Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

14
PERKEMBANGAN DAERAH PINGGIRAN KOTA YOGYAKARTA (Core-Periphery Theory) Tugas Mata Kuliah Analisis Perencanaan Wilayah Disusun oleh Junita Cahyawati 0806328493 Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

description

it's relevant

Transcript of Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

Page 1: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

PERKEMBANGAN DAERAH PINGGIRAN KOTA

YOGYAKARTA (Core-Periphery Theory)

Tugas Mata Kuliah

Analisis Perencanaan Wilayah

Disusun oleh

Junita Cahyawati

0806328493

Departemen Geografi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia

Depok 2011

Page 2: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

Secara historis, terbentuknya Kota Yogyakarta berawal dari kota istana yang bernama

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kota Yogyakarta ini terletak di daerah agraris pedalam Jawa

yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755. Pendirian kota ini dilakukan

setelah adanya Palihan Nagari atau pembagian dua kerajaan antara Surakarta dan Yogyakarta

tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti. Setelah perjanjian Giyanti tersebut selesai, maka

Sultan Hamengkubuwono segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang berada di bawah

kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta

tersebut atau yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta.

Setelah melakukan penetapan tersebut, Sultan Hamengkubuwono menitahkan kepada

rakyat untuk membabat hutan yang terdapat di kawasan tersebut untuk didirikan kraton, dua

alun-alun di bagian utara dan selatan kraton, tembok benteng yang mengitari istana, bangunan

Taman Sari, dan sebuah tugu yang didirikan berjarak 2,5 km di utara kraton, dan bangunan

panggung untuk berburu di Desa Krapyak. Di luar bangunan pusat kraton itulah yang

berkembang lama-kelamaan menjadi permukiman penduduk warga Yogyakarta.

Pada awal abad 19, perkembangan transportasi semakin berkembang dan merupakan pusat

dari awal perkembangan Yogyakarta. Hal ini dapat terlihat dari sumbu lokasi bangunan

Parangkusumo-Krapyak-Kraton-Tugu-Gunung merapi terletak pada satu poros yang membujur

dari selatan ke utara. Selain itu, Pada poros yang membujur dari selatan ke utara ini permukiman

juga turut berkembang memusat. Permukiman penduduk yang berupa kampung tadi tumbuh

mengikuti poros utara-selatan yang meliputi istana dan alun-alun di utara kraton, Jalan

Malioboro, dan Tugu. Abad berikutnya (abad ke-20), pola permukiman kian cenderung memusat

dan padat sepanjang poros yang membujur dari selatan ke utara tersebut.

Pada tahun 1945-1949 kota Yogyakarta ditetapkan sebagai ibu kota Republik Indonesia

dan pada saat itu juga didirikan Universitas Gadjah Mada sehingga banyak tokoh-tokoh nasional

dan para pemuda berdatangan di kota ini.

Pada tahun 1992, daerah permukiman berada di sekitar pusat kota, lainnya tersebar di

daerah paling pinggir, seperti Kecamatan Sleman, Kalasan, Ngemplak, Piyungan, Pleret, Bantul,

dan Jetis (lihat peta). Untuk tahun 1999, daerah permukiman tersebar di daerah pinggiran

meliputi Kecamatan Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Sedayu, dan Bantul dan untuk tahun 2006

Page 3: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

memperlihatkan perkembangan permukiman yang semakin pesat. Permukiman pada tahun 2006

tidak hanya terletak memusat di sekitar pusat kota, tetapi juga meliputi daerah pinggiran kota.

(lihat peta)

Peta Sebaran Permukiman di Yogyakarta

Berdasarkan peta sebaran permukiman di atas dapat diketahui bahwa permukiman

mengalami perkembangan tiap tahunnya.

Dalam perkembangan permukiman di Provinsi D.I.Y.Yogyakarta ini terdapat empat jalur

transportasi primer dan delapan jalur transportasi sekunder. Jalur transportasi primer meliputi

jalur timur, barat, utara, dan jalur lingkar luar (ringroad). Jalur barat dan timur merupakan

rangkaian dari jalur lintas selatan jawa dan umumnya penggunaan lahannya berupa persawahan

dan permukiman. Jalur timur merupakan jalan arteri primer Kota Yogyakarta ke Surakarta dan

Solo melalui Kalasan dan Prambanan. Jalur timur ini merupakan kawasan padat hotel-hotel,

perguruan tinggi, dan pusat perbelanjaan. Jalur utara juga merupakan jalan arteri primer yang

menghubungkan Yogyakarta dengan Semarang. Jalur ini perkembangannya juga pesat dan

ditandai oleh adanya terminal bis Jombor. Jalur lingkar luar (ringroad) juga merupakan jalan

arteri yang berfungsi sebagai bebas hambatan. Perkembangan di sekitar daerah ini cukup rendah

dan interaksinya kecil karena fungsinya yang hanya sebagai jalur bebas hambatan. Delapan jalur

transportasi sekunder juga memberikan pengaruh yang sama seperti empat jalur primer.

Page 4: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. Hal ini yang memberi ciri khas tersendiri

karena didirikannya Universitas Gadjah Mada. Adanya perguruan tinggi tersebut secara langsung

memberikan pengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya pertanian

menjadi non pertanian dan semakin pesatnya jumlah penduduk akibat pendatang.

Tata ruang wilayah Yogyakarta menganut konsep “Coridor Development”. Berdasarkan

konsep tersebut, yang merupakan wilayah inti pengembangan, maka bagian pusat kota disebut

sebagai ‘Greater Yogyakarta’, kawasan yang dikembangkan sebagai kawasan non budidaya

pertanian. Greater Yogyakarta merupakan pusat kegiatan utama dari pengembangan mencakup

Yogyakarta dan sekitarnya. Pusat ini sebagai hierarki I (kota yang berfungsi melayani kota-kota

lain dalam lingkup regional) yang merupakan pusat pelayanan DIY yang bertujuan untuk

mengarahkan pertumbuhan dan jangkauan pelayanan di kota-kota DIY. Kota hierarki II

berfungsi melayani daerah lainnya dalam skala sub regional serta kota-kota potensial lainnya

terdapat di Mlati, Ngaglik, Kasihan, Sewon, Banguntapan, Sleman, Godean, Piyungan. Kota

Hierarki III berfungsi melayani dalam skala lokal terdapat di Bantul, Sedayu, Gamping, Depok,

Kalasan, Berbah, Ngemplak. Kota dengan hierarki IV adalah kecamatan yang bersifat kekotaan

yang terdapat di Pajangan, Jetis, Pleret.

Kota Yogyakarta bagian utara (secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Sleman)

merupakan lokasi perumahan dengan letak yang paling strategis dan menguntungkan. Karena

selain udaranya sejuk dan nyaman, kota ini sering muncul sentra-sentra bisnis baru sehubungan

dekat dengan kawasan kampus, dilalui akses jalan lingkar utara yang memudahkan orang menuju

ke dalam kota atau ke kota lain, ketersediaan fasilitas dan aksesbilitas yang memadai. Karena

perkembangan perumahan di kawasan ini sangat pesat, maka pemerintah daerah Kabupaten

Sleman menetapkan kawasan pengembangan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten

Sleman sebagai wilayah penampungan akibat ‘peluberan’ aktifitas dari Yogyakarta. Yang

termasuk dalam kawasan tersebut adalah Desa Trihanggo, Ambarketawang, Banyuraden,

Nogotirto, Balecatur yang terdapat di Kecamatan Gamping, Desa Sidoarum yang terdapat di

Kecamatan Godean, Desa Sinduadi, Desa Sendangadi, Desa Sumberadi, Desa Tlogoadi, Desa

Tirtoadi yang terdapat di Kecamatan Mlati, Desa Maguwoharjo, Desa Condongcatur, dan Desa

Caturtunggal yang terdapat di Kecamatan Depok, Desa Kalitirto yang terdapat di Kecamatan

Berbah, Desa Purwomartani yang terdapat di Kecamatan Kalasan, Desa Wedomartani yang

Page 5: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

terdapat di Kecamatan Ngemplak, Desa Sariharjo dan Desa Minohartani yang terdapat di

Kecamatan Ngaglik dan Desa Tridadi yang terdapat di Kecamatan Sleman. Pola perkembangan

permukiman lebih banyak tersebar di bagian utara karena dijadikan sebagai “pintu Gerbang

Utama” transportasi yang mengandung nilai ekonomi yang tinggi.

Perkembangan zona utara sudah dimulai sejak jaman kesultanan Yogyakarta. Zona utara

ini terdiri dari enam kecamatan meliputi Kecamatan Depok, Mlati, Sleman, Kalasan, Ngaglik,

dan Ngemplak. Permukiman mendominasi bagian selatan zona, yakni Kecamatan Mlati dan

Ngaglik. Tahun 1992, permukiman mendominasi bagian utara dan selatan zona ini. Pada tahun

2006, lahan hijau telah berkurang dan didominasi oleh permukiman. Perkembangan zona utara

ini dimulai dari bagian selatan sesuai dengan jalur tranportasi. Di zona ini terdapat 3 jalur primer

(jalur selatan menuju Kota Magelang dan semarang, jalur Ringroad utara, dan jalur timur menuju

Solo) dan jalur sekunder (jalur menuju Kecamatan Turi, Kaliurang, dan jalur Prambanan).

Daerah permukiman dengan kepadatan paling tinggi terdapat di daerah perbatasan dengan pusat

kota. Kini, permukiman telah mendominasi seluruh zona, terutama di sekitar jalur transportasi.

Hal ini terlihat di sekitar jalur menuju Kota Magelang dan sekitar jalur ringroad utara.

Perkembangan terjadi di sekitar jalur menuju Kota Magelang karena dipicu oleh tumbuhnya

sentra-sentra yang berbasis kegiatan ekonomi, sedangkan permukiman yang pesat di sekitar jalur

ringroad disebabkan karena tumbuhnya perguruan-perguruan tinggi. Zona utara ini merupakan

zona yang paling dinamis dalam hal perkembangannya dan mempunyai kelebihan kemudahan

Page 6: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

aksesbilitas dengan kota-kota lainnya. Pola permukiman di zona ini bersifat memanjang jalur

transportasi dan ke arah utara.

Perkembangan zona timur dimulai sejak adanya jalur kereta api yang melintasi daerah ini.

Zona timur ini terdiri dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Baanguntapan, Berbah, dan Piyungan.

Di zona ini terdapat dua jalur transportasi primer (jalur ringroad timur dan jalur menuju

Wonosari) dan dua jalur transportasi sekunder (jalur kearah selatan menuju Imogiri, jalur

rencana outeringroad). Pada tahun 1992, bagian tengah masih berupa lahan hijau, permukiman

terdapat di bagian timur dan barat zona ini, yang berkembang di sekitar jalur ringroad timur

yaitu perbatasan kota dengan Kecamatan Banguntapan dan juga di daerah pertemuan jalur

tenggara yaitu perbatasan Kecamatan Berbah dan Piyungan. Di tahun 1999,perkembangan terjadi

di sepanjang jalur tenggara ini. Untuk tahun 2006, permukiman mendominasi terutama di sekitar

jalur-jalur transportasi dengan simpul yang menguntungkan. Tingkat kerapatan permukiman

tertinggi terdapat di sekitar ringroad timur, daerah perbatasan kota, dan pertemuan antara jalur

tenggara dengan jalan outer ringroad timur.

Zona selatan terdiri dari empat kecamatan, yaitu Kecamatan Sewon, Bantul, Pleret, dan

Jetis. Zona selatan ini terdiri dari satu jalur transportasi primer jalur ringroad selatan) dan 3 jalur

transportasi sekunder (jalur menuju Parangtritis, jalur menuju Samas, dan jalur menuju Imogiri).

Pada tahun 1992, permukiman hanya terlihat di bagian tengah zona (Kecamatan Bantul dan

Jetis). Untuk tahun 1999, permukiman mendominasi di bagian utara (perbatasan kota), namun di

sekitar jalur ringroad selatan masih didominasi oleh persawahan. Di tahun 2006, muncul

permukiman di sekitar jalur-jalur tranportasi. Permukiman tumbuh pesat di Kecamatan Sewon

dan Bantul. Perkembangan zona selatan dikategorikan lambat karena kurangnya daya tarik,

seperti tidak terdapatnya perguruan tinggi maupun pusat-pusat kegiatan perdagangan.

Perkembangan zona barat dimulai ketika jaringan rel kereta api jalur selatan selesai

dibangun. Zona barat ini meliputi enam kecamatan, yaitu Gamping, Godean, Seyegan, Sedayu,

Kasihan, dan Pajangan. Zona ini dilintasi oleh 3 jalur transportasi utama, yaitu ringroad barat di

sebelah timur, jalur selatan jawa menuju Kota Wates, dan dan jalur barat menuju Godean. Pada

tahun 1992, permukiman tersebar di sekitar jalur transportasi primer (jalur selatan dan jalur

barat), di sepanjang jalur ringroad masih didominasi oleh lahan persawahan. Permukiman di

zona ini tergolong rendah dikarenakan letaknya yang jauh dari pusat kota walaupun terdapat 3

Page 7: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

jalur transportasi utama. Perkembangan yang pesat terjadi di sekitar jalur selatan menuju Kota

Wates. Di sekitar jalur ringroad barat sebelah selatan terjadi perubahan alih fungsi lahan karena

adanya pemindahan perguruan tinggi swasta ke daerah tersebut. Untuk tahun 2006, zona barat ini

didominasi oleh permukiman dan lahan hijau hanya terdapat di bagian utara dan selatan saja.

Permukiman dengan tingkat kerapatan tinggi berada di sekitar jalur-jalur utama transportasi

terutama di jalur selatan hal ini dipengaruhi oleh keberadaan Kota Wates yang memiliki fasilitas

publik lebih meamadai. Arah dari pola perkembangan di zona barat ini cenderung kearah barat

mengikuti jalur transportasi dimana jalur pertama, dari pusat kota ke arah barat mengikuti jalur

transportasi primer yaitu jalur selatan jawa, pusat dari arah ini adalah Wates. Jalur kedua, dari

pusat kota berkembang ke arah barat laut mengikuti jalur barat, pusat dari arah ini adalah Godean

yang berperan sebagai pusat ekonomi Sleman bagian selatan. Jalur terakhir, perkembangan

bergerak menuju arah barat daya dari arah pusat kota menuju Pajangan melalui Kecamatan

Kasihan.

Berdasarkan penggambaran di atas, maka perkembangan Kota Yogyakarta dan daerah

pinggirannya sesuai dengan ‘teori pusat-pinggiran’ yang memiliki empat tahapan. Pada tahap

pertama, ditunjukkan dengan adanya daerah-daerah di Yogyakarta masih memiliki tingkat isolasi

yang tinggi dan setiap kota memiliki jajaran yang sama. Hal ini dapat terlihat pada sekitar abad

ke-17 Kota Yogyakarta masih berupa hutan yang kemudian atas perintah Sultan

Hamengkubuwono kepada rakyat untuk membabat hutan tersebut untuk dialihfungsikan menjadi

alun-alun kraton, tembok benteng yang mengitari istana, bangunan taman sari, dan sebuah tugu.

Kecilnya skala ekonomi yang terukur dari kegiatan masyarakat sekitar berburu, struktur

permukiman yang terbatas hanya terletak di luar bangunan pusat kraton, dan rendahnya mobilitas

penduduk terlihat dari perkembangan transportasi yang belum memadai.

Pada tahapan kedua yang berbunyi “kota-kota yang memiliki keuntungan aksesibilitas

akan mengalami proses kapitalisasi dan industrialisasi yang lebih cepat sehingga kota-kota

tersebut muncul sebagai pusat dominan”. Dalam konteks ini, kota yang dimaksud adalah pusat

Kota Yogyakarta atau yang disebut sebagai ‘Greater Yogyakarta’ karena pusat kota ini adalah

sebagai hierarki I yakni melayani kota-kota lain dalam lingkup regional. Greater Yogyakarta

dijadikan sebagai kawasan non budidaya atau dengan kata lain adalah wilayah inti

pengembangan dengan pusat kegiatan utama dari pengembangan yang mencakup Yogyakarta

Page 8: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

dan sekitarnya. Adanya ‘peluberan’ dari aktifitas di pusat kota Yogyakarta mengakibatkan pola

permukiman dan aktifitas-aktifitas lainnya mendominasi di Kota Yogyakarta bagian utara. Kota

Yogyakarta bagian utara dipilih karena memiliki akses jalan lingkar utara sehingga memudahkan

orang untuk masuk ke dalam maupun ke luar kota, tumbuhnya sentra-sentra bisnis baru yang

berdekatan dengan kawasan kampus, dan fasilitas yang memadai.

Pada tahap ketiga, adanya proses difusi dari pusat dominan, keuntungan industrialisasi

disebarkan ke kota-kota sekitarnya sehingga memungkinkan kemunculan pusat-pusat yang baru.

Pusat-pusat kegiatan yang berpusat di Kota Yogyakarta yang pada akhirnya memberi prioritas

berkembangnya daerah-daerah pinggiran karena daerah pinggiran juga didukung oleh adanya

jaringan jalan yang memadai, pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti perguruan tinggi, pusat

perniagaan. Keberadaan fasilitas-fasilitas inilah yang dapat memicu timbulnya aktivitas lain yang

pada akhirnya akan menarik banyak orang ke daerah pinggiran ini. Daerah pinggiran pada Kota

Yogyakarta ini terletak di zona utara, zona timur, zona selatan, dan zona barat. Permukiman yang

kini mendominasi seluruh zona utara disebabkan karena adanya sentra-sentra yang berbasis

ekonomi di sekitar jalur menuju Kota Magelang dan juga permukiman yang pesat terjadi di jalur

ringroad timur karena adanya perguruan tinggi. Untuk zona timur, permukimannya

mendominasi di jalur-jalur transportasi dan simpul yang menguntungkan seperti di daerah

perbatasan kota. Untuk zona barat, permukiman dengan tingkat kerapatan tinggi berada di jalur-

jalur utama transportasi terutama di jalur selatan yakni adanya Kota Wates. Kota Wates sebagai

hierarki II yakni melayani daerah lainnya dalam skala sub regional. Sementara itu, zona selatan

juga merupakan daerah pinggiran yang menjadi sasaran selanjutnya akibat ‘peluberan’ aktifitas

di Kota Yogyakrta, walaupun perkembangan kotanya sangat lambat karena kurangnya daya

tarik, tidak adanya perguruan tinggi, dan pusat-pusat kegiatan perdagangan.

Pada tahap keempat, keseluruhan sistim perkotaan semakin terintegrasi dan seimbang

seiring dengan terciptanya spesialisasi ekonomi pada masing-masing kota serta berkembangnya

sarana transportasi. Dengan adanya jalur-jalur transportasi yang berada di Yogyakarta, baik

primer maupun sekunder mampu menghubungkan semua kota baik pusat maupun pinggiran.

Terlebih lagi, dengan akses jalan lingkar utara yang memudahkan orang untuk melakukan

pergerakan ke dalam maupun ke luar kota. Setiap wilayah yang terdapat di Yogyakarta memiliki

Page 9: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta-Core Periphery Theory

basis ekonomi atau pusat perniagaan yang dapat menjadi suatu ‘pondasi’ wilayah tersebut

sehingga antara wilayah yang satu dengan yang lainnya bersifat sinergis, saling melengkapi.

Sumber :

Skripsi Noni Huriati “Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta” Departemen Geografi.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. 2008