Peran Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Dalam Kegiatan Ekonomi

53
PERAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DALAM KEGIATAN EKONOMI I. Pendahuluan. Dalam beberapa tahun ini permasalahan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terus terjadi, mulai dari kasus Newmont Minahasa, kasus bojong dengan sampahnya, kasus tanah longsor di daerah-daerah seperti Jember dan Trenggalek, hingga kasus pencemaran di laut seperti teluk Jakarta hingga kasus di Selat Madura. Dan baru-baru ini Bandung dengan kasus sampahnya akibat penolakan atau penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah hingga membuat kebingungan semua pihak termasuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang sampai memberikan batas waktu tiga hari kepada Walikota Bandung untuk menyelesaikan masalah sampah ini. Permasalahan krisi energi dinegara kita yang diakibatkan naiknya nilai jual minyak dunia yang menyebabkan kalang kabutnya bangsa ini sehingga membuat gerak kegiatan ekonomi tersendat. Dan yang terbaru adalah bocornya gas bercampur lumpur di daerah Porong Sidoarjo yang merusak lahan penduduk, perumahan bahkan memperlambat jalan tol (Tol Road) bahkan di estimasi kejadian tersebut mengakibatkan kerugian ratusan milliar, belum selesai kasus tersebut timbul lagi kasus pembuangan limbah B3 ke lingkungan bebas, yang mengakibatkan terganggunya penduduk dengan bau yang menyengat. Itu semua merupakan kasus-kasus yang sekarang ini muncul di media massa, dan masih banyak kasus lainnya yang belum di ungkap. Dan ironisnya sampai sekarang kasus lingkungan tersebut belum tersentuh oleh produk-produk hukum kita. Permasalahan-permasalahan Sumberdaya alam dan lingkungan tadi tidaklah dapat diselesaikan dalam waktu singkat, dan mudah. Perlu waktu dan kerjasama semua pihak dalam menyelesaikan permasalahan tadi terutama dalam kegiatan pencegahan degradasi lingkungan. Degradasi Sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi pasti akan memberikan eksternalitas negatif kepada kita. Ekternalitas suatu kata yang diadopsi dari kata asing externality, menurut Fauzi. A (2004) eksternalitas adalah dampak (positif atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Banyak contoh yang dapat menggambarkan eksternalitas positif maupun negatif, berdirinya pabrik di suatu kawasan dapat memberikan keuntungan tersendiri

Transcript of Peran Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Dalam Kegiatan Ekonomi

PERAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DALAM KEGIATAN EKONOMI

I. Pendahuluan.

Dalam beberapa tahun ini permasalahan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terus terjadi, mulai dari kasus Newmont Minahasa, kasus bojong dengan sampahnya, kasus tanah longsor di daerah-daerah seperti Jember dan Trenggalek, hingga kasus pencemaran di laut seperti teluk Jakarta hingga kasus di Selat Madura. Dan baru-baru ini Bandung dengan kasus sampahnya akibat penolakan atau penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah hingga membuat kebingungan semua pihak termasuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang sampai memberikan batas waktu tiga hari kepada Walikota Bandung untuk menyelesaikan masalah sampah ini. Permasalahan krisi energi dinegara kita yang diakibatkan naiknya nilai jual minyak dunia yang menyebabkan kalang kabutnya bangsa ini sehingga membuat gerak kegiatan ekonomi tersendat. Dan yang terbaru adalah bocornya gas bercampur lumpur di daerah Porong Sidoarjo yang merusak lahan penduduk, perumahan bahkan memperlambat jalan tol (Tol Road) bahkan di estimasi kejadian tersebut mengakibatkan kerugian ratusan milliar, belum selesai kasus tersebut timbul lagi kasus pembuangan limbah B3 ke lingkungan bebas, yang mengakibatkan terganggunya penduduk dengan bau yang menyengat. Itu semua merupakan kasus-kasus yang sekarang ini muncul di media massa, dan masih banyak kasus lainnya yang belum di ungkap. Dan ironisnya sampai sekarang kasus lingkungan tersebut belum tersentuh oleh produk-produk hukum kita.Permasalahan-permasalahan Sumberdaya alam dan lingkungan tadi tidaklah dapat diselesaikan dalam waktu singkat, dan mudah. Perlu waktu dan kerjasama semua pihak dalam menyelesaikan permasalahan tadi terutama dalam kegiatan pencegahan degradasi lingkungan. Degradasi Sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi pasti akan memberikan eksternalitas negatif kepada kita. Ekternalitas suatu kata yang diadopsi dari kata asing externality, menurut Fauzi. A (2004) eksternalitas adalah dampak (positif atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Banyak contoh yang dapat menggambarkan eksternalitas positif maupun negatif, berdirinya pabrik di suatu kawasan dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi para pedagang makanan di sekitarnya, sehingga adanya pabrik tersebut akan meningkatkan pendapatan penghasilan para pendagang makanan contoh tersebut merupakan ekternalitas positif. Sedangkan akibat adanya pabrik dapat juga menimbulkan eksternalitas negatif seperti terjadinya pencemaran udara, air dan suara.Dapat dipastikan lingkungan memberikan peran yang sangat peting dalam kegiatan ekonomi kita, hingga dapat dikatakan kegiatan ekonomi tidak mungkin bergerak tanpa adanya peran lingkungan di dalamnya. Akan tetapi sejauh mana peran tersebut terhadap kegiatan ekonomi kita, mungkin kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu diharapkan tulisan ini mampu mengantar pemikiran kita akan peran penting lingkungan terhadap kegiatan ekonomi. Dan mengantarkan kita untuk lebih peduli terhadap sumberdaya alam dan lingkungan kita.

II. Sekilas Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Ilmu ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dikatakan ilmu yang masih relatif baru bila kiata bandingkan dengan ilmu-ilmu ekonomi lainnya yang lebih dulu muncul. Sehingga dapat dikatakan para pakar ekonomi sumberdaya dan lingkungan masih relatif sedikit dibandingkan dengan para pakar-pakar ilmu ekonomi lainnya. Pertumbuhan ekonomi terkadang dalam pemikiran kita jauh lebih penting dibandingkan dengan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga dapat dipastikan sumberdaya alam dan

lingkungan kita cepat terkuras untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pemikiran kita yang seperti itu mungkin ada benarnya, banyak contoh negara-negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tapi mengesampingkan masalah lingkungan seperti China dengan pertumbuhan Hipereconomi sehingga sumberdaya yang ada habis terkuras, Amerika serikat negara adidaya yang memiliki ekonomi yang relatif stabil juga mengalami hal yang sama lingkungan rusak dan sumberdaya alam terkuras. Akan tetapi semua pertumbuhan yang cepat tersebut akan memberikan kecendrungan penurunan ekonomi, yang menjadi pertanyaan dalam benak kita kenapa hal tersebut tidak terjadi kepada kedua negara tersebut?. Secara tidak terasa sebenarnya kedua negara terbut mulai tergantung kehidupannya kepada negara-negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah seperti Indonesia, dengan kebijakan-kebijakannya mereka terus menekan dan berharap sumberdaya yang ada di negara kita dapat dikelola oleh mereka.Untuk masalah pemikiran mengenai sumberdaya alam dan lingkungan sering para pakar mengkotakkan menjadi dua kategori yaitu menurut Djajadiningrat, S.T (1997) yang pertama kelompok yang berpihak ke pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperdulikan masalah lingkungan dan kelompok konservasi yang lebih mementingkan masalah kelestarian lingkungan. Sehingga dalam hal ini kita kembali bertanya dalam diri kita sendiri, masuk kelompok manakah kita ?. Akan tetapi pada jaman sekarang mulai tumbuh suatu kelompok dimana kelompok tersebut mementingkan keduanya yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan sumberdaya alam yang lestari. Apa bisa terjadi semua itu terjadi ?. Ya, karena dengan adanya sumberdaya alam yang terus terjaga kelestariannya diharapkan pertumbuhan ekonomi terus terjaga dan terus meningkat, hal ini dikarenakan kebutuhan sumberdaya alam dan lingkungan terus ter-supplay. Sehingga diperlukan suatu tujuan pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi “pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan” hal tersebut akan terjadi dengan kita tetap memacu pertumbuhan ekonomi bangsa ini dengan juga memperhatikan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dibatasi dengan ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada.

III. Perannya Dalam Kegiatan Ekonomi

Untuk mempermudah pemahaman nantinya mari kita perhatikan gambar dibawah ini :

Gambar 1 Peran Sumberdaya Alam dan Lingkungan terhadap Kegiatan Ekonomi.

Dengan mengurai gambar 1 diatas maka dapat kita perhatikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memberikan peranan terhadap kegiatan ekonomi. Kebutuhan baik itu rumah tangga maupun perusahaan kesemuanya dipastikan diperoleh dari alam, dimana perusahaan akan meningkatkan nilai ekonomi (Added-Values) dari sumberdaya alam dan lingkungan yang di eksploitasi dengan cara memproduksinya. Dari hasil produksi akan ada dua produk yang dihasilkan yang pertama produk konsumsi dan yang kedua sisa hasil produksi (residu). Dan dari sisa dari kegiatan ekonomi tersebut akhirnya kembali ke alam baik dalam bentuk padat, cair maupun gas. Menurut Djajadiningrat S.T (1997), mengatakan bahwa lingkungan memiliki tiga fungsi yaitu yang pertama berfungsi sebagai persediaan bahan baku, dimana rumah tangga dan perusahaan sangat tergantung pada lingkungan alam, antara lain udara, air dan keperluan lain seperti mineral dan tenaga. Yang kedua adalah sebagai wadah untuk limbah, dimana perusahaan dan rumah tangga menghasilkan sejumlah besar limbah sementara ditumpuk di lingkungan. Yang ketiga penyedia fasilitas, yaitu lingkungan mempunyai sejumlah fasilitas yang merupakan sumber dari estetika. Ini termasuk

pemandangan yang indah, sarana jalan memalui semak-semak, dan pantai-pantai yang asli.Bila di telaah penurunan kualitas lingkungan dan sumber daya alam disebabkan oleh dua faktor yaitu disebakan oleh meningkatnya kebutuhan ekonomi (economic requirement) dan gagalnya kebijakan yang diterapkan (policy failure). Peningkatan kebutuhan yang tak terbatas sering membuat tekanan yang besar terhadap lingkungan dan sumberdaya yang ada, suatu contoh kebutuhan akan ketersediaan kayu yang memaksa kita untuk menebang hutan secara berlebihan dan terjadinya tebang terlarang (illegal loging), kebutuhan transportasi untuk mobilitas dan mendukung laju perekonomian juga sering menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan seperti pencemaran udara, dan kejadian dilaut dimana akibat kebutuhan ekonomi memaksa nelayan melakukan kegiatan tangkap berlebih (over fishing). oleh karena itu percepatan pembangunan ekonomi sudah selayaknya di barengi dengan ketersediaan sumberdaya dan lingkungan yang lestari. (Bahtiar. R. 2006).Alam memiliki kemampuan untuk menetralisir pencemaran yang terjadi sesuai dengan kapasitas yang alam miliki (carrying capaciy), sehingga tak ada kata lain dalam benak kita bahwa sumberdaya alam dan lingkungan harus dan wajib kita jaga kelestariannya. Banyak hal yang dapat kita jadikan contoh pagi kehidupan kita, Selat Madura yang terindikasi terjadinya pencemaran dapat kita lihat dari pergerakan ikan yang mengarah kearah timur atau tepatnya di sekitar perairan Kabupaten Probolinggo, dan pada saat ini di Kabupaten Probolinggo juga terindikasi terjadinya pencemaran.Potensi tangakapan ikan di Selat Madura sudah tidak ada lagi, walaupun ada potensi tersebut sangatlah kecil sehingga hal tersebut tidak sebanding dengan biaya oprasional penangkapan (cost of capture). Dengan hilangnya sumberdaya yang ada, sering kita mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kegiatan tangkap berlebih (over fishing), kita mengatakan hal tersebut karena didukung oleh data dengan model Gordon-Schaefer yaitu “Bioeconomic”. Akan tetapi hal ini dirasa pada saat ini model tersebut tidaklah cukup banyak hal yang mempengaruhi terdepresiasinya sumberdaya ikan di Selat Madura.Dimana saat stock ikan dilaut sedang menurun, Stock ikan tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis ikan lainnya (hubungan pemangsa dengan yang di mangsa) dan oleh perubahan lingkungan. Para stackholders perikanan sering menyalahkan kegiatan tangkap berlebih (over fishing) sebagai penyebab turunnya jumlah stock ikan. Sehingga rencana manajemen sering dianggap kurang tepat dan sudah waktunya dibuat ulang, yang bertujuan untuk mengurangi penangkapan dari kegiatan penangkapan komersil atau bertujuan untuk mengurangi kapasitas penangkapan ikan di laut, dengan melalui pembelian kapal hingga membuat ulang program yang telah ada. Walau bagaimanapun, ada banyak sumber atau faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap menurunnya populasi ikan di laut seperti pemanasan global, dan yang lainnya. Jung-Hee Cho and John M. Gates, 2006).Banyak istilah yang muncul sekarang ini untuk mengintegrasikan lingkungan dengan ekonomi, seperti ecologi economic, ecologi and economic atau bahkan istilah yang di cetuskan oleh Costanza. R (1989) dalam jurnal internasional ecological economic yaitu Ecolnomics atau Econology, akan tetapi dari kesemua istilah tersebut dapat disimpulkan dengan arti satu yaitu bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memiliki peranan penting dalam kegiatan ekonomi.

IV. Integrasi dan Penyelesaian Masalah Lingkungan

Baru saja kita memperingati hari lingkungan hidup se-dunia pada setiap tanggal 5 juni, diharapkan dengan adanya hari lingkungan tersebut kita lebih peduli terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang ada. “Selamat Hari Lingkungan Hidup”Hingga kini permasalahan lingkungan masih cendrung diselesaikan dengan satu disiplin ilmu,

sehingga permasalahan yang terjadi kecendrungan tidak terselesaikan dengan baik. Lingkungan memiliki disiplin ilmu yang kompleks sehingga hal tersebut tidaklah dapat di selesaikan dengan satu disiplin ilmu, diperlukan kerjasama antar disiplin ilmu secara holistic. Ambil satu contoh yang mudah kita pahami bersama pencemaran perairan laut di Selat Madura, apakah pencemaran tersebut keseluruhan di akibatkan oleh kegiatan pencucian mesin kapal baik itu transportasi maupun kapal nelayan ?. Tentu saja tidak, banyak hal yang menyebakan terjadinya pencemaran di perairan antara lain pembuangan limbah ke laut pembangunan pengeboran minyak lepas pantai yang tidak dilandasi AMDAL, hilangnya mangrove di tepi pantai yang menyebabkan abrasi pantai sehingga mengakibatkan pencemaran pantai, kesemua itu merupakan contoh yang harus diselesaikan bersama-sama dan bekerjasama antar disiplin ilmu.

V. Penutup

Hingga kini permasalahan lingkungan masih kurang diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Seperti pembangunan perhotelan di daerah pengunungan yang mengorbankan hutan sebagai penyangga terjadinya banjir masih saja terus berlangsung. Saat ini di butuhkan suatu integrasi lingkungan kedalam setiap kebijakan yang diambil (policy) hal ini dimaksudkan agar setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak menimbulkan kerusakan atau terdepresiasinya sumberdaya alam dan lingkungan.Sekali lagi marilah kita bersama-sama memperhatikan sumberdaya alam dan lingkungan kita untuk keberlangsungan kehidupan di muka bumi. Tak ada kata yang terucap kecuali tekad kita bersama-sama bergandeng tangan untuk melestarikan sumberdaya dan lingkungan. Alangkah tidak bijaksananya manusia yang hanya mengambil manfaat dari sumberdaya alam dan lingkungan tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan itu sendiri.

Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya   Perikanan

Oleh: Budiati Prasetiamartati, Akhmad Fauzi, Rokhmin Dahuri, Achmad Fahrudin, Hellmuth Lange

Abstract Social capital defined as norms and social relationships embedded in a community’s structure that promote people to cooperate to achieve collective goals. Collective action or cooperation emerge when there is social capital in the community. This paper shows that input social capital and output social capital or collective action are proved to support fishery management, by way of prohibition of illegal destructive fishing, namely fishing using bomb, poison, or coral mining.

Abstrak Konsep modal sosial diartikan sebagai sebagai norma dan hubungan sosial yang menyatu dalam struktur masyarakat dan membuat orang dapat bekerjasama dalam bertindak untuk

mencapai tujuan. Aksi bersama atau kerjasama dapat berlangsung ketika terdapat modal sosial dalam masyarakat. Tulisan ini menunjukkan bahwa modal sosial input dan modal sosial output atau aksi bersama terbukti dapat mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui aksi bersama pelarangan kegiatan penangkapan ikan yang merusak, antara lain penggunaan bom, bius, atau penambangan karang.

Kata kunci: pengelolaan perikanan, modal sosial.

PendahuluanPengelolaan suatu sumber daya akan tergantung pada bagaimana akses terhadap sumber daya tersebut ditetapkan atau dipraktekkan. Salah satu elemen yang mempengaruhi akses adalah kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam atau property regimes, yang didefinisikan sebagai suatu hak, kewenangan dan tanggung jawab pribadi pemilik dalam hubungannya dengan pribadi pihak lain terhadap pemanfaatan suatu sumber daya alam (Bromley & Cernea 1989).Bila menggunakan definisi yang digunakan oleh Hardin (1968), secara umum sumber daya kelautan disebut sebagai common property atau milik bersama, yang dapat menimbulkan “tragedy of the commons”. Situasi ini terjadi ketika sumber daya bersifat open access sehingga dapat dimanfaatkan semua orang atau sulit untuk membatasi pihak lain untuk tidak memanfaatkannya, atau dikatakan bersifat non-excludable. Dalam perikanan, akses yang tidak terkontrol menimbulkan kondisi tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing), seperti yang disimpulkan Gordon melalui model Gordon-Schaefer (1954).Wilayah laut di Indonesia merupakan milik negara (state property), dimana pemilikan sumber daya kelautan berada di bawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain yang disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Aturan ini menyatakan bahwa pemerintah memiliki hak dan bertanggung jawab mengontrol pemanfaatan sumber daya kelautan tersebut, sehingga individu atau kelompok dapat memanfaatkan sumber daya kelautan atas izin, persetujuan, lisensi atau hak pengelolaan yang diberikan oleh pemerintah (McKean 1992, Ginting 1998).Namun demikian, dilihat dari sudut pandang institusi, sumber daya milik negara seringkali menghadapi tantangan dalam melaksanakan kontrol dan menegakkan aturan. Pendekatan yang digunakan dalam penegakan aturan adalah bersifat command and control, yang memunculkan masalah principal-agent, yaitu hubungan antara yang memberi kepercayaan atau principal dengan yang menerima kepercayaan atau agent, akibat adanya ketidaksepadanan informasi (asymmetric information). Kebijakan command and control cenderung rentan terhadap perilaku oportunis (opportunistic behavior), menghasilkan perilaku sub-optimal pihak yang dikontrol, dan menggoda munculnya moral hazard bagi pengontrolnya, misalnya melalui kegiatan rent seeking (pemburu rente) (Nugroho 2003, Bromley 1992, Runge 1992). Karena berbagai permasalahan tersebut maka sumber daya yang dikelola melalui pendekatan command and control cenderung menjadi free atau open access property yaitu hak milik umum sehingga tidak ada pengaturan pemanfaatan secara individual (Bromley 1992).Bentuk lain dari pengelolaan terhadap sumber daya perikanan laut adalah melalui kepemilikan masyarakat atau kepemilikan komunal (communal property) yaitu kepemilikan sekelompok masyarakat yang telah melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya dan dapat melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya. Pemanfaatan sumber daya didasarkan pada aturan main yang ditetapkan oleh pihak yang tergabung (Ruddle et al. 1992, Ginting 1998).Pengelolaan komunitas terhadap sumber daya perikanan laut merupakan bentuk aksi bersama. Aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam

suatu komunitas (Grootaert et al. 2003). Birner & Wittmer (2004) menambahkan bahwa “aksi bersama (collective action) menawarkan instrumen kontrol sosial dan pada saat yang bersamaan mengurangi biaya transaksi karena biaya koordinasi dalam komunitas lokal menurun.”

Kerangka PemikiranDalam perikanan tangkap terdapat bermacam alat tangkap yang digunakan, namun tidak seluruhnya ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan dapat memenuhi 8 kriteria berikut: selektivitas tinggi; tidak merusak habitat menghasilkan ikan kualitas tinggi; tidak membahayakan operator; produk tidak membahayakan konsumen; by-catch rendah; dampak biodiversity rendah; tidak membahayakan ikan yang dilindungi; dan diterima secara sosial. Berdasarkan kriteria di atas, maka jenis alat tangkap yang termasuk merusak lingkungan adalah bahan peledak (bom) dan racun kimia (cyanida). Cara penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun kimia disamping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, juga karena cara ini berdampak sangat luas terhadap perusakan habitat khususnya terumbu karang yang merupakan tempat kehidupan biota-biota laut yang berasosiasi dengannya (Sultan 2004).Tulisan ini bertujuan mengkaji hubungan modal sosial dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Penelitian didasarkan pada premis bahwa modal sosial dalam masyarakat pesisir berkontribusi pada pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, untuk menghindari terjadinya kondisi tangkap lebih atau kerusakan sumberdaya. Lingkup penelitian dibatasi oleh indikator penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yaitu penangkapan dengan bom atau bius, serta penambangan karang.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:1. Modal sosial berkontribusi terhadap aksi bersama masyarakat nelayan dalam pengelolaan perikanan.2. Aksi bersama masyarakat nelayan dapat menekan kegiatan penangkapan ikan denga bom dan bius, serta penambangan karang.

Metode PenelitianPenelitian dilakukan pada lima pulau kecil yang terletak pada Taman Nasional Taka Bonerate dan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, yang memiliki karateristik yang mirip yaitu berada pada lingkungan sosial-budaya serupa dan berlokasi di sekitar terumbu karang, di mana masyarakatnya bergantung pada sumberdaya alam terumbu karang dan perikanan tangkap.Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan dan masyarakat nelayan di kelima pulau. Pengumpulan data dilakukan dua kali pada tahun 2004 dan tahun 2005.

Metode Analisis DataUntuk mengkaji hubungan modal sosial dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, suatu model dirumuskan sebagai berikut: P = f (MSI, MSO, L), dimana: P = indikator pemanfaatan sumberdaya; MSI = indikator modal sosial input; MSO = indikator modal sosial output; L = indikator lainnya. Karena data yang diperoleh sebagian besar berupa data nominal dan ordinal, maka akan digunakan metode statistik non-parametrik. Metode analisis data yang digunakan antara lain teknik uji beda nyata Kruskal Wallis, uji korelasi rank Spearman, dan regresi logistik. Untuk memudahkan pengolahan data, digunakan perangkat lunak SPSS Release 11.5.0.Teknik uji beda nyata digunakan untuk menentukan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Karena sampel yang akan diuji berjumlah lebih dari 2, maka digunakan uji

k sampel bebas Kruskal-Wallis. Uji korelasi rank Spearman digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel tidak bebas (Xi) dengan variabel bebas (Yi). Uji rank Spearman (rs) bisa digunakan karena memiliki kemampuan uji sebagai berikut: (1) dapat melihat arah korelasi antara variabel tidak bebas dengan variabel bebas; (2) dapat menormalkan data yang dilakukan melalui urutan ranking (sesuai dengan banyaknya contoh); dan (3) mudah dipelajari dan ditetapkan baik untuk nominal maupun ordinal (Siegel 1986). Signifikasi nilai korelasi rank Spearman (rs) ditentukan berdasarkan angka probabilitas (p-value). Jika probabilitas 0,05 maka derajat korelasi tidak signifikan.Selanjutnya, untuk menyusun model pengelolaan sumberdaya perikanan yang terkait dengan modal sosial, digunakan regresi logistik. Regresi logistik mirip dengan regresi linier dan cocok digunakan untuk variabel tidak bebas yang dikotomi. Koefisien regresi logistik dapat digunakan untuk mengestimasi rasio untuk tiap variabel bebas di dalam model.

Pengertian modal sosialPengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat kesepakatan pemanfataan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi karena terdapat interaksi secara reguler dan berkesinambungan antara anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003). Modal sosial didefinisikan secara bervariasi, dan salah satu definisi yang populer dikemukakan oleh Putnam (1993:167): “social capital refers to features of social organizations, such as trust, norms, and networks”, bahwa modal sosial didefinisikan sebagai rasa percaya, norma timbal-balik dan jaringan sosial. Atribut ini yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama.Definisi mengenai modal sosial dinyatakan oleh Bank Dunia: “the norms and social relations embedded in the social structures of societies that enable people to coordinate action to achieve desired goals” (Grootaert et al. 2003), bahwa modal sosial dapat didefinisikan sebagai norma dan hubungan sosial yang menyatu dalam struktur masyarakat dan membuat orang dapat bekerjasama dalam bertindak untuk mencapai tujuan.Norma dan sanksi merupakan basis utama dari institusi atau kelembagaan. Kedua hal ini pula yang membentuk modal sosial. Dalam pengertian modal sosial, kesepakatan dan pelaksanaan suatu norma merupakan perwujudan dari interaksi terus-menerus dalam suatu asosiasi dan jaringan (networks), baik formal maupun informal. Modal sosial, yang muncul melalui asosiasi dan jaringan yang didasari norma yang disepakati, sesungguhnya membentuk suatu kelembagaan. Keduanya, kelembagaan dan modal sosial, sesungguhnya memfasilitasi kumpulan orang atau komunitas atau masyarakat untuk melakukan aksi bersama (collective action). Sebagaimana definisi modal sosial yang dikemukakan oleh Woolcock & Nayaran (2000:2): “norma-norma dan jaringan-jaringan yang membuat orang bertindak secara kolektif.”Krishna (2002) dan Narayan (1999) mendapati bahwa baik struktur makro dan kondisi mikro di masyarakat penting dalam mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Untuk itu, kerangka pendekatan analisis modal sosial harus memasukkan: (1) aspek kondisi makro (institusi formal, hubungan vertikal); dan (2) kondisi mikro (institusi informal, hubungan horisontal), seperti konsep modal sosial yang diajukan oleh Narayan (1999), Woolcock (1998), dan Grootaert et al. (2003), seperti dijelaskan berikut.Narayan (1999) menyatakan modal sosial dalam suatu masyarakat, lokalitas, daerah atau negara sesungguhnya dapat dianalisis melalui dua aspek penting, yaitu: (1) modal sosial horisontal, meliputi ikatan antar kelompok sosial (cross-cutting ties of social groups); dan (2) modal sosial vertikal, yaitu fungsi pemerintah (government’s functioning). Modal sosial vertikal yaitu fungsi atau kinerja pemerintah dapat dilihat dari dua aspek. Pertama,

penyelenggaraan pemerintahan (governance) yang mendorong penegakan hukum, hak warga negara, kebebasan untuk berserikat. Kedua adalah aspek kompetensi, kewenangan, sumberdaya dan akuntabilitas pemerintah.Sedangkan Woolcock (1998) menawarkan paradigma modal sosial yang mencakup keterkaitan horisontal di dalam masyarakat lokal dan keterkaitan vertikal. Keempat dimensi modal sosial berikut perlu dikaji dalam melakukan analisis modal sosial:1. Integrasi (integration) yaitu hubungan dengan anggota keluarga dan tetangga.2. Keterkaitan (linkages) yaitu hubungan dengan komunitas luar dan antar komunitas.3. Integritas organisasi (organizational integrity) yaitu institusi formal di tingkat makro.4. Sinergi (synergy) yaitu interaksi antara pemerintah dan masyarakat.Grootaert et al. (2003) menyatakan bahwa hubungan atau jaringan sosial sebagaimana yang dijelaskan dalam modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga hal:1. Bonding social capital (atau keterkaitan horisontal) yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki karakter demografis yang sama (seperti tingkat sosial-ekonomi, etnis), misalnya anggota keluarga, tetangga, teman dekat dan rekan kerja. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘perekat sosial’.2. Bridging social capital (atau keterkaitan horisontal dengan pihak yang berbeda karakter), yaitu ikatan dengan orang-orang yang tidak memiliki karakter yang sama, misalnya kenalan, teman dari etnis lain, teman dari teman. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘pelumas sosial’.3. Linking social capital (atau keterkaitan vertikal), yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki otoritas atau status sosial yang lebih tinggi, misalnya ikatan dengan anggota parlemen, polisi, kepala daerah, dsb (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002).

Modal sosial dalam pemanfaatan sumber daya perikanan kelautanSecara khusus, Isham (2000) menganalisis potensi pengaruh modal sosial terhadap perikanan, yang dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:1. Biaya transaksi (transaction cost). Interaksi sosial sesungguhnya dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi dalam pertukaran. Ketika pelaku ekonomi terus-menerus dan secara regular berinteraksi dalam suatu kondisi sosial tertentu, mereka akan membentuk suatu pola perilaku dan membangun ikatan kepercayaan. Ditambah lagi, jika terdapat kemungkinan pengenaan sanksi, maka interaksi ini bisa menurunkan kemungkinan perilaku oportunistik dari pelaku ekonomi yang berada dalam struktur sosial yang sama.2. Aksi bersama (collective action). Olson (1965) menyatakan bahwa tanpa adanya kendala tertentu yang mendorong ataupun memaksa pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan memiliki insentif untuk berpartisipasi dalam aksi bersama untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi secara reguler dalam suatu kondisi sosial dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi penumpang bebas.Modal sosial atau khususnya jaringan, sesungguhnya menghasilkan eksternalitas. Dilihat dari eksternalitas yang dihasilkan, terdapat dua perspektif dalam memandang modal sosial (Birner & Wittmer 2003) :1. Perspektif aktor, yang diformulasikan oleh Bourdieu (1992), di mana modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dimobilisasi oleh aktor individual karena keanggotaannya pada suatu jaringan eksklusif. Karena pembentukan jaringan menghasilkan eksternalitas terbatas, maka Dasgupta (2002) menyatakan bahwa modal sosial semacam ini merupakan aspek dari sumber daya manusia (human capital).2. Perspektif masyarakat (society), seperti penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1993), di mana modal sosial adalah barang publik (public good) yang dimiliki oleh organisasi dan jaringan horisontal dalam suatu masyarakat (Rosyadi et al. 2003). Dalam hal ini, modal sosial berkontribusi terhadap eksternalitas publik – dalam arti memberi dampak luas, bahkan nation

wide – maka modal sosial merupakan komponen ‘total faktor produktivitas’ (total factor productivity) (Dasgupta 2002).Berdasarkan kerangka analisis modal sosial, dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya perikanan, maka modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan/atau produksi yang berlebih. Produksi perikanan tangkap diharapkan dapat efisien atau menghindari economic inefficiency seperti yang dikemukakan oleh Gordon-Schaeffer. Secara matematis, fungsi produksi yang biasa digunakan dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah: . Fungsi produksi tangkap ( ) bergantung pada faktor input yang biasa disebut sebagai upaya (effort). Upaya ( ) merupakan indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap, dsb, yang digunakan untuk kegiatan penangkapan. Selain itu, produksi juga merupakan fungsi dari stok ikan ( ). Sedangkan adalah koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) yang berarti proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya. Bentuk fungsi produksi yang linear ini sering diangggap tidak realistis karena tidak memasukkan kondisi diminishing return upaya terhadap produksi (Fauzi 2004). Namun, untuk kemudahan analisis, fungsi produksi linear ini akan digunakan.Input yang digunakan untuk kegiatan penangkapan merupakan bentuk dari modal (capital). Secara umum terdapat lima jenis modal yaitu: modal alam dan lingkungan (natural capital); modal infrastruktur buatan manusia (physical capital); modal ekonomi atau keuangan (economic or financial capital); sumber daya manusia (human capital); dan modal sosial (social capital) (Scoones 1998). Tentunya dalam persamaan (1), natural capital tidak termasuk ke dalam variabel upaya ( ), namun diilustrasikan pada variabel stok . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa input yang digunakan dalam upaya ( ), dapat mencakup modal sosial.Melangkah dari perspektif ini, maka pengaruh modal sosial dapat dilihat dari dua hal utama, yaitu:1. Modal sosial dengan eksternalitas terbatas.Paling tidak terdapat dua pengaruh modal sosial dengan eksternalitas terbatas, sebagai berikut:a. Bagi individu atau jaringannya.Dalam masyarakat pesisir yang memiliki keterbatasan sumber daya fisik dan ekonomi, maka modal sosial dalam bentuk rasa percaya (trust) dan norma timbal-balik (norm of reciprocity) dimanfaatkan untuk memperoleh kedua sumber daya tersebut untuk kegiatan penangkapan ikan. Ini terlihat dari hubungan hutang dan patron-klien. Dalam hal ini modal sosial bermanfaat karena menurunkan biaya transaksi (transaction cost) dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu penangkapan ikan, dan eksternalitas terbatas bagi individu atau jaringannya; meskipun praktek ini sesungguhnya meluas.b. Bagi komunitas masyarakat pesisir tertentu.Selain itu modal sosial juga dapat dilihat sebagai aksi bersama untuk mengelola sumber daya milik komunal melalui aturan dan sanksi. Ostrom (1990) menyatakan ada 2 kriteria yang memberikan batasan mengenai sumberdaya self-organized common-pool resources atau sumberdaya yang dikelola secara mandiri: (1) ada biaya yang digunakan untuk melindungi dan melarang pihak lain untuk mengeksploitasi sumber daya, (2) sumber daya terbatas sehingga bila dimanfaatkan terus dapat habis. Dalam hal ini modal sosial bermanfaat karena menurunkan biaya transaksi (transaction cost) dalam melakukan kontrol terhadap upaya tangkap, yang bisa dilakukan melalui pembatasan pelaku perikanan, ekstraksi sumber daya pada musim tertentu, penggunaan alat tangkap tertentu, dsb. Aksi bersama pengelolaan sumber daya secara komunal berlangsung karena adanya aturan dan sanksi. Contoh modal sosial bentuk ini yang telah melembaga dan sering dikutip adalah: sasi laut (Maluku), ondoafi (Papua), rompong (Sulawesi Selatan), awig-awig (Lombok) dan panglima laot (Aceh).

Dengan demikian, modal sosial ini dapat dimasukkan pada persamaan upaya menjadi: , dimana adalah upaya yang mengandung modal sosial, sehingga adalah produksi yang dipengaruhi oleh modal sosial.2. Modal sosial dengan eksternalitas luas.Secara makro, output produksi dapat diilustrasikan pada persamaan dimana dengan adalah ouput produksi yang bisa menggunakan pendapatan kotor nasional (GNP). adalah faktor skala fungsi produksi, yang biasa diartikan oleh para ekonom sebagai total faktor produktivitas ekonomi, yang merupakan indeks kombinasi kemampuan institusional, termasuk sistem property rights. adalah modal fisik. adalah agregat human capital, sedangkan adalah input tenaga kerja (Dasgupta 2001).Total faktor produktivitas ( ) yang mencakup sistem property rights dan penegakannya, dapat dimasukkan ke dalam fungsi produksi perikanan, sehingga persamaan (3) menjadi: dimana .Total faktor produktivas ini yang disebut Narayan (1999) sebagai fungsi pemerintah (government’s functioning), atau Woolcock (1998) sebagai modal sosial keterkaitan vertikal yang meliputi integritas organisasi (organizational integrity) atau kinerja institusi formal di tingkat makro (antara lain penegakan hukum), dan sinergi (synergy) atau interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Meskipun total faktor produktivitas menjelaskan kondisi ekonomi makro (Dasgupta 2001), variabel ini dimasukkan ke dalam fungsi produksi mikro, berdasarkan pemahaman bahwa kondisi struktural dan institusional makro mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan.

Hasil dan PembahasanPemanfaatan sumberdayaPemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di lokasi studi dapat dilihat melalui indikator penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, yaitu penangkapan ikan dengan bom atau bius, serta penambangan karang. Dari indikator-indikator ini dapat dibuktikan bahwa kelima pulau memiliki perbedaan yang siginifikan. Uji beda nyata Kruskal-Wallis keempat indikator menghasilkan angka probabilitas < 0,05 atau hipotesis Ho berhasil ditolak, dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antar kelima pulau. Data tahun 2004 dan 2005 menggunakan skor penilaian yang berbeda, sehingga untuk memudahkan komparasi dibuat indeks untuk masing-masing indikator. Terlihat bahwa Kapoposang dan Rajuni Besar memiliki indeks pemanfaatan sumberdaya merusak yang paling rendah, dan jauh berbeda dengan Barrang Caddi, Tarupa, dan Rajuni Kecil.

Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya PerikananData tahun 2004Penangkapan ikan dengan bom atau bius berkorelasi signifikan dengan sumber kapital, keanggotaan dalam kelompok, pendidikan, dan usia. Korelasi paling kuat ditunjukkan oleh jaringan sumber kapital. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya dua jenis jaringan sumber kapital, yaitu modal sosial bonding dan modal sosial bonding vertikal atau bridging . Jaringan sumber kapital yang berasal modal sosial bonding vertikal atau bridging cenderung berkorelasi terhadap penangkapan ikan dengan bom atau bius.Keterkaitan bonding vertikal merupakan karakter dari hubungan nelayan dengan patron yaitu sistem ponggawa-sawi, sedangkan keterkaitan bridging merupakan hubungan nelayan dengan patron atau pedagang di luar pulau atau di kota lain. Hal ini serupa dengan hasil berbagai penelitian, bahwa penggunaan alat tangkap bom atau bius dipengaruhi oleh ponggawa atau pemodal (Meereboer 1998; LP3M 2002).

Data tahun 2005Pemanfaatan sumberdaya dan modal sosial output

Aksi bersama (collective action) merupakan potensi pengaruh modal sosial terhadap perikanan (Isham 2000). Aksi bersama tergolong ke dalam “modal sosial output” (Grootaert et al. 2003), dan diyakini hanya dapat dimungkinkan jika sejumlah “modal sosial input” tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003).Pelarangan bom/bius memiliki rata-rata total 1,59 atau dilakukan antara tidak pernah atau kadang-kadang, meskipun terdapat kelompok konservasi (total rata-rata 1,77) namun tidak aktif (total rata-rata 1,22). Keberadaan kelompok konservasi berbeda signifikan antar kelima pulau. Kelompok ini eksis di empat pulau, kecuali di Barrang Caddi.Korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang signifikan antara indikator modal sosial output dan indikator pemanfaatan sumberdaya. Ternyata hanya satu korelasi yang signifikan pada angka probabilitas < 0,05, yaitu penangkapan dengan bius dan keberadaan kelompok konservasi. Hubungan yang negatif menunjukkan bahwa jika kelompok konservasi eksis penangkapan dengan bius lebih sedikit.

Pemanfaatan sumberdaya dan input modal sosial Rasa percaya, keberadaan minuman keras, tidak toleransi terhadap bom/bius, dan setuju pengenaan sanksi terhadap bom/ bius, memiliki perbedaan nyata antar kelima pulau. Selanjutnya, rasa percaya, keberadaan minuman keras, dan tidak toleransi terhadap bom/bius memiliki korelasi signifikan dengan indikator pemanfaatan sumberdaya.Rasa percaya berasosiasi negatif dengan penangkapan dengan bom, berarti pulau dengan penangkapan dengan bom tinggi memiliki rasa percaya yang rendah. Rasa percaya rendah di Rajuni Kecil yang memiliki penangkapan bom yang tinggi. Sedangkan penangkapan dengan bius berkorelasi positif dengan keberadaan minuman keras, yang menunjukkan bahwa tingginya penangkapan dengan bius terkait dengan tingginya keberadaan minuman keras. Keberadaan minuman keras tinggi di Barrang Caddi dan Tarupa yang memiliki penangkapan dengan bom/bius yang tinggi; berbeda dengan kondisi di Kapoposang.Hubungan yang menarik dilihat pada asosiasi antara penangkapan dengan bius dan tidak toleransi terhadap bom/ bius, yang berasosiasi positif. Ini menunjukkan bahwa meskipun nelayan dan masyarakat nelayan pulau tidak mentolerir keberadaan bom/bius, kondisi ini tidak menurunkan kejadian penangkapan ikan dengan bius.

Pemanfaatan sumberdaya dan indikator lainnyaRata-rata indikator lainnya mencakup indikator fungsi pemerintah, karakteristik sosial ekonomi, dan persepsi terhadap sumberdaya. Persepsi manfaat terhadap terumbu karang setelah adanya pendampingan masyarakat serta persepsi perubahan ukuran ikan dalam lima tahun terakhir, memiliki perbedaan nyata antar kelima pulau.Hasilnya menampilkan korelasi yang signifikan antara indikator lainnya dan indikator pemanfaatan sumberdaya. Persepsi manfaat terhadap terumbu karang dan persepsi perubahan ukuran ikan berasosiasi negatif dengan penangkapan dengan bius. Pulau dengan tingkat penangkapan bius tinggi seperti Barrang Caddi, Rajuni Kecil dan Tarupa, nelayannya memiliki persepsi bahwa kondisi terumbu karang tidak berubah setelah adanya pendampingan masyarakat, demikian pula dengan ukuran ikan yang dikatakan tidak semakin mengecil selama lima tahun terakhir. Pulau-pulau dengan kegiatan penangkapan bom/ bius tinggi memiliki persepsi krisis sumberdaya yang rendah, dan berbeda dengan Kapoposang yang menganggap bahwa kondisi terumbu karang memburuk.

Keterkaitan antara modal sosial output dan modal sosial input Hasil yang diperoleh menampilkan korelasi yang signifikan antara modal sosial input dan indikator modal sosial output. Pelarangan bom/bius berasosiasi negatif dengan keberadaan minuman keras, namun berasosiasi positif terhadap tidak toleransi terhadap bom/biu dan rasa

adil pelarangan bom/bius. Keberadaan kelompok konservasi dan kelompok konservasi aktif berkorelasi positif dengan rasa adil pelarangan bom/bius. Pelarangan mengambil karang menunjukkan rasa percaya yang tinggi Ini menunjukkan bahwa kesamaan norma dan rasa percaya (modal sosial input) mempengaruhi modal sosial output yaitu aksi bersama dalam mencapai pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan.

Model Sumberdaya PerikananTahap analisis selanjutnya menggunakan analisis regresi logistik untuk menentukan model pemanfaatan sumberdaya. Indikator pemanfaatan sumberdaya dijadikan sebagai variabel tidak bebas sedangkan indikator modal sosial output, modal sosial input, fungsi pemerintah karakteristik sosek, dan persepsi terhadap sumberdaya dimasukkan sebagai variabel bebas ke dalam model.Uji kelayakan model ditentukan berdasarkan koefisien determinasi R kuadrat (Nagelkerke R Square) dan uji goodness-of-fit menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow yang memiliki nilai nyata < 0,05. Dari berbagai kombinasi variabel tidak bebas dan variabel bebas yang diuji coba dihasilkan dua model yang layak sebagai berikut. Satu model menggunakan data tahun 2004, dan model lainnya menggunakan data tahun 2005.

Data tahun 2004Kedua variabel yaitu sumber kapital dan usia nelayan dapat menjelaskan 19 persen bagi model. Uji kesesuaian model menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai nyata < 0,05. Model ini menunjukkan bahwa penangkapan dengan bom/bius dapat dijelaskan dengan keberadaan jaringan sumber kapital yang bersifat bonding vertikal atau bridging dan usia nelayan. Penangkapan dengan bom/bius dilakukan secara umum oleh nelayan berusia muda.

Data tahun 2005Ketiga variabel dapat menjelaskan 44,2 persen bagi model. Uji kesesuaian model menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow menunjukkan hasil dengan nilai nyata < 0,05.Model ini menunjukkan bahwa penangkapan dengan bom dapat dijelaskan dengan rendahnya rasa percaya di antara masyarakat dan rendahnya toleransi terhadap bom/bius. Berarti modal sosial input yaitu rasa percaya dan kesamaan norma mempengaruhi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan.Namun demikian, rasa adil pelarangan bom/bius berbanding lurus dengan bom. Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat norma yang meluas bahwa masyarakat menganggap adil jika bom/bius dilarang, tetap saja penangkapan ikan dengan bom tinggi. Kondisi ini terkait dengan kinerja penegakan hukum yang secara rata-rata dianggap tidak konsisten dalam menindak penangkapan bom/bius yang ilegal. Sehingga meskipun nelayan menganggap pelarangan bom/bius adil dilakukan, namun tidak menurunkan kegiatan bom/bius. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Narayan (1999) dan Woolcock (1998), bahwa modal sosial horisontal di tingkat masyarakat hanya akan mencapai kondisi pembangunan yang diharapkan jika didukung oleh struktur dan institusi makro, salah satunya adalah penegakan hukum.

KesimpulanBerdasarkan analisis, modal sosial input yaitu rasa percaya dan tidak-toleransi terhadap bom/bius dalam masyarakat nelayan berpotensi untuk mendukung perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, melalui pelarangan penangkapan ikan dengan bom atau bius. Modal sosial output yaitu keberadaan kelompok konservasi berpotensi menurunkan penangkapan ikan dengan bius. Ini membuktikan hipotesis penelitian. Namun di sisi lain,

modal sosial yang bersifat bridging pada jaringan sumber kapital berpotensi untuk mendorong terjadinya penangkapan ikan dengan bom atau bius.Penelitian ini membuktikan bahwa modal sosial input yaitu rasa percaya dan kesamaan norma mendukung adanya aksi bersama komunitas nelayan, sebagaimana diungkapkan oleh Grootaert et al. (2003). Disamping itu, fungsi pemerintah dan integritas institusi formal di tingkat makro berperan penting untuk menumbuhkan serta menjaga aksi bersama dan modal sosial input yang telah ada pada komunitas nelayan. Hanya ketika institusi makro dan modal sosial komunitas memiliki kinerja positif yang saling mendukung, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan.

EKSTERNALITAS LINGKUNGAN               1.   P e n d a h u l u a n               Kesadaran bahwa suatu kegiatan seringkali mendatangkan manfaat dan mudhorat yang langsung dapat dirasakan telah lazim dijumpai. Dalam memilih suatu usaha / pekerjaan kita tidak hanya memperhatikan manfaat moneter saja yang   terlibat secara langsung, tetapi juga keamanan, kekuatan dan prestise yang berkaitan dengannya.                Ketika kita membeli pakaian maka kita mempertimbangkan daya tariknya, efek perlindungan dan kenyamanan yang dapat diberikannya.   Dalam menggunakan obat-obatan kita harus menyadari sepenuhnya tentang efek sampingannya yang mungkin membahayakan dan  juga daya penyembuhannya. Kalau membeli rumah  kita tentu ingin memperhatikan bukan hanya ukurannya dan kekuatannya, tetapi juga kualitas tetangga sekitarnya, jaraknya ke sekolah yang bonafit, dan ketersediaan transportasi umum.               Dalam bahasa sehari-hari kita menyebut atribut sekunder dari produk atau kegiatan ini  sebagai "efek sampingan” , “rumbai manfaat” atau 'penyakit kerja'.  Minat kita dalam hal ini tidak disia-siakan oleh  industri advertensi yang memperkenalkan berbagai produk dengan menekankan  manfaat sampingannya yang menguntungkan.  Memang beberapa produk tertentu telah diketahui menjadi lebih baik melalui  efek sampingannya daripada manfaat langsungnya.               Memang minat terhadap akibat-akibat sekunder bukanlah semata-mata  menjadi tanggungan industri iklan.  Minat atas efek sampingan muncul  dalam pemilihan produk/ kegiatan dan besarnya jumlah yang ingin kita bayar atau kita korbankan untuk menghindari

atau  mengalaminya.  Misalnya keinginan untuk hidup bertetangga dengan lebih baik tercermin dengan sendirinya oleh keinginan untuk membayar lebih  banyak atas suatu rumah yang keadaan tetangga sekitarnya lebih baik daripada rumah serupa di tempat lain.                Demikian juga, suatu preferensi kuat atas suatu usaha/ pekerjaan yang lebih aman tercermin oleh keinginan untuk mengorbankan tambahan moneter yang secara potensial lebih tinggi dalam pekerjaan lain.   Orang bisnis akan mendapatkan keuntungan dari responsif terhadap kebutuhan konsumen. Meskipun fungsi utama dari  automobil adalah untuk transportasi , namun pabriknya menyediakan berbagai model untuk memenuhi karakter-karakter  sekunder yang dibutuhkan oleh pembeli. Produsen obat-obatan berusaha mengembangkan obat-obat baru  yang mempunyai sifat-sifat baik yang sama dengan obat yang telah ada sambil mengurangi efek sampingannya yang tidak baik.  Kecuali itu tanggung-jawab produsen dipacu oleh pengetahuan bahwa kompetitor akan lebih mengacu kepada preferensi langganannya.  Karena alasan inilah, kompetisi di antara produsen  dianggap sangat perlu. serupa dengan hal tersebut,  kompetisi di antara pembeli  menjamin bahwa barang-barang  dan jasa-jasa  akan dialokasikan sesuai dengan kebutuhan relatif dan kemampuan partisipan untuk membayar.              Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi  kompetitif secara bebas akan menyediakan barang-barang dan jasa-jasa  yang diperlukan oleh konsumen dengan cara sedemikian rupa untuk  menghindarkan kemungkinan bahwa mekanisme alokatif lain (pemerintah) dapat diberlakukan bagi situasi-situasi tertentu.  Kondisi-kondisi tertentu dan kriteria yang dapat dipercaya , salah satu kontribusi utama dari  teori ekonomi modern ialah konfirmasi dari kesimpulan ini.               Namun demikian kebanyakan observasi kasual tentang dunia nyata mengungkapkan bahwa masyarakat kita seringkali mengambil perlindungan kepada kegiatan pemerintah kolektif untuk penyediaan barang dan jasa tertentu. Oleh karena itu dapat diduga bahwa teori ekonomi  modern bisa saja salah atau tidak relevan dengan dunia nyata.                 Penjelasan alternatif bagi divergensi antara teori dengan realita ini ialah bahwa  keputusan-keputusan kolektif adalah buruk dan bahwa pemerintah bertindak dengan cara yang tidak karuan artinya.  Kesimpulan seperti ini juga ditolak. memang penolakan alternatif ini tidak berarti bahwa  pemerintah selalu membuat keputusan-keputusan yang paling bijaksana atau yang paling baik karena jelas bahwa proses keputusan pemerintah dapat diperbaiki dan bahwa kita harus melakukan apa yang dapat kita kerjakan untuk memperbaikinya.

              Namun ada penjelasan  lain  tentang divergensi antara teori dan realita (yang diterima  di sini) ialah bahwa kondisi-kondisi atau asumsi-asumsi yang merupakan dasar bagi kesimpulan yang mempertimbangkan efisiensi sistem pasar tidak selalu dipenuhi dalam realita.                 Sesuai dengan pandangan ini, maka dianggap perlu untuk mengkaji aspek-aspek tertentu dari teori ekonomi karena akan menghasilkan pengertian  tentang situasi-situasi dimana sistem pasar  tidak dapat diharapkan untuk bekerja dengan baik.  Eksistensi  situasi-situasi seperti itu menimbulkan problem pemilihan  tatanan institusional yang Sesuai bagi  penampilan aktivitas-aktivitas khusus.               Walaupun penyelesaian terhadap problem-problem ini yang mampu menimbulkan suatu konsensus tidak tersedia dengan mudah dan segera, namun ada keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh dengan mengetahui dimana pasar berada , dan dimana pasar tidak mungkin ada, dan dimana pasar dapat bekerja dengan cukup baik.              Tujuan  dari uraian ini  adalah untuk  menyajikan dan mengungkapkan hal-hal penting tentang  ekonomi kesejahteraan modern yang dapat dianggap sebagai suatu teorema yang berkaitan dengan alokasi sumberdaya alam (misalnya sumberdaya lahan) melalui mekanisme pasar.  Perhatian khusus akan diberikan kepada asumsi-asumsi tertentu yang melandasi teorema ini.                  2. Kriteria,  Pasar, dan Optimalita                 Untuk membahas secara bermakna tentang pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia,  orang harus mengetahui suatu metode untuk mengurutkan dan memboboti berbagai kemungkinan tersebut. Para ahli ekonomi menggunakan pengertian efisiensi atau konsep Optimalita Pareto, untuk menimbang berbagai mekanisme alokasi yang berbeda-beda.   Suatu alokasi sumberdaya dianggap tidak efisien atau tidak optimal kalau ia memungkinkan paling tidak satu orang dari anggota masyarakat menjadi  lebih baik tanpa  membuat anggota lainnya  menderita melalui realokasi. Suatu alokasi merupakan Optimal Pareto kalau tidak mungkin untuk membuat lebih baik kondisi beberapa orang tanpa secara simultan merugikan orang lain, melalui realokasi.                Tidak perlu dirisaukan bahwa kriteria efisiensi atau optimal pareto ini tidak mengakibatkan urutan alternatif-alternatif alokasi secara tepat karena secara teoritis  ada banyak posisi bagi Optimal Pareto. Disamping itu, masih ada alasan yang baik  untuk memahami (di dalam

batas-batas praktikalitas)  bahwa semua penyelesaian menjadi efisien karena  menurut definisi, suatu penyelesaian optimal non-pareto  memungkinkan perbaikan kondisi beberapa orang tanpa mengorbankan orang lain.  Ungkapan kualifikasi “di dalam batas-batas praktikalita” dalam hal ini menyatakan bahwa  walaupun secara teoritis ada kemungkinan untuk memperbaiki  posisi  paling tidak satu orang tanpa mengorbankan orang lain  harus diakui apabila posisinya tidak  Optimal Pareto, makna praktis dari pelaksanaan perbaikan tersebut tidak perlu menjadi jelas sama sekali untuk menggugah analisis lebih lanjut.  Suatu mekanisme alokatif dianggap hebat kalau ia  mampu mengalokasikan sumberdaya secara Optimal Pareto.              Pemahaman tentang Optimalita Pareto  mungkin tidak menarik ataupun tidak berguna sebelum kita memahami sebagian tentang perkembangan ekonomi kesejahteraan modern. Hal yang paling penting dari ini semua dapat dianggap  sebagai salah satu dari teorema-teorema fundamental tentang ekonomi.                             Secara informal dapat dinyatakan sbb: 

 “Dengan Asumsi-asumsi tertentu tentang teknologi, ketersediaan informasi, karakteristik barang dan jasa, dan tidak adanya kekuatan monopoli, maka akan ada seperangkat harga-harga pasar yang berhubungan erat dengan  perusahaan yang memaksimumkan profit dan konsumen yang memaksimumkan utilitas, akan mengakibatkan tercapainya posisi Optimum Pareto bagi sistem ekonomi”.

               Teorema merupakan suatu argumen yang kuat (ampuh) bagi organisasi masyarakat kita sedemikian rupa sehingga alokasi sumberdaya berlangsung melalui mekanisme  pasar kompetitif. Kalau asumsi-asumsi tentang teorema dipenuhi secara universal, maka pemerintah dapat membatasi diri terutama untuk program-program yang ditujukan pada pencapaian distribusi pendapatan yang diinginkan dan sudah tentu bahwa  kompetisi akan menyebabkan sistem menjadi efisien.                Ada sedikit keperluan untuk mengulas secara mendalam seluruh perangkat asumsi yang melandasi teorema di atas.  Memang para ahli ekonomi telah lama meneliti untuk menemukan perangkat minimal asumsi-asumsi yang memadai bagi pasar  untuk mencapai Optimalita Pareto, dan diragukan bahwa akhir dari penelitian tersebut adalah pemahaman.  Sesuai dengan hal ini, maka cocoklah pada

kesempatan kali ini hanya difokuskan pada hal-hal yang dapat menyebabkan  kesulitan besar dalam dunia nyata. Sayangnya kesulitan-kesulitan ini saling berhubungan satu sama lainnya dengan cara yang tidak selalu jelas.                            Perhatikanlah pertama-tama teknologi.                 Suatu asumsi yang kuat di sini adalah bahwa semua firma (usaha ekonomis) mempunyai perangkat peluang produksi yang konveks.  Dugaan-dugaan ini berarti bahwa peningkatan hasil  tidak dapat terus meningkat. Atau tidak boleh benar bahwa firma-firma yang lebih besar dapat menghasilkan produk  yang sama dengan satuan biaya lebih rendah dibandingkan dengan  firma yang relatif lebih kecil.                Pertimbangan ke dua ialah ketersediaan informasi. Produsen diasumsikan mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang teknologi yang tersedia.   Konsumer dianggap mengetahui barang dan jasa apa yang tersedia  dan juga karakteristiknya.  Akhirnya,  baik produsen maupun konsumen dianggap mengetahui seperangkat harga yang relevan.              Kondisi ke tiga  berkaitan dengan karakteristik barang dan jasa yang akan dihasilkan oleh sistem ekonomi.  Bukan hanya apakah diduga tidak ada barang publik seperti gelombang siaran radio atau gelombang televisi yang dapat dinikmati oleh seorang pendengar atau pemirsa melalui penerimaan, tanpa mengurangi ketersediaannya bagi orang lain; tetapi juga konsumsi barang atau jasa lainnya (yang doisebut barang privat) oleh sesuatu unit keputusan tidak dianggap berpengaruh secara langsung terhadap unit keputusan lainnya.  Sehingga walaupun efek sampingan diperkenankan,   dianggap tidak ada apa yang disebut oleh  para ahli ekonomi sebagai “eksternalitas non-pecuniary” . Orang harus memperhatikan  bahwa adanya  eksternalitas belum cukup untuk menyebabkan pasar mengalami kegagalan optimalitanya, tetapi adanya eksternalitas tersebut berarti  bahwa pencapaian optimalitas oleh mekanisme pasar tidak dapat dijamin.               Kondisi ke empat yang harus diperhatikan adalah tidak adanya kekuatan monopoli.  Pasar  bersilat kompetitif, sehingga pada kondisi-kondisi tertentu,  mampu mencapai Optimalita Pareto. Monopoli seringkali berhubungan dengan kondisi-kondisi lain yang dipertimbangkan. Misalnya, telah diketahui bersama bahwa salah satu kesulitan yang berhubungan dengna keuntungan yang semakin meningkat adalah emergensi monopoli. Demikian juga,  kekuatan monopoli initial kadang-kala dapat dipertahankan karena pengetahuan teknologis tidak selalu tersedia bagi semuanya dan  meskipun ia  dapat

dibuat tersedia, masih ada barier-barier bagi transmisinya dan adopsinya.              Semuanya ini mengasumsikan bahwa pasar bekerja atau dapat dibuat ada bagi semua orang. Sayangnya hal ini tidak selalu muncul menjadi kasus nyata.               Problematik yang berhubungan dengan Eksternalitas.               Efek terhadap manusia yang tidak berhubungan dengan suatu pengadaan atau aktivitas tertentu disebut eksternalitas. Istilah alternatifnya adalah “spill-over”, “efek eksternal”, atau “efek sosial”. Sementara literatur membedakan banyak macam eksternalitas namun ada dua tipe yang penting, yaitu eksternalitas teknologis (atau non-pecuniary) dan eksternalitas pecuniary (istimewa).              Pada saat memutuskan apakah membeli atau tidak membeli sesuatu barang, seseorang biasanya akan  mempertimbangkan kebutuhannya sendiri akan barang tersebut, harganya,  dan situasi anggarannya. Jarang sekali, dan umumnya hanya dalam kasus monopsoni saja, individu mempertimbangkan bahwa keputusannya untuk membeli barang/jasa dapat berkontribusi terhadap peningkatan kebutuhan produk tersebut dan oleh karena itu menyebabkan harganya meningkat. Biasanya, pengabaian ini dibenarkan, karena pembelian individual atas suatu komoditi merupakan fraksi yang demikian kecilnya dari total jumlah barang yang dijual, sehingga keputusan individu mempunyai dampak yang dapat diabaikan terhadap harga. Bagaimanapun keputusan individual mempengaruhi harga, bukan hanya seseorang, tetapi juga semua pembeli lainnya, akan mengakibatkan penurunan atau kenaikan harga.  Perubahan harga ini, yang disebabkan oleh keputusan-keputusan individu, disebut sebagai eksternalitas istimewa.  Kalau keputusan individu menyebabkan harga naik (kasus yang lazimnya berhubungan dengan peningkatan kebutuhan)  maka fenomenanya merupakan  suatu eksternal disekonomi yang pecuniary bagi konsumen lainnya. Apabila keputusan individu menyebabkan harga turun (seperti  yang dilukiskan dengan keputusan untuk menggabungkan kelompok perjalanan travel yang masih belum mencapai kapasitas penuh) fenomenanya disebut eksternal ekonomi yang pecuniary bagi konsumen lainnya.    

Memang, secera simetri, eksternalitas dis-ekonomi yang pecuniar  bagi konsumen  merupakan  eksternalitas yang pecuniar bagi produsen; dan eksternalitas ekonomis yang  pecuniar bagi konsumen akan merupakan eksternalitas dis-ekonomi bagi produsen.

               Hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa eksternalitas pecuniar, apakah ekonomis atau disekonomis,  tidak menimbulkan problem bagi ekonomi pasar.  Memang mereka merupakan bahan sentral dari tempat pasar.   Berubah-nya kebutuhan menyebabkan harga naik  atau turun; fluktuasi ini  menyediakan  pertanda esensial bagi tempat-pasar  untuk merotasikan  barang dan jasa secara efisien.              Eksternalitas teknologis  merupakan kasus yang berbeda. Kasus ini berhubungan dengan  efek-efek yang sifatnya langsung, selain perubahan harga, yang dapat ditimbulkan oleh satu unit keputusan terhadap  yang lain.  Dalam banyak kasus  eksternalitas teknologis dapat  mencegah mekanisme pasar untuk  berfungsi secara efisien, yaitu dengan menimbulkan alokasi yang Optimal Pareto. Dalam contoh-contoh kasus ini ada peluang bagi suatu kegiatan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan memperbaiki bagian seorang warga dengan tanpa mengorbankan bagian warga lainnya.               Suatu teladan adalah Pabrik Baja. Untuk maksud-maksud ekspository, bayangkan bahwa Pemerintah tidak mempunyai peraturan (ordonansi) pengendalian asap. Kemudian sesuai dengan proses produksi yang dilakukan, sejumlah asap  dapat  dibuang ke dalam atmo6fir sebagai limbah pabrik baja. Selama  produsen masih berminat dalam ''profit” (kebanyakan industri memang demikian ini) maka akan ada suatu insentif untuk memilih metoda produksi yang paling mengntungkan tanpa memperhatikan taraf pembuangan limbah  asap yang ditimbulkannya. Pengusaha pabrik  dapat memandang  pembuangan asap sebagai sumberdaya lain  yang menyokong  produksi baja.  Justifikasi untuk menerima pembuangan limbah sebagai suatu sumberdaya ialah bahwa reduksi pembuangan asap hanya dapat dicapai  dengan mengadopsi  suau alternatif (dan lebih mahal), metode produksi yang menghasilkan lebih sedikit asap atau dengan  menggunakan proses yang sama dengan menambahkan  sarana pengendalian asap. Kedua alternatif tersebut melibatkan penggunaan sumberdaya tambahan seperti tenaga kerja dan kapital.  Sumberdaya tambahan ini tidak bebas; karena tidak ada beban yang dikenakan bagi emisi asap ke dalam atmosfer , ada sedikit motivasi  untuk membatasi penggunaan sumberdaya yang disebut pembuangan asap.               Walaupun pembuangan limbah asap ke atmosfir dapat dipandang sebagai sumberdaya bebas oleh perusahaan, tentu saja bukan tanpa konsekwensi bagi penghuni-penghuni di masyarakat sekitarnya. Bukan hanya  asap dapat menyebabkan kerusakan eksterior bangunan dan peralatan-peralatan tertentu (yang tentu saja akan berarti  bahwa sumberdaya kompensasinya akan harus digunakan dalam upaya yang lebih intensif untuk membersihkan, memelihara dan

memperbaharui) , asap juga menyokong pembentukan kabut-asap yang mempunyai dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat, walaupun masih  belum didokumentasikan secara penuh. Dengan kata lain, bagi masyarakat luas secara keseluruhan pembuangan asap ke atmosfer bukan merupakan sumberdaya yang bebas.  Para ahli ekonomi menyebut situasi   dimana perusahaan tidak menanggung  seluruh biaya dari kegiatannya, dengan suatu ungkapan bahwa “biaya privat berbeda dengan biaya sosial”.               Hal penting yang harus dipertimbangkan tentang situasi yang   dijelaskan di atas ialah bahwa (tanpa beberapa perubahan institusional) produsen baja tidak mempunyai sesuatu selain daripada minat humanitarian yang mungkin sebagai imbangan bagi minat profitnya, yang membuatnya sadar bahwa pembuangan  limbah asap menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh tetangganya.               Memang asap industri bukan satu-satunya  penyebab timbulnya kabut-smog. Salah satu penyebab yang paling banyak disinggung pada saat ini i adalah  automobil.  Untuk memahami sifat dari motivasi-motivasi yang relevan , bayangkan  situasi sebelum regulasi yang mengharuskan pemasangan  alat pengendali kabut dalam semua mobil yang baru.  Jelaslah bahwa   kalau konsumen  memerlukan dan ingin membayar untuk sarana pengendalian kabut, industri mobil akan  mengembangkan dan menjual peralatan ini dengan cara yang sama seperti ia  menlensuplai  peralatan lainnya. Kecuali itu, kompetisi di antara pabrik-pabrik, asing dan domestik akan menjamin   perbaikan peralatan ini dengan waktu.  Sehingga semua yang akan diperlukan (disamping kesulitan-2 tehnisnya), untuk memenuhi suplai alat pengendali kabut  merupakan potensial profit.     Sayangnya tidak ada protit yang dapat diramalkan.                   Bayangkanlah untuk mencari argumentasi, bahwa industri otomotif telah mengembangkan suatu alat pengendalian kabut yang efektif dan tersedia sebagai perlengkapan pilihan wajib untuk semua mobil baru.  seseorang yang memutuskan apakah memesan atau tidak peralatan ini mungkin mempunyai alasan sbb:  Misalkan saya membeli alat pengontrol kabut untuk mobil saya, dan  setiap orang lainnya juga membelinya, maka kita akan mempunyai lebih sedikit kabut di kota.  Tetapi karena mobil saya hanya menambah sedikit saja problem kabut yang dapat diabaikan, maka kalau semua orang lainnya membeli peralatan pengendali kabut dan saya tidak membeli, maka kabut akan berkurang dengan jumlah yang hampir sama dan saya akan menghemat biaya untuk membeli peralatan tersebut.   Dengan demikian kalau semua orang lain  membeli peralatan  kabut, saya akan lebih baik kalau saya tidak memasangnya pada mobil saya.  Misalkan saja bahwa sekarang tidak ada orang lain yang membeli peralatan tersebut, maka

jelas akan terjadi problem kabut.  Akan tetapi kalau saya membeli peralatan tersebut, problematik kabut jelas tidak akan lebih baik dan saya akan harus mengeluarkan uang untuk membeli peralatan pengendali kabut.  Sehingga kalau tidak ada orang lain yang membeli  peralatan pengendali kabut, maka saya juga tidak boleh membelinya. ternyata analisisnya sama kalau beberapa orang  lain   membeli alat dan sebagian lainnya tidak membeli, karena kontribusi saya terhadap  kabut dapat diabaikan. Kesimpulan: Saya akan menjadi lebih baik , tidak peduli apa yang  dilakukan orang Iain, kalau saya tidak membeli alat pengendali kabut polutan.               Karena semua pembeli mobil baru potensial akan beralasan yang kira-kira  sama seperti  individu pewakil, maka akan terjadi kebutuhan nol    (zero demand)  terhadap alat pengendali kabut. Dalam kondisi tidak ada beberapa macam regulasi atau keputusan kolektif, pabrik otomotif tidak akan mempunyai motivasi untuk mengembangkan dan memasarkan alat pengendali kabut. Kesimpulan ini berlaku benar bila dan hanya bilamana setiap orang akan menjadi lebih baik kalau semua mobil dilengkapi dengan alat pengendali kabut. Untuk setiap calon  pembeli alat pengendali kabut , manfaat dari pembeliannya tersebut akan tersebar luas sedangkan biayanya akan terkumpul kepadanya.  Eksternalitas teknologis   yang berhubungan dengan asap mobil dapat mencegah pasar yang tidak diregulasi untuk  mengantarkan sistem kepada  Optimum Pareto.                  Untuk teladan lainnya,  perhatikan problem polusi Danau Ranau. Ahli biologis menerangkan bahwa  danau Ranau menjadi berwarna dan bahwa ia telah berumur tua 15.000 tahun   dalam pertengahan abad yang lalu.  Telah lama dipercaya bahwa   polusi danau Ranau terutama disebabkan oleh penumpukan limbah -limbah mentah dan limbah industri ke dalam danau.  Sumber utama  limbah mentah adalah sistem pembuangan limbah yang kuno, sebagian daripadanya merupakan gabungan sanitasi dan pemggelontor limbah sehingga aliran permukaan mengalir secara langsung ke dalam danau selama periode hujan.              Untuk sementara bayangkanlah bahwa seluruh problem  polusi disebabkan oleh limbah mentah , sehingga pengolahan (yang dirancang untuk mengusir bahan organik  yang kalau tidak  dibuang akan didekomposisi dalam danau melalui proses biologis yang dapat mengurangi kandungan oksigen air danau) dapat menyelesaikan problem polusi. Dilema yang sekarang terkenal akan bertindak untuk menghalangi penyelesaian pasar murni.  Setiap pemukiman atau distrik limbah hanya akan menikmati  sebagian manfaat dari usahanya sendiri untuk mengolah limbah, tetapi akan menanggung semua biaya

pengolahan limbah. Dengan menggunakan alasan yang sama seperti pelanggan yang mempertimbangkan untuk membeli suatu alat pengendali kabut, masing-masing akan sampai kepada keputusan rasional untuk terus membiarkan limbah mentah mengalir ke dalam danau walaupun semua pemukiman bersama-sama akan menjadi lebih baik kalau masing-masing memasang peralatan untuk pengolahan limbah.  Sehingga eksternalitas teknologis yang tercermin kembali oleh kegagalan untuk menerima manfaat penuh dari suatu pembiayaan guna pengolahan limbah (fakta bahwa unit pengambilan keputusan  tidak  menanggung seluruh biaya dari keputusannya untuk melakukan pengolahan dan membiarkan aliran limbah mentah)  mengakibatkan kegagalan penyelesaian pasar murni kecuali jika suatu insentif finansial untuk membayar keputusan yang berlawanan disediakan oleh  tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.                Pada kenyataannya  polusi Danau Ranau  merupakan fenomena yang jauh lebih kompleks daripada yang dinyatakan dalam pembahasan di atas. Bahkan setelah  perlakuan untuk mengusir bahan padatan yang tidak terdekomposisi dan untuk menghancurkan bahan organik sehingga limbah dibuang terutama sebagai produk anorganik, residuaI bahan anorganiknya mengandung banyak  nitrat dan fosfat yang kalau tidak digelontor ke laut akan cenderung tinggal dalam danau cukup lama untuk memupuk (menyuburkan) pertumbuhan alga yang selanjutnya akan menggunakan sejumlah besar oksigen yang terlarut dalam air. Dengan demikian perlakuan baku terhadap limbah terutana yang ditujukan kepada bahan organik tampaknya tidak mampu menyelesaikan problematik meskipun perlakuan tersebut telah dilakukan.              Diduga bahwa salah satu unsur hara esensial seperti fosfat harus disingkirkan dari limbah sehingga alga tidak tumbuh dengan suburnya. Sayangnya hampir dua pertiga dari fosfor dalam limbah pemukiman (perkotaan) yang kira-kira merupakan tiga-perempat dari  total limbah, berasal dari detergent. kalau ibu-ibu rumah tangga atau tukang cuci komersial mengetahui bahwa detergen yang digunakannya mempunyai sokongan penting terhadap polusi danau, yang barangkali tidak diketahuinya, akankah ada suatu insentif untuk mengekonomiskan penggunaan detergen atau untuk membutuhkan macam detergen baru yang kurang mengnadung fosfor? Juga muncul dilemma yang sangat terkenal. Bahkan kalau mereka menyadari tentang kontribusinya terhadap polusi, masing-masing dapat merasionalkan bahwa kontribusinya dapat diabaikan, sehingga keputusan rasional tentu akan mengabaikan situasi secara keseluruhan.   Dengan demikian pabrik-pabrik deterjen akan tidak mempunyai insentif untuk mencoba mengembangkan produk yang mengandung sedikit fosfor, sistem limbah

perkotaan tidak akan mempunyai lebih banyak insentif untuk mengusir material , akibatnya ialah bahwa penyelesaian pasar murni akan berupa terusnya polusi danau.               Juga adanya eksternalitas teknologis ini   (fakta bahwa yang menyebabkan pencemaran tidak menanggung seluruh biaya aktivitasnya) dapat menyebabkan mekanisme pasar menghasilkan alokasi sumberdaya yang tidak Optimal Pareto.                Kemungkinan suatu penyelesaian               Ilustrasi di atas menyatakan bahwa adanya eksternalitas teknologis dapat memaksa modifikasi-2  untuk menuntut efisiensi mekanisme pasar yang tidak diregulasi.   Hal ini harus diakui bahwa problem-2 yang ditimbulkan oleh  eksternalitas teknologis adalah sangat membingungkan. Baru beberapa tahun yang lalu,   para ahli ekonomi mungkin telah memikirkan bahwa suatu penyelesaian yang memadai tersedia,  tetapi konsensus sekarang ini   telah menjadi kabur kembali. Sebagai gantinya orang dapat menemukan bahwa berbagai ragam penyelesaian telah dikemukakan oleh berbagai orang (kebanyakan pula bukan ahli ekonomi) dan banyak  dari penyelesaian-2 ini telah dicobakan  atau diimplementasikan dalam situasi-2 tertentu.              Diduga bahwa suatu penyelesaian yang universal mungkin diketemukan terdapat dalam banyak diskusi dan analisis eksternalitas teknologis dalam pustaka. Sehingga, usulan-usulan seringkali diperlakukan seolah-olah  mereka diusulkan untuk menjadi “penyelesiaan problem eksternalitas teknologis”.     Sayangnya kepercayaan ini masih  belum ditetapkan dan barangkali tidak ada penyelesaian sederhana  dan dapat diterima secara universal terhadap problematik. Barangkali, paling tidak untuk masa mendatang yang dapat diperkirakan, masyarakat kita mempunyai alternatif untuk mencari penyelesaian yang pragmatis terhadap problematik.               Sesuai dengan hal tersebut, perlu untuk memeriksa berbagai usulan penyelesaian yang pernah diusulkan. Secara spesifik kita memandang situasi sebagai sesuai yang dapat diakomodasikan secara konseptual untuk analisis biaya-manfaat. Semua usulan penyelesiaan telah  menghubungkan biaya dan manfaat. Penekanan adalah mengidentifikasikan penyelesiaan mana yang paling sesuai bagi suatu situasi tertentu. Diharapkan bahwa  pembahasan berikut ini akan berguna bagi maksud-maksud yang tersebut di atas.                Penyelesaian dengan Larangan 

              Kalau kita yakin babwa kegiatan kolektif diperlukan untuk mengoreksi gangguan/pelanggaran yang disebabkan oleh suatu eksternatitas  teknologis, dorongan pertama ialah melarang kegiatan yang menimbulkan gangguan tersebut.  Setelah semuanya ini, kalau penciptaan eksternalitas dilarang, apakah - sistem pasar tidak akan mengantarkan ekonomi ke posisi Optimal pareto ?              Walaupun kegiatan ini mula-mula tampak sebagai himbauan, ia mempunyai sedikit pemikiran untuk merealisasikan larangan sederhana terhadap aktivitas-2 yang menimbulkan eksternalitas teknologi, ini merupakan pendekatan yang buruk. ternyata orang tidak dapat dengan serius mengusulkan bahwa pemilik mobil berhenti mengendarai mobil ,  bahwa pabrik baja berhenti berproduksi, atau bahwa  pemukiman kota  berhenti  membuang-limbahnya. akan tetapi beberapa orang-dapat menyimpulkan bahwa kita harus mempunyai air bersih sempurna atau udara bersih sempurna , sehingga diperlukan perlakuan penuh terhadap effluent (limbah).               Akan tetapi kesimpuIan tersebut kehilangan hal-hal yang fundamental.  Optimalita tidak mensyaratkan untuk mengeliminir eksternalitas secara lengkap. Sebagai gantinya, optimalitas mensyaratkan bahwa eksternalitas ada dalam jumlah yang tepat.               Perhatikanlah kasus pencemaran air.                              Proses-proses biologis alami yang berlangsung dalam danau dan sungai-sungai memberinya suatu kemampuan tertentu untuk membersihkan diri-sendiri. Kalau tidak ada limbah mentah yang mengalir ke dalam air ini,  maka kemampuan aIami ini tidak akan digunakan.  Akan tetapi dari sudut pandang ekonomi , kemampuan alami ini merupakan suatu sumberdaya yang tersedia untuk dimanfaatkan dalam produksi barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia.   Dalam  menetapkan taraf  kualitas air yang diperlukan, manfaat-manfaat  air yang lebih bersih harus seimbang dengan biaya untuk mendapatkannya.  Kecuali itu, kemampuan asimilatif dari suatu tubuh air selalu dapat digunakan apabila terjadi efek sampingan yang merugikan.               Polusi Udara merupakan teladan yang serupa. Adalah sangat mahal untuk mencegah masuknya suatu polutan ke dalam udara bebas. Selanjutnya, tidak ada alasan  untuk tidak menggunakan kemampuan alami atmosfer untuk menyerap polutan. Polusi udara dikatakan terjadi  kalau kemampuan  alami ini terlampaui.              Teladan- teladan di atas telah mengisyaratkan bahwa larangan yang tegas terhadap sebab-sebab eksternalitas teknologis hampir pasti mencegah tercapainya Optimalita Pareto.  Suatu taraf eksternalitas

yang  tepat, belum tentu sama dengan nol, masih diperlukan untuk     mencapai optimalitas.  Sehingga dalam kasus polusi air suatu penyelesaian Optimal Pareto dalam kenyataannya dapat berarti beberapa pengrusakan kualitas air di  sungai-sungai tertentu dan mungkin juga kerusakan secara lengkap  kualitas air dalam sungai yang lain.                Penyelesaian dengan Direktif (Arahan)                            Setelah memahami bahwa  problem yang dihadapi adalah menerima (memperbolehkan)  sejumlah eksternalitas teknologis , maka diusahakan untuk  menunjukkan /mengusulkan bahwa pemerintah memutuskan berapa banyak  eksternalitas boleh ada.  Prosedur ini akan melibatkan, misalnya,  determinasi pemerintah tentang sampai dimana pemukiman sekeliling Danau Ranau harus mengolah limbahnya dalam bentuk misalnya  persentase bahan organik yang dihilangkan,  kandungan fosfor;  dan penataan suatu batas kuantitas absolut di atas mana limbah harus dibersihkan secara lengkap. Serupa dengan itu, dalam teladan polusi udara pemerintah harus menetapkan berapa banyak asap suatu pabrik diperbolehkan dilepaskan ke atmosfir bebas.                 Ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh Prosedur ini . Pertama-tama adalah problem penentuan berapa banyak eksternalitas masih diperlukan.  Pertanyaan ini berhubungan dengan problem penetapan  baku mutu secara keseluruhan. Pada prinsipnya hal ini dapat dikerjakan dengan pembobotan secara hati-hati biaya-biaya dan manfaat-manraat.   Untuk lebih spesifik perhatikan juga teladan polusi   di danau Ranau. Misalkan bahwa biayanya akan sebesar  50 juta dolar per tahun operasi untuk mengolah limbah hingga batas tertentu supaya polusi dalam danau dapat menurun dari taraf yang sekarang ini.  Walaupun manfaat yang akan diperoleh dari  danau Ranau yang tidak tercemar mungkin snagat besar, namun agak meragukan bahwa manfaat tersebut dapat bernilai sekitar 50 juta dolar per tahun. JeIas dalam kasus ini biaya akan melampaui manfaat.  Dengan demikian keputusan rasional akan mentolerir taraf polusi yang  bahkan lebih tinggi dan tidak meningkatkart taraf pengolahan limbah.  Pada sisi lain, bayangkan bahwa  semua limbah dapat diolah dengan suatu peningkatan anggaran tahunan sebesar lima dolar.  Jelas manfaat tahunan dari danau yan tidak tercemar akan melampaui nilai  ini, sehingga baku mutu harus ditetapkan untuk mendorong  perlakuan limbah total. akan tetapi di antara ke-dua ekstrim ini  komputasinya menjadi sangat sulit.   Kesulitan-kesulitan untuk menentukan manfaat yang berhubungan dengan  berbagai  deraJat polusi  hampir tidak teratasi.  Oleh karena itu harus ada banyak sekali “kesuka-relaan” dalam

menetapkan baku mutu secara keselurunan.  Problem lain, yang dilupakan dalam pembahasan di atas adalah tidak adanya pemahaman yang lengkap tentang ekologi danau, dalam hal ini masih  ada beberapa ketidak-pastian tentang  efek perlakuan terhadap polusi .              Meskipun baku mutu yang menyeluruh dapat ditetapkan dengan menghadapi kesulitan-2 tersebut di atas, tetapi tentu masih ada kesulitan lainnya.  Baku mutu yang menyeluruh harus diterjemahkan ke dalam  arahan-arahan bagi masing-masing unit aktivitasyang melepaskan polutan. Pada prinsipnya arahan harus mewujudkan efektivitas marjinal  pembelanjaan dolar terakhir untuk pengolahan limbah harus sama  bagi setiap penyebab polusi. Dalam praktek efektivitas marjinaL pembelanjaan dolar untuk mengolah limbah tidak dapat ditentukan secara tepat untuk suatu penyebab polusi (poluter)  tertentu karena ia terqantung pada  kebijakan yang dianut oleh  poluter Iainnya.  Sehingga pada taraf ini juga terjadi “kesembarangan” atau “kesuka-relaan”.              Dalam kasus polusi udara , implementasi prosedur justru lebih sulit lagi, walaupun prinsip-prinsip yang sama masih terlibat. Baku mutu masih harus ditetapkan  dengan memboboti dan membandingkan manfaat dan biaya dari  berbagai alternatif.  Akan tetapi, derajat “kesembarangan” lebih besar karena masih jauh lebih sedikit  yang diketahui tentang hubungan antara taraf polusi udara dengan kesehatan penduduk,  kalau dibandingkan dengan ekologi sungai. Juga ada komplikasi bahwa di kebanyakan daerah urban  jumlah polutan yang dapat dibebaskan ke dalam  atmosfer  untuk suatu baku mutu tertentu tergantung kepata kondisi cuaca dan pola angin yang ada.              Komentar  di atas tidak dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa pengendalian eksternalitas dengan arahan tidak tepat. Tujuan kita adalah untuk menegaskan  beberapa kesulitan yang berhubungan dengan prosedur.  Kita mungkin dapat menambahkan bahwa prosedur ini juga melibatkan biaya atministratif bagi kebijakan arahan, yang tidak dapat diabaikan dalam evaluasinya.                Penyelesaian dengan Kegiatan Voluntir (Sukarela)               Beberapa pihak beralasan bahwa  kegiatan kolektif tidak diperlukan untuk mengoreksi  penyelesaian pasar kalau  terdapat eksternalitas teknologis. Seringkali telah ditekankan bahwa ada pinak-pihak (sektor) privat  untuk  bertindak mengoreksi situasi dengan berbagai metode. Dua macam metode yang sering dibahas adalah “SUAP” dan “MERGER”.              Perhatikan juga teladan produsen baja, yang tidak dikontrol oleh peraturan pengendalian asap, membuang asapnya ke atmosfer.  

              Pemahaman di muka menyatakan bahwa situasi ini secara potensial  menimbulkan divergensi antara biaya privat dengan biaya sosial atau  antara manfaat privat dan manfaat sosial dari produksi baja. Untuk menghindari efek buruk dari pembuangan asap,  masyarakat mungkin dapat memilih untuk menyuap produsen baja guna mengurangi atau menghentikan pembuangan asap ke atmosfir.  Rasional bagi perilaku ini ialah bahwa  selama jumlah suap yang diperlukan  untuk mendorong               Pabrik baja mereduksi pembuangan asapnya lebih kecil daripada kerusakan yang diderita oleh masyarakat, maka masyarakat akan menjadi lebih baik dengan membayar suap.  Memang,  masyarakat bertindak rasional dalam minatnya sendiri tidak akan pernah menawarkan suap yang besarnya melampaui  nilai kerusakan yang ditimbulkan oleh pembuangan asap.  Produsen baja akan (selanjutnya) menerima atau   menolak suap sesuai dengan  minat terbaiknya. Oleh karena itu kalau besarnya suap melampaui jumlah yang akan diperlukannya untuk  mereduksi pembuangan asap, maka ia akan menerima  suap dan  mereduksi pembuangan asapnya hingga taraf yang diperlukan.              Kalau biayanya terlalu besar maka ia akan menolak. Dalam suatu kasus, ukuran kuantitatif kerusakan yang diderita oleh masyarakat akibat asap harus disajikan kepada pabrik  dengan cara sedemikian rupa agar supaya ia mengenali nilai-nilai ini pada saat memutuskan berapa banyak asap yang dibuang ke atmosfir. Kecuali itu, berapapun taraf akhir pembuangan asap , maka taraf ini akan menjadi   Optimal Pareto kalau ada suatu tawar-menawar yang sempurna.              Orang dapat beralasan sbb: Penerimaan suap oleh pabrik menyatakan bahwa ia paling tidak sama baik dengan sebelumnya, sementara pembayaran suap oleh masyarakat menyatakan bahwa  ia paling tidak sama baik dengan sebelumnya. Oleh karena itu situasi akan diperbaiki. Kalau tawar-menawar (bargaining) sempurna , suatu penyimpangan dari posisi yang disetujui hanya akan memperbaiki posisi salah satu bagian (sektor)  dengan mengorbankan sektor lain.                Juga benar bahwa penolakan suap oleh pabrik, pada kondisi bargaining yang sempurna , akan mengakibatkan penyelesaian Optimal Pareto. Dengan menolak suap , pabrik akan mempertimbangkan bahwa nilai suberdaya ini (pelepasan asap ke atmosfer) lebih besar baginya daripada bagi masyarakat.              Metode untuk menghindari  suatu divergensi antara biaya privat dan biaya sosial yang dijelaskan di atas merupakan voluntir murni dan kalau bargainingnya sempurna akan mengakibatkan alokasi sumberdaya secara Optimal- Pareto.    Dalam kondisi tidak ada pertimbangan distribusional,   akan tampak menjadi cara yang ideal

untuk menyelesaikan problematik . Sayangnya  bargaining tidak sempurna dan ada beberapa penghalang untuk menggunakannya secara luas.              Kesulitan pertama berhubungan dengan valuasi kerusakan asap yang diderita oIeh  masyarakat.  Cara paling langsung untuk memperkirakan kerusakan ialah menanyai masing-masing  anggota masyarakat berapa banyak ia ingin senyokong suap yang akan diberikan kepada pabrik. Pada prinsipnya setiap individu akan ingin menyokong sejumlah yang akan ia belanjakan untuk nenghindari keruskaan akibat asap dengan sarana lain.  Sayangnya, individu akan merealisasikan bahwa kalau ia tidak menyokong sesuatu kepada suap, tetapi yang lainnya menyokong jumlah positif dan penanganan asap akan dilakukan, ia akan menikmati manfaat penanganan asap tanpa mengeluarkan biaya sendiri.  Kalau  semua anggota masyarakat mengadopsi perilaku ini,  maka tidak ada suap yang  ditawarkan dan rencana akan gagal.  Dengan kata lain, fakta bahwa  manfaat dari penyembuhan asap didistribusikan  ke banyak individu  merintangi realisasi kegiatan kolektif masyarakat yang diperlukan.               Kesulitan ke dua dari prosedur suap ialah bahwa  ia memerlukan/mensyaratkan masyarakat mengetahui semua metoda yang tersedia untuk mengolah baja, karena ini semua berhubungan dengan  pengendalian asap, dan  biaya-biaya yang berkaitan dengannya sehingga mereka dapat mencegah pabrik untuk tidak  mengalami penipuan. Perhatikanlah (untuk menjelaskan hal ini) misalnya bahwa setelah suap diterima oleh pabrik, kebutuhan akan baja meningkat dan output naik. Sekarang produsen dapat berargumentasi secara formal bahwa suap yang lebih besar diperlukannya untuk mempertahan taraf pembuangan asap yang disetujui sebelumnya.  Kecuali jika masyarakat cakap terhadap   teknologi pembuatan baja, maka ia tidak dapat diyakinkan bahwa pabrik tidak memperluas outputnya lebih banyak daripada jumlah optimal dalam kondisi tanpa suap. Sehingga rencana yang tampaknya  ideal untuk menghindari divergensi antara biaya privat dan biaya sosial  ditunggangi oleh kesulitan-kesulitan dalam implementasinya.               Rencana voluntir  lainnya untuk menginternalisasikan eksternalitas-non-peculiar,  bebas dari beberapa kesulitan implementasi yang disinggung di muka, merupakan penggabungan (fusi, merger) dari sektor-sektor yang terlibat  apabila fusi tersebut merupakan kemungkinan yang layak.  Untuk menjelaskan bagaimana prosedur ini dapat bekerja, perhatikanlah situasi berikut: Suatu perusahaan membuang limbah yang membahayakan kehidupan ikan ke dalam sungai. Asumsikanlah  selanjutnya bahwa  usaha perikanan  beroperasi di sebelah bawah dari perusahaan tersebut.  Apabila tidak ada suatu

peraturan pemerintah maka perusahaan yang di atas akan membuang limbah  ke dalam sungai tanpa memperhatikan kerusakan (menurunkan tangkapan atau ikan tercemar) yang diderita oleh usaha perikanan.  Apakah perusahaan di atas dan usaha perikanan  bergabung di bawah pemilikan tunggal, maka minat terbaik perusahaan paduan tersebut adalah mempertimbangkan kehilangan yang diakibatkannya dengan bantuan ke daerah bawah sebagai konsekwensi dari  kegiatan perusahaannya di atas. Perusahaan patungan (gabungan) harus menyeimbangkan  biaya pembuangan limbah perusahaan di atas dengan  sarana lain selain dari membuang limbah ke dalam sungai, melawan biaya yang ditanggung oleh usaha perikanan di bagian bawah sebagai akibat dari  limbah yang dibuang ke dalam sungai, kalau ia harus memaksimumkan  keuntungan gabungan dari kedua macam operasi.  Karena, dalam teladan sederhana ini, Optimalita Pareto sesuai dengan maksimisasi profit gabungan oleh dua sektor maka penggabungan (merger)  akan menjamin alokasi sumberdaya secara Optimal Pareto, yang dalam hal ini adalah sungai. Perlu juga  diperhatikan bahwa  profit dari  perusahan gabungan akan selalu  paling tidak sama besar dengan profit dua perusahaan yang dijumlahkan.  Alasan bagi hal ini ialah bahwa perusahaan yang digabung  selalu mempunyai pilihan untuk mengadopsi kebijaksanaan yang mengoperasikan dua perusahaan secara terpisah. Perbedaan antara profit perusahaan gabungan dan profit-profit perusahaan-perusahaan yang dijumlahkan  mencermnkan kehilangan bagi masyarakat akibat dari adanya eksternalitas yang non-pecuniary.               Dua macam kesulitan pada penyelesaian fusi dapat dikemukakan. Pertama, adalah pertimbangan praktis bahwa sektor-sektor harus menjadi perusahaan.  Kesulitan ke dua ialah  bahwa fusi hanya layak kalau tidak terlalu banyak sektor yang terlibat.               Kalau banyaknya unit-unit pengambilan keputusan yang berkonsolidasi semakin banyak, maka peluang untuk terjadinva fusi semakin kecil. Hal ini karena menjadi semakin sulit untuk membujuk partisipan-partisipan potensial bahwa ia berada dalam minatnya yang terbaik untuk berfusi membentuk koalisi kalau partisipan semakin banyak. Unit-unit individual   dapat menemukan dirinya menguntungkan apabilamemasuki koalisi dalam rangka untuk mengekstraks sebagian yang lebih besar dari profit gabungan  dari  kesatuan-kesatuan (sektor) yang bergabung. Pertimbangan yang lebih praktis melibatkan peningkatan kesulitan koordinasi dan komputasi dengan banyak partisipan; menjadi semakin sulit bagi kesatuan yang berfusi untuk merealisasikan tambahan keuntungan potensialnya. Namun kesulitan lainnya ialah bahwa suatu unit gabungan menjadi cukup besar untuk menimbulkan suatu gangguan alokasi sumberdaya melalui  kekuatan

monopoli atau monopsoni. Dalam kasus ini, kehilangan sebagai akibat dari adanya eksternalitas non-pecuniary harus dipertimbangkan versus kehilangan yang diderita masyarakat  akibat gangguan alokasi sumberdaya yang ditimbulkan oleh pasar kompetitif.               Penyelesaian dengan Pajak dan Subsidi               Kalau pengaturan voluntir di antara unit-unit yang terpengaruhi oleh eksternalitas  non-pecuniar tidak praktis atau tidak lancar,  maka tindakan pemerintah secara kolektif dapat diterima. Dalam pustaka ekonomi, bentuk klasik dari intervensi pemerintah dalam situasi ini ialah pembayaran subsidi kepada unit-unit yang kegiatannya menimbulkan eketernalitas  ekonomi terhadap unit lainnya, dan memungut pajak dari unit-unit usaha yang kegiatannya menimbulkan eksternal dis-ekonomi terhadap unit lain.  Pada hakekatnya, ideanya ialah  mendorong aktivitas-aktivitas yang mensuplai “barang umum” dan menghambat unit aktivitas yang mengkonsumsi  “barang umum (public goods)”.               Untuk menjelaskan bagainana rencana ini bekerja , perhatikan kembali teladan perusahaan di hulu Sungai dan usaha perikanan  di muara sungai. Misalkan badwa  limbah yang dibuang ke dalam sungai oleh perusahaan tersebut menyediakan makanan  bagi ikan di sungai dan oleh karenanya menguntungkan usaha perikanan.  Karena, secara hipotesis, negosiasi voluntir oleh pihak-pihak yang terlibat diatur di sini, maka usaha perikanan tidak mempunyai jalan untuk mengkomunikasikan besarnya manfaat yang ia dapatkan dari  limbah perusahaan di hulu sungai. Oleh karena itu banyaknya makanan yang disediakan kepada  ikan mungkin tidak ideal. Dalam kasus ini, suatu subsidi pemerintah kepada  perusahaan karena pembuangan limbahnya pada prinsipnya dapat dianjurkan untuk mencapai hasil yang diperlukan.              Demikian juga , kalau limbah yang dibuang berbahaya bagi kehidupan ikan, maka pada prinsipnya suatu pajak dapat  dikenakan kepada perusahaan  yang menyebabkan kerusakan yang dideritaoleh perikanan.               Kita telah menekankan secara prinsip sifat dari kesimpulan ini karena banyak persyaratan informasional yang diperlukan untuk implementasi rencana inl. Sedikit refleksi akan membuatnya tampak bahwa agen pemerintah yang mengenakan pajak atau menyediakan subsidi  akan perlu mengetahui teknologi produksi dari semua unit usaha yang terlibat. Pada hakekatnya, agensi pemerintah akan harus menyelesaikan problem  yang sama hingga pimpinan dari perusahaan yang digabungkan puas. Mereka akan harus mengetahui pengaruh pembuangan limbah terhadap kehidupan ikan sehingga pajak atau subsidi dapat dikenakan yang akan dapat mengakibatkan jumlah

pembuangan limbah yang tepat.  Daripada mengissukan urutan kuantitas masing-masing produk yang akan disubsidi untuk memaksimumkan profit gabungan (suatu praktek yang dapat diikuti oleh eksekutif perusahaan gabungan), agensi pemerintah akan berusaha untuk mencapai hasil-hasil yang sama sesuai dengan rencana ini dengan jalan menentakan pajak atau subsidi yang tepat.  Informasi yang tersedia bagi pimpinan perusahaan gabungan jarang yang tersedia bagi agensi pemerintah di luar perusahaan. Sebagian dari informasi ini memang dapat tersedia dan memungkinkan  (dari segi biaya) untuk mendapatkan informasi tambahan.              Banyaknya informasi yang diperlukan juga tergantung pada sifat teknologi produktif yang terlibat. Lebih sedikit informasi diperlukan oleh agensi demi keberhasilan implementasi rencana pajak-subsidi kalau teknologi produktif yang melandasinya bersifat dapat dipisahkan atau aditif, daripada kalau tidak demikian. Misalnya, kalau biaya untuk memproduksi produk perusahaan yang terletak di hulu sungai dan biaya pengolahan limbah bersifat adetif, maka pajak atas limbah hanya tergantung pada banyaknya limbah yang dibuang. Memang persyaratan informasional menjadi semakin menumpuk banyak kalau jumlah unit ekonomis yang terlibat juga semakin banyak.               Meskipun ada semua kesulitan ini, suatu upaya untuk mencapai alokasi sumberdaya yang optimal dengan pajak atau subsidi dapat ditetapkan kalau kehilangan masyarakat akibat adanya eksternalitas non-peculiar cukup besar.                 Pada hakekatnya apa yang harus diseimbangkan dalam situasi ini adalah biaya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan lawan kehilangan masyarakat kalau tidak ada sesuatu yang dikerjakan atau  kalau kebijakan lain yang diikuti.                                    Penyelesaian dengan regulasi               Tindakan kolektif lain yang seringkali diusulkan adalah regulasi oleh pemerintah. Misalnya, instansi pemerintah yang bertanggung-jawab terhadap fakta bahwa  mobil-mobil menyokong polusi udara di kota-kota, harus membatasi pilihan konsumen dengan jalan mensyaratkan bahwa semua mobil baru dilengkapi dengan sarana yang dirancang untuk mereduksi taraf polutan dalam limbah gasnya. Regulasi ini ternyata memungkinkan untuk melepaskan diri dari dilema yang dibahas sebelumnya dimana perhitungan rasional akan menyebabkan konsumen untuk tidak membeli peralatan pengendali.              Regulasi juga mempunyai implementasi kesulitan yang berhubungan dengannya. Dalam kasus automobil, misalnya saja, ada ketidak-pastian tentang apakah peralatan tersebut akan efektiof dalam

mereduksi pembuangan polutan, terutama kalau mobil menjadi semakin tua. Juga ada problem-problem pengamanan peraturannya. Misalnya ada spekulasi bahwa kalau peralatan tersebut efektif dan polutan tetap dijaga dalam mesin dan tidak dilepaskan ke dalam atmosfer , maka umur hidup mesin mungkin akan diperpendek dan reparasi akan harus sering dilakukan.               Ini merupakan biaya regulasi yang bersama dengan biaya peralatan , harus dipertimbangkan lawan manfaat yang mungkin diperoleh yang agiak sukar dihitung. Kalau peralatan mempunyai efek yang diantisipasikan terhadap mesin, maka setiap pemilik mempunyai insentif untuk melakukan tindakan yang akan mempertahankan peralatan yang tidak efektif dan karenanya meningkatkan umur hidup mesin serta mengurangi biaya reparasi.                 Tentu saja, pemilik tidak dapat diharapkan untuk menjaga peralatan dalam kondisi bekerja dengan baik, atau untuk mereparasinya kalau telah rusak, karena tindakan ini tidak akan menjadi mintnya sendiri. Oleh karena itu regulasi tidak dapat diharapkan untuk berhasil mengurangi polusi udara, meskipun peralatan bekerja, kecuali jika ia dibarengi dengan praktek yang secara periodik memeriksa semua mobil dan dan mensyaratkan bahwa peralatan polusi dijaga dalam keadaan dapat bekerja dengan baik.              Pembahasan ini akan menyatakan bahwa  penyelesaian  dengan regulasi tidak sesederhana yang dibayangkan semula. Biaya administratif pengamanan regulasi adalah relevan dan tidak dapat diabaikan. Fakta bahwa penyelesaian regulasi tentu  tidaklah fleksibel. Banyak dari  kendaraan bermotor dioperasikan untuk sebagian besar waktunya di daerah pedesaan dimana polusi udara masih belum menjadi problem.  Idealnya, mobil-mobil  yang beroperasi di daerah seperti ini tidak perlu mempunyai alat penyaring polutan sehingga kemampuan alamiah atmosfir untuk menyerap sejumlah tertentu polutan dapat dimanfaatkan.   Ternyata tidak mungkin untuk mendisain  regulasi-regulasi yang akan dapat menangani hal yang ideal ini karena mobilitas motor sangat tinggi dan juga kepadatan populasi yang mobilitasnya tinggi.  Penyelesaian dengan regulasi ternyata tidak mampu mengantarkan sistem kepada penyelesaian Optimal Pareto  untuk banyak eksternalitas, karena regulasi itu sendiri  tidak fleksibel.                Penyelesaian dengan Pembayaran  Upah / Hadiah               Salah satu jalan coba-coba untuk mengakomodasikan sistem pasar pada kondisi eksternalitas teknologis ialah menyediakan insentif finansial bagi  tindakan-tindakan penting yang dilakukan.  Misalnya dalam hal pencemaran Danau Ranau, salah satu problemnya diduga

disebabkan oleh  sistem limbah kuno Kota XYZ yang menggabungkan saluran sanitasi dan air hujan.  Kapasitas yang terbatas dari fasilitas  pengolahan limbah untuk menjangkau sesuatu di luar batas rataan curah hujan menyebabkan limbah mentah mengalir langsung memasuki danau.   Walaupun tentu juga menyokong pada pencemaran Danau Ranau, penduduk Kota XYZ tidak mau menanggug sepenuhnya biaya sitem pembuangan limbahnya yang masih kuno  karena ada juga orang  di luar Kota XYZ yang juga menggunakan danau.  Oleh karena itu orang lain juga menanggung sebagian dari biaya pencemaran, termasuk sebagian epencemaran yang ditimbulkan oleh sistem pembuangan limbah Kota XYZ.   Memang, apa yang benar untuk Kota XYZ juga benar untuk kota-kota lainnya di area danau.  Karena setiap unit usaha  tidak menanggung biaya sepenuhnya dari kontribusinya terhadap pencemaran, maka tidak satupun dari mereka yang mempunyai cukup insentif  untuk menyembuhkan situasi.  Kebijakan penyembuhan yang mungkin adalah untuk  suatu taraf pemerintah yang lebih tinggi, misalnya, pemerintah pusat ,  untuk menyediakan insentif seperlunya.  Subsidi pemerintah pusat untuk kapital  bagi perbaikan fasilitas pembuangan limbah mungkin dapat menjadi motivator.               Kesulitan utama dari  kebijakan ini adalah “kementahannya” . Tidak mudah menyediakan koordinasi yang tepat  bagi semua unit yang relevan da dalam sistem yang relevan.   Keterbatasan lain dari kebijakan  ini ialah  bahwa ia hanya cocok  untuk macam eksternalitas dimana biaya kapital merupakan satu-satunya kendala bagi perbaikan situasi.                 Penyelesaian dengan  Tindakan               Kadangkala ada tindakan sederhana dan langsung yang dapat dilakukan untuk meringankan efek eksternalitas. Barangkali teladan yang paling jelas menyangkut masalah usaha perikanan. Perhatikanlah suatu danau atau sungai dimana banyak orang yang datang untuk  menangkap ikan.  Di luar batas tertentu aktivitas penangkapan  ikan ini akan mengakibatkan populasi ikan di masa mendatang terancam  bahaya.  Sehingga kalau seorang nelayan melakukan penangkapan, ia dapat mempengaruhi populasi ikan  di masa mendatang dan mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan profit nelayan-nelayan di masa mendatang.    Nelayan secara individual tidak mempunyai insentif untuk memperhatikan dampak dari aktivitasnya terhadap  nelayan lainnya.  Memang dalam kasus yang ekstrim , populasi ikan dapat menjadi punah. 

              Penyembuhan yang segera untuk situasi ini ialah bagi pemerintah untuk secara kontinyu menaburkan benih ikan ke Danau atau sungai sehingga populasi ikan tidak pernah  menurun hingga melampaui batas ambang yang membahayakan.   Eksternalitas kemudian dapat dieliminir dengan tindakan langsung ini. Tentu kebijakan ini mempunyai banyak kelemahan sehingga aplikasinya sangat terbatas.                PENUTUP               Jelaslah sekarang bahwa belum ada menu kebijakan menyeluruh yang dapat dibentuk untuk menangani problem-2 yang disebabkan oleh eksternalitas teknologis.  Tidak satupun dari kebijakan -kebijakan ini secara terpisah,  pada tingkat pengetahuan kita sekarang ini, yang tampak sempurna.  Juga kita tidak percaya bahwa salah satu dari kebijakan ini mampu menangani setiap eksternalitas teknologis.  Sehingga diargumentasikan di sini  bahwa kebijakan-kebijakan harus dirancang sesuai dengan situasi-2 khusus dan apa yang terbaik bagi suatu tipe eksternalitas mungkin saja tidak tepat untuk yang lainnya.                Alat analisis biaya-manfaat tampaknya menyediakan prospektif yang cocok. Dalam situasi tertentu , pengambil kebijakan harus memperhatikan problem dan membayangkan aplikasi pendekatan alternatif baginya.   Prinsip pemilihannya sendiri sederhana. Masing-masing kebijakan (termasuk tidak melakukan sesuatu)  akan mempunyai biaya dan manfaat yang berhubungan dengannya. Pengambil kebijakan harus memilih serana implementasi yang menghasilkan manfaat neto terbesar.