Persetujuan DPR Atas Perjanjian Internasional

download Persetujuan DPR Atas Perjanjian Internasional

of 22

Transcript of Persetujuan DPR Atas Perjanjian Internasional

Persetujuan DPR atas Perjanjian Internasional Salam Bung Pokrol. Undang-Undang Dasar mengatakan, dengan persetujuan DPR, Presiden membuat perjanjian internasional. Ini mensyaratkan Presiden untuk membuat persetujuan dengan DPR sebelum menandatangani perjanjian internasional. Setelah tahap-tahap ini dilalui barulah satu perjanjian internasional disahkan dalam bentuk UU/Perpres. Mohon dijelaskan bentuk persetujuan antara DPR dengan Presiden terhadap perjanjian internasional, baik yang nantinya menghasilkan UU maupun Peraturan Presiden.Di Ilmu Hukum

Jawaban Bung Pokrol

Sebelumnya perlu diklarifikasi mengenai perjanjian internasional yang Anda maksud. Dalam Pasal 11 UUD 1945 memang diatur bahwa dalam hal Presiden membuat perjanjian internasional, perlu ada persetujuan DPR. Akan tetapi, tidak semua perjanjian internasional butuh persetujuan DPR. Yang perlu persetujuan DPR adalah:

1. Perjanjian internasional dengan Negara lain (lihat Pasal 11 ayat [1] UUD 1945). Jadi, setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden dengan Negara lain (baik bilateral maupun multilateral) harus mendapatkan persetujuan DPR. 2. Perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (lihat Pasal 11 ayat [2] UUD 1945). Perjanjian internasional lainnya disini artinya perjanjian dengan subjek hukum internasional lainnya, contohnya dengan organisasi internasional.

Selanjutnya, Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan mengenai perjanjian initernasional ini diatur dengan Undang-Undang. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, UndangUndang yang perlu kita rujuk adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional).

Penjelasan Umum UU Perjanjian Internasional menjelaskan bahwa Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Sebelum perjanjian internasional ini berlaku dan mengikat

di Indonesia, perjanjian internasional itu perlu disahkan. Yang dimaksud Pengesahan, menurut pasal 1 angka 2 UU Perjanjian Internasional, adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Penjelasan pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa: pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR; pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan keputusan presiden (Keppres), cukup diberitahukan saja kepada DPR. Catatan: Setelah diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 10/2004), pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional tidak lagi dapat dilakukan dengan Keppres tapi dengan Peraturan Presiden (Perpres). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 UU No. 10/2004.

-

Jadi, persetujuan DPR diberikan pada saat perjanjian internasional akan disahkan menjadi Undang-Undang, bukan sebelum penandatanganan perjanjian internasional.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Shanti Rachmadsyah 28/10/2010

ratifikasi perjanjian internasional Perjanjian Internasional Dalam Sistem PerundangUndangan NasionalDikirim/ditulis pada 1 December 2007 oleh Pengunjungy

ARTIKEL HUKUM INTERNASIONAL

Oleh: Lies Sulistianingsih, SH 1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mempengaruhi kehidupan bangsa bangsa di dunia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa bangsa di dunia, semakin berkembang pula permasalahan permasalahan dalam masyarakat internasional dan menyebabkan terjadinya perubahan perubahan dalam Hukum Internasional. 2. Hukum Internasional merupakan sistem aturan yang digunakan untuk mengatur negara yang merdeka dan berdaulat (1). Hukum Internasionall terdiri atas sekumpulan hukum, yang sebagian besar terdiri dari prinsip prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara negara dan oleh karenanya ditaati dalam hubungan antara negara, yang juga meliputi:y

y

Peraturan peraturan hukum tentang pelaksanaan funsi lembaga lembaga dan organisasi organisasi Internasional serta hubungannya antara negara negara dan individu individu. Peraturan peraturan hukum tertentu tentang individu individu dengan kesatuan kesatuan bukan negara, sepanjang hak hak dan kewajiban individu dengan kesatuan kesatuan tersebut merupakan masalah kerjasama internasional.

3. Pada dasarnya berklakunya Hukum Internasional didasarkan pada 2 prinsip :y y

Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak pihak yang membuat perjanjian. Primat Hukum Internasional , Yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang undang Nasional Suatu negara perserta perjanjian.

Namun dalam perkembangan hubungan Internasional dewasa ini terdapat ajaran (doktrin) Tentang hubungan Hukum Internasional, yang dikenal sebagai Doktrin Inkoporasi. Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian Internasional adalah bagian dari Hukum Nasional yang mengikat, dan berlaku secara langsung setelah penanda tanganan, kecuali perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan lembaga legislatif, dan baru dapat mengikat setelah diatur dalam peraturan perundang undangan nasional suatu negara. Doktrin ini dianut oleh

Inggris dan negara negara Anglo Saxon lainnya. Amerika juga menganut doktrin ini, namun membedakannya dalam:y y

Perjanjian Internasional yang berlaku dengan sendirinya (Self Execuing Treaty), dan Perjanjian Internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (Non Self Executing Treaty)

Perjanjian perjanjian Internasional yang tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika dan termasuk dalam Self Executing Treaty, akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasionalnya. Sedangkan Perjanjian Internasional yang Non Self Executing baru dapat mengikat pengadilan di Amerika setelah adanya peraturan perundang undangan yang menjadikannya berlaku sebagai Hukum Nasional. Perbedaan antara self executing dan non self executing Treaty tidak berlaku untuk perjanjian perjanjian yang termasuk golongan executive agreement karena tidak memerlukan persetujuan Badan Legislatif (Parlemen), dan akan dapat langsung berlaku. Dalam Sistem hukum kontinental di Jerman dan Perancis, suatu perjanjian internasional baru dapat berlaku apabila sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang Pengesahan Perjanjian, dan diumumkan secara resmi. Indonesia menganut sistem hukum kontinental. 4. Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional hanya perjanjian perjanjian yang dapar membuat hukum (Law Making Treaties). 5. Pada Tahun 1969, negara negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan Perjanjian Internaional sebagai persetujuan (agreement) antara dua negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik menurut Hukum Internasional. 6. Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah :y

y

y

Konvensi / Covenant Istilah ini digunakan untuk perjanjian perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri). Protokol Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan pembatasan oleh negara penandatangan. Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi. Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen). Persetujuan (agreement) Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau

y

y

y

y

kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa. Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi. Arrangement Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal hal yang sifatnya mengatur dan temporer. Statuta Bisa berupa himpunan peraturan peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga Internasional Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan badan internasional. Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan peraturan yang akan di terapkan. Deklarasi Istilah ini dapat berarti : - Perjanjian yang sebenarnya - Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian - Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting - Resolusi oleh Konferensi Diplomatik Mutual Legal Assistance Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.

7. Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi. Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 8. Sistem Hukum nasional Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negaranegara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.

Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut: (1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain. (2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan ketentuan sebagai berikut:y

y

Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang undang. Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.

Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu). c. Peraturan Pemerintah (PP). d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah f. Peraturan Desa Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional). 9. Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam

suatu undang undang yang dikenal sebagai Undang Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut. 10. Kesimpulan Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat dilaksanakan.

ndreas Pramudianto, SH Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia

Abstrak Perjanjian Internasional di bidang kelautan yang sejak dulu telah dirundingkan, kini berkembang dengan pesat. Puncak dari berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di bidang kelautan. Perjanjian internasional ini dikenal dengan nama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).Pemerintah Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan mengenai terbentuknya berbagai perjanjian internasional di bidang kelautan khususnya lingkungan laut (environmental of the sea). Dengan menandatangani hasil berbagai konperensi hukum laut, maka diperlukan suatu langkah untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Salah satu cara adalah meratifikasi perjanjian internasional tersebut agar berlaku menjadi hukum nasional. Studi ini memberikan gambaran mengenai hukum perjanjian lingkungan laut (environmental law of the sea treaties). Selain itu studi ini juga menggambarkan bahwa cukup banyak perjanjian internasional (baik yang bersifat publik maupun perdata) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dan alasan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah berbagai perjanjian internasional di bidang kelautan diratifikasi, masih diperlukan beberapa langkah serta tindak lanjut untuk menerapkannya. Implementasi perjanjian internasional ini antara lain dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan yang bersifat umum maupun teknis. Dalam penelitian ini telah menemukan ada langkah tindak lanjutnya dengan dikeluarkan beberapa peraturan pelaksana baik dalam bentuk undang-undang hingga keputusan menteri. 1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Permasalahan Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah berhasil disepakati. (UNEP,1993;Ball&Stuart,1991;Pramudianto,1995). Perkembangan perjanjian internasional yang lahir di abad 20 ini, nampaknya berkaitan erat dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi tinggi dan bahan berbahaya yang menimbulkan dampak yang luas bagi masalah sumberdaya di laut. Karena itu perjanjian internasional di bidang kelautan kini lebih bersifat multilateral dan menerapkannya secara global dengan penekanan pada persoalan kepemilikan bersama yang antara lain mengarah pada prinsip Common Heritage of Mankinds. (Abdurrasyid, 1991; Agoes,1988;Danusaputro,1982) Hukum internasional mengenal beberapa cara bagi suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang salah satu diantaranya adalah ratifikasi

(Kusumaatmadja,1976;Parthiana,1990;Likadja,1988;Situni,1989). Dalam hal ini suatu instrumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam suatu perundingan umumnya masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat dilakukan melalui lembaga ratifikasi. (Suryono,1984;Suwardi,1991;Kusumohamidjojo,1986) Setelah dilakukan tindakan ratifikasi, naskah perjanjian internasional tersebut dapat dikirim kembali ke tempat penyimpanan (depository) naskah perjanjian sebagai bukti keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut. Namun hal yang perlu dicatat bahwa tidak seluruh perjanjian internasional membutuhkan ratifikasi untuk dapat diberlakukan. Karena itu ada beberapa ahli menyatakan bahwa ratifikasi hanya sekedar memberikan pernyataan formal keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional. (Anwar,1991;Suraputra,1991;Kantaatmadja;1991;Agoes,1988;Suryono,1984) Konsep yang berlaku umum di dalam hukum internasional ini juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Sesudah menandatangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian melakukan tindakan ratifikasi baik melalui Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum nasional hasil ratifikasi yang dikeluarkan oleh Presiden berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan dalam bentuk undang-undang (UU). Hingga sekarang ketentuan hukum mengenai ratifikasi masih berpedoman pada Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 dan Surat Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2826/HK/60 tanggal 22 Oktober 1960 perihal Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain. Dalam prakteknya, ratifikasi yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang kelautan khususnya lingkungan laut kebanyakan berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan dalam bentuk Undang-undang (UU) masih sangat sedikit. Hal ini berhubungan dengan klasifikasi perjanjian internasional itu sendiri yang pada umumnya menganggap perjanjian internasional bidang lingkungan laut kurang memiliki dampak politik yang penting. Walaupun demikian ada beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang lingkungan laut yang memiliki dampak politik sangat penting dan mempengaruhi masa depan Indonesia telah berhasil disetujui oleh DPR melalui bentuk undangundang. Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 17 tahun 1985 yang mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. 1.2. Identifikasi MasalahPermasalahan yang timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap berbagai perjanjian internasional dilihat dari pandangan yuridis selama ini karena ketentuan hukum nasional belum memadai. Dasar hukum mengenai tata cara meratifikasi yang selama ini ada tidak memberikan prosedur yang jelas dan baku. Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 tidak menyebutkan dengan tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan prosedural mengenai tata cara meratifikasi suatu perjanjian internasional. Surat Presiden No 2826/Hk/60 bahkan berada di luar tata urutan perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR No. XX/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum. Kemudian timbul masalah lagi, yaitu bagaimana menentukan atau mengkriteriakan jenis perjanjian internasional yang penting dan perjanjian internasional yang kurang penting. Permasalahan ini akan menimbulkan akibat pada perjanjian internasional di bidang lingkungan laut yang dalam meratifikasi ternyata menghasilkan dua produk hukum nasional yaitu berbentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan berbentuk Undang-undang (UU). Hal ini menimbulkan suatu akibat bahwa ternyata perjanjian di bidang lingkungan laut ada yang dikategorikan sangat penting dan

ada yang kurang penting. Berbagai perjanjian internasional di bidang lingkungan laut telah berhasil dibentuk. Namun hal ini membutuhkan keterikatan yang pasti yaitu dapat berupa ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi menjadi hal yang penting karena akan mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia dan dapat memberikan wawasan baru bagi ketentuan hukum nasional. 1.3. Maksud dan Tujuan Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana produk hukum internasional di bidang kelautan khususnya dalam perjanjian internasional bidang hukum lingkungan laut telah diimplementasikan ke dalam hukum nasional. Sedangkan tujuan penelitian adalah : 1. Mengetahui informasi berbagai perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. 2. 3. Mengetahui sejauhmana tindak lanjut pelaksanaan atas ratifikasi perjanjian internasional ini Mengetahui secara mendasar mengenai masalah ratifikasi.

1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam hal : 1. Memberikan informasi dasar khususnya yang menyangkut peraturan internasional di bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia 2. 3. Menambah studi-studi di bidang kelautan khususnya yang menyangkut peraturan. Meningkatkan desiminasi dan informasi hukum laut Indonesia

4. Memberikan bahan masukan untuk pengambil keputusan dalam menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi 1.5. Lingkup StudiPenelitian ini dibatasi pada permasalahan hukum lingkungan laut, khususnya ratifikasi atas perjanjian internasional. 2. METODE PENELITIAN 2.1. MetodologiMetode yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian deskriptif dengan cara menginventarisasi berbagai ketentuan atau peraturan hukum internasional yang telah diratifikasi. Selain itu dilakukan juga studi pustaka untuk mencari berbagai informasi mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi. 2.2. Penentuan SampelDari seluruh peraturan yang menyangkut perjanjian internasional yang telah ditandatangani atau diratifikasi, sampel yang diambil hanya pada perjanjian internasional yang khususnya menyangkut atau berkaitan dengan persoalan lingkungan laut yang telah diratifikasi. Setelah itu dilakukan penelusuran peraturan hukum nasional yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan ratifikasi ini. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah setiap peraturan nasional yang berkaitan dengan pokok bahasan yang ada dalam perjanjian internasional selalu disebutkan hasil ratifikasinya. 2.3.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu bahwa :Ratifikasi atas beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan laut oleh Pemerintah Indonesia akan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN3.1. Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi dan Alasan-alasannya

Pemerintah Indonesia telah aktif dalam berbagai perundingan di bidang kelautan sejak tahun 1958 khususnya dalam Konperensi Hukum Laut I. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia telah menandatangani hasil konperensi tersebut yaitu Konvensi mengenai Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf), Konvensi mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas (Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), serta Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Sea). Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial tidak ditandatangani. Tiga tahun kemudian konvensi-konvensi ini telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut. Sehingga dari 4 konvensi hanya satu konvensi yang tidak ditandatangani dan diratifikasi yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam Deklarasi Juanda yang menyatakan wilayah lautan Indonesia dengan daratan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Berbeda dengan Kringen Ordonantie 1933 yang menyatakan masing-masing pulau memiliki laut teritorial dengan jarak 3 mil. Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial 1958 membatasi jarak 12 mil dari pantai namun bukan merupakan satu kesatuan dalam hal wilayah yang dimiliki secara khusus seperti Deklarasi Juanda. Konvensi mengenai Perikanan Serta Pelestarian Sumberdaya Hayati Laut Bebas terdiri dari 22 pasal, Konvensi mengenai Landas Kontinen terdiri dari 15 pasal dan Konvensi Laut Lepas terdiri dari 37 pasal. Ada beberapa pertimbangan untuk meratifikasi ketiga Konvensi ini yang tercantum dalam Undang-undang No. 19/1961. Seperti kehadiran Pemerintah Indonesia dalam berbagai perundingan di Konperensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 yang hal ini dinyatakan dengan tegas dalam bagian a pertimbangan UU ini :bahwa konperensi internasional di Jenewa tahun 1958 mengenai hukum laut (Conference on the Law of the Sea) dimana Republik Indonesia ikut serta hadir Dalam penjelasan Undang-undang ini juga dinyatakan :Konvensi-konvensi tersebut telah ditandatangani oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konperensi Jenewa tersebut. Pertimbangan lain untuk meratifikasi ketiga konvensi ini adalah :Bahwa terhadap konvensi-konvensi sebagaimana dimaksud dalam sub 1 sudah sewajarnya Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi peserta. Sedangkan diratifikasinya ketiga konvensi ini melalui undang-undang dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan :bahwa persetujuan mengenai ketiga konvensi Jenewa mengenai Hukum Laut itu perlu diatur dengan undangundang. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan :..Indonesia mempunyai kepentingan terhadap segala sesuatu yang mempunyai segi hukum laut. Menurut ketatanegaraan kita, persetujuan atas ketiga konvensi termaksud berdasarkan pasal 11 Undang-undang Dasar, memerlukan persetujuan dengan undang-undang. Berkaitan dengan upaya kegiatan pelayaran di laut khususnya penetapan jalur pelayaran di laut, pada tahun 1966 telah ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Jalur Pelayaran (International Convention on Load Lines 1966). Oleh Pemerintah Indonesia konvensi ini telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 47/1976 tertanggal 2 November 1976. Konvensi ini merupakan hasil Conference on Load Lines.

Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan Presiden sebagai berikut :bahwa pada tanggal 3 Maret sampai dengan tanggal 5 April 1966, atas prakarsa Intergovernmental Maritime Consultative Organization, di London telah diselenggarakan International Conference on Load Lines yang menghasilkan International Convention on Load Lines, 1966. Indonesia sebagai salah satu anggota Intergovernmental Maritime Consultative Organization (Sekarang : IMO) tidak keberatan untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi ini. Ratifikasi atas konvensi ini juga memperhatikan Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut (Convention for the Safety Life at the Sea/SOLAS) 1960 yang telah diratifikasi. Hal ini dinyatakan dalam Keputusan Presiden sebagai berikut : Memperhatikan : 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 1966. Pada tahun 1974, Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut atau dikenal dengan SOLAS Convention 1960 diperbaharui dan diganti. Delegasi Indonesia dalam proses perundingan konvensi ini hadir dan turut menandatangani SOLAS Convention 1974. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Keputusan Presiden No. 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 : bahwa sebagai pengganti International Convention for the Safety of Life at Sea, 1960, konperensi internasional tentang keselamatan jiwa di laut 1974 telah menghasilkan International Convention for the Safety of Life at Sea 1974, yang telah ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia di London pada tanggal 1 November 1974. Seperti telah dinyatakan dalam pasal 25 Konvensi Laut Lepas 1958 yang menyatakan semua negara diminta untuk bekerjasama dalam mengambil tindakan terhadap pencemaran di laut, maka pada tanggal 29 November tahun 1969 di kota Brusel negara-negara IMO telah menandatangani suatu konvensi internasional. Konvensi ini bernama Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). Delegasi Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi ini seperti tercantum dalam ratifikasi atas konvensi ini yaitu melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 yang menyatakan : Membaca : a. bahwa sebagai hasil sidang International Legal Conference on Marine Polution Damage, di Brusel pada tanggal 29 November 1969, delegasi Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage. Konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan bertujuan untuk menjamin ganti rugi yang sesuai untuk seseorang yang menderita akibat pencemaran minyak di laut. Selain itu negara-negara harus bertanggungjawab terhadap pencemaran di laut yang dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut : bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang pertanggungjawaban antar negara peserta konvensi atas pengotoran laut oleh minyak.

Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki laut yang luas, maka kebutuhan akan suatu ketentuan hukum internasional mengenai pencemaran di laut menjadi sangat penting. Apalagi letak yang strategis yaitu di antara 2 benua dan 2 samudera serta banyak dilalui kapalkapal dari negara-negara lain. Kebutuhan untuk meratifikasi konvensi ini menjadi semakin penting ketika kasus pencemaran minyak oleh kapal tanker Showa Maru yang mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara korban pencemaran. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan penting untuk melindungi perairan Indonesia seperti dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut : bahwa untuk mencegah pengotoran laut yang disebabkan oleh minyak di sepanjang perairan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas.

Dua tahun kemudian pada tanggal 18 Desember 1971 negara-negara IMCO kembali mengadakan pertemuan di Brussels yang hasilnya menandatangani International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini dinyatakan : bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada pemilik kapal yang menimbulkan pengotoran atau pencemaran di sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal. Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapalkapal tanker telah menimbulkan berbagai permasalahan baru. Seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan atas diratifikasinya konvensi tersebut yang dinyatakan : bahwa karena lalulintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat menimbulkan pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas; Namun demikian pada tanggal 10 Maret 1998 ratifikasi konvensi ini dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan yang menyatakan : bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang memberatkan Anggaran Negara.

Dengan demikian alasan pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah alasan ekonomi. Kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal lainnya dalam pengoperasiannya sering membuang balast yang menyebabkan terjadinya pencemaran di perairan. Karena itu untuk mengatur masalah pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal laut maka pada tahun 1973 di kota London telah ditandatangani Konvensi Internasional Mengenai Pencegahan Pencemaran yang Berasal dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships). Lima tahun kemudian yaitu pada tanggal 17 Februari 1978 disetujui sebuah protokol dari konvensi ini yaitu Protocol of 1978 Relating to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships. Konvensi dan protokol ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978, merupakan hasil Konperensi mengenai Pencemaran di Laut dari kapal-kapal (International Conference on Marine Pollution from Ships) dan Konperensi Internasional mengenai Keamanan Kapal Tanker dan Pencegahan Pencemaran (International Conference on Tanker Safety and Pollution Prevention). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dan protokolnya melalui Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tertanggal 9 September 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention Pollution from Ships, 1973, beserta, Protocol of 1978 Relating to the International Convention for The Prevention of Pollution from Ships, 1973. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi ini menjadi sangat penting karena merupakan upaya mencegah pencemaran di perairan Indonesia dan melindungi lingkungan laut di wilayah teritorial maupun di Zone Ekonomi Eksklusif. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan Presiden di bawah ini : bahwa untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dari bahaya pencemaran yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal. Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk ikut serta menjadi pihak di dalam konvensi beserta protokol tersebut.

Berkaitan dengan perkembangan hukum laut internasional, Pemerintah Indonesia kembali turut serta dalam berbagai perundingan mengenai dibentuknya suatu konvensi hukum laut internasional. Hingga pada akhirnya tanggal 10 Desember 1982 telah ditandatangani Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau yang disebut UNCLOS 1982. Konvensi ini pada tanggal 16 November 1994 telah memenuhi syarat ratifikasi (minimal 60 negara meratifikasi) sehingga dapat diberlakukan. Dari mulai ditandatangani konvensi ini hingga mencapai tahap diberlakukannya konvensi ini telah memakan jangka waktu yang cukup lama yaitu hampir 12 tahun. Hal ini disebabkan banyak konsep baru diatur di dalam konvensi ini seperti konsep negara kepulauan, perlindungan lingkungan laut, pembentukan Mahkamah Dasar Laut, Pembentukan Otorita Dasar Laut dll. Konvensi ini terdiri dari Pembukaan, 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran. Isi konvensi tersebut terdiri dari bab-bab yang mengatur masalah laut territorial dan zona tambahan, kemudian selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional, serta mengenai negara kepulauan. Ada bab-bab lain yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif, landas Kontinen, laut lepas, dan masalah Rezim Pulau. Selain itu, konvensi mengatur mengenai laut teritorial atau setengah tertutup, hak negara tak berpantai untuk masuk ke dalam dan ke luar laut, serta masalah kebebasan melakukan transit. Adapula

bab-bab yang mengatur masalah kawasan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Riset Ilmiah Kelautan, Pengembangan dan Alih Teknologi Kelautan, serta mengenai Penyelesaian Sengketa. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tertanggal 31 Desember 1985. Berkaitan dengan peningkatan kerjasama internasional khususnya kerjasama selatan-selatan di bidang kelautan, maka pada tanggal 7 September 1990 di kota Arusha,Tanzania telah dibentuk suatu Organisasi Hubungan Kerjasama Lautan Hindia melalui suatu persetujuan yang dinamakan Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affair Cooperation (IOMAC). Melalui Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1993 tertanggal 16 September 1993 persetujuan pembentukan organisasi ini telah diratifikasi. Ratifikasi atas persetujuan ini tercantum dalam pertimbangannya yang menyatakan : bahwa di Arusha, Tanzania pada tanggal 7 September 1990 Delegasi Republik Indonesia telah menandatangani Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC) yang mengatur kerjasama masalah kelautan di Samudera Hindia. Beberapa konvensi lainnya yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia di bidang kelautan adalah International Convention for Safe Containers melalui Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1989 tertanggal 17 Juli 1989, International Convention for Standard of Training, Certification and Watch Keeping for Seaferers 1978 melalui Keputusan Presiden No 60 Tahun 1986 tertanggal 4 Desember 1986, Convention on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1960 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 107 tahun 1968. Konvensi ini kemudian diganti dengan Convention on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1972 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1979 tertanggal 11 Oktober 1979. Di Tabel 1 ditunjukkan data perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. Tabel 1 Ratifikasi Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan LautNO NAMA PERJANJIAN INTERNASIONAL Convention on the Continental Shelf 1958, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958, Convention on the High Seas 1958 RATIFIKASI MASALAH YANG DIATUR

1.

Undang-undang No. Pengaturan Landas 19 /19616 September Kontinen, Perikanan 1961 dan Konservasi Sumberdaya Alam di Laut Lepas dan Konvensi Laut Lepas KEPPRES No. Pengaturan mengenai 107/1968D I C A B U T pencegahan kecelakaan/tubrukan kapal di

2.

Convention on the International Regulation for Preventing Collision at Sea 1960

laut. 3. International Convention on Load Lines 1966 KEPPRES No. 47/19762 Pengaturan Mengenai November 1976 Jalur Pelayaran

4

International Convention on Civil Liability KEPPRES No. 18/19781 Tanggungjawab Perdata for Oil Pollution Damage 1969 Juli 1978 Terhadap Pencemaran Di Laut International Convention on the EstaKEPPRES No. 19/19781 bilishement of an International Fund for Juli 1978D I C A B U Compensation for Oil Pollution Damage TKEPPRES No. 41/1998 1971 Pengaturan Mengenai Pembentukan Dana Internasional untuk Ganti Rugi Pencemaran Minyak di Laut Penyempurnaan Conven-tion 1960 tentang pencegahan tubrukan kapal di laut Pengaturan Mengenai Keselamatan dan Sertifikasi Peti Kemas

5.

6

Convetion on the International Regulation KEPPRES No. for Preventing Collisions at Sea 1972 50/197911 Oktober 1979

7.

International Convention for Safe Containers 1972

KEPPRES No. 33/198917 Juli 1989

8.

International Convention for the Prevention of Pollution by Ships 1973, Protocol Relating to the Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1978.

KEPPRES No. 46/19869 Pengaturan Mengenai September 1986 Pencegahan Pencemaran Yang Berasal Dari Kapal-kapal.

9.

International Convention for the Safety of KEPPRES No. 65/19809 Pengaturan Mengenai Life at Sea 1974 Desember 1980 Keselamatan di Laut Protocol of 1978 Relating to the KEPPRES No. International Convention for the Safety of 21/198829 Juni 1988 Life at Sea 1974 Protokol Mengenai Keselamatan di Laut.

10.

11.

International Convention on Standards of KEPPRES No. 60/19864 Pengaturan Mengenai Training, Certification & Watch Keeping Desember 1986 Standard Pelatihan, for Seafarers, 1978 Sertifikasi dan Pengamatan Bagi Pelaut International Convention on Standards of KEPPRES No. 60/19864 Pengaturan Mengenai Training, Certification & Watch Keeping Desember 1986 Standard Pelatihan, Sertifikasi dan Penga-

12

for Seafarers, 1978 13.

matan Bagi Pelaut

United Nations Convention on Law Of The Undang-undang No. Pengaturan Mengenai Sea (UNCLOS) 1982 17/198531 Desember Masalah Kelautan 1985 Agreement on the Organization for Indian KEPPRES No. Pengaturan mengenai Ocean Marine Affairs Cooperation 86/199316 September kerjasama kelautan di (IOMAC) 1990 1993 Samudera Hindia

14

SUMBER : Pramudianto, A. 1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup (Belum diterbitkan) 3.2. Implementasi Perjanjian Internasional oleh Pemerintah Indonesia Implementasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi hukum nasional belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Implementasi suatu perjanjian internasional menjadi sangat penting dan diperlukan untuk dapat memberikan masukan baru sehingga dapat menambah wawasan bagi perkembangan hukum nasional. Kadang-kadang ada peraturan-peraturan yang belum diatur dalam hukum nasional, maka perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut diharapkan dapat menambah kekurangan yang ada di dalam sistem hukum nasional. Sebagai contoh adalah ketentuan mengenai sertifikasi internasional, pencegahan pencemaran lintas batas dan mekanisme penelusuran informasi belum diatur dalam sistem hukum nasional. Selain itu dalam hubungan internasional Indonesia akan berperan lebih besar lagi dengan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan penting yang berkaitan dengan perjanjian internasional tersebut, seperti dalam penyusunan peraturan-peraturan perjanjian internasional dalam bentuk protocol, annex, maupun amandement. Tindakan meratifikasi suatu perjanjian internasional bagi Indonesia dapat meningkatkan kerjasama internasional dan hubungan yang luas. Selain itu bantuan luar negeri baik yang berupa pendanaan maupun alih teknologi serta bantuan ilmiah seperti yang telah tercantum dalam suatu perjanjian internasional dapat memberikan keuntungan untuk meningkatkan dan mendorong pembangunan nasional. Ratifikasi atas suatu perjanjian internasional harus diimplementasikan melalui ketentuanketentuan yang bersifat tindaklanjut atas perjanjian internasional tersebut. Selama ini ada beberapa peraturan mengenai tindak lanjut atas perjanjian internasional yang telah dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh ketentuan perundangundangan nasional yang merupakan tindak lanjut dari suatu perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi dengan menyebutkan secara tegas adanya ratifikasi tersebut. 3.2.1. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang tersebut terdiri atas 7 bab dan 27 pasal yang mengatur halhal mengenai: wilayah perairan Indonesia, hak lintas bagi kapal-kapal asing, pemanfaatanpengelolaan-perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia, serta penegakan hukum di perairan Indonesia. Undang-undang ini merupakan penyesuaian atas diratifikasinya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982 khususnya pada Bab IV konvensi tersebut. Penyesuaian undang-undang ini atas konvensi tersebut dinyatakan pada bagian menimbang huruf c yang menyatakan : bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi tersebut pada huruf b. Dasar hukum undang-undang ini juga menyebutkan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. Dalam bagian mengingat dinyatakan pasal 5 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Undang-undang No. 17/1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 3.2.2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Ekploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 65 pasal dan 12 bab. Bab-bab ini diantaranya mengatur masalah instalasi pertambangan, pipa penyaluran, penyelidikan geologis dan geofisik, penyelidikan dasar, penggunaan bahan peledak. Peraturan pemerintah ini juga menata mengenai usaha pemanfaatan seperti: pemboran eksplorasi, pemboran pengembangan dan pemboran penilaian, kemudian produksi, penimbunan, pemuatan dan konservasi. Mengenai masalah jurisdiksi, mengatur mengenai daerah perbatasan, wewenang penyidikan, dan ketentuan pidana. Peraturan pemerintah ini merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu Konvensi Mengenai Laut Lepas, Konvensi Mengenai Landas Kontinen dan Konvensi Mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang produk hukumnya berupa undang-undang. Dalam peraturan pemerintah ini secara tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang tercantum sebagai berikut : Mengingat : 6. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318). 3.2.3. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 167/HM.207/PHB-86 tertanggal 27 Oktober 1986 tentang Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun. Keputusan Menteri perhubungan ini dikeluarkan dalam upaya melindungi lingkungan laut. Selain itu juga dinyatakan secara tegas bahwa Pemerintah Indonesia turut meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1978 dan Protokol 1978. Hal ini dinyatakan dalam bagian pertimbangan keputusan yang menyatakan :

Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan laut dengan Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986, pada tanggal 9 September 1986, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1978 dan Protokol 1978 konvensi tersebut (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto). Keputusan menteri ini juga merupakan tindak lanjut atas diratifikasinya konvensi tersebut beserta protokolnya seperti dinyatakan dalam bagian pertimbangannya : b. bahwa sebagai tindaklanjut dari pengesahan Konvensi tersebut dipandang perlu menetapkan peraturan tentang Sertifikat Internasional Pencegahan pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun bagi Setiap Kapal yang Memasuki atau Berada di Pelabuhan atau Terminal Lepas Pantai Indonesia. 3.2.4. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 215/AL.506/PHB-87 tertanggal 19 September 1987 tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal. Keputusan Menteri Perhubungan ini juga merupakan upaya melindungi kelestarian lingkungan laut dan sebagai tindak lanjut atas diratifikasinya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangannya: b. bahwa sebagai tindak lanjut dari pengesahan atas Konvensi tersebut, perlu menetapkan peraturan tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal. Dalam bagian mengingat juga ditegaskan adanya ratifikasi atas konvensi ini seperti dinyatakan: Mengingat : 4. Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 (BN. No. 4437 hal 88) tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating to International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 3.2.5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep45/MENLH/11/1996 tertanggal 19 Nopember 1996 tentang Program Pantai Lestari. Keputusan Menteri Negara LH ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan di wilayah pantai. Keputusan ini juga berkaitan dengan tindak lanjut ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pencegahan Pencemaran yang Berasal dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 and Their Protocol) yang menyatakan : Mengingat : 7. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 beserta protokol. Masih banyak peraturan pelaksanaan lainnya yang merupakan tindak lanjut ratifikasi atas perjanjian internasional di bidang lingkungan laut. Dari hasil studi ini hampir semua perjanjian internasional bidang lingkungan laut telah dilaksanakan melalui berbagai produk hukum yang dikeluarkan khususnya produk hukum yang bersifat teknis.

4. KESIMPULAN DAN SARAN4.1. Kesimpulan Pemerintah Indonesia telah ikut terlibat dalam perundingan pembentukan beberapa perjanjian internasional bidang lingkungan laut. Keterlibatan ini menimbulkan akibat dengan ditandatanganinya perjanjian internasional tersebut. Penandatanganan yang selanjutnya diratifikasi akan berpengaruh ke dalam hukum nasional. Sebagai langkah berikutnya adalah tindak lanjut untuk melaksanakan perjanjian internasional itu dengan mengeluarkan berbagai produk hukum nasional. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang menyangkut masalah pelaksanaan atas perjanjian internasional tersebut. Berbagai produk hukum nasional telah dikeluarkan sebagai pelaksanaan perjanjian internasional yang telah diratifikasi walaupun belum seluruhnya terlaksana. Dengan demikian hal ini telah menjawab hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini bahwa beberapa perjanjian internasional bidang kelautan yang telah ditandatangani dan diratifikasi ternyata telah ditindaklanjuti melalui peraturan pelaksanaan dalam berbagai bentuk produk hukum nasional.

4.2. Saran 1. Untuk menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi ini perlu disesuaikan dengan posisi Indonesia agar tidak menimbulkan pertentangan atau konflik hukum. 2. Masih ada beberapa pasal dalam perjanjian internasional yang belum dilaksanakan. Hal ini perlu untuk kepentingan Indonesia khususnya yang menyangkut persoalan kerjasama internasional dan bantuan teknik. DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid, Priyatna. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN ,Jakarta. Agoes, Etty R. 1988. Masalah Sekitar Ratifikasi Dan Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 : Antara Teori dan Praktek, dalam Yoyon A (ed). Percikan Gagasan Tentang Hukum, FH UNPAR, Bandung. Anwar, H Agustiar. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian-perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional No. 1 Tahun 1991 BPHN, Jakarta. Ball, Simon & Stuart Bell. 1991. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London. Danusaputro, Munadjat St. 1982. Hukum Lingkungan, Buku IV: Global, Bina Cipta, Bandung. Kantaatmadja, Mieke Komar. 1991. Instrumen nasional untuk ratifikasi Perjanjian Internasional- Suatu Studi Kasus, Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Pertama, Bina Cipta, Bandung. Kusumohamidjojo, Budiono. 1986. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung. Likadja, Frans E. 1988. Desain Instruksional : Dasar Hukum Internasional, PT Ghalia Indonesia, Jakarta. Parthiana, Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung. Pramudianto, A. 1993. Hukum Lingkungan Internasional, (Unpublished) Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Majalah Hukum Pro Justititia Tahun XIII No. 4 Oktober 1995. Situni, Wisnu. 1989. Reformulasi Sumber-sumber Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung Suraputra, Sidik D. 1991. Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Hukum Nasional Indonesia, Majalah Hukum Nasional, No 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta. Suryono, Edy. 1984. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, CV Remaja Karya, Bandung. (Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Tahun 1999)