Peripartum cardiomyopathy (dr.zae).docx
-
Upload
hendi-putra -
Category
Documents
-
view
46 -
download
3
Transcript of Peripartum cardiomyopathy (dr.zae).docx
REFERAT
PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY
Pembimbing:
dr.Zaenudin. Sp.JP
Disusun Oleh:
Hendi Putra Hartanto ( 11-2013-294)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
BAGIAN CARDIOLOGY
RSUD TARAKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
2014
PENDAHULUAN
Kardiomiopati peripartum (Peripartum cardiomyopathy atau PPCM) pertama kali
dilaporkan pada tahun 1849. Hingga pertengahan abad 20, penyakit ini dikenal sebagai
kardiomiopati post partum karena kebanyakan kasus dilaporkan onset gejalanya muncul pada
periode post partum. Demakis dan teman-temannya mungkin merupakan orang pertama yang
menyadari bahwa penyakit ini tidak sekadar terjadi pada masa postpartum, tetapi juga pada
masa peripartum. Oleh karena itu penggunaan terminologi kardiomiopati peripartum saat ini
lebih diterima. Kasus PPCM pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971. Mereka
memaparkan data 27 pasien dengan usia kehamilan lanjut atau pada masa puerperium dini
yang mengalami gangguan jantung. Mereka kemudian menyusun suatu kriteria diagnosis
PPCM, yang meliputi gagal jantung yang berkembang pada akhir kehamilan atau dalam 5
bulan setelah persalinan, tanpa adanya etiologi jelas dan tanpa adanya penyakit jantung
sebelum periode akhir kehamilan. Selama bertahun-tahun, kriteria diagnosis tersebut tidak
mengalami perubahan, tetapi kemudian ditambahkan satu kriteria yaitu pemeriksaan
ekokardiografi sebagai parameter tambahan. Karena penelitian yang terus menerus dilakukan,
maka saat ini semakin banyak yang diketahui mengenai PPCM, meliputi patofisiologi,
epidemiologi, diagnosis, dan hasil akhir penyakit. Pada saat yang sama juga disadari bahwa
pasien PPCM membutuhkan manajemen anestesi yang berbeda mengingat status
kehamilannya. Pembahasan ini akan memaparkan pandangan yang komprehensif mengenai
PPCM dan modalitas pengobatan yang dapat digunakan pada saat ini.
DEFINISI
Menurut Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working
Group, PPCM adalah “Kardiomiopati idiopatik dengan gejala berupa gagal jantung sekunder
dan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang terjadi pada akhir masa kehamilan atau beberapa
bulan setelah persalinan, di mana tidak ditemukan penyebab lain terjadinya gagal jantung.
Penyakit ini merupakan suatu diagnosis eksklusi. Ventrikel kiri bisa saja tidak mengalami
dilatasi namun fraksi ejeksi biasanya berkurang, di bawah 45%.
Menurut European Society of Cardiology menetapkan definisi dari kardiomiopati
peripartum tersebut sebagai salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan tanda-tanda
gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau dalam 5 bulan pasca melahirkan.1
ETIOLOGI
Peripartum cardiomyopathy umumnya dianggap bentuk miokard primer idiopatik, penyakit
yang berhubungan dengan keadaan hamil. Meskipun beberapa mekanisme etiologi dianggap
masuk akal, tetapi tidak satupun dari mereka yang pasti:2
Myocarditis
Miokarditis ditemukan pada biopsi endomiokardial dari ventrikel kanan pada pasien
dengan peripartum cardiomyopathy. Dengan infiltrat limfositik padat dan jumlah
variabel dari edema miosit , nekrosis, dan fibrosis. Prevalensi miokarditis pada pasien
dengan peripartum cardiomyopathy berkisar antara 8,8% - 78%.
Infeksi viral yang bersifat kardiotropik
Bultmann dkk menemukan Parvovirus B19, herpes virus 6, virus Epstein-Barr, atau
sitomegalovirus DNA di biopsi endomiokardial
Chimerism
Apoptosis dan Inflamasi
Respon abnormal hemodinamik pada kehamilan : perubahan hemodinamik selama
kehamilan dengan meningkatnya volume darah dan curah jantung serta menurunnya
afterload, sehingga respon dari ventrikel kiri untuk penyesuaian menyebabkan
terjadinya hipertrofi sesaat.
EPIDEMIOLOGI
Kejadian gagal jantung pada kehamilan telah dikenal sejak pertengahan abad ke-19,
tetapi istilah kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1971,
Demakis dan kawan-kawan menemukan pada 27 pasien yang pada masa nifas yang
menunjukkan gejala kardiomegali, gambaran elektrokardiografi yang abnormal dan gagal
jantung kongesti, kemudian disebut sebagai kardiomiopati peripartum.
Kardiomiopati relative jarang tetapi dapat mengancam jiwa. Gagal jantung
mempengaruhi perempuan pada bulan-bulan terakhir kehamilan atau puerperium dini. Ini
tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas ibu. 75% kardiomiopati
periparum didiagnosis pada bulan pertama postpartum dan 45% pada minggu pertama. Ketika
dicurigai, harus segera menetapkan diagnosis. Insiden PPCM bervariasi di seluruh dunia.
Dilaporkan prevalensi PPCM di Negara-negara nonAfrika berkisar antara 1:3.000-1:15.000
kelahiran hidup. Dalam sebuah pusat rujukan perawatan tersier untuk populasi perkotaaan
dan pedesaan yang besar, terdapat prevalensi 1 per 837 kelahiran hidup. Telah dilaporkan
prevalensi 1 kasus per 6000 kelahiran hidup di Jepang, I kasus per1000 kelahiran hidup di
Afrika Selatan dan 1 kasus per350-400 kelahiran hidup di Haiti. Sebuah prevalensi yang
tinggi di Nigeria disebabkan karena adanya tradisi memakan kanwa (danan garam kering)
sambil berbaring di tempat tidur Lumpur panas 2 kali sehari selama 40 hari pasca melahirkan.
Asupan garam menyebabkan volume overload yang tinggi.
Dalam sebuah penelitian 68.75% dari pasien kardiomiopati peripartum mengalami persalinan
pervaginam dan 31% diperlukan operasi Caesar terutama karena alas an obstetric. Pendekatan
multi disiplin melibatkan ahli kandungan, ahli jantung, ahli anestesi dan ahli anak. Setelah
pengiriman 43.75% pasein membutuhkan perawatan ICU dibawah pengawasan ahli jantung
dan anestesi. Komplikasi pada ibu terutama edema paru dan CCF pada 62.5% penderita dan
aritmia pada 12.5% penderita. 3 kematian ibu terjadi karena alas an tromboemboli .
Mengenai hasil neonatal, pada 27 bayi lahir hidup, 5 kematian perinatal terjadi.
Penyebab utama kematian perinatal adalah premature dan IUGR dan terkait gagal jantung
kongestif pada ibu. Selama periode penelitian dari Oktober 2003 hingga September 2007,
sebanyak 26.780 pengiriman berlangsung di Rumah Sakit Karachi Sipil GynaeUnit-I. hasil
membuktikan bahwa usia yang lebih tua ( >32 tahun) dan multiparitas (>3 anak) erat terkait
dengan perkembangan kardiomiopati. Penelitian tersebut juga mengamati bahwa IUGR
terdapat pada 31% dari ibu hamil sehingga merupakan factor resiko penting. 3 kematian ibu
terjadi dengan tromboemboli menjadi penyebab pada 1 pasien. 20 perempuan (62.5%)
mengembangkan gagal jantung kongestif. Dari 14 yang dibutuhkan perawatan intensif akibat
dekompensasi gagal jantung parah. IUGR ditemui pada 10 neonatus (31.25%) diantaranya 5
membutuhkan NICU untuk premature dan respiratori distress.
Tabel 1 : karakteristik pasien dengan PPCM3
Tabel 2. Pasien dengan kardiomiopati peripartum dan komplikasi pada fetal3
PATOFISIOLOGI
Telah banyak teori yang menjelaskan mengenai pathogenesis PPCM meskipun tidak
ada faktor tunggal yang berpengaruh langsung dalam kasus ini. Penyakit ini sekarang
diketahui memiliki pathogenesis multifaktrial.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, miokarditis diketahui
memiliki keterkaitan dengan terjadinya PPCM meskipun ada rentang insidens (8.8 – 78%)
antara penelitian yang satu dengan yang lain. Bultmann et al melakukan biopsi
endomiokardial pada 26 orang penderita PPCM dan mengalisis spesimen untuk mendeteksi
adanya genom virus melalui reaksi rantai polymerase. Spesimen dari 8 pasien (31%)
menunjukkan adanya genom beberapa jenis virus (parvovirus B19, human herpes virus 6,
virus Epstein-Barr, dan human cytomegalovirus).
Peneliti menyimpulkan bahwa perubahan sistem imunitas yang terjadi pada masa
kehamilan memungkinkan infeksi dan eksaserbasi de novo ataupun terjadinya reaktivasi virus
sehingga wanita hamil tersebut kemudian mengalami miokarditis yang berkembang menjadi
kardiomiopati. Aktivitas respon imun juga diketahui menjadi faktor kausatif yang mendorong
terjadinya penyakit ini. Serum pasien PPCM memiliki titer autoantiboodi yang tinggi dan
mengganggu protein jaringan kardiak yang sehat, di mana autoantibodi ini tidak ditemukan
pada serum pasien kardiomiopati idiopatik. Antibodi tersebut mengganggu sel-sel pada fetus
(yang juga dapat keluar menuju sirkulasi maternal) dan protein-ptotein lain seperti aktin dan
myosin. Antibodi ini dihasilkan oleh uterus selama persalinan dan telah dibuktikan pada
pasien PPCM. Autoantibodi ini bereaksi silang dengan protein miokardium ibu dan
menimbulkan PPCM. Dari pemeriksaan darah tepi pasien PPCM, didapatkan profil sitokin
abnormal, kadar sel T yang menurun, dan penurunan signifikan dari progesterone, estradiol,
dan relaxin bila dibandingkan dengan pasien hamil yang tidak mengalami PPCM.
Hipotesis lain memaparkan bahwa PPCM mungkin saja merupakan respon kardiak
yang abnormal terhadap perubahan hemodinamik akibat kehamilan. Penurunan fungsi sistolik
ventrikel kiri pada pasien dengan kehamilan yang normal diketahui bersifat reversibel pada
trimester dua dan tiga. Penurunan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan menikatnya
cardiac output dan menurunnya resistensi vaskular sistemik yang terjadi pada akhir masa
kehamilan dapa menjelaskan mengenai gejala-gejala yang timbul pada PPCM. Namun, bukti-
bukti ilmiah untuk membuktikan hipotesis ini masih sangat kurang. Mekanisme lain yang
mungkin berperan dalam terjadinya PPCM yaitu akselerasi kematian miosit (apopotosis),
peningkatan sitokin proinflamasi, produksi prolaktin yang berlebihan, dan mikroangiopati
koroner. Beberapa penelitian melaporkan adanya keterkaitan familial penyakit ini, namun
dibutuhkan evaluasi lebih mendalam mengenai kemungkinan faktor genetic sebagai
penyebab penyakit ini.
DIAGNOSIS
Manifestasi klinis PPCM tidak berbeda dengan yang tampak pada gagal jantung.
Perempuan dengan usia kehamilan trimester ketiga atau dalam masa puerperium datang yang
dengan keluhan palpitasi, fatigue, Sesak nafas, batuk dan sesak pada saat tidur malam hari
(PND) atau sesak pada saat baring (orthopnea), ini meningkatkan keraguan ke arah PPCM,
terutama apabila gejala tersebut jarang ada pada riwayat prenatal. Gejala tambahan lain yang
dapat ditemukan adalah rasa tidak enak pada perut, rasa pusing, nyeri daerah prekordial dan
hipotensi yang dipengaruhi posisi.
Dulu, pada tahun 1997, the National Heart, Lung, and Blood Institutes of Health
mengadakan Workshop on Peripartum Cardiomyopathy untuk menyusun suatu kriteria
diagnosis PPCM berdasarkan yang telah disusun oleh Demakis dkk. Definisi dan kriteria
diagnosis inilah yang digunakan hingga saat ini, tetapi definisi menurut The European
Society disusun menjadi lebih sederhana guna mencegah terjadinya underdiagnosis penyakit
ini.
Kriteria Diagnosis Kardiomiopati Peripartum:2
Gagal jantung yang berkembang pada akhir kehamilan atau dalam 5 bulan
postpartum
Tidak adanya kasus lain yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya gagal
jantung
Tidak ditemukannya riwayat gangguan jantung sebelum masa akhir kehamilan
Disfungsi sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan oleh fraksi ejeksi ventrikel kiri
kurang dari 45%, pemendekan fraksi yang kurang dari 30%, atau keduanya, disertai
atau tanpa disertai dimensi end-diastolic ventrikel kiri kurang dari 2,7 cm/m2 per luas
permukaan tubuh (BSA).
*Sesuai Workshop oleh NHLBI and NIH Office of Rare Diseases
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi, termasuk Doppler sangat aman dan tanpa resiko
terhadap ibu dan janin. Pemeriksaan tranesofageal ekokardiografi pada wanita hamil
tidak dianjurkan karena resiko anestesi selama prosedur Pemeriksaan radiografi.
Semua pemeriksaan radiografi mesti dihindarkan terutama pada awal kehamilan.
Pemeriksaan radiografi mempunyai resiko terhadap organogenesis abnormal pada
janin, atau malignancy pada masa kanak-kanak terutama leukemia. Jika pemeriksaan
sangat diperlukan sebaiknya dilakukan pada kehamilan lanjut, dosis radiasi seminimal
mungkin dan perlindungan terhadap janin seoptimal mungkin.
Pemeriksaan elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG sangat aman dan dapat membantu menjawab pertanyaan
yang spesifik. Kehamilan dapat menyebabkan interpretasi dari variasi gelombang ST-
T lebih sulit dari yang biasa, Depresi segmen ST inferior sering didapati pada wanita
hamil normal. Pergeseran aksis QRS kekiri sering didapati, tetapi deviasi aksis kekiri
yang nyata (-30°) menyatakan adanya kelainan jantung.
Magnetic resonance imaging (MRI)
Meskipun tidak tersedia informasi mengenai keamanan prosedur MRI pada
evaluasi wanita hamil dengan kehamilan, dilaporkan tidak didapati efek fetal yang
merugikan bila digunakan pada tujuan yang lain. Pemeriksaan ini mesti dihindarkan
pada wanita dengan implantasi pacu jantung atau defibrillator.1
PENATALAKSANAAN
Penggunaan obat-obat kardiovaskuler pada masa kehamilan dan menyusukan sangat
penting diketahui dan dikuasai karena hampir sebagian besar obat-obat kardiovaskuler akan
melewati plasenta dan disekresikan melalui air susu ibu. Bila informasi mengenai
penggunaan obat-obat kardiovaskuler tidak lengkap, bila memungkinkan sangat baik untuk
menghindarkan penggunaanya. Rekomendasi yang definitif mengenai penggunaan obat-obat
pada kehamilan sangat sukar, tetapi jika diperlukan untuk keselamatan ibu maka tidak dapat
dihalangi penggunaannya. 2
Diuretika
Diuretika dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif yang tidak dapat
dikontrol dengan restriksi natrium dan merupakan obat lini terdepan untuk pengobatan
hipertensi. Tidak satu diuretika pun merupakan kontra indikasi dan yang paling sering
digunakan adalah golongan diuretika tiazide dan furosemide. Diuretika tidak boleh digunakan
untuk profilaksis terhadap toksemia atau pengobatan terhadap edema pedis.
Inotropik
Indikasi pengunaan digitalis tidak berobah pada kehamilan. Digoksin dan digitoksin dapat
melalui plasenta dan kadar serum pada janin lebih kurang sama dengan pada ibu. Digoksin
dengan dosis yang sama bila diberikan pada ibu hamil, akan menghasilkan kadar serum yang
lebih rendah bila dibanding diberikan pada wanita yang tidak hamil. Jika effek klinis yang
diinginkan tidak tercapai, maka perlu diukur kadarnya dalam serum. Digitalis dapat
memperpendek masa gestasi dan kelahiran karena effeknya pada miometrium sama dengan
effek inotropiknya pada miokardium. Bila inotropik intravena atau vasopressor diperlukan,
obat-obat standard seperti dopamine, dobutamin atau norepineprin dapat digunakan, tetapi
effeknya menbahayakan janin karena akan menurunkan aliran darah ke uterus dan
menstimulasi kontraksi uterus. Efedrin adalah obat awal yang baik pada percobaan binatang
dan tidak mempengaruhi aliran darah ke uterus yang merugikan. Informasi mengenai
keselamatan dan kemanjuran penggunaan inhibitor fosfodies terasa seperti amrinone atau
milrinone belum ada sehingga penggunaanya pada wanita hamil masih dipertanyakan.
Obat Penghambat Reseptor Adrenergik
Dalam observasi terlihat bahwa penggunaan obat penghambat beta dapat menurunkan aliran
darah ke umbilikus, memulai kelahiran premature, dan mengakibatkan plasenta yang kecil
serta infark plasenta dan mempunyai potensi untuk menimbulkan bayi berat badan lahir
rendah, sehingga penggunaannya memerlukan perhatian. Sebagian besar penelitian tidak
menyokong hal ini dan obat penghambat beta telah banyak digunakan pada wanita hamil
tanpa effek yang merugikan. Sehingga penggunaannya untuk indikasi klinis sangat beralasan.
Semua obat penghambat beta dapat melewati plasenta dan terdapat pada air susu ibu dan
dapat mencapai kadar yang bermakna pada janin atau bayi. Akhir-akhir ini perhatian
ditujukan pada bayi berat badan lahir rendah yang lahir dari ibu yang menggunakan atenolol
pada awal kehamilan, sehingga membuat penggunaan obat beta1-selektif lebih disukai. Jika
obat-obat ini digunakan semasa kehamilan, diperlukan pemantauan denyut jantung janin, juga
denyut jantung bayi, gula darah dan status respirasi segera setelah kelahiran.
Pengalaman dalam penggunaan obat penghambat alfa seperti penoksibenzamin dan
pentolamin sangat jarang. Obat klonidin, prasozin, dan labetalol, dengan gabungan
penghambat alfa dan beta, telah digunakan untuk terapi hipertensi, tetapi effek gangguannya
tidak jelas.
Obat Calcium channel blocker
Nifedipin, verapamil, diltiazem, dan isradipin, telah digunakan untuk pengobatan
hipertensi dan aritmia tanpa effek yang merugikan pada janin dan bayi. Obat ini
menyebabkan relaksasi uterus dan nifedipin telah digunakan untuk tujuan tersebut.
Obat anti aritmia
Menghambat Atrioventrkuler (A V) node kadang-kadang diperlukan semasa kehamilan.
Untuk itu dapat digunakan digoksin, penyekat beta dan penyekat kalsium. Laporan awal
menyokong, penggunaan adenosin yang dapat digunakan secara aman sebagai obat penyekat
nodus. Umumnya lebih disukai untuk menghindarkan pemakaian obat anti aritmia standard
pada pasien semasa kehamilan. Bila diperlukan untuk aritmia berulang atau untuk
keselamatan ibu maka dapat digunakan. Tidak cukup data yang terkumpul untuk
mengetahui apakah obat anti aritmia menambah resiko atau tidak terhadap tehadap janin atau
anak. Jika obat anti aritmia diperlukan, lidokain merupakan obat garis pertamayang
diberikan. Depresi neonatus transien telah terbukti terjadi bila kadar lidokain darah pada janin
melebihi 2,5 µg/L, untuk itu direkomendasikan untuk memelihara kadar lidokain darah pada
ibu 4 µg/L karena kadar pada janin 60 persen dari kadar pada ibu. Prokainamid atau kuinidin
intravena bisa menyebabkan hipotensi dan tidak ada informasimengenai amiodaron intravena.
Berdasarkan effek pada tekanan darah ibu, bretilium kelihatannya menurunkan perfusi
uterus.
Jika diperlukan obat anti aritmia oral dapat dimulai dengan kuinidin karena mempunyai
availabilitas jangka panjang. Dan obat ini paling sering digunakan karena tidak jelas efek
yang membahayakan pada bayi. Ada beberapa informasi mengenai prokainamid,
disopiramid, mexiletine tlekainid dan sotalol, tetapi tidak cukup untuk merekomendasikan
penggunaannya kecuali bila penggunaannya sangat diperlukan ibu. Informasi awal yang
tersedia mengenai amiodaron menyokong kemungkinan meningkatnya angka kehilangan
janin dan deformitas janin.
Obat vasodilator
Bila diperlukan, pada krisis hipertensi atau untuk mengurangi afterload dan preload
emergensi, nitropruside merupakan obat vasodilator pilihan. Meskipun informasi mengenai
penggunaannya semasa kehamilan masih kurang, rekomendasi yang kontroversi telah dibuat
karena obat ini sangat effektif, bekerja segera, dan mudah ditoleransi. Juga effeknya segera
menghilang bila penggunaan obat tersebut dihentikan. Perhatian mengenai penggunaan
nitroprusside yaitu metabolit, sianide, dapat dideteksi pada janin, tetapi telah ditunjukkan
tidak menjadi problem yang signifikan pada manusia. Metabolit ini menjadi salah satu alasan
untuk membatasi penggunaan obat ini dalam jangka waktu bila memungkinkan. Hidralazin,
nitrogliserin, atau labetalol intravena adalah pilihan lain untuk obat parenteral. Reduksi
afterload kronik untuk pengobatan hipertensi, regurgitasi aorta atau mitral, atau disfungsi
ventrikel semasa kehamilan telah didapat dengan obat calcium channel blocker, hidralazin
dan metildopa. Effek yang membahayakan terhadap janin tidak dilaporkan. ACE
(Angiotensin Converting Enzyme) inhibitor merupakan kontra indlkasi pada kehamilan,
karena obat ini menambah resiko untuk terjadinya kelainan pada perkembangan ginjal janin.
Tidak ada data yang tersedia mengenai penggunaan losartin, valsartin dan penghambat
angiotensin II.
Obat Antitrombotik.
Penggunaan warfarin jangka lama berhubungan dengan kecenderungan untuk terjadinya
perdarahan yang bermakna 1 - 5 persen pertahun. Dan lebih penting lagi dalam
penggunaannya semasa kehamilan, karena warfarin dapat melewati plasenta dan eksposure
pada janin dalam 3 bulan pertama kehamilan dan berhubungan dengan insidens malformasi
sebesar 5-25 persen yang terdiri dari abnormalitas wajah, atropi optik, abnormalitas digital,
perobahan epithelial, dan kelemahan mental. Wanita yang menggunakan obat ini pada
minggu ke 7 sampai ke 12 kehamilan cenderung mempunyai sindroma ini pada anaknya.
Sindroma ini berhubungan dengan dosis yang digunakan. Suatu penelitian memperlihatkan
bahwa sindroma ini hanya terjadi dengan dosis yang lebih besar dan 5 mg perhari.
Penggunaan warfarin yang terus menerus pada masakehamilan menambah resiko untuk
terjadinya perdarahan janin dan perdarahan rahim ibu.
Pada wanita yang memerlukan antikoagulan, heparin lebih disukai daripada warfarin.
Penggunaan heparin dosis tinggi subkutan (16.000 sampai 24.000 unit per hari) telah terbukti
dapat dilakukan dengan mudah dan bermanfaat. Obat ini tidak melewati plasenta. Data yang
ada menunjukkan bahwa penggunaan heparin berat molekul rendah, yang harganya lebih
mahal sangat effektif dan mudah digunakan (satu atau dua kali sehari tanpa memerlukan
pemeriksaan darah serial) dan keamanannya sama dengan terapi standard heparin. Meskipun
telah ada evaluasi untuk profilaksis trombosis vena dalam mencegah tromboemboli ternyata
manfaatnya pada pasien dengan protege mekanik tidak terbukti.
Bila diperlukan antikoagulan, sebagian penulis menganjurkan menggunakan heparin untuk
trimester pertama dan kemudian dilanjutkkan dengan pemberian warfarin pada lima bulan
berikutnya dan kembali lagi menggunakan heparin sebelum melahirkan. Walaupun
kehamilan yang sukses dapat dicapai dengan cara ini, penulis memilih untuk menghindarkan
penggunaan warfarin selama kehamilan. Obat anti platelet tenyata meningkatkan kesempatan
untuk terjadinya perdarahan maternal dan dapat melewati plasenta. Sebagian besar
penggunaan aspirin telah diamati dan secara teoritis merugikan, karena aspirin berhubungan
dengan meningkatnya insidens abortus dan retardasi pertumbuhan janin. Juga aspirin
menginhibisi sintesis prostaglandin dan bisamengakibatkan penutupan duktus arteriosus
semasa kehidupan janin. Sampai saat ini aspirin sering digunakan dan masih diindikasikan
untuk hal-hal yang spesifik dan juga sebagai profilaksis pre eklamsi. Penggantian aspirin
sulit untuk dievaluasi. Tidak ada data yang tersedia mengenai effek penggunaan clopidogrel
atau ticlopidine selama kehamilan.
KESIMPULAN
PPCM merupakan penyakit yang memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang
tinggi, dapat menurunkan kualitas hidup ibu, dan meningkatkan rikio keguguran. Diagnosis
dini diikuti terapi yang berkelanjutan sangat bermanfaat bagi sejumlah pasien. Prinsip terapi
PPCM tidak jauh berbeda dengan terapi pada gagal jantung dengan kausa lainnya, namun
pemilihan obat-obatan dilakukan dengan lebih selektif mengingat keadaan ibu yang sedang
hamil ataupun menyusui. Ahli anestesi mungkin dilibatkan dalam penanganan perawatan
intensif pada pasien yang mengalami dekompensasi jantung ataupun sebagai penatalaksanaan
anestesi pada saat persalinan baik operatif maupun non-operatif. Dalam kasus-kasus yang
melibatkan ahli anestesi tersebut, pengawasan hemodinamik yang intensif dan titrasi obat
anestesi yang diberikan secara berhati-hati sangat penting guna meningkatkan kondisi akhir
ibu dan fetus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peripartum cardiomyopathy. Edisi 6 Oktober 2014. Diunduh dari. http://emedicine.medscape.com/article/153153-overview#a1. Pada tanggal November 2014
2. Peripartum cardiomyopathy: Causes, diagnosis, and treatment. Edisi May 2009. Diunduh dari. http://ccjm.org/content/76/5/289.full.pdf.Pada tanggal 25 November 2014
3. Peripartum cardiomyopathy characteristics and outcome in a tertiary care hospital. Edisi May 2010. Diunduh dari http://www.jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=2050. Pada tanggal 25 November 2014.