PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK...

27
1 PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KECAMATAN NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG. Oleh: Wayan Sedana FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA

Transcript of PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK...

  • 1

    PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN

    PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KECAMATAN NUSA PENIDA,

    KABUPATEN KLUNGKUNG.

    Oleh:

    Wayan Sedana

    FAKULTAS PERTANIAN

    UNIVERSITAS UDAYANA

  • 2

    PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN

    PERTANIAN BERKELAJUTAN DI KEC.NUSA PENIDA,KAB.

    KLUNGKUNG.

    Oleh : I Wayan Sedana

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik

    terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh

    opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia

    dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan

    datang. Sedangkan evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap lahan untuk

    penggunaan tertentu FAO (1985).

    Penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land

    cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah

    dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan

    penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi

    yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena

    penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya.

    Indonesia Negara yang luas. Disana terdapat begitu banyak pulau yang

    terbentang dengan berbagai macam lahan didalamnya.

    Identifikasi, pemantauan, dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu

    dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk

    penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan

    lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam

    usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan

    keruangan di suatu wilayah.

    Dalam hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan

    penggunaan lahan diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis

    dan terorganisir dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk

  • 3

    peruntukan pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan

    masyarakat (Suryantoro, 2002).

    Bentuk lahan asal solusional, lahan asal marin, fluvial, denudasi, struktural

    dll. Lahan asal solusional adalah sebagian lahan yang terdapat di

    Indonesia.Banyak sekali kegunaan lahan ini dan berbagai unsur serta materi-

    materi di dalamnya. Selain itu keberadaan kawasan bentuk lahan asal solusional di

    Indonesia, dewasa ini dianggap memiliki nilai yang sangat strategis. Di seluruh

    wilayah kepulauan Indonesia, luas kawasan bentuk lahan asal solusional mencapai

    hampir 20 % dari total luas wilayah. Dari segi keilmuan kawasan bentuk lahan

    asal solusional merupakan suatu kawasan yang tidak akan pernah kehabisan

    obyek untuk penelitian. Fenomena bentang lahan permukaan bentuk lahan asal

    solusional yang sangat unik, fenomena bawah permukaan berupa sistem pergoaan

    dan sungai bawah tanah merupakan obyek yang sangat menarik untuk diteliti.

    Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal didalamnya yang juga unik

    karena mampu bertahan pada kondisi water table yang sangat dalam, dan hanya

    dapat memperoleh air dari goa serta mata air juga menarik untuk selalu dikaji.

    Sumber daya alam lain yang dapat dikaji adalah beragamnya flora dan fauna yang

    khas seperti burung walet dan kelelawar.

    1.2. Rumusan Masalah.

    1) Apa saja Kendala pada lahan Bentuk lahan asal solusional?

    2) Bagaimana pengelolaannya ?

    1.3. Tujuan

    1) mengetahui kendala apa saja yang terdapat pada bentuk lahan asal

    solusional.

    2) mengetahui bagaimana pengelolaan bentuk lahan asal solusional.

  • 4

    BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

    Perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik

    terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh

    opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia

    dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan

    datang. Sedangkan evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap lahan untuk

    penggunaan tertentu FAO (1985)

    Menurut Drissen and Koninj (1992). Konsep lahan haruslah tidak

    disamakan dengan tanah. Dalam pengertian lahan sudah termasuk tanah dengan

    segala sifat-sifatnya serta keadaan lingkungan sekitarnya. Jika sifat-sifat tersebut

    sama dalam segala aspek dikatakan unit lahan selanjutnya FAO (1976; 1983) Unit

    lahan ini biasanya dipetakan dengan karakteristik yang spesifik dan merupakan

    dasar untuk mengevaluasi lahan.

    Tujuan utama mendefenisikan unit lahan adalah agar diperoleh hasil

    maksimal dalam penilaian kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dan

    mendapatkan cara yang tepat dalam pengelolaannya (FAO, 1983). Untuk

    mendeskripsikan unit lahan haruslah merujuk kepada karakteristik lahan seperti

    kemiringan lahan, ketersediaan air dan sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Nasution,

    1989).

    Penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi,

    benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa

    memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut Townshend dan Justice

    (1981). Selanjutnya Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan bahwa permukaan

    bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti

    vegetasi, salju, dan lain sebagainya. Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil

    aktivitas manusia (penggunaan lahan). Suatu unit penggunaan lahan mewakili

    tidak lebih dari suatu mental construct yang didesain untuk memudahkan

    inventarisasi dan aktivitas pemetaan (Malingreau dan Rosalia, 1981).

    Interpretasi penggunaan lahan dari foto udara ini dimaksudkan untuk

    memudahkan deliniasi. Untuk dapat mempercepat hasil inventarisasi dengan hasil

    yang cukup baik, digunakan pemanfaatan data penginderaan jauh, karena dari data

    penginderaan jauh memungkinkan diperoleh informasi tentang penggunaan lahan

  • 5

    secara rinci.selain itu, adanya perrubahan pemanfaatan lahan kota yang cepat

    dapat pula dimonitor dari data penginderaan jauh.

    Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan

    manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk

    memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan

    keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan

    wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting

    dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan

    penggunaan lahan.

    Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan

    kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu.

    Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik.

    Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni

    tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan

    perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu. Fenomena yang ada

    dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan penggunaan lahan

    dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan

    lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada

    umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik penutup lahan

    maupun lokasinya (Murcharke, 1990).

    Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha atau campur tangan

    manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Data

    penggunaan/tutupan lahan ini dapat disadap dari foto udara secara relatif mudah,

    dan perubahannya dapat diketahui dari foto udara multitemporal. Teknik

    interpretasi foto udara termasuk di dalam sistem penginderaan jauh. Penginderaan

    jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah

    atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan

    alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau gejala yang dikaji

    (Lillesand dan Kiefer, 1997).

    Penggunaan foto udara sebagai sumber informasi sudah meluas dalam

    berbagai aplikasi. Hanya saja untuk dapat memanfaatkan foto udara tersebut

    diperlukan kemampuan mengamati keseluruhan tanda yang berkaitan dengan

  • 6

    objek atau fenomena yang diamati. Tanda-tanda tersebut dinamakan kunci

    pengenalan atau biasa disebut dengan unsur-unsur interpretasi. Unsur-unsur

    tersebut meliputi : rona/warna, tekstur, bentuk, ukuran, pola, situs, asosisasi, dan

    konvergensi bukti (Sutanto, 1997). Untuk dapat melakukan interpretasi

    penggunaan lahan secara sederhana dan agar hasilnya mudah dipahami oleh orang

    lain (pengguna), diperlukan panduan kerja berupa sistem klasifikasi penggunaan

    lahan/tutupan lahan.

    Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam proses

    interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra

    penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang

    sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan

    lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun

    berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya

    buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi

    kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau,

    1978).

    Pengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan persamaan

    dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi.

    Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek

    kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem

    pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan

    kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan

    dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan

    citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi

    yang sederhana dan mudah dipahami

    Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan adalah sistem

    klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu. Dalam suatu kerangka kerja,

    menurut Dent (1981) dalam membuat klasifikasi penggunaan lahan dibagi

    menjadi tingkatan-tingkatan ynag terbagi menjadi kelompok-kelompok sebagai

    berikut :

  • 7

    1. Land cover/land use Order (cover type);

    2. Land cover/land use Cover Classes;

    3. Land cover/land use Sub-Classes;

    4. Land cover/land use Management Units (comparable to land utilization

    types).

    Dari klasifikasi tersebut oleh Malingreu diubah menjadi 6 kategori sebagai

    berikut :

    1. Land cover/land use Order e.g. vegetated area;

    2. Land cover/land use Sub-Order e.g. cultivated area;

    3. Land cover/land use Family e.g. permanently cultivated area;

    4. Land cover/land use Class e.g. Wetland rice (sawah);

    5. Land cover/land use Sub-Class e.g. irrigated sawah;

    6. Land Utilization Type e.g. continous rice

    Istilah bentuk lahan asal solusional yang dikenal di Indonesia sebenarnya

    diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah karst yang

    merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia

    Utara, dekat kota Trieste. Moore and Sullivan (197 menyebutkan bahwa istilah

    bentuk lahan asal solusional diperoleh dari bahasa Slovenia, terdiri darikar

    (batuan) dan hrast (oak), dan digunakan pertama kali oleh pembuat peta-peta

    Austria mulai tahun 1774 sebagai suatu nama untuk daerah berbatuan gamping

    berhutan. oak di daerah yang bergoa di sebelah Barat laut Yugoslavia dan sebelah

    Timur Laut Italia. Beberapa ahli menggunakan bentuk lahan asal solusional

    sebagai istilah untuk medan dengan batuan gamping yang dicirikan oleh drainase

    permukaan yang langka, solum tanah tipis dan hanya setempat-setempat,

    terdapatnya cekungan-sekungan tertutup (dolin), dan terdapatnya sistem drainase

    bawah tanah (Summerfield, 1991). Ford dan Wiliam (1996) mendefinisikan secara

    lebih umum sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuk lahan yang

    diakibatkan oleh kombinasi dari batuan mudah larut dan mempunyai porositas

    sekunder yang berkembang baik. Bentuk lahan asal solusional sebenarnya tidak

    hanya terjadi di batuan karbonat, namun sebagian besar bentuk lahan asal

    solusional berkembang di batu gamping. Maka dapat disimpulkan Bentuk lahan

  • 8

    solusioal adalah bentuk lahan yang terbentuk akibat proses pelaratan batuan yang

    terjadi pada daerah berbatuan karbonat. Tetapi sebagian besar bentuk lahan asal

    solusional berkembang di batu gamping. Tidak semua batuan karbonat terbentuk

    topografi kars, walaupun faktor selain batuannya sama.

    Fenomena kawasan bentuk lahan asal solusional merupakan fenomena unik

    yang terdapat di permukaan bumi. Secara geomorfologis, kawasan bentuk lahan

    asal solusional merupakan daerah yang dominan berbatuan karbonat. Kawasan

    bentuk lahan asal solusional merupakan kawasan yang mudah rusak. Batuan

    dasarnya mudah larut sehingga mudah sekali terbentuk gua-gua bawah tanah dari

    celah dan retakan. Mulai banyaknya permukiman penduduk yang terdapat di

    daerah ini akan berpengaruh terhadap tingginya tingkat pencemaran dan

    kerusakan lingkungan. Istilah bentuk lahan asal solusional yang dikenal di

    Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya

    adalah 'karst yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara

    Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste, kosistem Bentuk lahan asal

    solusional adalah areal-areal yang mempunyai lithologi dari bahan induk kapur

    Ada juga yang menyimpulkan bahwa jika ada sebuah daerah yang

    memiliki banyak sungai bawah tanah sering sekali dijuluki dengan Kawasan

    bentuk lahan asal solusional. Salah satu kondisi wilayah bentuk lahan asal

    solusional yang paling terlihat oleh mata adalah sebuah daerah yang kering dan

    panas pada permukaan tanah namun di bawah tanah menyimpan volume air dalam

    jumlah besar

    Ekosistem bentuk lahan asal solusional memiliki sebuah keunikan sendiri,

    baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati. Sifat yang rentan

    dari biota gua, merupakan sebuah indikator penting terhadap perubahan

    lingkungan. Belum banyak jenis biota gua Indonesia yang diungkapkan. Baru

    beberapa jenis udang gua (Macrobrachium poetf), kalanjengking gua dari Maros

    (Chaerilus sabinae), kepiting gua buta (Cancrocaeca xenomorphd), kepiting mata

    kecil (Sesarmoides emdi), isopoda gua (Cirolana marosind), Anthura munae,

    kumbang gua (Eustra saripaensis), Mateullius troglobiticus, Speonoterus

    bedosae, ekorpegas gua (Pseudosinella maros), Stenasellus covillae, S. stocki, S.,

  • 9

    dan S. Monodidan S. javanicus dari Bentuk lahan asal solusional Cibinong. Yang

    juga menjadi arti penting kawasan bentuk lahan asal solusional adalah

    ketersediaan air tanah yang sangat dibutuhkan oleh kawasan yang berada di

    bawahnya. Termasuk di dalamnya ketersediaan air tawar (dan bersih) bagi

    kehidupan manusia, baik untuk keperluan harian maupun untuk pertanian dan

    perkebunan. Proses pengrusakan yang lebih besar dilakukan oleh kepentingan

    industri. Langkanya semen kemudian dijadikan dalih untuk melegalkan upaya

    penambangan di kawasan ekosistem bentuk lahan asal solusional. Padahal, di

    Indonesia kawasan ini tak lebih dari 15,4 juta hektar dan 192 juta hektar lahan

    daratan negeri. Penggunaan bahan peledak untuk menghancurkan batuan pun,

    menambah proses kehancuran sistem yang ada di kawasan bentuk lahan asal

    solusional

    Bentuk lahan solusional ini terbentuk akibat proses pelarutan batuan yang

    terjadi pada daerah bcrbatuan karbonat tertentu. Tidak semua batuan karbonat

    tersebut dapat membentuk topografi karst faktor lain yang dapat membentuk

    topografi karst adalah:

    • Batuan mudah larut

    • Terletak pada daerah tropis basah dengan topografi tinggi

    • Vegetasi penutup cukup rapat

    Batuan karbonat yang banyak memiliki diaklas akan memudahkan air untuk

    melarutkan batuan CaCo3. Oleh karena itu batuan karbonat yang memiliki sedikit

    diaklas, walaupun terletak pada daerah dengan curah hujan cukup tinggi, tidak

    terbentuk topografi karst. Vegetasi yang rapat akan menghasilkan humus, yang

    menyebabkan air di daerah tersebut

    memiliki PH yang rendah atau air menjadi asam. Pada kondisi asam, air

    akan mudah untuk melarutkan batuan karbonat. Perpaduan antara batuan karbonat

    dengan banyak diaklas, curah hujan dan suhu yang tinggi, serta vegetasai yang

    lebat akan mendorong terjadinya topografi karst

    Menurut proses terjadinya bentuk lahan asal proses solusional ini dibedakan

    menjadi 3 macam, yaitu :

  • 10

    1. Bentuk sisa ( residual form)

    Dari proses ini terdapat dua macam bentukan yang terjadi pada proses

    residual form ini, yaitu kubah karst dan menara karst. Kubah karst merupakan

    bentukan yang menyerupai dome. Bentuk ini dipisahkan oleh cockpit yang

    satu sama lain berhubungan. Selain itu juga dipisahkan oleh dataran alluvial

    karst. Kubah karst memiliki ketinggian yang seragam. Sedangkan menara

    karst memiliki lereng yang curam sampai tegak atau vertikal yang terpisah

    satu sama lain dan sebarannya lebih jarang.

    Bentuk erosional (solusional form)

    Gambar di atas menunjukkan bagian dan penyusun topografi Bentuk lahan

    asal solusional, yang terdiri dari berbagai macam bentuk lahan

    Asal mula topografi bentuk lahan asal solusional adalah adanya

    pengendapan gamping didasar laut, kemudian terangkat di atas muka air laut

    dan selanjutnya oleh air hujan batu gamping tersebut terlarutkan menjadi

    bentuk-bentuk kubah, dan cekungan.

    Syarat-syarat perkembangan

    • Batuan mudah larut (CaCO3 dan CaMgCO3) 1 Batuan tersebut tebal

    • Banyak rekahan (diaklas)

    • Vegetasi rapat Daerah tropik basah

    Dimana terjadi proses pelarutan Kalsium Karbonat oleh air CaCO3 + H2O +

    CO2 Ca(HCO3)2

    Reaksi kimia dan keseimbangannya pada proses pelarutan batu gamping

    H2O + C02 H2CO3

    2H2C03 + CaCO3 Ca(HCO3)2 + H2

  • 11

    Bila batu gamping sudah terlarut biasanya akan menyisakan bagian-bagian

    yang tidak dapat larut dalam air, terbentuk persenyawaan karbonat. Sisa-sisa

    ini berkomposisi besi, berwarna merah atau merah coklat.

    Ada beberapa proses pembentukan rupa bumi bentuk lahan asal

    solusional, dan memiliki tahapan yang terjadi. Di kawasan bentuk lahan asal

    solusional yang udah dianggap lazim di dunia yaitu di sebelah timur laut

    Adriatic. Di kawasan ini batua-batunya mengalami patahan dan retakan yang

    hebat. Tahap pertama hanya terjadi aliran batu kapur. Walaupun begitu, aliran

    di permukaan tanah adalah hal yang sudah biasa. Kadang juga ditemukan

    lekukan-lekukan yang mempunyai sisi yang curam yang berasak dari proses

    gerak bumi. Dan di tengah-tengahnya ada retakan yang biasa disebut/?o//'e5.

    Bentuk-bentuk ini adalah bentukan kawasan bentuk lahan asal solusional yang

    sudah biasa ditemui di kawasan bentuk lahan asal solusional yang sudah

    mengalami perubahan seperti yang ada di Kentucky. Aliran dikawasan ini

    ditemukan bahwa mengikuti zona-zona patahn dan lipatan.

    Proses yang kedua adalah bentuk-bentuk dolin ataupun tekukan yang

    berbentuk corong, semakin bertambah banyak, sehingga hamper mencakup

    hamper seluruh dari kawasan tersebut. Bentuk-bentuk aliran di permukaan

    tanah mulai digantikan oleh aliran di bawah permukaan tanah. Beberapa dolin

    menjadi bertambah besar, yang dikarenakan oleh pengikisan-pengikisan

    bagian tepi dari dolin dan runtuhan dari goa-goa batu tadi. sehingga beberapa

  • 12

    dlon bertemu dan membentuk suatu lekukan yang panjang. Yang bebentuk

    seperti lorong panjang yang disebut uvalas.

    Pada proses berikutnya dimana keadaan rndah tinggi berada di banyak

    bagian dan permukaan tanah hlang. Dari dolin-dolin yang tererosi tadi

    tanahnya dialirkan ke daerah yang lebih rendah, sehingga lembah-lembah

    menjelma menjadi shale yang di bawahnya terdapat aliran yang tidak tetap.

    Aliran-aliran anak sungai yang tadinya mengalir jauh di afas permukaan tanah

    mulai mengalir kedalam tanah karena batu kapur yang tekikis oleh

    perkembangan foa dalam tanah. Permukan yang masih memiliki batu kapur

    permukaannya tidak merata yang membentuk puncak-puncak serta rangkaian

    lapies yang terjadi karena pelarutan yang terjadi di sepanjang retakan batu

    yang terjadi bertahun-tahu. Bentuk ini berbentuk seperti kulit kerang yang di

    dalamnya terdiri dari beberapa goa.

    Proses terakhir dimana sistem biasa anak-anak sungai dipermukaan bumi

    yang memenuhi permukaan tanah. Lapisan batuan itu yang menonjol di

    hamper semua daerah. Diatasnya terdapat bukit kecil (hums) yang letaknya

    tidak terlihat diantara bukit-bukit (hums) yang lain.

  • 13

    BAB III PEMBAHASAN

    3.1 Fisik dasar

    3.1.1 Topografi

    Kondisi topografi kawasan pariwisata Nusa Penida pada umumnya

    berbukit/bergelombang. Pada bagian tertentu terdapat tebing-tebing curam yang

    dibentuk oleh batuan karang. Pada lokasi lain terdapat daerah lembah yang relatif

    subur sekaligus berfungsi sebagai saluran drainase alam.

    Sedangkan lokasi-lokasi yang relatif datar dengan kemiringan berkisar 0-2

    % dan 2-8 % terdapat di Nusa Lembongan dan sebagian kecil di Nusa Penida,

    yaitu disekitar Pelabuhan Bunyuk-Mentigi, Pelabuhan Toyopakeh dan di daerah

    Pura Penataran Ped.

    Kondisi diatas memberi kesan eksotik dengan view dan panorama alam

    yang excellent, khususnya pada kawasan Puncak Bukit Mundi, perbukitan dan

    tebing di sekitar Pantai Atuh Pejukutan, Pasir Hug, Guyangan, Seganing, Salak,

    Tembeling, dan Pelilit serta di sekitar bukit di desa Sakti yang berhadapan dengan

    Ceningan. Kondisi ini sangat mendukung upaya pengembangan kawasan

    Pariwisata Nusa Penida.

    3.1.2 Kondisi Tanah

    Kawasan Nusa Penida yang berbukit telah membentuk kondisi tanah

    dengan tingkat kesuburan yang terbatas. Umumnya ketinggian tanah di Nusa

    Penida adalah 50-100 meter diatas permukaan laut. Daerah tinggi umumnya

    memiliki top soil yang tipis dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah.

    Kondisi ini menyebabkan masyarakat lokal bertani atau berkebun dengan

    menerapkan pola terasering. Daerah lembah memiliki top soil yang lebih tebal

    dengan tingkat kesuburan yang tinggi. Kondisi tanah diatas secara umum kurang

    mendukung upaya pengembangan kegiatan budidaya pertanian. Pengembangan

    lokasi penghijauan atau lansekap kawasan wisata cenderung memerlukan

    treatment khusus yang perlu dikaji secara cermat.

  • 14

    3.1.3 Hidrologi

    Kawasan Nusa Penida yang berbukit dan dibentuk batuan karang

    umumnya tidak memiliki potensi air tanah dan air permukaan/sungai. Masyarakat

    lokal saat ini memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih yang ditampung

    dalam lubang bawah tanah (cubang).

    Dari sisi lain, kawasan Nusa Penida memiliki beberapa sumber mata air

    yang sangat potensial, diantaranya, adalah Mata Air Penida (150 l/dt), Mata Air

    Seganing (200 l/dt), Mata Air Tembeling (175 l/dt), Mata Air Guyangan (225 l/dt)

    dan Mata Air Pelilit (150 l/dt).

    Sebagian sumber mata air telah terpasang pipa jaringan distribusi yang

    terbatas sehingga belum mampu berfungsi dan memberikan pelayanan yang

    optimal.

    Upaya pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber mata air

    diatas harus diprioritaskan agar dapat mendukung pelaksanaan pembangunan

    kawasan wisata Nusa Penida kedepan.

    3.1.4 Geologi

    Struktur geologi Nusa Penida, secara teknis memiliki pori-pori yang dapat

    menyerap air hujan dalam jumlah yang cukup besar. Air yang terserap tersebut

    kemudian mengalir : pada celah-celah yang terdapat dalam batuan. Aliran air

    selanjutnya muncul kembali di tebing-tebing Pulau Nusa Penida menjadi sumber

    mata air. Kondisi geologi diatas memiliki implikasi, sebagai berikut:

    • Kegiatan pembangunan fisik kawasan Nusa Penida kedepan diharapkan dapat

    mengamankan fungsi pori-pori batuan sebagai penangkap air.

    • Kawasan Nusa Penida tidak termasuk sebagai daerah rawan gempa dan

    longsor serta kondisi batuan eksisting nampaknya dapat mendukung dan atau

    memperkuat konstruksi bangunan gedung bertingkat walaupun membutuhkan

    biaya pelaksanaan pembangunan fisik yang lebih besar.

  • 15

    3.1.5 Klimatologi

    Kawasan Nusa Penida memiliki iklim tropis dengan curah hujan

    diperkirakan mencapai 1 376 mm/tahun. Jumlah hari hujan rata-rata 55 han'/tahun.

    Musim hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Oktober-Februari dan musim

    kemarau umumnya berlangsung pada bulan Maret-Agustus.

    Kondisi iklim diatas memiliki korelasi yang kuat terhadap besarnya arus

    dan gelombang laut di perairan Nusa Penida. Kondisi arus dan gelombang laut

    akan mempengaruhi kunjungan dan pola perjalanan wisatawan ke Nusa Penida.

    3.1.6 Vegetasi

    Jenis vegetasi khas Nusa Penida yang telah teridentifikasi, antara lain :

    Pandan Bali, Bakau (Mangrove), jati, kapuk, jambu mete, manga dan tanaman

    buah lainnya. Jenis vegetasi tersebut : diharapkan dapat mendukung upaya

    pengembangan ruang penghijauan (lansekap) dan ruang konservasi kawasan

    wisata Nusa Penida.

    Pulau Nusa Penida merupakan sebuah pulau bagian dari pulau Bali bagian

    utaranya oleh sebuah isthmus yang diperkirakan terjadi karena adanya sesar

    melintang ke arah timur-barat sehingga memisahkan pulau Bali dengan Pulau

    Nusa Penida. Sebagian besar lapisan tanah di kawasan Nusa Penida merupakan

    tanah kapur (limestone). Berdasarkan data pengeboran yang dilakukan di

    Kawasan Bukit (JICA, 2005), lapisan kapur masih dijumpai pada kedalaman 250

    meter, tetapi belum diketahui batas bawahnya. Batu kapur tersebut mengandung

    clay dengan kadar yang bervariasi, sangat permeabel, anisotropik. Pada gambar

    peta geologi pulau Bali, terlihat bahwa di bagian Pulau Nusa Penida ditempat

    lokasi kegiatan akan dibangun sebagian besar merupakan limestone.

    Permukaan batuan kapur (karstic surface) telah mengalami pelapukan. Hal

    ini menyebabkan terjadinya terra-rossa yang sangat subur untuk tanaman pada

    ketebalan 2,0-6,0 meter. Pada bagian yang tinggi, lapisan terra-rossa ini banyak

    yang terkelupas dan diendapkan kembali pada bagian yang lebih rendah, sehingga

    kedalaman terra-rossa dapat mencapai 3-5 meter lebih. Lapisan ini berwarna

    merah kekuningan, bercampur dengan butir-butir kapur sebagai lapisan penyela.

  • 16

    Secara geologis terbagi menjadi dua bagian, yakni di daerah yang

    berdekatan dengan pantai dan lahan tegalan. Batuan kapur yang terkandung

    meliputi batu kapur kristalin dengan kadar clay sangat rendah, kecuali pada

    lapisan terra rossa atas; sebagian areal merupakan batu kapur yang tebal dan

    merupakan akifer yang paling produktif dan di bawahnya terdapat lapisan kapur

    dengan kadar clay yang sangat tinggi sebagai lapisan kedap air (semi permeable).

    Keberadaan batu gamping di sini berbeda dengan batu gamping di

    kawasan kelas 1, dikawasan kelas 2 batu gampingnya relatif lebih tipis karena

    berada di daerah tinggian sehingga proses pelarutan pada daerah lembah tidak

    seintensif pada kawasan kelas 1. 3. Kawasan bentuk lahan asal solusional kelas 3

    Kawasan ini tidak memiliki kriteria seperti diatas, kawasan ini terletak di

    daerah Wonosari yang dicirikan olah adanya bukit-bukit yang bentuknya

    melengkung. Bentuk bukit yang demikian disebabkan karena daerah ini terdiri

    dari perselingan batu gamping berlapis, batupasir gampingan dan napal. Yang

    mempunyai tingkat pelarutan yang berbeda.

    Ada beberapa factor yang mempengaruhi topografi bentuk lahan asal

    solusional sehingga kawasan bentuk lahan asal solusional yang satu dengan yang

    lainnya bisa berbeda. Adapun perbedaan tersebut ditimbulkan oleh :

    1. Perbedaan litologi atau susunan Batu Gamping. Ada yang tersusun 100 % dari

    mineral Kalsit (CaCO3), adapula yang tercampur dengan mineral lain seperti

    Dolomit (CaMGCO3), Gypsum (CaSO4.2H2O), Mangan, Aluminium atau

    kwarsa dll.

    2. Perbedaan Ketebalan lapisan Batu Gamping.

    3. Perbedaan Compactness (Kemampatan).

    4. Perbedaan system celah rekah yang ada sejak terbentuknya lapisan Batu

    Gamping.

    5. Pengaruh Intensitas curah hujan daerah sekitar.

    6. Pengaruh Jenis Vegetasi yang berbeda.

    7. Pengaruh Manusia yang membongkar Batu Gamping atau menanaminya

    setelah membabat habis Vegetasi Primer.

    8. Pengaruh titik elevasi kawasan atau ketinggian dari permukaan air laut.

    9. Pengaruh ketebalan lapisan tanah penutup (Top Soil) pada kawasan tersebut.

    10. Pengaruh Tektonisme terhadap bentuk fisik dan system celah rekah.

  • 17

    3.1.7 Penggunaan lahan

    Bentuk-bentuk penggunaan lahan di Indonesia dari tempat satu ke tempat

    lain beragam bentuknya, tergantung kondisi fisik/lingkungan setempat. Bentuk-

    bentuk tersebut dapat didasarkan dari sistem klasifikasi penggunaan lahan yang

    paling berpengaruh dalam pembuatan peta penggunaan lahan di Indonesia (dalam

    Purwadhi dan Sanjoto, 2008 :125-127), yakni:

    a) Klasifikasi penggunaan lahan menurut Darmoyuwono, 1964 menekankan

    pada aspek penggunaan lahan berpedoman pada Commision on World Land

    Use Survey. Klasifikasinya memiliki hirarki atau penjenjangan yang mantap.

    Tetapi klasifikasi menurut Darmoyuwono ini kurang digunakan di Indonesia

    karena kurang disosialisasikan.

    b) Klasifikasi penggunaan lahan menurut I Made Sandy, 1977 mendasarkan pada

    bentuk penggunaan lahan dan skala peta, membedakan daerah desa dan kota.

    Klasifikasi ini digunakan secara formal di Indonesia oleh Badan Pertanahan

    Nasional (BPN).

    Kawasan ini mempunyai kritreria sebagai pengimbuh air bawah tanah,

    mempunyai jaringan gua-gua yang tidak aktif. Kawasan ini terdapat di daerah

    Purwosari dan Girisobo dari citra bahwa pola kelurusan lembah pendek dan

    sempit yang menidentifikasikan bahwa daerah ini bukan merupakan daerah

    penyimpan air. Keberadaan batu gamping di sini berbeda dengan batu gamping di

    kawasan kelas 1, dikawasan kelas 2 batu gampingnya relatif lebih tipis karena

    berada di daerah tinggian, sehingga proses pelarutan pada daerah lembah tidak

    seintensif pada kawasan kelas 1. 3. Kawasan bentuk lahan asal solusional kelas 3

    Kawasan ini tidak memiliki kriteria seperti diatas, kawasan ini terletak di

    daerah Wonosari yang dicirikan olah adanya bukit-bukit yang bentuknya

    melengkung. Bentuk bukit yang demikian disebabkan karena daerah ini terdiri

    dari perselingan batu gamping berlapis, batupasir gampingan dan napal. Yang

    mempunyai tingkat pelarutan yang berbeda.

    Jenis tanah Mollisols tergolong tanah-tanah yang mempunyai

    perkembangan profil dengan susunan horison ABC dengan lapisan atas horison

    mollic, memperlihatkan struktur cukup kuat. Tanah berkembang dari bahan induk

  • 18

    batuan sedimen (batu gamping), menempati landform perbukitan Bentuk lahan

    asal solusional volkan dengan penyebarannya sempit. Penampang tanah cukup

    dalam, warna coklat kemerahan, tekstur agak halus sampai agak kasar, struktur

    cukup kuat gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh dan reaksi tanah

    netral (kejenuhan basa tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk tegalan/

    kebun, buah-buahan, kebun campuran, dan belukar hutan. Dan Mediteran merah-

    Kuning Tanah mempunyai perkembangan profil, solum sedang hingga dangkal,

    warna coklat hingga merah, mempunyai horizon B argilik, tekstur geluh hingga

    lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila basah, pH

    netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya absorpsi sedang,

    permeabilitas sedang dan peka erosi, berasal dari batuan kapur keras (limestone)

    dan tuf vulkanis bersifat basa. Penyebaran di daerah beriklim sub humid, bulan

    kering nyata. Curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun, di daerah pegunungan

    lipatan, topografi Bentuk lahan asal solusional dan lereng vulkan ketinggian di

    bawah 400 m. Khusus tanah mediteran merah - kuning di daerah topografi Bentuk

    lahan asal solusional disebut terra rossa.

    3.1.8 Kendala

    Bentuk lahan asal solusional Kerusakan Lahan Bentuk lahan asal

    solusional Karena sifatnya, daerah bentuk lahan asal solusional dapat disebut

    merupakan daerah yang sangat rentan, atau peka terhadap pencemaran. Hal ini

    disebabkan banyaknya rekahan (joint) pada batuan gamping penyusun topografi

    bentuk lahan asal solusional sehingga pori-pori yang besar, permeabilitas

    sekunder yang tinggi, derajat pelaratan batuan yang tinggi, menyebabkan

    terjadinya lorong-lorong conduit yang merupakan sungai bawah tanah, sehingga

    masukan sekecil apapun akan diterima dan terperkolasi melaui pori-pori dan

    memasuki lorong-lorong sungai bawah tanah dan tersebar dengan mudah.

    Kawasan bentuk lahan asal solusional dapat dilihat sebagai suatu ekosistem, yang

    didalamnya terdapat hubungan interaksi dan interdependensi antar lingkungan

    fisik, non fisik, hayati dan non hayati, serta biogeokimia baik itu pada eksobentuk

    lahan asal solusional, maupun endo bentuk lahan asal solusional yang seriantiasa

    berhubungan. Hal ini menunjukkan bahwa sangat mudahnya lingkungan bentuk

  • 19

    lahan asal solusional itu rusak, bila salah satu komponen penyusunnya rusak atau

    tercemar. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa lingkungan bentuk lahan

    asal solusional mempunyai daya dukung yang sangat rendah. Karena sifatnya itu,

    daerah bentuk lahan asal solusional Nusa Penida memiliki kerentanan yang sangat

    tinggi. Benturan kepentingan untuk melakukan konservasi serta tekanan penduduk

    untuk memanfaatkan sumberdaya alam bentuk lahan asal solusional pada akhirnya

    menimbulkan beberapa permasalahan degradasi lahan bentuk lahan asal

    solusional yang terinventarisasi sebagai berikut:

    1. Kegiatan Penambangan

    Kegiatan penambangan di kawasan bentuk lahan asal solusional sudah

    dapat dikatakan sangat intensif. Penambangan pada kawasan bentuk lahan asal

    solusional sudah menjadi kegiatan industri, baik itu yang berskala kecil,

    sedang, dan besar seperti pabrik semen. Umumnya, kegiatan penambangan

    adalah penambangan terhadap batu gamping yang mengikis kubah-kubah

    bentuk lahan asal solusional. Efek yang terjadi sebagai akibat kegiatan

    penambangan diantaranya adalah Penunman indeks keanekaragaman hayati,

    Erosi dan sedimentasi, Penurunan tingkat kesuburan tanah, Perubahan bentang

    alam/ lahan, dan Pencemaran badan udara dan perairan

    2. Penebangan vegetasi

    Kegiatan penebangan di bentuk lahan asal solusional Nusa penida sudah

    terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Hasilnya dapat dilihat bahwa sekarang

    sebagian besar wilayah ini merupakan lahan kritis dan gundul. Beberapa hal

    yang diakibatkan oleh penebangan vegetasi adalah :Penurunan penguapan

    (evapotranspirasi), Peningkatan kadar C02 dalam tanah, Peningkatan

    permeabilitas tanah permukaan (topsoil), dan menurunnya permeabilitas

    subsoil. Beberapa akibat ini dapat menyebabkan akibat yang lebih destruktif

    lagi, yaitu tingkat erosi permukaan yang sangat tinggi, yang pada akhirnya

    hilangnya lapisan tanah. Pembusukan akar-akar pohon yang terjadi telah

    mengakibatkan berkurangnya fungsi tanah sebagai pengikat untuk menjaga

    kestabilan lereng.

  • 20

    3. Peternakan.

    4. Pembangunan jalan raya.

    Pembangunan jalan raya banyak menggunakan semen yang juga berbahan

    dari gamping sedangkan pengambilan gamping tesebut banyak mengambil

    dari kawasan bentuk lahan asal solusional secara ilegal, dan pengambilannya

    tanpa memperhitungkan dampaknya sehingga merugikan dan merusak

    kawasan bentuk lahan asal solusional itu sendiri.

    5. Aktivitas domestik lain.

    Beberapa hal diatas sebagian sudah merusak ekosistem bentuk lahan asal

    solusional yang ada. Degradasi yang ada akan menurunkan tingkat

    sumberdaya, baik sumberdaya air maupun sumberdaya lahannya. Berdasarkan

    masalah yang ada, perlu adanya inventarisasi masalah, inventarisasi

    sumberdaya lahan, sumberdaya air, untuk kemudian dikelompokkan sesuai

    dengan tingkat dan intensitasnya.

    3.1.9 Pengelolaan bentuk lahan asal solusional

    Pengembangan potensi kawasan bentuk lahan asal solusional di Indonesia

    saat ini masih belum mendapat perhatian memadai, baik dari pemerintah maupun

    masyarakat, hal ini sangat berbeda sekali dengan kondisi di negara maju, dimana

    pemerintah dan masyarakatnya sangat menghargai keberadaan kawasan bentuk

    lahan asal solusional. Mereka sadar bahwa kawasan bentuk lahan asal solusional

    memiliki nilai strategis sehingga perlakukannya sangatlah cermat, mulai dari

    identifikasi aneka nilai yang terkandung di dalamnya, hingga pada konsep dan

    implementasi eksplorasi, eksploitasi maupun konservasi kawasan bentuk lahan

    asal solusional. Secara umum maksud pengembangan potensi kawasan bentuk

    lahan asal solusional adalah untuk memanfaatkan sebaik-baiknya dan sebenar-

    benarnya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan

    bentuk lahan asal solusional untuk kepentingan masyarakat. Biasanya Pemerintah

    Daerah seringkali tergoda dalam mengelola kawasan bentuk lahan asal solusional

    lebih diarahkan kepada kegaiatan ekonomi yang bersifat industrialisasi seperti

    bahan baku semen dan sejenisnya. Kegiatan tersebut lebih menguntungkan pada

    peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah sesaat dan isu penyediaan lapangan

  • 21

    kerja, tetapi disisi lain kegiatan tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan,

    kemiskinan, dan penyakit.

    Untuk menyikapi permasalahan tersebut perlu dilakukannya pengembangan

    wilayah pada kawasan bentuk lahan asal solusional. Pengembangan wilayah pada

    dasarnya adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah administratif atau

    kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan

    peluang-peluang dan sumber daya alam yang ada secara optimal, efisien, sinergi,

    dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi,

    penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan, dan penyediaan sarana dan

    prasarana.

    Dengan demikian pemanfaatan kawasan bentuk lahan asal solusional wajib

    direncanakan sebaik-baiknya terlebih dahulu. Seluruh kegiatan wajib

    dilaksanakan melalui proses dan prosedur sesuai dengan peraturan yang ada.

    Pemanfaatan kawasan bentuk lahan asal solusional itu sendiri merupakan

    rangkaian

    kegiatan pelaksanaan pembangunan guna memanfaatkan bentuk lahan asal

    solusional menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana rencana tata

    ruang Pemerintah Daerah. Di sisi lain. Di samping perencanaan juga perlu

    dilakukan pengendalian pemanfaatan kawasan yang meliputi perizinan,

    pengawasan, dan penertiban pemanfatan kawasan bentuk lahan asal solusional.

    Dengan telah ditetapkannya tata ruang suatu daerah tentunya akan sangat

    membantu penyusunan kebijakan perencanaan pengembangan wilayah. Dimana

    semua aktivitas kegiatan ekonomi pada suatu daerah akan bertumpu pada

    pemanfaatan sumber daya alam yang ada sehingga sebelumnya perlu

    direncanakan konsep efisiensi sinergitas kegiatan untuk terciptanya keberlanjutan

    dan penyediaan sarana dan prasarana yang dibangun akan lebih terarah pada

    kegiatan yang direkomendasikan dalam penetapan tata ruang.Selain

    pengembangan wilayah pada kawasan bentuk lahan asal solusional perlu Juga

    dilakukan inventarisasi dan evaluasi lingkungan kawasan bentuk lahan asal

    solusional. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan informasi data fisik potensi

    sumber daya yang terkandung dalam suatu kawasan bentuk lahan asal solusional

  • 22

    yakni melalui kajian data primer dan data sekunder. Kemudian tahapan kegiatan

    yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi dalam jangka waktu tertentu

    terhadap berbagai aspek karakteristik lingkungan fisik lahan agar penggunaan

    potensi lahan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Hal ini berkaitan erat

    dengan sangat rentannya lingkungan bentuk lahan asal solusional terhadap segala

    jenis perubahan karena kawasan tersebut mempunyai daya dukung lingkungan

    yang sangat kecil. Berdasarkan identifikasi dan kajian tersebut diharapkan lebih

    mudah dalam mengembangkan potensi kawasan bentuk lahan asal solusional atau

    menghentikan operasional perusahaan besar ataupun kecil yang memanfaatkan

    kawasan bentuk lahan asal solusional. Dan hal yang terakhir yang sangat penting

    dilakukan adalah peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam mengelola

    sumber daya alam kawasan bentuk lahan asal solusional, mulai dari proses

    perencanaan seperti penetapan skala prioritas sampai kepada tahap implementasi

    program, sehingga dalam pengelolaan pengembangan kawasan bentuk lahan asal

    solusional nantinya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Hal ini

    diperlukan juga agar nantinya masyarakat ikut serta memelihara sumber daya

    yang ada, kegiatan yang satu tidak mematikan kegiatan lainnya, dan kemampuan

    daya dukung sumber daya yang ada dapat menjadi acuan semua pihak dalam

    penyusunan perencanaan dan pengembangan kawasan bentuk lahan asal

    solusional.

  • 23

    BAB. III PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    a. Bentuk lahan solusioal adalah bentuk lahan yang terbentuk akibat proses

    pelarutan batuan yang terjadi pada daerah berbatuan karbonat. Tetapi

    sebagian besar bentuk lahan asal solusional berkembang di batu

    gamping.

    b. Asal mula topografi bentuk lahan asal solusional adalah adanya

    pengendapan gamping didasar laut, kemudian terangkat di atas muka air

    laut dan selanjutnya oleh ak hujan batu gamping tersebut terlarutkan

    menjadi bentuk-bentuk kubah, dan cekungan

    c. bentuk lahan asal solusional dapat disebut merupakan daerah yang

    sangat rentan, atau peka terhadap pencemaran. disebabkan banyaknya

    rekahan Goint) pada batuan gamping penyusun topografi bentuk lahan

    asal solusional sehingga pori-pori yang besar, permeabilitas sekunder

    yang tinggi, derajat pelarutan batuan yang tiriggi, menyebabkan

    terjadinya lorong-lorong conduit yang merupakan sungai bawah tanah,

    sehingga masukan sekecil apapun akan diterima dan terperkolasi melaui

    pori-pori dan memasuki lorong-lorong sungai bawah tanah dan tersebar

    dengan mudah.

    d. Untuk menyikapi permasalahan tersebut perlu dilakukannya

    pengembangan wilayah pada kawasan bentuk lahan asal solusional.

    Pengembangan wilayah pada dasarnya adalah upaya pembangunan

    dalam suatu wilayah administratif atau kawasan tertentu agar tercapai

    kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan peluang-peluang dan

    sumber daya alam yang ada secara optimal, efisien, sinergi, dan

    berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi,

    penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan, dan penyediaan

    sarana dan prasarana.

  • DAFTAR PUSTAKA

    http://donyasigupai.wordpress.com/2012/03/31/kawasan-bentuk lahan asal solusional-

    dan-manfaat-secara-ekologi-dan-ekonomi/

    http://derizkadewantoro.wordpress.com/2010/07/28/geomorfologi-solusional-bentuk

    lahan asal solusional/ http://geochimpunk.blogspot.com/2012/04/geomorfologi-

    daerah-bentuk lahan asal solusional-solusional.bantul

    http://geochimpunk.blogspot.com/2012/04/geomorfologi-daerah-bentuklahan%20asal%20solusional-solusional.bantulhttp://geochimpunk.blogspot.com/2012/04/geomorfologi-daerah-bentuklahan%20asal%20solusional-solusional.bantul

  • LAMPIRAN

  • Gambar 3.1 Peta Kontur

    more