PERBANDINGAN MENGENAI PENGUASAAN TANAH OLEH …
Transcript of PERBANDINGAN MENGENAI PENGUASAAN TANAH OLEH …
1
PERBANDINGAN MENGENAI PENGUASAAN TANAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA LAIN
Dias Pasah Ramadhani, Suparjo Sujadi
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai persoalan hubungan hukum berupa penguasaan tanah antara Warga Negara Asing dengan tanah yang dilihat dari segi norma hukum dan faktor-faktor yang membatasi penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing di Indonesia dan Negara – Negara Lain. Metode penelitian yang dipergunakan pada penelitian ini adalah hukum normatif yang menekankan pada Perbandingan. Penelitian ini memberikan dua buah kesimpulan. Pertama, pengaturan terkait pembatasan Orang Asing di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala sebelum UUPA lahir, UUPA sendiri mengatur jika Orang Asing hanya dapat memiliki Hak Pakai dan Hak Sewa Bangunan, meskipun sudah diatur namun masih diperlukan peraturan pelaksana terkait hal tersebut, sayanganya peraturan pelaksana yang ada cenderung bertentangan baik secara horizontal maupun vertikal dengan peraturan lainnya. Kedua, pembatasan terhadap WNA dalam rangka penguasaan tanah oleh WNA di negara-negara lain seperti Singapura dan Republik Rakyat Tiongkok.
Kata Kunci: Penguasaan Tanah; Orang Asing; UUPA; Perbandingan; Singapura; Republik Rakyat Tiongkok.
COMPARISON ABOUT LAND TENURE BY FOREIGNERS IN INDONESIA AND OTHER COUNTRIES
Abstract
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
2
This study concerns about problems in land tenure facing by foreigners in some countries which is reviewed by legal norms and limiting factors in land tenure by foreigners in Indonesia and Other Countries. This study uses normative study which concern in Comparative. There are two conclusions in this study. First, adjustment about land tenure by foreigners in Indonesia has been created by the government before UUPA, UUPA adjust that if Foreigner can only have Right of Use and Right of Lease Building, although it has been regulated, it still needs some implementing regulations. Unfortunately, the implementing regulations which have been created tend to contradict horizontally and vertically with the other regulation. Second, restriction in land acquisition to the Foreigner is not only found in Indonesia, but also in other countries like Singapore and People’s Republic of Tiongkok have factors which restrict Foreigner in doing land tenure although in different ways. Key Words: Land Tenure; Foreigner; UUPA; Comparative; Singapore; People’s Republic of
Tiongkok.
Pendahuluan
Tanah merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi manusia karena merupakan
kebutuhan dasar manusia. Kehidupan manusia tidak sama sekali dapat dipisahkan dari tanah.1
Prof. Boedi Harsono menjelaskan bahwa Tanah merupakan slah satu sumber utama bagi
kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam rangka mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata.2 Berbicara kebutuhan dasar manusia,
maka akan mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, dimana teori
tersebut dikenal dengan hierarki kebutuhan atau hierarchy of needs. 3 Tanah sendiri termasuk
dalam kebutuhan fisiologis (physiological needs). Melihat peran penting dari tanah sebagai
kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, maka sudah sepantasnya apabila tanah
dipergunakan untuk sebesar-besanrnya kemakmuran rakyat, hal ini sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut, “Bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
1 C. Kartasapoerta, et al., Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,
(Jakarta: PT. Melton Putra, 1991), hlm. 1 2 Boedi Harsono (1), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Perkembangan Pemikiran &
Hasilnya sampai menjelang Kelahiran UUPA tanggal 24 September 2007, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2003), hlm. 4
3 Sumanto, Psikologi Umum, (Yogyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing Service), 2014), hlm. 17
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
3
besarnya kemakmuran rakyat”.4 Sebagai salah satu bentuk pengejawantahan secara konkret dari
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maka dibentuk UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
atau untuk selanjutnya disebut UUPA. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam Seminar Hukum
Pertanahan HKTI/YTKI/FES Tahun 1978 bahwa ditinjau dari jiwa dan semangat yang
terkandung didalamnya, UUPA merupakan bentuk pengejawantahan dari pandangan hidup dan
aspirasi nasional yang bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945.5
Jika ditinjau lebih jauh dari segi jiwa dan semangat yang terkandung didalamnya maka
UUPA merupakan bentuk nyata dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945.6
Tanah khususnya di Indonesia sebenarnya tidak hanya menjadi kebutuhan yang paling mendasar
bagi Warga Negara Indonesia yang selanjutnya disebut WNI, tetapi menjadi kebutuhan yang
paling mendasar bagi Warga Negara Asing yang selanjutnya disebut WNA yang berada di
Indonesia. Salah satu bentuk nyata dari kebutuhan WNA yang berada di Indonesia terhadap tanah
adalah untuk tempat tinggal. Kebutuhan WNA akan tanah untuk tempat tinggal sebenarnya telah
diakomodir oleh ketentuan yang terdapat dalam UUPA berdasarkan pada nilai-nilai dalam
Pancasila yaitu sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga memberikan kekuasaan atas
tanah kepada WNA menurut kebutuhan bangsa Indonesia.7 Salah satu bentuk kebutuhan akan
tanah adalah Kebutuhan akan tanah untuk tempat tinggal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28
H ayat (1) UUD 1945.8 Urip Santoso berpendapat Rumah sebagai tempat tinggal memiliki peran
yang strategis dan vital dalam rangka membentuk watak dan keperibadian bagi manusia dan
peningkatan taraf kehidupan dan penghidupan manusia.9
UUPA sendiri telah mengatur jika terhadap WNA dapat diberikan Hak Pakai dan Hak
Sewa Untuk Bangunan, sehingga tidak semua hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA dapat
dimiliki oleh WNA. Pembatasan tersebut dilandasai dari prinsip nasionalitas dan kebangsaan
4 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3) 5 Abdurrahman, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria: Seri Hukum Agraria V, (Bandung: Alumni,
1980), hlm. 10. 6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria Isi
dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hlm. 162-163 7 Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan
Pancasila, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 39-40 8 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28H ayat (1) 9 Urip Santoso, Hukum Perumahan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 1-2.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
4
yang diadopsi dari Hukum Adat di Indoensia.10 Dasar dari kenasionalitasan sendiri diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) UUPA, yang memberikan batasan terhadap WNA bukanlah suatu bentuk
diskriminatif, tetapi merupakan bentuk perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia selanjutnya
disebut HAM atas hubungan UUPA dengan WNI. 11 Meskipun terdapat pembatasan bagi WNA
namun Hukum Tanah Nasional tetap berusaha untuk mewujudkan kepastian hukum bagi WNA
dalam memperoleh tanah di Indonesia sehingga dibentuklah beberapa peraturan pelaksana terkait
diantaranya PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah, PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia, dan berbagai peraturan lainnya. Kemudian, pada
tahun 2015 dikeluarkan peraturan baru yang mencabut PP No. 41 Tahun 1996, peraturan tersebut
adalah PP No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, untuk selanjutnya disebut PP No. 103 Tahun
2015 dan juga terdapat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 29 Tahun
2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas Tanah Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, yang
selanjutnya disebut PMATR No. 29 Tahun 2016.12
PP No. 103 Tahun 2015 dan PMATR No. 29 Tahun 2016 sendiri telah menimbulkan
banyak perdebatan, karena banyak pihak yang menilai bahwasanya dikeluarkannya PP No. 103
Tahun 2015 dikarenakan lebih ‘marketable’ dibandingkan PP No. 41 Tahun 1996 sehingga
mendorong pemerintah untuk menerbitkan aturan yang baru.13 Amartya Khumar Sen yang
berpendapat hukum tidak hanya sekedar menjadi pembantu ekonomi meskipun pengaturan
hukum tentunya dapat membantu prestasi ekonomi.14 Pendapat Amartya Khumar Sen sejalan
dengan Prof. Boedi Harsono yang menilai bahwasanya Tanah bukan obyek investasi terlebih
10 Sudjito, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing: Tinjauan Politik Hukum dan Perlindungan Warga Negara
Indonesia, (Yogyakarta: STPN Press, 2015), hlm. 5 11 A.P. Parlindungan, Hukum Agraria Serta Landreform: Bagian II, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.
90-91 12 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang
Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 103 Tahun 2015, LN No. 325 Tahun 2015, TLN No. 5793, Ps. 12. 13 Kompas, “PP No. 103 Tahun 2015 Diskriminatif dan Terlalu Memanjakan Orang Asing”
http://properti.kompas.com/read/2016/01/22/145129521/PP.103.2015.Diskriminatif.dan.Terlalu.Memanjakan.Orang.Asing?page=all, diakses 22 Desember 2016
14 Amartya K Sen, Against Injustice, The Economics of Amartya Sen, (New York: Cambrige University Press, 2009), sebagaimana dikutip oleh Suparjo, “Manifestasi Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara dalam Politik Hukum Agraria Pasca Proklamasi 1945 Hingga Pasca Reformasi 1998: Kajian Teori Keadilan Amartya K. Sen”, (Disertasi Doktor Universitas Indoensia, Jakarta, 2014), hlm. 496-497.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
5
dijadikan obyek spekulasi.15 Selain itu, Prof. Arie S Hutagalung menilai PP No. 103 Tahun 2015
telah diskriminatif terhadap Warga Negara Indonesia karena memberikan jangka waktu yang
lebih lama dari pada Hak Guna Bnagunan yang diperuntukkan kepada WNI.16
Hal-hal tersebut mendorong penulis untuk membahas mengenai faktor-faktor yang menjadi
batasan penguasaan tanah oleh WNA di Indonesia, dengan dibandingkan faktor-faktor serta
pengaturan di negara-negara lain. Prof Subekti, S.H pada saat menghadiri petemuan hukum
ASEAN LAW ASSOCIATION (ALA) di Singapura, pada intinya menyatakan perlu belajar
perkembangan hukum dari negara-negara lain dalam rangka melakukan pembaharuan dan
pembinaan hukum nasional tetapi tetap harus berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. 17
Berdasarkan permasalahan di atas yang menjadi rumusn masalah adalah sebagai berikut:
bagaimana pengaturan mengenai penguasaan tanah bagi WNA di Indonesia dan Negara-Negara
lain; dan faktor apa saja yang menjadi batasan penguasaan tanah oleh WNA di Negara-Negara
lain. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui seperti apa pengaturan dan faktor
– faktor yang membatasi penguasaan tanah oleh WNA di Indonesia. Selain itu, penulisan ini juga
bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pengaturan dan faktor-faktor yang membatasi
penguasaan tanah oleh WNA di negara-negara lain seperti Singapura dan Republik Rakyat
Tiongkok.
Tinjauan Teoritis
Sejarah pengaturan penguasaan tanah oleh Orang Asing di Indonesia sudah ada sejak
sebelum berlakunya UUPA, baik pada Hukum Tanah Barat yang terbagi atas masa VOC dan
setelah VOC maupun pada Hukum Tanah Adat. Pada masa VOC, penguasaan tanah oleh orang
asing terdapat dalam bentuk Larangan Pengasingan Tanah kepada bukan anggota VOC.
15 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional: Perkembangan Pemikiran & Hasilnya sampai menjelang Kelahiran UUPA tanggal 24 September 2007, hlm. 4
16 Kompas, “PP No. 103 Tahun 2015 Diskriminatif dan Terlalu Memanjakan Orang Asing”, diakses 22 Desember 2016
17 Lihat Sinar Harapan 25 Oktober 1984, sebagaimana dikutip Arie S. Hutagalung, “Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah”, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm. 132
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
6
Kemudian, pada masa setelah VOC bentuk larangan pengasingan tanah yang berstatus hak tanah
adat atau hak-hak atas tanah adat kepada Golongan Non – Pribumi hal ini salah satunya diatur
dalam Grondvervreemdings-verbod. Sedangkan pada Hukum Tanah Adat ketentuan terkait
penguasaan tanah oleh orang asing dalam bentuk pembatasan terhadap orang yang bukan anggota
masyarakat hukum adat, sebagai berikut:18
1. Memperoleh izin dari Penguasa Adat;
2. Hanya untuk berladang atau dijadikan kebun tanaman muda;
3. Hanya menguasai dan mengerjakan tanah yang dibukanya untuk satu kali panen saja;
4. Tidak diperkenankan untuk tanah hak milik;
5. Hasil harus diserahkan sebagian (pada umumnya sepersepuluh) kepada Penguasa Adat
yang bersangkutan.
Setelah diberlakukannya UUPA maka dilakukan unifikasi hukum. Hal ini berdampak pada
beberapa ketentuan yang sudah ada sebelum UUPA yang mana peraturan tersebut menjadi
dicabut baik secara tegas maupun tidak tegas. Salah satu ketentuan yang dicabut secara tidak
tegas adalah terkait dengan Larangan Pengasingan Tanah yang berlaku dalam Hukum Tanah
Barat. Salah satu asas yang terkandung dalam UUPA adalah Asas Hukum Adat dimana
berdasarkan asas tersebut maka pemikiran dalam UUPA berdasarkan pada filosofis Hukum
Adat.19 UUPA sendiri sebenarnya sudah mengatur mengenai hak-hak atas tanah apa saja yang
dapat dikuasai oleh WNA yang berkedudukan di Indonesia yaitu Hak Pakai dan Hak Sewa
Bangunan, sehingga tidak semua hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 16 UUPA dapat
dikuasai oleh WNA,20 hal ini berdasarkan Asas Nasionalitas. Asas Nasionalitas merupakan asas
18 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraia Isi
dan Pelaksanaanya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hlm. 190 19 Anita D.A. Kolopaking, “Kepemilikan Tanah Hak Milik oleh W.N.A dan Badan Hukum Dikaitkan
dengan Penggunaan Nominee sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum”, (Disertasi Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 2009), hlm. 101
20 Pasal 16 UUPA: a. Hak milik b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan d. Hak pakai e. Hak sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditegaskan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
7
yang memberikan hak atas tanah peringkat tertinggi hanya kepada WNI sesuai dengan filosofi
Hukum Adat.
Ketentuan mengenai penguasaan tanah oleh WNA sebagaimana diatur dalam UUPA
tersebut, diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan pelaksana yang diantaranya:
1. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;
2. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia;
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996
tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing;
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 08 Tahun 1996
tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian Oleh Orang Asing;
5. Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia;
6. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 13
Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas Tanah
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia;
7. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 29
Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas Tanah
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan
di Indonesia.
Akan tetapi, peraturan terkait dengan Penguasaan Tanah oleh WNA di Indonesia yang
berlaku saat ini adalah PP No. 40 Tahun 1996, PP No. 103 Tahun 2015, dan PMATR/Kepala
BPN No. 29 Tahun 2016. Peraturan-peraturan tersebut pada intinya mensyaratkan jika WNA
sebagai berikut:
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
8
1. Bukan Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Keberadaannya memberikan manfaat, melakukan, usaha, bekerja, atau berinvestasi di
Indonesia;
3. Mempunyai Izin Tinggal.
Berbicara mengenai Izin Tinggal maka akan mengacu pada UU Keimigrasian yaitu UU No.
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang mengklasifikasikan Izin Tinggal menjadi Izin Tinggal
Diplomatik, Izin Tinggal Dinas, Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Sementara, dan Izin
Tinggal Tetap. Selanjutnya, penulis akan membahas lebih dalam terkait dengan ketentuan yang
terdapat dalam PP No. 103 Tahun 2015 dan PMATR No. 29 Tahun 2016. Dalam PP No. 103
Tahun 2015 diatur bahwasanya WNA yang berada di Indonesia dapat memiliki rumah atau
tempat tinggal dengan Hak Pakai atau Hak Pakai diatas tanah Hak Milik yang dikuasai
berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai diatas Hak Milik dengan Akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Selain itu, WNA juga dapat memiliki Sarusun yang dibangun diatas tanah Hak
Pakai. Sedangkan menurut PMATR/Kepala BPN No. 29 Tahun 2016 dijelaskan bahwa WNA
terdapat perluasan terkait rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh WNA,
sebagai berikut:
1. Rumah Tunggal, antara lain:
a. Hak Pakai
b. Hak Pakai atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai
diatas Hak Milik dengan Akta Penjabat Pembuat Akta Tanah, atau
c. Hak Pakai yang merupakan peruaban dari Hak Milik atau Hak Guna Bangunan.
2. Sarusun, yang:
a. Dibangun diatas tanah Hak Pakai
b. Berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Selain itu, berdasarkan PMATR/Kepala BPN No. 29 Tahun 2016 ditentukan mengenai
harga batas minimal untuk rumah tunggal dan sarusun yang dapat dimiliki oleh WNA.
Kemudian, juga ditentukan bahwasanya 1 (satu) bidang tanah perorangan/keluarga dan tanah
yang dapat dimiliki paling luas 2.000 m2 (meter persegi). Pembahasan selanjutnya adalah terkait
dengan pengaturan penguasaan tanah oleh WNA di Negara-Negara lain seperti Singapura dan
Republik Rakyat Tiongkok. Pertama, Singapura memberikan pembatasan kepada Pihak Asing
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
9
yang ingin membeli properti di Singapura, hal ini diatur dalam The Residential Property Act Cap.
274 yang mana yang dimaksud Pihak Asing menurut The Residential Property Act 274 adalah
Bukan Warga Negara Singapura, Bukan Badan Hukum Singapura, Bukan Limited Liability
Partnership Singapura, dan Bukan Perkumpulan Singapura. Namun, pada pembahasan ini akan
difokuskan pada Bukan Warga Negara Singapura atau WNA.
WNA dapat memiliki properti di Singapura dengan syarat yaitu penduduk tetap atau
berkedudukan tetap di Singapura, memiliki kualifikasi tertentu menurut Menteri yang secara
ekonomi menguntungkan Singapura atau telah secara nyata atau diharapkan dapat memberikan
keuntungan terhadap perekonomian Singapura, dan professional atau memiliki pengalaman yang
bernilai atau dapat memberikan manfaat kepada Singapura. Kemudian ditentukan jenis properti
apa yang dapat dimiliki oleh WNA di Singapura, sebagai berikut:
1. Properti yang dapat dimiliki oleh WNA tanpa memperoleh Persetujuan:
a. Apartemen atau flat yang tidak termasuk flat HUDC yang terdiri dari 6 (enam) lantai
atau lebih;
b. Apartemen atau flat yang merupakan satu unit dalam suatu kondominium
2. Properti yang dapat dimiliki oleh WNA berdasarkan Persetujuan dari Pejabat yang
Berwenang, antara lain:
a. Tanah kosong untuk hunian (vacant residential land);
b. Properti yang berdiri sendiri (landed property);
c. Properti yang berdiri sendiri dalam pembangunan rumah susun tidak termasuk
dalam pembangunan kondominium yang disetujui sesuai dengan Planning Act;
d. Ruko yang didirikan dalam wilayah yang diperuntukkan bagi hunian;
e. Seluruh apartemen atau seluruh unit dalam kondominium;
f. Leaseshold estate yang termasuk dalam restricted residential property untuk jangka
waktu tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun;
g. Flat Housing Development Board (HSB) yang dibeli langsung dari HDB;
h. Ruko HDB;
i. Executive Condominium yang dibeli sesuai dengan The Executive Condominium
Housing Scheme Act 1996.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
10
Kedua, ketentuan terkait dengan penguasaan tanah oleh WNA di Tiongkok diatur dalam
The Property Law, Urban Real Estate Law, Notice 171/Circular 171, dan The Law of People’s of
China (PRC) on Sino Foreign Joint Venture. Republik Rakyat Tiongkok memberikan batasan
penguasaan tanah oleh WNA sebagai berikut:
1. total investasi dari investor asing diatas USD10.000.000 sampai dengan
USD30.000.000, modal terdaftar dapat kurang dari 40% dari total investasi tetapi tidak
kurang dari USD5.000.000; apabila total investasi diatas USD30.000.000., modal
terdaftar dapat kurang dari satu pertiga dari total investasi tetapi tidak kurang dari
USD12.000.000.
2. WNA yang dapat memiliki properti adalah mereka yang telah bekerja atau mengenyam
pendidikan di Tiongkok selama lebih dari satu tahun akan tetapi hal ini hanya berlaku
pada daerah-daerah tertentu saja yang menerapkan pembatasan tersebut.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif karena menggunakan metode
penelitian kepustakaan. Selian itu, penulis dalam hal ini akan membandingkan mengenai
penguasaan tanah oleh orang asing di negara-negara lain ditinjau dari pengaturan dan faktor-
faktor yang membatasinya. Kemudian, apabila dilihat dari tipologi penelitiannya maka penelitian
ini termasuk kedalam penelitian berfokus masalah dimana penelitian ini mengenai permasalahan
yang diteliti berdasarkan pada teori untuk melihat keterkaitan antara teori dengan praktek.
Selanjutnya, Pengumpulan data berfokus pada data sekunder yang dilakukan dengan melalui
studi kepustakaan dengan pencarian data yang dikoleksi di Perpustakaan UI Depok, dan sumber-
sumber lainnya yang dapat ditemukan di dunia maya ‘virtual data source’, memanfaatkan
jaringan internet guna mengetahui seperti apa norma hukum dan faktor-faktor yang menjadi
batasan penguasaan tanah oleh WNA di Negara-Negara lain. Data-data sekunder yang saya
pergunakan disini adalah seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, skripsi,
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
11
tesis, dan disertasi. Jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum priner, sekunder, dan tersier yang dapat dipergunakan sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer adalah sumber hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada
penelitian ini, jenis bahan hukum primer yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang No. 05 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
c. Undang-Undang No. 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun
1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang
Asing;
e. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;
f. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia;
g. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 08 Tahun 1996
tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian Oleh Orang Asing;
h. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 09 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan;
i. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 01 Tahun 2010 tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan;
j. Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia;
k. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas
Tanah Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia;
l. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
12
Tanah Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia
Selain peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas, penelitian ini juga
menggunakan mempergunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara-
negara lain khususnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah oleh WNA.
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang digunakan untuk mengetahui
informasi dan penerapan dari bahan hukum primer, diantaranya bertujuan untuk
mengetahui ajaran-ajaran, doktirn-doktrin dan pendapat-pendapat para ahli. Untuk
penelitian ini bahan hukum sekunder tersebut diperoleh melalui buku-buku, artikel,
makalah, skripsi, tesis, dan disertasi yang berhubungan dengan topik skripsi.
3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian dari penelitian kepustakaan ini digambarkan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Perbandingan Indonesia Singapura RRT
Dasar Hukum UU No. 5 Tahun 1960;
PP No. 40 Tahun 1996;
PP No. 103 Tahun 2015;
PMATR/Kepala BPN
No. 29 Tahun 2016.
The Residential Property
Act
The Property Law;
Urban Real Estate
Law;
Notice 171/ Circular
171;
Notice 122;
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
13
The Law of The
People’s of China
(PRC) on Sino
Foreign Joint Venture.
Klasifikasi
Orang Asing
yang dapat
menguasai
Tanah
Bukan WNI;
Keberadaannya
memberikan manfaat,
melakukan usaha,
bekerja, atau berinvestasi
di Indonesia;
Mempunyai Izin Tinggal.
Penduduk Singapura;
Memiliki Kualitas
tertentu menurut Menteri
yang secara ekonomi
menguntungkan
Singapura/telah secara
nyata/ diharapkan dapat
memberikan keuntungan
pada Perekonomian
Singapura;
Profesional atau
pengalaman yang
bernilai/dapat
memberikan manfaat
kepada Singapura.
Telah bekerja
mengenyam
pendidikan di
Tiongkok lebih dari
satu tahun.
Akan tetapi hal ini
hanya berlaku pada
daerah-daerah yang
menerapkan
pembatasan tersebut.
Faktor yang
Membatasi
Penguasaan
Tanah oleh
WNA
UUPA:
-‐ Hak Pakai
-‐ Hak Sewa Untuk
Bangunan
PP 103 Tahun 2015:
-‐ Rumah Tunggal di
atas tanah:
1) Hak Pakai
2) Hak Pakai diatas
Properti yang dapat
dimiliki oleh WNA tanpa
memperoleh persetujuan
yaitu apartemen atau flat
yang tidak termasuk flat
HUDC yang terdiri dari 6
(enam) lantai atau lebih;
dan apartemen atau flat/
hunian yang merupakan
satu unit dalam suatu
Pembatasan yang
dilakukan adalah
terkait dengan
Besaran Investasi.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
14
tanah HM
-‐ Sarusun yang
dibangun diatas tanah
Hak Pakai
Permena & Tata
Ruang/Kepala BPN:
-‐ Rumah Tunggal,
antara lain:
1) Hak Pakai
2) Hak Pakai atas
Hak Milik, atau
3) Hak Pakai
perubahan dari
HM atau HGB
-‐ Sarusun
1) Dibangun diatas
Hak Pakai
2) Berasal dari
perubahan HMSRS.
kondominium.
Selain itu, juga
ditentukan mengenai
jenis-jenis properti yang
harus terlebih dahulu
memperoleh izin dari
Pejabat yang berwenang.
Pembahasan
PP No. 103 Tahun 2015 maupun Permenag/Kepala BPN No. 29 Tahun 2016 dibentuk
untuk memberikan Kepastian Hukum bagi WNA di Indonesia, namun hal tersebut seperti tidak
dapat tercapai karena peraturan tersebut dinilai menimbulkan berbagai permasalahan sehingga
terdapat banyak polemik atau perdebatan dari dengan diberlakukkannya kedua peraturan tersebut,
polemik atau perdebatan. Pertama, definisi orang asing yang diberikan oleh kedua peraturan
tersebut pada dasarnya memberikan syarat kepada WNA yang ingin memiliki tanah untuk rumah
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
15
tinggal atau hunian di Indonesia untuk memiliki Izin Tinggal. Namun, dalam kedua peraturan
tersebut tidak dijelaskan jenis Izin Tinggal apa yang dapat dijadikan dasar untuk memperoleh
tanah tersebut sehingga semua jenis izin tinggal sebagaimana yang diatur dalam UU No. 06
Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang meliputi Izin Tinggal Diplomatik, Izin Tinggal Dinas,
Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Sementara, dan Izin Tinggal Tetap dapat dijadikan dasar
untuk mengajukan permohononan, padahal apabila melihat dari jangka waktu dari Izin Tinggal
itu sendiri maka sebenarnya tidaklah berimbang dengan jangka waktu Hak Pakai atau jangka
waktu Sarusun yang dapat dimilih karena itu, salah satu jenis Izin yang dapat dijadikan dasar
pemilikan adalah Izin Kunjungan yang memiliki jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
setelah dilakukan perpanjangan sebanyak 4 (empat kali). Maka dari itu, sangat berlebihann jika
Izin Tinggal yang hanya berlaku untuk waktu 6 (enam) bulan dapat dipergunakan untuk memiliki
tanah ataupun sarusun yang pada umumnya memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dapat
diperpanjang 25 (dua puluh lima) tahun, dan dapat diperbaharui 30 (tiga puluh) tahun. Selain itu,
seharusnya kedua peraturan tersebut tidak ada ketentuan yang dapat menganggabarkan secara
konkrit dari WNA yang memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestai.
Adapun polemik lain yang terdapat dalam peraturan tersebut adalah terkait Hak Atas
Tanah untuk Rumah Tunggal atau Sarusun dalam PMATR/Kepala BPN No. 29 Tahun 1996 yaitu
salah satu Hak Atas Tanah yang dapat dimiliki oleh WNA untuk Rumah Tunggal adalah terdapat
perbedaan antara Hak Pakai diatas Tanah Negara dengan Hak Pakai yang berasal dari perubahan
Hak Milik atau Hak Guna Bnagunan, padahal apabila dikaji lebih dalam sebenarnya Hak Pakai
yang berasal dari perubahan Hak Milik dan Hak Guna Bangunan tidaklah lain dari Hak Pakai
diatas Tanha Negara, karena pada saat melakukan perubahan dari Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan maka terjadi pelepasan hak sehingga status tanahnya berubah dimohonkan untuk
menjadi Tanah Hak Pakai.
Kemudian, dalam PMATR/Kepala BPN No. 29 Tahun 2016 juga dijelaskan bahwa WNA
dapat memiliki Hak Pakai atas Satuan Rumah Susun yang selanjutnya penulis sebut HPSRS yang
berasal dari perubahan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang selanjutnya disebut HMSRS.
Sehingga, WNA dapat memiliki Sarusun yang dibangun diatas tanah Hak Guna Bangunan atau
Hak Pengelolaan dengan cara merubahan HMSRS menjadi HPSRS. Hal ini tentunya bertetangan
dengan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, karena UU Rumah Susun tidak mengenal
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
16
istilah HPSRS, tidak hanya itu saja subyek hukum yang dapat menjadi pemegang Sarusun adalah
Subyek Hukum yang memenuhi persyaratan sebagai subyek hukum pemegang Tanah
Bersamanya karena kepemilikan atas Sarusun juga meliputi kepemilikan atas tanah bersamanya.
Selanjutnya adalah terkait dengan jangka waktu Hak Pakai dan Sarusun yang diberikan
oleh PP No. 103 Tahun 2015 dan PMATR/Kepala BPN No. 29 Tahun 2016 dimana pada
umumnya diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjangn 25 (dua puluh
lima) tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh tahun). Pada dasarnya,
ketetuan tersebut telah bertentangan dengan peraturan yang ada, meskipun dalam UUPA tidak
dijelaskan secara rinci mengenai jangka waktu Hak Pakai namun hal ini bertentangan dengan
prinsip nasionalitas yang dianut oleh UUPA, tidak hanya itu saja ketentuan ini juga bertetangan
dengan PP No. 40 Tahun 1996 yang menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan untuk waktu
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun, 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang 25 (dua
puluh lima) tahun. Adapun berkaitan dengan jangka waktu dari Sarusun yang berasal dari
perubahan HMSRS maka tidak sesuai jika jangka waktu yang diberikan adalah jangka waktu sisa
dari HMSRS yang bersangkutan.
Polemik lainnya yang terdapat dalam PP No. 103 Tahun 2015 dan PMATR No. 29 Tahun
2016 berkaitan dengan batas harga dan luas tanah untuk Rumah Tinggal atau Hunian bagi WNA
yang berkedudukan di Indonesia. Penulis beranggapan bahwasanya kewenangan untuk
menentukan batas harga minimal di setiap daerah yang ada di Indonesia akan lebih baik apabila
menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah mengingat setiap daerah memiliki perbedaan
masing-masing, begitu pula halnya dengan luas tanah maksimal yang dapat dimiliki oleh WNA
seharusnya tidaklah dapat ditentukan secara mengeneralisir dengan memberikan batasan 2.000
m2 (dua ribu) meter persegi, padahal setiap daerah memiliki kepadatan yang berbeda-beda
sehingga alangkah lebih baiknya apabila dilakukan penggolonggan terlebih dahulu apakah daerah
tersebut tergolong sangat padat, padat, kurang padat, cukup padat, atau tidak padat.
Terdapat beberapa hal yang dapat diadopsi oleh Hukum Tanah Nasional dari beberapa
negara seperti Singapura dan Republik Rakyat Tiongkok. Pertama, pembatasan terkait dengan
WNA yang dapat memiliki tanah di suatu negara dapat mengadopsi pembatasan yang dibuat oleh
Republik Rakyat Tiongkok yang membatasi pemilikan properti oleh WNA hanya untuk WNA
yang sedang bekerja dan belajar di Tiongkok dan hanya dipergunakan sendiri. Menurut penulis,
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
17
hal ini dapat diadopsi dengan sedikit perubahan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa WNA yang ingin memiliki rumah tempat tinggal atau hunian diatas Hak Pakai di
Indonesia adalah WNA yang memiliki Izin Tinggal di Indonesia sebagaimana diatur oleh UU
Keimigrasian sehingga semua jenis Izin Tinggal yang ada dapat dipergunakan untuk menjadi
dasar kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian diatas Hak Pakai di Indonesia yang mana
termasuk didalamnya Izin Tinggal Kunjungan. Oleh karena itu, WNA yang hanya datang ke
Indonesia untuk sekedar berkunjung saja juga dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian
diatas Hak Pakai di Indonesia.
Berdasarkan hal diatas, penulis merasa perlu kiranya dibuat pengaturan lebih lanjut
klasifikasi WNA yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian diatas Hak Pakai di
Indonesia, seperti halnya di Tiongkok yang mengklasifikasikan WNA yang sedang bekerja dan
belajarlah yang dapat memiliki properti di Tiongkok. Untuk di Indonesia sendiri penulis merasa
bahwa tidak semua WNA datang ke Indonesia seharusnya dapat memiliki rumah tempat tinggal
atau hunian diatas Hak Pakai di Indonesia, karena apabila diberikan Hak Pakai yang jangka
waktunya dapat mencapai 30 (tiga puluh) tahun menurut PP No. 103 Tahun 2015 dan Permena &
Tata Ruang/Kepala BPN No. 29 Tahun 2016, atau 25 (dua puluh) lima tahun berdasarkan PP No.
40 Tahun 1996 merupakan suatu hal yang berlebih-lebihan. Selain itu, dapat juga dibatasi jika
rumah tempat tinggal atau hunian diatas Hak Pakai di Indonesia yang dimiliki WNA di Indonesia
hanya dapat dipergunakan untuk keperluannya sendiri dan hanya WNA dibatasi hanya dapat
memiliki satu bidang tanah saja. Selain itu, terkait dengan klasifikasi WNA yang dapat memiliki
rumah tempat tinggal atau hunian diatas Hak Pakai di Indonesia maka kita dapat mencontohnya
dari Singapura yang menentukan sebagai berikut:
1. Penduduk tetap atau berkedudukan tetap di Singapura;
2. Memiliki kualifikasi tertentu menurut Menteri yang secara ekonomi menguntungkan
Singapura atau telah secara nyata atau diharapkan dapat memberikan keuntungan
terhadap perekonomian Singapura.
3. Profesional atau pengalaman yang bernilai atau dapat memberikan manfaat kepada
Singapura.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
18
Kesimpulan
1. Pengaturan penguasaan tanah bagi WNA di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak
sebelum berlakunya UUPA. Saat ini, pengaturan terkait penguasaan tanah oleh WNA di
Indonesia diantaranya diatur oleh PP No. 103 Tahun 2015 dan PMATR/Kepala BPN No.
29 Tahun 2016 akan tetapi kedua peraturan tersebut tidak dapat memberikan Kepastian
Hukum karena ketentuan yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan
tersebut bertentangan dengan peraturan-peraturan lainnya seperti UUPA, UU No. 20
Tahun 2011, PP No. 40 Tahun 1996 sehingga terjadi disharmonisasi baik secara Vertikal
maupun Horizontal. Kemudian, tekait dengan Pengaturan mengenai Penguasaan Tanah
oleh WNA di Singapura dan Republik Rakyat Tiongkok. Petama, pengaturan mengenai
Penguasaaan Tanah oleh WNA di Singapura yaitu diatur dalam The Residential Property
Act Capter 274. Sedangkan di Republik Rakyat Tiongkok sendiri diatur dalam The Law of
the People’s of China (PRC) on Sino Foreign Joint Venture, Notice 171/Circular 171,
Notice 122.
2. Terdapa beberapa fakor-faktor yang menjadi batasan Penguasaan Tanah oleh WNA di
Negara-Negara Lain. Pertama, batasan penguasaan tanah oleh WNA di Singapura yaitu
disyaratkan bahwa WNA yang ingin membeli porperti di Singapura harus Penduduk
Singapura, memiliki kualifikasi tertentu yang menurut Menteri secara Ekonomi dapat
memberikan keuntungan terhadap Perkenomian Singapura, Profesional atau memiliki
pengalaman yang bernilai atau dapat memberikan manfaat kepada Singapura. Selain itu,
terhadap WNA yang ingin membeli properti di Singapura ditentukan jenis proprti apa saja
yang dapat dimiliki. Kemudian, Republik Rakyat Tiongkok dimana pembatasan
penguasaan tanah oleh WNA diantaranya adalah WNA harus telah tinggal di RRT untuk
jangka waktu setidaknya 1 (satu) tahun, WNA.
Saran
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
19
Terhadap PP No. 103 Tahun 2015 dan PMATR No. 29 Tahun 2016 dapat dilakukan
Judicial Review untuk menguji peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-
undang mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan atau tidaknya ketentuan
perundang-undanag yang lebih tinggi. Selain itu, Penulis sekiranya menyarankan agar hasil studi
ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran terkait dengan adanya Batasan Penguasaan Tanah
oleh WNA yang dapat dipergunakan untuk memahami kebijakan-kebijakan terkait dengan
pengaturan serupa di Indoensia khususnya terkait dengan pembatasan penguasaan tanah oleh
WNA di Indoensia. Sehingga, Indonesia bisa memberikan pengaturan terkait dengan pembatasan
penguasaan tanah oleh WNA di Indonesia yang sesuai dengan prinsip nasionalitas yang terdapat
dalam UUPA.
Daftar Referensi
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia. Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043.
Indonesia. Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No. 6 Tahun 2011, LN No. 52 Tahun 2011, TLN No. 5261.
Indonesia. Undang-Undang tentang Rumah Susun, UU No. 20 Tahun 2011, LN No. 108 Tahun 2011, TLN No. 5252.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atau Tanah, PP No. 40 Tahun 1996, LN No. 58 Tahun 1996, TLN No. 3643.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 103 Tahun 2015, LN No. 325 Tahun 2015, TLN No. 5793.
Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas Tanah Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PMATR/Per.Ka.BPN. No. 29 Tahun 2016
Singapura, Residential Property Act (Cap. 274) 1967.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017
20
Republik Rakyat Tiongkok. Constitution of the People’s Republic of China.
Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Perkembangan Pemikiran & Hasilnya sampai menjelang Kelahiran UUPA tanggal 24 September 2007. Jakarta: Universitas Trisakti, 2003.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti, 2013.
Hutagalung, Arie S. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
Kartasapoerta, C. et al. Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: PT. Melton Putra, 1991.
Abdurrahman. Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria: Seri Hukum Agraria V, Bandung: Alumni, 1980.
Santoso, Urip. Hukum Perumahan, Jakarta: Kencana Prenademedia Group, 2014.
Sudjito. Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing: Tinjaun Politik Hukum dan Perlindungan Warga Negara Indonesia. Yogyakarta: STPN Press, 2015.
Sumanto. Psikologi Umum. Yogyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing Service), 2014.
Kompas, “PP No. 103 Tahun 2015 Diskriminatif dan Terlalu Memanjakan Orang Asing”, http://properti.kompas.com/read/2016/01/22/145129521/PP.103.2015.Diskriminatif.dan.Terlalu.Memanjakan.Orang.Asing?page=all. Diakses 22 Desember 2016.
Perbandingan Mengenai ..., Dias Pasah Ramadhani, FH UI, 2017