Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur

3

Click here to load reader

Transcript of Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur

Page 1: Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur

Perlu Rekonstruksi Pembelajaran Agama Menuju Pendidikan Multikultur

Jika mengikuti dinamika budaya global, maka berbagai ekses negatif sulit dihindari. Dalam

kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, kecenderungan yang terjadi adalah mengikuti

dinamika budaya global, sehingga banyak berbenturan dengan nilai-nilai budaya lokal. Untuk

menanggulangi semua itu, maka beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk membangun

kembali toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia, adalah dengan melakukan

rekonstruksi pembelajaran agama di sekolah.

Oleh I Ketut Suda

Berbagai bentuk kekerasan telah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia beberapa tahun

belakangan ini, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan antarPeserta didik,

sampai kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi dalam

kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini mulai terdegradasi. Selain itu, ikatan-ikatan

tradisional yang berbasis etnoreligius dalam kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh

tekanan konstitusi dan hukum sebagai standar umum budaya publik juga tampak mulai

merenggang. Ditambah lagi kebutuhan akan pengakuan publik atas identitas kultural masyarakat

tradisional mulai diabaikan, maka hal demikian berdampak pada kerukunan dalam kehidupan

beragama, berbangsa, dan bernegara.

Terhadap fenomena tersebut, tesis Derrida tentang keberadaan negara serta pengaruhnya

terhadap ikatan-ikatan komunal dalam bukunya Politics of Frienship (1977) tampaknya dapat

dijadikan acuan untuk menganalisis persoalan ini. Dalam bukunya itu, Derrida menegaskan

bahwa masyarakat politik selalu bersifat paradoks. Artinya, setiap masyarakat politik melalui

konstitusi dan undang-undang negara berupaya mempersatukan berbagai komunitas berbeda

dalam satu kesatuan politik. Namun, di sisi lain ditariknya komunitas komunal ke dalam

kesatuan negara berakibat ikatan-ikatan komunitas tradisional menjadi longgar bahkan

cenderung terputus. Dengan demikian, sebuah masyarakat politik pada esensinya dapat dikatakan

mempersatukan dan sekaligus juga menceraiberaikan.

Pemahaman yang sebangun dikembangkan pula oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The

Clash of Civilization and the Remarking of World Order, sebagaimana dikutif Triguna (2011:1).

Menurut Huntington, setelah berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni

Soviet, yang oleh Huntington diintroduksi sebagai perang dingin babak kedua, maka semakin

besar peluang terjadinya benturan peradaban dunia, termasuk dalam makna itu benturan

antaragama. Dalam konteks ini, Huntington berpandangan bahwa Islam dan Konfusianisme

sebagai wakil dua peradaban Timur akan berbenturan secara diametral dengan peradaban Barat,

terutama peradaban dan kebijaksanaan Amerika Serikat sebagai simbol peradaban Barat.

Pemahaman yang dikembangkan Huntington mengenai dinamika antarperadaban dan antarumat

Page 2: Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur

beragama ini, ternyata menunjukkan nilai kebenarannya dalam potret kehidupan antarumat

beragama di Indonesia dewasa ini. Bangsa Indonesia yang secara historis merupakan bangsa

yang sangat plural, di zaman dulu terkenal memiliki sikap yang ramah, toleransi yang tinggi, dan

anti pada sikap kekerasan, namun kini tampak mulai berubah. Berbagai kerusuhan yang

bernuansa SARA, yang terjadi belakangan ini, membuktikan bahwa betapa bangsa Indonesia

tidak lagi menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang humanis. Akan tetapi, telah berubah

menjadi bangsa yang beringas, suka akan kekerasan, dan mudah terprovokasi ke arah sentimen

antikelompok etnis dan kelompok agama sebagai manifestasi dari adanya fanatisme dan

rasialisme.

Selain itu, merenggangnya ikatan-ikatan tradisional yang berbasis etnoreligius dan sosiokultural

dalam kehidupan masyarakat, juga disebabkan kuatnya pengaruh imperialisme dan kapitalisme

global melanda dunia dewasa ini. Hal demikian telah menggiring semua bangsa di dunia harus

berhadapan pada dua kecenderungan budaya yang berlawanan arah. Pertama, dinamika budaya

lokal yang cenderung sulit berubah, orisinal dan bersifat adiluhung dan kedua, dinamika budaya

global yang cenderung mengikuti nilai-nilai kemajuan, perubahan, difrensiasi, dan eksploitasi.

Dikatakan kontradiktif, sebab, jika mengikuti dinamika budaya lokal, kita akan dicap kuno,

ketinggalan zaman, katrok, dan sebutan lainnya yang senada.

Dinamika Global

Jika mengikuti dinamika budaya global, maka berbagai ekses negatif sulit dihindari. Dalam

kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, kecenderungan yang terjadi adalah mengikuti

dinamika budaya global, sehingga banyak berbenturan dengan nilai-nilai budaya lokal. Untuk

menanggulangi semua itu, maka beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk membangun

kembali toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia, adalah dengan melakukan

rekonstruksi pembelajaran agama di sekolah.

Pertama, pendidikan agama di sekolah sebaiknya tidak membuat anak-anak menjadi terkotak-

kotak menurut agama yang dianutnya. Sebab hal demikian dapat memunculkan sikap fanatisme

yang berlebihan terhadap ajaran agama sendiri dan meremehkan ajaran agama lain, yang pada

akhirnya dapat bermuara pada disintegrasi bangsa. Kedua, pendidikan agama di sekolah

seharusnya mampu memberikan pemahaman tentang ajaran agama secara universal kepada para

Peserta didiknya. Sehingga dapat membangun kedewasaan dan sekaligus keterbukaan pada

pikiran para Peserta didik, dan agama tidak dipahami hanya sebatas agama-agama resmi seperti

Hindu, Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Akan tetapi setiap pencarian Tuhan, kebenaran,

kebaikan, cinta kasih, dan pemuliaan terhadap sesama manusia dan alam semesta itu pun dapat

dipahami sebagai agama.

Ketiga, pendidikan agama seharusnya memiliki fungsi neo confensional, dalam arti di samping

berfungsi untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agamanya sendiri,

juga berfungsi untuk memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan

mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkembangkan sikap toleransi dalam

Page 3: Perlu rekonstruksi pembelajaran agama menuju pendidikan multikultur

kehidupan beragama.

Semua ini merefleksikan bahwa sampai saat ini pendidikan agama yang diajarkan di sekolah

baru sebatas transfer ilmu agama (transfer of knowledge) dibandingan transmisi nilai-nilai

keagamaan dan nilai-nilai moral (transmission of value) kepada peserta didiknya. Dengan

demikian pendidikan multikulturalisme yang diharapkan dapat mengantarkan warga sekolah

untuk dapat merasa saling ketergantungan dan menanggung nasib secara bersama-sama demi

terciptanya perdamaian abadi yang masih jauh dari harapan. Padahal salah satu bagian penting

dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai oleh kemajemukan etnis, budaya dan

agama adalah membangun dan menumbuhkan kembali pluralisme dalam kehidupan masyarakat.

Jadi, untuk menuju terwujudnya pendidikan multikultur di sekolah, dapat ditempuh suatu cara,

selain harus meninjau kembali kurikulum agama yang berlaku di sekolah-sekolah selama ini,

kepada para Peserta didik juga perlu diberikan pemahaman agama secara universal, sehingga

mereka tidak terjebak pada pemahaman agama dalam arti yang sempit atau dengan kata lain

peserta didik tidak terjebak pada fanatisme agama secara berlebihan. Atau dapat pula dilakukan

dengan cara menata ulang sistem pembelajaran agama di sekolah, mulai dari kurikulum, materi

ajar, dan metode pembelajarannya dari yang bersifat eksklusif menjadi lebih bersifat inklusif.

Dengan sistem demikian, paling tidak Pendidik dan Peserta didik yang secara realitas memiliki

keanekaragaman budaya, agama, dan etnis dapat berinteraksi secara langsung, satu sama lain

dengan sikap terbuka dan rasa toleransi yang tinggi.

Penulis, dosen pada Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi Denpasar, alumnus Program

Doktor Kajian Budaya Unud.