Perdarahan Pasca Salin-Nurse May 2011.pdf

24
Tatalaksana Pre Hospital Perdarahan Pasca Salin Oleh : Muhammad Ardian, dr, SpOG Disampaikan pada seminar : Recent Management and Technique – Emergency case pre hospital care 4 Juli 2011 Latar belakang Setiap harinya 1500 wanita meninggal oleh karena kehamilan. Pada tahun 2005 diperkirakan 536 000 ibu meninggal seluruh dunia. Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang, dan umumnya kematian tersebut bisa dihindari. (WHO, UNICEF, UNFPA, world bank, 2007) Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), AKI menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun lagi menjadi 373 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada tahun 2002-2003 AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh dari hasil SDKI. Hal ini menunjukkan AKI cenderung terus menurun. Tetapi bila dibandingkan dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut di masa mendatang sulit tercapai.(Depkes RI, 2007; Saifudin AB, 2005). Angka kematian ibu di Inonesia tergolong masih tinggi, AKI Indonesia 65 kali angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali angka kematian ibu di Malaysia dan 2,5 kali angka kematian ibu di Philipina Seperti yang telah banyak diketahui bahwa perdarahan, eklamsia, komplikasi abortus, infeksi dan persalinan lama masih menjadi kontributor utama penyebab kematian ibu (WHO, UNICEF, UNFPA, world bank, 2007).Dan lebih dari 125.000 kematian maternal (25 – 33 %) disebabkan karena perdarahan pasca persalinan (Yasmin, 2003; Hamami, 2005; Miller, 2004; Khadem, 2007).

Transcript of Perdarahan Pasca Salin-Nurse May 2011.pdf

  • Tatalaksana Pre Hospital Perdarahan Pasca Salin Oleh : Muhammad Ardian, dr, SpOG Disampaikan pada seminar : Recent Management and Technique Emergency case pre hospital care 4 Juli 2011 Latar belakang Setiap harinya 1500 wanita meninggal oleh karena kehamilan. Pada tahun

    2005 diperkirakan 536 000 ibu meninggal seluruh dunia. Sebagian besar

    kematian tersebut terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang, dan

    umumnya kematian tersebut bisa dihindari. (WHO, UNICEF, UNFPA, world

    bank, 2007)

    Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), AKI menurun dari 450

    per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000

    kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun lagi menjadi 373 per

    100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada tahun 2002-2003 AKI

    sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh dari hasil SDKI. Hal ini

    menunjukkan AKI cenderung terus menurun. Tetapi bila dibandingkan dengan

    target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125

    per 100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti

    tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut di masa mendatang

    sulit tercapai.(Depkes RI, 2007; Saifudin AB, 2005).

    Angka kematian ibu di Inonesia tergolong masih tinggi, AKI Indonesia 65 kali

    angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali angka kematian ibu di Malaysia dan

    2,5 kali angka kematian ibu di Philipina

    Seperti yang telah banyak diketahui bahwa perdarahan, eklamsia, komplikasi

    abortus, infeksi dan persalinan lama masih menjadi kontributor utama

    penyebab kematian ibu (WHO, UNICEF, UNFPA, world bank, 2007).Dan

    lebih dari 125.000 kematian maternal (25 33 %) disebabkan karena

    perdarahan pasca persalinan (Yasmin, 2003; Hamami, 2005; Miller, 2004;

    Khadem, 2007).

  • Definisi HPP Perdarahan pasca salin secara klinik didefinisikan sebagai perdarahan masif

    pasca salin sehingga timbul gejala-gejala seperti pusing, lemah, palpitasi,

    gelisah, keringat dingin, bingung, sesak sampai dengan pingsan dan / atau

    didapatkan tanda-tanda hipovolemia seperti hipotensi, takikardi, oligouri dan

    saturasi < 95 %. Perdarahan dapat berasal dari vagina tetapi juga dapat

    berasal dari abdomen setelah persalinan sesar atau hematoma pada ligamen

    latum. Diagnosis yang akurat dari perdarahan pasca salin sangat penting

    untuk memulai suatu intervensi (misal : obat uterotonika, pembedahan, kasus

    rujukan) dan berpengaruh terhadap outcome / hasil pengobatan. (Yiadom,

    2010; Jacob, 2010).

    Definisi yang paling umum (WHO) adalah perdarahan lebih dari 500 ml pasca

    salin pervaginam atau perdarahan lebih dari 1000 ml pasca salin sesar. Hal

    ini kadang membuat klinisi menjadi under estimate atau over estimate tentang

    perdarahan yang terjadi. ( Yiadom, 2010; Jacob, 2010)

    Berdasarkan waktu kejadian, perdarahan pasca salin dibagi menjadi dua :

    (Jacob, 2010)

    - Perdarahan pasca salin primer (early hemorrhage post partum)

    yaitu perdarahan terjadi dalam waktu 24 jam setelah persalinan.

    - Perdarahan pasca salin sekunder (late hemorrhage post partum)

    yaitu perdarahan terjadi setelah 24 jam sampai dengan 12

    minggu setelah persalinan.

    Insiden Angka kejadian perdarahan pasca salin bervariasi, yaitu sekitar 1 5 % dari

    persalinan. Dari data di Amerika Serikat tahun 1994 2006 berkisar antara

    2,3 2,6 %, dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Atonia uteri

    menjadi penyebab yang terbanyak dengan insiden 1,6 2,4 % dari total

    persalinan. (Jacob, 2010)

    Etiologi

  • Fisiologi Perdarahan yang terjadi setelah persalinan dikendalikan oleh :

    (Jacob, 2010)

    1. Kontraksi miometrium sehingga terjadi konstriksi dari pembuluh

    darah yang mensuplai plasenta bed. Kontraksi miometrium yang

    kurang baik bermanifestasi pada atonia uteri.

    2. Faktor lokal hemostasis desidua meliputi faktor jaringan dan tipe 1

    plasminogen activator inhibitor. Gangguan hemostasis desidua

    berhubungan dengan desidualisasi yang inadekuat (misal :

    plasenta akreta).

    3. Faktor koagulasi sistemik meliputi trombosit dan faktor pembekuan

    darah. Gangguan faktor koagulasi menyebabkan terjadinya rentan

    perdarahan.

    Etiologi dan faktor resiko perdarahan pasca salin adalah sebagai berikut : (

    Yiadom, 2010; Jacob, 2010).

    1. Atonia uteri (tone)

    Ketiadaan kontraksi miometrium yang efektif pasca salin. Atonia

    uteri merupakan penyebab utama perdarahan pasca salin yang

    paling sering dengan kejadian paling sedikit 80 % dari seluruh

    kasus perdarahan pasca salin. Atonia uteri berhubungan dengan :

    Distensi yang berlebihan (kehamilan ganda,

    polihidramnion, makrosomia)

    Infeksi rahim

    Obat relaksan rahim

    Uterine fatigue setelah persalinan yang lama atau induksi

    persalinan

    Sisa plasenta

    2. Trauma

    Perdarahan pada trauma berasal dari laserasi (perineum,

    vagina, cerviks, rahim), insisi (histerotomi, episiotomi) atau

    ruptur uterus. Faktor resiko trauma adalah bayi besar,

    episiotomi, persalinan pervaginam tindakan operatif dan VBAC

    (vaginal delivery after C section).

    3. Gangguan pembekuan darah (thrombosis)

  • Rentan perdarahan kongenital maupun yang didapat

    berhubungan dengan trombositopenia atau kelainan

    hemostasis. pada kasus rentan perdarahan yang didapat

    disebabkan oleh preeklampsi berat, sindroma HELLP, solusio

    plasenta, kematian janin, emboli air ketuban dan sepsis.

    Koagulopati konsumtif (DIC) dapat menyebabkan perdarahan

    yang hebat.

    4. Jaringan plasenta (tissue)

    Perdarahan yang terjadi dapat disebabkan oleh sisa plasenta

    atau plasenta akreta. Faktor resiko sisa plasenta adalah bekas

    persalinan sesar, persalinan prematur, plasenta yang

    multilobus, plasenta akreta dan kala III yang memanjang.

    5. Inversi uterus (traction)

    Komplikasi Perdarahan pasca salin merupakan penyebab utama morbiditas maternal

    yang sering menimbulkan gejala sisa yang menetap, meliputi shock, gagal

    ginjal akut dan sindroma akut gagal napas. Sindroma Sheehans (post partum

    hypopituitarism) jarang terjadi, tetapi potensial menyebabkan kematian.

    Kelenjar pituitari membesar selama kehamilan dan mudah terjadi infark

    karena hipovolemi shock. Kerusakan kelenjar pituitary dapat ringan sampai

    berat dan berpengaruh terhadap sekresi hormon. Hal yang paling sering

    terjadi adalah air susu ibu tidak berproduksi dan amenore atau oligomenore,

    tetapi manifestasi hypopituitarism yang lain seperti hipotensi, hiponatremi,

    hipotiroid juga dapat terjadi dengan segera atau sampai dengan satu tahun

    pasca salin. Jika penderita tetap hipotensi setelah perdarahan diatasi dan

    penggantian cairan yang adekuat maka penderita tersebut harus dievaluasi

    dan mendapat terapi untuk insufisiensi adrenal, evaluasi hormonal dilakukan

    sampai dengan 4 atau 6 minggu pasca salin. (Yiadom, 2010; Jacob, 2010).

    Komplikasi yang juga jarang tetapi dapat menyebabkan kematian adalah

    abdominal compartment syndrome yaitu disfungsi organ karena tekanan intra

    abdomen yang tinggi. Diagnosis ini dapat dipertimbangkan pada penderita

  • dengan perut yang distended dan oligouri progresif yang selanjutnya akan

    terjadi kegagalan multi organ. (Jacob, 2010)

    Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan resusitasi cairan seperti

    kelebihan cairan (overload) sampai edema paru dan koagulopati dilusi.

    Tindakan transfusi juga mempunyai resiko seperti reaksi alergi, reaksi

    demam, reaksi anafilaktik, reaksi akut imun hemolisis, infeksi (hepatitis B dan

    HIV) dan reaksi metabolik (hipotermi, hiperkalemi, hipokalsemi dan keracunan

    sitrat). Komplikasi yang berhubungan dengan prosedur pembedahan seperti

    komplikasi saat pembiusan, perdarahan, infeksi, deep venous thrombosis dan

    emboli. (Yiadom, 2010; Jacob, 2010)

    Tatalaksana

    Tatalaksana pada perdarahan pasca salin berbeda-beda sesuai dengan

    penyebab dan jenis persalinan (pervaginam atau perabdominam). Tindakan

    tersebut sudah harus mulai dilakukan bahkan saat di rumah atau di

    Puskesmas (prehospital care). Terapi perdarahan pasca salin terdiri dari 2

    komponen yaitu : (Smith, 2010, Yiadom, 2010) 1. Resusitasi penanganan perdarahan hipovolemik shock

    2. Identifikasi dan tatalaksana penyebab perdarahan

    Prehospital Care (Yiadom, 2010) Intervensi dilakukan sesuai dengan skala prioritas, airway, breathing dan

    circulation yang ditujukan untuk life support.

    1. Survei primer dilakukan dengan melihat tanda vital dan

    pemeriksaan fisik yang difokuskan pada airway, breathing

    (pemberian oksigen) dan circulation (detak jantung, tekanan

    darah dan pemeriksaan asal perdarahan).

    2. Setelah survey primer selesai segera dilakukan, massase

    uterus jika atonia uteri, resusitasi cairan, tampon kasa steril jika

    terdapat laserasi perineum.

    3. Segera rujuk setelah keadaan umum penderita stabil.

    Penatalaksanaan khusus Atonia Uteri

  • Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi lunak dan pembuluh

    darah pada daerah bekas perlekatan plasenta terbuka lebar. Atonia merupakan penyebab

    tersering perdarahan postpartum; sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan

    postpartum disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan postpartum

    disebabkan atonia uteri, harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang

    berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup:

    1. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal seperti pada:

    Polihidramnion

    Kehamilan kembar

    Makrosomi

    2. Persalinan lama

    3. Persalinan terlalu cepat

    4. Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin

    5. Infeksi intrapartum

    6. Paritas tinggi

    Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko ini, maka penting

    bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atoni uteri

    postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada ibu tanpa

    faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan

    diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama

    proses persalinan.

    Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan kala

    tiga secara aktif, yaitu:

    1. Menyuntikan Oksitosin

    - Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.

    - Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3

    atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa ujung

    jarum tidak mengenai pembuluh darah.

    2. Peregangan Tali Pusat Terkendali

    - Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau

    menggulung tali pusat

    - Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus, sementara

    tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan

    jarak 5-10 cm dari vulva

    - Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara

    tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial

  • 3. Mengeluarkan plasenta

    - Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah panjang

    dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara

    tangan kanan menarik tali pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai dengan

    kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva.

    - Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali

    klem hingga berjarak 5-10 dari vulva.

    - Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit

    - Suntikan ulang 10 IU Oksitosin i.m

    - Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh

    - Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual

    4. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila

    terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk

    mencegah robeknya selaput ketuban.

    5. Masase Uterus

    - Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan

    menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri

    hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)

    6. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan

    - Kelengkapan plasenta dan ketuban

    - Kontraksi uterus

    - Perlukaan jalan lahir

  • Pengelolaan Atonia Uteri

    - ajarkan keluarga melakukan Kompresi Bimanual Eksterna (KBE) - keluarkan tangan (KBI) secara hati-hati - suntikan Methyl ergometrin 0,2 mg i.m - pasang infus RL + 20 IU Oksitosin, guyur - lakukan lagi KBI

    - Rujuk siapkan laparotomi - Lanjutkan pemberian infus + 20 IU Oksitosin minimal 500 cc/jam hingga mencapai tempat rujukan - Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau kompresi bimanual eksternal

    Masase fundus uteri Segera sesudah plasenta lahir

    (maksimal 15 detik)

    Uterus kontaksi ? Evaluasi rutin

    - Evaluasi/ bersihkan bekuan darah/ selaput ketuban - Kompresi Bimanual Interna (KBI) maks. 5 menit

    Uterus kontraksi ? - pertahankan KBI selama 1-2

    menit - keluarkan tangan secara hati-

    hati - lakukan pengawasan kala IV

    Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV

    Ligasi arteri uterina dan/ atau hipogastrika B-Lynch method

    Perdarahan Pertahankan uterus

    Histerektomi

    berhenti

    tetap

    tidak

    tidak

    tidak

    ya

    ya

    ya

  • Tabel . Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pascapersalinan No. Langkah Keterangan

    1. Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan

    Masase merangsang kontraksi uterus. Sambil melakukan masase sekaligus dapat dilaku-kan penilaian kontraksi uterus

    2. Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah.

    Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara baik

    3. Mulai lakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi bimanual interna hingga 5 menit

    Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak berhasil setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain

    4. Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna

    Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual secara eksternal selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.

    5. Berikan Metil ergometrin 0,2 mg intramuskular/ intra vena

    Metil ergometrin yang diberikan secara intramuskular akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi uterus

    Pemberian intravena bila sudah terpasang infus sebelumnya

    6. Berikan infus cairan larutan Ringer laktat dan Oksitosin 20 IU/500 cc

    Anda telah memberikan Oksitosin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan Metil ergometrin intramuskuler. Oksitosin intravena akan bekerja segera untuk menyebabkan uterus berkontraksi.

    Ringer Laktat akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum dan memerlukan penggantian darah yang hilang secara cepat.

    7. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau Pasang tampon uterovagina

    Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius lainnya.

    Tampon uterovagina dapat dilakukan apabila penolong telah terlatih.

    Rujuk segera ke rumah sakit 8. Buat persiapan untuk merujuk segera

    Atoni bukan merupakan hal yang sederhana dan memerlukan perawatan gawat darurat di fasilitas dimana dapat dilaksanakan bedah dan pemberian tranfusi darah

    9. Teruskan cairan intravena hingga ibu mencapai tempat rujukan

    Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam waktu 10 menit. Kemudian ibu memerlukan cairan tambahan, setidak-tidaknya 500 cc/jam pada jam pertama, dan 500 cc/4 jam pada jam-jam berikutnya. Jika anda tidak mempunyai cukup persediaan cairan intravena, berikan cairan 500 cc yang ketiga tersebut secara perlahan, hingga cukup untuk sampai di tempat rujukan. Berikan ibu minum untuk tambahan rehidrasi.

    10. Lakukan laparotomi :

    Pertimbangkan antara tindakan mempertahankan uterus dengan ligasi arteri uterina/ hipogastrika atau histerektomi.

    Pertimbangan antara lain paritas, kondisi ibu, jumlah perdarahan.

  • Tabel : Jenis Uterotonika dan cara pemberiannya

    JENIS DAN CARA OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL

    Dosis dan cara pemberian awal

    IV: 40 unit dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan tetesan cepat

    IM: 10 unit

    IM atau IV (lambat): 0,2 mg

    Oral atau rektal 400-600 mg

    Dosis lanjutan IV: 20 unit dalam 1 L larutan garam fisiologis dengan 40 tts/mnt

    Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam

    400-600 mg 2-4 jam setelah dosis awal

    Dosis maksimal per hari

    Tidak lebih dari 3 L larutan dengan oksitosin 40 unit per botol

    Total 1 g atau 5 dosis

    Total 1200 mg atau 2-3 dosis ulangan

    Indikasikontra atau hati-hati

    Pemberian IV secara cepat atau bolus

    Pre-eklampsia, vitium cordis, hipertensi

    Nyeri kontraksi, asthma, menggigil, diare

    Kompresi Bimanual Internal

    Letakan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan untuk menahan bagian

    belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang lain pada korpus depan dari

    dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan untuk mengkompresi pembuluh darah

    di dinding uterus. Amati jumlah darah yang keluar yang ditampung dalam pan. Jika

    perdarahan berkurang, teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat

    berkontraksi atau hingga pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil,

    cobalah mengajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal

    sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksaan atonia uteri.

  • Gambar 4-1. Kompresi bimanual uteri internal Kompresi Bimanual Eksternal

    Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan sedapat mungkin

    meraba bagian belakang uterus. Letakan tangan yang lain dalam keadaan terkepal

    pada bagian depan korpus uteri, kemudian rapatkan kedua tangan untuk menekan

    pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan menjepit uterus di antara kedua

    tangan tersebut (gambar 4.2).

    Gambar 4-2. Kompresi bimanual eksternal

  • Robekan jalan lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim

    baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.

    Perlukaan jalan terdiri dari:

    a. Robekan Perineum

    b. HematomaVulva

    c. Robekan dinding vagina

    d. Robekan serviks

    e. Ruptura uteri

    Robekan Perineum

    Dibagi atas 4 tingkat

    Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa

    mengenai kulit perineum

    Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei

    transversalis,

    tetapi tidak mengenai sfingter ani

    Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani

    Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum

    Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di vagina bagian atas,

    sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan

    ini memanjang atau melingkar.

    Robekan serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus partus

    presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih lagi persalinan operatif

    pervaginam harus dilakukan pemeriksaan dengan spekulum keadaan jalan lahir

    termasuk serviks.

    Pengelolaan

    a. Episiotomi, robekan perineum, dan robekan vulva

    Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit.

    1. Robekan perineum tingkat I

  • Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai

    catgut yang dijahitkan secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan

    (figure of eight).

    2. Robekan perineum tingkat II

    Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I atau tingkat

    II, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir

    yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan

    sebelah kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu,

    kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan

    luka robekan.

    Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina

    dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau delujur. Penjahitan mukosa

    vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit dengan

    benang catgut secara jelujur.

    3. Robekan perineum tingkat III

    Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit,

    kemudian fasia perirektal dan fasial septum rektovaginal dijahit dengan catgut

    kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang

    terpisah akibat robekan dijepit dengan klem / pean lurus, kemudian dijahit

    dengan 2 3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi. Selanjutnya

    robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.

    4. Robekan perineum tingkat IV

    Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk melakukan

    perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa

    dapat menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya, maka dianjurkan

    apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana tindakan

    perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota.

    b. Hematoma vulva

    1. Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada

    hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan kompres.

  • 2. Pada hematoma yang besar lebih-lebih disertai dengan anemia dan presyok,

    perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan

    di sepanjang bagian hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan

    dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,

    perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan

    tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat

    dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat dan meninggalkan

    ujung kasa tersebut diluar.

    c. Robekan dinding vagina

    1. Robekan dinding vagina harus dijahit.

    2. Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke rumah sakit.

    d. Robekan serviks

    Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan

    bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster (Gambar 4.3).

    Kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan

    ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai

    dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan.

  • A. Jahitan pertama dimulai dari puncak

    robekan pada serviks B. Sebagian robekan serviks setelah

    dijahit

    Gambar 4-3. Teknik menjahit robekan serviks

    Retensio Plasenta Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam

    setelah janin lahir. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding

    rahim oleh karena kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta

    disebut plasenta adhesiva. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena villi korialisnya menembus desidua sampai

    miometrium disebut plasenta akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi belum lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di bagian

    bawah rahim disebut plasenta inkarserata. Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah lepas dari dinding rahim.

    Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang

    telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan

    pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan

    bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.

    Prosedur plasenta manual sebagai berikut:

  • Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya terutama bila retensi telah lama. Sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelum tindakan dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan vulva termasuk daerah seputarnya, labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina.

    Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ke ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan (false route).

    Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh pembantu (asisten). Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking (ulner), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar.

    Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual ialah adanya lingkaran konstriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan dihentikan.

    Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera

    dilakukan kompresi bimanual uterus dan disuntikkan Ergometrin 0.2 mg IM atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, risiko

    atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera dilakukan tindakan

    pencegahan perdarahan postpartum.

    Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai

    prosedur tindakan pada atonia uteri.

    Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi oleh karena itu harus dirujuk ke rumah sakit.

  • Gambar 4-5. Pelepasan plasenta secara manual

    Sisa Plasenta Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat

    menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat

    (biasanya terjadi dalam 6 10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan

    postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga

    rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan

    postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu

    perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga

    rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.

    Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila

    penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir.

    Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan

    akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan

    dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu

    ultrasonografi. Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah

    plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta

    yang tertinggal dalam rongga rahim.

  • Pengelolaan

    1. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.

    Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat

    dikeluarkan secara manual. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding

    rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.

    2. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan

    pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.

    3. Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.

    Inversi uterus (traction)

    Inversi uterus jarang terjadi, dengan insiden 0,05 % dari persalinan.

    Manajemen aktif kala III dapat mengurangi kejadian ini. Implantasi

    plasenta pada fundus, penekanan pada fundus dan tarikan tali pusat

    yang kuat dapat menyebabkan inversi uteri. Inversi uteri tampak

    sebagai masa abu-abu kebiruan yang keluar dari vagina. Efek

    vasovagal menyebabkan perubahan tanda vital yang tidak sesuai

    dengan jumlah perdarahan. Plasenta sering masih lengket dan tetap

    biarkan pada insersinya sampai proses reposisi selesai.(Cunningham,

    2005; Anderson, 2007).

  • Gambar 6. Metode reposisi Johnson (Anderson, 2007)

    Reposisi metode Johnson dimulai dengan menggenggam fundus yang

    keluar dengan telapak tangan dan jari kearah forniks posterior. Uterus

    dikembalikan ke posisi semula dengan sedikit pengangkatan keatas

    melalui pelvis ke dalam abdomen. Setelah uterus kembali, obat

    uterotonika harus diberikan untuk merangsang kontraksi uterus dan

    mencegah inversi terulang kembali. Jika tindakan awal ini gagal atau

    terjadi lingkaran kontraksi pada serviks, pemberian magnesium sulfat,

    terbutalin, nitroglycerin atau anestesi umum dapat diberikan untuk

    relaksasi uterus sehingga proses reposisi dapat dilanjutkan. Jika

    metode ini masih gagal harus dilakukan pembedahan. (Anderson,

    2007; Yiadom, 2010).

    Tampon intra uterin Tampon intra uterin memberikan tekanan pada dinding uterus untuk

    menghentikan perdarahan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan 2 cara :

    1. Insersi tampon uteri yang berisi kasa gulung yang dimasukkan ke

    dalam uterus dengan padat sebagai tekanan langsung terhadap

  • pembuluh darah vena, kapiler atau perembesan dari desidua

    sehingga perdarahan berkurang atau berhenti. Tampon ini sebelum

    dipasang harus diberi krim antibiotika dan harus dikeluarkan dalam

    waktu 24 48 jam. (Danso, 2006; Godhake, 2008; Smith, 2010)

    Teknik ini dikembangkan sejak tahun 1950, tetapi saat ini sudah tidak

    dipakai lagi karena mempunyai kerugian sebagai berikut : (Danso, 2006)

    - Dibutuhkan ketrampilan untuk memasukkan tampon dengan

    padat dan cepat.

    - Keterlambatan dalam mengenali perdarahan yang berlanjut

    karena darah meresap ke dalam kasa terlebih dahulu sebelum

    tampak keluar dari vagina.

    - Keberhasilan prosedur ini tidak bisa dinilai dengan cepat.

    - Kesulitan dalam menentukan kepadatan kasa.

    - Resiko terjadi trauma dan infeksi

    - Pengeluaran tampon kadang memerlukan tindakan operatif untuk

    dilatasi serviks dan ekstraksi kasa.

    2. Insersi balon yang dikembangkan dalam kavum uteri dan mengisi

    seluruh ruang sehingga memberikan tekanan intra uteri yang lebih

    besar dari tekanan arteri.

    Pemakaian balon pertama kali dilakukan oleh Condous tahun 2003

    untuk menentukan indeks prognostik apakah laparotomi diperlukan

    pada penderita dengan perdarahan pasca salin masif yang tidak

    respon terhadap terapi medik. Kateter esophagus Sengstaken-

    Blakemore dimasukkan ke dalam kavum uteri melalui serviks dengan

    panduan USG dan diisi dengan cairan saline hangat sampai balon

    yang mengembang teraba pada abdomen dan terlihat pada bagian

    terendah kanal serviks. Jenis balon lain yang dipakai adalah balon

    urologi hidostatik Rusch, balon Bakri, kateter Foley dan kondom -

    kateter. (Danso, 2006; Godhake, 2008).

  • Sengstaken-Balkemore tube Rusch hydrostatic ballon catheter Bakri ballon

    Sayeba Kondom - kateter Gambar . Jenis tampon balon untuk perdarahan pasca salin (Lynch, 2006 dan Sayeba, 2003)

    Penemuan inovatif di Bangladesh menggunakan kondom sebagai tampon

    balon dikenal sebagai metode Sayeba. Kateter steril dimasukkan ke dalam

    kondom dan diikat dekat pada pangkal kondom dengan benang steril,

  • bagian luar kateter dihubungkan dengan infus cairan saline. Kondom

    kateter kemudian dimasukkan ke dalam uterus dan dikembangkan dengan

    cairan saline 250 500 ml. Bagian luar kateter kemudian ditekuk atau

    diikat jika perdarahan berkurang atau berhenti. Kontraksi uterus

    dipertahankan dengan uterotonika minimal 6 jam dan tampon

    dipertahankan selama 24 48 jam. Pada penelitian 23 kasus perdarahan

    pasca salin karena atonia uteri di Bangladesh, perdarahan berhenti dalam

    waktu 15 menit pada semua kasus. (Danso, 2006).

    Di RS Dr. Soetomo, metode ini sudah diterapkan sejak tahun 2005, pada

    penelitian 12 kasus perdarahan pasca salin karena atonia uteri,

    keberhasilan mencapai 100 %. (Sulistyono, 2006).

  • Daftar Pustaka

    Danso D, Reginald PW, 2006. Internal uterine tamponade. A textbook of

    postpartum hemorrhage. UK : Sapiens, 28 : 263 267, 1st Ed

    Danso D, Reginald PW, 2006. Internal uterine tamponade. A textbook of

    postpartum hemorrhage. UK : Sapiens, 28 : 263 267, 1st Ed

    Ghodake VB, Pandit SN, 2008. Role of modified B-Lynch suture in modern day

    management of atonic postpartum haemorrhage. Bombay hospital

    journal, 50(2) : 205 211

    Miller S, Lester F, 2004. Prevention and treatment of postpartum hemorrhage :

    new advances for low-resource settings. Journal of midwifery and

    womens health, 49 : 283 292

    Saifudin A, 2005. Upaya Safe Motherhood dan Making Pregnancy Safer,

    Bungai Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial, Yayasan Bina Pustaka

    Sarwono Prawirohardjo,. 221

    Sulistyono A, Dachlan EG, 2006. Pengalaman menggunakan tampon kondom

    (metode Sayeba) pada hemoragia pasca persalinan (HPP). Majalah

    Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 15(3) : 98 - 102

    WHO, UNICEF, UNFPA and the World Bank. Geneva. 2007. Maternal mortality

    in 2005: estimates developed by WHO, UNICEF, UNFPA and world

    bank, 1

    World Health Organization (WHO), 2005. What is the effectiveness of antenatal

    care?, Supplement,

    World Health Organization (WHO), 2006. Mortality Country Fact Sheet

    2006/Indonesia. 2006.

    http://www.who.int/whosis/mort/profiles/mort_searo_idn_indonesia

    .pdf

    World Health Organization (WHO). 200. Country Health System Profile-Indonesia / MDGs

    Yasmin S, 2003. B-lynch brace suture as an alternative to hysterectomy for

    severe PPH. Pakistan journal medical, 42(3)

  • Yiadom MY, Carusi D, 2010. Pregnancy, postpartum hemorrhage. http://www.emedicine.medscape.com/article/796785