PERFORMA REPRODUKSI BERDASARKAN MOST … · IYEP KOMALA. Reproduction Performance Based on Most...
Transcript of PERFORMA REPRODUKSI BERDASARKAN MOST … · IYEP KOMALA. Reproduction Performance Based on Most...
PERFORMA REPRODUKSI BERDASARKAN
MOST PROBABLE PRODUCING ABILITY (MPPA)
DAN GEN FSH SUB UNIT BETA PADA SAPI FH
DI BBPTU BATURRADEN
IYEP KOMALA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Performa Reproduksi
Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit
Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Iyep Komala
NIM B352110021
RINGKASAN
IYEP KOMALA. Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing
Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden
Dibimbing oleh IIS ARIFIANTINI, CECE SUMANTRI dan LIGAYA ITA
TUMBELAKA.
Rendahnya produksi susu di Indonesia disebabkan sedikitnya populasi sapi
perah akibat buruknya performa reproduksi, penyebaran populasi yang tidak
merata, rendahnya produksi susu dan semakin menurunya minat generasi muda
untuk beternak sapi perah. Kondisi tersebut menyebabkan impor mencapai 80%.
Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menyeleksi, mempertahankan dan
mengembangbiakan betina-betina unggul. Tujuan penelitian ini yaitu
mengevaluasi kemampuan genetik sapi FH betina berdasarkan perhitungan Most
Probable Producing Ability (MPPA), mengidentifikasi keragaman gen FSH sub-
unit beta terhadap kinerja reproduksi dan potensi produksi susu sapi FH sebagai
penanda kualitas reproduksi dan produksi dan mengidentifikikasi hubungan
produksi susu berdasarkan grade MPPA dan gen FSH sub-unit beta dengan
performa reproduksi dan MPPA dengan Body Condition Score (BCS).
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu: tahap pertama berupa koleksi
data primer dan sekunder (1) data reproduksi yaitu masa kosong (days open) dan
Conception Rate (CR) serta data BCS dari 202 ekor sapi FH selama 5 laktasi, (2)
data produksi susu, yaitu data produksi susu harian dari 213 ekor FH selama 5
laktasi. Penelitian tahap dua yaitu analisis molekuler gen FSH sub-unit beta
dihubungkan dengan sifat fenotipik yang diukur yaitu reproduksi dan produksi
susu. Identifikasi keragaman gen FSH sub-unit beta dilakukan dengan metode
polymerase chain reaction (PCR) dan restriction fragment length polymorphism
(PCR-RFLP). Produksi susu dianalisis dengan menghuting formula repitabilitas
(r), heritabilitas (h) dan MPPA. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA
(GLM), korelasi dan regresi.
Hasil penelitian menunjukkan nilai ripitabilitas produksi susu tergolong
tinggi yaitu 0.84, sedangkan nilai heritabilitas tergolong sedang yaitu 0.4. Rataan
produksi susu berdasarkan MPPA didapatkan empat grade yaitu A, B, C dan D
yang memiliki produksi susu perlaktasi masing-masing 6 611.2 + 428.6 kg
(23.94%), 5 533.1 + 306.1 kg (43.19%), 4 650.4 + 251.5 kg (27.70%) dan 3 529.5
+ 291.3 kg (5.16%). Produktivitas sapi FH berdasarkan MPPA dapat digambarkan
dari total produksi susu rata-rata perlaktasi selama 5 laktasi yaitu berkisar antara
3151.2 kg (grade D) sampai dengan rata-rata sebesar 7701.3 kg (grade A), dengan
nilai rata-rata 5443.23 kg. Nilai rata-rata produksi susu tersebut masih pada
kisaran yang baik. Sapi dengan grade A merupakan sapi yang dapat dijadikan
indukan yang baik untuk dipertahankan, supaya bisa melahirkan keturunan yang
memiliki produksi susu dengan grade A juga.
Produk PCR gen FSH sub-unit beta yang telah dipotong menggunakan
enzim restriksi Pst1 menghasilkan 1 macam genotype, yaitu AB. Hasil RFLP
dengan pemotongan produk PCR dengan enzim Pst1 menunjukkan bahwa dari
100% tidak ada variasi atau monomorfik (genotipe AB). Hal tersebut
dimungkinkan karena sapi-sapi tersebut diimpor dari tempat yang sama dan sudah
terseleksi, oleh karena itu gen FSH sub-unit beta dalam populasi ini tidak bisa
dipakai sebagai marka gen untuk seleksi peningkatan produksi susu.
Performa reproduksi dapat di nilai dengan nilai masa kosong dan CR.
Grade produksi susu memiliki hubungan yang nyata dengan masa kosong dan CR
(P<0.05), yaitu dengan semakin baik grade produksi susu, masa kosong semakin
pendek dan nilai CR semakin tinggi. Sapi FH dengan grade A dan B masing-
masing memiliki masa kosong dalam kisaran normal yaitu selama 75.35+8.54 hari
dan 111.59+14.77 hari. Sedangkan sapi dengan grade C memiliki masa kosong
melebihi kisaran normal yaitu selama 143.14+9.02 hari. Sapi FH dengan grade A
dan B masing masing memiliki nilai CR yang baik yaitu sebesar 75.68% dan
60.87%. Sedangkan dengan sapi FH dengan grade C dinilai kurang baik karena
memiliki nilai CR sebesar 10.45%.
Hasil penelitian menunjukkan nilai BCS pada masing-masing grade A, B
dan C yaitu 3.1+0.22, 2.9+0.15 dan 2.7+0.22. Produksi susu memiliki hubungan
yang nyata (P<0.05) dan berkorelasi positif dengan nilai BCS. Semakin tinggi
produksi susu, maka semakin baik nilai BCS. Sapi grade A memiliki nilai BCS
yang ideal, sapi grade B memiliki nilai BCS minimal yang direkomendasikan,
sedangkan sapi grade C memiliki BCS di bawah rekomendasi. Sapi grade A
dengan BCS 3.1 dan B dengan BCS 2.9 memiliki masa kosong yang pendek dan
CR yang tinggi menunjukkan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan
kemampuannya mengkonsumi pakan. Berbeda dengan sapi grade C dengan BCS
2.7, karena mengalami keseimbangan energi negatif sehingga masa kosong
menjadi lebih panjang dan CR yang rendah.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara BCS dengan produksi susu yaitu dengan nilai r=0.68. Hubungan antara
BCS dengan produksi susu dinyatakan dalam persamaan regresi MPPA (Kg) = -
59 + 1991 BCS, artinya dengan kenaikan satu satuan BCS akan meningkatkan
produksi susu 1991 kg /laktasi. Dengan demikian BCS memiliki pengaruh yang
yang cukup besar terhadap produksi susu.
Kesimpulan penelitian ini yaitu performa reproduksi sangat dipengaruhi
oleh produksi susu berdasarkan grade MPPA dan BCS. Semakin tinggi produksi
susu semakin semakin pendek masa kosong, serta semakin tinggi CR dan BCS.
Gen FSH sub-unit beta belum dapat dijadikan sebagai marka genetik reproduksi.
Kata kunci: Gen FSH sub-unit beta, MPPA, masa kosong, conception rate, BCS
SUMMARY
IYEP KOMALA. Reproduction Performance Based on Most Probable
Producing Ability (MPPA) and FSH Sub-Unit Beta Gene of FH Dairy Cattle in
BBPTU Baturraden. Supervised by R IIS ARIFIANTINI, CECE SUMANTRI and
LIGAYA ITA TUMBELAKA.
The low of milk production in Indonesia was caused by the least
population of dairy cows due to poor reproductive performance, inequitable of
population distribution, low milk production and decline of interest in young
generation to raise dairy cows. This condition caused import reached the number
of 80%. Efforts to do that were by selecting, maintaining and breeding cows high
quality. The aim of this study was to evaluate the genetic potential based on Most
Probable Producing Ability (MPPA), to identify the FSH sub-unit beta gene
polymorphisms on the reproduction performance and the potential of milk
production as reproduction and production quality marker, to identify the potential
effect of milk production based on MPPA, FSH sub-unit beta gen with
reproduction performance and MPPA with Body Condition Score (BCS).
This study was divided into two stages: the first was the collection of
primary and secondary data (1) reproduction data was days open and Conception
Rate (CR) as well as data BCS of 202 cows FH for 5 lactation, (2) milk
production data, which was the daily milk production data of 213 FH tail for 5
lactation. The second was molecular analysis of FSH sub-unit beta gene related
with phenotypic that measured it was reproduction and milk production. The
identification of FSH sub-unit beta gene polymorphisms were conducted by
polymerase chain reaction (PCR) and restriction fragment length polymorphism
(PCR-RFLP) method. Milk production data were analyzed with repeatability
formulation (r), heritability (h) and MPPA. The data were also analyzed using
ANOVA (GLM), correlation and regretion
The result showed repeatability value of milk production was high about
0.84, while the heritability value was medium about 0.4. The average milk yield
based MPPA got four grades of A, B, C and D which had a milk production per
lactation each 6 611.2 + 428.6 kg (23.94%), 5 533.1 + 306.1 kg (43.19%), 4 650.4
+ 251.5 kg (27.70%) and 3 529.5 + 291.3 kg (5:16%). Productivity FH cows
based on MPPA can be drawn from the total milk production average every
lactation for 5 lactation with ranged between 3151.2 kg (grade D) until 7701.3 kg
(grade A), with the average 5443.23 kg. The average value of milk production
was still in a good range. Cows with grade A can be used as a good mother to be
maintained, in order to give birth an offspring that had grade A milk production as
well.
Polymerase chain reaction (PCR) product of FSH sub-unit beta gene that
had being cut by restriction enzymes Pst1 produced one kind of genotype that was
AB. Restriction fragment length polymorphism (RFLP) result showed that 100%
there was not variation or monomorphic (genotype AB). It was possible because
the cows were imported from the same place and had being selected, therefore the
FSH sub-unit beta gene in this population cannot be used as a marker gene to
select escalation of milk production.
Reproductive performance could be assessed by the value of the days open
and CR. Grade milk production had a significant relation with days open and CR
(P <0.05), with the higher milk production identicated shorter days open, higher
CR. FH cows with grade A and B had days open in the normal range each 75.35 +
8.54 and 111.59 + 14.77 days. While cow with grade C had days open that
exceeded the normal range as 143.14 + 9.02 days. FH cow with grade A and B
had a good CR value each 75.68% and 60.87%. While the FH cows with grade C
was rated poorly because it had a CR value of 10.45%.
The result showed the value of each BCS at grade A, B and C was 3.1 +
0.22, 2.9 + 0.15 and 2.7 + 0.22. Milk production had a significant relation
(P<0.05) and positively correlated with the value of BCS. The higher milk
production identicated value of BCS better. Cows with grade A had an ideal BCS
value, cows with grade B had minimize recommended BCS value and cows with
grade C had below recommendation BCS value. Cows with grade A had BCS 3.1
and cows with grade B had BCS 2.9 had short days open and a high CR, showed
good adaptation to the environment and its ability to consume feed. Unlike the
cows with grade C had BCS 2.7, due to a negative energy balance so that the days
open became longer and CR was lower.
Result of correlation analysis showed that there was a close relation
between BCS with milk production with value of r = 0.68. The relation between
BCS at milk production was expressed in the regression equation MPPA (Kg) = -
59 + 1991 BCS, meaning that with the rise of one unit BCS will be increased milk
production 1991 kg/lactation. Thus the BCS had a big influence on milk
production.
This research concluded that reproductive performance was strongly
influenced by the production of milk based on MPPA grade and BCS. The higher
milk production identicated shorter days open, higher CR and better BCS. Follicle
stimulating hormone (FSH) sub-unit beta gene could not be used as genetic
reproduction marker.
Key words: FSH sub-unit beta gene, MPPA, days open, conception rate, BCS
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERFORMA REPRODUKSI BERDASARKAN
MOST PROBABLE PRODUCING ABILITY (MPPA)
DAN GEN FSH SUB UNIT BETA PADA SAPI FH
DI BBPTU BATURRADEN
IYEP KOMALA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Bambang Purwantara MSc
Judul Tesis : Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability
(MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU
Baturraden
Nama : Iyep Komala
NIM : B352110021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Dra R Iis Arifiantini, MSi
Ketua
Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc
Anggota
Dr drh Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
( 8 Juli 2015)
Tanggal Lulus:
( )
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah.
Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan
Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Dra Iis Arifiantini, MSi, Prof
Dr Ir Cece Sumantri, MSc dan Dr drh Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc selaku
pembimbing yang telah membimbing dan memberikan saran. Ucapkan
terimakasih juga saya sampaikan kepada penguji luar Prof Dr drh Bambang
Purwantara, MSc yang telah memperkaya tulisan ini. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi dan Drh Ni Wayan
Kurniani Karja, MP, PhD selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Biologi
Reproduksi, serta kepada seluruh Staf Pengajar dan Staf Kependidikan
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh staf
BBPTU Baturraden dan Staf Laboratorium Genetika Molekuler Fakultas
Peternakan IPB, yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Reny
Astiyarini Umar yang selalu mendukung dalam keadaan apapun, juga untuk
almarhum ayah dan ibu tercinta serta keluarga yang telah mendukung baik moril
maupun materil H Ronny Umar, Dr Ir Amri Djahi, MSc, Dra Masniari
Poeloengan, MS. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada staf Divisi
Perah Departemen IPTP Dr Ir Bagus P Purwanto, MAgrSc, Dr Ir Ir Afton
Atabany, MSi, Ir Andi Murfi, MSi, Ir Lucia Cyrilla ENSD, MSi dan
Sukmawijawa, AMd, serta pada seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan
Departemen IPTP Fakultas Peternakan IPB atas segala dukungannya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Iyep Komala
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis 3
2 METODE 3
Tempat dan Waktu Penelitian 3
Metode Penelitian 3
Analisis Data 4
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Parameter Genetik Produksi Susu 6
Ripitabilias 6
Heritabilitas 6
Pendugaan Nilai MPPA 6
Pendugaan Nilai Probable Breeding Value (PBV) 7
Deteksi Keragaman Gen FSH Sub-Unit Beta 9
Kondisi Iklim Mikro Sapi FH di BBPTU Batrurraden 9
Hubungan Antara Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA
dengan Performa Reproduksi 12
Hubungan Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA dengan
Body condition score (BCS) 15
5 SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 17
RIWAYAT HIDUP 21
DAFTAR TABEL
1 Sekuens Primer yang digunakan untuk PCR - RFLP 4 2 Rataan MPPA Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade 7 3 Rataan PBV Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade 7
4 Hubungan Antara Grade MPPA dengan Performa Reproduksi pada
Sapi FH 12
5 Hubungan MPPA dengan BCS 15
DAFTAR GAMBAR
1 Rataan produksi susu laktasi 1-5 pada sapi perah di BBPTU Baturraden 8 2 Produksi susu sapi FH tertinggi pada setiap laktasi 8 3 Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta produk PCR
yang dipotong oleh enzim Pst1 9 4 Temperature Humidity Index (THI) pada sapi perah 11
5 Pengaruh stres panas pada reproduksi sapi perah 14
PENDAHULUAN
Latar Bekalang
Populasi sapi perah pada tahun 2015 di Indonesia menurut Kementrian Pertanian
(2015) tercatat sebanyak 525.171 ekor dengan produksi susu 805.363 ton dan laju
pertumbuhan populasi mencapai 4.51% per tahun. Menurut Kementrian Pertanian
(2014) ketergantungan Indonesia akan susu impor sangat tinggi. Konsumsi susu
Indonesia saat ini mencapai 3 juta ton per tahun, sebanyak 20% kebutuhan susu nasional
dipenuhi oleh peternak Indonesia dan sebanyak 80% diperoleh dari impor. Secara geografis penyebaran sapi perah tidak merata di Indonesia, sekitar 98.9%
dari populasi terkonsentrasi di Pulau Jawa (Kementrian Pertanian 2015), apabila
diasumsikan sapi perah yang laktasi sebanyak 50% dari populasi, maka rataan produksi
susu masih tergolong rendah yaitu sebesar 10.05 kg/ekor/hari. Populasi dan
produktivitas sapi perah tersebut tidak sebanding dengan tingkat konsumsi susu
penduduk Indonesia yang berjumlah 253 juta jiwa. Kebutuhan akan susu dalam negeri
diproyeksikan akan meningkat selaras dengan pertambahan penduduk dan tingkat
kesadaran gizi masyarakat. Apabila keadaan produksi susu nasional dibiarkan terus
tanpa ada upaya untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi perah tersebut,
maka ketersediaan susu untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia semakin
kurang, sehingga ketergantungan susu impor semakin besar.
Upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan
meningkatkan produktivitas dan kapasitas reproduksi sapi perah betina yang ada di
Indonesia, antara lain melalui perbaikan mutu genetik, seleksi terhadap sifat produksi
dan reproduksi. Reproduksi dan produksi susu sapi perah merupakan sifat yang
dikendalikan oleh banyak gen (kuantitatif), sehingga ekspresi tersebut merupakan
akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dan interaksi kedua faktor tersebut. Faktor
genetik merupakan hal yang lebih penting dan memperoleh perhatian pada program
pemuliaan ternak karena unsur ini akan diwariskan tetua kepada keturunannya (Falconer
dan Mackay 1996).
Performa reproduksi betina menurut Hidayat et al. (2002) dapat dievaluasi
berdasarkan beberapa indikator reproduksi seperti: (1) umur sapi dara saat berahi, kawin,
bunting dan beranak pertama, (2) kawin pertama setelah beranak, (3) masa kosong (days
open), (4) angka konsepsi / conception rate (CR), (5) jumlah kawin untuk mencapai
satu kebuntingan / service per conception (S/C), (6) jarak antara kelahiran (calving
interval) dan (7) angka abortus, angka infertilitas dan angka gangguan reproduksi.
Indikator reproduksi yang berhubungan langsung dengan produksi susu adalah jarak
antara kelahiran dan jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan.
Produktivitas sapi perah betina dapat dievaluasi dengan mengkaji parameter-
parameter genetik yang digunakan sebagai indikator produktivitas ternak tersebut. Salah
satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kemampuan produksi susu adalah
Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Body Condition Score (BCS). Indonesia
memiliki beberapa Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU), di antaranya adalah Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) sapi perah Baturraden yang menjadi acuan
peternak di Indonesia untuk mendapatkan ternak perah unggul. Seleksi yang sudah
dilakukan terhadap sapi perah adalah uji zuriat (progeny testing) dan uji performa. Uji
zuriat ini memerlukan waktu yang lama dan biaya tinggi, sedangkan uji performa
tingkat akurasi masih rendah, karena penampilan sapi unggul secara fenotip tidak
2
menjamin bahwa sapi tersebut unggul dalam hal reproduksi. Pemanfaatan teknologi
biologi molekuler sebagai penanda seleksi akan sangat membantu dalam proses seleksi,
karena prosesnya cepat, biaya yang lebih murah dengan tingkat keakuratan tinggi.
Penelitian tentang biologi molekuler untuk seleksi pada ternak betina telah
banyak dilakukan. Penelitian menggunakan biologi molekuler tersebut sudah dilakukan
oleh Mannaertz et al. (1994) dengan menggunakan FSH sub-unit beta sebagai kandidat
gen reproduksi, karena berfungsi dalam pematangan folikel dari folikel kecil dan sedang
menjadi folikel yang besar sampai terjadinya ovulasi. Xiaopeng et al. (2010)
melaporkan bahwa keragaman gen FSH sub-unit beta berpengaruh terhadap litter size
atau jumlah anak sekelahiran pada domba.
Gen FSH sub-unit beta telah dieksplorasi selama 30 tahun terakhir dan diketahui
bahwa FSH terletak di kromosom 15 mempunyai 2 heterodimer yaitu alfa (FSH-α) dan
beta (FSH-β) disebut juga FSHB. Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon
glikoprotein yang disekresi di kelenjar dan berfungsi mengontrol aktivitas reproduksi
pada mamalia (Grigorova et al. 2007) terutama proses spermatogenesis pada jantan (Dai
et al. 2009) dan laju ovulasi (ovulation rate) pada betina (Lenville et al. 2001).
Perkembangan awal folikel dan pembentukan folikel antrum dibutuhkan kinerja FSH.
Hormon FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen dan
menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan yang
cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan pelepasan LH menyebabkan terjadinya
ovulasi dengan cara menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum.
Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka
PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum, tetapi jika terjadi kebuntingan maka
korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi
untuk menjaga kebuntingan.
Di Indonesia penelitian mengenai seleksi pada ternak jantan telah dilakukan oleh
Ishak et al. (2012) menggunakan gen FSH sub-unit beta terhadap kualitas sperma, dan
diketahui terdapat keragaman atau polimorfik gen FSH sub-unit beta pada sperma sapi
Frisian Holstein (FH), Brahman, Simmental dan Limousin. Genotipe AB mempunyai
persentase abnormalitas sperma lebih kecil dibandingkan dengan genotipe BB dan AA.
Hasil genotipe pada sapi Bali (Bos javanicus) menunjukkan tidak ada varian
(monomorfik), sehingga menjadi salah satu bukti bahwa sapi-sapi lokal telah
beradaptasi dengan lingkungan, sehingga setting gen terutama yang berhubungan
dengan produksi dan reproduksi sangat stabil. Grigorova et al. (2007) menyatakan
bahwa gen FSH sub-unit beta pada mamalia mempunyai struktur dan fungsi untuk
menyeimbangkan seleksi demikian pula pada sapi, sehingga stabilitas runutan
nukleotida pada kondisi sudah beradaptasi sangat kuat dan jarang mengalami mutasi.
Peningkatan produksi susu tinggi yang sangat intensif pada seleksi sapi FH akan
berdampak pada penurunan tingkat fertilitas, seperti tidak teraturnya siklus estrus,
peningkatan kematian embrio dan infeksi uterus (Dobson et al. 2007). Mengingat
eratnya hubungan antara produksi dan reproduksi, maka penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari sejauh mana pengaruh seleksi peningkatan produksi susu melalui MPPA
dan aplikasi gen FSH terhadap performa reproduksi sapi FH untuk kondisi Indonesia.
.
3
Kerangka Pemikiran
Rendahnya produksi susu di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya populasi sapi
perah akibat buruknya performa reproduksi, penyebaran populasi yang tidak merata,
rendahnya produksi susu dan semakin menurunya minat generasi muda untuk beternak
sapi perah. Kondisi tersebut menyebabkan impor mencapai 80%. Peningkatan produksi
susu dapat dilakukan dengan memperbaiki performa reproduksi dan meningkatkan
populasi sapi perah. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menyeleksi dan
mempertahankan betina-betina unggul. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk
menyeleksi sapi perah laktasi yang memiliki performa reproduksi yang baik dengan
produksi susu yang optimal. Seleksi yang dilakukan yaitu dengan mengevaluasi
kemampuan genetik dengan MPPA, mengidentifikasi secara molekuler menggunakan
gen FSH sub-unit beta, sehingga diharapkan didapatkan betina unggul secara reproduksi
dan produksi susu.
Tujuan Penelitian
1. Mengevaluasi kemampuan genetik sapi FH betina berdasarkan perhitungan MPPA.
2. Mengidentifikasi keragaman gen FSH sub-unit beta terhadap kinerja reproduksi dan
potensi produksi susu sapi FH sebagai penanda kualitas reproduksi dan produksi.
3. Mengidentifikikasi hubungan produksi susu berdasarkan grade MPPA dan gen FSH
sub-unit beta dengan performa reproduksi dan MPPA dengan BCS.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar untuk membantu
menentukan seleksi sapi FH betina yang akan digunakan di Balai Pembibitan atau di
masyarakat dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi dan produksi susu.
Hipotesis
Terdapat hubungan antara produksi susu berdasarkan grade MPPA dengan
performa reproduksi sapi FH.
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai dengan Juli 2013 di
BBPTU Baturraden Jawa Tengah dan Laboratorium Genetika Molekuler Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu: tahap pertama berupa koleksi data
primer dan sekunder (1) data reproduksi yaitu masa kosong (days open) dan Conception
Rate (CR) serta data BCS dari 202 ekor sapi FH selama 5 laktasi, (2) data produksi susu,
yaitu data produksi susu harian dari 213 ekor FH selama 5 laktasi. Penelitian tahap dua
4
yaitu analisis molekuler gen FSH sub-unit beta dihubungkan dengan sifat fenotipik yang
diukur yaitu reproduksi dan produksi susu.
Koleksi Sampel Darah
Sampel darah sebanyak 5 ml diambil dari 187 ekor sapi FH betina laktasi
melalui vena jungularis dengan venojet tanpa heparin. Sampel ditambah etanol absolut
1 : 1, dan disimpan pada suhu ruang, kemudian dilanjutkan ekstraksi DNA.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dari sampel darah menggunakan metode phenol-chloroform
(Sambrook et al. 1989) yang dimodifikasi oleh Andreas et al. (2010).
Amplifikasi Ruas Gen FSH Sub-Unit Beta
Amplifikasi kedua gen dilakukan menggunakan metode polymerase chain
reaction (PCR). Pereaksi yang digunakan untuk kedua gen target adalah 2 μl sampel
DNA, 0.1 µl primer (10 pmol), 0.1 µl dNTPs (200 μM), 0.25 MgCl2 (1mM), dan 0.1
unit dreamTaqTM
DNA polymerase (Fermentas®
). Amplifikasi in vitro dengan mesin
thermal cycler dilakukan pada suhu denaturasi awal 95oC selama 5 menit, 35 siklus
yang terdiri dari denaturasi 95oC selama 45 detik, annealing 63
oC (FSH sub-unit beta)
selama 45 detik, ekstensi 72oC selama 1 menit dan ekstensi akhir 72
oC selama 5 menit.
Penentuan Genotipe dengan Pendekatan PCR-RFLP
Genotipe dilakukan dengan pendekatan Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP) yang divisualisasikan pada gel agarose 2% dengan buffer 0.5
TBE (tris borat EDTA) ditambah ethidium bromida (EtBr), diaplikasikan pada tegangan
100 Volt selama 40 menit. Hasil visualisasi menggunakan UV transluminator dan difoto
menggunakan gel documentation system (Alpha imager®). Enzim restriksi yang
digunakan pada gen FSH sub-unit beta adalah Pst1.
Tabel 1 Sekuens primer yang digunakan untuk PCR-RFLP
Primer Sequence Suhu Annealing
FSH sub-unit beta F : 5`CTTCCAGACTACTGTAACTCATC‘3 63oC
R : 5`GTAGGCAGTCAAAGCATCCG‘3 An = suhu annealing (Dai et al. 2009)
Analisis Data
1. Analisis Data Reproduksi
Data reproduksi (masa kosong dan conception rate) dianalisis menggunakan
analisis deskriptif yaitu dengan menghitung rataan dan simpangan baku populasi (Steel
dan Torrie 1997).
Rataan populasi dihitung menggunakan rumus:
= ∑
Keterangan
: rata-rata populasi
Xi : data ke-i
N : ukuran Populasi
5
Simpangan baku populasi dihitung menggunakan rumus:
= √∑
Keterangan:
: simpangan baku populasi
: rata-rata populasi
Xi : data ke-i
N : ukuran Populasi
2. Analisis Data Produksi Susu
Produksi susu perlaktasi dari masing-masing individu kemudian distandardisasi
menggunakan faktor koreksi lama laktasi 305 hari dan umur dewasa induk berdasarkan
Dairy Herd Improvement Association-United States Department of Agriculture (DHIA-
USDA). Setelah data produksi susu terstandardisasi, nilai ripitabilitas dan MPPA
dihitung. Nilai pendugaan MPPA sapi betina yang telah didapat kemudian diurutkan
berdasarkan peringkat nilai MPPA tersebut.
A. Ripitabilitas (r) Perhitungan ripitabilitas produksi susu menggunakan metode sidik ragam satu
arah dengan jumlah pengukuran per individu yang tidak sama (Becker 1975) dengan
model statistik sebagai berikut:
Ykm = µ + αk + εkm
Keterangan:
Ykm : nilai produksi susu individu ke-k dari catatan pengukuran ke-m
µ : rataan produksi susu populasi
αk : pengaruh individu ke-i
εkm : deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu
ke-i dari catatan pengukuran ke-k
B. Heritabilitas (h2)
Pendugaan nilai heritabilitas dihitung berdasarkan metode korelasi saudara tiri
(paternal halfsib correlation) dengan jumlah anak per betina yang tidak sama
(unbalance design) menurut Becker (1975). Model statisti sebagai berikut:
Yik = µ + αi + εik
Keterangan:
Yik : nilai produksi susu individu (anak) ke-k dari betina ke-i
: rataan produksi susu populasi
αi : pengaruh betina ke-i
εik : deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu
(anak) ke-i dari betina ke-k
6
C. Pendugaan Nilai Most Probable Producing Ability (MPPA)
Perhitungan MPPA dapat dilakukan berdasarkan pendekatan Warwick (1983)
dengan rumus:
Keterangan:
P0 : rataan produksi susu populasi
Px : rataan produksi susu individu
n : jumlah catatan produksi
r : ripitabilitas
3. Analisis Data Hubungan MPPA dengan Performa Reproduksi
Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (General Linier Model), regresi
dan korelasi, kemudian data yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Tukey (Steel
dan Torrie 1997). Analisis data menggunakan Minitab 14.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Genetik Produksi Susu
Parameter genetik yang diamati adalah heritabilitas (h2) dan ripitabilitas (r).
Heritabilitas didasarkan pada metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib
correlation), sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam
klasifikasi satu arah. Kedua parameter genetik ini selanjutnya digunakan untuk
menentukan nilai MPPA dan Probable Breeding Value (PBV) dari masing-masing
ternak. Nilai heritabilitas yang didapat yaitu 0.4 dan dan ripitabilitasnya 0.84.
Ripitabilitas
Nilai ripitabilitas produksi susu di BBPTU Baturraden tergolong tinggi yaitu
0.84. Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Pallawaruka (1999) yaitu ripitabilitas
tergolong ke dalam kategori tinggi jika nilainya lebih besar dari 0.4. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa adanya hubungan genetik yang tinggi antara produksi susu
pertama dengan produksi susu berikutnya, pada setiap individu.
Heritabilitas Nilai heritabilitas dari penelitian ini adalah 0.4. Menurut Noor (2010) nilai
heritabilitas kisaran 0.2-0.4 tergolong sedang. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
pewarisan sifat produksi susu pada keturunannya tergolong sedang.
Pendugaan Nilai MPPA
Most Probable Producing Ability (MPPA) merupakan suatu taksiran yang
mendekati kemampuan produksi secara riil dari seekor ternak betina yang dinyatakan
sebagai simpangan terhadap rata-rata kelompok. Daya produksi susu yang diketahui dari
perhitungan MPPA merupakan pendugaan produksi susu pada laktasi berikutnya.
MPPA = P0 + nr ( Px-P0)
1 + (n-1)r
7
Ternak yang memiliki daya produksi yang tinggi akan mempunyai peringkat MPPA
yang tinggi dibandingkan dengan rataan populasi.
Besarnya nilai MPPA produksi susu diduga karena tingginya rata-rata produksi
susu populasi dan nilai ripitabilitas. Semakin tinggi produksi susu individu dan populasi
serta nilai ripitabilitas maka semakin tinggi nilai MPPA yang diperoleh. Individu
dengan nilai MPPA produksi susu yang tinggi diprediksi akan menghasilkan keturunan
dengan produksi susu yang tinggi pula (Warwick et al. 1990). Hasil penghitungan
MPPA dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan MPPA Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade
No Grade MPPa Rataan MPPA (kg)
b Jumlah Sapi(ekor) Persentase (%)
1
2
3
4
A
B
C
D
6 611.2+428.6a
5 533.1+306.1b
4 650.4+251.5c
3 529.5+291.3d
51
92
59
11
23.94
43.19
27.70
5.16 aA: > 6000 kg/laktasi; B: 5000-6000 kg/laktasi; C: 4000 – 5000 kg/laktasi dan D : < 4000 kg/laktasi,
MPPA: Most Probable Producing Ability. bAngka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada
kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0.05).
Pada Tabel 2, sapi dengan grade A, B, C dan D memiliki produksi susu
perlaktasi masing-masing 6 611.2 + 428.6 kg (23.94%), 5 533.1 + 306.1 kg (43.19%),
4 650.4 + 251.5 kg (27.70%) dan 3 529.5 + 291.3 kg (5.16%). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada sekitar 32.86% sapi memiliki produksi susu di bawah standar.
Pada tabel 2 juga menunjukkan antar grade memiliki perbedaan yang nyata (P<0.05).
Sapi dengan grade A merupakan sapi yang dapat dijadikan indukan yang baik untuk
dipertahankan, supaya bisa melahirkan keturunan yang memiliki produksi susu dengan
grade A juga.
Pendugaan Nilai Probable Breeding Value (PBV)
Dugaan nilai pemuliaan atau Probable Breeding Value (PBV) merupakan salah
satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak dalam
menghasilkan susu. Nilai PBV dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan PBV Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade
No Grade
MPPAa
Rataan PBV
(kg)b
Persentase
(%)
PBV di atas
rata-rata
PBV di bawah
rata-rata
1
2
3
4
A
B
C
D
6 016.3+203.3a
5 504.9+145.2b
5 086.2+119.3c
4 554.5+138.2d
23.94
43.19
27.70
5.16
Grade A dan
B
(48%)
Grade C dan D
(52%)
aA: 6611.2kg/laktasi, B: 5533.1 kg/laktasi, C: 4650.4 kg/laktasi dan D: 3529.5 kg/laktasi, MPPA: Most
Probable Producing Ability. bAngka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menyatakan berbeda nyata (P<0.05), PBV: Probable Breeding Value.
Sapi FH dengan nilai pemuliaan grade A diharapkan dapat mewariskan gen
kepada keturunannya, sehingga keturunannya memiliki kemampuan produksi yang baik
pula. Nilai pendugaan PBV dapat digunakan untuk melakukan seleksi terhadap induk
yang akan menghasilkan bibit untuk replacement stock. Umumnya ternak yang
digunakan sebagai bibit adalah 10% terbaik dari seluruh betina yang diseleksi.
8
27.8 32
37.5 36.6 34.6
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5
15.43
19.31 20.16 22.65
19.45
0
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi susu pada sapi perah di BPTU
Baturraden mengalami kenaikan dari laktasi 1 sampai laktasi ke-4, kemudian menurun
pada laktasi ke -5, dengan masing-masing rataan produksi susu dari laktasi 1 sampai 5
berturut-turut yaitu 15.43 kg, 19.31 kg, 20.16 kg, 22.65 kg dan 19.45 kg (Gambar 1).
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tyler dan Ensminger (2006), bahwa sapi
perah betina umumnya mencapai puncak produksi pada umur 6-7 tahun atau dapat
dikatakan pada periode laktasi ketiga dan keempat, setelah itu terjadi penurunan
produksi susu sekitar 6% setiap bulannya sampai masa afkir sapi tersebut.
Laktasi Ke –
Gambar 1 Rataan produksi susu laktasi 1-5 pada sapi perah di BBPTU Baturraden
Seekor ternak selalu mendapat peringkat yang sama berdasarkan nilai MPPA
dan PBV. Hal ini menunjukkan bahwa ternak yang mempunyai kemampuan produksi
susu yang tinggi juga akan memiliki kemampuan pewarisan sifat yang tinggi. Penelitian
mengenai kemampuan produksi tertaksir dan nilai pemuliaan juga dilakukan oleh
Nugroho (2004) yang menyatakan bahwa ternak yang memperoleh peringkat tinggi
pada perhitungan nilai pemuliaan juga akan memiliki peringkat yang tinggi pada
perhitungan kemampuan produksi tertaksir.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa produksi susu tertinggi yang pernah
dicapai pada laktasi 1 sampai dengan 5, berturut-turut yaitu 27.8 kg, 32 kg, 37.5 kg,
36.6 kg dan 34.6 kg. Dengan produksi susu tertinggi yang pernah dicapai yaitu pada
laktasi ke-3 yaitu 37.5 kg (Gambar 2).
Laktasi Ke-
Gambar 2 Produksi susu sapi FH tertinggi pada setiap laktasi
Produksi susu
(kg)
Produksi susu
(kg)
9
Produktivitas susu sapi FH di BBPTU Baturraden berdasarkan MPPA dapat
digambarkan dari total produksi susu rata-rata perlaktasi selama 5 laktasi yaitu berkisar
antara 3151.2 kg (grade D) sampai dengan rata-rata sebesar 7701.3 kg (grade A),
dengan nilai rata-rata 5443.23 kg. Nilai rata-rata produksi susu tersebut masih pada
kisaran yang baik sesuai dengan pendapat Soetarno (2003) yaitu bahwa rata-rata
produksi susu dasar mature equivalent (ME) berkisar antara 4602.94 kg hingga 5888.99
kg.
Menurut Sudrajad dan Adiarto (2011) apabila produksi susu sapi FH yang
dipelihara di BBPTU Baturraden lebih dicermati, maka akan terlihat bahwa capaian
total produksi susu lebih rendah dari produksi susu induknya. Capaian total produksi
induk tersebut berlaku sebagai gambaran mengenai potensi total produksi susu yang
bisa dicapai oleh keturunannya.
Deteksi Keragaman Gen FSH Sub-Unit Beta
Produk PCR gen FSH sub-unit beta yang telah dipotong menggunakan enzim
restriksi Pst1 menghasilkan 1 macam genotype, yaitu AB. Panjang produk amplifikasi
ruas gen FSH sub-unit beta sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 adalah 313 bp
disajikan pada Gambar 3. Hasil RFLP dengan pemotongan produk PCR dengan enzim
Pst1 menunjukkan bahwa dari 100% tidak ada variasi atau monomorfik (genotipe AB).
Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Andreas et al (2014) yang menunjukkan
adanya keragaman pada titik mutasi yang sama. Hal tersebut dimungkinkan karena sapi-
sapi tersebut diimpor dari tempat yang sama dan sudah terseleksi, oleh karena itu gen
FSH sub-unit beta dalam populasi ini tidak bisa dipakai sebagai marka gen untuk seleksi
peningkatan produksi susu.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Gambar 3 Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta produk PCR yang
dipotong oleh enzim Pst1 Keterangan:
M : Marker : ladder 100 bp
AA : 99 bp dan 202 bp
BB : 313 bp
AB : 99 bp, 202 bp dan 313 bp
Kondisi Iklim Mikro Sapi FH di BBPTU Batrurraden
Sapi FH akan menunjukkan penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan
pada suhu lingkungan 18.3oC dengan kelembaban 55%, apabila melebihi suhu tersebut
ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku
(behaviour) (Yani dan Purwanto 2005). Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain)
akan menambah beban panas bagi sapi FH, apabila suhu udara lebih tinggi dari suhu
100 bp
200 bp
300 bp
99 bp
202 bp
313 bp
10
nyaman. Sapi FH akan kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih
rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi
secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Jalur utama
pelepasan panas melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan
pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di
sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993).
Suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi, yaitu berkisar
antara 24 sampai 34oC dan kelembaban 60 sampai 90%. Kondisi tersebut sangat
memengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Kondisi tersebut menyebabkan proses
penguapan dari tubuh sapi FH akan terhambat, sehingga mengalami cekaman panas.
Cekaman panas dapat menurunkan efesiensi reproduksi sebesar 40-50% dan
menurunkan produksi susu sebesar 15-20% (St Pierre et al. 2003). Menurut Wolfenson
et al. (1995) cekaman panas berpengaruh negatif terhadap lingkungan endokrin dan
perkembangan folikel seperti pendeknya lama estrus dan rendahnya kualitas oosit,
sehingga dapat menyebabkan rendahnya fertilitas pada sapi perah.
Keragaman produksi susu dan performa reproduksi sapi FH di BBPTU
Baturraden dikarenakan kondisi suhu dan kelembaban lingkungan di BBPTU
Baturraden belum ideal untuk pemeliharaan sapi perah laktasi, dengan kisaran suhu
lingkungan antara 22 sampai 31°C dengan rata-rata sebesar 25.26°C dan kelembaban
udara antara 68 sampai 100% dengan rata-rata sebesar 93.16%. Kelembaban udara
yang sangat tinggi sangat mungkin terjadi karena intensitas hujan yang tinggi.
Kondisi lingkungan tropis Indonesia merupakan tantangan terbesar dalam upaya
optimalisasi produksi susu, karena sapi perah akan dapat berproduksi dengan baik
apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan
minimum suhu dan kelembaban lingkungan berada pada thermo neutral zone (ZTN).
Menurut Rumentor (2003) di luar kondisi tersebut sapi perah akan mudah mengalami
stres. Stres panas terjadi ketika suhu dan kelembaban berada di atas ZTN. Wagner
(2001) menjelaskan bahwa stres panas akan terjadi ketika panas yang masuk ke dalam
tubuh ternak tidak seimbang dengan panas yang dapat dikeluarkan oleh tubuh. Menurut
Rumentor (2003) parameter yang sering digunakan di berbagai negara untuk
mengetahui potensi stres panas pada ternak adalah dengan Temperature Humidity Index
(THI). Induk sapi perah berada pada kondisi lingkungan dengan THI kritis akan
mengalami gangguan fisiologis dan produktivitas.
Secara umum saat suhu udara rendah maka kelembaban tinggi dan sebaliknya
pada saat suhu udara meningkat maka kelembaban udara turun. Sapi perah di BBPTU
Baturraden berada di lingkungan yang kurang nyaman dan berpotensi mengalami stres
panas, karena suhu lingkungan lebih tinggi dari ZTN. Menurut Sudrajad dan Adiarto
(2011) dari perbandingan antara suhu dan kelembaban udara di BBPTU Baturraden
memiliki nilai THI berkisar antara 73 sampai 82 (THI > 72). Moran (2005)
menyebutkan bahwa nilai THI yang ideal bagi sapi perah adalah kurang dari 72, apabila
nilai THI melebihi 72 maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72 ≤ THI ≤ 79),
stres sedang (80 ≤ THI ≤ 89), stres berat (90 ≤ THI ≤ 98) dan sapi akan mengalami
kematian (THI > 99).
11
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Talib et al. (2002) menunjukkan bahwa di
Indonesia suhu lingkungan yang mencapai 29°C dapat menurunkan produksi susu
menjadi 10.1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11.2 kg/ekor/hari. Menurut Rumentor
(2003) pengaruh langsung dari suhu dan kelembaban terhadap produksi susu disebabkan
meningkatnya kebutuhan sistem tubuh untuk menghilangkan kelebihan beban panas,
pengurangan laju metabolik dan menyusutnya konsumsi pakan.
Gambar 4 Temperature Humidity Index (THI) pada sapi perah
Hasil pengamatan Sudrajad dan Adiarto (2011) terhadap status fisiologis sapi
perah di BBPTU Baturraden menunjukkan bahwa frekuensi respirasi lebih tinggi dari
normal berkisar antara 25.33 sampai 80.00 kali/menit dengan rata-rata 50.71 kali/menit,
frekuensi pulsus masih dalam keadaan normal antara 46.00 sampai 84.00 kali/menit
dengan rata-rata 62.84 kali/menit, dan suhu rektal juga masih berada pada keadaan
normal antara 35.63 hingga 39.13°C dengan rata-rata 37.63°C.
Frekuensi respirasi sapi perah di BBPTU Baturraden terlihat lebih tinggi dari
kisaran normal, karena menurut Frandson (1996) frekuensi respirasi normal sapi perah
berkisar antara 24 sampai 32 kali/menit. Tingginya frekuensi respirasi ini akibat
perubahan kondisi suhu dan kelembaban. Rumetor (2003) menjelaskan bahwa naiknya
frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami stres panas.
Tujuan dari respirasi ini adalah untuk memaksimalkan pengeluaran panas karena sapi
perah berada di kandang dengan kelembaban tinggi.
Hasil pengamatan Sudrajad dan Adiarto (2011) menunjukkan bahwa sapi FH di
BBPTU Baturraden rata-rata mengalami stres ringan. Hal tersebut menandakan bahwa
indikasi stres panas yang dialami sapi perah belum parah, kemungkinan stres panas
telah cukup diantisipasi dengan sistem pengurangan panas oleh tubuh ternak. Menurut
Churng (2002) beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh sapi perah untuk mengurangi
stres panas antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum,
meningkatkan frekuensi respirasi, produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin.
12
Stres ringan yang terjadi pada sapi FH di BBPTU Baturraden tersebut dapat
menyebabkan gangguan fisiologis. Setiap sapi memiliki respon yang berbeda-beda
terhadap kondisi tersebut, sehingga menyebabkan produksi susu dan performa
reproduksi pada masing-masing sapi berbeda-beda juga. Sapi-sapi yang memiliki respon
fisiologis yang baik memiliki produksi susu dan performa reproduksi yang baik.
Hubungan Antara Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA
dengan Performa Reproduksi
Banyak faktor yang memengaruhi hubungan antara produksi susu dengan
performa reproduksi (fertilitas) seperti: kualitas semen, status kesehatan betina, umur,
musim, penyakit, pakan dan inseminator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen FSH
sub-unit beta memiliki genotype yang seragam yaitu AB, namun demikian terdapat
keragaman sapi FH dalam kemampuan produksi susu dan performa reproduksi. Hasil
penelitian hubungan antara kemampuan produksi susu (MPPA) terhadap performa
reproduksi yang ditunjukkan dengan masa kosong dan CR dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hubungan Antara Grade MPPA dengan Performa Reproduksi pada Sapi FH
No Grade MPPA (kg) Rataan
Masa Kosong (hari) CR (%)
1
2
3
A (6 611.2+428.6)a
B (5 533.1+306.1)b
C (4 650.4+251.5)c
75.35+8.54a
111.59+14.77b
143.14+9.02c
75.68a
60.87b
10.45c
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05), MPPA: Most Probable Producing Ability, CR: Conception rate.
Menurut LeBlanc (2005) masa kosong selain memengaruhi produksi susu pada
laktasi yang berjalan juga menentukan keberhasilan breeding dan selang beranak.
Murray (2009) menyatakan masa kosong yang baik adalah 100 hari, dan dibutuhkan
perbaikan apabila masa kosong lebih dari 120 hari, sedangkan menurut Ali et al. (2000)
masa kosong yang baik tidak kurang dari 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sapi dengan grade A dan B masing-masing memiliki masa kosong selama 75.35+8.54
hari dan 111.59+14.77 hari, masih di dalam kisaran normal. Sedangkan sapi dengan
grade C memiliki masa kosong selama 143.14+9.02 hari, melebihi kisaran normal.
Menurut Maršálek et al. (2008) produksi susu memiliki pengaruh terhadap masa
kosong yaitu dengan semakin tinggi produksi susu, maka akan memperpanjang masa
kosong. Sapi yang memiliki produksi susu kurang dari 7000 kg/laktasi, antara 7000-
8000 kg/laktasi dan lebih dari 8000 kg/laktasi masing-masing memiliki masa kosong
selama 154.26 hari, 164.72 hari, dan 171.48 hari. Masa kosong pada kisaran produksi
susu tersebut melebihi yang dinyatakan dalam penelitian Murray (2009). Berbeda
dengan hasil penelitian ini, bahwa sapi FH dengan grade A dan B semakin
meningkatnya produksi susu, masa kosong semakin pendek, tetapi masih dalam kisaran
normal kecuali pada grade C.
Masa kosong antara grade A, B dan C berbeda nyata (P < 0.05). Faktor- faktor
yang menyebabkan tingginya nilai masa kosong di peternakan sapi perah dapat
dikarenakan oleh beberapa hal di antaranya yaitu kurangnya nutrisi dari pakan, sesuai
dengan pendapat Suharto (2003) yang menyatakan bahwa pemberian ransum dengan
kualitas yang baik dapat meningkatkan penampilan estrus. Menurut Jainudeen dan
13
Hafez (2000) kekurangan pakan akan meyebabkan kondisi tubuh induk kurus dan
produksi susu menjadi berkurang. Sapi dengan pakan yang kualitas dan kuantitasnya
kurang dapat menyebabkan waktu estrus akan menjadi lebih pendek, sehingga terjadi
fertilisasi menjadi lebih rendah.
Selama periode awal postpartus, sapi laktasi biasanya dalam kondisi
keseimbangan energi negatif (negative energy balance) karena ketidakmampuan
mengkonsumsi energi dengan jumlah mencukupi dalam ransum (Collard et al. 2000;
Gearhart et al. 1990; Domeq et al.1997). Waktu ovulasi dari folikel dominan pertama
diketahui terkait dengan laju dan saat keseimbangan energi mencapai status positif
(Stevenson et al. 1996). Keseimbangan energi dalam kondisi negatif mengakibatkan
turunnya sekresi LH postpartus, akibatnya memperlambat aktivitas ovarium (Butler
2000). Keseimbangan energi negatif juga memperpanjang interval ovulasi dan estrus
pertama postpartus.
Conception rate merupakan persentase sapi betina yang bunting pada
perkawinan pertama. Faktor yang memengaruhi CR yaitu kesuburan pejantan (kualitas
semen), kesuburan betina, dan kinerja inseminator. Apriem et al. (2012) menjelaskan
bahwa tinggi rendahnya CR juga dipengaruhi oleh deteksi estrus dan pengelolaan
reproduksi. Abdullah et al. (2015) juga menambahkan faktor-faktor yang akan
menurunkan nilai CR yaitu kawin pertama setelah beranak, masa kosong, calving
interval, masa kering, lama laktasi dan umur induk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi dengan grade A dan B masing
masing memiliki nilai CR sebesar 75.68% dan 60.87%. Nilai ini dinyatakan baik
menurut Fanani et al. (2013) nilai CR yang baik antara 60-70%. Sedangkan sapi dengan
grade C dinilai kurang baik karena memiliki nilai CR sebesar 10.45%. Grade produksi
susu memiliki hubungan yang nyata dengan CR (P<0.05), yaitu dengan semakin baik
grade produksi susu, maka nilai CR semakin tinggi.
Menurut Wiltbank et al. (1994) semakin tinggi produksi susu akan
memperpendek durasi estrus dan akan meningkatkan multiple ovulation. Sapi yang
memiliki rataan produksi susu, 25-30, 30-35, 35-40, 40-45, 45-50 dan 50-55 kg/hari
memiliki durasi estrus masing-masing 14.7, 9.6, 6.3, 4.8, 5.1 dan 2.8 jam, serta
memiliki persentase multiple ovulation masing-masing 0, 2.5, 6.1, 25.2, 45.3 dan 51.6%.
Produksi susu paling tinggi pada penelitian masih dalam kisaran normal yaitu rataan
21.67 kg/hari, sehingga kemungkinan durasi estrus masih dalam kisaran normal, terlihat
dengan umur kawin pertama pada sapi yang memiliki produksi susu tinggi masih dalam
kisaran normal.
Menurut Marti dan Funk (1994) semakin tinggi produksi susu akan
menyebabkan rendahnya beberapa parameter reproduksi. Sapi dengan rataan produksi
susu 32.3 + 0.6 kg/hari memiliki ukuran folikel 17.4 + 0.2 mm, konsentrasi estradiol
(E2) 8.6 + 0.5 pg/ml, durasi estrus 11.9 + 1.4 jam. Berbeda dengan sapi yang memiliki
rataan produksi susu tinggi 46.8 + 1.0 memiliki ukuran folikel 18.6 + 0.3 mm,
konsentrasi E2 6.8 + 0.5 pg/ml, durasi estrus 7.0 + 1.1 jam.
Semakin tinggi produksi susu, maka memerlukan energi yang tinggi juga dari
pakan. Sapi yang memiliki produksi susu 50 kg/hari memerlukan energi 53 Mcal/hari,
sedangkan ketika laktasi hanya sebesar 12.5 Mcal/hari (NRC 2001). Peningkatan energi
yang terlalu tinggi akan meningkatkan aliran darah ke saluran pencernaan, sehingga
menyebabkan terhambatnya metabolisme steroid. Peningkatan aliran darah akan
diteruskan ke hati, sehingga akan meningkatkan metabolisme E2 dan progesterone (P4),
yang mengakibatkan rendahnya konsentasi E2 dan P4. Konsentrasi E2 dan P4 yang
14
rendah akan menyebabkan perubahan reproduksi yaitu rendahnya CR dan penurunan
tingkah laku estrus (Wiltbank et al. 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi
dengan grade A dan B memiliki nilai CR yang baik, hal ini dikarenakan sapi tersebut
menggunakan energi yang normal untuk produksi susu. Berbeda dengan sapi grade C
yang memiliki asupan energi yang rendah, sehingga memiliki nilai CR yang rendah.
Walaupun manajemen peternakan sapi FH di BBPTU Baturraden sudah mengacu pada
standar yang ditentukan, pada grade C hasil menunjukkan CR yang rendah, hal ini
dapat dijelaskan dengan adanya stres ringan pada sapi FH di BBPTU Baturraden yang
disebabkan memiliki nilai THI berkisar antara 73 sampai 82 (THI > 72). Sapi akan
mengaktifkan mekanisme dalam upaya untuk menghilangkan kelebihan beban panas
dan menjaga suhu tubuh.
Penelitian Berman (2005) dan Jordan (2003) melaporkan bahwa stres panas
menyebabkan tubuh mengurangi laju metabolisme dan konsumsi pakan, sehingga
mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada penurunan
kemampuan berproduksi dan sekresi hormon reproduksi yang berhubungan dengan
fertilitas ternak tersebut. Jadi stres panas berpengaruh langsung terhadap penampilan
reproduksi ternak. Sesuai dengan penelitian West (2003) bahwa stres panas yang
dialami ternak dapat menyebabkan penurunan asupan energi yang tersedia untuk fungsi
produksi dan reproduksi, serta peningkatan kehilangan natrium dan kalium. Hal ini
terkait dengan peningkatan laju respirasi, sehingga memengaruhi keseimbangan asam
basa dan mengakibatkan metabolik alkalosis serta dapat menyebabkan penurunan
efisiensi pemanfaatan nutrisi.
Menurut Jordan (2003) penurunan konsumsi pakan yang berkaitan dengan dry
matter intake (DMI) mengakibatkan penurunan sekresi hormon GnRH dan LH yang
berdampak pada rendahnya konsentrasi hormon estrogen, sehingga mengakibatkan
ekspresi estrus berkurang, dan akhirnya akan mengurangi efisiensi deteksi estrus. Stres
panas juga berpengaruh pada kondisi lingkungan uterus, hal ini berkaitan dengan
kemampuan ternak untuk mempertahankan kehidupan awal embrio. Kondisi lingkungan
yang tidak sesuai berakibat pada kegagalan implantasi dan kematian embrio, sehingga
terjadi penurunan persentase keberhasilan kebuntingan (Gambar 5).
Gambar 5 Pengaruh stres panas pada reproduksi sapi perah (Jordan 2003)
Penurunan sekresi
oestradiol Penurunan GnRH
dan LH
HEAT STRESS
Keseimbangan
energi negatif
Rendahnya
ekspresi estrus
Perpanjangan fase
folikel dominan
Penurunan
konsumsi pakan
Rendahnya
fertilisasi
Buruknya kualitas
embrio
Lingkungan
uterus kurang
baik
Kegagalan
implantasi
Kematian embrio
15
Penurunan konsumsi pakan akan menyebabkan penurunan perkembangan folikel
pada ovarium, sehingga dapat membuat folikel dominan lebih kecil (Bergfeld et al.
1994). Panjangnya periode anestrus diduga disebabkan oleh kekurangan nutrisi.
Kekurangan nutrisi kemungkinan dapat menghambat perkembangan folikel sehingga
terjadi atresia folikel-folikel dominan. Sejumlah data menunjukkan interaksi antara
kondisi tubuh saat melahirkan dengan tingkat pemberian pakan dalam kurun waktu
tertentu dapat berpengaruh terhadap interval esterus pertama setelah melahirkan. Protein
intake rendah dapat mengurangi tingkah laku estrus atau disebut silent heat dan dapat
mengurangi terjadinya konsepsi. Hal ini yang menyebabkan sapi pada grade C memiliki
nilai CR yang rendah.
Hubungan Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA
dengan Body condition score (BCS)
Body condition score (BCS) merupakan suatu metode penilaian secara subyektif
melalui tehnik penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) untuk menduga cadangan
lemak tubuh terutama untuk sapi perah pada periode laktasi dan kering. Penilaian BCS
telah diterima sebagai metode yang murah dalam pendugaan lemak tubuh yang
digunakan baik pada peternakan komersial maupun penelitian (Otto et al. 1991). Pada
penelitian ini penilaian BCS menggunakan skala 1–5 (1= sangat kurus, 2 = kurus, 3 =
sedang, 4 = gemuk dan 5 = sangat gemuk) dengan nilai 0.25 angka di antara selang itu.
Body condition score juga dijadikan sebagai alat untuk menjelaskan status
nutrisi ternak melalui evaluasi dari cadangan lemak dari hasil metabolisme,
pertumbuhan, laktasi dan aktivitas. Sapi laktasi mengalami penurunan cadangan lemak
tubuh selama awal laktasi, kemudian disimpan kembali pada saat pertengahan dan akhir
laktasi (Gallo et al. 1996).
Nilai BCS berkorelasi positif dengan produksi susu, menurut Coffey et al.
(2003) perubahan keseimbangan energi yang terjadi selama laktasi akan berpengaruh
terhadap BCS. Domeq et al. (1997) menyatakan bahwa setelah sapi beranak, sapi perah
akan mengalami peningkatan konsumsi pakan yang lambat, peningkatan produksi susu
yang cepat, dan terjadi peningkatan mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk memenuhi
kekurangan konsumsi pakan akibat peningkatan kebutuhan produksi susu pada awal
laktasi. Data hasil penelitian tentang hubungan antara MPPA dengan BCS dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Hubungan MPPA dengan BCS
No MPPA (kg) Grade Rataan BCS
1
2
3
6 611.2+428.6a
5 533.1+306.1b
4 650.4+251.5c
A
B
C
3.1+0.22a
2.9+0.15b
2.7+0.22c
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05), MPPA: Most Probable Producing Ability¸BCS: Body Condition Score.
Hasil penelitian menunjukkan nilai BCS pada masing-masing grade A, B dan C
yaitu 3.1+0.22, 2.9+0.15 dan 2.7+0.22. Produksi susu memiliki hubungan yang nyata
(P<0.05) dan berkorelasi positif dengan nilai BCS. Semakin tinggi produksi susu, maka
semakin baik nilai BCS. Nilai BCS yang ideal untuk sapi perah menurut rekomendasi
Penstate (2004) yaitu pada awal melahirkan (3.5), awal laktasi (3.00), puncak produksi
16
susu (2.75), pertengahan laktasi (3.00) dan akhir laktasi (3.25) dengan nilai rataan BCS
3.1 dengan rataan batas minimal BCS 2.9. Sapi dengan grade A memiliki nilai BCS
yang ideal, sedangkan sapi dengan grade B memiliki nilai BCS minimal yang
direkomendasikan, berbeda dengan sapi grade C memiliki BCS di bawah rekomendasi.
Hal ini menunjukkan bahwa sapi dengan grade A dan B memiliki keseimbangan energi
positif, yaitu pakan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis tubuhnya.
Rendahnya nilai BCS pada sapi grade C dapat diakibatkan karena kurangnya asupan
pakan. Kekurangan pakan tersebut dapat diakibatkan oleh cekaman panas akibat THI
yang terlalu tinggi.
Body Condition Score menggambarkan sejumlah energi metabolik yang
tersimpan sebagai lemak subcutan dan otot pada ternak (Montiel dan Ahuja, 2005).
Energi yang tersedia dalam tubuh tersebut digunakan untuk metabolisme, pertumbuhan,
laktasi dan aktivitas. Lemak tubuh akan digunakan lebih banyak sebagai cadangan
energi pada saat laktasi untuk produksi susu. Data menunjukkan bahwa sapi di BBPTU
Baturraden pada umumnya akan mengalami stres ringan karena memiliki THI 73
sampai 82 (THI > 72). Kondisi stres ringan ini akan menyebabkan adanya gangguan
secara fisiologis, sehingga cadangan lemak selain digunakan untuk produksi susu,
metabolisme, pertumbuhan dan aktivitas, juga digunakan untuk menanggulangi stres.
Kondisi inilah yang menyebabkan rendahnya nilai BCS pada sapi grade C.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
BCS dengan produksi susu yaitu dengan nilai r=0.68. Hubungan antara BCS dengan
produksi susu dinyatakan dalam persamaan regresi MPPA (Kg) = - 59 + 1991 BCS,
artinya dengan kenaikan satu satuan BCS akan meningkatkan produksi susu 1991 kg
/laktasi. Dengan demikian BCS memiliki pengaruh yang yang cukup besar terhadap
produksi susu.
Manajemen pemberian pakan di BBPTU Baturraden sudah terstandarisasi, tetapi
karena sapi perah mengalami stres ringan, maka sapi perah tersebut berusaha
menanggulangi stres dengan mengurangi pakan yang dikonsumsi yang mengakibatkan
terjadinya keseimbangan energi negatif. Setiap sapi memiliki respon yang berbeda-beda
dalam mengurangi konsumsi pakan tersebut. Sapi grade A dengan BCS 3.1 dan B
dengan BCS 2.9 memiliki masa kosong yang pendek dan CR yang tinggi menunjukkan
adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan kemampuannya mengkonsumi pakan.
Berbeda dengan sapi grade C dengan BCS 2.7, karena mengalami keseimbangan energi
negatif sehingga masa kosong menjadi lebih panjang dan CR yang rendah.
17
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Performa reproduksi sangat dipengaruhi oleh produksi susu berdasarkan grade
MPPA dan BCS. Semakin tinggi produksi susu semakin semakin pendek masa kosong,
serta semakin tinggi CR dan BCS. Gen FSH sub-unit beta belum dapat dijadikan
sebagai marka genetik reproduksi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi gen hormon lain yang
memiliki pengaruh terhadap produksi susu, interaksi antara genetik dengan lingkungan
terhadap performa reproduksi dan produksi susu dan seleksi sapi-sapi dengan biologi
molekuler yang memiliki ketahanan terhadap Temperature Humidity Index (THI) yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah F, Hartono M, Siswanto. 2015. Conception Rate pada Sapi Perah Laktasi di
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden
Purwokerto Jawa Tengah. J. Ilm. Pet. Ter. 3(1): 98-105.
Ali AKA, Al-Haidary A, Alshaikh MA, Gamil MH, Hayes E. 2000. Effect of days open
on the lactation curve of Holstein cattle in Saudi Arabia. J. Anim. Sci. 13: 277-286.
Andreas E, Sumantri C, Farajalah A, Anggraeni A. 2010. Identification of GH|Alu1 and
GHR|Alu1 genes polymorphism in Indonesian Buffalo. J. Indo. Trop. Anim. Agri
35: 215 – 221.
Andreas E, Arifiantini I, Saputra F, Ishak ABL, Imron M, Sumantri C. 2014. Effect of
FSH Β-sub unit and FSHR genes polymorphisms on superovulatory response
traits. J. Indo. Trop. Anim. Agric. 39(4):197-203,
Apriem F, Ihsan N, dan Poetro S. B. 2012. Penampilan Reproduksi sapi Peranakan
Onggole Berdasarkan Paritas di Kota Probolinggo Jawa Timur. Malang (ID):
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
Becker WA. 1975. Manual of Quantitative Genetiks. 4th
Edition. Published by
Academic Enterprise. Pullman, Washington.
Bergfeld EGM, Kojima FN, CuppAS, Wehrman ME Peters KE, Garcia-Winder M,
Kinder JE. (1994). Ovarian follicular development in prepubertal heifers in
influence by level of dietary energy intake. Biol. Reprod. 51: 1051-1057.
Berman A. 2005. Estimates of heat stres relief needs for Holstein dairy cows. J. Anim.
Sci. 83:1377-1384.
Butler WR. 2000. Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle.
Anim. Rep. Sci. 60–61: 449–457.
Churng FL. 2002. Feeding management and strategies for lactating dairy cows under
heat stres. International Training on Strategies for Reducing Heat Stres in Dairy
Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th,
2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Coffey MP, Simm G, Hill WG, Brotherstone S. 2003. Genetic Evaluation of Dairy
Building for Daughter Energy Balance Profil using Linier Types Scores and Body
18
Condition Score Analyzed using Random Regressions. J. Dairy Sci. 86: 2205 –
2212.
Collard BL, Boettcher PJ, Dekkers JCM, Petitclerc D, Schaeffer LR. 2000. Relationship
between energy balance and health traits of dairy cattle in early lactation. J. Dairy
Sci. 83: 2683–2690.
Dai L, Zhihui Z, Zhao R, Xia S, Hao Jiang, Xupeng Yue, Xichun Li, Yan Gao, Liu J,
Zhang J. 2009. Effects of novel single nucleotide polymorphisms of the FSH beta-
subunit gene on semen quality and fertility in bulls. J Anim.Reprod. Sci. 114 : 14–
22.
Dobson H, Smith RF, Royal, MD Knight CH, and Sheldon IM. 2007. The high
producing dairy cow and its reproductive performance. Reprod. Domest. Anim.
42:17–23.
Domeq JJ, Skidmore AL, Lloid JW, Kaneene JB. 1997. Relationship between body
condition score and milk yield in a large dairy herd of heigh yielding Holstein
cows. J. Dairy Sci. 80: 101 – 112.
Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Longman Inc,
New York.
Fanani S, Subagyo YBP, Lutojo. 2013. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan
Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Surakarta
(ID): Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Gallo L, Carnier P, Cassandro M, Mantovani R, Bailoni L, Bittante G. 1996. Change in
body condition score of Holstein cows as affected by parity and mature equivalent
milk yield. J. Dairy Sci. 79:1009 – 1015.
Gearhart MA, Curtis CR, Erb HN, Smith RD, Sniffen CJ, Chase LE, Cooper MD. 1990.
Relationship of changes in condition score to cow health in Holsteins. J. Dairy Sci.
73: 3132–3140.
Grigorova M, Rull K and M. Laan. 2007. Haplotype Structure of FSHB, the Beta-
Subunit Gene for Fertility-Associated Follicle-Stimulating Hormone : Possible
Influence of Balancing Selection. Ann of Hum Gen. 71 : 18–28.
Hidayat A, Effendi P, Sugiwaka T. 2002. Informasi Teknologi Penunjang pada
Kesehatan Reproduksi. Buku Petunujuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia untuk
Petugas penyuluh dan Petugas Teknik. Cetakan Pertama. Bandung (ID):
Sonysugema Pressindo.
Ishak ABL, Sumantri C, Noor RR, Arifiantini I. 2012. Identification of polymorphism
of FSH beta-subunit gene as sperm quality marker in Bali cattle using PCR-RFLP.
J.Indo. Trop.Anim.Agric. 36(4): 221-227.
Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Cattle and Buffalo. Di dalam: Reproduction in Farm
Animals. 7th
Edition. Edited by Hafez ESE. Lippincott William and Wilkins.
Maryland, USA.
Jordan ER. 2003. Effects of heat stres on reproduction. J. Dairy Sci. 86: (E.
Suppl.) :E104-E114.
Kementerian pertanian. 2014. Kebutuhan Susu Nasional. Jakarta (ID). Kementrian
Pertanian Republik Indonesia.
Kementrian Pertanian. 2015. Statistik Peternakan (Populasi dan Produksi Susu Menurut
Provinsi). Jakarta (ID). Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
19
LeBlanc S. 2005. Overall reproductive performance of Canadian dairy cows: challenge
we are facing. Adv in Dairy Tech. 17: 137.
Lenville RC, Pompy D, Johnson RK, Rothschil MF. 2001. Candidate gene analysis for
loci affecting litter size and ovulation rate in swine. J. Anim Sci. 2001. 79:60–67.
Mannaertz B, Uilenbrock J, Schot P, de Leeuw R. 1994. Folliculogenesis in
hypophesectomized rats after treatment with recombinant human follicle
stimulating hormone. Biol. Reprod. 51:1, 72–81.
Maršálek M, Zedníková J, Pešta V, Kubešová M. 2008. Holstein cattle reproduction in
relation in milk yield and body condition score. University of South Bohemia in
České Budějovice, Agricultural faculty, Department of Special Livestock
Breeding.
Marti CF, Funk DA. 1994. Relationship between production and days open at different
levels of herd production. J. Dairy Sci. 77(6):1682-90.
Montiel F, Ahuja C. 2005. Body condition score and suckling as factor influencing the
duration of postpartum anestrus in cattle: A review. Anim. Rep. Sci. 85:1-26.
Moran J. 2005. Tropical Dairy Farming: Feeding management for small holder dairy
farmers in the humid tropics 321 pp., Landlinks Press.
Murray BB. 2009. Maximazing conception rate in dairy cows: heat detection. Queens
Printer for Ontario. http://www.omafra.gov.on.ca/english/livestock/dairy/faacts/84.
048.htm. National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7th rev. ed. Natl.
Acad. Sci., Washington, DC. Nugroho CW. 2004. Pendugaan nilai pemuliaan dan genetic trend produksi susu di
peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm, Cicurug-Sukabumi [tesis]. Bogor (ID):
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Noor RR. 2010. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between body condition
score and compotition of ninth to eleven rib tissue in Holstein dairy cows. J Dairy
Sci. 74:852-861.
Pallawaruka. 1999. Ilmu Pemuliaan Ternak Perah. Ilmu Produksi Ternak. Bogor (ID):
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Penstate. 2004. Begginer’s guide to body condition scoring: A tool for dairy herd
management. Web presentation.
Purwanto BP. 1993. Heat and Energy Balance in Dairy Cattle Under High
Environmental Temperatute. Doctoral Thesis, Hiroshima University.
Rumentor SD. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi [makalah falsafah dains].
Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual
2nd
ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, USA: 9.16 - 9.19.
Soetarno T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Steel RGD, Torrie JH. 1997. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B. Sumantri.
Jakarta (ID): PT. Gramedia.
St Pierre NR, Cobanov B, Schnitkey G. 2003. Economic Losses from Heat Stress by
US Livestock Industries. J. Dairy Sci. 86:E52-E77.
Stevenson JS, Kobayashi Y, Shipka MP, Rauchholz KC. 1996. Altering conception of
dairy cattle by gonadotropin-releasing hormone preceding leuteolysis induced by
prostaglandin F2α. J. Dairy Sci. 82: 506–515.
20
Sudrajad P, Adiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu sapi
Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah
Baturraden. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID):
Puslitbangnak Bogor.
Suharto K. 2003. Penampilan potensi reproduksi sapi perah Frisien Holstein akibat
pemberian kualitas ransum berbeda dan invusi larutan iodium povidum 1% intra
uterine [tesis]. Semarang (ID): Magister Ternak Universitas Diponegoro.
Talib CH, Sugiarti T, Siregar AR. 2002. Friesian Holstein and their adaptability to the
tropical environment in Indonesia. International Training on Strategies for
Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-
COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Tyler HD, Ensminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. 4th
Edition. Prantice Hall, New
Jersey.
Wagner PE. 2001. Heat Stres on Dairy Cows. Dairy Franklin Country Publishers.
Warwick EJ. 1983. Pemuliaan Ternak. Terjemahan Astuti JM, Hardjosubroto W.
Yoyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada
Yogyakarta (ID): University Press.
Webster J. 1993. Understanding The Dairy Cow.Second Edition.Blackwell Scientific
Publication. London.
West JW. 2003. Effects of heat stres on production in dairy cattle. J. Dairy Sci. 86:2131-
2144.
Wiltbank M, Lopez H, Sartori R. 2004. Effect of high milk production on reproductive
efficiency of lactating dairy cows. Department of Dairy Science, University of
Wisconsin-Madison.
Wolfenson DW, Thatcher W, Badinga L, Savio JD, Meidan R, Lew BJ, Braw-Tal R,
Berman A. 1995. Effect of heat stress on follicular development during the estrous
cycle in lactating dairy cattle. J.Biol.Rep. 52:1106–1113.
Xiaopeng AN, Dan H, Jin-Xin H, Guang L, Ya-Na W, Ling L, Guang Q, Jiangang W,
Yu-xuan S, Bin-yun CY. 2010. Polymorphism of exon 2 of β gene and its
relationship with reproduction performance in two goat breeds. Agric. Sci.China.
6:889-886.
Yani A dan Purwanto BP. 2005. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis
Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan
Produktivitasnya. Med. Pet. 29 (1): 35-46.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 19 Agustus 1981 sebagai anak bungsu
dari 10 bersaudara dari pasangan almarhum Bapak Ahum dan almarhumah Ibu Mala.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2003. Penulis pernah bekerja di
PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk, Tim Pengelola dan Pengembangan Usaha IPB,
Rumah Sakit Hewan IPB, PT. Bogor Global Life Science dan PT. Bogor Life Science
and Technology IPB (PT. BLST IPB). Sejak Tahun 2015 sampai dengan sekarang
penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima sebagai
mahasiswa magister pada program studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh
dari BPPS Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.