Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

13
Jurnal Perbedaan Coping Stres Pada Perawat Pria dan Wanita Prety Lestarianita M. Fakhrurrozi, M.Psi., Psi (Dosen Pembimbing) Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAKSI Coping diartikan sebagai proses seseorang untuk mengelola atau mengatur ketidakcocokan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber penilaian mereka dalam situasi yang penuh stres. Untuk menghadapi keadaan yang penuh dengan stres, perawat baik pria maupun wanita harus mampu mengatasi atau melakukan coping stres pada diri mereka sendiri, sehingga tidak mempengaruhi pekerjaan mereka. Emotion-focus coping adalah mengarahkan respon kontrol emosi pada situasi yang penuh stres. Orang cenderung menggunakan emotion-focus coping ketika mereka percaya tidak dapat melakukan sesuatu untuk merubah kondisi yang penuh stres. Problem-focus coping adalah mengarahkan pada pengurangan tuntutan dari situasi stres atau menghadapi sumber stresnya. Orang cenderung menggunakan problem-focus coping ketika mereka percaya tuntutan dari situasi akan berubah. Coping religius merupakan berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama didalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stres. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan coping stres yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan religion coping antara perawat pria dan perawat wanita. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah coping stres dan variabel bebasnya jenis kelamin. Skala coping stres disusun berdasarkan jenis-jenis coping yang dikemukakan oleh Carver, Scheier dan Weintraub (1989) serta Pargament (1997). Penelitian ini dilakukan pada 50 orang perawat pria dan 50 orang perawat wanita. Subjek penelitian ini adalah perawat yang berjenis kelamin pria dan wanita berusia antara 25 – 36 tahun dan telah bekerja minimal selama 6 bulan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Independent Sample t Test, diketahui bahwa untuk problem focused coping sebesar 0,682 (p>0,05), emotion focused coping 0,473 (p>0,05), dan religion coping sebesar 0,289 (p>0,05) Dari nilai tersebut, maka dapat dikatakan hipotesis penelitian ini ditolak yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada pemilihan coping stres baik itu problem focused coping, emotion focused coping, dan religion coping pada perawat pria dan perawat wanita.

Transcript of Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Page 1: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Jurnal

Perbedaan Coping Stres Pada Perawat Pria dan Wanita

Prety Lestarianita

M. Fakhrurrozi, M.Psi., Psi (Dosen Pembimbing)

Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma

ABSTRAKSI Coping diartikan sebagai proses seseorang untuk mengelola atau mengatur

ketidakcocokan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber penilaian mereka dalam situasi yang penuh stres. Untuk menghadapi keadaan yang penuh dengan stres, perawat baik pria maupun wanita harus mampu mengatasi atau melakukan coping stres pada diri mereka sendiri, sehingga tidak mempengaruhi pekerjaan mereka. Emotion-focus coping adalah mengarahkan respon kontrol emosi pada situasi yang penuh stres. Orang cenderung menggunakan emotion-focus coping ketika mereka percaya tidak dapat melakukan sesuatu untuk merubah kondisi yang penuh stres. Problem-focus coping adalah mengarahkan pada pengurangan tuntutan dari situasi stres atau menghadapi sumber stresnya. Orang cenderung menggunakan problem-focus coping ketika mereka percaya tuntutan dari situasi akan berubah. Coping religius merupakan berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama didalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stres. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan coping stres yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan religion coping antara perawat pria dan perawat wanita.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah coping stres dan variabel bebasnya jenis kelamin. Skala coping stres disusun berdasarkan jenis-jenis coping yang dikemukakan oleh Carver, Scheier dan Weintraub (1989) serta Pargament (1997). Penelitian ini dilakukan pada 50 orang perawat pria dan 50 orang perawat wanita. Subjek penelitian ini adalah perawat yang berjenis kelamin pria dan wanita berusia antara 25 – 36 tahun dan telah bekerja minimal selama 6 bulan.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Independent Sample t Test, diketahui bahwa untuk problem focused coping sebesar 0,682 (p>0,05), emotion focused coping 0,473 (p>0,05), dan religion coping sebesar 0,289 (p>0,05) Dari nilai tersebut, maka dapat dikatakan hipotesis penelitian ini ditolak yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada pemilihan coping stres baik itu problem focused coping, emotion focused coping, dan religion coping pada perawat pria dan perawat wanita.

Page 2: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

PENDAHULUAN Di kehidupan sehari-hari manusia

ada kalanya merasa bahagia, namun ada saatnya pula manusia merasa sedih. Manusia bisa merasa bahagia karena mendapatkan kebutuhan hidup yang diperlukan. Tapi di sisi lain ada pula yang dapat membuat manusia merasa sedih, tertekan bahkan sampai pada tingkat stres. Apabila stres yang dialami seseorang terus berlanjut tanpa adanya penyelesaian, maka akan banyak orang yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara bunuh diri dan ada juga yang sampai menjadi gila.

Tiap pekerjaan dapat menimbulkan stres pada para pekerjanya. Sebagai contoh adalah profesi seorang perawat. Seorang perawat baik pria maupun wanita seringkali dihadapkan pada permasalahan dan resiko yang berhubungan dengan pasien yang sedang dirawatnya, dan keadaan inilah yang dapat memunculkan stres.

Handoko (1987) mengatakan tiap orang mempunyai toleransi yang berbeda terhadap berbagai situasi stres. Di samping itu, orang juga mempunyai perbedaan dalam mengatasi atau mengcoping kondisi yang cenderung menyebabkan stres. Ada orang yang dengan mudah dan cepat melakukan coping terhadap stres mereka, namun ada pula yang sulit melupakan dan melepaskan diri dari situasi yang membuat mereka menjadi stres. Coping itu sendiri diartikan sebagai proses seseorang untuk mengelola atau mengatur ketidakcocokan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber penilaian mereka dalam situasi yang penuh stres.

Richard Lazarus dan teman-temannya (dalam Sarafino, 1990) mengatakan coping ada dua fungsi, yaitu dapat merubah penyebab stres atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut. Fokus coping pada emosi (emotion-focus coping) adalah

mengarahkan respon kontrol emosi pada situasi yang penuh stres. Fokus coping pada masalah (problem-focus coping) adalah mengarahkan pada pengurangan tuntutan dari situasi stres atau menghadapi sumber stresnya.

Terkadang ada sebagian orang yang menggunakan coping religius untuk menghilangkan stres yang mereka alami. Manusia lebih suka kembali kepada Tuhan untuk memohon pertolongan dalam keadaan yang stressful. Pada studi yang dilakukan oleh Koenig, dkk (dalam Pargament, 2003) menemukan bahwa bentuk coping religius positif diasosiasikan dengan tingkat depresi yang lebih rendah dan kualitas hidup yang lebih baik sedangkan coping religius negatif berhubungan dengan tingkat depresi yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih rendah. Coping religius merupakan berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama didalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stres.

Menurut Hamilton dan Fagot (1988) pria cenderung menggunakan problem-focused coping karena pria biasanya menggunakan rasio atau logika selain itu pria terkadang kurang emosional sehingga mereka lebih memilih untuk langsung menyelesaikan masalah yang dihadapi atau langsung menghadapi sumber stres. Sedangkan wanita lebih cenderung menggunakan emotion-focused coping karena mereka lebih menggunakan perasaan atau lebih emosional sehingga jarang menggunakan logika atau rasio yang membuat wanita cenderung untuk mengatur emosi dalam menghadapi sumber stres atau melakukan coping religius dimana wanita lebih merasa

Page 3: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

dekat dengan tuhan dibandingkan dengan pria.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan coping stres yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan religion coping antara perawat pria dan perawat wanita.

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan di bidang psikologi pada umumnya dan psikologi klinis pada khususnya dan dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan coping terhadap stres, perawat dan hal-hal yang berkaitan dengan pria dan wanita. 2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi berbagai pihak, baik perawat maupun pihak rumah sakit mengenai coping terhadap stres yang terjadi pada perawat baik pria maupun wanita. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu perawat baik pria maupun wanita dalam melakukan coping terhadap stres yang sedang dialami.

TINJAUAN PUSTAKA Stres Pengertian Stres

Menurut Lazarus (dalam Prabowo, 1998) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi eksternal dan internal. Sementara Feldman (1989) mendefinisikan stres sebagai proses penilaian peristiwa yang mengancam, menantang atau berbahaya serta merespon pada peristiwa tersebut.

Chaplin (2001) adalah suatu keadaan tertekan baik secara fisik

maupun psikologis, dapat dikatakan bahwa stres adalah keadaan psikologis individu atau suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis karena individu dihadapkan pada situasi eksternal dan internal dimana situasi tersebut dapat mengancam, menantang atau berbahaya bagi individu itu sendiri.

Penyebab Munculnya Stres

Ada empat tipe sumber stres yang dikemukakan oleh Evans dan Cohen (dalam Prabowo, 1998), yaitu: a. Fenomena Catalismic, yaitu hal-

hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba khas dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, dan sebagainya.

b. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian serta ketika seseorang kena PHK.

c. Daily Hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja, atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.

d. Ambient Stressor, yang terdiri dari kondisi-kondisi yang dilatarbelakangi oleh lingkungan, seperti kerja berlebihan, kemiskinan, konflik keluarga serta polusi udara.

Coping Stres Pengertian Coping

Coping adalah usaha yang berupa tindakan-orientasi dan intrapsikis untuk mengatur lingkungan dan tuntutan dari dalam dan konflik diantaranya (Stone, Cohen & Adler, 1980).

Page 4: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Kapplan, Sallis & Patterson, 1993) coping juga diartikan sebagai usaha untuk merubah kognitif dan tingkah laku untuk mengatur tuntutan yang spesifik baik dari luar maupun dari dalam yang bersumber dari individu. Pada dasarnya coping adalah usaha kita untuk merubah stresor atau respon dari stres.

Menurut Halonen dan Santrock (1999) coping adalah pengaturan beban dari keadaan sekitar dan usaha untuk memecahkan masalah kehidupan dan mencari jalan untuk menguasai atau mengurangi stres.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha untuk mengatur tuntutan dari lingkungan baik dari dalam ataupun dari luar dan mencari jalan untuk menguasai atau mengurangi stres.

Bentuk-bentuk Coping

Carver, Scheier dan Weintraub (1989) membagi lima strategi Problem Focused coping, dan lima strategi untuk Emotion Focused Coping. a. Problem Focused Coping

1) Active coping. Proses pengambilan langkah aktif dalam usaha untuk menghilangkan atau mengelakkan stressor atau untuk memperbaiki efek yang diberikan oleh stressor tersebut.

2) Planning. Memikirkan bagaimana mengatasi stressor, pemikiran mengenai langkah apa yang harus diambil dan cara terbaik dalam mengatasi masalah.

3) Suppression of competing activities. Mengesampingkan masalah lain, mencoba untuk menghindar dari distraksi kejadian yang lain, bahkan membiarkan masalah lain muncul, sehingga dapat berdamai dengan stressor.

4) Restraint Coping. Menunggu sampai ada kesempatan yang tepat

untuk melakukan tindakan, menahan diri dan tidak bertindak prematur. Perilaku seseorang difokuskan pada penanganan stressor secara efektif.

5) Seeking of instrumental social support. Mencari nasihat, bantuan atau informasi dari orang lain.

b. Emotion Focused Coping

1) Seeking emotional social support. Mendapatkan dukungan moral, seperti simpati atau pengertian.

2) Positive reinterpretation. Berusaha mengatur emosi distress, daripada mengatasi stressor. Dilakukan dengan menafsirkan stressor dalam arti yang positif, sehingga pada akhirnya dapat mengarahkan seseorang untuk melanjutkan tindakan yang lebih problem focused.

3) Acceptance. Respon coping yang fungsional, dalam artian seseorang yang menerima kenyataan mengenai situasi menekan akan cenderung menjadi seseorang yang akan berusaha untuk mengatasi situasi tersebut.

4) Denial. Seringkali memberi kesan kalau denial itu berguna, mengecilkan distress dan memfasilitasi coping. Akan tetapi dikatakan juga bahwa denial hanya menciptakan masalah tambahan kecuali stressornya sendiri dapat diacuhkan.

5) Turning to Religion. Seseorang dapat beralih ke agama atau kepercayaan saat berada dalam tekanan untuk berbagai macam alasan. Agama atau kepercayaan dapat menyediakan sumber dukungan emosional.

Dalam Pargament (1997) dikatakan

bahwa beberapa peneliti melaporkan, hampir sebagian besar orang melibatkan agama dalam melakukan

Page 5: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

coping terhadap peristiwa yang stressful.

Pargament (1997) menjelaskan bahwa ada dua mekanisme coping yang berkaitan dengan agama, yaitu: a. Mekanisme konservasi: agama

merupakan instrument yang pertama dan yang terpenting dalam mekanisme konservasi. 1) Preservation

Pada mekanisme ini, ada dua hal yang difokuskan yaitu usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan akhir dari signifikan dan cara-cara untuk mencapai arti atau signifikan tersebut. Ada tiga metode yang dapat dilakukan dalam preservation, yaitu: a) Marking Boundaries

Pada metode coping religius ini, individu membuat batasan-batasan yang jelas antara dunia yang dimilikinya dengan kekuatan-kekuatan di luarnya. Pada batasan ini terdapat pertahanan sebagai usaha perlindungan terhadap gangguan yang dilakukan oleh elemen-elemen asing. Motivasi untuk membuat batasan adalah untuk melindungi dan memelihara dunia religiusnya dari nilai-nilai, keyakinan, dan praktik-praktik, namun hasilnya tidak selalu berhasil.

b) Religious Perseverance Metode yang kedua adalah

religious perseverance atau ketekunan religius. Ketekunan jenis ini dipandang sebagai reaksi yang biasa terhadap tekanan dari luar (eksternal). Reaksi ini merupakan bentuk reaksi psikologis dimana ancaman terhadap kebebasan beragama bertemu dengan komitmen yang lebih besar pada dunia beragama (Brehm, dalam Pargament, 1997).

c) Religious Support Saat suatu kejadian menjadi

ancaman, maka hal tersebut perlu dikembangkan. Ini membuat orang mencari hal lain di luar diri mereka untuk menyeimbangkannya atau tanpa diminta, mereka mendapat bantuan berupa dukungan. Fungsi dukungan adalah menguatkan dan menyokong seseorang untuk melalui saat-saat yang sulit agar tetap bertahan.

2) Reconstruction Hampir sebagian besar orang

tidak mengasosiasikan agama dengan perubahan. Agama seringkali dikaitkan sebagai sesuatu yang konstan, suatu kekuatan yang mendorong pada kestabilan dan kesinambungan. Dalam mekanisme coping rekonstruktif dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a) Religious Switching, yang terbagi lagi menjadi dua:

(1) Switching Gods Tuhan dapat menjadi

figur pengganti kasih sayang yang ideal, tempat berlindung yang aman di saat terjadi masa pergolakan dalam diri, dan dasar yang aman untuk mengeksplorasi dunia.

(2) Switching Religious Groups

Dari teori perspektif coping, peralihan religius menjadi lebih disukai saat tekanan hidup mempertanyakan kemampuan dari kelompok religius dalam mengatasi masalah dan saat kelompok religius alternatif memiliki dan menawarkan solusi.

Page 6: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

b) Religious Purification Adakalanya manusia

menyimpang dari jalur yang telah ditentukan dalam ajaran agama yang diyakininya atau dengan kata lain pernah melakukan pelanggaran. Tindakan pelanggaran tersebut menjadi sesuatu yang bermakna karena hal itu merusak hubungan individu dengan hal yang suci (Tillich, dalam Pargament, 1997). Melalui ritual pembersihan, maka dosa, kejahatan atau pun hal-hal yang kotor yang diasosiasikan dengan dibersihkannya tindakan pelanggaran dalam agama.

c) Religious Reframing Dalam proses reframing,

penderitaan yang dirasakan dapat menjadi sesuatu yang dapat dijelaskan, dapat ditahan, dan bahkan bernilai. Reframing dirancang untuk mengkonservasi arti, yaitu: untuk meringankan terpaan krisis, untuk menegaskan kembali bahwa hidup mengandung makna meskipun menyakitkan, juga untuk melindungi hal yang suci.

b. Mekanisme transformasi: mekanisme coping ini khususnya memfokuskan peran agama pada dua tipe transformasi, yaitu: 1) Re-valuation

Re-valuation merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengubah arti pada saat meninggalkan jalur demi keutuhan arti tersebut. Pada tingkatan yang lain terdapat kontinuitas atau kesinambungan dimana cara hidup seseorang harus diteruskan ditengah-tengah rasa kehilangan dan perubahan dalam hidup. Pada mekanisme

coping ini agama terlibat dengan 2 cara, yaitu: a). Mencari tujuan beragama

(seeking religious purpose): pada metode coping ini subjek mencari seperangkat prioritas atau tujuan yang fokusnya bukan pada perubahan hidup secara keseluruhan akan tetapi perubahan dalam nilai-nilai. Pencarian terhadap tujuan religius melibatkan kontinuitas dan perubahan, namun time-limited. Pencarian terhadap tujuan religius mungkin menjadi langkah awal yang mudah dalam proses perubahan.

b). Ritual dari perjalanan (rites of passage): ada beberapa peristiwa penting dalam hidup pada masa transisi, yaitu: kelahiran, bertambah umur, perkawinan, dan kematian. Untuk masa-masa transisi ini terdapat ritual-ritual atau tata cara keagamaan yang dilakukan menurut agama masing-masing, seperti berpuasa, bertukar hadiah, makanan perayaan, lagu, dan tarian merupakan sebagian kecil dari bentuk ritual-ritual keagamaan (Van Gennep dalam Pargament, 1997).

2) Re-creation. Re-creation merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengubah tujuan dari arti dan jalan untuk mencapainya. Mekanisme coping ini dibagi menjadi: a). Religious conversion;

belakangan ini, sejumlah profesional di bidang kesehatan mental mengatakan bahwa konversi religius bisa jadi suatu bentuk dari brain washing atau thougt reform oleh pemujaan dan

Page 7: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

pergerakan baru keagamaan untuk memaksa individu agar menjadi anggotanya (missal, sargant; singer dalam Pargament 1997).

b). Religious forgiving; agama berkontribusi terhadap proses memaafkan melalui dua cara yaitu: agama memberi arti terhadap tindakan memaafkan dan agama juga menyediakan seperangkat model dan metode-metode untuk memfasilitasi proses ini.

Jenis Kelamin Pengertian Jenis Kelamin

Jenis kelamin atau gender menurut Denmark dan Paludi (dalam Golombok & Fivush, 1994) merupakan kategori sosial, berdasarkan pandangan dari lingkungan sosial mengenai hal yang seharusnya dimiliki oleh pria dan wanita secara fisik, kognitif, emosi dan perilaku.

Weitin dan Lloyd (1997) mengemukakan bahwa jenis kelamin merupakan keadaan menjadi pria dan wanita. Namun Koentjaraningrat (dalam Muthali’in, 2001) berpendapat bahwa jenis kelamin adalah pemilahan peran antara pria dan wanita dalam kehidupan sosial.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin adalah sifat dan keadaan jasmani atau rohani yang membedakan dua mahluk yaitu pria dan wanita menurut pandangan lingkungan sosial mengenai hal yang seharusnya dimiliki oleh pria dan wanita secara fisik, kognitif, emosi dan perilaku.

Karakteristik Pria dan Wanita

Ahmadi dan Sholeh (2005), menjabarkan beberapa perbedaan yang terdapat antara remaja pria dan wanita, antara lain : a. Pria

1). Aktif memberi

2). Cenderung untuk memberi perlindungan

3). Minatnya tertuju pada hal-hal yang bersifat intelektual dan abstrak

4). Berusaha memutuskan sendiri dan ikut berbicara

5). Bersifat objektif b.Wanita

1). Pasif dan menerima 2). Cenderung untuk meminta

perlindungan 3). Minat tertuju kepada yang

bersifat emosional dan konkrit 4). Berusaha mengikuti dan

menyenangkan orang tua 5). Bersifat subjektif.

Perawat Pengertian Perawat

Perawat didefenisikan oleh Onny (1980) sebagai seseorang yang terampil memberikan pelayanan dan perawatan, baik terhadap orang sakit dengan penuh kasih sayang, maupun terhadap orang yang sehat sehingga orang tersebut tidak mudah terkena penyakit.

Namun menurut Departemen Kesehatan R.I (1989), perawat adalah merupakan profesi yang berorientasi pada pasien yang kadang kala juga dapat merubah lingkungan biopsikososial pasien untuk belajar, berkembang dan mendorong kearah hidup yang sehat.

Perawat menurut Henderson (dalam Ali, 1999) adalah seseorang yang membantu individu baik yang sehat maupun yang sakit, dari lahir hingga meninggal agar dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara mandiri, dengan menggunakan kekuatan, kemauan, atau pengetahuan yang dimiliki.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat adalah seseorang yang terampil dalam memberikan pelayanan dan perawatan kepada individu yang sehat maupun

Page 8: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

yang sakit untuk berkembang dan mendorong kearah hidup yang sehat.

Fungsi Perawat

Perawat menurut Phaneuf (dalam Ali, 1999) memiliki tujuh fungsi yaitu sebagai berikut: a) Melaksanakan instruksi dokter. b) Observasi gejala dan respon pasien

yang berhubungan dengan penyakit dan penyebabnya.

c) Memantau pasien, menyusun dan memperbaiki rencana keperawatan secara terus-menerus berdasarkan pada kondisi dan kemampuan pasien.

d) Supervisi semua pihak yang ikut terlibat dalam keperawatan pasien.

e) Mencatat dan melaporkan keadaan pasien.

f) Melaksanakan prosedur dan teknik keperawatan.

g) Memberikan pengarahan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental.

Perbedaan Coping Stres pada Perawat Pria dan Wanita

Perawat merupakan profesi yang seringkali memunculkan stres. Tiap perawat baik pria maupun wanita dituntut untuk mampu mengatasi stres yang mereka alami karena menurut Handoko (1987) tiap orang mempunyai toleransi yang berbeda terhadap berbagai situasi stres. Banyak orang yang mudah sedih karena peristiwa ringan. Di lain pihak, banyak orang lain yang dingin dan tenang (calm) terutama karena mereka mempunyai kepercayaan diri atas kemampuannya untuk menghadapi stres.

Untuk itu diperlukan coping terhadap stres. Coping stres itu sendiri terdiri dari problem-focused coping dan emotion-focused coping. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rubin (dalam Weiten dan Llyod, 1997) pria lebih cenderung untuk memilih

problem-focused coping, sedangkan wanita cenderung untuk memilih emotion-focused coping. Terkadang ada sebagian orang yang menggunakan coping religius untuk menghilangkan stres yang mereka alami karena manusia lebih suka kembali kepada Tuhan untuk memohon pertolongan dalam keadaan yang stressful.

Pria cenderung menggunakan problem-focused coping karena pria biasanya menggunakan rasio atau logika sehingga mereka lebih memilih untuk langsung menyelesaikan masalah yang dihadapi atau langsung menghadapi sumber stres. Sedangkan wanita dikatakan lebih cenderung menggunakan emotion-focused coping karena mereka lebih menggunakan perasaan atau lebih emosional sehingga mereka cenderung untuk mengatur emosi mereka dalam menghadapi sumber stres atau melakukan coping religius dimana wanita merasa lebih dekat dengan tuhan dibandingkan pria yang kurang dekat dengan tuhan.

Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas maka dapat ditarik hipotesis yaitu: 1. Ada perbedaan problem focused

coping pada perawat pria dan perawat wanita.

2. Ada perbedaan emotion focused coping pada perawat pria dan perawat wanita.

3. Ada perbedaan religion coping pada perawat pria dan wanita.

METODOLOGI PENELITIAN Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variable-variabel yang akan dikaji adalah : 1. Variabel Terikat : Coping Stres 2. Variabel Bebas : Jenis Kelamin

Page 9: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Coping adalah usaha untuk

mengatur tuntutan dari lingkungan baik dari dalam ataupun dari luar dan mencari jalan untuk menguasai atau mengurangi stres. Skala ini berbentuk skala likert yang disusun berdasarkan strategi coping yang dilakukannya.

2. Jenis kelamin adalah sifat dan keadaan jasmani atau rohani yang membedakan dua makhluk yaitu pria dan wanita menurut pandangan lingkungan sosial mengenai hal yang seharusnya dimiliki oleh pria dan wanita secara fisik, kognitif, emosi dan perilaku. Jenis kelamin dapat dilihat dari isian identitas pada kuesioner.

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah perawat di rumah sakit umum Raden Mataher Jambi. Karakteristik subjek penelitian ini adalah perawat yang berjenis kelamin pria dan wanita berusia antara 25 – 36 tahun dan telah bekerja selama minimal 6 bulan. Teknik Pengumpulan Data 1. Skala coping stres

Skala coping stres yang disusun berdasarkan jenis-jenis coping yang dikemukakan oleh Carver, Scheier dan Weintraub (1989) serta Pargament (1997) yaitu: problem-focused coping dan emotion-focused coping serta religious coping. Ada lima strategi problem-focused coping yaitu: Active coping, Planning, Suppression of competing activities, Restraint Coping, Seeking of instrumental social support. Sementara itu ada lima strategi yang tergolong dalam emotion-focused coping yaitu: Seeking emotional social support, Positive reinterpretation, Acceptance, Denial, Turning to

Religion. Ada dua mekanisme dalam coping religius yaitu: mekanisme konservasi dan mekanisme transformasi. Mekanisme konservasi terbagi atas dua yaitu preservation dan reconstruction. Mekanisme transformasi pun terbagi atas dua yaitu re-valuation dan re-creation.

Berdasarkan hal tersebut diatas, terdapat pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan Skala coping stres dalam bentuk favorable dan unfavorable.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin dibedakan menjadi dua yaitu: pria dan wanita. Jenis kelamin dapat dilihat dari isian identitas pada kuesioner.

Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument pengukur atau tes dalam melakukan fungsi ukurnya (dalam Azwar, 1998). Sedangkan reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas alat pengumpulan data diukur melalui analisis Alpha Cronbach (dalam Azwar, 1998). Teknik Analisis Data

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini akan menggunakan independent sample t-test untuk dua kelompok yang berbeda. Teknik ini dipakai untuk menganalisa perbedaan coping stres yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan religion coping pada perawat pria dan wanita. HASIL PENELITIAN Deskripsi subjek penelitian Jenis Kelamin

Subjek dalam penelitian ini adalah perawat pria dan perawat wanita yang bekerja di Rumah Sakit Raden Mataher

Page 10: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Jambi yang berjumlah 100 orang. Perawat pria berjumlah 50 orang (50%) dan perawat wanita berjumlah 50 orang (50%). Usia

Pada perawat yang berusia 25 – 27 tahun memiliki jumlah yang paling banyak yaitu 49 orang (49%). Perawat yang berusia 28 – 30 tahun berjumlah 26 orang (26%) dan yang berusia 34 – 36 tahun sebanyak 21 orang (21%). Sedangkan perawat yang berusia 31 – 33 tahun memiliki jumlah yang paling sedikit yaitu 4 orang (4%). Lama Bekerja

Pada perawat yang telah bekerja selama 1 – 3 tahun memiliki jumlah yang paling banyak yaitu 40 orang (40%). Perawat yang telah bekerja 4 – 6 tahun berjumlah 34 orang (34%) dan yang telah bekerja selama 10 – 12 tahun berjumlah 23 orang (23%).

Uji Validitas dan Reliabilitas Skala

Perhitungan uji validitas Skala coping stres didasarkan pada pendapat Hadi (2001) yang mengatakan suatu item yang dinyatakan valid pada jumlah N=100 adalah yang memiliki koefisien validitas minimal 0,195. Dengan demikian, dari 56 item skala coping stres yang diuji cobakan terdapat 41 item yang valid dan 15 item yang gugur. Pada problem focused coping ada 12 item yang valid dan 5 item yang gugur dan memiliki korelasi item antara 0,197 – 0,384. Emotion focused coping memiliki 9 item yang valid dan 6 yang gugur dengan korelasi item antara 0,199 – 0,353 dan religion coping memiliki 20 item yang valid dan 4 item yang gugur dengan korelasi item antara 0,201 - 0,595. Sedangkan hasil uji reliabilitas pada problem focused coping sebesar 0,718; emotion focused coping sebesar 0,713 dan religion coping 0,712. Hal ini menunjukkan bahwa item adalah reliabel.

Uji Asumsi Uji Normalitas. Dari hasil uji normalitas untuk tiap strategi coping menggunakan Kolmogorov-Smirnov pada skala coping stres, diketahui normalitas problem focused coping pada pria 0,083 (p>0,05) dan pada wanita sebesar 0,091 (p>0,05). Pada emotion focused coping nilai normalitas pada pria sebesar 0,178 (p>0,05) dan pada wanita 0,100 (p>0,05). Nilai normalitas religion coping pada pria adalah 0,082 (p>0,05) dan pada wanita 0,098 (p>0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi skor coping stres untuk masing-masing strategi adalah normal. Uji Homogenitas. Hasil uji homogenitas untuk tiap strategi coping diperoleh nilai sebesar 0,253 (p>0,05) untuk problem focused coping, dan 0,238 (p>0,05) untuk emotion focused coping serta 0,617 (p>0,05) religion coping. Dengan demikian untuk tiap strategi coping stres menunjukkan hasil yang homogen. Uji Hipotesis

Dalam penelitian ini pengujian hipotesis dilakukan menggunakan uji Independent Sample t Test. Setelah dilakukan uji hipotesis untuk tiap strategi coping maka pada problem focused coping mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,682 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan problem focused coping pada perawat pria dan wanita.

Untuk emotion focused coping hal uji hipotesisnya menunjukkan tidak ada perbedaan emotion focused coping pada perawat pria dan wanita, hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi yang didapat dari hal uji hipotesis tersebut yaitu sebesar 0,473 (p>0,05).

Sedangkan dari hasil uji hipotesis untuk religion coping didapat nilai signifikansi sebesar 0,289 (p>0,05).

Page 11: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan religion coping pada perawat pria dan wanita.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan coping stres pada perawat pria dan wanita. Berdasarkan analisis, menunjukkan bahwa hipotesis yang pertama ditolak yang berarti tidak terdapat perbedaan problem focused coping pada perawat pria dan perawat wanita. Dalam Carver, Scheier dan Weintraub (1989) problem focused coping lebih ditekankan pada memikirkan bagaimana untuk menghadapi stressor yang meliputi memikirkan alternatif-alternatif yang dapat diterapkan, langkah-langkah yang harus diambil dan memikirkan bagaimana cara terbaik menghadapi masalah dan hal ini sejalan pada perawat baik perawat pria maupun perawat wanita dimana pada saat melakukan pekerjaannya perawat baik pria maupun wanita dituntut untuk tetap cepat bertindak dalam keadaan apapun meskipun dalam keadaan stres, sehingga tidak menutup kemungkinan jenis kelamin dalam hal ini tidak berpengaruh dalam hal pemilihan coping terhadap stres.

Hipotesis yang kedua juga ditolak yaitu tidak ada perbedaan emotion focused coping pada perawat pria dan wanita. Penelitian menunjukkan bahwa membicarakan masalah atau kejadian yang membuatnya stres dapat membantu dalam melepaskan kecemasan dan menenangkan diri (dalam Weiten & Llyod, 1997). Dalam hal ini membicarakan masalah yang dapat membuat stres dapat dilakukan oleh siapapun baik perawat pria maupun perawat wanita sehingga sesuai dengan hasil hipotesis yang didapat dalam penelitian ini.

Hipotesis yang terakhir pun ditolak yang berarti bahwa tidak ada perbedaan religion coping pada

perawat pria maupun perawat wanita. Hal ini didukung oleh Pargament (1997) yang mengatakan bahwa beberapa peneliti melaporkan, hampir sebagian besar orang melibatkan agama dalam melakukan coping terhadap peristiwa yang stressful dan pada umumnya orang melibatkan agama pada tingkat yang lebih besar ketika didalam situasi yang stressful.

Pemilihan coping stres yang sama oleh perawat pria dan perawat wanita sejalan jika ditinjau dari profesi yang mereka pilih, hal ini disebabkan perawat harus bertindak dengan cepat jika terjadi sesuatu dengan pasien yang mereka tangani atau bisa dikatakan mereka menggunakan problem focused coping, setelah itu barulah mereka bisa menenangkan diri mereka dengan melakukan emotion focused coping atau religion coping. Sehingga tidak menutup kemungkinan pada perawat pria dan perawat wanita menggunakan coping stres yang sama.

Namun dalam penelitian ini perawat pria dan perawat wanita menggunakan coping stres yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Pargament (1997) dalam penelitiannya mengenai pemilihan pola coping yang menyatakan bahwa persepsi subjek terhadap kemampuannya akan mempengaruhi pola coping yang ia pilih sebagai cara penyelesaian masalah. Sehingga untuk penelitian ini peneliti menduga persepsi subjek terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan masalah lebih berpengaruh daripada faktor gender dalam memilih pola coping stres.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa semua hipotesis ditolak sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pemilihan coping stres pada perawat

Page 12: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

pria dan perawat wanita, baik itu problem focused coping, emotion focused coping maupun religion coping. Hal ini dikarenakan persepsi subjek terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan masalah lebih berpengaruh daripada faktor gender dalam memilih coping terhadap stres dan mungkin disebabkan oleh tuntutan pekerjaan perawat itu sendiri dimana mereka dituntut untuk tetap cepat dalam bertindak meskipun dalam keadaan stres yang dapat mendorong mereka untuk melakukan problem focused coping terlebih dahulu dan kemudian emotion focused coping atau religion coping.

Saran 1. Saran untuk Subjek Penulis menyarankan agar subjek tetap mempertahankan coping terhadap stres seperti yang biasa dilakukannya agar stres yang diakibatkan oleh masalah yang sedang dialami dapat berkurang. Subjek juga disarankan untuk menggunakan problem focused coping agar masalah yang sedang dialami cepat terselesaikan. 2. Saran untuk Perawat Penulis menyarankan agar perawat selalu melakukan coping ketika sedang stres sehingga dapat menghilangkan stres yang dirasakan atau mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan akibat dari stres yang sedang dialami karena perawat seringkali mengalami stres ketika sedang menangani pasiennya. 3. Saran untuk Peneliti Lebih

Lanjut Penulis menyarankan untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan variabel lain yang berhubungan dengan coping terhadap stres sebagai contoh variabel dukungan sosial, penghasilan atau karakteristik kepribadian. Peneliti juga menyarankan untuk melakukan penelitian pada subjek yang berbeda seperti dokter.

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A., & Sholeh, M. (2005).

Psikologi perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ali, Z. (1999). Dasar-dasar

keperawatan profesional. Jakarta: Widya Medika.

Azwar, S. (1998). Tes prestasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Carver, C.S., Scheier, M.F., &

Weintraub, J.K., (1989). Assessing coping strategies: A theoritically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56, (2), 267-283

Chaplin, J.P. (2001). Kamus lengkap

psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Departemen Kesehatan R.I. (1989).

Hubungan antara perawat dan pasien. Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kerja Kesehatan.

Feldman, R.S. (1989). Adjustment:

Applying psychology in complex world. New York: Mc Graw Hill.

Golombok, S., & Fivush, R. (1994).

Gender development. New York: Cambridge University Press.

Hadi, S. (2001). Statistika jilid 2.

Yogyakarta: Andi. Hamilton, S., & Fagot, B.I. (1988).

Chronic stress and coping styles: A comparison of male and female undergraduates. Journal of Personality and

Page 13: Persepsi Kehamilan Pranikah pada Remaja Pelaku Aborsi

Social Psychology, 55 (5), 819-822.

Handoko, T. H. (1987). Manajemen

personalia dan sumberdaya manusia, (edisi kedua). Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Holanen, S.J., & Santrock, J.W.

(1999). Psychology contexts and application. New York: Mc Graw-Hill.

Kaplan, R.M., Sallis, J.F. Jr., &

Patterson, T.L. (1993). Health and human behavior. New York: Mc Graw-hill.

Muthali’in, A. (2001). Bias gender

dalam pendidikan. Surakarta: Muhamadiyah University Press.

Onny, B.I. (1980). Etika perawatan.

Jakarta: Bhrata Kary Aksara. Pargament, K. I. (1997). Psychology of

religion and coping: Theory, Research and practice. New York: The Guildford Press.

Pargament, K. I (2003). RCOPE scale

summary. Ohio: Bowling Green State University

Prabowo, H. (1998). Pengantar

psikologi lingkungan. Depok: Universitas Gunadarma.

Sarafino, E.P. (1990). Health

psychology: Biopsychosocial interactions. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Stone, C.G., Cohen, F., & Adler, N.

(1980). Health psychology. London: Jossey-Bass Publishers.

Weiten, W., & Llyod, M.A. (1997). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 90s. California: Brooks/Cole Publishing Company.