PERBANDINGAN ANTARA PENGGUNAAN KOIL STANDARD …lib.unnes.ac.id/27709/1/5202412051.pdf · data...
Embed Size (px)
Transcript of PERBANDINGAN ANTARA PENGGUNAAN KOIL STANDARD …lib.unnes.ac.id/27709/1/5202412051.pdf · data...
PERBANDINGAN ANTARA PENGGUNAAN
KOIL STANDARD DAN KOIL RACING DENGAN
VARIASI CELAH ELEKTRODA BUSI TERHADAP
PERFORMA MESIN VARIO TECHNO 110 CC
SKRIPSI
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Teknik Otomotif
oleh
Kukuh Adityo Prastowo
5202412051
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul Perbandingan antara Penggunaan Koil Standard dan Koil
Racing dengan Variasi Celah Elektroda Busi terhadap Performa Mesin Vario
Techno 110 cc telah dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Teknik UNNES pada tanggal 8 Desember 2016.
Oleh
Nama : Kukuh Adityo Prastowo
NIM : 5202412051
Program Studi : Pendidikan Teknik Otomotif S1
Panitia
Ketua Sekretaris
Rusiyanto, S.Pd., M.T Dr. Dwi Widjanarko, S.Pd., ST., MT
NIP.197403211999031002 NIP.196901061994031003
Penguji Utama Penguji II/ Pendamping I Penguji III/ Pendamping II
Dr. Abdurrahman, M.Pd Dr. Hadromi, S.Pd., MT Drs. Masugino, M.Pd
NIP.196009031994031002 NIP.196908071994031004 NIP.195207211980121001
Mengetahui
Dekan Fakultas Teknik UNNES
Dr. Nur Qudus, M.T
NIP.196911301994031001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama Mahasiswa : Kukuh Adityo Prastowo
NIM : 5202412051
Program Studi : Pendidikan Teknik Otomotif S1
Fakultas : Teknik Mesin Universitas Negeri Semarang
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul Perbandingan antara
Penggunaan Koil Standard dan Koil Racing dengan Variasi Celah Elektroda Busi
terhadap Performa Mesin Vario Techno 110 cc ini merupakan hasil karya saya
sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi
ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Semarang,
Yang membuat Pernyataan
Kukuh Adityo Prastowo
NIM. 5202412051
iv
ABSTRAK
Kukuh Adityo Prastowo (2016) Perbandingan antara Penggunaan Koil
Standard dan Koil Racing dengan Variasi Celah Elektroda Busi terhadap
Performa Mesin Vario Techno 110 cc. Skripsi. Pendidikan Teknik Otomotif S1.
Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.
Kata Kunci: Performa, Racing, Torsi, Daya dan Celah Elektroda
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performa mesin
dengan membandingkan sistem pengapian antara penggunaan koil standard dan
koil racing dengan variasi celah elektroda busi.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah eksperimen. Teknik analisis
data menggunakan analisis deskriptif yaitu mengamati dan mencatat hasil
pengujian kemudian menyimpulkan dalam bentuk tabel dan grafik. Pengujian
torsi dan daya dilakukan pada mesin Vario Techno 110 cc tahun 2010
menggunakan dynamometer dan alat ukur buret digunakan untuk pengujian
konsumsi bahan bakar. Pengambilan data dilakukan pada putaran 4000 rpm, 6000
rpm, dan 8000 rpm.
Hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan torsi, daya, dan konsumsi
bahan bakar spesifik (sfc). Torsi tertinggi menggunakan koil standard mencapai
11,21 Nm pada celah elektroda busi 0,7 mm, sedangkan menggunakan koil racing
mencapai 11,50 Nm pada celah busi 0,9 mm. Daya tertinggi menggunakan koil
standard mencapai 8,21 PS pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan
menggunakan koil racing mencapai 8,43PS pada celah busi 1,3 mm. Secara rata-
rata, konsumsi bahan bakar spesifik terendah menggunakan koil standard
mencapai 0,098 Kg/PS Jam pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan
menggunakan koil racing mencapai 0,090 Kg/PS Jam pada elektroda 1,1 mm.
Hasil pengujian ini dapat disimpulkan koil racing memiliki performa yang lebih
baik dari koil standard dengan variasi celah elektroda di atas spesifikasi pabrikan.
.
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan
variasi celah elektroda busi terhadap performa mesin Vario Techno 110 cc
Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan Studi Strata 1 yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada
Jurusan Teknik Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Penulis
menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang
hati menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Nur Qudus, M.T. Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang
2. Rusiyanto, S.Pd., M.T. Ketua Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Negeri Semarang
3. Dr. Dwi Widjianarko, S.Pd., S.T., M.T. Ketua Program Studi Pendidikan
Teknik Otomotif S1
4. Dr. Hadromi, S.Pd., MT. Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Drs. Masugino, M.Pd. Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
6. Kedua Orang Tua yang selalu memberikan semangat dan bimbingan.
7. Teman-teman PTO 2012 dan semua pihak tanpa terkecuali yang senantiasa
membantu dalam penyusunan skripsi
vi
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, dengan tangan terbuka dan tanpa
mengurangi makna serta esensial skripsi ini, semoga apa yang ada dalam skripsi
ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis, 8 Desember 2016
Kukuh Adityo Prastowo
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
PRAKATA .............................................................................................................. v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah .................................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 7
A. Kajian Teori ................................................................................................. 7
1. Proses Pembakaran ................................................................................... 7
2. Sistem Pengapian ................................................................................... 11
3. Koil Pengapian ....................................................................................... 15
4. Busi ......................................................................................................... 19
5. Torsi ........................................................................................................ 26
6. Daya ........................................................................................................ 28
7. Konsumsi Bahan Bakar .......................................................................... 30
B. Kajian Penelitian yang Relevan ................................................................. 31
viii
C. Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................... 33
D. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 35
BAB III METODELOGI PENELITIAN .............................................................. 36
A. Bahan Penelitian......................................................................................... 36
B. Alat dan Skema Penelitian ......................................................................... 37
C. Pelaksanaan Penelitian ............................................................................... 38
1. Proses Penelitian ................................................................................. 38
b. Diagram Alir Pelakasanaan Penelitian ............................................... 38
2. Data Penelitian .................................................................................... 41
3. Analisis Data ....................................................................................... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 44
A. Hasil Penelitian .......................................................................................... 44
B. Pembahasan ................................................................................................ 58
C. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 74
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 75
A. Simpulan .................................................................................................... 75
B. Saran ........................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 77
LAMPIRAN .......................................................................................................... 80
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3. 1. Instrumen Uji Berdasarkan Torsi Koil Racing dan Standard ............. 41
Tabel 3. 2. Instrumen Uji Berdasarkan Daya Koil Racing dan Standard ............. 42
Tabel 3. 3. Instrumen Uji Berdasarkan Laju Konsumsi Bahan Bakar Koil Racing
dan Standard ...................................................................................... 42
Tabel 3. 4. Instrumen Rata-rata Torsi Koil Racing dan Standard ........................ 43
Tabel 3. 5. Instrumen Rata-rata Daya Koil Racing dan Standard ........................ 43
Tabel 3. 6. Instrumen Konsusmsi Bahan Bakar Spesifik ...................................... 43
Tabel 4. 1. Hasil Pengujian Berdasarkan Torsi Koil Racing ................................ 44
Tabel 4. 2. Hasil pengujian Berdasarkan Torsi Koil Standard ............................. 45
Tabel 4. 3. Hasil Pengujian Berdasarkan Torsi Rata-rata ..................................... 45
Tabel 4. 4. Hasil Pengujian Berdasarkan Daya Menggunakan Koil Racing ........ 49
Tabel 4. 5. Hasil Pengujian Berdasarkan Daya Menggunakan Koil Standard ..... 49
Tabel 4. 6. Hasil Pengujian Berdasarkan Daya Rata-rata ..................................... 50
Tabel 4. 7. Hasil Pengujian Berdasarkan Laju Konsumsi pada Koil Racing ........ 53
Tabel 4. 8. Hasil Pengujian Berdasarkan Laju Konsumsi pada koil Standard ..... 54
Tabel 4. 9. Hasil Pengujian Berdasarkan Bahan Bakar Spesifik .......................... 54
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2. 1. Proses Pembakaran Motor 4 Langkah ............................................... 7
Gambar 2. 2 Tiga Fase Pembakaran Motor Bensin ................................................ 9
Gambar 2. 3. Kurva Timing Pengapian ................................................................ 10
Gambar 2. 4. Cara Kerja CDI-AC ......................................................................... 13
Gambar 2. 5. Sirkuit Pengapian CDI-DC dengan Arus DC .................................. 14
Gambar 2. 6 Koil Pengapian Tipe Moulded .......................................................... 16
Gambar 2. 7. Koil Standard Vario Techno 110 cc ................................................ 18
Gambar 2. 8. Koil Racing Yz 125 .......................................................................... 18
Gambar 2. 9. Kontruksi Busi................................................................................. 20
Gambar 2. 10. Busi Panas dan Busi Dingin .......................................................... 21
Gambar 2. 11. Celah Elektroda Busi ..................................................................... 23
Gambar 2. 12. Proses Percikan Bunga Api .......................................................... 26
Gambar 2. 13. Skema Pengukuran Torsi .............................................................. 27
Gambar 2. 14. Prinsip Kerja Dynamometer .......................................................... 28
Gambar 2. 15. Kerangka Pikir Penelitian.............................................................. 35
Gambar 3. 1. Skema Penelitian ............................................................................. 37
Gambar 3. 2. Alur Penelitian................................................................................. 38
Gambar 4. 1 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 0,5
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 46
Gambar 4. 2 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 0,7
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 46
xi
Gambar 4. 3 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 0,9
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 47
Gambar 4. 4 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 1,1
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 47
Gambar 4. 5 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 1,3
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 48
Gambar 4. 6 Diagram grafik Perbandingan Torsi ................................................. 48
Gambar 4. 7 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 0,5
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 50
Gambar 4. 8 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 0,7
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 51
Gambar 4. 9 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 0,9
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 51
Gambar 4. 10 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 1,1
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 52
Gambar 4. 11 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 1,3
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 52
Gambar 4. 12 Diagram Grafik Perbandingan Daya .............................................. 53
Gambar 4. 13 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 0,5
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 55
Gambar 4. 14 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 0,7
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 55
Gambar 4. 15 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 0,9
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 56
xii
Gambar 4. 16 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 1,1
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 56
Gambar 4. 17 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 1,3
mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ........................ 57
Gambar 4. 18. Diagram Grafik Perbandingan SFC .............................................. 57
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Hasil Penelitian ........................................................................ 81
Lampiran 2. Pengukuran Tegangan Koil .............................................................. 91
Lampiran 4. Persentase Kenaikkan Nilai Torsi..................................................... 92
Lampiran 5. Persentase Kenaikkan Nilai Daya..................................................... 92
Lampiran 6. Persentase Penurunan Sfc ................................................................. 92
Lampiran 7. Dokumentasi ..................................................................................... 93
Lampiran 8. Surat keterangan telah melaksanakan penelitian .............................. 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini sarana transportasi memiliki peranan penting bagi masyarakat
luas. Sepeda motor merupakan salah satu sarana transportasi darat yang paling
banyak digunakan masyarakat secara umum, karena sepeda motor memiliki nilai
yang lebih ekonomis dibandingkan dengan mobil atau kendaraan umum lainnya.
Hal ini dapat dilihat proporsi peningkatan pada tahun 2014 sepeda motor lebih
besar dibandingkan dengan kendaraan lain yaitu 81,41%, diikuti mobil 11,03%,
dan bis 2,01% (Badan Pusat Statistika, 2014). Suara Merdeka (2015) peningkatan
sepeda motor itu sendiri, didominasi motor matic yang semakin populer karena
mudah, nyaman dan lebih praktis digunakan dibandingkan dengan sepeda motor
manual. Produsen sepeda motor seperti Honda, sudah mengantisipasi populernya
motor matic di Indonesia. Berdasarkan Wikipedia (2015) riwayat perkembangan
produsen Honda memproduksi sepeda motor matic dari tahun 2006 dengan
kapasitas silinder 110 cc generasi pertamanya yaitu Vario 110 cc dan generasi
keduanya Vario Techno 110 cc. Semakin pesatnya perkembangan teknologi,
mendorong Honda terus berinovasi untuk meningkatkan performa motor matic
dengan memproduksi beberapa sepeda motor matic di tahun 2012, 2014, dan
2015. Tahun 2014 Honda memproduksi produk sepeda motor matic injeksi Vario
110 cc dengan sistem PGM-FI (Programmed Fuel Injection) dengan kapasitas
silinder yang sama yaitu 110 cc.
2
Perbandingan antara Vario Techno 110 cc dengan Vario PGM-FI
(Programmed Fuel Injection) 110 cc terletak pada performa mesin. Performa
mesin itu mencakup daya, torsi, dan konsumsi bahan bakar. Berdasarkan data dari
Wikipedia (2015) spesifikasi sepeda motor Vario Techno hanya mencapai torsi
maksimum 8,428 Nm pada 6.500 rpm, sedangkan sepeda motor Vario PGM-FI
mencapai torsi maksimum 8,722 Nm pada 6.500 rpm dengan kapasitas silinder
sama yaitu 110 cc. Liputan6 (2015) disisi lain kelemahan motor bersistem
karburator terletak pada konsumsi bahan bakar yang kurang efisien dibandingkan
menggunakan sistem injeksi yang lebih efisien. Hal ini menunjukkan performa
mesin Vario Techno kurang maksimal karena masih menggunakan karburator.
Ditambah masa penggunaan sepeda motor yang sudah mencapai jangka waktu 6
tahun karena diproduksi tahun 2010. Sehingga perlu adanya upaya untuk
mengembalikan performa mesin seperti semula atau bahkan dapat meningkatkan
performa mesin. Sedangkan performa mesin dipengaruhi oleh tiga elemen
pembakaran yaitu tekanan kompresi yang tinggi, saat pengapian yang tepat dan
bunga api yang kuat, dan campuran bahan bakar-udara yang sesuai. Oleh karena
itu perlu adanya perbaikan setidaknya satu dari tiga elemen tersebut. Salah
satunya dengan memperbaiki sistem pengapian, diharapkan selain mampu
meningkatkan tenaga dan torsi, juga dapat menurunkan konsumsi bahan bakar.
Jika peningkatan konsumsi bahan bakar terus meningkat seiring dengan
jumlah kendaraan yang meningkat, akan berdampak pada menipisnya
ketersediaan bahan bakar fosil di dalam perut bumi. Sehingga perlu adanya solusi
untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Salah satu solusi alternatif dengan
meminimalkan penggunaan bahan bakar dan mengoptimalkan pembakaran di
3
ruang bakar. Sistem pengapian yang menghasilkan loncatan bunga api yang tepat
dan kuat mampu membakar campuran bahan bakar-udara secara cepat dan tepat
sehingga menghasilkan kinerja mesin yang optimal.
Penelitian Subroto (2009) tentang Pengaruh Penggunaan Koil Racing
Terhadap Unjuk Kerja pada Motor Bensin didapatkan hasil penelitian bahwa
penggunaan koil racing memperoleh hasil unjuk kerja lebih baik yaitu torsi dan
daya yang besar dengan konsumsi bahan bakar lebih irit dibandingkan dengan
koil standard pabrikan. Penelitian ini sebagai dasar untuk mengembangkan
penelitian lanjutan tentang penggunaan koil racing terhadap performa mesin
dengan variasi celah elektroda busi.
Penelitian Nuramal dan Ahmad (2014) tentang Analisis Pengaruh Jarak
Celah Elektroda Busi Terhadap Performa Motor Bakar 4 Langkah Studi Kasus
pada Motor Bakar Honda GX-160 didapatkan bahwa jarak celah elektroda busi
0,7 mm 0,8 mm pada mesin Honda GX-160 menghasilkan nilai daya, torsi dan
bahan bakar spesifik (sfc) yang lebih baik dibandingkan dengan jarak elektroda
lainnya, hal ini dikarenakan jarak celah elektroda busi sesuai dengan spesifikasi
dari mesin Honda GX-160. Hasil penelitian ini menunjukkan jika kendaraan
bermotor dalam kondisi standard tanpa ada modifikasi khususnya di sistem
pengapian maka celah busi yang baik masih dalam spesifikasi pabrikan. Namun
jika kendaraan telah dimodifikasi pada sistem pengapian dengan menggunakan
koil racing dengan output tegangan tinggi lebih dari koil standard pabrikan,
memungkinkan perlu adanya penyetelan celah elektroda busi untuk mendapatkan
kinerja yang optimal dari koil. Karena celah elektroda busi mempengaruhi
loncatan bunga api antara elektroda pusat dan elektroda massa.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang timbul terkait
peningkatan performa sepeda motor, sebagai berikut:
1. Sarana transportasi menjadi peranan penting bagi masyarakat sehingga
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.
2. Seiring pesatnya inovasi teknologi terbaru, performa mesin motor matic
Vario Techno 110 cc kurang maksimal.
3. Penggunaan bahan bakar yang semakin meningkat mengakibatkan
menipisnya ketersedian sumber bahan bakar fosil.
4. Memperbaiki sistem pengapian dengan menggunakan koil racing mampu
meningkatkan performa mesin motor.
5. Celah elektroda busi mempengaruhi performa kendaraan.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah yang terkait dengan judul
penelitian, sebagai berikut.
1. Pengujian dilakukan pada satu jenis kendaraan yaitu Vario Techno 110 cc
tahun 2010.
2. Menggunakan koil racing yang dapat digunakan harian dan race.
3. Performa sepeda motor mencakup torsi, daya dan konsumsi bahan bakar
spesifik.
4. Menggunakan busi standard pabrikan dengan variasi celah elektroda.
5
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil
racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap torsi mesin Vario
Techno 110 cc?
2. Bagaimana perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil
racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap daya mesin Vario
Techno 110 cc?
3. Bagaimana perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil
racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap konsumsi bahan bakar
spesifik mesin Vario Techno 110 cc?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui:
1. Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan
variasi celah elektroda busi terhadap torsi mesin Vario Techno 110 cc.
2. Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan
variasi celah elektroda busi terhadap daya mesin Vario Techno 110 cc.
3. Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan
variasi celah elektroda busi terhadap konsumsi bahan bakar spesifik mesin
Vario Techno 110 cc.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, sebagai berikut:
6
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan pustaka di lingkungan Universitas Negeri Semarang,
Khususnya Program Studi Pendidikan Teknik Otomotif.
b. Sebagai bahan referensi bagi penelitian di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan alternatif solusi untuk meningkatkan performa mesin
pada motor matic, khususnya Vario Techno 110 cc.
b. Mengoptimalkan sistem pengapian dengan penggunaan koil racing
dan variasi celah busi elektroda terhadap performa pada mesin Vario
Techno 110 cc.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Proses Pembakaran
Mesin empat langkah memerlukan 2 putaran poros engkol (4 gerakan torak)
untuk menyelesaikan satu siklus di dalam silinder. Proses pembakarannya sebagai
berikut:
Gambar 2. 1. Proses Pembakaran Motor 4 Langkah
(Jama & Wagino, 2008a: 70-73)
Sepanjang langkah hisap, udara dan bahan bakar mengalir ke area
bertekanan rendah yang diciptakan oleh gerakan turun torak di dalam silinder,
selanjutnya saat torak bergerak ke atas sepanjang langkah kompresi, tekanan di
dalam silnder meningkat dengan cepat dan memanaskan campuran bahan bakar-
udara sehingga temperatur meningkat menjelang akhir langkah kompresi
campuran dinyalakan oleh percikan api dari busi, selanjutnya setelah campuran
bahan bakar menyala di dalam ruang bakar, medan nyala api mulai menyebar
melalui campuran untuk menghasilkan gaya dan memberikan tenaga melalui
8
poros engkol, selanjutnya setelah campuran terbakar dan torak mencapai titik mati
bawah (TMB), langkah buang dimulai ketika katup buang terbuka dan torak mulai
kembali ke titik mati atas (TMA) (Kristanto, 2015: 121).
Menurut Tjatur (2013: 45) menjelaskan persyaratan pembakaran yang baik
ditentukan oleh rasio campuran yang sesuai, kompresi yang cukup dan percikan
bunga api yang kuat. Proses pembakaran sangat dipengaruhi sistem pengapian,
karena kuatnya percikan bunga api dipengaruhi oleh besar kecilnya tegangan
pengapian. Menurut Kristanto, (2015: 166) proses pembakaran pada motor bensin
berlangsung dalam tiga fase atau periode yaitu
a. Periode penundaan (1)
Periode ini juga disebut periode pengapian dan pengembangan nyala api
lebih awal. Merupakan fase pertama yaitu mulai dari saat percikan api tegangan
tinggi lewat elektroda busi kemudian menyalakan uap bahan bakar udara di
sekitar elektroda sampai terbentuknya nyala api untuk melepaskan energi kalor
fiksi uap bahan bakar yang terbakar. Durasi periode ini bergantung pada
temperatur nyala api yang lewat di antara elektroda busi, sifat alami bahan bakar,
temperatur tekanan dan campuran bahan bakar-udara. Periode ini juga disebut
periode pengapian dan pengembangan nyala api lebih awal.
b. Periode kenaikkan tekanan dengan cepat (2)
Periode ini dikenal sebagai periode perambatan nyala api. Merupakan fase
kedua yaitu waktu antara permulaan medan nyala api dan dimulainya kenaikkan
tekanan ke satu titik pada saat medan nyala api yang tidak rata telah menyebar ke
dinding silinder dan tekanan silinder telah mencapai nilai puncaknya.
9
c. Periode setelah pembakaran (3)
Setelah medan nyala api mencapai dinding silinder, masih terdapat 25%
muatan yang belum dengan sepenuhnya terbakar. Sisa oksigen di dalam muatan
menjadi lebih sulit untuk bereaksi dengan uap bahan bakar hingga laju
pembakaran melambat. Selama fase terakhir ini proporsi dari kalor yang hilang
melalui dinding silinder, kepala silinder dan cincin torak akan lebih besar dan
secara bersamaan, torak yang turun meningkatkan volume clearance dengan
konsekunsi muatan mulai berkurangnya tekanan silinder dengan cepat.
Gambar 2. 2 Tiga Fase Pembakaran Motor Bensin
(Kristanto, 2015: 167)
Setelah campuran bahan bakar-udara dibakar oleh loncatan bunga api, maka
diperlukan waktu tertentu bagi api untuk merambat di dalam ruang bakar.
Kecepatan rata-rata api merabat di dalam ruang bakar umumnya kurang dari l0-30
m/detik (Soenarto & Shoici, 2002: 26). Agar tidak terjadi keterlambatan antara
awal pembakaran dengan pencapaian tekanan pembakaran maksimal 10 setelah
TMA dan memperoleh output maksimal pada mesin, maka periode perambatan
api harus diperhitungkan pada saat menentukan saat pengapian (timing ignition).
Bila pengapian dimajukan terlalu jauh, maka tekanan pembakaran maksimum
10
akan tercapai sebelum 10 setelah TMA. Karena tekanan di dalam silinder akan
menjadi lebih tinggi dari pada pembakaran dengan waktu yang tepat, yang
menimbulkan knocking. Knocking yang berlebihan akan mengakibatkan katup,
busi, dan torak rusak. Sedangkan jika saat pengapian dimundurkan terlalu jauh,
maka tekanan maksimum akan terjadi setelah 10 sesudah TMA (saat dimana
torak turun cukup jauh). Sehingga tekanan di dalam silinder rendah dan output
mesin turun, yang terjadi pemborosan bahan bakar. Menurut Soenarto & Shoici,
(2002: 27) keterlambatan waktu pengapian akan menurunkan efisiensi hal ini
disebabkan rendahnya tekanan akibat pertambahan volume dan waktu penyebaran
api terlalu lambat, sedangkan penyalaan yang cepat dapat menurunkan efisiensi
sekalipun tekanannya tinggi akibat langkah kompresi, jadi harus mempunyai
waktu penyalaan yang tepat. Pembakaran sempurna setelah penyalaan dimulai, api
menjalar dari busi dan menyebar keseluruh arah dalam waktu yang sebanding
dengan 20 atau lebih untuk membakar campuran sampai mencapai tekanan
maksimum pada 10-20 setelah TMA.
Gambar 2. 3. Kurva Timing Pengapian
(Tjatur, 2013: 66)
11
2. Sistem Pengapian
Sistem pengapian berfungsi untuk membangkitkan bunga api yang dapat
membakar campuran bahan bakar-udara di dalam silinder (Toyota, 1994: 1).
Menurut Jama dan Wagino (2008b: 165) hal-hal yang diperlukan pada sistem
pengapian agar berfungsi optimal, sebagai berikut:
a. Loncatan bunga api yang kuat
Saat campuran bahan bakar-udara dikompresi di dalam silinder, maka
kesulitan utama yang terjadi adalah bunga api meloncat di antara celah elektroda
busi sangat sulit, hal ini disebabkan udara merupakan tahanan listrik dan
tahanannya akan naik pada saat dikompresikan. Tegangan listrik yang diperlukan
harus cukup tinggi, sehingga dapat membangkitkan bunga api yang kuat di antara
celah elektroda busi. Terjadinya percikan bunga api yang kuat antara lain
dipengaruhi oleh pembentukan tegangan induksi yang dihasilkan oleh sistem
pengapian. Semakin tinggi tegangan yang dihasilkan, maka bunga api yang
dihasilkan bisa semakin kuat.
b. Saat pengapian yang tepat
Saat pengapian dari campuran bahan bakar-udara adalah saat terjadinya
percikan bunga api busi beberapa derajat sebelum titik mati atas (TMA) pada
akhir langkah kompresi. Pengapian harus sesuai dengan kondisi kecepatan motor,
beban dan bahan bakar. Saat terjadinya percikan waktunya harus ditentukan
dengan tepat supaya dapat membakar dengan sempurna campuran bahan bakar-
udara agar dicapai energi maksimum. Setelah campuran bahan bakar dibakar oleh
bunga api, maka diperlukan waktu tertentu bagi api untuk merambat di dalam
ruangan bakar untuk mencapai tekanan pembakaran maksimum.
12
c. Kekuatan yang cukup
Sistem pengapian harus kuat dan tahan terhadap perubahan yang terjadi
setiap saat pada ruang mesin, harus tahan terhadap getaran, panas, atau tahan
terhadap tegangan tinggi yang dibangkitkan oleh sistem pengapian itu sendiri.
Sistem pengapian yang diterapkan pada sepeda motor ada tiga macam yaitu
sistem pengapian baterai, pengapian magnet, dan sistem pengapian elektronik,
seperti contohnya CDI (Capacitor Discharge Ignition). Unjuk kerja sistem
pengapian CDI jauh lebih baik dibandingkan dengan pengapian konvensional,
terutama pada kestabilan tegangan tinggi yang dihasilkan pada semua putaran
mesin. Karena sistem pengapian elektronik jenis CDI (Capacitor Discharge
Ignition) bekerja berdasarkan prinsip pengisian dan pengosongan kapasitor
(Sutiman, 2013: 15). Sistem pengapian CDI banyak diaplikasikan untuk mesin
putaran tinggi karena mampu bekerja pada frekuensi yang tinggi terutama pada
sepeda motor. Menurut Suratman (2002: 52) secara umum beberapa kelebihan
sistem pengapian CDI dibandingkan dengan sistem pengapian konvensional,
antara lain: (1) Tidak memerlukan penyetelan saat pengapian, karena saat
pengapian terjadi secara otomatis yang diatur secara elektronik. (3) Mesin mudah
distart, karena tidak tergantung pada kondisi platina. (2) Lebih stabil pada
kecepatan rendah, karena tidak ada loncatan bunga api seperti yang terjadi pada
breaker point (platina) sistem pengapian konvensional. (4) Unit CDI dikemas
dalam kotak plastik yang dicetak sehingga tahan terhadap air dan goncangan. (5)
Pemeliharaan lebih mudah, karena kemungkinan aus pada titik kontak platina
tidak ada.
13
Berdasarkan sumber arus, sistem CDI dibagi menjadi dua yaitu sistem CDI-
AC (arus bolak-balik) dan CDI-DC (arus searah).
a. Sistem CDI-AC
Sistem CDI-AC pada umumnya terdapat pada sistem pengapian
elektronik yang suplai tegangannya berasal dari source coil (koil
pengisi/sumber) dalam flywheel magnet (flywheel generator).
Gambar 2. 4. Cara Kerja CDI-AC
(Jama & Wagino, 2008b: 211)
Cara kerja sistem pengapian CDI-AC ketika magnet berputar sehingga spull
pengapian menghasilkan AC (100400 V) menuju CDI, kemudian arus diubah
menjadi DC gelombang oleh diode dan disimpan di kapasitor. Ketika reluctor
magnet berpapasan dengan tonjolan pulser terjadi induksi menghasilkan signal
dikirim ke trigger sehingga SCR (silicon-controlled rectifier) aktif. Kapasitor
akan mengosongkan muatan listrik menuju kumparan primer sehingga terjadi
induksi di kumparan sekunder koil dan terjadi loncatan bunga api di celah busi.
b. Sistem CDI-DC
Cara kerja sistem pengapian CDI-DC menggunakan arus yang bersumber
dari baterai. Baterai memberikan suplai tegangan 12 Volt DC ke sebuah inverter
14
yang berfungsi menaikkan tegangan menjadi 220 Volt AC, selanjutnya
disearahkan oleh dioda untuk disimpan sementara pada kondensor/ kapasitor,
ketika reluctor magnet berpapasan dengan tonjolan pulser terjadi induksi
menghasilkan signal dikirim ke trigger sehingga (silicon-controlled rectifier)
SCR aktif. Kapasitor akan mengosongkan muatan listrik menuju kumparan
primer sehingga terjadi induksi di kumparan sekunder koil dan terjadi loncatan
bunga api di celah busi.
Gambar 2. 5. Sirkuit Pengapian CDI-DC dengan Arus DC
(Jama & Wagino, 2008b: 214)
Sepeda motor Vario Techno 110 cc menggunakan sistem pengapian CDI-
DC, sehingga pengapiannya dipengaruhi oleh sistem pengisian dan kondisi
baterai. Jika sistem pengisian buruk mengakibatkan pengisian tidak optimal,
sehingga membuat kondisi baterai tidak normal karena input baterai tidak
sebanding dengan output yang dibutuhkan kendaraan. Disisi lain jika kondisi
baterai yang tidak normal maka akan mengganggu kinerja sistem pengapian
karena tidak optimal menyuplai tegangan 12 Volt ke CDI. Tegangan output CDI-
DC Vario Techno 110 cc mencapai 220 Volt AC.
15
3. Koil Pengapian
Koil pengapian merubah sumber tegangan rendah dari baterai 12 Volt
menjadi tegangan tinggi ribuan volt yang diperlukan untuk menghasilkan
loncatan bunga api yang kuat pada celah busi dalam sistem pengapian (Jama &
Wagino, 2008b: 174). Jadi koil pengapian hanya dapat merubah tegangan dari
baterai 12 Volt menjadi tegangan tinggi 10000 Volt, prinsipnya sama seperti
transformator. Transformator itu sendiri ialah alat untuk merubah tegangan dalam
nilai lebih tinggi step up atau rendah step down pada arus listrik bolak balik
atau arus putar (Kokelaar, 1978: 89). Koil termasuk dalam tranformator step up
karena jumlah lilitan primer kurang dari lilitan sekunder dan kawat yang dipakai
lebih tebal daripada lilitan sekunder. Koil tidak dapat membangkitkan tenaga,
tetapi hanya merubah tenaga. Jadi tenaga yang diberikan pada kumparan primer
adalah sama dengan tenaga pada kumparan sekunder, sehingga arus primer kali
tegangan primer sama dengan arus sekunder kali tegangan sekunder
persamaannya Ip.Vp = Is.Vs, jika tegangan sekunder lebih besar dari tegangan
primer, maka untuk memenuhi perbandingan arus primer harus lebih besar dari
arus sekunder. Menurut Jama & Wagino (2008b: 177) untuk memperbesar
tegangan yang dibangkitkan kumparan sekunder, maka arus yang masuk pada
kumparan primer harus sebesar mungkin dan pemutusan arus primer harus secepat
mungkin. Kumparan primer harus dibuat lebih berat daripada kumparan sekunder
karena arus lebih besar.
Koil pada sepeda motor sama kerjanya namun terdapat pemutus arus listrik
yang mengalir melalui kumparan primer membentuk medan magnet pada
16
sekeliling inti koil, dengan tiba-tiba arus listrik diputus, maka inti koil akan hilang
kemagnetannya sehingga menyebabkan terbangkitnya listrik tegangan tinggi.
a. Kontruksi
Umumnya sistem pengapian sepeda motor menggunakan koil tipe moulded.
Tipe koil ini inti besi di bagian tengahnya dikelilingi oleh kumparan primer,
sedangkan kumparan sekunder berada di sisi luarnya. Koil tipe ini dibungkus
dalam resin agar tahan terhadap getaran.
Gambar 2. 6 Koil Pengapian Tipe Moulded
(Jama & Wagino, 2008b: 179)
b. Mekanisme kerja koil
Arus yang dilepaskan dari kapasitor, kemudian arus mengalir ke kumparan
primer koil untuk menghasilkan tegangan sebesar 100-400 volt sebagai tegangan
induksi sendiri. Kemudian terjadi induksi dalam kumparan sekunder karena
perbandingan kumparan sekunder lebih banyak dibandingkan kumparan primer
maka tegangan sekunder mencapai 10 KV. Tegangan tinggi tersebut selanjutnya
mengalir ke busi dalam bentuk loncatan bunga api yang akan membakar
17
campuran bahan bakar. Menurut Jama & Wagino (2008b: 177) besarnya arus
primer yang mengalir tidak segera mengalir pada kumparan primer, karena
adanya tahanan dalam kumparan tersebut, mengakibatkan perubahan garis gaya
magnet yang terjadi juga secara bertahap. Jadi semakin besar arus pada kumparan
primer akan semakin cepat perubahan garis gaya magnet yang dibentuk pada
kumparan, maka semakin tinggi tegangan yang dibangkitkan kumparan sekunder.
Tegangan tinggi yang terinduksi pada kumparan sekunder terjadi pada waktu
yang sangat singkat namun mampu membakar campuran bahan bakar. Menurut
Soenarto & Shoici (2002: 24) sekalipun loncatan bunga api yang sangat singkat
dan total tenaganya kecil, tetapi dengan tegangan 10.000 Volt antara elektroda
yang mempunyai suhu ribuan derajat Celsius, mampu menimbulkan aliran arus
listrik pada molekul-molekul dari campuran udara yang kerapatannya tinggi. Jadi
tegangan mempengaruhi loncatan bunga api dalam membakar campuran bahan
bakar.
c. Koil standard
Koil standard merupakan koil original bawaan dari produsen motor. Koil
ini mentransformasikan tegangan baterai 12 Volt menjadi tegangan tinggi lebih
5000 Volt (Tjatur, 2013: 55). Hasil pengukuran koil standard motor Honda Vario
Techno memiliki tahanan kumparan primer koil pengapian 0,4 , sedangkan
tahanan kumparan sekunder sebesar 6,2 K. Output tegangan tertinggi pada
putaran mesin 1500 RPM mencapai 9,2 KV.
18
Gambar 2. 7. Koil Standard Vario Techno 110 cc
(Dokumen Peneliti)
d. Koil racing
Menurut Jama & Wagino (2008b: 201) koil tersebut menaikkan tegangan
tinggi mencapai lebih 10 KV. Menurut Oetomo dkk (2014: 48) perbedaan antara
koil standard dan koil racing yaitu kumparan primer dan sekunder pada koil
racing lebih lebih banyak daripada koil standard. Hal ini yang menyebabkan
tegangan yang dihasilkan koil racing lebih besar dibandingkan koil standard.
Gambar 2. 8. Koil Racing Yz 125
(Dokumen peneliti)
Menurut Kokelaar (1978: 90) jika tegangan sekunder lebih besar dari
tegangan primer maka untuk memenuhi arus primer harus lebih besar
dibandingkan arus sekunder. Hasil pengukuran koil racing Yz 125 tahanan
19
kumparan primer 0,2 dan tahanan kumparan sekunder 9,05 K. Output
tegangan tertinggi pada putaran mesin 1500 RPM mencapai 12,8 KV.
4. Busi
Busi berfungsi untuk meloncatkan bunga api listrik tegangan tinggi
sehingga mampu menyalakan campuran bahan bakar dan udara yang
dimampatkan di ruang bakar (Kristanto, 2015: 181). Busi menerima tegangan
listrik lebih dari 10.000 Volt, pada saat terjadi pembakaran di dalam mesin.
Menurut Toyota (n.d: 163) harus ada tegangan listrik yang tinggi, agar terjadi
loncatan bunga api yang kuat pada elektroda busi, loncatan api inilah yang disebut
tenaga pembakar pada campuran bahan bakar. Jadi tegangan listrik yang tinggi,
menentukan tenaga untuk membakar campuran bahan bakar secara sempurna.
Syarat-syarat busi yang baik, antara lain: (1) Harus dapat merubah tegangan
tinggi menjadi loncatan bunga api pada elektroda tengahnya. (2) Harus tahan
terhadap suhu pembakaran gas yang tinggi sehingga elektroda busi tidak
terbakar. (3) Self cleaning action untuk menjaga kondisi busi tetap bersih dari
endapan karbon.
a. Konstruksi busi
Toyota, (n.d: 6-19) komponen utama busi yaitu insulator, casing dan
elektroda tengah, sebagai berikut penjelasannya:
1) Insulator keramik
Insulator keramik berfungsi untuk memegang elektroda tengah dan berguna
sebagai insulator antara elektroda tengah dan casing. Gelombang yang dibuat
pada permukaan insulator keramik berguna untuk memperpanjang jarak
20
permukaan antara terminal dan casing untuk mencegah terjadinya loncatan
bunga api tegangan tinggi. Insulator terbuat dari porselen almunium murni yang
mempunyai daya tahan panas yang sangat baik.
2) Casing
Casing berfungsi untuk menyangga insulator keramik dan juga mounting busi
terhadap mesin.
Gambar 2. 9. Kontruksi Busi
(Jama & Wagino, 2008b: 186)
3) Elektroda
Elektroda terdiri dari komponen-komponen: (1) Sumbu pusat (center shaft)
mengalirkan arus dan meradiasikan panas yang ditimbulkan oleh elektroda. (2)
Seal sebagai perapat antara center shaft dan elektroda tengah. (3) Resistor
mengurangi suara pengapian untuk gangguan frekuensi radio. (4) Coppercore
(inti tembaga) sebagai media merambatkan panas dari elektroda dan ujung
insulator agar cepat dingin. (5) Elektroda tengah untuk membangkitkan loncatan
bunga api ke massa. (6) Elektroda massa sebagai media loncatnya bunga api
dari elektroda tengah, elektroda massa dibuat sama dengan elektroda tengah
21
alur U (U-groove, Alur V (V-groove) dan bentuk khusus lainnya. Tujuan
pembuatan alur pada elektroda untuk memudahkan loncatan bunga api agar
menaikkan kemampuan pengapian.
b. Nilai panas
Nilai panas busi adalah kemampuan meradiasikan sejumlah panas oleh busi.
Busi yang dapat meradiasikan panas lebih banyak disebut busi dingin, sedangkan
busi yang meradiasikan panas lebih sedikit disebut busi panas, karena menahan
panas (Toyota, 1994: 30).
Gambar 2. 10. Busi Panas dan Busi Dingin
(Jama & Wagino, 2008b: 192)
Temperatur elektroda busi dapat mencapai kira 2000C (3632F) selama
langkah pembakaran, tetapi kemudian turun secara drastis pada langkah hisap
karena didinginkan oleh campuran bahan bakar-udara (Toyota, n.d: 6-19). Batas
operasional terendah dari busi adalah self-cleaning temperatur, sedangkan batas
tertinggi adalah pre-ignition temperatur.
1) Self cleaning temperature
S e l f cleaning temperature adalah temperatur elektroda busi lebih dari
450 C (842 F) yang diperlukan untuk menyempurnakan proses pembakaran
terhadap sisa endapan karbon pada insulator nose. Pembakaran tidak
22
sempurna apabila temperatur elektroda tengah kurang dari 450C (842F)
karbon akan menempel pada permukaan penyekat (insulator) porselen,
yang akhirnya akan mengurangi tahanan penyekat antara insulator dan
casing (massa). Akibatnya terjadi misfiring, dimana tegangan tinggi yang
diberikan ke elektroda akan langsung ke casing (massa) tanpa terjadi loncatan
bunga api pada celah busi (Toyota, n:d: 6-20).
2) Pre-Ignition
Pre-Ignition adalah temperatur elektroda tengah lebih dari 950C (1742F),
maka elektroda akan menjadi sumber panas yang dapat menimbulkan
terjadinya penyalaan sebelum busi bekerja memercikan bunga api (Toyota
n.d: 6-20).
c. Celah elektroda busi
Celah elektroda busi adalah celah antara elektroda pusat dengan elektroda
massa. Menurut Kristanto (2015: 181) celah busi berpengaruh terhadap kinerja
mesin, celah yang terlalu sempit menghasilkan percikan yang lemah untuk
membakar campuran bahan bakar-udara, sedangkan celah yang terlalu lebar
dimungkinkan gagal untuk menghasilkan percikan dan mesin sulit dihidupkan.
Loncatan bunga api sangat singkat dengan tegangan lebih dari 10.000 Volt antara
elektroda busi yang mempunyai suhu ribuan derajat Celsius, akan mampu
menimbulkan aliran arus listrik pada molekul-molekul dari campuran bahan
bakar-udara yang kerapatannya cukup tinggi. Karena pembakaran dari campuran
bahan bakar-udara adalah berupa reaksi ion, maka sistem penyalaan listrik sangat
sesuai untuk mendapatkan suhu yang tinggi dan dapat berlangsungnya proses
ionisasi (Soenarto & Shoici, 2002: 24). Semakin kecil celah antara elektroda
23
pusat dan massa maka semakin singkat daerah yang dapat diionisasi oleh
tegangan tinggi dan semakin rendah juga kebutuhan tegangan yang dibutuhkan
(api semakin kecil) (Tjatur, 2013: 75). Menurut Jama dan Wagino (2008b: 188)
celah elektroda yang terlalu kecil akan mengakibatkan bunga api lemah,
sedangkan celah elektroda yang terlalu lebar akan mengakibatkan tegangan untuk
meloncatkan bunga api lebih besar dan kelemahnya isolator-isolator bagian
tegangan tinggi cepat rusak karena dibebani tegangan pengapian yang luar biasa
tingginya.
Gambar 2. 11. Celah Elektroda Busi
(Jama & Wagino, 2008b: 188)
Umumnya celah antara elektroda pusat dan elektroda massa pada busi
sekitar 0,7 mm sampai 0,9 mm, sedangkan untuk campuran sangat miskin pada
umumnya celah ditingkatkan sampai 1,2 mm (Kristanto, 2015: 182). (Honda, nd:
1-9) busi standard Honda Vario Techno 110 cc menggunakan busi CR7EH-9
(NGK) dan U22FER9 (Denso) dengan ukuran celah elekroda yaitu 0,80 mm
0,90 mm.
d. Tegangan penyalaan busi
Menurut Kristanto (2015: 183) besar tegangan aktual yang dibutuhkan
memiliki beberapa faktor berikut:
24
1) Tekanan kompresi
Rasio kompresi yang meningkat, kerapatan udara di antara elektroda busi
meningkat sedemikian hingga dibutuhkan tegangan ekstra untuk menghasilkan
percikan bunga api di antara elektroda busi.
2) Sifat campuran
Rasio campuran bahan bakar-udara membutuhkan tegangan minimum untuk
menciptakan percikan bunga api di elektroda busi.
3) Celah elektroda
Tegangan yang dibutuhkan untuk ionisasai pada celah elektroda sebanding
secara langsung dengan lebar celah. Jadi celah elektroda yang lebar menuntut
tegangan yang lebih besar untuk menghasilkan percikan.
4) Perubahan beban dan kecepatan
Kebutuhan tegangan busi untuk menghasilkan percikan elektroda di atas lebar
kisaran kecepatan mengikuti kurva karakteristrik torsi motor. Kebutuhan
tegangan juga bergantung pada bukaan trothlle karena dipengaruhi tekanan
kompresi.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi percikan bunga api
Menurut Toyota (1994: 27) ada beberapa faktor yang mempengaruhi busi
memercikan bunga api, faktor-faktor itu sebagai berikut:
1) Bentuk elektroda dan kemampuan discharge
Elektroda yang bulat akan mempersulit discharge sehingga menyebabkan
misfiring, sedangkan jika elektroda runcing atau persegi akan mempermudah
discharge.
2) Celah busi dan tegangan yang dibutuhkan
25
Discharge akan menjadi sulit dan kebutuhan tegangan bertambah bila celah busi
lebar, jika tegangan tidak mencukupi loncatan bunga api menjadi susah dan
menyebabkan misfiring.
3) Tekanan kompresi dan tegangan yang dibutuhkan
Bila tekanan kompresi meningkat, maka discharge akan menjadi sulit dan
tegangan yang dibutuhkan semakin tinggi. Suhu campuran bahan bakar yang
semakin menurun membutuhan tegangan yang tinggi untuk melakukan
pembakaran.
4) Suhu elektroda dan tegangan yang dibutuhkan
Suhu elektroda akan naik bila kecepatan mesin bertambah. Tetapi tegangan
yang diperlukan semakin menurun.
f. Mekanisme percikan bunga api
Menurut Toyota (1994: 29) saat bunga api melalui campuran bahan bakar
dari elektroda pusat ke elektroda massa, sepanjang loncatan bunga api diaktifkan
dan terjadi inti api (flame nucleus). Molekul-molekul campuran bahan bakar di
sekitar flame nucleus menjadi aktif oleh perambatan panas dari loncatan api dan
terdorong keluar dari nucleus. Kemudian molekul-molekul tersebut menjadi
bagian dari flame nucleus yang mempunyai energi yang cukup untuk melanjutkan
perambatan api dengan sendirinya. Namun perambatan api itu ditahan oleh suhu
elektroda yang rendah dapat menyerap panas yang dihasilkan bunga api dan
cenderung memadamkan flame nucleus sering dikenal electrode quenching. Bila
flame nucleus terlalu kecil, akan padam dan campuran bahan bakar tidak aktif
mengakibatkan misfiring. Oleh karena itu untuk menyempurnakan pembakaran
campuran bahan bakar, perlu adanya pengurangan electrode quenching dan
26
membuat flame neclues dapat berkembang akan mempertinggi pembangkitan
panas serta perambatan api, dengan demikian akan menyempurnakan pembakaran
campuran bahan bakar dan udara.
Gambar 2. 12. Proses Percikan Bunga Api
(Toyota, 1994: 29)
5. Torsi
Menurut Rizal, (2013: 81) torsi adalah ukuran kemampuan mesin untuk
melakukan kerja, jadi torsi adalah suatu energi. Besaran torsi adalah besaran
turunan yang biasa digunakan untuk menghitung energi yang dihasilkan dari
27
benda yang berputar pada porosnya (Raharjo dan Karnowo, 2008: 98). Sehingga
torsi adalah ukuran kemampuan mesin dari benda yang berputar pada porosnya.
Apabila suatu benda berputar dan mempunyai besar gaya sentrifugal sebesar F,
benda berputar pada porosnya dengan jari-jari sebesar b, dengan data tersebut
torsinya adalah
T = F x b (Nm)
Dimana :
T = Torsi benda berputar (Nm)
F = Gaya sentrifugal dari benda yang berputar (N)
b = Jarak benda ke pusat rotasi (m)
(Raharjo dan Karnowo, 2008: 98)
Gambar 2. 13. Skema Pengukuran Torsi
(Raharjo dan Karnowo, 2008: 98)
Menurut Kristanto (2015:22) torsi akan meningkat dengan meningkatnya
kecepatan motor, saat motor ditingkatkan lebih lanjut, torsi mencapai maksimum
dan kemudian berkurang, karena motor tidak mampu menambah muatan udara
yang sudah maksimal. Cara untuk mengetahui menghitung torsi dan daya
menggunakan alat yang dinamakan dynamometer. Prinsip kerja dari alat ini
adalah dengan memberikan beban yang berlawanan terhadap arah putaran sampai
mendekati 0 rpm. Beban ini nilainya sama dengan torsi poros. Menurut Kristanto,
(2015: 21) jika torsi menyatakan kemampuan motor untuk melakukan kerja,
28
maka daya menyatakan seberapa besar kerja yang dapat dilakukan dalam satu
periode waktu tertentu.
Gambar 2. 14. Prinsip Kerja Dynamometer
(Rizal, 2013: 82)
6. Daya
Menurut Arends & Berenschot (1980: 19) daya efektif adalah daya untuk
roda penerus. Sedangkan menurut Rizal, (2013: 83) daya mesin adalah jumlah
energi yang dihasikan mesin setiap waktunya, sedangkan daya yang diukur pada
poros mesin dayanya maka disebut daya poros. Sehingga daya adalah jumlah
energi yang dikeluarkan untuk melakukan kerja dalam satu periode waktu
tertentu. Menurut Kristanto (2015: 30) bahwa semakin tinggi putaran mesin,
semakin banyak langkah kerja yang dilakukan maka daya akan meningkat secara
linier terhadap putaran mesin. Sedangkan menurut Arends & Berenschot (1980:
23) sebuah kurva daya semakin meningkat sebanding frekuensi putar, hal ini
disebabkan semakin banyak langkah kerja yang dialami pada waktu yang sama,
namun semakin frekuensi putar ditingkatkan kurva daya akan menurun, hal ini
disebabkan frekuensi putar lebih tinggi kecepatan piston terhadap lama putaran
katup terbuka terlalu besar, sehingga tekanan efektif menurun karena pengisian
silinder tidak optimal. Jadi semakin tinggi torsi dan putaran mesin, maka semakin
29
tinggi daya yang dihasilkan, jika putaran mesin ditingkatkan lebih tinggi maka
dayanya akan turun karena tekanan efektif menurun karena pengisian silinder
tidak optimal.
Daya yang didapat oleh motor dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Daya indikator merupakan daya yang dihasilkan di dalam silinder pada
proses pembakaran. Untuk menghitung daya indikator perlu ditentukan
terlebih dahulu tekanan indikator rata-rata yang dihasilkan dari proses
pembakaran satu siklus kerja putarannya (Rizal, 2013: 84).
b. Daya efektif atau daya poros adalah daya yang diperoleh dari pengukuran
torsi pada poros yang dikalikan kecepatan sudut putarannya (Rizal, 2013:
97).
Dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:
Ne = Tx Nm/s
= Tx2n
Dimana Ne = Daya poros Nm/s (kW)
T = Torsi Nm
= Kecepatan sudut putar
n = Putaran mesin (1/min)
(Raharjo dan Karnowo, 2008: 111)
Penelitian ini menggunakan satuan daya PS (Pferderstaerke) bertujuan
untuk memudahkan analisis data karena spesifikasi hasil perhitungan daya dengan
dynamometer GSF Dyno V0.1.19 adalah PS (Pferderstaerke). Converter nilai
kilowatt ke nilai PS dikalikan 0,7355 (Kristanto, 2015: 22).
30
7. Konsumsi Bahan Bakar
Menurut Kristanto, (2015: 26) konsumsi bahan bakar diukur sebagai laju
aliran massa bahan bakar per satuan waktu, maka untuk ukuran bagaimana motor
menggunakan secara efisien untuk menghasilkan kerja disebut konsumsi bahan
bakar spesifik. Sedangkan menurut Raharjo dan Karnowo (2008:115) konsumsi
bahan bakar spesifik atau Spesific Fuel Consumtion (SFC) adalah jumlah bahan
bakar (kg) perwaktunya untuk menghasilkan daya. Jadi SFC adalah ukuran
ekonomi pemakaian bahan bakar untuk mengasilkan daya mesin, semakin kecil
nilai bahan bakar spesifik maka mesin dikatakan efisien atau irit.
Perhitungan untuk mengetahui SFC sebagai berikut:
Dimana:
= Laju pemakaian bahan bakar spesifik (kg/PS jam)
= massa jenis bahan bakar (kg/l)
= konsumsi bahan bakar (kg/h)
b = volume burret yang dipakai dalam pengujian (cc)
t = waktu yang diperlukan untuk mengosongkan burret (s)
= daya poros atau daya efektif (PS)
(Raharjo dan Karnowo, 2008: 115)
Menurut Kristanto (2015: 32) konsumsi bahan bakar meningkat pada
kecepatan tinggi karena kerugian gesekkan bertambah besar, sedangkan pada
kecepatan rendah, waktu yang dibutuhkan per siklus menjadi lebih panjang
31
sehingga memungkinkan kerugian kalor lebih besar dan konsumsi bahan bakar
meningkat. Sedangkan menurut Toyota (167) saat kecepatan mesin sama,
campuran bahan bakar masuk ke dalam silinder berubah-ubah bergantung dengan
membukanya throttle, sedangkan saat throttle membuka, banyaknya campuran
yang dihisap akan berubah-ubah bergantung dengan kecepatan mesin. Jadi
konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh kecepatan mesin dan pembukaan
throttle. Penelitian ini menggunakan bahan bakar pertamax RON 92. (Pertamina,
2007: 5) berat jenis bahan bakar pertamax pada suhu terendah (15C) yaitu 0,715
kg/l, sedangkan suhu maksimal 0,770 kg/l.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan bahan penelitian yang berbeda
atau sama antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan Siswanto dan Yosep (2015) yang berjudul
peningkatan performa sepeda motor dengan variasi CDI programmable.
Menyimpulkan adanya perbedaan performa mesin dengan menggunakan CDI
genuine dan CDI programmable, daya tertinggi dicapai hampir semua variasi
CDI programmable, yaitu sebesar 8,2 hp sedangkan torsi tertinggi dicapai
dengan memajukan timming CDI programmable 2 mencapai 10,33 Nm pada
putaran mesin 4670 rpm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
menggunakan CDI programmable lebih baik dari CDI genuine, karena kurva
pengapian berupa ignition timing dapat diatur sesuai dengan perubahan
spesifikasi mesin. Pengaturan dilakukan dengan menggunakan
program/software pada PC (personal computer) dan dihubungkan ke unit
32
CDI dengan koneksi kabel USB to serial converter. Di dalam programmable
CDI terdapat IC memori EEPROM (electrical erasable progammed memory)
sehingga data kurva pengapian dapat disimpan dan dihapus kembali.
Sedangkan pada CDI genuine kurva pengapian berupa ignition timing sudah
diatur oleh produsen dan tidak dapat diubah (fixed). Menjadikan penelitian
ini sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian lanjutan meningkatkan
performa mesin dengan meng-upgrade sistem pengapian melalui komponen
lain seperti koil racing. Karena loncatan bunga api pengapian yang kuat
dihasilkan dari besarnya tegangan output yang dihasilkan koil dan timing
pengapian yang tepat dihasilkan dari CDI pengapian berdasarkan kecepatan,
beban, dan campuran bahan bakar.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Subroto (2009) yang berjudul pengaruh
penggunaan koil racing terhadap unjuk kerja pada motor bensin.
Menyimpulkan penggunaan koil racing memperoleh hasil unjuk kerja lebih
baik yaitu daya dan torsi lebih besar dengan konsumsi bahan bakar lebih irit
dibandingkan dengan koil standard pabrikan. Penelitian ini menunjukkan
bahwa menggunakan koil racing lebih baik dari koil standard. Faktor
penyebabnya terletak pada kinerja koil itu sendiri. Kinerja koil dipengaruhi
oleh radiasi panas yang diakibatkan dari tegangan listrik. Koil yang
sedemikian itu tidak dapat dibuat dengan ukuran yang lebih besar untuk
memberikan permukaan radiasi lebih. Namun untuk mengatasi masalah itu
pada koil racing penghambat penyekat primer dikurangi lewat penggunaan
kumparan tembaga yang lebih besar sehingga dapat mengurangi beban panas
pada koil. Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk meningkatkan performa
33
mesin menggunakan koil racing. Namun untuk lebih meningkatkan performa
mesin dan mengembangkan penelitian lanjutan ini ditambah dengan variasi
celah elektroda busi.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Markus (2013) yang berjudul pengaruh gap
elektroda busi terhadap kinerja mesin sepeda motor satu silinder 4 langkah
berbahan bakar bensin. Menyimpulkan pada celah elektroda busi 0,7 mm
torsi mesin mencapai puncak tertinggi sebesar 6,68 Nm dan daya mesin
mencapai puncak tertinggi sebesar 5,8 hp dibandingkan dengan jarak celah
elektroda busi lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengapian
standard pabrikan tanpa variasi, celah elekroda busi yang optimal sesuai
spesifikasi pabrikan yaitu 7,0 mm - 8,0 mm. Menjadikan penelitian ini
sebagai acuan dasar bahwa celah elektroda busi yang sesuai mempengaruhi
performa mesin, semakin besar output tegangan koil racing maka loncatan
bunga api yang besar, maka harus ditentukan celah elektroda busi yang sesuai
ketika menggunakan koil racing. Penelitian lanjutan ini menggunakan koil
racing dengan variasi celah elektroda busi dari 0,5 mm hingga 1,3 mm.
C. Kerangka Pikir Penelitian
Pesatnnya kemajuan teknologi di bidang otomotif menghasilkan banyak
inovasi terbaru untuk memperbaharui teknologi yang telah ada, bahkan dapat
menggantikan teknologi yang telah ada. Latar belakang penelitian ini terletak pada
performa mesin motor matic Vario Techno 110 cc yang kurang maksimal
dibandingkan dengan teknologi yang terbaru saat ini, sehingga untuk
menyeimbangkan perlu adanya upaya untuk meningkatkan performa motor matic
34
Vario Techno 110 cc. Jika tidak ada upaya untuk meningkatkan performa mesin
akan berdampak pada konsumsi bahan bakar kurang efisien. Semakin meningkat
penggunaan bahan bakar mengakibatkan menipisnya ketersedian sumber bahan
bakar fosil.
Salah satu solusi alternatif dengan memperbaiki sistem pengapian, karena
sistem pengapian merupakan salah satu dari tiga elemen yang mempengaruhi
kinerja mesin. Memperbaiki sistem pengapian dengan memodifikasi komponen di
dalamnya dapat meningkatkan performa mesin. Dalam penelitian ini upaya yang
dilakukan dalam sistem pengapian yaitu pertama, mengganti koil standard
menggunakan koil racing dengan tujuan membandingkan performa dari koil
standard dan koil racing. Kedua, memvariasi celah elektroda dengan tujuan
membandingkan celah elektroda yang optimal pada masing-masing koil. Menurut
teori output tegangan koil racing lebih tinggi dari koil standard, sehingga tidak
menutup kemungkinan perlu adanya penyetelan celah elektroda busi untuk
menghasilkan performa yang optimal.
Hasil yang diharapkan dalam upaya meningkatkan performa mesin adanya
perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi
celah elektroda busi terhadap meningkatnya performa mesin dari segi daya, torsi,
dan konsumsi bahan bakar.
35
Gambar 2. 15. Kerangka Pikir Penelitian
D. Pertanyaan Penelitian
1. Adakah perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing
dengan variasi celah elektroda busi terhadap torsi mesin Vario Techno
110 cc?
2. Adakah perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing
dengan variasi celah elektroda busi terhadap daya mesin Vario Techno
110 cc?
3. Adakah ada perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil
racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap konsumsi bahan bakar
spesifik mesin Vario Techno 110 cc?
75
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, terdapat
perbedaan daya, torsi, dan konsumsi bahan bakar spesifik pada motor Honda
Vario Techno 110 cc tahun 2010 antara penggunaan koil standard dan koil racing
dengan variasi celah elektroda busi, dapat disimpulkan bahwa:
1. Torsi yang dihasilkan koil racing lebih tinggi dibandingkan dengan koil
standard pada setiap putaran mesin dan kondisi celah elektroda busi yang
sama. Torsi tertinggi terjadi pada putaran mesin 4000 rpm, koil standard
torsinya mencapai 11,21 Nm pada celah elektroda busi 0,7 mm, sedangkan
koil racing mencapai 11,50 Nm pada celah busi 0,9 mm.
2. Daya yang dihasilkan koil racing lebih tinggi dibandingkan dengan koil
standard pada setiap putaran mesin dan kondisi celah elektroda busi yang
sama. Daya tertinggi pada putaran mesin 8000 rpm, koil standard dayanya
mencapai 8,21 PS pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan
menggunakan koil racing mencapai 8,43 PS pada celah busi 1,3 mm.
3. Konsumsi bahan bakar yang dihasilkan koil racing lebih rendah
dibandingkan dengan koil standard pada setiap putaran mesin dan kondisi
celah elektroda busi yang sama. Secara rata-rata, konsumsi bahan bakar
spesifik terendah menggunakan koil standard mencapai 0,098 Kg/PS Jam
pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan menggunakan koil racing
mencapai 0,090 Kg/PS Jam pada elektroda 1,1 mm.
76
B. Saran
1. Pengguna Sepeda motor Honda Vario Techno 110 cc tahun 2010 apabila
mengharapkan power pada kecepatan tinggi hendaknya menggunakan koil
racing dengan variasi celah elektroda busi 1,3 mm.
2. Peneliti di masa yang akan datang dapat meneliti kandungan emisi antara
penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda
busi.
77
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, IWB. 2009. Upaya Peningkatan Unjuk Kerja Mesin dengan
Menggunakan Sistem Pengapian Elektronis pada Kendaraan Bermotor.
Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CakraM Vol. 3 No. 1, April 2009 hal 87-92
Arends, BMP dan Berenschot H. 1980. Motor Bensin. Jakarta: Erlangga
Badan Pusat Statistika. 2014. Statistika Transportasi Darat. http:
//www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi--Darat--
2014.pdf. diakses hari Rabu, 24 februari 2016 14.36 WIB
Badrawada, IGG. 2008. Pengaruh Perubahan Sudut PcngapianTcrhadap Prestasi
Mesin Motor 4 Langkah. Jurnal Forum Teknik Vol. 32, No.3, September
2008. Hal 221-231
Hermanto, SD. 2015. Analisa Penggunaan koil racing terhadap daya pada
sepeda motor Honda Supra X 100 cc. Skripsi. Fakultas Teknik UNPKediri.
Honda. (n.d). Buku Pedoman Reparasi Honda Vario. Jakarta: P.T. Astra Honda
Motor
Jama, J dan Wagino. 2008a. Teknik Sepeda Motor Jilid 1. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Jama, J dan Wagino. 2008b. Teknik Sepeda Motor Jilid 2. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Kokelaar, PH. J. 1978. Teknik Listrik Jilid II. Jakarta: Pradnya Paramita.
Kristanto, P. 2015. Motor Bakar Torak. Yogyakarta: CV. Andi Offest.
Liputan6. 2015. Kelebihan dan Kekurangan Motor Karburator. Online.
http://otomotif.liputan6.com/read/2284388/kelebihan-dan-kekurangan-
motor-karburator. diakses Kamis 18 Februari 2016
Machmud, S dan Yokie GI. 2011. Dampak Kerenggangan Celah Elektroda Busi
Terhadap Kinerja Motor Bensin 4 Tak. Jurnal Teknik Vol.1 No. 2 / Oktober
2011
Markus. 2013. Pengaruh Gap Elektroda Busi Terhadap Kinerja Mesin Sepeda
Motor Satu Silinder 4 Langkah Berbahan Bakar Bensin. Jurnal Refrigerasi,
Tata Udara dan Energi Race. Vol 7 No. 1, Maret 2013, hal 749-752
Nuramal, A dan Ahmad FS. 2014. Analisa Pengaruh Jarak Celah Elektroda Busi
Terhadap Performa Motor Bakar 4 Langkah Studi Kasus Pada Motor
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi--Darat--2014.pdfhttp://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi--Darat--2014.pdfhttp://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi--Darat--2014.pdfhttp://otomotif.liputan6.com/read/2284388/kelebihan-dan-kekurangan-motor-karburatorhttp://otomotif.liputan6.com/read/2284388/kelebihan-dan-kekurangan-motor-karburator
78
Bakar Honda GX-160. Jurnal Ilmiah Bidang Sains-Teknologi Murni
Disiplin dan Antar Disiplin Vol. 1 No.14. TahunVIII maret 2014
Oetomo, JAS dkk. 2014. Analisis Penggunaan Koil Racing Terhadap Daya Pada
Sepeda Motor. Jurnal Teknik Mesin, Tahun 22, No. 1, April 2014, hal 46-56
Pertamina. 2007. Material Safety Data Sheet Gasoline 92. Jakarta: PT. Pertamina
(Persero)
Raharjo, WD dan Karnowo. 2008. Mesin Konversi Energi. Semarang: UNNES
PRESS
Rizal, MS. 2013. Konversi Energi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Sarwono, E dkk. 2013. Study Experimental Pengaruh Spark Plug Clearance
Terhadap Daya Dan Efisiensi Pada Motor Matic. Jurnal Proton Vol. 5 No
1/Hal 18-22.
Siswanto, I dan Yosep E. 2015. Peningkatan Performa Sepeda Motor Dengan
Variasi CDI Programmable. Jurnal Science Tech LP2M UST Yogyakarta
Vol. 1 No.1 Agustus 2015, 1-12.
Soenarto, N dan Shoici F. 2002. Motor serba guna. Jakarta: Pradnya Paramita.
SuaraMerdeka. 2015. Pasar Motor Matic Melejit. Online.
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pasar-motor-matic-melejit/. diakses
Selasa 23 November 2016
Subroto. 2009. Pengaruh Penggunaan Koil Racing Terhadap Unjuk Kerja Motor
Bensin. Jurnal MEDIA MESIN, Vol. 10, No. I, Januari 2009, 8-14.
Suratman, M. 2002. Servis dan Teknik Reparasi Sepeda Motor. Bandung:
CV.Pustaka Grafika.
Sutiman. 2013 . Sistem pengapian elektronik. Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama
Tjatur, A. 2013. Pemeliharaan Kelistrikan Sepeda Motor. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Toyota. n.d. Dasar-Dasar Automobil. Jakarta: P.T. Toyota-Astra Motor
Toyota.n.d. New Step 1 Manual Training Toyota. Jakarta: Toyota Astra Motor
Toyota. 1994. New Step 2 Manual Training Toyota. Jakarta: Toyota Astra
Motor.
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pasar-motor-matic-melejit/
79
Widodo, ES dan Zephini A. 2016. Pengaruh Kualiatas Transformator Step Up
Pengapian Terhadap Emisi gas Buang dan Performa Motor satu Silinder 4-
Tak. Jurnal. Prosiding SNATIF Ke 3 Tahun 2016
Wikipedia. 2015. Honda Vario.Online. https://id.wikipedia.org/wiki/Honda_Vario
. diakses Kamis 18 Februari 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Honda_Vario