makalah rekonstruksi

33
MAKALAH PROFESI KEPENDIDIKAN “Merekonstruksi Masyarakat Dan Kebudayaan Melalui Pengubahan Sistem Pengelolaan Pendidikan Di Sekolah” DOSEN PENGAMPU Drs.Abu Bakar, M.Pd Disusun oleh kelompok II Anggota: Elvi Yarni(A1C112039) Yuniarti (A1C112021 ) Vivi Putri (A1C111052) Mey Sulistiowati ( RRA1C112012 ) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN

description

makalah rekonstruksi

Transcript of makalah rekonstruksi

MAKALAH PROFESI KEPENDIDIKAN

“Merekonstruksi Masyarakat Dan Kebudayaan Melalui

Pengubahan Sistem Pengelolaan Pendidikan Di Sekolah”

DOSEN PENGAMPU

Drs.Abu Bakar, M.Pd

Disusun oleh kelompok II

Anggota: Elvi Yarni(A1C112039)

Yuniarti (A1C112021 )

Vivi Putri (A1C111052)

Mey Sulistiowati ( RRA1C112012 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat Nya

yang berlimpah yang mampu memberikan kami kekuatan untuk menyelesaikan tugas

makalah Kimia Profesi Pendidikan. Dan tak henti-hentinya kami ucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah

ini.

Pada makalah Profesi Pendidikan ini kami telah membahas tentang Merekontruksi

masyarakat dan kebudayaan melalui pengubahan sistem pengelolaan pendidikan

disekolah.Area kebijakan pendidikan merupakan diskursus penting dalam

penyelenggaraan pendidikan di suatu negara.Kebijakan pendidikan amat menentukan

konstruksi dan arah pembangunan manusia Indonesia.Kebijakan pendidikan tidak

dirumuskan dalam suatu proses yang tunggal,tetapi ia ditentukan oleh berbagai variabel

penting, apalagi jika kebijakan pendidikan itu ingin difokuskan kepada upaya

mengantisiapasi perkembangan aspirasi masyarakat

Pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, maka dari itu kami sangat

mengharapkan masukan yang berlimpah terhadap kekurangan-kekurangan yang ada pada

makalah ini. Agar kelak makalah ini bisa sesempurna mungkin hasilnya.

Terimakasih.

Jambi, 15 Juni 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….......i

DAFTAR ISI……………………………………………………………….........................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………......1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….........................1

1.3 Tujuan…………………………………………………………………………....2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Aliran Filsafat Rekonstruksi...................................................................3

2.2 Misi Pendidikan Sekolah.....................................................................................4

2.3 Sekolah Sebagai Sarana Rekonstruksi Masyarakat.............................................6

2.4 Pengaruh Eksternal dan Internal Dalam Pengelolaan Pendidikan......................8

2.5 Pendidikan Di Sekolah Dengan Sistem Disentralisasi.........................................9

2.6 Membangun Mutu Sekolah Melalui Budaya (Kultur) Sekolah..........................10

2.7 Program Kegiatan yang Perlu Dikedepankan.....................................................12

2.8 Karakteristik Kultur Sekolah...............................................................................16

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………....18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..........19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sekarang kita berada pada milenium ke 3 dari proses kehidupan manusia tepatnya

berada pada abad ke 21,yang bukan saja merupakan abad baru melainkan njuga peradaban

baru.Hal ini dikarenakan betapapun bangsa kita mengalami krisis moneter ketidak stabilan

politik,bangsa Indonesia telah mengalami restrukturisasi global dunia yang sedang berjalan

yang ditandai dengan berbagai perubahan dalam semua aspek kehidupan,baik di negara maju

apalagi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Masalah krisis yang kompleks dan membawa tantangan amat berat bagi masyarakat

bangsa indonesia,menyadarkan kita betapa sistem pendidikan yang dilakukan selama ini

belum membentuk pribadi yang tangguh serta mengembangkan pemikiran yang kreatif untuk

memecahkan persoalan krisis ekonomi..Bahkan,yang lebih parah adalah akibat krisis ini

muncul krisis moral dimasyarakat kita,pembantaian,pemerkosaan,tawuran antara pelajar,dnan

perampasan hak miliki orang lain terjadi dimana-mana.Apakah ini ciri-ciri eradaban global?

Dari sudut pendidikan tanpaknya ada indikasi bahwa krisis moral yang dikemukakan di atas

menandakan belum berhasilnya lembaga pendidikan (sekolah) membentuk pribadi anak

bangsa ini menjadi pribadi yang bermartabat.Persoalannya adalah bagaimana sekolah

merekonstruksi masyarakat bangsa agar survival di era global dan pendidikan yang

bagaimana yang harus diberikan agar dapat memantapkan pendidikan kita.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah aliran filsafat rekonstruksi ?

2. Bagaimana seharusnya misi pendidikan sekolah ?

3. Mengapa sebagai sarana rekonstruksi masyarakat ?

4. Bagaimana pengaruh eksternal dan internal dalam pengelolaan pendidikan ?

5. Apakah pengaruh pendidikan di sekolah dengan sistem disentralisasi ?

6. Bagaimana membangun mutu sekolah melalui budaya (kultur) sekolah ?

1.3 TUJUAN

1. Dapat mengetahui sejarah aliran filsafat rekonstruksi

2. Dapat mengetahui misi pendidikan sekolah

3. Dapat mengetahui sekolah sebagai sarana rekonstruksi masyarakat

4. Dapat mengetahui pengaruh eksternal dan internal dalam pengelolaan pendidikan

5. Dapat mengetahui pendidikan di sekolah dengan sistem disentralisasi

6. Dapat membangun mutu sekolah melalui budaya (kultur) sekolah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Aliran Filsafat Rekonstruksi

Rekonstruksi merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme.Gerakan ini lahir

didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri

dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saaat sekarang ini.Rekonstruksi

dipelopori oleh George S.Count dan Harold Rugg pada tahun 1930,ingin membangun

masyarakat baru, masyarakat pantas dan adil.

Rekonstruksi sosial dan budaya melihat zaman sekarang sebagai zaman yang dilanda

krisis budaya yang parah yang merupakan konsekuensi dari ketidakmampuan manusia untuk

merekonstruksi nilai-nilai dalam hal persyaratan kehidupan modern.Manusia telah memasuki

zaman teknologi dan ilmu pengetahuan modern dengan seperangkat nilai-nilai yang berasal

dari masa lalu, desa pra-industri.Untuk mengatasi krisis manusia perlu meneliti budaya dan

untuk menemukan di dalamnya unsur-unsur yang layak yang dapat digunakan sebagai

instrumen untuk menyelesaikan krisis saat ini.Jika manusia meneliti warisan perencanaan ke

arah perubahan,dan melaksanakan rencananya,ia akan membangun sebuah tatanan sosial

baru.Ini adalah tugas sekolah untuk mendorong penilaian kritis terhadap warisan budaya dan

unsur-unsur yang dapat menjadi instrumen dalam rekonstruksi yang dibutuhkan.

Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi/mengarahkan perubahan

atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini.Theodore Barameld (1904-1987).Mendasarkan

filsafatnya pada dua premis dasar pada pasca era Perang Dunia II : Yang petama kita tinggal

dalam suatu periode krisis hebat,yang paling nyata pada fakta bahwa manusia saat ini telah

mampu menghancurkan peradapan dalam semalam,dan yang kedua umat manusia juga

memiliki potensi intelektual,teknologi dan moral untuk menciptakan suatu peradaban dunia

“kesejahteraan, kesehatan dan kapasitas rumah“ (Brameld 1969:19).

Sekolah harus menjadi agen utama untuk merencanakan dan mengarahkan perubahan

sosial dan budaya.Rekontruksi social yang diupayakan Barammeld didasarkan atas suatu

asumsi bahwa kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan ke masyarakat urban yang

berteknologi tinggi,namun masih terdapat suatu kelambatan budaya yang serius, yaitu dalam

kemampuan manusia menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi. Hal tersebut sesuai

dengan pandangan Counts yang telah dikemukakan sebelumnya,bahwa apa yang diperlukan

pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekontruksi

masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru.

2.2. Misi Pendidikan Sekolah

Sekolah tersebar diseluruh pelosok tanah air.Hal itu sangat menggembirakan karena

diharapkan kaum pelajar dapat ditemukan dimana-mana.Dengan banyaknya kaum pelajar

berarti misi pendidikan sekolah tercapai.Seperti diketahui misi pendidikan lembaga sekolah

ada 3 yaitu sebagai berikut :

Pendidikan kepribadian

Dalam hal ini pendidikan kepribadian sekolah membantu dan bekerja sama dengan

keluarga dan lembaga agama.

Pendidikan kewarganegaraan

Dalam hal ini pendidikan keluarganegaraan dimana sekolah bekerja sama dengan

lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.

Pendidikan intelektual

Dalam hal pendidikan intelektual sekolah melakukan sendiri walaupun memperoleh

bantuan dari lembaga lain sebab misi pendidikan intelektual adalah kekhususan

sekolah,misalnya dilakukan secara berangkai sejak TK sampai perguruan tinggi.

Harapan tentang timbulnya kaum terpelajar atau tercapainya pelaksanaan pendidikan

terintelektual,sebenarnya belum memuaskan.Hal itu tampak pada banyaknya kritik pada

sekolah.Sebagian kritik tersebut dapat bersumber pada ketidakmampuan lulusan sekolah

menggunakan ilmu pengetahuannya.Ketidakmampuan lulusan sekolah menggunakan ilmu

pengetahuannya itu sebagian besar terletak pada salah mengerti tentang pemerolehan ilmu

pengetahuan.Pembelajar atau siswa tidak mengerti bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil

penelitian.Pengetahuan tentang bagaimana memperoleh pengetahuan penting bagi pembelajar

dan juga para guru.Apabila seorang pembelajar,mahasiswa,guru apalagi sarjana mengetahui

bagaimana memperoleh pengetahuan tentang masyarakat maka dapat dikatakan:

Memahami perilaku manusia dalam masyrakat.

Ikut serta memperbaiki perilaku warga masyarakat secara tidak langsung.

Hal ini terjadi karena ciri keterpelajaran adalah partisispasi memecahkan masalah

dalam masyarakat.

Untuk menciptakan pribadi anak sebagai kaum terpelajar maka pendidikan disekolah

sebagai kegiatan pendidikan bersifat formal perlu memerlukan suatu landasan.Hal ini

dikarenakan kegiatan pendidikan merupakan peristiwa sosial gejala rohani,dan tindakan

manusiawi dalam hubungannya dengan alam manusia dan sistem nilai.Unsur material

pendidikan pada umumnya terhimpun dalam satuan tindak mendidik (tindak pedagogis) yang

secara mikro dikenal sebagai situasi pendidikan,atau secar makro dikenal sebagai kegiatan

pendidikan terprogram.

Analisis keilmuan tentang kegiatan pendidikan disekolah secara makro menunjukkan bahwa

penciptaan program-program pendidikan memerlukan landasan dasar sebagai cabang ilmu

pengetahuan secara interdisiplinier.Analisis keilmuan interdisiplinier tersebut memang

diperluaskan,karena kegiatan pendidikan sebagai objek ilmiah merupakan :

Gejala rohani

Dalam arti perkembangan rohani antara anak yang menjadi dewasa dalam konteks

hubungan rohani antara anak didik dengan pendidiknya.

Peristiwa sosial

Dalam arti merupakan tindak sosialisasi dari generasi tua ke generasi muda,

merupakan antara individu dan hubungan kelompok sosial dalam arti lokal,nasional

dan internasioanal.

Hubungan nilai norma

Sebab dalam kegiatan pendidiakn memang terjadi transakasi nilai atau simbolik yang

asimetris dari kelompok pendidik ke kelompok anak didik.Sementara itu,muatan

pendidikan yang diberikan disekolah dapat diakumulasi dalam 5 materi keilmuan

a. Ide abstrak

b. Benda fisik

c. Jasad hidup

d. Gejala rohani

e. Peristiwa sosial

2.3 Sekolah Sebagai Sarana Rekonstruksi Masyarakat

Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berada di tengah-tengah masyarakat hanya

akan berhasil apabila ada kerjasama dan dukungan yang penuh pengertian dari masyarakat

dan keluarga.Sekolah merupakan satu kesatuan dari pribadi-pribadi yang berinteraksi.Pribadi

tersebut bertemu disekolah tergabung dalasm bagian yang melakuakan hubungan organis

yang bersistem.Sistem sekolah dapat terwujud dengan munculnya cara interaksi sosial yang

khas.Analisis perwujudan sistem sekolah sebagai organisasi sosial dapat dicirikan sbb:

a. Memiliki suatu penghuni yang tetap.

b. Memiliki struktur politik atau kebijakan umum tentang sekolah.

c. Memiliki inti jaringan hubungan sosial.

d. Memiliki suatu jenis kebudayaan tersendiri.

e. Mengembangkan perasaan atau semangat kebersamaan sekolah.

Peranan sekolah dalam merekontruksi masyarakat berarti sekolah merekontruksi

berbagai tata nilai yang ada dalam masyarakat,oleh Malindoski disebutkan sebagai upaya

mengembangkan kebudayaan.Ada 7 sistem nilai atau kebudayaan yang secara universal

dikembangkan yaitu bahasa,sistem teknologi dan sistem pencaharian hidup atau ekonomi

kemudian organisasional,pengetahuan,religi dan terakhir kesenian.

Paradigma Pendidikan/Pembelajaran dimana munculnya perilaku yang tidak terpuji baik

pelajar maupun masyarakat terdidik lainnya.Akhir-akhir ini menunjukkan pendidikan dan

pembelajaran yang diberikan belum mampu menyentuh pribadi dan watak anak

bangsa.Terkesan pembentukan pola berpikir anak,apalagi pada pembentukan konsep diri

seperti interaksi personal cendrung membuat anak terbelenggu.Hal ini disebabkan karena

pendidikan kita dewasa ini menggunakan paradigma lama yang perlu diperbaharui.Kesepuluh

perubahan tesebut sebagai pembeharuan dalam pendidikan dalam rangka peningkatan sumber

daya manusia.Kesepuluh perubahan tersebut dilakukan dalam pendidikan dikemukakan

dalam bentuk pernyataan sbb:

a. Apakah pendidikan sebagai proses pembelengguan atau proses pembebasan.

b. Apakah pendidikan sebagai proses pembodohan atau proses pencerdasan.

c. Apakah pendidikan menghasilkan tindak kekerasan atau menghasilkan tindak

perdamaian.

d. Apakah pendidikan sebagai proses perampasan hak anak-anak atau justru menjunjung

tinggi hak anak-anak..

e. Apakah pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia.

f. Apakah pendidikan untuk memecah wawasan manusia atau menyatukan wawasan manusia.

g. Apakah pendidikan sebagai wahana disintegrasi atau justru wahana mempersatukan bangsa.

h. Apakah pendidikan menghasilkan manusia otoriter atau menghasilkan manusia demokratik.

i. Apakah pendidikan menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan atau respontif dan

peduli terhadap lingkungan?

j. Apakah pendidikan hanya terjadi di sekolah atau bisa terjadi di mana-mana.

2.4 Pengaruh Eksternal Dan Internal Dalam Pengelolaan Pendidikan

Penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilaksanakan secara terus menerus dan

berkelanjuatan paling tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.Pengaruh eksternal

adalah perkembangan dunia yang mengglobal.Sedangkan pengaruh internal dalah pengaruh

kebudayaan dan kehidupan masyarakat bangsa indoneisa.Pengaruh tersebut akan

berpengaruh pada pembentukan watak dan kreatifitas anak bangsa. Dalam kondisi seperti ini

Ki Hajar Dewantara mengingatkan untuk menerapkan strategi “Trikon” dalam pengelolaan

dudukan. Analisis strategi “Trikon” dapat di gambarkan.

Penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilaksanakan secara terus menerus dan

berkelanjuatan paling tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Pengaruh eksternal

adalah perkembangan dunia yang mengglobal. Sedangkan pengaruh internal dalah pengaruh

kebudayaan dan kehidupan masyarakat bangsa indoneisa. Pengaruh tersebut akan

berpengaruh pada pembentukan watak dan kreatifitas anak bangsa. Dalam kondisi seperti ini

Ki Hajar mengingatkan Dewantara untuk menerapkan strategi “Trikon” dalam pengelolaan

dudukan. Analisis strategi “Trikon” dapat di gambarkan

Kebudayaan indonesia, UUD 1945, pancasial, agama, ilmu pengetahuan dan kerajinan

Difusi unsur kebudayaan, benda, perilaku, norma, nilai, dan lambang

Akultulasi, strategi Trikon :

a. Kontinuitasb. Konvergensic. Konsentris

Kriteria :

1. Azaz kegunaan2. Penumbuhan item / unsur budaya3. Penguat / pengembangan unsur

budaya 4. Pengembangan bakat budaya individu 5. Survivalitas kegiatan budaya 6. Keandalan unsur budaya7. Serap temu,kembangkan ide konsep 8. Originalitas,taat asa adaptasi9. Konservasi,museum,dokumentasi.

Strategi trikon dalam konteks pendekatan pencerdasan bangsa meliputi sbb:

1. Kontinuitas.maksudnya bahwa pendidikan di Indonesia haruslah dilakukan secara

terus menerus

2. Konvergen,maksudnya agar pendidikan di Indonesia dapat berkembang baik,dapat

pula setara dengan kualitas pendidikan negara-negara maju,maka sebaiiknya ada

adopsi nilai yang dipinjam dari budaya barat,meskipun demikian perlu diadakan filter

penggunaannya.

3. Konsentris,maksudnya bahwa untk mengembangkan pendidikan di Inonesia haruslah

bertolak dari kebudayaan yang meng-Indonesia,sehingga nilai-nilai luhuur bangsa

tetap tertanam dalam generasi bangsa

Strategi konversi misalnya,paling banyak dipengaruhi oleh pergolakan dunia yang

apabila tidak diantipasi dengan baik,maka dapat menjadi ancaman terhadap kelangsungan

pendidikan di Indonesia.Apalagi kalau kita mencermati wacana sosial saat ini,nampaknya

tiga bentuk masyarakat sebagaimana yang disebut-sebut dalam buku Alvin Tofler benar-

benar menjadi kenyataan yang kita hadapi.Ketiga kategori masyarakat dimaksud

adalah,masyarakat Agraris,industri dan informasi.Dengan karakteristik yang berbeda tak

terasa model-model masyarakat itu telah membawa konsekuensi logis tertentu manakala

terjadi pergeseran dan satu bentuk masyarakat ke bentuk lainnya.Demikian halnya pergeseran

dari bentuk masyarakat alami saat ini.

2.5 Pendidikan Di Sekolah Dengan Sistem Disentralisasi

Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian atau

seluruh wewenag dibidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejabat

pusat kepada unit atau pejabat dibawahnya,atau dari pemerintahan kepada masyarakat.Salah

satu wujud dari desentralisasi adalah merupakan terlaksananya proses otonomi dalam

penyelenggaraan pendidikan.Sekarang sudah tiba saatnya memikirkan dan melaksanakan

upaya yang dinamakan desentralisasi kewenangan dibidang Pendidikan Kewarganegaraan

dibidang pendidikan bisa dirinci mulai dari kewenangan merumuskan atau membuat

kebijaksanaan nasional dibidang pendidikan,melaksanakan kebijaksanaan nasional dan

mengevaluasi atau memonitor kebijaksanaan nasional tersebut.Tidak seluruh kewenangan

tersebut dapat didesentralisasikan.Kewenagan perumusan atau pembuatan kebijaksanaan

nasional mengenai pendidikan yang meliputi kurikulum,persyaratan pokok tentang jenjang

pendidikan,taksonomi ilmu yang terus dikembangkan dan dapat diajarkan dalam jenjang

pendidikan,persyaratan pembukaan program baru,persyaratan tentang guru pendidik di setiap

jenjang pendidikan dan dalam kegiatan-kegiatan strategis lainnya yang dipandang lebih

efektif,efesien dan tepat jika didesentralisasikan barangkali masih dilakukan dan diperlukan

sentralisasi.

2.6 Membangun Mutu Sekolah Melalui Budaya (Kultur) Sekolah

Perbaikan sistem Persekolahan pada intinya adalah membangun sekoalah persekolah dengan

kekuatan utama sekolah yang bersangkutan.Perbaikan mutu sekolah perlu memahami kultur

sekolah sebagai modal dasarnya.Melalui pemahaman kultural sekolah,berfungsinya sekolah

dapat dipahami aneka permasalahan dapat diketahui da pengalaman-pengalamannya dapat

direfleksikan.Setiap sekolah memiliki keunikan berdasar pola interaksi komponen sekolah

sekolah secara internal dan eksternal.Oleh sebab itu dengan memahami sangat sukar

berubah.jika suatu pencapaian mutu sekolah memerlukan usaha mengubah kondisi dan

perilaku sekolah,warga sekolah,dan pendukung sekolah maka dimensi kultural menjadi

sangat sentral.

Perubahan nilai-nilai yang diyakini sekolah akan dapat menggerakkan usaha

perbaikan jangka panjang.Pengamatan Gunningham dan Gresso mengisyaratkan bahwa

perjalanan sejarah perbikan struktural pendidikan tidak berhasil mengubah keaadaan.Kultur

sekolah meberikan panduan menilai apa yang penting,apa yang baik,apa yang benar dan

bagaimana berbuat untuk mencapainya.Pada bagan 3 dibawah ini disajikan alur peningkatan

kualitas sekolah dengan dimensi pengembangan kultur sekolah oleh John Goodlad.Intervensi

kultural dilakukan terhadap kultur sekolah yang selanjutnya akan mengubah kultur

guru.Perubahan kultur guru mengakibatkan perubahan proses belajar mengajar

(PBM).Dampak intervensi kultural selanjutnya dapat dilihat pada hasil belajar siswa.Selain

intervensi kultural dimungkinkan juga adanya aneka intervensi strutural namun diusahakan

yang paling dominan adalah intervensi kultur da yang mendukung kultur sekolah.

Tujuan utama pengembangan kultur sekolah adalah terciptanya masyarakat belajar.Menurut

Senge seperti dikutip Oleh Wallace dan Engel (1997) ada lima hal yang harus diperhatikan

dalam pengembangan masyarakat belajar disekolah yaitu sbb:

a. Personal matery yaitu semua warga sekolah harus selalu berusaha meningkatkan diri

demi efektivitas atau pelaksanaan program yang ada disekolah.Konsekuensinya

kepala sekolah,guru,siswa,dan tenaga pendukung selalu berusaha untuk menambah

pengetahuan dan keterampilannya dalam melaksanakan tugas disekolah.

b. Shared Vision yaitu dimana semua warga sekolah memilki visi yang sama dalam

mengelola sekolah.Visi sekolah dikembangkan bersama semua warga sekolah dan

kemudian disosialisasikan kepada semua waraga sekolah termasuk kepada para

pengguna sekolah.Dengan demikian semua kegiatan disetiap unit sekolah akan

dilaksanakan secara serempak dan serentak sehingga akan terjadi peningkatan mutu

sekolah.

c. Mental Model yaitu merupakan asumsi-asumsi yang tidak tidak tampak

mempengaruhi operasi sekolah.Banyak hal yang tidak tampak yang mengendalikan

operasinya sekolah,termasuk proses pembelajaran.Hal ini terkait dengan norma,nilai

dan keyakinan warga sekolah dalam melaksanakan tugasnya.Apabila diketahui apa

yang mendasari orang berbuat sesuatu disekolah maka akan lebih menggerakkan

warga sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah.

d. System Thinking yaitu warga sekolah harus mempunyai pola pikir mereka adalah satu

e. Team Learning,yaitu setiap warga sekolah juga harus menyadari bahwa ia merupakan

anggota tim yang memilki tugas dan fungsi masing-masing.

2.7 Program Kegiatan yang Perlu Dikedepankan

Memasuki pascaorde baru atau yang dikenal dengan sebutan era reformasi telah

menuntut perubahan di semua sector kehidupan. Tidak terkecuali sektor pendidikan turut

tereformasi. Reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar, yang tidak mungkin

dikerjakan setengah hari, juga tidak cukup dengan terpenggal-penggal, melimpahkan

kesalahan pada berbagai faktor yang menjadi objek kritikan di atas. Tidak benar misalnya,

dengan menyalahkan para guru, yang seperti diketahui, harus bekerja tanpa imbalan materi

yang memadai. Sebaliknya, juga tidak benar bahwa semua permasalahan bakal beres, jika

saja tersedia dana yang cukup.

Tampaknya, semua faktor di atas saling terkait satu dengan lainnya sebagai sebuah

lingkaran setan yang harus diputus. Hal yang perlu dilakukan dalam meniti jalan reformasi

pendidikan adalah membongkar berbagai tabu, mweluruskan jalan dan praktik yang serong,

serta mengikis habis mitos yang mengesalkan. Sedikitnya, tiga belas hal berikut perlu

menjadi pertimbangan bagi reformasi pendidikan.

Perlu disadari bahwa setiap orang adalah pribadi yang unik, dan mempunyai bakat

yang berbeda dengan lainnya. siapa yang tidak mengakui ini, lupa betapa sistem

pendidikan yang dikonsepkan secara seragam telah banyak merendam berbagai

bakat terpendam. Hal ini telah meningkatkan jumlah mereka yang putus sekolah

karena bakatnya tidak tersalurkan.

Pendidikan tidak dimulai selepas sekolah menengah, yaitu pada tingkat

universitas. Prestasi teoritis (universitas) dan praktis (kejuruan), kerja manual dan

kerja otak, seharusnya sama-sama memperoleh penghargaan. Hal ini harus

tercermin dalam jurusan yang ditawarkan, ijazah yang diberikan, terbukanya

kesempatan kerja pendidikan, serta penghargaan masyarakat bagi kedua jenis

pendidikan tersebut.

Perlunya sebuah sistem penilaian yang mencerminkan prestasi murid dengan

berbagai kelebihan dan kekurangannya, tidak sekadar angka-angka yang

mengklaim secara abstrak tentang mutu anak didik.

Perlu disadsari bahwa (sistem) pendidikan tidak bebas nilai. Berbagai pelajaran

sudah sarat nilai. Begitu pula dengan perilaku guru sebagai panutan.. meskin

demikian, pelajaran seperti PMP (pendidikan Moral Pancasila), yang diandalkan

oleh Orde Baru untuk mencetak manusia pembangunan, telah menjadi

kontraproduktif yang perlu diganti oleh pendidikan budi pekerti yang sifatnya

universal.

Sekolah bukanlah semacam “bengkel reparasi” bagi semua kerusakan masyarakat.

Sebenarnya, yang lebih berperan adalah para orang tua. Sekolah hanya berperan

sebatas ikut membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya.

Perlu dikoreksi keyakinan bahwa isi pendidikan bisa diatur lewat birokrasi, dan

sedapat mungkin harus diseragamkan.

Tidaklah tepat bahwa lembaga pendidikan terbaik, selalu milik Negara.

Persaingan lembaga pendidikan negeri dengan swasta, baik formal maupun yang

alternative, dalam hal mutu dan konsep, ikut memperbaiki sisitem pendidikan

nasional. Kini, sudah saatnya dimunculkan sebuah diskursus luas tentang isi

reformasi pendidikan, khususnya dalam menapaki abad ke-21 nanti. Juan Untuk

itu, dibutuhkan sebuah consensus nasional tentang tujuan pendidikan. Hal yang

dimaksud bukanlah sebuah penyeragaman baru, tetapi sebuah leitgedanken (alur

pemikiran) yang memberikan ruang bagi mekarnya kreativitas dan keberagaman.

Meski terkesan subjektif, beberapa ciri khas model pendidikan demikian, bisa

dijadikan bahan diskursus.

Sistem pendidikan, sebaiknya berorientasi pada nilai (wert orientied). Kita

mungkin trauma, terutama dengan penyampaian nilai lewat mata pelajaran

Pendidian Moral Pancasila (PMP) yang belakangan menjadi kontraproduktif.

Akan tetapi, pendidikan tidak boleh terbatas pada sekadar transfer pengetahuan

dan keahlian fungsional. Hal yang menjadi bagian dari pembentukan pribadi yang

matang, selain kemampuan mengkritik, sensibilitas, dan kreativitas, adalah

kompetensi sosial dan kemampuan menyampaikan nilai dasar bersama. Nilai-nilai

dasar tersebut selama puluhan tahun terakhir memang banyak didengungkan,

tetapi jarang dihayati dan dipraktikkan, yaitu kejujuran, kerja keras,

kesederhanaan, disiplin, tepat waktu, dan terutama kebersamaan sebagai bangsa.

Perlu pula ditekankan keterkaitan antara beberapa nilai tertentu. Sikap toleran

misalnya, hanya akan tumbuh jika seseorang mempunyai jati diri. Nilai-nilai dasar

tersebut, perlu digiatkan dalam kegiatan belajar mengajar. Pada saat yang sama,

perlu ditekankan bahwa prestasi, tidak akan tercapai denga sikap instan, atau

keinginan serba cepat, y cepat kaya, cepat pintar, atau cepat beken. Apabila tujuan

pendidikan adalah memerdekakan manusia, perlu disadarkan bahwa pribadi yng

merdeka, bukan yang laissez-faire, tetapi yang mampu mempertanggungjawabkan

hasil kemerdekaannya.

Sistem pendidikan sebaiknya terkait dengan dunia praktisi (praxisbezogen). Akan

tetapi, ini bukan berarti melulu berbicara tentang “materilisasi” pendidikan, yang

mengedepankan konsep “siap pakai” bagi perekonomian. Dalam kehidupan dan

profesi, seringkali hal-hal yang mendasar terjadi dalam ruang di antara batasan-

batasan konvensional. Profesi dan jurusan akademik baru misalnya, mucu di

antara jurusan-jurusan klasik sehingga memerlukan orientasi proyek baru. Selain

itu, juga diperlukan pelajaran interdisiplin, seperti ”campuran” antara biologi,

kimia, dan etika.atau matematika dengan elektronika dan sosiologi dengan

ekonomi. Untuk itu, diperlukan fleksibilitas para guru dan murid, mahaguru, dan

mahasiswa, juga fleksibilitas dalam keseharian (jadwal dan kegiatan) lembaga

pendidikan. Dalam mengantisipasi kebutuhan pasar (tenaga kerja) dalam negeri,

regional, dan global, sekolah kejuruan harus mendapatkan perhatian yang layak

dan secara terus-menerus diperbarui. Lulusannya harus bisa bekerja dalam sebuah

tim interdisiplin (team work). Universitas harus dikonsepkan lebih berorientasi

praktis. Adalah tidak sehat, bahwa lebih dari separuh tamatan SMU di Indonesia,

berkeinginan melanjutkan pendidikan ke universitas, juga adalah sebuah

kenyataan bahwa begaian besar tamatan universitas, tidak memiliki profesi

akademis.

Sistem pendidikan sebaiknya tetap beragam. Kita bersyukur bahwa sejarah

kependidikan di Indonesia, telah memunculkan keberagaman model, lembaga, dan

tradisi pendidikan.ada model sekolah yang diadaptasi dari sistem Eropa, ada pula

pesantren yang “asli”, dan ada pula “sintesis” antara keduanya. Lalu, ada yang

formal, nonformal, dan informal, juga ada yang negeri maupun swasta. Hal yang

harus kita tanyakan secara jujur adalah lembaga pendidikan apa yang cocok untuk

siapa? Sekolah formal misalnya, tidak selalu cocok untuk setiap anak. Karena itu,

harus diupayakan agar apa pun status dan modelnya, seluruh lembaga pendidikan

memperoleh perhatian dan penghargaan optimal. Boleh memprioritaskan, tetapi

tidak boleh menganakemaskan yang satu dari yang lain. Selain itu, juga harus

dikembangkan kemungkinan melanjutkan pendidikan lintas model dan lintas

lembaga.

Diperlukan sebuah sistem pendidikan yang memberikan ruang bagi anak didik

untuk bersaing dan berkreasi secara fair. Fair, juga berarti memberikan beasiswa

dan bantuan ekstra bagi mereka yang berasal dari lapis sosial bawah, sambil tetap

memberikan penghargaan bagi siapa saja yang berprestasi. Sudah saatnya pula,

dewan siswa dan mahasiswa dipilih secara demokratis dan mempunyai wewenang

untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstra kurikuler, atau bahkan terlibat dalam

perencanaan proses belajar mengajar. Lembaga pendidikan juga perlu dibebaskan

dari lingkungan birokrasi yang terpusat (sentralisasi). Sudah saatnya otonomi

dalam pengelolaan kelembagaan diberikan pada masing-masing lembaga. Dalam

hal suasana belajar mengajar, metode dialog, diskusi, dan “mempertanyakan”

untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi, harus dibuka lebar-lebar.

Dibutuhkan sebuah sistem pendidikan yang efisian dalam pengelolaan waktu.

Waktu para guru agar tidak habis untuk mengajar mata pelajaran yang berjubel.

Agar waktu mengajar tidak terpaksa diperpendek karena dipakai untuk mencari

penghasilan tambahan. Selain itu, juga agar tersisa waktu bagi para dosen untuk

melakukan penelitian, tidak sekadar mengajar. Tak kalah penting, waktu

mahasiswa yang berada dalam usia terbaiknya, agar tidak dihabiskan untuk

menyelesaikan pendidikan yang berkepanjangan dan bertele-tele, apalagi hanya

karena dijejali mata pelajaran yang berdampak kontraproduktir.

Sistem pendidikan sebaiknya bersifat internasional. Keluar, diperlukan jalinan

kerja sama dengan lembaga pendidikan mancanegara. Dalam hal ini hendaknya

dibuka lebar kesempatan bagi siswa dan mahasiswa asing untuk belajar di

Indonesia. Untuk itu, pada awalnya, perlu ada beberapa lembaga pendidikan

menengah dan tinggi yang menawarkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Sebagian dari butir-butir “harapan” di atas, masih menjadi mimpi yang dalam

waktu dekat rasanya sulit dijangkau. Akan tetapi, hakikat reformasi serta

otonomisasi pe nyelenggaraan pendidikan adalah penciptaan keadaan yang lebih

baik dari sebelumnya. Idealnya, proses otonomisasi penyelenggaraan pendidikan

selalu diadakan pembaruan secara berkesinambungan. Untuk itu, dibutuhkan suatu

keberanian, pengorbanan, dan kerelaan kita semua untuk melakukan terobosan-

terobosan terhadap batas-batas sistem yang telah mapan dan baku. Tanpa itu, kita

hanya akan mengulang pola yang telah ada dalam cara yang tampaknya saja lebih

baru dan canggih, padahal tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Ibaratnya, hanya

sekadar memperbarui label dan mungkin juga botol angggur, sementara isinya

masih yang lama.

2.8 Karakteristik Kultur Sekolah

Kultur sekolah ada yang membantu peningkatan mutu sekolah dan ada yang

menghambatnya. Kultur sekolah yang positif adalah yang membantu perbaikan mutu sekolah

dan mutu kehidupan.Mutukehidupan yang diharapkan adalah yang memiliki ciri sehat,

dinamis atau aktif, positif, dan profesional.Kultur yang bersifat positif harus diperkuat. Kultur

sekolah yang sehat memberikan peluang sekolah danwarga sekolah berfungsi secara optimal,

bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memilikisemangat tinggi, dan akan mampu

terus berkembang. Oleh karena itu, kultur sekolah yang positif ini perludikembangkan.

Kultur yang kokoh atau kuat memberikan indikasi bahwa ia telah memasuki ketiga

tingkatan kehidupanyaitu terpendam dalam asumsi dasar, termuat dalam nilai dan keyakinan,

dan terpateridalam tindakan dan berbagai artifak lainnya. Kultur sekolah harus terus-menerus

dikembangkan dan diwariskan dari kohor siswa ke kohor siswa berikutnya dan dari kelompok

satu ke kelompok lainnya. Kultur sekolah yang kuat berhasil membangun konsensus luas

terhadap masalah-masalah yang luas pula. Kultur yang kokohmemiliki kekuatan dan menjadi

modal dalam mengadakan perubahan perbaikan.

Kultur yang menghambat peningkatan mutu sekolah dimasukkan ke dalam kultur

negatif. Kultur yangnegatif pada suatu organisasi, bersifat anarkhis, negatif, beracun, bias,

dan dominatif. Sekolah yangmerasa puas dengan apa yang dilakukan dan yang dicapai

merupakan bagian dari kultur negatif. Karenamereka yang telah puas dengan yang dikerjakan

cenderung tidak ingin melakukan perubahan dan takutmengambil resiko terhadap perubahan.

Akibatnya kualitas sekolah akan tetap atau bahkan menurun,karena tuntutan masyarakat

global selalu meningkat. Oleh karena itu kultur sekolah yang bersifat negatif ini harus

dikurangi dan selanjutnya dihilangkkan.

Sifat dinamik kultur sekolah tidak hanya diakibatkan oleh dampak keterkaitan kultur

sekolah dengankultur kitarannya, melainkan juga antar lapisan-lapisan kultur tersebut.

Perubahan-perubahan pola perilaku dapat mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan

bahkan mengubah sistemasumsi yangada, walaupun ini sangat sukar. Yang jelas dinamika

kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat

dapat membawa perubahan yang positif.Kultur sekolah itu milik kolektif dan merupakan

hasil perjalanan sejarah sekolah, produk dari interaksi berbagai kekuatan yang masuk ke

sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius keberadaan anekakultur sekolah dengan sifat

yang ada: sehat-tidak sehat, kuat-lemah, positif-negatif, kacau-stabil, dankonsekuensinya

terhadap perbaikan sekolah. Nilai-nilai dan keyakinan tidak akan hadir dalam waktu singkat.

Mengingat pentingnya sistem nilai yang diinginkan untuk perbaikansekolah, maka langkah-

langkah kegiatan yang jelas perlu disusun untuk membentuk kultur sekolah.

Secara singkat langkah-langkah membentuk kultur sekolah yang positif adalah

mengamati dan membaca kultur sekolah yang kini ada, melacak historiknya dan masalah apa

saja yang timbul olehkeberadaan kultur sekolah tersebut,mengembangkan sistem asesmen

kultur sekolah sejalan dengantujuan perbaikan sekolah yang diinginkan,melakukan kegiatan

asesmen sekolah guna mendiagnosis permasalahan yang ada dan tindakan kultural yang dapat

dilakukan,mengembangkan visi,strategi,dan misi perbaikan sekolah melakukan redefinisi

aneka peranan:kepemimpinan kepala sekolah, guru,siswa, orang tua, dan aneka stakeholders

mewaspadai perilaku lama yang negatif, nilai-nilai yang bersifat racun dan koalisi mereka

merancang pola pengembangan kultur sekolah dan membangun praktik-praktik baru dan

artifak baru dikaitkan secara sadar dengan nilai-nilai lamayang relevan dannilai-nilai baru

yang diharapkan tumbuh dan melakukan pemantauan dan evaluasi secara dinamik terhadap

perkembangan kultur sekolah dan dampaknya.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Misi pendidikan lembaga sekolah:

Pendidikan kepribadian

Pendidikan kewarganegaraan

Pendidikan intelektual

2. Sekolah disini sebagai lembaga pendidikan yang berada ditengah-tengah

masyarakat hanya akan berhasil apabila ada kerja dan dukungan yang

penuh pengertian dari masyarakat dan keluarga

3. Pengaruh eksternal adalah adanya perkembangan kimia yang menggobal

yang berlaku dalam dasa warsa ini.

4. Pengaruh internal adalah pengaruh kebudayaan dan kehidupan masyarakat

bangsa Indonesia

5. Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelagasikan

sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya

dilakukan oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat

dibawahnya atau dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah atau

dari pemerintah pusat kepada masyarakat.

6. Reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar,yang tidak mungkin

dikerjakab setengah hari juga tidak cukup dengan terpenggal-

penggal,melimpahkan kesalahan pada berbagai faktor yang menjadi objek

kritikan dia atas.

DAFTAR PUSTAKA

Uno.B Hamzah.2009.Profesi Kependidikan Problema,Solusi,dan Reformasi

Pendidikan Di Indonesia.Jakarta: PT.Bumi Aksara

file:///C:/Users/Toshiba/Documents/SEMESTER%204/Profesi/rekonstruksi

%20pdf.htm

file:///C:/Users/Toshiba/Documents/SEMESTER%204/Profesi/bahan

%20rekonstruksi.htm#41327783800634244