67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta
-
Upload
veronica-gnoveva-venna -
Category
Documents
-
view
133 -
download
3
Transcript of 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta
1 Universitas Indonesia
M. Aftaf. M (0706265610)
PROPOSAL PENELITIAN
Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Jakarta
(Studi Kasus : Koridor jalan raya salabenda, jalan raya parung, dan jalan permata – gunung
sindur)
A. Latar Belakang
Perencana dan pengelola perkotaan di negara berkembang dewasa ini menghadapi
tantangan yang berat. Penduduk perkotaan dunia tumbuh menghadapi tantangan yang berat.
Penduduk perkotaan dunia tumbuh pada tingkat yang fenomenal: Pada beberapa kota lebih
dari seperempat juta jiwa bertambah setiap tahunnya, melebihi usaha yang dilakukan untuk
peningkatan fasilitas perkotaan. Sementara kota-kota yang telah tumbuh besar pada waktu
sebelumnya terus menerus meluas tanpa adanya limitasi. Meluasnya kota-kota besar tersebut
mendorong tumbuhnya daerah pinggiran sebagai gejala yang diakibatkan karena adanya
proses suburbanisasi penduduk dari kota induk ke daerah pinggiran sehingga penduduk harus
bekerja dan mengonsumsi fasilitas di kota induknya.
Kota induk yang sudah semakin padat, meningkatnya harga lahan, dan memiliki
tingkat polusi yang tinggi mendorong masyarakat memilih untuk tinggal di daerah pinggiran
yang dinilai lebih nyaman, sebagaimana pendapat Hammond dalam Djaljoeni (1992) bahwa
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan daerah pinggiran kota seperti;
tersedianya fasilitas pelayanan transportasi yang memadai, meningkatnya taraf hidup
masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat lebih mendapatkan rumah yang layak,
perpindahan dari pusat kota dan masuknya penduduk baru dari pedesaan, dan dorongan
hakikat manusia memperoleh kenyamanan.
Demikian pula dengan laju pertumbuhan penduduk Jakarta, BPS menyebutkan bahwa
dalam kurun waktu 1980 – 1990 memiliki pertumbuhan penduduk (2,42%), sedangkan
wilayah BOTABEK pertumbuhannya sebesar 6,16%, namun pada kurun waktu 1990 – 2000
laju pertumbuhan penduduk di Jakarta turun menjadi 0,16% per tahun, pada kurun waktu
2000 – 2010 laju pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai 1,40% per tahun, sebaliknya laju
pertumbuhan penduduk di wilayah BOTABEK tetap tinggi. Seperti halnya Kabupaten
Bogor, berdasarkan hasil survey penduduk 2010 kabupaten Bogor berpenduduk 4.770.744
2 Universitas Indonesia
jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Bogor sebesar 3,16% per tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa pengembangan kota telah mengarah ke daerah pinggiran
(suburbanisasi) dimana memicu perambatan kenampakan fisik kota ke arah luar atau yang
disebut “úrban sprawl”.
Perkembangan kota tersebut mengarah kepada proses perkembangan spasial secara
horizontal sentrifugal yaitu bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari
daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota
(Yunus 2005). Dalam proses perkembangannya tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor
yang mempengaruhinya sebagaimana dikemukakan oleh Lee (1979) dalam Yunus (2005 :
60) dalam studinya bahwa terdapat 6 faktor yang mempunyai pengaruh kuat terhadap
perkembangan ruangan sentrifugal horizontal ini; faktor aksesibilitas, faktor pelayanan
umum, karakteristik lahan, karakteristik pemilikan lahan, keberadaan peraturan-peraturan
pemerintah, dan prakarsa pengembang. Sementara itu identifikasi faktor determinan yang
dilaksanakan di Indonesia khususnya di kota Semarang menunjukkan adanya faktor
pertambahan penduduk sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan pinggiran
(Heriyanto, 2000).
Bertambahnya ruang kekotaan tersebut tidak terlepas dari aksesibilitas sebagaimana
yang dikemukakan oleh Lee di atas, dalam kesempatan lain Babcock (1932) dalam Yunus
(1999 : 42) dalam teorinya yang dikenal sebagai teori poros menjabarkan bahwa daerah yang
dilalui transportasi akan mempunyai perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang
tidak dilalui jalur-jalur transportasi, sepanjang rute transportasi akan memiliki mobilitas yang
tinggi. Dengan jarak yang jauh dari pusat kota, namun memiliki aksesibilitas yang tinggi
akan sama “time-cost” yang dibutuhkan oleh daerah yang memiliki jarak yang dekat namun
aksesibilitasnya rendah. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan wilayah perkotaan tidak
bisa terlepas dari kemudahan untuk mencapai suatu tempat (aksesibilitas).
Selanjutnya Whebell seorang ahli geografi Amerika dalam jurnalnya “corridors : a
theory of urban systems” menyatakan bahwa dalam setiap tahap perkembangan dari pusat ke
koridor kota, perubahan dalam sistem ekonomi muncul pertama kali di koridor dan menyebar
ke arah luar. Di dalam jurnal yang sama Christaller (1966 : 74) mengatakan bahwa sebaran
pusat-pusat keramaian yang paling menguntungkan ialah ketika terletak diantara satu lalu
lintas diantara dua kota, rute ini akan terbangun dengan cepat dengan harga yang murah.
Melihat bahwa wilayah penelitian memiliki ciri-ciri diatas dan faktor-faktor yang menunjang
3 Universitas Indonesia
perkembangan suatu wilayah, menarik sekali untuk mengkaji wilayah tersebut melalui
pendekatan-pendekatan di atas.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan penggunaan tanah di pusat kota yang sudah semakin padat dan terus
berkembang tidak terkendali menyebabkan kenampakan fisik kekotaan menyebar tidak
merata (urban sprawl) di pinggiran kota Jakarta. Penyebaran kenampakan fisik kekotaan ke
arah luar kota ini mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan yang ada di daerah pinggiran
kota. Kenampakan fisik kekotaan di daerah pinggiran terlihat di daerah koridor penghubung
dua kota yang memiliki aksesibilitas tinggi, tersedianya fasilitas pelayanan umum, dan
kepadatan penduduk yang tinggi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka pertanyaan penelitian yang diangkat dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana pola perkembangan daerah pinggiran Kota Jakarta dilihat dari indeks
sprawl (tahun 2000 - 2010) ?
2. Bagaimana pengaruh aksesibilitas, kepadatan penduduk, dan fasilitas pelayanan
umum terhadap perkembangan daerah pinggiran Kota Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan yang terjadi di daerah
pinggiran Kota Jakarta dan variabel yang mempengaruhinya di wilayah koridor pada periode
2000 – 2010. Daerah pinggiran tersebut telah mengalami perambatan kenampakan fisik kota
ke arah luar (urban sprawl). Untuk melihat sejauh mana fenomena perkembangan sprawl
yang terjadi di koridor dapat menggunakan indeks sprawl. Berasumsi pada Staley (1999:14)
bahwa indeks sprawl merupakan indikator berkurangnya open space, ukuran besar lahan
yang diambil oleh kegiatan perkotaan, perubahan proporsi lahan menjadi perkotaan dimana
dapat menunjukkan laju urbanisasi dan ukuran besarnya tekanan pembangunan wilayah.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk rekomendasi pengendalian yang dapat memberikan
masukan mengenai pengelolaan kegiatan di daerah pinggiran kota Jakarta yang lebih baik dan
membatasi pertumbuhan kegiatan yang tidak sejalan dengan tata ruang sehingga
perkembangan daerah pinggiran bisa terencana dengan baik.
4 Universitas Indonesia
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terdapat dalam wilayah administrasi kabupaten Bogor dengan
unit analisis kelurahan. Wilayah penelitian ini yaitu, (jalan raya salabenda, jalan raya parung,
dan jalan permata – gunung sindur) meliputi :
Kecamatan Kemang (kel. Atang sanjaya, kel Parakanjaya, kel. Kemang, kel Pondok
udik, kel Jampang) ,
Kecamatan Tajur Halang (kel. Tonjong, kel. Kalisuren, kel. Citayam) ,
Kecamatan Parung (kel. Jabonmekar, kel. Pamegarsari, kel. Parung, kel. Waru) ,
Kecamatan Gunung Sindur (kel. Curug, kel. Rawa kalong)
F. Batasan Penelitian
Batasan dan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang memiliki karakteristik suatu daerah yang
tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa, umumnya terletak di sepanjang koridor
antara pusat kota Koridor tersebut berlokasi di sepanjang jalur-jalur transportasi utama
(McGee dalam Koestoer (1997)),
Koridor antara pusat kota dalam penelitian ini adalah koridor yang menghubungkan kota
Bogor dengan kota Tanggerang Selatan meliputi jalan raya salabenda, jalan raya parung,
dan jalan permata – gunung sindur (terdapat dalam wilayah administrasi kabupaten
Bogor)
Urban Sprawl merupakan proses kenampakan fisik kekotaan ke arah luar dalam hal ini
adalah daerah pinggiran kota (Staley, 1999:5), sementara itu Domouchel dalam Yunus
(2000), menyatakan bahwa urban sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah
perkotaan yang menuju suatu proses tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam
di daerah pinggiran kota.
Aksesibilitas yang dimaksud ialah aksesibilitas fisikal yaitu jalan, mengukurnya dengan
menghitung kerapatan jalan, yaitu dengan membandingkan panjang jalan (m) dengan
luas wilayah (Km2).
Fasilitas pelayanan umum dalam penelitian ini adalah fasilitas seperti pusat perbelanjaan,
sekolah (SD, SLTP, SMA Sederajat), dan rumah sakit.
Kepadatan Penduduk adalah jumlah individu (jiwa) per satuan luas (Km2)
5 Universitas Indonesia
Indeks sprawl (Staley, 1999:14) merupakan indikator berkurangnya open space, ukuran
besar lahan yang diambil oleh kegiatan perkotaan, perubahan proporsi lahan menjadi
lahan perkotaan dimana dapat menunjukkan kecepatan perubahan laju urbanisasi dan
ukuran besarnya tekanan pembangunan wilayah. Perhitungan nilai indeks sprawl
dilakukan dengan membandingkan presentase laju pertumbuhan penduduk dengan
tingkat urbanisasi selama periode 2000 – 2010, tingkat unrbanisasi dilihat dari luas lahan
yang berubah menjadi penggunaan wilayah terbangun selama periode tersebut yang di
dapat dari hasil analisis citra.
Pola perkembangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sifat (merupakan
deskripsi yang menjelaskan proses perkembangan wilayah terbangun), arah (terkait
dengan gerakan perkembangan wilayah terbangun) dan bentuk (menyangkut hasil dari
perkembangan yang terjadi) dari perkembangan wilayah terbangun yang terjadi pada
daerah penelitian.
G. Metode Penelitian
Alur Pikir Penelitian
Tingginya Pertumbuhan
Penduduk Jakarta dan
meningkatnya aktivitas
perkembangan kota Jakarta
Kebutuhan Ruang Kota
Pertumbuhan fisik kekotaan
di daerah pinggiran
Gejala Urban Sprawl di
Koridor
Terdapatnya Aksesibilitas
Meningkatnya jumlah penduduk
(2000 & 2010)
Berubahnya pemanfaatan lahan
(2000 & 2010)
Pola Perkembangan daerah pinggiran kota
di Koridor
Meningkatnya fasilitas pelayanan umum
(2000 & 2010)
6 Universitas Indonesia
Meningkatnya aktifitas dan pertumbuhan penduduk di kota Jakarta menyebabkan
meningkatnya akan kebutuhan ruang kota. Kebutuhan ruang kota yang tidak bisa dipenuhi
oleh pusat kota menyebabkan merembetnya fisikal kekotaan ke daerah pinggiran. Seiring
dengan perkembangan daerah pinggiran, faktor-faktor seperti aksesibilitas, penduduk,
pemanfaatan lahan, dan fasilitas pelayanan umum juga ikut berkembang. Faktor-faktor
tersebut juga merupakan faktor penentu perkembangan suatu wilayah. Sehingga dari faktor-
faktor tersebut akan dapat terlihat pola perkembangan suatu daerah tertentu.
Jenis Penilitian
Penelitian ini merupakan penelitian nomotetik. Penelitian ini menyampaikan penjelasan
tentang perkembangan yang terjadi di daerah pinggiran DKI Jakarta dilihat dari bentuk
perubahan kedesaan menjadi kekotaan dalam kurun waktu 2000 – 2010 terkait dengan
variabel-variabel yang mempengaruhi.
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ialah faktor-faktor yang berpengaruh
dalam perkembangan kota, sebagaimana telah dikemukakan oleh Lee (1979), akan tetapi
karakteristik lahan, karakteristik pemilikan lahan dan prakarsa pengembang tidak termasuk
dalam variabel, hal ini dikarenakan hal tersebut bersifat homogen sehingga tidak relevan
apabila dimasukkan dalam penelitian. Variabel yang digunakan yaitu aksesibilitas, faktor
pelayanan umum, faktor penduduk, dan pemanfaatan lahan. Sedangkan untuk mengetahui
bagaimana perambatan kenampakan fisik kekotaan yang terjadi digunakan variabel indeks
sprawl. Indeks sprawl ini merupakan perbandingan presentase pertumbuhan wilayah urban
dengan presentase laju pertumbuhan penduduk.
Berikut variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini :
1. Faktor aksesibilitas, faktor aksesibilitas disini ialah aksesibilitas fisikal hal ini merupakan
tingkat kemudahan suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi yang lain.
Pengukuran aksesibilitas fisikal dapat dilaksanakan dengan menilai prasarana transportasi
yang ada bersama-sama dengan sarana transportasinya. Prasarana transportasi dalam hal
ini ialah jalan. Untuk mengukur tingkat aksesibilitasnya yaitu dengan menghitung
kerapatan jalan, yaitu dengan membandingkan panjang jalan (m) dengan luas wilayah
(Ha).
7 Universitas Indonesia
2. Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik tehadap penduduk dan fungsi-fungsi
kekotaan untuk datang ke arahnya. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam faktor
pelayanan umum adalah fasilitas seperti pusat perbelanjaan, sekolah, dan rumah sakit.
4. Faktor penduduk, yaitu berupa pertambahan penduduk dan kepadatan penduduk di
wilayah penelitian, merupakan indikator penilaian perkembangan suatu wilayah.
5. Indeks sprawl (Staley, 1999:14) merupakan indikator berkurangnya open space, ukuran
besar lahan yang diambil oleh kegiatan perkotaan, perubahan proporsi lahan menjadi lahan
perkotaan dimana dapat menunjukkan kecepatan perubahan laju urbanisasi dan ukuran
besarnya tekanan pembangunan wilayah. Perhitungan nilai indeks sprawl dilakukan
dengan membandingkan presentase pertumbuhan penduduk dengan tingkat urbanisasi
selama periode 2000 – 2010, tingkat unrbanisasi dilihat dari luas lahan yang berubah
menjadi penggunaan wilayah terbangun selama periode tersebut yang di dapat dari hasil
analisis citra.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai
objek kajian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan primer. Metode yang
digunakan dalam memperoleh data primer yaitu dengan melakukan observasi lapang.
Observasi lapang disertai dengan foto sebagai bukti dan data pendukung yang dapat
menguatkan atau mendetailkan suatu kejadian misalnya gambaran kejadian pada lokasi yang
memiliki tingkat indeks sprawl yang tinggi dan rendah, perubahan pemanfaatan lahan di
lokasi penelitian.
No Format Data
Mentah Sumber Data Data yang digunakan
Instansi
1 Landsat-TM Citra Landsat TM tahun 2000 dan 2010 path 122 row 64 - 65
Data Luas wilayah terbangun (tahun 2000 dan 2010)
USGS
2 Landsat-TM Citra Landsat TM tahun 2000 dan 2010 path 122 row 64 - 65
Data pemanfaatan lahan (tahun 2000 dan 2010)
USGS
3 Buku Laporan "Kecamatan dalam angka”
Kecamatan dalam angka Data Jumlah Penduduk per kelurahan
BPS Kabupaten Bogor
Indeks sprawl =
8 Universitas Indonesia
(tahun 2000 dan 2010)
4 Buku Laporan "Kecamatan dalam angka”
Kecamatan dalam angka Data Kepadatan Penduduk per kelurahan (tahun 2000 dan 2010)
BPS Kabupaten Bogor
5 Buku Laporan "Kecamatan dalam angka”
Kecamatan dalam angka Data Luas Wilayah per kelurahan
BPS Kabupaten Bogor
6 SHP Polyline Jaringan Jalan
Peta Jaringan Jalan (Skala 1:50.000)
Data Jaringan Jalan
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bogor
7 SHP Polygon Kab. Bogor
Peta Administrasi Kabupaten Bogor (Skala 1:50.000)
Data batas administrasi
Bappeda Kabupaten Bogor
8 SHP Point Sarana Pelayanan Umum
Peta Persebaran Sarana Pelayanan Umum (Skala 1:50.000)
Data Sebaran Sarana pelayanan umum
Bappeda Kabupaten Bogor
Tabel 1. Pengumpulan data Sekunder yang digunakan
Dalam penyusunan laporan ini digunakan juga studi literatur. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi secara umum mengenai bahan rujukan, referensi, dan informasi
wilayah penelitian sebelum melakukan pengamatan. Studi literatur diperoleh dari, jurnal,
buku, dan media elektronik (internet).
Pengolahan Data
Untuk mengolah data sekunder yang telah diperoleh digunakan software SIG seperti ArcView
dan ER.Mapper 7.0 serta Microsoft Office seperti excel untuk tabulasi dan kompilasi data
serta word untuk penyususnan laporan. Metode yang digunakan untuk pengolahan data peta
adalah metode overlay. Pengolahan peta kerja dan data-data yang mengalami pengolahan
akan dijelaskan sebagai berikut :
a) Peta Wilayah Penelitian
Peta Administrasi diolah dengan menggunakan software ArcView 3.3 ditampilkan dalam
bentuk poligon wilayah administrasi kemudian dicropping sesuai dengan wilayah
penelitian kemudian disesuaikan dengan batas-batas wilayah penelitian tersebut.
b) Peta Jumlah Penduduk
9 Universitas Indonesia
Peta jumlah penduduk diolah dengan menginput data jumlah penduduk yang dilihat
berdasarkan kecamatan dengan menggunakan software ArcView 3.3 yang ditampilkan
dalam bentuk diagram batang.
c) Peta Jaringan Jalan
Peta jaringan jalan diolah menggunakan software ArcView 3.3.
d) Peta persebaran sarana pelayanan umum
Peta persebaran sarana pelayanan diolah dengan menggunakan software microsoft office
excel dan software ArcView 3.3. Data persebaran sarana pelayanan umum dijadikan data
tabulasi pada software excel dan kemudian diinput kedalam software ArcView 3.3 dan
ditampilkan dalam bentuk point.
e) Peta Kepadatan Penduduk
Peta kepadatan penduduk diolah dengan menggunakan software ArcView 3.3,
sebelumnya kepadatan penduduk didapatkan dengan menghitung perbandingan jumlah
penduduk dengan luas wilayah, kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu tinggi,
sedang, dan rendah. Hasil klasifikasi tersebut ditampilkan dalam bentuk gradasi warna.
Kelas Interval :
= (kepadatan penduduk tertinggi – kepadatan penduduk rendah )
Jumlah Kelas
f) Peta Pemanfaatan Lahan
Membuat peta pemanfaatan lahan sebagaimana dengan klasifikasi pemanfaatan lahan oleh
Malingreau (1981) dengan menggunakan software ER Mapper 7 Dengan tahapan sebagai
berikut:
Import data raster, yaitu melakukan pemindahan data raster/vektor melalui
berbagai media yang akan diolah di ER Mapper.
Menampilkan citra di layar monitor dengan menggunakan ER Mapper yang
tersajikan dalam 3 color mode, yaitu Grey scale, Pseudo Colour, dan RGB
(Red-Green-Blue)
10 Universitas Indonesia
Melakukan Koreksi Radiometrik dan koreksi geometrik dengan menggunakan
polynomial geocoding type dengan menggunakan metode geocoded image,
yaitu 20 gcp untuk masing-masing tahun.
Melakukan pemotongan citra yang sudah dikoreksi dengan membuat Area of
Interest (AOI) .
Melakukan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) untuk
mendapatkan klasifikasi yang diinginkan akan disederhanakan menjadi 4 kelas
yaitu perairan, areal tertutup vegetasi, areal tak bervegetasi/tidak ditanami,
areal permukiman terbangun (built up area).
Membuat layout akhir untuk membuat peta pemanfaatan lahan di Arc View3.3.
g) Peta wilayah terbangun
Peta wilayah terbangun dibuat dari peta pemanfaatan lahan data yang diambil dari peta
ini adalah data luasan wilayah terbangun pada tahun 2000 dan 2010, sehingga terlihat
perubahan luasannya.
d) Peta Sprawl Index (Indeks Sprawl)
Untuk membuat peta Indeks Sprawl diperlukan data persentase luas areal terbangun dan
persentase pertumbuhan penduduk, kemudian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu tinggi,
sedang, rendah. Sehingga hasilnya akan ditampilkan dalam peta dalam gradasi warna.
Kelas Interval :
= (kepadatan penduduk tertinggi – kepadatan penduduk rendah )
Jumlah Kelas
Analisis Data
Dalam menjawab permasalahan penelitian ini digunakan metode analisis spasial yang
merupakan bentuk analisa data penelitian untuk menguji generalisasi hasil penelitian serta
memberikan gambaran umum untuk melihat karakteristik dari data yang diperoleh dengan
cara :
a. Melakukan analisis deskriptif dan spasial dengan membandingkan peta
pemanfaatan lahan di wilayah penelitian pada tahun 2000 dan tahun 2010 sesuai
unit analisis yang digunakan untuk mengetahui gejala sprawl di wilayah tersbut .
11 Universitas Indonesia
b. Mengidentifikasi karakteristik wilayah yang mengalami gejala sprawl dengan cara
mencari arah, jarak dan luasan (menggunakan penilaian kualitatif) dan melihat
pola yang terbentuk apakah bersifat memanjang, konsentris, atau berserakan
c. Mengetahui variable-variabel yang menjadi pemicu terjadinya gejala sprawl
dengan cara membuat korelasi antara daerah-daerah terbangun dengan fasilitas
umum, jumlah penduduk dan aksesbilitas yang terdapat pada daerah penelitian
d. Setelah itu mengetahui tingkat sprawl yang terjadi didapatkan presentase wilayah
terbangun yang kemudian akan dibandingkan dengan presentase laju pertumbuhan
penduduk di wilayah penelitian sehingga nantinya akan didapatkan nilai indeks
sprawl yang menunjukkan tingkat sprawl yang terjadi.
Analisa dalam penelitian ini diawali dengan menentukkan indeks sprawl di
wilayah penelitian yaitu dengan menganalisis pada setiap kelurahan di wilayah
penelitian. Untuk mendapatkan nilai indeks sprawl diperlukan data wilayah
terbangun dan data pertumbuhan penduduk 2000 – 2010 per kelurahan. Analisis
ini bertujuan untuk menentukan perkembangan daerah pinggiran tersebut.
e. Tingkat sprawl di wilayah penelitian akan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu tinggi,
sedang dan rendah. Klasifikasi ini bertujuan untuk menentukkan kelurahan mana
saja yang memiliki tingkat sprawl tinggi, sedang dan rendah.
f. Setelah masing-masing kelurahan memiliki indeks sprawl sebagaimana klasifikasi
yang telah dibuat, kemudian perlu dilakukan analisa lebih lanjut mengenai
pengaruh variabel terhadap perkembangan daerah pinggiran. Masing-masing peta
variabel ditampalkan dengan peta indeks sprawl yang telah dibuat. Analisis yang
dilakukan ialah melihat bagaimana pola yang terbentuk di masing-masing
kelurahan. Sehingga dengan gambaran tersebut dapat menunjukkan pola
perkembangan daerah pinggiran kota Jakarta.
Indeks sprawl =
12 Universitas Indonesia
H. Tinjauan Pustaka
Kota
Kota adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, yang sebagian lahannya
terbangun, dan perekonomiannya bersifat non pertanian. Dilihat dari aspek sosial ekonomi,
kota mempunyai ciri-ciri: (a) jumlah penduduk yang relatif besar daripada wilayah
sekitarnya, (b) mempunyai kepadatan penduduk yang relatif tinggi dibanding wilayah
sekitarnya, (c) mempunyai proporsi jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian
lebih tinggi daripada wilayah sekitarnya, (d) merupakan pusat kegiatan ekonomi yang
menghubungkan kegiatan pertanian wilayah sekitarnya dan tempat pemrosesan serta
pemasaran bahan baku bagi industri (Inmendagri No. 34 tahun 1986).
Badan Pusat Statistik (2000) dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan yang
dilakukan tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu
desa/kelurahan dikategorikan sebagai desa atau kota. Kriteria yang digunakan adalah: (1)
Kepadatan penduduk per kilometer persegi, (2) Persentase rumah tangga yang mata
pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian, (3) Persentase rumah tangga yang
memiliki telepon, (4) Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik, (5) Fasilitas
umum yang ada di desa/kelurahan.
Perkembangan Kota
Semakin bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang diawali pada meningkatnya
jumlah penduduk tersebut membuat tuntutan kehidupan masyarakat meningkat juga.
Tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat masyarakat meningkatkan frekuensi kegiatan
penduduk. Konsekuensi yang muncul ialah tuntutan akan ruang sebagai wadah untuk
melakukan aktivitas masyarakat semakin tinggi. Sementara itu kebutuhan ruang yang tidak
dapat dibangun di dalam karena keterbatasan ruang ataupun karena semakin tingginya harga
lahan, menyebabkan masyarakat mencari alternatif untuk mendapatkan kebutuhannya
sehingga mengalihkan perhatiannya di bagian daerah pinggran kota yang masih tersedia
lahan yang cukup dengan harga yang terjangkau.
Semakin banyaknya masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran kota tersebut akan
menyebabkan perubahan penggunaan tanah yang ada yang awalnya untuk pertanian berubah
menjadi non pertanian, selain itu akibat dari buruknya kontrol dari pemerintah daerah
setempat menyebabkan ruang-ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun. Hal-hal tersebut
13 Universitas Indonesia
pada akhirnya yang akan menimbulkan konsekuensi spasial sebagaimana disebutkan oleh
Yunus (2005 : 59) akan timbul konsekuensi spasial yang dapat diamati yaitu konsekuensi
keruangan secara fisikal dan konsekuensi keruangan secara yuridis-administratif.
Konsekuensi spasial secara fisikal ditinjau dari prosesnya, terdapat dua perkembangan
yaitu proses perkembangan spasial horizontal dan perkembangan spasial secara vertikal.
Proses perkembangan spasial horizontal di dalam studi kota proses ini menjadi penentu
bertambah luasnya areal kekotaan dan makin padatnya bangunan di bagian dalam kota
sehingga dapat diartikan sebagai proses penambahan ruang kekotaan secara mendatar dengan
cara menempati ruang-ruang yang kosong baik didalam kota maupun di pinggiran kota.
Perkembangan spasial horizontal terdiri dari dua proses perkembangan yaitu
sentrifugal dan sentripetal. Proses perkembangan spasial sentrifugal adalah proses
bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah
terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota.
Dalam studinya Lee (1979:1) dalam Yunus (2005 : 60) mengemukakan bahwa
terdapat 6 faktor yang mempengaruhi proses perkembangan spasial sentrifugal yaitu: faktor
akesesibilitas, faktor pelayanan umum, karaketeristik lahan, karakteristik pemilikan lahan,
keberadaan peraturan-peraturan yang mengatur tata guna lahan dan prakarsa pengembang.
Faktor aksesibilitas mempunyai peranan yang besar terhadap pemanfaatan lahan,
dalam hal ini Lee (1979) lebih menekankan pada aksesibilitas fisikal yaitu merupakan tingkat
kemudahan suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi lain. Pengukuran aksesibilitasi
dapat diukur dengan menilai sarana dan prasarana transportasi. Akibatnya adalah bahwa
daerah yang memiliki aksesibilitas tinggi akan mengalami perkembangan fisikal lebih cepat
dibandingkan dengan daerah yang memilii aksesibilitas rendah.
Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik penduduk. Faktor ini merupakan
sarana masyarakat umum untuk melakukan kegiatannya. Pembangunan kampus pendidikan
yang besar, diikuti oleh banyaknya mahasiswa yang datang, pegawai-pegawai kampus. Selain
itu pusat pelayanan umum ialah seperti halnya pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat
ibadah, tempat rekreasi dan olah raga, stasiun kereta api, halte bus, dll.
Faktor karakteristik lahan yaitu faktor-faktor fisik seperti topografi yang berpengaruh
dalam perkembangan perkotaan.
14 Universitas Indonesia
Faktor karakteristik pemilikan lahan merupakan faktor yang menentukan status
ekonomi penduduk, pemilik lahan yang mempunyai status ekonomi kuat akan berbeda
dengan pemilik lahan yang mempunyai status ekonomi rendah, hal ini dikarenakan keinginan
untuk menjual lahannya lebih tinggi penduduk yang memiliki status ekonomi rendah.
Faktor keberadaan peraturan yang mengatur tata ruang diyakini sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh. Pada daerah tertentu terdapat aturan-aturan yang membatasi
pembangunan permukiman maupun pembangunan fisik karena wilayahnya ditentukan
sebagai wilayah terbuka hijau.
Faktor prakarsa pengembang, pengembang selalu menggunakan ruang yang cukup
luas untuk membangun daerah yang akan dibangun. Pada daerah tertentu yang mungkin
sebelum dibeli oleh pengembang merupakan lahan yang bernilai ekonomis rendah, namun
setelah dibeli oleh pengembang nilai ekonomisnya naik.
Daerah Pinggiran Kota
Di sekeliling pusat kota terdapat wilayah dengan berbagai macam tata guna lahan,
teutama untuk permukiman penduduk. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
menyebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya akibatnya tuntutan akan
ruang semakin besar. Tingginya harga lahan dan semakin padatnya daerah kota
mengakibatkan pertumbuhan kota ke luar, melahirkan wilayah pinggiran kota yang dalam
geografi surburbia (bahasa latin, sub = bawah; urbis = kota).
Dalam bahasa Inggris dipakai juga fringe yang dalam bahasa Indonesia artinya
wilayah pinggiran. Sementara itu Pryor (1971) mendefinisikan daerah pinggiran sebagai
berikut:
The urban fringe is the subzone of the rural-urban fringe which is in contact and contiguous
with the central city, exhibiting a density of occupied dwellings higher than the median
density of the total rural-urban fringe, a high proportion of residential, commercial,
industrial and vacant as disticnt, land use conversion and commuting.(Pryor 1971).
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah pinggiran merupakan bagian dari
wilayah rural – urban fringe yang berbatasan langsung dengan lahan kekotaan terbangun dan
masih menyatu dengan permukiman kekotaan utama, dan menunjukkan kepadatan penduduk
permukiman yang lebih tinggi dari rerata kepadatan yang ditampilkan wilayah rural-urban
15 Universitas Indonesia
fringe sendiri, proporsi pemanfaatan lahan permukiman, komersial, industrial dan lahan
kosong yang tinggi.
Menurut McGee dalam Koestoer (1997) daerah pinggiran kota memiliki karakteristik
suatu daerah yang tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa, umumnya terletak
disepanjang koridor antara pusat kota besar. Koridor tersebut berlokasi di sepanjang jalur-
jalur transportasi utama. Sementara Russwurm dalam Yunus (2000) dikatakan bahwa daerah
yang termasuk dalam urban fringe area adalah daerah yang terletak sekitar radius 15 hingga
25 kilometer pada suatu pusat kota. Di dalam buku yang sama Bar-Gal dalam Yunus (2000)
menyatakan bahwa daerah pinggiran kota merupakan daerah yang mengalami pengaruh kuat
dari suatu kota yang ditandai dengan berbagai karakteristik seperti perubahan fisik
penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, perubahan pola orientasi
dan aktivitas penduduk
Teori Land Use Triangle: Continuum
Teori Land Use Triangle: Continuum dikemukakan oleh Hadi Sabari Yunus pada tahun 2001
setelah melakukan penelitian di Kota Yogyakarta, teori ini merupakan pengembangan dari
Teori Land Use Triangle : Discrete yang dikemukakan oleh Pryor pada tahun 1971.
Menurut Hadi Sabari Yunus (2008), wilayah pinggiran kota merupakan wilayah yang
ditandai oleh percampuran kenampakan fisik kekotaan dan kedesaan. Secara kontinum,
makin ke arah lahan kekotaan terbangun utama, makin besar proporsi lahan kekotaan dan
makin jauh dari lahan terbangun utama makin besar proporsi lahan kedesaannya. Sehingga
merupakan teori yang aplikatif untuk kota-kota di negara berkembang, khususnya untuk kota-
kota yang mempunyai peralihan gradual dari kenampakan fisik kekotaan ke penampakan
fisik kedesaan. Adanya karakteristik suatu wilayah pertanian yang subur, maka peralihan
antara kenampakan kekotaan ke kenampakan kedesaan terjadi secara gradual.
Kenampakan kekotaan ke kenampakan kedesaan yang terjadi secara gradual pada wilayah
pinggiran kota. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi,
hambatan ini dapat diatasi yaitu dengan memanfaatkan citra pengindraan jauh, baik foto
udara maupun citra satelit untuk menentukan batas terluar fisik suatu kota. (Yunus (2008 :
141).
16 Universitas Indonesia
Pada penelitian fenomena yang terjadi pada wilayah pinggiran kota sebaiknya mengambil
contoh wilayah yang jelas karakteristiknya. Menurut Yunus (2008:141) mengemukakan
bahwa berasal dari fenomena tersebut muncul ide untuk mengaplikasikan konsep core region,
yaitu dipilih pada wilayah yang karakteristik paling menonjol/paling jelas. Core region
mempunyai karakteristik wilayah yang ditandai oleh perbedaan jenis pemanfaatan lahan yang
tinggi
Pembaruan yang ditemukan oleh Yunus (2001) yaitu adanya rurban frame zone dan rural
fram zone. Model yang dikemukakan Yunus merupakan modifikasi model diagramatik yang
dikemukakan Pryor (1971). Hal ini dilakukan karena teori yang dikemukakan Pryor tidak
dapat diterapkan untuk wilayah pinggiran kota yang didalamnya terdapat peralihan yang
bersifat gradual antara kenampakan kekotaan dan kenampakan kedesaan.
LEGENDA :
GH: Zobidekot
DF: Zobikot
FG: Zobikodes
HE: Zobides
A : Persentase Jarak Kota – Desa
B : Persentase Pemanfaatan Lahan Kekotaan
C : Persentase Pemanfaatan Lahan Kedesaan
D : Batas Zona Kekotaan Terbangun
E : Baras Zona Kedesaan
Gambar 1 Model Zonifikasi WPU (Wilayah Peri Urban) Negara Berkembang atas Dasar
Bentuk Pemanfaatan Lahan (Yunus, 2001)
17 Universitas Indonesia
Dalam teori ini Yunus (2008 : 142) menemukan 4 zona yang dapat diterapkan pada kota-kota
yang sedang berkembang di Negara yang sedang berkembang, diantaranya adalah:
Zona Bingkai kota (Zobikot)
Zona ini merupakan zona yang paling dekat dan berbatasan langsung dengan lahan perkotaan
terbangun utama dan beberapa tempat bahkan menyatu dengannya dengan intensitas
bangunan yang lebih rendah. Oleh karena Zobikot berbatasan langsung dengan lahan
terbangun kota, maka pengaruh kota terlihat maksimal atas bentuk pemanfaatan lahannya
dalam artian bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian menunjukkan
intensitas paling tinggi dibandingkan dengan wilayah peri urban yang lain.
Pada zona ini kenampakan kekotaan (≥ 75%) betul-betul dominan walaupun disana sini
masih terlihat bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bebrapa pakar mengemukakan bahwa sudah
banyak lahan yang dimiliki oleh orang kota walaupun bentuk pemanfaatan lahannya masih
bersifat agraris. Pemanfaatan lahan agraris pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik lama
atau penduduk sekitar lahan tersebut yang masih berprofesi sebagai petani.
Pada zona ini terdapat dua gejala yang tidak sejalan dengan dimensi de facto dan de jure,
yaitu terdapatnya persil-persil lahan yang secara de jure merupakan masih bentuk
pemanfaatan lahan non-pertanian, dan gejala kedua adalah terdapatnya persil-persil lahan
yang secara de facto masih merupakan brntuk pemanfaatan lahan agraris, namun secara de
jure sudah berubah fungsi menjadi lahan non-agraris.
Gejala pertama pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik yang memandang bahwa
mendirikan bangunan-bangunan tertentu pada miliknya tidak perlu mengubah status bentuk
pemanfaatn lahan. Hal ini dapat terjadi karena ada 3 indikasi yaitu, pemilik memang tidak
tahu kalau ada peraturan seperti itu; pemilik tahu tetapi tidak tahu cara mengurusnya; pemilik
tahu namun tidak mau mengurusnya.
Gejala kedua mulai marak terjadi pada zona ini karena meningkatnya transaksi jual-beli
lahan. Sebagaiman yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa daerah pinggiran kota,
khususnya lokasi yang tidak jauh dari kota sangat menarik para pendatang-pendatang baru
baik perorangan maupun institusi untuk memiliki lahan di zona ini.
18 Universitas Indonesia
Zona Bingkai Kota-Desa (zobikodes)
Kota didahulukan dengan maksud untuk menunjukkan bahwa antara kenampakan perkotaan
masih lebih banyak dibandingkan dengan kenampakan kedesaan. Pada zona ini proporsi
kenampakan perkotaan dan kedesaan relative seimbang dengan selisih yang tidak begitu
substansial sebagaimana dalam zobikot. Kenampakan kekotaan yang di tunjukkan oleh
bentuk pemanfaatan lahan non-agraris berada dalam kisaran sama atau lebih dari 50% namun
sama atau kurang dari 75%. Sementara kenampakan kedesaan berkisar antara sama atau lebih
dari 25% namun sama atau kurang dari 50%.
Zona Bingkai Desa-Kota (Zobidekot)
Dalam zona ini juga menunjukan perimbangan proporsi antara bentuk pemanfaatan lahan
agraris dan non-agraris yang nyaris sama. Jika dalam zobikodes proporsi kenampakan bentuk
pemanfaatn lahan non-agraris lebih banyak, maka dalam zona ini proporsi kenampakan
bentuk pemanfaatan lahan agraris lebih banyak walaupun perbedaannya tidak mencolok.
Proporsi kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris berkisar antara lebih dari 50%
sampai kurang dari 75% sedangkan untuk kenampakan bentuk pemanfaatan lahan perkotaan
lebih dari 25% sampai kurang dari 50%.
Zona Bingkai Desa (Zobides)
Zona ini adalah zona yang berbatasan langsung dengan zona kedesaan. Batas terluar dari
zona ini ditandai oleh 100% kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Sementara itu
rentang proporsi bentuk kenampakan lahannya adalah sama atau lebih 75% lahan agraris
sampai dengan sama atau kurang dari 25% bentuk pemnfaatn lahan non-agraris. Dalam zona
ini kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris betul-betul mendominasi secara mencolok.
Konsep Pengembangan Koridor
Di Belanda, pada akhir 1990an konsep pengembangan koridor menjadi salah satu konsep
yang terkemuka dalam perencanaan tata ruang. Di dalam diskusi dan dokumen awal
perencanaan pembangunan nasional, pengembangan koridor (tata ruang dan perkembangan
kota sepanjang garis dan simpul utama infrastruktur dalam jaringan perkotaan multipolar)
dianggap sebagai bentuk yang tak terelakkan dari pembangunan spasial dan sebagai bagian
dari pengembangan jaringan perkotaan.
19 Universitas Indonesia
Konsep pengembangan koridor tidak hanya terdapat di Belanda. Di Eropa sebagai contoh
Inggris dan Jerman mengetahui bentuk-bentuk dari perencanaan pengembangan koridor
sebagai bagian dari strategi rencana tata ruang.
Di Inggris koridor yang terkenal adalah koridor M4 berada diantara London dan Bristol. Hal
ini merupakan koridor yang tidak terencana dengan konsentrasi pabrik-pabrik yang terfokus
pada mikroelektronik, pelayanan komersial dan industri lainnya. Koridor ini dipelajari pada
tahun 1980an (oleh P. Hall, 1987) karena pada waktu itu koridor tersebut memnghasilkan
pertumbuhan ekonomi sementara sebagian daerah Inggris terkena resesi. Pembangunan dan
perbaikan jalan raya M4 dan koneksi kereta berkecepatan tinggi dengan London memenuhi
permintaan untuk mobilitas di koridor mengakibatkan intensifnya koridor.
Sementara itu di Jerman pembangunan koridor adalah instrumen yang dikenal dalam
perencanaan tata ruang; terutama pada tingkat kabupaten (länder). Sebagai contoh ialah
perencanaan tata ruang di Hessen, termasuk daerah utama Franfurt Rhein. Peta morfologi
dalam periode yang berbeda dalam pengembangan daaerah utama Frankfurt Rhein
menunjukkan intensifnya aktifitas perkotaan dan pengembangan ekonomi di sepanjang zona
garis Timur – Barat yang berorientasi infrastruktur (sungai, rel kereta dan jalan tol) dan di
sepanjang arah menuju selatan. Intensifnya koridor dimulai dengan industrialisasi di daerah
dan akibat adanya pembangunan pertama rel kereta api.
Tiga perancang keruangan dan peneliti; George R. Collins (seni dan arsitektur sejarah), C.F.J
Whebell (geographer) dan C. Doxadis (arsiitek dan urban designer), mereka semua aktif
terlibat dalam diskusi dalam pengembangan koridor selama 1960an. Masing-masing dari
mereka telah mempublikasikan penelitiannya dari berbagai sudut pandang dan disiplin ilmu
yang berbeda, pada subyek pembangunan koridor dan memiliki hubungan terkait untuk
konsep dan rancangan untuk kota-kota linear.
George R. Collins (sejarawan arsitektural)
Mendefinisikan konsep dari “linear city” dan “koridor” sebagai berikut: “Kota linear adalah
satu dari bentuk, dan perkembangan kota disepanjang garis. Garis ini merupakan jalur
transpurtasi arteri untuk penduduk, barang, dan jasa. Sebuah kota semacam ini bisa tumbuh
bebas – tak terbatas – dengan penambahan karakter berulang-ulang. Sistem peredaran
internalnya dirancang dengan tingkat efisiensi yang tinggi, memudahkan akesesibilitas satu
sama lain. (Collins, Linear Planning, hal.2).
20 Universitas Indonesia
Meskipun perencanaan linear kota tidak pernah populer dikalangan perencana-perencana
profesional, hal ini cukup paradoks, telah menjadi suatu pola yang alami dari pertumbuhan
daerah perkotaan. (Collins, 1960, hal 345).
C.FJ. Whebell (geograf)
Dalam artikelnya, Whebell terutama berfokus pada aset-aset geografi dan kekuatan-kekuaan
ekonomi yang mengakibatkan pengembangan koridor dan kurang menekankan pada aspek-
aspek perencanaan yang sebenarnya. Teori koridor Whebell menjelaskan evolusi sistem
perkembangan kota diantara lokasi, geologi, ekonomi, infrastruktur, budaya, dan akumulasi
kesejahteraan masyarakat yang terjadi secara sukses di lokasi koridor.
Di dalam teorinya Whebell melekatkan perbedaan lokasional yang muncul dalam tiga dali.
Dalil ini didasarkan pada (1) perbedaan geografis dalam:kenampakan fisik: dan :faktor-faktor
produksi tanah: atau dengan kata lain perbedaan daya taruk untuk permukiman, (2) perbedaan
geografis dalam keadaan teknologi, dan (3) pengembangan manusia, berdasarkan trial and
error mengikuti usaha yang dilakukan manusia tersebut. Dari dalil tersebut dia menjelaskan
bahwa beberapa lokasi yang berlaku sebagai lokasi permukiman, bahwa pergerakan dan
perkembangan spasial antara permukiman akan mengikuti rute paling nyaman (cepat) dan
pengetahuan (teknologi) dan perdagangan akan menyebar pada rute ini. (Whebell, 1969, hal
2)
C. Doxiadis (arsitek dan ahli perkotaan)
Ketika manusia mulai menggunakan transportasi mekanis, kecepatan pejalan kaki berubah
menjadi dua kalinya, tiga, dan empat” Dari sini berarti bahwa, dimana di masa lalu ada
tempat pemukiman terisolasi, sekarang ada sistem yang kompleks dari transportasi yang
mengarah ke pemukiman perkotaan yang sangat kompleks...” (Doxiadis, 1963, vol 3, hal,
117). Dari kutipan tersebut diasumsikan bahwa perkembangan kota seiring dengan
perkembangan transportasi dan koridor sebagai medianya.
Doxiadis membedakan tiga kekuatan utama pembentuk sistem perkotaan yang dinamis:
a. Kekuatan sentripetal dari permukiman
b. Kekuatan Linear sistem transportasi modern,
c. Kekuatan Estetika dari daya tarik lokasi.
21 Universitas Indonesia
Dalam kesempatan lain McGee mengungkapkan konsep wilayah koridor, wilayah koridor
adalah suatu jalur yang menghubungkan dua kota besar. Dalam konsepnya daerah di antara
dua kota besar di luar wilayah peri-urban merupakan wilayah yang didominasi oleh kegiatan
campuran antara kegiatan pertanian dan nonpertanian. Sementara itu, sepanjang jalan yang
menghubungkan kota besar tidak teridentifikasi sebagai daerah yang sudah berkembang
secara fisikal morfologi. Oleh karena pada perkembangan selanjutnya, daerah sepanjang jalur
transportasi (koridor) mengalami transformasi spasial, ekonomi, sosial, dan kultural maka
terjadi perubahan dari sifat kedesaan menjadi bersifat kekotaan di sepanjang jalur transportasi
darat bukan kereta api antara keduanya. Makin padat jaringan jalan darat terdapat di suatu
wilayah, maka makin tinggi derajad aksesibilitas wilayahnya. Semakin jauh jaraknya dari
jalur jalan raya utama makin lemah pula intensitas perkembangan wilayah.
Urban Sprawl
Meningkatnya penduduk perkotaan menyebabkan meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup
dalam berbagai aspek. Penduduk membutuhkan ruang untuk melakukan segala kegiatannya,
ketersediaan ruang yang terbatas di perkotaan menyebabkan meluasnya penggunaan ruang di
daerah pinggiran kota. Gejala pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan
urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai “invasion”. Sementara itu proses perambatan
kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl”
Menurut Northam (1975) dalam Yunus (1999), Urban sprawl mengacu pada perluasan
konsentrasi areal perkotaan ke luar. Urban sprawl melibatkan konversi lahan pinggiran dari
yang sebelumnya digunakan sebagai keperluan non urban menjadi penggunaan untuk
perkotaan. Sedangkan Domochel (1976) dalam Yunus (1999) menyatakan bahwa urbans
sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah perkotaan yang menuju suatu proses
tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam di daerah pinggiran kota.
Robert W Wassmer (2000) menyatakan bahwa urban sprawl merupakan kata lain dari
beberapa tipe desentralisasi atau suburbanisasi dari metropolitan. Suburbanisasi terjadi ketika
presentase area permukiman dan aktivasi perdagangan mengambil tempat di luar pusat kota.
Proses gejala urban sprawl yang tidak terkendali akan menyebabkan dampak negatif bagi
fungsi kota secara keseluruhan dan daearah-daerah disekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya
pengaturan gejala urban sprawl sedini mungkin. Secara garis besar ada 3 macam proses
perluasan areal kekotaan (urban sprawl) (Yunus, 2009 : 37), yaitu:
22 Universitas Indonesia
1. Perambatan konsentris, tipe ini adalah bentuk perubahan kenampakan kedesaan
menjadi kenampakan kekotaan yang sebaran spasialnya berada di sekitar lahan
terbangun utama dan merata. Proses ini akan mengakibatkan terciptanya kota
yang kompak, namun dengan proses perkembangan spasial yang relatif lambat.
2. Perkembangan memita adalah bentuk perubahan kenampakan kedesaan menjadi
kekotaan dalam artian fisik, di mana perubahan tersebut terjadi di sepanjang jalur-
jalur linier, baik jalur-jalur radial maupun jalur-jalur lainnya. Peranan transportasi
menjadi faktor determinan yang menyebabkan terjadinya perubahan kenampakan
fisikal kedesaan menjadi kenmapakan fisikal kekotaan. Apabila proses perubahan
kenampakan tersebut didominasi perubahan yang terjadi pada jalur-jalur radial,
maka akan terbentuk kota berbentuk bintang atau gurita.
3. Perkembangan lompat katak merupakan bentuk urbanisasi fisiko spasial yang
terjadi didaerah pinggiran kota secara sporadis dalam satuan lahan yang
bervariasi. Beberapa perubahan berukuran kecil terjadi karena dilaksanakan oleh
perorangan secara individual, namun beberapa bentuk lainnya meliputi lahan yang
luas karena dibangun oleh pengembang, baik berwujud kompleks perumahan
ataupun nonperumahan.
Menurut Dr. Sonar Sanjaykumar G (2008) terdapat beberapa parameter atas
terjadinya Urban Sprawl :
1. Penduduk
Penduduk bertindak sebagai dasar bagi keberadaan setiap sistem perkotaan. Setiap
perubahan dalam populasi secara langsung mempengaruhi kinerja dari sistem
perkotaan. Kenaikan populasi karena pertumbuhan alami, yaitu selisih antara angka
kelahiran dan tingkat kematian serta migrasi, yaitu, perbedaan antara migrasi masuk
dan migrasi keluar menyebabkan tingkat variasi dalam kinerja sistem perkotaan dan
menjadi pemicu urban sprawl apabila tidak ditangani dengan benar.
2. Konektivitas
Konektivitas menyediakan hubungan penting untuk aktivitas manusia baik dalam
bentuk nyata maupun tidak yang ada di dalam dan di luar sistem perkotaan. Setiap
perubahan konektivitas pada tingkat antar dan intra kota pada tingkat kemakmuran
ekonomi digabungkan dengan kemajuan teknologi menyebabkan penyebaran susunan
23 Universitas Indonesia
penduduk dan fungsi di dalam dan di luar sistem perkotaan. Hal ini apabila tidak
ditangani dengan benar dapan menjadi pemicu terjadinya sprawl.
3. Fungsi
Fungsi bertindak sebagai salah satu entitas dinamis paling penting dalam sistem
perkotaan, terdiri dari berbagai jenis fungsi, seperti sosial, ekonomi, dll. Setiap
perubahan fungsi, dalam hal skala atau adanya penambahan perubahan didalamnya
dapat mempengaruhi kinerja sistem perkotaan dengan menarik penduduk lebih
mengarah ke urban sprawl jika tidak ditangani dengan benar.
Penelitian Sebelumnya
Sebelum penelitian ini dapat dilakukan, terdapat beberapa penlitian sebelumnya yang
mengkaji daerah pinggiran kota yang dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian ini,
antara lain penelitian berupa tugas akhir (skripsi) Noni Huriati (2008) yang berjudul
Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta tahun 1992 – 2006, mengkaji tentang
perkembangan kota yang bersifat kepada proses perkembangan spasial secara horizontal
sentrifugal di kota Yogyakarta. Metode penelitiannya berupa analisis deskriptif dengan urban
indeks yang didapat dari perhitungan citra.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan permukiman mengikuti jalur
transportasi dengan membentuk suatu kota yang tidak kompak. Sedangkan diantara variabel
yang digunakan yang memepengaruhi perkembangan kota ialah adanya pusat-pusat kegiatan
masyarakat.
Agus Warsono (2006) juga meneliti daerah pinggiran kota dengan judul tesis
Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada Koridor Jalan Kaliurang Kecamatan
Ngaglik Kabupaten Sleman. Mengkaji tentang karakteristik perkembangan kelompok-
kelompok permukiman pinggiran kota pada Jalan Kaliurang di Desa Sinduharjo dan Desa
Sardonoharjo Kecmatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Menggunakan pendekatan melalui
analisis kualitatif, analisis kuantitatif, dan analisis model tabel distribusi analisis diskriminan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Adanya perkembangan permukiman
pinggiran kota tercermin pada kenampakan keruangan lingkungan perumahan menurut
karakteristik tipologi perkembangan kelompok-kelompok permukiman, baik yang teratur
maupun yang tidak teratur. Faktor-faktor kenampakan keruangan pinggiran kota sebagai
bentuk perkembangan permukiman pinggiran kota secara fisik yang paling mempengaruhi
24 Universitas Indonesia
tipologi perkembangan kelompok permukiman yakni: faktor pertumbuhan penduduk
(population growth), dan faktor hak-hak kepemilikan lahan (property rights), selain itu
adalah faktor persaingan memperoleh lahan (competition for land).
Suryo Wicaksono (2005) juga meneliti tentang perkembangan DPU di Kecamatan
Ciputat dan Kecamatan Pamulang antara tahun 1991 – 1998 dalam hubungannya dengan
perkembangan aksesibilitas dan permukiman. Menggunakan metode penelitian deskriptif,
dalam penelitiannya hal ini ditujukan untuk menggambarkan perkembangan DPU
berdasarkan fakta yang ada wilayah penelitian dengan mencari hubungan antara
perkembangan DPU dengan perkembangan aksesibilitas (fungsi jalan) dan perkembangan
permukiman. Data perkembangan kepadatan penduduk merupakan data penunjang yang
memberikan informasi untuk menjelaskan bahwa perkembangan DPU dipengaruhi oleh
faktor kepadatan penduduk.
Hasil Penelitiannya menunjukkan bahwa DPU pasar Ciputat berkembang dari sebuah
neighborhood center menjadi block center, sementara DPU Pamulang Permai dan DPU Jl.
Ciputat Raya tidak berkembang dari neighborhood center menjadi block center pada periode
tahun 1991 – 1998. Selama periode tersebut, perkembangan DPU pada daerah penelitian
pertama-tama berkembang ke arah selatan (tahun 1992) baru kemudian ke arah timur (1994).
Perkembangan DPU pada daerah penelitian terjadi pada aksesibilitas yang berupa jalan utama
dan seiring dengan perkembangan permukiman penduduk.
Aji M Darda (2009) juga meneliti tentang karakteristik dan pola permukiman di Kec.
Pamulang dan Kec. Ciputat yang mengalami gejala densifikasi. Dalam penelitiannya peneliti
melakukan korelasi dan analisis deskriptif dan spasial dengan membandingkan peta
permukiman (permukiman teratur dan permukiman tidak teratur) di Kec. Ciputat dan Kec.
Pamulang pada tahun 1991,1998 dan tahun 2007 untuk mengetahui gejala densifikasi di dua
kecamatan tersebut. Mengidentifikasi karakteristik permukiman yang mengalami gejala
densifikasi dengan cara mencari arah, jarak dan luasan (menggunakan penilaian kualitatif)
dengan membandingkan gejala-gejala tersebut dengan tahun-tahun sebelumnya yang terjadi
terhadap kota induk (Kota Jakarta). Mengetahui variable-variabel yang menjadi pemicu
(trigger) terjadinya gejala densifikasi dengan cara membuat korelasi antara daerah-daerah
permukiman dengan fasilitas umum, harga tanah, jumlah penduduk dan aksesbilitas yang
terdapat pada daerah penelitian
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan permukiman teratur dan tidak
teratur terjadi secara pesat pada periode pertama atau pada kurun waktu 1991-1998 dengan
karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan dalam kurun waktu tersebut pada
25 Universitas Indonesia
sebagian besar daerah penelitian memiliki klasifikasi harga tanah yang juga berbeda-beda.
Selain itu pada kurun waktu 1991-1998 juga terjadi perubahan beberapa fungsi jalan di
kedua wilayah kecamatan tersebut. Lokasi permukiman yang mengalami gejala densifikasi
terbesar berada pada wilayah yang mendekati DKI Jakarta. Sementara itu permukiman yang
mengalami gejala densifikasi pada wilayah yang menjauhi Kota Jakarta gejalanya tidak
dipengaruhi oleh jalan utama yang berada di wilayah tersebut namun lebih dipengaruhi oleh
variabel harga tanah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya ialah pada
penggunaan konsep wilayah koridor sebagai zona analisis. Kemudian untuk mengetahui
seberapa jauh perkembangan daerah pinggiran digunakan indeks sprawl sebagai parameter
untuk melihat tingkat sprawl yang terjadi di wilayah penelitian.
26 Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
C.F.J. Whebell, “Corridors: A Theory Of Urban Systems”, ANNALS of the Association of
American Geographers, Volume 59. March 1969.
Collins, G.R. Cities on the Line. Architectural Review. Vol. 128. November. 1960.
Darda, Aji M. Skripsi Sarjana Departemen Geografi: Karakteristik dan pola-pola
permukiman di Kec. Pamulang dan Kec. Ciputat yang mengalami gejala
densifikasi. Depok: Universitas Indonesia. 2009
Djaljoeni, N. “Geografi Kota dan Desa”, Penerbit P.T. ALUMNI, Bandung, 2003
Doxiadis, C.A. Architecture in transition, Hutchinson, London. 1963
Heriyanto, “Tipologi dan Faktor Determinan Pemekaran Pinggiran Kota Semarang, tahun
1980 – 2000” Tesis. Yogyakarta: Program Studi Geografi, Sekolah Paska Sarjana
UGM. 2000.
http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jabar/3201.pdf
Huriati, Noni. Skripsi Sarjana Departemen Geografi: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota
Yogyakarta Tahun 1992-2006. Depok: Universitas Indonesia. 2008.
Koestoer, R. H. Perspektif Lingkungan Desa-Kota, Teori dan Kasus. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta hal. 177. 1997.
Lee, Linda. “Factors Affecting Land Use Change at The Urban Rural Fringe”. In Growth and
Change: A Journal of Regional Development, Vol. X, October. 1979
R, Pryor.“Defining the Rural Urban fringe” in Larry S. Bourne (ed.) The Internal Structure of
the city: Readings on Space and Environtment. Oxford: Oxford University Press.
1971
Sanjaykumar, G Sonar. “Urban Sprawl A System Dynamic Approach”, 44th ISOCARP
Congress. 2008
Staley, Samuel R. "The Sprawling of America: In Defense of the Dynamic City," Policy
Study No. 251, Reason Public Policy Institute, 1999
Wassmer, Robert.W. “ Urban Sprawl in US Metropolitan Area : ways to measure and
comparison of the Sacramento area to similar metropolitan areas in California and
the US. SSRN. 2000
Wicaksono, Suryo. Skripsi Sarjana Departemen Geografi: Perkembangan DPU terhadap
permukiman di Kec. Ciputat dan Kec. Pamulang 1991-1998. Depok: Universitas
Indonesia. 2005.
Yunus, H.S. “Struktur Tata Ruang Kota”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1999
27 Universitas Indonesia
Yunus, H.S. “Manajemen Kota Perspektif Spasial”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2005
Yunus, H.S. “Megapolitan konsep, probelmatika dan prospek” Penerbit pustaka pelajar, 2006
Yunus, H.S. “Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota”, Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2008