PERILAKU TASAWUF GUS DUR Skripsirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24755/1/M... ·...
Transcript of PERILAKU TASAWUF GUS DUR Skripsirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24755/1/M... ·...
i
PERILAKU TASAWUF GUS DUR
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil.I)
Oleh :
M. Mahbub Risad 106033101143
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1433 H./ 2011 M.
ii
iii
iv
v
ABSTRAKSI
Manusia dalam menjalani realita kehidupan, membutuhkan keseimbangan. Begitulah yang dipolakan Sang Pencipta kehidupan Allah Swt. Ada kontribusi dunia untuk dunia dan kontribusi dunia untuk akhirat, maupun dalam lingkup kebaikan dan keburukan, seraya manusia ditujukan untuk melakukan segala sesuatunya demi kebaikan “ibadah”, meskipun dalam tatanan padanan aturan yang ditentukan masih terdapat berbagai macam perbedaan. Maka dari itu manusia hanya dipadu dalam irama untuk selalu berlomba-lomba saja dalam hal kebaikan bukan untuk berlomba-lomba dalam kebenaran, serta bukan pada mencari untuk menemukan kebaikan itu sendiri, karena telah disebutkan bahwa kebenaran yang hakiki adalah bersumber dari Tuhan. Tidak luput dalam menjalani realita kehidupan, manusia mengalami krisis jawaban akan kepastian maka dari itu, bila manusia bertasawuf “memiliki paham spiritual” sangatlah yakin bahwa tidak menjauh dari Tuhan adalah jawaban yang tepat.
Tasawuf bukanlah spiritual yang hanya berupa tempat pengasingan diri,
yang dipahami selama ini. Ajaran tasawuf berusaha menampilkan visi keagamaan luas, yang mengarahkan diri untuk melampaui kedirian dan egoisme. Menjadikan tasawuf sebagai sebuah visi tentang suatu tatanan ideal bagi masyarakat.
Gus Dur dalam bertasawuf mempolakan dirinya dalam perilaku yang
dijalaninya, hal ini memanglah tidak mudah untuk dapat mengetahui secara langsung, karena Gus Dur tidak pernah mengajarkannya secara langsung, hanya mengajarkannya lewat perilaku dalam kesehariannya, sebab Gus Dur tahu, seberapa kuat manusia dalam beragama maupun menjalankan tasawuf, manusia tetaplah menjadi manusia yang menjadi hamba Tuhan dan sangat nihil bila manusia harus di jadikan Tuhan. Oleh sebab itu, Gus Dur tidak ingin dalam menjalankan ajaran tasawuf lewat perilakunya diketahui banyak orang, apalagi kalangan awam, ia sangat mengkhawatirkan kalau saja suatu saat ia akan disucikan seperti Tuhan.
Maka dari itu Gus Dur dan tasawuf, memang tidak bisa dipisahkan. Ia
menjadi satu kesatuan dalam berperilaku untuk memproses perjuangannya dalam kehidupan beragam dan bernegara.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan rasa syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, sang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan curahan Rahmat
dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun
penulis merasakan betapa tidak mudahnya dalam menyelesaikan tugas ilmiah ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan teladan bagi umatnya, serta sosok
manusia yang patut di contoh dalam kehidupan manusia untuk mencapai
kehidupan dunia maupun akhirat.
Sebagai manusia memang harus dapat dengan baik mempertimbangkan
sisi-sisi kemanusiaan, sehingga dapat mencurahkan nuansa kehidupan yang
manusiawi. Manusia sebagaimana fitrahnya, mereka tidak dapat melalui
kehidupan ini sendiri tanpa bantuan manusia lainnya. Segala aktifitas manusia
yang akan berujung pada hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya seperti halnya
kesuksesan dan keberhasilan, itu semua tidak luput dari sumbangsih manusia
lainnya. Begitu juga skripsi ini −meskipun masih jauh dari sempurna−
terselesaikannya adalah berkat partisipasi banyak pihak; baik dosen, pembimbing,
orang tua maupun teman-teman. Semoga jasa mereka yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dicatat oleh Allah SWT. Sebagai amal
kebaikan. Amin.
vii
Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati serta dari hati yang paling
dalam, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tiada
terhingga kepada :
1. Ibu Dr. Sri Mulyati, M.A, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi, yang telah
mengajarkan banyak hal dalam bimbingan skripsi yang di berikannya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil, sebagai Ketua Jurusan Aqidah-filsafat dan
Ibu Dra. Tien Rohmawati, M.A, sebagai sekretaris Jurusan.
3. Bapak Prof. Dr. Zainul Kamal, M.A, sebagai penasehat akademik dan Dekan
Fakultas Usuluddin dan Filsafat, beserta jajarannya. Mudah-mudahan tetap
dapat memaksimalkan kinerja di lingkungan Fakultas serta dapat memberikan
sumbangsih terbaik bagi Universitas.
4. Tim penguji, Bapak Drs. Nanang Tahqiq, M.A dan Bapak Dr. Syamsuri, M.A.
5. Seluruh civitas akademika yang telah membantu secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Orang tua penulis, Ayahanda Aby (alm) Kiai. Rifa`i Sahal dan Ibunda mama
Dra. Sa`adah Hamid serta saudara kembar A. Habibi Risad dan adik tercinta
Irhamni Rahman Risad.
7. Teman-teman seperjuangan, Taufik, Gozali, Husen Ja`far, Euis Naelah,
Anwaruddin, Rayhan, Farid, Anwar Ramadhan, Amat Syarifuddin, Fahmi
Inayatullah, Ali Makmun, Mukhlisin, Dery, Diah Purwanti, dan teman-teman
mahasiswa UIN lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
8. Pengasuh dan Seluruh civitas Pondok Modern Al-Wafi Surabaya.
viii
9. Keluarga besar BEM-J AF angkatan 2006-2010 dan Ikatan Keluarga Besar
Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan korda Jakarta (IKBAL Jakarta)
serta InoCom Corporation.
10. Semua pihak yang mungkin tidak penulis sebutkan, semoga menjadi amal
baik dan timbal balik yang bermanfaat.
Sebagai kata terakhir, penulis hanya dapat berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dan khususnya bagi penulis, serta
semoga dapat menjadi kajian selanjutnya dalam proses perkembangan keilmuan.
sekali lagi semua bantuan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih. Semoga
apa yang telah diberikan menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Amin.
Jakarta, 21 Desember 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .............................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..............................................iv
ABSTRAKSI......................................................................................................v
KATA PENGANTAR .....................................................................................vi
DAFTAR ISI.....................................................................................................ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................8
D. Metode Penelitian..................................................................9
E. Sistematika Penyusunan........................................................9
BAB II BIOGRAFI GUS DUR
A. Riwayat Hidup ....................................................................11
B. Karya-karyanya...................................................................20
C. Pemikirannya.......................................................................23
BAB III TASAWUF
A. Pengertian Tasawuf.............................................................31
B. Unsur-unsur Tasawuf ..........................................................34
C. Tasawuf dan Islam di Indonesia..........................................40
BAB IV PERILAKU TASAWUF GUS DUR
A. Tasawuf dalam Beragama ..................................................51
B. Tasawuf dalam Bernegara...................................................57
C. Relevansi Perilaku Tasawuf Gus Dur .................................62
x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................68
B. Saran-saran..........................................................................70
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................71
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
HURUF ARAB HURUF LATIN
KETERANGAN
Tidak dilambangkan ا B Ba ب T Te ت Ts te dan es ث J Je ج H ha dengan garis bawah ح Kh ka dan ha خ D De د Dz de dan ze ذ R Er ر Z Ze ز S Es س Sy es dan ye ش Sh es dan ha ص Dh de dan ha ض Th te dan ha ط Zh ze dan ha ظ Koma terbalik di atas, menghadap ke ‘ ع
kanan G Ge غ F Ef ف Q Ki ق K Ka ك L El ل M Em م N En ن W We و H Ha هـ Apostrof ′ ء Y Ye ي
xii
Vokal
TANDA VOKAL
ARAB
TANDA VOKAL
LATIN
KETERANGAN
a Fathah ـــــَـــــ
i Kasrah ــــــِــــــ
u Dhammah ـــــــُــــــ
Vokal Rangkap
TANDA VOKAL
ARAB
TANDA VOKAL
LATIN
KETERANGAN
يـــــَـــــ ai a dan i
au a dan u وــــــَــــــ
Vokal Panjang
TANDA VOKAL
ARAB
TANDA VOKAL
LATIN
KETERANGAN
â a dengan topi di atas ــَــ#
Î i dengan topi di atas ـــِــ$
û u dengan topi di atas ــــُــ%
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (ــــَـــ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti huruf-huruf syamsiyah. Misalnya kata: ا���ورة tidak ditulis
”ad-dharûrah”, melainkan ”al-dharûrah”, demikian seterusnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kehidupan yang harus dijalani manusia tidak hanya untuk hari ini saja,
sebenarnya ia harus memikirkan hari esok, dalam jangka pendek: periodenya
begitu dekat ataupun dalam jangka panjang: periodenya masih teramat jauh, baik
berkaitan dengan kehidupan dunia maupun dengan kehidupan setelahnya
(akhirat).
Itulah realita manusia, karena manusia tidak mau menerima begitu saja
atas realita yang dijalaninya. Jika realita tersebut baik, seseorang menginginkan
untuk membuatnya lebih baik lagi, dan jika realita itu buruk, maka orang tersebut
akan berupaya untuk merubahnya menjadi baik. Berdasarkan hal itu, ditemukan
banyak orang yang begitu merindukan masa lalu seraya meratapinya, dan
senantiasa ingin mengetahui masa depan dan merindukannya.1
Maka dari itu manusia dituntut untuk melakukan perubahan terhadap
realita yang berlangsung, hal ini didasarkan atas kesadaran dan pemikiran awal
yang menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan penginderaan yang
berlandaskan pada pemikiran dan gerak intuisi. Untuk selanjutnya sampai pada
proses berpikir melakukan perubahan, kemudian barulah melakukan aktifitas
perubahan.2
1 Ahmad `Athiyat, Jalan Baru Islam: Studi Tentang Transformasi dan
Kebangkitan Umat (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 3. 2 Ibid., h. 7.
2
Berpikir untuk melakukan perubahan menjadi sebuah kepastian dalam
hidup dan kehidupan ini, karena perubahan itu sendiri adalah gerak. Sedangkan
gerak adalah hidup. Sebaliknya diam adalah pertanda mati, karenanya manusia
harus memiliki pemikiran dan aktifitas untuk mengadakan perubahan. Jangan
sampai terjadi sikap fatalisme (pasrah secara total) terhadap sebuah keadaan, hal
ini akan menjadi penyakit yang amat berbahaya dan akan terjerumus ke dalam
bahaya yang mengerikan. Yang pasti, perubahan itu merupakan sebuah kepastian.
Akan tetapi, salah satu kendala yang akan dialami adalah kecenderungan
alamiah manusia cepat menerima gagasan atau kepercayaan yang sudah diterima
oleh generasi sebelumnya, tanpa memikirkan lebih jauh. Hal ini tampak banyak
dilakukan oleh umat Islam di Indonesia.
Namun, segala macam pemikiran di masa lalu itu akan sangat bermanfaat
bagi keperluan menghadapi tantangan masa depan. Tiap pemikiran tidak ada yang
sempurna, oleh sebab itu perlu perubahan dan pembaruan “perbaikan” secara
terus-menerus.3 Dapat diharapkan oleh mereka yang melanjutkan kerja para
pendahulu tadi, melanjutkan, bukan semata-mata dengan mengulang kajian, tetapi
juga memperbarui kajiannya.
Dengan begitu, kita tahu bahwa Islam mengingatkan manusia agar berpikir
independen dan tidak menerima apapun tanpa menilai dengan seksama, serta
Islam melarang mengikuti sesuatu hanya semata-mata karena sudah diterima oleh
generasi sebelumnya,
3 M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam: Menurut Fazlur Rahman
(Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 79.
3
Berpikir untuk melakukan perubahan akan pembaruan terhadap pemikiran
dan penyegaran kembali terhadap pemahaman keagamaan adalah hal yang relatif
baru, bagi kalangan umat Islam di Indonesia,
Sekalipun demikian, gerakan pembaruan Islam di Indonesia akan
mendapatkan reaksi-reaksi yang tajam dari para pengeritik dan penentangnya,
dengan alasan: secara ideologis, gerakan pembaruan oleh para penentangnya
dianggap telah keluar dari garis-garis doktrinal Islam dan mensubordinasikan
Islam terhadap tujuan-tujuan ideologis modernisasi yang sekular dan terbaratkan
(westernisasi). Sementara secara politis dikhawatirkan akan semakin melemahkan
usaha-usaha repolitisasi Islam.4
Umat Islam di Indonesia berada dalam kisaran revitalisasi keagamaan di
mana standar perilaku keagamaan dan praktik-praktik ritual telah menjadi sangat
umum dan harus diakui pengaruhnya, yang secara normatif akan menimbulkan
konflik dengan Islam seperti halnya sekularisasi.5
Dilihat dari sudut pandang agama, Indonesia adalah bangsa Muslim paling
besar di dunia. Tetapi secara religio-politis dan ideologis, Indonesia bukanlah
Negara Islam. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada ideologi resmi
yang disebut Pancasila. Lebih dari itu Indonesia merupakan satu di antara sedikit
negara di mana Islam tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya. Itu
disebabkan karena proses Islamisasi di Indonesia berlangsung dalam cara yang
4 M. Syafi`i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h.
7. 5 Fauzan saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), h. 7.
4
damai “penetrasi yang damai”, oleh para pendakwahnya. Hasil Islamisasi dengan
cara demikian itu adalah praktik sinkretisme yang luas dikenal di Indonesia.6Pada
gilirannya tinggal bagaimana umat Islam di Indonesia memandang dan menilai
sejarah Islam, dan bagaimana juga melihat dan menilai perubahan dan keharusan
membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog
dengan realitas ruang dan waktu.7
Merujuk hal di atas, kini perubahan akan realitas menemukan kembali
momentum ruang dan waktunya, yaitu, satu gerakan pembaruan Islam di
Indonesia pada awal 1970-an. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri
baru yang lebih banyak berkesempatan untuk ikut andil merefleksikan Islam
dalam berbagai lingkup kehidupan. Seperti berulang dicatat buku sejarah, tokoh
paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah Abdurrahman Wahid yang
akrab dengan sapaan Gus Dur (selanjutnya ditulis Gus Dur). Lahir dan tumbuh
dari keluarga santri taat, Gus Dur adalah penulis dan pembicara yang baik. Ia
menguasai beragam bahasa, terutama bahasa Arab dan Inggris. Kefasihannya
tentang berbagai macam disiplin ilmu sama baiknya dengan uraiannya tentang
khazanah Islam.
Selama kiprahnya menjadi intelektual, Gus Dur banyak melontarkan
gagasan yang mencerahkan dan membangkitkan kuriositas banyak manusia.
6 Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern:
Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam:
Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia.Penerjemah Ihsan Ali Fauzi
(Bandung: Mizan, 1998), h. 91-94 7 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 13-17.
5
Sumbangan yang paling besar bagi Indonesia adalah sikap kemanusiaannya
terhadap manusia, yang selalu membela hak-hak minoritas.
Bagi Mustofa Bisri (Gus Mus) sebagai sahabatnya, seorang Gus Dur
adalah sebagai pelajaran Tuhan, menurutnya. Sampai saat ini. Pastilah
belum−atau tak pernah−ada orang yang dapat menandingi Gus Dur dalam
banyaknya mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur
niscaya sangat berperan dalam pengumpulan julukan itu. Mereka yang melihat
betapa Gus Dur begitu `fanatik` dan gigihnya menyesuaikan sikapnya dengan
firman Allah “Walaqod karramna banii Adama...”(Q. 17:70), mungkin akan
menjulukinya Humanis. Mereka yang melihatnya begitu `taat` dan gigih
mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan
menjulukinya Nasionalis, mereka yang melihatnya sebagai orang yang memiliki
tingkat kualitas spiritual, mungkin akan menjulukinya seorang Wali. Demikian
seterusnya.8
Pemikirannya dan gerakan dalam perjuangan Gus Dur mensyaratkan
berbagai hal dinamika perubahan, akan tetapi menurut penulis, dinamika yang
telah dilakukan olehnya tidak lain adalah untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang selama ini dipandang sebelah mata dan dikungkung dalam
kekuasaan pribadi atas manusia, tanpa menghiraukan ada aspek Ilahiah yang harus
dituju, sehingga membuat manusia tidak dapat bergerak dalam menentukan
langkah dan fitrahnya yang memiliki kebebasan berkehendak.
8 KH. A. Mustofa Bisri, “Gus Dur sebagai Pelajaran Tuhan,” prawacana,
dalam Institute of Culture and Religion Studies (INCReS), Beyond The Symbols:
Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: INCReS, 2000),
h. iii.
6
Bukan hanya perubahan dalam pemahaman agama yang mayoritas di
Indonesia adalah Islam akan tetapi juga dalam lingkup negara, bahkan berbagai
lini kehidupan, dengan memposisikan manusia sebagai fokus utama sebagai
langkah-langkah gerakannya.
Gus Dur memang seorang yang memiliki ajaran tasawuf dalam dirinya dan
mungkin hanya orang-orang tertentu yang dapat mengetahuinya, karena memang
dalam tasawuf selalu menekankan makna tanpa simbol.
Pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir barat
maupun timur. Secara rasa maupun praktek prilaku yang Sufistik, pengaruh para
Kiai yang mendidik dan membimbingnya banyak memiliki andil besar dalam
kepribadian Gus Dur. Kisah tentang Kiai Fatah dari Tambak beras-Jombang, Kiai
Chudori dari Tegalrejo-Magelang, Kiai Ma`sum dari Krapyak telah membuat
pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan
kemanusiaan. Mahatma Gandhi, pejuang anti kekerasan dari India, adalah guru
sekaligus idola gerakannya. Gus Dur, sebagaimana Gandhi, adalah sosok yang
tidak bosan-bosannya mengingatkan bahaya ancaman kekerasan politik yang
dapat saja terjadi dengan mengedepankan sentimen agama. Ia juga dikenal sebagai
orang yang gigih mengenalkan arti penting sikap non-sektarian dan toleransi
antaragama di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang plural ini..9
Gus Dur sangat konsisten dalam mengusung gagasan-gagasannya, hal
semacam ini mensyaratkan keteguhan manusia yang secara pribadi memiliki
ajaran tasawuf dalam kehidupannya.
9 INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan
Gerakan Gusdur, h. 46
7
Gus Dur memang dikenal memiliki sikap yang sangat toleran, ia
menerapkan implikasi dalam hubungan manusia dengan Tuhannya maupun
hubungan manusia dengan manusia, bila kedua hubungan itu baik maka manusia
tidak perlu terlalu meributkan perbedaan, yang mana selama ini kehidupan
masyarakat Indonesia yang sarat dengan beragam suku, agama dan ras. Atas
konsistensi sikap Gus Dur dalam menyebarkan “virus” toleransinya atas nilai-
nilai kemanusiaan, beliau mendapatkan pengakuan dunia. Setidaknya hal
demikian terlihat ketika di penghujung 1993, Gus Dur terpilih –bersama empat
warga Asia lainnya− sebagai penerima hadiah Ramon Magsaysay. Keempat
penerima nobel itu dinilai telah mampu memberikan sumbangan yang khas bagi
kemajuan bangsanya, terutama dalam penghargaannya terhadap martabat
kemanusiaan.10
Gus Dur memiliki fenomena spiritual yang langka dibanding kiai-kai lain
di Jawa, karena harus muncul dalam gebrakan sejarah yang penuh warna. Dari
sosoknya sebagai budayawan, seniman, kiai, politisi, pemikir, pembaharu, dan
seorang yang mampu mengangkat khazanah tradisional dalam dialog
kosmopolitan yang aktual dan spirit yang membawa sosoknya sedemikian kuat
itu, dilandaskan pada spiritualitas yang sangat kaya dengan kebebasan,
kemerdekaan, penghargaan kemanusiaan, sekaligus askestisme yang tersembunyi
dalam jiwanya: Dunia Sufi “ajaran tasawuf”.
Tasawuf bukanlah spiritual yang hanya berupa tempat pengasingan diri.
Ajaran tasawuf berusaha menampilkan visi keagamaan yang autentik, yang
10
Ibid., h. 47.
8
mengarahkan diri untuk melampaui kedirian dan egoisme. Ajaran tasawuf adalah
sebuah visi yang tepat dalam menafsirkan dunia, serta alam lain di luar dunia ini
yang mungkin ada dan melingkupi seluruh realitas. Selain itu, tasawuf juga
sebagai sebuah visi tentang suatu tatanan ideal masyarakat.11
Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari sisi Tasawuf atau spiritual
dalam diri dan kehidupannya, lebih-lebih pada diri manusia modern yang selalu
mendapatkan krisis terhadap realitas kehidupannya.
Dari analisa “pandangan” di atas, menarik perhatian penulis untuk
memahami lebih tajam dan mendalam tentang langkah-langkah tasawuf Gus Dur.
Untuk itu, penulis tertarik mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Perilaku
Tasawuf Gus Dur.”
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar yang menjadi topik dari skripsi ini adalah langkah-
langkah Gus Dur dalam tasawuf, sebagaimana latar belakang di atas.
Secara spesifik skripsi ini akan membahas beberapa permasalahan:
1. Bagaimana Perilaku Tasawuf Gus Dur ?
2. Bagaimana Relevansi dari Perilaku Tasawuf Gus Dur terhadap kehidupan
saat ini ?
11
Said Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam
sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), h. 50.
9
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan di atas, maka yang menjadi tujuan dari studi ini
adalah:
1. Untuk mengetahui tentang Perilaku Tasawuf Gus Dur.
2. Untuk mengetahui bagaimana Relevansi dari Perilaku Tasawuf Gus Dur
terhadap kehidupan.
D. METODE PENELITIAN
Dalam rangka penulisan skripsi ini digunakan jenis penelitian studi
analisis pemikiran tokoh dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan
(Library research).
Pengumpulan data berdasarkan pada karya-karya yang ditulis oleh Gus
Dur, selain itu akan diperkaya dengan sejumlah data yang ada di media massa
seperti koran, majalah, artikel dan jurnal yang berkaitan dengan pemikiran Gus
Dur.
Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini adalah analisis data yang
digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang
bertujuan menggambarkan Perilaku Gus Dur dalam bertasawuf.
Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam
skripsi ini disesuaikan dengan standar Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and
Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
E. SISTEMATIKA PENYUSUNAN
Agar lebih mudah memahami pembahasan skripsi ini, maka disusun
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab satu, pendahuluan yaitu gambaran umum yang memuat pola dasar
dari kerangka pembahasan skripsi yang terdiri atas Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian dan
sistematika penyusunan.
Bab dua, berisi tentang latar Biografi singkat kehidupan Gus Dur, karya-
karyanya dan membahas pemikirannya.
Bab tiga, berisi tentang pengertian Tasawuf, kemudian mengetahui Unsur-
unsur Tasawuf, serta melacak hubungan Tasawuf dan Islam di Indonesia.
Bab empat, berisi tentang fenomena Perilaku Gus Dur terhadap Tasawuf,
dalam beragama dan bernegara, kemudian dapat Menemukan Relevansi dalam
Perilaku Tasawuf Gus Dur.
Bab lima, penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari pembahasan.
Kesimpulan ditekankan pada jawaban-jawaban terhadap Perilaku Tasawuf Gus
Dur.
11
BAB II
BIOGRAFI GUS DUR
A. RIWAYAT HIDUP
Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dhakhil,
dari maknanya, "ad-Dhakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil
K.H. A. Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah
yang telah membawa kejayaan Islam di Spanyol selama berabad-abad.1 Pada
proses perjalanan waktu, kata "ad-Dhakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama
"Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan
Gus Dur. "Gus" adalah panggilan untuk seorang anak kiai. "Gus" sebenarnya
kependekan dari ucapan "bagus", sebuah harapan seorang ayah kepada anaknya
agar menjadi bagus.2Selain itu "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren
kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".
Gus Dur (panggilan akrab dari K.H. Abdurrahman Wahid) lahir pada
tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam
bersaudara (lima saudara Gus Dur secara berurutan adalah `Aisyah “Ny. Hj.
`Aisyah Hamid Baidlawi”, Sholahuddin “Ir. H. Sholahuddin Wahid”, Umar “dr.
H. Umar Wahid”, Khodijah dan Hasyim “H.M. Hasyim Wahid”). Ayahnya , K.H.
Abdul Wahid Hasyim, adalah putra dari K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri pondok
pesantren Tebuireng dan pendiri Jam`iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi
terbesar di Indonesia, bahkan barangkali di Dunia. Ibunya, Ny Hj Sholehah, juga
1 Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, penerjemah Lie Hua (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 33. 2 INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan
Gerakan Gus Dur, h. 4.
12
putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Denanyar
Jombang dan Rois `Aam syuriah PBNU.3Dengan demikian secara genetik, Gus
Dur memang keturunan darah biru dan menurut istilah Clifford Geertz, ia
tergolong santri dan priyayi sekaligus.4
Gus Dur, baik dari trah ayah maupun ibu adalah sosok yang menempati
strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia, ia adalah cucu dari dua Ulama
terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia. Lebih dari itu Gus Dur adalah
keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur, yakni Ki Ageng Tarub I
dan Joko Tingkir.5
Meskipun demikian, perjalanan kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan
kehidupan seorang Ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya
masyarakat pada umumnya.
Gus Dur pada masa kecil belajar di pondok pesantren Tebuireng Jombang,
dalam usia lima tahun, ia sudah lancar membaca al-Qur`an. Gurunya waktu itu
adalah kakeknya sendiri, K.H. Hasyim Asy`ari. Gus Dur kecil tidak seperti
kebanyakan anak-anak seusianya, ia tidak tinggal bersama ayahnya, akan tetapi
ikut bersama kakeknya. Semasa di rumah kakeknya itulah Gus Dur kecil mulai
mengenal dunia politik, dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah
kakeknya.6
3 INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan
Gerakan Gus Dur, h. 4. 4 Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe, III.: Free Press, 1960).,
dalam INCReS, Beyond The Symbols, h. 27. 5
Ibid., h. 4. 6 Ibid., h. 6.
13
Pada akhirnya, Gus Dur harus pindah ke Jakarta, ketika ayahnya diangkat
sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, yakni pada tahun 1950, lima tahun
setelah Indonesia Merdeka.7Gus Dur pun menyelesaikan sekolah dasarnya di
Jakarta.
Untuk menambah pengetahuannya Gus Dur pun dikirim untuk mengikuti
kursus-kursus pilihan yang ditentukan oleh orang tuanya, seperti les privat bahasa
Belanda dan oleh Willem Buhl gurunya disuguhi selingan musik-musik klasik
barat.8Buku, bola, catur, musik dan film adalah lima hal yang tak pernah lepas
dari sosok Gus Dur ketika masih kecil.9
Pada saat kecil Gus Dur pernah bercita-cita menjadi tentara, masuk
AKABRI. Namun, cita-cita itu kandas, sebab pada usia 14 tahun, ia harus
memakai kaca mata minus. Selang kandasnya cita-citanya, membuat Gus Dur
semakin semangat “gila” dalam bergelut dengan Buku, bola, catur, musik dan
film. Pada akhirnya Gus Dur yang ketika itu masih kecil merumuskan kembali
cita-citanya yang sangat sederhana, menjadi Guru ! “ saya hanya ingin menjadi
guru bangsa, seperti Ki Hajar, Ki Mangunsarkoro, Kakek saya Kiai Hasyim, dan
sebagainya,” ucapnya suatu ketika.10
Setelah menamatkan dari sekolah dasar di Jakarta, Gus Dur melanjutkan
ke SMEP di Tanah Abang Jakarta, akan tetapi setelah setahun, dia dipindahkan ke
SMEP Gowongan Yogyakarta. Ibunya berharap, kepindahannya ke Yogya selain
7 INCReS, Beyond The Symbols, h. 6.
8 Ibid.,
9 Ibid., h. 7.
10 Ibid., h. 8.
14
agar ia bisa melepaskan diri dari lingkungan lama di Jakarta, juga kembali pada
latar belakangnya sebagai anak kiai: mendekati pondok pesantren.11
Memang sebenarnya Gus Dur sudah mengalami pendidikan santri atau
pesantren dan religiusitas dari kedua orang tuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika
kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur`an
dengan suara keras. Setelah beranjak remaja pun ia belajar bahasa Arab secara
sistematik.12
Ketika Gus Dur sekolah di SMEP Yogya, diusahakan pula dan diatur
bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali. Di sini
ia belajar bahasa Arab dengan K.H. Ali Ma`sum.13
Di kota Jogjalah minat baca dan kehausan Gus Dur akan ilmu pengetahuan
muncul dan semakin melesat jauh. Kota Jogja merupakan kota pelajar, dengan
kehadiran universitas dan banyak toko buku, atau buku-buku yang dimiliki
kenalan gurunya atau gurunya sendiri, ataupun milik sang bapak kos. Dari sinilah
Gus Dur mengalami masa mencintai buku dan sering mengunjungi took buku
secara rutin. Di kota ini pula Gus dur menyukai pertunjukan wayang kulit. Selain
itu kebiasaan lamanya yang suka sekali menonton film menjadi rutinitas yang tak
pernah ditinggalkannya.14
11
Ibid., 12
Mohammad Rifai, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009 (Jogjakarta:
Garasi, 2010), h. 31. 13
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, penerjemah Lie Hua (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 40-47.,
dalam Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 31. 14
Ibid., h. 32.
15
Setelah menamatkan sekolah di SMEP Yogya pada tahun 1957, Gus Dur
pindah ke Magelang di Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan kiai karismatik, kiai
Khudori, dari sinilah Gus Dur mempelajari secara penuh dunia pesantren berserta
keilmuannya.15
Pada saat yang sama, selama dua tahun Gus Dur juga belajar paro waktu di
Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai
Bisri Syansuri.16
setelah itu Gus Dur melanjutkan ke pondok Pesantren Tambak
Beras, di bawah asuhan Kiai Wahab Hasbullah, dari pesantren ini hubungan Gus
Dur dan Kiai Wahab Hasbullah sangat kental, sehingga Ia mendapat dorongan
untuk berproses dalam tahap belajar mengajar, bahkan Gus Dur pernah menjadi
kepala madrasah Modern. Dari pesantren inilah minat Gus Dur mulai bertambah,
tidak hanya pada studi ke-Islaman, tetapi tertarik pada studi tradisi sufistik dan
mistik dari kebudayaan dan tradisi Islam. Inilah awal dari kebiasaan Gus Dur
yang sering berkunjung ke makam-makam para wali, kiai, dan ulama pada tengah
malam.17
Pada akhirnya Gus Dur menyelesaikan studinya yang ia geluti di Indonesia
dan selanjutnya melanjutkan proses belajarnya ke luar negeri. Sebagaimana dari
keturunannya, Gus Dur memang dari keluarga yang haus akan ilmu pengetahuan,
jadi wajar bila Gus Dur harus melanjutkan studinya sampai ke luar negeri.
15
Ibid., h. 33. 16
Ibid., h. 33. 17
Ibid., h. 33-34.
16
Awal belajar di luar negeri, pada tahun 1964-1969. Gus Dur masuk di
Departement of Higher Islamic and Arabic Studies, Al-Azhar Islamic University,
Cairo Mesir.18
Perjalanan proses belajar Gus Dur di Mesir tidak semulus dan semudah
dijalankan, karena memang harus terganjal dengan pengurusan terhadap
pengakuan ijazahnya dan mata kuliah yang sudah dipelajarinya di Indonesia.
Gus Dur merasa banyak hal dalam pelajaran yang diulang ketika belajar di
Mesir, sehingga ia begitu enggan melakukan studi formalnya dan sering tidak
masuk kuliah. Di sinilah ia sering menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan
sepak bola, membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-
film Perancis, dan ikut serta dalam diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat
menarik.19
Dengan kondisi yang sedemikian, rupanya membuat Gus Dur agak
kecewa dan bosan, sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Al-Azhar dan
pindah ke Baghdad.
Kemudian pada tahun 1970-1972 Gus Dur pindah kuliah di Fakultas
Sastra Universitas Baghdad Irak.20
Di sinilah Gus Dur mempunyai jadwal yang
cukup ketat, mulai dari memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di
Indonesia dan ia pun diberikan akses yang mudah untuk pelaksanan tahapan
risetnya. Ia juga mempelajari bahasa Perancis di kota ini, yang tidak dilupakannya
adalah sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam wali kelas dunia dan
mempertajam ilmu tasawufnya. Gus Dur tetaplah Gus Dur, meskipun tidak lagi
18
INCReS, Beyond The Symbols, h. 23. 19
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 34. 20
INCReS, Beyond The Symbols, h. 23.
17
melakukan diskusi-diskusi di kedai kopi, karena ketatnya jadwalnya akan tetapi ia
menyempatkan menonton film di bioskop.21
Setelah menamatkan masa studinya di Timur Tengah, Gus Dur kemudian
pindah ke Eropa untuk melanjutkan studi pascasarjananya. Pada mulanya Gus Dur
tinggal di Belanda dan berkeinginan masuk di Universitas Leiden, akan tetapi
yang terjadi pada beberapa universitas Eropa termasuk Leiden tidak dapat
menerima lulusan dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun kecewa dengan hal ini,
untuk mengurangi beban kekecewaannya ia pun berkelana selama setahun di
Eropa dan pada pertengahan tahun 1971 Gus Dur balik ke Indonesia.22
Sekembalinya dari Eropa ke Indonesia, Gus Dur pun masih saja tidak
putus asa untuk melanjukan studinya ke negeri Eropa, akhirnya Ia mendapatkan
informasi adanya beasiswa ke McGill, namun begitu niat sudah tertancap tapi
urung terjadi, dikarenakan harus melangsungkan resepsi pernikahannya.
Kemudian setelah itu Gus Dur tinggal di Jombang dan memulai langkah-langkah
untuk mencari format perubahan yang harus dilakukannya dengan cara berkeliling
“silaturahim” Jawa, yang nantinya membuat Gus Dur benar-benar mengurungkan
niatnya untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.23
Gus Dur menjadi pelajar keliling di Eropa, belajar dari satu universitas ke
universitas yang lain, pada akhirnya juga sempat menetap di Belanda dan
21
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 35. 22
Ibid., h. 36. 23
Ibid., h. 37.
18
mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di
Eropa.24
Pada masa kuliahnya di luar negeri Gus Dur juga memiliki masa-masa
dalam bekerja, ketika di Mesir ia pernah mendapat pekerjaan di kedutaan
Indonesia untuk Mesir, kemudian ketika di Baghdad ia bekerja di Ar-Ramadhani,
perusahaan ini mengkhususnya impor tekstil dari Eropa dan Amerika, ketika di
Eropa Ia juga bekerja di binatu milik orang Cina.25
ketika menetap di Belanda Gus
Dur dua kali sebulan pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal
tanker.26
Beragam ilmu pengetahuan dan segala prosesnya dalam kemandirian,
seorang Gus Dur mampu menembus batas-batas sisi kemanusiaan yang wajar,
bahkan upaya untuk dapat mandiri dalam hidupnya pun ia mampu.
Begitulah Gus Dur dalam kisahnya mencari ilmu, selain diajar oleh guru
informal yang kuat, bisa jadi Gus Dur juga diberi karunia oleh Allah sehingga
dapat cepat memahami sebuah bacaan dan memiliki ingatan yang luar biasa akan
bacaan tersebut. Mungkin inilah yang menjadi dasar bagi seorang calon pemimpin
di masa mendatang.27
Dalam berproses membangun dan membina rumah tangga Gus Dur, boleh
dibilang cukup unik, perkenalannya di Jombang sebagai guru dan murid
kemudian melewati jarak yang cukup jauh, Gus Dur di Kairo dan Nuriyah di
Jombang. awalnya selama beberapa tahun di kairo, Gus Dur terus menghubungi
24
INCReS, Beyond The Symbols, h. 18. 25
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 38. 26
INCReS, Beyond The Symbols, h. 19. 27
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 33.
19
Nuriayah lewat surat menyurat yang sangat teratur pada akhirnya Nuriyah pun
menerima Gus Dur sebagai teman hidupnya hingga melangsungkan pertunangan
selama kurun waktu dua tahun, setelah itu Gus Dur pun menikahi Nuriyah.28
Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan, mereka yaitu, Alissa
Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah
Wulandari. Dalam mendidik anaknya Gus Dur juga selalu menerapkan praktik
demokrasi, tidak otoriter terhadap persoalan yang dihadapi anak-anaknya, Gus
Dur hanya mengarahkan dan memberikan saran-saran dengan segala konsekwensi
terhadap beragam pilihannya.29
Masa perjuangan seorang Gus Dur memang sangat panjang, berawal tapi
bukan awal yang diinginkannya, proses itu mengalir mulai dari sejak berada di
Indonesia sampai di luar negeri pun dilakukannya, mulai dari mengajar, menjadi
kepala madrasah, membidangi banyak aktifitas di luar negeri, menjadi komentator
sosial dengan menulis di berbagai media cetak, bergerak dalam lingkup LSM
LP3ES, ketua PBNU, hingga menjadi Presiden RI ke-4. kesadaran Gus Dur akan
pergerakan untuk menemukan perubahan yang ideal cukup kuat, ia sangat anti
kekerasan, teguh, tangguh dan konsisten.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sebelum menjabat sebagai
Presiden sampai setelahnya, penyakit yang ia alami seperti stroke, diabetes dan
lainnya. Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto
28
Ibid., h. 39-41. 29
Ibid., h. 41.
20
Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 wib, dikarenakan oleh penyakit yang
dideritanya sejak lama.30
Gus Dur wafat bertepatan dengan ulang tahun ke-27 putri bungsunya,
Inayah Wulandari, yang lahir pada 31 desember 1982, selama Gus Dur dirawat di
Rumah sakit RSCM, Inayah Termasuk salah satu putri Gus Dur yang paling rajin
menjaga Gus Dur.
Menurut cerita, K.H. Salahudin Wahid, yang akrab dipanggil Gus Sholah
ia bertemu kakaknya, Gus Dur terakhir kali di Jombang, sepekan sebelum
wafatnya, yaitu Gus Dur ketika sedang berziarah ke makam keluarga, saat itu Gus
Sholah sudah memiliki firasat tidak enak. Gus Sholah merasa kaget dan heran
ketika Gus Dur bilang ”Dik, mengko tanggal 31 jemputen aku nang kene ! (dik,
nanti tanggal 31 jemput saya disini)31
dan begitu juga banyak cerita mengenangi
sebelum wafatnya Gus Dur dan setelah Gus Dur wafat banyak yang sadar bahwa
Gus Dur sudah mengetahui waktu wafatnya. Semoga amal ibadah Beliau diterima
oleh Allah Swt.
Itulah yang terjadi pada sosok Gus Dur, kesaktiannya hanya orang-orang
tertentu yang mengetahuinya bahkan beliau sanggup menyembunyikannya dengan
baik, tanpa perlu harus diketahui banyak orang. Sekarang bila kita mengamati,
banyak orang yang melayat ke kuburannya seperti layaknya makam-makam para
Wali Allah “Wali Songo”, banyak orang merasa kehilangan, menangisi
kepergiannya. Beliau memang guru spiritual baru beberapa kalangan muslim,
begitu juga kalangan beda agama di Indonesia maupun di Dunia.
30
Ibid., h. 48. 31
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 49-50
21
B. KARYA-KARYANYA
Karya-karya intelektual Gus Dur sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-
an, karya intelektual itu tersebar dalam berbagai bentuk tulisan dan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut, dalam bentuk buku sebanyak 12, 1 buku
terjemahan, 20 kata pengantar buku, 1 epilog buku, 41 antologi buku, 105 tulisan
dalam bentuk kolom, 50 makalah, 263 artikel yang tersebar dalam berbagai
majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa.32
Tim peneliti dari INCReS (Institut of Culture and Religion Studies) secara
simpel memberikan gambaran dari karya-karya besar yang dihasilkan dari
pemikiran seorang Gus Dur, karya tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh tema
pokok, ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi
perhatian Gus Dur selama ini. Tujuh hal itu adalah pandangan dunia pesantren,
pribumisasi Islam, keharusan demokrasi, finalitas negara-bangsa Pancasila,
pluralisme agama, humanitarinisme universal dan antropologi kiai.33
Berikut daftar karya dalam perjalanan karir dan perjuangan Gus Dur:34
1. Guru Madrasah Mu`allimat, Jombang (1959-1953)
2. Dosen Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
3. Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-
1974)
4. Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974-1979)
5. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta (1976-2009)
32
INCReS, Beyond The Symbols, h. 35. 33
Ibid., h. 36-37. 34
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 52-53.
22
6. Pendiri dan anggota Fordem (forum Demokrasi), 1990.
7. NU (Nahdlatul Ulama), katib Awwal PBNU 1980-1984, Ketua dewan
Tanfidz PBNU, 1994-2000.
8. Pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
9. P3M (Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat)
10. Pendiri The Wahid Institut.
11. Gerakan Moral rekonsiliasi Nasional, 2003, sebagai penasihat.
12. Solidaritas korban pelanggaran ham, 2002, sebagai penasihat.
13. Festifal Film Indonesia, 1986-1987, sebagai juri.
14. Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
15. Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Cairo Mesir, 1965, sebagai wakil
ketua.
16. Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden, 2003-
sampai beliau meninggal.
17. International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel.
18. Anggota dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, ehud barak dan
carl bild, 2003-sampai beliau meninggal.
19. International Islamic Christian Organization for Reconciliation and
Reconstrukction (IICORR), London, Inggris. Sebagai presiden
kehormatan, 2003-sampai beliau meninggal.
20. International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP). New
York, Amerika Serikat. Anggota dewan penasihat Internasional. 2002-
sampai beliau meninggal.
23
21. Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York,
Amerika Serikat, Presiden, 2002.
22. Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel. Pendiri dan anggota.
1994-sampai beliau meninggal.
23. World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika
Serikat, Presiden, 1994-1998.
24. International dialogue project for area study and law, den hag, belanda,
sebagai penasihat, 1994.
25. The Aga khan Award for Islamic Architecture, anggota dewan juri, 1980-
1983.
Dengan kegigihannya dalam perjuangan dan pemikirannya atas
kemanusiaan baik di Indonesia maupun di dunia Gus Dur banyak sekali
mendapatkan gelar kehormatan dari berbagai lembaga dan mendapat berbagai
penghargaan dari berbagai lembaga lokal, nasional maupun internasional.35
Kemudian Gus Dur juga diakui kapasitasnya di kalangan akademik
sehingga beberapa kali mendapat gelar dari berbagai universitas.36
C. PEMIKIRANNYA
Gus Dur memang memiliki pemikiran yang cukup unik dan jernih. Boleh
dibilang pemikirannya mampu melewati zamannya, karena banyak orang harus
memikirkan dengan keras apa yang menjadi pemikirannya. Ia juga dikenal sangat
kontroversial.
35
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 54-55. 36
Ibid.,
24
Gus Mus menyebut pemikiran Gus Dur sebagai pelajaran Tuhan, sampai
saat ini, pastilah belum−atau tak pernah−ada orang yang bisa menandingi Gus Dur
dalam banyaknya mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus
Dur niscaya sangat berperan dalam pengumpulan julukan itu. Mereka yang
melihat betapa Gus Dur begitu `fanatik` dan gigihnya menyesuaikan sikapnya
dengan firman Allah “Walaqod karramna banii Adama...”(Q. 17:70), mungkin
akan menjulukinya humanis. Mereka yang melihatnya begitu `taat` dan gigih
mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan
menjulukinya nasionalis, mereka yang melihatnya sebagai orang yang memiliki
tingkat kualitas spiritual, mungkin akan menjulukinya seorang wali. Demikian
seterusnya.37
Perjuangan pemikiran Gus Dur mampu melewati semua jenis disiplin
ilmu, mulai dari agama, filsafat, tasawuf, tata bahasa, kebudayaan dan kesenian,
humor, demokrasi, pluralisme, humanisme, nasionalisme. Dengan ide-idenya
yang cemerlang, pemikiran Gus Dur mampu menjadi komentator sosial yang
mampu membuat gelisah dan menyadarkan banyak kalangan terutama
pemerintahan saat itu.
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik
dan pendidikan barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya
untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan perjalanan, membaca, dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan
37
KH. A. Mustofa Bisri, “Gus Dur sebagai Pelajaran Tuhan,” prawacana,
dalam Institute of Culture and religion Studies (INCReS), Beyond The Symbols:
Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gusdur (Bandung: INCReS, 2000),
h. iii.
25
kedua dunia pendidikan ini. Mungkin ia mengerjakan hal ini lebih lengkap
daripada mayoritas intelektual di Indonesia, yang kemudian membuat Gus Dur
menjadi bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia.38
Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-hal yang lebih
substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran, terbuka, dan inklusif.39
Menurut Greg Barton, pemikiran Gus Dur, ia kategorikan dalam salah satu
cendekiawan Neo-Modernis. Di antara karakter intelektual yang digolongkannya
dalam kelompok Neo-modernis bahwa dalam memahami ajaran Islam banyak
mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme berijtihad secara
konstekstual. Berusaha memuat sintesis antara khazanah klasik dengan keharusan
berijtihad, serta apresiatif dengan gagasan barat terutama dalam ilmu-ilmu social
dan humaniora. Neo-Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang
terbuka, inklusif terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat
yang ada, condong untuk menekankan sikap toleran dan harmoni dalam hubungan
antar komunitas.40
Keluwesan Gus Dur dalam mengkonstruksikan pemikirannya tidak dapat
dipungkiri. Seperti halnya perihal negara “Indonesia” yang harus diIslamkan, Gus
Dur jelas-jelas mempertanyakan konsep ini, baginya negara yang dikonsepkan
menurut Islam tidak memiliki kejelasan formatnya. Nabi meninggalkan Madinah
tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Tentang
38
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The authorized biography of
Abdurrahman Wahid, pen., Lie Hua (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 134. 39
INCReS, Beyond The Symbols, h. 55. 40
KH. Abdurrahman Wahid, “Pemikir Islam yang Brilian”, dalam
Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009), h. 38.
26
negara Islam yang dipikirkan sebagian orang itu hanya memandang Islam dari
sudut institusionalnya saja.41
Selama tidak ada kejelasan tentang hal di atas,
sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep
kenegaraan.42
Kemudian Gus Dur berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara
dan masyarakat, dimana pada masa orde baru Negara terlalu kuat atau otoritarian,
sementara masyarakat terlalu lemah. Ia dengan pemikiran dan pengembangan
gerakan kemasyarakatan berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara dan
pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya
kekuatan masyarakat sipil (civil society).43
Perjuangan Gus Dur terhadap
demokrasi untuk negara, sudah bukan menjadi rahasia lagi, banyak orang yang
mengetahui dan mengenal. Pemikiran Gus Dur tentang Indonesia yang dicita-
citakan adalah menjadi negara yang demokrasi yang memiliki pengaruh kecil
terhadap militer dan tidak ada fundamentalisme dalam agama. Baginya di
kehidupan yang modern ini demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam
arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian
penting dalam sebuah negara yang pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan
kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana
41
Gus Dur, Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: Kompas, 2007), h.3-
6. 42
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu dibela (Yogyakarta: LKiS,
1999), h. 18. 43
M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS,
2010), h. 20.
27
demokratis44
meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi
proses diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya.
Gus Dur sebagai satu-satu nya orang yang pertama kali mensuarakan
kembali terhadap gagasan pribumisasi Islam. Dengan artian yang dipribumikan itu
manifestasi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan
peribadatan formalnya.45
Bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari
kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang.46
Ini yang telah dilakukan para pelopor dakwah “wali songo” dalam proses
Islamisasi di Indonesia. Bisa dilihat bahwa pemikiran dan gerakan Gus Dur tidak
jauh berbeda dengan para wali bisa disebut juga sufi.
Gus Dur menyatukan kebudayaan dan keberagamaan, menurutnya, agama
“Islam” dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya
mempunyai wilayah tumpang tindih. Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya,
karena kebudayaan merupakan kreativitas manusia yang dapat menjadi salah satu
bentuk ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa agama
adalah kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi
namun tetap memiliki perbedaan. Agama bersumber pada wahyu dan memiliki
norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia
cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia,
karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung
untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi
44
Ibid., h.47-48. 45
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu dibela, h.92 46
M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur, h. 126.
28
kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Perspektif demikian menempatkan
agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa dan pada saat
yang sama agama menjadikan kehidupaan berbangsa sebagai wahana pematangan
dirinya.47
Gus Dur dikenal juga sebagai sosok yang humoris. Pemikiran dan sikap
kritisnya terhadap realitas kehidupan sering disampaikan melalui humor, sehingga
yang setuju maupun tidak sama-sama tertawa. Bahkan ia disejajarkan dengan
filsuf Yunani, Socrates, yang gemar melontarkan komentar-komentar
humoristis.48
Perlawanan yang Gus Dur lakukan mungkin banyak tidak diketahui
orang, bahwa sebenarnya ia sedang mengadakan perubahan dan kritik besar
besaran yang disampaikannya lewat lelucon.49
Di dunia internasional pun pemikiran Gus Dur diterima banyak kalangan
intelektual dunia. Bahkan banyak yang melakukan penelitian secara khusus
terhadap pola dan gaya pikirannya. Tidak aneh pula bila beragam penghargaan
didapatkan Gus Dur dari dunia internasional.50
Gus Dur adalah representasi paling genuin dari dua kultur yang terus
menerus bertahan dan berkembang di lingkungan NU. Yang pertama adalah
kultur kiai dengan pesantrennya yang menjadi jagad kecilnya NU. Yang kedua
adalah kultur kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia
modern.51
Ia juga membangun pemikirannya sebagai gerakan sosial yang secara
47
Ibid., h.107. 48
Ibid., h.22. 49
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu dibela, h. 178-179. 50
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 54-55. 51
M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur, h.30.
29
cerdas bisa menempatkan NU dalam posisi yang strategis.52
Lewat NU juga Gus
Dur melakukan perubahan besar-besaran dan mendasar terhadap NU sendiri
maupun bangsa dan negara.
Pemikiran Gus Dur memiliki kekuatan aroma sufistik. Seperti gagasannya
tentang Tuhan tidak perlu dibela, ia menuturkan bahwasannya, Al-Hujwiri
mengatakan, bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang
merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu
disesali kalau “Ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang
menyerang hakikat-Nya, Yang di takuti berubah adalah persepsi manusia atas
hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.53
Gus Dur
menghiasi serta menjalankan jalan pikirannya sama halnya dengan guru tarekat
itu.
Dalam pemikiran spiritual Gus Dur bisa disebut sebagai sufi sejati. Ia
pemaaf, meski kepada musuh yang jahat sekalipun. Meski dicaci karena membela
non-muslim ia sabar dan tenang, tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun,
tidak pernah takut menghadapi apapun, ikhlas, tampa pamrih, dan sebagainya
yang mencorakkan Gus Dur pada sisi sufistik. Seorang sufi selalu
menggabungkan kerja keras dan kepasrahan kepada Tuhan secara total.54
Gus Dur
dianggap wali “sufi” di mata pengikutnya dan orang-orang teraniaya. Pemikiran,
pembelaan dan perjuangan Gus Dur sepanjang hidupnya, menunjukkan bahwa ia
52
Ibid., h.42. 53
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu dibela, h. 56. 54
Ibid., h.85-88.
30
memiliki sifat-sifat seorang wali, tanpa harus dipaksakan atau diperdebatkan
untuk disebut sebagai wali.55
Gus Dur memang sudah menjadi fenomena yang menarik sekaligus unik,
terutama dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia bahkan diperhitungkan
dalam wacana politik. sementara itu, ia mampu mengadakan perubahan besar-
besaran di kalangan Nahdliyyin. Menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan
tempat berkonsultasi, menyampaikan keluhan, dan mencari informasi, kadang-
kadang juga dimintai restu dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Gus Dur
tampaknya bukan lagi seorang figur, ia sudah menjadi simbol atau bahkan sebuah
mitos.56
Bagi Gus Dur seorang tokoh akan diketahui tingkat keberhasilannya
dengan jelas dalam memajukan umat, jika produk-produk ijtihad-nya dapat
dirasakan implikasinya bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.57
55
Ibid., h.184. 56
INCReS, Beyond The Symbols, h. 53-54. 57
KH. Abdurrahman Wahid, kata pengantar, dalam Syamsun Ni’am, The
Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga,
2006), h. xvi.
31
BAB III
TASAWUF
A. PENGERTIAN TASAWUF
Membuat suatu rumusan tentang definisi dan batasan yang tepat berkaitan
dengan pengertian tasawuf adalah hal yang tidak mudah, hal ini telah diakui oleh
para ahli tasawuf. Keadaan demikian disebabkan oleh kecenderungan spiritual
pada setiap pemahaman agama, aliran filsafat, dan peradaban dalam berbagai
kurun waktu.1Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang menyatakan pengalaman
pribadinya dalam konteks pemikiran dan kepercayaan yang berkembang pada
masyarakatnya.2 Di samping itu, karena tasawuf adalah aspek esoteris yang
menekankan unsur batin yang sangat tergantung pada pengalaman spiritual
masing-masing pelaku individu, sehingga memang wajar bila pengertian tasawuf
yang muncul di kalangan para sufi seringkali ditemukan perbedaan-perbedaan.3
Begitu juga pemahaman terhadap pengertian tasawuf yang dipersepsikan oleh
Gus Dur.
Tasawuf secara harfiah berasal dari kata shuff yang berarti bulu atau wool
kasar. Saat itu, para sufi memakai bulu untuk pakaiannya sebagai simbol untuk
merendahkan diri dan kesederhanaan pada masa itu.4 Menghubungkan sufi
“tasawuf” dengan shuff, agaknya memiliki korelasi yang mempertemukan antara
1 At-Taftazani, Madkhal, h. 3., dalam Syamsun Ni‟am, The Wisdom Of KH Achmad
Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. 99. 2 Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), h. 27. 3 Syamsun Ni‟am, The Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf
(Surabaya: Erlangga, 2006), h. 99-100. 4 Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 8.
32
jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi.5 Sehingga
sebutan sufi memang cocok bila dikaitkan dengan kehidupan selanjutnya, dengan
alasan bagi siapa yang mampu menjaga keseimbangan dalam berkehidupan,
dengan artian yang tidak jauh dari pengertian sufi sebagai pelaku ajaran tasawuf.
Tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek oleh karena
itu para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, mempercayai keutamaan spirit
ketimbang jasad, mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Bertolak
dari keyakinan ini, maka muncullah cara hidup spiritual. Istilah tasawuf yang
berasal dari kata shafa yang artinya kesucian, dengan artian mensucikan diri dari
kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah Yang Maha Suci.6
Menurut tokoh sufi Junaid al-Baghdadi tasawuf adalah membersihkan hati
dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang
menanggalkan budi, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia,
menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian,
dan bergantung pada ilmu-ilmu haqiqat, memakai barang yang terlebih penting
dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada sesama umat, memegang teguh
janji dengan Allah dalam segala haqiqat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam
segala syari‟at.7
Pengertian tasawuf pada umumnya cenderung dimaknai dengan usaha
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan sedekat mungkin melalui metode
5 R.A. Nicholson, The Mystic of Islam, kegan Paul Ltd, London, 1966., dalam A. Rivay
Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), h. 31. 6 Mulyadi Kartanegara, Menyelami lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h.2-4.
7 Hamka, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, cet. Keempat 1906, h. 78., dalam
M Zain Abdullah, Dzikir dan Tasawuf (Solo: Qaula, 2007), h. 11-12.
33
pensucian rohani maupun dengan memperbanyak amalan ibadah, metode
pensucian diri dengan dzikir dan amalan itulah yang di istilahkan dengan thoriqoh
atau tarikat yang di laksanakan oleh para murid tasawuf dengan mengikuti
bimbingan dari sang mursyid atau syeikh sufi8.
Tasawuf menurut al-Ghazali adalah akhlak. Barang siapa yang
memberikan bekal akhlak atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam
Tasawuf, maka jiwa seorang hamba adalah menerima (perintah) untuk beramal
karena mereka sesungguhnya melakukan suluk kepada sebagian akhlak karena
keadaan mereka yang bersuluk dengan Nur (cahaya) iman9.
Memang bila ditinjau dari berbagai pengertiannya tasawuf tidak memiliki
definisi yang sama maupun sepaham di antara para ahli tasawuf “sufi”, semua
pengertian yang ada itu diambil dari pola pengalaman spiritual para pelaku
tasawuf atau yang disebut Sufi.
Kemudian, jika tasawuf melewati berbagai fase dan kondisi, pada tiap fase
dan kondisi yang dilewatinya terkandung berbagai pengertian yang setiap fasenya
hanya mencakup sebagian aspek-aspek saja, meskipun begitu ada satu asas
tasawuf yang tidak diperselisihkan, yaitu, bahwa tasawuf adalah moralitas-
moralitas yang berdasarkan Islam.10
Memang tasawuf memerlukan telaah dan penilikan yang khusus dan
seksama, apalagi bila spiritualitas dikaitkan dengan tasawuf, kedua-duanya
8 Pengantar Ilmu Tasawuf (Sumatra Utara: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama,
Institut Agama Islam Negri, 1981/1982), h. 273-274. 9 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: pustaka setia, 1999), h. 203-204.
10 Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, pen., Ahmad Rofi‟ Utsmani
(Bandung: Pustaka, 1985), h. 10.
34
menggerakkan potensi diri kepada sesuatu yang lebih baik dan bermoral. Potensi-
potensi inilah yang akan memberikan makna tertentu dalam suatu tindakan.11
Tasawuf yang dipraktikkan dengan benar dan tepat akan menjadi metode
yang efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi,
apapun zamannya atau bagaimanapun gejolak di dunia ini, semuanya akan
dihadapi dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang dingin, objektif, dan penuh
ketenangan. Kita tahu dalam sejarah, pergumulan nyata kalangan sufi yang
mampu menyeimbangkan antara kebutuhan nyata dan kebutuhan spiritual.12
Sangat menarik bila mengkaji banyak pengertian tentang tasawuf dengan
beragam perbedaannya. Namun begitu, dari serangkaian pengertian yang
ditawarkan para ahli,13
sekiranya ada pengertian yang telah disepakati yaitu
tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan Islam. Dengan artian bahwa
pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, yang dikarenakan
dalam ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.14
B. UNSUR-UNSUR TASAWUF
Dalam perjalanannya ilmu tasawuf memasuki rentan masa yang sangat
panjang, dengan begitu ilmu ini mampu menghasilkan berbagai sistem dan
subsistem “unsur-unsur”, yang menjadikan ilmu ini mampu dijangkau oleh siapa
11
Said Agil Siroj, Tasawuf sebagai kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi
bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), h. 49-50. 12
Ibid., h.51. 13
Menurut koleksi Ibrahim Basuni, ia telah mengumpulkan kurang lebih 40 definisi
tasawuf sampai saat ia menulis bukunya, Nas-ah al-Tasawuf al-Islam, tahun 1969., dalam A.
Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), h.
33. 14
Al-Qur‟an, surat al-Qalam; 4., dalam A. Rivay Siregar, h. 33.
35
pun dan pastinya harus melewati unsur-unsur yang telah dibuat oleh para sufi
tersebut.
Adapun perkenalan dasar dengan pendekatan unsur yang dikenal dengan
sebutan Mahabbah (ajaran cinta), mempunyai pengertian yang konotasi spesifik,
yakni, rindu kepada Tuhan yang membangkitkan rasa gandrung dan rindu
menyatu kepada Tuhan. Ajaran cinta (mahabbah) merupakan pangkal tolak
pembatinan kehidupan sufi yang dalam tasawuf dilambangkan sebagai akar di
mana para pencinta belum dianggap sungguh-sungguh sebelum sampai pada
tingkat mabuk cinta dan melupakan segala-galanya, selain cinta pada Tuhan.
Unsur cinta pada Tuhan, akan membuat manusia mempunyai loyalitas dan sikap
ikhlas dalam merealisasi ubudiah “ibadah” kepada Tuhan.15
Adapun salah satu dari unsur tersebut adalah takhalli, tahalli, tajalli yaitu
suatu unsur untuk melakukan proses dalam mengupayakan dalam menyingkap
tabir “hijab” yang membatasi diri dengan Tuhan.16
Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela “kekotoran hati”
dari maksiat lahir dan maksiat bathin,17
Tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji “membersihkan hati” dengan taat lahir dan taat bathin,18
Tajalli adalah merasakan akan rasa ke-Tuhanan yang sampai mencapai kenyataan
Tuhan.19
15
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta:
RajaGrafindo, 2002), h. 15-16 16
M Zain Abdullah, Dzikir dan Tasawuf (Solo: Qaula, 2007), h. 45. 17
Ibid,. 18
Ibid., h . 47. 19
Ibid., h . 49.
36
Sedangkan unsur yang lain seperti syari‟at, thariqat, haqiqat, dan ma‟rifat
juga sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, hal ini juga sebagai cara
tingkatan sebagaimana yang dikerjaan oleh para sufi untuk dapat memasuki fase
menyempurnakan proses dalam beragama.20
Syari‟at adalah peraturan-peraturan yang telah ditentukan,
termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang disuruh dan dilarang,
yang sunnah, yang makruh, dan yang mubah. Mengerjakan syari‟at itu berarti
sebagaimana mengerjakan amalan yang lahir dari segala hukum-hukum, seperti
sembahyang, puasa, zakat dan haji, berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu
pengetahuan dan lain lain, tegasnya syari‟at itu ialah peraturan yang bersumber
dari kitab suci al-Qur‟an dan Hadits.21
Thariqat adalah cara menempuh jalan
untuk dapat terbukanya dan tersingkapnya dinding kasyaf “proses mendekatkan
diri kepada Tuhan”,22
Haqiqat adalah kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir
dari semua perjalanan, tujuan segala jalan “thariqat”, karena thariqat dan haqiqat
tidak dapat dipisahkan, bahkan sambung menyambung antara satu sama lain.23
Ma‟rifat adalah mengenal Allah, jadi hal ini merupakan tujuan pokoknya.24
Adapun unsur yang lebih memiliki keunikannya, yaitu, al-Fana, al-Ittihad,
al-hulul, al-Wahdat as Syuhud, al-Isyraqiyah, Insan Kamil, dan Wahdat al-
Wujud. Yang menjadi serangkaian cara untuk mengenal Allah.25
20
Ibid.,h . 37. 21
Ibid.,h . 38. 22
Ibid.,h . 40-41. 23
Ibid.,h . 41. 24
Ibid.,h . 43. 25
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 141-210.
37
Secara singkat dapat dijelaskan terhadap beberapa pengertian diatas, yaitu,
al-Fana menurut penjelasan al-Junaidi adalah hilangnya daya kesadaran qolbu
dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi
yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan
berlangsung terus secara silir berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan
dirasakan oleh indera.26
Bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan
kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi
manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur.27
Jadi, yang hilang hanyalah
kesadaran akan dirinya sebagai manusia.28
Selanjutnya pengertian al-Ittihad sebagai kelanjutan dari al-Fana yaitu
bahwa pada saat telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga Wujudiyahnya
kekal. Didalam perpaduan itulah ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai
manusia yang berasal dari Tuhan.29
Kemudian dari paham al-Ittihad berkembang kepada pengertian al-hulul
adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia
yang telah dapat membersihakan dirinya dari sifat kemanusiaannya. Sebab
manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut
dan sifat kemanusiaan atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyahnya, maka
26
Ibrahim Basyuni, Nash al-Tasawuf al-Islam, Daar al-Ma`arif, Kairo, 1969; 138., dalam
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 146-147. 27
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 147. 28
Al-Qusyairi, ar-Risalahhal-Qusyairiyah, Kairo, 1966; 33., dalam Ibid,. 29
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 152.
38
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia
dengan Tuhan.30
Dari pengertian paham al-Wahdat as Syuhud berbeda dari pengertian di
atas, yaitu, menemukan keadaan mistis Cinta Illahi, melalui latihan dan
konsentrasi batin yang teratur, maka cintanya kepada Allah semakin mendalam
dan semakin menguasai segenap relung qolbunya sehingga dapat merasakan
getaran cahaya Tuhan dan akhirnya yang dirasakan dan dilihat hanya satu yakni
Tuhan yang Esa. Kesatuan dalam hal ini bukan penyatuan dua wujud, tetapi
penyatuan dalam arti yang disaksikan hanya satu, yaitu Wujud Tuhan Yang Maha
Esa.31
Paham al-Isyraqiyah lebih tepat diartikan penyinaran atau iluminasi dalam
artian kemampuan mengidentifikasi eksistensi manusia dengan Nur al-Anwar
(Cahaya Suci).32
Menggabungkan antara rasio dan rasa dalam mengidentifikasi
eksistensi.33
Insan kamil adalah aspek (shurah) ketiga dari haqiqat al-
Muhammadiyah,34
sebagai manusia sempurna karena ia memiliki wujud positif.
Sesuatu itu sempurna atau tidak, tergantung pada proporsi wujud positif yang
dimilikinya, atau dalam proporsi terhadap jumlah atribut Tuhan yang dimiliki
melalui tajalliyat. Wujud yang paling lengkap menerima atribut Tuhan adalah
Insan Kamil atau manusia sempurna. Dia adalah wujud satu-satunya yang termuat
30
Ibid., h. 156. 31
Ibid., h. 162-163. 32
Ibid., h. 170. 33
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS,
2008), h. 49. 34
Lihat Ibn Arabi, Futuhat, vol. iv: 13., dalam Ibid., h. 210.
39
di dalamnya prinsip-prinsip Realitas Mutlak, sehingga manusia disebutkan
sebagai cermin yang memantulkan semua kesempurnaan Asma dan Sifat Tuhan.35
Sedangkan pengertian Wahdat al-Wujud yaitu sebagai perluasan dari
konsepsi al-Hulul adalah karena nasut yang ada dalam hulul diganti dengan khalq
(makhluk), sedang lahut mendaji Haqq (Tuhan). Khalq dan al-Haqq adalah dua
sisi bagi segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut Khalq dan aspek yang sebelah
bathinnya disebut al-Haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini
mengandung aspek lahir dan aspek bathin. Aspek Khalq memiliki aspek
kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek batin atau al-haqq memiliki
sifatkeTuhanan atau lahut. Tiap-tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek
itu, yaitu sifat ke-Tuhanan dan sifat kemanusiaan. Tetapi aspek yang terpenting
adalah aspek batinnya atau aspek al-Haqq dan aspek ini yang merupakan
hakikat/esensi dari tiap-tiap yang wujud.36
Jadi, walaupun pada lahirnya ala mini
kelihatan berbeda-beda tetapi pada tiap=tiap yang ada itu terdapat sifat ke-
Tuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi sesuatu itu. Disinilah
paham kesatuan wujud diartikaan dengan bahwasannya yang Nampak dengan
indera yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu. Hal ini dapat diibaratkan
seperti orang yang melihat bayangannya dalam beberapa cermin. Betapapun
banyaknya bayangan itu, tetapi orangnya adalah satu. Sebab bayangan itu tidak
mempunyai substansi.37
C. TASAWUF DAN ISLAM DI INDONESIA
35
Ibid,. 36
R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, Routledge dan Kegan paul, London, 1966: 115.,
ibid., h. 183. 37
Ibn Arabi, Futuhat, vol. I: 604., dalam ibid., h. 183-184.
40
Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa
tahap, sejak pertumbuhan hingga keadaannya sekarang.38
Pada proses
kemunculannya Tasawuf, para sufi membawa angin segar dalam kancah
keIslaman lantaran ajaran maupun amalan yang mereka lakukan, di tengah carut
marutnya politik dan semakin merambahnya kecintaan terhadap ke duniawian.
Seiring dengan perjalanan sejarah, tasawuf yang di pelopori oleh para sufi terus
mengalami beragam perkembangan yang di tandai dengan adanya elaborasi antara
ajaran yang ada dalam falsafah dengan tasawuf.39
Pada selanjutnya munculah beberapa golongan sufi yang mengamalkan
amalan dengan tujuan pensucian jiwa dan mendekatan diri kepada Allah SWT,
para sufi yang hadir pada periode ini mulai membedakan antara pengertian-
pengertian syariah, thariqat, hakikat maupun ma’rifat. Syariat di artikan untuk
memperbaiki amalan lahir, sedang tarikat untuk memperbaiki amalan batin,
hakikat untuk mengamalkan segala rahasia yang ghaib, adapun ma’rifat
merupakan tujuan akhir dari perjalanan spiritual seorang sufi40
.
Pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang
masih sederhana. yaitu sekelompok kaum muslim yang memusatkan perhatian
dan memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar
keuntungan akhirat. Pelopornya adalah Al-Hasan Al-bashri (w. 110 H) dan
Rabi‟ah Al-Adawiyyah (w. 185). Kehidupan atau cara “model” zuhud kemudian
berkembang, ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspekteoritis
38
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia
(Jakarta: Pustaka Iman, 2009), h. 48. 39
Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, Mengenal dan Memahami Tarikat-tarikat Mu‟tabarah di
Indonesia., (Jakarta: Kencana, Oktober, 2005), h. 6. 40
Ibid,.
41
psikologis dalam rangka pembentukan perilaku hingga tasawuf menjadi sebuah
ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong
lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan serta
pengaruhnya bagi perilaku. Pemikiran-pemikiran yang lahir selanjutnya terlibat
dalam masalah-masalah epistimologis, masalah-masalah ini berkaitan langsung
dengan pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah Swt. Sehingga
lahir konsepsi-konsepsi seperti fana‟ yang dipelopori oleh Abu Yazid Al-
Busthami (w. 261). Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu yang sebelumnya
hanya berupa ibadah-ibadah praktis. Dengan munculnya tokoh sufi seperti Al-
Junaid, sari al-Saqhati dan Al-kharraz yang memberikan pengajaran dan
pendidikan kepada para murid dalam bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam
Islam terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan
yang memberikan pengajaran teori dan praktik kehidupan sufistik, kepada para
murid dan orang-orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf.41
Kemudian muncul Al-Ghazali sebagai penentang ajaran tasawuf yang
bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an dan Sunnah dalam sebuah upaya
mengembalikan tasawuf pada status semula sebagai jalan hidup zuhud,
pendidikan jiwa dan pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang
diperkenalkan al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian
mendalam dan belum pernah dikenal sebelumnya. Dia merupakan kritik-kritik
tajam terhadap berbagai aliran filsafat, dalam orientasi-orientasi umum dan
41
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia,
h. 48-49.
42
rincian-rincian yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi-konsepsi Al-
Hallaj dan Al-Busthami. Tasawuf semacam ini disebut tasawuf Sunni.42
Sejak tampilnya Al-Ghazali, pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di
dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh sufi terkemuka yang membentuk tarekat
untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Ahmad Al-Rifa‟I (w. 570 H) dan
Syaikh „Abd Al-Qodir Al-Jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis
tasawuf Al-Ghazali.43
Sementara itu, muncul sejumlah sufi yang berorientasi pada ajaran filsafat,
antara lain, Suhrawardi Al-Maqtul, tokoh ilmu huduri dan presensial (w. 587 H),
Al-Syaikh Al-Akbar, Ibn „Arabi (w. 638 H), dalam aliran tasawuf yang
bekembang adalah pantheisme (wahdah al-wujud) yang mengarahkan tasawuf
pada “kebersatuan” dengan Allah Swt. Perhatian para sufi ini tidak tertuju pada
selain taraf spiritual ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan.
Perkembangan tasawuf akhirnya berlangsung di bawah pengarus para sufi ini, ia
menjadi terkait amat luas dengan filsafat, terutama aspek-aspek ontology dan
epistemology. Aliran seperti mencapai puncaknya pada pemikiran Ibn “Arabi
yang berhasil membangun pilar tasawuf di atas prinsi-prinsip filsafat yang kukuh
dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna.44
Dengan munculnya aliran tersebut, tasawuf terbagi menjadi dua. Pertama,
tasawuf sunni yaitu tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan
kepada Al-Qur‟an dan sunnah dan kedua, Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang
42
Ibid., h. 49-50. 43
Ibid., h. 50. 44
Soerono, Indonesia di Tengah-tengah Dunia, vol. I, cet. Vii, Jakarta: 1962, h. 5. Dalam
Ibid., h 51.
43
menggabungkan berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar Islam. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kecenderungan filosofis itu terjadi karena adanya dan
terciptanya peluang yang menginteraksikan aliran-aliran mistik, baik sebagai
akibat dari penerjemah maupun berkat ekspansi Islam di Negeri-negeri yang
memiliki kecenderungan mistik, seperti India dan Persia. Bahkan, mereka para
sufi yang terbilang tokoh terkemuka dalam tasawuf falsafi adalah orang-orang
yang berasal dari kedua wilayah ini. Akibatnya, berkembang konsepsi-konsepsi
dalam tasawuf, seperti fana‟, al-ittihad, al-hulul, dan wahdah al-wujud yang
menurut sementara kalangan agak sulit menemukan dasar-dasarnya dalam ajaran
Islam.45
Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak lantas berarti
mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi, yang dimaksudkan
adalah meletakkan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak
dibesar-besarkan. Sebab, tasawuf pada dasarnya adalah “rasa” pengalaman, dan
jiwa yang bersifat universal. Oleh karena itu, bisa saja suatu pengalaman
ditemukan sama meski tidak ada kontak satu sama lain. Kenyataan dalam hal ini
membuktikan kesatuan pengalaman spiritual walaupun dengan penafsiran dan
ekspresi yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang bersangkutan, lalu perlu
diidentifikasi nilai dan kadar pengaruh tersebut dan memperlihatkan keterbukaan
Islam terhadap budaya lain.46
dengan begitu tasawuf mampu memasuki dimensi
yang memisahkan Islam dan kebudayaan di suatu Negara yang belum dimasuki
oleh Agama Islam.
45
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia,
h. 51-52. 46
Ibid., h.53.
44
Dari sinilah kemudian tasawuf menjelmakan dirinya dalam proses
perkembangan agama Islam yang ada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa terdapat kesepakatan di kalangan sejarawan, peneliti, orientalis dan
cendekiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya
Islam secara luas di asia tenggara.47
adapun perbedaan perihal tasawuf yang
diajarkan antara tasawuf sunni atau tasawuf falsafi, tidak menjadi hal yang
mendasar bagi perselisihan itu. Toh, pada dasarnya ajaran tasawuf lah yang mulai
dari awal menjadi bagian penetrasi dakwah bagi pertumbuhan dan perkembangan
Islam di Indonesia.
Proses Islamisasi itulah yang menjadi adigium besar bagi tumbuh dan
berkembangnya tasawuf di Indonesia, tidak terlalu berlebihan bila mengatakan
bahwa tersebarnya luasnya Islam di Indonesia, sebagian besar adalah karena jasa
para sufi.48
Dengan begitu Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur
tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini
pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian tak terpisahkan dari
pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.49
Para pelopor dakwah di Indonesia, pertama-tama memperkenalkan tauhid
kepada orang-orang kala itu yang masih menganut Hindu-Buddha. Setelah mereka
memeluk islam para da‟I menunjukkan cara terbaik mengaktualisasikan diri
dalam proses transformasi spiritualitas dan moralitas keagamaan. Melalui
47
Ibid., h.57. 48
A.H. John, Islam in South East Asia, London, 1965: 166., dalam A. Rivay Siregar,
Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 215. 49
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 1.
45
keteladanan yang baik, pendidikan dilancarkan agar terbentuknya sifat-sifat
terpuji dan kemampuan melepaskan diri dari sifat-sifat tercala. Meskipun para
da‟I tidak memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam melaksanakan dakwah
mereka namun sebenarnya mereka mempraktikan tradisi dalam tasawuf, sebab
tasawuf mengarahkan pada moralitas agama.50
hal demikian yang telah dilakukan
penyebar Islam awal di Indonesia yaitu wali songo dan Syekh Siti Jenar.51
Layak diketahui bahwa Wali songo tidak dikenal sebagai sufi karena
istilah itu belum popular di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-
tahun belakangan. Itu pun terbatas pada kalangan intelektual. Di kalangan
masyarakat umum istilah yang lebih dikenal adalah istilah wali yang dalam
pengertian orang Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab.
Ini membuktikan bawasannya mereka adalah sufi.52
Perkembangan Islam yang pada umumnya diketahui adalah digerakkan
oleh ulama yang telah disebutkan di atas, dikenal dengan sebutannya wali songo
atau wali Sembilan. Dari sebutan itu saj sudah cukup beralasan untuk
mengatakan, bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada
derajat wali “sufi”. Bukti ini diperkuat lagi oleh hikayat jawa (babad jawa) yang
mengisahkan drama pertentangan antara sunan giri dan sunan kalijaga di satu
pihak melawan Syekh Siti Jenar di pihak lain, adalah petunjuk yang kuat
bagaimana kehidupan tasawuf yang berkembang pada masa itu. Para wali itu
bukan saja berperan sebagai penyiar islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat
50
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia,
h. 59. 51
Sri Mulyati, h.7-11. 52
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia,
h. 59-60.
46
pada pusat kekuasaan kerajaan dan karena posisi itu mereka mendapat gelar
susuhanan yang bisa disebut Sunan. Dari peran itu mereka “meminjam”
menggunakan sedikit kekuasaan kerajaan dalam menyebarkan dan memantapkan
ajaran islam sesuai keyakinan sufisme yang dianut.53
Pada generasi Islamisasi. Mungkin, bisa dibilang banyak penyebar Islam
di Indonesia yang bernafaskan tasawuf tapi sedikit yang tercatat, di sumatera
melahirkan cukup banyak ulama tasawuf,54
diwakili oleh Hamzah Fansuri,
Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, „Abd Rauf Singkel, „Abd al-Shamad
al-Palembangi, Ismail al-Minangkabawi, dan „Abd al-Wahhab Rokan. Dari
Kalimantan diwakili oleh Muhammad Nafis al-Banjari, dan Ahmad Khatib
Sambas. Dari pulau jawa, yaitu oleh Syekh „Abdal-Karim dari Banten, KH. A.
Shohibulwafa Tajul „arifin dari Tasikmalaya, Syekh Muslih ibn „Abd al-Rahman
dari mrengen, Jawa tengah, KH. Romly Tamim dari Jombang, dari Indonesia
Timur diwakili oleh sekh Yusuf al-Makassari.
Orientasi tasawuf di Indonesia Nampak kental bila ditelisik dari sekian
banyak naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam
bahasa arab maupun bahasa melayu. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut
tasawuf menjadi unsure yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.
Kenyataan lain dapat pula ditunjuk dari bagaimana peran ulama dalam struktur
kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di
53
A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 218. 54
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, h.73-200.
47
Jawa. Kepemimpinan Raja atau sultan selalu didampingi dan didukung oleh
kharisma ulama tasawuf.55
Para pelaku tasawuf atau sufi dari awal hingga di Indonesia
memperkenalkan ajaran tasawufnya juga dengan beragam polemik yang terjadi
dan berkepanjangan, akan tetapi hal itu tidak menjadi pokok yang dipertentangkan
oleh masyarakat. Hanya saja menjadi tugas dan kewajiban dalam penyelesaiannya
pada tahap level intelektual sufi pada waktu itu.
Proses bergulirnya waktu yang menggiring semuanya sampai pada ruang
gerak selanjutnya, hal ini diteruskan oleh kalangan pesantren. Warna sufisme
jelmaan dari ajaran tasawuf pun kental terlihat dari nilai anutan mereka yang
didominasi ajaran tasawuf al-Ghazali yang bernafaskan aliran tasawuf
Sunni.56
tidak tertutup juga ditemukan literatur tasawuf-falsafi, seperti Insan Kamil
karya Abdul Karim al-Jili serta Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al_Hikam karya
Ibn `Arabi.57
Dari kalangan pesantren, kemudian tasawuf menjelma menjadi sebuah
bentuk kegiatan jamaah yang mempunyai sruktur serta hirarki sebagaimana
layaknya sebuah kumpulan masyarakat yang terorganisir, inilah saat yang disebut
muculnya tarikat di Indonesia. Tidak cukup sampai disini perkembangannya
diambil alih oleh jamaah juga yang dipelopori oleh para ulama yang lebih
memperluas gerak dakwah Islam dan terorganisir lebih structural berakar.
Gerakan dakwah ini bukan saja pada satu ajaran yang bersifat tasawuf akan tetapi
55
A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 215. 56
LP3ES, Profil Pesantren, 1974: 35, dalam A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, h. 218. 57
Ibid., h. 218-219
48
memiliki wadah yang didalamnya terdapat ajaran tasawufnya, masyarakat yang
ternaungi dalam ajaran ini dibebaskan dalam memilih ajaran tasawuf yang sudah
ada dan telah ditentukan oleh organisasinya, bila disebut secara simplisit dengan
sebutan organisasi keagamaan.
Dalam kaitan dengan di atas, hal ini disebutkan sebagai reformasi tasawuf
di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang mendukung
dan penghayat ajaran tasawuf. NU cukup berhati-hati dalam meletakkan ajaran
tasawufnya demi menghindari penyimpangan dari ajaran tasawuf sufi terdahulu,
maka NU meletakkan dasar-dasar tasawufnya sesuai dengan khittah aswaja
(Ahlussunnah wal Jama`ah) dalam hal ini Nu membina keselarasan antara tasawuf
al-Ghazali dengan tauhid Asy`ariyah dan maturidiyah serta hokum fiqh sesuai
dengan salah satu mazhab sunni yang empat. Sedangkan dalam aspek tarekat
sebagai aspek lembaga, NU juga memiliki lembaga yang diberi nama Jam`iyyah
Thariqoh Mu`tabaroh, yang bersumber dari tasawuf junaid al-Baghdadi.58
Dengan
demikian NU menganut tasawuf, bertasawuf dan pada fase perkembangannya
ingin membumikan tasawuf di Indonesia.59
Dengan demikian, Nampak jelas kaitan antara tasawuf dan Islam di
Indonesia, dalam prosesnya memiliki nuansa yang kental dan sangat kuat.
Meskipun terdapat sekelumit polemik perihal yang diajarkan, antara tasawuf sunni
dan tasawuf-falsafi. Dengan kehadiran dua aliran tasawuf yang berbeda haluan
ini, bahwa bernar telah terjadi tarik-menarik sehingga menjadi sebuah polemik,
58
A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 220-221. 59
KH. Abdurrahman Wahid, kata pengantar, dalam Syamsun Ni‟am, The Wisdom Of KH
Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. xv-xvi.
49
akan tetapi keduanya saling menguatkan argumen ajarannya masing-masing.60
sehingga hal itu tidak menjadi bagian yang merusak proses Islamisasi tapi lebih ke
proses menerima perbedaan sehingga menjadi warna yang unik dan fleksibel,
dimana Islam bisa diterima oleh masyarakat Islam, dari awal hingga sampai saat
ini.
Memang di Indonesia memiliki corak dalam tasawuf yang disebutkan di
atas, yakni antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Akan tetapi apabila
dibandingkan antara kedua konsep tasawuf tersebut, ada sejumlah kesamaan yang
prinsipil disamping perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran ini
sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah serta sama-
sama mengamalkan Islam secara konsekuaen. Benar adanya semua sufi dari aliran
manapun adalah orang-orang yang zahid dan`abid serta mementingkan kesucian
rohani dan moralitas. Sedangkan perbedaan yang jelas di antara kedua aliran ini,
nampaknya terletak pada tujuan yakni maqom tertinggi yang dapat dicapai
seorang sufi. Akan tetapi pada tujuan akhirnya , kedua aliran sama-sama ingin
memperoleh kebahagiaan yang haqiqi, kebahagiaan yang bersifat spiritual.
Dimaksudkan terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan Tuhan dalam
posisi seakan tiada jarak lagi antara keduanya.61
Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” ini terdapat
perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf sunni berpendapat, bahwa
antara makhluk dengan Khalik tetap ada jarak yang tak terjembatani sehingga
tidak mungkin jumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan
60
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS,
2008), h. 79. 61
A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, h. 55.
50
tasawuf falsafi dengan tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena
manusia berasala dan tercipta dari esensi-Nya. Oleh karena itu, keduanya dapat
berpadu apabila kondisi untuk itu telah tercipta.62
Dengan begitu, tasawuf tidak pernah terlepas dari pergerakan fase zaman
yang terus bergerak maju dan dinamis. Ia menjelmakan dirinya sebagai sesuatu
yang layak, diterima dan bisa dipelajari semua kalangan.
62
Ibid., h. 55-56.
51
BAB IV
AJARAN TASAWUF GUS DUR
A. TASAWUF DALAM BERAGAMA
Dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa tidak ada satu pun pemikiran
yang lahir begitu saja di luar konteks ruang dan waktu di mana pemikiran itu
tumbuh.1Setiap corak pemikiran akan mencerminkan produk zamannya yang
terikat oleh dimensi ruang dan waktu, serta hal-hal yang berpengaruh di
dalamnya, sehingga pemikiran itu menjadi sintesis antara kesinambungan dan
perubahan.2 Hal itu juga menjadikannya potensi, bagi sebuah proses pembaruan
yang orisinal dan sesuai dengan zamannya.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Gus Dur, proses pembentukan ajarannya
tidak asal jadi, melainkan melalui proses ruang dan waktu yang sangat panjang,
bahkan sejak masih di pesantren Gus Dur sudah dikenalkan dan bergesekan
dengan dunia Tasawuf.
Gus Dur paham betul terhadap problematika tasawuf dari segi ilmu
maupun praktiknya. Misalnya di Indonesia, ia dengan tegas menyatakan
perbedaannya dengan Alwi Shihab, sangat jelas sekali dalam mengkritik buku
yang telah ditulisnya, meskipun hal ini dilakukan Gus Dur dalam memberikan
kata pengantar buku yang ditulis Alwi Shihab. Berikut pernyataannya3:
1 KH. Muchit Muzadi, Wawancara, Jember: Ahad, 11 Maret 2001., Gus Nur Faqih,
wawancara, Jember: selasa, 5 juni 2001, dalam Syamsun Ni’am, The Wisdom Of KH Achmad
Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. 35. 2 Mujammil Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme
Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 40. dalam Syamsun Ni’am, The Wisdom Of KH Achmad
Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. 35. 3 Abdurrahman Wahid, ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat,
(Jakarta: Kompas, 2007), h. 103-104.
52
Dalam buku itu, Alwi Shihab memaparkan bahwa penyebaran Islam di negeri ini
dilakukan antara lain oleh kaum ulama pesantren. Mereka menggunakan tasawuf sunni
sebagai pegangan dalam penyebaran agama Islam, semenjak beberapa abad lalu. Dengan
tasawuf tersebut, mereka melawan pandangan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa
dikenal dengan nama kejawen. Sebagai bukti sejarah atas penentangan mereka itu,
disebutkan Syekh Siti Jenar (tanah merah atau lemah abang) sebagai orang yang
menyimpang dari tasawuf sunni di atas, dan karena itu dihukum mati oleh para wali
songo (wali sembilan). Mereka yang mengikuti pandangan itu, pada akhirnya
mengembangkan paham kebatinan/kejawen di negeri kita.
Penulis menolak anggapan ini, karena memang legenda hukuman mati atas
tokoh tersebut memang dapat ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis
mempunyai anggapan lain, yang tentu merupakan penafsirannya sendiri atas “kejadian”
tersebut. Dengan mengetahui perbedaan pandangan itu. Penulis yakin kekayaan kita akan
sejara pemikiran di negeri ini akan semakin berkembang.
Penulis melihat kejadian itu dari sudut pandang yang berbeda. Jika Alwi Shihab
menganggap para ulama di negeri kita itu menentang kebatinan/kejawen, berarti para
ulama itu menentang salah satu bentuk wihdatul wujud (pantheisme, manunggaling
kawula Gusti), maka penulis memiliki anggapan lain. Dalam pandangan penulis,
hukuman mati yang dijatuhkan wali songo atas Syekh Siti Jenar, bukanlah karena beliau
berpaham wihdatul wujud, seperti yang telah dijelaskan di atas. Melainkan karena sebab
lain, beliau mengajarkan paham itu kepada banyak orang, termasuk kaum awam. Menurut
penulis, “dosa” Syekh Siti Jenar bukan terletak pada penerimaan beliau pada wihdatul
wujud, melainkan dalam “sikap gegabah beliau dalam mengajarkan paham tersebut di
kalangan orang kebanyakan”. Karena itulah, kaum penganjur tarekat selalu menjalankan
syariat sebelum bertasawuf.
Gus Dur beranggapan ulama tradisionalis di Indonesia banyak mengambil
ajaran wihdatul wujud itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah
menguasai syariat, yang dalam hal ini berbentuk fikih. Dengan kata lain, mereka
menolak penyebaran pantheisme atau wihdatul wujud tersebut di kalangan orang
awam, tetapi bagi kepentingan mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham
tersebut secara tertutup. Ajaran wihdatul wujud yang digunakan itu terutama
adalah wihdatul syuhud (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam bahasa
Jawa di kenal dengan nama weruh sadurunge winarah). Hal demikian di perkuat
antara lain dalam sikap almarhum K.H. Hasyim Asy’ary, pendiri Nahdlatul Ulama
(NU). Beliau menolak dirayakannya ulang tahun kematian beliau (haul) di Tebu
Ireng, Jombang, tiap setahun sekali. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu
saat beliau akan disucikan. Kalau ini yang terjadi, tentu disebabkan oleh ketidak
53
mengertian orang awam terhadap “kesaktian” yang dimiliki. Tentunya hal
demikian sangatlah berbahaya, karena beliau lalu dianggap sebagai perwujudan
Tuhan dalam kehidupan, yang tak lain dan tak bukan adalah konsekwensi
mengajarkan paham pantheistik itu di kalangan orang banyak, yang memang
merupakan bahaya bagi ajaran Islam. Bagaimana pun saktinya seseorang itu,
tidaklah patut ia menjadi Tuhan, karena dia adalah seorang hamba belaka.4
Dengan menggunakan pandangan di atas, dapat dilihat bahwa kaum ulama
tradisionalis kita tidak menolak ajaran wihdatul wujud itu, melainkan dilarang
penyebarannya secara gegabah. Jadi dengan demikian, antara kaun syara’ dan
kaum kebatinan memang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Dengan kata lain
pula, bahwa tidak bertentangan. Dengan kata lain pula, bahwa tidak ada
pertentangan prinsipil antara kaum wihdatul wujud dan kaum syariat yang
menggunakan referensi fikih. Ini semua, tentu membawa konsekwensi-
konsekwensi bagi perkembangan tradisi demokratisasi di negeri kita.5
Dalam sebuah kata pengantar buku, Gus Dur menyatakan bahwa
seharusnya tasawuf harus menjadi milik semua kaum Muslimin, sebagaimana
mereka juga harus bertauhid dan berFikih. Maka tasawuf harus benar-benar
menjadi character building bagi rata-rata kaum Muslimin dalam menghadapi
dampak negatif dari arus modernisasi. Sekiranya pendekatan sufistik juga dapat
dijadikan alat dalam mengatasi problem besar bangsa ke depan.6
4 Abdurrahman Wahid, ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat,
h. 105. 5 Abdurrahman Wahid, ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan rakyat,
h. 105-106. 6 KH. Abdurrahman Wahid, kata pengantar, dalam Syamsun Ni’am, The Wisdom Of KH
Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf (Surabaya: Erlangga, 2006), h. xv-xvi.
54
Mengenai posisi wahidiyah sebagai gerakan tasawuf, dan bukan gerakan
tarekat juga dinyatakan oleh Gus Dur. Pada 1974 Gus Dur diminta oleh LIPI
untuk menyelidiki keadaan kehidupan orang-orang yang menjalani kehidupan
tasawuf di Indonesia. Dari hasil penelitiannya, Gus Dur berkesimpulan bahwa
orang yang menjalani kehidupan tasawuf di Indonesia dapat dibagi menjadi dua,
pertama, orang yang bertasawuf akhlaknya, seperti warga Muhammadiyah.
Mereka dapat saja bertasawuf meskipun tidak menjadi anggota gerakan tasawuf
mana pun. Kedua, orang yang menjadi anggota gerakan tasawuf. Kelompok kedua
ini dibagi menjadi dua golongan: a. anggota tarekat (ada 45 tarekat mu`tabarah)
dan b. anggota gerakan tasawuf tertentu, namun bukan tarekat. Di sini Wahidiyah
masuk dalam kategori yang kedua karena mengajak manusia kembali kepada
Allah dengan seruan Fafirru Ilallah.7
Gus Dur memang diakui banyak kalangan memiliki fenomena spiritual
yang langka dibanding kiai-kai lain di Jawa, karena harus muncul dalam gebrakan
sejarah yang penuh warna. Dari sosoknya sebagai budayawan, seniman, kiai,
politisi, pemikir, pembaharu, dan seorang yang mampu mengangkat khazanah
tradisional dalam dialog kosmopolitan yang aktual. Dan spirit yang membawa
sosoknya sedemikian kuat itu, dilandaskan pada spiritualitas yang sangat kaya
dengan kebebasan, kemerdekaan, penghargaan kemanusiaan, sekaligus askestisme
yang tersembunyi dalam jiwanya: Dunia Sufi. Sufisme Gus Dur yang selama ini
hanya difahami oleh masanya, melalui kebiasaan ziarah ke makam para wali,
ungkapan-ungkapan yang kontroversial, dan spontanitasnya yang inspiratif, serta
7 Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS,
2008), h. 78.
55
garis keturunan seorang Ulama dan wali yang terkenal, Hadhratusy Syeikh
Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun, laku Sufistik Gus Dur justru terletak pada
sikap dan konsistensinya terhadap nilai-nilai tasawuf yang sama sekali tidak
terpaku pada simbolisme tasawuf sebagaimana gerakan kaum Sufi modern saat
ini.8
Harmoni dan toleransi menjadi bagian penting dalam sikap dan tindakan
Gus Dur dalam Islam, sikap seperti inilah yang sering dilakukan kaum sufi.
Kepentingannya bukan untuk dirinya sendiri akan tetapi demi kemanusiaan
seutuhnya.9
Gus Dur menyatakan bahwa agama itu pandangan terhadap sesuatu yang
dasarnya itu moral, baik itu moral keTuhanan, Moral sosial, dan lain sebagainya.
Hal ini tentu saja tidak berbeda jauh dengan ajaran tasawuf, memberikan
pengertian terhadap agama.10
Bagi Gus Dur, sebagai manusia agar dapat menselaraskan kebenaran
Tuhan dan agama, ia mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan, perjuangan sosio-
kultural untuk membangun sistem yang mensejahterakan rakyat (hablum
minannas) secara keseluruhan merupakan jalan tertinggi dan lebih cepat sampai
kepada Tuhan daripada melalui jalan ritual-individualistik (hablum minallah)
semata. Oleh karena itu, sebagaimana kita tahu Gus Dur perlunya umat Islam
segera melengkapi sistem Rukun Iman dan Rukun Islam yang sudah sangat
mapan itu dengan merumuskan dan mengajarkan Rukun Sosial yang masih sangat
8 Muhammad Luqman Hakim, Di balik Sarung Presiden: Pledoi sufi dari matador
Hingga Kalijogo (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2001), h. 97-99. 9 M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur, h. 86.
10 Argawi kandito, Ngobrol Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur (Yogyakarta; Pustaka
Pesantren, 2010), h. 81-83.
56
rapuh di kalangan umat Islam. Dengan kata lain, baginya merekomendasikan
suatu rekontruksi sistem etika sosial dalam Islam dan memberikan status sejajar
atas Rukun Iman dan Rukun Islam, dapat menjadi Rahmat bagi manusia yang
beragama.11
Seperti dikatakan Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi dalam kitabnya
ar-Risalah al-Qusyairiyah, seorang sufi adalah mereka yang melihat alasan-alasan
untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Sufi adalah seperti bumi,
selalu bersikap baik terhadap keburukan yang dicampakkan kepadanya, namun
tidak menumbuhkan apapun selain kebaikan. Sufi juga seperti awan, memberikan
keteduhan kepada semua makhluk, dan seperti air hujan, mengiri segala sesuatu.
Dalam banyak kasus, Gus Dur seorang sufi. Ia seorang pemaaf, meski kepada
musuh yang sangat jahat sekalipun. Gus Dur sering dicaci, dituduh zionis, murtad
karena membela non-muslim, dan sebagainya. Meski demikian Gus Dur tidak
pernah kecil hati, juga tidak menaruh dendam. Meski sering dipuji pun tetapi tidak
pernah sombong. Itulah ajaran tasawuf dalam beragama, begitulah sifat seorang
sufi sejati.12
Hal yang amat tidak disukai oleh Gus Dur manakala menjadikan agama
sebagai industri ekonomi maupun politik. Agama yang sakral, memang harus
dijaga oleh politik, tetapi politisasi, apalagi menciptakan agama sebagai dagangan
bisnis adalah melukai agama itu sendiri. Agama menjadi murah, dan agama
menjadi duniawi, bahkan agama ditukar dengan kepentingan nafsu yang sangat
11
M Jadul Maula, Metode Gus Dur, “kata pengantar” dalam, Argawi kandito, Ngobrol
Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur (Yogyakarta; Pustaka Pesantren, 2010), h. xv-xvii. 12
M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur, h. 85-86.
57
memuakkan.13
Dengan tasawuf, nafsu harus ditundukkan bahkan ditekan agar
dapat mengalahkannya. Begitulah Gus Dur dengan ajarannya mampu menjadikan
agama sebagai sesuatu yang pantas untuk dijunjung tinggi, bahkan dengan agama
lain pun mampu menjaga koridor toleransi, itulah tasawuf bersama-sama menuju
Tuhan Yang Esa.
B. TASAWUF DALAM BERNEGARA
Gus Dur menggunakan berbagai macam metode untuk menjelaskan
pemikirannya dan nampak itu sangat sulit untuk diidentifikasi, ia tidak lagi
berkecimpung dalam diskursus yang bersifat intelektual, ketika hal itu sudah tidak
mampu lagi menjawab persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.
Kemudian, Gus Dur malah pergi ke kuburan, meskipun dianggap risih oleh
sebagian kalangan tasawuf sekalipun. Ia berziarah ke kuburan orang-orang yang
dianggap wali di zaman pra-Islam dan itu disuarakannya secara terang-terangan
ke hadapan publik. Boleh jadi, Gus Dur melakukan itu sebagai salah satu bentuk
pencarian kegelisahan batinnya dan untuk memperoleh inspirasi di sana. Hal ini
bisa saja di artikan macam-macam, baik oleh Gus Dur sendiri ataupun orang lain.
Memang tidak banyak orang yang mampu memahaminya. Yang mesti jadi
catatan, Gus Dur adalah tipe orang yang tidak dapat mendiamkan kegelisahan-
kegelisahan dan ia selalu ingin mencari jawabannya. Jawaban itu mungkin tidak ia
temukan di forum-forum diskusi, tapi justru di tempat-tempat seperti kuburan,
13
Ibid., h. 52.
58
kalau sudah menggunakan metode ini, sulit bagi kita untuk menerima maupun
menolaknya.14
Cara berfikir Gus Dur dalam ajaran tasawuf memang sangat
mengutamakan rasa dan penghayatan terhadap yang ghaib, sehingga tidak heran,
jika Gus Dur kerap mengaku dapat berkomunikasi dengan roh-roh yang ghaib.
Menurut Martin van Bruinessen dalam bukunya mengenai Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, orang dapat berhubungan secara barzakhi itu wajar.
Dalam buku al-Munqidz min al-Dlalal, al-Ghazali mengatakan, kalau orang sudah
mencapai fana’ dan kasyaf, maka ia dapat dan biasa bertemu dengan para malaikat
dan roh-roh para nabi.15
Kaitan dunia kesufian Gus Dur dengan Negara, ia mampu menjelaskan
dan memasukkan tasawuf yang selalu bergesekan dengan cara dalam bernegara,
seperti halnya antara kaitan demokratisasi dan Islam di satu sisi, dan antara
kebatinan dan demokratisasi di pihak lain. Kini, yang tampak hanyalah bisingnya
masalah-masalah yang ditimbulkan akibat pergesekan antara demokrasi dan
Islam, yang mungkin ditimbulkan karena kebisingan internal dalam pemikiran
Islam sendiri.16
Gerakan Islam itu pada mulanya tampak telah mencapai kebuntuan. Ini
terlihat antara lain, dalam kenyataan bahwa gerakan Islam telah mencapai kepada
keberhentian tuntutan negara Islam atau tuntutan pelaksanaan ajaran Islam secara
formal dalam ideologi negara. Perjuangan ini di negara Indonesia yang
14
Djohan Efendi, Sang Humanis, dalam. INCReS, Beyond The Symbols, h. 54-55. 15
Simuh, Jembatan Dunia Sufi dan Modern, h. 230-231. 16
Abdurrahman Wahid, ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan rakyat,
h. 107.
59
merupakan negara kita telah berakhir pada kebuntuan yang ditimbulkan oleh
berhentinya piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian,
seluruh gerakan Islam di Indonesia mengacu pada pancasila sebagai ideologi
negara. Namun, dalam kenyataannya, justru upaya menyelaraskan syariat Islam
pada pancasila memberikan nafas baru dalam dialog antara Islam dan ideology
tersebut. NU dengan salah satu hasil muktamarnya menyatakan bahwasannya
merumuskan Islam sebagai moralitas pendidikan dan ajaran. Dengan begitu, NU
tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam kiprahnya. Hal
ini, tentu saja tidak dapat diterima oleh gerakan-gerakan lain dalam Islam di
negeri ini. Mereka memiliki pengertian masing-masing mengenai hubungan
antara pancasila dan Islam. Di antara mereka bahkan ada pendapat, bahwa islam
haruslah terkait dengan politik atau ideologi. Kalau islam tidak menyangkut
ideology maka gerakan yang demikian itu bukanlah gerakan Islam. Ini berarti
formalisasi ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini, persoalan
utama bagi Gus Dur adalah bagaimana membuat Islam memperjuangkan
demokrasi dalam rangka pengembangan paham masyarakat untuk
mengembangkan demokrasi. Negara haruslah melayani semua pihak, karenanya
islam tidak perlu diformalkan dalam kehidupan bernegara. Cukup apabila warga
Negara memperjuangkan sumbangan dan peranan Islam secara informal dalam
pengebangan demokrasi. Hal inilah yang dilakukan Gus Dur selama dua periode
menjabat sebagai ketua umum PBNU. Dapat disangsikan bahwa nafas utamanya
adalah gerakan damai ala tasawuf, seperti halnya yang dilakukan oleh wali sanga
dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, tidak terlalu mengusik apapun yang
60
telah ada dengan cara lain dirubah gaya dan polanya sesuai ajaran Islam, dengan
tetap mempertahankan nilai-nilai formal dalam Islam.17
Keteguhan Gus Dur terhadap pancasila sebagai dasar Negara pun menjadi
bagian tak terpisahkan terhadap pemahamannya akan tasawuf, baginya pancasila
sebagai dasar Negara itu masih menjadi hal yang relevan, unggul mencakup
segala bidang aspek kehidupan dan dapat membangun kembali rasa nasionalisme,
patriotisme dan spiritualisme agama. Kata Bhineka Tunggal Ika secara hakikat
menunjukkan bahwa semua itu menjadi satu kesatuan. Dulu, cikal bakalnya itu
merupakan sebagai semboyak perjuangan untuk kemerdekaan, ia pun mengatakan
bahwa ada banyak arti bila diambilkan dari tasawuf.18
Pancasila pun memiliki
aspek spiritual bagi Gus Dur, kalau bukan karena pemahamannya yang sangat
mendalam terhadap tasawuf, tidak mungkin ia berkata seperti itu.
Kesufian Gus Dur tampak dalam sikap negarawan yang bermutu, ketika
semua orang mencaci maki Presiden Soeharto, orang-orang yang semua nempel
seperti perangko pun menjauhinya, mungkin agar selamat dari stigma buruk
soeharto atau kroni cendana. Akan tetapi betapa Gus Dur dengan enaknya
seringkali menemui Soeharto di cendana dan aneh bin ajaib tidak seorang pun
pengamat yang mengecam atau menyebut Gus Dur sebagai soehartois atau antek
cendana. Gus Dur pun ikhlas membiarkan orang-orang yang dibesarkannya dalam
Negara maupun perpolitikan melawan dirinya.19
Dilengserkan dari kursi Presiden
pun Gus Dur santai, lebih membiarkan rakyat yang memutuskan segalanya. Bagi
17
Abdurrahman Wahid, ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan rakyat,
h. 107-108. 18
Argawi kandito, Ngobrol Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur , h. 122-125. 19
M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur, h. 87.
61
Gus Dur usahanya maksimal sesuai dengan ilmu “ketajaman spiritual” atau orang
jawa menyebutnya weruh sadurunge winarah atau disebut ajaran tasawuf. Bagi
Gus Dur, sejarah nanti yang akan membuktikan semuanya.20
Perilaku politik Gus Dur dalam bernegara dirasakan cukup berjalan serasi
dan seimbang, dengan artian Gus Dur mengambil nilai-nilai tasawuf sebagai ruh
atau moral force dalam menjalankan praktik politiknya yang modern. Hal ini juga
dapat diartikan sebagai cara seorang sufi untuk taqiyyah, Gus Dur hanya
menggunakan tasawuf sebagai paham dan jiwa dalam praktik politiknya.21
Gus Dur mencontohkan, orang akan mengubah hukum Islam mengenai
kemurtadan, yang patut dihukum mati. Dalam pandangan pertama ini, anggapan
islam tentang berpindah agama, dari Islam ke agama lain adalah hal yang haru
dihormati, sesuai dengan deklarasi universal hak-hak asasi manusia. Dalam
pandangan kedua justru hukum Islam formal mengenai perpindahan agama ini
harus dipertahankan, kalau perlu dengan menolak sebagian dari deklarasi
universal tersebut. Disinilah nantinya terletak peranan tasawuf sebagai jembatan
yang menengahi kedua paham Islam dan nasionalisme itu. Ini dalam artian,
seseorang yang mengubah hukum Islam di atas tentang kemurtadan, tetapi tetap
menjadi muslim, melalui sikap bertasawuf, dan ini berarti pula, peluang berteori
tentang hubungan Islam dan nasionalisme dalam kaitan hidup bernegara, di
samping praktik kehidupan untuk tidak mempersoalkannya.22
Memang tasawuf
tidaklah ringan bila menghubungkan tasawuf dengan Negara. Akan tetapi
20
Handri Raharjo, Mengurai Dunia Spiritual Gus Dur (Jakarta: Citramedia, 2010), h. 76-
78. 21
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan rakyat, h. 234. 22
Abdurrahman Wahid, ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat,
h. 109-110..
62
memanglah ajaran tasawuf satu-satunya yang mampu menjadi jembatan
penghubung diantara keduanya, agama diwakili oleh tasawuf dan negara diwakili
oleh toleransi.
C. RELEVANSI AJARAN TASAWUF GUS DUR
Kharisma Gus Dur, setelah wafatnya, ternyata melebihi realitas
kehidupannya. Keharuman spiritual yang eksotis, begitu lekat dan fenomenal. Hal
ini tentu berhubungan dengan kondisi sosiologis masyarakat NU yang seringkali
membuat standar maqam spiritual seseorang diukur dengan kharisma dan
keanehan yang luar biasa (khariqul „adah) berupa karomah-karomah, walau pun
dalam perspektif Sufisme standar tersebut tidak baku.
Anggapan sebagian orang yang percaya bahwa Gus Dur wali. Boleh
dibilang sah-sah saja. Dalam sisi kehidupan kesufian pun wajar, karena ia dididik
di pondok pesantren Tebuireng Jombang dalam lingkungan tarekat dan tasawuf
yang sangat kental. Di samping itu, ia pernah studi ke luar negeri dan menjadi
cendekiawan, oleh karena itu, wajar bila pengaruh kepemimpinannya dalam
tasawuf merupakan hal yang tidak aneh, apalagi ia adalah seorang Nahdlatul
Ulama “organisasi keagamaan” yang masih mempertahankan tradisi tarekat dan
tasawuf. Sehingga, tindak tanduk dan kepribadiannya dipengaruhi pendidikan
asalnya, yaitu tasawuf.23
Salah satu ciri dalam masyarakat sufi atau tarekat adalah adanya kesetiaan
dan penghormatan terhadap guru. Apalagi Gus Dur adalah keturunan dari pendiri
23
Simuh, Jembatan Dunia Sufi dan Modern, h. 230.
63
NU, dengan sendirinya ia mempunyai wibawa yang sangat kuat di kalangan NU.
Soalnya, tradisi penghormatan guru dalam tasawuf sangat menonjol, apalagi ia
memang keturunan kiai. Wajar saja, bila kiai ceplas ceplos dengan muridnya itu
menjadi hal biasa.24
Kejiwaan Gus Dur lebih terpengaruh oleh ajaran sufi mistik yang sering
disebut ilham. Sekiranya ada dua faktor yang mempengaruhi kesufian Gus Dur,
yaitu budaya jawa dan budaya pesantren.25
Silang pendapat yang terjadi di kalangan para kiai terhadap pernyataan
atau pemikiran Gus Dur yang sering dinilai kontroversial disebabkan oleh cara
bertasawuf mereka yang berbeda. Tasawuf Gus Dur dipengaruhi oleh tradisi
modern, sementara para kiai tradisioanl belum. Sehingga, ketika Gus Dur
melontarkan assalamualaikum diganti dengan “selamat pagi”, mereka kaget dan
dirasa tabu, akan tetapi hal ini dikalangan modern tidak jadi soal. Pernyataan-
pernyataan Gus Dur semacam ini tidak terlepas dari kondisi zaman yang sudah
semakin berubah “modern” dan paham sufisme yang dianutnya. Dimana toleransi
menjadi cirri khas yang sangat menonjol.26
Komunikasi Ilahiyah yang selama ini terjalin adalah “hubungan rahasia”
yang sunyi di tengah-tengah hiruk pikuk dunia, dan melakukan gerakan terlibat
dengan kehidupan nyata, dengan keberanian mengambil resiko bahaya, demi
mempertahankan prinsip utamanya. Namun di sisi lain, ada konser kebahagiaan
yang berirama indah dalam musikal dzikrullah, saat Gus Dur sedang sendiri,
24
Ibid., 25
Ibid., h. 233. 26
Simuh, Jembatan Dunia Sufi dan Modern, dalam. INCReS, Beyond The Symbols, h.
236-237.
64
menyepi (khalwat) dalam jedah kesehariannya. Dua sisi hiburan spiritual yang
boleh disebut sangat langka: Ramai dalam sunyi, dan sunyi dalam ramai.
Pengaruh dari nuansa yang diyakini itu, Gus Dur justru mampu melakukan
terobosan yang luar biasa, begitu cepat. Dalam 20 tahun gerakan Gusdurian,
masyarakat NU yang jumlahnya begitu besar terbuka lebar dalam dialog
kemodernan, seperti sebuah gerakan konser musik yang dinamik. Maka liberalitas
tradisionalnya muncul dengan kuantum melebihi zamannya. NU menjadi
organisasi masyarakat muslim modern yang mengejutkan, yang disebut oleh
Nakamura sebagai organisasi Islam paling demokratis di dunia. Namun seluruh
dinamika gerakan Gus Dur tidak lepas dari nilai-nilai tradisional Sufistiknya yang
transformatif. Semisal Gus Dur yang begitu kental dengan hikmah-hikmah Ibnu
Athaillah as-Sakandary yang tertuang dalam kitab Sufi al-Hikam ”bahkan hafal di
luar kepala” dalam membangun masyarakat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan.
Kitab al-Hikam sangat dikenal oleh para Ulama Sufi sejak abad tujuh hijriyah,
menjadi manual bagi “Sufisme Pesantren” tingkat tinggi, sebagai kajian sufi paska
Ihya‟ Ulumaddin, al-Ghazali, ar-Risalatul Qusyairiyah karya Abul Qasim al-
Qusyairy, maupun al-Luma‟, karya Abu Nashr as-Sarraj. Kekentalan Gus Dur
dengan al-Hikam memberi warna kuat, terutama dua wacana disana yang
berbunyi: “Janganlah engkau bergabung atau berguru dengan orang yang kata-
kata dan perilaku ruhaninya tidak membangkitkan dirimu dan menunjukkan
padamu menuju Allah.” Konon, nama Nahdhatul Ulama mendapatkan inspirasi
dari hikmah tersebut, sekaligus menjadi standar apakah Ulama NU kelak
konsisten dengan kebangkitan menuju Allah atau menuju dunia. Kemudian,
65
hikmah lain yang begitu kental, adalah, “Pendamlah dirimu di tanah sunyi, karena
biji yang tak pernah terpendam tidak akan tumbuh dengan sempurna.” Sebuah
wacana yang sangat kuat tekanannya dalam menggugat kemunafikan beragama,
dan segala gerakan industri ekonomi dan politik atas nama agama, yang akhir-
akhir ini begitu menguat beriringan dengan gerakan formalisme keagamaan.
Menyembunyikan hubungan antara hamba dan Allah sebagai rahasia kehambaan
adalah mutiara Sufi yang agung. Sebaliknya pamer pengalaman beragama, bahkan
menjurus pada riya’ adalah bentuk syirik yang tersembunyi. Karena itu, dalam al-
Hikam juga disebutkan, “Nafsu dibalik maksiat itu nyata dan jelas, tetapi nafsu di
balik taat itu, sangat tersembunyi, dan terapi atas yang tersembunyi sangatlah
sulit.”27
Gus Dur mampu memberikan terapi bagi banyak kalangan tanpa harus
diketahui cara dan gaya apa yang dilakukan olehnya dalam bertasawuf.
Bagi khalayak manusia yang tahu Gus Dur memiliki ajaran dalam tasawuf,
tak heran ada yang melakukan suatu kontak pembicaraan setelah beliau wafat.
Ada saja hal sedemikian di zaman yang serba nyata ini melakukah hal seperti itu.
Hal ini dibuktikannya di khalayan ramai manusia di suatu acara memperingati
wafatnya. Akan tetapi pelajaran dari Gus Dur tetap saja digunakan, yakni untuk
tidak terlalu berpretensi terhadap kebenaran hal tersebut. Lebih-lebih keinginan
untuk melemahkan pemahaman yang berbeda, begitulah cara tasawuf
mengajarkan sesuatu untuk tetap menjunjung perbedaan pendapat, toleransi
memang sangat diperlukan untuk keseimbangan dalam berkehidupan, beragama
27
Muhammad Luqman Hakim, Di balik Sarung Presiden: Pledoi Sufi dari Matador
Hingga Kalijogo, h. 102-104.
66
dan berbangsa.28
Apa pun yang dilakukan mungkin kalau Gus Dur masih hidup
beliau pasti berkata. Gitu aja kok repot.
Gus Dur sendiri tidak pernah takut menghadapi hujatan atau apapun,
meski itu datang dari warga NU. Itulah sifat yang dalam sejarah Islam hanya
dimiliki oleh para penganut tasawuf.29
Gus Dur tidak pernah menuntut murid-muridnya atau orang-orang yang
telah dibesarkannya untuk membantu perjuangannya. Tidak ada pamrih, tidak ada
dendam. Semua disikapi sebagai proses dalam beragama dan bernegara yang
wajar dan biasa. Bagi Gus Dur, ketika menanam sesuatu seseorang tentunya
berupaya dan bertawakkal agar panennya bagus. Ada upaya sekaligus kepasrahan
yang bersifat total. Sikap demikian membuatnya tidak kecewa atau putus asa
ketika panen yang dihasilkan tidak sesuai keinginan, mungkin ada hama yang
menyerang, sehingga buah yang ada seharusnya matang justru menjadi busuk,
atau hasil panen dirampas orang. Tugas manusia adalah ikhtiar. Itulah barangkali
cermin sosok Gus Dur yang merupakan sifat dari seorang sufi yang sejati. Sifat
utama yang menggabungkan kerja keras dan sikap pasrah kepada Tuhan secara
total.30
Begitulah ajaran tasawuf mengajarkan dan itulah ajaran tasawuf Gus Dur,
yang seharusnya dicontoh oleh siapapun bahkan perlu dipraktikkan.
28
Argawi kandito, Ngobrol Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur (Yogyakarta; Pustaka
Pesantren, 2010), h. xix-xxiii. 29
M. Hanif Dhakiri, 41 warisan Kebesaran Gus Dur, h. 86. 30
Ibid., h. 88.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gus Dur menawarkan rekontruksi segar dalam bertasawuf, baginya tidak
harus meninggalkan apa yang telah Tuhan ciptakan di dunia ini, karena memang
benar menjadi lahan tunggal untuk kehidupan mendatang di akhirat, tempat yang
bagi siapapun belum ada yang mengetahuinya. Ia mampu mengkolaborasikan
tasawuf dengan berbagai ilmu pengetahuan, dalam bernegara, bersosial, apalagi
dalam beragama, tasawuf sangat perlu bahkan seharusnya untuk dapat menjadi
character building bagi setiap manusia.
Gus Dur dalam bertasawuf memiliki gaya dan caranya tersendiri, ia lebih
menekankan aspek nilai-nilai dalam tasawuf, sehingga tasawuf benar-benar dapat
menjadi dirinya sendiri sebagai jembatan penghubung agama dan ilmu-ilmu
lainnya, dan juga sebagai jalur sunyi seorang hamba mengarungi kehidupan dunia
ini tanpa harus melupakan bahkan mentiadakan Tuhan dalam aspek urusan dunia
nya.
Gus Dur sangat paham betul terhadap berbagai ajaran tasawuf, ia mengerti
harus kapan dan dimana harus meletakkan tasawuf dalam bingkai kehidupan
beragama, bernegara, dan sebagai pola contoh berkehidupan dalam bermasyarakat
yang luas dengan beragam tingkatan ilmu yang dimiliki setiap manusia.
Bagi Gus Dur tasawuf harus dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga dapat menjadi moralitas utama yang tidak perlu ditakuti maupun dijauhi.
69
Serta dapat menjadikan tasawuf sebagai bangunan dalam sebuah karakter manusia
terutama manusia-manusia yang ada di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Langkah-langkah Gus Dur dalam bertasawuf memanglah tidak mudah dan
ringan untuk dapat mengetahui secara langsung dan mungkin hanya orang-orang
tertentu yang dapat memahami dan mengerti pola tasawuf yang sedang dijalankan
oleh sosok Gus Dur. Akan tetapi ia mampu untuk menjadikan tasawuf sesunyi
mungkin, karena Gus Dur tahu, seberapa kuat manusia dalam beragama maupun
menjalankan tasawuf, manusia tetaplah menjadi manusia yang menjadi hamba
Tuhan. Oleh sebab itu Gus Dur tidak ingin dalam menjalankan ajaran tasawufnya
diketahui banyak orang apalagi kalangan awam, ia sangat mengkhawatirkan kalau
saja suatu sat ia akan disucikan seperti Tuhan. Maka gaya bertasawuf yang
dilakukan oleh Gus Dur tidak terlalu terlihat.
Meskipun Gus Dur mampu sesunyi mungkin menyembunyikan
hubungannya dengan Tuhannya, sebagai langkahnya dalam membuat perbaikan
perbaikan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, Gus Dur tetaplah
Gus Dur, ia sakti di mata pengikutnya apalagi yang sangat fanatik. Itulah hamba
Allah yang ditakdirkan menjadi manusia yang sangat spesial bagi manusia yang
lainnya, hamba yang terpilih. Buktinya, beliau meninggal pun, kuburannya sesak
ramai dikunjungi para peziarah sampai saat ini, hal ini membuktikan ajaran Gus
Dur benar-benar dijalankan oleh beberapa pengikutnya, tidak hanya dari kalangan
NU dari kalangan luas pun datang menjenguk dan mendoakannya di atas pusara
terakhirnya. Bahkan sebagian orang menganggap Gus Dur sebagai wali Allah.
Begitulah manusia, ia akan tampak seperti hidup bila ajarannya dan
70
perjuangannnya memang benar-benar tulus atas dirinya sebagai hamba Allah
tentunya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Bagi Gus Dur, ia
menjalankan segalanya sesuai tatanan yang berlaku, orang lain menganggap apa,
terserah orang itu, masih ada Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Adil.
Dengan begitu, memanglah Gus Dur bertasawuf dengan caranya dan ia
menguasai benar ilmu tasawuf, akan tetapi Gus Dur memanglah manusia, bisa
salah dan bisa disalahkan, hal ini terjadi ketika Gus Dur tidak menuliskan secara
langsung pengetahuannya tentang tasawuf dalam satu buku ilmiah, dan Gus Dur
tidak pernah mengajarkan secara langsung ilmu tasawufnya, serta Gus Dur tidak
memberi tahu orang dekatnya, murid maupun masyarakat bahwa ia bertasawuf.
B. Saran-Saran
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini, penulis menyadari terhadap
kekurangan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, untuk melakukan proses
penelitian lanjut, disarankan berusaha dalam menganalisis sendiri atas penjelasan-
penjelasan Gus Dur. Demi timbulnya dinamika yang berkelanjutan dan
berkesinambungan dalam ajaran tasawuf maupun ajaran tasawuf Gus Dur, penulis
dengan senang hati menerima segala saran beserta kritik dari para peminat
ataupun pembaca tasawuf, sampai kapanpun. Karena ilmu memiliki ruang dan
waktunya tersendiri yang harus di selaraskan dan diserasikan dengan zamannya.
Semoga bermanfaat.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M Zain. Dzikir dan Tasawuf. Solo: Qaula, 2007.
Agil Siroj, Said. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Al-Ghanimi, Abu al-Wafa’. Sufi dari Zaman ke Zaman, pen. Ahmad Rofi’
Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam: Menurut Fazlur Rahman.
Yogyakarta: UII Press, 2006.
Anwar, M. Syafi`i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.
`Athiyat, Ahmad. Jalan Baru Islam: Studi Tentang Transformasi Dan
Kebangkitan Umat. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Dharmawan, Bagus. ed. Gus Dur: Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta:
Kompas, 2007.
Hermawan, Erman., dkk. Politik Wali Songo dan Visi Kebangkitan Bangsa.
Jakarta: Klik.R, 2006.
Huda, Sokhi. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah. Yogyakarta:
LKiS, 2008.
Institute of Culture and Religion Studies (INCReS). Beyond The Symbols: Jejak
Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: INCReS,
2000.
Ismail, Mustafa, dkk. ed. Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom
Abdurrahman Wahid. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2000.
Kandito, Argawi. Ngobrol Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur. Yogyakarta;
Pustaka Pesantren, 2010.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
Luqman Hakim, Muhammad. Di balik Sarung Presiden: Pledoi Sufi dari Matador
Hingga Kalijogo. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2001.
72
Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Mulyati, Sri.. Mengenal dan Memahami Tarikat-tarikat Mu’tabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2005.
-------. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta:
Kencana, 2006.
Mun`im D.Z, Abdul. ed. Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas, 2000.
Musa, Ali Masykur. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga,
2010.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ni’am, Syamsun. The Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf.
Surabaya: Erlangga, 2006.
Partanto, A Pius, dkk. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Qomar, Mujammil. NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke
Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Raharjo, Handri. Mengurai Dunia Spiritual Gus Dur. Jakarta: Citramedia, 2010.
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia
Abad XX. Jakarta: Serambi, 2004.
Siregar, A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta:
RajaGrafindo, 2002.
Suaedy, Ahmad, dkk. ed. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Shihab, Alwi. Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia. Bandung: Mizan, 2001.
-------. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Iman, 2009.
Tahqiq, Nanang. “Perdebatan dan Argumentasi Semua Agama adalah Islam.”
Dalam Nanang Tahqiq dkk. Ed. Ilmu Ushuluddin: Jurnal Himpunan
Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS). Jakarta: Pengurus Pusat
Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin, 2011. Vol 1.
73
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: NIlai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institut, 2007.
-------. ed., Bagus Darmawan, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta:
Kompas, 2007.
-------. Membaca Sejarah Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Woodward, Mark R. ed. Jalan baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir
Islam Indonesia. Penerjemah Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan, 1998.
Zada, Khamani., ed. Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan. Jakarta:
LAKSPEDAM, 2002.