peraturan dan sumber limbah b3

66
Alamat: Jl. Letjen Suprapto 26, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. No. Telp: 021-42801783. Website: www.stmi.ac.id PERATURAN DAN SUMBER LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) Disusun Oleh: Rindi Sulistyani (1513020)

Transcript of peraturan dan sumber limbah b3

Page 1: peraturan dan sumber limbah b3

Alamat: Jl. Letjen Suprapto 26, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. No. Telp: 021-42801783. Website: www.stmi.ac.id

PERATURAN DAN SUMBER LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

Disusun Oleh:

Rindi Sulistyani (1513020)

Page 2: peraturan dan sumber limbah b3

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,

karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang

Peraturan dan Sumber Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan

serta pengetahuan kita mengenai peraturan dan sumber limbah bahan berbahaya dan

beracun (B3) yang baik. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini

terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya

kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan

datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya

makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang

membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang

kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di

masa depan.

Jakarta, Januari 2016

Penyusun

Page 3: peraturan dan sumber limbah b3

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan

Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok

perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih

lengkap dibanding PP sebelumnya sbb:

1. Sanksi Lebih Berat dan Peraturannya Lebih Ketat

2. Bertambahnya Jenis Limbah Yang Dikategorikan Limbah B3

3. Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat

menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan

lingkungan hidup.

4. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3

dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan

pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola

Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten.

5. Dalam tuntutan hukum, Limbah B3 tergolong dalam tuntutan yang bersifat formal.

Artinya, seseorang atau perusahaan dapat dikenakan tuntutan perdata dan pidana

lingkungan karena cara mengelola Limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan,

tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya tersebut telah mencemari

lingkungan.

6. Pengetahuan tentang cara pengelolaan Limbah B3 yang memenuhi persyaratan

wajib diketahui oleh pihak-pihak yang terkait dengan Limbah B3 dan pihak ke 3

yang bekerjasama dengan perusahaan.

7. Di Bagian Ketentuan Umum

8. Bagian Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

Page 4: peraturan dan sumber limbah b3

Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu

kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan,

dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat.

Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan

dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).

Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya

atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung,

dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan

manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya

dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa

proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus.

Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik

berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan

infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat

diketahui termasuk limbah B3.

Sumber-sumber utama limbah ini antara lain:

Sumber yang tidak spesifik yaitu Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa,

tumpahan bahan kimia, bekas kemasan bahan kimia, dan buangan produk yang

tidak memenuhi spesifikasi.

Limbah B3 yang umumnya bukan berasal dari proses uatamanya tetapi berasal

dari kegiatan pemeliharaan alat, pencuci, pencegah korosi, pelarut kerak dan

pengemas.

Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses atau kegiatan yang

dapat ditentukan secara spesifik.

Page 5: peraturan dan sumber limbah b3

B. Rumusan Masalah

Apa saja peraturan-peraturan berkaitan tentang B3?

Apa pokok-pokok perubahan di PP 18/1999 Juncto PP 85/1999?

Apa pokok-pokok perubahan di PP 74/2001?

Apa pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014?

Apa sumber-sumber limbah B3 berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan

B3?

Apa sumber limbah yang dominan yang selama ini diketahui?

C. Tujuan

Mengetahui peraturan-peraturan berkaitan tentang B3

Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 18/1999 Juncto PP 85/1999

Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 74/2001

Mengetahui pokok-pokok perubahan di PP 101 tahun 2014

Mengetahui sumber-sumber limbah B3 berdasarkan peraturan yang berkaitan

dengan B3

Mengetahui sumber limbah yang dominan yang selama ini diketahui

BAB II

Page 6: peraturan dan sumber limbah b3

PEMBAHASAN

1. Peraturan-Peraturan Berkaitan Tentang B3

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85

Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3;

Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-Bapedal/68/05/1994 tentang Tata Cara

Memperoleh Izin Pengelolaan Limbah B3;

Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-01/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman

Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3;

Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-02/Bapedal/09/1995 tentang Dokumen

Limbah B3;

Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman

Teknis Pengolahan Limbah B3;

Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Pedoman

Teknis Penimbunan Limbah B3;

Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-05/Bapedal/09/1995 tentang Simbol dan

Label Limbah B3;

Pengelolaan Limbah B3 dalam PP 18/1999 Juncto PP 85/1999

Page 7: peraturan dan sumber limbah b3

Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 %

dari limbah B3 yang dikelola berasal dari kegiatan industri dan 70 % diantaranya

berasal dari industri kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkategori

berbahaya, terutama karena sifat korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous

liquid waste. Walaupun limbah itu berasal dari kegiatan industri, namun tidak semua

berkategori Limbah B3. Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk mengkaji

kelayakan.

Pusat pengolah limbah B3 di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah

berbahaya di daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) pada tahun 1990

sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Selain itu, survai limbah B3 yang berasal

dari industri-industri di Otorita Batam menyimpulkan bahwa:

Karakteristik limbah cair industri adalah : mudah terbakar (11,52 %), beracun

(2,50 %), korosif (8,44 %) dan non B3 (77,54 %).

Karakteristik limbah padat industri adalah : mudah terbakar (0 %), beracun (0,90

%), korosif (1,52 %) dan non B3 (97,58 %).

Limbah B3 (cair dan padat) dari industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah

industri yang dihasilkan.

Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip

dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan

perudang-undangan, khususnya Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 59 UU tersebut

menggariskan bahwa:

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah

B3 yang dihasilkannya.

Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,

pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.

Page 8: peraturan dan sumber limbah b3

Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,

pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/

walikota sesuai dengan kewenangannya.

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan

lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi

pengelola limbah B3 dalam izin.

Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.

Secara spesifik pengelolaan limbah B3 telah diatur lebih lanjut dalam:

Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan

Berbahaya dan Beracun (PP18/1999)

Peraturan Pemerintah No 85 tah un 1999 tentang Perubahan Peraturan

Pemerintah No. 18 tahun 1999 (PP85/1999)

PP 18/99 jo PP 85/99 merupakan pengganti PP 19/94 jo PP12/95. Peraturan-

peraturan lain yang mengatur masalah limbah B3 adalah Keputusan Kepala Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan dari No. 01/Bapedal/09/1995 sampai No.

05/Bapedal/09/1995 yang merupakan pengaturan lebih lanjut PP19/1994 dan

PP12/1995, dan tetap masih berlaku sebagai pengaturan lebih lanjut dari PP 18/99 jo

PP 85/99.

Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi

Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3

secara tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka,

Indonesia sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar

pulau di Indonesia, maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan-

peraturan yang langsung menangani lintas batas limbah adalah:

Page 9: peraturan dan sumber limbah b3

Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The

Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,

Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor

limbah B3 dan plastic

Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur

tata niaga impornya

Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor

limbah

Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali

dibutuhkan untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan

daur -ulang limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3

yang dapat diimpor adalah skrap timah hitam (aki bekas), sampai jangka waktu

terbatas.

Dapat dikatakan, sampai tahun 1960-an pengelolaan limbah industri di Amerika

Serikat masih belum memadai, misalnya hanya dibuang ke lahan landfill yang belum

dilapis secara kedap. Timbulnya gerakan lingkungan tahun 1960-an, memaksa

Kongres Amerika untuk memperhatikan masalah limbah industri ini lebih serius.

Pengelolaan Limbah B3 dalam PP 18/1999 Juncto PP 85/1999

Hal yang Diatur:

PP 18/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun terdiri dari 8 bab

yang dibagi lagi menjadi 42 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah:

Bab I (pasal 1 sampai 5): Ketentuan umum

Bab II (pasal 6 sampai 8): Identifikasi limbah B3

Bab III (pasal 9 sampai 26): Pelaku pengelolaan

Bab IV (pasal 27 sampai 39): Kegiatan pengelolaan

Page 10: peraturan dan sumber limbah b3

Bab V (pasal 40 sampai 61): Tata laksana

Bab VI (pasal 62 sampai 63): Sanksi

Bab VII (pasal 64 sampai 65): Ketentuan peralihan

Bab VIII (pasal 66): Ketentuan penutup.

Sedang PP 85/1999 yang merupakan perubahan dari PP 18/1999 hanya terdiri

dari 2 (dua) pasal. Pasal I berisi pasal-pasal dalam PP 18/1999 yang mengalami

perubahan, dan pasal II (Penutup). Dalam pasal I dijelaskan pasal-pasal dalam

PP18/1999 yang mengalami perubahan, yaitu sebanyak 3 pasal, yaitu: pasal 6, pasal

7, dan pasal 8.

Sumber, Karakteristk dan Proses Penentuan Limbah B3:

Pengertian pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup

reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan

limbah dan penimbunan limbah B3′ (pasal 1 angka 3). Sedangkan tujuan pengelolaan

tersebut adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan

kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali’ (pasal

2).

Sebelumnya PP 19/1994 mendefinisikan bahwa penghasil limbah B3 tidak hanya

mereka yang bergerak dalam kegiatan yang bersifat komersial tetapi termasuk juga

perorangan yang menyimpan limbahnya dalam lokasi kegiatannya sebelum limbah

tersebut ditangani lebih lanjut sesuai dengan peraturan yang ada. Kemudian PP

12/1995 membatasi, bahwa yang terkena definisi tersebut adalah badan usaha yang

menghasilkan limbah B3. PP18/99 mendefisikan bahwa penghasil limbah B3 adalah

orang yang usaha dan atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 seperti di tegaskan

dalam Ps 1(5). Pengertian ‘orang ’ yang sering muncul dalam PP 18/99 seperti

dijelaskan dalam Ps 1(18) adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang dan

atau badan hukum. Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga, seperti

Page 11: peraturan dan sumber limbah b3

batere bekas, serta kegiatan skala kecil tidak terkena peraturan ini, karena

pengaturannya akan ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggungan jawab,

seperti ditegaskan dalam Ps 9(6). Bila batasan penghasil limbah B3 diterapkan juga

pada kelompok tersebut, akan menimbulkan permasalahan, karena izin pengelolaan

limbah B3 membutuhkan prosedur administrasi yang tidak sederhana, yang hanya

bisa dilaksanakan oleh sebuah usaha komersial.

Pasal 1 angka 2 mendefinisikan limbah berbahaya dan beracun (disingkat B3)

adalah sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan

berbahaya yang dapat diidentifikasikan menurut sumber dan/atau uji karakteristik

dan atau uji toksikologi (PP85/99 Ps 6).

Sebuah limbah dinyatakan sebagai limbah B3, melalui beberapa langkah, yaitu:

Langkah 1: mengidentifikasi limbah yang dihasilkan, dengan daftar limbah

(Lampiran 1 Tabel 1 dan 3) atau daftar kegiatan (Lampiran 1 Tabel 2) yang

tercantum dalam PP85/99, seperti diatur dalam Ps 7(1). Bila terdapat dalam

daftar, maka secara formal limbah tersebut adalah limbah B3. Bila tidak terdapat

dalam daftar tersebut, maka identifikasi harus dilanjutkan dengan Langkah

berikutnya.

Langkah 2: melakukan uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam Ps 7(3)

PP85/99 seperti diuraikan berikut ini.

Pasal 7 (1) PP 85/99 menyebutkan bahwa jenis limbah B3 menurut

sumbernya meliputi:

Limbah B3 dari sumber tidak spesifik (Lampiran I Tabel 1)

Limbah B3 dari sumber spesifik (Lampiran I Tabel 2)

Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan

produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Lampiran I Tabel 3)

Page 12: peraturan dan sumber limbah b3

Rincian dari masing -masing jenis kelompok tersebut terdapat pada Lampiran I

PP85/99, yaitu Tabel 1 (Sumber tidak spesifik), Tabel 2 (Sumber spesifik) dan Tabel

3 (limbah kimia kadaluarsa).

Pasal 7 (3) PP85/99 selanjutnya mendefinisikan uji karakteristik limbah B3

sebagai berikut:

Mudah meledak

Mudah terbakar

Bersiafat reaktif

Beracun

Menyebabkan infeksi

Bersifat korosif

Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik.

Sumber limbah tidak spesifik adalah sumber limbah yang menghasilkan limbah

yang pada umumnya bukan berasal dari proses utamanya, tetapi berasal dari

kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarutan kerak,

pengemasan. Terdapat 43 jenis limbah yang termasuk kelompok ini.

Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah sisa proses suatu industri atau

kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah. Sumber

limbah ini terbagi dalam 51 jenis kegiatan yang termasuk kelompok penghasil limbah

B3.

Jenis kegiatan yang termasuk kelompok sumber spesifik adalah industri atau

kegiatan: pupuk, pestisida, proses kloro-alkali, resin adesif, polimer, petrokimia,

pengawetan kayu, peleburan -pengolahan besi dan baja, operasi penyempurnaan

baja, peleburan timah hitan (Pb), peleburan-pemurnian tembaga, tinta, tekstil,

manufaktur dan perakitan kendaraan-mesin, electroplating dan galvanis, cat, batere

sel kering, batere sel basah, komponen elektronik-peralatan elektronik, eksplorasi

Page 13: peraturan dan sumber limbah b3

dan produksi minyak-gas-panas bumi, kilang minyak dan gas bumi, pertambangan,

PLTU yang mengunakan bahan bakar batu-bara, penyamakan kulit, zat warna dan

pigmen, farmasi, rumah sakit, laboratorium riset dan komersial, fotografi, pengolahan

batu-bara dengan pirolisis, daur – ulang minyak pelumas bekas, sabun deterjen-

produk pembersih desinfektan-kosmetik, pengolahan lemak hewan/nabati dan

derivatnya, allumunium thermal metallurgyallumunium chemical conversion coating,

peleburan dan penyempurnaan seng, prosers logam non-ferro, metal hardening,

metal-plastic shaping, laundry dan dry cleaning, IPAL industri, pengoperasian

insinerator limbah, daur-ulang pelarut bekas, gas industri, gelas keramik/enamel,

seal-gasket-packing, produk kertas, chemical-industrial cleaning, foto- kop i, semua

jenis industri yang menghasilkan dan menggunakan listrik (untuk limbah PCB),

semua jenis industri konstruksi (untuk limbah asbestos), bengkel pemeliharaan

kendaraan.

Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan

produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat

dimanfaatkan lagi. Terdapat 178 jenis bahan kimia yang termasuk kelompok limbah

B3.

Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan

tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui

reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan

suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak

lingkungan di sekitarnya (bandingkan dengan uraian pada

PP74/2001).

Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang mempunyai salah satu sifat:

Berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24%-volume, dan atau pada

titik nyala ≤60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api,

percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg.

Page 14: peraturan dan sumber limbah b3

Bukan berupa cairan yang pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah

menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau

perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan

kebakaran terus menerus.

Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar

Merupakan limbah pengoksidasi

Limbah yang bersifat reaktif pada air adalah limbah-limbah dengan salah satu

sifat:

Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan

perubahan tanpa peledakan

Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air

Limbah yang bila bercampur dengan air (termasuk uap air) menimbulkan ledakan,

menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan

kesehatan manusia dan lingkungan

Limbah sianida, sulfida atau amoniak yang pada pH antara 2 dan 12,5 dapat

menghasilkan gas, uap, atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan

kesehatan manusia dan lingkungan

Limbah yang dengan mudah dapat meledak atau bereaksi pada suhu dan tekanan

standar

Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau menerima oksigen

atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi

Page 15: peraturan dan sumber limbah b3

Limbah yang beracun adalah limbah yang mengandung

pencemar yang bersifat racun bagi manusia dan lignkungan yang

dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila

masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit dan mulut.

Indikator sifat racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity

Characteristics Leaching Procedure), seperti tercantum dalam lampiran II PP85/99,

yang merupakan batas ambang yang digunakan untuk indikasi B3. Pada dasarnya

sebetulnya, uji TCLP adalah uji yang dikembangkan oleh US-EPA, yang merupakan

simulasi terburuk kondisi landfill, yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada

air tanah, yang airnya digunakan secara rutin. Simulasi transportasi pencemar ini,

menghasilkan batas aman yang memperhitungkan probabilitas terjadinya toksisitas

kronik non-kanker maupun kanker. Namun dalam versi Indonesia, bila ambang batas

TCLP tidak terlampaui, penghasil limbah masih tetap diharuskan melakukan uji

toksisitas akut maupun kronis.

Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh

manusia yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang

terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya

yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini

berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti

hepatitis dan kolera, yang ditularkan pada pekerja, pembersih

jalan dan masyarakat lain di sekitar lokasi pembuangan limbah.

Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai

salah satu sifat:

Page 16: peraturan dan sumber limbah b3

Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit

Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan

laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.

Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥ 12,5 untuk B3 bersifat

basa.

Pengelolaan limbah radioaktif tidak termasuk dalam peraturan ini (Ps 5 PP18/99),

dan kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sesuai

dengan UU no. 31 tahun 1994 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.

 Limbah yang Dapat Dikeluarkan dari Daftar Lampiran I:

Menurut PP85/99, daftar limbah yang dapat dikecualikan adala h seperti terdapat

pada Lampiran I – Tabel 2, dengan kode:

D220: limbah dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, gas dan panas bumi.

Asal limbahnya adalah slop minyak, drilling mud bekas, sludge minyak, karbon

aktif dan absorban bekas, sludge dari IPAL, cutting pemboran, residu dasar tanki.

D221: limbah dari kegiatan kilang minyak dan gas bumi. Asal limbahnya adalah

sludge minyak, katalis bekas, karbon aktif bekas, sludge dari IPAL, filter bekas,

residu dasar tanki, limbah laboratorium, limbah PCB

D223: PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara. Asal limbahnya adalah fly

ash, bottom ash, limbah PCB

Limbah tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai limbah B3 setelah dilakukan uji

karakteristik dan atau uji toksikologi. Namun pada kenyataannya di lapangan, semua

jenis limbah tersebut oleh yang berwenang dinyatakan sebagai limbah B3, tanpa

menunggu pembuktian terlebih dahulu.

Page 17: peraturan dan sumber limbah b3

Selanjutnya Pasal 8 mengatur bahwa limbah B3 yang tercantum dalam Lampiran I

Tabel 2 PP85/99 dapat dikeluarkan dari daftar setelah dapat dibuktikan bukan

limbah B3 berdasarkan prosedur pembuktian secara ilmiah, yaitu:

Uji karakteristik limbah B3

Uji toksikologi

Hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan

pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan mahluk hidup

lainnya.

 Kegiatan dan Pelaku Pengelolaan:

Berbeda dengan PP19/94 jo PP12/95, maka PP 18/99 jo PP85/99 mengarahkan

penanganan limbah B3 yang lebih berbasiskan pada cleaner production, artinya

mengutamakan upaya reduksi di sumber. Ps 9 (1) PP18/99 menegaskan bahwa

setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menggunakan B3 atau

menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi baik bahan maupun limbahnya,

dan melakukan pengolahan, dan/atau penimbunan bagi limbahnya. Bila kegiatan

reduksi tersebut masih menghasilkan limbah, dan masih limbahnya dapat

dimanfaatkan, maka limbah B3 tersebut dapat dimanfaatkan, baik dilakukan sendiri

atau menggunakan jasa fihak lain. Ps 27 (1) PP tersebut mengarahkan bahwa reduksi

limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya:

Penyempurnaan penyimpanan bahan baku dalam proses house keeping,

Substitusi bahan

Modivikasi proses

Serta upaya reduksi lainnya

Secara teknis operasional, maka pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/99 jo

PP85/99 merupakan suatu rangkaian kegiatan (Ps 1.3) dari terbentuknya limbah

Page 18: peraturan dan sumber limbah b3

oleh penghasil, kemudian upaya reduksi limbah (sebelum terbentuk) seperti

diuraikan di atas. Rangkaian mata rantai berikutnya adalah:

Pemanfaatan limbah oleh pemanfaat,

Pengumpulan limbah oleh pengumpul,

Pengangkutan limbah oleh pengangkut, dan

Pengolahan dan penimbunan limbah oleh pengolah

Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam

pengelolaan limbah B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan

pengaturan. Oleh karenanya, PP tersebut mengatur masalah perizinan bagi mereka

yang akan terlibat dalam bisnis kegiatan operasional tersebut. Aspek pengawasan

dan sanksi juga diatur dalam kedua PP tersebut. Badan yang mempunyai kewenangan

untuk mengawasi pengelolaan limbah B3 tersebut di Indonesia adalah sebuah

instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.

Sebelum dibubarkan beberapa tahun lalu, maka Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan, yang dikenal sebagai BAPEDAL, bertanggung jawab akan hal itu. Dengan

penyatuan institusi Bapedal dalam Kementerian Lingkungan Hidup, maka instansi

yang bertanggung sepertinya berada pada Kementerian ini.

Dengan adanya kedua PP tersebut, maka setiap penghasil limbah B3, tanpa kecuali,

dilarang membuang limbahnya secara langsung ke dalam media lingkungan hidup,

tanpa pengolahan terlebih dahulu (Ps3). Disamping itu, penanganan limbah B3

dengan jalan pengenceran sehingga konsentrasinya menjadi turun tidak

diperbolehkan dilakukan (Ps4), karena kegiatan ini tidak akan menurunkan beban

limbah yang dihasilkan.

Setiap kegiatan yang menghasilkan limbah B3, wajib mengolah limbahnya sesuai

dengan teknologi yang ada, dan bila tidak mampu diolah di dalam negeri dapat

diekspor ke negara yang mempunyai teknologi pengolahan yang sesuai (Ps9-3).

Pengaturan lintas batas limbah B3 dari dan keluar Indonesia diatur dalam Ps53. Bagi

Page 19: peraturan dan sumber limbah b3

mereka yang tidak mampu untuk menangani limbahnya sesuai peraturan yang ada,

maka penghasil limbah tersebut diperbolehkan menyerahkan penanganan limbahnya

kepada pemanfaat limbah (Ps9-2) atau pengolah atau penimbun limbah B3 (Ps9-4)

yang mempunyai kewenangan untuk itu. Namun penghasil limbah B3 tetap

bertanggung jawab atas limbah yang diolah tersebut, walaupun telah diserahkan

penanganannya pada fihak lain. Demikian juga upaya kegiatan pengumpulan dan

pengangkutan limbah B3 menuju lokasi pemerosesan berikutnya, dapat diserahkan

kepada fihak lain, sebagaimana diatur dalam Ps12 dan Ps15 PP18/99.

Batas waktu bagi penghasil limbah, atau pemanfaat limbah atau pengolah /

penimbun limbah untuk menyimpan limbahnya sebelum dikelola lebih lanjut tidak

lebih dari 90 hari (Ps10, Ps18 dan Ps23). Dengan demikian, penghasil limbah tidak

harus menyerahkan limbahnya setiap saat kepada pengumpul atau pengangkut atau

pengolah limbah. PP ini juga mengatur penghasil limbah yang dikatagorikan sedikit

menghasilkan limbah B3, yang dikenal sebagai Small Quantity Generator (SQG). Bila

limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 kg/hari, maka penghasil limbah tersebut

dapat menyimpan limbahnya lebih dari 90 hari, dengan syarat mendapat persetujuan

instansi yang bertanggung jawab (Ps10).

Selama penyimpanan tersebut, maka penghasil limbah dikenai kewajiban untuk

mematuhi tata cara penyimpanan bagi limbah B3 (Ps29), pemberian symbol dan label

untuk setiap kemasan yang digunakan yang menunjukkan karakteristik dan jenis

limbah B3 tersebut (Ps28). Kewajiban penghasil limbah adalah mendata limbahnya

secara baik, yang mencakup (Ps11-1):

Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu, baik pada saat limbah dihasilkan, maupun

pada saat limbah tersebut diserahkan kepada pengelola berikutnya

Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul,

pemanfaat atau pengolah/penimbun limbah B3

Page 20: peraturan dan sumber limbah b3

Catatan tersebut wajib dilaporkan sekurang-kurangya sekali dalam enam bulan

kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan tembusan kepada instansi lain

terkait, serta Bupati/Walikota yang bersangkutan. Informasi data tersebut akan

digunakan untuk bahan inventarisasi serta bahan evaluasi guna pengembangan

kebijakan pengelolaan limbah B3.

Rantai berikutnya dalam pengelolaan ini adalah pengumpulan limbah (Ps12, Ps13

dan Ps14). Pengumpulan ini bersifat sementara, dan limbah tersebut selanjutnya

harus diserahkan kepada pemanfaat, atau pengolah-penimbun limbah yang diakui

oleh yang berwenang. Sebagaimana pada penghasil limbah, maka limbah boleh

disimpan paling lama 90 hari sebelum diserahkan kepada rantai pengelola

berikutnya. Demikian pula pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah yang

diterimanya maksimum 90 hari sebelum dilakukan pengolahan. Kewajiban untuk

mendata limbah B3 yang dikelola, serta melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada

instansi yang berwenang, merupakan hal yang harus dilaksanakan.

Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut, wajib disertai dokumen limbah

B3 (Ps16).  Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumennya

kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengola atau penimbun yang ditunjuk oleh

penghasil limbah B3 (Ps17). Sektor pengangkutan merupakan aktivitas yang beresiko

tinggi, dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan di jalan serta hal-hal lain yang

tidak diinginkan. Usaha ini membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri yang

mempunyai kewenangan di bidang perhubungan setelah mendapat pertimbangan

dari Menteri Lingkungan Hidup. Disamping itu, alat angkut yang digunakan harus

sesuai dengan peraturan tentang angkutan yang ada, yaitu : perkereta-apian (UU

13/1992), angkutan darat (UU 14/1992), penerbangan (UU 15/1992) dan pelayaran

(UU 21/1992). Penghasil limbahpun dapat bertindak sebagai pengangkut limbah,

dengan aturan- aturan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3. Selama dalam

perjalanannya, limbah tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen yang berasal

dari penghasil limbah maupun dari pengumpul limbah yang menjelaskan tentang

Page 21: peraturan dan sumber limbah b3

limbah tersebut, dan menyerahkan dokumen tersebut kepada pengolah limbah bila

limbah tersebut telah sampai di tujuan.

Rantai akhir dari sistem ini adalah pengolahan dan penyingkiran (disposal) limbah.

Pada dasarnya, pengolahan limbah bersasaran untuk merubah karakteristik dan

komposisi limbah tersebut agar menjadi tidak berbahaya lagi. Disamping itu,

pengolahan limbah bersasaran agar limbah tersebut dapat terdaur-ulang atau terdaur

– pakai. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sesuai,

seperti secara termal, stabilisasi dan solidifikas, pengolahan secara fisika, kimia dan

biologi (Ps34). Bila teknologi tersebut tidak dapat diterapkan, maka dibutuhkan

teknologi lain yang terbaik dan tersedia. Rantai pengeolaan yang paling akhir adalah

penimbunan imbah B3 dalam sebuah landfill limbah B3 dengan system pelapis dasar.

 Mekanisme Cradle-to-Grave:

Dokumen limbah akan memegang peranan penting dalam pemantauan perjalanan

limbah B3 dari penghasil sampai ke pengolah limbah. Dokumen tersebut antara lain

berisi:

Nama dan alamat penghasil limbah atau pengumpul yang menyerahkan limbah

Tanggal peneyerahan limbah

Nama dan alamat pengangkut limbah

Tujuan pengangkutan

Jenis, jumlah, komposisi, dan karakteristik limbah yang diserahkan.

Dokumen tersebut dibuat dalam rangkap 7 apabila pengangkutan hanya satu kali.

Apabila pengengkutan lebih dari satu kali (antar moda), maka dibutuhkan dokumen

11 rangkap, yang akan merupakan sarana permantauan yang serupa dengan

konsep cradle-to-grave yang diterapkan di Amerika Serikat.

Page 22: peraturan dan sumber limbah b3

Berdasarkan uraian dalam Penjelasan atas PP 18/99, rincian distribusi dokumen

limbah tersebut adalah sebagai berikut:

Lembar ke 1 (asli): disimpan pengangkut setelah ditandatangani oleh pengirim

limbah

Lembar ke 2: setelah ditandatangai oleh pengangkut limbah, kemudian dikirimkan

kepada instansi yang bertanggung jawab oleh pengirim limbah.

Lembar ke 3: disimpan oleh penghasil setelah ditandatangani oleh pengangkut

Lembar ke 4: setelah ditanda tangani oleh pengirim limbah, kemudian oleh

pengangkut diserahkan kepada penerima limbah

Lembar ke 5: dikirimkan oleh penerima kepada instansi yang bertanggung jawab

setelah diterima oleh penerima limbah B3

Lembar ke 6: dikirimkan oleh pengangkut kepada Bupati/Walikota yang

bersangkutan dengan pengirim, setelah ditandatangani oleh penerima limbah

Lembar ke 7: setelah ditandatangani oleh penerima, maka oleh pengangkut

dikirimkan kepada pengirim limbah.

Lembar ke 8 sampai ke 11 dikirim oleh pengangkut kepada pengirim limbah

setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada

pengangkut berikutnya (antar moda).

Mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya

Page 23: peraturan dan sumber limbah b3

Pengelolaan limbah B3 memungkin badan swasta untuk terlibat di dalamnya, baik

sebagai penyimpan, pemanfaat, pengumpul, pengangkut maupun sebagai pengolah

limbah tersebut. Untuk itu dibutuhkan izin operasi (Ps40), yaitu:

dari Kepala instansi yang bertanggung jawab untuk kegiatan penyimpanan,

pengumpulan, pemanfataan, dan pengolahan-penimbunan,

dari Menteri Perhubungan untuk kegiatan pengangkutan limbah B3, setelah

mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab,

Disamping mempunyai legalitas badan usaha, persyaratan lain untuk memperoleh

izin tersebut adalah adanya informasi yang menyangkut tentang:

nama dan alamat yang jelas dari badan usaha tersebut,

nama dan alamat penanggung jawab, lokasi tempat kegiatan,

bentuk kegiatan yang akan dilakukan,

bahan baku dan proses yang akan digunakan, spesifikasi alat pengolah limbah,

jumlah dan karakteristik limbah yang akan ditangani,

tata letak sarana dan prasarana,

alat pencegahan pencemaran yang digunakan

Yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin lokasi pengolahan adalah

kepala kantor pertanahan kabupaten/kota (pasal 42) sesuai dengan rencana tata

ruang berdasarkan rekomendasi Kepala instansi yang bertanggung jawab. Disamping

itu, untuk melengkapi perizinan kegiatan pengolahan limbah tersebut, dibutuhkan

analisis dampak lingkungan terlebih dahulu, disertai dokumen-dokumen yang biasa

menyertainya. Dalam hal penghasil limbah bertindak pula sebagai pengolah limbah

dan kegiatan tersebut dilakukan pada lokasi yang sama, maka analisis dampak

lingkungannya dibuat teritegrasi dengan kegiatan utamanya dengan persyaratan

yang berlaku. Untuk itu, hanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana peman

tauan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi berwenang yang diajukan kepada

Instansi yang bertanggung jawab bersama persyaratan lainnya.

Page 24: peraturan dan sumber limbah b3

PP 18/99 tersebut juga mengatur perpindahan lintas batas limbah B3 dari dan ke

luar Indonesia (Ps53). Guna mencegah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai

tempat pembuangan limbah B3, maka limbah B3 dilarang masuk ke wilayah

Indonesia. Dalam hal pengangkutan limbah B3 antara negara yang melalui wilayah

Indonesia, maka dibutuhkan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada

pemerintah Republik Indonesia. Pengiriman limbah B3 ke luar Indonesia

membutuhkan persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan izin tertulis

dari pemerintah Indonesia.

Pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh Instansi yang

bertanggung jawab meliputi pemantauan penaatan persyaratan serta ketentuan

teknis dan administratif oleh fihak-fihak yang mengelola limbah B3. Pengawasan

tersebut mempunyai kewenangan untuk:

memasuki area lokasi kegiatan,

mengambil contoh limbah untuk dianalisa di laboratorium,

meminta keterangan tentang pelaksanaan pengelolaan limbah,

melakukan pemotretan untuk kelengkapan pengawan tersebut.

Kewajiban penghasil, pengumpul, pengangkut dan atau pengolah limbah adalah

membantu sepenuhnya aktivitas pengawasan yang dilakukan di daerah tanggung

jawabnya.

Hal lain yang mendapat perhatian dalam kedua PP tersebut adalah kesehatan dan

keselamatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan ini serta tanggung

jawab pengelola bila terjadi kecelakaan serta pencemaran. Pemeriksaan kesehatan

pekerja oleh instansi yang berwenang di bidang kesehatan tenaga kerja dilakukan

secara berkala agar sejak dini dapat diketahui terjadinya kontaminasi oleh zat -zat

berbahaya. Upaya ini merupakan kewajiban fihak pengelola untuk melaksanakannya.

Bila terjadi kecelakaan atau pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan

tersebut, maka fihak pengelola bertanggung jawab atas hal ini, dan fihak pengelola

Page 25: peraturan dan sumber limbah b3

diwajibkan untuk segera menaggulanginya. Bila fihak pengelola tidak dapat

menanggulanginya secara baik, maka Instansi yang bertanggung jawab akan

melakukan upaya penanggulangan, dan biaya kegiatan tersebut dibebankan pada

fihak pengelola.

Pengelolaan B3 dalam PP 74/2001

Pada dasarnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia

mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah

dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU-23/1997

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 (21) UU-32/2009

mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi,

dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik

secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak

lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta

kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain.

Selanjutnya UU-32/2009 menggariskan dalam Ps 58 (1) bahwa setiap orang yang

memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan,

mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah,

dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Secara spesifik

pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2001

tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah

merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang-undang No.19 tahun 2009 tentang

Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten

atau Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini

bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan

POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta

mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan.

Page 26: peraturan dan sumber limbah b3

Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan

kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur

masalah bahan berbahaya, yaitu:

Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran,

penyimpanan dan penggunaan pestisida

Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan

berbahaya

Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan

bahan beracun dan berbahaya di lingkungan industry

Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan

penggunaan pestisida EDB

Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan

pestisida

Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional

(BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang

Dewan Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No.

82 Tahun 1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan

ketenaga atoman pada dasarnya diatur oleh Undang – undang No. 31 Tahun 1964

tentang Ketentuan – ketentuan pokok tenaga atom.

Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara lain:

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap

radiasi

Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif

dan atau sumber radiasi

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif

Page 27: peraturan dan sumber limbah b3

Pengelolaan B3 Dalam PP 74/2001 PP 74/2001 tentang pengelolaan berbahaya

dan beracun terdiri dari 15 bab yang dibagi lagi menjadi 43 pasal. Kelima belas bab

tersebut adalah:

Bab I (pasal 1 sampai 4) : Ketentuan Umum,

Bab II (pasal 5): Klasifikasi B3,

Bab III (pasal 6 sampai 20) : Tata Laksana dan Pengelolaan B3,

Bab IV (pasal 21) : Komisi B3,

Bab V (pasal 22 dan 23) : Keselamatan dan Kesehatan Kerja,

Bab VI (pasal 24 sampai 27) : Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat,

Bab VII (pasal 28 sampai 31) : Pengawasan dan Pelaporan,

Bab VIII (pasal 32 sampai 34): Peningkatan Kesadaran Masyarakat,

Bab IX (pasal 35 dan 36) : Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat,

Bab X (pasal 37) : Pembiayaan,

Bab XI (pasal 38) : Sanksi Administrasi,

Bab XII (pasal 39) : Ganti Kerugian,

Bab XIII (pasal 40) : Ketentuan Pidana,

Bab XIV (pasal 41 dan 42) : Ketentuan Peralihan,

Bab XV (pasal 43) : Ketentuan Penutup.

Menurut PP 74/2001: ‘bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat

denganB3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan

atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup,

kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya’ (pasal 1 angka

1). Sedangkan sasaran pengelolaan B3 adalah ‘untuk mencegah dan atau mengurangi

resiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan mahluk hidup

lainnya’ (pasal 2).

Pengertian pengelolaan B3 adalah ‘kegiatan yang menghasilkan, mengangkut,

mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3’ (pasal 1 angka 2).

Page 28: peraturan dan sumber limbah b3

Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam

pengelolaan B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan

pengaturan. Oleh karenanya, pasal-pasal berikutnya mengatur masalah kewajiban

dan perizinan bagi mereka yang akan memproduksi (menghasilkan), mengimpor,

mengeksport, mendistribusikan, men yimpan, menggunakan dan membuang bahan

tersebut bilamana tidak dapat digunakan kembali. Disamping aspek yang terkait

dengan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan dan atau kerusakan

lingkungan yang menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap fihak yang

terkait, maka aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta penanggulangan

kecelakaan dan keadaan darurat diatur dalam PP tersebut.

Tidak semua pengelolaan bahan yang berbahaya diatur oleh PP tersebut, antara

lain karena telah diatur dalam PP lain, atau telah diatur oleh instansi lain berdasarkan

konvesi internasional seperti bahan radioaktif. Bahan berbahaya yang tidak termasuk

yang diatur adalah (pasal 3):

Bahan radioaktif

Bahan peledak

Hasil produksi tambang serta minyak gas dan gas bumi dan hasil olahannya

Makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya

Perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika

Bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika dan prekursor lainnya

Bahan aditif lainnya

Senjata kimia dan senjata biologi

Untuk menentukan apakah sebuah bahan termasuk dalam kelompok B3, maka PP

tersebut mengklasifikasikan B3 dalam 8 kelompok, yaitu (pasal 5):

Mudah meledak (explosisive)

Pengoksidasi (oxidizing)

Menyala:

Page 29: peraturan dan sumber limbah b3

sangat mudah sekali menyala (extremely flammable)

sangat mudah menyala (highly flammable)

mudah menyala (flammable)

Beracun:

amat sangat beracun (extremely toxic)

sangat beracun (highly toxic)

beracun (moderately toxic)

Berbahaya (harmful)

Korosif (coorosive)

Bersifat iritasi (irritant)

Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)

Toksik yang bersifat kronis:

karsinogenik (carcinogenic)

teratogenik (teratogenic)

mutagenik (metagenic)

Untuk mempermudah menentukan B3 yang diatur dalam PP ini, maka berdasarkan

penggunaannya di lapangan, B3 dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (pasal 5):

B3 yang dapat atau boleh dipergunakan di Indonesia (Lampiran I PP 74/2001)

B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia (Lampiran II Tabel 1, PP 74/2001)

B3 yang terbatas dipergunakan (Lampiran II Tabel 2, PP 74/2001)

Dengan demikian, bilamana sebuah bahan sudah terdapat dalam lampiran

tersebut, maka bahan tersebut termasuk B3, dan penggunaannya di Indonesia

disesuaikan dengan kelompok tabel yang berlaku, apakah diperbolehkan

dipergunakan, atau terbatas penggunaannya, atau sama sekali dilarang dipergunakan.

Lampiran I PP 74/2001 mencantumkan 209 buah bahan kimia yang tergolong B3

yang dapat digunakan di Indonesia, 74 diantaranya dibatasi penggunaannya sampai

tahun 2040, semuanya organik-berhalogen. Lampiran II – Tabel 1 mencantumkan 10

Page 30: peraturan dan sumber limbah b3

bahan B3 yang dilarang pengunaannya, dan Lampiran II -Tabel 2 mencantumkan 45

bahan B3 yang dibatasi pengunaannya di Indonesia. Setiap bahan kimia dalam daftar

tersebut, disertai keterangan:

No. Reg. Chemical Abstract Sevice yang bersifat universal

Nama bahan kimia

Sinonim/nama dagang

Rumus molekul

Setiap produsen yang menghasilkan B3 baru yang termasuk diatur dalam PP ini,

maka sebelum dipergunakan secara luas produsen tersebut harus mendaftarkan

terlebih dahulu kepada yang berwenang, dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup

(pasal 6). Sedang bahan berbahaya lain yang tidak diatur dalam PP ini, maka

registrasinya harus diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab, misalnya

Badan Tenaga Atom Nasional untuk bahan radioaktif. Demikian juga halnya unutk B3

yang diimport dari luar negeri, maka bahan tersebut terlebih dahulu harus

didaftarkan oleh importirnya untuk diregistrasi sebelum secara rutin diimport. Bahan

tersebut kemudian akan mendapat nomor registrasi sebagai alat kontrol terhadap

peredaran B3 di Indonesia, sehingga dengan mudah dilakukan pengawasan dan

pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan. Bila bahan yang akan

dimpor adalah termasuk dalam daftar B3 yang terbatas dipergunakan, maka fihak

otorita negara yang akan memasukkan bahan tersebut ke Indonesia terlebih dahulu

harus menyampaikan notifikasi kepada fihak yang bertanggung jawab di Indonesia

(pasal 8).

Page 31: peraturan dan sumber limbah b3

Contoh B3 (dapat digunakan) dalam Lampiran I PP 74/2001

NoNo Reg Chemical

Abstract Service

Nama Bahan

KimiaSinonim/Nama Dagang

Rumus

Molekul

7 7664-41-7Amoniak Ammonia

NH3

14 64-19-7Asam Asetat Acetic acid; Aci-jel

CH3COO

H

16 7664-38-2Asam Posfat

Phosphoric acid; Orthophosphoric

acid

H3PO4

17 7647-01-0Asam Klorida

Hydrochloric acid; Hydrogen

chloride; Anhidrous hydrochloric

acid

HCl

23 74-90-8Asam Sianida

Hydrogen cyanide; Hydrocyanic

acid; Blausaure; Prussic acid

HCN

24 7664-93-9Asam Sulfat Sulfuric Acid; Oil of Vitriol

H2SO4

31 71-43-2Benzena

Benzene; Benzol; Cyclo

hexatriene

C6H6

52 108-95-2Fenol

Phenol; Carbolic acid; Phenic

acid; Phenilic acid; Phenyl

hydroxide; Hidroxybenzene;

Oxybenzene

C6H5OH

54 50-00-0 Formalin

(larutan)

Formadehyde solution; Formalin;

Formol; Morbicid; Veracur

CH2O

58 7783-06-4 Hidrogen Hydrogen sulphide; Sulfurated H2S

Page 32: peraturan dan sumber limbah b3

Sulfida hydrogen; Hydrosulfuric acid

76 124-38-9 Karbon

dioxideCarbonic acid gas

CO2

78 7440-44-0Karbon hitam Amorphous

C

79 630-08-0 Karbonmonok

sidaCarbon monoxide

CO

80 7782-50-5Klor Chlorine

Cl2

81 67-66-3Kloform Chloroform; Trichlorometthane

CHCl3

85 7487-97 Merkuri

klorida

Mercuric chloride; Mercury

bichloride; Corrosive sublimate;

Mercury perchloride; Corrosive

mercury chloride

HgCl2

87 74-82-8Methane -

CH4

98 1310-73-2 Natrium

Hidroksida

Sodium hydroxide; Caustic soda;

Soda lye; Sodium hydrate

NaOH

105 7727-37-9Nitrogen Nitrogen

N2

106 10102-44-0 Nitrogen

DioksidaNitrogen dioxide

NO2

110 10028-15-6Ozon Ozone; Triatomic oxygen

O3

112 87-86-5 Pentaklorofen Penta; PCP; Penchloraol; C6HCl5O

Page 33: peraturan dan sumber limbah b3

ol Santhophene 20

114 7761-88-8Perak nitrat –

AgNO3

122 7646-85-7Seng Klorida Zinc chloride; Butter zinc

ZnCl2

127 7439-92-1 Timbal (timah

hitam)Lead

Pb

209 –CH2BrCl Bromochloroethane

Contoh B3 (dibatasi) dalam Lampiran II – Tabel 2 PP 74/2001

No No Reg Chemical

Abstract Service

Nama Bahan

Kimia

Sinonim/Nama Dagang Rumus

Molekul

1 93-76-5 2,4,5-T Esterone 245; Trioxone;

Weedone

C8H5Cl3O3

2 2425 -98-3 Chlordimefor

m (CDM)

CDM; Ciba-8514; Schering

36,268: Spanon; Fundal;

Gulecton; Chlorophenamidine

C10H13ClN2

4 510-15-6 Chlorobenzilat

e

Compound 338; G23922;

Acarabene; Akar; Folbex; Ethyl

4,4-dichlorobenzilate; Ethyl 4,4-

hydroxy-2,2bis(4-

chlorophenil)acetate

C16H14Cl2O3

6 106-93-4 Ethylene

Dibromida

EDB; Dowfume WW85; 1,2-

dibromoethane; Ethylenebromide;

C12H4Br2

Page 34: peraturan dan sumber limbah b3

(EDB) Sym-dibromoethane

9 58-89-9 Lindane - C6H6Cl6

10 - Senayawa

merkuri,

termasuk:-

Anorganik

merkuri -Alkyl

merkuri -

Alkyloxyalkyl

merkuri -Aryl

merkuri

– –

11 87-86-5 Pentaklorofen

ol*

Penta; PCP; Penchloraol;

Santhophene 20

C6HCl5O

21 7439-97-6 Mercury/Air

raksa

Liquid silver; Hydragyrum;

Quicksilver

Hg

26 75-69-4 CFC-11 Trichloromonofluoromethane;

Fluorotrichloromethane; Freo 11;

Frigen 11; Areton 11

CCl3

27 75-71-12 CFC-12 Dichlorodifluoromethane; Areton

12; Freon 12; Frigen 12; Genetron

12; Halon; Isotron 2

CCl2F2

29 - CFC-114 Dichlorotetrafluoroethane;

Cryfluorane; Freon 114; Frigen

114; Areton 114

C2Cl2F2

43 - Halon-2402 Dibromotetrafluoroethane C2Rbr2F4

Page 35: peraturan dan sumber limbah b3

45 74-83-9 Metil bromida Bromomethane;

Monobromomethane; Embafume

CH3Br

Jawaban boleh tidaknya barang tersebut masuk ke Indonesia harus diterima oleh

otorita negara pengekspor dalam waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal

diterimanya notifikasi tersebut. Prosedur ini adalah sesuai dengan Konvensi Basel

yang mengatur lintas batas bahan dan limbah B3 antar negara.

Prosedur yang sama diberlakukan bagi B3 yang akan dieksport ke luar negeri

(pasal 7). PP ini mewajibkan eksportir B3 tersebut untuk menyampaikan notivikasi

ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang

bertanggung jawab di Indonesia terlebih dahulu. Sebelum ada persetujuan dari

otoritas negara tujuan ekspor dan otoritas negara transit, serta dari instansi yang

berwenang, maka ekspor B3 tersebut belum boleh dilaksanakan.

Salah satu informasi penting yang selalu harus disertakan dalam produksi B3

adalah Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet – MSDS).

Informasi MSDS disamping harus tercantum pada produksi B3 (pasal 11), juga harus

muncul pada dokumen pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 (pasal 12),

dan juga pada kemasan bahan tersebut (pasal 14). Lembar MSDS paling tidak berisi:

Merek dagang

Rumus kimia B3

Jenis B3

Klasifikasi B3

Teknik penyimpanan, dan

Tata-cara penanganan bila terjadi kecelakaan

Page 36: peraturan dan sumber limbah b3

PP 74/2001 mengatur juga secara umum pengangkutan B3 (pasal 13),

pengemasan B3 (pasal 15), pemberian label dan simbol (pasal 17), penyimpanna B3

(pasal 18). Lokasi dan konstruksi tempat penyimpanan B3 membutuhkan pengaturan

tersendiri, agar tidak terjadi kecelakaan akibat kesalahan dalam penyimpanan

tersebut. Salah satu persyaratan kelengkapan pada tempat penyimpanan tersebut

adalah sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3 (pasal 19). B3 yang

dianggap kadaluwarsa, atau tidak memenuhi spesifikasi, atau bekas kemasan, yang

tidak dapat digunakan tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus dikelola

sebagai limbah B3 (pasal 20). B3 kadaluwarsa adalah bahan yang karena kesalahan

dalam penanganannya menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau

karakteristik sehingga bahan tersebut tidak sesuai lagi dengan spesifikasinya. Sedang

B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah bahan yang dalam proses produksinya

tidak sesuai dengan yang ditentukan.

PP 74/2001 mengatur juga masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi orang

yang bekerja di bidang ini, yang menjadi tanggung jawab bagi pengusaha. Salah satu

langkah yang wajib dilakukan adalah kewajiban uji kesehatan secara berkala bagi

pekerja, sekurang -kurangnya 1 kali dalam 1 tahun, denganmaksud untuk mengetahui

sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja

atau pengawas lokasi tersebut (pasal 23).

Salah satu kehawatiran utama dalam penanganan B3 adalah kemungkinan

terjadinya kecelakaan baik pada saat masih dalam penyimpanan maupun kecelakaan

pada saat dalam pengangkutannya. Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya

B3 ke lingkungan, yang memerlukan penanggulangan cepat dan tepat (pasal 24). Bila

terjadi kecelakaan, maka kondisi awalnya adalah berstatus keadaan darurat

(emergency). Langkah darurat yang harus dilakukan adalah (pasal 25):

Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan

Menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur standar penanggulangan

kecelakaan

Page 37: peraturan dan sumber limbah b3

Melaporkan kecelakaan atau keadaan darurat tersebut kepada aparat

Kota/Kabupaten setempat

Memberikan informasi, bantuan dan melakukan evakuasi masyarakat sekitar

lokasi kejadian.

Karakterisasi B3 Menurut PP 74/2001

Penjelasan PP 74/2001 menguraikan secara singkat klasifikasi B3 sebagai berikut:

1. Explosive (mudah meledak): adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar

(25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat

menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat

merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan

menggunakan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) atau Differential Thermal

Analysis (DTA), sedang 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida digunakan

sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut, akan diperoleh nilai

temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih

tinggi dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak.

2. Oxidizing (pengoksidasi): pengujian bahan padat dilakukan denganemtode uji

pembakaan menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedang

untuk bahan cair, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat.

Suatu bahan dinyatakan sebagai pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan

tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar.

3. Flammable (mudah menyala):

Extremely flammable: padatan atau cairan yang memiliki titik nyala (flash

point)di bawah 0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 oC.

Hghly flammable: padatan atau cairanyang memiliki titik nyala 0oC- 21oC.

Flammable:

Bila cairan: bahan yang mengandung alkohol kurang dari 24% -volume, dan

atau mempunyai titik nyala ≤ 60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak

Page 38: peraturan dan sumber limbah b3

dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg.

Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode Closed-up test.

Bila padatan: bahan bukan cairan, pada temperatur dan tekanan standar dengan

mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap

air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat

menyebabkan kebakaran terus menerus dalam 10 detik. Pengujian dapat pula

dilakukan dengan Seta Closed -cup Flash Point Test,dengan titik nyala di bawah

40oC.

4. Toxic (beracun): akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila

masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.

5. Harmful (berbahaya): padatan maupun cairan ataupun gas yang jika kontak atau

melalui inhalasi (pernafasan) atau melalui oral dapat menyebabkan bahaya

terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.

6. Corrosive (korosif): mempunyai sifat

Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit

Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan

laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.

Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥ 12,5 untuk B3 bersifat

basa.

Carcinogenic (karsinogen): sifat bahan penyebab sel kanker, yaitu sel liar yang

dapat merusak jaringan tubuh

Teratogenic: sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan

pertumbuhan embrio

Mutagenic: sifat bahan yang dapat menyebabkan perubahan kromosom yang

dapat merubah genetika.

7. Irritant (bersifat iritasi): padatan maupun cairan yang bila terjadi kontak secara

langsung, dan apabila terus menerus kontak dengan kulit atau selaput lendir dapat

menyebabkan peradangan

Page 39: peraturan dan sumber limbah b3

8. Dangerous to the Environment (berbahaya bagi lingkungan): seperti merusak

lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan

tersebut dapat merusak lingkungan.

9. Chronic toxic (toksik kronis)

PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 Pengganti PP

18/1999 Jumto PP 85/1999

PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan

Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok

perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih

lengkap dibanding PP sebelumnya sbb:

1. Sanksi Lebih Berat dan Peraturannya Lebih Ketat

2. Bertambahnya Jenis Limbah Yang Dikategorikan Limbah B3

Hal ini bisa dilihat di lampiran PP 101 tahun 2014 banyak menambahkan jenis

limbah menjadi kategori limbah b3 yang baru.

3. Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat

menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan

lingkungan hidup.

4. Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3

dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan

pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola

Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten.

5. Dalam tuntutan hukum, Limbah B3 tergolong dalam tuntutan yang bersifat formal.

Artinya, seseorang atau perusahaan dapat dikenakan tuntutan perdata dan pidana

lingkungan karena cara mengelola Limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan,

tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya tersebut telah mencemari

lingkungan.

Page 40: peraturan dan sumber limbah b3

6. Pengetahuan tentang cara pengelolaan Limbah B3 yang memenuhi persyaratan

wajib diketahui oleh pihak-pihak yang terkait dengan Limbah B3 dan pihak ke 3

yang bekerjasama dengan perusahaan.

7. Di Bagian Ketentuan Umum

PP 101 tahun 2014 menambahkan point-point di bawah ini yang dalam PP

sebelumnya tidak disebutkan seperti Ekspor Limbah B3, Notifikasi Ekspor Limbah

b3, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan PPLHD.

Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,

energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat

mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup

manusia dan makhluk hidup lain.

Prosedur Pelindian Karakteristik Beracun (Toxicity Characteristic Leaching

Procedure) yang selanjutnya disingkat TCLP adalah prosedur laboratorium

untuk memprediksi potensi pelindian B3 dari suatu Limbah.

Uji Toksikologi Lethal Dose-50 yang selanjutnya disebut Uji Toksikologi

LD50 adalah uji hayati untuk mengukur hubungan dosis-respon antara

Limbah B3 dengan kematian hewan uji yang menghasilkan 50% (lima puluh

persen) respon kematian pada populasi hewan uji.

Ekspor Limbah B3 adalah kegiatan mengeluarkan Limbah B3 dari daerah

pabean Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Notifikasi Ekspor Limbah B3 adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari

otoritas negara eksportir kepada otoritas negara penerima sebelum

dilaksanakan perpindahan lintas batas Limbah B3.

Dumping (Pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,

dan/atau memasukkan Limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi,

waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan

hidup tertentu.

Page 41: peraturan dan sumber limbah b3

Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak

langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang

melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan

perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau

hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup.

Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan

Lingkungan Hidup adalah cara atau proses untuk mengatasi Pencemaran

Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.

Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup adalah serangkaian kegiatan

penanganan lahan terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan,

pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan

hidup yang disebabkan oleh Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau

Perusakan Lingkungan Hidup.

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPLH

adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang, kewajiban, dan

tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat

PPLHD adalah Pegawai Negeri Sipil di daerah yang diberi tugas, wewenang,

kewajiban, dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengawasan

lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Bagian Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

Di PP 101 tahun 2014 ini lebih dirinci. Dalam Pasal 196 Di PP 101 tahun 2014 di

sebutkan:

Ayat (1) Dalam hal Limbah B3 akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia untuk tujuan transit, Penghasil Limbah B3 atau

Pengangkut Limbah B3 melalui negara eksportir Limbah B3 harus mengajukan

permohonan notifikasi kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri.

Page 42: peraturan dan sumber limbah b3

Ayat (2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

diajukan dalam waktu paling singkat 60 (enam puluh) hari sebelum transit

dilakukan.

Ayat (3) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilengkapi dengan keterangan paling sedikit mengenai:

1. identitas eksportir Limbah B3;

2. negara eksportir Limbah B3;

3. dokumen mengenai nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang

akan transit;

4. alat angkut Limbah B3 yang akan digunakan;

5. negara tujuan transit;

6. tanggal rencana pengangkutan, pelabuhan atau terminal tujuan transit,

waktu tinggal di setiap transit, dan pelabuhan atau terminal masuk dan

keluar;

7. dokumen mengenai asuransi;

8. dokumen mengenai pengemasan Limbah B3;

9. dokumen mengenai tata cara penanganan Limbah B3 yang akan diangkut;

dan

10. dokumen yang berisi pernyataan dari Penghasil Limbah B3 dan eksportir

Limbah B3 mengenai keabsahan dokumen yang disampaikan.

9. Ruang Lingkup PP 101 tahun 2014 diperluas dari PP sebelumnya karena juga

mengatur tentang:

1. Dumping (Pembuangan) Limbah B3;

2. pengecualian Limbah B3;

3. perpindahan lintas batas Limbah B3;

4. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan

Lingkungan Hidup dan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup;

5. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3;

6. pembinaan;

Page 43: peraturan dan sumber limbah b3

7. pengawasan;

8. pembiayaan;

9. sanksi administratif.

2. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Alur terbentuknya B3

Pengertian Limbah

Limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan

berbahaya dan atau beracun yang karena sifat, konsentrasinya, dan jumlahnya secara

langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan, merusak, dan dapat

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta

makhluk hidup lainnya. Pengelolaan Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang

mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,

pengolahan, dan penimbunanlimbah B3. Pengelolaan Limbah B3 ini bertujuan untuk

mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, memulihkan

kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatan kemampuan dan fungsi kualitas

lingkungan.

Page 44: peraturan dan sumber limbah b3

Pengelolaan Limbah B3 ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19

tahun 1994 yang dibaharui dengan PP No. 12 tahun 1995 dan diperbaharui kembali

dengan PP No. 18 tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 yang dikuatkan lagi melalui

Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 tanggal 26 November 2001 tentang

Pengelolaan Limbah B3.

Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa

suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun

yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung

maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup

dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia

serta mahluk hidup lain.

Sumber - Sumber Limbah Dominan

Dalam berbagai penelitian telah di simpulkan bahwasanya ada beberapa sumber

limbah dominan yang selama ini di ketahui...inilah 8 sumber limbah dominan yang

telah di simpulkan :

1.  Industri Tekstil dan industri kulit Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil

adalah penggunaan zat warna.  Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr,

seperti senyawa Na2Cr2O7 atau senyawa Na2Cr3o7. Industri batik menggunakan

senyawa Naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah

H2O2 yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik.

Beberapa tahap proses pada indusrti kulit yang mneghasilkan limbah B3  antara

lain washing, soaking, dehairing, lisneasplatting, bathing, pickling,  dan degreasing.

Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving, dan polishing.  Proses tersebut

menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan H2SO4. Hal  inilah yang menjadi

pertimbangan untuk memasukkan industrikulit dalam  kategori penghasil limbah

B3.

2.  Pabrik kertas dan percetakan Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas

berasal dari proses pengambilan kmebali (recovery) bahan kimia yang

memerlukan stabilisasi sebelum ditimbun. Sumber limbah lainnya ada pada

Page 45: peraturan dan sumber limbah b3

permesinan kertas, pada  pembuangan (blow down) boiler dan proses pematangan

kertas yang  menghasilkan residu beracun. Setelah residu tersebut diolah,

dihasilkan  konsentrat lumpur beracun.

Produk samping proses percetakan yang dianggap berbahaya dan beracun  adalah

dari limbah cair pencucian rol film, pembersihan mesin, dan  pemrosesan film.

Proses ini menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume

limbah cair yang diolah. Industri persuratkabaran yang  memiliki tiras jutaan

eksemplar ternyata memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3.

3.  Industri kimia besar Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah

B3, yang antara lain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan

pengawet kayu, pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen, dan 

sabun. Limbah cair pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur beracun 

sebesar 3-5 persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan cat

menghasilkan beberapa lumpur cat beracun, baik air baku (water-base) maupun

zat pelarut (solvent-base). Sedangkan industri tinta menghasilkan limbah  terbesar

dari dari pembersihan bejana-bejana produksi, baik cairan maupun lumpur pekat.

Sementara, timbulnya limbah beracun dari industri pestisida  bergantung pada

jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah ia  benar-benar membuat bahan

atau hanya memformulasikan saja.

4.  Industri farmasi Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua sub-kelompok, yaitu

sub-kelompok pembuat bahan dasar obat dan sub-kelompok formulasi dan

pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah sub-kelompok kedua yang tidak

begitu membahayakan. Tapi, limbah industri farmasi yang memproduksi atibiotik

memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal

dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak  terjual dan kadaluarsa.

5.  Industri logam dasar Industri logam dasar nonbesi menghasilkan limbah padat

dari pengecoran, percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat

beracun sebesar 3 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam

untuk keperluan rumah tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak

dapat diolah di lokasi pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga

Page 46: peraturan dan sumber limbah b3

terdapat cairan pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnya  masuk

kategori limbah B3.

6.  Industri perakitan kendaraan bermotor. Kelompok ini meliputi perakitan

kendaraan bermotor seperti mesin, disel,  dan pembuatan badan kendaraan

(karoseri). Limbahnya lebih banyak bersifat  padatan, tetapi dikategorikan sebagai

non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam (bondering) dan

pengecatan yang mengandung logam  berat seperti Zn dan Cr.

7.  Industri baterai kering dan aki Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya

berasal dari proses filtrasi. Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses

penyegelan. Industri aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena

menggunakan H2SO4 sebagai cairan elektrolit.

8.  Rumah sakit Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair,

bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat-

obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah

cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia  laboratorium dan

lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik bisa

mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan

bersifat radioaktif. Selama ini sangat sulit mengetahui secara persis, berapa jumlah

limbah B3 yang dihasilkan suatu industri, karena pihak industri enggan

melaporkan jumlah dan akrakter limbah yang sebenarnya. Padahal, kejujuran

pihak industri untuk melaporkan secara rutin jumlah dan karakter limbahnya

merupakan informasi berharga untuk menjaga keselamatan lingkungan bersama.

Keengganan mereka berawal dari biaya pengolahan limbah yang terlampau mahal,

sehingga yang terjadi adalah “kucing-kucingan” guna menghindari keharusan

melakukan pengolahan. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan yang tidak terlampau

menekan industri, agar industri terangsang untuk mengolah limbahnya sendiri.

Page 47: peraturan dan sumber limbah b3

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan

pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan

perudang-undangan, khususnya Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

PP 101 tahun 2014 ini merupakan pengganti PP yang lama tentang Pengelolaan

Limbah b3 yaitu PP 18/1999 Jumto PP 85/1999. Secara umum ada pokok-pokok

perubahan di PP 101 tahun 2014 ini. PP 101 tahun 2014 lebih detail dan lebih lengkap

dibanding PP sebelumnya. Ruang Lingkup PP 101 tahun 2014 diperluas dari PP

sebelumnya karena juga mengatur tentang:

1. Dumping (Pembuangan) Limbah B3;

2. pengecualian Limbah B3;

3. perpindahan lintas batas Limbah B3;

4. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan

Hidup dan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup;

5. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3;

6. pembinaan;

7. pengawasan;

8. pembiayaan;

9. sanksi administratif.

B. Saran

Pengelolaan Limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat menimbulkan

kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup.

Perusahaan penghasil Limbah B3 wajb bertanggungjawab sejak Limbah B3 dihasilkan

sampai dimusnahkan (from cradle to grave) dengan melakukan pengelolaan secara

internal dengan benar dan memastikan pihak ke 3 pengelola Limbah B3 memenuhi

regulasi dan kompeten.