PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN DI …
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN DI …
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
150
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN DI INDONESIA
Junawan
Email: [email protected]
Universitas Tadulako
Abstrak
Penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum bagi nelayan setelah terbitnya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,
Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, dengan Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Konseptual, dan
Pendekatan Historis. Keberadaan nelayan memiliki peran yang sangat strategis dalam
pembangunan nasional. Perannya yang strategis belum diimbangi dengan perlindungan yang
memadai meskipun berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan nelayan sudah
diterbitkan oleh pemerintah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam berarti ada
instrumen hukum yang secara spesifik mengatur perlindungan sekaligus pemberdayaan bagi
nelayan. Keberadaan undang-undang ini melengkapi undang-undang sektoral yang ada seperti
undang-undang kelautan, undang-udang perikanan, dan undang-undang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki relevansi pengaturan yang terkait dengan sumber daya
perikanan dan nelayan.
Kata Kunci: Perlindungan Nelayan
PENDAHULUAN
Secara garis geografis Indonesia memiliki
dua pertiga luas lautan daripada luas daratan.
Karena memiliki wilayah laut yang luas,
Indonesia memiliki peluang yang besar untuk
memajukan perekonomian Indonesia melalui
pemanfaatan sumber daya laut. Sayangnya,
sumber daya laut yang memiliki potensi besar
belum dapat menjamin kesejahteraan bagi
nelayan Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh
BPS (Badan Pusat Statistik) periode 2000-2016,
jumlah rumah tangga nelayan menurun dari
tahun 2003 sebanyak 2.144.959 menjadi 965.756
pada tahun 2016. Selain itu, sebanyak 115
perusahaan pengolahan ikan nasional gulung
tikar akibat tak mendapat pasokan ikan karena
kapal-kapal illegal fishing langsung membawa
ikan curiannya ke luar negeri.1
Menurunnya jumlah nelayan di tengah
potensi sumber daya ikan yang besar menjadi
permasalahan sendiri. Sebab dengan potensi
sumber daya ikan yang ada dibutuhkan sumber
daya manusia nelayan yang cukup dan memiliki
keterampilan. Faktor kesejahteraan diduga
menjadi salah satu pemicu menurunnya jumlah
1 Angela Vania dan Dona Rahayu, Perlindungan Hukum
bagi Nelayan Indonesia, 10 April 2019,
https://icel.or.id/perlindungan-hukum-bagi-nelayan-
indonesia/
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
151
keluarga yang bekerja sebagai nelayan
mengingat pekerjaan ini merupakan pekerjaan
utama masyarakat Indonesia yang bermukim di
wilayah-wilayah pesisir. Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti mensinyalir beberapa
faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah
nelayan, sebagai berikut:
1. Merupakan dampak illegal fishing
(penangkapan ikan secara ilegal) yang
menyebabkan nelayan kehilangan mata
pencaharian. Illegal fishing juga membuat
produksi ekspor perikanan Indonesia menurun.2
2. Keberadaan kapal asing yang
beroperasi di wilayah perairan Indonesia
menyebabkan nelayan lokal sulit mendapat ikan
sehingga banyak yang beralih profesi sebagai
tukang becak dan kuli bangunan.3
Salah satu faktor yang dapat menunjang
kesejahteraan nelayan adalah wadah hukum yang
bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan
nelayan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan yang pernah berlaku dinilai
belum mampu mengantisipasi perkembangan
teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum
dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan
potensi sumber daya ikan. Kelemahan undang-
undang tersebut menyangkut beberapa substansi,
2 Menteri Susi: Pencurian Ikan Buat Jumlah Nelayan
Turun 50 Persen, https://www.merdeka.com/uang/menteri-
susi-pencurian-ikan-buat-jumlah-nelayan-turun-50-
persen.html. 3 Menteri Susi: Kapal Asing Sebabkan Jumlah Nelayan
Turun, 12 April 2019,
https://www.antaranews.com/berita/827073/menteri-susi-
kapal-asing-sebabkan-jumlah-nelayan-turun.
baik menyangkut aspek manajemen, birokrasi,
maupun aspek hukum.
Kelemahan pada aspek manajemen
pengelolaan perikanan, antara lain belum
terdapatnya mekanisme koordinasi antarinstansi
yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
Sedangkan pada aspek birokrasi, antara lain
terjadinya benturan kepentingan dalam
pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek
hukum antara lain masalah penegakan hukum,
rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi
relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana
di bidang perikanan yang terjadi di luar
kewenangan pengadilan negeri tersebut.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan menjawab kelemahan-kelemahan
dalam undang-undang sebelumnya. Pertama,
mengenai pengawasan dan penegakan hukum
menyangkut masalah mekanisme koordinasi
antarinstansi penyidik dalam penanganan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan,
penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum
acara, terutama mengenai penentuan batas waktu
pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam
penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk
kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa
penenggelaman kapal asing yang beroperasi di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
152
Kedua, masalah pengelolaan perikanan
antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi,
perizinan, dan kesyahbandaran. Ketiga,
perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan
sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia. Di
samping itu, regulasi baru yang ada mengarah
pada keberpihakan kepada nelayan kecil dan
pembudi daya-ikan kecil, antara lain dalam
aspek perizinan, kewajiban penerapan ketentuan
mengenai sistem pemantauan kapal perikanan,
pungutan perikanan, dan pengenaan sanksi
pidana.
Selain berbagai peraturan perundang-
undangan yang disebutkan di atas, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU
Pemda) juga berdampak signifikan terhadap
pembangunan sektor kelautan dan perikanan
yang secara langsung maupun tidak langsung
akan berpengaruh terhadap kehidupan nelayan.
Sektor kelautan dan perikanan merupakan urusan
pemerintahan pilihan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 12 ayat (3) huruf a UU Pemda.
Dalam pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota, pengelolaan
penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan
12 mil yang merupakan sub urusan perikanan
tangkap ditetapkan sebagai kewenangan daerah
provinsi. Demikian pula pengawasan sumber
daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12
mil ditetapkan sebagai kewenangan daerah
provinsi.
Keberadaan nelayan memiliki peran yang
sangat strategis dalam pembangunan nasional.
Perannya yang strategis belum diimbangi dengan
perlindungan yang memadai meskipun berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan nelayan sudah diterbitkan oleh
pemerintah. Bahkan fakta empirik tentang
penurunan jumlah rumah tangga nelayan
menunjukkan adanya permasalahan di sektor
perikanan dan nelayan sebagai salah satu pelaku
dalam sektor tersebut. Dengan adanya
pengaturan tersendiri tentang perlindungan dan
pemberdayaan nelayan yang dituangkan dalam
undang-undang khusus, diharapkan memberikan
kedudukan hukum yang lebih kuat bagi nelayan
untuk memperoleh berbagai bentuk perlindungan
dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan
dalam latar belakang masalah maka penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini:
Bagaimanakah perlindungan hukum bagi
nelayan setelah terbitnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
dan Petambak Garam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perlindungan hukum bagi nelayan
setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan
Petambak Garam.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
153
Sebagaimana penelitian ilmiah pada
umumnya, penelitian ini diharapkan
memperkaya khasanah keilmuan yang berkaitan
dengan perlindungan dan pemberdayaan nelayan
di Indonesia. Secara khusus penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis
bagi pengembangan ilmu hukum administrasi
negara dan hukum yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam. Secara khusus
penelitian ini diharapkan menambah referensi
akademik di bidang hukum yang secara spesifik
mengkaji hukum perikanan yang belum begitu
banyak mendapat perhatian dari kalangan ahli
hukum.
Penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangsih bagi pemerintah dan pemerintah
daerah dalam merumuskan suatu kebijakan
strategis yang berkaitan dengan perlindungan
dan pemberdayaan nelayan. Mengingat sebagian
besar rumah tangga nelayan masih rentan dari
aspek kesejahteraan karena berbagai
keterbatasan kondisi lingkungan, sarana dan
prasarana, kepastian usaha, akses permodalan,
ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
maka diperlukan sebuah saran kebijakan yang
dapat mengangkat kehidupan rumah tangga
nelayan sebagai bagian dari warga negara yang
dijamin hak-haknya oleh konstitusi.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan
penelitian hukum normatif yaitu penelitian
hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah
bangunan sistem norma. Sistem norma yang
dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
(ajaran).4 Untuk pengayaan informasi mengenai
isu/objek penelitian maka penelitian ini tetap
didukung oleh data empiris sebagai pendukung
kajian.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa
pendekatan, yakni pendekatan perundang-
undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach), dan
pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang dihadapi. Pendekatan
konseptual beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. Pendekatan historis dilakukan
dengan menelaah latar belakang apa yang
dipelajari dalam perkembangan pengaturan
mengenai isu yang dihadapi.5
Pendekatan historis diterapkan untuk
menelaah aturan-aturan yang berkaitan dengan
hukum perikanan di Indonesia yang pernah
berlaku. Penggunaan berbagai pendekatan ini
4 Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme
Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hal. 34. 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 133-135.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
154
diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang
bersifat preskriptif mengenai perlindungan dan
pemberdayaan nelayan di Indonesia.
Tahapan Penelitian dan Teknik Pengumpulan
Bahan Hukum
Sebagai suatu penelitian hukum yang
bersifat normatif, maka fokus penilitian ini
didasarkan pada studi bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder serta bahan-bahan lain
yang relevan dengan isu penelitian. Dari bahan-
bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dan
diklasifikasikan kemudian dilakukan analisis
mengacu pada teori-teori yang digunakan dalam
penelitian.
Norma-norma hukum yang terkait dengan
isu penelitian, yakni perlindungan terhadap
nelayan, juga dikaji dengan menjadikan
ketentuan konstitusi sebagai pisau analisis untuk
melihat sejauhmana norma-norma tersebut sesuai
dengan perintah konstitusi. Norma-norma yang
terkait dengan isu penelitian juga dikaitkan
dengan persoalan empiris, apakah norma tersebut
telah cukup mengatasi permasalahan-
permasalahan aktual terkait dengan perlindungan
nelayan sebagai isu pokok penelitian ini.
PEMBAHASAN
Sebagai bagian dari kebijakan perikanan
nasional, pemerintah telah menerbitkan regulasi
untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan
di perairan Indonesia sekaligus memperbaiki
kinerja usaha perikanan nasional. Regulasi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian
Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha
Perikanan Tangkap di WPP RI;
2. Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 57 Tahun 2014 tentang Usaha Perikanan
Tangkap di WPP RI;
3. Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan
Lobster, Kepeting, dan Rajungan;
4. Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan
Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela
(Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Net) di WPP RI;
5. Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Larangan
Penangkapan Ikan di WPP RI 714.
Sejak diberlakukannya moratorium
perizinan kapal asing sejak 3 November 2014
sampai akhir Januari 2015, jumlah kapal asing
yang telah dihentikan izin perikanannya oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencapai
48,5 persen dari data yang tercatat sebelum
adanya moratorium. Data kapal asing yang
tercatat sebelum adanya moratorium adalah
1.180 unit kapal, sementara pada akhir Januari
2015 tercatat jumlahnya turun menjadi 572 unit
kapal asing. Temuan (BPK) Badan Pemeriksa
Keuangan tahun 2010 menunjukkan bahwa
kapal-kapal asing yang beroperasi di wilayah
perairan Indonesia berasal dari negaranya
masing-masing. Dengan demikian ketika izinnya
dihentikan maka kapal-kapal asing tersebut akan
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
155
memulangkan ABK-nya ke negara masing-
masing.6
Implikasi lain dengan diberlakukannya
berbagai regulasi yang dikemukakan di atas
adalah penghentian aktivitas alih muatan
(transshipment) ikan di tengah laut yang
diharapkan dapat menekan kegiatan unreported
fishing yang kerap terjadi di perairan Indonesia.
Ganapathiraju Pramod et.al. (2014) dalam Jurnal
Marine Policy Vol. 48 Tahun 2014 mencatat
bahwa pada tahun 2011 terdapat sekitar 20-35
persen ikan tuna yang diekspor ke USA dari
Indonesia dilakukan secara illegal dan
unreported. Pada tahun 2011 tercatat ada sekitar
3.889 ton sampai 6.805 ton ikan tuna yang
diekspor secara ilegal ke USA dari Indonesia.
Demikian pula udang-undang dari Indonesia
yang dijual melalui Thailand dan China tidak
tercatat dalam data statistik perdagangan negara
Indonesia. Dalam artikel yang sama disampaikan
juga bahwa sekitar 25 persen ikan tuna yang
ditangkap kapal-kapal perikanan milik Vietnam
berasal dari wilayah perairan ZEE Indonesia.
Penangkapan ikan tersebut dilakukan tanpa izin
dan kesepakatan antara Indonesia dengan
Vietnam.7
Kebijakan di sektor perikanan melalui
berbagai regulasi yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan, diharapkan
menjaga kelestarian sumber daya ikan yang ada
6 Suhana, Kebijakan Kelautan dan Perikanan dan
Implikasinya Terhadap Kelestarian Sumber Daya Ikan dan
Ekonomi Perikanan Indonesia, Risalah Kebijakan
Pertanian dan Lingkungan, Vol. 2 No. 1 April 2015, Hal.
75. 7 Ibid., hal. 71-72.
di wilayah perairan Indonesia yang selama ini
lebih menguntungkan negara-negara asing.
Secara tidak langsung, kebijakan ini juga akan
berdampak positif bagi nelayan-nelayan
Indonesia karena sumber daya ikan yang
cenderung kritis dapat dipulihkan
keberadaannya. Namun menurut Suhana, dalam
jangka pendek lima peraturan yang dikeluarkan
Menteri Kelautan dan Perikanan, dapat
menimbulkan gejolak di masyarakat nelayan dan
para pelaku usaha perikanan nasional. Misalnya,
pelarangan alat tangkap sejenis trawl sangat
berdampak pada aktivitas nelayan kecil. Di mana
sebagian besar nelayan kecil, khususnya yang
ada di Pantai Utara Jawa menggunakan alat
tangkap ini. Adanya larangan ini akan
menyulitkan aktivitas nelayan dalam menangkap
ikan. Padahal nelayan kecil umumnya tidak
memiliki kegiatan ekonomi yang lain, selain
menangkap ikan. Oleh karena itu, perlu ada
solusi kebijakan dan program bagi nelayan kecil
sebagai kompensasi atas berbagai pelarangan
yang dilakukan pemerintah.8
Menurut penulis, dengan adanya Permen
Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014
tentang Penghentian Sementara (Moratorium)
Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI,
sudah bersesuian dengan konsep penguasaan
negara atas kekayaan alam yang ada. Termasuk
di dalamnya sumber daya ikan yang merupakan
salah satu cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
8 Ibid.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
156
sebagai salah satu amanat konstitusi. Ikan
merupakan sumber protein utama yang
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Di satu
sisi, nelayan sebagai penghasil ikan merupakan
salah satu jenis pekerjaan yang dijalankan oleh
mayoritas rakyat Indonesia yang masih tergolong
miskin.
Dengan pemberlakuan moratorium
terhadap izin kapal-kapal asing untuk beroperasi
di wilayah perairan Indonesia sekaligus menjadi
bukti perlindungan negara terhadap nelayan kecil
dan nelayan-nelayan tradisional yang tidak
mungkin bersaing dengan nelayan-nelayan asing
yang menggunakan alat tangkap dan kapal
dengan teknologi yang canggih. Proteksi negara
melalui moratorium izin kapal asing sejalan
dengan amanat konstitusi bahwa kekayaan alam
yang dimiliki negara ini harus diperuntukkan dan
bermanfaat untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Ada pun regulasi pelarangan alat tangkap
sejenis trawl, menurut penulis, meskipun
sepintas merugikan nelayan yang menggunakan
alat tangkap tersebut tapi untuk kepentingan
jangka panjang, regulasi tersebut dimaksudkan
untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan.
Jika penggunaan trawl tidak dilarang atau
dibatasi justeru akan merugikan nelayan itu
sendiri dalam jangka panjang. Oleh karena itu,
diperlukan aturan yang lebih bijaksana dari
pemerintah melalui instrumen hukum perizinan.
Penggunaan alat tangkap trawl tidak dilarang
sepenuhnya tapi diatur dengan syarat-syarat
tertentu melalui perizinan sehingga nelayan tidak
kehilangan pekerjaan karena larangan
penggunaan alat tangkap sejenis trawl tapi
penggunaan alat tersebut perlu diatur sedemikian
rupa demi keberlangsungan sumber daya ikan.
Indonesia adalah negara kepulauan
sehingga nelayan merupakan suatu komunitas
yang sangat penting. Sebab menurut UNCLOS
(United Nation Convention on the Law of the Sea
1982), karena tanpa nelayan maka negara
kepulauan akan kehilangan hak tradisonal.9
Nelayan merupakan suatu komunitas yang harus
ada dalam negara kepulauan. Tanpa nelayan,
negara kepulauan akan kehilangan hak
tradisionalnya terhadap negara tetangganya
apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional
melintasi wilayah laut yurisdiksi negara
tetangga.10
Berarti terdapat hubungan yang kuat antara
komunitas nelayan dengan negara kepulauan.
Maka dalam konteks Indonesia sebagai negara
kepulauan, memberikan perlindungan hukum
terhadap nelayan sebenarnya memberikan
jaminan keberlangsungan eksistensi negara
kepulauan dengan hak-hak tradisional yang
melekat dan diakui oleh hukum internasional.
Namun eksistensi komunitas nelayan bukan
menjadi faktor tunggal untuk mendapatkan hak
tradisional melintasi wilayah laut yurisdiksi
negara tetangga.
9 Ida Ayu Febrina Anggasari, I Made Pasek Diantha, Dan
Made Maharta Yasa, Perlindungan Hukum Terhadap
Nelayan Tradisional Indonesia Menurut Ketentuan United
Nations Convention On The Law Of The Sea 1982,
Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 1. 10
Sadina, Nelayan Jadi Korban Klaim Perbatasan, Sinar
Harapan, 18 Oktober 2006.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
157
Memberikan perlindungan hukum terhadap
nelayan-nelayan Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah-wilayah yang
berbatasan dengan negara tetangga maka Pemerintah
R.I. harus mempunyai perjanjian bilateral dengan
negara-negara tersebut sebagai alat legitimasi dalam
memperoleh hak perikanan tradisional (traditional
fishing rights).
Upaya hukum yang perlu dilakukan
Indonesia dalam mewujudkan perlindungan
terhadap nelayan tradisional adalah dengan
membuat perjanjian-perjanjian bilateral antar
negara tetangga. Sementara dalam hal terjadi
sengketa, upaya penyelesaian sengketa dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu, upaya non
hukum dan upaya hukum. Cara penyelesaian
sengketa melalui upaya non hukum memiliki
prioritas yang diisyaratkan oleh hukum untuk
lebih dulu digunakan sebelum menyerahkannya
ke cara penyelesaian sengketa melalui upaya
hukum. Upaya non hukum adalah upaya yang
dilakukan oleh masing-masing pihak bersengketa
untuk mengakhiri sengketanya dengan harapan
para pihak sama-sama menang dalam arti
menerima apa pun hasil akhirnya.
Upaya hukum merupakan upaya
penyelesaian sengketa terakhir yang dipandang
efektif dan adil apabila penyelesaian secara non
hukum gagal dilaksanakan. Upaya hukum dapat
dibagi lagi menjadi upaya hukum non litigasi
dan upaya hukum litigasi. Dalam upaya hukum
non litigasi, UNCLOS mewajibkan negara-
negara menyelesaikan sengketa yang terjadi
diantara mereka dengan merujuk pada ketentuan
Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB. Di sini negara-
negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk
prosedur penyelesaian sengketa dengan
menggunakan sarana-sarana penyelesaian
sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat
(1) Piagam PBB. Sedangkan dalam upaya
hukum litigasi, dalam Pasal 287 UNCLOS
menyediakan empat forum yang dapat dipilih
untuk penyelesaian sengketa, yaitu: Mahkamah
Internasional Hukum Laut (ITLOS), Mahkamah
Internasional (ICJ), Mahkamah Arbitrase, dan
Mahkamah Arbitrase Khusus.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan ditekankan pada upaya untuk
meningkatkan pengelolaan perikanan,
pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang
optimal. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan
sumber daya ikan memberikan peningkatan taraf
hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Maksud ini terumus dalam konsiderans Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Bila dicermati,
kelompok masyarakat yang menjadi tujuan
sentral dalam peningkatan taraf hidup dimaksud
tentu tidak lain adalah nelayan sebagai
stakeholder utama dalam sektor perikanan.
Upaya untuk memberikan perlindungan
terhadap nelayan, khususnya nelayan kecil dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 11
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang
memberikan definisi nelayan kecil: Nelayan
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
158
Kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan
kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima)
gross ton (GT).
Definisi di atas berbeda dengan rumusan yang
digunakan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004, yakni: Nelayan kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut M.
Taufiqul Mujib,11
Pengertian ini menimbulkan ketidakjelasan,
karena batasannya tidak ada, apakah batasannya
berdasarkan pada besar atau kecilnya alat tangkap
yang digunakan atau berdasarkan besar atau kecilnya
pendapatan dari hasil tangkapan. Lebih dari itu,
apakah pengertian nelayan kecil di sini sama dengan
pengertian nelayan tradisional. Dengan demikian,
batasan atau definisi yang jelas mengenai nelayan
kecil harus segera diperjelas.
Dengan rumusan baru yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, telah
memberikan pengertian yang lebih jelas tentang siapa
yang dimaksud dengan nelayan kecil. Nelayan yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling
besar 5 (lima) gross ton (GT) tetap dikategorikan
sebagai nelayan kecil. Batasan seperti ini
diperlukan sebagai pedoman bagi pemerintah
untuk melakukan perlakuan khusus terhadap
nelayan yang terkategori sebagai nelayan kecil.
Gambaran Keadaan Nelayan di Indonesia
11
Ibid., Hal. 3.
Berdasarkan data Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional 2013 BPS (Badan Pusat
Statistik) yang diolah, diketahui bahwa hanya 2,2
persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki
kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan.
Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga
nelayan. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga
di Indonesia sekitar empat orang. Maknanya, ada
sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang
kehidupannya bergantung kepada kepala rumah
tangga yang berprofesi sebagai nelayan.
Sementara secara keseluruhan jumlah nelayan di
Indonesia diperkirakan sebanyak 2,17 juta
(hanya 0,87 persen tenaga kerja).
Para nelayan kurang beruntung ditinjau
dari aspek pendidikan, dengan hampir 70 persen
nelayan berpendidikan sekolah dasar ke bawah
dan hanya sekitar 1,3 persen yang berpendidikan
tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan
aspek kesehatan para nelayan. Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional 2013 menunjukkan bahwa
sekitar 25 persen nelayan mengalami gangguan
kesehatan dalam satu bulan terakhir saat
disurvei. Sebagian dari mereka menyatakan
bahwa gangguan kesehatan tersebut mengganggu
aktivitas mereka mencari nafkah sehingga
berdampak pada ekonomi rumah tangganya.
Hanya 54 persen nelayan yang memiliki jaminan
kesehatan.
Rumah tangga nelayan juga cenderung
memiliki anak lebih banyak dibandingkan
dengan rumah tangga bukan nelayan. Program
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
159
KB (Keluarga Berencana) jelas penting bagi
kehidupan para nelayan guna meningkatkan
kesejahteraan mereka dalam jangka panjang.
Secara umum, jumlah tenaga kerja yang memilih
pekerjaan sebagai nelayan kurang dari 1 persen
dan mereka memiliki kehidupan yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan para
pekerja lainnya secara rata-rata. Sementara data
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun
2006 menyebutkan, ada sekitar 6,2 juta
penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan
perikanan.12
Gambaran Keadaan Nelayan di Provinsi
Sulawesi Tengah
Ada pun jumlah nelayan di Provinsi
Sulawesi Tengah adalah 69.476 orang
berdasarkan data tahun 2017 yang dirilis Bidang
Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah. Jumlah ini
menyebar di seluruh kabupaten/kota, kecuali
Kabupaten Sigi. Jumlah nelayan terbesar berada
di Kabupaten Donggala yang mencapai 18.539
orang dan Kota Palu dengan jumlah yang paling
kecil, yakni 1.412 orang.
Kabupaten Banggai berjumlah 7.715
orang; Kabupaten Parigi Moutong berjumlah
7.710 orang; Kabupaten Tojo Unauna berjumlah
6.010 orang; Kabupaten Banggai Kepulauan
berjumlah 5.015 orang; Kabupaten Banggai Laut
12
Sonny Harry B Harmadi, Nelayan Kita, Kompas.com,
https://nasional.kompas.com/read/2014/11/19/21243231/N
elayan.Kita?page=all.
berjumlah 5.318 orang; Kabupaten Tolitoli
berjumlah 4.945 orang; Kabupaten Buol
berjumlah 4.675 orang; Kabupaten Morowali
berjumlah 3.780 orang; Kabupaten Morowali
Utara berjumlah 2.199 orang; dan Kabupaten
Poso berjumlah 2.158 orang.13
Kabupaten Donggala sebagai kabupaten
dengan jumlah nelayan tangkap tertinggi di
Provinsi Sulawesi Tengah menyebar di 14
kecamatan yang ada dengan data rinci sebagai
berikut:
N
o.
K
ecamatan
J
umlah
Kategori Nelayan
N
elayan
Penuh
N
elayan
Sambilan
Utama
N
elayan
Sambilan
Tambaha
n
J
umlah
9
0.692
2
2.710
3
0.722
3
7.260
1
B
anawa
Selatan
4
.989
1
.082
1
.500
2
.407
2
B
anawa
Tengah
3
.712
9
07
1
.451
1
.354
3 B
anawa
Induk
8
.654
2
.105
2
.558
3
.991
4 T
anantove
4
.211
5
23
1
.608
2
.080
5 L
abuan
4
.088
5
31
1
.503
2
.054
6 S
indue
8
.621
2
771
2
.874
2
.976
7 S
indue T
Sabora
7
.571
2
.262
2
.808
2
.501
8 S
indue
Tobata
8
.447
2
.708
3
.049
2
.690
9 S 7 1 2 3
13 Sulteng Miliki 69.476 Nelayan
https://sultengraya.com/38917/sulteng-miliki-69-476-
nelayan/ 4 April 2017.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
160
irenja .339 .303 .042 .994
1
0
B
alaesang
8
.354
2
.501
2
.951
2
.902
1
1
B
alaesang
Tanjung
4
.227
5
32
1
.262
2
.433
1
2
D
ampelas
8
.697
2
.578
3
.362
2
.757
1
3
S
ojol
8
.331
2
.423
3
.177
2
.731
1
4
S
ojol
Utara
3
.451
4
84
5
77
2
.390
Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten
Donggala Tahun 2019
Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi
Tengah padat tahun 2017 dan data yang
dikeluarkan Dinas Perikanan Kabupaten
Donggala pada tahun 2019, terlihat adanya
peningkatan jumlah nelayan yang cukup
signifikan di Kabupaten Donggala dalam kurun
waktu dua tahun terakhir. Pendataan jumlah
nelayan merupakan amanat Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 untuk memperoleh
gambaran yang komperehensif mengenai jumlah
nelayan yang ada di suatu daerah. Dengan data
yang akurat diharapkan menjadi dasar
perencanaan pemerintah maupun pemerintah
daerah untuk melakukan intervensi perlindungan
dan pemberdayaan nelayan sebagai bagian dari
rencana pembangunan nasional dan rencana
pembangunan daerah.
Bentuk Perlindungan bagi Nelayan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
Untuk mencapai terwujudnya perlindungan
nelayan yang efektif, Pasal 12 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2016 mengatur strategi
perlindungan yang meliputi:
a. penyediaan prasarana Usaha
Perikanan dan Usaha Pergaraman;
b. kemudahan memperoleh sarana Usaha
Perikanan dan Usaha Pergaraman;
c. jaminan kepastian usaha;
d. jaminan risiko Penangkapan Ikan,
Pembudidayaan Ikan, dan Pergaraman;
e. penghapusan praktik ekonomi
biaya tinggi;
f. pengendalian impor Komoditas
Perikanan dan Komoditas Pergaraman;
g. jaminan keamanan dan
keselamatan; dan
h. fasilitasi dan bantuan hukum.
Setelah mencermati materi muatan dan
substansi yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 dapat dikatakan bahwa
undang-undang ini telah mengatur secara cukup
komperehensif masalah-masalah ril yang
dihadapi nelayan. Aspek-aspek yang berkaitan
dengan perencanaan, kebijakan, dan strategi,
hingga peluang pemberian subsidi bagi nelayan
mencerminkan bahwa pemerintah telah
mengembangkan suatu politik hukum yang
memihak kepada nelayan. Namun yang perlu
menjadi catatan adalah ruang lingkup Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang
terlalu luas.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
161
Seharusnya satu undang-undang hanya
mengatur satu substansi sehingga memudahkan
dalam implementasi. Kelihatannya pembentuk
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016, terkesan
memaksakan pengaturan beberapa hal/masalah
yang secara substansial berbeda karakteristiknya.
Nelayan dan pembudi daya ikan merupakan
suatu jenis pekerjaan yang sangat berbeda
meskipun memiliki objek sama yakni ikan.
Demikian pula antara nelayan dengan petambak
garam, jelas merupakan dua jenis pekerjaan yang
berbeda keahlian dan masalah-masalah yang
dihadapi. Penggabungan pengaturan nelayan,
pembudi daya ikan, dan petambak garam dalam
satu undang-undang, menyalahi salah satu
prinsip penyusunan norma hukum yang baik
sebagaimana dipopulerkan oleh Lon L. Fuller
dalam The Morality of Law. Menurut Fuller,
norma hukum yang baik harus menghindari diri
dari kontradiksi-kontradiksi dan norma hukum
harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
dimengerti oleh rakyat.14
Sebagian permasalahan yang masih
dialami saat ini, terletak pada implementasi dari
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2016. Seperti dokumen
perlindungan dan pemberdayaan nelayan yang
harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Sepanjang penelitian penulis, di Provinsi
Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala serta
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi
14
Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan, Jakarta, 29 Maret 2010, dalam
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-
harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html.
Tengah sampai sekarang belum menerbitkan
peraturan daerah tentang perlindungan dan
pemberdayaan nelayan. Padahal keberadaan
peraturan daerah akan menjadi dasar hukum bagi
pemerintah daerah untuk menetapkan strategi
dan kebijakan yang lebih terarah dalam rangka
perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Dengan adanya peraturan daerah maka
pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana
untuk berbagai program dan kegiatan yang
berkaitan dengan perlindungan nelayan.
Menurut catatan penulis, salah satu
program yang sudah berjalan saat ini di
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah,
sebagai implementasi dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 adalah program asuransi
bagi nelayan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam program BPAN (Bantuan
Premi Asuransi Nelayan). Nelayan yang terdata
sebagai peserta asuransi yang mengalami
kecelakaan saat melaut akan menerima klaim
asuransi sesuai dengan besar kecilnya risiko
kecelakaan yang dialami. Syarat untuk
melakukan klaim asuransi yakni adanya surat
keterangan dari Dinas Perikanan Kabupaten
Donggala, surat keterangan dari desa, dan yang
bersangkutan memiliki kartu peserta asuransi
nelayan.
Adapun syarat untuk menjadi penerima
bantuan asuransi nelayan adalah:
1. Nelayan kecil dan nelayan
tradisional;
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
162
2. Memiliki kartu nelayan;
3. Berusia maksimal 65 tahun;
4. Tidak menggunakan alat tangkap
yang dilarang;
5. Ukuran kapal maksimal 10 GT;
6. Tidak pernah mendapatkan
bantuan program asuransi dari manapun.
Salah satu daerah yang telah memiliki
peraturan daerah tentang perlindungan dan
pemberdayaan nelayan adalah Provinsi Jawa
Timur. Provinsi Jawa Timur memiliki Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Ada
dua koridor yang termuat dalam Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun
2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, yakni mendorong terlindunginya proses
usaha sebagai nelayan secara kontinyu
mendapatkan mata pencaharian serta
memberikan kemampuan dan peningkatan
kualitas usahanya melalui pemberdayaan
bimbingan teknis dan permodalan usaha. Dengan
dua koridor tersebut dapat meningkatkan
tarap hidup nelayan melalui perlindungan usaha
dan berdaya dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas usahanya.15
15
https://dkp.jatimprov.go.id/index.php/2017/02/02/sosialisa
si-peraturan-daerah-no-03-tahun-2016-tentang-
perlindungan-dan-pemberd
PENUTUP
Simpulan
Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan
Petambak Garam berarti ada instrumen hukum
yang secara spesifik mengatur perlindungan
sekaligus pemberdayaan bagi nelayan.
Keberadaan undang-undang ini melengkapi
undang-undang sektoral yang ada seperti
undang-undang kelautan, undang-udang
perikanan, dan undang-undang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
memiliki relevansi pengaturan yang terkait
dengan sumber daya perikanan dan nelayan.
Meskipun relatif sudah memberikan
perlindungan yang memadai terhadap
keberadaan nelayan namun Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan
Petambak Garam, memiliki kelemahan yang
cukup mendasar. Salah satunya adalah
pengaturan yang terlalu luas untuk mengatur tiga
jenis pekerjaan yang sifat dan karakteristiknya
sangat berbeda, yakni nelayan, pembudi daya
ikan, dan petambak garam. Pengaturan yang luas
ini kontraproduktif dengan maksud awal untuk
membentuk suatu undang-undang yang fokus
untuk melindungi eksistensi dan kelangsungan
nelayan tangkap di Indonesia.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
163
Saran
1. Diperlukan implementasi lebih
lanjut tentang desain rencana perlindungan dan
pemberdayaan nelayan di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota sebagai
pelaksanaan dari amanah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan
Petambak Garam.
2. Pemerintah perlu segera
membentuk peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,
Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam agar
undang-undang ini dapat dilaksanakan secara
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Solihin, Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan, Sinar Harapan, 7 November 2006.
Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada Group,
Jakarta, 2012.
Anita Nuzula Pohan, Hak Menguasi Negara dalam Kegiatan Penanaman Modal Bidang Sumber
Daya Air, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2016.
Ansar, Menuju Kebijakan Pengelolaan Teluk Palu yang Harmonis, Media Litbang Sulteng IV,
Desember 2011.
Aisyah Lailiyah dkk., Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum dalam Rangka Pemberantasan
Kegiatan Perikanan Liar (IUU Fishing,) Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM R.I., 2016.
Angela Vania dan Dona Rahayu, Perlindungan Hukum bagi Nelayan Indonesia, 10 April 2019,
https://icel.or.id.
Arif Satria, Kelautan Setelah Ada UU Pemerintah Daerah, Kompas, 5 Januari 2016.
Arif Satria, Melindungi Nelayan, Republika, 6 April 2015.
Dewi Wuryandani dan Hilma M, Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut untuk
Menunjang Ketahanan Pangan di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 2
No. 1 Tahun 2011.
Direktorat Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas, Kajian Strategi Pengelolaan
Perikanan Berkelanjutan, Jakarta, 2014.
Hikmah dan Zahri Nasution, Upaya Perlindungan Nelayan Terhadap Keberlanjutan Usaha
Perikanan Tangkap, Jurnal Kebijakan Sosek KP, Vol. 7 No. 2, Tahun 2017.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 2, Juni 2021
164
Ida Ayu Febrina Anggasari, I Made Pasek Diantha, Dan Made Maharta Yasa, Perlindungan Hukum
Terhadap Nelayan Tradisional Indonesia Menurut Ketentuan United Nations Convention On
The Law Of The Sea 1982, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Ida Kurnia, Implementasi Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan
di Zee Indonesia, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017.
Imam Subekti, Implikasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia Berlandaskan Code
of Conduct For Responsible Fisheries ( CCRF ), Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI.
Indra Yulianingsih, Dimensi Keadilan Pengelolaan Perikanan Tangkap dalam Perspektif Otonomi
Daerah, Yuridika, Volume 32 No. 1, Januari 2017.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2006.
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Gramedia, Jakarta, 2010.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, 29 Maret 2010.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
Sadina, Nelayan Jadi Korban Klaim Perbatasan, Sinar Harapan, 18 Oktober 2006.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Setjen DPR-RI, Naskah Akademik RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, Jakarta, 2015.
Suhana, Kebijakan Kelautan dan Perikanan dan Implikasinya Terhadap Kelestarian Sumber Daya
Ikan dan Ekonomi Perikanan Indonesia, Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, Vol. 2
No. 1 April 2015.
Yanis Maladi, Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit
:Telaah Yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Jurnal Konstitusi,
Volume 7, Nomor 2, April 2010.
Yudi Latif, Menyehatkan Indonesia: Peta Jalan Transformasi Tata Kelola Negara, Aliansi
Kebangsaan, 2 Mei 2019.