67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

27
1 Universitas Indonesia M. Aftaf. M (0706265610) PROPOSAL PENELITIAN Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Jakarta (Studi Kasus : Koridor jalan raya salabenda, jalan raya parung, dan jalan permata gunung sindur) A. Latar Belakang Perencana dan pengelola perkotaan di negara berkembang dewasa ini menghadapi tantangan yang berat. Penduduk perkotaan dunia tumbuh menghadapi tantangan yang berat. Penduduk perkotaan dunia tumbuh pada tingkat yang fenomenal: Pada beberapa kota lebih dari seperempat juta jiwa bertambah setiap tahunnya, melebihi usaha yang dilakukan untuk peningkatan fasilitas perkotaan. Sementara kota-kota yang telah tumbuh besar pada waktu sebelumnya terus menerus meluas tanpa adanya limitasi. Meluasnya kota-kota besar tersebut mendorong tumbuhnya daerah pinggiran sebagai gejala yang diakibatkan karena adanya proses suburbanisasi penduduk dari kota induk ke daerah pinggiran sehingga penduduk harus bekerja dan mengonsumsi fasilitas di kota induknya. Kota induk yang sudah semakin padat, meningkatnya harga lahan, dan memiliki tingkat polusi yang tinggi mendorong masyarakat memilih untuk tinggal di daerah pinggiran yang dinilai lebih nyaman, sebagaimana pendapat Hammond dalam Djaljoeni (1992) bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan daerah pinggiran kota seperti; tersedianya fasilitas pelayanan transportasi yang memadai, meningkatnya taraf hidup masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat lebih mendapatkan rumah yang layak, perpindahan dari pusat kota dan masuknya penduduk baru dari pedesaan, dan dorongan hakikat manusia memperoleh kenyamanan. Demikian pula dengan laju pertumbuhan penduduk Jakarta, BPS menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1980 1990 memiliki pertumbuhan penduduk (2,42%), sedangkan wilayah BOTABEK pertumbuhannya sebesar 6,16%, namun pada kurun waktu 1990 2000 laju pertumbuhan penduduk di Jakarta turun menjadi 0,16% per tahun, pada kurun waktu 2000 2010 laju pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai 1,40% per tahun, sebaliknya laju pertumbuhan penduduk di wilayah BOTABEK tetap tinggi. Seperti halnya Kabupaten Bogor, berdasarkan hasil survey penduduk 2010 kabupaten Bogor berpenduduk 4.770.744

Transcript of 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

Page 1: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

1 Universitas Indonesia

M. Aftaf. M (0706265610)

PROPOSAL PENELITIAN

Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Jakarta

(Studi Kasus : Koridor jalan raya salabenda, jalan raya parung, dan jalan permata – gunung

sindur)

A. Latar Belakang

Perencana dan pengelola perkotaan di negara berkembang dewasa ini menghadapi

tantangan yang berat. Penduduk perkotaan dunia tumbuh menghadapi tantangan yang berat.

Penduduk perkotaan dunia tumbuh pada tingkat yang fenomenal: Pada beberapa kota lebih

dari seperempat juta jiwa bertambah setiap tahunnya, melebihi usaha yang dilakukan untuk

peningkatan fasilitas perkotaan. Sementara kota-kota yang telah tumbuh besar pada waktu

sebelumnya terus menerus meluas tanpa adanya limitasi. Meluasnya kota-kota besar tersebut

mendorong tumbuhnya daerah pinggiran sebagai gejala yang diakibatkan karena adanya

proses suburbanisasi penduduk dari kota induk ke daerah pinggiran sehingga penduduk harus

bekerja dan mengonsumsi fasilitas di kota induknya.

Kota induk yang sudah semakin padat, meningkatnya harga lahan, dan memiliki

tingkat polusi yang tinggi mendorong masyarakat memilih untuk tinggal di daerah pinggiran

yang dinilai lebih nyaman, sebagaimana pendapat Hammond dalam Djaljoeni (1992) bahwa

terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan daerah pinggiran kota seperti;

tersedianya fasilitas pelayanan transportasi yang memadai, meningkatnya taraf hidup

masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat lebih mendapatkan rumah yang layak,

perpindahan dari pusat kota dan masuknya penduduk baru dari pedesaan, dan dorongan

hakikat manusia memperoleh kenyamanan.

Demikian pula dengan laju pertumbuhan penduduk Jakarta, BPS menyebutkan bahwa

dalam kurun waktu 1980 – 1990 memiliki pertumbuhan penduduk (2,42%), sedangkan

wilayah BOTABEK pertumbuhannya sebesar 6,16%, namun pada kurun waktu 1990 – 2000

laju pertumbuhan penduduk di Jakarta turun menjadi 0,16% per tahun, pada kurun waktu

2000 – 2010 laju pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai 1,40% per tahun, sebaliknya laju

pertumbuhan penduduk di wilayah BOTABEK tetap tinggi. Seperti halnya Kabupaten

Bogor, berdasarkan hasil survey penduduk 2010 kabupaten Bogor berpenduduk 4.770.744

Page 2: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

2 Universitas Indonesia

jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Bogor sebesar 3,16% per tahun. Hal

ini menunjukkan bahwa pengembangan kota telah mengarah ke daerah pinggiran

(suburbanisasi) dimana memicu perambatan kenampakan fisik kota ke arah luar atau yang

disebut “úrban sprawl”.

Perkembangan kota tersebut mengarah kepada proses perkembangan spasial secara

horizontal sentrifugal yaitu bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari

daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota

(Yunus 2005). Dalam proses perkembangannya tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor

yang mempengaruhinya sebagaimana dikemukakan oleh Lee (1979) dalam Yunus (2005 :

60) dalam studinya bahwa terdapat 6 faktor yang mempunyai pengaruh kuat terhadap

perkembangan ruangan sentrifugal horizontal ini; faktor aksesibilitas, faktor pelayanan

umum, karakteristik lahan, karakteristik pemilikan lahan, keberadaan peraturan-peraturan

pemerintah, dan prakarsa pengembang. Sementara itu identifikasi faktor determinan yang

dilaksanakan di Indonesia khususnya di kota Semarang menunjukkan adanya faktor

pertambahan penduduk sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan pinggiran

(Heriyanto, 2000).

Bertambahnya ruang kekotaan tersebut tidak terlepas dari aksesibilitas sebagaimana

yang dikemukakan oleh Lee di atas, dalam kesempatan lain Babcock (1932) dalam Yunus

(1999 : 42) dalam teorinya yang dikenal sebagai teori poros menjabarkan bahwa daerah yang

dilalui transportasi akan mempunyai perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang

tidak dilalui jalur-jalur transportasi, sepanjang rute transportasi akan memiliki mobilitas yang

tinggi. Dengan jarak yang jauh dari pusat kota, namun memiliki aksesibilitas yang tinggi

akan sama “time-cost” yang dibutuhkan oleh daerah yang memiliki jarak yang dekat namun

aksesibilitasnya rendah. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan wilayah perkotaan tidak

bisa terlepas dari kemudahan untuk mencapai suatu tempat (aksesibilitas).

Selanjutnya Whebell seorang ahli geografi Amerika dalam jurnalnya “corridors : a

theory of urban systems” menyatakan bahwa dalam setiap tahap perkembangan dari pusat ke

koridor kota, perubahan dalam sistem ekonomi muncul pertama kali di koridor dan menyebar

ke arah luar. Di dalam jurnal yang sama Christaller (1966 : 74) mengatakan bahwa sebaran

pusat-pusat keramaian yang paling menguntungkan ialah ketika terletak diantara satu lalu

lintas diantara dua kota, rute ini akan terbangun dengan cepat dengan harga yang murah.

Melihat bahwa wilayah penelitian memiliki ciri-ciri diatas dan faktor-faktor yang menunjang

Page 3: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

3 Universitas Indonesia

perkembangan suatu wilayah, menarik sekali untuk mengkaji wilayah tersebut melalui

pendekatan-pendekatan di atas.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan penggunaan tanah di pusat kota yang sudah semakin padat dan terus

berkembang tidak terkendali menyebabkan kenampakan fisik kekotaan menyebar tidak

merata (urban sprawl) di pinggiran kota Jakarta. Penyebaran kenampakan fisik kekotaan ke

arah luar kota ini mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan yang ada di daerah pinggiran

kota. Kenampakan fisik kekotaan di daerah pinggiran terlihat di daerah koridor penghubung

dua kota yang memiliki aksesibilitas tinggi, tersedianya fasilitas pelayanan umum, dan

kepadatan penduduk yang tinggi.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka pertanyaan penelitian yang diangkat dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana pola perkembangan daerah pinggiran Kota Jakarta dilihat dari indeks

sprawl (tahun 2000 - 2010) ?

2. Bagaimana pengaruh aksesibilitas, kepadatan penduduk, dan fasilitas pelayanan

umum terhadap perkembangan daerah pinggiran Kota Jakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan yang terjadi di daerah

pinggiran Kota Jakarta dan variabel yang mempengaruhinya di wilayah koridor pada periode

2000 – 2010. Daerah pinggiran tersebut telah mengalami perambatan kenampakan fisik kota

ke arah luar (urban sprawl). Untuk melihat sejauh mana fenomena perkembangan sprawl

yang terjadi di koridor dapat menggunakan indeks sprawl. Berasumsi pada Staley (1999:14)

bahwa indeks sprawl merupakan indikator berkurangnya open space, ukuran besar lahan

yang diambil oleh kegiatan perkotaan, perubahan proporsi lahan menjadi perkotaan dimana

dapat menunjukkan laju urbanisasi dan ukuran besarnya tekanan pembangunan wilayah.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk rekomendasi pengendalian yang dapat memberikan

masukan mengenai pengelolaan kegiatan di daerah pinggiran kota Jakarta yang lebih baik dan

membatasi pertumbuhan kegiatan yang tidak sejalan dengan tata ruang sehingga

perkembangan daerah pinggiran bisa terencana dengan baik.

Page 4: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

4 Universitas Indonesia

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini terdapat dalam wilayah administrasi kabupaten Bogor dengan

unit analisis kelurahan. Wilayah penelitian ini yaitu, (jalan raya salabenda, jalan raya parung,

dan jalan permata – gunung sindur) meliputi :

Kecamatan Kemang (kel. Atang sanjaya, kel Parakanjaya, kel. Kemang, kel Pondok

udik, kel Jampang) ,

Kecamatan Tajur Halang (kel. Tonjong, kel. Kalisuren, kel. Citayam) ,

Kecamatan Parung (kel. Jabonmekar, kel. Pamegarsari, kel. Parung, kel. Waru) ,

Kecamatan Gunung Sindur (kel. Curug, kel. Rawa kalong)

F. Batasan Penelitian

Batasan dan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut:

Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang memiliki karakteristik suatu daerah yang

tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa, umumnya terletak di sepanjang koridor

antara pusat kota Koridor tersebut berlokasi di sepanjang jalur-jalur transportasi utama

(McGee dalam Koestoer (1997)),

Koridor antara pusat kota dalam penelitian ini adalah koridor yang menghubungkan kota

Bogor dengan kota Tanggerang Selatan meliputi jalan raya salabenda, jalan raya parung,

dan jalan permata – gunung sindur (terdapat dalam wilayah administrasi kabupaten

Bogor)

Urban Sprawl merupakan proses kenampakan fisik kekotaan ke arah luar dalam hal ini

adalah daerah pinggiran kota (Staley, 1999:5), sementara itu Domouchel dalam Yunus

(2000), menyatakan bahwa urban sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah

perkotaan yang menuju suatu proses tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam

di daerah pinggiran kota.

Aksesibilitas yang dimaksud ialah aksesibilitas fisikal yaitu jalan, mengukurnya dengan

menghitung kerapatan jalan, yaitu dengan membandingkan panjang jalan (m) dengan

luas wilayah (Km2).

Fasilitas pelayanan umum dalam penelitian ini adalah fasilitas seperti pusat perbelanjaan,

sekolah (SD, SLTP, SMA Sederajat), dan rumah sakit.

Kepadatan Penduduk adalah jumlah individu (jiwa) per satuan luas (Km2)

Page 5: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

5 Universitas Indonesia

Indeks sprawl (Staley, 1999:14) merupakan indikator berkurangnya open space, ukuran

besar lahan yang diambil oleh kegiatan perkotaan, perubahan proporsi lahan menjadi

lahan perkotaan dimana dapat menunjukkan kecepatan perubahan laju urbanisasi dan

ukuran besarnya tekanan pembangunan wilayah. Perhitungan nilai indeks sprawl

dilakukan dengan membandingkan presentase laju pertumbuhan penduduk dengan

tingkat urbanisasi selama periode 2000 – 2010, tingkat unrbanisasi dilihat dari luas lahan

yang berubah menjadi penggunaan wilayah terbangun selama periode tersebut yang di

dapat dari hasil analisis citra.

Pola perkembangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sifat (merupakan

deskripsi yang menjelaskan proses perkembangan wilayah terbangun), arah (terkait

dengan gerakan perkembangan wilayah terbangun) dan bentuk (menyangkut hasil dari

perkembangan yang terjadi) dari perkembangan wilayah terbangun yang terjadi pada

daerah penelitian.

G. Metode Penelitian

Alur Pikir Penelitian

Tingginya Pertumbuhan

Penduduk Jakarta dan

meningkatnya aktivitas

perkembangan kota Jakarta

Kebutuhan Ruang Kota

Pertumbuhan fisik kekotaan

di daerah pinggiran

Gejala Urban Sprawl di

Koridor

Terdapatnya Aksesibilitas

Meningkatnya jumlah penduduk

(2000 & 2010)

Berubahnya pemanfaatan lahan

(2000 & 2010)

Pola Perkembangan daerah pinggiran kota

di Koridor

Meningkatnya fasilitas pelayanan umum

(2000 & 2010)

Page 6: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

6 Universitas Indonesia

Meningkatnya aktifitas dan pertumbuhan penduduk di kota Jakarta menyebabkan

meningkatnya akan kebutuhan ruang kota. Kebutuhan ruang kota yang tidak bisa dipenuhi

oleh pusat kota menyebabkan merembetnya fisikal kekotaan ke daerah pinggiran. Seiring

dengan perkembangan daerah pinggiran, faktor-faktor seperti aksesibilitas, penduduk,

pemanfaatan lahan, dan fasilitas pelayanan umum juga ikut berkembang. Faktor-faktor

tersebut juga merupakan faktor penentu perkembangan suatu wilayah. Sehingga dari faktor-

faktor tersebut akan dapat terlihat pola perkembangan suatu daerah tertentu.

Jenis Penilitian

Penelitian ini merupakan penelitian nomotetik. Penelitian ini menyampaikan penjelasan

tentang perkembangan yang terjadi di daerah pinggiran DKI Jakarta dilihat dari bentuk

perubahan kedesaan menjadi kekotaan dalam kurun waktu 2000 – 2010 terkait dengan

variabel-variabel yang mempengaruhi.

Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ialah faktor-faktor yang berpengaruh

dalam perkembangan kota, sebagaimana telah dikemukakan oleh Lee (1979), akan tetapi

karakteristik lahan, karakteristik pemilikan lahan dan prakarsa pengembang tidak termasuk

dalam variabel, hal ini dikarenakan hal tersebut bersifat homogen sehingga tidak relevan

apabila dimasukkan dalam penelitian. Variabel yang digunakan yaitu aksesibilitas, faktor

pelayanan umum, faktor penduduk, dan pemanfaatan lahan. Sedangkan untuk mengetahui

bagaimana perambatan kenampakan fisik kekotaan yang terjadi digunakan variabel indeks

sprawl. Indeks sprawl ini merupakan perbandingan presentase pertumbuhan wilayah urban

dengan presentase laju pertumbuhan penduduk.

Berikut variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini :

1. Faktor aksesibilitas, faktor aksesibilitas disini ialah aksesibilitas fisikal hal ini merupakan

tingkat kemudahan suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi yang lain.

Pengukuran aksesibilitas fisikal dapat dilaksanakan dengan menilai prasarana transportasi

yang ada bersama-sama dengan sarana transportasinya. Prasarana transportasi dalam hal

ini ialah jalan. Untuk mengukur tingkat aksesibilitasnya yaitu dengan menghitung

kerapatan jalan, yaitu dengan membandingkan panjang jalan (m) dengan luas wilayah

(Ha).

Page 7: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

7 Universitas Indonesia

2. Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik tehadap penduduk dan fungsi-fungsi

kekotaan untuk datang ke arahnya. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam faktor

pelayanan umum adalah fasilitas seperti pusat perbelanjaan, sekolah, dan rumah sakit.

4. Faktor penduduk, yaitu berupa pertambahan penduduk dan kepadatan penduduk di

wilayah penelitian, merupakan indikator penilaian perkembangan suatu wilayah.

5. Indeks sprawl (Staley, 1999:14) merupakan indikator berkurangnya open space, ukuran

besar lahan yang diambil oleh kegiatan perkotaan, perubahan proporsi lahan menjadi lahan

perkotaan dimana dapat menunjukkan kecepatan perubahan laju urbanisasi dan ukuran

besarnya tekanan pembangunan wilayah. Perhitungan nilai indeks sprawl dilakukan

dengan membandingkan presentase pertumbuhan penduduk dengan tingkat urbanisasi

selama periode 2000 – 2010, tingkat unrbanisasi dilihat dari luas lahan yang berubah

menjadi penggunaan wilayah terbangun selama periode tersebut yang di dapat dari hasil

analisis citra.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai

objek kajian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan primer. Metode yang

digunakan dalam memperoleh data primer yaitu dengan melakukan observasi lapang.

Observasi lapang disertai dengan foto sebagai bukti dan data pendukung yang dapat

menguatkan atau mendetailkan suatu kejadian misalnya gambaran kejadian pada lokasi yang

memiliki tingkat indeks sprawl yang tinggi dan rendah, perubahan pemanfaatan lahan di

lokasi penelitian.

No Format Data

Mentah Sumber Data Data yang digunakan

Instansi

1 Landsat-TM Citra Landsat TM tahun 2000 dan 2010 path 122 row 64 - 65

Data Luas wilayah terbangun (tahun 2000 dan 2010)

USGS

2 Landsat-TM Citra Landsat TM tahun 2000 dan 2010 path 122 row 64 - 65

Data pemanfaatan lahan (tahun 2000 dan 2010)

USGS

3 Buku Laporan "Kecamatan dalam angka”

Kecamatan dalam angka Data Jumlah Penduduk per kelurahan

BPS Kabupaten Bogor

Indeks sprawl =

Page 8: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

8 Universitas Indonesia

(tahun 2000 dan 2010)

4 Buku Laporan "Kecamatan dalam angka”

Kecamatan dalam angka Data Kepadatan Penduduk per kelurahan (tahun 2000 dan 2010)

BPS Kabupaten Bogor

5 Buku Laporan "Kecamatan dalam angka”

Kecamatan dalam angka Data Luas Wilayah per kelurahan

BPS Kabupaten Bogor

6 SHP Polyline Jaringan Jalan

Peta Jaringan Jalan (Skala 1:50.000)

Data Jaringan Jalan

Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bogor

7 SHP Polygon Kab. Bogor

Peta Administrasi Kabupaten Bogor (Skala 1:50.000)

Data batas administrasi

Bappeda Kabupaten Bogor

8 SHP Point Sarana Pelayanan Umum

Peta Persebaran Sarana Pelayanan Umum (Skala 1:50.000)

Data Sebaran Sarana pelayanan umum

Bappeda Kabupaten Bogor

Tabel 1. Pengumpulan data Sekunder yang digunakan

Dalam penyusunan laporan ini digunakan juga studi literatur. Hal ini bertujuan untuk

mendapatkan informasi secara umum mengenai bahan rujukan, referensi, dan informasi

wilayah penelitian sebelum melakukan pengamatan. Studi literatur diperoleh dari, jurnal,

buku, dan media elektronik (internet).

Pengolahan Data

Untuk mengolah data sekunder yang telah diperoleh digunakan software SIG seperti ArcView

dan ER.Mapper 7.0 serta Microsoft Office seperti excel untuk tabulasi dan kompilasi data

serta word untuk penyususnan laporan. Metode yang digunakan untuk pengolahan data peta

adalah metode overlay. Pengolahan peta kerja dan data-data yang mengalami pengolahan

akan dijelaskan sebagai berikut :

a) Peta Wilayah Penelitian

Peta Administrasi diolah dengan menggunakan software ArcView 3.3 ditampilkan dalam

bentuk poligon wilayah administrasi kemudian dicropping sesuai dengan wilayah

penelitian kemudian disesuaikan dengan batas-batas wilayah penelitian tersebut.

b) Peta Jumlah Penduduk

Page 9: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

9 Universitas Indonesia

Peta jumlah penduduk diolah dengan menginput data jumlah penduduk yang dilihat

berdasarkan kecamatan dengan menggunakan software ArcView 3.3 yang ditampilkan

dalam bentuk diagram batang.

c) Peta Jaringan Jalan

Peta jaringan jalan diolah menggunakan software ArcView 3.3.

d) Peta persebaran sarana pelayanan umum

Peta persebaran sarana pelayanan diolah dengan menggunakan software microsoft office

excel dan software ArcView 3.3. Data persebaran sarana pelayanan umum dijadikan data

tabulasi pada software excel dan kemudian diinput kedalam software ArcView 3.3 dan

ditampilkan dalam bentuk point.

e) Peta Kepadatan Penduduk

Peta kepadatan penduduk diolah dengan menggunakan software ArcView 3.3,

sebelumnya kepadatan penduduk didapatkan dengan menghitung perbandingan jumlah

penduduk dengan luas wilayah, kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu tinggi,

sedang, dan rendah. Hasil klasifikasi tersebut ditampilkan dalam bentuk gradasi warna.

Kelas Interval :

= (kepadatan penduduk tertinggi – kepadatan penduduk rendah )

Jumlah Kelas

f) Peta Pemanfaatan Lahan

Membuat peta pemanfaatan lahan sebagaimana dengan klasifikasi pemanfaatan lahan oleh

Malingreau (1981) dengan menggunakan software ER Mapper 7 Dengan tahapan sebagai

berikut:

Import data raster, yaitu melakukan pemindahan data raster/vektor melalui

berbagai media yang akan diolah di ER Mapper.

Menampilkan citra di layar monitor dengan menggunakan ER Mapper yang

tersajikan dalam 3 color mode, yaitu Grey scale, Pseudo Colour, dan RGB

(Red-Green-Blue)

Page 10: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

10 Universitas Indonesia

Melakukan Koreksi Radiometrik dan koreksi geometrik dengan menggunakan

polynomial geocoding type dengan menggunakan metode geocoded image,

yaitu 20 gcp untuk masing-masing tahun.

Melakukan pemotongan citra yang sudah dikoreksi dengan membuat Area of

Interest (AOI) .

Melakukan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) untuk

mendapatkan klasifikasi yang diinginkan akan disederhanakan menjadi 4 kelas

yaitu perairan, areal tertutup vegetasi, areal tak bervegetasi/tidak ditanami,

areal permukiman terbangun (built up area).

Membuat layout akhir untuk membuat peta pemanfaatan lahan di Arc View3.3.

g) Peta wilayah terbangun

Peta wilayah terbangun dibuat dari peta pemanfaatan lahan data yang diambil dari peta

ini adalah data luasan wilayah terbangun pada tahun 2000 dan 2010, sehingga terlihat

perubahan luasannya.

d) Peta Sprawl Index (Indeks Sprawl)

Untuk membuat peta Indeks Sprawl diperlukan data persentase luas areal terbangun dan

persentase pertumbuhan penduduk, kemudian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu tinggi,

sedang, rendah. Sehingga hasilnya akan ditampilkan dalam peta dalam gradasi warna.

Kelas Interval :

= (kepadatan penduduk tertinggi – kepadatan penduduk rendah )

Jumlah Kelas

Analisis Data

Dalam menjawab permasalahan penelitian ini digunakan metode analisis spasial yang

merupakan bentuk analisa data penelitian untuk menguji generalisasi hasil penelitian serta

memberikan gambaran umum untuk melihat karakteristik dari data yang diperoleh dengan

cara :

a. Melakukan analisis deskriptif dan spasial dengan membandingkan peta

pemanfaatan lahan di wilayah penelitian pada tahun 2000 dan tahun 2010 sesuai

unit analisis yang digunakan untuk mengetahui gejala sprawl di wilayah tersbut .

Page 11: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

11 Universitas Indonesia

b. Mengidentifikasi karakteristik wilayah yang mengalami gejala sprawl dengan cara

mencari arah, jarak dan luasan (menggunakan penilaian kualitatif) dan melihat

pola yang terbentuk apakah bersifat memanjang, konsentris, atau berserakan

c. Mengetahui variable-variabel yang menjadi pemicu terjadinya gejala sprawl

dengan cara membuat korelasi antara daerah-daerah terbangun dengan fasilitas

umum, jumlah penduduk dan aksesbilitas yang terdapat pada daerah penelitian

d. Setelah itu mengetahui tingkat sprawl yang terjadi didapatkan presentase wilayah

terbangun yang kemudian akan dibandingkan dengan presentase laju pertumbuhan

penduduk di wilayah penelitian sehingga nantinya akan didapatkan nilai indeks

sprawl yang menunjukkan tingkat sprawl yang terjadi.

Analisa dalam penelitian ini diawali dengan menentukkan indeks sprawl di

wilayah penelitian yaitu dengan menganalisis pada setiap kelurahan di wilayah

penelitian. Untuk mendapatkan nilai indeks sprawl diperlukan data wilayah

terbangun dan data pertumbuhan penduduk 2000 – 2010 per kelurahan. Analisis

ini bertujuan untuk menentukan perkembangan daerah pinggiran tersebut.

e. Tingkat sprawl di wilayah penelitian akan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu tinggi,

sedang dan rendah. Klasifikasi ini bertujuan untuk menentukkan kelurahan mana

saja yang memiliki tingkat sprawl tinggi, sedang dan rendah.

f. Setelah masing-masing kelurahan memiliki indeks sprawl sebagaimana klasifikasi

yang telah dibuat, kemudian perlu dilakukan analisa lebih lanjut mengenai

pengaruh variabel terhadap perkembangan daerah pinggiran. Masing-masing peta

variabel ditampalkan dengan peta indeks sprawl yang telah dibuat. Analisis yang

dilakukan ialah melihat bagaimana pola yang terbentuk di masing-masing

kelurahan. Sehingga dengan gambaran tersebut dapat menunjukkan pola

perkembangan daerah pinggiran kota Jakarta.

Indeks sprawl =

Page 12: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

12 Universitas Indonesia

H. Tinjauan Pustaka

Kota

Kota adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, yang sebagian lahannya

terbangun, dan perekonomiannya bersifat non pertanian. Dilihat dari aspek sosial ekonomi,

kota mempunyai ciri-ciri: (a) jumlah penduduk yang relatif besar daripada wilayah

sekitarnya, (b) mempunyai kepadatan penduduk yang relatif tinggi dibanding wilayah

sekitarnya, (c) mempunyai proporsi jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian

lebih tinggi daripada wilayah sekitarnya, (d) merupakan pusat kegiatan ekonomi yang

menghubungkan kegiatan pertanian wilayah sekitarnya dan tempat pemrosesan serta

pemasaran bahan baku bagi industri (Inmendagri No. 34 tahun 1986).

Badan Pusat Statistik (2000) dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan yang

dilakukan tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu

desa/kelurahan dikategorikan sebagai desa atau kota. Kriteria yang digunakan adalah: (1)

Kepadatan penduduk per kilometer persegi, (2) Persentase rumah tangga yang mata

pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian, (3) Persentase rumah tangga yang

memiliki telepon, (4) Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik, (5) Fasilitas

umum yang ada di desa/kelurahan.

Perkembangan Kota

Semakin bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang diawali pada meningkatnya

jumlah penduduk tersebut membuat tuntutan kehidupan masyarakat meningkat juga.

Tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat masyarakat meningkatkan frekuensi kegiatan

penduduk. Konsekuensi yang muncul ialah tuntutan akan ruang sebagai wadah untuk

melakukan aktivitas masyarakat semakin tinggi. Sementara itu kebutuhan ruang yang tidak

dapat dibangun di dalam karena keterbatasan ruang ataupun karena semakin tingginya harga

lahan, menyebabkan masyarakat mencari alternatif untuk mendapatkan kebutuhannya

sehingga mengalihkan perhatiannya di bagian daerah pinggran kota yang masih tersedia

lahan yang cukup dengan harga yang terjangkau.

Semakin banyaknya masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran kota tersebut akan

menyebabkan perubahan penggunaan tanah yang ada yang awalnya untuk pertanian berubah

menjadi non pertanian, selain itu akibat dari buruknya kontrol dari pemerintah daerah

setempat menyebabkan ruang-ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun. Hal-hal tersebut

Page 13: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

13 Universitas Indonesia

pada akhirnya yang akan menimbulkan konsekuensi spasial sebagaimana disebutkan oleh

Yunus (2005 : 59) akan timbul konsekuensi spasial yang dapat diamati yaitu konsekuensi

keruangan secara fisikal dan konsekuensi keruangan secara yuridis-administratif.

Konsekuensi spasial secara fisikal ditinjau dari prosesnya, terdapat dua perkembangan

yaitu proses perkembangan spasial horizontal dan perkembangan spasial secara vertikal.

Proses perkembangan spasial horizontal di dalam studi kota proses ini menjadi penentu

bertambah luasnya areal kekotaan dan makin padatnya bangunan di bagian dalam kota

sehingga dapat diartikan sebagai proses penambahan ruang kekotaan secara mendatar dengan

cara menempati ruang-ruang yang kosong baik didalam kota maupun di pinggiran kota.

Perkembangan spasial horizontal terdiri dari dua proses perkembangan yaitu

sentrifugal dan sentripetal. Proses perkembangan spasial sentrifugal adalah proses

bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah

terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota.

Dalam studinya Lee (1979:1) dalam Yunus (2005 : 60) mengemukakan bahwa

terdapat 6 faktor yang mempengaruhi proses perkembangan spasial sentrifugal yaitu: faktor

akesesibilitas, faktor pelayanan umum, karaketeristik lahan, karakteristik pemilikan lahan,

keberadaan peraturan-peraturan yang mengatur tata guna lahan dan prakarsa pengembang.

Faktor aksesibilitas mempunyai peranan yang besar terhadap pemanfaatan lahan,

dalam hal ini Lee (1979) lebih menekankan pada aksesibilitas fisikal yaitu merupakan tingkat

kemudahan suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi lain. Pengukuran aksesibilitasi

dapat diukur dengan menilai sarana dan prasarana transportasi. Akibatnya adalah bahwa

daerah yang memiliki aksesibilitas tinggi akan mengalami perkembangan fisikal lebih cepat

dibandingkan dengan daerah yang memilii aksesibilitas rendah.

Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik penduduk. Faktor ini merupakan

sarana masyarakat umum untuk melakukan kegiatannya. Pembangunan kampus pendidikan

yang besar, diikuti oleh banyaknya mahasiswa yang datang, pegawai-pegawai kampus. Selain

itu pusat pelayanan umum ialah seperti halnya pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat

ibadah, tempat rekreasi dan olah raga, stasiun kereta api, halte bus, dll.

Faktor karakteristik lahan yaitu faktor-faktor fisik seperti topografi yang berpengaruh

dalam perkembangan perkotaan.

Page 14: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

14 Universitas Indonesia

Faktor karakteristik pemilikan lahan merupakan faktor yang menentukan status

ekonomi penduduk, pemilik lahan yang mempunyai status ekonomi kuat akan berbeda

dengan pemilik lahan yang mempunyai status ekonomi rendah, hal ini dikarenakan keinginan

untuk menjual lahannya lebih tinggi penduduk yang memiliki status ekonomi rendah.

Faktor keberadaan peraturan yang mengatur tata ruang diyakini sebagai salah satu

faktor yang berpengaruh. Pada daerah tertentu terdapat aturan-aturan yang membatasi

pembangunan permukiman maupun pembangunan fisik karena wilayahnya ditentukan

sebagai wilayah terbuka hijau.

Faktor prakarsa pengembang, pengembang selalu menggunakan ruang yang cukup

luas untuk membangun daerah yang akan dibangun. Pada daerah tertentu yang mungkin

sebelum dibeli oleh pengembang merupakan lahan yang bernilai ekonomis rendah, namun

setelah dibeli oleh pengembang nilai ekonomisnya naik.

Daerah Pinggiran Kota

Di sekeliling pusat kota terdapat wilayah dengan berbagai macam tata guna lahan,

teutama untuk permukiman penduduk. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat

menyebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya akibatnya tuntutan akan

ruang semakin besar. Tingginya harga lahan dan semakin padatnya daerah kota

mengakibatkan pertumbuhan kota ke luar, melahirkan wilayah pinggiran kota yang dalam

geografi surburbia (bahasa latin, sub = bawah; urbis = kota).

Dalam bahasa Inggris dipakai juga fringe yang dalam bahasa Indonesia artinya

wilayah pinggiran. Sementara itu Pryor (1971) mendefinisikan daerah pinggiran sebagai

berikut:

The urban fringe is the subzone of the rural-urban fringe which is in contact and contiguous

with the central city, exhibiting a density of occupied dwellings higher than the median

density of the total rural-urban fringe, a high proportion of residential, commercial,

industrial and vacant as disticnt, land use conversion and commuting.(Pryor 1971).

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah pinggiran merupakan bagian dari

wilayah rural – urban fringe yang berbatasan langsung dengan lahan kekotaan terbangun dan

masih menyatu dengan permukiman kekotaan utama, dan menunjukkan kepadatan penduduk

permukiman yang lebih tinggi dari rerata kepadatan yang ditampilkan wilayah rural-urban

Page 15: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

15 Universitas Indonesia

fringe sendiri, proporsi pemanfaatan lahan permukiman, komersial, industrial dan lahan

kosong yang tinggi.

Menurut McGee dalam Koestoer (1997) daerah pinggiran kota memiliki karakteristik

suatu daerah yang tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa, umumnya terletak

disepanjang koridor antara pusat kota besar. Koridor tersebut berlokasi di sepanjang jalur-

jalur transportasi utama. Sementara Russwurm dalam Yunus (2000) dikatakan bahwa daerah

yang termasuk dalam urban fringe area adalah daerah yang terletak sekitar radius 15 hingga

25 kilometer pada suatu pusat kota. Di dalam buku yang sama Bar-Gal dalam Yunus (2000)

menyatakan bahwa daerah pinggiran kota merupakan daerah yang mengalami pengaruh kuat

dari suatu kota yang ditandai dengan berbagai karakteristik seperti perubahan fisik

penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, perubahan pola orientasi

dan aktivitas penduduk

Teori Land Use Triangle: Continuum

Teori Land Use Triangle: Continuum dikemukakan oleh Hadi Sabari Yunus pada tahun 2001

setelah melakukan penelitian di Kota Yogyakarta, teori ini merupakan pengembangan dari

Teori Land Use Triangle : Discrete yang dikemukakan oleh Pryor pada tahun 1971.

Menurut Hadi Sabari Yunus (2008), wilayah pinggiran kota merupakan wilayah yang

ditandai oleh percampuran kenampakan fisik kekotaan dan kedesaan. Secara kontinum,

makin ke arah lahan kekotaan terbangun utama, makin besar proporsi lahan kekotaan dan

makin jauh dari lahan terbangun utama makin besar proporsi lahan kedesaannya. Sehingga

merupakan teori yang aplikatif untuk kota-kota di negara berkembang, khususnya untuk kota-

kota yang mempunyai peralihan gradual dari kenampakan fisik kekotaan ke penampakan

fisik kedesaan. Adanya karakteristik suatu wilayah pertanian yang subur, maka peralihan

antara kenampakan kekotaan ke kenampakan kedesaan terjadi secara gradual.

Kenampakan kekotaan ke kenampakan kedesaan yang terjadi secara gradual pada wilayah

pinggiran kota. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi,

hambatan ini dapat diatasi yaitu dengan memanfaatkan citra pengindraan jauh, baik foto

udara maupun citra satelit untuk menentukan batas terluar fisik suatu kota. (Yunus (2008 :

141).

Page 16: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

16 Universitas Indonesia

Pada penelitian fenomena yang terjadi pada wilayah pinggiran kota sebaiknya mengambil

contoh wilayah yang jelas karakteristiknya. Menurut Yunus (2008:141) mengemukakan

bahwa berasal dari fenomena tersebut muncul ide untuk mengaplikasikan konsep core region,

yaitu dipilih pada wilayah yang karakteristik paling menonjol/paling jelas. Core region

mempunyai karakteristik wilayah yang ditandai oleh perbedaan jenis pemanfaatan lahan yang

tinggi

Pembaruan yang ditemukan oleh Yunus (2001) yaitu adanya rurban frame zone dan rural

fram zone. Model yang dikemukakan Yunus merupakan modifikasi model diagramatik yang

dikemukakan Pryor (1971). Hal ini dilakukan karena teori yang dikemukakan Pryor tidak

dapat diterapkan untuk wilayah pinggiran kota yang didalamnya terdapat peralihan yang

bersifat gradual antara kenampakan kekotaan dan kenampakan kedesaan.

LEGENDA :

GH: Zobidekot

DF: Zobikot

FG: Zobikodes

HE: Zobides

A : Persentase Jarak Kota – Desa

B : Persentase Pemanfaatan Lahan Kekotaan

C : Persentase Pemanfaatan Lahan Kedesaan

D : Batas Zona Kekotaan Terbangun

E : Baras Zona Kedesaan

Gambar 1 Model Zonifikasi WPU (Wilayah Peri Urban) Negara Berkembang atas Dasar

Bentuk Pemanfaatan Lahan (Yunus, 2001)

Page 17: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

17 Universitas Indonesia

Dalam teori ini Yunus (2008 : 142) menemukan 4 zona yang dapat diterapkan pada kota-kota

yang sedang berkembang di Negara yang sedang berkembang, diantaranya adalah:

Zona Bingkai kota (Zobikot)

Zona ini merupakan zona yang paling dekat dan berbatasan langsung dengan lahan perkotaan

terbangun utama dan beberapa tempat bahkan menyatu dengannya dengan intensitas

bangunan yang lebih rendah. Oleh karena Zobikot berbatasan langsung dengan lahan

terbangun kota, maka pengaruh kota terlihat maksimal atas bentuk pemanfaatan lahannya

dalam artian bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian menunjukkan

intensitas paling tinggi dibandingkan dengan wilayah peri urban yang lain.

Pada zona ini kenampakan kekotaan (≥ 75%) betul-betul dominan walaupun disana sini

masih terlihat bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bebrapa pakar mengemukakan bahwa sudah

banyak lahan yang dimiliki oleh orang kota walaupun bentuk pemanfaatan lahannya masih

bersifat agraris. Pemanfaatan lahan agraris pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik lama

atau penduduk sekitar lahan tersebut yang masih berprofesi sebagai petani.

Pada zona ini terdapat dua gejala yang tidak sejalan dengan dimensi de facto dan de jure,

yaitu terdapatnya persil-persil lahan yang secara de jure merupakan masih bentuk

pemanfaatan lahan non-pertanian, dan gejala kedua adalah terdapatnya persil-persil lahan

yang secara de facto masih merupakan brntuk pemanfaatan lahan agraris, namun secara de

jure sudah berubah fungsi menjadi lahan non-agraris.

Gejala pertama pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik yang memandang bahwa

mendirikan bangunan-bangunan tertentu pada miliknya tidak perlu mengubah status bentuk

pemanfaatn lahan. Hal ini dapat terjadi karena ada 3 indikasi yaitu, pemilik memang tidak

tahu kalau ada peraturan seperti itu; pemilik tahu tetapi tidak tahu cara mengurusnya; pemilik

tahu namun tidak mau mengurusnya.

Gejala kedua mulai marak terjadi pada zona ini karena meningkatnya transaksi jual-beli

lahan. Sebagaiman yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa daerah pinggiran kota,

khususnya lokasi yang tidak jauh dari kota sangat menarik para pendatang-pendatang baru

baik perorangan maupun institusi untuk memiliki lahan di zona ini.

Page 18: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

18 Universitas Indonesia

Zona Bingkai Kota-Desa (zobikodes)

Kota didahulukan dengan maksud untuk menunjukkan bahwa antara kenampakan perkotaan

masih lebih banyak dibandingkan dengan kenampakan kedesaan. Pada zona ini proporsi

kenampakan perkotaan dan kedesaan relative seimbang dengan selisih yang tidak begitu

substansial sebagaimana dalam zobikot. Kenampakan kekotaan yang di tunjukkan oleh

bentuk pemanfaatan lahan non-agraris berada dalam kisaran sama atau lebih dari 50% namun

sama atau kurang dari 75%. Sementara kenampakan kedesaan berkisar antara sama atau lebih

dari 25% namun sama atau kurang dari 50%.

Zona Bingkai Desa-Kota (Zobidekot)

Dalam zona ini juga menunjukan perimbangan proporsi antara bentuk pemanfaatan lahan

agraris dan non-agraris yang nyaris sama. Jika dalam zobikodes proporsi kenampakan bentuk

pemanfaatn lahan non-agraris lebih banyak, maka dalam zona ini proporsi kenampakan

bentuk pemanfaatan lahan agraris lebih banyak walaupun perbedaannya tidak mencolok.

Proporsi kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris berkisar antara lebih dari 50%

sampai kurang dari 75% sedangkan untuk kenampakan bentuk pemanfaatan lahan perkotaan

lebih dari 25% sampai kurang dari 50%.

Zona Bingkai Desa (Zobides)

Zona ini adalah zona yang berbatasan langsung dengan zona kedesaan. Batas terluar dari

zona ini ditandai oleh 100% kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Sementara itu

rentang proporsi bentuk kenampakan lahannya adalah sama atau lebih 75% lahan agraris

sampai dengan sama atau kurang dari 25% bentuk pemnfaatn lahan non-agraris. Dalam zona

ini kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris betul-betul mendominasi secara mencolok.

Konsep Pengembangan Koridor

Di Belanda, pada akhir 1990an konsep pengembangan koridor menjadi salah satu konsep

yang terkemuka dalam perencanaan tata ruang. Di dalam diskusi dan dokumen awal

perencanaan pembangunan nasional, pengembangan koridor (tata ruang dan perkembangan

kota sepanjang garis dan simpul utama infrastruktur dalam jaringan perkotaan multipolar)

dianggap sebagai bentuk yang tak terelakkan dari pembangunan spasial dan sebagai bagian

dari pengembangan jaringan perkotaan.

Page 19: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

19 Universitas Indonesia

Konsep pengembangan koridor tidak hanya terdapat di Belanda. Di Eropa sebagai contoh

Inggris dan Jerman mengetahui bentuk-bentuk dari perencanaan pengembangan koridor

sebagai bagian dari strategi rencana tata ruang.

Di Inggris koridor yang terkenal adalah koridor M4 berada diantara London dan Bristol. Hal

ini merupakan koridor yang tidak terencana dengan konsentrasi pabrik-pabrik yang terfokus

pada mikroelektronik, pelayanan komersial dan industri lainnya. Koridor ini dipelajari pada

tahun 1980an (oleh P. Hall, 1987) karena pada waktu itu koridor tersebut memnghasilkan

pertumbuhan ekonomi sementara sebagian daerah Inggris terkena resesi. Pembangunan dan

perbaikan jalan raya M4 dan koneksi kereta berkecepatan tinggi dengan London memenuhi

permintaan untuk mobilitas di koridor mengakibatkan intensifnya koridor.

Sementara itu di Jerman pembangunan koridor adalah instrumen yang dikenal dalam

perencanaan tata ruang; terutama pada tingkat kabupaten (länder). Sebagai contoh ialah

perencanaan tata ruang di Hessen, termasuk daerah utama Franfurt Rhein. Peta morfologi

dalam periode yang berbeda dalam pengembangan daaerah utama Frankfurt Rhein

menunjukkan intensifnya aktifitas perkotaan dan pengembangan ekonomi di sepanjang zona

garis Timur – Barat yang berorientasi infrastruktur (sungai, rel kereta dan jalan tol) dan di

sepanjang arah menuju selatan. Intensifnya koridor dimulai dengan industrialisasi di daerah

dan akibat adanya pembangunan pertama rel kereta api.

Tiga perancang keruangan dan peneliti; George R. Collins (seni dan arsitektur sejarah), C.F.J

Whebell (geographer) dan C. Doxadis (arsiitek dan urban designer), mereka semua aktif

terlibat dalam diskusi dalam pengembangan koridor selama 1960an. Masing-masing dari

mereka telah mempublikasikan penelitiannya dari berbagai sudut pandang dan disiplin ilmu

yang berbeda, pada subyek pembangunan koridor dan memiliki hubungan terkait untuk

konsep dan rancangan untuk kota-kota linear.

George R. Collins (sejarawan arsitektural)

Mendefinisikan konsep dari “linear city” dan “koridor” sebagai berikut: “Kota linear adalah

satu dari bentuk, dan perkembangan kota disepanjang garis. Garis ini merupakan jalur

transpurtasi arteri untuk penduduk, barang, dan jasa. Sebuah kota semacam ini bisa tumbuh

bebas – tak terbatas – dengan penambahan karakter berulang-ulang. Sistem peredaran

internalnya dirancang dengan tingkat efisiensi yang tinggi, memudahkan akesesibilitas satu

sama lain. (Collins, Linear Planning, hal.2).

Page 20: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

20 Universitas Indonesia

Meskipun perencanaan linear kota tidak pernah populer dikalangan perencana-perencana

profesional, hal ini cukup paradoks, telah menjadi suatu pola yang alami dari pertumbuhan

daerah perkotaan. (Collins, 1960, hal 345).

C.FJ. Whebell (geograf)

Dalam artikelnya, Whebell terutama berfokus pada aset-aset geografi dan kekuatan-kekuaan

ekonomi yang mengakibatkan pengembangan koridor dan kurang menekankan pada aspek-

aspek perencanaan yang sebenarnya. Teori koridor Whebell menjelaskan evolusi sistem

perkembangan kota diantara lokasi, geologi, ekonomi, infrastruktur, budaya, dan akumulasi

kesejahteraan masyarakat yang terjadi secara sukses di lokasi koridor.

Di dalam teorinya Whebell melekatkan perbedaan lokasional yang muncul dalam tiga dali.

Dalil ini didasarkan pada (1) perbedaan geografis dalam:kenampakan fisik: dan :faktor-faktor

produksi tanah: atau dengan kata lain perbedaan daya taruk untuk permukiman, (2) perbedaan

geografis dalam keadaan teknologi, dan (3) pengembangan manusia, berdasarkan trial and

error mengikuti usaha yang dilakukan manusia tersebut. Dari dalil tersebut dia menjelaskan

bahwa beberapa lokasi yang berlaku sebagai lokasi permukiman, bahwa pergerakan dan

perkembangan spasial antara permukiman akan mengikuti rute paling nyaman (cepat) dan

pengetahuan (teknologi) dan perdagangan akan menyebar pada rute ini. (Whebell, 1969, hal

2)

C. Doxiadis (arsitek dan ahli perkotaan)

Ketika manusia mulai menggunakan transportasi mekanis, kecepatan pejalan kaki berubah

menjadi dua kalinya, tiga, dan empat” Dari sini berarti bahwa, dimana di masa lalu ada

tempat pemukiman terisolasi, sekarang ada sistem yang kompleks dari transportasi yang

mengarah ke pemukiman perkotaan yang sangat kompleks...” (Doxiadis, 1963, vol 3, hal,

117). Dari kutipan tersebut diasumsikan bahwa perkembangan kota seiring dengan

perkembangan transportasi dan koridor sebagai medianya.

Doxiadis membedakan tiga kekuatan utama pembentuk sistem perkotaan yang dinamis:

a. Kekuatan sentripetal dari permukiman

b. Kekuatan Linear sistem transportasi modern,

c. Kekuatan Estetika dari daya tarik lokasi.

Page 21: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

21 Universitas Indonesia

Dalam kesempatan lain McGee mengungkapkan konsep wilayah koridor, wilayah koridor

adalah suatu jalur yang menghubungkan dua kota besar. Dalam konsepnya daerah di antara

dua kota besar di luar wilayah peri-urban merupakan wilayah yang didominasi oleh kegiatan

campuran antara kegiatan pertanian dan nonpertanian. Sementara itu, sepanjang jalan yang

menghubungkan kota besar tidak teridentifikasi sebagai daerah yang sudah berkembang

secara fisikal morfologi. Oleh karena pada perkembangan selanjutnya, daerah sepanjang jalur

transportasi (koridor) mengalami transformasi spasial, ekonomi, sosial, dan kultural maka

terjadi perubahan dari sifat kedesaan menjadi bersifat kekotaan di sepanjang jalur transportasi

darat bukan kereta api antara keduanya. Makin padat jaringan jalan darat terdapat di suatu

wilayah, maka makin tinggi derajad aksesibilitas wilayahnya. Semakin jauh jaraknya dari

jalur jalan raya utama makin lemah pula intensitas perkembangan wilayah.

Urban Sprawl

Meningkatnya penduduk perkotaan menyebabkan meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup

dalam berbagai aspek. Penduduk membutuhkan ruang untuk melakukan segala kegiatannya,

ketersediaan ruang yang terbatas di perkotaan menyebabkan meluasnya penggunaan ruang di

daerah pinggiran kota. Gejala pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan

urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai “invasion”. Sementara itu proses perambatan

kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl”

Menurut Northam (1975) dalam Yunus (1999), Urban sprawl mengacu pada perluasan

konsentrasi areal perkotaan ke luar. Urban sprawl melibatkan konversi lahan pinggiran dari

yang sebelumnya digunakan sebagai keperluan non urban menjadi penggunaan untuk

perkotaan. Sedangkan Domochel (1976) dalam Yunus (1999) menyatakan bahwa urbans

sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah perkotaan yang menuju suatu proses

tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam di daerah pinggiran kota.

Robert W Wassmer (2000) menyatakan bahwa urban sprawl merupakan kata lain dari

beberapa tipe desentralisasi atau suburbanisasi dari metropolitan. Suburbanisasi terjadi ketika

presentase area permukiman dan aktivasi perdagangan mengambil tempat di luar pusat kota.

Proses gejala urban sprawl yang tidak terkendali akan menyebabkan dampak negatif bagi

fungsi kota secara keseluruhan dan daearah-daerah disekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya

pengaturan gejala urban sprawl sedini mungkin. Secara garis besar ada 3 macam proses

perluasan areal kekotaan (urban sprawl) (Yunus, 2009 : 37), yaitu:

Page 22: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

22 Universitas Indonesia

1. Perambatan konsentris, tipe ini adalah bentuk perubahan kenampakan kedesaan

menjadi kenampakan kekotaan yang sebaran spasialnya berada di sekitar lahan

terbangun utama dan merata. Proses ini akan mengakibatkan terciptanya kota

yang kompak, namun dengan proses perkembangan spasial yang relatif lambat.

2. Perkembangan memita adalah bentuk perubahan kenampakan kedesaan menjadi

kekotaan dalam artian fisik, di mana perubahan tersebut terjadi di sepanjang jalur-

jalur linier, baik jalur-jalur radial maupun jalur-jalur lainnya. Peranan transportasi

menjadi faktor determinan yang menyebabkan terjadinya perubahan kenampakan

fisikal kedesaan menjadi kenmapakan fisikal kekotaan. Apabila proses perubahan

kenampakan tersebut didominasi perubahan yang terjadi pada jalur-jalur radial,

maka akan terbentuk kota berbentuk bintang atau gurita.

3. Perkembangan lompat katak merupakan bentuk urbanisasi fisiko spasial yang

terjadi didaerah pinggiran kota secara sporadis dalam satuan lahan yang

bervariasi. Beberapa perubahan berukuran kecil terjadi karena dilaksanakan oleh

perorangan secara individual, namun beberapa bentuk lainnya meliputi lahan yang

luas karena dibangun oleh pengembang, baik berwujud kompleks perumahan

ataupun nonperumahan.

Menurut Dr. Sonar Sanjaykumar G (2008) terdapat beberapa parameter atas

terjadinya Urban Sprawl :

1. Penduduk

Penduduk bertindak sebagai dasar bagi keberadaan setiap sistem perkotaan. Setiap

perubahan dalam populasi secara langsung mempengaruhi kinerja dari sistem

perkotaan. Kenaikan populasi karena pertumbuhan alami, yaitu selisih antara angka

kelahiran dan tingkat kematian serta migrasi, yaitu, perbedaan antara migrasi masuk

dan migrasi keluar menyebabkan tingkat variasi dalam kinerja sistem perkotaan dan

menjadi pemicu urban sprawl apabila tidak ditangani dengan benar.

2. Konektivitas

Konektivitas menyediakan hubungan penting untuk aktivitas manusia baik dalam

bentuk nyata maupun tidak yang ada di dalam dan di luar sistem perkotaan. Setiap

perubahan konektivitas pada tingkat antar dan intra kota pada tingkat kemakmuran

ekonomi digabungkan dengan kemajuan teknologi menyebabkan penyebaran susunan

Page 23: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

23 Universitas Indonesia

penduduk dan fungsi di dalam dan di luar sistem perkotaan. Hal ini apabila tidak

ditangani dengan benar dapan menjadi pemicu terjadinya sprawl.

3. Fungsi

Fungsi bertindak sebagai salah satu entitas dinamis paling penting dalam sistem

perkotaan, terdiri dari berbagai jenis fungsi, seperti sosial, ekonomi, dll. Setiap

perubahan fungsi, dalam hal skala atau adanya penambahan perubahan didalamnya

dapat mempengaruhi kinerja sistem perkotaan dengan menarik penduduk lebih

mengarah ke urban sprawl jika tidak ditangani dengan benar.

Penelitian Sebelumnya

Sebelum penelitian ini dapat dilakukan, terdapat beberapa penlitian sebelumnya yang

mengkaji daerah pinggiran kota yang dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian ini,

antara lain penelitian berupa tugas akhir (skripsi) Noni Huriati (2008) yang berjudul

Perkembangan Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta tahun 1992 – 2006, mengkaji tentang

perkembangan kota yang bersifat kepada proses perkembangan spasial secara horizontal

sentrifugal di kota Yogyakarta. Metode penelitiannya berupa analisis deskriptif dengan urban

indeks yang didapat dari perhitungan citra.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan permukiman mengikuti jalur

transportasi dengan membentuk suatu kota yang tidak kompak. Sedangkan diantara variabel

yang digunakan yang memepengaruhi perkembangan kota ialah adanya pusat-pusat kegiatan

masyarakat.

Agus Warsono (2006) juga meneliti daerah pinggiran kota dengan judul tesis

Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada Koridor Jalan Kaliurang Kecamatan

Ngaglik Kabupaten Sleman. Mengkaji tentang karakteristik perkembangan kelompok-

kelompok permukiman pinggiran kota pada Jalan Kaliurang di Desa Sinduharjo dan Desa

Sardonoharjo Kecmatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Menggunakan pendekatan melalui

analisis kualitatif, analisis kuantitatif, dan analisis model tabel distribusi analisis diskriminan.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Adanya perkembangan permukiman

pinggiran kota tercermin pada kenampakan keruangan lingkungan perumahan menurut

karakteristik tipologi perkembangan kelompok-kelompok permukiman, baik yang teratur

maupun yang tidak teratur. Faktor-faktor kenampakan keruangan pinggiran kota sebagai

bentuk perkembangan permukiman pinggiran kota secara fisik yang paling mempengaruhi

Page 24: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

24 Universitas Indonesia

tipologi perkembangan kelompok permukiman yakni: faktor pertumbuhan penduduk

(population growth), dan faktor hak-hak kepemilikan lahan (property rights), selain itu

adalah faktor persaingan memperoleh lahan (competition for land).

Suryo Wicaksono (2005) juga meneliti tentang perkembangan DPU di Kecamatan

Ciputat dan Kecamatan Pamulang antara tahun 1991 – 1998 dalam hubungannya dengan

perkembangan aksesibilitas dan permukiman. Menggunakan metode penelitian deskriptif,

dalam penelitiannya hal ini ditujukan untuk menggambarkan perkembangan DPU

berdasarkan fakta yang ada wilayah penelitian dengan mencari hubungan antara

perkembangan DPU dengan perkembangan aksesibilitas (fungsi jalan) dan perkembangan

permukiman. Data perkembangan kepadatan penduduk merupakan data penunjang yang

memberikan informasi untuk menjelaskan bahwa perkembangan DPU dipengaruhi oleh

faktor kepadatan penduduk.

Hasil Penelitiannya menunjukkan bahwa DPU pasar Ciputat berkembang dari sebuah

neighborhood center menjadi block center, sementara DPU Pamulang Permai dan DPU Jl.

Ciputat Raya tidak berkembang dari neighborhood center menjadi block center pada periode

tahun 1991 – 1998. Selama periode tersebut, perkembangan DPU pada daerah penelitian

pertama-tama berkembang ke arah selatan (tahun 1992) baru kemudian ke arah timur (1994).

Perkembangan DPU pada daerah penelitian terjadi pada aksesibilitas yang berupa jalan utama

dan seiring dengan perkembangan permukiman penduduk.

Aji M Darda (2009) juga meneliti tentang karakteristik dan pola permukiman di Kec.

Pamulang dan Kec. Ciputat yang mengalami gejala densifikasi. Dalam penelitiannya peneliti

melakukan korelasi dan analisis deskriptif dan spasial dengan membandingkan peta

permukiman (permukiman teratur dan permukiman tidak teratur) di Kec. Ciputat dan Kec.

Pamulang pada tahun 1991,1998 dan tahun 2007 untuk mengetahui gejala densifikasi di dua

kecamatan tersebut. Mengidentifikasi karakteristik permukiman yang mengalami gejala

densifikasi dengan cara mencari arah, jarak dan luasan (menggunakan penilaian kualitatif)

dengan membandingkan gejala-gejala tersebut dengan tahun-tahun sebelumnya yang terjadi

terhadap kota induk (Kota Jakarta). Mengetahui variable-variabel yang menjadi pemicu

(trigger) terjadinya gejala densifikasi dengan cara membuat korelasi antara daerah-daerah

permukiman dengan fasilitas umum, harga tanah, jumlah penduduk dan aksesbilitas yang

terdapat pada daerah penelitian

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan permukiman teratur dan tidak

teratur terjadi secara pesat pada periode pertama atau pada kurun waktu 1991-1998 dengan

karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan dalam kurun waktu tersebut pada

Page 25: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

25 Universitas Indonesia

sebagian besar daerah penelitian memiliki klasifikasi harga tanah yang juga berbeda-beda.

Selain itu pada kurun waktu 1991-1998 juga terjadi perubahan beberapa fungsi jalan di

kedua wilayah kecamatan tersebut. Lokasi permukiman yang mengalami gejala densifikasi

terbesar berada pada wilayah yang mendekati DKI Jakarta. Sementara itu permukiman yang

mengalami gejala densifikasi pada wilayah yang menjauhi Kota Jakarta gejalanya tidak

dipengaruhi oleh jalan utama yang berada di wilayah tersebut namun lebih dipengaruhi oleh

variabel harga tanah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya ialah pada

penggunaan konsep wilayah koridor sebagai zona analisis. Kemudian untuk mengetahui

seberapa jauh perkembangan daerah pinggiran digunakan indeks sprawl sebagai parameter

untuk melihat tingkat sprawl yang terjadi di wilayah penelitian.

Page 26: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

26 Universitas Indonesia

Daftar Pustaka

C.F.J. Whebell, “Corridors: A Theory Of Urban Systems”, ANNALS of the Association of

American Geographers, Volume 59. March 1969.

Collins, G.R. Cities on the Line. Architectural Review. Vol. 128. November. 1960.

Darda, Aji M. Skripsi Sarjana Departemen Geografi: Karakteristik dan pola-pola

permukiman di Kec. Pamulang dan Kec. Ciputat yang mengalami gejala

densifikasi. Depok: Universitas Indonesia. 2009

Djaljoeni, N. “Geografi Kota dan Desa”, Penerbit P.T. ALUMNI, Bandung, 2003

Doxiadis, C.A. Architecture in transition, Hutchinson, London. 1963

Heriyanto, “Tipologi dan Faktor Determinan Pemekaran Pinggiran Kota Semarang, tahun

1980 – 2000” Tesis. Yogyakarta: Program Studi Geografi, Sekolah Paska Sarjana

UGM. 2000.

http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jabar/3201.pdf

Huriati, Noni. Skripsi Sarjana Departemen Geografi: Perkembangan Daerah Pinggiran Kota

Yogyakarta Tahun 1992-2006. Depok: Universitas Indonesia. 2008.

Koestoer, R. H. Perspektif Lingkungan Desa-Kota, Teori dan Kasus. Penerbit Universitas

Indonesia. Jakarta hal. 177. 1997.

Lee, Linda. “Factors Affecting Land Use Change at The Urban Rural Fringe”. In Growth and

Change: A Journal of Regional Development, Vol. X, October. 1979

R, Pryor.“Defining the Rural Urban fringe” in Larry S. Bourne (ed.) The Internal Structure of

the city: Readings on Space and Environtment. Oxford: Oxford University Press.

1971

Sanjaykumar, G Sonar. “Urban Sprawl A System Dynamic Approach”, 44th ISOCARP

Congress. 2008

Staley, Samuel R. "The Sprawling of America: In Defense of the Dynamic City," Policy

Study No. 251, Reason Public Policy Institute, 1999

Wassmer, Robert.W. “ Urban Sprawl in US Metropolitan Area : ways to measure and

comparison of the Sacramento area to similar metropolitan areas in California and

the US. SSRN. 2000

Wicaksono, Suryo. Skripsi Sarjana Departemen Geografi: Perkembangan DPU terhadap

permukiman di Kec. Ciputat dan Kec. Pamulang 1991-1998. Depok: Universitas

Indonesia. 2005.

Yunus, H.S. “Struktur Tata Ruang Kota”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1999

Page 27: 67153681 an Daerah Pinggiran Jakarta

27 Universitas Indonesia

Yunus, H.S. “Manajemen Kota Perspektif Spasial”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

2005

Yunus, H.S. “Megapolitan konsep, probelmatika dan prospek” Penerbit pustaka pelajar, 2006

Yunus, H.S. “Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota”, Penerbit

Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2008