Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

18
1 Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada petani di Kelurahan Made, Kota Surabaya) Sudarso Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Abstrak Petani merupakakan jenis pekerjaan yang tidak lazim di Kota, terlebih Surabaya yang terkenal sebagai kota metropolis menjadi bias dengan masih adanya daerah yang sangat mempertahankan kondisinya dengan sawah dan para petani yang masih konsisten memilih jalur ini sebagai pertahanan hidup. Tulisan artikel ini berasal dari hasil penelitian yang bertujuan utuk menjawab permasalahan tentang mekanisme survival petani di daerah pinggiran kota Surabaya. Penggalian data primer dilakukan pada 50 petani di Kelurahan Made Kota Surabaya.. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang tidak hanya bertumpu pada data-data kuantitatif lewat kuesioner, tetapi juga menjaring data-data kualitatif lewat pedoman wawancara (indepth interview) dengan melakukan wawancara pada para nara sumber. Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak mengurangi tekanan kemiskinan dan kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-keluarga miskin di kota sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden mengaku bahwa selama ini mereka telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai langkah penghematan atau pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau melakukan diversifikasi usaha. (belum ada memuat latar belakang masalah, tujuan penulisan, abstrak harus 150 200 kata) Kata kunci: Petani, Mekanisme survival, Kota Latar Belakang Surabaya sebagai kota metropolis di Indonesia, sekarang dipenuhi gedung-gedung perkantoran yang menjulang dan perumahan-perumahan elit sebagai pertanda berdenyutnya investasi disegala sektor. Sehingga kepadatan Surabaya tidak perlu ditanyakan lagi. Daerah pinggiran kota selalu kurang adanya perhatian dari pemerintah yang hanya memfokuskan pada Surabaya Pusat dan sekitarnya. Surabaya Barat sangat minim dapat perhatian dari pemerintah sehingga masyarakat di daerah pinggiran kota ini sangat memperihatinkan. Mayoritas masyarakat daerah pinggiran kota mengeluh dengan keadaan yang ada saat ini. Salah satunya adalah kelurahan Made yang sebagian besar penduduknya masih bekerja sebagai petani namun tetap berada pada lingkup kota metropolitan. Pekerjaan sebagai petani untuk di kota yang sebesar ini bukan merupakan suatu yang lazim dipandang masyarakat kota itu sendiri, terlebih Surabaya yang terkenal sebagai kota metropolis menjadi bias dengan masih adanya daerah yang sangat mempertahankan kondisinya dengan sawah dan para petani yang masih konsisten memilih jalur ini sebagai pertahanan hidup mereka. Sedangkan lahan pertanian semakin hilang dari kota Surabaya dari tahun ke tahun. Dinas Pertanian kota Surabaya pun mengungkapkan dari 1.634 ha lahan pertanian yang tersisa di kota Surabaya, 60 persen diantaranya telah dikuasai pihak swasta dalam hal ini para

Transcript of Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

Page 1: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

1

Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota

(studi pada petani di Kelurahan Made, Kota Surabaya)

Sudarso Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Abstrak

Petani merupakakan jenis pekerjaan yang tidak lazim di Kota, terlebih Surabaya yang

terkenal sebagai kota metropolis menjadi bias dengan masih adanya daerah yang sangat

mempertahankan kondisinya dengan sawah dan para petani yang masih konsisten memilih

jalur ini sebagai pertahanan hidup. Tulisan artikel ini berasal dari hasil penelitian yang

bertujuan utuk menjawab permasalahan tentang mekanisme survival petani di daerah

pinggiran kota Surabaya. Penggalian data primer dilakukan pada 50 petani di Kelurahan

Made Kota Surabaya.. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang tidak hanya bertumpu pada

data-data kuantitatif lewat kuesioner, tetapi juga menjaring data-data kualitatif lewat

pedoman wawancara (indepth interview) dengan melakukan wawancara pada para nara

sumber. Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak mengurangi tekanan

kemiskinan dan kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-keluarga miskin di

kota sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden mengaku bahwa

selama ini mereka telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai langkah

penghematan atau pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau

melakukan diversifikasi usaha. (belum ada memuat latar belakang masalah, tujuan penulisan,

abstrak harus 150 – 200 kata)

Kata kunci: Petani, Mekanisme survival, Kota

Latar Belakang

Surabaya sebagai kota metropolis di Indonesia, sekarang dipenuhi gedung-gedung

perkantoran yang menjulang dan perumahan-perumahan elit sebagai pertanda berdenyutnya

investasi disegala sektor. Sehingga kepadatan Surabaya tidak perlu ditanyakan lagi.

Daerah pinggiran kota selalu kurang adanya perhatian dari pemerintah yang hanya

memfokuskan pada Surabaya Pusat dan sekitarnya. Surabaya Barat sangat minim dapat

perhatian dari pemerintah sehingga masyarakat di daerah pinggiran kota ini sangat

memperihatinkan. Mayoritas masyarakat daerah pinggiran kota mengeluh dengan keadaan

yang ada saat ini. Salah satunya adalah kelurahan Made yang sebagian besar penduduknya

masih bekerja sebagai petani namun tetap berada pada lingkup kota metropolitan. Pekerjaan

sebagai petani untuk di kota yang sebesar ini bukan merupakan suatu yang lazim dipandang

masyarakat kota itu sendiri, terlebih Surabaya yang terkenal sebagai kota metropolis menjadi

bias dengan masih adanya daerah yang sangat mempertahankan kondisinya dengan sawah

dan para petani yang masih konsisten memilih jalur ini sebagai pertahanan hidup mereka.

Sedangkan lahan pertanian semakin hilang dari kota Surabaya dari tahun ke tahun. Dinas

Pertanian kota Surabaya pun mengungkapkan dari 1.634 ha lahan pertanian yang tersisa di

kota Surabaya, 60 persen diantaranya telah dikuasai pihak swasta dalam hal ini para

Page 2: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

2

pengembang. Kepala Seksi Tanaman Pangan dan Hotikultura Dinas Pertanian (Distan) kota

Surabaya, Bagas Swadaya mengungkapkan para Pengembang telah menguasai lahan

pertanian tersebut. Lahan pertanian produktif di Surabaya, kata dia, saat ini hanya tersisa di

wilayah Surabaya Barat, Timur dan Selatan. (Farocha, 2014)

Kepala Distan Kota Surabaya Sigit Sugiharsono memperkirakan, lahan pertanian di Surabaya

akan habis dalam 15 tahun mendatang. Pasalnya, pengembang terus melakukan

pembangunan perumahan-perumahan baru. Baik yang menyasar kelas menengah atas

maupun menengah bawah. Saat ini, lahan pertanian yang tersisa, sebagian sudah dikuasai

pengembang. Lahan tersebut tinggal menunggu waktu saja untuk diubah menjadi perumahan.

(Lukman Hakim, 2014)

Dari data Distan, Petani hanya menguasai 40 persen dari lahan pertanian produktif di kota

Surabaya. Meskipun demikian sebagian besar lahan yang sudah dikuasai tersebut masih

dikelola para petani untuk bertani. Hal itu dikarenakan para pengembang yang telah membeli

lahan pertanian produktif sejak lama belum memanfaatkan lahan tersebut untuk

pembangunan. Para pengembang membeli lahan pertanian itu untuk investasi, sehingga

banyak lahan pertanian yang masih dipakai Petani meskipun hanya sebatas sewa. (Abdul

Hakim, 2014)

Namun, di tengah modernisasi kota dan menyempitnya lahan pertanian, sektor pertanian di

Surabaya nyatanya masih bisa hidup, bahkan untuk menghidupi warganya. Adalah warga di

Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, yang berhasil menjalankan konsep bertani di

perkotaan dengan memaksimalkan lahan sawah yang tersisa dan pekarangan. Sejak tahun

2009 , sejumlah hasil pertanian seperti tomat, sawi, cabai, pare dan juga melon dipanen oleh

kelompok tani (Poktan) di Kelurahan Made. Selain tomat dan melon yang ditanam di lahan

persawahan, banyak petani di Made yang juga memanfaatkan lahanpekarangannya untuk

bertanam sawi, kangkung, bayam, kacang panjang, pare. Pemakaian lahan pekarangan untuk

pertanian (urban farming) itu sudah dimulai warga di Made sejak beberapa tahun silam. Sejak

tahun 2009 silam, Pemkot Surabaya membuat terobosan untuk memanfaatkan pekarangan

dengan konsep urban farming (pertanian perkotaan). Percontohannya ada di Kelurahan Made

yang memang punya sejarah sebagai daerah pertanian. Hasil pertanian para petani Kelurahan

Made sudah dipasarkan ke luar propinsi, bahkan hingga ke luar Jawa. (Abdul hakim,2014)

Selama ini, masa panen petani di Made hanyalah ketika curah hujan cukup. Namun, ketika

musim kemarau panjang, petani sulit memanen karena tanaman kekurangan air. Distan juga

akan menggandeng Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk tahu

analisa detail tentang perkiraan kapan musim hujan tahun depan dimulai. (Abdul Hakim,

2014).

Kehidupan di kelurahan Made yang masih bernuansa pedesaan, yang sebagian wajahnya

masih berupa lahan pertanian, muali berhadapan dengan semakin pesatnya pembangunan

yang sudah merambah daerah pinggiran kota Surabaya, seperti perumahan kelas menengah

atas, perkantoran, lembaga pendidikan internasional, dan tempat bisnis (ruko). Keadaan ini

membuat para petani kota di Kelurahan Made harus berjuang untuk mengelola lahan

pertaniannya yang semakin menyempit. Problem mekanisme survival itulah yang menarik

peneliti untuk mengkajinya

Tinjauan Pustaka

Page 3: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

3

Sudah banyak dikaji para ahli, ketika terjadi over urbanization dan ketika spasial di kota-kota

besar terasa semakin sesak, maka pada saat itu pula banyak problem mulai bermunculan —

terutama masalah pertanahan. Banyak orang memburu tanah bukan sekadar untuk dijadikan

tempat tinggal atau permukiman. Namun, tanah seolah-olah telah menjadi semacam barang

dagangan dan dianggap sebagai sumber rejeki yang paling menguntungkan. Di daerah-daerah

pusat industri, perdagangan, dan permukiman elit, atau daerah-daerah strategis lainnya harga

tanah umumnya terus melonjak dan semakin tidak terkendali karena kebutuhan akan tanah

dari hari ke hari semakin tinggi.

Penyerahan harga dan peruntukan tanah kepada mekanisme pasar adalah salah satu faktor

yang membuat masalah pertanahan kota semakin runyam (McAuslan, 1986). Kompetisi yang

bebas di mana semua orang bisa terlibat dalam bisnis tanah sering membawa akibat

pelaksanaan rencana dan tata ruang menjadi semakin sulit dijalankan. Di samping itu,

kemampuan pemerintah dalam mengelola tanah kota atau untuk membangun fasilitas publik

juga menjadi kian terbatas.

Pihak yang menjadi penentu arah perkembangan dan pemanfaatan ruang kota sering adalah

kekuatan komersial atau setidak-tidaknya suara kekuatan swasta acapkali dominan

mempengaruhi kekuatan kelembagaan dalam menyusun berbagai kebijakan pembangunan

kota (Firman, 1991). Sementara itu, kekuatan massa —terutama kelompok marjinal kota—

acapkali menjadi pihak yang sama sekali tidak diperhitungkan dalam pengaturan dan

pembagian spasial tata ruang kota.

Selama ini di wilayah perkotaan kesempatan golongan miskin untuk memperoleh akses tanah

umumnya cenderung semakin terbatas, dan bahkan dalam banyak hal nyaris tidak ada. Sering

terjadi, warga kota golongan menengah ke bawah semakin tersisih dari hasil pembangunan

kota dan tersuksesi ke daerah-daerah pinggiran atau permukiman kumuh. Yang dimaksud

dengan suksesi adalah proses tergantikannya penduduk asli oleh penduduk pendatang (Nas,

1984). Di kota-kota di Negara Sedang Berkembang sering terjadi suksesi berarti terdesaknya

penduduk kota yang miskin oleh penduduk kota lain yang secara sosial-ekonomi lebih

mampu.

Evers (1982) mencatat kecenderungan yang biasa terjadi di kota-kota besar Negara Sedang

Berkembang adalah kota meluas ke arah pinggiran, pertama kali yang terjadi adalah

pembagian tanah-tanah yang luas. Namun, kemudian terjadi periode singkat pengumpulan

kembali ketika para pembangun kota memborong tanah untuk perumahan. Akibatnya —

menurut Wolfe— terjadi banyak sekali pemilikan tanah kecil, sementara pengumpulan

kembali hanya terjadi sementara. Evers (1982) juga menyatakan bahwa tekanan atas tanah

kota yang sedemikian meningkat, tidak hanya disebabkan olah adanya pertambahan

penduduk, tetapi juga olah karena kurangnya alternatif terhadap kesempatan penanaman

modal. Harga tanah bergerak secara spiral, dan kota-kota Dunia Ketiga dilanda gelombang

spekulasi —segera setelah terjadi perkembangan ekonomi.

Yang menjadi persoalan, sering terjadi bersamaan dengan munculnya gelombang spekulasi

adalah hak rakyat atas tanah lalu menjadi terlupakan dan bahkan dalam banyak seolah

disisihkan begitu saja. Di berbagai kota besar, setiap orang bisa dengan mudah melihat

adanya tanah-tanah kosong yang dibiarkan terlantar begitu saja. Masalahnya bukan karena si

pemilik tanah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun. Tetapi, karena tanah

tersebut memang hanya sekedar dijadikan barang dagangan dan spekulatif saja untuk suatu

saat dijual kembali bisa harga dirasa sudah benar-benar menguntungkan (McAuslan, 1986).

Page 4: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

4

Tanah-tanah pertanian di daerah pinggiran kota, akibat ulah spekulan tanah lambat-laun juga

mulai menghilang dan sebagai gantinya muncul pusat-pusat industri atau kompleks-kompleks

perumahan mewah. Penelitian yang dilakukan Siahaan (1987) mencatat bahwa seiring

dengan proses perkembangan kota (Surabaya) menjadi metropolis, yang terjadi tidak cuma

berubahnya fungsi tanah di daerah pinggiran kota, tetapi juga menyebabkan terjadinya

pergeseran okupasi penduduk warga pinggiran kota dari sektor pertanian ke sektor non-

pertanian.

Dari sudut manapun kita melihat, kenyataan seperti di atas tentu merupakan hal yang ironis.

Di satu sisi pembebasan lahan di lakukan secara besar-besaran di berbagai daerah strategis,

tetapi tidak segera diikuti dengan aktivitas pembangunan sehingga banyak ditemui kantong-

kantong lahan yang terlantar. Sementara itu, di sisi lain terdapat jutaan penduduk hidup

berdesak-desakan di rumah-rumah sempit, jauh dari pelayanan pusat kesehatan, dan acapkali

terancam dan menjadi korban penggusuran. Gejala seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut

bukan tidak mungkin akan menyebabkan timbulnya kecemburuan dan keresahan sosial di

kalangan masyarakat.

Kota yang terlalu ambisius mengejar status metropolis, seperti dikatakan J.E. Goldthorpe

(1988) akan "tumbuh tanpa perasaan" dan cenderung hanya melahirkan proses marginalisasi

dan alienasi bagi warganya, khususnya yang berasal dari golongan masyarakat rentan. Benar

di satu sisi kota-kota besar tumbuh makin gemerlap, megah, dan sesuai dengan paradigma

modernisasi yang disepakati oleh kebanyakan para perencana pembangunan di negara sedang

berkembang. Namun, di saat yang bersamaan hak-hak warga kota yang miskin —khususnya

hak pemilikan tanah— ternyata justru ditelikung, dan bahkan dengan berbagai alasan mereka

seolah-olah diperlakukan seperti pendatang haram yang hanya menodai kebersihan dan

kemajuan perkembangan kota itu sendiri. Penggusuran, operasi penertiban, dan sejenisnya

adalah fenomena sehari-hari yang dengan mudah kita jumpai di kota-kota besar.

Mekanisme survival

Scott dalam teori ini mengulas mengenai teori mekanisme survival di kalangan petani. Scott

menjelaskan bahwa keluarga petani harus dapat bertahan melalui-tahun tahun dimana hasil

bersih panennya atau sumber-sumber lainnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan pokoknya. Maka mereka dapat mengikat sabuk mereka lebih kencang lagi dengan

makan hanya sekali dalam sehari dan beralih ke makanan dengan mutu rendah. (Scott,1989)

Di kebanyakan masyarakat petani yang pra-kapitalis, kekhawatiran akan mengalami

kekurangan pangan telah menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan sebagai ―Etika

Subsistensi‖. Etika yang terdapat di kalangan petani Asia Tenggara ini, ternyata juga terdapat

di kalangan rekan-rekan mereka di Prancis, Rusia dan Italia di abad ke 19. Hal tersebut

merupakan konsekuensi dari suatu kehidupan yang begitu dekat dengan garis baris.

Keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga, yang mengatasi segala-galanya,

seringkali memaksa petani tidak saja menjual dengan harga berapa saja asal laku, akan tetapi

juga membayar lebih jika membeli atau menyewa tanah, lebih besar dari apa yang lazim

menurut kriteria investasi kapitalis. Seorang petani yang kekurangan tanah, yang mempunyai

keluarga besar dan tak dapat menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-

pekerjaan lain, seringkali berani membayar harga yang sangat tinggi untuk tanah, atau

―hunger rents‖ menurut istilah Chayanov, selama tambahan tanah itu dapat menambah isi

Page 5: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

5

priuk nasi dengan berapa saja. Sesungguhnya, semakin kecil lahan yang dimiliki satu

keluarga, semakin besar keluarga itu akan berani membayar untuk sebidang lahan tambahan

(Scott,1989)

Dengan demikian, teori mikro ekonomi dapat menjelaskan swa-pacal sebagaimana yang telah

diamati oleh Chayanov itu. Juga fenomena hunger-rent kiranya dapat dijelaskan dengan cara

yang sama. Semakin besar keluarga (lebih banyak mulut yang harus diberi makan dan lebih

banyak tangan yang untuk bekerja), makin besar produk marginal dari setiap tambahan lahan

dan karenanya makin besar pula sewa maksimum yang keluarga itu berani membayar.

Karena tingkat kesempatan yang mendekati nol dan arena keharusan untuk mencapai

subsistensi yang memadai, maka rumah tangga petani akan bersedia bekerja untuk upah-upah

yang sangat rendah.

Bagi mereka yang hidup dekat dengan subsistensi, akibat dari suatu kegagalan adalah begitu

rupa, sehingga mereka lebih mengutamakan apa yang dianggap aman dan yang diandalkan

dari pada keuntungan yang diperoleh dalam jangka panjang. Banyak hal yang kelihatannya

ganjil dari perilaku ekonomi petani bersumber pada kenyataan bahwa perjuangan untuk

memperoleh hasil yang minimum basi subsistensi berlangsung konteks kekurangan tanah,

modal dan lapangan kerja di luar. Sebagaimana telah ditunjuk oleh A.V Chayanov dalam

studinya yang klasik tentang petani di Rusia, konteks yang berbatasani itu kadang-kadang

memakan petani untuk melakukan pilihan yang tak masuk akal jika dilihat dari ketentuan-

ketentuan pembukuan yang lazim (Scott, 1989)

Oleh karena tenaga kerja seringkali merupakan satu-satunya faktor produksi petani yang

relatif melimpah, maka pastinya ia akan melakukana kegiantan yang membutuhkan tenaga

kerja yang banyak dengan hasil yang sangat kecl, sehingga kebutuhan subsistensinya

terpenuhi. Suatu panen yang buruk itu berarti bukan hanya kurang makan, untuk tetap makan

orang tersebut mungkin harus melakukan berbagai cara walau dia harus menjual tanah

ataupun ternaknya, sehinnga diharapkan akan memperkecil kemungkinan baginya mencapai

batas subsistensi di tahun berikutnya.

Permasalahan yang dihadapi oleh petani dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh petani

tersebut itulah yang kita kenal dengfan prinsip ―safety first‖ atau dahulukan selamat. Dalam

prinsip ―dahulukan selamat‖ atau ―menghindari resiko‖ ini banyak dari para ahli ekonomi

belajar dari petani berpenghasilan rendah dari dunia ke tiga (asia tenggara) yang merupakan

salah satu karya terpenting tentang pertanian subsistensi yang menunjukkan tentang adanya

penyesuaian pokok mengenai prinsip-prinsip tersebut.

Sikap-sikap terhadap kekurangan pangan menentukan sikap rakyat terhadap semua hal

lainnya: pemerintah, daerah pedesaan, hidup dan mati, kehilangan hal yang berharga,

moralitas, kebanggaan, kenistaan, harga diri. Ia merupaka tema sentral dari segala bentuk

pengungkapan rakyat. Begitu pula rakyat biasa tidak hidup dalam mitos dan kekuatan panik;

karena dalam kenyataannya kekurangan dan kelaparan merupakan ancaman tunggal terbesar

bagi eksistensi mereka (Scott, 1989)

Dalam keadaan yang krisis, untuk tetap bisa mempertahankan subsistensinya, para petani

harus memiliki strategi untuk mempertahankannya, strategi tersebut dalam Scott (1983)

dinamakan dengan mekanisme survival, terdapat 3 mekanisme survival:

1. Menggunakan relasi atau jaringan sosial

Page 6: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

6

Meminta bantuan dari relasi atau jaringan sosial seperti sanak saudara, kawan-kawan

sedesa, atau memanfaatkan hubungan dengan pelindungnya (patron)/ memanfaatkan

hubungan patronase, dimana ikatan patron dan klien merupakan salah satu bentuk

asuransi dikalangan petani

2. Alternatif subsistensi

Menggunakan alternatif subsisten yaitu swadaya yang mencakup kegiatan seperti

berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, sebagai buruh lepas, atau melakukan

migrasi untuk mencari pekerjaan. Cara ini dapat melibatkan seluruh sumber daya

yang ada di dalam rumah tangga miskin, terutama istri sebagai pencari nafkah

tambahan bagi suami.

3. Mengikat sabuk lebih kencang

Mengurangi pengeluaran untuk pangan dengan jalan makan hanya sekali sehari dan

beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah, seperti beralih makan jewawut atau

umbi-umbian.

Beberapa penelitian yang dilakukan di pedesaan Jawa Timur memperlihatkan beberapa cara

yang di kembangkan oleh petani dalam menghadapi persoalan perekonomiannya, tanpa harus

berpindah tempat (Suyanto,1996), yaitu dengan cara :

1. Mengencangkan ikat pinggang dengan menyederhanakan menu makanan sehari-hari.

Yang dimaksud menyederhanakan disini adalah bentuk pengurangan anggaran belanja

harian terutama untuk makan dan pengurangan uang jajan untuk anak dan orang tua,

atau kembali ke pola subsistem, yaitu mencari lauk pauk makanan dari bahan-bahan

tanaman disekitar yang tidak harus membeli.

2. Mencari sumber alternatif yang sekiranya bisa memberikan pendapatan meski

mungkin hasil yang di peroleh tidak begitu besar.

3. Mengerahkan anggota keluarga yang ada untuk melakukan diversifikasi usaha,

anggota keluarga yang umumnya sering menjadi alternatif tempat bergantung adalah

kaum ibu dan anak yang dirasa sudah cukup umur.

4. Meminta bantuan pada sistim penunjang yang ada di sekitarnya, khususnya dengan

cara meminta tolong kepada orang tua, anak atau teman. Bentuk hubungan patron dan

rasa solidaritas yang masih relatif kuat adalah pranata sosial setempat yang masih

banyak membantu proses adaptasi keluarga petani dalam mengantisipasi tekanan

ekonomi yang menimpanya.

Metode Penelitian.

Kegiatan ini pada dasarnya bermaksud mengkaji situasi problematik dan mekanisme survival

yang dihadapi Petani di perkotaan di Surabaya. Populasi penelitian ini adalah petani yang

tinggal di wilayah perkotaan di Surabaya. Sebagai sampel lokasi penelitian, dalam penelitian

ini secara purposive telah dipilih di Kelurahan Made.

Untuk memperoleh masukan dan data yang akurat, dalam kegiatan ini bahan-bahan yang

dibutuhkan menurut rencana akan dikumpulkan melalui empat cara, yakni:

Pertama, mengkaji dan menganilisis data sekunder mengenai kondisi petani di wilayah kota

besar. Data sekunder yang dibutuhkan dicari dari BPS, survei-survei lokal, dan data dari

berbagai Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian lainnya.

Kedua, melakukan review terhadap hasil-hasil studi mengenai petanidi perkotaan yang telah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Review ini penting dilakukan untuk pembanding

Page 7: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

7

sekaligus kerangka acuan dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dari

penelitian di lapangan.

Ketiga, melakukan penggalian data primer ke lapangan untuk memperoleh gambaran yang

valid dan akurat mengenai kondisi kemiskinan di perkotaan, kadar kerentanan dan kehidupan

sehari-hari keluarga miskin di kota di kota yang menjadi sampel lokasi penelitian. Sejumlah

persoalan akan dicoba digali dari keluarga miskin di perkotaan ini selain tentang tekanan

kemiskinan dan kelangsungan hidupnya, juga mekanisme survival yang dikembangkan

keluarga miskin di perkotaan di Provinsi Jawa Timur. Dalam penelitian ini, jumlah responden

yang diwawancarai sebanyak 50 petani yang tinggal di kelurahan Made.

Keempat, melakukan wawancara mendalam (indepth interview) pada 5 nara sumber tentang

situasi problematik yang dihadapi petani di perkotaan, kohesi sosial mereka, dan potensi-

potensi yang mereka miliki. Wawancara mendalam ini penting dilakukan untuk menggali

lebih jauh tentang kondisi dan keberadaan masyarakat petani di perkotaan dan kendala-

kendala yang dihadapi dalam upaya melangsungkan kehidupannya.

Seluruh data yang berhasil dikumpulkan, setelah melalui proses editing dan klasifikasi

kemudian akan dicoba dianalisis dan diinterpretasi. Di akhir laporan, selain ditampilkan

kesimpulan atau temuan pokok studi berupa kondisi petani di Kota Surabaya.

Temuan dan Analisis Data

Di wilayah perkotaan, kemiskinan sesungguhnya adalah sebuah fenomena sosial yang

kontradiktif. Di balik pertumbuhan kota-kota besar yang makin gigantis dan berkembang

menjadi daerah industri yang meraksasa, ternyata acapkali terselip kehidupan masyarakat

yang termarginalisasi dan miskin akibat tak mampu bersaing dalam kerasnya kehidupan kota.

Di sela-sela gedung yang menjulang dan perkembangan berbagai pusat perbelanjaan super

mewah, ternyata di sana dengan mudah ditemui rumah-rumah petak, permukiman liar, dan

bahkan rumah-rumah kardus yang dihuni petani kota.

Yang termasuk petani kota ini, mereka bukan hanya kaum migran yang berasal dari desa,

tetapi tidak sedikit yang menderita kemiskinan di kota adalah penduduk asli setempat yang

sejak awal sebelum kota berkembang sudah tergolong miskin, berpendidikan rendah dan

tidak memiliki keahlian yang berguna dalam kegiatan industri, sehingga mereka tersingkir

dari kegiatan perekonomian perkotaan karena ketidakmampuan mereka turut berpartisipasi

dan memanfaatkannya (Suparlan, 2004).

Petani kota cenderung hidup di perkampungan kumuh, dan bahkan sebagian di antaranya

hidup di permukiman liar atau di zone-zone publik, akibat tidak lagi memiliki aset produksi

yang dapat diandalkan untuk menopang kelangsungan kehidupannya. Sebagian besar petani

kota biasanya menjadi pekerja upahan di pabrik-pabrik atau pusat-pusat kegiatan

perdagangan dan jasa, menjadi pedagang kecil atau penjual jasa di sektor informal, dan

bahkan terkadang ada di antara mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pelacuran,

perjudian dan berbagai tindak kejahatan, baik perorangan atau kelompok.

Bagi petani kota, salah satu problema mendasar yang harus dihadapi adalah bagaimana

mereka dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya di tengah kondisi masyarakat dan

ekonomi perkotaan yang kian tidak ramah. Ketika pemerintah memutuskan menaikkan harga

BBM yang kemudian melahirkan efek domino berupa kenaikan harga kebutuhan pokok

Page 8: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

8

sehari-hari, bagi petani kota ibaratnya adalah pukulan susulan yang benar-benar mematikan.

Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin petani kota itu mampu bertahan hidup pasca kenaikan

harga BBM, sementara dalam kondisi normal sekali pun mereka sebenarnya seringkali harus

bekerja ekstra untuk melakukan berbagai langkah penghematan?

Dalam bab ini, selain dipaparkan tentang profil sosial-ekonomi petani kota, termasuk kadar

kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan kesehatannya, juga sekaligus diuraikan

secara mendalam tentang mekanisme survival yang dikembangkan petani kota dalam

menyiasati berbagai tekanan, serta perkembangan kohesi sosial di antara sesama petani kota

itu sendiri.

Profil Sosial Petani Kota

Yang disebut petani di kota sebetulnya tidak berbeda dengan petani di pedesaan.

Karakteristik yang menandai petani kota adalah mereka umumnya tidak atau kurang

berpendidikan, dan secara ekonomi cenderung rentan atau rapuh. Kendati secara

administratif, status mereka adalah bagian sah dari warga kota, dan bukan migran, tetapi

dalam kehidupan sehari-hari kadar kerentanan dan kondisi ekonomi petani kota umumnya

tidak jauh berbeda dengan migran.

Dari 50 petani kota yang diwawancarai, 82,5% mengaku hanya berpendidikan setara Sekolah

Dasar, dan bahkan 15% responden mengaku sama sekali tidak pernah mengenal bangku

sekolah. Tidak ada satu pun responden yang lulusan Perguruan Tinggi. Hanya 1%

berpendidikan SMA, dan 1,5% berpendidikan setara SMP.

Bagi petani kota, melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah memang merupakan barang

mewah. Dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, memang sulit bagi anak-anak dari

keluarga miskin di kota dapat melanjutkan pendidikan hingga jenjang PT. Kebanyakan, anak-

anak dari keluarga miskin hanya lulus SD, kemudian putus sekolah. Dalam usia dini, sudah

lazim anak-anak dari keluarga miskin di perkotaan mulai berlatih bekerja, baik sekadar

membantu orang tuanya atau bekerja di sektor publik: menjadi anak jalanan, berjualan koran,

atau masuk ke sektor-sektor informal lain yang seharusnya tidak diperuntukan bagi anak-

anak di bawah umur.

Sebagian besar responden yang diwawancarai dalam kegiatan ini berjenis kelamin laki-laki

(70,6%), dan sekitar sepertiga berjenis kelamin perempuan (29,4%). Usia responden berkisar

antara 17 tahun hingga 63 tahun. Mayoritas responden berusia sekitar 30-39 tahun (51,1%)

dan 40-49 tahun (30,3%). Dengan kata lain, hampir semua responden merupakan tenaga kerja

dalam usia produktif. Semua responden sudah menikah, tetapi tidak semua saat diwawancarai

telah memiliki anak.

Dari 50 responden yang diwawancarai, 3% responden mengaku hingga saat ini belum

memiliki anak. Namun, sebagian besar responden umumnya telah memiliki anak lebih dari 2

orang. Sebanyak 29,8% responden mengaku memiliki anak 3 orang, dan bahkan 25%

responden mengaku memiliki anak 5 orang atau lebih. Sebanyak 8% responden memiliki

anak 4 orang. Sementara itu, sebanyak 20,3% responden memiliki anak 2 orang, dan 14%

memiliki anak 1 orang.

Di atas kertas, makin banyak anak yang dimiliki tentu secara ekonomi beban yang harus

ditanggung keluarga petani di kota akan makin berat, terutama pada saat anak masih berusia

Page 9: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

9

balita atau belum genap 10 tahun. Tetapi, bagi keluarga miskin makin banyak anak yang

dimiliki terkadang justru menjadi sumber penghasilan alternatif bagi keluarga yang

menguntungkan. Sudah lazim terjadi, anak-anak dari keluarga miskin di perkotaan sejak usia

dini telah terlatih untuk ikut bekerja. Daripada bersekolah, anak-anak dari keluarga miskin di

kota umumnya lebih memilih putus sekolah dan sesegera mungkin mencari kerja yang dapat

menghasilkan uang.

Pekerjaan yang ditekuni petani kota umumnya di sektor informal (38%), di industri kecil

(15,5%), pedagang tradisional (11%) atau berwiraswasta kecil-kecilan (13%), seperti

membuka warung atau menjual makanan. Dari 50 responden yang diwawancarai, 15,5%

bekerja sebagai petani dan 7% bekerja sebagai nelayan tradisional. Bagi petani di kota yang

tinggal di daerah pinggiran, sebagian dari mereka bekerja sebagai petani atau nelayan. Meski

luas lahan yang digarap tidak seluas lahan petani di pedesaan, tetapi bagi petani kota

bagaimana pun hasilnya dirasa cukup menguntungkan, minimal dapat dipakai untuk

membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara subsisten. Seorang nelayan miskin

yang tinggal kawasan pesisir Kota Surabaya, misalnya, mereka mengaku bekerja sebagai

nelayan memang hasilnya tidak menentu, tetapi paling-tidak sebagian ikan hasil tangkapan

mereka dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi setiap harinya. Bagi

keluarga miskin, mengurangi pengeluaran dengan cara hidup subsisten atau semi subsisten,

sedikit-banyak membantu mereka tidak terlalu cepat masuk dalam perangkap utang yang

menjejas.

Apakah petani kota memiliki pekerjaan sampingan? Kalau berbicara di atas kertas, bagi

keluarga petani yang berpenghasilan pas-pasan atau bahkan mungkin kekurangan, sudah

seharusnya mereka berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.

Tetapi, di tengah keterbatasan kemampuan yang dimiliki dan waktu yang juga terbatas,

sesungguhnya tidak banyak hal yang dapat dilakukan responden.

Dari 50 petani yang diwawancarai, separuh lebih responden (58%) mengaku tidak memiliki

pekerjaan sampingan. Hanya 19,9% responden yang mengaku memiliki pekerjaan sampingan

yang sifatnya tetap. Sementara itu, sebanyak 22,1% responden memiliki pekerjaan

sampingan, hanya saja sifatnya tidak tetap alias insidentil. Seorang tukang becak, misalnya,

pada saat-saat tertentu mereka terkadang memang dimintai bantuan warga yang lain untuk

membersihkan rumah atau membuat sesuatu. Sepanjang hasilnya menguntungkan, biasanya

mereka selalu bersedia melakukan. Namun demikian, kesempatan seperti itu biasanya tidak

selalu datang setiap hari, sehingga hasilnya pun tidak terlalu bisa diharapkan.

Dengan kemampuan dan keahlian yang serba terbatas, harus diakui memang tidak banyak

pilihan yang dapat dikembangkan petani kota untuk mencari pekerjaan alternatif. Dari hasil

wawancara diketahui bahwa sebagian besar petani kota umumnya tidak banyak menguasai

ragam ketrampilan alternatif yang dapat dipakai untuk melakukan deversifikasi usaha atau

mencari pekerjaan sampingan. Ketrampilan di bidang pertukangan, misalnya, hanya 19,4%

responden yang menguasai, sementara sebagian besar responden (80,6%) menyatakan tidak

menguasainya. Demikian pula, ketrampilan di bidang kerajinan dan industri kecil, hanya

21,4% responden yang mengaku menguasainya. Sebagian besar petani kota (77,5%)

umumnya juga tidak bisa mengemudi kendaraan roda empat, sehingga peluang mereka untuk

bekerja sebagai driver nyaris mustahil. Yang agak mendingan adalah ketrampilan responden

di bidang buruh bangunan. Sebanyak 49,7% responden mengaku memiliki dan menguasai

ketrampilan di bidang buruh bangunan. Namun demikian, di tengah lesunya kondisi

Page 10: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

10

perekonomian dan bisnis properti, maka kesempatan untuk bekerja sebagai buruh bangunan

umumnya sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada.

Saat ini, upaya realistis yang banyak dikembangkan petani kota untuk bertahan hidup adalah

berusaha memperkecil rasio ketergantungan dengan cara seluruh anggota keluarga sejauh

memungkinkan akan berusaha bekerja dan mencari sumber-sumber penghasilan alternatif

yang dapat memperkuat tiang penyangga ekonomi keluarga.

Dari 50 petani kota yang diteliti, hampir semua (85%) menyatakan bahwa ayah sebagai

Kepala Keluarga umumnya bekerja dan menjadi sumber penghasilan utama keluarga.

Sementara itu, sebanyak 34,5% responden menyatakan bahwa salah satu sumber penghasilan

ekonomi alternatif keluarga adalah ibu, dan 11,2% responden mengaku anak-anak mereka

yang sudah cukup umur juga telah ikut membantu orang tua dengan bekerja dan mencari

uang sendiri.

Di kalangan keluarga miskin di kota, tidak jarang terjadi penghasilan yang diperoleh ibu dan

anak terkadang lebih besar daripada penghasilan ayah. Bahkan, ketika harga BBM naik dan

sebagian Kepala Keluarga pendapatannya kecil, ternyata yang mampu menopang

kelangsungan hidup keluarga adalah sosok ibu dan anak.

Kondisi Ekonomi Petani Kota

Petani yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar termasuk Keluarga Sejahtera I

(77,5%) dan sebanyak 22,5% termasuk Keluarga Pra-Sejahtera. Kendati sebagian termasuk

miskin absolut, dan sebagian yang lain tergolong near poor, tetapi dalam kenyataan kondisi

ekonomi petani di kota sesungguhnya sama-sama rentan.

Secara empirik, banyak bukti memperlihatkan bahwa naiknya penduduk di atas garis

kemiskinan tidak otomatis berarti penduduk tersebut hidupnya benar-benar bebas dari

ancaman dan perangkap kemiskinan, melainkan penduduk tersebut sebenarnya hanya

berpindah dari satu tahap kemiskinan yang terendah —yaitu tahap destitute— ke tahap apa

yang disebut sebagai near poor. Dibandingkan dengan kelompok kemiskinan destitute,

kelompok near poor hidupnya memang relatif lebih baik, namun belum benar-benar stabil.

Dalam arti bila sewaktu-waktu kelompok near poor ini menghadapi suatu krisis, maka

dengan cepat kelompok near poor ini akan melorot lagi ke status destitute. Sebuah keluarga

pedagang tradisional atau tukang becak yang termasuk kelompok near poor, misalnya tidak

mustahil terpaksa turun kelas menjadi kelompok destitute bila tanpa diduga anak mereka

jatuh sakit atau mengalami kecelakaan.

Kalau menilik berapa besar penghasilan keluarga petani di kota, sebagian besar terlihat total

penghasilan mereka umumnya di bawah UMR buruh, apalagi KHM (Kebutuhan Hidup

Minimum). Dari 50 petani yang diteliti, 31,8% responden mengaku berpenghasilan sekitar

500-600 ribu per bulan, dan bahkan 18,3% responden mengaku total penghasilan keluarga

mereka di bawah 500 ribu per bulan. Hanya 10% responden yang penghasilan keluarganya

rata-rata di atas 800 ribu per bulan. Yang lain, sebanyak 24% total penghasilan keluarganya

sekitar 600-700 ribu per bulan, dan sebanyak 16% antara 700-800 ribu per bulan.

Sepanjang hidup berjalan lancar dan tidak ada riak-riak kebutuhan yang sifatnya tak terduga,

meski secara absolut penghasilan keluarga miskin tergolong kecil, barangkali masih pas-

pasan dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, lain soal

ketika rendahnya penghasilan keluarga miskin itu berbanding terbalik dengan jumlah

Page 11: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

11

tanggungan keluarga, dan belum lagi jika memperhitungkan kemungkinan terjadinya

kebutuhan hidup yang sifatnya mendadak.

Alih-alih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, studi ini menemukan

bahwa keluarga miskin justru harus utang ke sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidup

yang terus melonjak pasca kenaikan harga BBM. Seperti diakui sebagian besar responden

(46%), bahwa total pendapatan keluarga dalam setahun terakhir umumnya sangat kurang

untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari 50 responden, 32,5%

menyatakan kekurangan, dan 20,5% menyatakan pas-pasan. Hanya 1% responden yang

menyatakan cukup.

Dibandingkan setahun yang lalu, kondisi ekonomi keluarga miskin yang diteliti umumnya

tidak mengalami peningkatan atau perbaikan. Hanya 1% responden yang taraf kehidupannya

saat ini makin atau lebih baik. Sebagian besar responden (30%) yang diwawancarai

menyatakan untuk saat ini kondisi ekonomi mereka lebih buruk dan bahkan 28% responden

menyatakan jauh lebih buruk. Sebanyak 41% responden menyatakan sama saja.

Bagi keluarga miskin di perkotaan, efek domino dari kebijakan kenaikan harga BBM sedikit-

banyak memang terasa berat dan menjejas. Kenaikan harga barang kebutuhan hidup sehari-

hari yang tidak sebanding dengan daya beli masyarakat bukan saja menimbulkan inflasi,

tetapi juga menyebabkan petani terpaksa harus melakukan berbagai langkah penyesuaian dan

penghematan.

Tidak jarang terjadi, petani kota yang secara ekonomi rentan pada akhirnya harus menyerah

pada nasib. Dari 50 petani yang diteliti, hanya 1,5% yang masih bisa menyiasati tekanan

kebutuhan dengan mengandalkan sisa-sisa tabungan yang dimiliki. Tetapi, hampir semua

responden mengaku mereka umumnya terpaksa harus utang ke sana ke mari untuk memenuhi

kebutuhan keluarga yang sifatnya mendesak. Sebanyak 39% responden mengaku biasanya

utang ke warung terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin mendesak.

Sementara itu, sebanyak 32,5% responden mengaku utang ke kerabat, dan sebanyak 27%

responden mengaku utang ke orang lain.

Seperti juga di wilayah pedesaan, di berbagai kampung dan permukiman kumuh di kota

biasanya memang banyak berkeliaran rentenir dan pelepas uang lain yang beroperasi

menawarkan iming-iming utang dengan bunga yang mencekik leher. Di antara petani di kota,

menurut Parsudi Suparlan (2004) biasanya banyak yang terlibat dalam perangkap rentenir

(loan shark). Berbeda dengan utang pada kerabat yang biasanya tanpa bunga, jika petani kota

utang pada rentenir, niscaya mereka harus bersiap-siap membayar bunga utang dan cicilan

yang sangat tinggi, dan bahkan tidak jarang petani itu harus kehilangan sebagian dari aset

produksinya karena dipakai untuk membayar utang yang terus bertambah.

Bagi petani di kota, kenaikan harga BBM yang terjadi dalam setahun terakhir ini ibaratnya

adalah pukulan susulan yang mematikan. Ketika imbas situasi krisis belum sepenuhnya

teratasi, beban baru yang mesti ditanggung keluarga miskin di kota tak pelak adalah

keputusan pemerintah mengurangi subsidi harga BBM, yang ujung-ujungnya melahirkan

sejumlah masalah yang memberatkan petani di wilayah perkotaan.

Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika biaya produksi meningkat (87%), sementara di

saat yang sama daya beli masyarakat justru menurun drastis. Yang jelas, seperti diakui 43%

responden bahwa akibat kenaikan harga BBM terasa usaha yang mereka tekuni mengalami

Page 12: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

12

kemunduran, dan bahkan 45% responden menyatakan dampaknya sangat terasa bagi

kemunduran usaha mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebanyak 33,5% responden menyatakan

bahwa belakangan ini terasa makin sulit, dan bahkan 35,2% responden menyatakan sangat

terasa perubahannya. Akibat kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari yang terus

melambung, tidak sedikit petani mengaku harus berhemat dan menerima nasib makan

seadanya.

Kendati berpuasa dan hidup serba irit bukan pengalaman baru bagi petani di kota. Tetapi,

imbas kenaikan harga BBM yang menyeruak ke mana-mana, bagaimana pun telah

menyebabkan sebagian keluarga miskin di kota kehilangan daya tahan dan terganggu

kesehatannya. Sebanyak 25% menyatakan terasa terganggu kesehatannya, dan bahkan 20%

responden menyatakan sangat terasa kalau derajad kesehatan mereka mulai terganggu dengan

serius.

Dari data di tabel bisa dilihat bahwa di antara berbagai anggota keluarga miskin di kota, yang

tergolong rentan terkena serangan penyakit adalah ayah dan ibu. Dari 50 petani yang diteliti,

hanya 10,6% ayah yang mengaku tidak pernah sakit dalam setahun terakhir. sementara itu,

untuk ibu angkanya lebih besar lagi, yakni sebanyak 34,1% ibu mengaku tidak pernah sakit

dalam setahun terakhir. Untuk orang tua dan anak, yang di atas kertas semestinya lebih rentan

terkena penyakit, ternyata studi ini menemukan justru angkanya lebih jarang daripada ayah

dan ibu. Bagi keluarga miskin, figur ayah dan ibu yang paling rentan terkena sakit ini, tentu

merugikan. Sebab, di kalangan penduduk dan keluarga miskin seringkali figur yang

diandalkan sebagai pencari nafkah keluarga adalah ayah dan ibu. Jika dalam keluarga miskin

yang namanya tenaga kerja produktif justru malah sakit, maka implikasinya benar-benar

akan sangat terasa.

Di kalangan petani kota, sudah lazim terjadi tatkala krisis terjadi, maka salah satu dampak

yang segera terasakan adalah meningkatnya jumlah utang yang mesti mereka tanggung.

Sekitar tiga per empat responden (74%) menyatakan bahwa dampak kenaikan harga BBM

benar-benar sangat terasa bagi mereka karena mau tidak mau menyebabkan responden

terpaksa harus utang ke berbagai pihak, baik utang tanpa bunga maupun utang dengan beban

bunga yang mencekik leher. Ketika kebutuhan hidup tidak lagi bisa ditunda, sementara

penghasilan terus menurun atau bahkan tidak lagi ada karena gagal panen, maka utang bagi

petani kota adalah sebuah pilihan yang tidak terelakkan.

Mekanisme Survival Petani Kota

Ada banyak cara dan mekanisme yang dikembangkan petani di kota untuk bertahan dan

melangsungkan kehidupannya. Ketika tekanan kebutuhan hidup makin kuat dirasakan,

sementara kondisi ekonomi keluarga tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan itu, maka mau

tidak mau yang harus dilakukan adalah bagaimana mengembangkan berbagai upaya untuk

menyiasati tekanan dan persoalan kemiskinan yang dihadapi.

Studi ini menemukan, sepanjang memungkinkan yang dilakukan petani kota untuk mengatasi

persoalan dan tekanan yang dihadapi adalah dengan cara-cara yang sifatnya mandiri. Dalam

hal ini, langkah populer yang dilakukan umumnya adalah melakukan berbagai langkah

penghematan untuk mengurangi beban pengeluaran. Seperti bisa kita simak pada Tabel di

bawah ini, langkah-langkah penghematan yang populer dilakukan petani kota untuk bertahan

Page 13: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

13

hidup adalah dengan cara mengurangi kualitas menu makanan (54%), atau mengurangi uang

jajan anak (50,5%).

Tabel 1

Bentuk Penghematan yang Dikembangkan Petani Kota

Keterangan Ya,

Sering

Ya

Tetapi

Jarang

Tidak

Pernah

1. Mengurangi frekuensi makan 13.9 29.7 56.4

2. Mengurangi kualitas menu makanan 54.0 25.0 21.0

3. Mengurangi uang jajan anak 50.5 34.3 15.2

4. Mengurangi uang jajan ayah 20.0 35.0 45.0

5. Mengurangi uang jajan ibu 24.1 25.2 50.7

Bagi keluarga miskin yang benar-benar kondisinya parah, jika perlu langkah penghematan

yang dilakukan adalah dengan cara mengurangi frekuensi makan. Dari 50 petani yang diteliti,

sebanyak 13,9% menyatakan bahwa mereka sering mengurangi frekuensi makan untuk

menyiasati tekanan kemiskinan. Artinya, jika biasanya sehari-hari mereka makan 3 kali,

maka akibat imbas krisis dan efek domino kenaikan harga BBM dengan terpaksa mereka

mengurangi frekuensi makan menjadi 2 kali sehari.

Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika petani kota yang setiap hari harus bekerja berat,

ternyata setiap harinya jatah makan mereka dikurangi. Memang, untuk jangka pendek,

mengurangi frekuensi makan merupakan jalan keluar yang paling pragmatis untuk menyiasati

tekanan kemiskinan. Tetapi, dalam jangka panjang cara seperti ini sesungguhnya sangat

beresiko, sebab jika seseorang mengeluarkan tenaga ekstra, tetapi pasokan energi yang masuk

malah berkurang, maka jangan heran jika efeknya kemudian malah makin memberatkan.

Seperti sudah disinggung di muka, bahwa salah satu anggota keluarga yang paling rentan

terserang penyakit adalah ayah. Boleh jadi, faktor penyebab ayah lebih mudah terserang

penyakit ini karena merekalah yang terpaksa mengurangi frekuensi dan kualitas menu

makanan, sementara di saat yang sama tetap harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi

keluarganya.

Tabel 2

Hal-Hal yang Dilakukan untuk Mengatasi Kebutuhan Hidup

Selama Masa Kekurangan

Keterangan Sering Kadang -

kadang

Tidak

pernah

1. Menggadaikan barang 20.0 38.0 42.0

2. Menjual barang 24.1 55.4 20.5

3. Utang dengan bunga 37.0 57.0 51.0

4. Utang tanpa bunga 58.8 35.3 50.9

5. Meminta bantuan kerabat 33.9 30.9 15.2

Di luar langkah-langkah penghematan, upaya lain yang dilakukan keluarga miskin di kota

untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa kekurangan adalah dengan cara utang,

menggadaikan atau menjual barang, atau meminta bantuan kepada kerabat. Ketika situasi

masih memungkinkan, memang cara yang paling sering ditempuh adalah mencoba utang

Page 14: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

14

tanpa bunga (58,8%). Tetapi, ketika utang tidak lagi memungkinkan untuk dilakukan, maka

cara lain yang dikembangkan adalah dengan menggadaikan barang (20%), menjual barang

(24,1%), meminta bantuan kerabat (33,9%), atau bahkan jika perlu utang ke orang lain meski

pun mereka harus membayar bunga cicilan yang cukup besar.

Di kalangan petani di kota, utang boleh dikata adalah hal yang lazim dan paling populer.

Kenapa? Mekanisme gali lubang, tutup lubang bagi petani adalah sesuatu hal yang biasa

dilakukan, karena memang hanya dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk

melangsungkan kehidupannya. Berbeda dengan keluarga yang secara ekonomi mapan dan

biasanya memiliki tabungan atau asuransi untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya

mendadak. Yang namanya keluarga miskin di kota rata-rata kehidupan sehari-harinya sangat

rentan, tidak memiliki tiang penyangga atau tabungan yang dapat dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak, sehingga ketika kebutuhan itu sudah ada di

depan mata, maka tidak ada lain yang dapat dilakukan kecuali utang ke sana-sini, termasuk

utang ke rentenir yang acapkali meminta beban bunga yang mencekik leher.

Pengalaman selama ini, sebetulnya sudah banyak mengajarkan kepada mereka bahwa utang

adalah salah satu roda pengerak kemiskinan yang membuat kehidupan orang miskin menjadi

makin sulit. Sebuah keluarga miskin yang terperangkap utang dan terpaksa menjual barang-

barangnya untuk membayar utang itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka

umumnya akan masuk dalam pusaran spiral kemiskinan yang membuat posisi mereka

menjadi lebih tidak berdaya lagi. Kalau diperkenankan memilih, yang namanya keluarga

miskin di kota sudah berusaha menghindari dari perangkap utang. Tetapi, diakui oleh

sebagian besar responden bahwa menghindarkan diri dari perangkap utang sesungguhnya

bukanlah hal yang mudah.

Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak mengurangi tekanan kemiskinan dan

kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-keluarga miskin di kota sebetulnya

sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden mengaku bahwa selama ini mereka

telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai langkah penghematan atau

pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau melakukan deversifikasi

usaha. Tetapi, disadari bahwa mencoba mengembangkan langkah-langkah antisipatif seperti

diuraikan di atas ternyata sangat sulit, bahkan nyaris mustahil. Keinginan responden untuk

menambah jam kerja agar hasil yang diperoleh lebih banyak, misalnya, sebanyak 56%

menyatakan sangat sulit dilakukan karena kesempatan kerja memang tidak ada akibat kondisi

perekonomian yang cenderung lesu. Demikian pula, upaya-upaya seperti melakukan

deversifikasi usaha, penghematan, mendayagunakan tenaga kerja keluarga dan sebagainya,

menurut responden juga sulit atau bahkan sangat sulit dilakukan karena faktor-faktor yang

sifatnya struktural.

Tabel 3

Kiat Petani Kota Menyiasati Situasi Krisis Ekonomi

Keterangan

Sangat

sulit

dilakukan

Sulit

dilakukan

Relatif

mudah

dilakukan

Sangat

mudah

dilakukan

1. Perilaku subsistensi 19.1 36.9 35.0 9.0

2. Diversivikasi usaha 15.0 34.0 31.5 10.5

3. Penambahan jam kerja 56.0 34.0 8.0 2.0

4. Pengetatan 29.2 30.8 35.0 5.0

Page 15: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

15

konsumsi/mengencangkan

ikat pinggang

5. Pendayagunaan tenaga kerja

keluarga

23.0 22.0 25.0 30.0

6. Meminta bantuan kerabat 27.3 49.4 20.3 3.0

Bagi keluarga miskin di kota, ketika modal yang dimiliki serba terbatas atau bahkan sama

sekali tidak ada, dan mereka pun juga tidak memiliki aset produksi yang cukup untuk

mengembangkan usahanya, maka tidak ada hal lain yang dapat dilakukan keluarga miskin di

kota --kecuali berharap ada faktor-faktor eksternal yang merubah nasib mereka. Sejumlah

aset produksi, seperti tanah, mesin atau alat kerja tertentu, modal atau sepeda motor,

diperkirakan hanya sekitar seperempat responden yang memilikinya. Dari 50 petani yang

diwawancarai, hanya 23,9% responden yang mengaku memiliki modal di atas 500 ribu.

Sisanya, sebanyak 76,1% responden mengaku tidak memiliki modal meski hanya 500 ribu

sekali pun.

Untuk sepeda motor, studi ini menemukan hanya 14,3% responden yang memiliki, dan

sebagian besar (85,7%) mengaku tidak memiliki. Tanah atau lahan garapan, hanya 31%

responden yang memiliki. Sementara itu, untuk mesin atau alat produksi, sebanyak 78,3%

responden menyatakan tidak memiliki.

Dengan kondisi yang serba terbatas seperti diuraikan di atas, akhirnya bisa diprediksi kemana

sebenarnya keluarga-keluarga dan petani di kota akan bergulir. Dengan kondisi yang serba

kekurangan, dan tidak didukung aset produksi yang memadai, maka yang dapat dilakukan

keluarga miskin saat ini pada akhirnya hanyalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup, dan

berusaha semaksimal mungkin agar tidak tergerus pusaran krisis yang akan makin

menyengsarakan mereka. Bagi keluarga miskin di kota, mereka sebetulnya tidak pernah

terlalu berani berharap bahwa mereka akan dapat melakukan mobilitas vertikal dengan cepat

atau menjadi orang yang mapan tanpa harus dibayang-bayangi tagihan utang. Bagi orang

miskin, asalkan mereka dapat bertahan hidup dan tidak makin miskin sesungguhnya hal itu

sudah merupakan kemewahan tersendiri.

Kohesi Sosial Petani Kota

Secara teoritis sesungguhnya ada dua faktor yang membuat petani di kota senantiasa mampu

bertahan dari waktu ke waktu melewati tekanan kemiskinan dan situasi krisis. Pertama,

karena petani memilki kemampuan survival yang sangat ligat, kenyal menghadapi tantangan

dan karenanya senantiasa mampu survive dari tekanan sekeras apa pun. Kedua, karena petani

memiliki kohesi sosial dan dukungan dari kelompoknya yang berfungsi sebagai asuransi

sosial atau jaring pengaman.

Bagi petani, keberadaan kelompok dan kohesi sosial yang kuat merupakan sesuatu yang

fungsional –-semacam garansi sosial untuk mendukung kelangsungan petani, terutama ketika

mereka menghadapi masalah. Bagi petani kota, menghadapi berbagai masalah dan tekanan

kemiskinan sendirian seringkali terasa berat dan menjejas. Dari hasil temuan data

menunjukkan bahwa sebagian besar (47,3%) petani kota yang diwawancarai umumnya

mengakui kalau mereka ragu-ragu dapat bertahan hidup mandiri sekadar mengandalkan aset

yang saat ini dimiliki. Bahkan, sebanyak 30,5% responden menyatakan kemungkinan tidak

mampu, dan 12,7% menyatakan jelas tidak mampu. Dari 50 petani yang diteliti, hanya 5%

yang menyatakan optimis mampu survive.

Page 16: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

16

Dengan modal yang terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada, dan juga karena koneksi

yang serba terbatas, disadari responden bahwa ruang gerak mereka untuk berkembang dan

mengembangkan usahanya menjadi sangat sempit. Separuh lebih (60,3%) petani yang

diwawancarai menyatakan bahwa prospek usaha yang ditekuni di masa depan cenderung

suram. Hanya 3,5% responden yang menyatakan bagus, dan sisanya 36,2% menyatakan

biasa-biasa saja. Di tengah kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, memang tidak

mudah bagi petani di kota untuk mempertahankan, apalagi mengembangkan usahanya. Alih-

alih maju, bahkan sebagian besar responden khawatir justru usaha yang masih dilakukan

collapse akibat daya beli masyarakat yang menurun drastis, sementara biaya produksi

pertanian yang dikeluarkan justru naik karena efek domino kenaikan harga BBM.

Kemungkinan mencari pekerjaan alternatif, disadari responden juga bukan hal yang mudah.

Kendati di kota keberadaan sektor informal acapkali disebut sangat fleksibel dan memiliki

kemampuan involutif yang luar biasa. Tetapi, tanpa didukung koneksi dan modal yang cukup

tentu tidak serta-merta mereka dapat mengembangkan usahanya seketika. Dari 50 petani yang

diteliti, sebagian besar (62,8%) menyatakan tidak memiliki kerabat, teman atau tetangga yang

dapat dijadikan koneksi untuk mencarikan pekerjaan.

Sementara itu, sebanyak 47,6% responden juga menyatakan bahwa tidak mungkin bagi

mereka dapat memperoleh pinjaman lunak untuk modal usaha. Bahkan 32,4% responden

menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak mungkin. Dalam setahun terakhir, disadari

responden bahwa situasi sektor riil di lapangan memang cenderung lesu, dan masing-masing

orang umumnya sibuk mengatasi permasalahannya sendiri-sendiri. Berbeda dengan

komunitas pedagang besar yang biasanya memiliki jejaring yang kuat dan akses yang terbuka

terhadap sumber-sumber keuangan perbankan, untuk petani kota rata-rata mereka tidak

memiliki akses yang cukup, sehingga kesempatan untuk memperoleh bantuan atau pinjaman

modal usaha sepertinya nyaris mustahil.

Menurut pengakuan responden, ketika mereka pertama kali datang ke kota, umumnya mereka

berusaha sendiri untuk mencari kerja (45,5%). Sebanyak 21,5% responden mengaku dibantu

teman, 11,5% dibantu saudara dan 21% responden dibantu kerabat. Berbeda dengan kaum

migran yang memiliki kohesi sosial yang kuat dan acapkali masih terbiasa mengembangkan

hubungan sosial saling tolong-menolong yang kuat (Hans-Dieter Evers, 2002), petani di kota

umumnya ikatan kohesi sosial mereka pelan-pelan tampak mulai memudar. Hal ini tampak,

paling-tidak dari indikasi berikut: Pertama, menurunnya kemungkinan di antara sesama

petani di kota untuk mengakses sumber-sumber pinjaman modal tanpa bunga. Kedua,

memudarnya pola hubungan patron-client akibat perubahan pola hubungan sosial yang makin

kontraktual. Ketiga, makin menyempitnya konsentrasi perkembangan kohesi sosial di tingkat

keluarga atau kerabat, dan memudarnya dukungan sosial di tingkat komunitas yang lebih

besar.

Dari 50 petani yang diteliti, studi ini menemukan hanya sekitar separuh yang mengaku

termasuk atau masuk sebagai anggota perkumpulan atau organisasi sosial-kemasyarakatan

(51,6%). Sebanyak 48,4% responden mengaku sama sekali tidak terlibat dalam organisasi

sosial-kemasyarakatan atau asosiasi sosial tertentu. Sebagian responden menyatakan bahwa

terlibat dalam perkumpulan atau asosiasi sosial tertentu, dalam beberapa hal justru seringkali

membebani. Iuran dan berbagai kewajiban sosial lain, bagi petani di kota terkadang justru

memberatkan karena tidak selalu mereka memiliki cadangan uang atau simpanan yang cukup

untuk membiayai hal-hal seperti itu.

Page 17: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

17

Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar pihak yang dijadikan tempat bersandar

ketika petani di kota mengalami masalah atau membutuhkan bantuan umumnya adalah

saudara dan kerabat. Ketika petani membutuhkan bantuan uang cash, misalnya, 45,2%

responden menyatakan biasanya akan meminta bantuan ke saudara dan sebanyak 22,1%

meminta bantuan ke kerabat. Demikian juga, ketika responden membutuhkan bantuan untuk

mendukung kelangsungan usahanya, sebanyak 43,2% akan meminta dukungan saudara, dan

21,2% meminta dukungan kerabat.

Hanya dalam soal perlindungan keamanan, sebagian besar responden mengaku lebih condong

meminta bantuan teman (37,9%) atau asosiasi sosial tertentu (19,7%). Bagi petani kota,

memudarnya daya kohesi sosial di antara sesama memang pada akhirnya menyebabkan daya

kohesi sosial pada akhirnya makin mengerucut ke lingkaran kerabat atau keluarga inti:

saudara. Di tengah tekanan kehidupan kota yang cenderung makin keras, memudarnya pola

hubungan sosial dan sebaliknya berkembangnya pola-pola hubungan yang lebih kontraktual,

bagaimana pun akan membuat petani terpaska pelan-pelan belajar hidup soliter, sembari

berharap tidak lagi terjadi pukulan susulan yang benar-benar akan mematikan seluruh daya

tahap yang tersisa, yang masih mereka miliki saat ini.

Kesimpulan.

Kesimpulan penelitian ini adalah: Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak

mengurangi tekanan kemiskinan dan kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-

keluarga miskin di kota sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden

mengaku bahwa selama ini mereka telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai

langkah penghematan atau pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau

melakukan deversifikasi usaha.

Kemungkinan mencari pekerjaan alternatif, disadari responden juga bukan hal yang mudah.

Kendati di kota keberadaan sektor informal acapkali disebut sangat fleksibel dan memiliki

kemampuan involutif yang luar biasa. Tetapi, tanpa didukung koneksi dan modal yang cukup

tentu tidak serta-merta mereka dapat mengembangkan usahanya seketika. Dari 50 petani yang

diteliti, sebagian besar menyatakan tidak memiliki kerabat, teman atau tetangga yang dapat

dijadikan koneksi untuk mencarikan pekerjaan.

Hanya dalam soal perlindungan keamanan, sebagian besar responden mengaku lebih condong

meminta bantuan teman atau asosiasi sosial tertentu. Bagi petani kota, memudarnya daya

kohesi sosial di antara sesama memang pada akhirnya menyebabkan daya kohesi sosial pada

akhirnya makin mengerucut ke lingkaran kerabat atau keluarga inti: saudara. Di tengah

tekanan kehidupan kota yang cenderung makin keras, memudarnya pola hubungan sosial dan

sebaliknya berkembangnya pola-pola hubungan yang lebih kontraktual, bagaimana pun akan

membuat petani terpaska pelan-pelan belajar hidup soliter, sembari berharap tidak lagi terjadi

pukulan susulan yang benar-benar akan mematikan seluruh daya tahap yang tersisa, yang

masih mereka miliki saat ini.

Daftar Pustaka

Ahmad, Ahmaddin (2002) Re-Desain Jakarta, Tata Kota, Tata Kita. Jakarta: Kota Kita Press.

Azuma, Yoshifumi (2001) Abang Beca, Sekejam-kejamnya Ibu Tiri, Masih Lebih Kejam

Ibukota. Jakarta: Sinar Harapan.

Page 18: Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada ...

18

Evers, Hans-Dieter (1982) Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia

dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.

Gilbert, Alan & Josef Gugler (1996) Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hauser, Phlilip M. (1985) Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Studi Kasus di Beberapa

Daerah Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nurmandi, Achmad, 2006. Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah

Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Sinergi

Publishing.

Suyanto, Bagong dkk (2001) Penyusunan Rencana Induk Pengentasan kemiskinan di Kota

Surabaya. Surabaya: Bappeko Surabaya bekerjasama dengan Lutfansah.

Suparlan, Parsudi (2004) Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi

Perkotaan. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu kepolisian.

Yunus, Hadi Sabari, 2005. Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yunus, Hadi Sabari, 2006. Megapolitan, Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.