PERBEDAAN PERSONAL DISTRESS PADA...

16
1 PERBEDAAN PERSONAL DISTRESS PADA MAHASISWA BARU FPPsi UNIVERSITAS NEGERI MALANG YANG BERTEMPAT TINGGAL DI RUMAH KOST DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN STATUS IDENTITAS Dian Sudiono Putri Universitas Negeri Malang E-mail: [email protected] ABSTRAK:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) keadaanpersonal distress yang dialami mahasiswa baru, 2) status identitas mahasiswa baru, 3) status identitas mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin, 4) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin, 5) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau status identitas, dan 6) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian deskriptif dan komparatif. Analisis komparatif menggunakan two way anova.Subjek penelitian ini adalah seluruh mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang yang bertempat tinggal di rumah kost, sebanyak 66 orang(12 orang laki-laki dan 54 orang perempuan). Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala personal distress (α=0,778)dan skala status identitas (α=0,721). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)14 orang subjek memiliki tingkat personal distress sangat rendah dan 52 orang subjek memiliki tingkat personal distress rendah, 2) 22 orang subjek memiliki identity achievement, 5 orang subjek memiliki identity moratorium, dan 39 orang subjek memiliki identity foreclosure, 3) 12 subjek laki-laki (4 orang dengan identityachievement, 4 orang dengan identitymoratorium, dan 4 orang dengan identityforeclosure) dan 54 subjek perempuan (15 orang dengan identityachievement, 1 orang yang dengan identitymoratorium, dan 36 orang dengan identityforeclosure), 4) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin (sig.0,124), 5) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru ditinjau dari status identitas (sig.0,399), 6) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas (sig.0,075). Kata Kunci: personal distress, jenis kelamin, status identitas ABSTRACT: This study aimed to determine: 1) the state of personal distress experienced by new students, 2) identity status of new students, 3) identity status of new students in terms of gender, 4) differences personal distress of new students in terms of gender, 5) differences personal distress of new students status in terms of identity, and 6) differences personal distress of new students in terms of gender and identity status. This study uses a quantitative approach to descriptive and comparative research design. Comparative analysis using two- way anova. The subjects were all new students of the Faculty of Educational Psychology, State University of Malang who reside in boarding houses, as many as 66 people (12 men and 54 women). The research instrument used was personal distress scale (α = 0.778) and the identity status scale (α = 0.721). The results showed that: 1) 14 subjects had very low levels of personal distress and 52 subjects had low levels of personal distress, 2) 22 people have

Transcript of PERBEDAAN PERSONAL DISTRESS PADA...

1

PERBEDAAN PERSONAL DISTRESS PADA MAHASISWA BARU

FPPsi UNIVERSITAS NEGERI MALANG YANG BERTEMPAT

TINGGAL DI RUMAH KOST DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN

STATUS IDENTITAS

Dian Sudiono Putri

Universitas Negeri Malang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) keadaanpersonal distress yang

dialami mahasiswa baru, 2) status identitas mahasiswa baru, 3) status identitas mahasiswa

baru ditinjau dari jenis kelamin, 4) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau dari

jenis kelamin, 5) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau status identitas, dan 6)

perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian deskriptif

dan komparatif. Analisis komparatif menggunakan two way anova.Subjek penelitian ini

adalah seluruh mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

yang bertempat tinggal di rumah kost, sebanyak 66 orang(12 orang laki-laki dan 54 orang

perempuan). Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala personal distress

(α=0,778)dan skala status identitas (α=0,721). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)14

orang subjek memiliki tingkat personal distress sangat rendah dan 52 orang subjek memiliki

tingkat personal distress rendah, 2) 22 orang subjek memiliki identity achievement, 5 orang

subjek memiliki identity moratorium, dan 39 orang subjek memiliki identity foreclosure, 3)

12 subjek laki-laki (4 orang dengan identityachievement, 4 orang dengan identitymoratorium,

dan 4 orang dengan identityforeclosure) dan 54 subjek perempuan (15 orang dengan

identityachievement, 1 orang yang dengan identitymoratorium, dan 36 orang dengan

identityforeclosure), 4) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru ditinjau

dari jenis kelamin (sig.0,124), 5) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa

baru ditinjau dari status identitas (sig.0,399), 6) Tidak ada perbedaan personal distress antara

mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas (sig.0,075).

Kata Kunci: personal distress, jenis kelamin, status identitas

ABSTRACT: This study aimed to determine: 1) the state of personal distress experienced by

new students, 2) identity status of new students, 3) identity status of new students in terms of

gender, 4) differences personal distress of new students in terms of gender, 5) differences

personal distress of new students status in terms of identity, and 6) differences personal

distress of new students in terms of gender and identity status. This study uses a quantitative

approach to descriptive and comparative research design. Comparative analysis using two-

way anova. The subjects were all new students of the Faculty of Educational Psychology,

State University of Malang who reside in boarding houses, as many as 66 people (12 men and

54 women). The research instrument used was personal distress scale (α = 0.778) and the

identity status scale (α = 0.721). The results showed that: 1) 14 subjects had very low levels

of personal distress and 52 subjects had low levels of personal distress, 2) 22 people have

2

identity achievement subjects, 5 subjects had identity moratorium, and 39 subjects had a

foreclosure identity, 3) 12 male subjects (4 men with identity achievement, 4 people with

identity moratorium, and 4 people with identity foreclosure) and 54 female subjects (15

people with identity achievement, 1 person with identity moratorium, and 36 people with

identity foreclosure), 4) There is no difference between the new students in personal distress

in terms of gender (sig.0, 124), 5) There is no difference between the new students in

personal distress in terms of identity status (sig.0, 399), 6) There is no difference in personal

distress Among the new students in terms of gender and identity status (sig.0, 075).

Keyword: personal distress, sex, identity status

3

Mahasiswa merupakan sekumpulan individu yang menuntut ilmu pada jenjang

perkuliahan. Menjadi mahasiswa merupakan sebuah masa di mana seseorang sudah dituntut

untuk dapat mandiri. Setelah lulus dari tingkat pendidikan sekolah menengah, mereka akan

menimba pendidikan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi sebagai bekal

kehidupan mereka di masa depan. Menjadi mahasiswa baru tentunya memerlukan banyak

persiapan yang harus dilakukan, terutama dalam proses adaptasi dengan lingkungan di

perguruan tinggi. Bagi sebagian orang, adaptasi bukanlah proses yang mudah. Terkadang

seseorang memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri di tempat yang baru

bagi mereka.

Pada mahasiswa baru, kehidupan awal di jenjang perkuliahan adalah masa yang

sangat penting. Pada masa ini, mereka akan bertemu dengan banyak orang baru yang belum

mereka kenal. Pergaulan dengan lingkungan yang baru secara intensif akan menimbulkan

kedekatan satu sama lain. Proses perkenalan dan proses sosialisasi akan terjadi untuk mencari

teman dekat yang dapat mereka percaya, yang nantinya akan menjadi teman untuk bergaul

dan berbagi permasalahan. Adanya kedekatan yang telah terjalin, akan membuat timbulnya

empatikepada masalah yang dialami oleh teman dekat. Namun, jika kedekatan yang terjalin

sudah begitu dalam, tak jarang yang terjadi adalah kondisi yang disebut personal distress.

Kondisi empati yang berlebihan juga dapat menjadikan konflik batin pada diri seseorang

yang disebut sebagai kondisi personal distress (Eisenberg, 2000).

Personal distress merupakan pengalaman dari emosi negatif yang merupakan hasil

dari kesulitan yang dialami oleh orang lain dan secara spesifik melibatkan fokus individu

yang memutar fokus mereka dalam batin (baik secara perhatian maupun emosi), yang

kemudian memindahkan fokusnya dari seseorang yang mengalami kesulitan tersebut

(Schroeder dkk,1988; Eisenberg dkk, 1989, 1998b). Fokus dari keadaan personal distress

adalah kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi kesulitan yang

dialami orang lain, dan motivasi diri untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut dengan

menarik diri dari lingkungan.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Thomas (2012) menyebutkan bahwa kondisi

personal distress berpengaruh pada bagaimana seseorang memandang kualitas hidupnya.

Kualitas hidup yang dimaksud adalah kualitas dalam memberi kasih sayang atau perhatian

kepada orang lain, yang diindikasikan dengan kepuasan kasih sayang, kejenuhan, dan belas

kasihan yang melelahkan. Seseorang yang mengalami personal ditress, menunjukkan bahwa

orang tersebut memiliki kesadaran untuk meyayangi orang lain, terutama dalam membantu

mereka untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti yang kita ketahui, kondisi personal distress

4

merupakan sebuah kondisi di mana faktor emosional merupakan hal yang sangat penting.

Seseorang tidak akan mengalami kondisi ini jika orang tersebut tidak terlibat secara

emosional pada permasalahan yang dialami oleh orang lain.

Selain itu, Grynberg dkk (2010) menjelaskan bahwa personal distress merupakan

faktor utama dalam terjadinya sebuah kondisi yang bernama Alexithymia, yang merupakan

ketidakmampuan dalam pengekspresian emosi pada pasien psikosomatik. Kondisi tersebut

memiliki karakteristik berupa kesulitan dalam mengidentifikasi masalah dan kesulitan

mengungkapkan masalah. Sedangkan pada penderita sindrom Asperger, yang merupakan

salah satu gejala autisme, penderitanya sangat rentan terhadap goncangan empatik. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Smith (2009) menunjukkan bahwa penderita sindrom

Asperger memiliki tingkat personal distress yang lebih tinggi dibandingkan penderita

autisme, karena mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan mungkin hal

tersebut memberi pengaruh pada kondisi personal distress.

Laurent dan Hodges (2008) juga melakukan penelitian mengenai peran gender dalam

kaitannya dengan empati. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat empati,

termasuk di dalamnya tingkat personal distress perempuan lebih besar dari pada laki-laki.

Jenis kelamin merupakan hal yang dapat dijadikan tolok ukur emosi seseorang. Berbeda

dengan laki-laki, mereka yang berjenis kelamin perempuan akan cenderung mampu

mengungkapkan emosinya. Sedangkan mereka yang berjenis kelamin laki-laki cenderung

untuk menutupi emosinya. Dengan demikian, jenis kelamin bisa dikatakan faktor yang dapat

memprediksi terjadinya kondisi personal distress (Cassels dkk, 2010).

Keadaan personal distress yang dialami seseorang tentunya dapat dialami oleh

individu yang sudah menjalin kedekatan dengan orang lain, terutama pada mahasiswa yang

masih berada pada usia remaja. Pada usia remaja, seseorang umumnya semakin mampu

mengungkapkan emosinya sendiri, dan juga mampu memahami perasaan orang lain. Pada

masa ini, mereka juga sedang dalam proses perkembangan identitas diri. Pembentukan dan

perkembangan identitas diri bukanlah suatu proses yang cepat, karena proses tersebut

sangatlah kompleks. Proses pembentukan dan perkembangan identitas diri seseorang,

tentunya berkembang dari masa kecil hingga dewasa. Marcia (1993) juga mengungkapkan

bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada

tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen.

Permasalahan yang menyangkut ada tidaknya eksplorasi dan komitmen yang dihadapi

setiap orang tentunya berbeda-beda. Pada mahasiswa baru yang hidup di rumah kost,

kemungkinan timbulnya masalah dan krisis akan lebih besar. Banyaknya tuntutan untuk dapat

5

hidup mandiri, tentunya akan membuat mereka membutuhkan kemampuan eksplorasi dan

komitmen yang juga lebih besar, dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak tinggal di

rumah kost. Hal ini terjadi karena banyak hal yang harus dipersiapkan untuk hidup sendiri,

jauh dari orang tua maupun keluarga.

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah.

1. Untuk mengetahui keadaan personal distress yang dialami mahasiswa baru FPPsi yang

bertempat tinggal di rumah kost.

2. Untuk mengetahui status identitas mahasiswa baru FPPsi yang bertempat tinggal di rumah

kost.

3. Untuk mengetahui status identitas mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin.

4. Untuk mengetahui perbedaan personal distress mahasiswa baru FPPsi yang bertempat

tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin.

5. Untuk mengetahui perbedaan personal distress mahasiswa baru FPPsi yang bertempat

tinggal di rumah kost ditinjau status identitas.

6. Untuk mengetahui perbedaan personal distress mahasiswa baru FPPsi yang bertempat

tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas.

Feshbach, 1976 dan Iannotti, 1979 (dalam Davis, 1980) mengemukakan bahwa

empati menekankan pada beberapa aspek spesifik dari proses empati tersebut, serta

mempertimbangkan aspek kognitif dan aspek emosional. Ada 4 kondisi yang

dideskripsikan dalam empati yaitu.

a. Fantasy yaitu kecenderungan seseorang untuk melibatkan perasaan dan perilakunya

kedalam karakter dalam novel, film, permainan, dan karakter fiksi lainnya.

b. Perspective-taking yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang

lain dalam melihat sesuatu secara spontan.

c. Empathic concern yaitu perasaan simpati, kasihan, dan prihatin terhadap orang lain.

d. Personal distress yaitu perasaan seseorang pada kecemasan dan ketidaknyamanan yang

berasal dari pengalaman negatif yang dialami oleh orang lain.

Dari keempat kelompok tersebut, empati dibagi menjadi 2 aspek, yaitu aspek kognitif dan

aspek emosional. Di mana kondisi fantasy dan perspective-taking termasuk dalam aspek

kognitif. Sedangkan kondisi empathic concern dan personal distresstermasuk dalam aspek

emosi.

Menurut Batson, Krebs, dan Stotland (dalam Batson, Fultz, dan Schoenrade) setiap

individu tentunya memiliki perbedaan dalam menanggapi situasi emosional yang ada dalam

dirinya. Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat beberapa faktor berikut.

6

a. Perbedaan pengalaman pada situasi yang dihadapi.

b. Perbedaan persepsi dalam kaitannya dengan fokus terhadap situasi yang dihadapi.

c. Perbedaan hubungan dengan orang yang berkaitan dalam situasi yang dihadapi.

d. Perbedaan kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mengalami empati atas

permasalahan yang dihadapi orang lain.

Personal distress merupakan pengalaman dari emosi negatif sebagai hasil dari

kesulitan yang dialami oleh orang lain yang secara spesifik melibatkan fokus mereka (baik

secara perhatian maupun emosi), yang kemudian mengalihkan perhatian mereka dari

seseorang yang mengalami kesulitan tersebut. Personal distress juga dipandang sebagai

bendungan dari emosi orang lain, yang dikonseptualisasikan sebagai konsep diri, dengan

reaksi emosional yang seoalah mengalami kondisi yang dialami orang lain, misalnya

kecemasan dan ketidaknyamanan dengan motivasi egoistik untuk membuat diri merasa lebih

baik (Batson, 1991; Eisenberg, Shea, Carlo, & Knight, 1991). Sedangkan Batson (1991)

mendefinisikan personal distress sebagai sebuah respon cerminan diri dari kondisi negatif yang

dialami oleh orang lain. Kondisi personal distress umumnya juga disebut sebagai emphatic

distress atau psychological distress.

Bisa dikatakan bahwa personal distress melibatkan gairah empatik yang terlalu tinggi

yang mengakibatkan individu cenderung berfokus pada penderitaan mereka sendiri daripada

penderitaan yang dialami oleh orang lain. Perbedaan penting antara empati dan personal

distress adalah pada perilaku prososial. Perilaku prososial sering didefinisikan sebagai

tindakan sukarela atau perilaku yang menguntungkan untuk membantu yang lain. Menurut

Batson (1998), empati dikaitkan dengan motivasi menolong orang lain, sedangkan personal

distress dikaitkan dengan motif untuk mengurangi ketidaknyamanan perasaan diri sendiri.

Dengan demikian, empati dipandang sebagai emosi yang berorientasi moral yang mendorong

altruisme. Sebaliknya, personal distress dipandang menyebabkan perilaku prososial hanya

ketika itu adalah cara termudah untuk mengurangi ketidaknyamanan perasaan diri sendiri

(misalnya dalam situasi di mana seseorang tidak dapat melarikan diri berhadapan dengan

orang yang menyebabkan distress). Dengan demikian, empati dipandang sebagai emosi

moral, sedangkan personal distress diyakini menghasilkan perilaku egoistik.

Kondisi personal distress yang dialami oleh seseorang juga akan melibatkan reaksi

fisiologis dan reaksi negatif dalam menanggapi kondisi tersebut. Reaksi- reaksi tersebut

adalah.

a. Khawatir, yang terindikasi dari adanya perasaan cemas dan pikiran buruk.

b. Marah, yang terindikasi dari adanya tindak agresi fisik dan agresi verbal.

7

c. Terganggu, yang terindikasi dari adanya perhatian yang berlebihan dan perasaan sedih.

d. Tertekan, yang terindikasi dari adanya kondisi pendiam dan menyendiri.

e. Gelisah, yang terindikasi dari adanya perasaan gugup dan tubuh yang terasa tidak nyaman.

James Marcia menganalisis teori perkembangan identitas Erikson dan

menyimpulkan bahwa ada 4 status identitas. Di mana pengklasifikasian status identitas

tersebut berdasar pada ada tidaknya komitmen dan krisis yang ada pada diri remaja tersebut.

Keempat status identitas tersebut adalah sebagai berikut.

a. Identity Achievement (Capaian Identitas)

Merupakan sebuah istilah yang menggambarkan remaja yang telah mengalami suatu krisis

dan sudah membuat suatu komitemen. Ditandai oleh komitmen untuk menjalani berbagai

pilihan yang dibuat setelah krisis, periode yang dijalani dengan mengeksplorasi pilihan-

pilihan.

b. Identity Moraturium (Penundaan Identitas)

Istilah ini merupakan penggambaran remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis,

tetapi komitmen mereka tidak ada, atau hanya didefinisikan secara samar. Saat seseorang

mempertimbangkan berbagai alternatif (dalam krisis) dan tampaknya akan menjalankan

komitmen.

c. Identity Foreclosure (Pencabuatan Identitas)

Merupakan sebuah istilah yang menggambarkan remaja yang telah membuat suatu

komitmen tetapi belum mengalami krisis. Pada status ini, seorang individu akan

menghabiskan waktunya untuk mempertimbangkan berbagai alternatif (yang tidak pernah

berada dalam krisis) dan berkomitmen untuk menjalani rencana orang lain untuk hidupnya

sendiri.

d. Identity Diffusion (Penyebaran Identitas)

Merupakan sebuah istilah yang menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis,

yaitu belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna atau membuat komitmen apapun.

Ditandai oleh ketiadaan komitemen dan kurangnya pertimbangan serius terhadap berbagai

alternatif.

Dalam hal ini, krisis merupakan sebuah istilah yang diungkapkan Marcia untuk

pembuatan keputusan secara sadar berkaitan dengan pembentukan identitas. Sedangkan

komitmen merupakan istilah untuk keterlibatan pribadi dalam pekerjaan atau sistem

keyakinan. Ada tidaknya eksplorasi dan komitmen pada masing-masing status identitas dapat

digambarkan melalui tabel berikut.

8

Identity

Achievement

Identity

Moratorium

Identity

Foreclosure

Identity

Diffusion

Krisis

(eksplorasi) Ada Ada Tidak ada Tidak ada

Komitmen Ada Tidak ada Ada Tidak ada

Berdasar teori Marcia (dalam Dariyo, 2004) para peneliti telah menemukan bahwa

orang tua dan kepribadian diri remaja akan menentukan pembentukan status identitasnya.

Penjelasan tersebut dapat digambarkan pada tabel berikut.

Status Identitas Keluarga Kepribadian

Identity

Achievement

Orang tua suportif,

perhatian, mempercayai

anak.

Anak punya kekuatan ego,

kemandirian, kontrol diri

internal, akrab, percaya

diri, inisiatif, kreatif, dan

berprestasi.

Identity

Moratorium

Orang tua tidak punya

aturan jelas. Anak bingung

terhadap otoritas orang

tua.

Anak cemas, takut gagal,

egois, kurang percaya diri,

harga diri atau konsep diri

rendah.

Identity

Foreclosure

Orang tua tidak terima

sikap atau perasaan anak.

Tidak mendengarkan

keluhan atau kehendak

anak.

Anak tergantung, kontrol

diri eksternal, cemas, tidak

percaya diri.

Identity

Diffusion

Orang tua permisif, tidak

berwibawa, dan tidak

memberi arahan dan

bimbingan dengan baik.

Perkembangan konsep diri

anak lambat, kemampuan

kognitif tidak berfungsi

baik, ragu-ragu, pasif,

tidak inisiatif.

Personal distress merupakan sebuah kondisi yang sangat berkaitan dengan masalah

emosional. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menentukan kecenderungan

seseorang dalam mengolah emosinya, terutama pada kondisi personal distress. Jenis kelamin

laki-laki dan perempuan pada kenyataannya turut menentukan bagaimana perbedaan kondisi

personal distress yang dialami oleh seseorang. Lazimnya, terdapat perbedaan yang signifikan

antara laki-laki dan perempuan dalam hal pengaturan emosi dalam menghadapi masalah-

masalah orang lain (Miville dkk, 2006).

9

Orang-orang yang berjenis kelamin perempuan memiliki kecenderungan untuk

mengungkapkan emosinya. Pada praktiknya, perempuan memiliki empati yang baik terhadap

permasalahan yang dialami oleh orang lain. Dapat dikatakan bahwa mereka memiliki

kecenderungan personal distress yang tinggi. Sebaliknya, orang-orang yang berjenis kelamin

laki-laki justru memiliki kecenderungan untuk menutupi atau menahan emosinya. Hal

tersebut akan membuat mereka kesulitan dalam berempati pada permasalahan orang lain,

karena mereka tidak akan merefleksikan keadaan emosional orang lain pada diri mereka. Hal

inilah yang membuat orang-orang yang berjenis kelamin laki-laki memilki kecenderungan

personal distress yang rendah.

Dalam kaitan antara personal distress dengan status identitas, status identitas bisa saja

menjadi salah satu hal yang memungkinkan seseorang mengalami atau berada dalam kondisi

personal distress. Jenis dari identitas diri, yang dibedakan kedalam 4 status identitas,

menggambarkan bagaimana seseorang dalam pengelolaan eksplorasi (krisis) dan komitmen.

Marcia (dalam Dariyo, 2004) menyatakan bahwa krisis dan komitmen yang akan membentuk

status identitas seseorang, tentunya dipengaruhi oleh lingkungan dan kepribadian orang

tersebut. Hal ini tentunya juga berpengaruh kepada bagaimana seseorang bisa mengalami

personal distress, karena terjadinya personal distress juga dikarenakan akibat seseorang tidak

mampu mengelola krisis yang terjadi pada dirinya dengan baik.

METODE

Partisipan

Penelitian ini menggunakan teknik penelitian populasi dengan mengambil seluruh

mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Psikologi yang bertempat tinggal di rumah kost sebagai

subjek penelitian. Subjek penelitian berjumlah 66 orang yang terdiri dari 12 laki-laki dan 54

perempuan. Dikarenakan jumlah populasi penelitian yang tidak terlalu banyak, maka

penelitian ini menggunakan penelitian populasi. Teknik sampling penelitian populasi juga

disebut sebagai sampling jenuh.

Desain Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif

deskriptif dan komparatif. Deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena personal

distress dengan apa adanya, tanpa adanya perlakuan tertentu terhadap subjek penelitian

sedangkan komparatif membandingkan dua atau tiga kejadian dengan melihat penyebab-

penyebab (Arikunto, 2010), dalam penelitian ini perbedaan personal distress ditinjau dari

jenis kelamin dan status identitas. Dalam penelitian ini terdapat 3 variabel, yaitu variabel

10

personal distress (Y), variabel jenis kelamin (X1), dan variabel status identitas (X2). Variabel

personal distress akan dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan status identitas. Hubungan

antar variabel-variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan adalah skala personal distress dan skala status identitas.

Data yang dikumpulkan dari kedua skala adalah sebagai berikut.

1. Skala personal distress

Contoh:

No. Pernyataan SS S E TS STS

10 Saya sering menangis jika mengingat teman

yang mengalami masalah yang rumit

2. Skala status identitas

Contoh:

No. Pernyataan SS S E TS STS

9 Saya selalu ragu-ragu dalam berkomitmen

dengan orang lain

Kedua skala pada penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Skala

personal distress dan skala status identitas diuji reliabilitasnya menggunakan pendekatan

konsistensi internal. Perhitungan reliabilitas kedua skala ini menggunakan analisis statistik

Cronbach Alpha dengan bantuan program SPSS Statistcs 17.0. Hasil dari perhitungan

reliabilitas skala personal distress adalah (α=0,778) dan reliabilitas skala status identitas

adalah (α=0,721).

Personal Distress

Status Identitas Disffusion

Laki-laki

Perempuan

Status Identitas Foreclosure

Laki-laki

Perempuan

Status Identitas Moraturium

Laki-laki

Perempuan

Status Identitas Achievement

Laki-laki

Perempuan

11

Prosedur Penelitian

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menyusun skala personal distress dan skala status identitas.

2. Melakukan uji coba instrumen kepada subjek yang memiliki karakteristik yang sama

dengan subjek penelitian.

3. Menghitung validitas dan reliabilitas instrument penelitian.

4. Menyusun kembali instrumen penelitian.

5. Menyebarkan instrumen yang valid kepada subjek penelitian.

6. Menghitung hasil dari pengisian instrumen penelitian oleh subjek penelitian.

Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis analisis

yaitu analisis deskriptif menggunakan penilaian aboslut dan komparatif menggunakan

analisis two way anova yang dilakukan menggunakan bantuan SPSS 16 for Windows.

Analisis ini dipilih karena dengan analisis ini sebuah fenomena dapat ditinjau dari 2 hal.

Hasil dari analisis ini tentunya juga mampu menunjukkan perbedaan tingkat personal distress

jika ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas.

HASIL

1. Keadaan personal distress yang dialami oleh mahasiswa baru FPPsi yang bertempat

tinggal di rumah kost adalah sebagai berikut.

a. Subjek yang memiliki tingkat personal distress sangat rendah berjumlah 14 orang.

b. Subjek yang memiliki tingkat personal distress rendah berjumlah 52 orang.

2. Status identitas mahasiswa baru FPPsi yang bertempat tinggal di rumah kost adalah

sebagai berikut.

a. Subjek yang memiliki identity achievement berjumlah 22 orang

b. Subjek yang memiliki identity moratorium berjumlah 5 orang

c. Subjek yang memiliki identity foreclosure berjumlah 39 orang

3. Status identitas mahasiswa baru FPPsi yang bertempat tinggal di rumah kost ditinjau dari

jenis kelamin adalah sebagai berikut.

a. 12 orang subjek yang berjenis kelamin laki-laki terdiri dari 4 orang yang memiliki

status identitas achievement, 4 orang yang memiliki status identitas moratorium, dan 4

orang yang memiliki status identitas foreclosure.

12

b. 54 orang subjek penelitian yang berjenis kelamin perempuan terdiri dari 18 orang yang

memiliki status identitas achievement, 1 orang yang memiliki status identitas

moratorium, dan 36 orang yang memiliki status identitas foreclosure.

4. Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri

Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin, yang ditunjukkan dengan

nilai signifikansi sebesar 0,124 (>0,05).

5. Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri

Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari status identitas, yang ditunjukkan dengan

nilai signifikansi 0,399(>0,05).

6. Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri

Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas, yang

ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,075 (>0,05).

DISKUSI

Uji hipotesis 1 yang telah dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan personal

distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri Malang yang tinggal di rumah kost

ditinjau dari jenis kelamin, ditolak. Hal ini dibuktikan dengan adanya nilai signifikansi 0,124

(> 0,05). Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki jenis kelamin laki-laki

memiliki tingkat personal distress yang sama dengan orang-orang yang memiliki jenis

kelamin perempuan. Hal tersebut membuktikan bahwa personal distress yang dialami

seseorang, tidak berpengaruh pada jenis kelamin yang dimilikinya.

Uji hipotesis kedua yang bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan personal

distress jika ditinjau dari status identitas, ditolak. Korelasi antar variabel yang bernilai 0,399

(> 0,05) menunjukkan tidak adanya perbedaan personal distress antara mahasiswa baru

FPPsi Universitas Negeri Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari status identitas.

Uji hipotesis ketiga bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan personal

distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri Malang yang tinggal di rumah kost

ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas. Analisis yang telah dilakukan membuktikan

bahwa tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas

Negeri Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas,

karena nilai signifikansinya bernilai 0,075 (> 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua

variabel bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Hasil dari

analisis anova menunjukkan bahwa jenis kelamin dan status identitas secara bersamaan juga

13

tidak memberikan pengaruh terhadap perbedaan personal distress yang terjadi pada

mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri Malang.

Analisis yang dilakukan sebelumnya, untuk melihat perbedaan personal distress

baik ditinjau dari jenis kelamin, maupun ditinjau dari status identitas telah menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan personal distress yang terlihat pada subjek penelitian. Hal

tersebut tentunya juga memberi kontribusi yang sangat besar jika perbedaan personal distress

ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas secara bersama-sama, karena hasilnya juga

menunjukkan tidak adanya perbedaan personal distress ditinjau dari jenis kelamin dan status

identitas .

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Laurent dan Hodges (2008) yang menyatakan

bahwa perempuan memiliki tingkat personal distress yang tinggi daripada laki-laki, ternyata

bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2010) yang justru

menunjukkan bahwa laki-laki memiliki tingkat personal distress yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut terjadi karena laki-laki tampak memiliki

kejujuran (ketulusan) yang tinggi dibandingkan dengan perempuan dalam hal kecenderungan

menolong orang lain. Kejujuran tersebut justru membuat mereka merefleksikan permasalahan

yang dialami oleh orang lain kepada diri mereka sendiri. Kedua hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa kondisi personal distress tidak bisa ditentukan dari jenis kelamin. Baik

laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan tingkat personal distress yang sama.

Personal distress yang merupakan empati dalam aspek emosional, sehingga faktor emosional

merupakan penentu utama. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapasistas emosional

yang sama untuk mengalami keadaan personal distress.

Penelitian yang dilakukan oleh Gynberg dkk (2010) mengenai personal distress

pada penderita Alexithymia menunjukkan hasil bahwa personal distress merupakan faktor

utama timbulnya sindrom Alexithymia dari segi emosionalnya. Alexithymia merupakan

gangguan dalam berkomunikasi karena tidak mampu memahami emosi orang lain. Dari hasil

penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan seseorang dalam memahami

perasaan orang lain dapat menimbulkan terjadinya kondisi personal distress. Baik ditinjau

dari jenis kelamin maupun status identitas, jika seseorang tidak mampu memahami perasaan

orang lain, maka orang tersebut tetap memiliki peluang untuk mengalami personal distress.

Teori mengenai peran gender juga mampu menjelaskan tidak adanya perbedaan

personal distress jika ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa

peneliti pada tahun 1960-an dan 1970-an, menemukan adanya dukungan teori Erikson

mengenai perbedaan-perbedaan identitas gender. LaVoie (dalam Santrock, 1995)

14

menyebutkan bahwa pada saat itu, kaum laki-laki lebih terpusat pada pekerjaan, dan kaum

perempuan lebih terpusat pada proses afiliasi. Akan tetapi, dewasa terakhir ini perbedaan

tersebut berbalik menjadi sebuah persamaan, di mana kaum perempuan juga

mengembangkan minat pekerjaan yang lebih kuat.

Seperti yang telah dijelaskan, minat kaum perempuan yang tidak lagi terpusat pada

afiliasi, hal inilah yang mungkin saja menyebabkan tidak adanya perbedaan personal distress

jika ditinjau dari jenis kelamin. Peran gender yang tidak lagi berbeda antara laki-laki dan

perempuan, membuat peran gender tersebut seolah samar dan hampir sama saat ini.

Perempuan yang memiliki kecenderungan untuk dapat mengungkapkan emosinya, mungkin

saja sudah memiliki peran gender yang sama seperti laki-laki.

Salah satu faktor penyebab yang mengapa ketiga hipotesis ditolak adalah karena

jumlah subjek yang tidak merata. Dilihat dari jumlah subjek penelitian berdasarkan jenis

kelamin, sudah terjadi perbedaan yang besar. Di mana jumlah mahasiswa laki-laki hanya 12

orang, sedangkan jumlah mahasiswa perempuan berjumlah 54 orang. Perbedaan yang terlihat

ini, bisa saja membuat penelitian ini tidak seimbang dalam hal jumlah subjek penelitiannya.

Selain jenis kelamin, jumlah dari subjek penelitian jika dilihat dari identitas diri juga

menunjukkan perbedaan yang jelas. Jumlah subjek pada tiap-tiap status identitas yang tidak

merata, juga memungkinkan terjadinya ketidakakuratan penelitian. Apalagi dari keempat

jenis status identitas, ada 1 status identitas yang tidak memiliki wakil subjek penelitian.

Kekosongan data pada status identitas ini, tentunya berpengaruh pada hasil penelitian.

Sehingga data yang didapatkan juga bisa dikatakan kurang.

Aitem skala status identitas yang tidak seimbang pada salah satu indikator juga turut

memberikan kontribusi pada ditolaknya hipotesis penelitian. Skala status identitas yang

disusun oleh peneliti merupakan skala yang terdiri dari 4 sub variabel, dimana sub variabel

tersebut adalah keempat status identitas berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Marcia.

Setiap sub variabel diwakili oleh 10 aitem, sehingga jumlah aitemnya adalah 40. Skala ini

kemudian diujicobakan kepada subjek diluar subjek penelitian yang sebenarnya. Dari hasil uji

coba skala identitas diri yang dilakukan, hasil aitem yang valid tiap-tiap sub variabel tidak

merata. Ada yang terwakili oleh 2 aitem, 5 aitem, 6 aitem, dan 7 aitem.

Dari hasil tersebut, terlihat adanya perbedaan yang cukup besar, karena ada 1 sub

variabel yang hanya terwakili oleh 2 aitem. Perbedaan ini tentunya berpengaruh pada hasil

penelitian, sehingga akhirnya peneliti mengambil keputusan untuk memasukkan 3 aitem

unfavorable pada sub variabel lain yang bisa memberikan kontribusi dalam penilaiannya.

Sistem penilaian yang disusun oleh peneliti membuat sub variabel terwakili oleh 5 aitem.

15

Keputusan yang diambil peneliti dalam melakukan sistem penilaian yang baru, mungkin saja

juga memberikan pengaruh pada penelitian ini, terutama sebagai alasan ditolaknya hipotesis 2

dan 3, mengingat dalam kedua hipotesis tersebut menyangkut juga variabel identitas diri yang

diukur menggunakan skala identitas diri yang disusun oleh peneliti.

16

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Batson, Daniel, dkk. Tanpa tahun.Distress and Empathy: Two Qualitatively Distinct

Vicarious Emotions with Different Motivational Consequences. Kansas. Tidak

diterbitkan.

Cassels, Tracy, dkk. 2010. The Role of Culture in Affective Empathy: Cultural and Bicultural

Differences. Vancouver: Journal of Cognition and Culture 10 (2010) 309–326.

Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.

Davis, Mark. 1980. A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy.

Texas: JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, 1980, 10, p. 85.

Eisenberg, Nancy. 2000. Emotion, Regulation, and Moral Development. Arizona: annu. Rev.

Psychol. 2000. 51:665–697.

Grynberg, Delphine dkk. 2010. Alexithymia in the interpersonal domain: A general deficit of

empathy?: Personality and Individual Differences 49 (2010) 845–850.

Laurent, Sean dan Hodges, Sara. 2008. Gender Roles and Empathic Accuracy: The Role of

Communion in Reading Minds. Oregon: Tidak diterbitkan.

Marcia, J. E et al. 1993. Ego Identity: A Handbook For Psychology Research. New York:

Springer Verlag.

Miville, M. L., Carlozzi, A. F., Gushue, G. V., Schara, S. L. & Ueda, M. 2006. Mental Health

Counselor Qualities for a Diverse Clientele: Linking Empathy, Universal-Diverse

Orientation, and Emotional Intelligence.Journal of Mental Health Counseling, April

2006, 28(2), p. 151-165.

Rahman, Fathur. 2010. Kualitas Empati dan Intensi Prososial sebagai Dasar Kepribadian

Konselor. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.

Santrock, John. 1995. Life-Span Development Jilid 2: Jakarta: Erlangga.