pertanggung jawaban apa yang lebih efektif untuk menginternalkan eksternalitas ini tergantung dari banyak faktor, di antaranya tingkat keseriusan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan.229

Sayangnya, UU lingkungan hidup Indonesia mengartikan prinsip pencemar membayar secara sempit. Hal ini terlihat dari penjelasan Pasal 31 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 dan Penjelasan Pasal 87 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa Pasal 34 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 dan Pasal 87 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 “merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan yang disebut asas pencemar membayar”. Kedua pasal tersebut merupakan pasal tentang pertanggungjawaban perdata atas kerugian lingkungan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, para pembuat UU lingkungan telah menerapkan prinsip pencemar membayar secara sempit, yaitu hanya dalam bentuk pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault).

227A. Boyle, “Impact of International Law and Policy”, dalam: Alan Boyle, (ed.), Environmental

Regulation and Economic Growth (Clarendon Press, 1994), hal. 179-182. Lihat juga: Alan Boyle dan Patricia Birnie, International Law and the Environment, 2nd ed. (Oxford University Press, 2002), hal. 92-95.

228Efektifitas pajak untuk mengubah pola konsumsi sangat tergantung pada dua hal: elastisitas barang yang dikenai pajak serta seberapa besar pajak yang akan dikenakan. Apabila permintaan atas barang tersebut tidak elastis, maka sebanyak apapun pajak yang akan dikenakan tidak akan dapat mengubah pola konsumsi. Di sisi lain, penentuan tingkat pajak juga sering bermasalah karena pajak sering kali berdampak luas bagi masyarakat dan karenanya besarnya sering kali merupakan kompromi politik.

229 Pertanggung jawaban perdata pun sering kali gagal menginternalkan eksternalitas, yaitu apabila ia gagal memaksa pencemar untuk membayar seluruh biaya yang timbul dari pencemaran yang telah ditimbulkannya. Kegagalan untuk memaksa pencemar membayar biaya tersebut biasanya dipicu oleh ketiadaan penggugat (karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan), kesulitan mencari pencemar (karena begitu banyaknya pencemar atau karena pencemaran baru dapat dideteksi setelah melewati waktu yang sangat lama), atau pun apabila asset pencemar tidak mampu menutupi seluruh biaya pencemaran yang terjadi (insolvency).

Page 60: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

60

Tentu saja hal ini mengandung konsepsi yang keliru tentang prinsip pencemar membayar. Alih-alih yang dikaitkan dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, prinsip pencemar membayar seharusnya dijadikan salah satu landasan bagi penerapan perangkat-perangkat ekonomi, sistem command and control, atau sistem pertanggungjawaban yang hendak diterapkan di dalam peraturan-peraturan lingkungan hidup, dalam rangka sedapat mungkin menginternalkan biaya-biaya lingkungan. Karenanya, adalah keliru jika kita menempatkan prinsip pencemar membayar di bawah sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Pun keliru jika kita menerapkan prinsip ini di bawah sistem pertanggungjawaban pada umumnya (baik berdasarkan kesalahan ataupun berdasarkan strict liability). Sebaliknya, prinsip pencemar membayar harus diterapkan sebagai acuan bagi perangkat-perangkat hukum yang ingin diterapkan dalam rangka mendorong agar konsumen menghadapi harga yang sebenarnya, serta agar produsen memiliki insentif untuk menggunakan metode dan menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Dan hal ini prinsip pencemar membayar tidak hanya terkait dengan persoalan tanggung jawab perdata, tetapi juga terkait dengan instrumen ekonomi, atau bahkan dengan kebijakan pengelolaan lingkungan serta penegakan hukum pada umumnya.230

Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa contoh paling mudah untuk memperlihatkan adanya pengakuan dan penerapan keadilan korektif (termasuk prinsip pencemar membayar) adalah dalam bentuk pertanggungjawaban perdata. Terkait dengan hal ini, dapat dikatakan di sini bahwa hukum lingkungan Indonesia telah mengakui adanya dua aturan pertanggungjawaban perdata, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) dan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam tulisan ini, penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan lebih jauh tentang pertanggungjawaban perdata ini, mengingat penulis menemukan adanya kekeliruan dalam penafsiran mengenai pertanggungjawaban perdata, terutama terkait strict liability.

PMH merupakan pertanggunjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Di dalam UU No. 32 tahun 2009, pertanggungjawaban berdasarkan PMH tercantum dalam Pasal 87. Sedangkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang di dalam UU No. 32 tahun 2009 diatur dalam pasal 88. Dengan demikian, perbedaan

230Khusus untuk penerapan prinsip pencemar membayar dalam bentuk instrumen ekonomi, kita bisa merujuk pada beberapa contoh yang diberikan oleh Pearce dan Turner. Contoh tersebut antara lain adalah: pajak (termasuk effluent charge, user charge, administrative charge, dan product charge), subsidi (termasuk soft loans dan tax allowances), sistem jaminan uang (deposit-refund system), dan penciptaan pasar (termasuk tradeable permits dan liability insurance). Lihat: D.W. Pearce dan R.K. Turner, Economics of Natural Resources and the Environment (Johns Hopkins University Press, 1990), hal 172.

Bandingkan dengan UU No. 32 tahun 2009 yang merumuskan instrumen ekonomi secara sangat luas, sehingga di dalamnya tidak hanya memuat pajak (Pasal 43(3) huruf b), perdagangan izin (Pasal 43(3) huruf d), atau uang jaminan (Pasal 43(2) huruf a), tetapi juga memuat instrumen sukarela seperti label dan penghargaan (Pasal 43(3) huruf g dan h), lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan (Pasal 43(3) huruf c), neraca lingkungan (Pasal 43(1) huruf a), bahkan GDP hijau (Pasal 43(3) huruf b). Dari berbagai jenis instrumen ekonomi ini, penulis menganggap bahwa pembuat UU sepertinya tidak hanya masih mencampuradukkan antara instrumen ekonomi dengan penaatan sukarela (voluntary compliance atau moral suation), tetapi juga bahkan menambahkan berbagai instrumen yang dalam berbagai literatur standar tentang ekonomi lingkungan sebenarnya tidak dikenal sebagai instrumen ekonomi.

Untuk diskusi singkat mengenai berbagai jenis instrumen ekonomi dan perbedaannya dengan penaatan sukarela, lihat: Andri G. Wibisana, “Instrumen Ekonomi atau Privatisasi Pengelolaan Lingkungan? Komentar atas RUU Jasa Lingkungan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 38(4), 2008, hal. 609-625.

Page 61: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

61

antara PMH dengan strict liability ialah bahwa pada PMH kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban, sedangkan dalam strict liability seseorang tetap harus bertanggungjawab meskipun perbuatannya tidak dikategorikan sebagai suatu kesalahan.

Persoalannya tentu saja adalah apa yang dimaksudkan dengan kesalahan (fault). Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan merujuk pada definisi strict liability menurut Restatement (Second) of Torts § 519(1), yang menyatakan “[o]ne who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has exercised the utmost care to prevent the harm.”—[garis bawah dari penulis]. Atas dasar ini maka penulis cenderung mengartikan “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sebagai “tanpa adanya perbuatan melawan hukum”. Artinya, seseorang tetap bertanggungjawab meskipun perbuatannya tidak melawan hukum. Di dalam definisi Restatement di atas, kesimpulan penulis ini ditunjukkan dalam frase “although he has exercised the utmost care”. Berdasarkan definisi dari Restatement ini, maka tergugat tetap harus bertanggungjawab meskipun ia sudah sangat berhati-hati dalam melakukan perbuatan/kegiatannya.231

Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa di dalam strict liability penggugat tetap memikul beban untuk membuktikan adanya kerugian dan kausalitas (yaitu bahwa kerugian yang diderita penggugat terjadi karena kegiatan yang dilakukan tergugat). Dalam hal ini, Green Paper menyatakan bahwa di dalam strict liability, “the injured party must still prove that the damage was caused by someone’s act”.232

Penjelasan singkat ini kiranya sudah cukup untuk menunjukkan beberapa kekeliruan dari para penulis Indonesia yang seringkali mengartikan “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sebagai kesalah dalam arti subjektif, seperti kesengajaan, kelalaian, atau bahkan mens rea,233 atau menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik234 atau res ipsa loquitur.235 Seperti dijelaskan sebelumnya,

231Pendapat senada juga terlihat dalam pandangan hakim dalam kasus Albahary v. City and Town of Bristol, Connecticut yang, sebagaimana dikutip oleh Berry, menyatakan bahwa “[a] person who uses an intrinsically dangerous means to accomplish a lawful end, in such a way as will necessarily or obviously expose the person of another to the danger of probable injury, is liable if such injury results, even though he (or she) uses all proper care”—[garis bawah dari penulis]. Lihat: James F. Berry, The Environmental Law and Compliance Handbook (McGraw-Hill, 2000), hal. 18. Dari kutipan ini terlihat bahwa mereka yang melakukan perbuatan yang sangat berbahaya (ultra hazardous activity), sebagai syarat untuk terkena strict liability, bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, meskipun kegiatannya merupakan kegiatan yang legal, dan telah dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati (dan karenanya tidak melawan hukum).

232Commission of the European Communities, “Green Paper on Remedying Environmental Damage”, COM(93) 47 final, 1993, hal. 6-7.

233Lihat misalnya pendapat Siahaan yang menyatakan “[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab karena pada saat peristiwa itu timbul ia sudah memikul suatu tanggung jawab”—[garis bawah dari penulis]. N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Erlangga, 2004), hal. 317. Dari kutipan ini terlihat bahwa Siahaan mengartikan istilah “kesalahan” sebagai “mens rea”, yang merupakan unsur subjektif dari perbuatan seseorang. Dengan demikian, jika kita mengikuti pandangan ini, maka “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sama dengan “tanpa mens rea”.

234Lihat misalnya pendapat Rangkuti yang menyatakan bahwa strict liability “biasanya diimbangi dengan beban pembuktian terbalik”. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga University Press, 2005), hal. 201. Pendapat yang lebih tegas dalam menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari pendapat Arifin yang menyatakan bahwa “[b]erkaitan dengan asas tanggung jawab mutlak ini adalah beban pembuktian, yang beralih dari pihak penggugat ke tergugat”. Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (Softmedia, 2011), hal. 173. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Machmud yang menyatakan bahwa “[s]trict liability bermaksud bahwa unsur

Page 62: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Materi: Sustanaible Development dan prinsip-prinsip hukum lingkungan

62

perbedaan antara PMH dengan strict liability bukan hanya bahwa strict liability telah menghilangkan unsur kesalahan subjektif (sengaja atau lalai) sebagai dasar pertanggungjawaban,236 melainkan juga bahwa strict liability telah menghilangkan unsur melawan hukum. Dalam strict liability seseorang tetap harus bertanggungjawab bahkan jika perbuatannya tidaklah melawan hukum. Lebih jauh lagi, seperti dijelaskan sebelumnya, strict liability bukanlah pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur.237 Pendapat terakhir penulis ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, di dalam strict liability penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara kerugian dengan kegiatan tergugat.238 Jika kemudian tergugat berdalih dan membuktikan bahwa kerugian yang diderita bukanlah karena perbuatan tergugat, melainkan misalnya karena force majeure, maka hal ini tidaklah menunjukkan adanya unsur pembuktian terbalik di dalam strict liability, sebab apa yang dilakukan oleh tergugat ini merupakan pelaksanaan dari prinsip umum hukum yaitu “siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan”. Artinya, dalam contoh seperti ini pun tidak ada pembuktian terbalik. Kedua, di dalam strict liability tergugat tetap bertanggungjawab meskipun ia mampu membuktikan bahwa kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan yang melawan hukum; kesalahan dari tergugat tidak perlu dibuktikan lagi oleh penggugat, dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat, bahwa dia benar-benar tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan. Dengan demikian beban pembuktiannya adalah beban pembuktian terbalik (shifting the burden of proof)”. Lihat: Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 (Graha Ilmu, 2012), hal. 211.

235Lihat pendapat Siahaan yang menyatakan bahwa “[d]i sini [dalam strict liability—penulis] berlaku asas “res ipso [sic!] loquitur”, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for itself).” N.H.T. Siahaan, op cit. note 233, hal. 317. Pendapat ini diamini oleh Arifin yang mengutip pernyataan Siahaan bahwa “[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab, di sini berlaku asas “res ipso loquitur”. Lihat: Syamsul Arifin, op cit. note 234, hal. 173.

236Dalam prakteknya, di dalam PMH pun sebenarnya seringkali tidak dipersyaratkan adanya bukti kesengajaan atau kelalaian sebagai dasar pertanggungjawaban. Hal ini tentu saja berbeda dengan pertanggungjawaban pidana, di mana unsur kesengajaan/kelalaian merupakan unsur yang secara umum menjadi dasar pertanggungjawaban. Atas dasar ini maka Coleman menyatakan bahwa “[i]n torts, liability for negligence is liability that is not defeasible by excuse. Fault liability in torts, especially liability for negligence, therefore, does not require culpability or moral blameworthiness.” Atas dasar inilah maka selanjutnya Coleman menyatakan bahwa pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan di dalam konteks perdata merupakan pertanggungjawaban strict liability di dalam konteks pidana. Lihat: Jules L. Coleman, Risks and Wrongs (Cambridge University Press, 1992), hal. 219.

237Res ipsa loquitur, secara harfiah berarti fakta berbicara sendiri, adalah sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan pembuktian terbalik. Menurut doktrin ini, kesalahan (dalam arti perbuatan melawan hukum) dari tergugat diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Doktrin ini biasanya diterapkan jika beberapa syarat terpenuhi, yaitu: a). kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya. Dalam hal ini, harus dipenuhi unsur “unknown cause”. b). kerugian dianggap hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper care). Dengan demikian, diasumsikan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa kurangnya kehati-hatian. c). Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang terjadi. Unsur terakhir ini merupakan penjelasan mengapa tergugat diasumsikan sudah terbukti melawan hukum. Lihat: Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, 4th ed. (Cavendish Publishing Limited, 2000), hal. 144-145.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa res ipsa loquitur merupakan pembuktian terbalik terbatas, yaitu bahwa tergugat diasumsikan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tergugat masih bisa lepas dari pertanggungjawaban jika ia berhasil membuktikan bahwa perbuatannya tidak melawan hukum. Pertanggungjawaban seperti inilah yang dianut oleh UU Perlindungan Konsumen, yang menurut penulis tidaklah tepat untuk disebut sebagai strict liability.

238Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam strict liability tidaklah dipersoalkan apakah kegiatan/perbuatan tergugat tersebut merupakan kegiatan/perbuatan yang melawan hukum.

Page 63: Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan - BEM FH UI 2017bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/prinsip-prinsip-hukum... · bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI,

Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II

63

sedangkan di dalam pembuktian terbalik (terutama dalam hal res ipsa loquitur), tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban jika ia mampu membuktikan bahwa perbuatannya tidak melawan hukum.