PERSAMAAN POKOK LAMBANG NEGARA ISLE OF MAN...

99
PERSAMAAN POKOK LAMBANG NEGARA ISLE OF MAN DENGAN PRODUK CAP KAKI TIGA MENURUT SUDUT PANDANG WTO DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL (Analisis Putusan No.582 K/Pdt.Sus-HaKi/2013 antara Russel Vince Vs. Ken Wen Drug. Ltd ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh Milzam Elkarami B NIM :1112048000030 K O N S E NT R A S I H UK U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016M

Transcript of PERSAMAAN POKOK LAMBANG NEGARA ISLE OF MAN...

PERSAMAAN POKOK LAMBANG NEGARA ISLE OF MAN DENGAN

PRODUK CAP KAKI TIGA MENURUT SUDUT PANDANG WTO

DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

(Analisis Putusan No.582 K/Pdt.Sus-HaKi/2013 antara Russel Vince Vs. Ken Wen Drug.

Ltd )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh

Milzam Elkarami B

NIM :1112048000030

K O N S E NT R A S I H UK U M B I S N I S

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016M

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas

segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“PERSAMAAN POKOK LAMBANG NEGARA ISLE OF MAN DENGAN PRODUK

CAP KAKI TIGA MENURUT SUDUT PANDANG WTO DALAM PERJANJIAN

INTERNASIONAL ( Analisis Putusan No.582K/Pdt.Sus-HaKi/2013)” dengan lancar dan baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW

beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.

Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua

orang tua tercinta Ayahanda , DRS. Elvis Bahar,S.H dan Ibunda Sofia Harisz,S.E yang telah

sepunuh hati mendukung penulis tanpa henti hingga detik ini baik dukungan secara moral serta

moril hingga skripsi ini dapat terlesaikan sesuai dengan dengan yang diharapkan. Skripsi ini

merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini

banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena

itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

vi

3. Dr. Nahrowi,S.H.,MH dan Amrizal Siagian,S.Hum,M.Si. selaku dosen pembimbing

skripsi dan juga motivator yang begitu luar biasa. Kesabaran dan ketulusan dalam

membimbing penulis untuk selalu menjadi pribadi yang luar biasa. , semoga bapak di

berikan kelancaran dalam Segala urusan kedepan nya

4. Adik tercinta Fakhrana Elkhalisa Bahar dan Tyrafi El Mumtaz Bahar yang telah

memberikan dukungan dan semangatnya serta yang telah menemani penulis sejak kecil

hingga selesainya penulisan skripsi ini. .

5. Sahabat-sahabat penulis di Ilmu Hukum UIN Jakarta angkatan 2012, saudara M.Yusuf,

Feby Adelia Paramita, Tiffany, Sicco S, Choir Hasibuan, Benny, Qoshy Soraya, Nur

Jannah, Roby S, Izzul Mutho, , Muchtar, Novia A, Anshor dan seluruh teman-teman Ilmu

Hukum Angkatan 2012 yang tidak bisa penulis sebutkan semua dan sangat penulis

banggakan semoga kesuksesan akan menaungi selalu

6. Keluarga Psantren Luhur Sabilusalam yang tidak mungkin bisa penulis bisa lupakan

selama menjadi mahasantri pengalaman yang tidak bisa di gambarkan oleh sebuah tulisan

tentang sebuah arti sahabat yang sama seperti keluarga Terkhusus untuk keluarga Forkat

dan ISTIQOMAH 2013, saudara Rofiq,Awing,Buyung,Iqbal Reyza , Adon,Syahrul

Rizal,Beni,Syahrul,Syahri,Andri dan saudari , Ikhda , Deca Aay ,Arin, Omeh, , Ida, dan

semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu semoga kekeluargaan kita selalu

di abadikan dan menjadi motivasi untuk lebih baik kelak

7. Teman-Teman KKN STAR UIN jakarta yang telah memberikan nuansa selama satu

bulan pebuh yang penuh dengan moment-moment, serta dukungan selama berjuang

mengerjakan skripsi terimakasih untuk kebersamaan selama ini

` vii

8. Segenap pihak yang terlibat dalam KKN di desa situ ilir yang telah banyak membantu

penulis untuk lebih semangat dalam menyelesaikan skripsi

9. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah

SWT.

Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila

terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 19 Sebtember, 2016

Milzam El Karami Bahar

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASYAH.......................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN......................................................................................................... iii

ABSTRAK.................................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR.................................................................................................................. v

DAFTAR ISI............................................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1

B. Batasan masalah...................................................................................................... 9

C. Rumusan Masalah................................................................................................... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................................... 9

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu..................................................................... 10

F. Kerangka Teoritis.................................................................................................... 12

G. Metode Penelitian..................................................................................................... 14

BAB II. PENGATURAN MEREK SEBAGAI BAGIAN DARI HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL

A.Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Nasional dan Internasional..........................19

B. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual................................................................... 32

C. Persamaan Keseluruhan dan Persamaan Pokoknya Dalam Ruang Lingkup Merek.... 45

BAB III PERANAN WTO DALAM DUNIA INTERNASIONAL

A. Posisi WTO Dalam Dunia Internasional ................................................................... 49

B. Penerapan TRIPs Sebagai Bagian Dari Konsepsi Perjanjian WTO........................... 62

C. Konvensi Internasional Terkait Dengan Hak Kekayaan Intelektual............................65

ix

BAB IV ANALISIS KASUS PUTUSAN MA MENGENAI NEGARA ISLE OF MAN

MELAWAN CAP KAKI TIGA

A. Kasus Posisi Isle of Man Versus Cap Kaki Tiga ...................................................... 68

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Antara Russel Vince

Melawan Ken Wen Drug,Ltd Produk Larutan Cap Kaki Tiga................................... 72

C. Analisis Penulis Terhadap Putusan Hakim Nomor 582 K/ Pdt.Sus-HaKi/2013...... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................................ 85

B. Saran........................................................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi mendorong

arus globalisasi di bidang industri dan perdagangan. Dengan kemudahan sarana

informasi dan telekomunikasi yang ada.1Perdagangan antar negara dapat

dilakukan langsung dari belakang meja, menembus batas-batas negara, membuat

siapapun bebas bertransaksi dengan mitranya di seluruh dunia sehingga secara

tidak langsung kemajuan di bidang telekomunikasi tersebut telah menjadikan

dunia sebagai suatu pasar tunggal bersama.

Perlindungan hak merek secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang

membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta.

Kreativitas dan aktivitas para pencipta dalam rangka memacu pertumbuhan untuk

mendorong para pelaku usaha tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin

disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar

benar mereka peroleh.

Oleh karena itu, perlindungan hak merek dalam perdagangan internasional

adalah suatu keharusan. Untuk perlindungan pelaku usaha, secara internasional

saat ini ada beberapa konvensi internasional antara lain ada Word Trade

Organization yang sebagai penengah perdangangan dunia yang telah diratifikasi

1 Tim Lindsey,dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, ( Bandung:

P.T.Alumni,2003),h.162

2

oleh negara-negara anggota, lalu ada TRIPs Aggrement, Bern convention,

Universal Copy Rights Convention, Rome Convention, Paris Covention. Ada

juga perjanjian yang bersifat bilateral seperti perjanjian Indonesia dengan

Amerika mengenal karya cipta.

Seperti yang telah dikemukakan, Word Trade Organization sebagai suatu

perjanjian internasional atau Internasional Treaty dapat dilihat secara mendalam

dari segi yuridis, walaupun penguasaan masalah Word Trade Organization

memerlukan suatu pengertian pula dari segi yuridis, tentunya Word Trade

Organization tidak dapat dilihat hanya dari kacamata yuridis. Namun

sebaliknya, hal ini tidak mengurangi pentingnya melihat Word Trade

Organization dari segi yuridis yang merupakan hukum internasional

(internasonal law)2. Karena itu dari segi yuridis dari Word Trade Organization

perlu dipahami secara cukup mendalam, bukan saja oleh para ahli hukum, tetapi

juga oleh pihak lain yang ingin mengerti dimana Word Trade Organization

sebagai lembaga yang menaungi negara yang sudah menjadi anggota dari Word

Trade Organization dengan lebih dari 150 negara yang terdaftar sebagai anggota

ini menunjukkan bagaimana poisisi penting Word Trade Organization dalam

mengatur dan memiliki peranan strategis dalam hak merek khususnya dalam

perdagangan internasional.

Melihat masalah nya lebih jauh lagi, sebagai suatu perjanjian internasional

Word Trade Organization merupakan serangkaian aturan permainan di bidang

2 JG.Starke, Pengantar Hukum Internasional, ( Jakarta ; Sinar Grafika, 1995), h.35.

3

perdagangan yang mengatur segala ruang lingkup perdagangan antara negara-

negara anggota yang menjadi kesepakatan bersama dengan aturan-aturan telah

disepakati baik dalam pelaksanaan sampai penyelesaian sengketa. Dengan kata

lain, Word Trade Organization dapat dilihat secara keseluruhan sebagai suatu

sistem yuridis. Dengan demikian, Word Trade Organization adalah bagian dari

studi mengenal hukum internasional maupun sebagai studi khusus mengenai

international commercial law ataupun privat internasional law.3

Indonesia termasuk sebagai anggota organisasi perdagangan dunia (World

Trade Organization) yang telah ikut meratifikasi Konvensi Internasional tentang

(Agreement Estalibshing The World Trade Organization) dengan Keppres Nomor

7 Tahun 1994 tentang persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia

(WTO). Indonesia yang meratifikasi konvensi paris juga mengatur perlindungan

hukum di bidang hak merek yang dimana megenai merek diatur dalam pasal 6

konvensi Paris serta dalam persetujuan TRIPs.4 Sebagai konsenkuensi dari

ratifikasi konvensi Paris dan persetujuan TRIPs, Indonesia perlu memberikan

perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual di bidang merek.5

3 H.S Kartadjoemena, GAAT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang

Perdagangan , Jakarta ; Penerbit UI-Press, 1996, h.82-85.

4 TRIPs ( Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) merupakan salah satu

kesepakatan dibawah organisasi perdagangan dunia atau WTO ( World trade Organization ) yang

bertujuan menyeragamkan sistem hak kekayaan intelektual di seluruh negara anggota WTO

5 Insan Budi Maulana, A-B-C Desain Industri Teori dan Praktek di Indonesia, cetakan pertama,

(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010), h.15

4

Pada masa sekarang atau sejak indutrialisasi berkembang, merek menjadi

faktor kunci dunia perdagangan dalam era perdagangan global, peranan merek

menjadi penting terutama untuk persaingan bisnis yang sehat.6 Merek menjadi

sebuah simbol atau nilai penting dari suatu perusahaan yang akan menawarkan

produknya. Agar konsumen lebih mudah dalam menentukan pilihan akan barang

yang akan dibeli.

Bagi konsumen merek merupakan hal penting untuk dapat menemukan dan

memilih produk tepat, sesuai yang dinginkan oleh mereka, di bidang industri

merek juga berperan sangat penting yaitu untuk meningkatkan dan

mensinergiskan pertumbuhan industri yang sehat dan menguntungkan semua

pihak. 7

Begitu pentingnya sebuah merek sehingga banyak terjadi kasus perebutan

pemalsuan merek diantara persaingan usaha tersebut yang dapat mengakibatkan

terjadinya kecurangan dan persaingan tidak sehat dalam dunia perdagangan dan

perindustrian. Walaupun telah diatur sedemikian rupa oleh undang-undang merek

namun tetap saja banyak terjadi pemalsuan dan penyalahgunaan merek oleh para

pelaku yang beritikad tidak baik hal ini tentu saja sangat merugikan pelaku bisnis

yang lain karena dapat berdampak berkurangnya omzet perusahaan dan hilangnya

6 Gloria Gita Putri Ginting, Perlindungan Hukum Merek Terkenal Tidak Terdaftar di Indonesia,

h.17. 7 Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2006), h.131.

5

kepercayaan masyarakat pengguna, akibat tidak samanya kualitas dan kuantitas

produk atau jasa yang diberikan. 8

Merek bisa mengidentifikasi asal-usul barang dan jasa, untuk

mempertahankan nama dagang tertentu bahkan dari satu merek bisa berkembang

lagi menjadi beberapa desain industri dan paten, sangatlah penting sosialisasi

yang konsisten dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual agar

masyarakat kita sadar hukum khususnya dalam bidang Hak Kekayaan

Intelektualnya agar mampu melindungi kekayaan intelektual dari orang-orang

yang beritikad tidak baik oleh karena itu merek sangat penting untuk didaftarkan.

Sistem pendaftaran Hak Kekayaan Intlektual di Indonesia adalah “First to

file” atau bisa disebut juga “First to Register” yang artinya siapa saja yang lebih

dahulu mendaftarkan maka dialah pemilik yang berhak menggunakan mereknya

yang disebut juga “Hak Ekslusif” yakni hak yang diberikan oleh Negara kepada

pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu

tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin

kepada pihak lain untuk menggunakannya.9

Hak atas merek tidak mungkin ada tanpa melakukan pendaftaran

dikarenakan pendaftaran merek mutlak sifatnya untuk memperoleh hak atas

merek, hal ini akan sangat menjadi kendala bagi pemilik Hak Kekayaan

8 Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2008), h.17.

9 Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2008), h.12.

6

Intelektual yang berada di luar pulau Jawa karena memerlukan biaya dan waktu

yang tidak sedikit agar pendaftarannya dapat segera diterima di Direktorat Jendral

Kekayaan Intelektual oleh sebab itu Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual

segera membuka kantor-kantor perwakilan di setiap provinsi agar pemilik Hak

Kekayaan Intelektual yang berada di luar pulau Jawa dapat mendaftarkan

mereknya.

Sementara Didalam hukum perdata, pelanggaran hak tersebut dikenal

dengan istilah Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) yang mengakibatkan si

tergugat diharuskan mengganti kerugian yang diderita pemilik merek dalam kasus

penyalahgunaan atau pelanggaran merek yang telah didaftarkannya. Jadi terdapat

dua undang-undang yang bisa digunakan oleh pemilik merek yang merasa

dirugikan dengan cara menggugat baik dengan menggunakan UU No. 15 Tahun

2001 tentang Merek maupun dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

tentu saja semua itu tergantung dari dasar gugatannya, walaupun dalam bidang

hukum kita mengenal asas “Lex specialis derogat lex generalis” yaitu undang-

undang yang bersifat khusus mengesampingkan yang bersifat umum.10

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dalam dunia internasional dikenal

dengan yang namanya World Trade Organization (WTO) yaitu suatu organisasi

yang memegang peran utama dalam mengatur sengketa perdagangan

10

Insan Budi Maulana dikutip dalam Ridwan Khairandy, Perlindungan Hukum Merek dan

Problematika Penegakan Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual, (Yogyakarta: Pusat

Studi Hukum UII dan Yayasan Klinik HaKI, 2000) h.114.

7

internasional yang di mana multilateral World Trade Organization diatur melalui

suatu persetujuan yang berisi aturan aturan dasar perdagangan internasional

sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota

dalam masalah merek.

Harusnya UU Merek di Indonesia serta WTO dapat memberikan

perlindungan serta pengawasan bagi pendaftar yang dimana dengan regulasi

sebelum para penegak hak cipta mendaftarkan barang dan jasanya sesuai dengan

yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek

baik itu merupakan huruf-huruf, angka-angka, susunan warna ataupun kombinasi

dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dengan yang lainnya agar

tidak terjadi permasalahan yang terjadi di kemudian hari baik gugatan kepada

pendaftar pembatalan ataupun penghapusan yang dimana akan ada pihak yang

merasa dirugikan.

Salah satu sengketa merek dalam lingkup internasional telah ditangani oleh

Mahkamah Agung dan diputuskan dalam putusan Mahkamahh Agung Nomor.582

K/Pdt.Sus-HaKi/2013, dalam putusan tersebut bahwa warga negara Inggris

Russel Vince selaku penggugat dan ken Wen Drug Ltd selau tergugat

memenangkan Russel Vince dalam perkara ini yang menganggap bahwa Cap

Kaki Tiga dinyatakan bersalah atas lambang yang menyerupai lambang negara

Isle of Man dalam posisi kasus tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses ini ada

suatu permasalahan dalam sudut pandang WTO yang diperlukan campur

8

tangannya dalam melihat kasus yang terjadi antara Cap Kaki Tiga dengan warga

negara Inggris yang mewakili negara Isle of Man.

Jika dilihat lebih jauh memang secara teorinya Indonesia sudah mempunyai

peraturan tersendiri mengenai aturan dalam permasalahan merek dan menjadi

salah satu landasan hakim dalam memutuskan sebuah masalah dalam sengketa

merek namun juga harus dilihat bahwa Indonesia adalah salah satu dari negara

anggota World Trade Organization yang juga meratifikasi dan terikat dalam

perjanjian internasional yang dimana World Trade Organization mempunyai

aturan sendiri dalam masalah pelanggaran hak merek dalam masalah perdagangan

dalam penyelesaian sengketa dan wewenang yang sudah berlaku kepada negara

anggota yang terlibat.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah maka penulis tertarik

untuk membahas permasalahan yang timbul dalam suatu karya ilmiah mengenai

prosedur haki khususnya mengenai merek serta kebijakan hakim dalam

menyelesaikan perkara antara Cap Kaki Tiga dengan negara Isle of Man yang

dimana hakim Mahkamah agung pengadilan Jakarta pusat pada kasus ini

memenangkan warga negara Inggris yang menggugat merek Larutan Cap Kaki

Tiga dalam bentuk skripsi dengan judul “PERSAMAAN POKOK LAMBANG

NEGARA ISLE OF MAN DENGAN PRODUK CAP KAKI TIGA

MENURUT SUDUT PANDANG WTO DAN PERJANJIAN

INTERNASIONAL DALAM PENERAPAN PERLINDUNGAN MEREK DI

INDONESIA ( Analisis Putusan No.582 K/Pdt.Sus-HaKi/2013)”

9

B. Batasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat

mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni,

penelitian ini difokuskan mengkaji pengaturan merek dagang asing di Indonesia

berdasarkan peraturan yang berlaku tentang merek sesuai dengan permasalah

putusan Nomor 582 K/ Pdt.Sus-HaKi/2013.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana Pengaturan terkait merek baik dalam ruang lingkup nasional

maupun internasional?

b. Bagaimanakah peran WTO dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

Bagi Negara Anggota WTO ?

c. Apakah pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan

sengketa antara merek Cap Kaki Tiga denga negara Isle Of Man sudah tepat

dan sesuai dengan Prinsip-Prinsip dasar WTO dan TRIPs?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan Hak Kekayaan Intelektual yang terkait tentang

10

merek dan telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan

penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk Mengetahui pengaturan yang terkait dengan merek baik dalam

Ruang Lingkup Nasional dan Internasional

b. Untuk menganalisis faktor-faktor peran WTO dalam sengketa perdagangan

dunia internasional.

c. Untuk mengetahui akibat hukum dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang merek terutama dalam pembatalan merek terhadap lambang

Cap Kaki Tiga sesuai dengan kasus Putusan No.582 K/Pdt.Sus-HaKi/2013

serta perlindungannya.

2. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini, antara

lain sebagai berikut:

a. Akademisi :Perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat umum,

melengkapi bahan atau literatur atau kepustakaan Hak Kekayaan

Intelektual. Khususnya dalam perlindungan merek.

b. Diharapkan berguna bagi alat penegak hukum sebagai pemecahan sengketa

yang timbul dalam kepemilikan hak merek

c. Praktisi : Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan dengan

penelitian-penelitian terdahulu dalam rangka mengembangkan

kepemahaman hak merek

11

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan

menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan

kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Nama Penulis/Judul

skripsi, Jurnal,

Buku/Tahun

Substansi

Alinda Yani/

Perlindungan Hukum

atas Karya Cipta Seni

Lukis (Analisis Putusan

Mahkamah Agung No.

596k/Pdt.Sus/2011).

FSH UIN Jakarta.

Dalam skripsi ini, membahas mengenai

perlindungan hukum karya cipta lukisan seperti

gambar ikan air dan objek-objek lainnya bagi para

pencipta yang dimana banyak dijiplak karyanya

untuk kepentingan baik individu ataupun secara

kelompok.

Riviantri Putra/

Perlindungan Hukum

terhadap Hak Cipta

Lagu dan Musik di

Media Internet (Analisa

Putusan Mahkamah

Agung Nomor 385

Membahas tentang perlindungan hukum bagi para

pencipta lagu seperti menjual lagu-lagu yang illegal

atau bajakan di media intenet serta menduplikat

nada atau irama baik sama persis ataupun mendekati

12

K/Pdt.Sus/2009)/

Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Firmansyah/

Perlindungan Hukum

Merek terkenal

Terhadap Tindakan

Passing off

Bedasarkan Hukum

positif di Indonesia/

Jurnal/Fakultas Hukum

Universitas

Mataram/2014.

Jurnal ini lebih menganalisa pada eksistensi merek

terkenal dalam perkembangan bisnis di Indonesia

sangatlah penting, mengingat merek mempunyai

peran penting terkait dengan reputasi dan image

suatu produk, selain itu dalam perdagangan barang

atau jasa dan padanya melekat hak ekonomis, yang

dimana akhirnya banyak terjadi pelanggaran merek

terutama pada merek-merek terkenal, maka dari

pada itu eksistensi merek terkenal di Indonesia

memang harus diperhatikan khususnya dalam

perkembangan bisnis.

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis

menguraikan perihal masalah Hak Kekayaan Intelektual yang menitikberatkan

pada peran WTO dalam hukum-hukum kepada negara yang telah meratifikasi

perjanjian internasional dan sudah terdaftar menjadi negara anggota bagaimana

pertimbangan hakim dalam memutus sampai keputusan kasasi dan bagaimana

kekuatan hukum dari pihak Cap Kaki Tiga atas gugatan yang sesuai dengan

Putusan Nomor 582 K/Pdt.Sus-HaKi/2013 dengan konsep HaKi di Indonesia.

F. Kerangka Teoritis

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual merupakan implementasi era pasar

bebas bagi negara-negara di dunia, khususnya bagi negara Indonesia dan

13

masyarakat Indonesia agar dapat menjual produk/karya ciptaannya ke luar negeri

secara bebas. Oleh karena itu, sudah selayaknya karya yang diciptakan oleh HKI

mendapatkan perlindungan yang efektif dari segala tindak pelanggaran yang tidak

sesuai TRIPs. Serta konvensi-konvensi yang telah di sepakati. Salah satu haki

yang harus dilindungi salah satunya adalah merek. Merek merupakan hal yang

sangat penting bagi dunia bisnis. Merek yang sudah menjadi terkenal dan laku di

pasar tentu saja akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainnya

memacu produknya agar bersaing dengan merek terkenal. Bahkan dalam hal ini

akhirnya muncul masalah dalam persaingan tidak sehat. Merek dianggap sebagai

roh dari produk barang atau jasa.11

Merek sebagai tanda pengenal dan tanda

pembeda dapat menggambarkan kepribadian dan reputasi barang dan jasanya

sewaktu diperdagangkan. Apabila dilihat dari sudut produsen merek digunakan

sebagai jaminan produksi khususnya mengenai kualitas. Disamping untuk

mempromosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar.

Selanjutnya, dari sisi konsumen merek berguna untuk mencari barang-barang

yang akan dibeli.12

Dalam hukum merek terhadap ajaran atau doktrin dari persamaan yang

timbul berkaitan dengan disfungsi merek. Yaitu untuk membedakan antara barang

11

Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1997), h.60.

12

Wiratmo Dianggoro,”Pembaharuan Undang-Undang Merek dan Dampaknya Bagi Dunia

Bisnis”, artikel pada Jurnal Bisnis, vol 2, 1997, h. 34.

14

dan jasa yang satu dengan yang lainnya. Ada dua ajaran dalam persamaan merek

yaitu:13

ers

1. Doktrin persamaan keseluruhan.

2. Doktrin persamaan identik.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis empiris

yang berarti penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan-penerapan,

kaidah-kaidah, atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe

penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan

hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta

literatur yang berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan

dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah di dalam penelitian hukum terdapat beberapa

pendekatan yang dapat digunakan. Metode pendekatan masalah yang

digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekataan Perundang-undangan (statute

approach). Pendekataan perundang-undangan (statute approach) yaitu

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

13

M. Yahya Harahap, “Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h.288.

15

bersangkut-paut dengan isu hukum yang akan dihadapi dan dipecahkan.

Dalam pendekatan perundang-undangan ditujukan untuk mempelajari

kesesuaian dan konsistensi antara satu undang-undang dengan undang-

undang lainnya, atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar,

atau antara regulasi dengan peraturan perundang-undangan.14

a. Pendekatan Perundang-undangan

b. Pendekatan Kasus

Dalam penelitian ini menggnakan putusan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha Nomor 01/KPPU-M/2014 antara WEN DRUG Co. Pte, Ltd beralamat

di 2 Alexander Roads #02-08, Delta House Building, Singapore dengan

Russel Vince, seorang berkewarganegaraan Inggris dengan nomor passport

099182039.

3. Sumber Data

. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-

catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama

yang biasa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil

penelitian, laporan, dan lain sebagainnya. Data sekunder dalam penelitian ini

dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media,2008, h. 29.

16

b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait

Hukum persaingan usaha khususnya mengenai merek.

c. Bahan hukum tersier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang

mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus

Hukum.

4. Metode Pengumpulan Data

Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal dua jenis alat

pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau

observasi. Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh

data, maka alat pengumpulan data yang dipergunakan penulis adalah studi

kepustakaan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research) yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku

yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual.

5. Analisa Bahan Hukum

Analisa bahan hukum merupakan suatu cara yang digunakan untuk

menentukan jawaban atas pokok permasalahan yang timbul dari fakta hukum,

proses tersebut dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu:

a. Mengindentifikasi Fakta Hukum dan Mengeliminir Hal-Hal yang Tidak

Relevan untuk Menetapkan Isu Hukum yang Hendak Dipecahkan;

17

b. Pengumpulan Bahan-Bahan Hukum yang Sekiranya Dipandang

Mempunyai Relevansi Juga Bahan-Bahan Non Hukum;

c. Melakukan Telah Atas Permasalahan yang Akan Dibahas yang Diajukan

Berdasarkan Bahan-Bahan yang Telah Dikumpulkan;

d. Menarik Kesimpulan dalam Bentuk Argumentasi dalam Menjawab

Permasalahan yang Ada;

e. Memberikan Preskripsi berdasarkan Argumentasi yang Telah Dibangun di

Dalam Kesimpulan.15

Untuk menarik hasil analisis yang digunakan adalah metode Induktif

yang berarti suatu yang berpangkal dari hal yang umum ke hal yang khusus.

Yang nantinya dapat mencapai suatu mencapai suatu tujuan dalam penulisan

skripsi ini yaitu menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan, sehigga

nantinya dapat memberika Preskripsi mengenai apa yang seharusnya

dilakukan dan dapat diterapkan.16

6. Metode penulisan

Metode penulisan yang digunakan penulis adalah melalui refrensi-

refrensi buku dan pandangan para ahli dalam permasalahan yang akan penulis

bahas pada judul ini yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam

penulisan skripsi.

15

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2005), h.

171. 16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2005), h.

206.

19

BAB II

MEREK SEBAGAI BAGIAN DARI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Nasional Dan Internasional

1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

Di era kemajuan seperti sekarang dimana dapat dengan sangat

mudahnya masyarakat dalam mengakses informasi baik dalam ruang

lingkup jauh dan yang dekat memungkinkan masyarakat untuk berinovasi

tentang karya-karya atau gambaran yang akan dikembangkan namun untuk

menghindari hal-hal atas menirukan atau menyerupai sebuah karya baik

meniru sebagian atau sepenuhnya ataupun menyerupai maka dari itu harus

ada peraturan yang mengakomodir atas pencipta karya seni yang telah

diatur dalam Hak Kekayaan Intelektual atau biasa disingkat dengan istilah

HKI yang dimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang Hak Merek. Hak Merek adalah hak ekslusif bagi pencipta

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu

pengetahuan, seni dan sastra yang antara lain dapat terdiri dari buku,

program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis

dengan itu serta hak yang terkait dalam hak Merek, lambang, dan yang

sejenis dengan itu.1

1 Prof. Tim Lindsey BA, LL. B., Blitt., Ph.D., Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT.

Alumni, 2005), h. 6.

20

Menurut Agus Sardjono Hak Kekayaan Intelektual adalah hak yang

timbul dari aktivitas intelektual manusia dalam bidang industri, ilmu

pengetahuan, sastra dan seni.2

Menurut Ahmad M. Ramli, Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu

hak yang timbul akibat dari adanya tindakan kreatif manusia yang

menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan

manusia.3

Menurut Saidin, Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak

atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, hasil

dari kerja manusia yang bernalar, hasil kerjanya itu merupakan hasil kerja

immaterial. Benda tidak berwujud.4

Menurut Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual adalah product of

mind atau oleh world intellectual property organiztation atau WIPO disebut

“creation of the mind” yang berarti suatu karya manusia yang lahir dengan

curahan tenaga, karsa, cipta waktu dan biaya. Segala jerih payah itu menjadi

kontribusi yang memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu setiap karya

intelektual patut diakui, dihargai dan dilindungi baik secara moral, etika

maupun secara hukum.5 Dalam teorinya hak kekayaan intelektual itu adalah

hak kebendaan, hak atas suatu benda dari hasil kerja otak, dan hasil kerja

2 Prof. Tim Lindsey BA, LL. B., Blitt., Ph.D., Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT.

Alumni, 2005), h.7

3 Prof. Tim Lindsey BA, LL. B., Blitt., Ph.D., Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT.

Alumni, 2005), h.7

4 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),

h. 9.

5 Henry Soelistyo, 2011, Op.cit, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2006, h. 2.

21

rasio. Hasil kerjanya itu baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Misalnya, sebuah karya seni lambang dari suatu ikon perusahaan atau produk

untuk menciptakan sebuah simbol yang bisa menarik masyarakat untuk

melihat dan mengingat agar menjadi sebuah produk yang dikenal di pasaran

diperlukan pekerjaan otak. Hasil otak itu kemudian dirumuskan sebagai

intelektualitas ketika lambang itu tercipta bedasarkan hasil kerja otak yang

dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan

hasil kerja fisik, seperti Petani mencangkul, menanam, dan menghasilkan

buah-buahan, maka buah-buahan tadilah yang disebut sebagai hak milik.

Jika ditelusuri lebih jauh, hak kekayaan intelektual sebenarnya

merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril).6

Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan kedalam

beberapa kategori. Salah satu diantara kategori itu adalah pengelompokan

benda kedalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud, untuk

itu dapat dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH

perdata, yang berbunyi: menurut paham Undang-Undang yang dimaksud

dengan benda adalah tiap-tiap benda atau tiap-tiap barang yang dikuasai oleh

hak milik.7

Perlindungan dalam Hak Kekayaan Intelektual lebih dominan pada

perlindungan individual namun untuk menyeimbangkan kepentingan individu

6 H.OK. Saidin, S.H., M.Hum., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Rajawali pers,

Jakarta, 2010), h. 31.

7 R. Soebekti, Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 20.

22

dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Kekayaan Intelektua

mendasarkan diri pada prinsip sebagai berikut:

a. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta sebuah karya tulis orang lain yang bekerja membuahkan

hasil dari kemampuan intelektualnya, maka wajar memperoleh imbalan-

imbalan tersebut seperti berupa materi atau adanya rasa aman karena

dilindungi dan diakui hasil karyanya, hukum memberikan perlindungan

tersebut demi kepentingan pencipta berupa kekuasaan untuk bertindak

dalam rangka kepentingannya tersebut, yang kita sebut hak. Setiap hak

menurut hukum mempunyai tittle, yaitu peristiwa tertentu yang menjadi

alasan melekatnya tittle. Hasil karya adalah penciptaan yang mendasarkan

atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini tidak terbatas di dalam

negeri penemu itu sendiri, melainkan juga dapat meliputi perlindungan di

luar batas negaranya.

b. Prinsip Ekonomi (the economy argument)

Hak kekayaan intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil

kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang memiliki

manfaat serta berguna dalam kehidupan manusia. Hak Kekayaan

Intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari

kepemilikannya seseorang akan mendapatkan keuntungan misalnya dalam

bentuk pembayaran royalty dan technical fee.8

c. Prinsip Kebudayaan (the culture argument)

8 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak keyaan Intelektual dan Budaya Hukum,(

Jakarta, Raja Grafindo,2005)h.32

23

Karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan

hidup, selanjutnya dari hidup itu pula akan timbul suatu gerak hidup yang

harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian

maka pertumbuhan, pekembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra

sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban,

martabat manusia serta memberikan kemaslahatan bagi masyarakat,

bangsa dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya, jasa dan cipta manusia

adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan dari suatu perwujudan

suasana yang diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat

untuk mendorong dan melahirkan ciptaan baru.

d. Prinsip Sosial (the social argument)

Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan

yang berdiri sendiri dan terlepas dari manusia lain, tetapi hukum mengatur

manusia sebagai warga masyarakat. Dengan demikian hak apapun yang

diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau suatu

perseketuan atau kesatuan lain, tidak boleh diberikan kepada perseorangan,

perseketuan atau kesatuan lain, tetapi pemberian hak kepada perseorangan,

perseketuan atau kesatuan itu diberikan dan diakui oleh hukum. Oleh

karenanya dengan diberikannya hak tersebut kepada perseorangan,

persekutuan, dan kesatuan hukum itu, kepentingan masyarakat akan

terpenuhi.9

9 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak keyaan Intelektual dan Budaya Hukum,(

Jakarta, Raja Grafindo,2005)h.33

24

Berdasarkan perkembangan Hak Kekayaan Intelektual yang terbaru

mempunyai tujuh cabang yaitu: (1) Hak cipta dan Hak terkait, (2) Merek,

(3) Paten, (4) Rahasia Dagang, (5) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, (6)

Desain Industri, dan (7) Perlindungan Varietas Tanaman.

Maka dari itu jika dilihat bentuk keberadaannya Hak Kekayaan

Intelektual merupakan suatu tatanan penting dalam berlangsungnya

kehidupan bermasyarakat dalam menjalankan roda perekonomian.

Pada Kekayaan intelektual pun tidak lepas dengan yang di

namakan kesepakatan, dalam tulisan ini penulis mencoba menggambarkan

sebagai berikut:

a. Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau

himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu

bentuk yang saling berhubungan atau saling ketergantungan yang

teratur; sesuatu himpunan bagian bagian yang tergabungkan secara

ilmiah oleh budidaya manusia sehingga menjadi satu kesatuan yang

bulat terpadu.

b. Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun dan

terorganisasir, suatu himpunan gagasan, prinsip doktrin, hukum dan

sebagainya yang dibentuk oleh satu kesatuan yang logik dan dikenal

sebagai isi buah pikiran.

c. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau

metode pengaturan organisasi atau mode tata cara. Dapat juga dalam

arti suatu bentuk atau pola pengaturan pelaksanaan atau pemrosesan

25

dan juga dalam metode pengelompokan pengkodifikasian, dan

sebagainya. Misal sistem pengelompokan bahan pustaka menurut

Dewey (Dewey decimal clasification).10

Dengan paradigma ini, sepertinya sistem hukum dapatlah

dipandang sebagai sesuatu yang dinamis pula, dalam arti hidup, tumbuh

dan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia

yang dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.11

Terlepas dari itu semua, kiranya Indonesia sudah saatnya pula

mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan hak

atas kekayaan intelektual ini dalam satu kerangka sistem.12

2. Sistem dan Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual dalam Kerangka

Hukum Nasional dan Internasional

a. Hak Kekayaan Intelektual dalam Kerangka Hukum Nasional

Hal lain yang perlu dikaji melalui pendekatan sistem adalah aspek

budaya hukum (culture of law). Khusus mengenai perlindungan Hak

atas Kekayaan Intelektual dalam bidang hak cipta iklim budaya

Indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya

hukum Barat. Para pencipta Indonesia sangat “berbesar hati“ bila

ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis,

10

Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 2-3.

11

Moh. Mahfud MD, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII

Press, 1999), h. 335.

12

Moh. Mahfud MD, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII

Press, 1999), h. 336.

26

pemahat dan pematung di Bali sangat gembira apabila karya ciptaannya

ditiru oleh orang lain.

Begitu pula jika ada kunjungan para pejabat luar negeri ke pabrik

atau ke berbagai pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat kita

dengan senang hati memperkenalkan hasil temuan kita kepada “publik

luar” tersebut, memberikan penjelasan, memperkenalkan untuk

menggunakan tustel atau kamera video, bahkan sampai kepada bagian

bagian yang spesifik yang di dunia Barat termasuk dalam Trade secrets

atau Undisclosed Information dunia Barat telah lama memperkenalkan

sistem perlindungan yang demikian, sehingga jika kita berkunjung ke

suatu pabrik atau pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita,

misalnya larangan mempergunakan tustel, kamera video, dan lain-lain.

Terlepas dari itu semua, kiranya Indonesia sudah saatnya pula

mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak

atas kekayaan intelektual ini dalam satu kerangka sistem.13

b. Hak Kekayaan Intelektual dalam Kerangka Hukum Internasional

Dalam rangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual,

maka dari segi substansif, norma hukum yang mengatur tentang Hak

Kekayaan Intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang

dikeluarkan oleh satu negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-

norma hukum internasional. Disini kita lihat hakikat hidupnya sistem

hukum itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan

13

Moh. Mahfud MD, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII

Press, 1999), h. 335.

27

masyarakat, dalam bidang Intelectual property rights didasarkan pada

tuntutan perkembangan dunia.

Oleh karena itu negara-negara yang turut dalam kesepakatan

internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan

ketentuan internasional yang dalam kerangka WTO/GATT (1994)

adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Act Embodying

The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation, yang

ditandatangani di Marakesh, pada bulan April 1994 oleh 124 Negara

dan 1 wakil dari masyarakat ekonomi Eropa. Indonesia termasuk negara

yang sepakat menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah

dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang

ratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia.14

Disamping itu, perlindungan secara internasional TRIPs

mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan peraturan

nasionalnya dengan Paris Convention (1967), Bern Convention (1971),

Rome Convention (1961) dan Treaty On Intellectual property in

Respect of Integrated Circuits (1989) (Article 2 and Article 3, TRIPs

Agreement (1994). Isyarat itu sudah barang tentu menghendaki agar

Indonesia turut meratifikasi keempat konvensi itu, Indonesia baru

meratifikasi dua konvensi dari empat konvensi yang diharuskan

tersebut yakni Paris Convention (1967) dan Bern Convention (1971).

14

H. OK. Saidin, S.H, M.Hum, Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2013), h. 23.

28

Satu hal yang perlu dipahami bahwa suatu sistem hukum yang

mengatur Hak Kekayaan Intelektual ini sangat banyak dipengaruhi oleh

perkembangan perdagangan dunia. Oleh karena itu, pengaruh sistem

hukum Eropa Continental dan Anglo Saxon tampak jelas mewarnai

lapangan hukum ini. Keduanya saling menghampiri dan saling

mempengaruhi. Misalnya saja dapat dilihat dari segi struktur hukumnya

dalam hal penyelesaian sengketa. GATT/WTO 1994 menempatkan satu

badan khusus untuk menangani penyelesaian sengketa, yang disebut

dengan Dispute Settlement Body (DSB). Badan ini berperan untuk

menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari setiap persetujuan

yang terdapat dalam Final Act (Termasuk TRIPs).

TRIPs yang merupakan bagian dari paket perjanjian di WTO

yang merupakan hasil putaran perundingan Uruguay. Perjanjian TRIPs

tersusun dalam tujuh bab yang terdiri dari 73 pasal. Salah satu isi yang

ditur dalam TRIPs adalah perlindungan terhadap Indikasi Geografis

yang terdapat di dalam pasal 22, 23, dan 24. Selanjutnya di dalam pasal

22 ayat (2) perjanjian TRIPs mendefinisikan indikasi Geografis sebagai

berikut :

Yang dimaksud dengan Indikasi Geografis berdasarkan perjanjian

ini adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara

anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai

asal barang, di mana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang

bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut.

29

Perjanjian TRIPs juga mengatur tentang perlindungan Indikasi

Geografis dalam bentuk perlindungan hukum yang berlaku di seluruh

negara-negara anggota. Tujuannya untuk mencegah penggunaan nama

Indikasi Geografis secara tanpa hak. Sesuai ketentuan, setiap negara

anggota wajib menyediakan sarana hukum bagi perlindungan Indikasi

Geografis yang diatur di dalam pasal 22 ayat (2), (3), dan (4).: Negara

anggota wajib menyediakan sarana hukum bagi pihak yang

berkepentingan untuk melarang Negara anggota wajib menyediakan

sarana hukum bagi pihak yang berkepentingan untuk melarang

Penggunaan dengan cara apapun di dalam pemberian rujukan dan tanda

dari barang yang mengindikasikan atau mengesankan bahwa barang

tersebut berasal dari suatu daerah geografis yang bukan wilayah asal

yang sebenarnya sedemikian rupa sehingga menyesatkan masyarakat

aka nasal geografis dari barang tersebut. Setiap penggunaan Indikasi

Geografis yang merupakan tindakan persaingan curang sebagaimana

diatur dalam pasal 10bis Konvensi Paris (1967). Ketentuan tersebut,

dimaksudkan untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat

menyesatkan konsumen yang berakibat dapat menimbulkannya

persaingan curang (unfair competition). Jika terjadi pelanggaran

ketentuan di atas, maka negara anggota wajib menolak dan

membatalkan pendaftaran merek sebagaimana yang dijelaskan dalam

pasal 3 sebagai berikut:15

15

H.OK. Saidin S.H., M.Hum, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Pers,

30

(1). Negara anggota wajib, apabila hal tersebut memungkinkan dalam

peraturan perundang-undangan atau asas permintaan pihak yang

berkepntingan, menolak atau membatalkan pendaftaran merek yang

berisikan Indikasi Geografis untuk suatu barang yang sebenarnya tidak

(2). Berasal dari wilayah sebagaimana disebutkan, apabila pengunaan

indikasi serupa itu dapat menyesatkan masyarakat mengenai asal

barang yang sesungguhnya.

(3). Ketentuan dalam ayat (1), ayat (2) berlaku terhadap Indikasi

Geografis yang secara menyesatkan memberikan gambaran kepada

masyarakat bahwa barang tersebut berasal dari wilayah lain, walaupun

secara tertulis menunjukkan secara benar tentang wilayah asal dari

barang yang bersangkutan, atau kawasan atau daerah tertentu di dalam

wilayah tersebut.

Dalam ketentuan di atas, bahwa negara anggota yang turut meratifikasi

persetujuan TRIPs, tindakan penolakan dan pembatalan merek tersebut

apabila dimungkinkan dalam peraturan perundang-undangannya. Oleh

karena itu dalam perundang-undangan merek di Indonesia saat ini

larangan semacam itu tidak ada pencantumannya secara tegas.

Tahapan penyelesaian sengketa yang dilalui adalah konsultasi,

pembentukan panel, pemerikasaan banding dan pelaksanaan keputusan.

Jika tahapan konsultasi gagal, maka akan ditempuh cara-cara

penyelesaian sengketa lain, yaitu melalui direktur jenderal WTO agar

2013), h. 388

31

sengketa itu segera diselesaikan melalui good offices, conciliation atau

mediation.16

Cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara ini lazim di

negara-negara penganut sistem Anglo Saxon, meskipun di negara Eropa

Continental dikenal juga penyelesaian dengan melalui arbitrase

(peradilan wasit).

Oleh karena itu, cara-cara penyelesaian sengketa konvensional

(melalui lembaga peradilan formal) sudah patut pula untuk dicermati

kembali. Ini sudah barang tentu menurut keahlian khsusus bagi para

konsultan hukum Indonesia. Jika ingin mengambil bagian dari sistem

yang ditawarkan oleh World Trade Organization (WTO) ini. Para

notaris, dalam menyusun akta mengenai perjanjian lisensi misalnya,

tidak harus lagi menyebutkan dalam salah satu klausanya bila terjadi

sengketa antara para pihak, akan memilih pengadilan negeri X, tetapi

melalui cara-cara yang telah ditetapkan dalam kesepakatan WTO

misalnya hal ini perlu dicermati oleh karena struktur hukum tentang

cara-cara penyelesaian sengketa telah turut berubah sebagai akibat dari

sistem yang ditawarkan oleh WTO.

Dalam hal prosedur penyelesaian sengketa dan upaya menjamin

kepatuhan terhadap Perjanjian TRIPs, sistem penyelesaian sengketa

terpadu menurut WTO.17

menetapkan adanya retaliasi lintas sektoral,

16

Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan

Organisasi Perdagangan dunia OPD/WTO, Kerja sama Departemen Perdangan RI dan Program

Pasca Sarjana UI Tidak dipublikasikan, Jakarta, h. 33.

17

Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization,

(Bandung, Mandar maju), 2005, h.5

32

yaitu sesuatu pihak dapat menunda konsensi yang memberikannya atau

kewajiban lainnya di dalam sektor lain selain dari TRIPs dalam kasus

terjadinya penghapusan dan keuntungan yang diperoleh dari perjanjian

akibat kebijakan dari negara yang di tuntut (Paragraf 1 (b), (e) dan (f)

dari sistem penyelesaian sengketa terpadu) kemungkinan adanya

retaliasi silang akan menempatkan keuntungan akses ke pasar menjadi

suatu hal yang tidak pasti dalam hal adanya suatu tindakan yang tidak

memenuhi atau melanggar ketetapan-ketetapan dari perjanjian ini.

B. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual

1. Pengertian Merek

Sebelum kita menelusuri lebih jauh mengenai merek perusahaan dan

merek jasa pertama-tama perlu adanya penentuan definisi dari perkataan

“merek” agar kita dapat berpedoman pada pengertian yang sama dalam

melakukan pembahasan guna memperoleh hasil atau paling tidak mendekati

sasaran yang hendak dicapai.

Dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang merek 2001 diberikan suatu

definisi tentang merek yaitu: tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-

huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut

yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan

barang atau jasa.18

Selain menurut batasan yuridis beberapa sarjana ada juga memberikan

pendapatnya tentang merek, yaitu :

18

Rachamadi Usman, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual,( Bandung: P.T

Alumni,2003),h.321

33

a. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H memberikan rumusan bahwa: Merek adalah

suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga

dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.

b. R. Soekardono, S.H. memberikan rumusan bahwa, “Merek adalah sebuah

tanda ciri atau tengger dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu,

dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualiternya

barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat

atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan

lain.”19

c. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, memberikan

rumusan bahwa, “Suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu

tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya,

gunanya membedakan barang itu dengan barang sejenis lainnya.

d. Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh

Pratasius Daritan, merumuskan seraya memberi komentar bahwa: “No

complete definition can be givenfor a trade mark generally it is any sign,

symbol mark, work or arrangement of words in the form of a label

adopted and used by manufacturer of distributor to designate his

particular goods, and which no other person has the legal right to use it.

19

R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8 Dian Rakyat, Jakarta,

1983, h. 149.

34

Originally, the sign or made trade mark, indicated origin, but to day it is

used more as an advertising mechanism”.20

(Tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek

dagang secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda perkataan atau

susunan kata-kata di dalam bentuk suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh

seorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang

khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya

desain atau Trade Mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai

sebagai suatu mekanisme periklanan).

Dari pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun dari peraturan merek

itu sendiri, secara umum penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa yang

diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk

membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau

diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan

barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang

memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan

digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

2. Hak Atas Merek Sebagai Kekayaan Intelektual

Sama halnya dengan hak cipta dan paten serta hak atas kekayaan

intektual lainnya maka hak merek juga merupakan bagian dari hak

kekayaan intelektual yang dimana permasalahan mengenal merek ini

20

Pratasius Daritan, Hukum Merek dan Persengketaan Merek di Indonesia, skripsi tidak

dipublikasikan, h. 7.

35

sudah dimuat khusus pada konsiderans UU Nomor 15 tahun 2001 tentang

merek bagian menimbang butir a, yang berbunyi: ”Bahwa di dalam era

perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang

telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting,

terutama dalam menjaga persaingan usaha sehat”.21

Mengapa merek dapat mencegah terjadinya persaingan usaha tidak

sehat dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal-

muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original,

kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan

produknya, tetapi yang membuat harga suatu produk menjadi mahal adalah

mereknya. Merek adalah suatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada

suatu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang

dibeli, mereknya tidak dapat dinikmati oleh pembeli merek mungkin hanya

menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli, benda materilnyalah yang dapat

dinikmati. Merek itu sendiri hanya benda immateril yang tidak dapat

memberikan apapun secara fisik. Inilah membuktikan bahwa merek itu

merupakan hak kekayaan immateril.

Suatu hal yang perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan hak

merek dalam kerangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa,

kelahiran hak atas merek itu diawali dari temuan-temuan dalam bidang hak

atas kekayaan intektual lainnya, misalnya hak cipta.

21

Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2001. 110, Undang-Undang No.15

Tahun 2001 Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001 ”menimbang” Butir a.

36

Pada merek ada unsur ciptaan misalnya, desain logo, atau desain

huruf ada hak cipta dalam bidang seni. Oleh karena itu, dalam hak merek

bukan hak cipta dalam bidang seni itu yang dilindungi, tetapi mereknya itu

sendiri, sebagai tanda pembeda.

Suatu contoh dapat penulis kemukakan: Seorang pemegang hak

merek atas sebuah minuman penyegar dengan merek “Cap Kaki Tiga“.

Yang di lindungi hak merek adalah pemakaian logo/tulisan “Cap Kaki

Tiga“ produsen larutan penyegar lainnya tidak berhak menggunakan

merek dengan logo/tulisan atau lukisan/cap yang sama. Jika digunakan

maka ia telah melanggar hak merek. Tetapi pada saat bersamaan lukisan

atau gambar cap kaki tiga adalah karya dalam bidang seni. Oleh karena itu

dilindungi berdasarkan hak cipta. Dalam saat bersamaan komposisi dari

Larutan Cap Kaki Tiga ini dilindungi berdasarkan paten, kemasan larutan

itu kemudian dikemas dalam bungkus-bungkus yang menggunakan

kemasan atau desain tertentu, maka perlindungan atas kemasan Larutan

Cap Kaki Tiga dalam botol atau bungkus-bungkus menggunakan desain

tertentu, maka perlindungan atas kemasan Cap Larutan Kaki Tiga ini

ditetapkan pula didalamnya sebagai perlindungan hak atas desain industri.

Jika dilihat dari permasalahan kasus pada negara ISLE of Man dengan Cap

Kaki Tiga kita dapat melihat bahwa dalam kasus ini secara tidak lansgung

jika dilihat memang ada sedikit kemiripan antara lambang Cap Kaki Tiga

dengan lambang negara dari ISLE of Man hemat menulis sekiranya ada

unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam kasus kesamaan lambang ini

37

baik secara internal maupun secara eksternal. Baik hukum yang berlaku di

negara asal maupun hukum yang berlaku pada khalayak luas seperti pada

kesepakatan internasional.

Contoh kasus sengketa merek antara Cap Kaki Tiga dengan lambang negara

Gambar 2.1. Logo Cap Kaki Tiga dengan Lambang Negara ISLE of Man

Dari contoh di atas dapat dikemukakan bahwa hak merek itu terbatas

hanya pada penggunaan atau pemakaian pada produk-produk yang

dipasarkan dan mengandung nilai ekonomis.

Ada suatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak merek itu, jadi

bukan seperti apa yang terlihat atau yang terjelma dalam setiap produk yang

terlihat atau terjelma itu adalah perwujudan dari hak itu sendiri yang

ditempelkan pada produk barang atau jasa.

38

3. Ruang Lingkup Merek Secara Internasional

Disamping peraturan perundang undangan nasional tentang merek,22

masyarakat juga terikat dengan peraturan merek yang bersifat internasional

seperti pada konvensi Paris Union yang diadakan tanggal 20 Maret 1883

yang khusus diadakan untuk memberikan perlindungan pada hak milik

perindustrian (Paris Convention for The Proctection of Industrial Property),

mula-mula konvensi ini ditandatangani oleh 11 negara peserta. Kemudian

anggotanya bertambah hingga pada tanggal 1 Januari 1976 berjumlah 82

negara, termasuk Indonesia. Teks yang berlaku untuk RI adalah revisi dari

teks Paris Convention yang dilakukan di London pada tahun 1934.

Indonesia belum turut serta dalam perbaikan-perbaikan dari Paris

Union Convention yang telah diadakan di Lisabon 1958 dan terakhir di

Stockholm pada tahun 1967. Karena merupakan peserta pada Paris

Convention ini, maka Indonesia juga turut serta dalam Internasional Union

for The Protection of Industrial Property yaitu organisasi uni internasional

khusus untuk memberikan perlindungan pada hak milik perindustrian, yang

sekarang ini sekretariat turut diatur oleh sekretariat Internasional WIPO

(World Intelectual Property), berpusat di Jenewa, Swiss. WIPO merupakan

salah satu dari 14 “Specialized Agencies” dari Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB UNO).23

Walaupun Indonesia terikat pada ketentuan Paris Union, kita

22

H.OK. Saidin S.H., M.Hum, Aspek hak kekayaan intelektual, (Jakarta; Rajawali Pers,

2013), h. 342.

23

Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti,

1989, h. 2-3.

39

masih memiliki kebebasan untuk mengatur Undang-Undang merek sendiri,

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang sudah dibakukan dalam

Konvensi Paris.

Beberapa cacatan penting mengenai isi dari Paris Union Convention

dapat diturunkan sebagai berikut:24

a. Kriteria Pendaftaran

Pasal 6 menetapkan bahwa persyaratan pengajuan dan pendaftaran

merek dagang ditentukan oleh Undang-Undang setempat masing-masing

negara anggota dapat menggunakan patokan-patokan sendiri sebagaimana

ditetapkan dalam Undang-Undangnya untuk menetapkan masa berlaku

suatu merek dagang akan tetapi, permohonan pendaftaran tidak boleh

ditolak hanya kerena semata-mata karena belum didaftarkan di negara

asal.

Dilain pihak, jika suatu merek dagang memang telah didaftarkan di

negara asal, maka pendaftaran harus diterima di negara anggota tersebut,

walaupun merek dagang tersebut tidak memenuhi kriteria suatu merek

dagang berdasarkan Undang-Undang setempat negara anggota tersebut

(telquelle-principle: pasal 6 quinquics). Pendaftaran merek tersebut hanya

dapat ditolak dalam hal keadaan ekstrim, misalnya: jika melanggar hak-

hak pihak lain, kekurangan daya pembeda atau bertentangan dengan

ketertiban hukum atau moralitas. Misalnya, jika bendera kebangsaan

Perancis telah terdaftar secara sah sebagai merek dagang untuk parfum di

24

E.A. Mout Bouwman, Merek Dagang Internasional, Makalah Pada Seminar

Intelektual, Op.Cit, h. 1-8.

40

Benelux, merek dagang tersebut dapat ditolak di Perancis atas dasar bahwa

penggunaan bendera kebangsaan sebagai merek adalah bertentangan

dengan ketertiban umum Perancis.25

Jika bunga tulip telah terdaftar secara sah sebagai suatu merek

dagang untuk parfum di Benelux pendaftaran merek dagang tersebut tidak

dapat ditolak di Perancis walaupun Undang-Undang nasional Perancis

tidak mengakui bentuk bentuk bunga sebagai merek dagang.

Karena itu, walaupun merek dagang tersebut tidak dapat didaftarkan

di Perancis sebagai negara asal, namun Perancis harus menerima merek

dagang tersebut secara sah apabila dianggap sah di negara asal (dalam hal

ini Benelux), kecuali Perancis dapat membenarkan penolakan, yang

menyatakan bahwa merek dagang tersebut harus dianggap bertentangan

dengan ketertiban umum, kekurangan daya pembeda atau melanggar hak-

hak merek dagang pihak lain.

b. Hilangnya Merek Dagang Karena Tidak Digunakan

Konvensi ini juga menetapkan suatu ketentuan bahwa hak-hak

merek dagang dapat hilang sebagai akibat tidak digunakannya selama

jangka waktu tertentu, jika masalah tidak digunakan tersebut memang

tidak dibenarkan (pasal 5c).

c. Perlindungan Khusus Bagi Merek Merek Dagang Terkenal

25

H.OK. Saidin S.H., M.Hum, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Pers,

2013), h. 330

41

Merek-merek dagang terkenal dapat di daftar untuk barang-barang

yang sama atau serupa oleh pihak lain selain pihak pemegang merek

dagang asli. Permohonan pendaftaran tersebut harus ditolak atau

dibatalkan oleh negara anggota, baik ex officio ataupun atas permohonan

pemegang pendaftar merek dagang asli (pasal 6 bis).

d. Merek Dagang Jasa dan Merek Dagang Kolektif

Konvensi Paris mengatur perlindungan atas merek dagang jasa

(pasal 6 sexies) dan merek dagang kolektif. Merek dagang kolektif adalah

merek dagang yang digunakan untuk barang-barang hasil produksi suatu

usaha tertentu, tapi berlaku sebagai merek dagang jaminan atau ballmark

atas barang-barang hasil produksi atau yang disalurkan oleh kelompok-

kelompok atau jenis-jenis usaha tertentu atau atas barang-barang yang

memiliki mutu khusus (misalnya: The Internasional Wool Trade Mark).

e. Pengalihan

Konvensi Paris agak bersifat mendua dalam hal pengalihan merek

dagang.26

Di beberapa negara anggota, seperti Benelux, suatu merek

dagang dapat dialihkan tanpa diikuti usaha pemilik merek dagang tersebut.

Sedangkan di negara-negara lain, seperti Indonesia, pengalihan merek

dagang hanya sah apabila disertai dengan pengalihan usahanya. Hal ini

menimbulkan masalah apabila suatu pihak ingin mengalihkan merek

dagangnya di negara-negara pemerintahan yang berbeda-beda pasal 6

26

H.OK. Saidin S.H., M.Hum, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Pers,

2013), h.370

42

quarter menetapkan bahwa sudah cukup dengan hanya mengalihkan

usahanya yang berlokasi di negara anggota ketempat yang dikehendakinya

dan itu merupakan persyataran wajib bagi suatu pengalihan yang sah.

Dengan demikian mungkin saja bahwa pemegang merek dagang baru

adalah pemilik usaha di suatu negara namun tidak sah di negara lain, yang

tidak mengharuskan adanya pengalihan usaha. Situasi demikian dalam

bebarapa hal dapat mengarah ke situasi-situasi yang menyesatkan karena

itu perjanjian tersebut menetapkan safety valve (katup pengaman) dan

menentukan bahwa negara anggota tidak diharuskan menganggap sah

pengalihan suatu merek dagang yang mengakibatkan publik tersesat

mengenai asal, sifat atau mutu utama barang yang menggunakan merek

dagang tersebut. Yang paling fundamental adalah dinilai adanya maksud

dan niat ”membonceng” reputasi merek orang lain yang dikenal dengan

itikad tidak baik atau buruk demi memperoleh keuntungan secara tidak

jujur yang merugikan.27

Selanjutnya perjanjian internasional lainnya mengenai merek adalah

Madrid Agreement (1981) yang direvisi di Stockholm tahun 1967.

Beberapa cacatan untuk Madrid Agreement ini dapat diuraikan sebagai

berikut

Bedasarkan ketentuan pasal 1, 2 dan 3 Madrid Agreement tersebut

ditentukan bahwa Madrid Agreement berhubungan dengan perjanjian hak

merek dagang melalui pendaftaran merek dagang internasional, yang

27

Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

43

bedasarkan pendaftaran di negara asal. Yang menjadi anggota Madrid

Agreement ini jumlahnya sangat terbatas sekali yaitu 28 anggota dari

anggota dari peserta konvensi Paris, dan Cina baru-baru ini telah

menandatangani. Indonesia sendiri sampai saat ini belum tercatat sebagai

anggota Madrid Agreement.

Pendaftaran internasional tersebut memungkinkan diperoleh

perlindungan merek dagang seluruh negara anggota Madrid Agreement

melalui satu pendaftaran saja. Perlindungan tersebut bukanlah

perlindungan seragam tapi sama dengan yang akan diberikan oleh negara

anggota kepada warga negaranya. Misalnya: suatu pendaftaran

internasional yang meliputi negara-negara Spanyol, Belanda dan Perancis

akan memberikan pemegang perlindungan yang juga telah ia dapatkan

melalui pendaftaran-pendaftaran merek dagang secara terpisah di masing-

masing dari ketiga negara ini (pasal 4.1).

Jika pendaftaran internasional itu dilakukan dalam jangka waktu 6

bulan setelah tanggal pengajuan permohonan di negara asal, perlindungan

berdasarkan pendaftaran internasional akan memperoleh prioritas berlaku

surut sejak tanggal pengajuan permohonan pertama (pasal 4.2, sehubungan

dengan pasal 4 Union Treaty).

Pendaftaran internasional hanya berlaku pada negara-negara anggota

yang telah menerima permohonan perlidungan dari pemohon (pasal 3 bis).

Jika selama lima tahun pertama pendaftaran internasional tersebut

pendaftar dasar di negara asal dicabut atau tidak diberlakukan, maka

44

pendaftaran internasional juga dinyatakan tidak berlaku. Setelah jangka

waktu 5 tahun tersebut pendaftaran internasional tersebut telah bebas dari

pendafraran dasar. Setelah jangka waktu 5 tahun tuntutan atas pencabutan

merek dagang harus dibuat secara bebas di masing-masing negara yang

memberlakukan merek dagang internasional tersebut (pasal 6).

Pendaftaran internasional berlaku selama 20 tahun dan dapat diperbaharui

(pasal 6 dan 7).28

Perjanjian internasional lain yang juga dapat menyangkut

perlindungan merek adalah traktat pendaftaran merek dagang (TRT) 1973.

Traktat ini telah dibuat selama konferensi WIPO di Wina pada tanggal 12

Juni 1973. Seperti Madrid Agreement, traktat pendaftaran merek dagang

ini memungkinkan diperolehnya pendaftaran internasional dengan satu

permohonan saja.

Akan tetapi perjanjian ini berbeda dengan Madrid Agreement dalam

hal bahwa pendaftaran internasional berdasarkan TRT tersebut tidak

bergantung pada pendaftaran sebelumnya di negara asal. Sebagai

akibatnya permohonan dapat langsung diajukan ke kantor internasional di

Jenewa, dan bukan melalui kantor merek dagang internasional di negara

asal. Akibat lain dari TRT ini adalah bahwa pendaftaran merek dagang

internasional tidak bergantung pada masa berlakunya pendaftaran merek

dagang nasional sebagaimana halnya dalam Madrid Agreement. Perbedaan

28

H.OK. Saidin S.H., M.Hum, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Pers,

2013), h. 342.

45

ini telah menjadi alasan bagi banyak negara untuk mengatakan bahwa TRT

ini terlalu liberal dan mereka tidak mau mengikuti konvensi ini.

Selanjutnya konvensi Nice untuk penggolongan barang dan jasa

secara internasional, yang berlaku terhadap seluruh negara anggota yang

telah mengadakan perjanjian Nice.

Penggolongan internasional ini berfungsi untuk mempermudah

perbandingan antara merek-merek dagang dan karena itu mempermudah

penelitian kemungkinan persamaan barang, lambang, kata yang telah

terdaftar dalam kelas yang sama.

Dengan melakukan permohonan pendaftaran merek dengan hak

prioritas. Hak prioritas adalah hak permohonan untuk mengajukan

permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris

Convention dan tergabung dalam anggota World Trade Organization

untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan negara, bahwa

negara itu adalah bagian dari hak prioritas.29

C. Persamaan Keseluruhan dan Kesamaan Pokoknya Dalam Ruang

Lingkup Merek

Dalam pasal 6 UU Merek No.15 tahun 2001 disebutkan bahwa:30

29

Ahmadi Miru, Hukum Merek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 32.

30

H.OK. Saidin S.H., M.Hum, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Pers,

2013), h. 320

46

a. Mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan merek

milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan

jasa yang sejenis.

b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan

indikasi geografis yang sudah dikenal.

c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan jasa

sejenis.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula

diberlakukan terhadap barang dan jasa yang tidak sejenis sepanjang

memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan

peraturan pemerintah.

Permohonan juga harus ditolak oleh Direktoral Jenderal apabila

merek tersebut:31

a. Merupakan atau mempunyai nama orang terkenal, foto atau nama badan

hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atau persetujuan tertulis dari

yang berhak.

b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera

lambang atau simbol atau simbol negara atau lembaga nasional maupun

berwenang.

31

Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni,

2003), h. 331.

47

c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi

yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas

persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya

atau keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang atau jasa yang sejenis

dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai

merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Tentang terkenal atau

setidaknya suatu merek, perlu diukur bedasarkan reputasi merek tersebut

yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, invensi di

beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti

pendaftaran merek tersebut di beberapa negara, apabila hal-hal di atas belum

dianggap cukup, pengadilan niaga dapat memerintahkan lembaga yang

bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan

mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan.

Jika dilihat dari permasalaham yang betapa penting nya merek

untuk di daftarkan jika dilihat Manfaat pendaftaran merek adalah sebagai

komersialisasi merek melalui penjualan ataupun lisensi serta meningkatkan

nilai atau jaminan kualitas dimata investor dan institusi keuangan,

meningkatkan kemampuan dalam penyelenggaraan persaingan sehat dalam

dunia perdagangan dan membantu perlindungan dan penegakkan haknya,

karena itulah bahwa merek bukanlah suatu hal yang dapat dilihat sebelah

mata, pemerintah Indonesia sebetulnya telah menerapkan peraturan

48

perundangan yang mengatur tentang merek. Berikut ini adalah metamorfosis

perundang-undangan tentang merek yang pernah ada di negeri ini:32

1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 1961 tentang Merek perusahaan dan

Merek Perniagaan yang disahkan pada tanggal 11 Oktober 1961.

2. Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek yang disahkan pada

tanggal 28 Agustus 1992 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 April

1993.

3. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek.

4. Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek sebagai undang-

undang terakhir yang disahkan sebagai penyelaras dari semua peraturan

perundangan Kekayaan Intelektual sesuai dengan perjanjian TRIPs. TRIPs

Agreement memuat ketentuan-ketentuan mengenai penegakan hukum

yang ketat mekanisme penyelesaian sengketa negara anggota dan diberi

sarana berupa hak bagi negara yang dirugikan.33

5. Peraturan internasional yang dituangkan dalam World Trade

Organizationdan perjanjian bilateral maupun multilateral

Jika dilihat jelas bahwa perlindungan merek ini sudah di atur

sedemikian rupa dengan harapan kualitas perlidungan yang lebih baik lagi

dalam regulasi dalam negeri maupun luar negeri.

32

Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), h.20.

33

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut beberapa Konvensi Internasional, ( Bandung:

Penerbit Alumni,2002),h.88

49

49

BAB III

PERANAN WTO DALAM DUNIA INTERNASIONAL

A. Posisi WTO Dalam Dunia Internasional

Setelah bertahun tahun timbul perdebatan di dunia internasional

mengenai masalah GATT akhirnya dapat terselasaikan pada 15 April 1994

dengan 111 dari 125 negara menyetujui Final D ocument persetujuan final

World Trade Organization diterima dari 104 negara dan berlaku sejak Januari

1995 dan 81 negara anggota menunjukan representasi dari 90% perdagangan

internasional termasuk triad power Jepang, Amerika dan Eropa.

Lahirnya World Trade Organization (selanjutnya disingkat menjadi

WTO) membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT. Pertama

WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan

WTO. Kedua prinsip prinsip WTO khususnya perjanjian mengenai jasa,

penanaman modal dan juga perjanjian yang terkait denga hak kekayaan

intelektual.1

Sebagai salah satu organisasi dalam dunia internasional World Trade

Organization (WTO) telah berhasil memainkan perannya secara signifikan

dalam menciptakan sistem dalam proses perdagangan di dunia internasional.

Hal ini bisa di lihat dari terus meningkatnya jumlah negara-negara anggota

saat ini lebih dari 150 negara serta mengasilkan kesepakatan-kesepakatan

dalam mengarahkan proses perdagangan dunia.

1 Abdul Manan, Peranan Hukum dalam pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group,2014),h.192

50

WTO Agreement terdiri dari 16 pasal yang menjelaskan secara lengkap

fungsi-fungsi WTO, peran dalam keanggotaan, proses dalam prosedur

kesepakatan dalam WTO, disini penulis ingin mencoba menjelaskan sedikit

mengenai World Trade Organization (WTO).

WTO adalah organisasi internasional yang berdasarkan atas prinsip

perdagangan bebas (Free Trade), dalam peranan nya sebagai organisasi yang

mengatur masalah perdagangan dunia, WTO didirikan dengan maksud

menciptakan kesejahteraan anggota melalui perdagangan intenasional yang

bebas dan aktif.

Suatu hal yang unik dan menarik dibahas adalah kegandaan peranan

WTO dimana organisasi perdagangan dunia ini berperan sebagai forum

permanen bernegosiasi, organiasasi kerjasama dalam konfrensi internasional

yang didirikan bedasarkan hukum internasional tradisional dimana negara

sebagai subjek pertama dan utama dalam hukum internasional. Disisi lain

WTO memiliki lembaga yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa

dan masalah yang menjadikan WTO Sebagai organisasi yang integratif yang

berakar dalam hukum internasional kontemporer. Sebagai organisasi

internasional WTO memiliki tiga lembaga yang berbeda secara fungsional

tetapi terintegrasi secara sistematik.2

Pembentukan lembaga ini sudah tentu diharapkan dapat memainkan

peranan penting yang baik dalam menopang pembangunan ekonomi dunia

dan dapat menguntungkan dalam pertumbuhan ekonomi para negara anggota.

2 Ade Maman Suherman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional (Lembaga

Penyelesaian Sengketa WT ), Sinar Grafika, Jakarta , h.43.

51

Kehadiran WTO diharapkan dapat melaksanakan segala ketentuan yang

sudah ditetapkan yakni pada perwujudan perdagangan bebas yang jujur

terbuka dan adil.3

1. Tujuan Dan Fungsi WTO

Tujuan pendirian WTO ditegaskan dalam undang-undang pendirian

WTO yaitu mendorong arus perdagangan antar negara, melalui

pengurangan tarif dan hambatan dalam perdagangan serta membatasi

perlakuan diskriminasi dalam hubungan perdagangan internasional.

Dalam mencapai tujuan tersebut. WTO memberikan kerangka

kelembagaan sebagai pedoman dalam melaksanakan hubungan

perdagangan internasional antar anggota.

Selain itu tujuan pembetukan WTO tersebut direfleksikan ke dalam 5

fungsi WTO yaitu :

1) WTO berfungsi sebagai lembaga dan memberikan fasilitasi,

implementasi, administrasi dan pelaksanaan dari perjanjian WTO

serta memberikan kerangka kerja untuk implementasi, administrasi

dan pelaksanaan dari perjanjian plurirateral.

2) WTO berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan forum untuk

melakukan perundingan di antara anggotanya terkait dengan isu yang

diatur dalam perjanjian WTO termasuk menyediakan forum dan

kerangka kerja untuk implementasi hasil hasil perundingan yang telah

dicapai.

3 Abdul Manan, Peranan Hukum dalam pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group,2014),h.198

52

3) WTO dalam pelaksanaannya bertindak selaku administrator dari

aturan penyelesaian sengketa.

4) WTO bertindak sebagai peninjau dalam perdagangan di negara-

negara anggota.

5) WTO bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional seperti

IMF dan bank dunia.4

2. WTO Dalam Organisasi Internasional

Perlindungan hak merek secara domestik saja tidaklah cukup dan

kurang membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para

pencipta. Kreativitas dan aktivitas para pencipta dalam rangka memacu

pertumbuhan untuk mendorong karya cipta tentu sangat berarti jika

perlindungan itu dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian

hukum yang diharapkan itu benar benar mereka (si pencipta) peroleh.

Oleh karena itu, perlindungan merek secara internasional adalah

suatu keharusan. Untuk perlindungan hak cipta secara internasional saat

ini ada beberapa konvensi internasional saat ini ada beberapa konvensi

internasional antara lain ada WTO yang sebagai penengah perdangangan

dunia yang telah diratifikasi oleh negara-negara anggota, persetujuan

Trips, Bern Convention, Universal Copy Rights Convention, dan Rome

Convention. Ada juga perjanjian yang bersifat bilateral seperti perjanjian

Indonesia dengan Amerika mengenal karya cipta.

4 Sjamsul Arifin, Kerjasama Perdagangan Internasional, (Jakarta : PT Elex Media

Komputindo,2004),h.196

53

Seperti yang telah dikemukakan, WTO sebagai suatu perjanjian

internasional atau International Treaty dapat dilihat secara mendalam

dari segi yuridis, walaupun penguasaan masalah WTO memerlukan suatu

pengertian pula dari segi yuridis, tentunya WTO tidak dapat dilihat

hanya dari kacamata yuridis. Namun sebaliknya, hal ini tidak mengurangi

pentingnya melihat WTO dari segi yuridis yang merupakan hukum

internasional (International Law).5 Karena itu dari segi yuridis dari WTO

perlu dipahami secara cukup mendalam, bukan saja oleh para ahli

hukum, tetapi juga oleh pihak lain yang ingin mengerti.

WTO sebagai suatu sistem dan bagi pihak yang memang dalam

kegiatan sehari-harinya bertugas di bidang perdagangan internasional.

Dari segi yuridis, WTO dapat dilihat sebagai serangkaian aturan

permainan/Rule of Games di bidang perdagangan internasional yang

tercantum dalam suatu dokumen utama, yakni General Agreement On

Tariffs and Trade, sebagai suatu perjanjian internasional atau

international treaty dengan annex-nya yang merupakan penjelasan

perjanjian tersebut dan merupakan bagian integral dari perjanjian

tersebut. Perjanjian WTO merupakan suatu kontrak/kesepakatan.

Selanjutnya kontrak tersebut merupakan hukum atau dasar yurudis untuk

penegakan disiplin multilateral berdasarkan kesepakatan yang disepakati

bersama. Sejauh ada masalah dalam kegiatan perdagangan dan sejauh

5 JG. Starke, Pengantar hukum internasional, Jakarta ; Sinar Grafika, 1995, h.35.

54

ada langkah keputusan bersama yang diperlukan, WTO menjadi forum

untuk mengambil langkah tersebut yang diperlukan.

Melihat masalahnya lebih jauh lagi, sebagai suatu perjanjian

internasional WTO merupakan serangkaian aturan permainan di bidang

perdagangan yang mengatur tata cara perdagangan antara negara-negara

anggota yang menjadi kesepakatan bersama. Dengan kata lain, WTO

dapat dilihat secara keseluruhan sebagai suatu sistem yuridis. Dengan

demikian, WTO dapat menjadi bagian dari studi mengenal hukum

internasional maupun sebagai studi khusus mengenai international

commercial law ataupun privat internasional law.6

Penggunakaan kata “internasional memberikan kesan kepada kita

akan melibatkan beberapa negara di dunia. Demikian hal nya dengan

perjanjian internasional, akan melibatkan pula berbagai negara dalam

perjanjian tersebut. Sebelum dikemukakan lebih jauh tentang tujuan

konvensi internasional tentang hak cipta, konvensi internasional adalah

perjanjian internasional. Mengenai definisi perjanjian internasional

sangat banyak kita temui peristilahannya, kadangkala demikian kata

Mochtar Kusumaatmaja seringkali mengacaukan, tidak konsisten bahkan

memberikan pengertian yang berbeda dengan perjanjian.

Istilah yang sering di gunakan untuk perjanjian itu, Demikian lanjut

beliau ; Treaty (traktat), Pact (pakta) ; Covention (konvensi), Charter,

6 H.S Kartadjoemena, GAAT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional Di

Bidang Perdagangan, (Jakarta ; Penerbit UI-Press, 1996), h.82-85.

55

Declaration, Protocol, Arrangement, Accord, Modus, Vivendi, Covenant

dan lain-lain sebagainya.7

Dalam hal peristilahan ini mochtar mengingatkan bahwa, “ Secara

juridis semua istilah ini tidak mempunyai arti tertentu, dengan perkataan

lain semuanya merupakan perjanjian internasional yang diadakan oleh

anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan

akibat hukum tertentu”.8

Mochtar memberikan definisi bahwa “perjanjian internasional itu

adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat

bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum

tertentu.9

Oleh Budi Harsono hal di atas di tegaskan bahwa, “Dalam perjanjian

internasional yang penting adalah kehendak negara untuk diikat pada

perjanjian itu.10

Hal yang terpetning dari yang dimaksud adalah bahwa

suatu perjanjian internasional tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi

pihak ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut.11

7 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional,(Jakarta, Bina Cipta, 1978).

h.111.

8 Syahmin, Hukum perjanjian internasional, Menurut Konvensi Wina, (Bandung, Armico,

1985), h.3.

9 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional,(Jakarta, Bina Cipta, 1978).

h.109.

10

Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Indonesia, (Bandung, CV

Remadja Karya), 1984, h.5.

11

Konvensi Wina, Tahun 1969, pasal 30.

56

Persetujuan itu harus diberikan secara tertulis serta hak dan

kewajiban pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam

perjanjian itu.12

Setelah memenuhi syarat yang demikian, barulah ia

sempurna dan untuk selanjutnya sah mengikat pihak ketiga tersebut.

Untuk keadaan seperti ini dalam teori mengenai perjanjian

internasional disebutkan sebagai Treaty Contract, yaitu menimbulkan

hukum bagi para peserta, sedangkat berikutnya adalah Law Making

Treaty yaitu secara langsung menimbulkan kaidah-kaidah bagi semua

masyarakat internasional dan tidak hanya bagi pihak-piak peserta.13

Dalam perjanjian ini dalam prosesnya mengharuskan bagi peserta

anggotanya untuk terikat dalam perjanjian kesepakatan, sebenarnya

perbedaan yang mendasar antara keduanya tidak ada, karena meskipun

dalam membedakannya beralasan, jika ditinjau secara yuridis menurut

bentuknya setiap perjanjian internasional baik Law Making Treaty

maupun treaty contract, suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-

pihak yang mengadakan dan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan

kewajiban bagi para peserta.14

Dalam hal ini jelas bahwa semua negara

wajib menaatinya.

12

Syahmin , Hukum perjanjian internasional, Menurut Konvensi Wina, (Bandung, Armico,

1985), h.37

13

Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional,(Jakarta, Bina Cipta,

1978),h.115

14

Syahmin, Hukum perjanjian internasional, Menurut Konvensi Wina, (Bandung, Armico,

1985), h.37

57

Selanjutnya mengenai istilah konvensi untuk perjanjian internasional

adalah merupakan istilah yang paling populer.15

Konvensi sering di

gunakan untuk jenis perjanjian multilateral, daripada bentuk bilateral.16

Dalam hal ini dapat kita kemukakan contoh seperti, konvensi hukum laut,

konvensi Wina, konvensi Bern, dan sebagainya.

Selanjutnya prosedur pembentukan konvensi ini pada umumnya

masih tergantung pada kebiasaan masing-masing sesuai dengan

ketentuan-ketentuan konstitusi negaranya masing-masing.

Oleh Mochtar disebutkan tahapan-tahapan tertentu yang harus

dilakukan dalam pembuatan perjanjian internasional yaitu;

1. Perundingan (negotation)

2. Penandatanganan (signature)

3. Pengesahan (ratification )17

Selanjutnya mengenai hal ini, bedasarkan konvensi Wina 1969,

menurut rangkaian pasal-pasal telah pula memuat rangkaian terntentu

tentang tahapan yang harus dilalui untuk membuat perjanjian

internasional. Pola tahapan itu menurut Ny. Mieke Komar, sebagaimana

dikutip oleh Syahmin AK, yang juga tidak jauh dari apa yang dinyatakan

oleh Mochtar adalah sebagai berikut :

15

Syahmin, Hukum perjanjian internasional, Menurut Konvensi Wina, (Bandung, Armico,

1985), h.5 16

Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Indonesia, (Bandung, CV

Remadja Karya, 1984), h.6.

17

Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional,(Jakarta, Bina Cipta,

1978),h.116

58

a) Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat

berunding menerima dan mengesahkan suatu perjanjian atas nama

negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan full powers

tersebut.

b) Harus melalui tahapan perundingan dan perlu ditentukan tentang cara

penerimaan dan pengesahan naskah perjanjian.

c) Harus dinyatakan secara tegas tentang cara suatu negara dapat

menyatakan persetujuan (consent)-nya untuk mengikatkan diri pada

suatu perjanjian yakni dengan penandatanganan (signature),

pertukaran instrumens ratifikasi, peryataan ikut serta (accesion).

d) Harus ditentukan perihal waktu antara pendandatanganan dan mulai

berlakunya perjanjian.18

Selain dasar hukum Internasional dalam hal ratifikasi selain terdapat

dalam konvensi juga dijumpai perjanjian-perjanjian yang bersifat

bilateral.19

Ratifikasi ini penting artinya bagi perjanjian internasional. Menurut

hukum internasional bahwa perjanjian internasional itu harus disahkan

oleh tiap-tiap negara yang turut serta dalam perjanjian tersebut, agar

mengikat.

18

Syahmin, Hukum perjanjian internasional, Menurut Konvensi Wina, (Bandung, Armico,

1985),h.23

19

Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Indonesia, (Bandung, CV Remadja

Karya, 1984), h.36

59

Menurut Ali Sastroamidjojo, bahwa perjanjian internasonal itu sudah

diaggap sah jika persetujuan timbal balik (mutual consent) oleh semua

pihak yang membuat perjanjian itu telah dinyatakan secara kongkret.20

3. Penyelesaian Sengketa Dalam World Trade Organization

Salah satu yang menjadi pengaturan dalam World Trade

Organization (WTO) adalah penyelesaian sengketa. Bidang ini

memainkan peran penting di dalam memelihara kredibilitas dan

menegakkan aturan aturan dalam perjanjian WTO.21

Penyelesaian sengketa antar negara dalam WTO sesungguhnya telah

berlangsung lama. Sejarang panjang penyelesaian sengketa itu sendiri

sedikit banyak dipengaruhi oleh aturan yang mendasari cara atau

mekanisme penyelesaian sengketa pada WTO yang mengacu pada

ketentuan pasal 22-23 GATT 1947, dengan berdirinya WTO ketentuan-

ketentuan GATT 1947 kemudian terlebur ke dalam aturan WTO.

Pengaturan penyelesaian sengketa dalam pasal 22 dan 23 GATT

memuat ketentuan yang sederhana pasal 22 menghendaki para pihak

yang bersengketa untuk menyelesaikan melalui konsultasi bilateral atau

setiap persoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau

ketentun-ketentuan GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa

penyelesaian sengketa melalui konsultasi multirateral dapat diminta oleh

20

Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta, Bhatara, 1971), h.153.

21

Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization,

Bandung, Mandar maju, 2005, h.1

60

salah satu pihak apabila sengketanya tidak mungkin diselesaikan melalui

konsultasi secara bilateral.22

Dispute Settlement Body (lembaga penyelesaian sengketa) WTO

telah menunjukan kontribusi dan peran yang signifikan dalam

penyelesaian sengketa perdagangan antar negara anggota.23

Sistem

penyelesaian sengketa melalui LPS-WTO diatur dalam Understanding

On Rules and Procedures Goverming the Settlement of Dispute yang

biasa disebut DSU. Substansi ketentuan yang ada di dalam DSU

merupakan Interpretasi dan implementasi dari ketentuan pasal 3 GATT

1947 dan badan yang melaksanakannya adalah Dispute Settlement Body

atau DSB lembaga tersebut merupakan bagian dari dewan umum atau

General Counce.

Mengenai kewenangan DSB meliputi membentuk panel, mengadopsi

panel dan laporan badan banding, melaksanakan pengawasan

implementasi terhadap rekomendasi dan keutusan yang telah dibuat serta

mengotoriasasi penundaan konsesi. Dengan adanya DSB maka semua

anggota WTO wajib menyelesaikan sengketa dagang melalui jalur ini

dan semua negara anggota tidak diperbolehkan mengambil tindakan

secara sepihak yang akan menimbulkan persoalan baru secara bilateral

maupun multilateral.

22

Huala adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta, Sinar Grafika,

2004), h.132

23

Ade Maman Suherman, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta, Sinar Grafika,

2005), h.55

61

Bedasarkan pasal 3 DSU dapat diketahui tugas utama dari DSB

adalah:24

a. Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian

WTO dengan melakukan interpretasi menurut hukum kebiasaan

internasional publik.

b. Hasil penyelesaian sengketa tidak boleh menambah atau mengurangi

hak-hak dan kewajiban yang diatur dalam ketentuan WTO.

c. Menjamin solusi yang positif dan diterima oleh para pihak dan

konsisten dengan subtansi ketentuan WTO.

d. Memastikan penarikan tindakan negara pelanggar yang tidak sesuai

dengan ketentuan-ketentuan perjanjian yang sudah tercakup dalam

Agreement, tindakan retalisasi atau pembalasan dimungkinkan tetapi

sebagai upaya terakhir.25

Huala Adolf dalam bukunya juga dia mengemukakan beberapa

sistem dalam penyelesaian sengketa di WTO diantaranya adalah :26

a. Konsultasi, merupakan tahap pertama penyelesaian sengketa dan

biasanya berlangsung dalam bentuk yang informal atau negosiasi

yang formal. Seperti melalui peraturan-peraturan diplomatik tujuan

24

H.OK. Saidin, S.H., M.Hum., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Rajawali pers,

Jakarta, 2010), h.60

25

H.OK. Saidin, S.H., M.Hum., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Rajawali pers,

Jakarta, 2010), h.67

62

utama dari proses ini adalah untuk menyelesaikan sengketa di luar

dari cara proses ajudikasi yang formal.

b. Jasa baik, konsiliasi dari mediasi adalah cara penyelesaian sengketa

secara damai melaui keikutsertaan pihak ketiga penyelesaian ini

bersifat sukarela dan bersifat informal dan konfidensial (rahasia).

c. Panel, pembentukan panel dianggap sebagai upaya akhir manakala

penyelesaian sengketa secara bilateral gagal, fungsinya adalah

membantu penyelesaian sengketa objektif dan untuk memutuskan

apakah suatu subjek atau objek perkara telah melanggar perjanjian

cakupan WTO.

d. Badan banding, merupakan suatu inovasi dalam prosedur

penyelesaian sengketa WTO terdiri dari tujuh orang, tiga diantaranya

mengadili sengketa.

e. Implementasi putusan dari rekomendasi, dapat dianggap sebagai

masalah yang sangat penting didalam proses penyelesaian sengketa.

Isu ini menentukan kredibilitas WTO, termasuk efektivitas dari

penyelesaian sengketa WTO itu sendiri.

f. Arbitrase, proses penyelesaian sengketa ini sudah ada lama dalam

penanganan sengketa pada pokoknya pengaturan ini diatur dalam

pasal 25 DSU.27

27

Huala adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta, Sinar Grafika,

2004), h.139

63

B. Penerapan TRIPs sebagai Konsepsi Dari Perjanjian WTO

Perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights ( TRIPs)

Merupakan salah satu pilar dalam perjanjian WTO yang dihasilkan dalam

Uruguay Round, bersamaan dengan pembentukan WTO pada 1995, dimana

pilar yang lain nya adalah perdagangan barang dan perdagangan jasa,

pengakuan pada perjanjian TRIPs merupakan suatu keharusan bagi seluruh

negara anggota WTO dan mengikuti segala peraturan yang terkait dengan

TRIPs yang akan di awasi oleh WTO Dispute Setlement Mechanism.28

Sejalan dengan WTO perjanjian TRIPs mengakuisisi prinsip non diskriminasi

melalui pemberian status Most Favoured Nation dan National Treatment yang

sama kepada seluruh negara anggota dan transparasi sebagai salah satu

komponen dalam rezim hak kayaan intelektual di dunia internasional. TRIPs

disebut sebut merupakan pemimpin dalam proteksi Hak Kekayaan Intelektual

konteporer yang standarnya telah di akui pada sejumlah pernjanjian bilateral ,

yang pada akhirnya akab menentukan peraturan hak kekayaan Hak Kekayaan

Intelektual di seluruh dunia.

1. Tujuan Dan Fungsi TRIPs

TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakan hukum hak milik

intelektual guna mendorong timbulnya inovasi , pengalihan , serta penyebaran

teknologi , diperolehnya manfaat bersama penbuatr dan pemakai pengetahuan

dalam segala bentuk kekakayaan intelektual dengan cara menyeimbangkan antara

hak dan kewajiban sesuai dengan pasal 7 TRIPs serta untuk menjamin tindakan

28

Ringkasan dari artikel lengkap mengenai perjanjian TRIPs dapat dilihat dalam

http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e /27-trips_01_e.htm

64

serta prosedur untuk menegakan hak milik intelektual tidak kemudian menjadi

penghalang bagi perdagangan yang sah.

2. Isi TRIPs

Seperti yang sudah kita tahu bahwa TRIPs lahir dari adanya kesepakatan

negara-negara di dunia internasional dengan tujuan melindungi dan memberikan

hak serta kewajiban bagi pelaku hak kekayaan intelektual berikut adalah isi dari

yang di atur di dalam TRIPs.29

Bagian I : Ketentuan umum

Bagian II : Standar ketersediaan, lingkup dan penggunaan Hak kekayaan

Intelektual yang terdiri dari

- Hak cipta dan hak hak yang terkait

- Merek dagang

- Indikasi Geografis

- Desain Industri

- Paten

- Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

- Perlidungan Informasi yang di rahasiakan

- Perlidungan Praktek anti persaingan dalam lisensi

kontrak

Bagian III : Penegakan Hak milik Intelektual yang terdiri dari

- Kewajiban Umum

- Prosedur dan penyelesaian sengketa

29

Sunarmi SH. “ Peranan TRIPs terhadap Hak atas kekayaan Intelektual di Indoenesia” Digital

Library FH USU

65

- Tindakan sementara

- Persyaratan khusus yang berkaitan tindakan yang

sifanya tumpng tindih

- Prosedur Pidana

Bagian IV : pemerolehan dan pemeliharaan Hak milik Intelektual dari prosedur

antar para pihak

Bagian V : Pencegahan dan penyelesaian perselisihan

Bagian VI : Pengaturan Peralihan

Bagian VII : pengaturan kelembagaan

C. Konvensi Internasional Yang terkait Dengan Hak Kekayaan Intelektual.

Ada beberapa konveksi yang dalam penerapan berkaitan dengan perlindungan hak

cipta baik secara individu maupun non individu yang secara tidak langsung mengikat

Negara-Negara anggota untuk melaksanakan peratutan beberapa perjanjian yang

terkait berikut :30

1. Kovensi Roma

Berlakunya Konvensi Roma pada tahun 1961 terhadap Negara –Negara

persetujuan TRIPs , adalah karena ditunjuk oleh persetujuan TRIPs itu sendiri,

Dimana konvensi ini berisikan pengaturan tentang perlindungan bagi pelaku

pertunjukan, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran. Namun bila kita lihat

isi daripada konvensi ini yang dimuat dalam persetujuan TRIPs keseluruhannya

adalah sebagai berikut, yaitu pasal 1,2,3,4,5,6,10,12,13,14,15, dan 1.

2. Konvensi Bern

30

H,OK.Saidin S.H., M.Hum, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, ( Jakarta: PT.Grafindo

Persada,2004), h. 213

66

Dalam hal ini Konvensi Bern mengatur tentang perlindungan karya karya

literer ( Karya tulis ) dan Artistik, di tanda tangani di Bern pada tanggal 9 sebtember

1986, dan telah berulang kali mengalami revisi serta penyempurnaan-

penyempurnaan.

Yang menjadi Objek perlindungan dalam Konvensi ini adalah karya sastra dan

seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau

bentuk penguaraan apapun, demikian yang dapat penulis tangkap dari rumusan pasal

2 Konvensi Bern. Salah satu yang penting dalam konvensi Bern adalah mengenai

perlindungan yang di berikannya terhadap para pencipta atau pemegang hak.

3. Universal Copy Right Convention

Universal Copy right Convention di tanda tangani di Jenewa pada tanggal 6

Sebtember 1992 dan baru mulai berlaku pada tanggal 16 Sebtember 1995. Jika

dilihat dari konvensi Bern dengan Universal Copy Right Convention perbedaan nya

terletak pada dasar falsafah yang di anutnya.

Konvensi Bern mengatur dasar falsafah Eropa yang menganggap Hak kekayaan

Intelektual sebagai hak alamiah daripada si pencipta pribadi, sehingga menonjolkan

sifat individualis yang memberikan hak cipta monopoli.

Sedangkan Universal Copy Right Convention mencoba untuk mempertemukan

antara falsafah Eropa dengan falsafah Amerika ( walaupun pada akhirnya falsafah

amerika yang di kedepankan), yang memandang hak monopoli yang diberikan

kepada si pencipta di upayakan pula untuk mempertahtikan kepentingan umum.

Sehingga Universal Copy Right Convention menggangap bahwa bahwa hak cipta itu

ditumbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada

67

penciptam, sehingga ruang lingkup hak mengenai Hak kekayaan Intelektual itu dapat

di tentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.

68

BAB IV

ANALISIS KASUS PUTUSAN MA MENGENAI NEGARA ISLE OF MAN

MELAWAN CAP KAKI TIGA

A. Posisi Kasus Cap Kaki Tiga Melawan Isle Of Man

Putusan MA Nomor 582k/Pdt.Sus-HaKi/2013 merupakan kasus antara

Wen Drug Co.Pte.Ltd yang beralamat di 2 alexander Roads # 02-08 , Delta House

building, Singapore yang memberikan kuasa kepada yosef B Badeoda SH,MH

dan kawan advokat beralamat di Menara Sudirman lantai 9 Jalan Sudirman

Kav.60. Jakarta .1290 yang merupakan pemilik dari perusahaan cap kaki tiga

sebagai tergugat dan melawan Russel vince seorang berkewarganeraan Inggris

dengan nomor pasport 099182039 yang di wakili oleh Prevany Annisa Relina

SH,MH yang beralamat di Jalan pancoran timur no 37 , Jakarta Selatan. Sebagai

penggugat.

Terjadi nya kasus ini bersumber dari adanya klaim yang dianggap adanya

persamaan unsur pokok antara merek lambang cap kaki tiga yang dimiliki “Wen

Drug Co.Pte.Ltd dengan lambang Negara Isle of Man yang dimana akar masalah

nya adalah pihak yang merasa lambang kaki tiga sudah menjadi lambang Negara,

Membuat Russel Vince seseorang berkewarganeraan Inggris Menggugat produsen

minuman kemasan cap kaki tiga yang menggunakan logo kaki tiga pada

produknya pihak Russel Vince menilai, Merek cap kaki tiga yang terdaftar di

Kementrian Hukum dan Hak asasi manusia atas nama Ken Wen Drug Ltd, itu

telah memakai lambang Negara dari Isle of Man padahal lambang Negara tidak

bisa jadikan merek dari sebuah produk Isle of Man sendiri merupakan suatu

Negara kecil yang bersebelahan dengan Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. Situs

69

resmi dari Isle of man sendiri menyebutkan, bahwa Negara ini mempunyai

pemerintahan dan hukum sendiri serta memiliki mata uang sendiri yaitu Manx

Pon. Negara yang memiliki ibukota di Douglas ini menurut data Bank dunia ini

memiliki populasi penduduk 83.371 jiwa Namun Negara ini masih terkait dengan

Negara inggris baik dari sisi sejarah, sosial , hingga ekonomi pertahanan 1

Bedasarkan hal ini, Russel Vince sebagai termohon kasasi dahulu sebagai

penggugat yang telah mengajukan gugatan terhadap Ken Wen Drug Ltd selaku

pemilik dari perusahaan cap kaki tiga sebagai pemohon kasasi dahulu sebagai

tergugat di depan persidangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta

Pusat hal ini didasarkan Russel Vince bedasarkan pasal 68 UU No.15 Tahun 2001

bahwa gugatan pembatalan merek dapat di ajukan oleh pihak yang berkepentingan

bedasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,pasal 5 atau pasal 6 UU

No.15 Tahun 2001.

Dimana pengugat merasa keberatan bahwa lambang yang di gunakan oleh

oleh Ken Wen Drug Ltd selaku pemilik dari larutan cap kaki tiga telah mengambil

atau meniru dari lambang Negara Isle of Man dimana isi gugatan dari penggugat

adalah cap kaki tiga. memiliki persamaan antara merek dengan lambang Negara

Isle of man terlihat dari bentuk dan komposisi huruf. Gaya penulisan, Komposisi

warna dan gambar/Lukisan 2 gugatan lain nya adalah bahwa objek guagatan a quo

adalah tiruan dan atau menyerupai lambang atau emblem atau suatu simbol

Negara, in casu lambang atau emblem atau simbol atau mata uang isle of man

1http://nasional.kontan.co.id/news/ini-Negara-yang-memiliki-lambang-kaki-tiga

2 Soedjono Dirdjosiswoyo, Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas kekayaan Intelektual,

( Bandung : Mandar Maju,2000), h.283.

70

yang dimana isle of man telah berdiri, jauh sebelum objek gugatan terdaftar dalam

daftar umum merek di turut tergugat dan bahwa tindakan tergugat dengan

mendaftarkan objek gugatan demi keuntungan usahanya, padahal objek gugatan

menyerupai atau tiruan dari lambang/ simbol/emblem /mata uang isle of man yang

sudah cukup dikenal adalah merupakand dari bagian itikad tidak baik pihak cap

kaki tiga dalam menjalankan usahanya dari tergugat.selanjutnya adalah bahwa

dalam menurut penggugat jika melihat dari pasal 6 ayat (3) huruf b undang

undang merek telah mengatur sebagai berikut ;

“ permohonan juga harus di tolak oleh Direktoral Jenderal apabila merek tersebut

(b) merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, atau emlem

Negara atau lembaga nasional maupun Internasional, kecuali ada persetujuan

tertulis dari pihak berwenang.

Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas disini pihak penggugat bahwa

pihak cap kaki tiga mempuyai itikad tidak baik yang dimana dalam pandangan

penggugat hal-hal yang di anggap menyamai dengan lambang Negara Isle of man

adalah : sama sama menggunakan logo lingkaran dengan menggunakan tiga kaki

didalam nya, dimana tiga kaki tersebut saling bertautan dan di tekuk sekitar 45 (

empat puluh lima derajat ) lalu sama sama meliliki motif pola dalam dua kaki

tersebut berupa garis- garis dengan pola yang menyerupai satu sama lain dan

sama sama terdapat logo atau bentuk seperti bintang seperti bintang dalam ukuran

kecil dalam masing masing bagian tumit ketiga kaki tersebut yang dimana turut

tegugat di anggap pasti mempunyai data sistematis yang telah terdaftar pada yang

sistematis tentang merek dagang yang telah terdaftar pada daftar umum dimana

71

turut tergugat pasti telah memiliki standar untuk memeriksa dan melakukan

seleksi atas permohonan pendaftaran merek dagang yang di ajukan pada kelas

barang/jasa tententu.

Namun disini pihak tergugat selaku pemilik dari lambang cap kaki tiga

merasa gugatan dari penggugat ini tidak bisa di terima baik secara hukum nasional

maupun hukum Internasional pertama disini kedudukan penggugat jika mengacu

pada pada pasal 4,5 dan 6 bahwa disini bahwa penggugat tidak memiliki subjek

hukum untuk menggugat tergugat atau tidak ada ada kuatan /memiliki” persona

standi in judicio “bahwa penggugat dalam peryataannya menyatakan bahwa

penggugat adalah warga Negara inggris sangat berkeberatan dengan pendaftaran

merek cap kaki tiga yang meniru lambang Isle of man yang merupakan bagian

dari Negara Inggris bahwa dengan demikiran jelas lah karena penggugat bukan

bagian warga Negara dari Isle of man, dan untuk itu penggugat dengan teori

hukum manapun sama sekali tidak memiliki kepentingan sehubungan dengan

pendaftatan dan penggunaan cap kaki tiga di indonesia oleh tergugat dan seharus

pihak tergugat menganggap bahwa seharusnya tuntutan dari tergugat tidak dapat

diterima dari awal yang dimana Isle of man memang dalam masalah hubungan

luar negeri nya di wakili oleh Negara Inggris namun jika dilihat dari posisi nya

disini Russel vince selaku penggugat jelas hanya sebagai warga Negara Inggris

biasa yang tidak mempunyai kapasitas untuk menggugat. Bahwa apabila Isle of

man berkepentingan dengan adanya pendaftaran merek cap kaki tiga dengan

lambang Negara nya maka pihak Isle of man harus meminta Negara Inggris dalam

hal ini pemerintah inggrris untuk menyelesaikan masalah tersebut disini lah awal

72

inti dari permasalahan antara pihak penggugat disini Russel Vince selaku warga

Negara Inggris dan Ken Wen Drug , Ltd selaku dari penanggung jawab dari

perusahaan cap kaki tiga.

B. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Memutuskan Perkara antara Russel

Vince Melawan Ken Wen Drug , Ltd Produk Larutan Cap Kaki Tiga.

Putusan perkara merek khususnya mengenai persamaan pada pokok dapat

dijadikan gambaran dalam mumutuskan dalam perkara merek antara Russel Vince

dengan Ken Wen Drug , Ltd selaku penanggung jawab dari produk cap kaki tiga

dalam dalam hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan hakim ketika memutuskan

suatu sengketa merek. Karena merek merupakan suatu elemen yang sangat

penting dalam setiap unsur perdagangan komersil yang berdampak pada penjualan

produk tersebut.

Pertimbangan hakim dalam dalam melihat suatu merek yang memiliki

persamaan pada pokoknya dengan suatu unsur lain baik lambang tulisan warna

dan segala hal yang terkait dengan merek, persamaan pada pokoknya dapat dilihat

dari kemiripan terhadap unsur unsur yang menonjol antara merek suatu produk

dengan yang lain yang menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai

bentuk, cara penempatan , cara penulisan ,kombinasi unsur unsur ataupun

persamaan bunyi ucapan yang terdapat pada merek merek tersebut.3 Unsur unsur

yang dimaksud yaitu gambar , nama , kata huruf-huruf ,angka-angka ,susunan

warna atau kombinasi dari unsur unsur tersebut4

3 Ahmadi Miru, Hukum Merek, ( jakarta : PT .Raja Grafindo Persada ,2005 ). h.16

` 4 Tim Lindsey, Hak kekayaan Intelektual , ( Bandung : PT. Alumni ,2005 ) h.133

73

Untuk memutuskan perkara persamaan pada pokoknya, hakim

mendasarkan pertimbangan bedasarkan Undang- Undang No.15 tahun 2001 yaitu

pasal 6 dan penjelesan nya. Selain itu, hakim juga memutuskan Yurisprudensi

dalam memutuskan perkara. Yurisprudensi digunakan untuk membantu hakim

dalam suatu perkara yang peraturannya belum jelas dengan menggunakan

Yurisprudensi pada kasus-kasus yang serupa juga dapat mendukung adanya

kepastian hukum dalam penyelesaian perkara merek terutama persamaan pada

pokoknya.

Pada kasus ini, hakim Mahkamah agung dalam memutuskan perkara

antara merek cap kaki tiga denga Russel vince yaitu Judex facti pengadilan niaga

pada pengadilan negeri Jakarta Pusat yaitu dengan pertimbangan :

A. Bahwa pasal 6 ayat (3) huruf b bahwa permohonan harus ditolak oleh

direktoral apabila merek itu merupakan tiruan atau menyerupai nama , bendera ,

lambang atau simbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun

Internasional kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak berwenang.bahwa apabila

lambang atau merek itu jelas menyerupai dari suatu lambang maka pihak di

rektoral wajib membatalkan/ menolak kecuali mendapatkan izin dari Negara yang

bersangkutan dengan ketentuan ini direktoral merek telah mengabaikan ketentuan

pasal 6 ayat (3) huruf b Undang- Undang nomor : 15 tahun 2001 tentang merek

tersebut, tegas nya dengan demikian maka “ perjanjian itu batal dengan sendiri

nya / Batal Demi Hukum. Karena telah di larang oleh hukum namun Direktoral

tetap melakukannya / mendaftarkannya

74

B. Bahwa, sekalipun tidak ada pihak yang mengajukan keberatan terhadap

lambang/simbol suatu Negara Isle of man, disebabkan secara faktuin cap kaki tiga

nampak jelas adalah lambang Negara isle of man maka direktoral merek harus

menolak dan tidak mendaftarkan merek cap kaki tiga

C. Bahwa karena pendaftaran merek itu dilarang maka , merek yang sudah di

daftar mejadi batal demi hukum ataupun batal dengan sendirinya

D. Dikarenakan merek tersebut sudah terlanjur di daftarkan, maka perintah yang

telah di berikan oleh judex facti sudah tepat dalam perkara ini pada angka 4

membatalkan atau membatalkan merek merek tersebut sudah tepat

Dalam kasus ini Wen Ken Drug Ltd yang menggunakan merek cap kaki

tiga dianggap menyerupai lambang Negara Isle of Man, selain itu majelis hakim

merujuk bahwa Indonesia harus nya memberlakukan sama seluruh warga Negara

Isle of Man, atau sesuai dengan prinsip National Treatment dari sudut pandang itu

, Majelis berpadangan Russel Vince memiliki hak asasi dalam mempertahankan

kehormatan Negara nya , selain itu , Kedudukan Russel vince juga di perkuat

dengan pasal 3 ayat (1) dan pasal 4 TRIPs. Atas pertimbangan tersebut maka

majelis hakim memutuskan untuk membatalkan gugatan dari Ken Wen Drug Ltd

dan tetap meminta Direktorat jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk

membatalkan merek dagang cap kaki tiga milik Ken Wen Drug dari daftar umum

merek.

Yang dimana pada putusan ini bahwa MA menolak permohonan kasasi

dari pada pemohon kasasi dan mewajibkan membayar semua biaya perkara dalam

setiap tingkat peradilan sebesar RP.5000.000- ( Lima juta rupiah )

75

C. Analisis Penulis Terhadap Putusan Hakim Nomor 582 K/ Pdt.Sus-

HaKi/2013.

Akhirnya sengketa merek lambang cap kaki tiga denga lambang Negara

Isle of man dapat di selesaikan di Mahkamah agung dengan putusan MA Nomor

582k/Pdt.Sus-HaKi/2013 dan telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap .

dalam putusan ini. Kasus antara Ken Wen Drug Ltd dan Russel Vince atas

gugatan terhadap lambang Negara Isle of man dimenangkan oleh Russel Vince

selaku penggugat .

Namun disini penulis tidak sepakat dengan pertimbangan hukum

Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Merek dari lambang cap kaki tiga

adalah mengikuti dari lambang Negara Isle of man menurut hemat penulis

pertama jika dilihat dari sejarah cap kaki tiga sendiri produk ini sudah ada sejak

tahun 1937 yang dimana pada saat itu belum ada koneksi secara luas untuk

mengetahui dalam dunia Internasional jika memang benar cap kaki tiga

merupakan tiruan dari lambang Negara Isle of Man harus nya sudah ada laporan

atau gugatan sejak dulu kedua Isle of Man adalah suatu Negara kepulauan yang

dimana masih tidak ada koneksi ke dunia Internasional dan tidak ada keuntungan

dari pihak cap kaki tiga sendiri untuk meniru lambang dari Isle of man sendiri

karena tidak ada nilai komersil yang di hasilkan dari lambang Negara tersebut

lalu jelas penggugat disini selaku warga Negara Inggris tidak mempunyai

kekuatan hukum yang kuat dalam mengajukan gugatan karena tidak ada bukti

76

bahwa adanya legal standing dari Inggris untuk mewakili penggugat dalam kasus

kali ini.

Dalam sudut pandang penulis mengenai pembatalan merek dapat

ditemukan dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 72 Undang Undang nomor 15

Tahun 2001 Tentang Merek. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat dilakukan

pihak yang berkempentingan atau pemilik merek, baik dalam permohonan kepada

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atau guagatan kepada Pengadilan

Niaga, dengan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan pasal

6 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek yang mengatur mengenai

merek yang tidak dapat didaftarkan dan ditolak.5 Ketentuan ini di cantumkan

dalam pasal 68 Undang-Undang 15 tahun 2001 tentang merek yang berbunyi :

1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang

berkempentingan bedasarkan dari Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.

2) Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat

Jenderal.

3) Gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan pada

Pengadilan Niaga.

4) Dalam hal penggugat atau tergugat bertempat tinggal diluar wilayah Negara

Republik Indonesia, Gugatan di ajukan kepada Pengadilan Niaga di Jakarta.

5 Rachmadi Usman, Hukum hak atas kekayaan Intelektual,( Bandung,

PT.Alumni,2003),h.362

77

Adapun pihak yang berkepentingan disebutkan dalam penjelasan pasal 68

ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang dalam

pembahasanya Berbunyi :

“ yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain jaksa,

Yayasan/Lembaga dalam bidang konsumen dan majelis lembaga Keagamamaan”

Bahwa selanjutnya mengingat penggugat dalam melakukan pembatalan

merek terhadap tergugat bertindak atas dirinya sendiri maka penggugat tidak

memiliki Persona Standi In Justicio dalam perkara ini maka sudah seharusnya

majelis hakim dapat mempertibangkan dalam perkara ini.

Adapun Jika dilihat dari tenggang waktu dilakukan nya gugatan

pembatalan merek terdaftar, dinyatakan dalam pasal 69 Undang-Undang 15

Tahun 2001 Tentang merek, bahwa gugatan pembatalan merek hanya dapat

diajukan dalam jangka waktu 5 ( lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek,

namun khusus untuk gugatan pembatalan yang didasarkan pada alasan

bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum dapat

diajukan kapan saja tanpa tanpa adanya batas waktu.

Jika dilihat dari sudut pandang pasal 68 Russel vince tidak mempunyai

hak untuk menggugat merek cap kaki tiga yang telah terdaftar di Indonesia karena

Russel Vince bukanlah pemilik merek dan bukan juga pihak yang mempunyai

kepentingan. Selain itu jika dilihat dalam sudut pandang pasal 69 Undang-Undang

merek Tahun 2001 yang menyatakan bahwa pembatalan merek dapat di ajukan 5 (

lima ) tahun sejak merek tersebut di daftarkan, dalam kasus ini jelas bahwa Russel

vince sudah keluar dari jangka waktu yang sudah di tentukan

78

Serta jika dilhat dari sudut pandang Internasional kita mengenal dengan

World Trade Organization yang dimana ini ada organisasi dalam mewadahi

Negara Negara dalam melaksanakan perdagangan disini jelas pada TRIPs,

berdasarkan pada ratifikasi WTO Agreement dengan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1994.6 seperti yang sudah kita tahu TRIPs sebagai lampiran dalam WTO

merupakan suatu dokumen yang mengikat Indonesia karena Indonesia adalah

salah satu Negara yang meratifikasi persetujuan tersebut, bedasarkan hukum

Internasional, persetujuan Internasional yang telah di ratifikasi merupakan hukum

nasional bagi Negara itu sendiri.

TRIPs yang merupakan salah satu bentuk perjanjian Internasional,

perjanjian yangn mengikat para pihak, selanjutnya Negara-Negara pihak dalam

perjanjian harus menerapkan ketentuan dalamn perjanjian tersebut dalam

peraturan perundang-undangan nasional.7 Sebagai salah satu sumber dalam

hukum Internasional maka perjanjian ini harus diati dan menghormati dalam

pelaksanakan didalam perjanjian yang telah di sepakati tersebut.

Suatu perjanjian tidak juga dapat berlaku bagi Negara-Negara lain hal ini

berlaku prinsip Pacta Tertiis Nex Nocent Prosunt yang berarti bahwa perjanjian

tidak dapat menimbukan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak kepada

Negara non anggota atau Negara ketiga.8

Bedasarkan penjelasan di atas maka penulis menggangap bahwa Russel

Vince yang menggugat pembatalan merek cap kaki tiga tidak memiliki hak atas

6 Ahmad zan Purba,Hak kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung,PT.Alumni,2005),h.7

7 Boer Maulana, Hukum Internasional, Bandung, PT.Alumni,2003),h.135

8 Boer Maulana, Hukum Internasional, Bandung, PT.Alumni,2003),h.143

79

gugatan tersebut karena Isle Of Man tidak tergabung menjadi anggota WTO dan

perjanjian TRIPs oleh karena itu maka tidak dapat di berlakukan kepadanya

aturan-aturan yang berada dalam TRIPs termasuk penggunaan National Treatment

yang merupakan salah satu prinsip dasar TRIPs dan WTO tidak dapat di

berlakukan kepada Negara Isle Of Man.

Pelanggaran merek juga tidak dapat di tegakan di Negara Isle Of Man

karena Negara tersebut tidak tergabung dalam WTO dan TRIPs, Oleh karena itu

legal standing dari Russel Vince masih di pertanyakan.

Demikian pula dengan hal pada lambang Negara Isle of Man Negara-

Negara peserta konvensi dapat saja tidak mengakui adanya lambang Negara Isle

of Man karena Isle Of Man sendiri merupakan Negara yang belum tergabung

dalam TRIPs dan WTO sehingga masih belum mendapat perlindungan hukum

merek yang jelas.

Perihal juga jika dilihat dari pasal 4 UU Merek tentang pendaftaran merek

mengenai yang harus di tolak jika pendaftar mempunyai itikad yang tidak baik ,

yang dapat dimaksud bahwa pendaftar mempunyai niat yang tidak jujur dengan

niat membonceng ,meniru , atau menjiplak ketenaran merek pihak lain atau

menimbulkan efek pada persaingan usaha yang tidak baik/curang , namun

menurut sudut pandang penulis pihak tergugat selaku dari Cap kaki tiga tidak

terlihat adanya niatan untung mendompleng dari pihak Isle Of Man yang dimana

tidak ada unsur unsur yang terdapat pada cap kaki tiga dalam apalagi dalam

mendompleng ketenaran dari Isle Of Man itu sendiri dengan demikian penulis

tidak sependapat bahwa ada nya itikad tidak baik dari pihak cap kaki tiga.

80

Dalam Putusan Mahkamah Agung R.I mengenai perkara No.582

K/Pdt.Sus-HaKi/2013 pada permohonan kasasi tergugat, majelis hakim

berpendapat bahwa Ken Wen Drug Pre Ltd dianggap telah melakukan pendaftaran

merek cap kaki tiga dengan itikad buruk dengan merujuk pada pasal 6 ayat (3)

huruf b dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, yang

menyatakan bahwa permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh direktorat

jenderal apabila merek tersebut

(b) Merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,

lambang atau simbol atau emlem Negara atau lembaga nasional, maupun

Internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Berdasarkan pada perjanjian TRIPs suatu merek tidak dapat di terima

dalam pendafraran nya apabila ada unsur yang menyerupai nama, bendera ,

lambang atau emblem dari suatu Negara sebagaimana yang telah di tuangkan

dalam Article 6 Paragraph 1 sub (a) Paris Convention :

(a) The Countries of The union Agree for refuse or to invalidate the

registration and prohibit by appropiate measures the use, without authorization

by the competent authorities, either as trademarks or as elements of trademarks,

of armorial hearings flags, and other state emblems, of the countries of the union

official signs and hallmarks indicating control and warranty adopted by them,

and any imitation heraldic pont of view.

Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Negara-Negara anggota

setuju untuk menolak atau mengesahkan dan melarang dengan langkah-langkah

yang tepat dalam penggunaan mnerek baik dalam bentuk keseluturuhan atau

81

sebagian yang dijadikan dalam unsur merek dagang yang berhubungan dengan

lambang, bendera, dan emblem Negara, dari Negara-Negara anggota, Tanda tanda

resmi dan ciri suatu Negara yang dapat dilihat melalui sudut pandang heraldik

yang merupakan suatu ilmu atau seni dalam menciptakan lambang Negara,

berserta kajian tentang makna asal- usul, sejarah dan perkembangan nya.

Pernyataan tentang larangan penggunaan lambang ataupun emblem Negara dalam

article 6 paragraph 1 (a) Paris Convention hanya di berlakukan bagi Negara

Negara yang tergabung dalam anggota konvensi Paris, TRIPs, WTO, hal ini di

tegaskan dengan kalimat “of the countries of the Union” yang berarti setiap

Negara dilarang menggunakan lambang Negara ataupun emblem yang di gunakan

oleh sesama Negara anggota dan dalam perjanjian ini di pertegas kembali dalam

article 6 paragraph 1 sub (b) :

(b) The Provisions of subparagraph (a) , above shall apply equally to

armorial bearings, flags, other emblems, abbreviations, and names of

international intergovernmental organizations of which exception of armorial

bearings , flags , other emblems, abbreviations, and names, that are already the

subject of international agreements in force, intended to ensure their protection.

Dalam ketentuan sub ayat (b) diatas menegaskan bahwa ketentuan-

ketentuan sub ayat (a), akan beelaku untuk pengguanaan terkait ambang, bendera ,

lambang lain, dan nama organisasi antar pemerintah Internasional yang satu atau

lebih adalah Negara-Negara anggota dengan penggunaan yang sudah menjadi

subjek perjanjian Internasional agar dapat memastikan perlindungan yang di

berikan kepada mereka.

82

Jika dilihat dari keberadaan nya kita dapat melihat bahwa Negara Isle of

man Negara dari bagian kolonial Inggris yang hanya memenuhi ketentuan secara

de facto sedangkan secara ketentuan De Jure tentang aspek apa saja yang dapat

memenuhi pemerintahan yang berdaulat belum terpenuhi, pemerintahan dapat di

akui secara de jure apabila pemerintahan dalam suatu Negara sudah memenuhi

faktor faktor sebagai berikut:

a. Efektifitas : Kekuasaan yang di akui di seluruh wilayah Negara

b. Regularitas : Berasal dari pemilihan atau telah di sahkan oleh konstitusi

c. Ekslusifitas : Hanya pemerintahan dalam negeri itu sendiri yang

memegang penuh pemerintahan dan tidak ada

pemeritahan tandingan ataupun kekuasaan lain yang

mengatur didalamnya.

Serta di dalam Konvensi Montevido tahun 1933 dirumuskan empat syarat

agar suatu Negara dikatakan sebagai subjek hukum Internasional , yaitu adanya

penduduk yang tetap , wilayah, pemerintah yang sah, dan kewenangan untuk

melakukan hubungan hubungan antar Negara lain, maka secara teoritis Isle of

Man belum dapat dikatakan sebagai Negara yang berdaulat secara sah seutuhnya

karena secara kepentingan politik pertahanan luar negeri masih dalam naungan

dan pantauan dari Negara Inggris selain itu Isle of Man belum memenuhi unsur

ekslusifitas karena secara de jure pemerintahan Isle of man bukan satu satu nya

pemerintahan yang berdaulat tetapi masih ada pemerintahan Inggris yang masih

berkuasa atas Negara Isle of Man maka dengan kata lain pembatalan merek yang

di landaskan atas itikad buruk dengan menggunakan lambang atau emblem

83

Negara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena masih banyak faktor yang

membuat Isle of man disini tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam

perlindungan merek.karena masih belum secara hukum Internasional menjadi

Negara bedaulat yang sah.

Dalam putusan dari persidangan sebelumnya, alasan salah satu pembatalan

merek cap kaki tiga yang putusan majelis hakim didasarkan atas pertibangan

prinsip national treatment yang menjadi prinsip dasar dalam TRIPs , bedasarkan

prinsip National Treatment yang menjadi prinsip dasar dalam TRIPs bedasarkan

prinsip National Treatment yang idenya di adopsi dari Article 2 Paris Convention

dan Article III GATT 1947, menetapkan bahwa setiap Negara anggota peserta

TRIPs wajib memberikan perlakuan yang sama antara warga Negara sendiri

dengan warga Negara asing dalam hal perlindungan HKI. Prinsip ini berbeda

dengan prinsip resiproritas atau asas timbal balik. Tujuan prinsip National

Treatment adalah untuk menciptakan Harmonisasi perdagangan Internasional agar

tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif di pasar domestik, sebab pasar domestik

tidak akan pernah lepas dari pasar Internasional suatu Negara dari definisi diatas

maka dapat di tarik kesimpulan :

a. Adanya Kepentingan dari Negara Peserta

b. Kepentingan itu Berada dalam Wilayah Yurisdiksi suatu Negara

c. Negara tuan rumah harus memperlakukan kepentingan Negara asing

sama baik nya dengan kepentingan sendiri

d. Perlakuan tersebut tidak boleh merugikan Negara asing dan hanya

mengutungkan Negaranya sendiri

84

Hal ini sangatlah penting dalam penerapan prinsip National Treatment

terkait dengan perkara pembatalan merek cap kaki tiga bahwa seperti yang telah

penulis utarakan bahwa prinsip National Treatment hanya berlaku bagi Negara-

Negara yang tergabung di dalam TRIPs dan WTO, dengan kata lain Negara

Negara yang tidak tergabung dalam TRIPs dan WTO seperti Negara Isle of Man

penerarapan Prinsip ini tidak dapat secara otomatis memberikan perlidungan

kepada Negara tersebut.

85

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Bedasarkan uraian dari yang telah di kemukakan penulis sebelumnya,

maka penulis menarik kesimpulan diantara sebagai berikut:

1. Undang undang nomor 1 tahun 2001 tentang merek sudah cukup

mengakomodir bagaimana merek itu sendiri dalam melindungi merek

pendaftar ada beberapa kekurangan yang harus di tambahkan, seperti pada

pasal 6 masih terdapat kata yang harus di perbaiki selain itu jika dilihat ada

beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas Undang-undang nomor 15 tahun

2001 tentang merek , seperti kurang nya aparatur penegak hukum dalam

masalah merek yang terkait pelanggaranya, serta kurang nya fasilitas

khususnya dalam bentuk teknologi bagi para aparatur yang terkait dengan

merek guna mencari informasi mengenai merek-merek apa saja yang sudah

terdaftar di seluruh negara perserta WTO

2. Konvensi internasional memang menyerahkan sepenuhnya kebebasan bagi

setiap negara peserta konvensi dalam mengatur Undang-undang merek bagi

negaranya, namun undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan internasional yang telah di ratifikasi pada dasarnya kekuatan

hukum negara dan konvensi-konvensi internasional mempunyai kekuatan

hukum yang sama. Karena salah satu sumber undang-undang Nomor 15

tahun 2001 dibuat bedasarkan konvensi internasional yang telah di ratifikasi

bawasanya WTO sebagai lembaga penegak khususnya dalam perihal merek

86

sudah mengatur di dalam nya mengenai penyelesaian bila terjadi konflik di

dalamnya yang sudah sepatutnya di patuhi dalam ruang lingkup internasional

3. Putusan Pengadilan Niaga No.582 K / Pdt.Sus–HaKi/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.

dinilai betentangan dengan konvensi internasional serta yurisprudensi yang.

Menurut hakim dalam pertimbangannya memutus perkara tersebut bahwa cap

kaki tiga meniru dari lambang negara Isle of man walaupun memang tidak

terbukti secara jelas bahwa cap kaki tiga ada benar-benar meniru lambang

negara yang bersangkutan dan jika dilihat dari sudut konvensi internasional

harus hakim melakukan pertimbangan lagi sesuai dengan perjanjian yang

telah di sepakati oleh indonesia. Dalam hal ini hakim hanya mengacu kepada

ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang Nomor 15 tahun

2001 saja khususnya pasal 6 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001,

seharusnya hakim mengambil pertimbangan hukum bedasarkan konvensi

internasional yang telah di ratifikasi Indonesia serta Yusriprudensi yang ada.

B. Saran

Pada akhir penulisan ini, penulis memberikan beberapa saran di antaranya

yang penulis lihat sebagai berikut:

1. Sudah seharusnya seorang hakim dalam memutuskan kasus perkara

mengenai merek khususnya yang mencangkup hubungan negara lain harus

lebih berhati-hati harus juga melihat dari sisi lain dari aspek hukum

internasional yang sudah di ratifikasi oleh negara yang bersangkutan tidak

hanya terfokus pada undang undang dari negara itu sendiri karena

walaupun negara memang di izinkan dalam membuat peraturan itu sendiri

87

namun bagaimanapun masih terikat dengan perjanjian internasional yang

sudah di sepakatinya dan itu adalah konsekuensi dari negara yang sudah

menyepakatinya. Karena ini merupakan konsekuensi dari suatu negara

yang telah menyapakati dalam konvensi internasional hal ini semata-mata

untuk menghindari pandangan buruk atas perlindungan merek di indonesia

dalam dunia internasional karena perlindungan merek yang kurang baik

secara tidak langsung akan membawa dampak yang kurang baik untuk

bangsa indonesia khususnya dalam pembangunan di sektor ekonomi yang

sampai saat ini masih membutukan investor asing dari luar negeri.

2. Direktoral jenderal Hak kekayaan intelektual lebih selektif dalam

menerima pendaftaran suatu merek dalam daftar umum merek, karena

pendaftaran ini merupakan tahap seleksi yang paling utama, sebelum

berlanjut ke tahap tahap selanjutnya

Daftar Pustaka

Buku-Buku

Arifin,Sjamsul, Kerjasama Perdagangan Internasional, Jakarta : PT Elex Media

Komputindo,2004

Adolf, Huala , Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization, Bandung,

Mandar maju, 2005

Amirin,Tatang M, Pokok-pokok Teori Sistem, Jakarta: CV. Rajawali, 1986

Agus,Budi Riswandi dan M. Syamsudin, Hak keyaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta,

Raja Grafindo,2005

Budi Maulana, Insam, A-B-C Desain Industri Teori dan Praktek di Indonesia, cetakan pertama,

Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010

Damian,Eddy, Hukum Hak Cipta Menurut beberapa Konvensi Internasional, Bandung: Penerbit

Alumni,2002

Dirdjosiswoyo, Soedjono, Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas kekayaan Intelektual, (

Bandung : Mandar Maju,2000

Gautama,Sudargo, Hukum Merek Indonesia, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1989

Gita Putri Ginting, Gloria, Perlindungan Hukum Merek Terkenal Tidak Terdaftar di Indonesia.

Harahap, Yahya, “Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan

Undang-Undang No. 19 Tahun 1992”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996

Kartadjoemena,H.S, GAAT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional Di Bidang

Perdagangan, (Jakarta ; Penerbit UI-Press, 1996)

Kartadjoemena, H.S, GAAT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang

Perdagangan , Jakarta; Penerbit UI-Press, 1996

Kusumaatmaja, Mochtar , Pengantar Hukum Internasional,Jakarta, Bina Cipta, 1978

Lindsey, Tim dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: P.T.Alumni,2003.

Lindsey,Tim Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni, 2005

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media,2008

Manan,Abdul, Peranan Hukum dalam pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group,2014

MD,Moh.Mahfud, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,Yogyakarta: UII Press, 1999

Miru,Ahmadi, Hukum Merek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005,

Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Saidin,Ok,H, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Rajawali pers, Jakarta, 2010)

Sastroamidjojo,Ali,Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta, Bhatara, 1971)

Sardjono, Agus,Membumikan HKI di Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, 2009, h.20.

Supramono, Gatot, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, 2008

Suherman,Ade Maman , 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian

Sengketa WT , Jakarta,Sinar Grafika,

Suryono,Eddy Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Indonesia, (Bandung, CV

Remadja Karya), 1984

Soelistyo,Henry, 2011, Op.cit, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006,

Starke, JG, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta; Sinar Grafika, 1995

Soebekti,R, Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986)

Syahmin, Hukum perjanjian internasional, Menurut Konvensi Wina, Bandung, Armico, 1985,

Usman,Rachamadi, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual,Bandung: P.T Alumni,2003

Soekardono,R, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8 Dian Rakyat, Jakarta, 1983

Harahap,Yahya , Tinjauan Merek Secara Umum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2003

Jurnal

Budi Maulana, Insan, dikutip dalam Ridwan Khairandy, Perlindungan Hukum Merek dan

Problematika Penegakan Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual,

Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII dan Yayasan Klinik HaKI, 2000

Dianggoro, Wiratno ”Pembaharuan Undang-Undang Merek dan Dampaknya Bagi Dunia

Bisnis”, artikel pada Jurnal Bisnis, vol 2, 1997

Internet

http://nasional.kontan.co.id/news/ini-Negara-yang-memiliki-lambang-kaki-tiga

Ringkasan dari artikel lengkap mengenai perjanjian TRIPs dapat dilihat dalam

http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e /27-trips_01_e.htm