PERLINDUNGAN NASABAH TERKAIT PRAKTIK PEMBUKAAN …
Transcript of PERLINDUNGAN NASABAH TERKAIT PRAKTIK PEMBUKAAN …
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 3 (2018): 630-650
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1758
PERLINDUNGAN NASABAH TERKAIT PRAKTIK PEMBUKAAN
RAHASIA BANK OLEH PEGAWAI BANK DALAM PROSES
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
Hendrik Agus Sutiawan *, Etty Mulyati **, Ijud Tajudin ***
* Pegawai Bank Swasta dikota Bandung
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
*** Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Korespondensi: [email protected], [email protected], [email protected]
Naskah dikirim: 24 Mei 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 September 2018
Abstract
Bank secrets are essential elements and logical consequences of the bank's
business character as a trust institution. Bank secrecy is a form of legal
protection for depositors. The purpose of this study is to know how the
protection of customers and how law enforcement against the opening of bank
secrets by Bank Employee in the process of investigating money laundering
crime connected with the principle of legal certainty. This research method
using normative juridical approach method, that is an approach used to know
that a law in accordance with applicable provisions. The research specification
is analytical descriptive, using qualitative juridical data analysis method. Keywords: Bank, The protection of the law, A secret bank.
Abstrak
Rahasia bank merupakan unsur esensial dan konsekuensi logis dari karakter
usaha bank sebagai lembaga kepercayaan. Kerahasian bank ini merupakan
bentuk perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan nasabah dan
bagaimanakah penegakan hukum terhadap pembukaan rahasia bank oleh
Pegawai Bank dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang
dihubungkan dengan asas kepastian hukum. Metode penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Penelitian ini akan
melakukan pengkajian dan pengujian terhadap asas-asas hukum, peraturan
perundang-undangan, dan norma-norma hukum yang terkait. Spesifikasi
penelitian bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode analisis data
secara yuridis kualitatif. Kata Kunci: Bank, Perlindungan Hukum, Rahasia Bank.
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 631
I. PENDAHULUAN
Bank dalam aktivitasnya menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat harus dapat memberikan rasa
aman, mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat
kepadanya, menjaga kerahasiaan data penyimpan, serta mampu menyalurkan
dana tersebut ke bidang-bidang yang produktif. Masyarakat menyimpan uang di
bank karena bermacam-macam alasan dan pertimbangan antara lain karena rasa
aman uang tersebut ada dibank, aman dari pencurian, perampokan atau
kebakaran, informasi mengenai dirinya sebagai penyimpan tidak mudah
diketahui oleh orang lain yang tidak memiliki kewenangan, dan karena ingin
mendapatkan bunga.
Kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan tumbuh dan
berkembang karena terdapatnya suatu unsur dalam hubungan nasabah dan
bank. Unsur tersebut adalah berupa kerahasiaan bank. Selain alasan-alasan yang
disebutkan di atas, adanya kerahasiaan itulah membuat masyarakat tertarik
menyimpan dana dan menggunakan jasa-jasa perbankan. Kerahasiaan nasabah
merupakan salah satu pemenuhan akan kebutuhan nasabah. Nasabah
membutuhkan kerahasiaan sehingga hal inilah menjadi daya tarik nasabah
untuk menyimpan uang dan berhubungan dengan lembaga keuangan bank,
karena apabila kerahasiaan tidak dapat dijamin oleh bank, maka nasabah akan
enggan berhubungan dengan bank.1
Kerahasiaan bank adalah konsekuensi logis dari karakter usaha bank
sebagai lembaga kepercayaan. Meskipun kerahasiaan bank terkadang
menimbulkan kontroversi dalam beberapa hal, namun upaya untuk menghapus
ketentuan hukum atau perundang-undangan mengenai kerahasiaan bank
sangatlah tidak mungkin. Karena tanpa kerahasiaan bank maka seluruh sistem
perbankan akan mengalami kehancuran.2
Kewajiban bank untuk memperhatikan kepentingan nasabahnya harus
dilandasi dengan prinsip kerahasiaan (confidential principle). Prinsip ini
mewajibkan bank untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
data dan informasi mengenai nasabah penyimpan dan data simpanannya,
maupun informasi lain yang bersifat pribadi dari nasabah penyimpan. Hal ini
dalam rangka untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat (nasabah
penyimpan dana), sehingga diharapkan dengan kepercayaan itu, maka akan
semakin banyak masyarakat menggunakan jasa bank sebagai tempat
penyimpanan uang mereka.3
Ketentuan rahasia bank diatur dengan Undang-undang Nomor 7 tahun
1992 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan (selanjutnya disebut ”UU Perbankan”). Berdasarkan Pasal 1
angka 28 UU Perbankan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya. Dan
berdasarkan Pasal 40 ayat (1) bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
1 Y. Sri Susilo dkk., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta, Salemba Empat,
2000), hlm. 35. 2 Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, (Bandung, Pustaka Juanda Tiga Lima,
2010), hlm. 52 3 Marnia Rani, Perlindungan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kerahasiaan dan
Keamanan Data Pribadi Nasabah Bank.
632 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
nasabah penyimpan dan simpananya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya sering dihadapkan dengan
kasus-kasus pembukaan rahasia bank. Bila telah ada persetujuan dari
nasabahnya, maka bank tidak terikat kepada kewajiban merahasiakan data yang
terkait rahasia bank karena mengungkapkan keadaan keuangan dan hal -hal lain
dari nasabahnya oleh bank dilakukan berdasarkan persetujuan nasabah, bahkan
justru hal tersebut sering dalam rangka memenuhi permintaan nasabahnya.4
Di dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang pembukaan
rahasia bank dilakukan dengan cara, penyidik meminta bantuan pegawai bank
untuk mendapat informasi mengenai alamat tersangka dengan memberikan
nomor rekening, tidak disertai izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau izin atau
persetujuan pemilik rekening. Pembukaan rahasia bank dapat juga berupa
pemberian data / informasi simpanan seseorang atas permintaan seperti di atas,
yang sedang disidik khususnya karena diduga terlibat tindak pidana pencucian
uang.5
Pegawai bank melakukan pembukaan rahasia bank dapat juga terjadi
karena pegawai bank adalah suami atau istri, atau calon suami atau calon istri
dari penyidik, atau karena untuk menjaga kepentingan hubungan baik jangka
panjang antara pegawai bank dengan penyidik, baik untuk atas nama pribadi
atau instansinya. Tindakan pegawai bank yang membuka rahasia bank tidak
berdasarkan prosedur atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
seperti tersebut di atas dapat merugikan nasabah lain yang beritikad baik, yaitu
antara lain khususnya jika data yang diinformasikan ke penyidik adalah mutasi
rekening yang sedang disidik yang menginformasikan semua transaksi, maka
penyidik dengan mudah dapat menelusuri bahkan meminta dilakukan
pemblokiran semua rekening yang menurut penyidik ada keterkaitan atau dapat
diduga pemilik rekeningnya atau dananya terlibat tindak pidana yang sedang
disidik khususnya tindak pidana pencucian uang, padahal belum tentu benar.
Apabila nasabah memahami perlindungan hukum dan hak-hak hukum
yang dimilikinya, nasabah dapat saja melakukan upaya hukum sebagai bagian
dari perlindungan hukum yang terdapat padanya. Perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain
dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain
perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh
aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran
maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.6
Tidak adanya perlindungan hukum yang jelas mengenai hak-hak hukum
seorang nasabah bank khususnya yang mengalami pemblokiran yang
berkepanjangan tanpa kejelasan berakhirnya suatu pemblokiran, nasabah dalam
hal ini diposisi yang lebih lemah tidak dapat menggunakan suatu instrumen
hukum untuk “mengoreksi” tindakan pembukaan rahasia bank yang dilakukan
4 Wawancara dengan Bapak Nindin Dian Suarsa, Kepala Urusan Hukum Kanwil I PT.
Bank Central Asia, Tbk., Tanggal 19 Agustus 2017. 5 Wawancara dengan Bapak Muhamad Lukman, Staf Hukum Bank Swasta Z di
Bandung, Tanggal 22 Agustus 2017. Di Pengadilan Negeri Bandung (Muhamd Lukman dan Z
adalah, nama samaran karena permintaan interviewee). 6 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 54.
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 633
oleh pegawai bank maupun, pemblokiran yang dilakukan oleh penyidik. Dalam
kasus pegawai bank yang melakukan pembukaan rahasia bank seperti uraian
diatas, sering tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya karena tidak
adanya instrumen hukum yang mengatur hal tersebut secara tegas dan jelas.
Demikian juga penyidik yang memohonkan pemblokiran tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya jika pembukaan blokir tidak dapat
dilakukan segera karena birokrasi internal di pihak penyidik, dan pihak bank
tidak mau dianggap menghalang-halangi penyidikan dan lebih memilih cara
aman dan normatif untuk menghindarkan masalah dengan penyidik.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahannya bagaimanakah
perlindungan nasabah terkait pembukaan rahasia bank oleh pegawai bank
dalam proses penegakan hukum tindak pidana pencucian uang? dan
bagaimanakah penegakan hukum terhadap pembukaan rahasia bank oleh
pegawai bank dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang
dihubungkan dengan asas kepastian hukum?
II. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yuridis
normatif yaitu suatu penelitian secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-
pasal dalam peraturan perundang-undangan7 dan menelaah teori-teori, konsep-
konsep, asas-asas, hukum, yang berhubungan dengan rahasia bank, tindak
pidana pencucian uang dan perlindungan nasabah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh, sistematis dan
mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti mengenai segala hal
yang berkaitan dengan rahasia bank, tindak pidana pencucian uang dan
perlindungan nasabah.
Dalam penelitian ini dianalisa secara yuridis kualitatif, yaitu suatu cara
yang menghasilkan data deskriptif, kemudian dianalisis sehingga dapat
diperoleh jawaban terhadap pokok permasalahan yang diteliti. Sifat dan bentuk
laporan penelitian ini merupakan deskriptif analisis, yaitu dari studi
kepustakaan, kemudian dianalisis sehingga diperoleh kejelasan terhadap pokok
permasalahan.
III. ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Nasabah Terkait Pembukaan Rahasia Bank Oleh
Pegawai Bank Dalam Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas
suatu perjanjian. Untuk itu adalah wajar apabila kepentingan dari nasabah yang
bersangkutan mendapat perlindungan hukum, sebagaimana perlindungan yang
diberikan oleh hukum kepada bank. Telah ada political will dari pemerintah
untuk melindungi kepentingan nasabah bank penyimpan dan simpanannya, hal
ini diatur dalam Pasal 1 Angka 28, 40, 47 dan 47A UU Perbankan.
7 LP3M Adil Indonesia, Pengetahuan Tentang Hukum, Jumat, 21 Januari 2011.
634 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Kebijakan pemerintah dalam rangka perlindungan nasabah bank dapat
dilakukan melalui pembuatan peraturan baru, memberi perlindungan kepada
nasabah penyimpan melalui Lembaga Penjamin Simpanan, memperketat
perizinan bank baru, memperketat pengawasan terhadap bank dan
melaksanakan peraturan yang sudah ada secara konsisten.
Persoalan saat ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah
bank yang rekening simpanannya, terindikasi atau diduga ada keterkaitan
dengan tindak pidana pencucian uang, padahal bank diharuskan menerapkan
prinsip know your customer. Di dalam menjalankan usahanya bank tidak dapat
mengetahui secara pasti keseluruhan tentang profile nasabahnya dan dana
simpanannya berasal dari mana, karena tentang intergritas dan kejujuran
nasabah, tidak ada cara atau metode yang ‘jitu’ untuk dapat mengetahinya
kebenarannya. Nasabah dapat berbohong atau jujur bercerita mengenai data diri
atau simpanannya.
Terhadap rekening yang terindikasi atau patut diduga ada keterkaitan
dengan tindak pidana pencucian uang, rekening tersebut dapat dilakukan
pemblokiran oleh bank atas permintaan penyidik, atau lebih lanjut dilakukan
penyitaan. Untuk saat ini ketentuan atau aturan mengenai pemblokiran masih
merujuk pada Surat Edaran Departemen Angkatan Kepolisian Nomor
028/9/I/EK/67 tanggal 13 September 1967.
Pelaksanaan pemblokiran atau penyitaan atas permintaan Kepolisian
harus memperhatikan bahwa penyitaan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian
terhadap rekening seorang nasabah bank harus mempunyai dasar hukum yang
cukup dan harus dibuat surat perintah penyitaan, sedikitnya oleh Komandan
Resort setempat atau Komandan Team Penyidikan yang khusus bergerak di
bidang ekonomi keuangan.
Setelah pemblokiran tersebut dilakukan, maka pimpinan bank
hendaknya memberikan surat pernyataan kepada pihak Kepolisian bahwa
terhadap rekening nasabah yang bersangkutan telah dilakukan pemblokiran dan
bank mengkategorikan rekening nasabah yang telah diblokir tersebut sebagai
titipan sitaan dari Kepolisian. Oleh pihak Kepolisian dibuatkan berita acara
penyitaan yang disaksikan oleh Pimpinan Bank atau Pejabat Bank. Sehelai
tindasan dari berita acara penyitaan tersebut diserahkan kepada Pimpinan Bank.
Untuk kepentingan pemeriksaan dan pengusutan lebih lanjut, misalnya untuk
mengetahui jumlah rekening nasabah yang telah disita, pihak Kepolisian
memerlukan izin tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan
ketentuan rahasia bank.
Pencabutan terhadap penyitaan/pemblokiran rekening nasabah bank
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang melakukan
penyitaan/pemblokiran yaitu Kepolisian. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Surat Kepolisian Kepada Pangdak No. Pol.4/260/TPC/DEOP/X/70 tanggal 31
Oktober 1970 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/843 UPPB/PbB tanggal
30 Januari 1971.
Mengenai penyitaan/pemblokiran tidak melanggar rahasia bank
sepanjang tidak ada pengungkapan mengenai data keuangan nasabah. Penyitaan
secara umum dapat diartikan sebagai tindakan oleh pihak yang diberi
wewenang untuk menempatkan di bawah penguasaannya benda-benda tertentu.
Apabila penyidik ingin memeriksa rekening nasabah yang
diblokir/disita, bank tidak dapat mengabulkan permintaan dari Penyidik
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 635
sepanjang tidak disertai izin tertulis dari OJK. Demikian pula apabila sudah ada
penetapan atau putusan dari Pengadilan mengenai sita eksekusi (Executorial
Beslag) terhadap satu rekening, izin dari OJK masih harus dilengkapi Penyidik
atau pemohon sita eksekusi jika ingin mengetahui data keuangan nasabah, jika
di dalam penetapan atau putusan Pengadilan tidak ada perintah kepada bank
untuk membuka rahasia bank, bank tidak dapat memberikan data keuangan
nasabah tanpa izin dari OJK.
Untuk pembukaan rahasia bank yang diatur dalam Pasal 42 UU
Perbankan yaitu untuk keperluan atau kepentingan peradilan dalam perkara
pidana, OJK dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk
memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa
pada bank secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung dengan
menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama
tersangka/terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara
pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pada dasarnya kewajiban bank untuk menjaga rahasia bank sudah diikat
dalam hukum perdata maupun pidana. Kewajiban perdata dikarenakan alasan
pertama, bahwa hubungan antara nasabah dan bank merupakan fiduciary
relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan
hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan). Sedangkan yang
kedua adalah dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 18 UU Perbankan yang pada
intinya hubungan kerahasiaan bank adalah hubungan kontraktual antara bank
dan nasabah debitur mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa
bank mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah
debitur. Hal ini diperkuat dengan prinsip perjanjian yang diatur dalam Pasal
1339 KUH Perdata yang pada intinya mengatakan bahwa perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuannya diharuskan oleh
kepatutaan, kebiasaan, atau undang-undang. Sedangkan kewajiban menjaga
kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40.
Jika merujuk pada Pasal 47 UU Perbankan, Pasal 47 UU Perbankan
mengatur dengan sanksi yang sangat berat kepada barang siapa dengan sengaja
memaksa pihak bank atau terafiliasi memberikan data terkait rahasia bank, atau
kepada pihak Bank yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib di
rahasiakan.
Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan bahwa siapa saja yang
tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan
sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang
terkait rahasia bank diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Untuk anggota dewan komisaris,
direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
636 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Selain ketentuan yang diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 47 UU
Perbankan untuk di internal perbankan di tetapkan atau diatur ketentuan atau
aturan pemberian data/informasi kepada Penyidik atau Penegak Hukum bahwa
perbankan diwajibkan memiliki prosedur internal atau manual operational yang
merujuk kepada Peraturan Otoritas Sektor Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang
lebih lanjut diatur pelaksanaan penerapan prinsip kerahasiaan dan Keamanan
Data dan / atau informasi Pribadi konsumennya dengan Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.07/2014 Tentang Kerahasiaan Dan
Keamanan Data dan/Atau Informasi Pribadi Konsumen.
Dalam Pasal 31 Peraturan Otoritas Sektor Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 diatur bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan
cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya
kepada pihak ketiga. Larangan ini dikecualikan jika Konsumen memberikan
persetujuan tertulis dan/atau karena diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan. Jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data dan/atau
informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang dari pihak lain dan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan menggunakan data dan/atau informasi
tersebut untuk melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain tersebut telah memperoleh
persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau sekelompok orang tersebut untuk
memberikan data dan/atau informasi kepada pihak manapun, termasuk Pelaku
Usaha Jasa Keuangan. Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas
pengungkapan data dan atau informasi tersebut di atas dilakukan secara tertulis
oleh Konsumen dalam bentuk surat pernyataan.
Untuk tindak lanjut terhadap setiap pengaduan atau complain dari
nasabah atau konsumen kepada pelaku usaha jasa keuangan menurut Pasal 35
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 38 ditentukan bahwa pengaduan tersebut harus
segera ditindaklanjuti dan diselesaikan dalam batas waktu yang sudah
ditetapkan yaitu paling lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan
pengaduan. Jika terdapat kondisi tertentu, Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat
memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling lama 20 hari kerja
berikutnya. Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa
Keuangan wajib melakukan pemeriksaan internal atas pengaduan secara
kompeten, benar, dan obyektif, melakukan analisis untuk memastikan
kebenaran pengaduan dan menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan
ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika
pengaduan Konsumen benar.
Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
14/SEOJK.07/2014, diatur dengan tegas ketentuan yang melindungi
kerahasiaan dan keamanan data/informasi pribadi konsumen. Dalam surat
edaran ini diatur, pelaku usaha jasa keuangan dilarang dengan cara apapun,
memberikan data dan/atau informasi pribadi mengenai konsumennya kepada
pihak ketiga. Larangan tersebut di atas dikecualikan dalam hal: konsumen
memberikan persetujuan tertulis; dan/atau dan diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal konsumen memberikan persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud di atas, pelaku usaha jasa keuangan dapat memberikan data dan/atau
informasi pribadi konsumen dengan kewajiban memastikan pihak yang
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 637
meminta data/informasi tidak memberikan dan/atau menggunakan data dan/atau
informasi pribadi konsumen untuk tujuan selain yang disepakati antara pelaku
usaha jasa keuangan dengan pihak yang meminta. Tata cara persetujuan tertulis
dari konsumen dapat dinyatakan dalam bentuk pilihan setuju atau tidak setuju
atau memberikan tanda persetujuan dalam dokumen dan/atau perjanjian produk
dan/atau layanan.
Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memperoleh data dan/atau
informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang dari pihak lain dan
pelaku usaha jasa keuangan akan menggunakan data dan/atau informasi
tersebut untuk melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah memperoleh
persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau sekelompok orang tersebut untuk
memberikan data dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun
termasuk Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menetapkan kebijakan dan prosedur
tertulis mengenai penggunaan data dan/atau informasi pribadi konsumen yaitu
menjelaskan secara tertulis dan/atau lisan kepada konsumen mengenai tujuan
dan konsekuensi dari pemberian persetujuan tertulis serta pemberian dan/atau
penyebarluasan data dan/atau informasi pribadi konsumen tersebut dan
meminta persetujuan tertulis dari konsumen dalam hal pelaku usaha jasa
keuangan akan memberikan dan/atau menyebarluaskan data dan/atau informasi
pribadi konsumen kepada pihak ketiga untuk tujuan apapun, kecuali ditetapkan
lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan dan
prosedur tertulis sebagaimana dimaksud di atas wajib dituangkan dalam standar
prosedur operasional.
Berdasarkan uraian di atas bahwa perlindungan nasabah terkait data
pribadi penyimpan dan simpannnya sudah ada aturan atau ketentuan secara
umum dan khusus. Namun praktik pembukaan rahasia bank yang dilakukan
secara diam-diam, tanpa melalui prosedur yang diatur dalam UU Perbankan dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan tidak diketahui atau disadari oleh
nasabah penyimpan masih dapat terjadi, dan pelakunya belum dijatuhi sanksi
hukum atau sanksi displin atau sanksi etik.
Jika merujuk pada keterangan dari Komisi Kepolisan Nasional,
Ombudsman Republik Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan8 menyebutkan bahwa belum pernah diterima
atau ditemukan adanya pengaduan masyarakat terkait pembocoran rahasia bank
secara melawan hukum yang dilakukan oleh Pegawai Bank yang diduga
dibocorkan akibat kedekatan dengan Penyidik atau keterpaksaan akibat perintah
dari Penyidik. Namun dilapangan berdasarkan hasil wawancara Peneliti seperti
yang dikemukan oleh Elvian Komarudin, Maryani Sumenep dan Dini
Muliawaty ada dilakukan praktik pemberian data / informasi oleh Pegawai
Bank kepada Penyidik atas permintaan Penyidik karena hubungan baik antara
Pegawai bank dan Penyidik.9
8 Wawancara dengan Pejabat/Pegawai di Komisi Kepolisan Nasional Tanggal 10 Maret
2018, Pukul 9:29 wib., di Ombudsman Republik Indonesia Tanggal 10 Maret 2018, Pukul 8:38
wib., di Otoritas Jasa Keuangan Tanggal 8 Desember 2017 Pukul 10:15 wib., dan di Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi tanggal 3 Maret 2018 Pukul 15:41 wib. 9 Wawancara, Elvian Komarudin Tanggal 18 Maret 2018, pukul 9:47:05, Maryani
Sumenep Tanggal 16 Maret 2018, Pukul 16.31 wib dan Dini Muliawaty Tanggal 16 Maret
638 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
UU Perbankan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan praktis tidak dapat
menyentuh mengenai praktik pembukaan ini karena regulasi yang ada lebih
cenderung mengatur pelanggaran yang masif dan dapat diawasi langsung baik
secara internal perbankan maupun oleh nasabah pemilik rekening sendiri dan
belum menyentuh tindakan-tindakan pembukaan rahasia bank yang dilakukan
tanpa sepengetahuan dari pemilik rekening atau izin dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Hal-hal sangat rentan menjadi daerah abu-abu karena hukum belum
mengatur secara jelas, untuk praktik yang dilakukan diluar dari jangkuan
pengawasan pemilik rekening atau lembaga yang mengawasi kegiatan
perbankan. Adapun regulasi atau hukum positif yang memberikan perlindungan
kepada pemilik nasabah penyimpan adalah sebatas perlindungan hukum secara
umum. Perlindungan hukum tersebut yaitu berupa upaya hukum baik perdata
maupun pidana yang dapat dilakukan oleh nasabah. Nasabah dapat menempuh
upaya hukum gugatan perdata dan melalui jalur hukum atau diproses secara
pidana. Untuk melihat apakah nasabah dapat melakukan gugatan perdata, dapat
dilihat dari unsur-unsur padal 1365 KUH Perdata yaitu meliputi ada atau tidak
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak Penyidik dan dibantu
oleh pihak bank. Ada atau tidak unsur kesalahan. Unsur kesalahan dalam hal ini
adanya kesengajaan atau kealpaan baik dari pihak Penyidik atau pihak bank
yang menyebabkan terjadinya kerugian pada Nasabah. Ada atau tidak unsur
kerugian. Kemudian ada atau tidak hubungan sebab akibat. Unsur untuk
meneliti apakah ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian yang ditimbulkan, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan.
Dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata, Nasabah yang merasa
dirugikan dapat melindungi hak-hak hukumnya dan Pegawai Bank dan/atau
Penyidik Kepolisian dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Meskipun Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan ini merujuk, bahwa
meskipun bank diminta secara institusi untuk memberikan informasi tentang
kerahasiaan bank, namun konsekuensi pelanggarannya menjadi tanggung jawab
pribadi, adapun konsekuensi institusi sebagaimana diatur dalam Pasal 47A UU
Perbankan hanya ketika pihak Bank yang diwakili oleh Direksi, Komisaris dan
Pegawainya, tidak melaksanakan kewajibannya memberikan informasi bukan
ketika membocorkan informasi. Konsekuensi hukum pada institusi Bank
bersifat sanksi administratif dari OJK.
Fenomena yang terjadi pada kasus-kasus pembocoran rahasia bank
menunjukkan bahwa pembocoran rahasia bank melibatkan pegawai bank/orang
yang terafiliasi dengan bank. Sehingga, secara personal pegawai bank dapat
dimintai pertanggungjawaban, namun sama halnya dengan kendala yang
dialami oleh orang-orang yang tidak sering bersentuhan dengan aturan hukum,
nasabah yang dirugikan sering tidak mengetahui langkah-langkah hukum apa
yang bisa diambil untuk melindungi hak-haknya.
Hal yang terkait pertanggungjawaban pribadi mengenai kerahasiaan
bank seperti contoh yang terjadi pada salah satu staf Bank X10 yang
2018, Pukul 13.47 wib, Nama-nama tersebut adalah nama samaran karena permintaan
interviewee, ketiganya adalah karyawan bank di salah satau bank swasta, bank pemerintah dan
di Bandung, dan karyawan bank pembangunan daerah di pulau Jawa. 10 Huruf X adalah inistial nama salah satu bank bank swasta di kota Bandung, karena
permintaan dari interviewee.
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 639
memberikan kesaksian mengenai proses pencairan cek-cek yang kosong pada
suatu tindak pidana penipuan yang dilakukan suami nasabah. Selanjutnya
bahwa Pegawai Bank X digugat oleh nasabahnya karena menganggap bahwa
Pegawai Bank X telah membocorkan rahasia bank. Argumentasi nasabah,
nasabah berpatokan pada izin yang diberikan pada Pegawai Bank X bahwa
pemberian keterangan tersebut hanya kepada penyidik yang menangani kasus
pidana suaminya. Terkait masalah ini memberikan pencerahan baru bagi
pembukaan rahasia bank terhadap suatu penyidikan tindak pidana. Apakah izin
pemberian keterangan pada tahap penyidikan terpisah di bagian penuntutan dan
proses persidangan?
Berdasarkan teori fictie hukum, yaitu semua orang dianggap tahu
hukum, sehingga pemberian izin memberikan informasi pada penyidikan sudah
seharusnya dipahami akan digunakan oleh Penuntut Umum pada sidang terbuka
di pengadilan apabila berkas-berkas tersebut sudah lengkap. Sehingga
argumentasi bahwa penyidikan, penuntutan, dan persidangan di suatu perkara
pidana merupakan bagian – bagian terpisah dapat dibantah.
Nasabah menggugat Bank X dan Pegawainya menggunakan ketentuan
Pasal 1365 KUH, dengan alasan telah melanggar rahasia bank, namun dalam
gugatan ini terjadi lompatan “dalil”, yaitu bagaimana dapat dikatakan telah
terjadi pelanggaran pembukaan rahasia bank karena tidak pernah ada
persidangan pidana dan tidak ada putusan majelis hakim yang memutus ada
pelanggaran pembukaan rahasia bank oleh Bank X atau Pegawainya.
Dalam proses persidangan Pegawai Bank X mengatakan bahwa
pemberian keterangan adalah berdasarkan surat permintaan dari Kepolisian dan
surat tugas yang diberikan oleh atasan Pegawai Bank X dengan persetujuan
atau izin dari Nasabah. Oleh karena itu, kalau tetap ingin menggugat, maka
seharusnya nasabah menggugat dengan menggunakan pasal 1367 KUH Perdata
bukan dengan pasal 1365 KUH Perdata. Menurut Pasal 1367 ayat (1) dan (3)
KUH Perdata bahwa seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya. Majikan
atau orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka,
bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan
mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.
Nasabah yang merasa dirugikan karena pembocoran rahasia bank dapat
melindungi hak-haknya terkait pembukaan data rahasia bank rekening
miliknya, melalui upaya gugatan di Pengadilan berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata dan 1367 KUH Perdata dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum
oleh Pegawai Bank atau penegak hukum atau Penyidik. Bank terkait juga dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara institusi meskipun dalam UU
Perbankan hanya memberikan tanggung jawab individu dalam pembocoran
rahasia bank. Hal ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 1/POJK.07/2013 Pasal 29 dan Pasal 39 ayat (1). Pasal 29
menyebutkan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab
atas kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang
bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Berdasarkan Pasal 39
ayat (1) dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan,
640 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
melalui pengadilan. Dengan demikian maka nasabah yang merasa dirugikan
karena akibat pembocoran rahasia bank atau pembukaan rahasia bank yang
tidak sesuai prosedur dapat menempuh upaya perlindungan hukum terhadap
hak perdatanya tersebut melalui jalur litigasi berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata dan atau Pasal 1367 KUHPerdata atau melalui jalur non litigasi
melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yaitu antara lain mediasi.
Jika nasabah memilih melalui jalur litigasi yaitu melakukan gugatan
perdata, gugatan perdata ini dapat diajukan kepada Pengadilan tanpa harus
terlebih dahulu ada putusan pengadilan dalam perkara pidana yang sudah
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan telah terjadi pelanggaran rahasia
bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 juncto Pasal 47 UU Perbankan,
karena perbuatan melawan hukum tidak saja terjadi ada perbuatan atau tindakan
yang melanggar hukum atau ketentuan atau Undang-undang yang berlaku tetapi
juga yang terjadi antara lain karena melanggar kepatutan atau prinsip-prinsip
hukum yang berlaku di masyarakat antara lain prinsip kehati-hatian yang harus
dijalankan oleh Pegawai bank dan institusi perbankan. Jika nasabah memilih
melalui jalur non litigasi, berdasarkan Pasal 39 ayat (2) dan (3) maka
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa. Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa nasabah dapat menyampaikan permohonan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan
nasabah yang dirugikan oleh bank atau pegawai bank.
Adanya dugaan praktik pemberian data terkait rahasia bank oleh
Pegawai Bank kepada Penyidik atau penegak hukum, harus di sikapi positif
oleh pembentuk Undang-Undang, atau pemangku regulator, karena praktik
tersebut berkaitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana
atau masyarakat. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di
berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan
perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan
belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan
sosial. Perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang
bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum bisa berarti
perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan
tidak dicederai.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif
(pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik
yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan
hukum, dan memberikan keadilan kepada semua pihak. Keadilan adalah nilai
yang universal dan abadi dalam kehidupan manusia. Semua bentuk keadilan
dapat dilihat dari keadilan itu di realisasikan dan keadilan hanya dapat
diwujudkan oleh hukum karena hukum memiliki kekuatan untuk memaksa dan
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 641
mengatur. Hakikat keadilan adalah dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan
hak dan kewajiban dalam hubungan hidup kemanusiaan.11
B. Penegakan Hukum Terhadap Pembukaan Rahasia Bank Oleh
Pegawai Bank Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Pencucian
Uang Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum.
Berdasarkan Pasal 40 UU Perbankan, Bank wajib merahasiakan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
dan Pasal 44A. Menurut Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan bahwa “Barang siapa
tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, UU
Perbankan dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 UU Perbankan,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000 (dua ratus miliar
rupiah)”. Sedangkan pada Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan ditentukan bahwa :
“Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi
lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 UU Perbankan, diancam dengan Pidana Penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp.4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.8.000.000.000 (delapan miliar rupiah)”.
Ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan di atas,
menunjukkan bahwa sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan denda
dikenakan kepada siapa saja yang memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 40 UU Perbankan.
Sanksi tersebut dikenakan juga kepada Anggota Dewan Komisaris, direksi,
pegawai bank, atau pihak terafiliasi yang sengaja memberikan keterangan yang
wajib dirahasiakan menurut ketentuan Pasal 40 UU Perbankan.
Selanjutnya ketentuan Pasal 47A UU Perbankan menentukan bahwa
Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya
yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A UU Perbankan,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.4.000.000.000 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah). Oleh
karena itu pelaksanaan rahasia bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian
uang yang menjadi tanggung jawab bank tidak dapat dilakukan sepenuhnya
oleh pihak bank, dikarenakan ada ketentuan pengecualian yang mengaturnya.
Dan dalam hal ini pihak bank tidak dapat dipersalahkan apabila membuka
rahasia bank dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 40 UU Perbankan dengan
syarat-syarat dan prosedur tertentu yaitu perintah tertulis atau izin pengecualian
dari OJK.
11 Etty Mulyati, Kredit Perbankan, Aspek Hukum dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil
dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia, (Bandung, Refika Aditama, 2016), hlm. 43.
642 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Praktik yang masih dapat terjadi dilapangan ini, menurut hemat peneliti
hal tersebut terjadi karena masih lemah dalam penegakan hukumnya.
Penegakan hukum dapat diartikan penyelenggarakan hukum oleh petugas
penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai
dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku,
secara perdata atau pidana.
Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui cara-cara secara
damai antara pihak yang berselisih atau melalui pihak ketiga atau melalui
gugatan di Pengadilan. Sedangkan penegakan hukum pidana merupakan satu
kesatuan proses diawali dengan penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan
terdakwa dan diakhiri dengan pemasyarakatan terpidana. Penegakan hukum
adalah kegiatan menyerasikan hubungan nila-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Penegakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana
melalui hukum acara secara konkrit oleh aparat penegak hukum sejak proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, dan
penjatuhan putusan pidana.
Penegakan hukum bukanlah semata-mata hanya pada pelaksanaan
perundang-undangan saja atau berupa keputusan-keputusan hakim, melainkan
juga terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya proses penegakan hukum
secara langsung maupun tidak langsung.
Effektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur
sistem hukum12 yang meliputi struktur hukum (legal structure). Struktur hukum
terdiri dari jumlah (jenjang) panjang dan ukuran (yurisdiksi) dari pengadilan,
bagaimana lembaga pembentuk undang-undang dilaksanakan, prosedur apa
yang harus diikuti dan dijalankan oleh kepolisian dan sebagainya. Dengan kata
lain struktur hukum dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang
ada. Di Indonesia bila berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka
termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kemudian substansi hukum (substance of
the law), merupakan aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Dengan kata lain, substansi hukum (legal substance)
menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki kekuatan
yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Bukan saja
aturan tertulis yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, melainkan
juga hukum yang hidup di masyarakat. Terakhir, budaya hukum (legal culture),
merupakan sikap manusia termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya
terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum
untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas
substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang
yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan
berjalan secara efektif.
Ketiga unsur tersebut sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika
salah satu saja unsur tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan
penegakan hukum di masyarakat menjadi lemah.
12 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (Bandung,
[Pent. M. Khozim], Nusamedia, 2011), hlm. 5-6.
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 643
Selain ketiga sistem hukum tersebut terdapat lima faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum.13 Kelima faktor tersebut adalah hukumnya
sendiri atau peraturan itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum, masyarakat dan Kebudayaan.
Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri dapat dilihat dari
peraturan undang-undangan, yang dibuat oleh pemerintah dengan harapan
berdampak positif dari penegakan hukum tersebut. Peraturan undang-undang
tersebut dijalankan agar mencapai tujuan yang efektif. Didalam undang-undang
itu sendiri masih terdapat permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat
penegakan hukum, yaitu tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang,
belum adanya peraturan-pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang, ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-
undang yang mengakibatkan kesalahan di dalam penafsiran serta penerapannya.
Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukum. Istilah penegakan hukum mencakup mereka yang secara
langsung maupun tidak langsung bersinggungan langsung dibidang penegakan
hukum, seperti: dibidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
permasyarakatan. Penegak hukum merupakan golongan yang menjadi panutan
dalam masyarakat, karena sudah seharusnya mempunyai kemampuan-
kemampuan tertentu untuk menampung aspirasi masyarakat. Penegak hukum
harus peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dengan
dilandasi kesadaran bahwa persoalan tersebut ada hubungannya dengan
penegakan hukum itu sendiri.
Dalam penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Penegak
hukum khususnya penyidik, dapat menggunakan semua sarana termasuk
“hubungan baik” dengan Pegawai Bank, atau Pegawai PPATK, hal ini jika
terjadi dilema atau kesulitan, yaitu proses penyidikan harus segera di lakukan
dan harus sudah selesai dalam batas waktu penahanan, sedangkan birokrasi
pembukaan rahasia bank sering menjadi penghalang, antara lain: untuk
mendapatan keterangan dari Bank terkait rekening seseorang yang sedang
disidik harus mendapat izin terlebih dahulu dari pemilik rekening yang belum
berstatus tersangka dan belum memberikan izin atau bahkan tidak diketahui
keberadaanya karena pemilik rekening melarikan diri, selain dari pemilik
rekening izin dapat diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, tetapi memerlukan
waktu yang relatif lama, diperlukan waktu 1 minggu sampai 2 minggu, kecuali
untuk kasus-kasus yang ada tendensi politiknya, atau yang dampaknya massive
dan menyita perhatian masyarakat, izin dapat diberikan seketika diminta. Tidak
diperlukan izin tetapi pelaku utama sudah berstatus tersangka dan surat
permohonan harus di tanda tangani oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia
atau Kepala Kepolisian Daerah. Untuk mendapat tanda tangan salah satu
Pejabat ini, memerlukan waktu yang tidak sebentar, karena birokrasi internal di
Kepolisian dan apalagi kalau penyidiknya jauh dari Pejabat tersebut berada.
Diperlukan 1 minggu sampai 2 minggu untuk mendapat tanda tangan salah satu
pejabat tersebut. Hal lain untuk menjadikan pelaku utama mejadi berstatus
tersangka harus melalui tahapan Gelar Perkara yang harus memenuhi tahapan
dan proses yang sudah di tetapkan dalam Perkaba, sedangkan tindakan
13 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Bandung, Rajawali Pers, Jakarta, 2008), hlm. 5.
644 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
dilapangan penyidik harus cepat dan responsif, sehingga penegakan hukum
Tindak Pidana Pencucian Uang dapat segera di laksanakan.
Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Kepastian penanganan suatu perkara senantiasa tergantung pada sumber daya
yang diberikan di dalam proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana.
Tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar tanpa adanya
sarana atau fasilitas tertentu yang ikut mendukung.
Faktor Masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku dan diterapkan. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Secara langsung
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Pada setiap tindak pidana
dalam rangka penegakan hukum, tidak semuanya diterima masyarakat,
seringkali kali ketaatan terhadap hukum yang dilakukan hanya mengetengahkan
sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman atau penjatuhan pidana apabila
dilanggar. Hal itu hanya menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap para
penegak hukum semata atau petugasnya saja.
Faktor-faktor yang memungkinkan mendekatnya penegak hukum pada
pola isolasi meliputi pengalaman dari warga masyarakat yang pernah
berhubungan dengan penegak hukum dan merasakan adanya suatu intervensi
terhadap kepentingan-kepentingan pribadinya yang dianggap sebagai gangguan
terhadap ketentraman (pribadi). Peristiwa-peristiwa yang terjadi yang
melibatkan penegak hukum dalam tindakan kekerasan dan paksaan yang
menimbulkan rasa takut. Pada masyarakat yang mempunyai taraf stigmatisasi
yang relatif tinggi atau cap yang negatif pada warga masyarakat yang pernah
berhubungan dengan penegak hukum. Adanya haluan tertentu dari atasan
penegak hukum agar membatasi hubungan dengan warga masyarakat, oleh
karena ada golongan tertentu yang diduga akan dapat memberikan pengaruh
buruk kepada penegak hukum.
Faktor Kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan atau
sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
seharusnya diikuti dan apa yang dianggap buruk seharusnya dihindari.
Mengenai faktor kebudayaan terdapat pasangan nilai-nilai yang berpengaruh
dalam hukum, yakni nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah dan
nilai rohaniah (keakhlakan), nilai konservatisme dan nilai inovatisme.
Kelima faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap penegakan
hukum, baik pengaruh positif maupun pengaruh yang bersifat negatif. Hal ini
disebabkan karena undang-undang yang disusun oleh penegak hukum,
penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum itu sendiri dan penegak
hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.
Hukum yang baik adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan bermanfaat
bagi masyarakat. Penetapan tentang perilaku yang melanggar hukum senantiasa
dilengkapi dengan pembentukan organ-organ penegakannya. Hal ini tergantung
pada beberapa faktor yaitu harapan masyarakat yakni apakah penegakan
tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat, adanya motivasi warga
masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum kepada
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 645
organ-organ penegak hukum tersebut, dan kemampuan dan kewibawaan dari
pada organisasi penegak hukum.
Selain ke lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut di
atas, penegakan hukum juga harus menciptakan kepastian hukum dan ketentuan
atau produk perundang-undangan di terbitkan menjadi efektif dan tepat sasaran
tidak menjadi sia-sia.
Terdapat unsur pendukung penegakan hukum yang didasarkan pada
empat dalil berikut, yaitu:14 setiap peraturan hukum memberi tahu tentang
bagaimana seorang pemegang peran diharapkan bertindak; bagaimana
seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap
peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan
kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas lembaga pelaksana, serta keseluruhan
kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain mengenai dirinya; bagaimana
lembaga-lembaga pelaksanaan itu akan bertindak sebagai respons terhadap
peraturan-peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang
ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, kekuatan sosial politik dan lain-lainnya
yang mengenai diri mereka, serta umpan balik yang datang dari para pemegang
peran itu; bagaimana pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksi,
kekuatan sosial politik, ideologi, dan lain-lain yang mengenai diri mereka, serta
umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.
Lebih lanjut, selain lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
dan tiga unsur sistem hukum yang telah diuraikan di atas, ada lima elemen yang
berpengaruh terhadap kualitas penegakan hukum, yaitu:15 undang-undang,
pelanggar, korban, masyarakat dan aparat penegak hukum. Kelima elemen atau
komponen itu berada dalam hubungan yang saling mempengaruhi dan
berlangsung dalam wadah struktur politik, sosial ekonomi, dan budaya dalam
situasi tertentu.
Untuk kasus pemblokiran rekening atau dana nasabah yang terindikasi
terait tindak pidana pencucian uang Penyidik haruslah menjalankan proses
penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) UU TPPU.
Pasal 72 ayat (1) UU TPPU menyebutkan untuk kepentingan pemeriksaan
dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau
hakim berwenang meminta pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara
tertulis mengenai harta kekayaan dari orang yang telah dilaporkan oleh PPATK
kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa. Maka untuk rekening yang di duga
terindikasi terlibat tindak pindana pencucian uang tetapi tidak memenuhi
kualifikasi tersebut Penyidik tidak boleh melakukan pemblokiran terhadap
rekening atau dananya, hal ini sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam
Pasal 72 ayat (1) “…mengenai harta kekayaan dari orang yang telah dilaporkan
oleh PPATK kepada penyidik, tersangka atau terdakwa”.
Dalam hal nasabah pemilik rekening simpanan memenuhi kualifikasi
tersebut maka sesuai ketentuan Pasal 72 ayat (5) UU TPPU, surat permohonan
permintaan untuk memperoleh keterangan dari Bank harus di tanda tangani oleh
14 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,
(Bandung, Sinar Baru, Bandung,1989), hlm. 22.
15 I.S. Susanto, Pemahaman Kritis terhadap Realitas Sosial, Majalah Masalah Hukum Nomor 9
Tahun 1992.
646 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau oleh Kepala Kepolisian
Daerah, atau oleh Pejabat yang ditunjuk mereka, yang dibuktikan dengan surat
penunjukan. Ketentuan mengenai pejabat Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau oleh Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang ditunjuk
mereka yang diatur dalam Pasal 72 ayat (5), menurut pendapat peneliti harus
dilakukan revisi karena sering menjadi kendala dilapangan bagi para Penyidik
dalam melakukan penyelidikan atau penyidikan, bahkan karena aturan atau
ketentuan ini menjadi kendala, justru Penyidik melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan ini. Menurut pendapat peneliti ketentuan mengenai pejabat Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau oleh Kepala Kepolisian Daerah
harus di ganti sekurang-kurangnya menjadi Kepala Direktorat Reserse Kriminal
atau Pejabat Kepolisian Republik Indionesia yang berpangkat Komisaris Besar.
Selain Pasal 72 ayat (5) UU TPPU, peneliti berpendapat ketentuan Pasal
40 UU Perbankan yang diatur lebih kanjut dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.07/2014
tentang Kerahasiaan Dan Keamanan Data dan/Atau Informasi Pribadi
Konsumen, harus di lakukan evaluasi ulang atau diatur ulang tentang
’keterangan mengenai nasabah penyimpanan’.
Ketentuan mengenai hal ini dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 14/SEOJK.07/2014 di atur sangat luas yaitu: nama, alamat, tanggal lahir
dan/atau umur, nomor telepon dan/atau nama ibu kandung, susunan direksi dan
komisaris termasuk dokumen identitasnya yaitu: kartu tanda
penduduk/paspor/ijin tinggal, dan susunan pemegang saham. Data atau
informasi tersebut seharusnya untuk kepentigan hukum seperti untuk
kepentingan penyelidikan dan penyidikan khususnya dalam rangka proses
penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dapat dipisahkan ada yang
benar-benar tidak dapat dibuka (absolute) dan ada yang dapat dibuka (relative)
seperti nama dan alamat karena data mengenai nama dan alamat yang sering
diperlukan oleh Penyidik untuk mencari atau mengamankan tersangka.
Menurut pendapat peneliti untuk kepentingan hukum seperti untuk
penyelidikan atau penyidikan, khususnya dalam rangka penegakan hukum
tindak pidana pencucian uang data atau informasi yang terkait nasabah
penyimpan mengenai nama dan alamat harus dikeluarkan dari kategori rahasia
bank, pengaturannya dapat di atur dalam Undang-Undang yang mangatur
tindak pidana terkait, misalnya dalam Pasal 72 UU TPPU ditambahkan 1 ayat
di ayat 7, dengan bunyi ayat:
“(7) Khusus untuk permintaan keterangan mengenai nama dan alamat
dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa,
tidak memerlukan izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau persetujuan dari
pemilik rekening.”
atau ketentuan mengenail hal tersebut dapat ditambahkan dalam
penjelasan pasal 72 ayat (1).
Jika nama dan alamat dapat diberikan oleh bank ke Penyidik tanpa harus
izin Otoritas Jasa Keuangan atau harus melalui proses yang berlaku saat ini, dan
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 647
ketika Penyidik mencari dan menemukan nasabah dengan data tersebut bukan
yang sedang di sidik atau dicari oleh Penyidik pasti tidak akan ditangkap atau
diamankan. Untuk kondisi seperti itu menurut pendapat peneliti tidak ada yang
dirugikan, bahkan justru untuk menciptakan kepastian hukum, karena
permintaan data atau informasi mengenai nama dan alamat tersebut telah
dibatasi yaitu orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik,
tersangka dan / atau terdakwa saja, sehingga perlindungan dan kepastian
hukumnya tetap terjaga atau dilindungi.
Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum, sebagai bagian
dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah
pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang
siapa yang melakukan. Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan
perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa ada kepastian
hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan
perilaku. Kepastian hukum merupakan kesesuaian yang bersifat normatif, baik
ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada
pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur,
konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
yang sifatnya subyektif dalam kehidupan masyarakat.
Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan di hadapan
hukum tanpa diskriminasi. Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa
nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi dijadikan sebagai
pedoman perilaku bagi setiap orang. Dengan pegangan inilah masyarakat
menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada
ketertiban.
Berdasarkan urain di atas bahwa penegakan hukum terhadap pembukaan
rahasia bank oleh Pegawai Bank dalam proses penyidikan tindak pidana
pencucian uang dalam kasus Nasabah yang di blokir dananya atau rekeningnya
karena diduga terindikasi tindak pidanan pencucian uang dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Kedua faktor ini ada
atau terjadi dalam praktik, khususnya ketika peneliti melakukan penelitian ini.
Faktor masyarakat, menunjukan bahwa prilaku dan kebiasaan
masyarakat Indonesia saat ini masih lemah kesadaran dan ketaatan hukumnya,
dan cenderung tidak peduli dengan terjadinya pelanggaran hukum yang terjadi
yang diketahui. Hal ini dapat dilihat dari tidak ada kemauan dari Pegawai Bank
untuk melaporkan Penyidik yang meminta data / informasi tidak sesuai
prosedur atau ketentuan yang berlaku, kepada Profesi dan Kemaanan (Propam),
kepada Badan Reserse Kriminal atau atasan langsung Penyidik.
Faktor kebudayaan, yaitu masyarkat Indonesia yang dalam bersosialisasi
atau bermasyarakat, masyarakat Indonesia memiliki bentuk atau sifat pergaulan
atau kelompok, yaitu paguyuban (gemeinschaft) yaitu kelompok sosial yang
anggota anggotanya berhubungan secara erat, intimate, exclusive, Privat (sifat
hubungannya pribadi), hubungan antar anggota bersifat informal, adanya
keinginan untuk meningkatkan kebersamaan, dan patembayan (Gesselschaft)
yaitu kelompok sosial yang anggota - anggotanya berhubungan dengan dasar
kepentingan, berorintasi ekonomi, dan memperhitungkan nilai guna
(utilitarian).
648 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Untuk Pegawai Bank, dengan membantu penyidik mendapat data atau
informasi yang dibutuhkan Penyidik, hal tersebut merupakan cara menjalin
kebersamaan dan diharapkan akan memiliki hubungan baik dengan Penyidik
dan mendapat benefit atau keuntungan dalam waktu dekat atau jangka pendek
atau untuk jangka panjang di waktu yang akan datang, dalam hal ini ada nilai
ekonomis yang menjadi pertimbangannya. Demikian juga sebaliknya untuk
Penyidik orientasi dan motif ekonomi menjadi prioritas dalam proses
penyidikan yang dilakukannya, yaitu dengan mendapat data atau informasi
dengan secara lebih mudah dari Pegawai Bank, karena tidak harus menempuh
prosedur yang ada, sehingga terjadi efisiensi waktu dan efektivitas biaya.
Dengan kata lain terjadi hubungan simbiosis mutualisme.
Tegaknya hukum yang adil menjamin kepastian hukum merupakan
suatu public good yang merupakan kebutuhan kita semua baik sebagai individu,
bangsa, dan negara. Penegakan hukum yang baik bukan saja diperlukan untuk
perlindungan masyarakat tetapi juga diperlukan untuk menciptakan iklim yang
kondusif bagi investor baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dalam
penegakan hukum sering dibutuhkan informasi dan dan alat bukti berupa
keterangan tentang keadaan keuangan seseorang atau pelaku tindak pidana,
dengan kata lain terdapat kepentingan umum untuk membuka rahasia bank
tersebut. Dengan demikian terdapat dua kepentingan umum yang bertemu, yaitu
kepentingan nasabah dan industry perbankan dan kepentingan penegakan
hukum.
Kepentingan industry perbankan dan hal ini harus dilindungi hukum
karena bank merupakan soko guru atau urat nadi ekonomi suatu bangsa, yang
dalam menjalankan usahanya dibutuhkan kepercayaan dari masyrakat. Bank
menjadi indikator kuat dan sehatnya perekonomian suatu negara. Kuat dan
majunya suatu negara dapat dilihat dari kondisi perbankan dinegara tersebut.
Salah satu wujud masyarakat dapat mempercai perbankan, masyarakat mau
menyimpan uangnya dibank. Masyarakat mau menyimpan uang dibank karena
merasa ada perlindungan dari bank bahwa data diri dan simpannaya aman,
setidak-tidaknya tidak dengan mudah dapat di informasikan kepada pihak
ketiga.
Jika perlindungan hukum terhadap rahasia bank tidak dapat ditegakan
akan berimplikasi larinya nasabah ke sektor ekonomi lain seperti pasar modal
atau direct investment, bahkan lebih buruk dapat terjadi capital flight.
Dengan larinya nasabah ke sektor lain maka dapat dipastikan ekonomi
suatu Negara akan hancur seperti yang terjadi di Negara kita tahun 1997-1998,
ekonomi Indonesia hancur dan suku bunga perbankan mencapai 65 persen per
tahunnya karena semua bank kekurangan likuiditas karena dana pihak
ketiganya ditarik nasabah dan di alihkan ke sektor lain atau bahkan disimpan ke
luar negeri. Maka belajar dari pengalaman buruk tahun 1997-1998, bahwa
penegakan rahasia bank menjadi suatu yang mutlak harus dijalankan, dan tidak
bisa ditawar lagi, dan terhadap setiap pelanggarannya, setiap orang yang
melakukan pelanggaran harus di proses dan di jatuhi sanksi hukum atau sanksi
lain yang berlaku. Dengan adanya penegakan hukum terhadap rahasia bank,
maka terjadi perlindungan terhadap nasabah penyimpan dan simpanannya.
Inilah esensinya kenapa penegakan hukum terhadap rahasia bank harus
dijalankan.
Perlindungan Nasabah, Hendrik Agus Sutiawan, Etty Mulyati, Ijud Tajudin 649
Kepentingan penegakan hukum diperlukan oleh semua pihak dan hal ini
lebih besar dibandingkan dengan kepentingan perlindungan terhadap nasabah
perorangan (financial privacy), maka ketentuan rahasia bank dapat diterobos
untuk kepentingan penegakan hukum.
IV. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Perlindungan nasabah terkait pembukaan rahasia bank oleh pegawai
bank dalam proses penegakan hukum tindak pidana pencucian uang
telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan dalam Pasal 29 dan Pasal 39. Berdasarkan dua pasal tersebut
nasabah dapat melindungi hak perdatanya melalui jalur litigasi sesuai
Pasal 1365 KUHPerdata dan atau Pasal 1367 KUHPerdata, atau melalui
jalur non litigasi melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yaitu
antara lain mediasi, dengan dalil perbuatan melawan hukum.
2. Penegakan hukum terhadap pembukaan rahasia bank oleh Pegawai
Bank dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang
dihubungkan dengan asas kepastian hukum tidak berjalan, karena
penerapan Pasal 40 dan 47 UU Perbankan tidak dijalankan, hal ini
terjadi karena sampai saat ini belum ada masyarakat atau yang merasa
dirugikan yang melaporkan atau mengadukan kepada institusi penegak
hukum atau ke internal perbankan sendiri. Seharusnya Pegawai Bank
dijerat Pasal 40 dan diberikan sanksi hukum sesuai Pasal 47 ayat (2),
dan terhadap Penyidik atau penegak hukum dikenakan Pasal 47 ayat (1)
UU Perbankan.
B. Saran
1. Terhadap pemblokiran yang dilakukan Bank atas perintah / permintaan
dari Penegak Hukum/ Penyidik karena dugaan tindak pidana awal yang
tidak dilanjutkan ke proses persidangan harus ada pengaturan tentang
batas waktu pemblokiran secara limitatif melalui Peraturan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Perka Kapolri). Hal ini diperlukan
untuk memberi kepastian dan perlindungna hukum kepada nasabah
penyimpan dan dana simpanannya.
2. Untuk kepentingan dan perlindungan hukum khususnya dalam rangka
penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, perihal nama dan
alamat nasabah penyimpan harus dikeluarkan dari definisi atau
pengertian rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 28
UU Perbankan, sehingga menjadi tidak termasuk dalam kategori rahasia
bank, dengan demikian untuk pembukaanya tidak diperlukan lagi izin
dari Otoritas Jasa Keuangan atau persetujuan dari nasabah.
Pengaturannya dapat diatur dalam Undang-Undang terkait, seperti
dalam UU TPPU.
650 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Etty Mulyati, Kredit Perbankan, Aspek Hukum dan Pengembangan
Usaha Mikro Kecil dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2016.
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science
Perspective, [Pent. M. Khozim], Nusamedia, Bandung, 2011.
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Sinar Baru, Bandung,1989.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.
Y. Sri Susilo dkk., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat,
Jakarta, 2000.
Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima,
Bandung, 2010.
Peraturan perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana.
Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-
undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang - undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.07/2014
tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi
Konsumen.
Sumber Lain:
I.S. Susanto, Pemahaman Kritis terhadap Realitas Sosial, dalam
Majalah Masalah Hukum Nomor 9 Tahun 1992.
Marnia Rani, Perlindungan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kerahasiaan dan
Keamanan Data Pribadi Nasabah Bank, Jurnal Selat, Oktober 2014, Vol. 2 No.
1.