PERJUANGAN H. MASAGUNG DALAM DAKWAH DI JAKARTA...

78
PERJUANGAN H. MASAGUNG DALAM DAKWAH DI JAKARTA 1953-1990 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) Oleh: Septi Nurizkiyani NIM: 1113022000079 PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M

Transcript of PERJUANGAN H. MASAGUNG DALAM DAKWAH DI JAKARTA...

PERJUANGAN H. MASAGUNG DALAM DAKWAH DI

JAKARTA 1953-1990

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh:

Septi Nurizkiyani

NIM: 1113022000079

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2017 M

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan

kasih dan sayang-Nya, semoga rahmat dan hidahay-Nya selalu tercurahkan

kepada kita semua, aamiin. Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan kepada

penghulu alam Nabi akhir zaman junjungan Nabi besar Muhammad SAW, beserta

keluarga, sahabat dan kita sebagai umat-Nya hingga akhir zaman nanti, aamiin.

Sebagai salah satu syarat mmenyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata

Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat

karya tulis ilmiah dalam berbentuk Skripsi. Dalam rangka itulah penulis

menyusun Skripsi ini dengan judul : “PERJUANGAN H. MASAGUNG

DALAM DAKWAH DI JAKARTA 1953-1990” Dalam proses penyusunan

Skripsi ini, begitu banyak penulis temui rintangan dan tantangan dalam

mengerjakannya. Namun atas kerja keras, semangat dan dukungan dari semua

pihak akhirnya Skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu

izinkan penulis untuk menghaturkan ucapan terimakasih serta penghargaan

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan moril

dan materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala

yang berarti, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M,Ag. Selaku Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora.

3. Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Bapak Nurhasan MA yang

membantu penulis selama menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi

universitas sehingga segalanya menjadi baik.

4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekertaris Program Studi Sejarah

dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu dalam penulis saat

v

menjadi penulis baik yang berkenaan dengan surat menyurat maupun

motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

5. Dr. Parlindungan Siregar, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah

banyak membantu dalam proses penyelesain penulisan ini, beliau tiada

henti nya untuk memotivasi penulis dan memberikan arahan agar penulis

menjadi orang yang sukses dan berguna kelak dan mempunyai dedikasi

yang sangat tinggi kedepannya.

6. Kepada seluruh Dosen Fakultas Adab dan Humaniora yang telah

memberikan Ilmunya kepada penulis selama aktif mengikuti perkuliahan

di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kepada ayahanda tersayang Bapak Muhaemin yang telah membimbing,

membantu dan memotivasi penulis untuk menjadi pribadi yang disiplin,

bersemangat, dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, orang lain dan

yang terpenting untuk agama dan tanah air tercinta Indonesia. Besar

harapan yang tersimpan dari lubuk hati penulis untuk membuat ayahanda

menjadi bangga dan senang atas semua apa yang telah penulis lakukan.

Tak luput juga penulis haturkan berterimakasih banyak untuk Ibunda

tersayang Ibu Syariah yang telah melahirkan, merawat, membimbing dan

mendoakan penulis selalu agar menjadi manusia yang berguna untuk

agama nusa dan bangsa. Semoga suatu hari nanti besar harapan penulis

agar bisa membahagiakan dan membanggakan Bapak dan Ibu tercinta.

8. semoga Allah SWT selalu menjaga dalam lindungan-Nya dan membalas

semua kebaikan dan perjuangan mereka.

9. Kepada Kakak Abdul Ghofur dan satu Adik Desy Nur Fitriyani, yang

selalu membantu penulis dalam hal materil dan non materil dalam proses

penyusunan penulisan ini.

10. Kepada keluarga ku, Ibu Nur hikmah, Ibu Nur Barkah, Cece As, Mba

Liana, Mba Inka, dan Ibu Sere yang tak kenal lelah mendoakan, mendidik

dan membimbing penulis agar selalu sabar menjalakan rintangan semua

ini. Semoga beliau semua di sehatkan selalu oleh Allah dan semua yang

vi

telah beliau nasehati kepada penulis mendapatkan balasan pahala dari

Allah SWT.

11. Komunitas Anak Panah yang dari awal hingga akhir selalu memberikan

motivasi, teman seperjuangan dan yang selalu memberikan tausiyah

semangat dorongan untuk segera menyelesaikan proses penulisan ini.

12. Kepada teman- teman seperjungan Sejarah dan Peradaban Islam angkatan

2013 yang dari awal masuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, meski secara tersirat. Mutia, Widya, Saadah, Intan, Yulia, Tika,

Rizka, Zizi, Farah, Irma, Farida, Sufi, Maulana Fauzi, Taufik, Faisal,

Haikal, Ilham, Nuryadi, Emin, Juliawan, Fikri widantomo, Abudzar, dan

teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih banyak

atas motivasi dan dukungan dan canda tawa yang kalian berikan dalam

proses perkuliahan selama ini dan menjadi suatu keluarga yang luar biasa.

13. Kepada sahabatku tercinta , Mutia Saadah S.Hum dan Widiawati S.Hum. ,

yang selalu setia menemani di setiap waktu dan yang tak hentinya

memberikan dukungan, semangat, do‟a dan canda tawa yang kalian

berikan. Meski tidak terlihat, tetapi saya sebagai salah satu sahabat kalian,

merasa amat bangga, karena aku dapat menemukan orang-orang dengan

pikiran yang sama dan orang-orang yang bisa menjadi tempat curhat ku.

Sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dalam hangatnya

ikatan keluarga. Terima kasih sahabatku tercinta………..

14. Kepada M. Sudrajat, yang tak ada hentinya memberikan semangat,

motivasi, yang selalu mau di repoti kemanah pun pergi. Terima kasih atas

dukungan moril dan do‟a yang kalian panjatkan. Semoga bermanfaat bagi

semuanya.

Penyusunan Skripsi ini sangatlah masih jauh dari kata Sempurna. Oleh

karna itu penulis sangat berharap agar penulisan ini sangat bermanfaat untuk

orang banyak sebagai bahan bacaan dan bahan referensi bagi yang membutuhkan

nya.

vii

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai keluarga Haji Masagung yang berasal dari

keluarga yang tidak mampu. Akan tetapi dengan semangat dan gigihnya

Masagung untuk bisa menghidupi keluarganya, kini Masagung berjualan buku

dan rokok di pinggir jalan. Dengan semangatnya Masagung akhirnya usaha yang

dijalani saat ini berhasil dan mempunyai beberapa toko buku, yaitu Toko Buku

Gunung Agung di Kwitang. Pada tahun 1975 Haji Masagung memutuskan untuk

beralih agama, yaitu masuk agama Islam. Kemudian H. Masagung telah

menunaikan ibadah haji yang pertama pada bulan Oktober 1981, yang kedua pada

bulan April 1983, dan yang ketiga kalinya berangkat padatanggal 8 September

1983. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pergerakan dan pemikiran

dalam bidang perbukuan Islam. Dan memimpin PITI (Persatuan Islam Tionghoa

Indonesia), kemudian mendirikan Masjid Al-A‟Raf dan mendirikan Yayasan

Idayu. Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, yang terdiri dari empat

tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa dalam rangka menyebarkan dakwah Islam sekaligus

memperkenalkan Islam di kalangan orang-orang Cina , PITI (Persatuan Islam

Tionghoa Indonesia).

Kata kunci:

H. Masagung, Agama, Cina, PITI, Islam.

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Permasalahan ...................................................................................... 10

1. Identifikasi Masalah .................................................................... 10

2. Pembatasan Masalah ................................................................... 10

3. Rumusan Masalah ....................................................................... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 11

D. Metode Penelitian ............................................................................... 11

E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 13

F. Pendekatan dan Landasan Teori ......................................................... 14

G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 15

BAB II BIOGRAFI H. MASAGUNG ............................................................... 17

A. Latar Belakang Keluarga .................................................................... 17

B. Latar Belakang Pendidikan ................................................................ 23

C. Latar Belakang Usaha ........................................................................ 24

D. Meninggalnya Haji Masagung ........................................................... 29

BAB III H. MASAGUNG DAN PROYEK MENGHARUMKAN ISLAM ... 31

A. Pergerakan dalam Bidang Perbukuan Islam....................................... 31

B. Pemikiran dalam Bidang Dakwah Islam ............................................ 36

BAB IV PERJUANGAN H. MASAGUNG DALAM BIDANG DAKWAH .. 43

A. Memimpin PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) .................... 43

B. Membangun Masjid Agung Al-A‟raf ................................................. 45

C. Mendirikan Yayasan Idayu ................................................................ 47

ix

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 53

A. Kesimpulan......................................................................................... 53

B. Saran ................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etnis Tionghoa merupakan kelompok minoritas di Indonesia. Pada tahun

1961 mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2.450.000 orang .1 Persamaan antara

semua Muslim, seperti yang dipropagandakan oleh Islam, memancarkan daya

tarik bagi etnis Tionghoa. Dalam hal agama, sebagian besar orang Tionghoa

menganut Buddhisme, Tridharma, dan Khonghucu. Namun, banyak pula yang

memeluk agama Katolik dan Kristen. Belakangan, yang memeluk agama Islam

pun bertambah. Dalam hal orientasi politik, ada yang pro Beijing atau pro Taipeh,

tetapi yang terbesar adalah kelompok yang pro Jakarta. Ada yang berwargaan

Negara Taiwan, namun yang terbanyak adalah warga negara Indonesia (WNI). 2

Permasalahan yang dihadapi etnis Tionghoa khususnya Muslim Tionghoa

pada masa Orde Baru sangat kompleks dalam hal hak politik. Hal ini dikarenakan

kelanjutan masalah yang belum usai ialah masalah hak politik dan status

kewarganegaraan etnis Tionghoa. Permasalahan ini juga akhirnya menyebabkan

presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan politik asimilasi. Kebijakan tersebut

ditujukan untuk mempercepat peleburan etnis Tionghoa dan pribumi. Namun pada

kenyataannya orang-orang keturunan Tionghoa oleh para anti Tionghoa malah

lebih didiskriminasikan. Buktinya setelah tukar nama orang keturunan Tionghoa

masih tetap dianggap „‟Cina‟‟. 3

Dampak dari proses program asimilasi terjadi dalam susunan organisasi

Muslim Tionghoa. Hal ini terjadi pada tahun 1972, di mana H. Karim Oie sebagai

pimpinan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia memiliki insiatif untuk merangkul

orang-orang Tionghoa yang belum Muslim dan masih berbahasa Tionghoa. Untuk

melengkapi inisiatifnya maka H. Karim Oei berusaha meminta izin kepada

1 William G. Skinner, The Chinese Minority, New Haven Shawheard Asia Study, Yale

University 1963, h.89. 2 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Buku Kompas,

2010), h. 183-184. 3 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1994), h.60-61

2

pemerintah Orde Baru supaya terjemahan Al-Qur‟an dan majalah dakwah

diterbitkan dalam bahasa Tionghoa. Akan tetapi permohonannya waktu itu ditolak

oleh Departemen Agama dengan alasan pemerintah mau mempercepat proses

asimilasi. 4

Di Tiongkok sendiri pada masa Dinasti Ming telah terjadi proses Islamisasi

yang ditandai mulai berdatangannya orang-orang Tionghoa dari Yunnan. Selain

itu salah satu tujuannya untuk menyebarkan agama Islam terutama di pulau Jawa.

Sebenarnya Islam sudah bersentuhan dengan masyarakat Tionghoa pada

pertengahan abad ke 7 M. proses tersebut bertepatan pada masa kepemimpinan

Ustman bin Affan (khalifah ketiga). Ustman bin Affan mengirimkan utusannya

yaitu Saad Ibn Abu Waqqas ke Cina pada tahun 651 M untuk menghadap kepada

kaisar agar tidak turut campur dalam masalah peperangan antara pasukan Islam

dan Persia. Pada saat itu Dinasti Tang yang berkuasa atas negeri Cina 618-905 M

bahkan peristiwa tersebut juga diperkuat oleh fakta yang berupa naskah annals

pada masa Dinasti Tang.5

Beberapa sejarawan yang berpendapat masuknya Islam ke Cina pada masa

Khalifah Utsman bin Affan antara lain adalah Murata Koong dan Yuan Zhi.

Perkembangan Islam di negeri Cina sendiri dimulai dari Dinasti Tang, Sung, Yan,

Ming, dan Ching. Di masa Dinasti Ming pada tahun 1410-1416 laksamana Cheng

Ho diutus oleh kaisar Dinasti Ming untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di

Nanyang. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut banyak diganggu oleh bajak laut

orang-orang Hokkian pimpinan Lin Tao-Ch‟ien. 6

Pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI, mengubah kepanjangan

PITI menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Pada bulan Mei 2000, dalam rapat

pimpinan organisasi menetapkan bahwa kepanjangan PITI dikembalikan lagi

menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.7

4Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien,

(Jakarta: LP3ES, 1990), h. 182. 5Koong Yuan Zhi: Muslim Tionghoa Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor,2000), h.

274. 6 Koong Yuan Zhi: Muslim Tionghoa Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor,2000), h.

277. 7Onghokham, Anti Cina dan Gerakan Cina, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 10.

3

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan pada waktu itu sebagai

tanggapan realistis atas saran Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah K.H.

Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam

kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.

Menurut Junus Jahja, dengan etnis Tionghoa memeluk agama Islam dilihat

sebagai tindakan atau penyempurnaan terakhir dan final dari proses pembauran. 8

Hal ini dikarenakan di dalam Islam tidak terdapat perbedaan antara satu ras

tertentu dengan yang lainnya. Untuk itu, demi menjaga keimanan orang-orang

yang baru memeluk agama Islam maka didirikanlah suatu organisasi atau

lembaga, yang kemudian dikenal dengan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia

atau yang disingkat dengan PITI.9

Berdasarkan saran H. Ibrahim tersebut, Oey Tjeng Hien mengajak Yap

Asiong dan Soei Ngo Sek (Abdul Hamid) untuk membentuk Persatuan Islam

Tionghoa. Kemudian Kho Goan Tjin datang kepada Oey Tjeng Hien untuk

menyatukan Persatuan Islam Tionghoa dengan Persatuan Muslim Tionghoa

pimpinannya. 10

Penggabungan dua organisasi tersebut melahirkan Persatuan

Islam Tionghoa Indonesia, pada 14 April 1961, di Jakarta.

H. Masagung, yang nama aslinya, Tjio Wie Thay, lahir di Jakarta, 8

September 1927, meninggal di Jakarta, 24 September1990 pada umur 63 tahun. Ia

merupakan anak keempat dari lima bersaudara pasangan Tjio Koan An dan Tjoa

Poppi Nio. Ayahnya seorang ahli listrik tamatan Belanda, sedangkan kakeknya

seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor. Pendidikan formalnya

hanya SD berbahasa Belanda, namun ia bergerak di bidang perbukuan dan

penerbitan. Pada 1953 ia mendirikan PT Gunung Agung yang memiliki toko-toko

buku, PT Gunung Agung banyak menerbitkan otobiografi para tokoh, antara lain

8 The Siauw Giap, Cina Muslim di Indonesia. Drs. Bachtiar Effendy. Penj., Jakarta:

Yayasan Ukhuwah Islamiyah, 1986. 9Nama Persatuan Islam Tionghoa masih tetap bertahan hingga tahun 1972. Di tahun yang

sama PITI yang mempergunakan nama Tionghoa, oleh pemerintah harus diganti dengan nama

yang tidak mengandung unsur kata „‟Tionghoa‟‟. Kemudian pada tahun 1972, Persatuan Islam

Tionghoa Indonesia berubah nama menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesaia. 10

Muliawan (Li Nengyu), „’Sejarah Ringkas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)

1963-1972‟‟, Majalah Komunitas Harmonis, 2009, h. 4.

4

Soekarno (1965), Soeharto (1970), Adam Malik (1979), Sultan Hamengku

Buwono IX (1979).

Sejak 1976 ia beralih agama dari Hindhu Dharma ke Islam, lalu aktif dalam

usaha „‟mengharumkan agama Islam‟‟. Dalam rangka ini didirikan toko buku

Islam „‟Wali Songo‟‟ yang sekaligus berfungsi sebagai Islamic Centre yang

mengelola masjid Al- A‟raf di kompleks tersebut. Beliau meninggal dunia pada

September 1996.11

Masa kecil Haji Masagung, yang keras dan penuh keprihatinan

mendorongnya tumbuh sebagai salah satu pengusaha terkemuka. di tengah

kesuksesannya, ia beralih ke Islam. Sebagai seorang Muslim yang taat, Haji

Masagung memiliki kepedulian besar bagi pengembangan Islam dan pendidikan

bangsa. Dengan program „Mengharumkan Islam‟, ia mendonasikan sebagian

besar tenaga, pikiran, dan dana dalam jumlah besar yang ia peruntukkan khusus

bagi pengembangan Islam melalui pembangunan masjid, perpustkaan, pondok

pesantren, dan majelis-majelis kajian Islam. Tidak hanya itu, ia juga

konsistendalam dunia buku dan penerbitan yang diyakininya sebagai medan jihad

mencerdaskan umat-bangsa dalam era kemerdekaan.12

Ketika usianya baru beranjak empat tahun atau sekitar tahun 1931, Ayahnya

meninggal dunia. Kondisi ini memaksa H. Masagung menghabiskan kehidupan

masa kecilnya dengan perekonomian yang sangat sulit dan pendidikan yang

terbatas. H. Masagung kecil sering terpaksa melakukan berbagai kenakalan

sekedar untuk memenuhi kebutuhan uang sakunya. Dalam berbagai tulisan yang

mengulas biografinya, ia seringkali diceritakan harus mencuri buku tulis

saudaranya untuk dijual sekedar mendapat uang saku.

Kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil juga mengharuskannya

dititipkan ke keluarga pamannya, Tjhio Koan Lok di Bogor. Tercatat dua sekolah

ia masuk, salah satunya sekolah Hollands Chineese Zending School (HCS)

Katolik. Hanya sampai kelas empat, ia harus kembali ke Jakarta dalam kondisi

11

H. Junus Jahya, Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h.230. 12

Abdul Baqir Zein, Saya Memilih Islam: Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan

Allah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).

5

ekonomi keluarga yang tidak kunjung membaik. Namun kondisi ini tidak

membuatnya patah semangat, melainkan menjadikannya tumbuh sebagai anak

yang tangguh, kreatif, berani, dan berpikir mandiri. Pengalaman hidup yang kelak

menjadi modal paling penting saat ia memasuki kehidupan dunia bisnis dan

bergelut di dalamnya.

Beranjak remaja, Wie Tay mencoba peruntungan sebagai “manusia karet di

panggung pertunjukan” senam dan aerobatik. Profesi pertama tidak memberinya

pendapatan yang menjanjikan, sehingga Wie Tay berganti pekerjaan sebagai

pedagang rokok keliling. Bermodal 50 sen, ia membeli barang dagangan dari Lie

Tay San, saudagar rokok besar di Jakarta kala itu, dan menjajakannya di kawasan

Senen dan Glodok. Beruntung, nasib baik menghampirinya. Wie Tay berhasil

menyisihkan keuntungan dan berhasil membeli sebuah kios kecil. Setelah

memiliki kios, Wie Tay meningkatkan penjualannya dalam partai besar. Selain

memasok dari Lie Tay San, Wie Tay memasok dagangan rokoknya dari penjualan

rokok Pasar Pagi. Dalam masa ini, Wie Tay berkenalan dengan The Kie Hoat

yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu,

dan menyuplai dagangan Wie Tay. Melalui dagang, The Kie Hoat kemudian akrab

dengan Wie Tay dan Lie Tay San.

Selepas berhenti bekerja dari Perola, The Kie Hoat, Wie Tay, dan Lie Tay

San sepakat mendirikan usaha bersama. 13

Pada tahun 1945, Wie Tay dan dua

kawannya mendirikan Tay San Kongsie. Semula, kongsi dagang tiga sekawan ini

fokus di penjualan rokok. Untuk meningkatkan pendapatan, kongsi juga melirik

bisnis agen penyalur bir cap Burung Kenari. Melihat pasar yang bagus, ketiga

kawan ini pun mulai merambah bisnis penjualan buku. Atas bantuan seorang

kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari

luar negeri. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan

di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu

mereka membuka toko 3x3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter

persegi. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu

13

A.H. Nasution dkk (Kumpulan Tulisan), Haji Masagung dalam Kenangan: Tapi Roh

Jihadnya Hidup Sepanjang Masa, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990).

6

memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan

alat tulis menulis.

Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk

firma, menjadi Firma Tay San Kongsie di Kramat Bunder. Saham terbesar

dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Oleh kedua

sahabatnya, Wie Tay dipercaya memimpin firma tersebut. Mereka kemudian

membuka toko buku di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak

meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda

tersebut dan membeli buku-buku bekas mereka dengan harga murah dan

dipasarkan kembali lewat toko buku mereka.

Setelah menikahi Hian Nio pada 13 Mei 1951, Wie Tay mengusulkan

pengembangan usaha yang besar. Untuk itu, ia meminta penambahan modal

kepada kedua rekannya. Berbeda dengan The Kie Hoat, Lie Tay San menolak dan

memilih mengembangkan sendiri toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini

Toko Buku Kramat Bundar). Akhirnya, kongsi usaha hanya tinggal antara Tjio

Wie Tay dan The Kie Hoat. Keduanya sepakat membangun toko buku di Jalan

Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat. Saat itu, Kwitang masih kawasan sepi karena

baru ada toko buku kedua sahabat ini. Namun, tidak berapa lama sejak toko buku

mereka dibuka, toko-toko lain dibuka sehingga Kwitang menjadi ramai dan

menjadi salah satu kawasan perdagangan buku di daerah Jakarta Pusat hingga

kini. Belakangan kedua toko buku ini dikenal sebagai Gedung Idayu dan Toko

Buku Walisongo.

Toko buku mereka terus berkembang pesat. Pembelian buku tidak hanya

datang langsung dari warga sekitar Jakarta, melainkan juga dari luar. Selain buku,

permintaan juga bertambah hingga kertas stensil, kertas tik, dan tinta. Berdasarkan

perkembangan pasar demikian, Wie Tay merintis kerjasama dengan para pihak

yang memiliki kedekatan dengan penulisan buku. Untuk itu, selain wartawan, Wie

Tay juga menggandeng para penulis untuk menulis atau menerjemahkan buku-

buku asing untuk kemudian dicetak dan dipasarkan. Beberapa wartawan senior

dan penulis banyak yang bergabung dan menuliskan buku. Selain mendorong

7

pemenuhan kebutuhan buku-buku, upaya ini juga mendorong aktivitas tulis

menulis secara lebih luas. 14

Untuk menamakan tokonya, Tjio Wie Tay mengambilnya dari terjemahan

namanya sendiri. Dalam bahasa Indonesia, nama Tjio Wie Tay berarti Gunung

Besar atau Gunung Gede. Namun agar lebih menjual, Wie Tay

menerjemahkannya sekaligus menjadi nama tokonya sebagai Gunung Agung.

Toko ini diresmikan sebagai NV Gunung Agung pada 8 September 1953.

Menandai peresmian tokonya, Wie Tay menggelar pameran 10 ribu buku dengan

modal Rp 500 ribu. Belakangan, kegiatan pameran buku menjadi trade mark NV

Gunung Agung dalam memasarkan buku-bukunya kepada masyarakat karena

perusahaan ini yang pertama kali memprakarsai pameran buku di tanah air.

Pada tahun 1954 misalnya, Wie Tay kembali menggelar pameran buku skala

nasional bertajuk Pekan Buku Indonesia. Kegiatan pameran dan pemasaran buku-

buku mendorongnya kenal dengan dua tokoh Indonesia saat itu, Bung Karno dan

Bung Hatta. Selain merupakan tokoh yang sangat dikaguminya, kedua orang ini

turut andil mendorongnya menekuni bisnis sekaligus mencerdaskan kehidupan

masyarakat Indonesia. Pada tahun 1955, Bung Karno meminta NV Gunung

Agung menyelenggarakan pameran buku dalam kegiatan Kongres Bahasa

Indonesia di Medan, Sumatera Utara. Tidak hanya itu, Bung Karno juga

mempercayakan penerbitan dan pemasaran buku-bukunya. Buku Di Bawah

Bendera Revolusi (2 jilid), Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Biografi

BungKarno yang ditulis jurnalis Amerika Serikat Cindy Adams, buku koleksi

lukisan Bung Karno (5 jilid), dan buku-buku tentang Bung Karno lainnya adalah

beberapa buku yang diterbitkan dan dipasarkan oleh Gunung Agung. Selain

sebagai sebuah kehormatan, penerbitan dan pemasaran buku-buku presiden

pertama juga turut mendongkrak angka penjualan buku-buku Gunung Agung.

Memeluk agama Islam, menjadikan Masagung seorang Muslim yang sangat

taat, baik berupa keshalehan individual maupun keshalehan sosial. Dalam

menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslim, Masagung sepertinya sangat

14

H. Junus Jahya, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. (Jakarta :

Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), Cet. 3.

8

menikmati keintimian spiritual dengan Tuhan. Setelah Muslim, Masagung

misalnya menunaikan ibadah haji berulangkali. Dalam pemikiran sufisme,

Mekkah sebagai salah satu tempat yang disinggahi dalam perjalanan haji

melambangkan dimensi spiritual sebagai Markaz Al Ruhi Wa Al Fikr (pusat

spiritualitas dan pemikiran). Kedamaian hati dan batin yang didapatnya dalam dan

selama menjalankan ibadah haji mengambarkan pencapaian dimensi

spiritualitasnya.15

Menurut Imaduddin, terdapat dua agenda utama pengembangan Islam yang

dilakukan Masagung, yaitu memajukan Islam dan mencerdaskan pendidikan

bangsa. Dua agenda ini dikemasnya dalam „Proyek Mengharumkan Islam‟ dan

direalisasikan berupa pengembangan fisik seperti mesjid dan pesantren maupun

non fisik seperti penyelenggaraan kajian-kajian keislaman. Sebelum wafatnya,

sebagian besar proyek tersebut sudah bisa direalisasikan. Pada tanggal 27

November 1987 misalnya, Haji Masagung meresmikan pendirian Masjid Al A'raf

dan Pusat Informasi Islam (PII) yang berada di bawah naungan Yayasan

Masagung. Di dalam gedung PII, terdapat perpustakaan, penerbitan berkala,

penelitian dan audio visual, koleksi Al-Qur‟an dan kita-kitab klasik, serta

komputer. Untuk membangun PII ini, menurut catatan Junus Jahja (Lauw Chuan

Thao), tokoh pembauran Cina sekaligus salah seorang penasihat Majelis Ulama

Indonesa, Haji Masagung menghabiskan dana sekitar 1,5 juta dolar AS.

Selain mengabdikan diri dalam tugas-tugas pengembangan Islam yang

relatif membutuhkan dana besar, Haji Masagung juga dikenal sebagai da‟i yang

langsung menyapa umat dalam sebuah forum pengajian. Semasa hidupnya, Haji

Masagung biasa terlebih dahulu menyampaikan pembukaan sekaligus pemaparan

bagi anggota jamaah pengajian Masjid Al-A‟af yang diselenggarakan setiap Ahad

pagi. Lebih dari itu, Haji Masagung juga merupakan figur da‟i yang mau

menyambangi masyarakat Islam hingga daerah terpencil seperti pelosok Bogor.

Haji Masagung selalu ikhlas dan penuh semangat dalam mensyiarkan Islam di

daerah-daerah tersebut.

15

Djayadi MT, Mengapa Etnis Tionghoa Memilih Islam. Lingkar Dakwah. 2008.

9

Diketahui, masyarakat Muslim Indonesia memiliki sejumlah organisasi

keislaman dalam memperjuangkan kegiatan sosial politik keislamannya. Dua

terbesar diantaranya adalah Nahdlahtul Ulama dan Muhammadiyah. Organisasi

NU berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan

ekonomi. Sementara Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 dengan

tujuan awal pemurnian ajaran Islam dari berbagai penyimpangan dan belakangan

membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik.

Berbeda dengan Haji Masagung, 16

tokoh Tionghoa Muslim H. Abdul Karim Oey

(Padang Panjang, 1905 – Jakarta, 1988) memilih bergabung dalam organisasi

keislaman Muhammadiyah.

Dalam hal ini, Haji Masagung cenderung membatasi diri kegiatan

dakwahnya hanya pada sesama masyarakat Muslim dengan tujuan memperkuat

keimanan dan implementasi keshalihan beragama seperti dilakukannya bagi

sesama Muslim Tionghoa yang tergabung dalam Persatuan Islam Tionghoa

Indonesia (PITI). PITI merupakan gabungan dari dua organisasi Persatuan Islam

Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, maka

organisasi PITI ini berubah menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Bahkan

toleransi ini direfeksikannya dengan tidak memaksakan Islam sebagai agama yang

harus dianut oleh anggota keluarganya. Sampai wafatnya, dua dari tiga anaknya

masih menganut keyakinan non-Islam.

Sisi nasionalis Haji Masagung pernah dilukiskan almarhum Jenderal AH

Nasution. Menurutnya, Haji Masagung merupakan mujahid, patriot yang berjuang

dengan mencurahkan tenaga, dana dan pikiran bagi pelestarian nilai-nilai

perjuangan melalui aktivitas dokumentasi dan perbukuan.

Sebelumnya sudah terdapat beberapa tulisan serupa berupa skripsi mengenai

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Di antaranya adalah masalah Tionghoa

Indonesia di Jakarta: Sebuah Gambaran Kasus Asimilasi oleh Amorettya

Minayora dan Muslim Keturunan Cina Di Kabupaten Tangerang oleh

Atmasedjati. Akan tetapi, tulisan-tulisan hanya berdasarkan dari sudut pandang

16

Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di

Indonesia.(Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2003 ).

10

kasus asimilasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap masyarakat pribumi.

Pada tulisan Amorettya Minayora, hanya dibahas mengenai bagaimana tanggapan

etnis Tionghoa yang telah memeluk agama agama Islam dengan program

asimilasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu, penulis juga akan

membahas mengenai Biografi atau Sejarah H. Mas Agung PITI (Persatuan Islam

Tionghoa Indonesia) dan kegiatan dakwah .

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang ada, maka penulis

mengidentifikasi permasalahan.

1. Sejarah Haji Masagung ketika beragama Kristen Cina dan berubah menjadi

seorang mu‟alaf yang pindah Agama Islam di Jakarta pada tahun 1981.

2. Biografi H. Masagung yang mengenai Keluarga, pendidikan, Usaha/Bisnisnya

dan Meninggalnya Haji Masagung.

3. Perjuangan H. Masagung dalam Dakwah Islam di Jakarta yang memimpin

PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia).

2. Pembatasan Masalah

Judul penulisan penelitian „‟Perjuangan H. Masagung dalam Dakwah di

Jakarta tahun 1953-1990‟‟.

Penulis membatasi masalah pada tiga hal pokok, pertama, batasan spesial

yaitu batasan ruang yang hanya meliputi Muslim Tionghoa di Jakarta. Kedua

batasan temporar yaitu batasan tahun, yang dimulai dari tahun 1953. Tahun

tersebut merupakan tahun dimana ia mendirikan PT Gunung Agung yang

memiliki toko-toko buku, PT Gunung Agung banyak menerbitkan otobiografi

para tokoh, antara lain Soekarno (1965), Soeharto (1970), Adam Malik (1979),

Sultan Hamengku Buwono IX (1979) mengalami kepopulerannya. Ketiga adalah

Kegiatan-kegiatan Dakwah Islam PITI yang mulai berkembang dan maju dalam

menjalankan dakwah tersebut.

11

3. Rumusan Masalah

Skripsi ini mengkaji masalah Sejarah Muslim Tionghoa dan Biografi H.

Mas Agung. Untuk menjawab permasalahan tersebut, diajukan beberapa

pertanyaan penelitian, seperti:

1. Bagaimana Biografi H. Masagung?

2. Bagaimana Gerakan dan Pemikiran H. Masagung dalam Bidang Ekonomi?

3. Bagaimana Perjuangan H. Masagung dalam Bidang Dakwah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui biografi H. Masagung, gerakan dan

pemikiran H. Masagung dalam bidang ekonomi dan perjuangan H. Masagung

dalam bidang dakwah.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode sejarah. Metode

sejarah merupakan tahapan-tahapan dalam penulisan proposal skripsi yang terdiri

dari empat tahap, yaitu, heuristik, kritik, interpretasi dan Historiografi.

Dalam tahapan pertama yaitu heuristik, penulis dapat mengungkapkan latar

belakang dari penelitian yang akan dilakukan. Pada tahapan ini penulis mencari

dan mengumpulkan sumber-sumber berupa sumber primer dan sumber sekunder.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan kumpulan artikel oleh Junus

Jahya yang berjudul Masalah Tionghoa Indonesia : Asimilasi Vs Integrasi.

Artikel-artikel tersebut merupakan artikel yang dikumpulkan dari mingguan „‟Star

Weekly‟‟ antara 6 Febuari – 25 Juni 1960. Selanjutnya terdapat beberapa buku

yang di jadikan sebagai sumber diantaranya yaitu H. Abdul Karim (Oey Tjeng

Hien) dengan judul mengabdi Agama, Charles A. Coppel dengan judul Tionghoa

dan Pembangunan Bangsa, Kumpulan artikel yang di susun oleh Drs. H. Junus

Jahya diantaranya berjudul H. Junus Jahya, “Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok

sampai Teguh Karya”, Muliawan (Li Nengyu), „‟Sejarah Ringkas Persatuan Islam

Tionghoa Indonesia (PITI) 1963-1972‟‟, Majalah Komunitas Harmonis. Leo

12

Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, dan beberapa buku

lainnya.

Setelah mendapatkan data-data yang relevan dengan tema penelitian yang

sedang dilakukan, maka dilakukan kritik terhadap data atau sumber-sumber

sejarah tersebut. Tahap kritik ini adalah suatu tahap yang dilakukan untuk

memperoleh fakta yang akurat dan dapat di pertanggungjawabkan. Dalam tahapan

ini kritik di bagi menjadi dua yaitu kritik internal dan kritik eksternal. Kritik

internal dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap materi yang di dapat

agar diperoleh fakta yang terpercaya yang dapat di gunakan dalam penulisaan ini.

Sedangkan kritik eksternal yaitu dilakukan dengan cara meneliti bentuk fisik dan

sumber data bahan penulisan.

Setelah melalui kritisasi sumber, fakta-fakta yang ada diinterpretasikan yang

sesuai dengan peristiwa yang akan diteliti. Berikut fakta-fakta yang didapat tidak

semuanya relevan dan dapat disusun sebagai sumber dalam penulisan ini,

selanjutnya hasil-hasil tersebut dituangkan ke dalam historiografi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku-buku primer dan

sekunder, yang berkaitan dengan Muslim Cina Tionghoa di Indonesia. Selain itu

penelitian juga melalui wawancara langsung dengan pelaku seajarah ataupun

orang-orang yang masih mempunyai hubungan ataupun yang mengerti

permasalahan yang terjadi pada perkembangan PITI sekitar tahun 1961-1972.

Untuk sumber primer dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan kumpulan

artikel yang dibukukan oleh Junus Jahya yang berjudul Masalah Tionghoa

Indonesia: Asimilasi dan Integrasi.

Artikel-artikel tersebut merupakan artikel yang dikumpulkan dari mingguan

„‟Star Weekly‟‟ antara 6 Febuari – 25 Juni 1960, yang didapat di perpustakaan

FIB. Kemudian yang dijadikan sebagai sumber sekunder diantaranya : H. Abdul

Karim (Oey Tjeng Hien) dengan judul mengabdi Agama, Charles A. Coppel

dengan judul Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, Kumpulan artikel yang di

susun oleh Drs. H. Junus Jahya diantaranya berjudul “Peranakan Idealis dari Lie

Eng Hok sampai Teguh Karya”, Muliawan (Li Nengyu), „‟Sejarah Ringkas

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) 1963-1972‟‟, Majalah Komunitas

13

Harmonis. Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Buku –

buku yang didapat berasal dari Perpustakaan UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat UI,

Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, Perpustakaan FIB,

Perpustakaan Kementerian Pendidikan Nasional. Perpustakan Adab dan

Humaniora.

E. Tinjauan Pustaka

Buku pertama yang menjadi acuan adalah sebuah buku yang berjudul

Muslim Cina Tionghoa yang di tulis oleh The Siauw Giap, dan buku yang

berjudul17

Cina Muslim di Indonesia, yang di tulis oleh Drs. Bachtiar Effendy,

Yang di dalam bukunya mejelaskan tentang hal ini dikarenakan di dalam Islam

tidak terdapat perbedaan antara satu ras tertentu dengan yang lainnya. Untuk itu,

demi menjaga keimanan orang-orang yang baru memeluk agama Islam maka

didirikanlah suatu organisasi atau lembaga, yang kemudian dikenal dengan

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau yang di singkat dengan PITI.

Kemudian buku selanjutnya menceritakan tentang biografi H. Mas Agung,

yang nama aslinya Tjio Wie Thay, lahir di Jakarta, 18 September 1927.

Pendidikan formalnya hanya SD berbahasa Belanda, namun ia bergerak di bidang

Perbukuan dan penerbitan. Pada 1953 ia mendirikan PT Gunung Agung yang

memiliki toko-toko buku, PT Gunung Agung banyak menerbitkan otobiografi

para tokoh, antara lain Soekarno (1965), Soeharto (1970), Adam Malik (1979),

Sultan Hamengku Buwono IX (1979).18

Buku selanjunya berjudul „‟Bapak Saya Pejuang Buku‟‟ 19

menceritakan

tentang bagaimana kehidupan masa lalunya dan bisnis yang di jalani selama hidup

di dunia oleh H. Masagung sendiri. Aktivitas yang berubah dari kegiatan bisnis

menjadi kegiatan sosial, tidak membuat Masagung mengubah pola kehidupan

sehari-harinya. Masagung tetap bangun setiap subuh. Kalau ketika belum masuk

17

The Siauw Giap, Cina Muslim di Indonesia. Drs. Bachtiar Effendy. Penj,(Jakarta:

Yayasan Ukhuwah Islamiyah, 1986) h. 15. 18

H. Junus Jahya, Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2002) h.230. 19

Rita Sri Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, (Jakarta: PT Toko Gunung

Agung Tbk, 2003) h. 34.

14

Islam, ia bangun subuh hanya untuk menyiapkan kegiatan bisnisnya, maka setelah

menjadi Islam Masagung mengisi subuhnya dengan Sholat Subuh.

F. Pendekatan dan Landasan Teori

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sosio-Historis yaitu

memahami suatu peristiwa dengan melihat kaitannya yang erat dengan kesatuan

mutlak waktu, tempat, lingkungan dan kebudayaan dimana peristiwa itu terjadi.20

Juga pendekatan sosiologi karena pendekatan sejarah tidak terbatas pada hal-hal

yang informatif, pendekatan ini misalnya melihat konflik yang berdasarkan

kepentingan.21

Dalam teori ini yang dianggap relevan oleh penulis adalah fungsionalisme

struktural. Metode fungsionalisme, bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-

lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut

berpendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai

hubungan timbal-balik yang mempengaruhi masing-masing mempunyai fungsi

sendiri terhadap masyarakat. Dalam bidang sosiologi metode ini diterapkan oleh

Talcott Persons dan Robert K. Merton.22

Menurut Merton adalah sebuah lembaga mempunyai fungsi nyata bagi

masyarakat luas, misalnya fungsi sebagai penyampaian ilmu pengetahuan,

ketrampilan, membentuk pribadi yang mulia di masyarakat dan media berinteraksi

antara orang yang sebelumnya tidak dikenal.23

Teori fungsionalisme struktural juga juga berguna untuk memelihara

keutamaan struktur, „‟memelihara berarti menjaga keseimbangan struktur‟‟

keberadaan suatu adat atau pranata tertentu menurut fungsionalisme adalah karena

kontribusinya bagi keseimbangan sosial.24

20

Mukti Ali, Agama Sebagai Sarana Penelitian dan Penelaahan di Indonesia (Yogyakarta:

Al-Jamia‟ah IAIN no 11, 1987) h. 50. 21

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta: PT.

Gramedia, 1992), h.6. 22

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Grafindo Persada, 1990), h.21. 23

Korer J Voeger, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1992), h. 83-

88. 24

Peter Burke, Sejarah dan Teori Sejarah, Terj Mustika Zet (Jakarta: Yayasan OBOR

Indonesia, 2001), h. 154.

15

Fungsionalisme ini memandang suatu gejala terjadi di waktu tertentu dan

bertanya tentang apa efeknya bagi kesatuan yang lebih besar, fungsionalisme

struktural ini, digunakan untuk meneliti Muslim Tionghoa PITI dalam

mengislamkan etnis Tionghoa di wilayah Jakarta sehingga menjadikan PITI di

kota Jakarta dapat bertahan dan diterima oleh masyarakat umum sampai sekarang.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan terbagi ke dalam empat bab yang terdiri dari:

Bab pertama merupakan pendahuluan dari seluruh bab. Dalam bab ini akan

dikemukan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan landasan teori dan

sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul Biografi Haji Masagung, menceritakan tentang biografi

H. Mas Agung, yang nama aslinya Tjio Wie Thay, lahir di Jakarta, 18 September

1927. Pendidikan formalnya hanya SD berbahasa Belanda, namun ia bergerak di

bidang Perbukuan dan penerbitan. Pada 1953 ia mendirikan PT Gunung Agung

yang memiliki toko-toko buku. Kemudian diuraikan mengenai kehidupan masa

kecil Masagung, yang bakat berwirausaha yang dimiliki oleh Masagung, yang

kemudian mendirikan sebuah Toko Buku.

Bab ketiga menceritakan tentang Haji Masagung dalam Pergerakan dan

Pemikiran-Pemikirannya. Ialah H. Masagung bergerak di salah satu bidang sosial,

di bidang usaha yaitu di perdagangan, mendirikan toko-toko buku salah satunya

(Tokoh Gunung Agung) dan dakwah Islam. Sedangkan dalam Pemikiran Haji

Masagung di dalam Dakwah Islam, memeluk agama Islam, menjadikan Masagung

seorang muslim yang sangat taat, baik berupa kesalelahan individual maupun

keshalehan sosial. 25

Dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslim,

Masagung sepertinya sangat menikmati keintimian spiritual dengann Tuhan.

Setelah Muslim, Masagung misalnya menunaikan ibadah haji berulangkali. Dalam

25Abdul Baqir Zein, Saya Memilih Islam: Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan

Allah. (Jakarta: Gema Insani Press). 2001. h. 14.

16

pemikiran sufisme, Mekkah sebagai salah satu tempat yang disinggahi dalam

perjalanan haji melambangkan dimensi spiritual sebagai Markaz Al Ruhi Wa Al

Fikr pusat spiritualitas dan pemikiran. Kedamaian hati dan batin yang didapatnya

dalam selama menjalankan ibadah haji mengambarkan pencapaian dimensi

spiritualitasnya.

Bab keempat menguraikan tentang perjuangan Haji Masagung dalam

Bidang Dakwah misalnya di dalam kegiatan menyebarkan dakwah Islam di di

kalangan etnis tionghoa. Membahas mengenai kegiatan PITI (Persatuan Islam

Tionghoa Indonesia) setelah berganti nama dalam rangka penyebaran dakwah di

kalangan etnis Tionghoa, membahas tentang membangun Masjid dan mengenal

Yayasan Mas Idayu.

Bab kelima atau bab terakhir yang merupakan bab kesimpulan dimana

penulis akan menjelaskan hal-hal penting dari bab-bab sebelumnya.

17

BAB II

BIOGRAFI H. MASAGUNG

A. Latar Belakang Keluarga

Sejarah Masagung tidak lepas dari hubungannya dengan Ibunya. Sejak kecil

hubungan Haji Masagung dengan ibunya, Poppy Nio tidak pernah rukun. Sampai

menjelang wafatnya sang ibu, beliau sering berselisih faham. Tetapi semua

kerabat Masagung sepakat bahwa sebetulnya Masagung sangat sayang kepada

ibunya. Terbukti dialah satu-satunya dalam keluarga yang mengajak sang ibu

untuk tinggal bersama di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat, hingga Ibu Poppy Nio

meninggal dunia pada tahun 1976.26

Anak-anak Ibu Poppy Nio yang lain, tinggal jauh. Kakak sulung Masagung,

Tjio Louis bersama suaminya tinggal di Amerika. Begitu juga adik Masagung,

Tjio Hetty tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat hingga sekarang. Sedangkan

kakak Masagung yang nomor dua, Tjio Betsi sudah meninggal dunia lebih dulu

karena sakit lambung.

Dan meski sering bertentangan, tak pernah terdengar keluhan Masagung

tentang ibunya. Bahkan Masagung lah yang mengajak ibunya berkeliling ke luar

negeri terutama untuk bertemu dengan anak-anaknya di Amerika. Bagi Masagung

ibu adalah wanita yang paling berjasa, apalagi ibunyalah saksi perjalanan

hidupnya dari saat paling sengsara hingga puncak sukses.

Haji Masagung, yang nama aslinya bernama Tjio Wie Thay, lahir pada 8

September 1927 di Jatinegara, Jakarta. Ia tidak pernah malu-malu menyebutkan

bahwa leluhurnya berasal dari Tiongkok, dan ketika dia lahir, sudah enam

keturunan tinggal di Indonesia tepatnya di Bogor.27

Kakek moyang Tjio Wie Thay yang pertama menginjakkan kaki ke

Indonesia dari Tiongkok, bernama Tjio Lak. Kemudian menikah dengan seorang

putri Bali. „‟Nenek saya yang pertama adalah putri Bali, tetapi saya tidak tahu

namanya‟‟. Itu sebabnya ia selalu mengatakan bahwa ia berdarah Bali.

26

Rita Sri Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, (Jakarta: PT Toko Gunung

Agung Tbk, 2003), h. 96. 27

Rita Sri Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, Op. Cit. h. 98.

18

Kelahiran Tjio Wie Thay disambut dengan gembira oleh ayahnya Tjio Koan

An dan Ibunya Tjoa Poppy Nio. Ia lahir sebagai anak keempat dari lima

bersaudara, karena tidak lama sesudah kelahirannya menyusul kelahiran adiknya.

Sang ayah pada zaman itu tergolong berada. Bukan saja lantaran Tjio Koan

An adalah anak sulung dari Tjio Kim Tjeng, pedagang di Pasar Baru, Bogor.

Tetapi juga Tjio Koan An sendiri adalah ahli listrik tamatan Nederlandsch

Gelijkgesteld and KWS di zaman Belanda, yang mendapat posisi baik di tempat

kerjanya di sebuah perusahaan Belanda. Bahkan Tjio Koan An, yang lulus dengan

nilai tinggi dan menjadi pelajar teladan itu, bergaul di kalangan atas dan memilih

sebagai warganegara Belanda.

Haji. Masagung, kemudian menikah dengan seseorang perempuan yang

bernama Ayu Agung (Nio Hian) pada tanggal 13 Mei 1951. Ayu Agung ini adalah

seorang istri yang baik dan ramah, simpati terhadap siapapun dan tertawanya

sungguh merona. Menurut pengakuannya dia pun tidak berpendidikan, akan tetapi

hanya sampai kelas 3 SD. Tetapi dia sangat bangga dengan keahliannya di bidang

lain. Waktu bertemu dengan H. Masagung (Tjio Wie Tay), dia pekerjaannya

berjualan kue basah rantangan. Kuenya tersohor di Kwitang, sangat laris dan

banyak langganannya.28

Di samping keahliannya di bidang berjualan kue di tempo dulu, kini Ayu

Agung juga menerima jahitan baju. Mungkin ada bakat dalam bisnis, terbukti

kini dia menjadi Direksi Money Changer. Memimpin usaha di bidang money

changer tidak ada kesulitan bagi Ny. Ayu Agung, bahkan dia pegang sendiri

semua urusan bisnisnya, tetapi ada beberapa staf senior yang diambil dari Gunung

Agung dan dari Irian. Begitu pula relasinya yang sangat banyak, sebagian dari

kalangan Bank. Semuanya dia jalankan dengan perasaan saja. Ny. Ayu Agung

menyatakan bahwa dia yang pertama-tama dapat Lisensi Money Changer, dan

mulai buka usaha pada tanggal 13 Mei 1968.

H. Masagung yang hidup sangat berbahagia bersama istrinya Ny. Ayu

Agung mempunyai tiga anak laki-laki. Putra yang sulung berumur (31 tahun),

28

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, (Yogyakarta: Penerbit Buku Surya

Murthi Publisking, 1985), h. 109.

19

Made Oka (25 tahun), dan si bungsu Ketut (14 tahun). Ditambah tiga cucu semua

laki-laki.

Tidak seperti orangtuanya, dua anak laki-lakinya menempuh pendidikan

cukup tinggi. Satu di Swiss, satu di Amerika. Kemudian sekarang telah kembali di

Indonesia dan mulai membantu-bantu orang tuanya berbisnis.

Masa kecil yang keras dan penuh keprihatinan mendorongnya tumbuh

sebagai salah satu pengusaha terkemuka. Di tengah kesuksesannya, ia beralih ke

Islam. Sebagai seorang Muslim yang taat, Haji Masagung memiliki kepedulian

besar bagi pengembangan Islam dan pendidikan bangsa. Dengan Program

„Mengharumkan Islam‟, ia mendonasikan sebagian besar tenaga, pikiran, dan

dana dalam jumlah besar yang ia peruntukan khusus bagi pengembangan Islam

melalui pembangunan Masjid, Perpustkaan, Pondok Pesantren, Majelis-majelis

kajian Islam. Tidak hanya itu, ia juga konsisten dalam dunia buku dan penerbitan

yang diyakininya sebagai medan jihad mencerdaskan umat-bangsa dalam era

kemerdekaan.29

Beranjak remaja, Masagung mencoba peruntungan sebagai “manusia karet

di panggung pertunjukkan” senam dan aerobatik. Profesi pertama tidak

memberinya pendapatan yang menjanjikan, sehingga Masagung berganti

pekerjaan sebagai pedagang rokok keliling. Bermodal 50 sen, ia membeli barang

dagangan dari Lie Tay San, Saudagar Rokok besar di Jakarta kala itu, dan

menjajakannya di kawasan Senen dan Glodok. Beruntung, nasib baik

menghampirinya. Wie Tay berhasil menyisihkan keuntungan dan berhasil

membeli sebuah kios kecil. Setelah memiliki kios, Masagung meningkatkan

penjualannya dalam partai besar. Selain memasok dari Lie Tay San, Masagung

memasok dagangan rokoknya dari penjualan rokok Pasar Pagi. Dalam masa ini,

Masagung berkenalan dengan The Kie Hoat yang bekerja di perusahaan rokok

Perola, salah satu merek rokok laris kala itu, dan menyuplai dagangan Masagung.

Melalui dagang, The Kie Hoat kemudian akrab dengan Masagung dan Lie Tay

San.

29

A.H. Nasution dkk (Kumpulan Tulisan), Haji Masagung dalam Kenangan: Tapi Roh

Jihadnya Hidup Sepanjang Masa, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990).

20

Ketika Masagung memutuskan Islam sebagai agamanya, belum banyak

warga negara Indonesia keturunan Cina yang memeluk agama Islam. Drs. H.

Alifuddin el Islamy, murid Buya Hamka salah satu ulama sahabat Masagung,

menyebut Masagung sebagai pengusaha Indonesia keturunan Cina pertama yang

masuk Islam. Sebelumnya, memang ada keturunan Cina dari Bengkulu, Abdul

Karim Oie, yang sudah lebih dulu masuk Islam. Tetapi dikategorikan sebagai

tokoh masyarakat.30

Akan halnya Masagung, sebelum memeluk agama Islam, pernah menyebut

diri beragama Hindu Bali, karena merasa punya dara Bali dari leluhur ibunya.

Sampai-sampai ia pernah sangat fanatik pada apa-apa yang serba Bali, dan selalu

menyanjung siapa pun orang Bali yang ia temui. Kabarnya kala itu, karyawan

kecil di Gunung Agung yang berasal dari Bali, pastilah disayang oleh Masagung.

Maka ketika Masagung mengumumkan diri menjaadi Islam, timbul banyak

komentar. Kebanyakan berkomentar dengan anggapan bahwa keinginan

Masagung menjaadi Islam semata demi publikasi dan bisnis, mengingat mayoritas

penduduk Indonesia yang beragama Islam. Apalagi tokoh-tokoh nasional yang

akrab dengannya, kebanyakan beragama Islam.

Semasa hidupnya, Masagung sempat menepis anggapan tersebut. Katanya,

„‟Saya masuk Islam tidak untuk mencari kedudukan, tidak untuk cari order

pemerintah, tidak untuk cari backing‟‟. Tetapi bila ditanya mengapa memilih

Islam sebagai agamanya, maka jawabannya, „‟Kun faya Kun, apa yang

dikehendaki Allah, terjadilah‟‟.31

Teman-teman dari kalangan ulama yakin bahwa Masagung memang tulus

dalam memasuki dunia Islam. Di antaranya, K. H. Mawardi Labay el-Sulthany,

salah seorang da‟I sahabat Masagung mengatakan, „‟Saya tahu benar cintanya

kepada Islam luar biasa. Di tangan dia: dakwah subur, masjid subur, ekonomi

subur‟‟.

30

Rita Sri Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, Op. Cit. h. 47. 31

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 48.

21

Dari mana kita bisa melihat keikhlasannya dalam berIslam? „‟Tampak dari

niatnya. Untuk Islam dia tidak mau berpikir-pikir lagi untuk memberi‟‟, ujar

DR.Ir.M. Imaduddin „Ar, MSc.

Menjelang usia ke-50, pada 1975, Masagung memutuskan untuk masuk

Islam. Alasannya, sebagai pedagang, Masagung merasa hanya memikirkan uang,

kedudukan, dan kehidupan yang nyaman. “Saya takut tenggelam dalam dunia

yang berlimpah dan bisa membawa ke dunia maksiat,” tutur Masagung, seperti

yang dikutip buku Saya Memilih Islam karya Abdul Baqir Zein. Setelah pulang

dari ibadah haji, lima tahun setelah menjadi mualaf, Masagung mendirikan

Yayasan Masagung. Pada Senin, 24 September 1990, sesusai shalat Subuh, Haji

Masagung berpulang ke sang khalik.32

Beliau berasal bukan dari keturunan Muslim. Dengan ketebalan Imannya,

beliau pun bisa mendirikan masjid, menyediakan perpustakaan Islam untuk

Muslimin, menyediakan Pusat Informasi Islam untuk masyarakat Islam. beliau

bisa menampung ratusan karyawan Muslimin. Belum lagi dengan kegiatan

masjidnya yang sampai saat ini masih aktif dengan pengajian-pengajian. Ini

mendorong kita semua sebagai penganut Islam yang lahir dari orang tua Islam,

didikan dan dibesarkan dalam lingkungan dan suasana Islam, untuk berbuat baik

lebih banyak lagi.

Haji Masagung adalah seorang Muslim yang dimiliki oleh semua golongan,

tetapi keyakinannya tetap diarahkan kepada akidah yang satu, kepada Allah Yang

Maha Esa yaitu Aqiidatul Islam. H. Masagung seorang Muslim yang beriman dan

seorang Mukmin yang Muslim, tercermin dalam tutur kata dan amal yang telah

dilakukannya yang identik dengan ajaran Islam, inilah terbukti pula dengan

dampak-dampak positif dari karya-karya yang beliau tinggalkan.33

September 1990, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-63, suatu 'kado'

paling berharga diterima Masagung dari Sang Maha Pencipta. Kado itu adalah

masuk Islamnya anak ketiga Masagung, Ketut Masagung. "Saya mendapatkan

32

Abdul Baqir Zein, Saya memilih Islam :Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan Allah,

(Jakarta: Gema Insani Press 2001). h.104. 33

Haji Budiardjo, Haji Masagung Telah Tiada, Tapi Roh Jihadnya Hidup Sepanjang Masa,

(Jakarta: Haji masagung, 1990), h. 269.

22

hadiah yang sangat besar dari Allah SWT, yaitu telah dibukakan oleh Allah hati

anak saya yang ketiga untuk memeluk Islam.

Inilah suatu hadiah yang tidak ternilai besarnya, „‟ujar Masagung ketika

itu‟‟. Dengan dibimbing tokoh Islam, Dr Imaduddin Abdurrahim, Ketut

mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Al A'raf, Jakarta.Namanya

mendapat tambahan Abdurrahman. Jadilah Ketut Abdurrahman Masagung, satu-

satunya anak Masagung yang mengikuti jejak ayahnya.

Yang lain, Oka Masagung dan Putra Masagung, masih pada agama

lamanya. Berbeda dengan Oka dan Putra yang kini lebih banyak bermukim di

Amerika untuk berbisnis, Ketut memfokuskan peninggalan ayahnya di bidang

bisnis di dalam negeri.

Karena itulah, H. Masagung usai menyaksikan pengucapan dua kalimat syahadat

Ketut, sebagaimana dikutip dalam buku Syahadat Ketut Masagung, salah seorang

tokoh pembauran etnis Cina ini mewasiatkan kepada anaknya dua hal berharga,

Alquran dan Hadis. "Dua pusaka ini harus menjadi pegangan utama hidupmu,"

kata Masagung.

Memeluk agama Islam, menjadikan Masagung seorang muslim yang sangat

taat, baik berupa kesahelahan individual maupun keshalehan sosial. Dalam

menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslim, Masagung sepertinya sangat

menikmati keintimian spiritual dengann Tuhan. Setelah Muslim, Masagung

misalnya menunaikan ibadah haji berulangkali. Dalam pemikiran sufisme,

Mekkah sebagai salah satu tempat yang disinggahi dalam perjalanan haji

melambangkan dimensi spiritual sebagai Markaz Al Ruhi Wa Al Fikr (pusat

spiritualitas dan pemikiran. Kedamaian hati dan batin yang didapatnya dalam

selama menjalankan ibadah haji mengambarkan pencapaian dimensi

spiritualitasnya.34

H Masagung masuk agama Islam dengan kesadarannya sendiri. Kini H.

Masagung termasuk orang yang dicintai Allah dan tidak rugi, satu di antara sekian

34

Abdul Baqir Zein, Saya Memilih Islam: Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan

Allah. (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).

23

banyak orang yang pada tahun-tahun belakangan ini telah berbondong-bondong

masuk agama Islam dengan kesadarannya sendiri.35

H. Masagung telah menunaikan Ibadah Haji yang pertama pada bulan

Oktober 1975, Yang ke-dua pada bulan April 1981, dan yang ke-tiga kalinya

berangkat pada tanggal 8 September 1983.36

Pada tahun 1983 H. Masagung menunaikan kembali Ibadah Haji yang ke-

tiga kalinya sebagai Haji Akbar. „‟Haji Akbar bisa dinikmati jika yang

menunaikan Ibadah itu menjadi haji mabrur. Kalau tidak jangan harap bisa

menikmati haji akbar‟‟. Demikian H. Masagung menjelaska.37

B. Latar Belakang Pendidikan

Ketika orang-orang memandang Ayahnya Masagung seorang Insinyur dan

berpendidikan yang tinggi, kini Masagung hanya berpendidikan sampai kelas V

SD. Pendidikan yang terbatas menjadikan Tjie Wie Tay,waktu kecil sering

terpaksa melakukan berbagai kenakalan sekedar untuk memenuhi kebutuhan uang

sakunya. Dalam berbagai tulisan yang mengulas biografinya, ia seringkali

diceritakan harus mencuri buku tulis saudaranya untuk dijual sekedar mendapat

uang saku.38

Kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil juga mengharuskannya

dititipkan ke keluarga pamannya, Tjhio Koan Lok di Bogor. Tercatat dua sekolah

ia masuki, salahsatunya sekolah Hollands Chineese Zending school (HCS)

Katolik, tetapi hanya sampai kelas empat, ia harus kembali ke Jakarta dalam

kondisi ekonomi keluarga yang tidak kunjung membaik. Namun kondisi ini tidak

membuatnya patah semangat, melainkan menjadikannya tumbuh sebagai anak

yang tangguh, kreatif, berani, dan berfikir mandiri. Pengalaman hidup yang kelak

menjadi modal paling penting saat ia memasuki kehidupan dunia bisnis dan

bergelut di dalamnya.

35

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, (Yogyakarta: Penerbit Buku Surya

Murthi Publisking, 1985), h. 24. 36

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 28. 37

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 31. 38

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 132.

24

Ketika sekolah di Jakarta sumber nafkah Tjie Wie Tay yang yatim hanya

dari pencaharian ibunya. Karena sulitnya penghidupan, di antara saudara-

saudaranya ada yang dikirim ke rumah yatim piatu sedangkan Tjie Wie Tay

dikirim ke rumah om dan Tantenya di Bogor.

Akhirnya Tjie pindah ke sekolah HCS di gang Aseng Bogor. Di kelas dia

termasuk anak yang paling besar, nama panggilannya sehari-hari Thieys. Rupanya

di gang Aseng ini dia juga menjadi langganan sasaran kemarahan gurunya, Tjie

Wie Tay kecil ini betul-betul sangat nakal, tetapi anehnya dia juga termasuk anak

yang pandai.39

C. Latar Belakang Usaha

H. Masagung bisa menduduki jenjang teratas sebagai pengusaha yang

berhasil dengan memimpin belasan perusahaan, itu semua adalah suatu Rahmat

Karunia Anugerah Allah SWT yang tak pernah dia mimpikan sebelumnya.

Masa kecilnya Masagung hanya berpendidikan SD tidak tamat serta

kehidupannya serba sulit dan susah, maka dari itu Masagung mulai berfikir

supaya hidupnya lebih baik dan maju, untuk itu Masagung mulailah berjualan

rokok batangan di jalanan tanpa alas kaki dengan modal 50 rupiah uang Jepang,

untuk bisa menyambung hidupnya. Kemudian secara perlahan-lahan berjualannya

meningkat di kios, dari rokok batangan meningkat ke rokok pak-pakan dan

kalengan, minyak wangi dan lainnya. Selanjutnya meningkat pada penjualan

buku-buku dan secara berangsur-angsur dagangnya semakin maju.40

H Masagung meraih keberhasilan yang sangat gemilang di dunia dagang

dimulai dari yang paling bawah terlebih dahulu sebagai pedagang rokok eceran di

daerah Senen Glodok Jakarta pada jaman Jepang. Kemudian menjadi terkenal dan

berhasil lewat penerbitan dan perdagangan buku. Ia mendirikan PT. Gunung

Agung dengan modal Rp 25 juta uanag lama dengan 100 saham. Nama

perusahaannya ketika itu Thay San Kongsi di Kramat Bunder.

39

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 135. 40

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama. h. 28.

25

Dalam masa 25 tahun berkembang menjadi sebuah kelompok besar Agung

Group, yang terdiri dari 9 perusahaan. PT. Gunung Agung dalam bidang

penerbitan dan perdagangan buku, agen Parker, rokok Dunhil dan Rothmann,

makanan dan minuman, alat tulis, majalah Time, computer Cii Honeywell Bull.

Kemudian PT. Ayu Mas Gunung Agung dalam bidang money changer. PT. Sari

Agung, PT. Inter Delta (perdagangan film Kodak).

Kemudian di antara pemegang saham PT. Gunung Agung terdapat nama-

nama mantan Wakil Presiden Almarhum Mohammad Hatta, Almarhum D.

Adinegoro, bekas Walikota Jakarta Sudiro, Darsjaf Rachman, Sumanang SH, DR.

HB. Yasin, Zubair Usman, dan Adisurya (d/h The Kiot Hoat) yang dulu teman H.

Masagung ketika perusahaan mereka masih bernama Thay San Kongsi.

Di dalam berbisnis PT Gunung Agung, identik dengan buku. Objek

perdagangannya yang utama ialah buku yang dibutuhkan orang banyak. Tetapi

sebagimana perusahaan lain, perusahaan Masagung juga mengalami pasang surut.

Dimana masa Jayanya dialamai pada tahun 1960-an.

Tahun 1977 Masagung menyatakan keluhannya. Dia bilang sedih karena

perdagangan buku hanya bagian kecil saja dari seluruh kegiatan bisnisnya.

Kegiatan terbesar dialihkan pada non buku. Ini karena dicabutnya sistem subsidi

yang dulu dinikmati mahasiswa melalui Yayasan Lektur.Akibat kebijaksanaan

pemerintah itu PT. Gunung Agung sangat terpukul hebat.41

Majunya usaha kami ini karena banyaknya tantangan dan rintangan yang

berliku-liku. Modal bukanlah satu-satunya syarat mutlak untuk menjadi

wiraswasta yang berhasil. Yang terpenting adalah adanya kemauan keras,

keberanian, cita-cita, kreatif, kepercayaan kepada diri sendiri, dan juga nama

baik‟‟, demikianlah tutur H. Masagung.

Kemudian untuk menamakan tokonya, Tjio Wie Tay mengambilnya dari

terjemahan namanya sendiri. Dalam bahasa Indonesia, nama Tjio Wie Tay berarti

Gunung Besar atau Gunung Gede. Namun agar lebih menjual, Wie Tay

menerjemahkannya sekaligus menjadi nama tokonya sebagai Gunung Agung.

Toko ini diresmikan pada tanggal 8 September 1953. Menandai peresmian

41

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 115.

26

tokonya, Wie Tay menggelar pameran 10 ribu buku dengan modal Rp 500 ribu.

Belakangan, kegiatan pameran buku menjadi trade mark NV Gunung Agung

dalam memasarkan buku-bukunya kepada masyarakat karena perusahaan ini yang

pertama kali memprakarsai pameran buku di tanah air.42

Saat ini Toko Gunung Agung dikenal sebagai perintis toko buku dan

stationery terkemuka di Indonesia, yang selalu berusaha menyediakan

pelangganannya dengan produk-produk pilihan dengan harga bersaing dan dengan

pelayanan yang prima.

Berbicara mengenai bidang usahanya yang diketahui selama puluhan tahun

ceritanya sangatlah panjang. Selama itu juga pernah mengalami pasang dan surut

saat menjalankan usahanya. Perjalanan usaha dan dunia dagangnya tidaklah selalu

lancar dan berjalan dengan baik.Pada tahun 1970 pernah mengalami kemunduran

sehingga beberapa cabang perlu di tutup.Kerugian terbesar waktu di irian barat.

Masagung menjadi leveransir pemerintah untuk macam-macam barang, misalnya

bahan-bahan bangunan. Kerugian juga ditimbulkan karena peraturan moneter dan

kurs yang berubah-ubah. Namun karena keuletan dan ketekunan Masagung jadi

kemunduran usaha itu cepat dapat diatasi.43

Kemudian sejak zaman Trikora policy perusahaan di robah oleh Masagung.

Tidak hanya khusus berdagang buku akan tetapi mengembangkan bisnis menjadi

nasional distributor. Jadi distributor rokok Dunhill, coklat, tinta, pena, macam-

macam. Bermacam-macam bidang usaha mulai dikembangkan dan ternyata

berhasil Masagung menanamkan saham di perusahaan-perusahaan sedikit demi

sedikit.

Mengenai kesejahteraan karyawan dikatakannya sudah cukup baik,

walaupun belum bisa memberikan kepada mereka tempat tinggal atau perumahan.

Tetapi semuanya berjalan dengan baik sejak dulu hinga sekarang. Tidak pernah

ada keributan atau saling menuntut satu sama yang lainnya. Hubungan antara

Direksi dengan karyawan terjalin sangan baik, dan tidak pernah ada keributan.

42

A.H. Nasution dkk (Kumpulan Tulisan), Haji Masagung dalam Kenangan: Tapi Roh

Jihadnya Hidup Sepanjang Masa.(Jakarta: CV Haji Masagung,1990), h. 17. 43

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h.118.

27

Beberapa tahun kemudian meninggalkan bisnis komersial yang sudah

ditekuni selama 33 tahun untuk kemudian mengelola kegiatan sosial dan agama,

jelas perlu pertimbangan matang. Kalau tidak, tentu akan dirasa berat. Sebab

kegiatan sosial tentulah juga memerlukan biaya banyak.44

Maka sebagai jalan keluarnya, Masagung mendirikan sendiri CV Masagung

yang diharapkan bisa mencari biaya yang dibutuhkan yayasan. Meskipun sulit

dicerna di akal, apakah mungkin sebuah perusahaan kecil membiayai kegiatan

sosial dan agama yang jelas memerlukan biaya yang terhitung banyak. „‟Dana

tidak dicari tetapi akan datang sendiri‟‟, ujar Masagung.

Aktivitas yang berubah dari kegiatan bisnis menjadi kegiatan sosial, tidak

membuat Masagung mengubah pola kehidupnya sehari-harinya. Masgung tetap

bangun setiap subuh, kalau ketika belum masuk Islam, ia bangun subuh hanya

untuk menyiapkan kegiatan bisnisnya, maka setelah menjadi Islam Masagung

mengisi subuh dengan sholat Subuh.

Kemudian setelah menjalankan sholat subuh, Masagung akan tidur kembali

dan bangun lebih kurang pukul tujuh pagi. Di sini ada perubahan, barangkali

berkaitan dengan sudah bertambahnya usia. Sebab, dulu setiap pukul 6 pagi ia

sudah berjalan kaki berkeliling Kwitang sampai ke kampung-kampung, bertegur

sapa dengan masyarakat sekitar yang akrab dengannya. Bertemu dengan siapa

saja, Masagung akan menyapa.

Setelah berusia lebih 50 tahun, ia tidak melakukannya setiap hari. Hanya

tiga kali seminggu, tetapi bukan hanya berkeliling kampong, ia juga berjalan kaki

13 kali sesuai dengan angka kesayangannya, untuk mengelilingi bundaran patung

Pak Tani di Jalan Menteng Raya, tidak jauh dari rumahnya di kawasan Kwitang.45

Selesai berkeliling, ia langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan di

kantor. Ketika masih aktif dalam bisnisnya, pada pukul 7:30, saat karyawan baru

datang, Masagung sudah sibuk di kantornya. Seperti yang dilakukan saat

berkeliling kampung, di kantor pun tanpa menunggu sapaan karyawan, Masagung

akan terlebih dahulu menyapa orang yang di kantonya tersebut. Tampaknya

44

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 83. 45

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 120.

28

Masagung tidak membedakan karyawan. Buat Masagung, direktur, manager atau

tukang sapu sama saja.

Setelah Haji Masagung meninggal dunia „’Bisnisnya masih tetap terus

berkibar’’, PT Toko Gunung Agung Tbk. Yang menjadikan dirinya sebagai

perusahaan public sejak tahun 1991 di tangan penerusnya, terus berkibar dengan

memperluas jangkauan cabangnya dengan membuka cabang-cabang baru dengan

membawa semangat Haji Masagung dalam bidang ritel buku, alat tulis dan kantor

sampai sekarang. Sebagimana pesan Haji Masagung, „‟Masagung boleh tidak ada,

tapi roh jihadnya berjalan terus‟‟.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk terus tetap bisa bertahan, termasuk

ketika menghadapi persaingan yang lahir setelah Masagung meninggalkan

Gunung Agung. Juga ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1998.

Gebrakan yang dilakukan adalah dengan penataan kembali cabang-cabang yang

kurang menguntungkan dari 38 toko di seluruh Indonesia, menjadi hanya 26 toko

dan hanya mengambil wilayah di pulau Jawa dan pulau Bali saja.

Pengembangan cabang dan pembahruan nuansa ruang toko tetap dilakukan

sehingga menjelang ulang tahunnya ke-50 tahun terdiri dari 32 cabang di Jawa

dan Bali. Dari penggunaan dana, manajemen selama ini sama sekali tidak

menggunakan jasa bank, hanya dari hasil penjualan, didukung aktivitas perseroan

yang masih ada di bawah PT Toko Gunung Agung Tbk, yaitu di bidang

perdagangan valuta asing (PT Ayu Masagung) dan bidang perdagangan barang

dan jasa computer (PT Sumber Komputer Ilmu Luhur dan PT Komputa Agung).

Haji Masagung sebagai pendiri Toko Gunung Agung, telah memberikan

pelayanan yang terbaik bagi pengunjung. Denngan cara demikian, perusahaan

tetap eksis. Toko Gunung Agung tetap berkibar bersama semangat sang pendiri,

Haji Masagung. Inilah yang kemudian diwujudkan dalam strategi baru

perusahaan. Ketut Masagung bertekad untuk membangkitkan kembali dunia buku

Gunung Agung yang sempat vakum setelah Masagung tiada.

29

D. Meninggalnya Haji Masagung

Berita meninggalnya Haji Masagung pada hari senin, tanggal 24 September

1990, sangat mengejutkan. Sebab hari itu cerah, tidak ada tanda-tanda kedukaan.

Tetapi yang terjadi, justru terdengar kabar, pada pukul 5:15 pagi Haji Masagung

meninggal dunia.46

Istri Haji Masagung, Hajah Sri Lestari, tak bisa menahan diri, berteriak-

teriak ketika melihat suaminya tersungkur dari tempat duduknya. Tetapi Sri

Lestrai tidak menangis sendiri. Seluruh karyawan dari jajaran direksi, pimpinan

hingga tukang kebersihan tak bisa menahan tangis. Bapak yang mereka sayangi

sudah pergi dengan tenang di surga.

Berulang-ulang, setelah Masagung menjadi Haji, mengatakan siap untuk

di panggil Tuhan. Tetapi Sri Lestari tidak menyangka bahwa akan secepat itu

suaminya pergi meninggal dunia. Ketika Masagung pergi, Masagung dan Sri

Lestari baru memasuki tahun keempat pernikahannya.

Pada sore harinya, sehabis sholat Maghrib di Masjid Agung Al-A‟raf, Haji

Masagung memanggil asistennya, Haji Thabrany „Aziez. „‟Ustad, malam ini saya

tidak ingin ke luar, mau beristirahat di rumah saja‟‟, kata Masagung. Biasanya

maghrib pun Masagung lalukan di Masjid Agung Al-A‟raf, tetapi sudah sejak

seminggu sebelumnya Masagung meminta izin kepada pengurus Masjid Agung

Al-A‟raf untuk melakukan sholat di rumah saja. Dan dokter memang sudah

menganjurkan Masagung untuk beristirahat, karena hasil laboratorium terakhir

menunjukkan bahwa trigliserida Masagung tinggi.

Kemudian dari foto yang belakangan ini dilihat, Ustad H. Thabrany Aziez

memastikan bahwa tengah malam itu Masagung menyempatkan menunggui

mekarnya bunga Wijayakusuma di halaman rumah. Bunga tersebut biasanya

mekar setiap jam 12 malam.Fotonya ada, sedang memakai sarung kotak-kotak

cokelat muda, baju koko dan peci putih, sedang jongkok menghadapi bunga

Wijayakusuma yang sedang mekar. Tutur Haji Thabrany Aziez.

Selesai sholat, tidak seperti biasanya, Sri masih juga merasa mengantuk.

Tapi ia memaksakan diri untuk tidak tidur lagi. Seperti hari-hari yang lain, Sri

46

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 115.

30

menyediakan segelas jeruk peras untuk sarapan Masagung. Masagung pun

meminum sedikit dari gelasnya, lalu melanjutkan membaca Al-Qur‟an. Tiba-tiba

bapak jatuh, ia pun kaget dan terus berteriak-teriak meminta pertolongan.

Masagung jatuh dari kursi dalam kondisi miring, karena duduk di kursi yang

tanpa memakai pegangan tangan. Masagung meninggal dunia dalam usia 63

tahun, diduga karena darah tinggi.

Kepergian Masagung ini diiringi tangis dari keluarga, karyawan dan

sahabat-sahabatnya. Selain kerabat, karyawan, semua sahabatnya hadir di

pemakaman dan menangisi kepergiannya. Jenderal Hoegeng dan Ali Sadikin yang

terkenal tegar pun menangis. Bahkan yang tidak bisa hadir karena sedang tidak

ada di Indonesia, seperti penyair Taufik Ismail yang ketika itu sedang di Mesir,

menangis tatkala menerima telepon duka yang disampaikan oleh Nyonya Ati

Taufik Ismail.47

„‟Saya terkenang persahabatan kami yang sangat mesra. Beliau orangnya

ramah sekali, suka ngobrol dan bergurau dan sangat suka menceritakan bagaimana

perjuangan hidup beliau, „Saudara Taufik, saya jadi kaya begini bukan dari

keturunan, bukan dari kebetulan, saya kerja keras‟‟, tutur Taufik Ismail.Saya pun

melihat hidupnya yang saleh, wajahnya cerah sekali ada semacam cahaya yang

menyenangkan, kenang Taufik. Ketika dimakamkan pun wajah Haji Masagung

tampak tersenyum damai. Sesuai yang berulang dikatakannya, Masagung sudah

siap meninggalkan dunia yang fana ini.

47

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 118.

31

BAB III

H. MASAGUNG DAN PROYEK MENGHARUMKAN ISLAM

A. Pergerakan dalam Bidang Perbukuan Islam

Toko Wali Songo adalah salah satu toko perbukuan Islam di Jakarta

tempatnya di Kwitang. Untuk mewujudkan Ikrarnya, ingin mengisi sisa hidupnya

dengan mengabdi kepada nusa, bangsa, agama dan sesama umat, setelah melepas

Gunung Agung Masagung mengalihkan perhatiannya ke bidang keagamaan yang

melakukan usaha Toko Buku wali Songo.48

Sebuah toko buku Islam yang khusus menyediakan kebutuhan kaum

muslimin terutama buku, yaitu mengenai berbagai buku Islami dan Al-Qur‟an.

Dari semua buku bernuansa Islam, Karyawan pun di wajibkan memakai baju yang

sesuai dengan agama Islam bagi kaum lelaki memakai Baju Koko dan bagi

perempuan memakai Baju Gamis/Busana Muslim. Sebelum memasuki Toko

Buku Wali Songo tersebut, sudah terdengar dari luar ada alunan musik yang

bernuansa Islami, seperti halnya lagu Opik yang menyanyikan berirama Islam.

Jadi di dalam toko tersebut setiap harinya selalu memutar lagu-lagu bernuansa

Islami atau Sholawat Nabi.49

„‟ Pada suatu hari Pak Masagung bertanya kepada saya, bagaimana kalau

mendirikan toko buku Islam yang sangat lengkap? Saya jawab, sangat baik‟‟, tutur

Musihadi, karyawan Gunung Agung yang kemudian ditarik Masagung untuk

menjadi kepala toko buku Wali Songo yang pertama.

Seperti biasanya, Masagung segera bergerak cepat. Diawali membentuk

CV Haji Masagung yang popular disebut CVHM yang mengelola toko buku Wali

Songo langsung secara marathon mengadakan rapat koordinasi dalam rangka

persiapan membuka toko.

Toko yang mengambil lokasi di Jl. Kwitang no.8, Jakarta, diresmikan

setelah enam bulan persiapan. Dan di acara peresmian yang berlangsung

bertepatan dengan pembukuan Jakarta Fair bulan Juni tahun1986 itu, dihadiri

48

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 75. 49

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

32

antara lain oleh Hartini Soekarno dan penulis novel La Rose. Dalam kesempatan

tersebut, para tamu dipersilakan melihat keadaan toko.

Waktu itu pada umumnya buku agama di jual oleh toko buku umum.

Belum ada toko buku yang lengkap khusus agama Islam, ujar Hartono Santoso,

yang sekarang adalah Direksi PT Toko Buku Wali Songo. Sebuah PT baru yang

merupakan pengembangan dari CV Haji Masagung yang kemudian sempat

menjadi PT Haji Masagung, yang berubah lagi menjadi PT Toko Buku Wali

Songo sampe sekarang ini.50

Meskipun waktu itu Masagung sangat optimis bahwa banyak masyarakat

kita yang mencari buku-buku agama Islam, tidak otomatis toko buku Wali Songo

laris. Pada awal dibuka, omset sehari Cuma mendapatkan Rp 75.000,- atau

50.000,- sehari, tutur Musihadi.

Namun Masagung tidak putus asa, Setiap kali bertemu, terus memberi

semangat kepada Musihadi dan kawan-kawan untuk terus melengkapi koleksi

buku. Maka agar masalah kelengkapan ini bisa tercapai, setiap kali ada resensi

buku Islam, Musihadi menyediakannya untuk kelengkapan. Meskipun hasil

penjualan masih sangat kecil, Masagung tetap konsisten tidak ingin merambah ke

penjualan alat tulis kantor. Kita jangan menjual alat tulis, jangan bersaing dengan

Toko Gunung Agung, begitu yang selalu Haji Masagung mengingatkan

karyawannya di Toko Buku Wali Songo.

Kini, toko buku yang diawali dengan 5000 judul buku itu, sudah mencapai

lebih 13.000 judul buku, dengan omset mencapai ratusan kali lipat perhari pada

waktu awal dibuka. Menjelang akhir hayatnya, Masagung telah membuka cabang

di Yogyakarta bahkan merencanakan memindahkan kantor pusat Toko Buku Wali

Songo ke Yogyakarta.

H. Masagung bergerak di salah satu bidang sosial, di bidang usaha yaitu di

perdagangan, mendirikan toko-toko buku salah satunya (Tokoh Gunung Agung)

dan dakwah Islam. H. Masagung mengusulkan pengembangan usaha yang besar.

Untuk itu, ia meminta penambahan modal kepada kedua rekannya. Berbeda

50

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 76.

33

dengan The Kie Hoat, Lie Tay San menolak dan memilih mengembangkan sendiri

toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).

Akhirnya, kongsi usaha hanya tinggal antara Masagung dan The Kie Hoat.

Keduanya sepakat membangun toko buku di Jalan Kwitang Nomor 13,

Jakarta Pusat. Saat itu, Kwitang masih kawasan sepi karena baru ada toko buku

kedua sahabat ini. Namun, tidak berapa lama sejak toko buku mereka dibuka,

toko-toko lain dibuka sehingga Kwitang menjadi ramai dan menjadi salah satu

kawasan perdagangan buku di daerah Jakarta Pusat hingga kini. Belakangan

kedua toko buku ini dikenal sebagai Gedung Idayu dan Toko Buku Walisongo.51

Kemudian Toko buku mereka terus berkembang dengan pesat. Pembelian

buku juga tidak hanya datang langsung dari warga sekitar Jakarta, melainkan dari

luar. Selain buku, permintaan juga bertambah hingga kertas stensil, kertas tik dan

tinta. Berdasar perkembangan pasar demikian, Masagungmerintis kerjasama

dengan para pihak yang memiliki kedekatan dengan penulisan buku. Untuk itu,

selain wartawan, Masagung juga menggandeng para penulis untuk menulis atau

menerjemahkan buku-buku asing untuk kemudian dicetak dan

dipasarkan.Beberapa wartawan senior dan penulis banyak yang bergabung dan

menuliskan buku.Selain mendorong pemenuhan kebutuhan buku-buku, upaya ini

juga mendorong aktivitas tulis menulis secara lebih luas.

Nama tokohnya, Tjio Wie Tay mengambilnya dari terjemahan namanya

sendiri. Dalam bahasa Indonesia, nama Tjio Wie Tay berarti Gunung Besar atau

Gunung Gede. Namun agar lebih menjual, Wie Tay menerjemahkannya sekaligus

menjadi nama tokonya sebagai Gunung Agung. Toko ini diresmikan pada

tanggal8 September 1953, sebagai NV Gunung Agung. Menandai peresmian

tokonya, Wie Tay menggelar pameran 10 ribu buku dengan modal Rp 500 ribu.

Belakangan, kegiatan pameran buku menjadi trade mark NV Gunung Agung

dalammemasarkan buku-bukunya kepada masyarakat karena perusahaan ini yang

pertama kali memprakarsai pameran buku di tanah air.

51

H. Junus Jahya, Cet. 3. Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya.

(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2003.). h. 18.

34

Pada tahun 1954 misalnya, Wie Tay kembali menggelar pameran buku

skala nasional bertajuk Pekan Buku Indonesia.Kegiatan pameran dan pemasaran

buku-buku mendorongnya kenal dengan dua tokoh Indonesia saat itu, Bung Karno

dan Bung Hatta. Selain merupakan tokoh yang sangat dikaguminya, kedua orang

ini turut andil mendorongnya menekuni bisnis sekaligus mencerdaskan kehidupan

masyarakat Indonesia.52

Pada tahun 1955, Bung Karno meminta NV Gunung Agung

menyelenggarakan Pameran Buku dalam kegiatan Kongres Bahasa Indonesia di

Medan, Sumatera Utara.Tidak hanya itu, Bung Karno juga mempercayakan

penerbitan dan pemasaran buku-bukunya. Buku Di Bawah Bendera Revolusi (2

jilid), Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Biografi Bung Karno yang ditulis

jurnalis AS Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (5 jilid), dan buku-

buku tentang Bung Karno lainnya adalah beberapa buku yang diterbitkan dan

dipasarkan oleh Gunung Agung.Selain sebagai sebuah kehormatan, penerbitan

dan pemasaran buku-buku Presiden Pertama juga turut mendongkrak angka

penjualan buku-buku Gunung Agung.

Andil besar Bung Karno dalam pengembangan NV Gunung Agung lain

misalnya, Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah

menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura.Tahun 1963, Toko

Gunung Agung sudah memiliki sebuah gedung megah berlantai tiga di Jln

Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan peresmian

gedung tersebut dihadiri langsung Bung Karno.53

Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama

menjadi “Masagung”. Konon perubahan namanya menjadi Masagung bukan

semata-mata karena ingin namanya mirip dengan nama perusahaannya. Nama

tersebut didapatnya dari Herlina, si Pending Emas Pejuang Trikora (Siti Rachimah

Herlina atau Herlina Kasim, Malang 24 Februari 1941), yang bertemu dengannya

di Irian Barat (kini Irian Jaya) pada masa Trikora. Karena kesulitan bila harus

memanggil nama aslinya Wie Tay, Herlina lebih suka memanggilnya sebagai Mas

52

Jahya, Cet. 3. Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, h. 25. 53

Sam Setyautama, Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa Indonesia. (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia dan Chen Xingchu Foundation. 2008).h. 7.

35

(panggilan pria di Jawa) pemilik Gunung Agung, Mas Agung. “Ia memanggil

saya Masagung, nama yang sudah lama saya cari-cari,” kenang Masagung tentang

asal usul namanya.

Perjalanan bisnis Wie Tay tidak selamanya berjalan lancar. Upaya

nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan Tionghoa dalam masa revolusi

hingga perubahan kebijakan subsidi dan moneter menjadi tantangan serius yang

harus dihadapi Wie Tay dalam menjalankan bisnisnya. Diketahui, selepas masa

kolonialisme Hindia Belanda dan berlangsungnya periode revolusi di era 1950-an,

para Patriot Republikein menghendaki nasionalisasi perusahaan-perusahaan

Belanda dan Tionghoa, termasuk perusahaan-perusahaan penerbitan dan

pemasaran buku-buku.

Dominasi asing di industri penerbitan nasional juga praktis diberhentikan.

Dalam masa ini, riwayat beberapa penerbit buku eks Kolonial Belanda seperti J.B.

Wolters, W. Versluys, Noordhof Kolff, H. Stam, De Op Bouw, De Brug dan lain-

lain satu persatu dihapuskan. Beruntung, PT Gunung Agung yang baru didirikan

luput dari penghapusan. Tantangan lain dihadapi ketika cabang-cabang Toko

Buku Gunung Agung mengalami kemunduran, terutama kerugian besar di cabang

Irian Barat. Perubahan terus menerus aturan moneter dan kurs dan pencabutan

subsidi yang dinikmati mahasiswa melalui Yayasan Lektur membuat bisnis PT

Gunung Agung terpukul.

Lebih dari 40 tahun Masagung bekerja keras dia pun memetik hasilnya.

Sejak tahun 1991 Toko Gunung Agung tbk telah menjadi perusahaan publik yang

tercatat di Jakarta Stock Exchange, karena telah mempunyai 32 cabang di kota

besar Jawa-Bali dengan luas area penjualan lebih kurang 28.000 meter sersegi.

Dari 32 cabang, 20 cabang diantaranya berada di Jakarta dan sekitarnya.

Kesuksesan ini membenarkan pandangan hidup yang diyakini dan dijalankannya

sepanjang hidup yaitu selalu berkemauan keras, berani, punya cita-cita, kreatif,

percaya diri sendiri, bersikap baik, dan menjaga nama baik. Hingga kini, Gunung

Agung merupakan salah satu penerbit sekaligus pemasar buku-buku nasional

terkemuka. Selain buku-buku pengetahuan, Gunung Agung juga menerbitkan dan

36

memasarkan buku-buku keislaman. Selain itu, bisnisnya juga sudah merambah ke

berbagai sektor ekonomi.54

Di tengah sukses bisnis yang diraihnya, Wie Tay memutuskan berpindah

agama dari agama Hindu Dharma menjadi Islam pada tahun 1975. Dengan

demikian, saat masuk Islam, Masagung tepat berusia 50 tahun dan berada dalam

masa-masa puncak kesuksesannya sebagai seorang pembisnis. Menurut

Imaduddin, terdapat dua agenda utama pengembangan Islam yang dilakukan

Masagung, yaitu memajukan Islam dan mencerdaskan pendidikan bangsa.

Memeluk agama Islam, menjadikan Masagung seorang muslim yang sangat taat,

baik berupa keshalehan individual maupun keshalehan sosial.55

B. Pemikiran dalam Bidang Dakwah Islam

Pemikiran Haji Masagung di dalam Dakwah Islam, memeluk agama

Islam, menjadikan Masagung seorang muslim yang sangat taat, baik berupa

keshalehan individual maupun keshalehan sosial. Dalam menjalankan kewajiban

sebagai seorang Muslim, Masagung sepertinya sangat menikmati keintiman

spiritual dengan Tuhan. Setelah Muslim, Masagung misalnya menunaikan ibadah

haji berulangkali. Dalam pemikiran sufisme, Mekkah sebagai salah satu tempat

yang disinggahi dalam perjalanan haji melambangkan dimensi spiritual sebagai

Markaz Al Ruhi Wa Al Fikr pusat spiritualitas dan pemikiran. Kedamaian hati dan

batin yang didapatnya dalam selama menjalankan ibadah haji menggambarkan

pencapaian dimensi spiritualitasnya.56

Tidak hanya keshalehan individual, Masagung mereflesikan sisi

keshalehannya secara sosial. Masagung misalnya, tergugah untuk ikut mendorong

pengembangan masyarakat Islam dan pencerdasan bangsa di tanah air.Masagung

turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan dakwah dan pengembangan Islam.

Peran sertanya semakin maksimal setelah di tahun 1985 kepemimpinan bisnis

54

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo. 55

Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh

di Indonesia. (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara). 2003. h. 23. 56

Abdul Baqir Zein, Saya Memilih Islam: Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan

Allah. (Jakarta: Gema Insani Press). 2001. h. 14

37

Gunung Agung Group ia serahkan kepada ketiga puteranya Oka Masagung, Ketut

Masagung, dan Putra Masagung. Imaduddin Abdurrahim, teman dekat Haji

Masagung, menilai keterlibatannya dalam kegiatan keislaman dilakukannya

secara total dan penuh keikhlasan. “Segala yang dilakukannya atas dasar ikhlas.Itu

nilai yang selalu dia pegang," tutur Imaduddin.57

Menurut Imaduddin, terdapat dua agenda utama pengembangan Islam

yang dilakukan Masagung, yaitu memajukan Islam dan mencerdaskan pendidikan

bangsa. Dua agenda ini dikemasnya dalam „Proyek Mengharumkan Islam‟ dan

direalisasikan berupa pengembangan fisik seperti masjid dan pesantren maupun

non fisik seperti penyelenggaraan kajian-kajian keislaman. Sebelum wafatnya,

sebagian besar proyek tersebut sudah bisa direalisasikan. Pada tanggal 27

November 1987 misalnya, Haji Masagung meresmikan pendirian Masjid Al A'raf

dan Pusat Informasi Islam (PII) yang berada di bawah naungan Yayasan

Masagung. Di dalam gedung PII, terdapat perpustakaan, penerbitan berkala,

penelitian dan audio visual, koleksi Al-Qur‟an dan kita-kitab klasik, serta

komputer.

Yayasan Idayu ialah sebuah lembaga swasta yang berasaskan Pancasila

dan Undang-Undang 1945 serta tidak bernaung di bawah bendera/ panji-panji

suatu partai politik atau organisasi massa. Sifatnya nonkomersial dan bertujuan

membnatu pemerintah dalam rangka pembinaan bangsa dan pembentukkan watak

khusunya di bidang pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.58

Didirikan tanggal 28 Oktober 1966 oleh H. Masagung, Adisria dan Ny.

Muallif Nasution. Kemudian Yayasan Idayu berharap, melalui kegiatannya dapat

berpartisipasi dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian.

Haji Masagung dalam mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dilihat dari

kiprahnya sebagai Ketua Yayasan Idayu sejak 1 Juni 1966. Yayasan yang

dipimpinnnya melaksanakan pendekatan kebudayaan dan pendidikan yang

bertujuan membentuk bangsa dan karakternya. Pendekatan ini dilakukannya

dengan menerbitkan dan menyebarluaskan buku-buku ke berbagai daerah di

57

Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia, h. 29. 58

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 92

38

Indonesia. Atas kiprah ini, Haji Masagung dianugerahi penghargaan internasional

Dag Hammarskjold Award dari Academic Diplomatique de La Pax Pax Mundi

pada tanggal 11 November 1982 di Brusssel.

Penghargaan ini diiberikan kepadanya yang dinilai cukup berperan

menyebarluaskan informasi dan kebudayaan melalui yayasan yang dipimpinnya.

Penghargaan ini biasanya diberikan kepada negarawan, diplomat, cendekiawan,

dan berbagai tokoh yang dianggap berjasa besar. Setelah masuk Islam, melalui

Yayasan Jalan Terang ia juga mendirikan Museum Islam yang memuat naskah-

naskah klasik dan gambar tentang sejarah Islam. Melalui kedua yayasan ini,

Masagung berkontribusi bagi penanaman nilai-nilai kebangsaan dan keislaman

bagi masyarakat Islam Indonesia.

Selain mengabdikan diri dalam tugas-tugas pengembangan Islam yang

relatif membutuhkan dana besar, Haji Masagung juga dikenal sebagai da‟i yang

langsung menyapa umat dalam sebuah forum pengajian. Semasa hidupnya, Haji

Masagung biasa terlebih dahulu menyampaikan pembukaan sekaligus pemaparan

bagi anggota jamaah pengajian Masjdi Al-A‟af yang diselenggarakan setiap Ahad

pagi. Lebih dari itu, Haji Masagung juga merupakan figur da‟i yang mau

menyambangi masyarakat Islam hingga daerah terpencil seperti pelosok Bogor.

Haji Masagung selalu ikhlas dan penuh semangat dalam mensyiarkan Islam di

daerah-daerah tersebut.59

Kendati memiliki ketaatan dan semangat luar biasa dalam menjalankan

ajaran Islam, namun sikap keislaman Haji Masagung relatif toleran dan moderat.

Moderatisme Haji Masagung dilakukannya dengan tidak menempatkan diri dalam

satu golongan Islam tertentu. Saat sebagian tokoh Muslim mengafiliasikan diri

dengan kelompok tertentu seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan

Islam, atau organisasi keagamaan Islam lain di Indonesia, Haji Masagung

cenderung memosisikan diri di luar afiliasi tersebut. Sebagai Muslim dengan

semangat memajukan Islam dan mencerdaskan bangsa, Haji Masagung sepertinya

lebih merasa bebas bila harus berdiri pada posisi di luar afiliasi kelompok

59

Djayadi MT, Mengapa Etnis Tionghoa Memilih Islam.(Lingkar Dakwah).2008, h.7.

39

keislaman terentu. Dengan sikap ini, tidak heran bila Haji Masagung relatif

diterima oleh berbagai lapisan sosial masyarakat Muslim Indonesia.

Diketahui, masyarakat Muslim Indonesia memiliki sejumlah organisasi

keislaman dalam memperjuangkan kegiatan sosial politik keislamannya. Dua

terbesar diantaranya adalah Nahdlahtul Ulama dan Muhammadiyah. Organisasi

NU berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan

ekonomi. Sementara Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 dengan

tujuan awal pemurnian ajaran Islam dari berbagai penyimpangan dan belakangan

membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik.

Berbeda dengan Haji Masagung, tokoh Tionghoa Muslim H. Abdul Karim Oey

(Padang Panjang, 1905 – Jakarta, 1988) memilih bergabung dalam organisasi

keislaman Muhammadiyah.60

Dalam hal ini, Haji Masagung cenderung membatasi diri kegiatan

dakwahnya hanya pada sesama masyarakat Muslim dengan tujuan memperkuat

keimanan dan implementasi keshalihan beragama seperti dilakukannya bagi

sesama Muslim Tionghoa yang tergabung dalam Persatuan Islam Tionghoa

Indonesia (PITI). PITI merupakan gabungan dari dua organisasi Persatuan Islam

Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, maka

organisasi PITI ini berubah menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Bahkan

toleransi ini direfeksikannya dengan tidak memaksakan Islam sebagai agama yang

harus dianut oleh anggota keluarganya. Sampai wafatnya, dua dari tiga anaknya

masih menganut keyakinan non-Islam.

Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Masagung cenderung terbuka dan

tidak ekslusif. Setelah beralih menjadi Muslim, ia tetap memelihara hubungan

baik dengan sesama warga keturunan Tionghoa. Bahkan ia mendorong pembauran

dari dalam warga Tionghoa sendiri, terutama warga Tionghoa Muslim. Lebih dari

itu, Haji Masagung juga memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Bahkan Haji

Masagung merupakan sosok Muslim Tionghoa yang mendorong terjadinya

60

A.H. Nasution dkk (Kumpulan Tulisan), Haji Masagung dalam Kenangan: Tapi Roh

Jihadnya Hidup Sepanjang Masa. (Jakarta, CV Haji Masagung).1990. h. 18.

40

pembauran sehingga tercipta harmoni di antara masyarakat tanah air dengan latar

belakang etnik dan kebudayaan yang beragam.

Haji Masagung juga menginginkan supaya bisa mendirikan kemajuan

Islam dalam bidang dakwah dan Pusat Informasi Islam. Masagung juga

merancang lahirnya sebuah studi Islam atau Islamic Centre di bawah naungan

Yayasan Masagung, yayasan yang didirikannya antara lain bersama istrinya Sri

Lestari.61

Masagung membebaskan lahan seluas 20 hektar di Desa Kadumangun,

Citeureup Bogor. Lahan tersebut kabarnya pernah menjadi salah satu tempat Bung

Karno berpidato pada tahun 1945. Kecintaannya kepada sosok Bung Karno

menjadikan salah satu pertimbangan Masagung untuk membeli tanah tersebut.

Masagung sudah pula menyiapkan maket dan merencanakan akan mengisi

lahan itu dengan museum yang di lengkapi sekolah dari tingkatkanak-kanak

sampai dengan Universitas. Juga dilengkapi dengan asrama dan rumah yatim

piatu. „‟Saya ingin sekali turut mengharumkan Islam dengan apa yang saya

mampu‟‟, begitu selalu dikatakan oleh Masagung.

Buya Yunan Helmi Nasution, adalah salah satu orang pertama yang diajak

Masagung untuk memikirkan pembangunan Museum Islam. Kepada Buya Helmi,

Masagung menyampaikan pemikirannya bahwa melalui Pusat Studi Islam tersebut

akan menerapkan program Trisula, pendidikan, kesehatan dan agama maju

sekaligus. Itu yang menjadi ide kami berdua, ujar Buya Yunan Helmi Nasution.

Buya Yunan mengakui kelebihan Masagungadalah pada dakwah.Itulah

yang ingin di maksimalkan melalui museum Islamnya. „‟Setelah berdakwah ia

selalu memegangi dadanya dan tersenyum. Rupanya dia mendapatkan ketenangan

dan ketenteraman‟‟, ujar Buya Yunan Helmi Nasution.62

Dalam memberikan dakwah juga selalu disertai senyum sehingga

menimbulkan rasa ketenangan dan ketenteraman bagi yang mendengarkan. Selain

penyampaiannya dengan suara yang halus, tema yang dipilih kebanyakan

berkonsep perdamaian. Ia juga selalu mengawali dakwah dengan kalimat rendah

61

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h.76. 62

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h.77.

41

hati, seperti, „‟Saya mohon maaf karena yang bicara Masagung. Masagung tidak

ahli, tidak ilmiah, tidak pakai statistik‟‟. Tidak heran bila banyak yang

mendengarkan dakwahnya , termasuk para mahasiswa. Bahkan kemampuannya

berdakwah bukan hanya dikenal secara nasional, melainkan juga Internasional.

Antara lain pada tahun 1987 mendapat undangan dari peking University

(RRC) untuk memberi ceramah selama tiga hari mengenai masuknya agama Islam

ke Indonesia. Masagung juga menyempatkan untuk berdakwah di tengan

masyarakat muslim di Cina. Sepuluh hari di sana betul-betl dihabiskannya untuk

berdakwah. Ia sama sekali sudah tidak membicarakan masalah bisnis.

Visi dan misi Masagung adalah syiar Islam. Karenanya ia mengharapkan

bisa melakukannya secara maksimal melalui museum Islamnya yang ia beri nama

Proyek Mengharumkan Islam, Proyek Wali Songo. Bahkan secara resmi ia

umumkan pada tanggal 15 Januari 1984, bersama dengan perkenalan berdirinya

Yayasan Masagung yang tujuannya melanjutkan cita-cita Masagung dalam

melaksanakan Proyek Mengharumkan Isalm, Proyek Wali Songo.63

Menurut penjelasan Masagung, nama proyek tersebut diambil sesuia

dengan doanya sewaktu menunaikan ibadah haji pada tahun 1981 yang kemudian

diulang kembali tahun 1983. Yaitu selain agar sisa hidupnya bermanfaat bagi

nusa, bangsa dan sesame umat, juga berdoa, „‟Ya Allah semoga sisa hidup saya

dapat ikut mengharumkan Islam dan tidak putus di tenga jalan.

Gambaran yang ada di benak Masagung, bangunan Islamic Centre itu

merupakan duplikat Masjidil Haram yang di lengkapi dengan bebrbagai fasilitas.

Selain masjid dan museum, juga perpustakaan, rumah sakit dan asrama yatim

piatu. Dari yang dibuat, tergambar bangunan Masjid Wali Songo ada di sebelah

kiri, lalu di sebelah kanan adalah Museum Wali Songo yang berbentuk

memanjang, berbagi dengan museum seni budaya Islam dan museum seni

kaligrafi Islam. Bagian tengah merupakan area untuk gedung asrama yatim piatu,

rumah sakit dan sekolah serta perpustakaan.Kantor Yayasan Masagung diletakkan

di ujung kanan lahan.64

63

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h.78. 64

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 79.

42

Meskipun bangunan tersebut baru sampai taraf gambar, Masagung jauh-

jauh hari sudah menyiapkan benda bernapaskan Islam yang akan di tempatkan di

museum tersebut. Dan ratusan jenis kaligrafi Islam juga tak luput dari

pengumpulan Masagung. Bukan hanya corak dan gaya yang diperhatikan

Masagung dalam menyeleksi kaligrafi yang akan dikoleksi, melainkan juga betul

tidaknya ayat yang tertera di kaligrafi tersebut. begitu banyaknya koleksi yang

sudah terkumpul, sehingga karena bangunan belum ada sama sekal, jadi koleksi

tersebut ditempatkan di salah satu ruangan salah satu tokohnya di Kwitang nomor

8, Jakarta.65

Di ruangan yang berukuran 20X50 meter itu, Masagung menyimpan

antara lain sebuah meja marmer berwarna hitam abu-abu yang berusia 1000 tahun,

duplikat pedang Rasulullah, Kiswah ka‟bah yang berlapis emas, pintu rumah

berukiran ayat Al-Qur‟an dan jam dinding besar dari kayu dengan ukiran surat

Yassin. Juga ada kentongan asal Tuban dari kayu berusia sekitar 100 tahun.

Bahkan ada medali Ka‟bah, duplikat stempel Nabi Muhammad SAW serta

Kiswah , kain penutup ka‟bah yang asli buatan Makkah dan Kiswahbuatan Mesir.

Masagung kemudian sekaligus memanfaatkan ruangan itu sebagai Pusat

Informasi Islam, embrio dari museum Islam yang diangankannya. Selain

memamerkan semua koleksi yang sudah ada, Pusat Informasi Islam itu juga

dilengkapi dengan berbagai buku mengenai Islam.Tujuannya untuk membantu

masyarakat yang ingin mendapatkan gambaran berbagai hal tentang Islam.

Sayang sekali, setelah Haji Masagung tiada, koleksi Pusat Informasi Islam

itu jadi tidak mendapatkan perhatian khusus. Dari lokasi lama di Kwitang no. 8

Jakarta, satu lokasi dengan Masjid Al- A‟raf sebelum pindah ke Kwitang no. 13.

Kini koleksi yang semestinya ditangani secara khusus itu, hanya menjadi salah

satu bagian dari koleksi yang di simpan Yayasan Idayu terutama yang berupa

buku.66

65

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo. 66

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

43

BAB IV

PERJUANGAN H. MASAGUNG DALAM BIDANG DAKWAH

A. Memimpin PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia)

Dalam mengayomi semua organisasi dan perorangan yang

menyebarluaskan agama Islam di kalangan penduduk keturunan Tionghoa, pada

tanggal 14 April lalu didirikan Majelis Sesepuh Muslim Tionghoa. Susunan

pengurusnya terdiri dari KH. Tohir Widjaya, H. Faishal Thung, KH. Moh. Isa

Idris, Drs. H. Junus Jahya, dan H. Masagung.67

Menurut Junus Jahja dalam keterangannya mengatakan, majelis tersebut

dibentuk dalam suatu silaturrahmi antara tokoh-tokoh Islam yang aktif melakukan

dakwah di kalangan keturunan Tionghoa. Bertempat di Hotel Sahid Jaya,

pertemuan itu dihadiri sekitar 23 peserta dari unsur PITI ( Pembina Imam Tauhid

Islam, dahulu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia ), Yayasan Ukhuwah

Islamiyah, Yayasan Pembina Muslim Tauladan Indonesia, Keluarga Persaudaraan

Islam, Majelis Taklim Pembauran, maupun perorangan.

Pertemuan ini disepakati, dalam dakwah di kalangan keturuan Tionghoa

sebenarnya bukan masalah Muslim keturunan Tionghoa semata-mata, tapi

menjadi tanggung jawab umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Untuk

mengkonsolidasikan hasil-hasil dakwah yang sudah tercapai serta merancang

program-program dakwah secara efektif, untuk sementara diadakan pelembagaan

tadi.

Selain Majelis Sesepuh, juga di bentuk Forum Komunikasi dan

Konsultasi, yang diketuai H. Max Mulyadi Phan, seorang pengusaha tekstil di

kawasan Pintu Kecil. Lembaga ini dimaksudkan untuk menampung segala saran

dan pandangan mengenai dakwah di kalangan keturunan Tionghoa.Di samping

memonitor hasil yang telah di capai.68

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sebetulnya didirikan di Jakarta,

pada tanggal 14 April 1961 (pada anggaran dasar PITI yang diterbitkan pada

67

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, (Yogyakarta: Surya Murthi

Publisking, 1985), h. 67. 68

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, h. 68.

44

tanggal 6 Juli 1963 tertulis tanggal pendirian adalah 6 Juli 1963) PITI didirikan

oleh almarhum H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong dan

Kho Goan Tjin.

Berdirinya PITI pada waktu itu adalah jawaban Almarhum Haji Abdul

Karim Oei atas pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang waktu itu di

jabat oleh Kiai Haji Ibrahim yang menyatakan bahwa: „‟ Untuk dakwah Islam

kepada keturunan Tionghoa sebaliknya dilakukan oleh keturunan Tionghoa

sendiri, bukan oleh lembaga dakwah seperti Muhammadiyah, NU atau lembaga

dakwah Islam lainnya. Tidak mengherankan kalau kebijaksanaan pimpinan PITI

waktu itu mendapat sambutan secara spontan masyarakat luas sehingga PITI

tumbuh dan berkembang dari kota ke kota. Setiap orang keturunan Tionghoa yang

beragama Islam sering disebut PITI. PITI menjadi identik dengan orang Tionghoa

Muslim, begitu orang mengenalnya selama ini.69

Pada bulan Mei 2000, dalam rapat pimpinan organisasi menetapkan

kepanjangan PITI dikembalikan menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.

Jika pada satu saat, karena kesepakatan anggota, kepanjangan PITI kembali

menyandang atau mempergunakan nama etnis Tionghoa pada nama organisasi ini

itu semata-mata sebagai strategi dakwah dan kecirian organisasi ini bahwa

prioritas sasaran dakwahnya tertuju kepada etnis Tionghoa.70

Pada saat reformasi tahun 2000, sontak membuat PITI tergelitik untuk

melakukan perubahan.Muktamar Milenium (Muktamar Nasional II) pun di gelar

guna membangkitkan kembali semangat dan struktur organisasi PITI. Pada

muktamar ini, akhirnya secara resmi ditetapkan Ketua Umum Alternatif yaitu

Bapak HM Trisno Adi Tantiono selaku Ketua Umum Kepengurusan Dewan

Pimpinan Pusat (DPP) PITI 2000-2005. Akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya,

karena banyak kesibukan kerja dan alasan yang bersifat pribadi Bapak HM Trisno

Adi Tantiono mengundurkan diri.Sehingga sejak tanggal 2 Oktober 2003 forum

internal sepakat mengangkat atau menunjuk sebagai ketua umum Bapak H. M Jos

Soetomo. Lewat berbagai proses yang muncul dalam perjalanan

69

Pengurus DPP PITI, Warta PITI( Jakarta: T.pn, 2004), edisi 8 April 2004, h. 7. 70

Pengurus DPP PITI, Warta PITI, h. 9.

45

keorganisasiannya, menunjukkan bahwa masih perlu banyak penyempurnaan dan

pengaturan mekanisme organisasi dalam lingkungan.

Pada waktu pengurusan masa bakti ini, program utama PITI, terbatas pada

rekonsolidasi kepengurusan wilayah dan daerah-daerah yang pada masa lalu,

kepengurusannya sudah ada di seluruh provinsi di Indonesia dari Aceh sampai

Papua.

Program PITI adalah menyampaikan tentang (dakwah) Islam khususnya

kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan,

kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan

keluarga yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di

lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya serta pembelaan/perlindungan bagi

mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah

dengan keluarga dan lingkungannya.71

Adapun dan bagaimanapun kondisi organisasinya, PITI sangat diperlukan

oleh etnis Tionghoa baik yang muslim maupun non muslim. Bagi Muslim

Tionghoa, PITI sebagai wadah silaturahmmi, untuk saling memperkuat semangat

dalam menjalankan agama Islam di lingkungan yang masih non muslim.72

Bagi etnis Tionghoa non muslim, PITI dapat jadi jembatan antara mereka

dengan umat Islam. Bagi pemerintah PITI sebagai komponen bangsa yang dapat

berperan strategis sebagai jembatan, penghubung antara suku dan etnis, sebagai

perekat untuk mempererat dan sebagai benang yang akan merajut persatuan dan

kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Membangun Masjid Agung Al-A’raf

Di bawah Yayasan Masagung, selain mendirikan Pusat Informasi Islam

juga mengelola Masjid Al-A‟raf.Berawal dari sebuah percakapan dengan istrinya,

Hj. Sri Lestari yang berlangsung di sebuah pagi menjelang bulan puasa.„‟ Kalau

71

Pengurus DPP PITI. Pembina (Jakarta: T.pn, 1993), Edisi I, h. 5. 72

Pengurus DPP PITI. Pembina, h. 10.

46

kita punya rumah besar, saya ingin dalam bulan puasa kita sholat tarawih bersama

warga Kwitang‟‟, ujar Sri Lestari kepada Masagung.73

Masagung merasa sangat tergugah dan segera saja mengajak rapat dua

orang ustad yang menjadi stafnya.Setelah mendapat persetujuan dari ustadnya,

maka diputuskan ruangan kaligrafi yang dijadikan sebagai tempat untuk tarawih

bersama warga Kwitang.

Akan tetapi jumlah jamaah ternyata terus bertambah dan penggunaannya

pun meluas, antara lain juga dipergunakan sebagai tempat sholat jumat. Maka

tempat itupun dibangun sebagai masjid dengan nama Masjid Agung Al-A‟raf

yang artinya „‟tempat yang tinggi‟‟. Seperti Masjid Demak yang dibangun

Walisongo dalam tempo 24 jam, maka demikian pula Masjid Agung Al-A‟raf

juga disiapkan hanya dalam tempo 3 bulan.

Kepada Sri Lestari, Masagung mengatakan, pendiri Pusat Informasi Islam

dan Masjid Agung Al-A‟raf adalah hadiah ulang tahun untuk istri keduanya itu.

„‟Karena saya tahu Sri hanya mau hadiah yang bisa dimanfaatkan masyarakat

banyak‟‟, ujar Masagung.74

Masjid yang di resmikan oleh Menko Kesra ketika itu, H. Alamsyah Ratu

Perwiranegara, pada tanggal 27 November 1987 itu aktivitasnya terus ramai

dikunjungi jamaah untuk bersholat. Bahkan sejak awal hingga sekarang, setiap

hari minggu menampilkan penceramah ternama. Antara lain, K. H. Baharuddin

Masse SH, Dr. Ir. H. M. Imaduddin Ar, MSc, Prof. DR. Tengku Hasballah Puteh,

Kol. Dr. H. M. Mulya Tarmidi dan H. Toto Tasmara.Masjid Agung Al-A‟raf

inilah yang pertama membiasakan mengajak jamaahnya untuk bertanya jawab

sesuai ceramah. Ketika itu masjid belum terbiasa membuka kesempatan secara

rutin kepada jamaah untuk bertanya langsung kepada khotib.

Semangat Masagung dalam berislam diakui oleh banyak ulama.„‟ Kalau

Masagung hidup panjang, Ya Allah sinar Islam lebih hebat‟‟, ujar K. H. Marwadi

Labay El- Sulthany. Sebab cita-cita yang sering disampaikan kepada sahabat-

73

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 80. 74

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

47

sahabatnya adalah „‟ Banyak yang belum tau manis lezat nyamannya Islam. Maka

kita tampilkan wajah Islam yang sebenarnya.

Bagi generasi sekarang bisa jadi ucapan Masagung itu dianggap ramalan.

Apalagi banyak yang mengatakan Masagung mempunyai kemampuan

paranormal. Contoh yang pernah terjadi, dalam sebuah perjalanan di Brunai

Darussalam, Masagung tiba-tiba berteriak kepada stafnya yang bertugas sebagai

supir mobil Masagung. „‟Saudara, cepat menyebut basmallah tiga kali, Saudara

akan mendapat kecelakaan! ‟‟ Karena staf tersebut bukan beragama Islam, maka

tidak melakukan nasihat Masagung. Dan betul, mobil yang dikendarai mengalami

kecelakaan, dan untung tidak jatuh korban.

C. Mendirikan Yayasan Idayu

Yayasan Idayu adalah sebuah lembaga swasta berasaskan Pancasila dan

Undang-Undang 1945 serta tidak bernaung di bawah bendera/panji-panji suatu

partai politik atau organisasi massa.Sifatnya nonkomersial dan bertujuan

membantu pemerintah dalam rangka pembinaan bangsa dan pembentukan watak

khususnya di bidang pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.

Didirikan mulai tanggal 28 Oktober 1966 oleh H. Masagung, Adisria dan

Nyonya Muallif Nasution. Yayasan Idayu berharap, melalui kegiatannya dapat

berpartisipasi dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian.

„‟Idayu‟‟ adalah nama Ibunda almarhum (mantan) Presiden Sukarno, yang atas

perkenan almarhum dipergunakan sebagai Yayasan. Nama ini dipilih dengan

dasar pengertian bahwa di dalamnya terkandung makna „‟Ibu‟‟ yang pada

hakikatnya merupakan „‟Pemimpin Pertama‟‟ bagi putranya dalam memulai hidup

di dunia.75

Yayasan Idayu dalam penyelenggaraan jasa perpustakaan dan

dokumentasinya senantiasa bekerjasama dengan perpustakaan-perpustakaan dan

pusat-pusat dokumentasi baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Yayasan Idayu ini juga menyediakan perpustakaannya untuk tempat praktek

75Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama. h. 20.

48

perpustakaan bagi peserta kursus perpustakaan yang diselenggarakan oleh pusat

Pembinaan Perpustakaan.

Lahirnya Yayasan Idayu banyak catatan yang dihasilkan dari persahabatan

Masagung dan Bung Karn, Justru pada saat Bung Karno dalam pengasingan.

Antara lain lahirnya Yayasan Idayu, sebuah yayasan yang bertujuan membantu

pemerintah dalam pembinaan bangsa dan pembentukan watak manusia Indonesia.

Waktu itu ada surat bahwa Masagung minta bapak memberi jawaban tentang

penggunaan nama Yayasan Idayu. Ketika saya sampaikan kepada bapak, bahwa

ini ada permintaan dari Pak Masagung, boleh tidak dengan menggunakan nama

Idayu, tutur Rachmawati Soekarnoputri. Bung Karno mengatakan setuju.76

Masagung sudah mengajukan permohonan menggunakan nama Idayu

sebagai nama yayasan kepada Bung Karno, beberapa bulan sebelum peristiwa

G30S. penggunaan nama „‟Idayu‟‟ harus ada izin dari Bung Karno, karena Idayu

lengkapnya Ida Ayu Nyoman Rai adalah nama ibunda Bung Karno. Ayah Bung

Karno, Raden Sukemi Sosrodiharjo berasal sari Jawa, keturunan dari Sultan

Kediri. Sedangkan Ida Ayu, ibunda Bung Karno, kelahiran Singaraja Bali dari

Kasta Brahmana.

Masagung yang mengusulkan nama Idayu sebagai nama yayasan, karena

merasa sama-sama mempunyai darah Bali. Sebagaimana sering dituturkan

Masagung, nenek Masagung adalah wanita asal Bali yang menikah dengan kakek

Masagung yang datang dari Cina. Alasan lain, di dalam nama Idayu terkandaung

makna Ibu yang pada hakekaknya merupakan pimpinan pertama bagi generasi

muda dalam memulai hidup di dunia.77

Tetapi rupanya direksi PT Gunung Agung tidak berkenan dengan

pemakaian Idayu sebagai nama yayasan di bawah bendera Gunung Agung,

sampai-sampai menimbulkan ketegangan di antara pimpinan Gunung Agung. Para

direksi dan komisariat menganggap bahwa memakai nama keluarga Bung Karno

sebagai nama yayasan pada saat itu sangatlah tidak tepat. Sebab bisa-bisa nama

Gunung Agung dilibatkan dengan nama Bung Karno yang sedang terpuruk.

76Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 36.

77Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

49

Sebagai jalan keluar, Masagung memutuskan untuk mendirikan Yayasan

Idayu secara pribadi, tanpa melibatkan nama Gunung Agung. Sebab sudah cukup

lama Masagung memimpikan nama Idayu untuk perpustakaannya. Pada saat itu,

Masagung berusia 40 tahun, usia yang bagi banyak orang merupakan usia

produktif dan sedang bersemangat mengumpulkan kekayaan. Tetapi bagi

Masagung, usia 40 tahun justru usia yang sudah tidak terlalu berambisi

menumpuk kekayaan.

Peresmian yayasan ini sengaja mengambil Hari Sumpah pemuda, yang

kebetulan bertepatan dengan berlangsungnya pergolakan gerakan mahasiswa

Indonesia menentang politik Bung Karno. Tetapi faktor yang kedua itu tidak

dipedulikan oleh Masagung. Alasannya, karena ia tidak ingin mengaitkan

aktivitasnya dengan masalah politik.78

Ia hanya ingin menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk putra-putri

bangsa melalui perpustakaan Yayasan Idayu ini. Melalui yayasan yang

beraktivitas di bidang dokumentasi dan perpustakaan tersebut, seperti juga di

Gunung Agung, kembali Masagung menggelegarkan semangat Nation and

Character Building sebagai tujuan yayasan. Perpustakaan Idayu mula-mula masih

mengambil tempat menjadi satu dengan Toko Gunung Agung di Jalan Kwitang

nomor 13. Tetapi setelah semakin bertambah koleksinya, tempat itu dirasa tidak

cukup. Koleksi buku bertambah terus tetapi tidak semua mendapat tempat, sampai

harus ditempatkan di bawah meja. Jadi sudah cocok untuk sebuah perpustakaan.

Karena itu, ketika Pemda DKI Jakarta memugar Gedung Kebangkitan

Nasional di Jalan Abdulrahman Saleh Jakarta, Yayasan Idayu mengajukan

permohonan kepada Gubernur agar dibolehkan menggunakan sebagian ruangan.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin langsung setuju, dan pada tahun 1974

Perpustakaan Idayu pindah ke Gedung Kebangkitan Nasional, yang menempati

lahan seluas 1800 m2 di bagian belakang gedung.

Gedung Kebangkitan Nasional itu diresmikanoleh Presiden Soekarno pada

tahun 1974, ditandai pula dengan pameran buku yang diselenggarakan Gunung

78

Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 39.

50

Agung. Pada saat inilah Masagung terang-terangan memperlihatkan kecintaannya

kepada Bung Karno di depan Presiden RI Soekarno.79

Hadirnya Yayasan Idayu mendapatkan banyak sambutan, karena banyak

yang ingin memanfaatkan koleksi Yayasan Idayu. Baik mahasiswa, peneliti

maupun media massa yang mencari referensi. Pada saat itu belum banyak

perguruan tinggi yang mempunyai perpustakaan.

Lebih jauh lagi, Masagung bercita-cita, Idayu bisa memberikan

penghargaan kepada tokoh-tokoh yang berjasa di bidang ilmu pengetahuan.

Sampai dengan meninggalnya baru sempat memberikan satu penghargaan kepada

Prof. Dr. Bahder Djohan, guru besar dari Universitas Indonesia.80

Karena ia tidak menyangka pada tanggal 11 November 1982, datang

penghargaan Dag Hammarskjold Award dari Academic Diplomatique de La Paix

(Akademik Diplomatik untuk Perdamaian) „‟Pax Mundi‟‟ sebuah lembaga yang

berpusat di Brussel, Belgia. Penghargaan ini berupa bintang yang disematkan oleh

Dr. H. C. Dirix Urbain di Brussel, Belgia, Direktur Academic Diplomatic de La

Paix ketika itu diberikan atas jasa Masagung di bidang Informasi dan Kebudayaan

melalui Yayasan Idayu.

Ketika memberikan penghargaan itu, saya belum pernah bertemu dengan

Masagung. Saya hanya membaca berbagai tulisan mengenai Masagung, kemudian

dari situ saya mengetahui Masagung adalah pribadi yang spesial dan sangat cinta

Indonesia. karena itu saya usulkan untuk mendapat penghargaan Pax Mundi,

sebuah penghargaan untuk perdamaian, tidak ada kaitannya dengan politik, tutur

Dr. H. C. Dirix Urbain, yang telah pensiun dari jabatan Direktur Academic

Diplomatique, dan sekarang tinggal di Yogyakarta.

Sampai sekarang ini perpustakaan dan pusat dokumentasi Yayasan Idayu

masih berkantor di Jl. Kramat Kwitang Kecil, Jakarta Pusat, koleksinya sekarang

sudah tidak selengkap dahulu.Tinggal 30% dari total koleksi, karena banyak yang

terkena rayap dan pernah kebanjiran.

79

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

80

Rita Sri Hastuti, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, h. 42.

51

Sepanjang perjalanannya, Idayu memang mengalami kepindahan beberapa

kali. Bermula dari Kwitang no. 13, Haji Masagung telah menghibahkan gedung di

Kwitang no. 13, berikut tanahnya untuk Idayu, karena sudah terlalu padat

koleksinya maka pada tahun 1972 pindah ke Gedung Kebangkitan Nasional.

Menempati lokasi seluas 1.800 meter persegi lengkap dengan rak-raknya.81

Lama berkantor di sini, hingga tahun 1992. Terjadilah perubahan dalam

kebijakan pemda DKI, sehingga perpustakaan sulit untuk dicari gedung yang

memadai ini. Apa boleh buat koleksi dipindah ke gudang Gunung Agung, yaitu

Gudang Rajawali. Sempat pindah lagi ke salah satu rumah mantan Gubernur DKI

Jakaera Ali Sadikin, di Cempaka Putih, yang boleh digunakan oleh Idayu, dan

kemudian disinilah koleksi-koleksinya mengalami kebanjiran.Meskipun pada hari

seninnya seluruh karyawan berusaha menyelamatkan dengan menjemur buku-

buku yang terkena banjir, tidak semua koleksi bisa selamat semua.82

Koleksinya kemudian dipindah ke sebuah rumah di Sentul, sebuah rumah

yang dibeli Masagung sebagai gudang. Yang terjadi, koleksi tersebut terkena

rayap. Karena sejak awalnya Idayu tidak berkaitan dengan perusahaan PT Gunung

Agung, istri dan anak-anaknya, maka para putra Haji Masagung berupaya

menghadap ke Gubernur pada era Surjadi Soedirdja untuk minta disediakan

tempat, tetapi hasilnya tidak ada dan tidak dapat. Perkembangan kemudian,

menjelang ulang tahun Idayu ke-40 tanggal 28 Oktober 2006, tepatnya pada

tanggal 14 Maret 2005, koleksi perpustakaan Idayu dihibahkan kepada

Perpustakaan Nasional, yang memandang koleksi Perpustakaan Idayu ini lebih

tepat untuk mengisi Perpustakaan dan Museum Bung Karno di Blitar (Jawa

Timur).83

Bukan hanya karena nama Idayu adalah nama ibunda dari Bung Karno,

tetapi juga karena koleksi Perpustakaan Idayu adalah buku-buku yang sezaman

81

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo. 82

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

83

Wawancara Pribadi Bapak Supriyatna, Manager, 17 Oktober 2017, Toko Buku Wali

Songo.

52

dengan Bung Karno. Paling tidak, dengan cara ini, kedekatan Haji Masagung dan

Bung Karno yang semasa hidupnya sangat mencintai dunia perbukuan, bisa

terealisasi melalui penggabungan dan pengabdian koleksi mereka.

53

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Uraian diatas menjelaskan bahwa mengenai perubahan nama Tjio Wie Tay

menjadi H. Masagung adalah ketika beliau memutuskan untuk masuk Islam

sebagai agamanya, dan belum banyak warganegara Indonesia keturunan Cina

yang memeluk agama Islam. Drs. H. Alifuddin el Iskamy, murid Buya Hamka

salah satu ulama sahabat Masagung, yang menyebut Masagung sebagai pengusaha

Indonesia Cina pertama yang masuk Islam.

Beberapa temuan ini adalah:

1. H. Masagung lahir pada tanggal 08 September 1927 di Kwitang Jakarta.

Beliau merupakan salah satu keturunan etnis Tionghoa, Islam di Kwitang.

Beliau memiliki karakter yang gigih, disiplin, religius. Beliau turut

berperan dalam dakwah Islam kepada warga Negara keturunan Cina dan

bermasyarakat terhadap lingkungan sekitar kwitang tersebut. Karena

Masagung lah salah satu seorang Muallaf pertama dari pedagang Cina

yang masuk Islam.

2. Terbentuknya Toko Buku Gunung Agung di Jl Kwitang Jakarta dengan

tujuan untuk merealisasikan Bisnis yang selama ini di rintis dan di

perjuangkan agar bisa anak-anak dan anak sekolah bisa membaca berbagai

buku bacaan. Dan akhirnya tercapai keinginan Masagung tersebut, yaitu

salah satu nya Toko Buku Gunung Agung, Toko Buku Walisongo dan

Masjid Al-A‟raf di Jakarta dan masih banyak lainnya yg tidak bisa

disebutkan satu persatu.

3. Respon masyarakat yang begitu antusias terhadap H. Masagung di Jakarta

sehingga mereka bisa ikut andil dalam memperjuangankan bangsa

Indonesia.

54

B. Saran

Dengan melihat kesimpulan di atas sudah saatnya kita memberikan

penyadaran terhadap generasi muda penerus bangsa. Meskipun Islam dianggap

sebagai salah satu jalan terbaik untuk melakukan asimilasi , tidak menjadikan

jumlah etnis Cina Muslim di Indonesia meningkat secara tajam. Hal tersebut

dikarenakan kepercayaan terhadap Tuhan, merupakan hal yang sangat bersifat

pribadi. Oleh karena itu yang dilakukan oleh PITI sebagai lembaga dakwah adalah

tetap menyebarkan dakwah di kalangan etnis Tionghoa dan mengajarkan akidah

serta tata cara ibadah yang benar bagi para muallaf.

Dengan adanya kekuatan dan kesabaran yang beliau lalukakan selama

masih hidup di Indonesia. H. Masagung lah banyak membuat contoh terhadap kita

semua, agar kita bisa maju dan berjuang dalam memajukan Indonesia merdeka.

Dalam perjuangan berbisnis, berdakwah Islam di kalangan etnis Cina dan

menjadikan banyak orang kalangan Cina yang berpindah agama (Muallaf) ketika

melihat perjuangan H. Masagung di kala masih hidup.

55

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Mukti. Agama Sebagai Sarana Penelitian dan Penelaahan di Indonesia.

Yogyakarta: Al-Jamia‟ah IAIN no 11, 1987.

A.H. Nasution dkk (Kumpulan Tulisan), Haji Masagung dalam Kenangan: Tapi

Roh Jihadnya Hidup Sepanjang Masa, (Jakarta: CV Haji Masagung,

1990).

Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sejarah, Terj, Mustika Zet (Jakarta: Yayasan

OBOR Indonesia, 2001.

Coppel A. Charles. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1994.

Djayadi MT, Mengapa Etnis Tionghoa Memilih Islam. Lingkar Dakwah. 2008.

Giap, Siauw The. Cina Muslim di Indonesia. Drs. Bachtiar Effendy. Penj. Jakarta:

Yayasan Ukhuwah Islamiyah, 1986.

Hastuti, Sri Rita, Ketut Masagung Bapak Saya Pejuang Buku, (Jakarta: PT Toko

Gunung Agung Tbk, 2003.

Jahya, Junus H. Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta:

PT. Gramedia, 1992.

Moerthiko, Pengabdian Untuk Bangsa dan Agama, (Yogyakarta: Penerbit Buku

Surya Murthi Publisking, 1985).

Muliawan (Li Nengyu). Sejarah Ringkas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia

(PITI)1963-1972. Majalah Komunitas Harmonis, 2009.

Ong, hok ham. Anti Cina dan Gerakan Cina. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling

Berpengaruh di Indonesia. (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara,

2003).

Setyautama, Sam, Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa Indonesia. (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia dan Chen Xingchu Foundation. 2008).

56

Skinner G. Willian. The Chinese Minority. New Haven Shawheard Asia Study,

Yale University, 1963.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada, 1990.

Suryadinata, Leo. Mencari Identitas Nasional dari Tjoe Bou San Sampai Yap

Thiam Hien. Jakarta: LP3ES, 1990.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Buku

Kompas, 2010.

Voeger, J, Korer. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1992.

Zein, Baqir, Abdul, Saya Memilih Islam: Kisah Orang-orang yang Kembali ke

Jalan Allah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).

Zhi Yuan Koong. Muslim Tionghoa Cheng Ho. (Jakarta: Pustaka Populer Obor,

2000).

Wawancara Pribadi

Wawancara Pribadi dengan Bapak Supriyatna, Manager, (17 Oktober 2017. Toko

Buku Wali Songo).

Majalah

Pengurus DPP PITI, Warta PITI ( Jakarta: T.pn, 2004, edisi 8 April 2004).

57

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran I

Hasil wawancara dengan Bapak Supriyatna

Manager Toko Walisongo

Jakarta, 16 Oktober 2017

Pokok-pokok wawancara

Pertanyaan : Assalamualaikum wr.wb. Pak?

Jawaban : Waalaikumsalam wr.wb. De,

Pertanyaan : Pak, saya mau bertanya mengenai seputar Alm. Haji Masagung?

Jawaban : boleh, silakan,

Pertanyaan : Apakah benar H. Masagung adalah keturunan keluarga Cina?

Jawaban : Iya, H. Masagung bersama keluarganya adalah keturunan Cina,

akan tetapi beliau telah menetap di Bogor dan Jakarta.

Pertanyaan : Siapakah nama asli H. Masagung?

Jawaban : Nama aslinya, ketika belum masuk Islam adalah „‟Tjio Wie Tay‟‟

Pertanyaan : Kapan H. Massagung masuk Islam?

Jawaban : Beliau masuk Islam tahun 1975

Pertanyaan : Bagaimana pergerakan di dalam bidang perbukuan Islam

tersebut?

Jawaban : Jadi pergerakan perbukuan Islamnya yaitu di toko walisongo.

Toko Walisongo adalah salah satu toko perbukuan Islam di

Jakarta tempatnya di Kwitang. Sebuah toko buku Islam yang

khusus menyediakan kebutuhan kaum muslimin terutama buku,

yaitu mengenai berbagai buku Islami semua dan Al- Qur‟an.

Pertanyaan : Bagaimana perjuangan H. Masagung ketika berdagang dan

berbisnis sampai saat ini?

Jawaban : H. Masagung, lebih dari 40 tahun bekerja keras, beliau pun

memetik hasilnya sejak tahun 1991 toko gunung agung telah

58

menjadi perusahaan publik yang tercatat di Jakarta, karena telah

mempunyai 32 cabang di kota besar Jawa-Bali. Kesuksesan ini

membenarkan pandangan hidup yang diyakini dan dijalankannya

sepanjang hidup yaitu, selalu berkemauan keras, berani, punya

cita-cita, kreatif, percaya diri sendiri, bersikap baik, dan menjaga

nama baik. Hingga kini, gunung agung merupakan salah satu

penerbit sekaligus pemasar buku-buku nasional terkemukaka.

Selain buku-buku pengetahuan, Gunung Agung juga menerbitkan

dan memasarkan buku-buku keislamannya. Selain itu, bisnisnya

juga sudah merambah ke berbagai sector ekonomi.

Pertanyaan : Apakah ada peninggalan-peninggalan semacam gambar atau

lukisan beliau ketika masih hidup?

Jawaban : Masih ada, yaiu sebuah lukisan Kaligrafi bernafaskan Islam yang

ditempatkan di museum tersebut. Akan tetapi berhubung beliau

telah tiada jadi museum tersebut sudah tidak ada lagi dan tidak

berfungsi seperti halnya museum. Jadi peninggalan-peninggalan

beliau seperti Kaligrafi, Al-Qur‟an, Kitab, di serahkan ke

Perpustakaan Nasional sebagian dan Toko Walisongo Sebagian

dan beberapa lainnya sudah rusak dan sudah tidak layak lagi di

perlihatkan.

Pertanyaan : Tahun berapakah H. Masagung meninggal dunia?

Jawaban : Beliau meninggal dunia pada hari senin, tanggal 24 September

1990.

Pertanyaan : Apakah Istri dan anaknya Masagung masih hidup?

Jawaban : Masih hidup, dan beliau berada di luar negeri.

Pertanyaan : Siapakah yang mengelola bisnis beliau?

Jawaban : Yang mengelola yaitu Anaknya dan kerabat-kerabatnya atau

sahabat beliau yang masih dipercaya saat ini

Pertanyaan : Bagaimana dengan Perpustakaan Idayu yang terjadi sekarang ini

dan koleksi-koleksinya ?

59

Jawaban :Perpustakaannya sekarang sudah tidak ada lagi dan koleksinya

kemudian dipindah ke sebuah rumah di Sentul, sebuah rumah

yang dibeli Masagung sebagai gudang. Yang terjadi, koleksi

tersebut terkena rayap. Karena sejak awalnya Idayu tidak

berkaitan dengan perusahaan PT Gunung Agung, istri dan anak-

anaknya, maka para putra Haji Masagung berupaya menghadap ke

Gubernur pada era Surjadi Soedirdja untuk minta disediakan

tempat, tetapi hasilnya tidak ada dan tidak dapat. Perkembangan

kemudian, menjelang ulang tahun Idayu ke-40 tanggal 28 Oktober

2006, tepatnya pada tanggal 14 Maret 2005, koleksi perpustakaan

Idayu dihibahkan kepada Perpustakaan Nasional, yang

memandang koleksi Perpustakaan Idayu ini lebih tepat untuk

mengisi Perpustakaan dan Museum Bung Karno di Blitar (Jawa

Timur

Pertanyaan : Terimakasih pak atas waktunya,

Jawaban : baik, sama-sama…

60

Lampiran II

Makam H. Masagung

Berada di Masjid Agung Walisongo Bogor.

61

Lampiran III

Toko Buku Walisongo dan Masjid Al- A‟raf

Berada di Jl. Kwitang Raya No. 13 Jakarta 10420, Indonesia

62

Lampiran IV

Toko Buku Gunung Agung

Berada di Jl. Kwitang No. 38, Jakarta, yang dibanagun oleh generasi penerus Haji

Masagung, diresmikan tahun 1988.

63

Lampiran V

Foto Tjio Wie Tay ( Masagung)

Foto Masagung, ketika masih kanak-kanak kls V SD bersama teman-teman

sekolahnya dan ketika Masagung masih muda.

64

Lampiran VI

Aprindo Award

Yang diserahkan oleh Drs. M Jusuf Kalla kepada Alm. Haji Masagung pada awal

tahun 2000 sebagai Perintis Ritel Modern Indonesia.

65

Lampiran VII

Foto ketika Masagung mengucapkan Syahadat untuk berpindah

agama Islam di Masajid Al-A‟Raf di Jl. Kwitang 8 Jakarta (8 September

1990) dengan pembimbing pembacaan Syahadat Ustadz H. M. Imaduddin

AR, Msc, dan foto beserta ketiga anaknya Masagung yang meneruskan

usaha yang dirintis oleh Haji Masagung.

66

Lampiran VIII

Koleksi-koleksi H. Masagung, yang masih ada dan masih tersimpan di

Toko Walisongo. Yaitu koleksi Kitab-kitab peninggalan-peninggalannya

Masagung. Yang di ambil dari majalah.

67

Lampiran IX

Beberapa koleksi-koleksi lukisan Kaligrafi Arab yang bernuansa Islami

yang berada di Toko Wali Songo. Di ambil dari majalah