MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

104
FENOMENA PEKERJA ANAK SEBAGAI “PAK OGAH” DI KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: May Suhardyanto 1110111000007 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

Transcript of MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

Page 1: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

FENOMENA PEKERJA ANAK SEBAGAI “PAK OGAH” DI

KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

May Suhardyanto

1110111000007

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

Page 2: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf
Page 3: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf
Page 4: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf
Page 5: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

i

ABSTRAKSI

Skripsi ini mengkaji tentang pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di

Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan gambaran anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ serta ingin

menjelaskan apa yang menyebabkan mereka bekerja. Subjek penelitian sebanyak

sepuluh informan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh

melalui wawancara dan observasi.

Teori yang digunakan adalah teori sub-budaya kemiskinan dan teori belajar

sosial. Teori sub-budaya kemiskinan digunakan karena mampu menjelaskan bahwa

sebagian besar informan merupakan berasal dari latar belakang keluarga yang berada

dalam garis kemiskinan yang didalamnya terdapat beberapa karakteristik yang sesuai

dengan teori sub-budaya kemiskinan. Sedangkan teori belajar sosial digunakan

karena mampu menjelaskan salah satu faktor penyebab anak untuk bekerja sebagai

―pak ogah‖.

Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan di wilayah penelitian

merupakan anak laki-laki yang berusia antara 13 sampai dengan 17 tahun, yang

berasal dari suku Betawi dan Jawa dan beragama Islam. Latar belakang pendidikan

mayoritas informan sudah putus sekolah pada jenjang SMP, hanya minoritas yang

masih menempuh pendidikan di jenjang SD, SMP dan SMA. Para informan sudah

bekerja antara satu sampai empat tahun, pada umumnya mereka bekerja satu sampai

dua jam dalam sehari dan tiga sampai empat hari dalam seminggu. Penghasilan

mereka antara lima ribu sampai delapan puluh ribu dalam sehari. Latar belakang

keluarga mayoritas informan berasal dari keluarga miskin yang dalam kehidupan

kesehariannya terdapat beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya

kemiskinan, seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan konsumsi,

terbatasnya tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, adanya perasaan

tidak berharga dan tidak berdaya, kurangnya pengasuhan oleh orang tua serta

tingginya tingkat kesengsaraan karena beratnya penderitaan Ibu. Namun demikian,

terdapat karakteristik sub-budaya kemiskinan yang tidak sesuai, seperti rendahnya

partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan

tingginya perceraian dalam keluarga

Penyebab informan bekerja karena adanya faktor pendorong yang berasal dari

kemauan mereka sendiri untuk mencari uang. Faktor mencari uang ini disebabkan

oleh tiga alasan. Pertama, untuk membantu pemenuhan ekonomi keluarga, yang

sifatnya primer. Kedua, untuk memenuhi konsumsi (jajan) sendiri, yang sifatnya

sekunder. Ketiga, untuk pemenuhan kebutuhan sekolah yang meliputi membeli buku

dan bayaran sekolah. Kemudian terdapat tiga faktor yang menjadi daya tarik

pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Pertama, kenyamanan

bekerja, hal ini disebabkan karena terdapatnya teman sebayanya yang juga bekerja

dan mempengaruhi semua informan untuk menggeluti pekerjaan ini. Kedua, adanya

penghasilan rutin dan mencukupi untuk kebutuhan mereka. Ketiga, tidak

membutuhkan keahlian dan modal besar.

Page 6: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

ii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillahi rabbil alamin kehadirat Allah SWT

atas Rahmat dan Ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta

salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Muhammad SAW berserta

keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan,

bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yaitu Bapak Prof. Dr. Zulkifli,

MA.

2. Sekretaris Program Studi Sosiologi yaitu Bapak Husnul Khitam, M.Si.

3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA selaku dosen pembimbing akademik sekaligus

dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan

pikirannya untuk membimbing dan memberikan motivasi untuk penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah

memberikan ilmu pengetahuannya kepada mahasiswa.

5. Kedua orang tua penulis yang senantiasa mendoakan dan mendukung baik

moril maupun materil.

6. Kawan-kawan Sosiologi 2010, terima kasih atas pengalaman yang

diberikan.

7. Para informan dan juga pegawai Kecamatan Ciputat yang telah

memberikan data dan informasi yang diperlukan.

8. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung berjasa bagi

penulisan skripsi ini.

Semoga semua jasa dan kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis

dapat menjadi amal shaleh dan selalu mendapatkan rahmat serta lindungan dari Allah

SWT. Akhirnya, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh

karena itu kritik serta saran yang membangun diharapkan oleh penulis dan juga

penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Jakarta, Maret 2015

Page 7: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI..……………………………………………………………………..i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii

DAFTAR TABEL………………………………………………………………....v

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah...............................................................…1

B. Pertanyaan Penelitian………………………………………….5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..5

D. Tinjauan Pustaka………………………………………………6

E. Kerangka Teori……………………………………………….11

F. Definisi Konsep………………………………………………14

G. Metodologi Penelitian………………………………………..16

H. Sistematika Penulisan………………………………………...23

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

A. Letak Geografis Kecamatan Ciputat…………………………24

B. Kondisi Demografis Kecamatan Ciputat…………………….24

C. Gambaran Umum ―Pak Ogah‖ anak di Ciputat……………...33

BAB III TEMUAN DAN ANALISIS

A. Karakteristik dan Kehidupan Pekerja Anak Di Wilayah

Penelitian……………………………………………………..36

1. Jenis Kelamin ………………………………...……….....36

2. Usia………....……………………………………............37

Page 8: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

iv

3. Suku dan Agama………..………………………………..41

4. Pendidikan………………………………..........................45

5. Waktu Bekerja ………………….......................................47

6. Pendapatan……………………………………………….49

7. Latar Belakang Keluarga…………………………………51

B. Sub-Budaya Kemiskinan ―Pak Ogah‖ Anak Pendekatan Oscar

Lewis…………………………………………………………54

1. Akses Terhadap Konsumsi……………………………….54

2. Akses Terhadap Kesehatan…………………....................57

3. Partisipasi Informan Di Lingkungan Sosial……………...60

4. Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman…………...62

5. Kondisi Internal Keluarga………………………………..64

C. Faktor Penyebab Informan Bekerja Sebagai ―Pak Ogah‖.......69

1. Faktor Pendorong………………………………………...69

a. Membantu Ekonomi Keluarga……………………….70

b. Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi (Jajan) Sendiri…...72

c. Pemenuhan Kebutuhan Sekolah……………………...74

2. Daya Tarik Pekerjaan ―Pak Ogah‖……………………….75

a. Kenyamanan Bekerja………………………………...75

b. Adanya Penghasilan Rutin dan Mencukupi………….78

c. Tidak Membutuhkan Keahlian dan Modal Besar........79

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan…………………………………………………..81

B. Rekomendasi.…………...……………………...…………….84

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………vi

Page 9: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

v

DAFTAR TABEL

Tabel I.G.1 Profil Informan……………………………………………………...17

Tabel II.B.1 Perubahan Penduduk di Kecamatan Ciputat……………………….24

Tabel II.B.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……………………..25

Tabel II.B.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur……………………………...26

Tabel II.B.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir………………27

Tabel II.B.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan…………………....28

Tabel II.B.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan……….…30

Tabel II.B.7 Jumlah Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Ciputat………………...31

Tabel II.B.8 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Ciputat………………....31

Tabel II.B.9 Jumlah Fasilitas Peribadatan di Kecamatan Ciputat………………..32

Tabel III.A.1 Usia Informan……………………………………………………...37

Tabel III.A.2 Suku dan Agama Informan………………………………………..43

Tabel III.A.3 Matrik Pendidikan Informan….…………………………………...45

Tabel III.A.4 Matrik Penghasilan Orang Tua dalam Membiayai Pendidikan…...46

Tabel III.A.5 Pendapatan Informan……………………………………………...50

Tabel III.A.6 Latar Belakang Keluarga……………………………......................51

Tabel III.B.1 Matrik Akses Konsumsi Makan Sehari-hari………………............55

Tabel III.B.2 Matrik Akses Kesehatan ……………………………………..........57

Tabel III.B.3 Matrik Partisipasi Informan Di Lembaga Masyarakat ……............60

Tabel III.B.4 Matrik Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman……..............62

Tabel III.B.5 Matrik Kondisi Internal Keluarga…………………………………64

Tabel III.B.6 Matrik Kurangnya Pengasuhan Orang tua………………………...67

Tabel III.C.1 Faktor-Faktor yang Mendorong Anak Bekerja……………………70

Page 10: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini mengkaji tentang fenomena pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak

ogah‖ di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Skripsi bertujuan untuk

melihat gambaran kehidupan anak yang bekerja dan juga berupaya untuk

menjelaskan yang meyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.

Fenomena ini menjadi penting dan menarik untuk dikaji karena pekerja anak di

Indonesia jumlahnya masih banyak dan bahkan masih ditemukan anak-anak yang

bekerja pada sektor berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei International

Labour Organization (ILO) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun

2010 yang menunjukan bahwa jumlah keseluruhan anak di Indonesia yang berusia 5-

17 adalah sekitar 58,8 juta anak. Dari jumlah tersebut 4,05 juta termasuk dalam

kategori anak yang bekerja, kemudian dari jumlah anak yang bekerja tersebut sekitar

1,76 juta merupakan pekerja anak dan sekitar 20,7 persennya bekerja pada kondisi

berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu (ILO, 2010). Pekerjaan berbahaya

bagi anak juga didefinisikan dalam konvensi ILO No. 138 dan 182 yang menetapkan:

Pekerjaan berbahaya bagi anak adalah kegiatan atau pekerjaan apapun yang

menurut sifat dan jenisnya mempunyai atau dapat menimbulkan dampak yang

merugikan terhadap keselamatan, kesehatan fisik ataupun mental, dan

perkembangan moral anak-anak. Bahaya juga dapat ditimbulkan oleh beban

kerja yang berlebihan, kondisi fisik pekerjaan, dan intensitas kerja dalam hal

durasi atau jam kerja walaupun kegiatan atau pekerjaan itu sendiri diketahui

tidak berbahaya atau ―aman‖ (2008:4).

Page 11: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

2

Secara empiris banyak bukti yang menunjukan bahwa terlibatnya anak dalam

aktivitas ekonomi baik sektor formal maupun informal terlalu dini cenderung rawan

eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis,

dan sosial anak (Suyanto, 2010:120). Bahkan dalam kasus dan bentuk tertentu

pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang bekerja pada situasi

yang paling tidak bisa ditolelir (Tjahjanto, 2008:32). Padahal menurut undang-

undang perlindungan anak No 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa setiap anak berhak

untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi

maupun seksual (Warsini, 2005:9). Dan juga hak anak ini diatur dalam konvensi hak

anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, disebutkan dan diakui bahwa

pada hakikatnya anak-anak berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan

mereka seyogyanya tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini (Suyanto,

2010:119).

Maraknya pekerja anak tidak bisa terlepas dari masalah sosial lainnya, yaitu

kemiskinan. Meskipun kemiskinan berpengaruh banyak, namun kemiskinan

bukanlah faktor satu-satunya yang menyebabkan anak bekerja di sektor berbahaya,

masih terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhinya seperti adanya segmen

tersendiri dalam pasar tenaga kerja, baik berdasarkan usia, tingkat pendidikan,

keahlian maupun pengalaman (Suyanto, 2010:131). Dari penjelasan tersebut

menjelaskan bahwa pekerja anak memiliki segmen tersendiri di pasar tenaga kerja

dan salah satu yang marak digeluti oleh mereka adalah pekerjaan di sektor informal.

Page 12: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

3

Hal ini sesuai dengan temuan ILO (2009:9) yang mengungkapkan bahwa beberapa

bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh sejumlah besar pekerja anak

adalah pekerjaan dalam sektor informal misalnya menyemir sepatu, mengemis,

menarik becak, menjadi kernet angkutan kota, berjualan koran dan pekerjaan

informal lainnya berlangsung di rumah dan karena itu kurang terlihat oleh umum.

Beberapa jenis pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak tersebut dapat dianggap

sebagai pekerjaan mencari uang secara mandiri (self-employment).

Selain dari beberapa jenis pekerjaan informal yang dijelaskan ILO, ternyata

berkembang beberapa jenis pekerjaan yang menjadi segmen pekerja anak di

perkotaan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah pekerjaan sebagai ―pak ogah‖

yang pengertiannya menurut Azmi adalah:

―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang atau

sekelompok orang di luar institusi negara yang mengatur jalan raya dan

mendapatkan imbalan secara langsung dari pengguna kendaraan, tujuan dari

―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan atau

berlatarkan motif ekonomi semata (2013).

Berkembangnya pekerjaan sebagai ‖pak ogah‖ dan jenis pekerjaan sektor

informal lainnya tidak terlepas dari proses pembangunan (Effendi, 1995:73). Proses

pembangunan yang terjadi di beberapa daerah juga dialami oleh wilayah Ciputat

yang merupakan bagian dari Kota tangerang Selatan, sebagai wilayah yang secara

geografis berdekatan dengan ibu kota tentunya pembangunan infrastruktur jalan

dibutuhkan bagi akses mobilitas penduduknya dan juga untuk membantu mengatasi

kemacetan. Namun konsekuensi pembangunan infrasturktur jalan yang menghasilkan

Page 13: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

4

persimpangan-persimpangan ternyata di sisi lain dimanfaatkan menjadi sumber

penghasilan bagi sebagian masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam tenaga

kerja formal, baik dari segi ekonomi, keahlian maupun pendidikan. Baik orang

dewasa, remaja maupun anak-anak yang seharusnya berada dalam dunia bermain dan

belajar, ternyata mereka juga memanfaatkan hal ini sebagai peluang atau kesempatan

untuk dijadikan sumber mencari penghasilan.

Dalam kesehariannya banyak anak-anak yang menghabiskan waktu untuk

bekerja sebagai ―pak ogah‖, mereka tersebar di berbagai persimpangan jalan-jalan di

Ciputat. Pekerjaan ini tentu memiliki berbagai resiko berbahaya dan tentu tidak

seharusnya dikerjakan oleh anak-anak, karena seperti yang diketahui bahwa

pekerjaan dan lingkungan kerja bagi anak dapat menimbulkan dampak negatif

terhadap tumbuh dan berkembangnya anak baik fisik, mental, sosial maupun

intelektualnya (Warsini, 2005:8). Dengan demikian, fenomena pekerja anak sebagai

―pak ogah‖ ini sekaligus menunjukan bahwa hak-hak anak yang tertulis dalam

undang-undang perlindungan anak maupun konvensi hak anak dalam realitasnya

masih belum sesuai. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana

gambaran kehidupan dari para pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ dan juga mengetahui

apa yang menyebababkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.

Page 14: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

5

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kehidupan pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak

ogah‖?

2. Apa yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan gambaran kehidupan

pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖.

b. Penelitian juga berupaya untuk menjelaskan apa yang menyebabkan anak

bekerja sebagai ―pak ogah‖.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan teori

sosiologi keluarga dan sosiologi perkotaan yang terkait mengenai masalah

sosial pekerja anak.

b. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi atau referensi

bagi peneliti yang berminat mendalami studi tentang pekerja anak.

Page 15: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

6

2) Memberi kontribusi bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam hal

ini dinas sosial, dalam menyelesaikan persoalan sosial pada anak

terutama mengenai permasalahan pekerja anak.

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, dibutuhkan perbandingan

dengan penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini:

Pertama, Tesis yang diselesaikan Murkanto Siswoyo (1998) dengan judul

Ekspolitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri Kecil (Studi Kasus Pada

Perusahaan Genteng di Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon).

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif deskriptif dan teori yang

digunakan adalah teori eksploitasi. Dari temuan di lapangan menunjukan bahwa

keterlibatan anak-anak bekerja disebabkan oleh adanya faktor pendorong dan faktor

penarik. Faktor pendorong yang menyebabkan anak bekerja adalah kemiskinan orang

tua dan faktor penarik yang menyababkan anak bekerja adalah keberadaan pabrik

genteng yang terletak dilingkungannya. Adapun bentuk-bentuk eksploitasi dalam

temuan di lapangan antara lain jam kerja yang diberlakukan tidak sama dengan

pekerja dewasa, tidak adanya pemberian jenis pekerjaan antara pekerja dewasa dan

pekerja anak walaupun beresiko tinggi, dan kemudian hak-hak anak sebagai pekerja

tidak dijamin oleh pengusaha karena pengusaha merasa tidak berkewajiban untuk

menyediakannya.

Page 16: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

7

Kedua, Tesis yang dirampungkan Fauzik Lendriyono (2000) dengan judul

Pekerja Anak Perempuan dan Pelecehan Seksual (Studi Kasus Tentang Pelecehan

Seksual Terhadap Anak-Anak yang Bekerja Sebagai Pelayan Minuman di Taman

Piaduk Jatinegara, Jakarta Timur). Penelitian menggunakan metodologi kualitatif

dan menggunakan teori pertukaran sosial sebagai kerangka teoritis. Hasil penelitian

menunjukan bahwa bentuk-bentuk pelecehan seksual yang dialami anak dari yang

paling ringan seperti dicolek atau dijahili hingga pelecehan yang paling berat seperti

percumbuan dan kontak perkelaminan. Meskipun pelecehan tersebut tidak

dikehendaki oleh informan, namun karena alasan kemiskinan dan dukungan dari

orang tua untuk dapat segera lepas dari penderitaan kemiskinan, maka cara yang

dianggap paling mudah dan dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak dan

dalam waktu yang singkat adalah masuk dalam lingkungan pekerjaan yang sarat

dengan ekspoitasi seksual. Selanjutnya, toleransi informan terhadap pelecehan yang

dialami terjadi karena reward yang diterima dari perlakuan tersebut dinilai sangat

berguna bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga. Dan terlebih lagi dalam

masyarakat daerah asalnya (Indramayu) kemakmuran dan keberhasilan dilihat dari

penampilan fisik seperti, rumah yang bagus, memiliki TV parabola dan terlebih lagi

anak perempuan yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarganya.

Ketiga, Tesis yang diselesaikan Eka Tjahjanto (2008) dengan judul

Implementasi Peraturan Undang-Undang Ketenagakerjaan Sebagai Upaya

Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak. Metode penelitian yang

Page 17: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

8

digunakan yaitu kepustakaan berupa penelitian terhadap data sekunder meliputi

inventarisasi hukum positif. Teori yang digunakan adalah teori perlindungan hukum

preventif dan perlindungan hukum represif. Temuanya antara lain adalah tindakan

mempekerjakan anak merupakan tindakan melawan undang-undang yang sah dan

dapat dikenai sanksi hukum. Selain itu, pekerja anak dalam kondisi tereksploitasi,

mereka rata-rata bekerja selama 8 jam perhari dengan menerima upah jauh di bawah

upah minimum Kabupaten. Kemudian dari aspek perlindungan hukum, aspek

perlindungan ekonomi, aspek perlindungan sosial, maupun aspek perlindungan

teknis belum diberikan kepada pekerja anak yang berhak untuk mendapatkannya.

Keempat, penelitian yang dilakukan Netty Endarwati (2012) dalam Jurnal

Universitas Islam Kediri, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak

di Sektor Informal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan teori

yang digunakan antara lain teori negara kesejahteraan yang merupakan teori dasar

(ground theory), kemudian teori hak asasi manusia sebagai teori tengah (middle

theory) dan teori efektivitas berlakunya hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui implementasi dan hambatan-hambatan antara perlindungan hukum

pekerja anak di sektor informal di Kota Kediri dengan perlindungan hukum yang

telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Temuan penelitian

menujukan bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja anak di sektor informal di

Kota Kediri belum sesuai dengan perlindungan hukum tenaga kerja sebagaimana

diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa

Page 18: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

9

dalam prakteknya banyak pelanggaran terhadap persyaratan mempekerjakan anak,

seperti tidak ada perjanjian kerja, tidak adanya izin kerja dari orang tua, upah yang

rendah, dan waktu kerja yang panjang. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi

dalam perlindungan hukum terhadap pekerja anak antara lain, belum adanya

peraturan perundangan yang mengatur tentang pekerja anak di sektor informal

khusunya terkait perlindungan hukumnya. Lemahnya koordinasi dan kerjasama

instansi-instansi terkait di bidang ketenagakerjaan, seperti dinas tenaga kerja, dinas

sosial, pemerintahan daerah setempat dan dinas terkait lainnya dalam mengawasi

tenaga kerja tersebut. Kemudian juga masih terdapatnya budaya yang memandang

bahwa anak-anak yang bekerja adalah hal yang biasa karena itu merupakan bentuk

sosialisasi dan wujud darma bakti pada orang tua. Dan kurang pedulinya masyarakat

dalam menyikapi penggunaan pekerja anak oleh perusahaan.

Kelima, Penelitian yang dilakukan Isti Rochatun, Suprayogi, dan Hamonangan

Sigalingging (2012) dalam Unnes Civic Education Journal, dengan judul Eksploitasi

Anak Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang. Dengan

menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunkan teori eksploitasi,

penelitian menghasilkan beberapa temuan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi

anak bekerja, antara lain pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya yang

menyebabkan anak bekerja, selain itu hubungan orang tua yang tidak harmonis dan

adanya perpisahan atau perceraian dalam keluarga juga menjadi penyebab anak-anak

ini turun ke jalan. Kemudian bentuk-bentuk eksploitasi yang dialami anak-anak ini

Page 19: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

10

antara lain, eksploitasi yang dilakukan orang tua karena kebanyakan dari mereka

disuruh bekerja sebagai pengemis tanpa memperdulikan hak anak dan merampas hak

anak seperti sekolah dan menikmati masa remaja mereka. Kemudian juga ditemukan

adanya eksploitasi yang dilakukan oleh preman.

Berdasarkan lima penelitian sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan

dengan penelitian ini. Persamaannya yaitu fokus penelitian yang sama-sama

mengangkat tema mengenai pekerja anak, kemudian persamaan pada pilihan metode

yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif yang juga digunakan oleh sebagian

besar peneliti sebelumnya. Adapun perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan

penelitian ini adalah teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sub

budaya kemiskinan dan teori belajar sosial, berbeda dengan kelima penelitian

sebelumnya yang mengunakan teori eksploitasi, teori pertukaran sosial, teori

perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, teori negara

kesejahteraan, teori hak asasi manusia dan teori efektivitas berlakunya hukum.

Perbedaan selanjutnya adalah lokasi penelitian yang berbeda dari semua penelitian

sebelumnya. Selain itu, penelitian ketiga dan keempat di atas lebih memfokuskan

dari aspek perlindungan hukum terhadap pekerja anak, sedangkan penelitian ini lebih

bersifat mencari tahu apa yang menyebabkan anak bekerja dan bagaimana gambaran

kehidupan para pekerja anak.

Page 20: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

11

E. Kerangka Teoritis

Dalam penelitian ada beberapa teori yang dianggap relevan dengan penelitian

yang diangkat ini:

1. Teori Sub-Budaya Kemiskinan

Menurut Oscar Lewis karakteristik utama dari konsep sub-budaya kemiskinan

adalah bahwa orang miskin terisolasi dari masyarakat yang lebih luas. Mereka tidak

diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial utama masyarakat,

sehingga mereka membuat sendiri nilai-nilai dan norma-norma dalam rangka untuk

mengatasi perasaan mereka frustrasi, isolasi, dan inferioritas. Meskipun penciptaan

sub-budaya ini fungsional, yang berfungsi untuk membuat orang miskin secara

psikologis lebih nyaman dalam situasi kemiskinan mereka. Namun karena sub-

budaya kemiskinan ini menghidupkan diri mereka secara terus-menerus dalam

kemiskinan, dan tidak langsung akan menghilangkan kondisi kemiskinan mereka

(Montero, 1986:282-283).

Oscar Lewis dalam Pasurdi Suparlan (1993:8) mengidentifikasi bahwa dalam

sub-budaya kemiskinan adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan

kepadatan tinggi, terbatasnya akses-akses terhadap barang-barang konsumsi, layanan

kesehatan dan sarana pendidikan. Kebudayaan kemiskinan juga bisa terwujud pada

masyarakat yang mempunyai institusi sosial yang lemah untuk mengontrol dan

memecahkan masalah sosial dan kependudukan, yang berdampak pada pertumbuhan

Page 21: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

12

penduduk yang tinggi dan pengangguran juga tinggi. Kemudian menurutnya sub-

kebudayaan kemiskinan dapat dipelajari dari berbagai segi aspek kehidupan:

1) Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-

lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigaan

tinggi, apatis dan perpecahan.

2) Pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan

pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol.

3) Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan

kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini,

tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya budaya

keluarga matrilineal.

4) Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan

tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri.

5) Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan Ibu,

lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya

orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana

masa depan, perasaan pasrah atau tidak berguna.

6) Kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari

kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat,

lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja (Suparlan, 1993:7-11).

Peneliti menggunakan teori sub-budaya kemiskinan karena seperti diketahui bahwa

Page 22: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

13

fenomena anak-anak yang bekerja salah satunya disebabkan karena faktor

kemiskinan, sehingga menurut asumsi awal peneliti pekerja anak yang bekerja

sebagai ―pak ogah‖ di Ciputat ini berasal dari latar belakang keluarga yang berada

dalam garis kemiskinan atau tidak mampu yang dalam kehidupan kesehariannya

memiliki karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan, maka dari

itu peneliti menganggap bahwa teori ini dapat digunakan sebagai dasar untuk

menganalisa dan menjelaskan mengenai gambaran kehidupan pekerja anak yang

bekerja sebagai ―pak ogah‖.

2. Teori Belajar Sosial (Social Learning)

Menurut Albert Bandura, teori belajar sosial disebut juga teori pembelajaran

observasi. Bandura memandang bahwa perilaku individu tidak semata-mata refleks

otomatis terhadap stimulus, melainkan juga akibat dari reaksi yang tumbuh sebagai

hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kongnitif individu itu sendiri. Dalam

hal ini belajar sosial terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh

perilaku (modeling) (Suyono, 2011:66). Asumsi teori ini adalah bahwa mereka

belajar melalui observasi perilaku orang lain. Bandura yakin bahwa perilaku manusia

dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi yang elemen inti dari

observasi adalah modeling (Feist, 2010: 203-206).

Havinghurts (1999) menjelaskan bahwa anak tumbuh dan berinteraksi dalam

dua dunia sosial yaitu dunia orang dewasa dan dunia peer group (sebayanya), dari

pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang anak di dalam pertumbuhanya

Page 23: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

14

selalu berinteraksi dengan lingkungan yang ada disekitarnya yaitu dunia orang

dewasa dan dunia sebayannya (peer group), dalam kehidupan anak kelompok sebaya

ini meliputi teman bermain, teman dalam perkumpulan sosial, gang, ataupun klik.

Kelompok sebaya ini sangat berpengaruh terhadap perilaku individu, karena dalam

kelompok sebaya ini anak merasa mendapatkan teman dan juga dukungan dari

teman-temannya, melalui kelompok sebaya anak belajar tentang peranan sosialnya

(Wulan,2007:29-30). Peneliti menggunakan teori belajar sosial karena peneliti

menganggap bahwa prilaku sosial seseorang baik orang dewasa maupun anak-anak

dapat dipelajari dari contoh perilaku yang ada di sekitar lingkungan sosial seseorang,

begitupun dengan anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ menurut asumsi awal

peneliti mereka mempelajari pekerjaan ini dari lingkungan sosial sekitar mereka,

terutama dari teman sebaya yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, penggunaan

teori ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak-anak ini

mengenal dan belajar bagaimana bekerja sebagai ―pak ogah‖.

F. Definisi Konsep

Dalam ilmu sosial terdapat banyak konsep yang memiliki tingkat abstraksi

yang tinggi atau disebut juga konstruk karena konsep yang demikian tidak segera

dapat dilihat atau ditemukan bendanya, konstruk atau konsep-konsep yang

mempunyai abstraksi tinggi seperti itu perlu dibatasi pengertiannya, adapun

pemberian atas konsep-konsep ini disebut dengan definisi oprasional (Soehartono,

Page 24: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

15

2011:28). Dalam penelitian ini terdapat beberapa yang perlu diberikan batasan

pengertiannya:

a. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Pengertian anak menurut undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan.

b. Pekerjaan adalah sebagai suatu jenis kegiatan ekonomi guna mendapatkan

penghasilan untuk mempertahankan hidup.

c. Anak yang bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu

orangtua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya

membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu pekerjaan orang

tua di ladang dan lain-lain (Warsini, 2005:10).

d. Pekerja anak adalah anak yang melakukan segala jenis kegiatan ekonomi

yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan,

membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat

digolongkan sebagai pekerja anak (Warsini, 2005:10).

e. ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang atau

sekelompok orang di luar institusi negara yang mengatur jalan raya dan

mendapatkan imbalan secara langsung dari pengguna kendaraan, tujuan dari

―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan atau

berlatarkan motif ekonomi semata (Azmi, 2013).

Page 25: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

16

f. Sektor informal adalah pekerja yang berusaha sendiri dan semua kegiatan

yang tidak dapat dimasukan dalam sektor formal (Effendi, 1995:74-77).

g. Kemiskinan orang tua adalah suatu keadaan ketidakmampuan orang tua

pekerja anak dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara minimum

karena rendahnya penghasilan (Siswoyo, 1998:25).

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Menurut Bodgan dan Taylor dalam Soetrisno (2001:66) metode kualitatif merupakan

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller

dalam Soetrisno (2001:66) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu

dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada

pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berberhubungan

dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya. Pendekatan

deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk ekplorasi dan klarifikasi

mengenai suatu fenomena dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang

berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Faisal, 2007:20). Dalam hal ini,

peneliti berusaha menyelidiki berbagai informasi dan fakta di lapangan secara

mendalam guna mendapatkan dan menghasilkan data-data spesifik mengenai faktor-

Page 26: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

17

faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan mendapatkan

gambaran anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖.

2. Subjek Penelitian

Menurut Faisal (2007:109) subjek penelitian menunjuk pada individu atau

sekelompok yang dijadikan unit satuan kasus yang diteliti. Dalam menentukan

subjek penelitian, peneliti memilih informan dengan kriteria-kriteria tertentu

berdasarkan tujuan penelitian sehingga informasi yang didapat bukan dari sembarang

informan. Dari kriteria subjek penelitian yang telah ditetapkan, peneliti mengambil

sepuluh informan yang dianggap merepresentasikan subjek penelitian ini. Berikut

merupakan data mengenai informan:

Tabel I.G.1 Profil Informan

No Nama Jenis

Kelamin

Usia Agama Suku Pendidikan

Informan

Lama

Bekerja

1 DR Laki-laki 15 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat

SMP

3 Tahun

2 BHR Laki-laki 17 Tahun Islam Betawi Tidak SMP 1 Tahun

3 AR Laki-laki 16 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat

SMP

1 Tahun

4 RVL Laki-laki 13 Tahun Islam Betawi SD Kelas 6 1 ½ Tahun

5 DK Laki-laki 14 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat

SMP

1 Tahun

6 EG Laki-laki 16 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat

SMP

2 Tahun

7 FRK Laki-laki 17 Tahun Islam Jawa Tidak Tamat

SMP

1 Tahun

8 MP Laki-laki 15 Tahun Islam Betawi SMP Kelas 3 2 Tahun

9 AN Laki-laki 14 Tahun Islam Jawa SMP Kelas 3 1 ½ Tahun

10 BP Laki-laki 15 Tahun Islam Jawa SMK Kelas 1 4 Tahun

Page 27: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

18

Dalam temuan di lapangan, seluruh informan adalah anak-anak yang berjenis

kelamin laki-laki, peneliti tidak menemukan anak perempuan yang bekerja sebagai

―pak ogah‖ di Ciputat. Dari segi usia informan, peneliti mengambil berdasarkan usia

yang bervariasi mulai dari yang paling kecil adalah berusia 13 tahun, karena di

lapangan usia yang paling kecil adalah usia 13 tahun yang dapat diwawancarai,

kemudian usia yang paling besar adalah 17 tahun karena menurut undang-undang

No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pengertian anak adalah setiap orang yang

berumur di bawah delapan belas tahun, selain itu usia 13 sampai 17 tahun dapat

dikatakan sebagai anak-anak remaja, dan di usia-usia tersebut anak memiliki

kebutuhan-kebutuhan yang berbeda satu sama lainnya.

Berdasarkan latar belakang pendidikan, para informan memiliki karaktristik

pendidikan yang berbeda-beda, mulai dari yang masih sekolah dan yang sudah putus

sekolah. Terdapat empat informan yang masih sekolah dan enam informan yang

sudah putus sekolah, hal ini disebabkan karena di lapangan kebanyakan anak-anak

yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ sudah tidak bersekolah. Peneliti mengambil subjek

anak-anak yang putus sekolah dan masih bersekolah dengan tujuan untuk

mengetahui bagaimana tanggapan mereka mengenai pendidikan, kemudian juga

ingin melihat bagaimana dampak yang dihadapi para informan yang masih

bersekolah, serta ingin melihat apa yang menyebabkan para informan putus sekolah.

Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini sudah bekerja antara satu

tahun yang paling baru sampai dengan empat tahun yang paling lama. Hal ini

Page 28: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

19

menunjukan bahwa mereka sudah lama bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan peneliti

mengambil informan dengan kriteria minimal satu tahun bekerja karena diharapkan

dengan lamanya mereka bekerja, mereka sudah tetap bekerja dan juga tahu

bagaimana kehidupan yang ada di jalan.

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di jalan-jalan daerah Kecamatan Ciputat kota

Tangerang Selatan. Peneliti memilih lokasi ini karena ―pak ogah‖ di daerah Ciputat

lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan di daerah Kecamatan lain yang ada di

sekitarnya seperti di Kecamatan Ciputat Timur dan Kecamatan Pondok Aren.

Kemudian juga dari segi usia lebih bervariasi mulai dari orang dewasa, remaja dan

juga anak-anak. Dan anak-anak yang bekerja di daerah ini jumlahnya banyak serta

juga waktu atau jam kerja ―pak ogah‖ anak ini beraktivitas dari pagi, siang, sore

bahkan tak jarang malam hari mereka masih terlihat sedang mengatur kendaraan,

serta hampir setiap hari dapat ditemui anak-anak yang bekerja ini.

b. Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini mulai dari

mengumpulkan, mengolah, dan menganalisa data adalah dari bulan Juli 2014 sampai

dengan Maret 2015.

3. Jenis Data

Menurut Suyanto (2007:55) jenis data berdasarkan sumbernya dibagi menjadi

dua, yaitu jenis data primer dan sekunder:

Page 29: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

20

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti.

Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan melalui metode

wawancara dan pengamatan langsung. Adapun dalam penelitian ini yang menjadi

data primer adalah para informan dengan kriteria telah ditetapkan oleh peneliti dan

juga informasi dari pegawai Kecamatan Ciputat.

b. Data Sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh dari lembaga atau

institusi tertentu. Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, laporan-

laporan artikel, jurnal, majalah baik dari media cetak maupun media online yang

berhubungan dengan topik dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Menurut Cresswell (2010:267) observasi dalam kualitatif merupakan penelitian

langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-

individu di lokasi penelitian. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat baik dengan

cara terstruktur maupun semi-struktur. Alasan peneliti melakukan observasi adalah

untuk mendapatkan gambaran kegiatan, interaksi serta perilaku anak-anak yang

bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga mengamati secara langsung lingkungan serta

tempat tinggal beberapa informan yang bekerja di jalan Merpati Raya. Dalam

melakukan kegiatan observasi peneliti melakukan beberapa kali observasi, hal ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku dan interaksi beberapa informan

dalam lingkungan pekerjaannya maupun di lingkungan rumah.

Page 30: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

21

b. Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada informan,

dan jawaban-jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam. Dalam

pengumpulan data penelitian melalui wawancara ini dengan mempersiapkan catatan-

catatan pertanyaan secara garis besar tentang pokok-pokok yang akan ditanyakan,

disebut juga dengan pedoman wawancara (Soehartono, 2011:67-68). Dalam

mewawancarai para informan, peneliti berusaha menggali lebih dalam informasi

yang terkait dengan penelitian ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

muncul pada situasi dan kondisi tertentu di lapangan. Tujuan dari wawancara ini

adalah guna mendapatkan data-data mengenai apa yang menyebabkan para informan

bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga mendapatkan gambaran dari informan yang

tidak dapat ditangkap melalui teknik observasi.

Dalam proses wawancara, peneliti menggunakan bahasa formal maupun

informal hal ini bertujuan agar memudahkan para informan untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan. Peneliti juga menggunakan alat bantu perekam suara pada

saat wawancara untuk merekam percakapan tanya jawab antara peneliti dan para

informan. Kemudian data yang berbentuk rekaman tersebut peneliti tuliskan kembali

dalam bentuk transkip yang kemudian peneliti analisis berdasarkan poin-poin penting

yang mendukung untuk analisis hasil peneltian. Proses wawancara ini memerlukan

persetujuan dari pihak informan agar data-data yang diperoleh dapat efektif dan

Page 31: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

22

bermanfaat bagi penulisan penelitian. Dalam proses wawancara di lapangan peneliti

menemui beberapa hambatan seperti tertutupnya para ―pak ogah‖ anak ini dengan

peneliti, sehingga peneliti harus lebih aktif dalam pendekatan dengan para informan

terutama pada saat wawancara. Kemudian proses wawancara dalam penelitian

dilakukan satu sampai dua kali pada setiap informan, hal ini disebabkan karena

kurangnya informasi yang didapat sehingga dibutuhkan wawancara tambahan untuk

mendapatkan data yang lebih mendalam, selain itu juga pada saat wawancara peneliti

terkadang harus mengulangi pertanyaan-pertanyaan agar informasi yang didapat

lebih jelas dan mendalam. Peneliti melakukan wawancara di dua lokasi para

informan bekerja yaitu, di pertigaan jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk Tol

Bintaro-BSD kemudian di pertigaan jalan Merpati Raya dan jalan Arya Putra.

5. Metode Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, kegiatan selanjutnya adalah pengolahan data (data

processing). Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Emzir (2011:129-134)

terdapat tiga proses dalam kegiatan analisis data kualitatif. Pertama, reduksi data

yang meliputi memilih, memfokuskan, membuang dan menyusun data yang

diperoleh dari hasil wawancara maupun observasi. Kedua, display data (penyajian

data). Dari data yang sudah direduksi, data-data tersebut dikategorikan berdasarkan

poin-poin penting dan dimasukan dalam bentuk matrik dan bagan. Dan ketiga adalah

penarikan kesimpulan. Dari data-data yang sudah direduksi dan disajikan dalam

Page 32: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

23

bentuk matrik dan bagan, poin-poin inti dari hasil temuan di lapangan tersebut ditarik

kesimpulan guna membahas atau menjawab masing-masing masalah penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pembahasan, maka dalam penulisan dibagi dalam empat

bab. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan: membahas pernyataan masalah, pertanyaan penelitian,

tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis,

metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Gambaran Umum: menjelaskan tentang profil yang akan dibahas pada

penelitian ini, yaitu gambaran umum lokasi penelitian dan gambaran umum subjek

penelitian di lokasi penelitian.

BAB III Temuan dan Analisis: merupakan bentuk pembahasan dan analisis

dari hasil penelitian berdasarkan data-data yang didapatkan di lapangan, hal ini

meliputi bagaimana gambaran kehidupan anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan

faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.

BAB IV Penutup: berisi kesimpulan dan saran.

Daftar Pustaka, dalam halaman ini berisi kepustaka yang digunakan dalam

penulisan penelitian. Baik yang berasal dari media cetak seperti buku, jurnal maupun

dari media elektronik internet seperti jurnal, laporan dan artikel.

Lampiran Penelitian, berisikan lampiran-lampiran keterangan pada saat

penelitian.

Page 33: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

24

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

A. Letak Geografis Kecamatan Ciputat

Lokasi penelitian terletak di wilayah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

Selatan. Luas wilayah Kecamatan Ciputat sekitar 1.838 Ha atau 12,49% dari luas

wilayah Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Ciputat memiliki tujuh Kelurahan yaitu

Kelurahan Sawah Baru, Serua, Ciputat, Sawah, Serua Indah, Jombang, dan

Cipayung. Letak geografis Kecamatan Ciputat di sebelah utara berbatasan dengan

wilayah Kecamatan Pondok Aren, di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah

Kecamatan Pamulang, di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan

Ciputat Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Serpong

(Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan).

B. Kondisi Demografis Kecamatan Ciputat

Dari data kependudukan di Kecamatan Ciputat, jumlah penduduknya terus

mengalami perubahan, hal ini dapat dilihat dari data terakhir yang dimiliki

Kecamatan Ciputat dari bulan April hingga Mei 2014. Berikut perubahan dan jumlah

penduduk di Kecamatan Ciputat:

Tabel II.B.1 Perubahan Penduduk dari Bulan April-Mei 2014

Kelurahan Jumlah Penduduk Kecamatan Ciputat

April Mei Perubahan %

Sawah Baru 23.534 23.634 100 0,05

Serua 34.345 34.575 230 0,12

Ciputat 26.128 26.236 108 0,06

Page 34: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

25

Sawah 27.663 27.866 203 0,11

Serua Indah 16.373 16.476 103 0,05

Jombang 38.098 38.288 190 0,10

Cipayung 24.932 25.055 123 0,06

Total 191.073 192.130 1.057 0,055

(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:69)

Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Ciputat berada di Kelurahan

Jombang dengan jumlah penduduk mencapai 38.288 dengan persentase perubahan

0,10%, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kelurahan Serua Indah

dengan jumlah penduduk 16.476 dan persentase perubahannya hanya 0,05%. Dari

data di atas menunjukan bahwa perubahan jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat

dari bulan April ke bulan Mei 2014 masing-masing kelurahan mengalami

pertumbuhan penduduk antara 0,05% sampai dengan 0,12%. Perubahan jumlah

penduduk ini merupakan hal yang wajar bagi suatu daerah karena disebabkan oleh

beberapa faktor seperti angka kelahiran yang tinggi, rendahnya angka kematian dan

adanya arus perpindahan penduduk sehingga menyebabkan angka pertumbuhan

penduduk semakin bertambah.

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dari laporan kependudukan

Kecamatan Ciputat:

Tabel II.B.2 Jumlah Penduduk Bedasarkan Jenis Kelamin

Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah

Sawah Baru 11.928 11.652 23.634

Serua 17.537 17.038 34.575

Ciputat 13.528 12.708 26.236

Sawah 14.275 13.591 27.866

Page 35: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

26

Serua Indah 8.405 8.071 16.476

Jombang 19.693 18.595 38.288

Cipayung 12.855 12.200 25.055

Total 98.275 93.855 192.130

(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:71)

Dari data di atas menunjukan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat

berjumlah 192.130 dengan komposisi jumlah penduduk berjenis kelamin laki laki

98.275 dan perempuan 93.855. Jumlah penduduk tertinggi laki-laki dan perempuan

berada di Kelurahan Jombang dengan jumlah laki-laki 19.693 dan perempuan

18.595, hal ini karena Kelurahan Jombang memiliki jumlah penduduk yang tertinggi

di Kecamatan Ciputat. Tingginya jenis kelamin laki-laki ini sesuai dengan komposisi

jumlah penduduk di Kota Tangerang selatan yang juga menunjukan bahwa jumlah

laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan (BPS Tangerang Selatan,

2013:49).

Jumlah penduduk berdasarkan umur di Kecamatan Ciputat adalah sebagai

berikut:

Tabel II.B.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Kecamatan Ciputat

NO Umur Jumlah Penduduk

1 <9 Tahun 25.968

2 10- 19 Tahun 32.414

3 20-29 Tahun 32.895

4 30-39 Tahun 37.399

5 40-49 Tahun 30.534

6 50-59 Tahun 19.667

7 > 60 Tahun 13.253

Total 192.130

(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:78-79)

Page 36: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

27

Jumlah penduduk berdasarkan usia terbanyak terdapat pada usia 30-39 tahun

dengan jumlah 37.399 penduduk. Tingginya usia antara 30-39 tahun ini merupakan

angkatan kerja yang produktif bagi daerah Ciputat, namun demikian angkatan kerja

ini bekerja pada sektor-sektor yang beranekaragam, baik di sektor formal maupun

sektor informal yang tersedia di wilayah ini, sehingga penghasilan yang didapat serta

kesejahteraan yang dimiliki masyarakat Ciputat juga berbeda-beda. Selain itu juga

jumlah penduduk di usia sekolah di Ciputat ini jumlahnya tergolong banyak.

Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan terakhir di Kecamatan Ciputat

sebagai berikut:

Tabel II.B.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir

No Status Pendidikan Jumlah Penduduk

1 Tidak/Belum Sekolah 26.989

2 Belum Tamat SD 17.541

3 Tamat SD 27.618

4 Tamat SMP 23.503

5 Tamat SMA 72.340

6 Tamat D1_2 1.035

7 Tamat D3 5.814

8 Tamat S1 16.093

9 Tamat S2 1.102

10 Tamat S3 95

Total 192.130

(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:75)

Penduduk di Kecamatan Ciputat berdasarkan tingkatan pendidikan terakhir

yang terbanyak adalah tamat SMA dengan jumlah 72.340. Sedangkan jumlah

penduduk berdasarkan tingkat pendidikan terakhir paling sedikit ditempati oleh tamat

Page 37: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

28

S3 dengan jumlah 95. Dari data tersebut menunjukan bahwa kebanyakan penduduk

di Kecamatan Ciputat telah berpartisipasi dalam menyukseskan program wajib

belajar 12 tahun, karena dengan mereka mengenyam pendidikan sampai dengan

SMA maka kualitas sumber daya manusia penduduk di Kecamatan Ciputat ini dapat

bersaing untuk memperoleh pekerjaan, agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan

hidup mereka. Namun demikian, perlu dilihat bahwa jumlah penduduk yang tidak

atau belum bersekolah juga cukup tinggi jumlahnya, hal ini harus menjadi perhatian

bagi Pemerintah dan masyarakat karena di kelompok yang tidak atau belum

bersekolah ini dikhawatirkan akan menjadi sebuah masalah sosial, yang salah

satunya adalah masalah putus sekolah dan timbulnya pekerja anak, seperti pekerja

anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini salah satunya.

Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Ciputat sebagai

berikut:

Tabel II.B.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk

1 Tidak/ Belum Bekerja 29.413

2 Mengurus Rumah Tangga 37.460

3 Pelajar/ Mahasiswa 49.553

4 Pensiunan 1.824

5 PNS 3.498

6 TNI 176

7 POLRI 660

8 Perdagangan 690

9 Karyawan

BUMN/BUMD/Swasta/Honorer/Lepas

41.867

10 Dosen 163

Page 38: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

29

11 Guru 1.211

12 Dokter 184

13 Perawat 85

14 Wiraswasta 22.997

16 Buruh 452

17 Nelayan/Perikanan 112

18 Peternak 458

19 Petani 137

20 Lainnya 1.190

Total 192.130

(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:80-85)

Dari data di atas menunjukan bahwa status pekerjaan yang terbanyak adalah

sebagai pelajar atau mahasiswa dengan jumlah 49.553. Tingginya angka pelajar atau

mahasiswa ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya fasilitas pendidikan seperti

perguruan tinggi dan sekolah-sekolah umum yang terdapat di wilayah sekitar

Tangerang selatan. Sementara itu, penduduk berdasarkan status pekerjaan di

Kecamatan Ciputat ini tersebar pada sektor formal maupun sektor informal. Jenis

pekerjaan yang banyak digeluti oleh penduduk di Ciputat ini adalah sebagai

karyawan BUMN/ BUMD/ Swasta/ Honorer/ Lepas dengan jumlah 41.867.

Pekerjaan ini banyak digeluti karena banyaknya perusahaan yang berlokasi di

kawasan Tangerang Selatan dan juga Jakarta yang jaraknya cukup dekat dengan

Ciputat, kemudian beragamnya pekerjaan yang digeluti masyarakat Ciputat ini

dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan yang berbeda-beda.

Page 39: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

30

Jumlah penduduk berdasarkan agama dan kepercayaan di Kecamatan Ciputat

sebagai berikut:

Tabel II.B.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan

No Agama Jumlah Penduduk

1 Islam 177.902

2 Kristen 8.781

3 Katholik 4.090

4 Hindu 382

5 Budha 929

6 Konghuchu 45

7 Kepercayaan lain 1

Total 192.130

(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:73)

Dari data di atas menunjukan bahwa di Kecamatan Ciputat ini terdapat tujuh

kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Mayoritas penduduk Kecamatan Ciputat

adalah beragama Islam dengan jumlah penduduk yang menganut mencapai 177.902

dan agama Kristen sebagai agama kedua terbanyak yang dianut oleh penduduk

Kecamatan Ciputat dengan jumlah 8.781. Banyaknya jumlah penduduk yang

beragama Islam ini sesuai dengan jumlah penduduk di Indonesia yang mayoritas

menganut agama Islam. Selain itu, terdapat satu penduduk yang menganut

kepercayaan lain selain dari enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, namun

demikian dari data yang ada di Kelurahan ini menunjukan bahwa kepercayaan

apapun yang ada di masyarakat dapat diterima dan diakui keberadaannya.

Page 40: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

31

Fasilitas pendidikan yang berada di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan

sebagai berikut:

Tabel II.B.7 Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Ciputat

No

Jenis Fasilitas

Jumlah

Keterangan

Negeri Swasta

1 TK/ RA 86 68 18

2 Sekolah Dasar/ MI 71 41 30

3 SMP/ MTS 36 1 35

4 SMA/ SMK/ MA 13 4 29

5 Pondok Pesantren 9 - -

(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:77)

Fasilitas pendidikan yang terbanyak di Kecamatan Ciputat adalah fasilitas TK/

RA dengan jumlah 86 sedangkan jumlah yang paling sedikit terdapat pada fasilitas

pendidikan pondok pesantren dengan jumlah 9. Dilihat dari keseluruhan jumlah

fasilitas pendidikan ini tergolong memadai bagi masyarakat Ciputat dalam

menempuh pendidikan yang secara komposisi penduduk juga menunjukan bahwa

usia sekolah di Ciputat ini juga cukup tinggi. Kemudian tingkat penghasilan

masyarakat Ciputat yang berbeda-beda membuat partisipasi dalam hal pendidikan ini

juga berbeda-beda dan dari penelitian ini menunjukan bahwa masih terdapat anak-

anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah karena disebabkan faktor biaya.

Fasilitas kesehatan di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan sebagai berikut:

Tabel 2.B.8 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Ciputat

No Jenis Fasilitas Jumlah

1 Puskesmas 4

2 Posyandu 25

Page 41: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

32

3 Klinik Umum 27

4 Rumah Sakit 2

5 Rumah Sakit Bersalin 19

(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:80)

Fasilitas kesehatan yang terbanyak adalah fasilitas klinik umum yang

mencapai 27, sedangkan yang paling sedikit adalah rumah sakit yang jumlahnya 2.

Dari data di atas menunjukan bahwa fasilitas kesehatan cukup memadai jika di

manfaatkan untuk masyarakat di Ciputat ini. Dibandingkan dengan kecamatan

lainnya yang ada di Tangerang selatan, jumlah fasilitas kesehatan di Kecamatan ini

dapat dikatakan banyak. Beranekaragamnya jenis pekerjaan, penghasilan dan

kesejahteraan yang ada dalam masyarakat Ciputat, membuat penduduk yang satu

dengan yang lainnya dalam menjangkau fasilitas kesehatan yang ada di Ciputat ini

berbeda-beda.

Fasilitas peribadatan yang terdapat di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan

sebagai berikut:

Tabel II.B.9 Fasilitas Peribadatan di Kecamatan Ciputat

No Jenis Sarana Jumlah

1 Masjid 93

2 Musolah 177

3 Gereja 14

4 Pura -

5 Wihara -

(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:134)

Dari tabel di atas menunjukan bahwa jumlah fasilitas peribadatan yang paling

banyak adalah Musolah dengan jumlah 177 dan kemudian Masjid dengan jumlah 93.

Page 42: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

33

Banyaknya jumlah fasilitas Musolah dan Masjid merupakan hal yang wajar, karena

mayoritas masyarakat di Kecamatan ini memeluk agama Islam. Namun demikian

terdapat beberapa fasilitas peribadatan yang belum ada seperti Pura dan Wihara,

padahal jumlah penganut agama hindu dan budha di Kecamatan Ciputat ini

jumlahnya cukup banyak.

C. Gambaran Umum “Pak Ogah” Anak di Ciputat

Sebutan ―pak ogah‖ pada awalnya merupakan salah satu nama tokoh boneka di

serial si unyil yang identik dengan jargon ―cepek dulu‖, dalam kehidupan nyata

istilah ―pak ogah‖ mengalami pergeseran makna menjadi sebuah sebutan untuk suatu

jenis pekerjaan yang digeluti masyarakat. ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat

terhadap seseorang atau sekelompak orang di luar institusi negara yang mengatur

jalan di persimpangan-persimpangan, tujuan dari ―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk

mendapatkan nafkah kehidupan, atau berlatarkan motif ekonomi semata (Azmi,

2013).

Anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak di Ciputat ini bukanlah

termasuk dalam golongan anak jalanan sebenarnya, melainkan termasuk dalam

golongan anak di jalanan. Hal ini sesuai definisi UNICEF dalam ILO yang diterima

secara luas, yang menetapkan anak jalanan dalam dua kategori utama:

Anak di jalanan adalah mereka yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi

yaitu mulai dari mengemis hingga menjual, yang sebagian besar dari mereka

pulang ke rumah pada sore hari dan memberikan hasil yang diperoleh kepada

keluarga mereka. Mereka mungkin bersekolah dan memelihara rasa sebagai

bagian dari sebuah keluarga…anak jalanan sebenarnya adalah anak-anak yang

Page 43: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

34

hidup di jalanan (atau di luar lingkungan keluarga yang normal). Ikatan

keluarga mungkin masih ada namun lemah (2008:15).

Kehidupan sehari-hari seluruh informan yang masih tinggal bersama orang tua

menunjukan bahwa mereka berada di jalanan hanya untuk bekerja mencari uang saja

dan bukan sekaligus untuk hidup di jalanan, kemudian dari sebagian besar informan

juga memberikan hasil pendapatannya kepada orang tua mereka untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa ikatan keluarga

mereka masih kuat.

Keberadaan ―pak ogah‖ anak di Ciputat jumlahnya terbilang banyak, namun

demikian tidak ada data yang mencatatnya membuat peneliti kesulitan mengetahui

jumlah pasti anak-anak tersebut. Menurut pegawai Kecamatan Ciputat yang

diwawancarai peneliti mengatakan ―Kalo data pekerja ―pak ogah‖ mah nggak ada

dek, soalnya mereka itu bukan warga sini, warga dari luar Ciputat‖(Wawancara

dengan pegawai Kecamatan Ciputat bagian kesejahteraan sosial, Ciputat, 30 Juni

2014). Namun demikian, hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukan

bahwa para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak ini merupakan warga

yang tinggal di Kecamatan Ciputat dan sebagaian besar merupakan warga asli

Ciputat.

Dari pengamatan di lapangan, para ―pak ogah‖ anak di Ciputat ini bekerja

secara berkelompok, dalam satu kelompok tersebut terdapat lima sampai sepuluh

orang lebih, mereka biasanya datang ke satu lokasi kerja secara bersama-sama tetapi

yang bekerja mengatur lalu lintas jalan hanya satu sampai tiga orang saja. Dalam satu

Page 44: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

35

kelompok biasanya memiliki kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan, salah

satu bentuk kesepakatan mereka adalah dalam menentukan bagaimana cara mengatur

waktu pergantian bekerja. Selain itu kelompok-kelompok ―pak ogah‖ ini memiliki

lokasi masing-masing yang dijadikan tempat bekerja dan juga biasanya tetap pada

satu lokasi saja tidak berpindah-pindah ke lokasi lain. Hal ini diungkapkan informan

DR ―Iya tetep di sini, ada daerahnya masing-masing…nggak boleh sama Polisi,

bolehnya di sini doang. Di sini kan udah dari dulu udah lama‖(Wawancara dengan

DR, Ciputat, 12 Agustus 2014).

Tedapat dua lokasi yang dijadikan tempat untuk anak-anak ini bekerja sebagai

―pak ogah‖. Pertama, terdapat di pertigaan antara jalan Cendrawasih Raya dan pintu

masuk tol Bintaro-BSD, dari hasil observasi peneliti melihat bahwa lokasi ini

memiliki posisi yang strategis karena di pertigaan ini merupakan tempat bertemunya

arus lalu lintas yang berasal dari Ciputat dan Bintaro untuk memasuki kawasan

Tangerang dan Jakarta melalui pintu masuk tol Bintaro-BSD ini, pertigaan ini

merupakan lokasi lalu lintas yang ramai dan padat sehingga kemungkinan

mendapatkan uang semakin besar. Kedua, terdapat di pertigaan antara jalan Merpati

Raya dan Arya Putra, lokasi ini dijadikan anak-anak untuk mengatur lalu lintas,

karena dalam kesehariannya lalu lintas di pertigaan ini cukup ramai oleh pengendara

motor maupun mobil yang akan berangkat ataupun pulang bekerja, hal ini

disebabkan karena terdapat banyak pemukiman penduduk dan juga perumahan-

perumahan yang ada disekitarnya.

Page 45: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

36

BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS

A. Karakteristik dan Kehidupan Pekerja Anak Sebagai “Pak Ogah”

Dalam bab ini penulis menjelaskan berdasarkan hasil temuan di lapangan

terkait dengan karakteristik dan gambaran kehidupan informan yang bekerja sebagai

―pak ogah‖ anak di wilayah penelitian serta faktor apa yang menyebabkan informan

bekerja. Adapun karakteristik dan gambaran kehidupan informan yang dibahas

adalah sebagai berikut:

1. Jenis Kelamin

Dalam temuan di lapangan, para informan seluruhnya berjenis kelamin laki-

laki, hal ini membuktikan bahwa stereotype yang masih berkembang di masyarakat

bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja di ruang publik

atau kepala rumah tangga juga menurun kepada level anak-anak yang berjenis

kelamin laki-laki. Hal ini juga sesuai dengan temuan ILO tentang pekerja anak:

Pekerja anak laki-laki lebih tinggi jumlahnya daripada anak perempuan dan

anak laki-laki dipekerjakan dalam banyak bentuk terburuk pekerja anak, seperti

di industri skala rumah tangga, sektor pertambangan, perkebunan dan

penangkapan ikan lepas pantai…survei statistik sering kali memberikan

perkiraan yang lebih rendah mengenai jumlah anak perempuan yang bekerja,

dan pada umumnya perkiraan tersebut tidak memperhitungkan kegiatan-

kegiatan ekonomi tak berupah seperti pekerjaan dalam usaha rumah tangga,

atau kegiatan usaha tersembunyi seperti prostitusi, perdagangan anak dan

pekerjaan rumah tangga yang banyak sekali melibatkan anak perempuan

(2008:1).

Bekerjanya para informan di ruang publik, karena sudah diperbolehkan oleh

orang tua mereka. Seperti yang diungkapkan MP ―Ya tau. Ya nggak apa-apa asal

Page 46: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

37

jangan ketabrak, jangan petekelan‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September

2014). Orang tua mengizinkan mereka bekerja salah satunya disebabkan karena

mereka tidak memiliki kegiatan rutin seperti bersekolah. Seperti yang dikemukakan

oleh informan AR yang sudah tidak bersekolah ―Boleh sama orang tua, daripada

diem bae dirumah nggak ada kegiatan‖(Wawancara dengan AR, Ciputat 1 September

2014). Hal ini juga sesuai dengan temuan BPS dan ILO yang mengemukakan:

Kemiskinan memainkan peran utama dalam kerentanan anak-anak untuk

pekerja anak. Namun faktor-faktor lain yang berperan, termasuk persepsi orang

tua tentang pentingnya pendidikan, kurangnya akses terhadap pendidikan, dan

rendahnya kualitas pendidikan. Tradisi dan budaya juga memainkan peran

seperti persepsi budaya sifat kanak-kanak, dan peran tanggung jawab anak-

anak terhadap orang tua dan saudara kandung mereka yang mempengaruhi

orang tua untuk memutuskan apakah seorang anak dikirim ke sekolah atau

menjadi pekerja (2009:6).

2. Usia

Usia para informan ini beragam, yang paling kecil berusia 13 tahun dan yang

terbesar 17 tahun. Berikut data informan berdasarkan usia:

Tabel. III.A.1 Usia Informan

No Nama Usia

1 DR 15 Tahun

2 BHR 17 Tahun

3 AR 16 Tahun

4 RVL 13 Tahun

5 DK 14 Tahun

6 EG 16 Tahun

7 FRK 17 Tahun

8 MP 15 Tahun

9 AN 14 Tahun

10 BP 15 Tahun

Page 47: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

38

Para informan yang usianya masih anak-anak ini sudah mulai bekerja karena

masih adanya sebagian budaya di Indonesia yang memperbolehkan anak-anak di usia

dini untuk bekerja, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Warsini:

Suatu budaya dalam keluarga bahwa anak sejak usia muda sudah melakukan

pekerjaan atau sebagai pekerja. Tanpa disadari para orangtua beranggapan

bekerja sebagai pekerja anak sudah merupakan tradisi atau kebiasaan dalam

masyarakat, anak diperintahkan bekerja sebagai pekerja dengan alasan untuk

mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi kehidupan

di masyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah dewasa…pekerja anak

sendiri merasa bangga dapat bekerja memperoleh penghasilan untuk

kepentingan sendiri, maupun membantu ekonomi keluarga dan dapat

membiayai adik-adiknya sekolah (2005:16).

Usia para informan yang dapat dikatakan sebagai usia anak-anak dan remaja,

masa-masa mereka semestinya menikmati dunia belajar dan bermain, serta tahap

mereka mencari jati diri dan identitas mereka, pada masa ini juga anak-anak

mengalami berbagai perkembangan dari segi fisik maupun psikologis mereka dan

pada dasarnya mempunyai kebutuhan khusus yang harus diberikan dan merupakan

hak anak, seperti kebutuhan untuk pendidikan, bermain dan istirahat. Namun pada

kenyataanya di usia dini para informan sudah memilih untuk bekerja, tentunya

pekerjaan dan lingkungan kerja bagi anak dapat menimbulkan dampak negatif

terhadap tumbuh dan berkembangnya anak baik fisik, mental, sosial maupun

intelektualnya (Warsini, 2005:8-10), terlebih lagi pekerjaan yang mereka geluti

adalah sebagai ―pak ogah‖ yang dapat masuk kedalam kategori berbahaya bagi anak.

Hal ini dapat dianalisa dari penjelasan Warsini yang mengemukakan:

Pekerjaan yang berbahaya digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan

terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Bentuk Pekerjaan terburuk

Page 48: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

39

untuk anak menurut pasal 74 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003, meliputi semua

pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak…

Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi

pekerjaan yang mengandung bahaya fisik (2005:13-14).

Para informan dalam melakukan pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ memiliki

berbagai bahaya yang harus dihadapi. Seperti dari segi lingkungan pekerjaan, para

informan harus berinteraksi dengan orang dewasa yang juga bekerja sebagai ―pak

ogah‖. Peneliti melihat bahwa dalam interaksinya para informan yang masih anak-

anak ini cenderung tereksploitasi oleh orang-orang dewasa yang ada di sekitar

lingkungan kerja, salah satu bentuk ekspolitasi tersebut adalah disuruh untuk

membeli makanan, minuman, ataupun rokok. Selain itu dari pengamatan peneliti

ditemukan bahwa semua informan ini ternyata juga merokok, tentu hal ini bukanlah

hal yang baik bagi kesehatan fisik. Bentuk eksploitasi lainnya adalah persaingan

dalam hal waktu kerja, terkadang para informan harus mengalah ketika bekerja

karena menerima omelan dari para ―pak ogah‖ dewasa yang ingin bekerja di saat

informan sedang bekerja.

Kemudian, dari hasil wawancara ditemukan bahwa sebagian informan

mengungkapkan mereka pernah dipalak atau diperas oleh orang yang tidak dikenal.

Hal ini disampaikan informan BHR ―Kadang-kadang…au saya nggak kenal, saya

kasih dua ribu. Dia minta buat tambahan, saya kasih aja daripada ngapa-ngapa

ntar‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan AN yang

mengungkapkan:

Page 49: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

40

Dimintain duit paling kalo orang lewat, Abang-abangan lewat sini minta seribu

dua ribu kasih. Dipalakin pernah, kayak Abang-abang mabok lewat minta,

yaudah kasih aja, daripada kenapa-kenapa. Ya kalo kasih paling kasih lima

ribu…(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014).

Dari hasil observasi peneliti juga melihat bahwa anak-anak ini pernah terjaring

razia oleh Polisi, hal ini disebabkan karena pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang

dianggap bagi sebagian orang sebagai pekerjaan yang meresahkan pengguna jalan

karena menggangu lalu lintas dan menjadi penyebab kemacetan. Meskipun mereka

sudah pernah terjaring razia namun pada kenyataanya mereka kembali bekerja

dengan alasan bila tidak bekerja mereka tidak bisa mencari uang untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

Selain itu juga masalah serius yang dihadapi para informan ketika sedang

bekerja adalah teguran dari para pengguna jalan yang merasa terganggu dengan

keberadaan mereka, bahkan tak jarang teguran ini menjadi kekerasan pada anak

dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Hal ini diungkapkan oleh informan BHR

―Kadang-kadang suka kalo lagi macet diomelin…ya dibentak, ya kayak gimana ya,

orangnya turun nyamperin, bilang ini gimana nih macet gini…‖(Wawancara dengan

BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Kemudian Informan BP yang mengungkapkan

―Resikonya paling ditabrak mobil. Noh manusianya si Frk, bukan ketabrak, ditabrak

malah bang‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014).

Kemudian juga lingkungan pekerjaan yang berada di jalan raya ini membuat

mereka harus berhadapan langsung dengan polusi kendaraan maupun debu jalanan

dan juga cuaca panas ataupun hujan, sehingga kondisi lingkungan pekerjaan ini

Page 50: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

41

bukanlah tempat yang ideal bagi kesehatan fisik mereka. Bahkan yang paling

berbahaya dari pekerjaan ini adalah bagi keselamatan nyawa, karena kondisi

lingkungan pekerjaan ini tidak terlepas dari ramainya kendaraan yang melintas yang

tentunya membahayakan bagi anak karena beresiko tertabrak. Hal ini diungkapkan

oleh informan AR:

Ya gitulah bang, ya kalo lagi markirin malem doang, kalo malem-malem

gelap, kadang-kadang mobil nyelonong-nyelonong aja, iya ngeri‖(Wawancara

dengan AR, Ciputat, 1 September 2014).

Dan Informan DK yang mengatakan:

Resikonya nyawa bang, kalo mobilnya kaga berhenti, terus juga tiba-tiba ada

motor yang nyerempet…pernah bang sekali. Kita berhentiin bukannya berhenti

malah nyerempet tangan‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September

2014).

Dari penjelasan di atas menunjukan bahwa pekerjaan yang dilakukan para

informan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan yang berbahaya dan seharusnya

tidak dikerjakan oleh mereka, namun karena kondisi kemiskinan yang dialami

sebagian informan membuat mereka tetap bertahan berkerja. Kondisi kemiskinan

yang menyebabkan informan bekerja, juga sesuai dengan temuan Siswoyo (1998:60)

yang mengungkapkan bahwa faktor pendorong yang menyebabkan anak bekerja

salah satunya adalah karena kemiskinan orang tua.

3. Suku dan Agama

Dalam temuan di lapangan pada penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas

informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ berasal dari suku Betawi, hal ini wajar

Page 51: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

42

karena menurut data Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan (2014) menunjukan

bahwa mayoritas masyarakat asli di Tangerang Selatan adalah suku Betawi.

Kemudian juga seperti diketahui bahwa karaktristik orang Betawi yang identik

dengan pekerjaan informal, ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Abdul Azis:

Ketika pendidikan modern diperluas oleh Pemerintah Republik Indonesia

untuk seluruh warga negara, orang Betawi cenderung memilih pendidikan

agama. Konsekuensinya, akses terhadap mereka kepada sektor-sektor profesi

modern menjadi sangat terbatas (2002:5).

Terbatasanya akses mereka menempati profesi-profesi modern ini membuat

mereka beralih kepada pekerjaan-pekerjaan informal. Hal ini berdampak kepada

penghasilan dan perekonomian mereka yang juga menjadi terbatas.

Namun demikian, sebagian informan ini juga ada yang berasal dari suku Jawa.

Adanya suku pendatang di perkotaan merupakan hal yang wajar karena menurut

penjelasan Nurhayati:

Secara umum timbulnya migrasi karena adanya pull faktor kota sebagai pusat

aktivitas dan kegiatan perekonomian dan push faktor kurangnya fasilitas dan

kesempatan yang tersedia di pedesaan. Sebagian besar individu yang

bermigrasi ke kota adalah usia produktif yang berkemauan keras dan kuat

untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik untuk dirinya dan keluarganya

(2013:104).

Walaupun demikian, dalam konteks ini pernyataan tersebut berbeda dengan

temuan di lapangan dalam penelitian ini yang menunjukan bahwa mayoritas yang

bekerja ini adalah suku asli Betawi. Meskipun begitu, seperti diketahui bahwa

Kecamatan Ciputat yang merupakan bagian dari kota Tangerang Selatan memiliki

daya tarik bagi para pendatang selain karena berbatasan dengan Jakarta sebagai pusat

perekonomian, kota ini juga memiliki berbagai fasilitas seperti pendidikan,

Page 52: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

43

kesehatan, perumahan, perekonomian dan adanya berbagai macam jenis pekerjaan

yang tersedia. Namun demikian para pendatang yang mempunyai keterbatasan dalam

hal modal pendidikan, keterampilan maupun modal lainnya untuk bersaing dalam

pekerjaan formal menyebabkan mereka bekerja pada sektor-sektor informal seperti

bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini sesuai dengan penjelasan Todaro dan Smith

(2006:393) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya mereka yang berada di

sektor informal adalah pendatang baru dari pedesaan yang gagal memperoleh tempat

di sektor formal, motivasi mereka hanya terbatas pada upaya untuk mempertahankan

kelangsungan hidup agar bisa makan pada hari ini atau esok dan bukan untuk

menumpuk keuntungan apalagi kekayaan. Selain itu juga menurut Halim (2008:264)

faktor kemiskinan bahkan memaksa para orang tua khususnya kaum pendatang untuk

mempekerjakan anak-anaknya pada usia dini di sektor-sektor informal dan

kondisinya semakin parah ketika anak-anak tersebut dieksploitasi hanya untuk

sekedar bertahan hidup.

Selanjutnya, dari sisi agama menunjukan bahwa seluruh informan beragama

Islam. Hal ini wajar karena dari data yang ada di Kecamatan Ciputat menunjukan

bahwa penduduknya mayoritas memeluk agama Islam. Berikut data informan

berdasarkan suku dan agama:

Tabel III.A.2 Suku dan Agama Informan

No Nama Suku Agama

1 DR Betawi Islam

2 BHR Betawi Islam

3 AR Betawi Islam

Page 53: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

44

4 RVL Betawi Islam

5 DK Betawi Islam

6 EG Betawi Islam

7 FRK Jawa Islam

8 MP Betawi Islam

9 AN Jawa Islam

10 BP Jawa Islam

Dalam ajaran Islam mendidik anak untuk bekerja sebenenarnya diperbolehkan,

asal tidak diekspolitasi. Hal ini seperti yang dijelaskan Subhan:

Eksploitasi anak dapat terjadi dalam suatu pekerjaan atau dengan alasan

pembelajaran. Semua hal tersebut dapat berakibat langsung pada fisik, mental

psikologi mereka. Islam jelas melarang hal ini. Sebuah hadist yang masyhur

tentang pendidikan anak mengurai kewajiban orang tua untuk mendidik

anaknya tanpa harus memaksakan kehendak diri orang tua. Tanpa harus

mengeksploitasi anak.―Didiklah Anak-anakmu, karena mereka diciptakan

untuk menghadapi jaman yang berbeda dengan jamanmu‖, pesan Nabi itu

menegaskan bahwa karakter pendidikan haruslah futuristik dan membebaskan

setiap anak untuk berkreasi sesuai minat dan bakat untuk eranya, tanpa harus

merampas kenyamanan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak (2009).

Namun demikian, pada kenyataanya di lapangan menunjukan bahwa masih

banyak anak-anak muslim menjadi pekerja anak, seperti dalam penelitian ini.

Walapun mereka bekerja tanpa paksaan, namun secara tidak sadar sebenarnya

mereka juga mengalami kerugian seperti terganggunya pendidikan, kehilangan masa

belajar, bermain dan juga beristirahat. Selain itu juga pekerjaan yang dilakukan anak-

anak ini merupakan pekerjaan yang tergolong berbahaya bagi anak karena dapat

membahayakan keselamatan dan kesehatan mereka.

Page 54: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

45

4. Pendidikan Informan

Latar belakang pendidikan para informan menunjukan bahwa pendidikan anak

yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini bervariasi, berikut data informan berdasarkan

pendidikan:

Tabel III.A.3 Matrik Pendidikan Informan

No Nama Sekolah Putus Sekolah

SD SMP SMA/

SMK

SD SMP SMA/

SMK

1 DR √

2 BHR √

3 AR √

4 RVL √

5 DK √

6 EG √

7 FRK √

8 MP √

9 AN √

10 BP √

Terdapat dua kategori pendidikan informan, yaitu masih sekolah dan putus

sekolah. Dari seluruh informan, mayoritas sudah putus sekolah dan hanya minoritas

yang masih bersekolah. Seluruh informan yang putus sekolah kebanyakan di jenjang

sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan para informan yang masih bersekolah

berada pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP), sekolah dasar

(SD) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Semua informan yang masih

mengenyam pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan hal yang penting

untuk masa depan. Hal ini menunjukan bahwa mereka menyadari pendidikan adalah

suatu hal yang penting bagi dirinya di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh

Page 55: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

46

informan AN ―Penting supaya masa depannya lebih baik dari orang tua kita, orang

tua saya‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 september 2014).

Namun demikian, yang menganggap pendidikan itu penting bukan hanya dari

informan yang masih bersekolah saja, tetapi sebagian informan yang sudah putus

sekolah juga menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi

kehidupan masa depan mereka. Meksipun jumlah fasilitas sekolah di Ciputat cukup

memadai, namun keterbatasan akses terhadap pendidikan, seperti kurangnya biaya

dan tidak adanya bantuan dari instansi terkait membuat mereka tidak dapat

melanjutkan sekolah. Seperti yang diungkapkan informan BHR:

Sebenernya pengen sih sekolah, cuma biayanya nggak ada…belom pernah,

biaya sendiri (tidak adanya bantuan pada saat masih sekolah)‖(Wawancara

dengan BHR, Ciputat 12 Agustus 2014).

Mayoritas informan yang sudah putus sekolah ini disebabkan karena

kurangnya pendapatan orang tua informan untuk membiayai pendidikan yang terbaik

bagi anaknya. Hal ini dapat di lihat dari tabel matrik berikut ini:

Tabel A.III.4 Matrik Penghasilan Orang Tua Dalam Membiayai

Pendidikan

Nama Penghasilan Orang Tua Dalam

Membiayai Pendidikan

Cukup Tidak Mencukupi

DR √

BHR √

AR √

RVL √

DK √

EG √

Page 56: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

47

FRK √

MP √

AN √

BP √

Keterbatasan mayoritas informan yang tidak bersekolah ini sesuai dengan teori

sub-budaya kemiskinan oleh Oscar Lewis dalam Suparlan (1993:8) yang

menjelaskan bahwa salah satu karakteristik sub-budaya kemiskinan adalah

terbatasnya akses terhadap layanan dan sarana pendidikan. Selanjutnya, hal ini juga

sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Suyanto yang mengungkapkan bahwa:

Dalam studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan

faktor pendorong yang paling mendasar yang menyebabkan kesempatan

masyarakat khususnya anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi

terhambat (2010:355).

5. Waktu Bekerja Informan

Para informan bekerja pada waktu dan durasi yang bervariasi, karena

tergantung beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor pendidikan mereka, bagi

para informan yang masih bersekolah waktu bekerjanya terbatas karena biasanya

hanya bisa bekerja pada waktu pulang sekolah atau sebelum sekolah berbeda dengan

para informan yang sudah tidak bersekolah waktu untuk bekerjanya juga semakin

banyak. Kemudian faktor lainnya juga tergantung kondisi di lokasi pekerjaan, jika

yang bekerja banyak maka waktu untuk bekerja mereka semakin sedikit, terlebih lagi

jika adanya ―pak ogah‖ dewasa yang bekerja yang membuat para informan ini

waktunya semakin terbatas karena harus mengalah.

Page 57: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

48

Dari hasil wawancara menunjukan bahwa para informan mengeluti pekerjaan

ini antara satu tahun yang paling baru sampai dengan empat tahun yang paling lama,

hal ini menunjukan bahwa mereka sudah lama bekerja dan juga menjadikan

pekerjaan ini sebagai pekerjaan tetap mereka. Seperti yang diungkapkan informan

BP ―Dari SD sekarang udah SMK, udah empat tahun‖(Wawancara dengan BP,

Ciputat 22 September 2014). Sebagian besar informan bekerja dalam seminggu

sebanyak tiga sampai empat hari, hanya sebagian kecil saja mengungkapkan bahwa

mereka bekerja setiap hari. Hal ini seperti yang diungkapan informan DK ―Kalo

nggak tiga, ya empat harian‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September 2014).

Mayoritas informan bekerja pada durasi waktu antara satu sampai dua jam saja

dalam sehari. Hal ini seperti yang diungkapkan informan AN ―…kira-kira sehari

dapet markir dua jam kalo nggak satu jam setengahlah‖(Wawancara dengan AN,

Ciputat, 8 September 2014). Dilihat dari durasi waktu bekerja dalam sehari,

mayoritas informan tergolong bekerja pada durasi waktu yang di perbolehkan untuk

anak-anak usia 13-17 tahun. Hal ini seperti yang jelaskan Warsini (2005:2012)

bahwa anak-anak yang berusia di atas 13 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan

dengan harus memenuhi syarat yang salah satunya adalah waktu kerja maksimal tiga

jam dalam sehari. Namun demikian kembali lagi bahwa dari segi kesehatan dan

keselamatan pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan yang berbahaya,

yang seharusnya tidak dikerjakan oleh para informan. Selain itu juga masih ada

sebagian kecil informan yang bekerjanya melebihi waktu dari tiga jam bahkan dalam

Page 58: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

49

sehari bisa sampai delapan jam. Hal ini diungkapan oleh informan DR ―Sehari

delapan jam‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014).

Waktu bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini ditentukan berdasarkan kesepakatan

bersama, mereka yang datang lebih awal ke lokasi bekerja maka dialah yang berhak

untuk bekerja lebih dulu. Kemudian juga terdapat kesepakatan dalam menentukan

waktu jadwal pergantian bekerja, ada dua cara dalam mengaturnya. Pertama, mereka

bergantian berdasarkan waktu atau jam bekerja. Hal ini diungkapkan informan DR

―Ya satu orang bisa empat puluh menit, ganti-gantian bergiliran. Siapa yang dateng

duluan dia duluan yang markirin‖(Wawancara dengan DR, Ciputat 12 Agustus

2014). Kedua, mereka bergantian berdasarkan target pendapatan. Hal ini

disampaikan informan FRK ―...berdasarkan duitnya aja, misalkan yang markirin ada

empat orang, ya dua orang dua orang dulu, kalo misalkan seorang udah dapet lima

ribu ya ganti‖(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Biasanya

aktivitas yang dilakukan mereka dalam menunggu pergantian bekerja ini adalah

dengan memainkan handphone dan juga mengobrol atau bercanda dengan sesama

―pak ogah‖ lainnya.

6. Pendapatan informan

Pendapatan yang diperoleh dari bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini antara 5000

sampai dengan 80.000 perhari. Berikut adalah data pendapatan informan dalam

sehari:

Page 59: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

50

Tabel III.A.5 Pendapatan Informan

No Nama Pendapatan

1 DR 30.000 - 50.000 Sehari

2 BHR 25.000- 80.000 Sehari

3 AR 30.000- 50.000 Sehari

4 RVL 20.000- 30.000 Sehari

5 DK 30.000- 40.000 Sehari

6 EG 50.000 Sehari

7 FRK 5.000- 10.000 Sehari

8 MP 15.000 Sehari

9 AN 10.000- 20.000 Sehari

10 BP 10.000-40.000 Sehari

Pendapatan yang diperoleh para informan ini tergantung waktu dan durasi

mereka bekerja, semakin sering dan semakin lama mereka bekerja maka semakin

banyak juga penghasilannya. Namun demikian, para informan ini harus bergantian

dan juga harus mengalah dengan ―pak ogah‖ dewasa, hal inilah yang mempengaruhi

pendapatan keseharian mereka. Seperti yang diungkapkan informan EG―…yang

gede-gedenya kadang-kadang suka minta gantian markirinnya, orang saya baru naek

markirin udah disuruh ganti sama dia. Kan pendapatan kita jadinya kecil gara-gara

gantian begitu‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Selain itu juga

karena pendapatan ini tergantung pada pengguna jalan yang memberi uang, maka

pendapatan yang didapat dalam sehari-hari ini tidak menentu. Namun demikian,

berdasarkan data di atas menunjukan bahwa pendapatan yang didapat oleh sebagian

para informan ini tergolong cukup besar bagi para informan yang masih anak-anak

ini, sehingga pendapatan tersebut juga mempengaruhi mereka untuk tetap bekerja

sebagai ―pak ogah‖.

Page 60: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

51

7. Latar Belakang Keluarga Informan

Dalam penelitian ini latar belakang keluarga informan dapat dilihat

berdasarkan jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, penghasilan orang tua dan jumlah

anggota keluarga. Berikut data pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua

informan:

Tabel III.A.6 Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan Orang Tua dan Jumlah

Anggota Keluarga.

No Nama Pendidikan

Orang Tua

Pekerjaan Orang Tua Penghasilan Orang

Tua

Jumlah

Anggota

Keluarga Bapak Ibu Bapak Ibu Bapak Ibu

1 DR SD SD Pegawai

Swasta

Ibu Rumah

Tangga

80.000

/ hari

- 4 Orang

2 BHR SMP SD - Asisten Rumah

Tangga

- 25.000

/ hari

2 Orang

3 AR SD Tidak

Sekolah

Buruh

Bangunan

Asisten Rumah

Tangga

40.000

/ hari

500.000

/ bulan

4 Orang

4 RVL - SMP - Asisten Rumah

Tangga

- 50.000

/ hari

3 Orang

5 DK SMP SD Buruh

Bangunan

Ibu Rumah

Tangga

60.000

/ hari

- 6 orang

6 EG SMP SD Buruh Asisten Rumah

Tangga

70.000

/ hari

30.000

/ hari

5 Orang

7 FRK SMA SMA Penceramah Ibu Rumah

Tangga

120.000

/ Tidak

Tentu

- 6 Orang

8 MP SD SD Tidak

bekerja

Asisten Rumah

Tangga

Tidak Ada

50.000

/hari

5 Orang

9 AN SD SD Tukang

Ojek

Ibu Rumah

Tangga

200.000

/ hari

- 4 Orang

10 BP D3 SMA Montir Pegawai

Swasta

200.000

/ hari

1.000.000

/bulan

6 Orang

Page 61: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

52

Dari tabel tersebut menunjukan bahwa terdapat variasi jenjang pendidikan

terakhir dari para orang tua informan. Mayoritas orang tua informan hanya

mengenyam pendidikan di sekolah dasar (SD), kemudian juga masih terdapat orang

tua informan yang tidak bersekolah, hal ini menunjukan masih rendahnya kualitas

pendidikan orang tua mereka. Selanjutnya, sebagian orang tua informan mengenyam

pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA)

dan hanya sebagian kecil dari orang tua informan yang menempuh pendidikan

perguruan tinggi sampai D3. Bervariasinya pendidikan para orang tua informan ini

juga berpengaruh terhadap jenis pekerjaan dan penghasilannya. Hal ini sesuai dengan

temuan penelitian Silalahi yang menjelaskan bahwa:

Faktor pendidikan ini memengaruhi jenis pekerjaan dan penghasilan yang

diterima…hal ini terlihat dari pendidikan orang tua di masa muda mereka.

Pendidikan mereka yang tidak sampai perguruan tinggi membuat pekerjaan

mereka pun hanya berkisar pada jenis-jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik

seperti kuli, buruh dan sebagainya. Oleh karena itu penghasilan yang diperoleh

pun rendah. Dalam hal ini, lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi jenis

pekerjaan mereka (2010:304).

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, peneliti mengkategorikan status

pekerjaan menjadi dua, yaitu bekerja dan tidak bekerja. Mayoritas Bapak informan

ini masih bekerja, hanya sebagian kecil yang sudah tidak bekerja. Bapak informan

yang sudah tidak bekerja disebabkan karena sudah meninggal dan juga karena usia

yang sudah tua. Selanjutnya sebagian dari Ibu para informan juga bekerja

(berpenghasilan). Sebagian dari mereka bekerja karena untuk menggantikan peran

Bapak yang sudah meninggal ataupun yang tidak bekerja, sedangkan sebagian lain

Page 62: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

53

Ibu informan yang bekerja (berpenghasilan) tujuannya untuk membantu suami dalam

memenuhi kebutuhan keluarga. Mayoritas orang tua informan bekerja di sektor

informal seperti, penceramah, tukang ojek, pekerja bagunan, buruh, montir dan

asisten rumah tangga. Hanya sebagian kecil orang tua informan bekerja dalam sektor

formal seperti pegawai swasta.

Bervariasinya jenis pekerjaan orang tua informan ini berpengaruh pada tingkat

penghasilan orang tua. Dilihat dari penghasilan orang tua para informan dan jumlah

anggota keluarga yang harus ditanggung, menunjukan bahwa sebagian besar para

informan ini tergolong dalam keluarga yang berada pada garis kemiskinan karena

pengeluaran perkapita perhari dalam keluarga tersebut sesuai dengan standar

kemiskinan yang ditetapkan oleh bank dunia yaitu pengeluaran perkapita perhari

setara dengan US$ 2 PPP (Purchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli) atau jika di

rupiahkan sekitar 25.000 rupiah (BPS, 2008:39). Hal ini membuktikan bahwa

pekerjaan ―pak ogah‖ memang mayoritas digeluti oleh anak-anak yang berasal dari

latar belakang keluarga tidak mampu atau miskin, namun tidak menutup

kemungkinan bahwa ada anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang

mampu atau tidak miskin yang mengeluti pekerjaan ini, hal ini terlihat dari adanya

sebagian kecil informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang penghasilan

orang tuanya berada di atas garis kemiskinan.

Page 63: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

54

B. Sub-Budaya Kemiskinan “Pak Ogah” Anak Pendekatan Oscar Lewis

Menurut Oscar lewis dalam Suparlan (1993:8) mengemukakan bahwa sub-

budaya kemiskinan adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan kepadatan

tinggi, terbatasnya akses-askes terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan,

dan sarana pendidikan. Kemudian juga menurut Oscar Lewis sub-budaya kemiskinan

memiliki karakteristik yang dapat dipelajari dari berbagai aspek kehidupan seperti:

Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-

lembaga utama masyarakat…pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui

rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol…pada

tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang

pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya

angka perpisahan keluarga…pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol

adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang

tinggi dan rasa rendah diri. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena

beratnya penderitaan Ibu…kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi

yang sempit dari kelompoknya…(1993:7-11).

Dari penjelasan teori sub-budaya kemiskinan di atas, dapat dilihat dari

beberapa aspek kehidupan yang peneliti jabarkan untuk menjelaskan para informan

yang mayoritas berasal dari latar belakang keluarga yang penghasilannya rendah dan

berada dalam garis kemiskinan atau tidak mampu. Berikut penjabaran dari hasil

temuan di lapangan:

a. Akses Terhadap Konsumsi

Berikut adalah data tabel mengenai akses terhadap pemenuhan konsumsi atau

makan sehari-hari para informan:

Page 64: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

55

Tabel III.B.1. Matrik Akses Konsumsi Makan Sehari-Hari

Nama Latar Belakang

Ekonomi Keluarga

Akses Konsumsi Makan Sehari-Hari Informan

Kebutuhan Makan Bantuan dari

Pemerintah

Cukup Tidak

Mencukupi

Ada Tidak ada

DR Tidak Mampu √ √

BHR Tidak Mampu √ √

AR Tidak Mampu √ √

RVL Tidak Mampu √ √

DK Tidak Mampu √ √

EG Tidak Mampu √ √

FRK Tidak Mampu √ √

MP Tidak Mampu √ √

AN Mampu √ √

BP Mampu √ √

Dari tabel di atas menunjukan bahwa mayoritas informan yang berasal dari

keluarga miskin mengatakan bahwa dalam kesehariannya penghasilan atau ekonomi

orang tua dirasa tidak mencukupi untuk pemenuhan makan sehari-hari. Kemudian

setengah dari informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini mengungkapkan

bahwa tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun untuk

memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini diungkapkan DK:

Nggak cukup bang, kadang-kadang nggak cukup (untuk konsumsi sehari-

hari)…nggak pernah bang (tidak adanya bantuan) (Wawancara dengan DK,

Ciputat, 1 September 2014).

Selanjutnya, setengah dari informan yang tidak mampu ini juga mendapat

bantuan dari pemerintah. Namun demikian, sebagian kecil yang mendapat bantuan

Page 65: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

56

dari pemerintah tersebut tidak banyak membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan

makan sehari-hari karena bantuan tersebut bersifat insidental. Hal ini disampaikan

informan BHR:

Ya kagalah (Penghasilan orang tua untuk kebutuhan makan sehari-

hari)…pernah, waktu lagi lebaran sembako (Wawancara dengan BHR, Ciputat,

12 Agustus 2014).

Ketidakmampuan mereka dalam hal pemenuhan konsumsi ini sesuai dengan

karakteristik teori sub-budaya kemiskinan dan juga dapat dikagetorikan berada dalam

keluarga miskin karena hal ini sesuai dengan BPS yang menggunakan konsep

kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur

kemiskinan di Indonesia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan

bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (Sardjunani, 2010:12). Kemudian

juga anak-anak ini dapat disebut berada pada keluarga pra sejahtera yang menurut

BKKBN dalam Sardjunani menjelaskan:

Keluarga prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan

dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan pokok (pangan), sandang, papan,

kesehatan, dan pengajaran agama (2010:10).

Sementara itu, minoritas informan yang berasal dari keluarga yang berada

dalam garis kemiskinan atau tidak mampu ternyata mengatakan bahwa dalam

kesehariannya mereka tercukupi dalam hal pemenuhan kebutuhan makan.

Kemampuan para informan yang dapat memenuhi kebutuhan makan ini salah

satunya juga disebabkan karena adanya bantuan dari Pemerintah. Seperti yang

Page 66: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

57

diungkapkan AR ―Kalo buat makan, jajan mah ada…beras raskin, kayaknya setiap

bulan ada‖(Wawancara dengan, Ciputat, 1 September 2014).

Selanjutnya, bagi informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang

mampu, mereka merasa bahwa penghasilan orang tua mencukupi untuk kebutuhan

makan sehari-hari. Hal ini seperti yang diungkapkan BP ―Ya cukuplah (untuk makan

sehari-hari)‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014).

b. Akses Terhadap Kesehatan

Para informan yang kebanyakan berasal dari latar belakang keluarga tidak

mampu ini, selain dapat dilihat dari akses pemenuhan konsumsi makan sehari-hari

yang mayoritas tidak mencukupi, juga dapat dilihat dari jangkauan mereka dalam

mengakses fasilitas kesehatan. Berikut adalah tabel matrik akses kesehatan informan:

Tabel III.B.2. Matrik Akses Kesehatan Informan

Nama Latar Belakang

Ekonomi

Keluarga

Akses Kesehatan Informan

Membeli obat

Warung

Puskesmas Rumah sakit/

Dokter

DR Tidak Mampu √

BHR Tidak Mampu √

AR Tidak Mampu √ √

RVL Tidak Mampu √

DK Tidak Mampu √

EG Tidak Mampu √

FRK Tidak Mampu √

MP Tidak Mampu √ √

AN Mampu √

BP Mampu √ √

Page 67: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

58

Para informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu ini sebagian besar

hanya mampu menjangkau akses kesehatan pada tingkat membeli obat di warung dan

mengakses ke Puskesmas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian besar

para informan ini hanya bisa membeli obat warung dan menjangkau Puskesmas saja,

yaitu ketidakmampuan ekonomi orang tua untuk berobat ke Rumah Sakit. Selain itu,

tidak adanya bantuan dari Pemerintah dan juga fasilitas kesehatan yang jaraknya jauh

dari tempat tinggal. Keterbatasan informan dalam mengakses kesehatan ini dialami

informan BHR yang mengungkapkan:

Kalo sakit paling beli obat doang di warung…duitnya kaga ada, iya biayanya

kurang (untuk ke dokter)…waktu itu emak kita kan sakit nih, kita lagi nggak

punya duit buat ngobatin, kita bingung duit dari mana, rasanya putus asa dah,

akhirnya kan ke rumah keponakan tuh ya minjem duit niatnya…sakit kelenjar

getah bening…nggak pernah, iya bayar sendiri (tidak pernah mendapat bantuan

dalam hal kesehatan dari Pemerintah)(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12

Agustus 2014).

Dari wawancara tersebut membuktikan bahwa informan yang berasal dari latar

belakang tidak mampu ini, pada kenyataannya dalam mengakses kesehatan tidak

pernah mendapat bantuan. Hal ini juga membuktikan bahwa program-program

perlindungan bagi masyarakat miskin seperti Jamkesmas maupun Askeskin tidak

dapat diketahui dan dijangkau oleh informan. Dari wawancara tersebut juga

menunjukan bahwa informan merasakan tidak berdaya dan putus asa ketika orang tua

sakit karena keterbatasan biaya untuk berobat ke Rumah Sakit. Kemudian para

informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini dapat menjangkau Puskesmas

sebagai sarana untuk berobat, selain memang karena biaya yang masih bisa

Page 68: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

59

dijangkau, sebagian informan ini juga mendapat bantuan dari Pemerintah seperti

berobat gratis ke Puskesmas maupun keringanan biaya. Hal ini diungkapkan oleh

salah satu informan RVL ―Ke Puskesmas…iya, gratis‖ (Wawancara dengan RVL,

Ciputat, 1 September 2014).

Namun demikian, terdapat sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga

miskin atau tidak mampu yang bisa menjangkau dokter atau Rumah sakit sebagai

sarana untuk berobat. Hal ini juga salah satunya disebabkan karena adanya bantuan

dari Pemerintah setempat seperti keringanan biaya dalam berobat ke dokter atau

rumah sakit. Seperti yang diungkapkan oleh informan FRK:

Biasanya kalo sakit ya diusahain aja ke rumah sakit...kalo kesehatan sih

pernah, dapet kayak diskon gitu suratnya, iya potongan harga di dokter

(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014).

Dari wawancara tersebut menunjukan bahwa informan yang berasal dari

keluarga miskin juga menjadikan rumah sakit sebagai sarana untuk berobat,

walaupun pengobatan di rumah sakit itu menjadi pilihan yang sulit karena

keterbatasan ekonomi mereka.

Sementara itu bagi informan yang berasal dari keluarga ekonomi yang mampu,

mereka merasa mampu untuk menjangkau atau mengakses pengobatan ke rumah

sakit ataupun dokter. Hal ini disebabkan penghasilan orang tua yang mencukupi

untuk berobat ke rumah sakit atau dokter. Selain itu juga sebagian informan ini

ternyata mendapat bantuan dari pemerintah seperti ada yang memiliki Jamsostek

untuk berobat. Hal ini diungkapkan informan AN ―Kesehatan kalo sakit pake itu

Page 69: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

60

Bapak saya, itu jamsostek pake bantuan itu‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8

September 2014).

c. Partisipasi Informan Di Lingkungan Sosial

Partisipasi informan di lingkungan sosial adalah lebih kepada kegiatan-

kegiatan yang diadakan oleh RT atau RW di lingkungan sekitar informan tinggal,

seperti kegiatan pengajian maupun acara tiap tahunan seperti tujuh belas agustusan.

Berikut adalah tabel matrik partisipasi informan di lembaga masyarakat:

Tabel III.B.3 Matrik Partisipasi Informan di Lembaga Masyarakat

Nama Latar Belakang

Ekonomi

Keluarga

Partisipasi Informan di Lembaga

Masyarakat

Berpartisipasi Tidak Berpartisipasi

DR Tidak Mampu √

BHR Tidak Mampu √

AR Tidak Mampu √

RVL Tidak Mampu √

DK Tidak Mampu √

EG Tidak Mampu √

FRK Tidak Mampu √

MP Tidak Mampu √

AN Mampu √

BP Mampu √

Dari seluruh informan yang berasal dari keluarga tidak mampu, hanya sebagian

kecil yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti kegiatan pengajian

ataupun acara-acara lainnya yang diadakan oleh RT atau RW karena merasa rendah

Page 70: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

61

diri atau malu untuk mengikuti atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh informan BHR:

Nggak pernah…ya sebenernya sih kalo ada yang ngajak mah mau bae, nggak

ada yang ngajak, ya malu (Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus

2014).

Sementara itu sebagian besar informan yang berasal dari keluarga yang tidak

mampu ternyata ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan

sekitar seperti pengajian ataupun acara tujuh belas agustusan. Seperti yang

diungkapkan oleh informan EG ―Ngikut bang, ikut-ikutan aja kalo ada acara kayak

tujuh belasan mah‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Hal ini

menunjukan bahwa walaupun mereka berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu

dalam hal ekonomi, namun mereka masih tetap mampu bersosialisasi dengan ikut

berpartipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan sosial mereka dan tidak

terisolasi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini juga ditunjukan pada saat peneliti

melakukan observasi ke rumah para informan ternyata ada informan yang sedang

mengikuti pengajian rutin di lingkungan tersebut.

Sementara itu, bagi informan yang berasal dari keluarga yang mampu ikut

berpartipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan mereka. Seperti

diungkapkan informan AN:

Pengajian ikut, tujuh belasan ikut, tapi nggak yang gede-gede, yang kecil-kecil

aja buat ngehibur-hibur doang‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September

2014).

Page 71: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

62

d. Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman Informan

Akses selanjutnya yang dapat dianalisis adalah akses terhadap perumahan dan

kondisi lingkungan informan tinggal. Berikut adalah tabel matrik kondisi perumahan

dan tempat tinggal informan:

Tabel III.B.4 Matrik Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman

Informan

Nama

Latar Belakang

Ekonomi

Keluarga

Kondisi Pemukiman Tempat Tinggal

Informan

Kumuh Padat

Iya Tidak Iya Tidak

DR Tidak Mampu √ √

BHR Tidak Mampu √ √

AR Tidak Mampu √ √

RVL Tidak Mampu √ √

DK Tidak Mampu √ √

EG Tidak Mampu √ √

FRK Tidak Mampu √ √

MP Tidak Mampu √ √

AN Mampu √ √

BP Mampu √ √

Berdasarkan data di atas menunjukan bahwa sebagian besar informan yang

berasal dari keluarga yang tidak mampu ini mengatakan bahwa kondisi lingkungan

rumah mereka padat penduduknya, selain itu juga sebagian kecil informan ini

mengungkapkan bahwa mereka juga tinggal di lokasi pemukiman yang kumuh. Hal

ini diungkapkan oleh informan AR:

Page 72: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

63

―Kalo dibilang kumuh sih iya kumuh, itu bang jadi satu sama kandang ayam

rumahnya, sampah-sampah ada… lumayan padet dah bang, iya dempet-

dempetan‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1 September 2014).

Selain itu juga sebagian kecil informan yang tidak mampu ini ternyata masih

tinggal di kontrakan yang ukurannya terbatas dan kumuh. Ini diungkapkan oleh

informan FRK:

Ngontrak…kecil, gak ada kamar-kamarnya, adanya dapur sama ruang tamu

digabung jadi kamar…ya lumayan kumuh sih tempatnya, lumayan banyak sih

sampah…(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014).

Keterbatasan sebagian informan dalam hal tempat tinggal, kemudian

lingkungan yang kumuh dan juga padat ini sesuai dengan karakteristik teori sub-

budaya kemiskinan. Kondisi ini juga sesuai dengan kondisi di perkotaan pada

umumnya yang sebagian daerahnya kumuh dan juga padat yang disebabkan oleh

pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan juga lahan untuk tempat tinggal yang

semakin terbatas, sehingga tak jarang penduduk di suatu kota tinggal di pemukiman-

pemukiman yang lingkungannya padat dan kumuh. Hal ini sesuai dengan apa yang

disampaikan oleh Nurhayati:

Jumlah penduduk di perkotaan terus mengalami peningkatan karena angka

fertilitas atau masuknya migrant yang datang ke perkotaan. Semakin

bertambahnya penduduk perkotaan dan keterbatasan lahan pemukiman menjadi

permasalahan dalam tata ruang kota….bagi masyarakat bawah dan kalangan

masyarakat miskin perkotaan kebutuhan akan perumahan ini hanya sekedar

tempat tinggal sederhana bahkan di bawah standar perumahan yang layak huni

(2013:107).

Sementara itu bagi informan dari latar belakang keluarga yang mampu, mereka

memiliki tempat tinggal sendiri yang kondisinya tidak kumuh dan juga sebagian dari

Page 73: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

64

mereka tinggal di pemukiman yang tidak padat penduduknya. Seperti yang

diungkapkan oleh informan BP:

Rumah udah sendiri…kagalah kaga kumuh, jalanannya kayak komplek bang

plesteran…kagalah (tidak padat pemukimanya) (Wawancara pribadi dengan

BP, Ciputat, 22 september 2014).

Kemudian juga dari observasi di lapangan menunjukan bahwa sebagian

informan ini memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti rumah yang sudah di

tembok, alas lantai yang sudah berkeramik, lingkungan yang layak karena akses

seperti jalanan yang sudah aspal dan plesteran, dekat dengan jalan raya sehingga

tidak terisolasi oleh lingkungan luar.

e. Kondisi Internal Keluarga Informan

Kemudian, selain melihat kemampuan informan dalam menjangkau akses-

akses kehidupan di atas peneliti juga melihat kondisi internal keluarga informan

dalam hal ini adalah keharmonisan keluarga yang meliputi ada tidaknya pernikahan

dini dan juga perceraian dalam keluarga. Berikut adalah tabel matrik kondisi

keluarga informan:

Tabel III.B.5 Matrik Kondisi Internal Keluarga Informan

Nama

Latar Belakang

Ekonomi

Keluarga

Kondisi Keluarga Informan

Adanya

perceraian

Adanya Pernikahan

Usia Dini

DR Tidak Mampu - -

BHR Tidak Mampu - √

AR Tidak Mampu √ -

RVL Tidak Mampu - -

DK Tidak Mampu - -

Page 74: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

65

EG Tidak Mampu - -

FRK Tidak Mampu - -

MP Tidak Mampu √ -

AN Mampu - -

BP Mampu - √

Dari tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar informan yang berasal

dari keluarga yang tidak mampu mengatakan bahwa dalam keluarga mereka tidak

terdapat perceraian dan juga pernikahan di usia dini. Namun demikian, ada anggota

keluarga dari sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini

melakukan pernikahan dini, yang dalam undang-undang perkawinan dijelaskan

bahwa masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh

undang-undang yaitu laki-laki berumur 18 tahun, perempuan berumur 15 tahun

(Tutik, 2006:118). Dan juga terdapat sebagian kecil keluarga informan yang di

dalamnya melakukan perceraian. Hal ini seperti yang diungkapkan BHR ―Ada sih

sodara, keponakan umur enam belas tahun, cewek‖(Wawancara dengan BHR,

Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan MP yang mengungkapkan ―Ada, Abang

saya, cuma udah nikah lagi, cerai berantem mulu‖(Wawancara dengan MP, Ciputat,

8 September 2014).

Sementara itu ternyata ada juga informan yang berasal dari latar belakang

keluarga yang mampu atau tidak miskin, yang anggota keluarganya melakukan

pernikahan dini. Seperti yang diungkapkan informan BP ―Ada bang, Kaka saya,

Page 75: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

66

kelas tiga SMA tujuh belas tahun‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September

2014).

Namun demikian, mayoritas informan yang berasal baik dari latar belakang

keluarga yang tidak mampu dan yang mampu, berada dalam kondisi keluarga yang

harmonis karena tidak ditemukan adanya perceraian dan pernikahan di usia dini

dalam keluarga. Hal ini diungkapkan oleh informan AN:

Nikah di usia dini di keluarga kayanya gak ada, udah di atas usia dua lima

lah…bercerai gak ada, hampir mungkin gak ada (Wawancara dengan AN,

Ciputat, 8 September 2014).

Dan informan EG yang mengungkapkan ―Setau saya mah kaga ada bang di

keluarga yang nikah muda….cerei juga kaga ada bang”(Wawancara dengan EG,

Ciputat, 1 September 2014).

Dari hasil temuan dilapangan ini dapat disimpulkan bahwa pekerja ―pak ogah‖

anak ini tidak identik dengan latar belakang keluarga yang broken home. Hal ini

berbeda dengan temuan Rochatun (2012:29) yang mengungkapkan bahwa penyebab

anak bekerja salah satunya berasal dari hubungan orang tua yang tidak harmonis dan

adanya perpisahan atau perceraian dalam keluarga yang menyebabkan anak-anak

turun ke jalan.

Selain melihat kondisi internal keluarga informan dalam hal ini keharmonisan

keluarga, peneliti juga melihat kondisi internal keluarga berdasarkan perhatian dari

orang tua informan terhadap para informan yang bekerja ini. Kurangnya perhatian

orang tua terhadap para informan dalam hal ini pengawasan orang tua yang

Page 76: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

67

ditunjukkan dengan keseharian informan ini lebih banyak di luar rumah atau lebih

banyak di rumah. Berikut adalah tabel matrik kurangnya pengasuhan orang tua

terhadap informan

Tabel III.B.6 Matrik Kurangnya Pengasuhan Orang tua terhadap

Informan

Nama Latar Belakang Ekonomi

Keluarga

Kurangnya Pengasuhan

Orang Tua

DR Tidak Mampu -

BHR Tidak Mampu √

AR Tidak Mampu √

RVL Tidak Mampu √

DK Tidak Mampu √

EG Tidak Mampu √

FRK Tidak Mampu -

MP Tidak Mampu √

AN Mampu √

BP Mampu √

Dari data di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar informan yang

berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam keseharianya mengatakan lebih

banyak berada di luar rumah, kebanyakan mereka berada di luar rumah untuk

bermain bersama teman-teman mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan informan

EG:

Ya kebanyakan maen bang, biasanya maen PS kalo abis markirin gini. Jarang

di rumah, maen ama kerja kebanyakan…di rumah paling makan, tidur

doang‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014).

Page 77: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

68

Sementara itu hanya terdapat sebagian kecil infroman yang berasal dari

keluarga tidak mampu yang masih cukup diperhatikan oleh orang tua mereka karena

mereka lebih banyak di rumah daripada di luar rumah. Hal ini seperti yang

diungkapkan informan DR:

Nggak ngapa-ngapain, di rumah aja…kebanyak di rumah aja, kalo keluar kerja

doang.…nggak nongkrong...‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus

2014).

Dan informan FRK yang mengungkapkan ―Kalo dibilang sih kebanyakan di

rumah…kalo makan sih kebanyakan di rumah‖(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8

September 2014). Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat perhatian dan juga

pengasuhan dari keluarga terhadap keseharian sebagian kecil para informan, dan ini

juga menegaskan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini bukanlah

anak jalanan melainkan anak-anak yang hanya mencari uang di jalanan kemudian

setelah itu kembali ke rumah atau keluarga.

Selain itu, bagi para informan yang berasal dari keluarga yang mampu ternyata

dalam hal perhatian dari orang tua mereka kurang mendapatkannya. Hal ini terlihat

dari keseharian mereka yang lebih sering nongkrong bermain di luar rumah

dibandingkan berada di rumah. Seperti yang diungkapkan informan BP:

Lebih banyak di luar…abis balik sekolah nongkrong di Ciputat maen sampe

jam tujuh balik, pulang, markir lagi sampe jam sembilan‖(Wawancara dengan

informan BP, Ciputat, 22 September 2014).

Meskipun informan BP berasal dari latar belakang keluarga yang secara

ekomoni berada di atas garis kemiskinan, namun demikian karakteristik sub-budaya

Page 78: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

69

kemiskinan juga dialami oleh informan dari segi kurangnya perhatian dari orang tua

terhadap informan.

Dari keseluruhan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ternyata konsep

karakteristik sub budaya kemiskinan Oscar lewis cenderung sesuai dengan gambaran

kehidupan keseharian pekerja anak sebagai ―pak ogah‖. Hal ini dapat ditunjukan dari

terbatasnya akses para informan dalam hal konsumsi atau makan sehari-hari,

kesehatan, tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, adanya perasaan

tidak berharga dan tidak berdaya, dan kurangnya pengasuhan oleh orang tua. Hanya

sebagian kecil karakteristik sub-budaya kemiskinan yang kurang sesuai dengan

gambaran kehidupan keseharian para ―pak ogah‖ anak di Ciputat, seperti rendahnya

partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan

tingginya angka perceraian atau perpisahan dalam keluarga.

C. Faktor Penyebab Informan Bekerja Sebagai “Pak Ogah”

Dalam temuan di lapangan terdapat dua faktor penyebab para informan

bekerja, yaitu adanya faktor yang mendorong dan juga adanya daya tarik pekerjaan

―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Berikut adalah penjelasannya:

1) Faktor Pendorong

Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini didorong oleh beberapa

faktor yang pada intinya adalah karena keinginan mereka mencari uang sendiri dan

bukan dari paksaan dari orang tua. Hal ini Seperti yang diungkapkan informan AR:

Page 79: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

70

Ya daripada diem di rumahlah bang, nggak ada penghasilan…enggak disuruh

sama orang tua, kita kemauan sendiri‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1

September 2014).

Dorongan dari kemauan sendiri untuk mencari uang yang dilakukan informan

ini disebabkan oleh tiga alasan, sebagai berikut:

Tabel III.C.I. Faktor-Faktor yang Mendorong Anak Bekerja

Nama Latar Belakang

Ekonomi

Keluarga

Faktor-Faktor Yang Mendorong Anak Bekerja

Membantu

Ekonomi

Keluarga

Pemenuhan

Konsumsi

(jajan) Sendiri

Pemenuhan

Kebutuhan

Sekolah

DR Tidak Mampu √ √

BHR Tidak Mampu √ √

AR Tidak Mampu √ √

RVL Tidak Mampu √

DK Tidak Mampu √ √

EG Tidak Mampu √

FRK Tidak Mampu √ √

MP Tidak Mampu √

AN Mampu √ √

BP Mampu √ √

a. Membantu Ekonomi Keluarga

Dari hasil wawancara di lapangan, alasan sebagian besar para informan yang

berasal dari keluarga yang tidak mampu mengungkapkan bahwa mereka bekerja

sebagai ―pak ogah‖ untuk mencari uang karena alasan membantu ekonomi keluarga.

Bentuk-bentuk membantu ekonomi keluarga ini lebih kepada yang sifatnya primer

seperti membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, membeli beras,

dan membeli makan, namun demikian ada juga yang sifatnya sekunder seperti

Page 80: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

71

memberikan uang jajan untuk Adik. Hal ini seperti yang diungkapkan informan DR

―Buat bantu Ibu aja, kasian kadang-kadang nggak punya duit buat makan, buat jajan-

jajan Ade‖(Wawancara dengan informan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Tidak jauh

berbeda seperti apa yang disampaikan informan DK:

Pengen ngebantu orang tua aja bang, daripada saya diem di rumah, kan

lumayan juga duitnya bang…buat bantu-bantu orang tua…‖(Wawancara

dengan informan DK, Ciputat, 1 September 2014).

Besarnya kasih sayang seseorang terhadap keluarga terkadang membuat

mereka melakukan suatu pengorbanan, hal ini sering kali didasari oleh pengalaman

hidup melihat orang yang dikasihi menanggung beban penderitaan yang berat,

keadaan ini juga dialami oleh sebagian informan yang melakukan pengorbanan

kepada keluarga terutama Ibunya untuk mencari uang dengan bekerja sebagai ―pak

ogah‖ dalam usia dini agar dapat membantu mengurangi beban hidup keluarga. Hal

ini juga sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan yang menjelaskan bahwa

kebudayaan kemiskinan dapat dipelajari dari berbagai segi aspek kehidupan yang

salah satunya adalah tingginya rasa tingkat kesengsaraan, karena beratnya

penderitaan Ibu (Suparlan, 1993:11).

Besarnya penderitaan yang dialami sebagian para Ibu informan ini disebabkan

oleh berbagai hal, seperti meninggalnya tulang punggung keluarga (Bapak) dan

ketidakmampuan Bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti yang

diungkapkan informan BHR ―Ya niatnya sih buat bantuin orang tua…iya lagi Bapak

meninggal kita kerja di sini, iya mau nggak mau‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat,

Page 81: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

72

12 Agustus 2014). Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan informan RVL ―Iya

ngeliat Ibu sendirian kasian nyari duit dewek, iya terdorong buat kerja

jadinya‖(Wawancara dengan informan RVL, Ciputat, 1 September 2014). Para

informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dengan alasan membantu ekonomi

keluarga ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan Effendi (1992) dalam Suyanto

(2013) yang mengungkapkan:

Dalam masyarakat yang mengalami transisi pada golongan miskin di kota,

mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila kondisi

ekonomi mengalami perubahan atau memburuk. Salah satu upaya yang acap

kali dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan adalah memanfaatkan

tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita—terutama ibu rumah

tangga—belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak

yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menompang kegiatan ekonomi

keluarga. Pekerjaan yang ditekuni anak-anak ini tidak terbatas pada pekerjaan

rumah tangga, tetapi juga pekerjaan upahan dalam lingkungan sekitar tempat

tinggal (126-127).

b. Pemenuhan Konsumsi (Jajan) Sendiri

Dari hasil temuan di lapangan, alasan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri

(jajan) menjadi salah satu alasan informan untuk bekerja mencari uang. Pemenuhan

kebutuhan konsumsi ini lebih kepada yang sifatnya sekunder, seperti jajan, bermain

di Warnet, Playstation, membeli baju, membeli handphone dan lain sebagainya. Dari

hasil wawancara dan pengamatan menunjukan bahwa sebagian informan biasanya

menggunakan pendapatanya untuk membeli rokok, tentu ini bukanlah hal yang baik

untuk kesehatan anak-anak.

Alasan untuk pemenuhan konsumsi sendiri bukan hanya menjadi alasan para

informan yang berlatarbelakang dari keluarga ekonomi mampu saja yang secara

Page 82: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

73

kebutuhan pokoknya tercukupi, tetapi ada juga sebagian para informan yang berasal

dari keluarga yang tidak mampu mengungkapkan bahwa mereka bekerja mencari

uang selain untuk membantu kebutuhan keluarga juga digunakan untuk kebutuhan

konsumsi jajan mereka sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan

FRK:

Ya biar dapet uang jajan tambahan aja sama buat ngasih orang tua…ya kalo

lebih bisa buat tambahan orang tua, ya kalo kurang ya buat sendiri…buat jajan-

jajan biasa aja…iya, buat ngerokok. Nggak ada sebungkus sehari, paling

maksimal dua batang tiga batang(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8

September 2014).

Alasan para informan ini kurang sesuai dengan asumsi awal peneliti yang

menganggap pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ ini merupakan pekerjaan yang digeluti

oleh sebagian masyarakat yang tujuannya untuk mencari uang hanya sebatas untuk

bertahan hidup, namun ternyata fakta di lapangan menunjukan bahwa terdapat

informan baik dari sebagian informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu

dan seluruh informan yang berasal dari keluarga yang mampu, mereka bekerja

dengan alasan mencari uang yang tujuanya untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif

yang sifatnya sekunder saja. Seperti yang diungkapkan oleh AN:

Alesanya, kemaun sendiri aja, biar mandiri juga. Lumayan juga kan duitnya

buat jajan sehari-hari…ya buat makan, buat sekolah, buat acara-acara

kebutuhan lainnyalah…mabok mah enggak, beli rokok doang paling, karena

Bapak saya ngerokok saya jadi pengen, rokok minum makan buat ini-ini aja

kalo markir mah...ditabung juga, misalkan nih lagi nabung pengen beli HP,

pengen beli HP baru iya dari hasil ini(Wawancara pribadi dengan AN, Ciputat,

8 September 2014).

Page 83: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

74

c. Pemenuhan Kebutuhan Sekolah

Pemenuhan kebutuhan sekolah menjadi alasan para informan yang masih

bersekolah baik yang berasal dari keluarga yang mampu maupun yang tidak mampu

untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖. Bagi informan yang masih bersekolah dan berasal

dari latar belakang tidak mampu bekerja sebagai ―pak ogah‖ merupakan salah satu

cara mereka untuk tetap melanjutkan pendidikannya dan juga cara mereka untuk

membantu orang tua meringankan beban biaya sekolah. Bagi sebagian kecil

informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mereka bekerja dengan

alasan untuk pemenuhan kebutuhan sekolah ini karena disebabkan oleh keterbatasan

orang tua untuk mendanai pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Seperti yang

diungkapkan informan MP ―Kemauan sendiri aja, ya supaya nambah-nambahin duit

sekolah…kadang-kadang nggak cukup (penghasilan orang tua untuk biaya

sekolah)‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September 2014).

Meskipun para informan ini bekerja bukan berdasarkan keterpaksaan tetapi

karena keinginan mereka sendiri, pada kenyataanya mereka juga harus menghadapi

beban ganda antara bersekolah dan bekerja. Hal ini sesuai seperti yang dijelaskan

dalam studi Suyanto:

Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang sering kali

dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain

yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa memilih putus sekolah di

tengah (2010: 355).

Para informan ini harus mengatur waktu antara bersekolah dan bekerja, serta

bekerjanya mereka juga berdampak terhadap keseriusan mereka dalam menempuh

Page 84: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

75

pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh informan AN ―Keganggu sih iya keganggu…

waktu belajar berkurang, iya ngantuk di sekolah, kadang agak capek juga dirumah

gitu, iya disekolah juga‖(Wawancara dengan informan AN, Ciputat, 8 September

2014). Dan tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan informan MP

―Keganggu…tidur di kelas gara-gara cape markirin‖(Wawancara dengan informan

MP, Ciputat, 8 September 2014).

2) Daya tarik pekerjaan ―Pak Ogah‖

Dalam temuan di lapangan menunjukan bahwa selain adanya faktor yang

mendorong bekerja, peneliti juga menemukan bahwa adanya daya tarik yang

mempengaruhi para informan ini untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga tetap

mempertahankan pekerja ini sebagai pekerjaan keseharian mereka. Daya tarik yang

dimaksud peneliti adalah kemampuan pekerjaan ―pak ogah‖ yang membuat para

informan ini tertarik untuk menggelutinya. Adapun daya tarik dari pekerjaan ini

antara lain:

a. Kenyamanan Bekerja

Faktor awal yang menarik informan untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini

adalah berasal dari lingkungan pertemanan atau lingkungan sosial sekitar mereka,

semua informan mengatakan bahwa pada awalnya mereka terjun menjadi ―pak ogah‖

karena mereka melihat dan kemudian mengikuti ataupun diajak teman-teman

sebayanya di lingkungan mereka yang sudah lebih dahulu bekerja sebagai ―pak

ogah‖. Hal ini seperti yang disampaikan informan DK ―Diajakin temen bang, diajak

Page 85: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

76

ke sini. Ngeliatin dulu dari temen-temen bang belajarnya‖(Wawancara dengan DK,

Ciputat, 1 September 2014). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa

proses belajar sosial juga dialami sebagaian besar para informan yang mempelajari

pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ dari teman pergaulan di lingkungan mereka, karena di

usia para informan ini dalam kesehariannya lebih banyak berinteraksi dengan teman

sebayanya, sehingga teman-teman para informan yang sudah bekerja lebih dulu akan

menjadi contoh bagi para informan untuk mengeluti pekerjaan ini. Kemudian juga

terdapatnya sebagaian kecil dari anggota keluarga informan yang ternyata juga

bekerja sebagai ―pak ogah‖, hal ini juga menjadi salah satu pembelajaran para

informan untuk mengenal dan belajar mencoba bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini

juga sesuai dengan teori belajar sosial yang menjelaskan bahwa perilaku manusia

dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi, elemen inti dari observasi

adalah modeling (Feist, 2010: 203-206).

Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi para informan bekerja ini juga

sesuai dengan temuan peneliti sebelumnya yang dilakukan Rochatun (2012:29) yang

mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi anak bekerja salah satunya

adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya yang menyebabkan

anak bekerja.

Adanya teman sepermainan dan juga anggota keluarga yang juga bekerja inilah

yang membuat mereka nyaman pada saat bekerja karena suasana lingkungan

pekerjaan yang merupakan teman-teman di lingkungan sosial mereka yang sekaligus

Page 86: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

77

teman bermain mereka dalam sehari-hari. Mayoritas informan juga mengungkapkan

bahwa kenyamanan pada saat bekerja adalah faktor yang membuat mereka memilih

pekerjaan ini dan tetap bertahan sebagai ―pak ogah‖. Seperti yang disampaikan

informan AR:

Enak bang, kerjanya sambil nongkrong, ngumpul-ngumpul. Ya enaknya

nongkrong sama ngumpul sama temen-temen aja bang”(Wawancara dengan

AR, Ciputat, 1 September 2014).

Bagi para informan yang masih bersekolah mereka lebih menyukai dan lebih

dekat dengan teman-teman yang juga bekerja sebagai ―pak ogah‖ dibandingkan

dengan teman-teman sekolah, mereka biasanya lebih banyak menghabiskan waktu

bermain dengan teman lingkungan pekerjaannya ini dibanding dengan teman

sekolah. Begitupun dengan para informan yang sudah tidak bersekolah semua

informan mengatakan bahwa mereka dalam kesehariaannya hanya bermain dengan

teman-teman sebaya yang juga menggeluti pekerjaan ini saja.

Selain karena faktor teman di lingkungan pekerjaan, faktor lainnya yang

membuat mereka nyaman dengan pekerjaan ini adalah karena waktu dari pekerjaan

ini tidak ada yang mengaturnya, sehingga mereka bekerja hanya berdasarkan

kemauan dan kebutuhan diri mereka saja, alasan inilah yang juga membuat mereka

tetap bertahan menggeluti ini. Hal ini disampaikan oleh informan DR ―Ya nyaman

aja, nggak ada yang ngatur, banyak temen-temen‖(Wawancara dengan DR, Ciputat,

12 Agustus 2014). Dan tidak jauh berbeda yang diungkapkan informan EG ―…enak

Page 87: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

78

kerjanya nyantai, semau kita aja, mau dateng ya dateng, mau kaga ya

kaga‖(Wawancara dengan EG, 1 September 2014).

b. Adanya Penghasilan Rutin dan Mencukupi

Pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang dianggap sebagian orang merupakan

pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat yang kurang mampu bersaing dalam

pekerjaan formal dan hanya menghasilkan pendapatan yang hanya cukup untuk

mempertahankan hidup, nyatanya di lapangan menunjukan bahwa mayoritas

informan mengatakan mereka tertarik bekerja dan tetap bertahan bekerja sebagai

―pak ogah‖ ini adalah karena faktor pendapatan yang diperoleh cukup untuk

pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan bersifat rutin. Hal ini diungkapkan informan

AN:

Awalnya di sini pertama ngeliat kaka, Abang-abangan, ngeliat ini markinin

kayaknya enak, pengen nyoba sekali maksain modal nekat turun, ahkirnya bisa

yaudah kalo bisa terusin aja…ya enak juga, enaknya dapet duit, duit harian jadi

nambah gitu uang jajan nambah, jadi uang ada buat nabung ada buat

jajan(Wawancara dengan informan AN, Ciputat, 8 September 2014).

Mereka yang awalnya melihat teman-teman mereka dan mengetahui

pendapatan yang didapat cukup besar menyebabkan mereka tertarik bekerja sebagai

―pak ogah‖ ini. Dengan pendapatan yang dapat dikatakan cukup besar bagi anak-

anak dan sifatnya rutin (Lihat Tabel III.A.6) membuat mereka tertarik untuk

mencoba dan menggeluti pekerjaan ini.

Page 88: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

79

c. Tidak Membutuhkan Keahlian dan Modal Besar untuk Bekerja

Pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ bukanlah pekerjaan yang membutuhkan modal

besar, mereka yang bekerja tidak memerlukan ijazah, keuangan yang cukup dan

memiliki keahlian apapun seperti pada saat masuk ke dalam pekerjaan sektor formal

pada umumnya. Pekerjaan ini adalah pekerjaan informal yang siapa saja bisa masuk

kedalamnya dengan modal kepercayaan diri dan berani mereka bisa menggeluti

pekerjaan ini. Mayoritas informan mengatakan bahwa yang membuat mereka tertarik

untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini adalah karena pekerjaan ini tidak memerlukan

modal dan keahlian. Hal ini disampaikan oleh informan EG ―Kaga punya bang

(keahlian mengatur lalu lintas), modalnya mah percaya diri bae, kaga pake alat-alat,

cuma pake priwitan, itu juga kadang-kadang kaga dibawa‖(Wawancara dengan EG,

Ciputat, 1 September 2014).

Selain itu, keterbatasan modal seperti pendidikan yang rendah dan keahlian

yang dimiliki informan terbatas, mengakibatkan pilihan jenis pekerjaan mereka

terbatas sehingga mereka masih tetap menggeluti pekerjaan ini. Para informan

mengatakan bahwa keterbatasan untuk bekerja di tempat lain, utamanya pekerjaan

formal mengakibatkan mereka masih tetap menggeluti pekerjaan tersebut, hal ini

karena mereka yang usianya masih di bawah delapan belas tahun tentunya sulit

mendapatkan pekerjaan formal dan terlebih lagi mereka yang hanya mengenyam

pendidikan SD ataupun SMP. Hal ini diungkapkan oleh informan FRK ―Ya kalo

misalkan ada kerjaan yang ijazahnya misalkan lulusan SD, SMP ya mau

Page 89: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

80

aja‖(Wawancara pribadi dengan FRK, Ciputat, 8 september 2014). Keterbatasan-

keterbatasan yang dialami oleh informan ini sesuai dengan penjelasan Nurhayati

bahwa:

Bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian dan hanya memiliki sedikit

modal memilih sektor informal sebagai alternative pekerjaan yang dijalaninya.

Meskipun sektor informal sering dinilai sebagai pengambat dan harus

ditertibkan, tapi beberapa riset menunjukan bahwa sektor ini menjadi pilihan

bagi masyarakat miskin kota atau masyarakat migrant yang memiliki

keterampilan dan modal rendah (2013:99)

Penjelasan di atas juga menegaskan temuan di lapangan bahwa para ―pak

ogah‖ anak ini mayoritas berasal dari latar belakang keluarga yang tidak mampu atau

berada di garis kemiskinan. Selanjutnya, menurut Effendi (1995:34) Meskipun di

satu sisi pekerjaan informal ini dapat mengurangi angka pengangguran, namun di sisi

lain mereka yang bekerja di sektor informal juga dapat terbelenggu kemiskinan. Hal

ini juga dapat dialami oleh para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖, ini

disebabkan karena di usia mereka yang masih anak-anak kebanyakan mereka

memilih untuk bekerja dan meninggalkan pendidikan mereka, sehingga hal ini

menjadi salah satu yang menyebabkan mereka tetap berada dalam garis kemiskinan,

karena disebabkan rendahnya tingkat pendidikan mereka.

Page 90: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

81

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Gambaran ―pak ogah‖ anak di Ciputat memiliki beberapa karakteristik, antara

lain adalah semua merupakan anak laki-laki berusia antara 13 sampai 17 tahun yang

berasal dari suku Betawi dan Jawa dan beragama Islam. Kebanyakan informan sudah

putus sekolah di jenjang SMP, namun demikian terdapat sebagian atau minoritas

informan yang masih bersekolah pada jejang SD, SMP dan SMA. Para informan

sudah bekerja antara satu sampai empat tahun, pada umumnya mereka bekerja satu

sampai dua jam dalam sehari dan tiga sampai empat hari dalam seminggu.

Penghasilan para informan ini beragam antara 5000 sampai 80.000 dalam sehari.

Pekerjaan yang dilakukan para informan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan

berbahaya bagi anak, karena dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta

berdampak pada keseriusan mereka dalam menempuh pendidikan.

Dari segi latar belakang keluarga, mayoritas informan berasal dari latar

belakang keluarga miskin atau tidak mampu yang dalam kehidupan kesehariannya

cenderung memiliki beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya

kemiskinan, seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan, terbatasnya konsumsi

atau makan sehari-hari, terbatasnya akses terhadap kesehatan, terbatasnya tempat

tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, kurangnya pengasuhan oleh orang tua,

Page 91: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

82

adanya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, serta tingginya (rasa) tingkat

kesengsaraan karena beratnya penderitaan Ibu. Hanya sebagian kecil karakteristik

sub-budaya kemiskinan yang kurang sesuai dengan gambaran kehidupan keseharian

para informan ini, seperti rendahnya partisipasi ke dalam lembaga masyarakat,

adanya pernikahan di usia dini dan tingginya angka perceraian atau perpisahan dalam

keluarga.

Faktor pendorong yang menyebabkan para informan bekerja adalah berasal

dari kemauan diri mereka sendiri untuk mencari uang. Faktor mencari uang ini

disebabkan oleh tiga alasan: Pertama, karena untuk membantu pemenuhan kebutuhan

keluarga, alasan ini menjadi alasan mayoritas informan yang berasal dari latar

belakang keluarga tidak mampu, bentuk-bentuk membantu pemenuhan kebutuhan

keluarga lebih kepada yang sifatnya primer seperti untuk makan sehari-hari. Kedua,

karena untuk pemenuhan konsumsi (jajan) sendiri, alasan ini menjadi alasan bagi

para informan yang berasal dari latar belakang keluarga mampu dan juga sebagian

informan yang berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu, kebutuhan

konsumsi jajan sendiri ini lebih kepada yang sifatnya sekunder seperti untuk jajan

membeli rokok, bermain di warnet, dan membeli hadnpohe. Ketiga, untuk

pemenuhan kebutuhan sekolah, alasan ini menjadi salah satu alasan baik informan

yang berasal dari latar belakang keluarga mampu maupun tidak mampu yang masih

bersekolah. Bagi sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga tidak mampu

dan masih bersekolah, bekerja mencari uang adalah cara mereka untuk tetap

Page 92: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

83

bersekolah dan membantu orang tua meringankan beban biaya sekolah. Pemenuhan

kebutuhan sekolah ini antara lain untuk membeli buku dan bayaran sekolah.

Faktor yang menjadi daya tarik pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan

informan bekerja. Pertama, kenyamanan bekerja, hal ini disebabkan karena

lingkungan pekerjaan yang merupakan teman-teman sebayanya dan juga adanya

beberapa anggota keluarga informan yang juga bekerja. Para informan

mengungkapkan bahwa mereka bekerja sebagai ―pak ogah‖ karena pada awalnya

mereka melihat dan kemudian diajak ataupun ikut teman-teman sebayanya yang

sudah terlebih dahulu menggeluti pekerjaan ini. Dalam hal ini teori belajar sosial

menjelaskan bahwa perilaku manusia dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui

observasi, elemen inti dari observasi adalah modeling, dalam hal ini teman sebaya

berpengaruh besar dan menjadi contoh bagi para informan untuk terjun mengeluti

pekerjaan ini. Kemudian kenyamanan lainnya karena waktu bekerjanya tidak ada

yang mengatur dan atas dasar kemauan dan kebutuhan mereka sendiri. Kedua,

adanya penghasilan rutin dan mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-hari.

Ketiga, tidak membutuhkan keahlian dan juga modal besar, para informan hanya

membutuhkan rasa percaya diri dan keberanian dalam menjalankan pekerjaan ini.

Page 93: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

84

B. Rekomendasi

1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk menggali lebih dalam dan

memfokuskan pada aspek yang berbeda dari penelitian ini, seperti dari

aspek hukum terkait fenomena pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ ini.

2. Bagi orang tua, hendaknya lebih memperhatikan dan melindungi hak-hak

anak yang meliputi aspek pendidikan, bermain serta beristirahat bukan

memperbolehkan anak bekerja pada sektor berbahaya di usia dini.

3. Bagi Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan, seharusnya dapat membuat

kebijakan dan juga mengontrol ataupun mengawasi penerapan peraturan

yang sudah ada terkait pekerja anak, sehingga dapat menjamin hak-hak anak

baik dari segi sosial maupun pendidikan.

Page 94: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

vi

DAFTAR PUSTAKA

Azis, Abdul. 2002. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Badan Pusat Statistik. 2008. Data Strategis Badan Pusat Statistik. Jakarta-Indonesia:

Badan Pusat Statistik.

Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif dan

Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan

Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Emzir. Metodelogi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. 2011. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Faisal, Sanapiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Feits, Jess. Dan Gregory J. Feits. 2010. Teori Kepribadian Theories of Personality.

Terjemahan Shelvy Dwi Cahya. Jakarta: Salemba Humanika.

Halim, Deddy Kurniawan. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Lendriyono, Fauzik. 2000. ―Pekerja Anak Perempuan dan Pelecahan Seksual: Studi

Kasus Tentang Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak yang Bekerja Sebagai

Pelayan Minuman di Taman Piaduk Jatinegara, Jakarta Timur.‖ Depok: Tesis

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Univeristas

Indonesia.

Montero, Darrel. 1986. Social Problem. New York: Macmillan Publishing Company.

Nurhayati, Cucu. 2013. Sosiologi Perkotaan. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Silalahi, Karlinawati. 2010. Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Siswoyo, Murkanto. 1998. ―Ekspolitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri Kecil:

Studi Kasus Pada Perusahaan Genteng di Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin,

Kabupaten Cirebon.‖ Depok: Tesis Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Progam

Studi Sosiologi Universitas Indonesia.

Page 95: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

vii

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soestrisno. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan. Yogyakarta:

Philosophy Press.

Suparlan, Pasurdi. 1993. Kemiskinan Di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

------. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

------. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Suyono. dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori Dan Konsep Dasar.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Todaro, P. Michael dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi

Kesembilan. Indonesia: Erlangga.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum perdata di Indonesia. Jakarta:

Prestasi Pustaka.

Pemerintahan Kota Tangerang Selatan. 2014. Laporan Kependudukan Bulan Mei

2014 Kota Tangerang Selatan: Pemerintahan Kota Tangerang Selatan.

Sumber dari Internet:

Azmi, Zul Ghozi. 2013. “Relasi Mutualisme ―Pak Ogah‖ dengan Polisi dalam

Menjaga Keamanan Jalan Mayor Suryotomo, Kota Yogyakarta.‖ Diunduh 28

Februari 2014 (http://jakarta.kompasiana.com/layanan-

publik/2013/04/08/relasi-mutualisme-pak-ogah-dengan-polisi-dalam-menjaga-

keamanan-jalan-mayor-suryotomo-kota-yogyakarta-548977.html).

Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan. 2013.“Tangerang Selatan Dalam Angka.‖

Tangerang Selatan: Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan. Diunduh 9

Juli 2014.

(http://bappeda.bantenprov.go.id/upload/DALAM%20ANGKA%20KAB-

KOTA/KOTA%20TANGERANG%20SELATAN%20DALAM%20ANGKA

%202013.pdf).

Page 96: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

viii

Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan Internasional. 2009. ―Pekerja Anak

Di Indonesia 2009.‖ Jakarta: Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan

Internasional. Diunduh 18 februari 2014

(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_123584.pdf).

Endarwati, Netty. 2012. ―Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Di Sektor

Informal.‖ Jurnal Dinamika Hukum. Vol 12 No. 2 Mei 2012. Universitas Islam

Kediri. Diunduh 18 Maret 2014

(http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/JDHMei201

2/7.pdf).

International Labour Organization. 2010 ―ILO– BPS Keluarkan Data Nasional

Mengenai Pekerja Anak di Indonesia.‖ Jakarta: International Labour

Organization. Diunduh 18 Februari 2014

(http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm).

------. 2009. ―Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Pekerja Anak.‖ Jakarta:

International Labour Organization. Diunduh 18 februari 2014

(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_144313.pdf).

------. 2008. ―Lembar Fakta tentang Pekerja Anak Perempuan.‖ Jakarta: International

Labour Organization. Diunduh 18 Februari 2014

(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_160832.pdf).

------. 2008. ―Panduan Tentang Pelaksanaan Pemantauan dan Pelaporan Penerima

Manfaat Langsung.‖ Jakarta: International Labour Organization. Diunduh 18

Februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-

bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_124008.pdf Wcms_

124008).

Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan. 2014―Kabupaten Kota Tangerang

Selatan.‖. Tangerang Selatan: Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan.

Diunduh 11 Juli 2014(http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-

daerah/kabupaten/id/36/name/banten/detail/3674/kota-tangerang-selatan).

Rochatun, Isti, Suprayogi, dan Hamonangan Sigalingging. 2012. ―Eksploitasi Anak

Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang.‖ Unnes Civic

Education Journal 1, 2012. Diunduh 28 Februari 2014

(http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ucej/article/view/226/256).

Page 97: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

ix

Sardjunani, Nina. Subhandi, Ani Pudyastuti, dan Aini Harisani. 2010. ―Evaluasi

Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Keluarga

PraSejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera-I/KS-I.‖ Jakarta: Kementrian

Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Bappenas. Diunduh

23 Desember 2014

(http://www.bappenas.go.id/files/3513/4986/1937/laporan-akhir-evaluasi-28-

jan-1__20110512124617__1.pdf).

Subhan. 2009. ―Hak Anak dalam Islam.‖ Al-Arham Edisi 16. Diunduh Pada Tanggal

10 Desember 2014

(http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4

25:hak-anak-dalam-islam--al-arham-edisi-16-a&catid=19:al-

arham&Itemid=328).

Tjahjanto, Eka. 2008. ―Implementasi Peraturan Perundang-udangan Ketenagakerjaan

Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak.‖

Tesis Univeristas Dipenogoro Semarang. Diunduh 28 Februari 2014

(http://eprints.undip.ac.id/17312/1/EKA_TJAHJANTO.pdf).

Warsini, Sudarsono, dan Yuli Adiratna. 2005. ―Modul Penanganan Pekerja Anak.‖

Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Diunduh 18 Februari

2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf).

Wulan, Nawang Sri Dewi. 2007. ―Hubungan antara peranan Kelompok Teman

Sebaya (Peer Group) dan Interaksi Siswa Dalam Keluarga Dengan

Kedisiplinan Belajar Kelas XI MAN 1 Sragen.‖ Diunduh 30 Maret 2014

(http://eprints.uns.ac.id/8312/1/68492206200904181.pdf).

Sumber dari Wawancara:

Wawancara Pribadi dengan Informan AN, Ciputat, 8 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan AR, Ciputat, 1 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan BP, Ciputat, 22 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan DK, Ciputat, 1 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan EG, Ciputat, 1 September 2014.

Page 98: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

x

Wawancara Pribadi dengan Informan FRK, Ciputat, 8 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan MP, Ciputat, 8 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Informan RVL, Ciputat, 1 September 2014.

Wawancara Pribadi dengan Pegawai Kecamatan Bagian Kesejahteraan Sosial,

Ciputat, 30 Juni 2014.

Page 99: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

Pedoman Wawancara

I. Identitas Responden

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Usia :

4. Agama :

5. Suku :

6. Anak ke :

7. Jumlah Anggota Keluarga :

8. Pendidikan Ayah :

9. Pendidikan Ibu :

10. Pekerjaan dan Penghasilan Ayah :

11. Pekerjaan dan Penghasilan Ibu :

12. Alamat :

13. No Telpon/ HP :

II. Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian

1. Apakah anda masih bersekolah?

2. Sudah berapa lama anda bekerja sebagai ―pak ogah‖?

3. Apa alasan yang mendorong anda bekerja sebagai ―pak ogah‖?

4. Apakah orang tua anda tahu jika anda bekerja sebagai ―pak ogah‖, bagaimana

tanggapan orang tua anda?

5. Bagaimana awalnya bisa bekerja sebagai pak ogah, belajar dari siapa?

6. Apakah banyak anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di lingkungan

tempat tinggal anda?

7. Selain anda, apakah ada anggota keluarga yang bekerja sebagai ―pak ogah‖?

8. Mengapa memilih bekerja sebagai ―pak ogah‖, bagaimana rasanya bekerja

sebagai ―pak ogah‖?

9. Apakah pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ ini pekerjaan tetap atau ada pekerjaan

lain juga?

10. Apakah anda pernah bekerja di tempat lain selain menjadi ―pak ogah‖?

11. Apakah anda punya keahlian khusus untuk mengatur lalu lintas, apa saja

modal yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖?

12. Dalam seminggu berapa hari bekerjanya?

13. Dalam sehari berapa jam bekerjanya?

14. Berapa pendapatan dalam sehari bekerja?

Page 100: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

15. Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk apa?

16. Apakah anda menyetor pendapatan anda ke orang lain?

17. Di sini yang bekerja anak-anaknya banyak, bagaimana jadwal pergantian

kerjanya?

18. Apakah anda bekerjanya pindah-pindah lokasi?

19. Biasanya bekerjanya pagi, siang, sore, atau malem?

20. Apa saja resiko yang dihadapi bekerja sebagai ―pak ogah‖?

21. Apakah penghasilan orang tua anda cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari seperti untuk makan, pendidikan, dan kesehatan?

22. Apakah anda pernah mendapat bantuan seperti bantuan ekonomi, pendidikan

dan kesehatan dari pemerintahan setempat seperti RT, RW atau Kelurahan?

23. Apakah di lingkungan tempat tinggal anda terdapat fasilitas umum seperti

sarana pendidikan dan kesehatan?

24. Apakah anda mengikuti atau berpartisipasi ketika di lingkungan tempat

tinggal anda mengadakan acara seperti pengajian, tujuh-belas agustusan dan

sebagainya?

25. Bagaimana kondisi rumah dan lingkungan sekitar rumah anda apakah kumuh

dan padat penduduknya?

26. Dalam keluarga siapa yang berperan menafkahi keluarga dan yang mengatur

keuangan rumah tangga?

27. Dalam keluarga anda apakah ada yang menikah di usia dini, bercerai atau

berpisah, dan kurangnya pengasuhan dari orang tua?

28. Kegiatan apa yang biasanya dilakukan ketika habis bekerja sebagai ―pak

ogah‖, apakah anda lebih banyak di rumah atau di luar rumah?

29. Apakah anda pernah mengalami atau merasakan hal-hal yang tidak

menyenangkan dalam kehidupan anda pada saat bekerja ataupun di rumah

dan di lingkungan sosial anda sehingga anda merasakan menjadi tidak

berdaya atau tidak berguna, pasrah, dan rendah diri?

30. Dalam pergaulan sehari-hari, apakah anda bergaul dengan teman yang sama

dengan anda yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ atau bergaul dengan siapa saja

termasuk dengan orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih

tinggi dari pada anda?

Page 101: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

Foto Dokumentasi

1. Dokumentasi kegiatan informan yang sedang bekerja mengatur kendaraan di

pertigaan antara jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk tol BSD pada siang

hari.

2. Dokumentasi kegiatan informan yang sedang bekerja mengatur kendaraan di

pertigaan antara jalan Merpati Raya dan Arya Putra pada sore dan malam

hari.

Page 102: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf

Foto Dokumentasi

3. Dokumentasi pada saat wawancara dengan para informan di pertigaan jalan

Cendrawasih Raya dan di pertigaan jalan Merpati Raya.

4. Dokumentasi kegiatan para informan dan teman-teman informan yang sedang

menunggu bergantian bekerja dan dokumentasi pada saat melakukan

observasi di rumah salah satu informan.

Page 103: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf
Page 104: MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf