PERAN PEMUKA AGAMA DALAM MEMELIHARA...
Transcript of PERAN PEMUKA AGAMA DALAM MEMELIHARA...
PERAN PEMUKA AGAMA DALAM MEMELIHARA KERUKUNAN:
STUDI KASUS HUBUNGAN ISLAM DAN KATOLIK DI DESA PABIAN
KABUPATEN SUMENEP
Tesis
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh
Wasil
NIM: 21130321100021
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
KONSENTRASI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis berjudul 6'PERAN PEMIIKA AGAMA DALAM MEMELIHARAKERUKUNAN: STI-IDI KASUS HUBUNGAN ISLAM DAN KATOLIK DI DESAPABIAN KABUPATEN SUMENEP" telah disahkan oleh tim penguji pada tanggal27 Aptll2018.
Tim Penguji
Ketua Tim Penguli
fit\V"Dr. Atiyatul UIya" M.Ae.NIP. 19700112 199603 2 001
Prof. Dr. M. Ridwan Lubis" M.A.NrP. i 9410109 t977A3 I A02
Anggota,
Maulana. M.Ag.NrP. 19650207 199903 1 001
Penguji II(
@Dn M. Amin Nurdin, M.A.NIP. 19550303 198703 1 003
Pembimbing II
r 129 199403
'. Media Zainul Bahri. M.A.NrP. 1975r0r9 200312 1 003
Nama Lengkap
Tempat, Tanggal Lahir
NIMProgram Magister
Program Studi
Konsentrasi
Judul Tesis
LEMBAR PERI{YATAAN
Wasil
04 Maret 1986
21130321 1 00021
(Strata 2) Fakultas Ushuluddin
Perbandingan Agama
Kerukunan Umat Beragama
Peran Pemuka Agama Dalam MemeliharaKerukunan: Studi Kasus Hubungan islam danKatolik Di Desa Pabian Kabupaten Sumenep
Dengan ini saya menyatakan bahr.r'a:
1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh strata dua (S2) di UIN Syarif HidayatullahJakarla.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil .iiplakan dari karya orang lain, maka saya bersediamenerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
04 Maret 2018
Wasil
i
ABSTRAK
Tesis dengan judul “Peran Pemuka Agama Dalam Memelihara
Kerukunan: Studi Kasus Hubungan Islam dan Katolik Di Desa Pabian
Kabupaten Sumenep” ini merupakan penelitian kualitatif yang deskriptif-analitis
dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Sebuah pendekatan yang digunakan
peneliti untuk memahami interaksi umat Islam dan Katolik di Desa Pabian yang
berjalan harmonis dan penuh kerjasama. Dan kemudian bagaimana pola-pola
interaksi itu dipengaruhi dan dilandaskan atas dasar pemahaman ajaran agama
yang diinternalisasikan dan diaktualisasikan oleh pemuka agama masing-masing.
Hal ini menegaskan peran pemuka agama dalam mewujudkan dan
memelihara kerukunan antar umat beragama sangat besar dan dibutuhkan. Peran
pemuka agama dibutuhkan dalam hal membangun dan menginternalisasikan
teologi kerukunan atau memberikan pemahaman keagamaan moderat dan toleran
terhadap umat beragama.
Pemahaman keagamaan umat beragama sangat mempengaruhi tingkat
harmoni dan kondisi kerukunan antar umat beragama. Jika suatu masyarakat
memiliki pemahaman keagamaan yang eksklusif dan ekstrem, maka yang terjadi
adalah sikap saling curiga, permusuhan dan sesat-menyesatkan. Bahkan apapun
yang menjadi simbol dari keberadaan agama yang dianggap musuh dan sesat, bisa
mudah jadi sasaran kebencian yang berimplikasi pada perusakan atau kekerasan
atas nama agama.
Untuk mencegah terjadinya konflik antar umat beragama, pemahaman
keagamaan yang moderat dan toleran sangat diperlukan. Moderat dengan sebuah
pengertian pemahaman keagamaan yang tidak eksklusif dan ekstrem, namun
berada dalam posisi di tengah. Sedangkan toleran dalam arti menerima perbedaan
agama sebagai kondrat Tuhan dan sanggup berdampingan secara damai dan penuh
kerjasama.
Di sinilah signifikansi peran pemuka agama dalam memberikan dan
menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran kepada umat
beragama di Desa Pabian Kabupaten Sumenep dengan melalui berbagai media
seperti majlis taklim, pengajian dan mimbar masjid; khotbah jumat dan kuliah
subuh. Sehingga hal ini memberikan dampak dan motivasi positif pada hubungan
dan interaksi antar umat beragama di Desa Pabian yang berjalan dengan rukun
dan damai.
Interaksi antar umat beragama di Desa Pabian bisa dilihat dan telah
terwujud dalam bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguatkan dan
membutuhkan seperti hubungan dalam bentuk sosial-keagamaan, kesehatan,
pendidikan, dan ekonomi. Bentuk-bentuk kerukunan ini dilandasai atas dasar
sikap saling menerima dan menghormati antar umat beda agama.
Dengan demikian, pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran yang
ditanamkan oleh pemuka agama masing-masing, umat Islam dan Katolik di Desa
Pabian tidak akan mudah terpancing dengan isu-isu provokatif yang dapat
merusak harmoni dan kerukunan tersebut.
Kata Kunci: Pemuka Agama, Kerukunan, Islam dan Katolik, Desa Pabian
ii
KATA PENGANTAR
هلل الرحمن الر حيما بسم
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, Tuhan seru sekalian alam, penulis ucapkan syukur atas kuasa dan
kehendak-Nya penulis bisa menyelesaikan penelitian tesis “Peran Pemuka
Agama dalam Memelihara Kerukunan: Studi Kasus Hubungan Islam dan
Katolik Di Desa Pabian Kabupaten Sumenep” ini dengan penuh perjuangan.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada hamba pilihan yang bersahaja, kaya
hati, dan pembawa rahmat bagi seluruh umat manusia yakni Nabi Muhammad
Saw.
Penulis menyadari, penelitian dan penyelesaian tesis ini mengalami
berbagai macam aral dan cobaan. Namun berkat doa dan bantuan dari berbagai
pihak, semuanya itu dapat diatasi. Dengan segala hormat, perkenankanlah penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak
membantu dalam proses penyelesaian tesis ini, di antaranya:
Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A (Dekan Fak. Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag (Ketua Program Magister Fak.
Ushuluddin), Maulana, M.Ag (Sekretaris Program Magister Fak. Ushuluddin),
Toto Tohari, S.Th.I (Staf Fak. Ushuluddin).
Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, M.A (Guru Besar Fak. Ushuluddin) dan Dr.
Media Zainul Bahri, M.A (Kajur Studi-studi Agama Fak. Ushuluddin) sebagai
pembimbing sekaligus motivator bagi penulis. Atas segala bimbingan, bantuan,
dan motivasinya, penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
iii
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Wakil Dekan Bid. Akademik) dan
Dr. M. Amin Nurdin, M.A (Dosen Fak. Ushuluddin). Atas segala kritikan dan
bimbingannya sehingga tesis ini bisa diperbaiki menjadi lebih baik lagi.
Ayahanda dan Ibundaku tercinta alm. Akib dan Rasidah, adikku Rif’atul
Hasanah (iif), mertua saya Hj. Eha Julaeha dan alm. Hamim. Dan juga kakak
ipar saya, H. Abd. Rahmat Syukur, M.A., dan H. Dadan Hermanto, M.A.,
serta para keluarga besar atas segala doa, kebaikan dan bantuan moral dan moril
sehingga saya bisa menyelesaikan studi ini.
Istriku tercinta dan terkasih Enung Solihah, S.Th.I yang begitu setia,
sabar dan tegar dalam menemani, memberikan motivasi dan doanya kepada
penulis sehingga akhirnya studi dan tesis ini bisa diselesaikan dengan baik.
Tak lupa pula Bang SS. Terimakasih banyak atas segala bantuan dan
kebaikannya selama ini. Teman-teman Magister Jurusan Perbandingan Agama,
Ahmad Muhibi, Eddy Najmudin, Juli Ahsani, Habiburrahman. Teman-teman
Khong Hu Cu, Pak Uung Sendana L. S, Epih. Teman-teman Ikatan Alumni
Annuqayah (IAA) Jakarta Raya dan Formad (Forum Mahasiswa Madura)
Jabodetabek.
Semoga jasa baik yang telah diberikan kepada penulis Tuhan dengan
Maha Kasihnya membalas dengan sebaik-baik balasan. Amiin!!!
Jakarta, 4 Maret 2018
Wasil
iv
DAFTAR ISI
Abstrak ......................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................... ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iv
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 01
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 01
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 11
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 12
D. Tinjauan Pustaka ................................................................ 13
E. Metodologi Penelitian ......................................................... 14
E. Sistematika Penulisan .......................................................... 16
BAB II : PEMUKA AGAMA, KERUKUNAN DAN KONFLIK .... 18
A. Pengertian Status, Peran dan Pemuka Agama ..................... 18
B. Konsep Kerukunan Umat Beragama ................................... 25
C. Konsep Konflik Umat Beragama ........................................ 31
BAB III : BASIS KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
................................................................................................. 42
A. Landasan Ideal Kerukunan ................................................. 42
B. Regulasi Kerukunan Umat Beragama ................................. 45
C. Teologi Kerukunan Dalam Islam dan Katolik .................... 60
BAB IV : KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DESA PABIAN
KABUPATEN SUMENEP ................................................... 72
A. Asal Usul Madura .............................................................. 72
B. Sumenep: Sejarah dan Masa Kini ...................................... 76
C. Desa Pabian: Letak Geografis dan Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat ......................................................................... 84
D. Karakteristik Masyarakat Pabian ........................................ 87
v
BAB V : PERAN PEMUKA AGAMA DALAM MEMELIHARA
KERUKUNAN DI DESA PABIAN ..................................... 94
A. Pemuka Agama dan Wacana Kerukunan .......................... 94
B. Peran Pemuka Agama Islam dan Katolik dalam Memelihara
Kerukunan ......................................................................... 99
1. Internalisasi Teologi Kerukunan .................................... 100
2. Penyebaran Paham Keagamaan Moderat ...................... 106
C. Bentuk-bentuk Kerukunan ................................................. 110
1. Sosial-Keagamaan .......................................................... 111
2. Pendidikan ...................................................................... 116
3. Ekonomi ......................................................................... 118
4. Kesehatan ....................................................................... 120
D. Faktor-faktor Kerukunan Di Desa Pabian .......................... 121
BAB VI : PENUTUP ............................................................................. 130
A. Kesimpulan ......................................................................... 130
B. Saran-Saran ......................................................................... 132
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kerukunan antar umat beragama di tengah masyarakat Indonesia yang
plural dan religius merupakan keniscayaan yang harus terus diupayakan tanpa
henti. Kerukunan tidak bisa datang dan tercipta dengan sendirinya tanpa ada usaha
dan kerja keras bersama untuk menciptakan, menjaga dan memelihara kerukunan.
Tentunya, segala usaha untuk menumbuh-kembangkan dan memelihara
kerukunan antar umat beragama atas dasar kesadaran kolektif akan eksistensi dan
realitas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang religius dan plural dari segi agama.
Kesadaran ini akan menjadikan kerukunan hidup umat beragama sebagai hal yang
penting dan strategis untuk dijadikan tanggungjawab bersama.
Kesadaran dan tanggungjawab kolektif akan entitas Indonesia yang plural
(dalam hal agama) akan mendorong adanya early warning system atau usaha
pencegahan dini akan potensi koflik yang rawan pecah. Apalagi Indonesia
dikatagorikan sebagai masyarakat yang rentan (vulnerable society) karena
tinginya tingkat segregasi sosial berbasis pada identitas keagamaan, etnis, dan
golongan.1 Tak dipungkiri, dalam sebuah keragaman, khususnya yang dimiliki
bangsa ini terdapat sifat rentan pecah.
Hal ini tidak berarti ingin mencurigai pluralitas agama sebagai sesuatu yang
paradoks, di satu sisi pluralitas agama diterima sebagai kekayaan dan kekuatan
1 Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Kencana, 2014), h. xviii.
2
bangsa, di sisi yang lain dianggap sebagai ancaman akan kerukunan atau pemicu
konflik. Namun, mengutip Zainal Abidin Bagir, permasalahan mengenai
keragaman ini telah ada sejak awal sejarah Indonesia dan mengambil bentuk yang
berbeda-beda.2 Artinya, realitas historis Indonesia sebagai sebuah bangsa yang
plural kerap diwarnai konflik dan kekerasan atas nama agama yang telah banyak
menyisakan kisah pilu dan ironi bagi masa depan kerukunan.
Konflik atau kekerasan ini tentunya tidak pernah dibenarkan dan tidak
mendapatkan justifikasi oleh dan dari agama apapun. Semua agama merupakan
keniscayaan mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Dengan sebuah pengertian,
agama menjadi sumber nilai dan moral bagi pemeluknya untuk melakukan
kebaikan dan menciptakan kedamaian dalam keragaman.
Seperti dalam agama Islam mendambakan rasa damai dan menjadi penebar
kedamaian. Dalam hal ini sudah terlihat dari esensi kata Islam itu sendiri yang
memiliki arti dan mengajarkan tentang perdamaian. Begitu juga pesan damai
dalam ajaran Kristiani di mana Yesus dipercaya oleh umat Kristen sebagai tokoh
sentral yang menjadi juru selamat yang mengajak umatnya untuk cinta dengan
kedamaian.3 Dengan demikian, Islam maupun Kristen sama-sama mengajarkan
cinta kasih atau kasih sayang bagi seluruh alam semesta.
Agama harus dapat mewujudkan masyarakat ke dalam situasi dan kondisi
yang rukun dan damai. Agama tidak diajarkan untuk memecah belah harmoni
sosial masyarakat. Agama menjadi kekuatan strategis untuk menyatukan atau
2 Zainal Abidin Bagir, dkk., Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di
Indonesia (Bandung: Mizan, 2011), h. 12. 3 Ridwan Lubis, Agama dan Perdamain: Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 127-129.
3
mengharmonikan kemajemukan masyarakat dengan landasan toleransi dan
inklusif. Tetapi, agama juga potensial dijadikan faktor disharmoni dan konflik
ketika agama seringkali diperalat dan dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi
dan politik.4 Dalam perjalanannya, persoalan agama bagi masyarakat Indonesia
yang plural memiliki sensitifitas yang tinggi sehingga konflik yang sebenarnya di
luar agama dengan gampangnya ditarik ke wilayah agama.
Ma’ruf Amin memberikan penegasan hal ini dengan mengambil contoh
konflik yang terjadi di Ambon dan Poso tidak disebabkan oleh persoalan agama,
tapi kemudian para pelakunya melibatkan agama untuk mendapatkan dukungan
yang lebih banyak dari pemeluknya atau ingin meraih simpati dan emosi dari
kelompok agamanya. Dengan demikian, agama dimanfaatkan sebagai faktor
pemersatu bagi komunitas dengan identitas agama tertentu, namun menjadi faktor
pemecah belah antar kelompok agama berbeda.5
Konflik yang kerap mewarnai dinamika kehidupan umat beragama di
Indonesia dari awal Orde Baru hingga Reformasi adalah persoalan perjumpaan
Islam dan Kristen (Katolik) yang dinamis dan fluktuatif. Islam dan Kristen
sebagai agama yang memiliki sifat dinamis dan dikembangkan melalui misi dan
dakwah. Tak jarang dalam perjalanan dan perjumpaan kedua agama ini seringkali
menjadi pemicu konflik antar umat beragama di Indonesia.
Bibit-bibit konflik yang melibatkan Islam dan Kristen sudah ada, ternanam,
tumbuh dan mulai pecah sejak awal Orde Baru berkuasa. Konflik berawal dari
kecurigaan dan kebencian antar kedua agama terkait persoalan kristenisasi atau
4 Ma’ruf Amin, Harmoni Dalam Keberagaman: Dinamika Relasi Agama-Negara (Jakarta:
Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, 2011), h. 92. 5 Ma’ruf Amin, Harmoni Dalam Keberagaman: Dinamika Relasi Agama-Negara, h. 20-21.
4
penyebaran agama dan pendirian rumah ibadah di daerah-daerah yang
diasosiasikan dengan identitas agama tertentu. Misalkan daerah Aceh diasosiakan
dengan Islam, Papua dengan identitas Kristennya, atau Suku Madura dengan
Identitas Islamnya. Kerentanan yang awalnya hanya dipicu oleh segregasi sosial
berbasis etnis, kemudian dipertajam dengan segregasi sosial berbasis identitas
etnis yang diasosiasikan dengan agama tertentu. Kondisi inilah yang mewarnai
konflik Islam dan Kristen sejak awal Orde Baru hingga era Reformasi, bahkan
dalam kondisi Indonesia kekinian.
Konflik dan kekerasan ini sebagai potret ironi yang mencabik-cabik kohesi
sosial yang dibangun dan diwariskan oleh para pendiri bangsa. Konflik hanya
memberikan luka dan dendam, serta korban jiwa dan kerugian lainnya. Konflik
yang destruktif harus dihindari, bahkan dihilangkan untuk mencapai kerukunan.
Semua pihak pastinya menginginkan kedamaian dan kerukunan, serta dibutuhkan
perannya untuk mengupayakan dan menjaga kerukunan sebagai kesadaran dan
tangungjawab kolektif.
Untuk menciptakan dan menjaga kerukunan bukan sekedar sebagai
tanggungjawab dan peran pemerintah, namun juga dibutuhkan peran serta semua
elemen bangsa, salah satu utamanya peran sentral para pemuka atau tokoh agama.
Kerukunan tidak akan efektif jika hanya atas dasar prakarsa atau inisiasi dari
pemerintah, harus juga didasari oleh kemauan bersama umat beragama, karena
esensi dari kerukunan itu sendiri adalah umat beragama itu sendiri.
Sejak awal, upaya menciptakan dan menjaga kerukunan antar umat
beragama telah dilakukan oleh pemerintah melalui jalur penetapan regulasi, meski
5
dimaknai politis dan formalistis. Perwujudan kerukunan yang mencuat kemudian
adalah kerukunan yang terkesan formalitas dan rapuh. Artinya, orang
menghormati penganut agama lain hanya karena sama-sama satu suku, satu
bangsa dan negara, maka saling rukun, tidak memunculkan kekerasan dan saling
menindas. Kerukunan yang dilandasi pada ikatan primordialis dan politis
semacam ini seringkali bersifat semu dan rapuh.6
Tentunya, yang didambakan bersama adalah kerukunan yang terwujud
dalam pergaulan, kerjasama dan kehidupan riil antar pemeluk beda agama dengan
landasan saling memahami, menghormati, memperdulikan, dan membantu
sebagai sebuah sikap dari golongan umat beragama yang terbuka. Kerukunan
semacam ini yang dibutuhkan, bukan yang semu, melainkan yang dinamis dan
hakiki, kerukunan yang murni, mempunyai nilai dan bebas tanpa hipokrisi. Yang
demikian ini adalah kerukunan yang berpegang pada prinsip dan ajaran yang
digali dari masing-masing agama.7
Di sini peran penting pemuka agama dibutuhkan untuk mengajak dan
membimbing umat beragama lebih menggali ajaran agama sendiri dan mengenal
agama lain secara objektif sebagai titik temu akan adanya kesamaan dan
perbedaan ajaran agama yang bisa dijadikan pijakan bersama untuk
menumbuhkan kesadaran dan ketulusan dalam membangun dan menjaga
kerukunan antar umat beragama. Adanya perbedaan dalam ajaran tiap agama
harus disadari dan dipahami bahwa perbedaan adalah konsekuensi logis dari
keragaman dan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihilangkan, tetapi harus
6 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 6 dan 53.
7 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press,
2005), h. 4-5 dan 22.
6
diterima dengan sikap tulus saling menghargai, menghormati dan kerjasama
dengan memprioritaskan cinta kasih dan meniadakan kecurigaan, kebencian, dan
permusuhan.
Dengan demikian, kondisi kerukunan antar umat beragama sangat
dipengaruhi oleh tingkat pemahaman keagamaan umat beragama itu sendiri,
dengan sebuah pengertian, jika pemahaman keagamaan suatu masyarakat bersifat
terbuka, tidak literal dan radikal, maka bisa menjadi salah satu kunci awal dalam
mencegah terjadinya konflik, sehingga kerukunan umat beda agama bisa tercipta
dan terpelihara dengan baik tanpa kecurigaan dan permusuhan.
Untuk mencegah terjadinya konflik antar umat beragama, pemahaman
keagamaan yang moderat dan toleran sangat diperlukan. Moderat dengan sebuah
pengertian pemahaman keagamaan yang tidak eksklusif dan radikal, namun
berada dalam posisi di tengah. Sedangkan toleran dalam arti menerima perbedaan
agama sebagai kondrat Tuhan dan sanggup berdampingan secara damai dan penuh
kerjasama. Di sinilah peran vital pemuka agama untuk memberikan dan
menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran kepada umatnya.8
Selain berperan dalam internalisasi paham keagamaan yang tidak radikal
dan literal, signifikansi peran pemuka agama dalam menjaga atau memelihara
kerukunan umat beragama juga dikarenakan adanya kedekatan dengan umatnya.
Pemuka agama tentunya punya pengaruh kuat untuk mengarahkan umatnya ke
dalam suasana konflik atau rukun. Dengan demikian, kerukunan umat beragama
di Indonesia akan sangat bergantung pada peran vital pemuka agama sebagai filter
8 Ma’ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Banten: Yayasan An-Nawawi, 2013),
h. 135.
7
terhadap sikap-sikap penuh kecurigaan dan permusuhan, khususnya di daerah-
daerah yang memiliki tingkat segregasi sosial tinggi yang didasarkan pada
identitas agama seperti halnya Madura.
Madura yang berada di Provinsi Jawa Timur adalah salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki tingkat segregasi berbasis etnis dengan identitas agama
Islam yang kuat. Konstruksi masyarakat Madura dengan tingkat keislaman yang
fanatik bisa mudah diarahkan kepada suasana konflik atau rukun tergantung pada
pemuka agama, dalam hal ini kiai atau ustadz dalam memberikan pemahaman
keagamaan yang literal dan ekstrem atau moderat penuh toleransi.
Masyarakat Madura diasosiasikan dengan Islam dan memiliki
keberagamaan yang kuat, sikap ketaatan pada Islam yang mengakar. Derajat
keislaman orang Madura umumnya disejajarkan dengan orang Aceh dan Minang
di Sumatra, Sunda di Jawa, dan Bugis di Sulawesi. Artinya, sikap kepatuhan,
ketaatan, dan kefanatikan orang Madura pada Agama Islam sudah lama terbentuk.
Secara harfiah mereka memang sangat patuh menjalankan syari’at Islam dalam
kehidupan sehari-hari seperti halnya melaksanakan sholat lima waktu, berpuasa,
berzakat, dan juga bersedekah, serta berjihad (berkiprah di jalan Agama) dan juga
hasrat untuk menunaikan kewajiban naik haji juga sangat besar. Itulah sebabnya
mengapa seorang kiai, orang yang haji, dan panutan keagamaan mendapat tempat
yang terhormat di mata masyarakat.9
Kefanatikan mayarakat Muslim Madura juga bisa dilihat dari mayoritas
mereka hanya mau menerima satu paham keagamaan saja. Paham keislaman yang
9 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h.
42-45.
8
mereka terima adalah Paham Sunni. Orang Madura, baik Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep di ujung timur pulau, dalam menjalani kehidupan
beragama sebagai umat Islam, pada umumnya mengikuti aliran ahlus sunnah wal
jamaah, penganut Mazhab Imam Syafii.10
Ahlus sunnah wal jamaah atau lebih sering disingkat Aswaja atau Sunni
merupakan salah satu aliran sekte dalam Islam yang secara teologi mengikuti
paham yang dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di Indonesia,
paham ini dirawat secara terorganisir oleh banyak organisasi keislaman.
Diantaranya yang paling tampak adalah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi
Islam terbesar di Indonesia. Sejak awal berdirinya pada tahun 1926, organisasi ini
menyatakan diri dengan jelas bahwa ia dalam pergerakannya berasaskan Manhaj
ahlus sunnah wal jamaah (Sunni). Hal ini bisa dilihat pada dokumen hasil
Muktamar yang pertama di Surabaya, 21 Oktober 1926.11
Dalam dokumen itu
tertulis bahwa dalam bidang Fikih, NU merujuk kepada salah satu dari imam
empat (madzahib al-arba’ah); dalam bidang akidah kepada Asy’ari dan Maturidi,
dan dalam bidang tasawuf kepada Hamid Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.
Menariknya, salah satu penentu berdirinya NU—selain K.H. Hasyim Asy’ari—
adalah Kiai Kholil Bangkalan.12
Beliau merupakan ulama ternama asal Madura
yang juga sekaligus sebagai guru dari K.H. Hasyim Asy’ari. Dari itu, tak heran
bila sejak awal kemunculannya saja, NU tidak perlu mengalami kesulitan untuk
10
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 45-46. 11
Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nadlatul
Ulama Kesatu 1926 Sampai Dengan Kedua Puluh Sembilan 1994 (Surabaya: Dinamika Press
Group, 1977), h. 2. 12
M. Solahudin, Nahkoda Nahdliyyin (Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013), h. 23.
9
menjaring umat untuk dijadikan sebagai anggota di Madura. Organisasi ini
kemudian berkembang pesat di Madura jauh melampaui Sarekat Islam yang
sebelumnya pernah berjaya di pulau itu.
Melihat kefanatikan masyarakat Muslim di Madura terhadap paham
keagamaan dan golongan tertentu juga bisa dilihat pada kasus meletusnya tragedi
konflik Sunni dan Syiah di Sampang tanggal pada 26 agustus 2012 lalu, tepatnya
di Desa Karang Gayam Kecamatan Omben. Konflik sektarian yang terjadi di
Sampang memiliki dampak yang signifikan karena ada korban jiwa, pembakaran
puluhan rumah, dan pengungsian warga Syiah ke daerah luar Madura.
Kemunculan konflik Sunni dan Syiah di Sampang diletakkan dalam konteks
masyarakat dengan tradisi dan norma yang kuat. Peran kiai sangat penting dalam
konflik ini, karena kiai mempunyai hubungan yang bersifat hirarkis dengan
masyarakat, seperti halnya hubungan antara patron dan klien. Masyarakat
Sampang menganggap Syiah adalah kelompok yang sesat dan harus diusir karena
membahayakan sekte Sunni yang diklaim sebagai kelompok yang selamat (firqah
najiyah). Maka dari itu, peran Kiai sangat berpengaruh besar dalam meredam
konflik sektarian di Sampang.13
Dengan demikian, penting untuk diteliti ketika di salah satu desa yang ada
di Pulau Madura yang secara keberagamaan sangat fanatik terhadap paham
keagamaan dan golongan tertentu, terdapat sebuah komunitas masyarakat yang
tidak hanya beda paham aliran keagamaan, tetapi juga agama, namun bisa hidup
rukun dan penuh kerjasama. Di sini bisa dianalisa bagaimana komunitas yang
13
Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Demokrasi, 2014), h. 99-101.
10
majemuk dapat merajut dan merawat kerukunan tersebut. Bisa diteliti faktor-
faktor yang melandasi, serta bisa dilihat bagaimana para pemuka agama
memainkan perannya dalam menjaga dan merawat kerukunan. Dengan alasan
tersebut, penulis memilih Desa Pabian yang berada di Kabupaten Sumenep untuk
dijadikan lokasi penelitian.
Sumenep merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Pulau Madura
selain tiga Kabupaten lainnya (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan). Meskipun
berada dalam satu pulau, kalau dari segi pelafalan bahasa, empat kabupaten
tersebut memiliki perbedaan, di mana dialek Sumenep dianggap paling merdu,
halus dan jelas, karena setiap suku kata diucapkan secara penuh dan tegas.14
Ini
nantinya juga menjadi penegasan bahwa orang Sumenep khususnya, memiliki
sifat dan karakter yang ramah dan lembut selain dikenal ketegasannya sebagai
etnis Madura.
Kabupaten Sumenep ini terletak di ujung timur Pulau Madura sekitar 153
km kearah timur Surabaya. Sedangkan agama yang dianut oleh penduduk
Kabupaten Sumenep, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus
penduduk tahun 2010, penganut Islam berjumlah 1.033.854 jiwa (98,11%),
Kristen berjumlah 685 jiwa (0,33%), Katolik berjumlah 478 jiwa (0,27%),
Buddha berjumlah 118 jiwa (0,03%), Hindu berjumlah 8 jiwa (0,01), Kong Hu Cu
5 jiwa (0,002%).15
14
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 53-55. 15
"Penduduk menurut wilayah agama yang dianut". Diakses dari www.bps.go.id pada
tanggal 07-02-2018.
11
Di Desa Pabian inilah, khususnya di Dusun Pasarkayu, terdapat tiga tempat
ibadah untuk umat Muslim, Katolik dan Tridharma yang berdekatan dengan
kondisi kehidupan umat beda agama berada dalam suasana harmonis dan penuh
kerjasama. Tiga tempat ibadah yang dimaksud yaitu Masjid Baitul Arham, Gereja
Katolik Paroki Maria Gunung Karmel, dan Klenteng Pao Xian Lin Kong yang
berada dalam satu RW di Dusun Pasarkayu. Jarak antara satu tempat ibadah ke
tempat ibadah lainnya sekitar 50 meter. Misalnya, posisi Masjid berada di RW
2/RT 4, Gereja dan Klenteng berada di RW 2/RT 1.
Untuk masyarakat Madura secara umum dan Sumenep secara khusus yang
dikenal fanatik terhadap paham keagamaan dan golongan tertentu, konstruk
masyarakat Pabian ini, khususnya warga di Dusun Pasarkayu dengan adanya tiga
tempat ibadah yang berbeda (Islam, Katolik dan Tridharma) menarik dan penting
untuk diteliti dan dikaji oleh penulis. Berdasar pada realitas ini, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Peran Pemuka Agama Dalam Memelihara
Kerukunan: Studi Kasus Hubungan Islam dan Katolik Di Desa Pabian Kabupaten
Sumenep.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Potret kerukunan antar umat beragama yang terjadi di Desa Pabian tentunya
begitu banyak faktor yang melatar belakanginya, serta banyak pihak yang terlibat
berperan aktif dalam proses upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan
tersebut, maka penulis sadar harus memberikan batasan pada hal yang akan jadi
fokus penelitian ini.
12
Dalam penelitan ini penulis fokus memberikan batasan hanya pada peran
pemuka agama Islam yang terhimpun dalam Masjid Baitul Arham dan pemuka
agama Katolik yang terhimpun dalam Gereja Katolik Paroki Maria Gunung
Karmel yang ada di Desa Pabian, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Madura,
Jawa Timur.
Dengan demikian, didasarkan pada batasan masalah dalam penelitian ini,
penulis menentukan rumusan masalahnya dalam bentuk pertanyaan yang harus
terjawab dalam penelitian ini:
1. Bagaiman peran pemuka agama Islam dan Katolik dalam memelihara
kerukunan antar umat beragama di Desa Pabian?
2. Seperti apa bentuk-bentuk kerukunan antar umat Islam dan Katolik di Desa
Pabian?
3. Apa faktor yang melandasi terwujudnya kerukunan di Desa Pabian?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dilakukan sesuai dengan batasan dan rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui peran pemuka agama Islam dan Katolik dalam memelihara
kerukunan antar umat beragama di Desa Pabian.
2. Menggambarkan bentuk-bentuk kerukunan antar umat beda agama yang
terwujud dalam keseharian dan kehidupan umat beragama di Desa Pabian.
3. Menjelaskan faktor-faktor atau landasan terbentuknya kerukunan antar umat
beragama di Desa Pabian.
13
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan tema-tema hubungan Islam-Kristen atau
kerukunan antar umat beragama di Indonesia, baik dari hasil penelitian individu,
kelompok, lembaga-lembaga swadaya maupun institusi pemerintah, tentunya
sudah banyak bermunculan dalam bentuk jurnal, paper, buku dan lain sebagainya.
Sedangkan penelitian yang fokus pada kajian kerukunan umat beragama di
Kabupaten Sumenep tidak banyak dan ada beberapa, di antaranya:
1. “Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama Di
Sumenep” Penelitian ini dilakukan oleh Jamilah dan Taufik Rahman, dosen
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumenep.
Penelitian ini dipublikasikan dalam Jurnal Pelopor Pendidikan, Vol. 6 No. 2
Juni 2014. Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif-
fenomenologis menjelaskan tentang hubungan antar umat beragama di
Madura secara umum, tidak fokus pada lokasi Kabupaten Sumenep.
Hubungan antar umat beragama, di Madura, digambarkan dalam bentuk-
bentuk kerja sama yang dilandasi oleh budaya lokal atau kearifan lokal.
2. “Harmoni Masyarakat Satu Desa Tiga Agama di Desa Pabian, Kecamatan
Kota, Kabupaten Sumenep, Madura”. Penelitian ini dilakukan oleh
Muhammad Suhaidi, Peneliti Sosial Agama Madura dan Wakil Sekretaris
PC NU Sumenep. Dan dipublikasikan oleh Jurnal Harmoni Vol. 13 No. 2
Mei-Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian
lapangan. Pengumpulan datanya dengan observasi dan wawancara
mendalam. Penelitian ini menjelaskan pola-pola relasi umat beda agama
14
yang berjalan dengan harmonis. Hubungan beda agama yang rukun
digambarkan dengan bentuk-bentuk relasi yang terjalin dinamis dengan
aksi-aksi sosial dan kerjasama antar umat beragama di Desa Pabian.
Harmoni tiga agama yang terjalin dalam kehidupan umat beragama di Desa
Pabin ini, berdasarkan penelitian ini, dilandasi oleh faktor sejarah dan
kearifan lokal.
3. “Hubungan Antar Umat Beragama di Sumenep Madura : Studi Tentang
Hubungan Umat Islam dan Katolik di Kecamatan Sumenep”. Skripsi ini
ditulis oleh Iskandar Dzulkarnain mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuludin Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta
tahun 2003. Skripsi dengan menggunakan metode sosiologi ini menjelaskan
tentang bentuk-bentuk hubungan antar umat beragama yang ada di Desa
Pabian.
Melihat dan menganalisa fokus pada kajian dari tiga penelitian sebelumnya
di mana lebih mengelaborasi kearifan lokal sebagai landasan kerukunan dan
bentuk-bentuk kerukunan yang terjadi, maka penulis melihat jelas perbedaan
penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan kajian atau studi sebelumnya itu.
Penelitian yang penulis lakukan fokus pada peran pemuka agama dalam
memelihara kerukunan.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analisis
dengan menggunakan pendekatan sosiologis, pendekatan tentang interelasi dari
15
agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antarmereka.16
Pendekatan ini digunakan oleh peneliti untuk memahami interaksi antar umat
beragama yang terjadi di Desa Pabian. Kemudian bagaimana pola-pola interaksi
itu dipengaruhi dan dilandaskan atas dasar pemahaman ajaran agama yang
diinternalisasikan dan diaktualisasikan oleh pemuka agama masing-masing.
Penelitian ini berbentuk studi kasus (case study) terhadap hubungan rukun
yang terjalin antara umat Islam dan Katolik di Desa Pabian Kabupaten Sumenep.
Dari studi kasus ini, sebagai fokus utamanya adalah untuk memahami peran
pemuka agama (Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel dan Masjid Baitul
Arham) dalam memelihara kerukunan. Dan juga bentuk-bentuk kerukunan yang
tercipta. Serta mengidentifikasi faktor-faktor yang melandasi terciptanya
kerukunan tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui studi pustaka dan
wawancara mendalam. Studi Pustaka ini peneliti berusaha memperoleh dan
mengumpulkan data-data serta kemudian membuat analisanya sesuai pokok
bahasan dalam penelitian ini. Data ini berupa buku dan jurnal yang secara khusus
membahas tentang Madura, Sumenep dan Pabian. Serta hal-hal terkait mengenai
kerukunan umat beragama.
Sedangkan jenis wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara bebas
terpimpin dengan tidak terikat secara rigid pada pedoman pertanyaan-pertanyaan
tertentu, melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara
16
Joachim Wach, “Sosiology of Religion,” Chicago 1993, h. 11 dalam Dadang Kahmad,
Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), h. 52.
16
berlangsung. Namun, pewawancara tetap membawa pedoman yang memuat garis
besar pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang akan diselusuri.17
Dalam wawancara ini peneliti mewawancarai beberapa responden atau
informan yang terkait secara langsung dengan pokok analisa penelitian ini di
antaranya adalah ustadz dan ketua takmir Masjid Baitul Arham, Romo dan Humas
Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel, Kepala Desa dan Sekretaris Desa
Pabian, warga Desa Pabian, dan juga pekerja di Klinik milik Gereja.
3. Analisis Data
Analisis data ini adalah menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.
Dengan demikian peneliti selanjutnya bisa melakukan analisis isi (content
analysis) dengan beberapa tahapan; pertama, reduksi data yaitu meringkas data-
data yang penulis kumpulkan agar menjadi lebih fokus dan tajam; kedua, display
data yaitu menyusun berbagai informasi secara sistematis; ketiga, verifikasi atau
menarik kesimpulan dari data yang dianalisa.18
Untuk teknik penulisannya, penulis menggunakan buku Pedoman Akademik
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2013.
F. Sistematika Penulisan
Sesuai maksud dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, peneliti
membuat sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:
17
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 193. 18
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah: Panduan Berbasis Penelitian
Kualitatif Lapangan dan Perpustakaan (Ciputat: Gaung Persada Press, 2009), h. 141.
17
Bab Pertama berisi Pendahuluan yang didalamnya terdapat Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, mengenai Pemuka Agama, Kerukunan dan Konflik, dimulai
dari Pengertian Status, Peran dan Pemuka Agama, lalu kemudian tentang Konsep
Kerukunan dan Konflik Umat Beragama.
Bab Ketiga, membahas Basis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia:
Landasan Ideal Kerukunan, Regulasi Kerukunan Umat Beragama, dan Teologi
Kerukunan dalam Islam dan Katolik.
Bab Keempat tentang Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Desa Pabian
Kabupaten Sumenep mulai dari Asal Usul Madura, Sumenep: Sejarah dan Masa
Kini, kemudian masuk ke pembahasan mengenai Desa Pabian: Letak Geografis
dan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat dan Karakteristik Masyarakat Pabian.
Bab Kelima, mengenai hasil temuan dari penelitian terkait Peran Pemuka
Agama dalam Memelihara Kerukunan di Desa Pabian; Pemuka Agama dan
Wacana Kerukunan, Peran Pemuka Agama dalam Memelihara Kerukunan,
Bentuk-bentuk kerukunan serta faktor-faktor yang menjadi landasan terwujudnya
Kerukunan di Desa Pabian.
Bab Keenam adalah Pentutup yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran
terkait hasil dari penelitian ini.
18
BAB II
PEMUKA AGAMA, KERUKUNAN DAN KONFLIK
A. Pengertian Status, Peran dan Pemuka Agama
Pemuka agama, kiai atau ustadz, romo atau pastor, dalam kehidupan sosial
memiliki peran dan pengaruh penting. Peranan penting di sini karena pemuka
agama dalam stratafikasi atau struktur sosial menempati posisi atau status sebagai
pemimpin (informal) dalam hal sosial keagamaan tanpa perlu adanya sebuah
prosesi pengangkatan. Masyarakat memberikan pengakuan dan penghormatan
terhadap pemuka agama karena kapasitas keilmuan agamanya dan moralitasnya.
Peran di sini lahir karena posisi atau status yang melekat pada pemuka
agama atau seseorang dalam struktur sosialnya. Dengan demikian, kedudukan
(status) dengan peranan tidak dapat dipisahkan karena satu sama lain saling
bergantung. Status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok sosial.1 Atau status terkait dengan kedudukan orang dalam
hubungannya dengan masyarakat di sekelilingnya.2
Tidak ada peranan tanpa ada kedudukan atau tak akan ada kedudukan tanpa
peranan. Seseorang yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, berarti dia menjalankan suatu peranan. Peran diartikan sebagai apa
yang dilakukan oleh seseorang (pemuka agama) dalam posisinya.3 Peran juga
diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 210-213.
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 1338.
3 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana,
2004), edisi keenam, h. 124.
19
berkedudukan di masyarakat. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dalam status sosialnya disebut sebagai peranan.4
Menurut Levinson, seperti dikutip Soerjono Soekanto, posisi merupakan
unsur statis yang hanya menunjukkan tempat individu dalam kelompok
masyarakat. Sedangkan peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi seseorang
dengan mencakup tiga hal.
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.5
Sedangkan untuk pengertian pemuka agama, seperti yang tertera pada
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
tahun 2006, adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas
keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau
dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.6
Dalam analisa Kartini Kartono, pemuka agama bisa dikatagorikan sebagai
pemimpin informal yang tidak perlu pengangkatan formal, namun karena
sejumlah kualitas unggul yang dimilikinya sehingga mencapai kedudukan sebagai
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta:
PT Gramedia, 2008), h. 1051. 5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 213.
6 Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008), edisi ke-10, h. 295.
20
orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok
atau masyarakat.7 Dalam hal ini, sebagai pemimpin informal, pemuka agama
didasarkan atas akseptasi atau pengakuan dan kepercayaan masyarakat.8
Dengan demikian, pemuka agama dengan sejumlah kualitas pribadinya,
yakni kualitas keilmuan agamanya, moralitasnya dan juga atas dasar penerimaan
dan penghormatan dari masyarakat atau kelompok umat beragama, cenderung
memiliki kharisma. Istilah kharisma erat kaitannya dengan teologi dan menunjuk
pada daya tarik pribadi yang ada pada seseorang sebagai pemimpin agama.
Artinya, kharisma ini menyangkut bakat rahmat yang diberikan Tuhan kepada
orang-orang tertentu sebagai pemimpin agama. Kharisma ini digunakan oleh
Weber untuk menggambarkan pemimpin-pemimpin agama di mana dasar dari
kepemimpinan itu adalah kepercayaan dari masyarakat bahwa pemuka atau
pemimpin agama memiliki suatu hubungan khusus dengan ilahi, atau mampu
mewujudkan karakteristik-karakteristik ilahi itu sendiri. Dalam analisa Weber,
istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada
keperibadian seseorang, yang karenanya terpisah dari orang biasa dan
diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang
bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian
dalam hal-hal tertentu.9
7 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 10-11. 8 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), Edisi
Pertama, h. 779. 9 Weber, “The Theory of Social and Economic Organization,” h. 358, dalam Doyle Paul
Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h.
229.
21
Pemuka agama Katolik, dalam istilah bahasa Indonesia, disebut dengan
istilah romo atau pastor, padri atau bapak.10
Istilah panggilan bapak ini juga
merujuk pada penggunaan dalam bahasa Jawa. Tetapi umat Katolik yang tinggal
di luar Pulau Jawa biasa memanggil dengan sebutan Pastor. Sebutan bapak juga
didasarkan pada 1 Korintus 4:15 dan 1 Tesalonika 2:11-12. Untuk istilah Pastor
dalam Efesus 4:11 disebut dengan gembala.11
Secara khusus dalam Al Kitab
menyebut istilah gembala dalam dua hal. Pertama, Gembala dikaitkan dengan
tugas memelihara ternak (Kejadian 4:2, 29:9, 37:2 ; 1 Samuel 16:11, 17:15, Kel
22:5, 33:1, Lukas 2:8), dan kedua, gembala dipandang sebagai pemimpin (2
Samuel 5:2, 1 Raja-raja 22:17, Yeremia 3:15, Zak 10:2, 11:6, Bilangan 27:17,
Yehezkiel 13:15, 34:23,31 ; Mikha 5:4).
Pemuka agama dalam Islam biasa disebut dengan panggilan kiai atau
ustadz. Sebutan ini merujuk pada kata sapaan untuk seseorang yang pandai dalam
ilmu agama Islam (alim ulama) atau guru agama.12
Dalam konteks masyarakat
Madura, kiai dianggap sebagai orang yang memiliki kepandaian dalam ilmu
keagamaan dan dianggap paling berwewenang (punya otoritas) dalam
menafsirkan hal-hal yang bersifat keagamaan.13
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
1181, 1028, 997. 11
1 Korintus 4:15 “Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam kristen,
kamu tidak mempunyai banyak bapa.”. 1 Tesalonika 2:11-12 “Kamu tahu, betapa kami, seperti
bapa terhadap anak-anaknya, telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi
seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang
memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.” Efesus 4:11 “Dan Ialah yang
memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-
gembala dan pengajar-pengajar.” 12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 694
dan 1539. 13
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), h. 67.
22
Menurut Sunyoto Usman yang dikutip Muthmainnah, ada tiga istilah kiai
dalam masyarakat Madura:
1. Kiai diartikan sebagai figur pemimpin pondok pesantren. Status ini
didapat karena keturunan (ascribed status). Penyandangnya adalah
seorang keturunan kiai (anak, saudara kandung, ipar, menantu) yang
mempunyai keahlian dalam ilmu agama.
2. Kiai diartikan sebagai tokoh masyarakat berpengatahuan keagamaan.
Kiai tipe ini tidak menjadi pemimpin namun seringkali mengadakan
pertemuan dengan kiai pemimpin pondok pesantren. Kebanyakan dari
mereka adalah alumni pondok pesantren. Kedudukan ini diperoleh
dengan usaha (achieved status).
3. Kiai diartikan sebagai guru mengaji di musholla atau masjid. Sebetulnya
mereka bukan selalu tokoh masyarakat yang dimintai pendapat, tetapi
hanyalah orang yang mempunyai murid yang belajar mengaji Al Qur‟an.
Di samping itu, mereka juga berfungsi sebagai imam di musholla atau
masjid setempat.14
Masyarakat Madura sangat menghormati dan patuh terhadap kiai. Bahkan,
penghormatan dan kepatuhan terhadap seorang kiai melebihi kepatuhannya pada
pejabat atau pemimpin birokrasi. Hal ini tercermin dari istilah budaya masyarakat
Madura, yakni “Bhuppa‟-Bhabhu‟-Ghuru-Rato”. Dalam bahasa keseharian
berarti Bapak (Bhuppa‟), Ibu (Bhabhu‟), Guru/Kiai (Ghuru), dan Pemimpin
birokrasi (Rato). Konsep ini mengandung pengertian adanya hierarkhi figur yang
14
Sunyoto Usman, “Citra Status Sosial Kiai di Kalangan Masyarakat Madura: Studi Kasus
di Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan,” (Yogyakarta: Depdikbud, 1980), h.101-102,
dalam Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi (Yogyakarta:
LKPSM, 1998), h. 43-45.
23
harus dihormati dan dipatuhi dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat
Madura.15
Makna yang terkandung dalam Istilah “Bhuppa‟-Bhabhu‟-Ghuru-Rato”,
dalam konteks sebuah keluarga, menempatkan bapak dan ibu sebagai figur paling
utama yang harus dihormati oleh individu (masyarakat) Madura. Untuk konteks
sosial, figur utama sebagai panutan yang sangat dihormati oleh masyarakat
Madura adalah kiai. Karena kiai, bagi masyarakat Madura, adalah guru yang
mendidik dan mengajarkan pengetahuan agama, memberikan tuntunan dan
pedoman untuk menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Sedangkan para pejabat
atau pemimpin birokrasi berada para posisi terakhir yang harus dihormati secara
hierarkikal.16
Bagi masyarakat Madura, kiai tidak saja menjadi tempat rujukan dalam
permasalahan keagamaan, tetapi juga bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Siklus kehidupan mulai dari kelahiran, perkawinan, sampai kematian selalu
melibatkan peran kiai. Tak terkecuali dalam soal kesuksesan dan kemalangan
yang dialami masyarakat Madura juga melibatkan peran kiai melalui doa-doa
yang disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.17
Dengan demikian, peran kiai di Madura tidak hanya dalam hal keagamaan
atau ritual keagaman semata. Dalam bidang sosial, ekonomi, bahkan politik, kiai
juga dikedepankan. Soal urusan bertani, masyarakat Madura juga meminta
nasehat dari kiai. Untuk urusan bisnis pun masyarakat minta bimbingan kepada
15
Moh. Hefni, “Bhuppa‟-Bhabhu‟-Ghuru-Rato (Studi Konstruktivisme-Strukturalis tentang
Hierarkhi Kepatuhan dalam Budaya Masyarakat Madura),” Jurnal KARSA, Vol. XI, No. 1 (April
2007): h. 13. 16
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura, h. 4. 17
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura, h. 68.
24
kiai. Bahkan, ketika seseorang merasa tidak aman karena suatu ancaman atau saat
lagi berkonflik, mereka juga meminta nasehat dari kiai. Hal ini memperjelas peran
besar kiai dan mempertegas status terhormat kiai dalam kehidupan masyarakat
Madura sebagai pemimpin informal.18
Peranan kiai yang begitu besar dan sentral dalam kehidupan sosial-budaya
masyarakat Madura dikarenakan oleh dua hal sebagai berikut:19
Pertama, tidak bisa dilepaskan dari proses Islamisasi yang terjadi di Madura
di mana pada awalnya berjalan beriringan dengan birokrasi tradisional. Namun
ketika Madura berada dalam kekuasaan VOC pada pertengahan abad ke XVIII,
terjadi pemisahan proses. Mereka yang berada dalam birokrasi kemudian terasing
dengan mereka yang melaksanaan Islamisasi. Begitupun sebaliknya, mereka yang
melakukan Islamisasi terpinggirkan dari birokrasi. Hal ini membuat masyarakat
lebih memihak dan berempati mereka-mereka yang melakukan Islamisasi, yakni
kiai atau ulama.
Kedua, ekologi Madura yang lebih didominasi oleh tegalan20
di mana
struktur tanahnya tidak sesubur persawahan yang ada di Jawa. Artinya, dalam
pengerjaan pertanian tegal tidak membutuhkan birokratisasi yang berfungsi
menjalankan kordinasi dan mobilisasi seperti konsep lingkungan persawahan.
Pertanian tegal hanya cukup dilakukan oleh para anggota keluarga. Konsisi sosial
ekologis Madura yang tegalan ini kemudian menjadikan masyarakat Madura
membuat rumah dekat tanah-tanah yang digarap sebagai lahan pertanian. Hal ini
yang kemudian menjadikan rumah-rumah penduduk terpencar-pencar dalam
18
Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi, h. 44-45. 19
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura, h. 4-6. 20
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), h. 61-71.
25
kelompok-kelompok kecil lima atau enam keluarga yang dikelilingi oleh tegal.
Perumahan petani yang berkelompok-kelompok yang terdiri dari para keluarga ini
dikenal dengan istilah tanean lanjang (pekarangan panjang). Dalam pola desa
yang tersebar ini kemudian membuat masyarakat menjadikan agama sebagai
sentimin kolektif melalui ritual-ritual keagamaan. Tidak mengherankan jika dalam
tanean lanjang ada langgar. Atau dalam beberapa kelompok tanean lanjang ada
masjid yang dibangun untuk sembahyang sholat jumat sesuai dengan syariat
dengan minimal 40 orang jama‟ah. Dalam konteks yang demikian ini membuat
masyarakat Madura membentuk organisasi sosial yang didasarkan pada agama
dan otoritas kiai.
B. Konsep Kerukunan Umat Beragama
Istilah kerukunan, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang multi
agama dan kultur, mulai muncul dari pidato K.H. M. Dachlan sebagai menteri
agama21
pada masa orde baru yang kemudian menjadi istilah baku dalam berbagai
peraturan perundangan-undangan seperti Keputusan Presiden atau Keputusan-
keputusan Menteri Agama dan peraturan lainnya.
Secara etimologis kata „kerukunan‟ berasal dari kata „rukun‟. Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata rukun memiliki arti sebagai berikut: rukun
(adjective) berarti: baik dan damai; tidak bertengkar. Sedangkan kata kerukunan
21
Pidato Menteri Agama K.H. M. Dachlan disampaikan pada acara pembukaan
Musyawarah Antar Agama tanggal 30 November 1967 dengan menyatakan sebagai berikut:
“Adanya kerukunan antara golongan beragama adalah syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas
politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet Ampera. Oleh karena itu, kami mengharapkan
sungguh adanya kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat untuk menciptkan iklim kerukunan
beragama ini, sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan cita-cita kita bersama ingin mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar dapat
terwujud”. Dikutip dari tulisan H. Tamizi Taher, “Mewujudkan Kerukunan Sejati Dalam Konteks
Masyarakat Majemuk Indonesia Menyongsong Abad Ke-21,” dalam Weinata Sairin, ed.,
Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-butir Pemikiran (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011), Cet. Ke-3, h. 56-57.
26
berarti (noun): perihal hidup rukun, rasa rukun.22
Jadi, kerukunan hidup umat
beragama bisa diartikan sebagai hidup rukun dalam suasana baik dan damai, tidak
bertengkar antar umat beragama.
Rukun, menurut Niels Mulder seperti dikutip oleh Franz Magnis Suseno,
berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, dan tanpa perselisihan dan
pertentangan. Artinya, hidup rukun (umat beragama) atau yang disebut dengan
keadaan rukun berarti semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain,
suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.23
Atau dalam pengertian sehari-hari, pengertian dari kata rukun dan
kerukunan adalah damai dan perdamaian. Bilamana kata kerukunan dipergunakan
dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar bangsa,
pengertian rukun ditafsirkan sesuai tujuan, kepentingan dan kebutuhan. Hal inilah
yang kemudian memunculkan istilah kerukunan sementara, politis dan hakiki.
Kerukunan sementara adalah kerukunan yang dituntut oleh situasi seperti
menghadapi musuh bersama. Jika musuh yang dihadapi bersama sudah tidak ada,
maka keadaan akan kembali seperti semula, yakni kembali berkonflik. Kerukunan
politis adalah kerukunan di mana biasanya terjadi dalam keadaan peperangan
yang kemudian untuk sementara waktu mengadakan perdamaian atau bersepakat
untuk melakukan gencatan senjata sampai waktu yang ditentukan. Kedua
kerukunan ini merupakan kerukunan yang semu. Sedangkan untuk kerukunan
hakiki adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat bersama demi
22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
1187. 23
Niels Mulder, Mysticism and Everiday Life in Contemporary Java. Cultural Persistence
and Change (Singapore: Singapore University Press, 1978), h. 39. Dikutip dari Franz Magnis
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1984), h. 39.
27
kepentingan bersama. Dengan demikian, kerukunan yang dibutuhkan oleh
segenap umat beragama adalah kerukunan hakiki, bukan kerukunan semu, tetapi
kerukunan murni yang mempunyai nilai dan harga yang tinggi dan bebas dari
segala pengaruh dan hipokrisi yang dilandasi dan dijiwai oleh ajaran agama
masing-masing.24
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat dijabarkan pengertian kerukunan umat beragama adalah
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kerukunan umat beragama
mengandung beberapa unsur penting yaitu: Pertama, kesediaan untuk menerima
adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan
membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga,
kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana
kesahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran
agamanya. Dan Keempat, kemauan untuk saling menghormati dan bekerjasama.
24
Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat: PT Ciputat Press,
2005), Cet. ke-3, h. 4-6. 25
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama,
h. 294.
28
Kerukunan itu bisa muncul dalam dua aspek yang saling terkait sebagai
bagian dari konsep kerukunan.26
Aspek pertama adalah kerukunan yang bersifat
eksklusif, yaitu meyakini secara absolut kebenaran ajaran agama yang dianut dan
dipilihnya sebagai jalan hidup tanpa membuka diri terhadap kebenaran lain.
Artinya, setiap orang punya hak dan kebebasan yang sama dalam memilih dan
menentukan keyakinannya tanpa kemudian saling mempertentangkan klaim
kebenaran ajaran agama masing-masing. Dengan demikian, tidak tepat jika
kemudian ada upaya untuk membujuk, apalagi memaksa, orang yang berbeda
keyakinan untuk percaya dan pindah terhadap kepercayaan dan keyakinan yang
lain. Karena keyakinan terhadap ajaran agama tidak mungkin muncul dan tercipta
karena adanya sebuah bujukan dan paksaan, namun lahir dari kepercayaan dan
keyakinan yang mendalam dan sungguh-sungguh.
Aspek kedua adalah kerukunan yang bersifat inklusif, yaitu perilaku
keberagamaan yang dilandasi oleh perasaan yang penuh menghormati,
menghargai, dan membebaskan dan bahkan saling mendukung orang lain
mengamalkan keyakinannya. Bahkan dengan hal ini bisa ikut merasakan
kekhusyu‟an atau kesahduan orang lain dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Sedangkan untuk konsep kerukunan umat beragama yang secara resmi
digunakan oleh pemerintah mencakup tiga kerukunan, yaitu: Kerukunan intern
umat beragama; Kerukunan antar umat beragama; Kerukunan antara umat
beragama dengan Pemerintah.27
Konsep kerukunan ini dikenal dengan istilah
26
Konsep kerukunan ini bisa dibaca dalam M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus
Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat
Beragama Kementerian Agama RI, 2015), h. 30-31. 27
Alamsjah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta:
Departemen Agama, 1982), h. 12. Dikutip dari Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-
undangan Kerukunan Umat Beragama, h. 6.
29
„Trilogi Kerukunan‟ yang dicetuskan pertama kali oleh Menteri Agama H.
Alamsjah Ratu Perwiranegara (1977-1983).
Tentunya, kerukunan hidup beragama bukan sekedar terciptanya keadaan di
mana tidak ada pertentangan intern umat beragama, antar umat beragama dan
antara umat beragama dengan pemerintah. Namun kerukunan itu adalah
hubungan harmonis dalam dinamika pergaulan dan kehidupan bermasyarakat
yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap mengendalikan diri dalam wujud:
(a) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agamanya;
(b) Saling menghormati dan bekerja sama intern pemeluk agama, antar umat
beragama dan antara umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama
bertanggungjawab membangun Bangsa dan Negara; (c) Saling tenggang rasa
dengan tidak memaksakan agama kepada orang lain.28
Kerukunan atau keadaan hidup rukun umat beragama itu harus dikehendaki
secara sadar dan bebas tanpa ada paksaan. Setiap orang terdorong oleh semangat
kerukunan yang sungguh-sungguh, atau memang ingin rukun, butuh hidup damai
dan tenang, bukan karena sekedar ingin dikatakan rukun. Kerukunan tidak
berhenti asal tidak saling mengganggu atau tidak saling merugikan, tetapi harus
tampak dalam sebuah bentuk kerjasama. Kerjasama ini tercipta melalui sebuah
interaksi, terbina melalui komunikasi yang akrab, sehingga kemudian terbentuk
kerjasama yang saling membutuhkan dan menguatkan. Kerukunan semacam ini
merupakan kerukunan yang dinamis dan fungsional. Kerukunan ini dilandasi
dengan semangat kerukunan sejati, bukan kerukunan yang pura-pura atau semu.
28
AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Yogyakarta:
Yayasan Kanisius, 1983), h. 218.
30
Disadari bersama bahwasanya kerukunan tidak muncul dan tercipta dengan
sendirinya tanpa sebuah upaya atau faktor yang melandasinya. Dalam konteks
keindonesian yang majemuk kerukunan dilandasi oleh beberapa faktor: Pertama,
adanya kesadaran, kemauan, dan tanggungjawab yang berangkat dari pemahaman
keagamaan bahwa hidup rukun bagian dari ketaatan akan ajaran agama yang
senantiasa mengajarkan kebaikan, kebenaran dan cinta kasih.29
Kedua, bahwa
kerukunan itu merupakan tuntutan dari budaya dan adat istiadat setempat
(kearifan lokal). Artinya, kearifan lokal sebagai acuan bersama dalam membangun
hidup rukun antar individu atau kelompok umat beragama.30
Ketiga, kerukunan
bagian dari kesadaran diri akan realitas kebangsaan. Artinya, Indonesia sebagai
negara bangsa yang berasaskan pada Pancasila dan sebagai negara hukum
berdasarkan pada Undang Undang Dasar 1945 di mana menjadi rumah bagi
keberagaman suku, agama, budaya, etnis dan kepercayaan. Pancasila dan UUD
1945 menjadi landasan persatuan dan kerukunan dalam perbedaan dan
keanekaragaman.31
Dalam konteks masyarakat Indonesia, menurut analisa Nasikun, kerukunan
itu tercipta karena adanya afiliasi (keanggotaan) yang silang-menyilang (cross
29
Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 8. 30
Kearifan lokal merupakan tata aturan yang disepakati masyarakat yang meliputi aspek
kehidupan, yakni 1) Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, yaitu
hubungan antar individu maupun kelompok, 2) Tata aturan yang menyangkut hubungan dengan
binatang dan tumbuh-tumbuhan yang bertujuan untuk konservasi alam, 3) Tata aturan yang
menyangkut hubungan manusia dengan yang ghaib, seperti tuhan dan roh-roh ghaib. Sedangkan
untuk contoh beberapa kearifan lokal sebagai berikut: „Pela Gandong‟ (saudara yang dikasihi;
penguatan persaudaraan lewat gotong royong dalam kehidupan), „Gendong Beta Gendongmu Juga
(deritaku deritamu juga) di Ambon, Maluku; „Weak Hano Lapukogo‟ (susah senang sama-sama),
„Ninetaiken O‟Pakeat‟ (satu satu satu rasa) di Wamena, Papua; „Sambatan‟ (saling membantu) di
Yogyakarta; „Antar-antaran Ugo‟ (persaudaraan) di Jawa Timur; „Taretan Thibi‟ (saudara
sendiri), „Oreng Dhaddhi Taretan, Taretan Dhaddhi Oreng‟ (orang lain menjadi saudara/keluarga,
saudara/keluarga bisa menjadi orang lain), dikutip dari Ma‟ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan
Nasional (Banten: Yayasan An-Nawawi, 2013), h. 196-207. Dan A. Latief Wiyata, Mencari
Madura (Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013), h. 103-106. 31
AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, h. 17-19.
31
cutting affiliations) yang kemudian melahirkan loyalitas ganda atau loyalitas yang
bersifat silang-menyilang pula (cross cutting loyalities). Konflik yang melibatkan
antarsuku akan mudah dinetralisir dan diredusir oleh bertemunya loyalitas agama
atau daerah. Dalam banyak kasus, konflik antar golongan atau antar etnis akan
mudah diredam, bahkan dihilangkan, bila pihak-pihak yang berkonflik memiliki
persamaan agama yang dianut atau berasal dari daerah yang sama. Realitas
Indonesia telah membuktikan banyaknya struktur dan loyalitas masyarakat yang
bersifat silang-menyilang telah menjadi landasan mengapa kerukunan di
Indonesia relatif terjaga dengan baik.32
C. Konsep Konflik Umat Beragama
Dalam kehidupan sosial (umat beragama), konflik bersifat inhern sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari realitas kehidupan. Konflik senantiasa ada
dalam setiap waktu, di mana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, konflik dan
kerukunan merupakan gejala yang selalu ada dalam kehidupan umat beragama.
Munculnya konflik dan kerukunan didorong karena adanya perbedaan dan
persamaan kepentingan.
Apalagi manusia dipersepsi sebagai makhluk konfliktis (homo conflictus),
yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan
baik secara sukarela ataupun terpaksa. Konflik, secara etimologis, berasal dari
bahasa latin „con‟ yang berarti bersama dan „fligere‟ yang berarti benturan atau
tabrakan. Konflik berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan hal
32
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 205-206.
32
lainnya yang melibatkan dua pihak atau lebih.33
Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia , konflik berarti percekcokan, perselisihan; pertentangan.34
Secara sederhana, konflik diartikan sebagai perselisihan atau pertentangan
antara dua pihak (individu atau kelompok) di mana salah satu pihak atau semua
pihak sama-sama ingin menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya
atau membuatnya tidak berdaya.35
Konflik itu terjadi, secara garis besar disebabkan oleh: Pertama,
Kemajemukan Horizontal, di mana struktur masyarakat yang majemuk dari segi
agama, etnis, ras dan budaya menjadi penyebab terjadinya konflik karena masing-
masing ingin mempertahankan identitas dan karakteristiknya masing-masing.
Dalam konstruk masyarakat yang demikian ini, jika belum ada konsensus nilai
yang menjadi pegangan bersama, konflik dapat menimbulkan kekerasan dan
peperangan. Kedua, Kemajemukan Vertikal, di mana dalam struktur masyarakat
ada polarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan dan kekuasaan. Kemajemukan
vertikal bisa menimbulkan konflik karena ada sekelompok kecil masyarakat yang
memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang
besar sementara sebagian besar yang lain sebaliknya. Artinya, akses dan distribusi
sumber-sumber nilai yang tidak merata menyebabkan kepincangan di dalam
masyarakat dan menyebabkan terjadinya konflik.36
Hal ini dipertegas oleh analisa Dahrendorf, di mana masyarakat mempunyai
dua wajah yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat tidak akan ada tanpa
33
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 347. 34
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 723. 35
A. Rusdiana, Manajemen Konflik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 68. 36
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 360-361.
33
konsensus dan konflik di mana saling terkait dan menjadi prasyarat satu sama
lain. Jadi, tidak akan ada konflik kecuali ada konsensus dan integrasi sebelumnya.
Sebaliknya, konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Bagi
Dahrendorf, perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan
konflik.37
Dalam konteks Indonesia, konflik yang berakibat pada kekerasan yang
kerap terjadi ada dua jenis: yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal
dimaksud yang melibatkan elit dan rakyat. Elit di sini bisa para pengambil
kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis dan aparat militer. Konflik ini
menggunakan instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban di kalangan
rakyat. Sedangkan konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi di kalangan
rakyat sendiri. Di Indonesia, konflik horizontal yang tergolong besar pengaruhnya
adalah konflik antar agama dan konflik antar suku.38
Menurut Fisher, seperti dikutip oleh Novri Susan, selain jenis konflik, perlu
juga diketahui tipe konflik yang akan menggambarkan persoalan perilaku dan
situasi yang ada. Tipe konflik itu terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik
terbuka, dan konflik di permukaan.39
Tanpa konflik menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan antar
kelompok bisa saling memenuhi dan damai. Model tanpa konflik ini bukan berarti
tidak ada konflik dalam masyarakat, akan tetapi masyarakat mampu menciptakan
struktur sosial yang bersifat mencegah ke arah konflik kekerasan. Dan bisa juga
karena ada budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi
permusuhan dan kerasan.
37
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, h. 153-156. 38
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Kencana, 2014), h. 85. 39
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, h. 85-87.
34
Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak
persoalan, sifatnya tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar bisa
ditangani. Kehidupan masyarakat yang tampak stabil dan harmonis belum
merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tidak terdapat permusuhan dan
pertentangan. Kenyataan ini bisa kita temukan dalam masyarakat Indonesia masa
Orba yang tampak harmonis, damai, dan kecilnya tingkat pertentangan di antara
anggota masyarakat, baik dalam dimensi etnis, agama dan lainnya. Akan tetapi di
balik stabilitas, keharmonisan, dan perdamaian itu ternyata terdapat konflik laten
yang begitu besar. Hal ini dibuktikan ketika Orba dan struktur kekuasaannya
runtuh, berbagai konflik laten dalam dimensi etnis dan keagamaan merebak di
permukaan.
Konflik terbuka adalah situasi di mana konflik sosial telah muncul ke
permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai
tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Hal ini seperti
kasus konflik yang terjadi di Ambon pada awal 1999, di Kalamantan Barat pada
1999, dan juga yang terjadi di Poso.
Untuk konflik di permukaan sendiri memiliki akar dangkal atau tidak
berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, dan dapat
diatasi dengan meningkatkan komunikasi atau dialog terbuka. Konflik ini muncul
karena disebabkan oleh kesalahpahaman komunikasi, saling melirik atau
terjadinya senggolan yang tidak disengaja di jalan.
Perlu dipahami bahwa tidak selamanya konflik berujung pada kekerasan
meskipun pada kenyataannya banyak orang memandang konflik dan kekerasan
adalah sama. Konflik dan kekerasan memiliki hubungan yang erat, sebab tidak
35
ada kekerasan tanpa diawali konflik terlebih dahulu. Kendatipun demikian,
mencari titik temu terkait apa yang menjadi akar dari kekerasan itu terjadi masih
mengalami kesulitan, namun dari sekian banyak kekerasan yang muncul dalam
relasi konflik, banyak pendapat menyebutkan kekerasan sebagai naluri purba dan
menjadi ciri alamiah manusia.
Misalkan Ibnu Khaldun menyebutnya dengan sifat animal power, di mana
manusia menggunakan cara-cara hewan dalam memperjuangkan tujuan mereka.
Sedangkan George Simmel menyebut bahwa manusia memiliki perasaan
memusuhi (hostile feeling) sebagai sifat alamiah yang selalu mengikuti
perkembangan alamiah dari sistem sosial. Atau dengan terma Thomas Hobbes;
homo homini lupus atau Man to Man is an arrant Wolfe (manusia adalah srigala
bagi srigala yang lain). Namun Hobbes menekankan bahwa manusia memiliki
kesadaran dan kemampuan untuk mengalkulasi kekerasan. Artinya, ada
kepentingan pribadi yang harus dimenangkan melalui kekuatan atas kepentingan
orang lain. Kesadaran inilah yang menyebabkan kekerasan menjadi pilihan untuk
memenangkan kepentingan.40
Dalam analisa sosial, kekerasan akan terjadi jika konflik (perselisihan dan
pertentangan) tidak mampu diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. Konflik tidak akan berubah menjadi kekerasan, jika konflik tersebut
dapat terselesaikan melalui saluran-saluran yang ada atau dengan mekanisme yang
baik. 41
Dari sekian banyak pengertian tentang kekerasan, secara sederhana bisa
didefinisikan sebagai bentuk tindakan yang melukai, membunuh, merusak, dan
40
Penulis kutip dari Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, h. 101. 41
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 359.
36
menghancurkan lingkungan. Dari hal ini kemudian, Thomas Santoso memilahnya
ke dalam tiga kelompok besar42
:
Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor. Klasifikasi pertama ini
menjelaskan bahwa kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan kelompok aktor
yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan.
Kedua, kekerasan sebagai produk dari struktur. Klasifikasi kedua ini
menegaskan bahwa kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang
terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Kekerasan model
ini, oleh para tokoh, biasa disebut sebagai kekerasan yang tidak langsung atau
tidak tampak. Dan biasanya tidak hanya melibatkan aktor, namun juga struktur
negara atau pemerintahan.
Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan Erich Fromm di mana kekerasan
muncul dan meledak, jika kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang
dihalangi, energi yang terhalang itu mengalami proses dan beralih menjadi energi
yang bersifat merusak. Sifat merusak merupakan akibat dari tidak dihidupinya
kehidupan. Jadi, kondisi-kondisi individual dan sosial yang menghalangi energi
yang memajukan hidup itulah yang menghasilkan sifat perusakan yang pada
gilirannya merupakan sumber yang daripadanya memancar berbagai bentuk
kekerasan.43
Ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur. Konflik
atau kekerasan model ini dianggap sebagai kekerasan yang ditentukan oleh aktor
dan struktur itu sendiri.
42
Klasifikasi dan pengertian ini didasarkan pandangan dan analisa para tokoh dalam
Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama (Jakarta: PT Pustaka Utan Kayu, 2002), h. 1-7. 43
Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia
(Yogyakarta: PUSATAKA PELAJAR, 2010)
37
Kekerasan yang digambarkan oleh Thomas Santoso lebih menekankan pada
kekerasan dalam ranah politik-agama. Kekerasan yang terjadi acap kali
berhubungan antara faktor politik dan agama. Kekerasan bisa muncul ketika;
Pertama, individu atau kelompok mengalami ketidakadilan, lalu muncul
kemarahan moral dan kemudian memberi respon dengan kemarahan pada sumber
penyebab kemarahan tersebut. Kedua, kesenjangan antara (das sollen dan das
sein)—ought dan is. Ketiga, tekanan struktur sosial yang menghimpit sehingga
berakibat pada perlakukan yang tidak adil dan ketidakjujuran. Keempat,
perubahan demografi baik migrasi maupun konversi mengakibatkan radikalisasi
agama dan didukung pelapisan sosial berubah menjadi sensitif dalam masyarakat
majemuk. Kelima, perasaan kelompok agama yang terancam atau terpinggirkan
bisa menimbulkan radikalisasi agama. Kelima, kekerasan bisa disebabkan oleh
proses pembangunan dan rezim suatu pemerintahan tertentu yang berakibat pada
tertutupnya akses terhadap negara.
Oleh karenanya, Thomas Santoso, menegaskan bahwa agama semestinya
tidak menimbulkan kekerasan. Namun fakta menunjukkan bahwa agama dapat
menimbulkan kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain, semisal
kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik. Agama dapat
disalahgunakan dan disalaharahkan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari
sisi eksternal, agama cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas
mereka terancam. Dari sisi internal, agama itu cenderung melakukan kekerasan
karena merasa yakin tindakannya berdasarkan kehendak Tuhan sesuai dengan apa
yang diyakini dalam agamanya.44
44
Thomas Santoso, “Kekerasan Politik-Agama,” dalam Kekerasan Agama Tanpa Agama,
h. 7.
38
Dalam analisa Charles Kimball menyebutkan lima hal yang menyebabkan
kekerasan bisa lahir dari rahim agama:45
Pertama, Bila agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran
yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini yang terjadi, pemeluk (agama) tersebut
akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya.
Klaim kebenaran mutlak suatu agama, biasanya disebabkan karena pemeluk
agama bersangkutan yakin bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan
demikian. Teks kitab suci bisa disembronokan dan disalahgunakan untuk
kepentingan apa saja. Mengutip Shakespeare, Kimball mengingatkan, “Bahkan
setan pun bisa mengutip kitab suci untuk kepentingannya.”
Kedua, Ketaatan buta terhadap pemimpin keagamaan mereka. Kimball
memperingatkan supaya berhati-hati terhadap gerakan agama yang bertentangan
dengan akal sehat, membatasi kebebasan intelek, meniadakan integritas individual
para pengikutnya dengan cara menuntut ketaatan buta terhadap pemimpin mereka.
Gerakan-gerakan keagamaan di atas mempunyai ciri-ciri yang sama. Mereka
mulai dengan gerakan pembebasan rakyat dari kejahatan sosial. Kemudian,
mereka menarik dan mengisolaksikan diri dari masyarakat, lalu membentuk suatu
komunitas egaliter. Mereka menganggap, hanya komunitas merekalah yang bakal
diselamatkan. Dan keselamatan itu bisa diperoleh jika mereka taat secara buta
terhadap pemimpin agama mereka. Mereka menganggap pemimpin mereka
mempunyai kekuasaan dan kebijaksanaan tanpa batas, nyaris menyamai Tuhan
sendiri.
45
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (terj.) “When Religion Becomes evil”,
(Bandung: Mizan Publika, 2013).
39
Ketiga, Gandrung merindukan zaman ideal. zaman ideal berlawanan dengan
zaman sekarang ketika pemeluk agama dianggap hidup di zaman yang penuh
dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian, dan kesia-siaan. Zaman ideal, manusia
akan dibebaskan dari semua cacat dan dosa dan mengalami kebahagiaan.
Keempat, Tujuan yang membenarkan cara. Kekorupan agama ini berkaitan
dengan penyalahgunaan komponen-komponen dari agama sendiri. Agama tidak
mungkin ada tanpa komponen-komponennya yang hakiki, seperti ruang dan
waktu yang sakral, komunitas dan institusi keagamaan. Komponen-komponen
tersebut hayalah sarana bukan tujuan inti. Namun, sarana tersebut dijadikan
tujuan, dan untuk meraih tujuan itu dipakailah segala cara dan pembenaran. Hal
itulah, menurut Kimball, agama mudah menjadi korup dan jahat.
Kelima, Ketika perang suci dihidupkan. Ambil saja misalnya Perang Salib
yang begitu kejam, atau terorisme modern.
Untuk menghindari kejahatan dan kekorupan atas nama agama, Kimball
menyarankan, sudah saatnya kini agama-agama menjadi agama perdamaian.
Agama-agama wajib menggali sumber-sumber dan riwayat hidupnya yang
autentik, dimana mereka bisa dan pernah menjadi agen-agen perdamaian. Inilah
yang dimaksud oleh Kimball sebagai upaya untuk kembali kepada autentisitas
agama.
Sedangkan konflik umat beragama menjadi bagian dari berbagai macam
konflik yang terjadi dalam konteks ke-Indonesia-an. Konflik umat beragama
diartikan dengan terjadinya ketegangan dan kekerasan menyangkut persoalan
agama atau simbol-simbol agama yang berakibat pada kerusakan fisik dan
jatuhnya korban jiwa.
40
Konflik yang kerap mewarnai dinamika kehidupan umat beragama di
Indonesia dari awal Orde Baru hingga Reformasi adalah persoalan perjumpaan
Islam dan Kristen/Katolik yang dinamis dan fluktuatif. Konflik berawal dari
kecurigaan dan kebencian antar kedua agama terkait persoalan kristenisasi atau
penyebaran agama dan pendirian rumah ibadah di daerah-daerah yang
diasosiasikan dengan identitas agama tertentu. Misalkan daerah Aceh diasosiakan
dengan Islam, Papua dengan identitas Kristennya, atau Suku Madura dengan
Identitas Islamnya. Kerentanan yang awalnya hanya dipicu oleh segregasi sosial
berbasis etnis, kemudian dipertajam dengan segregasi sosial berbasis identitas
etnis yang diasosiasikan dengan agama tertentu. Kondisi inilah yang mewarnai
konflik Islam-Kristen sejak awal Orde Baru hingga era Reformasi, bahkan dalam
kondisi Indonesia kekinian.
Ma‟ruf Amin menjelaskan bahwa penyebab terjadinya konflik antar umat
beragama, secara mendalam disebabkan oleh dua hal; pertama, lemahnya ideologi
kerukunan dalam salah satu atau masing-masing umat beragama sehingga
mempengaruhi cara pandang dan sikap terhadap agama lain dengan pola curiga,
menuduh, dan mendeskriditkan, bahkan menyingkirkan. Kedua, penyiaran agama
sebagai salah satu bentuk provokasi dan distorsi terhadap ajaran agama lain.
Sehingga mengakibatkan terjadinya efek balik dari umat agama lain yang
terprovokasi.46
Lebih jauh disebutkan, bahwa konflik antar umat beragama atau konflik
yang bernuansa agama yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti pemahaman keagamaan yang literal dan radikal, kepentingan politik dan
46
Ma‟ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Banten: Yayasan An-Nawawi,
2013), h. 97.
41
ekonomi, pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, salah faham informasi di
antara pemeluk agama, tidak efektifnya penegakan hukum dan juga kurangnya
pengembangan sistem pencegahan konflik secara dini.47
Ini menegaskan bahwa konflik yang melibatkan umat beda agama yang
terjadi di Indonesia semua tidak disebabkan oleh akar tunggal yakni agama,
namun dari akar serabut yang dipicu oleh banyak faktor, seperti kepentingan
politik kelompok tertentu, kepentingan ekonomi, dan lemahnya penegakan
hukum. Sedangkan konflik yang disebabkan oleh faktor agama terkait pendirian
rumah ibadah dan penyiaran agama, serta hal lain yang menyangkut persosalan
dan simbol agama.
47
Ma‟ruf Amin, Harmoni Dalam Keberagaman: Dinamika Relasa Agama-Negara
(Jakarta: Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, 2011), h. 97-104.
42
BAB III
BASIS KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
A. Landasan Ideal Kerukunan
Indonesia dengan segala keragaman suku, budaya, bahasa dan agama yang
dimiliki, sulit dipahami dengan nalar sederhana bisa terbentuk dalam satu
kesatuan sebagai sebuah bangsa. Tentunya tidak mudah merajut kebersamaan di
atas perbedaan. Apalagi untuk menjaga kerukunan dengan kompleksitas
keragaman Indonesia yang sangat besar. Namun, bangsa Indonesia membuktikan
diri sebagai bangsa yang dapat memintal perbedaan itu ke dalam bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan
idealnya.
Pancasila sebagai landasan bersama dalam mengelola perbedaan menjadi
harmoni indah yang dapat menyatukan bangsa Indonesia dari ujung pulau
Sumatra hingga Papua. Dengan berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar
bersama, perbedaan etnis, budaya dan agama di Indonesia mampu hidup secara
berdampingan, rukun, penuh kerjasama dan saling menguatkan.
Perbedaan itu semua bukan penghalang untuk menciptakan persatuan dan
kesatuan sebagai negara bangsa (nation state) yang kita sebut NKRI dengan
semboyannya, „Bhinneka Tunggal Ika‟. Hal ini sebagai penegasan, bahwa
keragaman sebagai karakter dan jati diri bangsa, bahkan sebagai kekuatan
strategis ketika mampu dikelola dengan baik berlandaskan Pancasila sebagai dasar
negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
43
Pancasila adalah inti sari dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
religius, mengandung nilai dan prinsip dasar yang bisa diterima oleh semua
golongan agama. Pancasila, khususnya di sila pertama, sebagai basis kerukunan
hidup umat beragama. Landasan bagi semua golongan agama dalam membina
kehidupan beragama yang harmonis, meneguhkan nilai mulia dari ajaran agama
masing-masing.
Bangsa ini harus menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan
ideal demi terciptanya kerukunan antar umat beragama, di mana negara
berkewajiban melindungi dan mengayomi semua agama dengan memastikan
kemerdekaannya. Ini ditandaskan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Artinya, negara
menjamin kemerdekaan beragama sebagai hak dasar manusia demi terwujudnya
kerukunan agama. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai hari nuraninya (Pasal 28E Ayat 1 dan 2).
Ini menjadi penegasan, bahwa Pancasila tidak akan ada pertentangan
dengan nilai luhur agama-agama karena Pancasila sebagai sari dari ajaran luhur
tersebut. Begitu juga dengan UUD 1945 tidak akan bertentangan dengan ajaran
dan dogma agama, karena konstitusi dasar kita sebagai penjabaran dari Pancasila,
sedangkan Pancasila adalah kristalisasi dari Proklamasi, dan Proklamasi adalah
berkat dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.1
1 Ma‟ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Banten: Yayasan An-Nawawi, 2013),
h. 222.
44
Harus jadi kesadaran bersama bahwa landasan untuk kerukunan hidup umat
beragama sudah ada sejak bangsa ini merdeka. Seperti dikutip dari ceramah Mukti
Ali,
“bagi bangsa Indonesia, landasan untuk kerukunan hidup umat beragama itu
sudah ada, baik yang lebih bersifat filosofis maupun yang lebih bersifat
pragmatis. Yang pertama adalah falsafah negara Pancasila dan yang kedua
adalah tugas nasional bersama pembangunan bangsa.”2
Pada prinsipnya, banyak titik temu yang bisa dikembangkan dan dijadikan
pijakan bersama untuk membina kerukunan dan kesatuan bagi bangsa ini.
Pertama, kita sebagai bangsa yang satu, hidup dalam negara yang satu, atas dasar
yang satu yaitu pancasila dan UUD 1945 dan diatur oleh pemerintah yang satu.3
Dengan demikian, bangsa ini sudah punya Pancasila dan UUD 1945 yang
bisa dijadikan landasan ideal bagi kerukunan hidup beragama. Namun, untuk
menciptakan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama, dibutuhkan
kesadaran, kejujuran dan kemauan untuk rukun. Tanpa kemauan ini, meskipun
banyak landasan yang bisa dijadikan pijakan dan titik bersama, akan sulit
diwujudkan. Wajar kemudian, kalau pada Indonesia kekinian, masih banyak
terjadinya konflik yang mengarah pada kekerasan antar umat beragama dan dapat
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pilihan terbaiknya,
pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan regulatif untuk memperkokoh
bangunan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia.
2 Ceramah Menteri Agama Mukti Ali pada Penataran Wartawan Agama di Pondok Gontor
Ponorogo Madiun, tgl. 10 Juni 1974, Bimas Katolik No. 2 Th. VI-1974, h. 20, dalam AP.
Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1983), h. 21. 3 Ceramah Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, h. 18, dalam AP. Budiyono HD,
Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, h. 22.
45
B. Regulasi Kerukunan Umat Beragama
Indonesia sebagai bangsa pluralistik kerap diwarnai konflik dan kekerasan
yang melibatkan umat beda agama. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
meredam dan mengatasi konflik demi terciptanya sebuah kerukunan. Upaya
tersebut salah satunya melalui kebijakan pemerintah dengan penetapan regulasi
dan sejumlah petunjuk mengenai pengelolaan kemajemukan agar tidak
menimbulkan konflik yang dapat mengganggu kohesi sosial dan dapat memecah
belah Indonesia sebagai sebuah bangsa.4
Terbitnya kebijakan pemerintah dalam wujud regulasi demi menciptakan
dan memelihara kerukunan tersebut, selalu—bisa dikatakan demikian—
dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi. Misalkan; adanya kasus pelecehan atau
penodaan agama, penyiaran atau penyebaran agama, pendirian tempat rumah
ibadat dan bantuan luar negeri. Ini menjadi salah satu faktor utama yang
menyebabkan terjadinya konflik yang berujung kepada anarkisme antar umat
beragama dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Berikut regulasi atau kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menjaga
kerukunan:
Pertama, terbitnya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalah Gunaan dan/atau Penodaan Agama yang
ditetapkan pada tanggal 27 Januari 1965 oleh Presiden Soekarno.
PNPS Nomor 1 tahun 1965 ini dilatarbelakangi oleh fenomena munculnya
aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang—
katanya—bertentangan dengan ajaran atau norma agama. Ajaran atau perbuatan
4 Syahrini Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 6.
46
pemeluk aliran tersebut yang dianggap telah menodai agama, faktanya
menimbulkan konflik dan berpotensi memecah persatuan.
Dengan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 ini pemerintah
memberikan penjelasan bahwa tidaklah sekali-kali ada niatan atau tidak
dimaksudkan hendak mengganggu gugat hak hidup umat beragama. Terlepas
adanya pro-kontra, regulasi ini pada prinsipnya ingin memberikan perlindungan
umat beragama dari berbagai potensi pelecehan, konflik maupun penistaan agama.
Regulasi ini sebagai wujud nyata kepedulian dan ketegasan pemerintah
untuk menjaga kerukunan umat beragama. Terlihat dalam Pasal 1 PNPS Nomor 1
tahun 1965:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-
kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”5
Kedua, penetapan Surat Keputusan Bersama Nomor 1 tahun 1969 pada
tanggal 13 September 1969 sebagai Keputusan Bersama antara Menteri Agama
KH. Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tentang
Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
pemeluknya.
SKB ini dibuat karena munculnya permasalahan tentang penyebaran agama
dan pendirian rumah ibadat yang menyasar kalangan umat beda agama.
Khususnya terkait konflik yang melibatkan Islam dan Kristen. Sejak tahun 1965
pertambahan jumlah umat Kristen cukup pesat diikuti dengan pembangunan
5 Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008), edisi ke-10, h. 179.
47
gedung-gedung Gereja yang baru. Apalagi pertambahan jumlah umat kristen dan
gedung Gereja dilakukan di daerah-daerah yang diasosiasikan dengan etnis atas
dasar identitas Islam.6
Kasus penyebaran atau penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat
merupakan kasus sensitif dan kompleks yang sampai saat ini terus mewarnai
dinamika konflik yang melibatkan umat beda agama. Munculnya kasus pelik ini
semakin menambah kesadaran dan kewaspadaan akan apa yang menjadi
tanggungjawab pemerintah untuk lebih berperan aktif menjaga kehidupan umat
beragama dengan tujuan meminimalisir segala potensi dan konflik yang dapat
mengganggu kerukunan.
Maka dari itu, pemerintah kemudian membuat ketentuan-ketentuan
mengenai pelaksanaan apa yang menjadi tugas dan kewajiban dari aparatur
pemerintahan dalam membimbing, mengatur dan melindungi kelancaran
pelaksanaan, pengembangan dan ibadat umat beragama agar tidak menimbulkan
perpecahan dan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Hal ini bisa dilihat di tiap-tiap pasal dalam SKB Nomor. 1 tahun 1969 yang
tertera pada pasal 1 dan 2:7
Pasal 1
Kepala Daerah memberikan kesempatan kepada setiap usaha
penyebaran agama dan pelaksanaan ibadat pemeluk-pemeluknya,
sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang
dan tidak mengganggu keamaan dan ketertiban umum.
Pasal 2
6 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulya, 2004), h, 297. 7 Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama,
h. 190-193.
48
(1) Kepala daerah membimbing dan mengawasi agar pelaksanaan
penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya tersebut:
a. Tidak menimbulkan perpecahan di antara umat beragama.
b. Tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, pelaksanaan atau
ancaman dalam segala bentuknya.
c. Tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban
umum.
Kepala Daerah dalam melaksanakan apa-apa yang menjadi tugas dan
tanggungjawabnya sesuai pasal di atas, bisa dibantu atau dapat menggunakan alat
Kepala Perwakilan Departemen Agama di tiap-tiap setempat (provinsi atau
kabupaten). Jika Kepala Daerah bertugas lebih pada upaya memberikan
pelayanan, membimbing dan melakukan pengawasan dalam setiap pelaksanaan
ibadat pemeluk agama agar berjalan lancar dan tertib, maka Kepala Perwakilan
Departemen Agama setempat lebih fokus memberikan bimbingan dan
pengawasan terhadap pemuka agama dalam memberikan ceramah agama dan
khotbah-khotbah yang sifatnya jangan sampai mengganggu, menjelekkan atau
menyerang golongan agama tertentu sebagaimana tertuang pada pasal 3.
Pasal 3
(1) Kepada Perwakilan Departemen Agama memberikan mimbingan,
pengarahan dan pengawasan terhadap mereka yang memberikan
penerangan/penyuluhan/ceramah agama/khotbah-khotbah di
rumah-rumah ibadat, yang sifatnya menuju kepada persatuan
antara semua golongan masyarakat dan saling pengertian antara
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda-beda.
(2) Kepada Perwakilan Departemen Agama setempat berusaha agar
penerangan aama yang diberikan oleh siapapun tidak bersifat
menyerang atau menjelekkan agama lain.
Dalam SKB ini, Kepala Daerah juga bertanggungjawab dalam pengaturan
dan pengawasan terhadap pendirian rumah ibadat agar tidak lagi menjadi pemicu
konflik. Karena dalam dinamika hubungan Islam dan Kristen, rumah ibadat juga
menjadi persoalan dan pemicu perpecahan di antara keduanya. Pendirian rumah
49
ibadat ini—untuk semua agama yang diakui di Indonesia—harus mendapatkan
ijin dari Kepala Daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya dengan meminta
masukan dan pertimbangan dari Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat
dengan melihat pada kondisi dan keadaan setempat, seperti yang terdapat pada
pasal 4. Jika dalam pelaksanaan aturan ini diketemukan dan terdapat perselisihan,
maka Kepala Daerah harus adil dalam menyelesaikannya dan menyerahkan
kepada pihak berwenang sesuai aturan hukum jika perselihan itu menimbulkan
tindakan pidana sesuai yang tertuang dalam pasal 5.
Pasal 4
(1) Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan ijin dari Kepala
Daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan
untuk itu;
(2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1)pasal
ini memberikan ijin yang dimaksu, setelah mempertimbangkan:
a. Pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat;
b. Planologi
c. Kondisi dan keadaan setempat
(3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang
ditujukan itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi
ke agamaan dan ulama/rokhaniawan setempat.
Pasal 5
(1) Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara pemeluk-
pemeluk agama yang disebabkan karena kegiatan
penyebaran/penerangan/penyuluhan/ ceramah / khotbah agama
atau pendirian rumah ibadat, maka Kepala Daerah segera
mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak.
(2) Dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut menimbulkan
tindakan pidana, maka penyelesaiannya harus diserahkan kapada
alat-alat penegak hukum yang berwenang dan diselesaikan
berdasarkan hukum.
(3) Masalah-masalah keagamaan lainnya yang timbul dan
diselesaikan oleh Perwakilan Departemen Agama segera
dilaporkannya kepada Kepala Daerah setempat.
50
Terbitnya SKB Nomor 01 tahun 1969 memberikan penegasan secara
filosofis akan apa yang menjadi landasan dari SKB tersebut. Dimana,
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan dijamin oleh Negara.
Pemerintah bertugas memberikan bimbingan dan bantuan guna
memperlancar usaha mengembangkan agama sesuai dengan ajaran agama masing-
masing dan melakukan pengawasan sedemikian rupa, agar setiap penduduk dalam
melaksanakan ajaran agama dan dalam usaha mengembangkan agama itu dapat
berjalan dengan lancar, tertib dan dalam suasana kerukunan. Pemerintah
berkewajiban melindungi setiap usaha pengembangan agama dan pelaksanaan
ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu keamanan dan
ketertiban umum.
Ketiga, Surat Keputusan Bersama Nomor 1 tahun 1979 antara Menteri
Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara dan Menteri Dalam Negeri H. Amir
Mahmud. SKB yang ditetapkan pada tanggal 2 Januari 1979 ini mengatur tentang
tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan batuan luar negeri kepada lembaga
keagamaan di Indonesia.8
SKB ini diterbitkan berangkat dari pertimbangan terhadap banyaknya
bantuan luar negeri kepada kelompok keagamaan tertentu di Indonesia dan
penggunaan tenaga asing dalam pengembangan dan penyiaran agama yang
kemudian disalahgunakan dengan tujuan menarik pemeluk agama lain.9 Kasus ini
8 Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama,
h. 206-211. 9 Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman di Indonesia (Bandung:
Marja, 2013), h. 133-135.
51
menambah pelik hubungan umat beragama, khususnya Islam dan Kriten. Aktifitas
penyiaran agama dengan bantuan tenaga dan modal asing menjelma menjadi
konflik penuh kekerasan karena menyasar dan menarget pemeluk agama lain.
Pihak Islam menuduh penyiaran agama Kristen/Katolik atau zending menyasar
dan bisa mempengaruhi umat Islam agar pindah keyakinan. Begitu juga dengan
bantuan modal asing yang digunakan sebagai bantuan atau bakti sosial ke
masyarakat dengan menarget masyarakat pemeluk agama Islam yang didalamnya
disusupi—bisa disebut sebagai kedok—dengan gerakan zending tersebut.
Dari kasus ini kemudian hubungan umat Islam dan Kristen semakin penuh
kecurigaan dan permusuhan yang bermuara pada gerakan-gerakan kekerasan yang
memilukan, memalukan dan memakan korban yang tidak sedikit. Tentunya, ini
sebuah kerugian besar yang dialami bangsa ini jika tidak segera disadari dan
dicarikan solusi bersama guna mengatasi pokok persoalan.
Dari itu kemudian, hadirnya SKB ini dengan tujuan—bukan untuk
membatasi atau menghambat—sebagai upaya pengaturan dan pengarahan bagi
usaha-usaha penyiaran agama serta usaha memperoleh dan menerima bantuan luar
negeri agar berlangsung dengan tertib dan tidak mengganggu kerukunan hidup
antar umat beragama seperti tertuang pada pasal 1 dan 6.
Pasal 1
(1) Keputusan bersama ini ditetapkan dengan tujuan untuk:
a. Memberikan pengaturan dan pengarahan bagi usaha-usaha
penyiaran agama serta usaha-usaha untuk memperoleh dan
atau menerima bantuan luar negeri kepada lembaga
keagamaan di Indonesia sehingga cara pelaksanaan kegiatan
tersebut dapat berlangsung dengan tertib dan serasi.
b. Mengokohkan dan mengembangkan kerukunan hidup di
antara sesama umat beragama di Indonesia serta
memantapkan stabilitas nasional yang sama penting artinya
bagi kelangsungan dan berhasilnya pembangunan nasional.
52
(2) Keputusan bersama ini tidak dimaksudkan untuk membatasi
usaha-usaha pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di
Indonesia.
Pasal 6
(1) Segala bentuk usaha untuk memperoleh dan atau penerimaan
bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, dilaksanakan
dan melalui persetujuan Panitia Koordinasi Kerjasama Teknik
Luar negeri (PKKTLN) setelah mendapat rekomendasi dari
Departemen Agama.
(2) Penggunaan tenaga rohaniawan asing dan atau tenaga ahli asing
lainya atau penerimaan segama bentuk bantuan lainnya dalam
rangka bantuan luar negeri dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam SKB ini diatur pula tatacara pelaksanaan penyiaran agama agar tidak
kembali menyebabkan konflik. Persoalan penyiaran agama memang cukup pelik
mewarnai hubungan Islam dan Kristen sebagai agama dakwah atau misi, di mana
sama-sama harus menyiarkan dan menyebarkan ajaran agamanya sebagai bagian
dari tanggungjawabnya dan ketaatan akan perintah agama. Namun dalam
realitasnya, pelaksanaan penyiaran ajaran dari kedua agama ini menimbulkan
konflik dan harus diatur oleh pemerintah. Oleh karenanya, penyiaran agama harus
dilakukan dengan semangat kerukunan dan saling menghormati antara sesama
umat beragama. Pelaksanaannya tidak dibenarkan apabila ditujukan terhadap
orang atau kelompok yang telah menganut agama lain sesuai aturan yang tertera
pada pasal 4.
Pasal 4
Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan
terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut
agama lain dengan cara:
a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang,
uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-
obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang
atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang
53
lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan
tersebut.
b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-
bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau
kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain.
c. Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah
memeluk/menganut agama yang lain.
Keempat, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.
Dalam PBM ini, pemerintah sedikit banyak memiliki kemajuan dalam
upaya memelihara kerukunan sebagai tanggung jawab kolektif. Kerukunan tidak
lagi didominasi atas prakarsa-prakarsa yang bersifat top down. Kerukunan
menjadi tugas bersama baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat. PBM ini sebagai langkah pemerintah mengatasi kelemahan dan
kekurangan yang ada pada regulasi-regulasi sebelumnya. Artinya, segala aspek
yang menjadi kelemahan dan kekurangan dalam memelihara kerukunan, dalam
PBM ini hal tersebut diatur kembali dengan lebih detail.
PBM ini merupakan kesepakatan para wakil pemeluk agama yang
terrepresentasikan melalui pimpinan majelis-majelis agama yang ada di tingkat
pusat yang terdiri dari: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-
Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia
(WALUBI) bersama wakil dari Kementerian Agama dan Kementerian Dalam
Negeri.10
Hasil kesepakatan tersebut kemudian disahkan oleh Menteri Agama
10
Ma‟ruf Amin, Harmoni Dalam Keberagaman: Dinamika Relasi Agama-Negara (Dewan
Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama), h. 67.
54
Muhammad M. Basyuni dan Menteri Dalam Negeri H. Moh. Ma‟ruf pada tanggal
21 Maret 2006.
Dalam PBM ini, diatur secara rinci apa-apa yang menjadi tugas dan
kewajiban tiap-tiap kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan
sampai tingkat kelurahan/kepala desa dalam memelihara kerukunan umat
beragama. PBM ini ingin menjaga kerukunan sebagai tanggungjawab bersama
dari tingkat birokrasi terbawah sampai pemerintah pusat, seperti yang tertera pada
pasal 2 sampai pasal 4 sebagaimana berikut:11
Pasal 2
(1) Memeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung
jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan
Pemerintah.
Pasal 3
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi
tugas dan kewajiban gubernur.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah
departemen agama provinsi.
Pasal 4
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota
menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor departemen
agama kabupaten/kota.
Melalui PBM ini menegaskan tangungjawab bersama dari tingkat pusat
sampai tingkat bawah dalam menjaga kerukunan umat beragama. Untuk tingkat
provinsi maka kerukunan umat beragama menjadi tugas dan kewajiban Gubernur
11
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama,
h. 295-297.
55
dengan dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi seperti
dijelaskan dalam pasal 5:
(1) Tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 meliputi:
a. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di provinsi;
b. Mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan sating percaya di antara umat
beragama; dan
d. Membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan beragama.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil gubernur.
Sedangkan kerukunan umat beragama untuk tingkat Kabupaten/Kota
menjadi tanggungjawab Bupati/Wali Kota dengan memiliki tugas dan kewajiban
sebagaimana tertuang dalam pasal 6:
(1) Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 meliputi:
a. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di kabupaten/kota;
b. Mengordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama;
d. Membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala
desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
beragama;
e. Menerbitkan IMB rumah ibadat.
56
Untuk kerukunan umat beragama di tingkat Kecamatan dan Kelurahan atau
Desa menjadi tanggungjawab Camat, Lurah atau Kepala Desa dengan memiliki
tugas dan kewajiban sebagaimana tertera dalam pasal 7:
(1) Tugas dan kewajiban camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di wilayah kecamatan;
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama; dan
c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan.
(2) Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di wilayah kelurahan/desa; dan
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama.
Sebagai bentuk tanggungjawab bersama dari lapisan terbawah dalam
mengelola dan memelihara kerukunan, maka PBM ini juga memuat dan mengatur
pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang harus dibentuk di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia atas inistiatif dari
masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. FKUB ini sebagai wadah
bersama untuk umat beragama dalam memelihara kerukunan di tiap-tiap daerah
seperti yang dimuat dalam pasal 8: 1) FKUB dibentuk di provinsi dan
kabupaten/kota. 2) Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. 3) FKUB
57
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan yang bersifat
konsultatif.12
Sedangkan untuk keanggotaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
untuk tingkat provinsi dan kabupaten terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat
sebagai bagian dari upaya pemerintah memberikan pemberdayaan bahwa
kerukunan juga begitu membutuhkan peran penting pemuka-pemuka tiap agama
dalam menjaga kerukunan di level terbawah yaitu umat beragama itu sendiri.
Peran penting pemuka agama ini dibutuhkan untuk dapat memberikan
pemahaman keagamaan yang inklusif dan toleran, sehingga tercipta interaksi
yang dinamis dan saling menguatkan dalam dialog kehidupan umat beragama.
Keanggotaan FKUB ini diatur dalam pasal berikut:
Pasal 10
(1) Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat.
(2) Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan
jumlah anggota FKUB , kabupaten/kota paling banyak 17 orang.
(3) Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan
perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan
keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada
di propinsi dan kabupaten/kota.
(4) FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil
ketua, 1(satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris,
yang dipilih secara musyawarah oleh anggota.
Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat
provinsi dan kabupaten diberikan tugas untuk melakukan dialog dengan para
pemuka agama dan tokoh masyarakat yang tidak terakomodir dalam FKUB
12
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama,
h. 298-299.
58
sebagai bagian dari upaya menyerap aspirasi dan segala hal yang menjadi bahan
masukan untuk perbaikan, pengembangan dan penguatan kerukunan. Tugas
FKUB provinsi dan kabupaten diatur dalam pasal 9 sebagai berikut: a) melakukan
dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b) menampung aspirasi
ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c) menyalurkan aspirasi ormas
keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan d) melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama
dan pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan untuk FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 mempunyai tugas: a) melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat; b) menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c) menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota; d) melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang
berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan
e) memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Hal krusial lainnya yang diatur dalam PBM ini adalah pendirian rumah
ibadat yang diatur secara detail dan teknis sebagai solusi atas polemik dan konflik
yang sering terulang dan berujung pada perusakan rumah ibadat. Dalam
perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan, perusakan terhadap rumah ibadat
menjadi pemandangan „lazim‟ terjadi setiap kali konflik antara Islam dan Kristen
atau agama lainnya meletus dan mengarah kepada perusakan rumah ibadat agama
masing-masing. Realitas ini sampai mengundang komentar dari Franz Magnis
59
Suseno yang mengatakan Indonesia menjadi juara dunia dalam hal perusakan
rumah ibadat.13
Sudah begitu banyak, bahkan ratusan rumah ibadat yang telah
dirusak dan dibakar dalam setiap konflik yang berujung pada kerusuhan dan
kekerasan.
Aturan pendirian rumah ibadat dalam PBM ini menyempurnakan dan
menggantikan peraturan yang sebelumnya yaitu Surat Keputusan Bersama Nomor
1 tahun 1969. Dalam PBM ini menekankan bahwa pendirian rumah ibadat harus
didasarkan pada keperluan nyata sesuai komposisi jumlah penduduk umat
beragama di satu wilayah kelurahan/desa atau kecamatan atau kabupaten/kota atau
provinsi dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum.
Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung, serta harus memenuhi persyaratan khusus
yang tertera pada pasal berikut: a) daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk
pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3); b) dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60
(enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c) rekomendasi tertulis
kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; d) rekomendasi tertulis FKUB
kabupaten/kota.
Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 tahun 2006 ini
menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada peraturan-peraturan
yang sebelumnya. Bisa dikatakan, PBM ini sebagai kebijakan atau regulasi terbaik
13
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, h, 463.
60
yang ada saat ini sebagai pijakan semua pihak dalam menjalankan kehidupan
beragama.
C. Teologi Kerukunan Dalam Islam dan Katolik
Indonesia sebagai masyarakat yang berketuhanan, wacana kerukunan tentu
tidak asing lagi. Dan dengan demikian masyakarat dapat mengacu pada teologi
kerukunan dalam ajaran masing-masing agama yang dianut.
Secara harfiah teologi berarti ilmu ketuhanan: Theos berarti Tuhan, logos
berarti ilmu.14
Secara garis besar dapat dikatakan ilmu tentang ketuhanan. Baik
yang menyangkut tentang Tuhan, para utusannya dan keberadaan hari akhir.
Teologi juga dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar
dari suatu agama.15
Lebih rinci lagi perihal pembahasan kerukunan, dapat
ditemukan dalam pembahasan tentang hubungan Tuhan dengan manusia. Serta
hubungan manusia dengan manusia dalam ajaran-ajaran agama masing-masing.
Dengan mengacu pada fakta bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
berketuhanan, maka teologi kerukunan dapat digali dari ajaran-ajaran dasar
masing-masing agama.
Kerukunan dengan bingkai teologi menjadi relevan, mengingat masing-
masing agama yang ada di Indonesia memiliki landasaan teologi tersendiri. Tidak
terkecuali dengan agama Islam dan Katolik yang memiliki landasan teologi
tersendiri dalam mengajarkan umatnya dalam berkehidupan yang rukun dan
damai antar umat agama. Artinya, bingkai teologi di sini adalah ketika teologi
menjadi cara berkeyakinan, pendekatan dan modal penguatan kerukunan antar
umat beragama, agar setiap agama lebih memprioritaskan paham, etika, dan
14
Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 15. 15
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. ix.
61
budaya rukun dalam berinteraksi terhadap agama lain, dengan segala kesadaran
akan titik temu dan perbedaan ajaran agama masing-masing.16
Titik temu teologi
kerukunan di dalam ajaran agama-agama inilah yang menjadi salah satu sumber
untuk menciptakan keadaan rukun antar umat beragama.
1. Dasar Teologi Kerukunan Dalam Agama Islam
Perspektif teologi Islam tentang kerukunan umat beragama dapat ditemukan
dalam beberapa aspek yang meliputi: Akidah, Ibadat, dan aspek Muamalah.
Ketiga aspek ini menjadi dasar utama dalam membangun kerukunan antar umat
beragama bagi kalangan muslim. Beberapa bagian tersebut terdapat anjuran-
anjuran untuk memelihara kehidupan yang rukun antar umat beragama.
Dari sisi akidah, agama Islam memberikan penekanan untuk hidup rukun
antar manusia. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Agama Islam memberikan
perhatian yang besar terhadap keimanan penganutnya sebagai dasar dari segala
tindakan. Iman adalah ketetapan dan pembenaran hati yang implementasinya
dinyatakan dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran
agama17
. Ketetapan hati menjadi landasan seseorang dalam menjalankan segala
perintahNya serta menjauhi semua laranganNya. Iman dijelaskan dalam Sabda
Rasulullah.
Artinya : “Iman itu ialah mengucapkan dengan lidah mempercayai
dengan hati dengan mengerjakan dengan anggota”.
16
Ma‟ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Banten: Yayasan An-Nawawi,
2013), h. 110. 17
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia (Jakarta: Badan
Penelitian Dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, 1997), h. 21.
62
Artinya : “Mengenal Allah dengan hati, mengikrarkan dengan lidah
dan melaksanakan dengan anggota, iman bertambah dengan
taat dan ia menjadi kurang dengan kemaksiatan”.18
Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang Iman di antanya dalam surah
Al Hujarat/49:15.
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin sejati adalah mereka
yang beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka kepada di jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujarat: 15).
Firman Allah SWT yang menganjurkan untuk mengakui eksistensi pihak
lain dalam surah Ali Imran/3: 64
Artinya : Katakanlah (Muhammad), "wahai Ahli Kitab, marilah (kita)
menuju kepada suatu kalimat (pegangan) yang sama antara
kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah,
dan kita tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun,
dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah
(kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang
muslim” (QS. Ali Imran : 64).
Firman Allah SWT tentang landasan persaudaraan sesama manusia, dan
sebangsa. Dan menegaskan bahwa tidak ada larangan antara umat Islam dan non-
Islam untuk hidup bersama dalam suatu negara. Selama semuanya dapat
menghargai dan menghormati satu sama lain. Firman Allah SWT ini terdapat
dalam surah Al Mumtahanah/60: 8.
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu
karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang beralku
adil (QS. Al Mumtahanah : 8.
18
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, h. 22.
63
Firman Allah SWT tentang tidak ada paksaan dalam beragama salah
satunya terdapat dalam surah Al Baqarah/2: 256.
Artinya : “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thagut
dan beriman kepada Allah, maka mereka berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus, dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al
Baqarah : 256).
Dipertegas dalam firman Allah SWT dalam surat lain, Surah Yunus/10: 99.
Artinya : “Dan TuhanMu menghendaki tentulah beriman semua
orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya”. (QS. Yunus 99).
Firman Allah SWT yang lain dalam surah At-Taghabun/64 : 2.
Artinya : “Dialah Allah yang menjadikan kamu dan sebagian kamu
ada yang kafir sebagian lagi ada yang beriman dan Allah
mengetahui apa saja yang kamu perbuat”. (QS. At-
Taghabun : 2).
Firman Allah SWT dalam surah Al An‟am/6: 108.
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampui batas tampa pengetahuan.
Demikian kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memeberi tahu kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. Al An‟am : 108).
Beberapa kutipan Sabda Nabi Muhammad Saw dan Firman Allah SWT,
memberi gambaran tentang interaksi antar manusia maupun umat beragama.
Hakikat dari hidup bersosial dari kutipan di atas menunjukkan pada keharusan
untuk memperkuat akidah para pemeluknya. Serta di sisi lain juga bertujuan untuk
menjaga dan mengembangkan rasa persaudaraan antara manusia.
64
Firman Allah SWT tentang jalinan persaudaraan sesama manusia sebangsa
dan setanah air. Dan juga sebagai landasan umat Islam dalam menjalankan ibadat
dalam surah Al Muntahanah/60: 8.
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu
karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil”. (QS. Al Muntahanah : 8).
Ayat ini memberi penegasan bahwa sebagai sesama manusia harus hidup
bersama secara damai dan dapat dijadikan landasan dalam menjalankan hubungan
antar sesama. Surah Al Muntahanah/60: 9.
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu mennjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”. (QS. Al Muntahanah : 9).
Hubungan antar manusia di dalam perspektif Islam tidak hanya datang dari
yang normatif saja. Melainkan memiliki pijakan yang cukup banyak seperti
hubungan dengan agama-agama lain yang dianut oleh umat beragama sebelum
datangnya Islam. Dalam memandang kedudukan manusia dalam beberapa agama
yang memiliki hubungan erat dengan Islam seperti Kristen dan beberapa agama
samawi lainnya. Menempatkan manusia sebagai satu keturunan, yakni dari
keturunan dari Adam dan Hawa. Sebagaimana dijelaskan Azyumardi Azra dalam
bukunya Bingkai Teologi, bahwa menurut Islam, manusia berasal dari satu asal
yang sama, yakni dari keturunan Adam dan Hawa.19
Pandangan ini menunjukkan
19
Azyumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antar umat Beragama: Perspektif
Islam,” dalam Weinata Sairin, ed., Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
Berbangsa; Butir- Butir Pemikiran (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 92.
65
bahwa Islam memiliki pandangan sangat baik dan positif terhadap manusia dan
kemanusiaan.
Kesamaan dari sisi nenek moyang dari pandangan Islam, juga tidak berarti
menempatkan manusia sama dalam segi budaya, suku, dan bahasa. Perjalanan
sejarah manusia mengalami perkembangan dan beranak-pinak yang menjadi suku-
suku, dan berbangsa-bangsa. Perbedaan-perbedaan ada yang harus disikapi
sebagai suatu hal yang positif untuk menumbukan rasa saling mengenal antar
sesama manusia. Islam memandang perbedaan bukan terletak pada warna kulit,
suku dan bahkan bahasa. Melainkan menempatkan ketaqwaan kepadaNya sebagai
ukuran yang hakiki. Hal ini tergambar dari Firman Allah SWT dalam surah Al
Hujarat/49: 13.
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
mengenal”. (QS. AL-Hujarat : 13).
Surat Al-Hujarat ayat 13 tersebut menunjukkan basis teologis kerukunan
umat beragama untuk kesatuan manusia dalam persaudaraan. Azra dalam hal ini
menyebutkan dengan gamblang sebagai suatu dorongan untuk menumbuhkan
persaudaraan antar manusia. Basis normatif inilah yang menjadi dasar perspektif
Islam tentang “kesatuan umat manusia”, yang kemudian bisa menumbuhkan dan
mendorong berkembangnya solidaritas antar sesama manusia, dalam bingkai
ukhuwah insyaniyah atau ukhuwah bashariyah.20
20
Azyumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antar umat Beragama: Perspektif
Islam,” dalam Weinata Sairin, ed., Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
Berbangsa; Butir- Butir Pemikiran, h. 92.
66
Firman Allah SWT tentang kesatuan umat manusia juga dapat ditemukan
dalam surah Al Baqarah/:213, yang menjelaskan bahwa seluruh manusia
sesungguhnya adalah umat yang satu.
Artinya : “Sesungguhnya seluruh manusia adalah umat yang satu”.
(QS. Al Bagarah : 213).
Ayat di atas menempatkan perspektif kerukunan pada titik kesamaan
sebagai umat manusia. Dari konsep persamaan akan melahirkan persaudaraan.
Sebagaiman dijelaskan Kementerian Agama dalam buku yang berjudul Bingkai
Teologi Kerukunan hidup Umat beragama di Indonesia, bahwa, dalam perspektif
kerukunan, ajaran agama Islam dalam muamalah didasarkan pada konsep
persamaan. Dari konsep persamaan akan dilahirkan persaudaraan.21
Selain landasan teologi Islam tentang kerukunan hidup umat beragama, juga
terdapat sejarah Piagama Madinah yang mengatur hubungan antar komunitas
yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan Islam di masa
kepemimpinan Rasulullah. Tepatnya ketika menjadi kepala agama dan
pemerintahan di Madinah. Dijelaskan bahwa dalam piagam tersebut antara lain
ditekankan bahwa, hubungan kelompok Islam dengan kelompok lain didasarkan
pada: hubungan tetangga yang baik; saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama; membela mereka yang teraniaya; saling menasehati; dan menghormati
kebebasan beragama.22
Sejarah ini menempatkan kerukunan umat beragama sudah
sejak lama diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
berlandaskan pada teologi kerukunan dalam ajaran Islam.
Peristiwa Fath Makkah, juga dapat menjadi rujukan kerukunan umat
beragama. Peristiwa ini menunjukkan, di mana penduduk Kristen Najran di
21
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, h. 33. 22
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 46.
67
Yaman membuat perjanjian dengan Rasulullah bahwa mereka akan menaati beliau
sebagai pemimpin politik-pemerintah.23
Di sisi lain Islam memberikan
perlindungan terhadap kehidupan mereka. Dengan demikian tercipta kerukunan
yang harmoni antar dua agama tersebut.
2. Dasar Teologi Kerukunan Dalam Katolik
Hubungan antara umat beriman dan beragama yang kemudian dalam hal ini
disebut sebagai teologi kerukuan, dipahami sebagai integritas terbuka dalam
Katolik. Pada awal sejarah perkembangan Katolik, hubungan antar umat
beragama belum diolah dengan begitu baik dalam Al Kitab (Perjanjian Baru).
Namun aspiranya dapat ditemukan dalam penyebutan Yesus tentang kerajaan
Allah, yaitu inspirasi untuk membangun dunia dan masyarakat sesuai dengan
kehendak Allah.24
Dengan demikian aspirasi tersebut sudah terdapat dalam Al
Kitab.
Hubungan Gereja Katolik dengan saudara-saudari beriman dan beragama
lainnya, dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen pada konsili Vatikan II pada
1962-1965. Seperti dokumen, Lumen Gentium (konstitusi dogmatis mengenai
gereja), Ad Gentes (dekrit tentang kegiatan misioner Gereja), Dignitatis Humanae
(pernyataan tentang kebasan beragama), Nostra Aetate (pernyataan mengenai
hubungan Gereja dengan saudara-saudari bukan Kristiani) dan dalam Gaundium
et Spes (konstitusi pastoral mengenai gereja dalam dunia modern).25
Baik LG
maupun AG mengulangi dan menegaskan kemabali ajaran trasional tentang
23
Umi Sumbulah dan Wilda Al Aluf, Fluktuasi Relasi Islam-Kristen di Indonesia (Malang:
UIN Maliki Press, 2015), h. 62. 24
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, h. 98. 25
Dokumen-dokumen ini secara detail dijelaskan oleh E. Armada Riyanto CM, Diaolog
Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 85-117.
68
keselamatan di luar gereja. Secara gamblang dijelaskan dalam LG dan AG tentang
hubungan umat beriman. Dalam LG dijelaskan bahwa,
“Penyelenggaraan Ilahi tidak menarik kembali bantuan yang perlu
untuk keselamatan dari mereka yang bukan karena kesalahannya
sendiri belum sampai mengakui Allah secara ekspilisit dan berusaha
menempuh jalan yang benar dengan pertolongan rahmat Ilahi” (LG
16). Dan Dekrit AG menjelaskan bahwa, “rencana Allah untuk
menyelamatkan semua orang tidaklah dilaksanakan secara rahasia
dalam batin manusia, tidak perlu melulu dengan usaha-usaha –
termasuk usha-usaha religius – dimana mereka melalui bermacam-
macam cara mencari Allah dengan berusaha menyentuh dan
menemukan Dia, meski memang Dia tidak jauh dari kita masing-
masing” (AG).26
Sedangkan DH menegaskan bahwa manusia berhak atas kebebasan
beragama. hal ini berarti semua orang harus kebal dari paksaan dari orang-
perseorangan maupun kelompok-kelompok sosial kuasa manusiawi. Sehingga
dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa bertindak melawan suara hati.
“Pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. kebebasan sendiri
itu berarti, bawa perorangan maupun kelompok-kelompok sosial dan
kuasa manusia manapun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal
keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara
hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar
bertindak menurut suara hati, baik perorangan maupun di muka umum,
baik sendiri maupun bersma-sama dengan orang lain. Selain itu konsili
menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama sungguh didasarkan
pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda
Allah yang diwahyukan dan dengan akalbudi. Hak pribadi manusia
atas kebebasan beragama itu harus diakui dalam tata hukum
masyakarat sedemikian rupa sehingga menjadi hak sipil” (DH 2).27
Sejak adanya Konsili Vatikan II, di Indonesia kalangan Katolik semakin
memperbesar ruang untuk berdialog dengan saudara-saudari beriman dan
beragama di luar gereja. Dengan kata lain umat Katolik dituntut untuk terbuka dan
memandang positif hubungan antara umat beragama. Hal ini dapat dilihat dari
26
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, h. 99 27
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, h. 100.
69
Surat Gembala (1997) yang disampaikan oleh Konferensi Waligereja Indonesia
(KWI). Berikut dari surat Gembala yang mutakhir:
Saudara-saudari terkasih,
Khusus dalam hubungan dengan umat beragama dan
kepercayaan lain, kita dituntut bersikap terbuka dan positif. Kalau
masih ada rasa takut dan saling curiga, mari kita atasi dengan
saling mendekati dan berbicara satu sama lain. Mari kita
denganarkan keprihatinan mereka dan kita ungkapkan keprihatinan
kita.Mari kita mencari dan mengusahakan kebaikan bersama.
Dengan umat Islam banyak sekali hal-hal yang menyangkut
kepercayaan dan moral yang mempersatukan kita. Sejak puluhan
tahun, di ribuan desa dan kota umat kita hidup berdampingan.
Secara rukun dan damai sampai hari ini. Konsili Vatikan II
menegaskan, gereja memamndang umat Islam dengan penuh
penghargaan. Permusuhan dan perselisihan yang pernah terjadi
pada masa lalu. Hendaknya kita lupakan dan marilah berikhtiyar
untuk saling mengerti. Mari kita bersama-sama berjuang untuk
menjamin dan memupuk nilai-nilai sosial, keadilan dan
kemasyarakatan (Nostra Aetate, no.3).
Kalaupun ada gangguan dalam hubungan, janganlah kita
lupakan bahwa jauh lebih banyak hubungan antara kita tetap baik
dan bahwa begitu banyak umat Islam dan tokoh-tokohnya
bersahabat kepada kita. Sekitar peristiwa Situbondo misalnya,
perlindungan dan pengamanan yang diberikan kepada orang
Katolik, pernyataan sejumlah tokoh Islam dan keikutsertaan
merreka untuk membangun kembali bangunan yang terbakar dan
rusak, sangatlah menyentuh hati.
Mari kita tetap waspada dan bijaksana untuk tidak
mempolitikkan agama kita dan jangan pernah membiarkannya
dipolitikkan oleh pihak manapun. Dan kiranya agama tidak
dijadikam alat politik oleh siapapun juga.
Bersama saudara-saudari umat Kristen Protestan, umat
Islam, umat Hindu, umat Buddha, dan kepercayaan lain, kita harus
dengan serius mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
mengenai makna dan tujuan hidup, memperdalam penghayatan
religius, mencari kemerdekaan dari ketakutan dan keterbelengguan,
dengan cinta dan kepercayaan kepada Tuhan (Nostra Aetate, no.2).
Oleh karena itu, hendaknya kita tidak kenal lelah
mengusahakan dialog umat beragama di semua tingkat. Para tokoh
umat Katolik hendaknya berkenalan dengan tokoh-tokoh agama
70
lain, di mana kita orang Katolik merupakan kelompok terbesar,
hendaknya umat semua agama lain dapat merasa aman dan
diterima sepenuhnya. Di mana kita merupakan kelompok kecil,
hendaknya kita terbuka, bahkan berprakarsa untuk bergaul dan
bekerja sama dengan umat dan tokoh-tokoh agama lain.
Perlu kita sadari bahwa hubungan baik antar umat
beragama dapat diprakarsai oleh pemerintah, tetapi realisasi
pengembangannya harus dijalankan oleh umat beragama sendiri,
sikap terbuka dan semangat berkeja sama itu bukanlah taktik untuk
aman. Sebagai warga negara kita meyakini itu sebagai tuntutan
untuk membentuk dan mengembangkan pesaudaraaan, dan sebagai
umat Katolik kita meyakininya sebagai tuntutan iman kristiani
(Keprihatinan dan Harapan: Surat Kembala Prapaskah 1997,
Konferensi Wali Gereja Indonesia, JL. Cut Muetia. 10, Jakarta
10340, Indonesia, hlm. 11-12).
Sedangkan teologi kerukunan umat beragama dapat dilihat dari Al Kitab
tentang posisi antar manusia dan juga sebagai pelayan kebersamaan. Dalam Al
Kitab dapat dilihat pada Lukas/6:27-31.
“(27) tetapi kepada kamu yang mendengarkan Aku, Aku berkata:
Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang
membencimu; (28) mintalah berkat bagi orang yang mengutuk
kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. (29) Barangsiapa
yang menampar pipimu yang satu, berikanlah kepadanya pipimu
yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga
ia mengambil bajumu. (30) berilah kepada setiap orang yang
meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang
yang mengambil kepunyaanmu. (31) Dan sebagaimana kamu
kehendaki supaya orang yang berbuat kepadamu, perbuat juga
demikian kepada mereka.”
Sebagian yang lain dalam Al Kitab, tentang kerukunan umat beragama
dapat didasari oleh rasa kasih sayang sesama manusia. Hal ini dapat ditemukan
dalam Matius/22: 36-40. Dalam bagian ini Al Kitab menjelasan bagaimana
hukum mengasihani selain Allah. Yakni mengasihani sesama manusia,
sebagaimana mengasihani diri sendiri.
Disebutkan, (36) “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum
Taurat?” (37) jawab Yesus padanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
71
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah
Hukum yang terutama dan yang pertama, (39) dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (juga terdapat
di Matius 19:19).
Selaras dengan dasar kemanusian dalam Al Kitab. Dan dapat dijadikan
penjelasan dan juga landasan tentang teologi kerukunan beragama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan kemanusiaan ini menjadi penting
untuk diwujudkan sebagai umat Katolik, sebab manusia menempati posisi yang
sama sakralnya dengan keagungan dan kesucian Tuhan. Perihal ini dijelaskan
dalam Matius/25: 40. (40) dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
72
BAB IV
KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DESA PABIAN
KABUPATEN SUMENEP MADURA
A. Asal Usul Madura
Madura merupakan sebuah pulau yang berada di pojok Timur Laut Pulau
Jawa. Pulau Madura memanjang dari ujung barat sampai ujung timur sepintas
seperti sebilah belati. Kedua ujungnya digantung oleh garis 113‟ dan 114‟ Bujur
Timur dan punggungnya tertusuk oleh garis 7‟ Lintang Selatan bumi. Panjang
pulau Madura sekitar 160 km dan lebarnya mencapai 40 km terhampar sejajar
dengan garis khatulistiwa.1
Secara administratif pulau Madura termasuk bagian dari Provinsi Jawa
Timur dengan tingkat perbedaan budaya yang mencolok antara budaya Jawa dan
Madura meskipun berdekatan. Dari daratan pulau Jawa, Madura dipisah oleh
sebuah selat. Dari daratan Surabaya, Madura kini „terhubung‟ dengan pulau Jawa
melalui Jembatan Suramadu.
Pulau Madura yang terletak di timur laut Pulau Jawa sampai saat ini belum
didapat literatur yang mampu menjelaskan secara jelas asal usul Madura; baik
sebagai sebuah nama dan suku. Namun ada beberapa pendapat yang selama ini
menjadi rujukan dalam menjelaskan asal usul nama dan suku Madura.
Pertama, Cerita Rakyat Madura, asal usul nama dan suku Madura berasal
dari keturunan Raden Sagoro anak dari Bendoro Gung, putri Raja Sanghyang
1 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h.
23.
73
Tunggal dari kerajaan (negara) Mendangkamulan.2 Dalam literatur yang lain,
kerajaan Mendangkamulan disebut dengan Medang Kamulan, kerajaan setengah
legenda. Kerajaan ini dipercaya berada di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan
Medang karena arti dari „kamulan‟ sendiri berarti „permulaan‟, sehingga „Medang
Kamulan‟ diartikan sebagai „pra Medang. Dalam cerita pewayangan Jawa,
Medang Kamulan dianggap sebagai tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam
legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Dewata
Cengkar.3
Cerita Rakyat Madura menyebutkan bahwa anak gadis dari Raja Sanghyang
Tunggal yang bernama Bendoro Gung hamil tanpa diketahui sebabnya, apalagi
belum memiliki suami. Raja Medang Kamulan, Sanghyang Tunggal, mengetahui
anak gadisnya hamil tanpa sebab kemudian menjadi sangat murka. Sang Raja
memerintahkan patihnya, Pranggulang untuk membunuh sang putri. Sang patih
kemudian membawa sang putri ke hutan. Namun patih Pranggulang tidak berhasil
menjalankan tugasnya karena saat hendak membunuh sang putri, setiap kali
pedang dihunuskan ke lehernya, pedang sang patih selalu terpental jatuh
meskipun diulang sampai tiga kali. Sang patih menyerah dan meyakinkan dirinya
bahwa hamilnya Bendoro Gung bukanlah hamil karena perbuatannya sendiri,
melainkan karena sebuah keajaiban.
Akhirnya, Pranggulang membiarkan sang putri dan bayi yang dikandungnya
tetap hidup dengan cara menghayutkannya ke laut mengunakan rangkaian kayu-
kayu (rakit: ghitek) dan kemudian sang putri terdampar di tepi gunung (sekarang
dinamakan Gunung Geger, Bangkalan). Dari gunung itu sang putri melihat
2 Abdurachman, Sedjarah Madura: Selajang Pandang (Sumenep: Authomatic the Sun
Smp, 1971), h. 1-4. 3 Samsul Ma‟arif, The History of Madura (Yogyakarta: Araska, 2015), h. 19.
74
daratan yang lapang dan luas. Sedangkan posisi Gunung Geger berada di pojok.
Maka dinamakanlah tempat itu dengan nama „Madu Oro‟ yang mempunyai arti
pojok daratan luas atau pojok menuju ke arah yang luas. Dari kata „Madu Oro‟
inilah asal mula kata Madura. Kemudian sang putri melahirkan seorang putra
yang diberi nama Raden Sagoro (sagoro: laut) yang dipercaya menjadi penghuni
pertama di Pulau Madura.4
Kedua, berasal dari proses perpindahan bangsa-bangsa di Asia Tenggara
secara besar-besaran pada kurun waktu antara 4000-2000 SM. Peristiwa ini
dikarenakan bertambah majunya kerajaan-kerajaan China yang meluaskan
pengaruh kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan yang terkena dampaknya
seperti Tibet (merupakan tanah leluhur bangsa Birma) dan Yunnan (yang semula
dihuni orang Thai dan Vietnam). Akibatnya bangsa-bangsa Birma, Thai dan
Vietnam terpaksa menyingkir lebih ke selatan. Perpidahan itu melahirkan cikal
bakal bangsa-bangsa Protomelayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Birma,
Siam, dan Indocina. Perpindahan bangsa-bangsa tersebut berada dalam kelompok-
kelompok yang menyebar ke berbagai wilayah seperti ke daerah pantai,
pegunungan atau terus menuju ke arah selatan mengarungi laut ataupun melewati
Semenanjung Malaya, kemudian menyeberangi laut hingga mencapai pulau-pulau
di Nusantara.5
Salah satu dari kelompok bangsa yang berpindah dengan mengarungi laut
itu terdampar ke suatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa.
Para pendatang ini lalu menetap di sana dan menjadi nenek moyang dari suku
4 Samsul Ma‟arif, The History of Madura, h. 20., Abdurachman, Sedjarah Madura:
Selajang Pandang, h. 2. Lihat juga Ayu Sutarto, dkk., Mutiara Yang Tersisa: Kearifan Lokal
dalam Cerita Rakyat Madura (Jember: Kompyawisda). 5 Mien A. Rifai, Lintasan Sejarah Madura (Surabaya: Yayasan Lebbur Legga, 1993), h. 1.
75
Madura. Pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya, namun
kemudian akibat dari perbedaan geografis menyebabkan terjadinya perbedaan
yang semakin kentara. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa
Deuteromelayu) yang datang belakangan, semakin memperkuat adanya perbedaan
bahasa dan dialek. Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocincina, berbeda
dengan bangsa-bangsa lain, bahasa mereka mengenal konsonan rangkap seperti
bassa, cacca, daddi, kerrong dan pennai.
Setelah ratusan tahun di Madura, para pendatang baru itu beranak-pinak dan
menyebar ke seluruh pulau. Bahkan ke pulau-pulau kecil di sekitar Madura seperti
pulau Sepudi, Kangean, Masalembu, Mandangil di selat Madura dan juga Bawean
di laut Jawa. Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang besarnya
ditentukan oleh kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Namun
antara kelompok yang terbentuk masih terikat satu sama lain oleh kesamaan
bahasa. Keragaman kelompok itu kemudian juga memunculkan dialek setempat
dari barat (Bangkalan, tengah (Sampang dan Pamekasan), timur (Sumenep) dan
ujung paling timur (Kangean). Peradaban mereka sebagai orang Madura purba
juga semakin maju dan berkembang dengan perkembangan yang dialami bangsa-
bangsa lain di Nusantara.6
Kendatipun demikian, belum ada catatan sejarah yang dapat memastikan
apakah para pendatang tersebut saat tiba di Pulau Madura menjumpai penduduk
asli Nusantara. Jika ada, maka penduduk asli itu akan dapat dikalahkan sebab
mereka masih berkebudayaan batu tua (paleolitik). Sedangkan para pendatang
baru dari utara itu telah berkebudayaan batu baru (neolitik). Mereka telah
6 Tim Penulis, Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan
Olah Raga Kabupaten Sumenep, 2012), h. 22-25.
76
berkemampuan mengasah batu menjadi beliung atau kapak persegi yang juga bisa
digunakan sebagai pacul.7
Ketiga, asal nama dan suku Madura diduga berasal dari para penganjur
agama (kaum Brahmana) dari India yang tiba di Nusantara pada abad-abad awal
milenium. Di antara mereka ada yang sampai ke pulau ujung timur pulau Jawa itu
dan mendapati sebuah pulau indah, sehingga dinamakanlah pulau tersebut dengan
bahasa Sansekerta yaitu Madura, sebuah nama yang persis sama dengan nama
geografi di India. Kata madura dalam bahasa Sansekerta berarti permai, indah,
molek, jelita, manis, ramah tamah, lemah lembut (Mardiwarsito 1978).8 Artinya,
Penamaan (Madura) ini mungkin diilhami dan diambilkan dari nama salah satu
daerah serupa di India Selatan yaitu „Mathurai‟ yang juga beriklim kering.9
B. Sumenep: Sejarah dan Masa Kini
Sumenep berasal dari kata Soengennep, nama asal pada masa kuno. Kata
Soengennep sudah ada dalam kitab tertua yang mencantumkan nama wilayah ini
yaitu buku Pararaton yang ditulis pada tahun 1475-1485. Perubahan nama
Soengennep menjadi Sumenep terjadi pada masa penjajahan Belanda pada awal
abad XVIII, tepatnya tahun 1705. Banyak buku-buku karangan atau terbitan
Belanda pada masa itu yang telah menggunakan sebutan kata Sumenep.10
Soengennep menurut arti asal usul katanya, yaitu: a) Song berarti relung,
geronggongan (bahasa Kawi), Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi
Soengennep berarti lembah bekas endapan yang tenang. b) Song berarti sejuk
7 Mien A. Rifai, Lintasan Sejarah Madura, h. 2-3.
8 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 28-29. 9 Tim Penulis, Sejarah Sumenep, h. 28. Lihat juga Samsul Ma‟arif, The History of Madura,
h. 21. 10
Tim Penulis, Sejarah Sumenep, h. 32-33.
77
rindang, payung, Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi Soengennep berarti
lembah endapan yang sejuk dan rindang. c) Song berarti relung atau cekungan,
Ennep berarti tenang. Jadi Soengennep berarti lembah, cekungan yang tenang atau
sama dengan pelabuhan yang tenang.11
Sumenep ini berdiri pada tahun 1269 M didasarkan pada sejarah awal
pemerintahan atau penguasa pertama Sumenep pada zaman kerajaan, yaitu Arya
Wiraraja. Pada awalnya, Arya Wiraraja seorang penasehat kerajaan Singasari
bidang politik dan pemerintahan yang „disingkirkan‟ ke wilayah Sumenep oleh
Prabu Kertanegara. Kemudian, Arya Wiraraja diangkat menjadi Adipati pertama
kerajaan Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269. Dan kemudian dijadikan
sebagai hari jadi Kabupaten Sumenep.12
Sejak berdirinya sampai tahun 2018 Sumenep telah dipimpin oleh 36 Raja
15 Bupati dengan perincian sebagai berikut:13
Daftar Raja-raja Sumenep
No Nama Raja Tempat Keraton Periode
1 Arya Wiraraja (Aria Banyak Wedi) Batuputih 1269-1292
2 Wiraraja (Ario Bangah) Banasare 1292-1301
3 Lembu Sarenggono (Ario Danurwendo) Aeng Anyar 1301-1311
4 Ario Assrapati - 1311-1319
5 Panembahan Joharsari Bluto 1319-1331
6 Panembahan Mandaraga (R. Piturut) Keles 1331-1339
7 P. Bukabu Wotoprojo Bukabu 1339-1348
8 P. Baragung Notoningrat Baragung 1348-1358
9 R. Agung Rawit (Secodiningrat I) Banasare 1358-1366
10 Tumenggung Gajah Pramono
(Secondiningrat II)
Banasare 1366-1386
11 Panembahan Blongi (Aryo Pulang Jiwo) Bolingi/Poday 1386-1399
12 Pangeran Adipoday (Ario Baribin) Nyamplong/Poday 1399-1415
11
Tim Penulis, Sejarah Sumenep, h. 33-34. 12
Pemerintah Kabupaten Sumenep, Profil Potensi Investasi Kabupaten Sumenep
(Sumenep: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah , 2016), h. 9. Lihat juga Tim Penulis,
Sejarah Sumenep, h. 40 – 47. 13
Sumenep Dalam Angka 2013 (Sumenep: BPS Kabupaten Sumenep, 2013), h. vii-viii.
78
13 Pangerang Jokotole (P. Secodiningrat
III)
Banasare 1415-1460
14 R. Wigonando (P. Secodiningrat IV) Gapura 1460-1502
15 R. Siding Purih (P. Secodiningrat V) Parsanga 1502-1559
16 RT. Kanduruwan Karang Sabu 1559-1562
17 P. Wetan dan P Lor - 1562-1567
18 R. Keduk (P. Keduk II) - 1567-1574
19 R. Rajasa (P. Lor II) - 1574-1589
20 R. Abdullah (P. Cokronegoro I) Karang Toroy 1589-1626
21 P. Anggadipa Karang Toroy 1626-1644
22 Tumenggung Jaingpatih Dari Sampang Karang Toroy 1644-1648
23 R. Bugan (Tumenggung Yudonegoro) Karang Toroy 1648-1672
24 P.T. Pulang Jiwo dan P. Sepuh Karang Toroy 1672-1678
25 P. Romo (P. Cokronegoro II) Karang Toroy 1678-1709
26 RT. Wiromenggolo (Purwonegoro) Karang Toroy 1709-1721
27 R. Ahmat alias P. Jimat (T. Aryo
Cokronegoro III)
Karang Toroy 1721-1744
28 R. Alza alias P. Lolos Karang Toroy 1744-1749
29 K. Lesap Karang Toroy 1749-1750
30 R. Ayu Tirtonegoro, R. Rasmana dan
Bindara Saod
Pajagalan 1750-1762
31 Penembahan Sumolo Asiru Pajagalan 1762-1811
32 Sri Sultan Abdurrahman
(Pakunataningrat I)
Pajagalan 1811-1854
33 Panembahan Moh. Saleh (Notokusumo
II)
Pajagalan 1854-1879
34 P. Mangkudiningrat (P. Pakunataningrat
II)
Pajagalan 1879-1901
35 P. Ario Prataningkusumo Pajagalan 1901-1926
36 RP. Ario Prabuwinoto Pajagalan 1926-1929
Daftar Nama Bupati Sumenep
No. Nama Periode
1 RP. Ario Samadikun (Prawoto Adikusumo) 1929-1947
2 RP. Amijoyo 1947-1949
3 RP. Moh. Alipratamingkusomo 1949-1954
4 R. Moh. Ruslan Wongsokusumo 1954-1956
5 RA. Ruslan Cakraningkrat 1956-1958
6 R. Surahmad Prawiro Widoyo 1958-1959
7 R. Ahyak Sosro Sugondo 1959-1960
8 K. Abdullah Mangunsiswo 1960-1963
9 Drs. Abdurrahman 1963-1974
10 RP. Mahmud Sosro 1974-1975
11 HR. Soemar‟oem 1975-1985
12 Soegondo 1985-1995
13 Kol. Art. H. Soekarno Marsaid 1995-2000
14 KH. Moh. Ramdlan Siradj, SE, MM 2000-2010
15 Drs. KH. A. Busyro Karim, M.Si 2010-2020
79
Sumenep dengan Ibu Kotanya (juga dieja Ibukota) Kecamatan Sumenep
merupakan salah satu kawasan penting dalam sejarah Madura. Saat ini masih
banyak situs-situs bersejarah yang terus dijaga sebagai warisan penting dalam
sejarah kerajaan Sumenep dan Madura pada umumnya. Situs-situs bersejarah
yang populer seperti Keraton, Asta Tinggi (makan para raja-raja), dan Masjid
Jamik yang berada di jantung Kabupaten Sumenep.14
Sumenep merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Pulau Madura
selain tiga Kabupaten lainnya (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan). Meskipun
berada dalam satu pulau, kalau dari segi pelafalan bahasa, empat kabupaten
tersebut memiliki perbedaan, di mana dialek Sumenep dianggap paling merdu,
halus dan jelas, karena setiap suku kata diucapkan secara penuh dan tegas.15
Ini
nantinya juga menjadi penegasan bahwa orang Sumenep khususnya, memiliki
sifat dan karakter yang ramah dan lembut selain dikenal ketegasannya sebagai
suku Madura.
Kabupaten Sumenep ini terletak di ujung timur Pulau Madura sekitar 153
km kearah timur Surabaya terletak diantara 113 32‟ 54‟ – 116 16‟ 48‟ BT dan 4
55‟ – 7 24‟ LS. Sedangkan batas-batas wilayahnya sebagai berikut : Utara : Laut
Jawa Selatan : Laut Jawa, Selat Madura Barat : Kabupaten Pamekasan Timur :
Laut Jawa, Laut Flores. Kabupaten Sumenep menjadi Kabupaten di Jawa Timur
yang memiliki pulau yang terbanyak yaitu 126 pulau, jumlah pulau berpenghuni
48 pulau, jumlah pulau tidak bepenghuni 78 pulau, jumlah pulau yang sudah
bernama 126 pulau. Untuk luas wilayah administrasi Kabupaten Sumenep adalah
2.093.457.573 Km² secara terdiri dari 27 kecamatan, 328 desa, dan 4 kelurahan,
14
Samsul Ma‟arif, The History of Madura, h. 29-30. 15
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 53-55.
80
1484 dusun, 5.928 RT, 2233 RW. Berdasarkan data dari BPS tahun 2015, jumlah
penduduk Kabupaten Sumenep sebanyak 1.067.202 jiwa dengan Komposisi
507.430 laki-laki (48,01%) dan 559.772 perempuan (51,99%).16
Sedangkan agama yang dianut oleh penduduk Kabupaten Sumenep,
menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus penduduk tahun
2010, penganut Islam berjumlah 1.033.854 jiwa (98,11%), Kristen berjumlah 685
jiwa (0,33%), Katolik berjumlah 478 jiwa (0,27%), Buddha berjumlah 118 jiwa
(0,03%), Hindu berjumlah 8 jiwa (0,01), Kong Hu Cu 5 jiwa (0,002%).17
Perbedaan agama yang ada di Kabupaten Sumenep saat ini tidak bisa
dilepaskan dari perjalanan sejarah itu sendiri. Yakni diawali dengan kedatangan
orang-orang India dan kemudian China di abad-abad awal Masehi yang
melakukan kontak perdagangan melalui pelabuhan Kalianget, Sumenep. Orang-
orang India yang datang tidak hanya pedagang, namun ada juga penganjur
agama.18
Kemudian sejarah awal Sumenep (Madura Timur) dan Madura Barat
sebagai sebuah kerajaan-kerajaan (Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan, dan
Sumenep) yang berada dibawah pengaruh atau kekuasaan kerajaan Hindu yang
ada di Jawa, seperti Kediri (1050-1222), Singasari (1222-1292), dan Majapahit
(1294-1572). Sebelum kerajaan Majapahit runtuh, namun sudah mulai mengalami
penurunan kendali dan kuasa atas kerajaan-kerajaan di Madura, Madura sudah
berkenalan dengan agama Islam melalui hubungan erat dengan Gresik dan
Surabaya sebagai tempat para pemimpin Islam, Sunan Giri dan Sunan Ampel
bermukim. Penyebaran Islam di Madura tumbuh bersamaan dengan petumbuhan
16
Pemerintah Kabupaten Sumenep, Profil Potensi Investasi Kabupaten Sumenep, h. 2-5 17
"Penduduk menurut wilayah agama yang dianut". Diakses dari www.bps.go.id pada
tanggal 07-02-2018. 18
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 32 dan 42.
81
perdagangan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1572, kemudian muncul
Demak sebagai penguasa baru.19
Setelah satu abad keruntuhan Majapahit dan
sebelum kuatnya kesultanan Demak, di Madura sudah muncul kerajaan-kerajaan
Islam seperti Sumenep, Pamekasan, Blega, Palakaran, Jamburingin dan sempat
berjaya.20
Pada tahun 1624 seluruh kerajaan di Madura ditaklukkan oleh Mataram
melalui pertarungan yang sengit. Mulai tahun 1670, rakyat Madura, dipimpin oleh
Trunojoyo terus memberontak atas dominasi Mataram dan berhasil mematahkan
penindasan Jawa sampai mengganggu dan mengguncang kekuasaan pusat
Mataram. Pada akhirnya, penguasa Mataram meminta bantuan kepada VOC, yang
sebenarnya sangat dibenci dari awal, agar membantu meredam pemberontakan-
pemberontakan yang dimotori Trunojoyo. Dari sinilah pintu masuk kuasa VOC
atas kerajaan-kerajaan di Madura dan mulai memegang kendali dari 1705 sampai
zaman kolonialisme.21
Ini artinya, sebelum VOC muncul, kerajaan-kerajaan di Madura berada
dibawah supremasi kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, negara-negara Islam
pesisir Demak dan Surabaya dan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Historitas ini
yang mendasari perbedaan agama yang ada di antara penduduk Kabupaten
Sumenep. Tentunya, Islam yang sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat
Sumenep dan Madura pada umumnya. Islam yang masuk ke Sumenep dan
Madura melalui dunia perdagangan, di mana banyak pedagang-pedagang Islam
19
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman : Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan
Islam (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h. 44-51. 20
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 33. 21
Huub de Jonge, Garam, Kekuasaan dan Aduan Sapi: Esai-esai tentang Orang Madura
dan Kebudayaan Madura (Yogyakarta: LkiS, 2012), h. 5-10.
82
dari Gujarat atau pedagang-pedagang dari Asia Tenggara masuk melalui
pelabuhan pantai Madura, terutama di pelabuhan Kalianget, Sumenep. Intensitas
penyebaran Islam di Madura juga melalui peran salah seorang wali songo yang
bernama Sunan Giri, murid Sunan Ampel yang mula-mula bernama Raden
Paku.22
Dengan demikian, sejak zaman purba ketika animisme masih dianut oleh
penduduk secara umum, masyarakat Madura mengalami proses rasa keagamaan
yang berbeda-beda. Dimulai dari animisme, kemudian Agama Hindu dan Budha
masuk dan menyebar di Madura melalui para pedagang dan kerajaan-kerajaan
seperti Singasari, Majapahit dan Mataram. Selanjutnya Islam masuk melalui jalur
perdagangan, kerajaan dan peran waling songo. Islam ini yang membawa
pengaruh dan perubahan keagamaan masyarakat Madura secara signifikan
sehingga menjadi sebuah identitas.
Untuk penyebaran agama Katolik atau Kristen, dimungkinkan dimulai sejak
masuknya VOC dan kolonialisme ke Madura. Hal ini berdasarkan diterbitkannya
kitab Taurat dan Injil dalam bahasa dan aksara Madura sejak tahun 1884. Bahkan
Bibel berjudul Tjareta Saratos Empa’ berhuruf Latin telah disebarluaskan tahun
1929.23
Penulis akui sangat kesulitan untuk mendapatkan bukti tertulis yang dapat
dijadikan rujukan. Dan masih harus dilakukan penelitian lebih mendalam terkait
proses masuknya agama Katolik atau Kristen ke Madura. Namun dalam analisa
M. Ridwan Lubis, Guru Besar Fak. Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
22
Abdurachman, Sedjarah Madura: Selajang Pandang, h. 16. Bisa juga dilihat Afif
Amrullah, “Islam di Madura,” Jurnal Islamuna, Volume 2, Nomor 1 (Juni 2015): h. 58-65. 23
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 49.
83
dimungkinkan Agama Katolik lebih dahulu masuk ke Pulau Madura daripada
Kristen seiring lebih dulunya Katolik masuk ke Nusantara.24
Kabupaten Sumenep termasuk daerah beriklim tropis. Keadaan tanahnya
berada pada 0-500 meter di atas permukaan laut dengan kondisi tanah gundul dan
tanah hidrologis dengan beraneka jenis: Tanah Aluvial Hodromorff berada di Kec.
Saronggi dan Batang-batang. Tanah Aluvial kelabu kekuningan berada di Kec.
Sumenep dan Saronggi. Tanah Litosol berada di Kec. Guluk-guluk dan Lenteng.
Tanah Assosiasi Litosol dan Mediteran berada di Kec. Bluto, Saronggi dan
Talango. Tanah Regusol cokelat kekuningan berada di Kec. Gili genting dan
Gapura. Tanah Komplek Brows Forest Litosol dan Mediteran berada di Kec.
Pragaan, Ganding, Guluk-guluk, Saronggi, dan Ambunten. Tanah Grumosol
kelabu berada di Kec. Ganding dan Kalianget. Tanah Kompek Mediteran
Grumosol, Regusol dan Litosol berada di Kec. Batu Putih dan Gapura.25
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Sumenep tentunya sangat
dipengaruhi oleh kondisi geografisnya: oleh keadaan iklimnya, keadaan tanahnya,
keadaan lautnya dan potensi-potensi lainnya menyesuaikan dengan perkembangan
tehnologi informasi dan komunikasi. Pada umumnya mata pencaharian
masyarakat Sumenep secara khusus atau Madura pada umumnya adalah bertani.
Mereka menanam padi, ubi kayu, jagung pada saat musim hujan. Pada saat musim
kemarau mereka menanam tembakau. Mereka juga berprofesi sebagai peternak.
Peternakan yang utama di Sumenep dan Madura pada umumnya adalah Sapi. Ada
juga yang berternak kambing dan ayam dan sejenisnya. Banyak juga yang
menjadi nelayan karena potensi laut Sumenep yang sangat baik. Tentu tidak
24
Hasil wawancara peribadi pada tanggal 27 April 2018. 25
Pemerintah Kabupaten Sumenep, Profil Potensi Investasi Kabupaten Sumenep, h. 3.
84
sedikit yang berprofesi sebagai wirausahawan atau yang bekerja di lingkungan
pemerintahan sebagai PNS, guru dan dosen.26
Persoalan di Kabupaten Sumenep adalah persoalan bagaimana bisa
menggali Potensi-potensi besar seperti di dunia pertanian, laut, pariwisata, dan
religi. Dalam konteks perkembangan dunia tehnologi informasi dan komunikasi,
semua hal itu bisa menjadi ladang usaha yang sangat menjanjikan yang akhirnya
bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sarana dan prasarana di Kabupaten
Sumenep sudah sangat baik. Tidak hanya ada terminal antar kota/provinsi, namun
juga memiliki dermaga atau pelabuhan. Bahkan saat ini sudah memiliki bandara
yang sudah dioperasikan. Dalam hal pendidikan juga sudah banyak lembaga-
lembaga pendidikan dari jenjang terbawah sampai jenjang kampus. Ditambah
dengan banyaknya pesantren-pesantren besar dan kecil. Artinya, segala
ketertinggalan pengembangan potensi alam dan SDM di Sumenep sudah berada
pada arah yang baik menuju pada pengembangan dan peningkatan.
C. Desa Pabian: Letak Geografis dan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Desa Pabian berada di lingkungan Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep.
Konon cerita dinamai Desa Pabian karena asal nama desa tersebut adalah „pabean‟
yang artinya tempat pendistribusian pajak. Desa pabian dalam perjalanannya telah
melewati beberapa kepemimpinan yaitu: 1. Marinti 2. Moenali 3. H. Moh. Said 4.
Ahmad Kuswandi 5. Ibnu Rasul 6. Akhmad Madani.27
Desa Pabian ini terdiri dari 4 dusun yaitu Dusun Pasarkayu, Dusun
Karangpanasan, Dusun Pangligur, dan Dusun Satelit. Dinamakan Dusun
26
Segala potensi Kab. Sumenep bisa dilihat di Profil Potensi Investasi Kabupaten Sumenep
yang diterbitkan oleh BAPEDA Kabupaten Sumenep tahun 2016. 27
RPJM Desa Pabian Tahun 2015-2020, Pemerintahan Desa Pabian Kecamatan Kota
Kabupaten Sumenep Tahun 2015, h. 18.
85
Pasarkayu karena sejak dulu wilayah tersebut adalah tempat orang menjual dan
membeli kayu untuk bahan pembuatan kapal laut dan perahu juga hingga
sekarang. Adapun dinamakan Dusun Karangpanasan karena dulu sejak zaman
Kerajaan Sumenep, para prajurit kerajaan berjalan menuju medan pertempuran
berhenti sejenak untuk berembuk, menyusun siasat perang, di lokasi tersebut.
Sedangkan dinamakan Dusun Pangligur karena lokasi tersebut terdapat makam
yang dikeramatkan oleh penduduk setempat bahkan sampai dikenal di daerah lain
yang bernama Bujuk Pesarean Pangligur. Orang Madura mengartikan Pangligur
sebagai „panglepor‟ yang artinya apabila ziarah ke makam tersebut disamping
mendoakan ahli kubur juga dipercaya akan tercapai hajatnya. Adapun dusun
Satelit adalah lokasi perumahan terbesar yang berada di Desa Pabian.28
Secara administratif Desa Pabian terletak sekitar 2,5 Km dari Kecamatan
Kota, kurang lebih 36 Km dari Kabupaten Sumenep, dengan dibatasi oleh wilayah
desa-desa tetangga diantaranya: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa
Kacongan, 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kolor, 3. Sebelah timur
berbatasan dengan Marengan Daya, 4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa
Pangarangan. Sedangkan untuk pembagian wilayah pemerintahan Desa Pabian
terdiri atas 4 Susun dengan 27 Rukun Tangga (RT) dan 7 Rukun Warga (RW)
yang meliputi: a. Dusun Pasarkayu terdiri atas 2 RW dan 8 RT, b. Dusun
Karangpanasan terdiri atas 2 RW dan 6 RT, c. Dusun Pangligur terdiri atas 2 RW
dan 6 RT, d. Dusun Satelit terdiri atas 1 RW dan 7 RT. Secara keseluruhan luas
Desa Pabian sebesar 257 Ha. Adapun jenis tanah pada umumnya termasuk jenis
aluvial di mana jenis tanah ini cukup sesuai untuk pertanian.29
28
RPJM Desa Pabian Tahun 2015-2020, h. 18-19. 29
RPJM Desa Pabian Tahun 2015-2020, h. 19.
86
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Pabian tahun 2014,
jumlah penduduk yang tercatat total 5.338 jiwa. Dengan rincian penduduk
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 2.615 jiwa, berjenis perempuan berjumlah
2.723 jiwa. Untuk pendidikan penduduk Desa Pabian, yang belum/tidak tamat
sekolah (162 orang), tidak tamat SD (389 orang), tamat SD (978 orang), tamat
SLTP (1285 orang), tamat SLTA (1419 orang), Diploma I/II/III (399 orang),
Strata I (452 orang), Strata II (254 orang). Sedangkan mata pencaharian warga
Desa Pabian dapat teridintifikasi ke dalam beberapa bidang seperti petani (415
orang), buruh tani (3 orang), PNS (303 orang), karyawan swasta (199 orang),
perdagangan (157 orang), pedagang (127 orang), pensiunan (9 orang), transportasi
(37 orang), konstruksi (30 orang), buruh harian lepas (29 orang), Guru (440
orang), perikanan (3 orang), Wiraswasta (149 orang).30
Dalam perspektif agama, masyarakat di Desa Pabian termasuk dalam
katagori masyarakat yang heterogen. Berdasarkan survey Desa Pabian tahun
2014, masyarakat yang beragama Islam berjumlah 5.118 orang, Katolik 53 orang,
Kristen 142 orang, Hindu 15 orang, Budha 10 orang. Secara kultural, pegangan
agama ini didapat dari hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan yang kental
di antara mereka. Selain itu perkembangan agama berkembang berdasarkan
turunan orang tua ke anak cucu. Hal inilah membuat Islam mendominasi agama di
Desa Pabian. Informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam dari tokoh-
tokoh tua, bahwa selama ini pola-pola hubungan antar masyarakat masih banyak
dipengaruhi oleh kultur organisasi Islam seperti Nahdatul Ulama (NU). Dan untuk
30
RPJM Desa Pabian Tahun 2015-2020, h. 22-23.
87
fasilitas-fasilitas keagamaan di Desa Pabian ada Masjid 11 buah, Mushalla 26
buah, Gereja 2 buah, Klenteng 1 buah, Pemakaman 3 lokasi.31
Di Desa Pabian inilah, khususnya di Dusun Pasarkayu, terdapat tiga tempat
ibadah untuk umat Muslim, Katolik dan Tridharma yang berdekatan dengan
kondisi kehidupan umat beda agama berada dalam suasana harmonis dan penuh
kerjasama. Tiga tempat ibadah yang dimaksud yaitu Masjid Baitul Arham, Gereja
Katolik Paroki Maria Gunung Karmel, dan Klenteng Pao Xian Lin Kong yang
berada dalam satu RW di Dusun Pasarkayu. Jarak antara satu tempat ibadah ke
tempat ibadah lainnya sekitar 50 meter. Misalnya, posisi Masjid berada di RW
2/RT 4, Gereja dan Klenteng berada di RW 2/RT 1.
D. Karakteristik Masyarakat Pabian
Masyarakat Pabian sebagai bagian dari Sumenep dan Madura secara umum,
tentunya memiliki karakteristik yang secara umum bisa dikatakan sama. Namun
karakteristik yang seperti apa tidak banyak yang tahu dan paham tanpa adanya
interaksi. Anehnya, bagi kebanyakan orang mengetahui karakteristik masyarakat
Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku zaman
kolonialisme, di mana memandang masyarakat terjajah lebih rendah dan belum
beradab.
Purbasangka kolonialisme menyebut masyarakat Madura tidak tahu tatak
rama, tidak punya sopan santun, suka kekerasan, kaku, kasar, pendendam, kurang
ajar32
yang berefek negatif pada relasi sosialnya. Parahnya lagi, purbasangka atau
stereotipe warisan masa kolonial ini dipercaya begitu saja oleh kebanyakan orang
31
RPJM Desa Pabian Tahun 2015-2020, h. 25 dan 29. 32
Huub de Jonge, Garam, Kekuasaan dan Aduan Sapi: Esai-esai tentang Orang Madura
dan Kebudayaan Madura, h. 63-76.
88
sampai saat ini. Tidak pernah terbayang untuk dipertanyakan lagi dan dicari
kebenarannya dengan mengenal masyarakat Madura lebih dekat melalui sebuah
interaksi atau mendatangi langsung ke pulau Madura.
Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri
hidup dan tinggal bersama orang Madura memiliki persepsi yang berbeda. Pada
umumnya mereka mengakui pada dasarnya orang Madura memang „keras‟,
namun sebagaimana sifat dan sikap orang-orang dari etnis lain. Bagi mereka,
orang Madura memiliki sikap dan perilaku sopan santun, menghargai dan
menghormati orang lain, dan memiliki rasa persaudaraaan yang sangat tinggi.33
Dalam analisa A. Latief Wiyata, yang muncul dari pikirin, sikap dan
tindakan orang Madura adalah „ketegasan‟ bukan „kekerasan‟. „Keras‟
menunjukkan sikap dan perilaku penuh emosi, mengabaikan akal budi dan etika
sopan santun. „Tegas‟ sebagai perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga
tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.
Hal ini bisa dicontohkan: Pertama, melalui pemilihan warna hampir selalu warna
yang tegas misalnya mera (merah), celleng (hitam), koneng (kuning), bhiru
(hijau), hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna jenis „lembut‟ atau
kurang tegas. Meskipun harus menyebut warna jenis yang „lembut‟ biasanya
hanya sebagai aksesoris tambahan, misal cukup menambah kata „ngoda‟ (Muda),
mera ngoda (merah muda), konneng ngoda (kuning muda), biru ngode (biru
muda.
Kedua, kesukaan orang Madura terhadap rasa makanan. Mereka hanya
lebih mengenal rasa accen (asin) dan manes (manis) dan sangat disukai.
33
Hal ini dirasakan sebagai pengalaman langsung dan kemudian dipaparkan dalam
bukunya oleh A. Latief Wiyata, Mencari Madura (Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013), h.
6.
89
Barangkali hanya di Madura dikenal lauk buja cabbhi (garam dan cabai),
campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setelah halus sebagai pelengkap
dan penyedap makanan pokok.
Ketiga, soal membangun rumah. Mereka sangat memperhatikan secara tegas
posisi dan letaknya, jangan sampai mesong (tidak mengarah pada arah mata angin
barat, timur, utara dan selatan).
Ketegasan ini juga terlihat dari perilaku spontanitas dan ekspresifitas dalam
merespon hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Ketika orang Madura tidak menyukai
sesuatu, ketidaksukaan itu akan dikemukan secara langsung penuh spontanitas
tanpa didahului pernyataan basi-basi. Begitu pun juga sebaliknya ketika menyukai
atau senang terhadap sesuatu. Jadi, apa pun yang diungkapkan itu, itulah adanya,
sesuai dengan apa yang ada di hati dan pikirannya, tanpa penuh kepura-puraan. Ini
yang oleh Emha Ainun Nadjib disebutnya, bahwa orang Madura lugu dan lugas
dalam berkata.34
Orang Madura yang spontanitas dan apa adanya ini sangat menjunjung
tinggi harga dirinya. Harga diri adalah yang paling penting dalam kehidupannya.
Orang Madura akan merasa malo atau terhina jika harga dirinya dilecehkan atau
sebagai akibat dari perbuatan orang lain. Pelecehan terhadap harga diri, berarti
pelecehan terhadap kapasitas diri mereka. Orang Madura akan menganggap
dirinya tidak berarti (tada’ ajhina). Dari rasa tada’ ajhina karena dilecehkan
kemudian timbul rasa malo (malu karena merasa dilecehkan) yang pada gilirannya
menimbulkan perlawanan yang cenderung keras sebagai upaya memulihkan harga
diri yang dilecehkan. Wujud resistensi tersebut seringkali berupa carok dan
34
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, h. 189 dan 209. Lihat juga A. Latief
Wiyata, Mencari Madura, h. 7-9.
90
tergantung pada berat ringannya sebuah tindakan pelecehan itu sendiri. Indikasi
ini ditunjukkan dengan istilah Madura, ango’an poteya tolang etembhang poteya
mata (lebih banyak putih tulang daripada putih mata). Ungkapan ini mempertegas
bahwa lebih baik mati daripada menanggung rasa malo.35
Orang Madura akan
merasa tada’ ajhina dan malo ketika istrinya, tunangannya dan juga saudaranya
diganggu orang. Atau karena dipermalukan di depan orang banyak.
Dari konsep harga diri dan juga tentang carok ini tersirat makna mendalam
yang luput dari perhatian masyarakat luar Madura pada umumnya, yaitu sikap
andhap-asor, tatak rama yang baik dan penghormatan yang seharusnya saling
ditunjukkan dalam pergaulan sehari-hari, bukan perkataan atau perilaku yang
kemudian saling melecehkan yang berujung pada penggunaan kekerasan. Orang
Sumenep dan Madura pada umumnya sangat memegang teguh sikap andhap-asor,
bertutur kata yang baik dan rendah hati sebagai bentuk penghormatan terhadap
siapapun, hal ini tercermin dari tingkatan dalam bahasa Madura, yaitu, kasar,
enja’-iya, engghi-enten, enggi-bunten, dan bahasa kalangan
bangsawan/priayi/kiai.
Norma bertutur kata atau tatakarama berbicara bagi orang Sumenep dan
Madura pada umumnya ditentukan oleh hubungan serta situasi antara pembicara
dengan yang diajak bicara. Misalkan melihat tingkat keformalan hubungan antara
pembicara dengan diajak bicara; status sosial dalam masyarakat antara pembicara
dengan yang diajak bicara; akrab tidaknya hubungan antara pembicara dengan
yang diajak bicara; dan faktor lain seperti usia dan kekerabatan. Selain itu juga,
dalam hal bertegur sapa, istilah-istilah sapaan yang digunakan pun ada beberapa
35
A. Latief Wiyata, Mencari Madura, h. 16-18.
91
macam tingkatan tergantung pada bentuk penghormatan akan status orang yang
berbeda-beda. Seperti ajunan dhalem, padha’na, panjhenengan, sampean, bakna,
dhika.36
Pada prinsipnya, siapun orangnya, mau miskin dan kaya atau dari etnis
manapun, tentunya selalu sama-sama ingin menghargai dan dihargai,
menghormati dan dihormati, bukan saling sakit-menyakit. Dalam hubungan
sosial, orang Sumenep dan Madura secara keseluruhan memegang prinsip jha’
nobi’ oreng mon aba’na e tobi’ sake’ (jangan menyakiti orang, jika dirinya
sendiri bila disakiti merasa sakit). Ini sebagai penegasan bahwa orang Sumenep
dan Madura sangat menghargai dan menghormati sesama manusia dan menjaga
untuk tidak menyakiti orang lain. Bagi mereka, kebaikan sama halnya dengan
sebuah penghormatan. Kebaikan orang lain biasanya akan selalu diingat dan akan
mengembalikan kebaikan siapa saja yang menolongnya. Mereka menyebutnya
mabali dada (mengembalikan atau membalas kebaikan). 37
Ungkapan lain atas kebaikan dan penghormatan orang lain, mereka akan
menganggapnya sebagai taretan (saudara) atau taretan thibi’ (saudara sendiri).
Hal ini tergambar dari ungkapan dalam budaya Madura, oreng dhaddhi taretan,
taretan dhaddhi oreng (orang lain menjadi/dianggap saudara sendiri, saudara
sendiri bisa menjadi/dianggap orang lain). Hal ini bagian dari rasa persahabatan
dan persaudaraan yang tinggi di kalangan masyarakat Sumenep dan Madura.38
36
Tim Penulis, Tatakrama Suku Bangsa Madura (Yogyakarta: Badan Pengembangan
Kebudayaan dan Pariwisata DIY, 2002), h. 31-42. 37
Soegianto, ed., Kepercayaan, Magi dan Tradisi Dalam Masyarakat Madura (Jember:
Tapal Kuda, 2003), h. 18 dan 11. 38
Taufiqurrahman, “Identitas Budaya Madura,” Jurnal Karsa, Vol. XI No. 1 (April 2007):
h. 6.
92
Selain itu, orang Madura sangat dikenal akan ketaatan dan kepatuhannya
pada empat figur secara hirerarkikal. Dalam istilah Madura disebut dengan
Bhuppa‟-Bhabhu‟-Ghuru‟-Rato (ayah, ibu, guru/kiai, pemimpin pemerintahan).
Kepatuhan secara hierarki ini, bagi masyarakat Madura pada umumnya, sebagai
sebuah keniscayaan yang mengikat secara „normatif‟. Pengabaian atau
pelanggaran yang dilakukan secara sengaja bisa dikenakan sanksi sosial dan
kultural. Bagi mereka standart kepatuhan kepada empat figur utama ini tidak
hanya keharusan secara norma budaya, namun juga sebagai aktualisasi dari
keataatan kepada ajaran agama. Hal ini menjadi salah satu penegasan akan
religiusitas masyarakat Madura yang dikenal patuh dalam menjalankan ajaran
agama Islam, meskipun tidak semua orang Madura beragama Islam. Islam sudah
menjadi bagian dari identitas etnis Madura.39
Penegasan akan karakteristik masyarakat Sumenep dan Pabian secara
khusus diakui oleh Romo Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel yang ada
di Desa Pabian Kabupaten Sumenep. Diakuinya bahwa masyarakat Pabian dan
Sumenep secara umum sangat tidak betul kalau masih percaya dengan stigma
keras. Bagi Romo, masyarakat Sumenep dan Pabian secara khusus, begitu baik;
etika dan keramahannya sangat terasa. Memiliki tutur kata yang baik dan halus,
penuh sopan santun. Romo menyebut Sumenep sebagai „Solonya Madura‟ karena
tutur bahasanya yang halus dan suasana masyarakatnya yang sangat kelihatan
sejuknya. Bagi Romo, pengaruh keraton Sumenep sangat kental.40
Jadi,
Penerimaan akan keberadaan warga yang berbeda agama dari mayoritas Muslim
yang ada di Pabian sangat dirasakan oleh Romo dan Suster-suster di Gereja dan
39
Taufiqurrahman, “Identitas Budaya Madura,” h. 3-5. 40
Romo Harry, Gereja Katolik Paroki Gunung Karmel Sumenep, Wawancara tanggal 12
Maret 2018.
93
Sekolah Dasar Katolik yang berada di lingkungan umat Muslim Desa Pabian.
Keberadaan mereka yang berbeda agama tidak dianggap sebagai orang lain,
namun dianggap sebagai taretan karena sudah terjalin komunikasi dan interaksi
yang baik, bahkan sudah lama terjalin hubungan yang penuh kerja sama, saling
menjaga, menguatkan dan memberdayakan.
Mien Ahmad Rifai dalam bukunya Manusia Madura dianggap telah berjasa
meluruskan kesalahpahaman orang luar dalam menilai karakter orang Madura.
Dalam bukunya itu, dijelaskan secara lengkap bagaimana karakteristik masyarakat
Madura secara umum menurut orang di luar Madura, atau dari dalam melihat ke
dalam, atau dari dalam melihat ke luar. Kendatipun demikian, harus diakui,
purbasangka zaman kolonial tentang citra masyarakat Madura, di era kekinian pun
terkadang masih ada. Masih banyak juga kekurangan-kekurangan yang ditemukan
pada orang Madura, terlepas dari hal-hal positif yang melekat pada identitas ke-
Madura-annya atau seperti yang sudah dijelaskan di atas. Semisal, orang Madura
yang berada di pulau Madura dikenal dengan sifat individualismenya, suka pamer,
mudah tersinggung dan hal lainnya, yang pada prinsipnya, secara manusiawi juga
bisa muncul dalam karakter-karakter masyarakat selain Madura sesuai keadaan
alam dan kondisi yang melatarbelakanginya.
94
BAB V
PERAN PEMUKA AGAMA DALAM MEMELIHARA KERUKUNAN
A. Pemuka Agama dan Wacana Kerukunan
Agama, dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, dijadikan
sebagai sistem acuan nilai (siytem of refered values) dalam setiap sistem tindakan
yang mengarahkan dan menentukan sikap dan tindakan umat beragama.
Penggunaan agama sebagai sistem acuan nilai bagi keseluruhan tindakan, bisa
memunculkan wajah agama yang sejuk atau sebaliknya, dan sangat ditentukan
oleh pola pemahaman keagamaan pemeluknya. Sikap keagamaan yang inklusif
bisa melahirkan penerimaan akan keberadaan umat yang beda agama dan
keyakinan, serta dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, menghormati dan
sikap toleransi antar umat beragama. Begitu juga sebaliknya, jika pemahaman
keagamaan eksklusif dan literal yang digunakan, maka agama bisa menjelma
sebagai pemicu konflik terbuka ketika dihadapkan para realitas keragaman.
Persoalannya kemudian, tidak semua pemeluk agama itu mampu memaknai
agama secara substantif yang bisa menerima perbedaan dalam kerangka
pluralisme. Sedangkan dalam keragaman itu sendiri meniscayakan adanya
kesadaran dan penerimaan bahwa selain agama yang dianut dengan klaim
kebenarannya, juga ada agama lain dengan penganutnya yang memiliki klaim
kebenaran absolutnya (absolute truth claims.1 Artinya, dalam pluralisme itu ada
aneka klaim dengan doktrin keselamatannya yang bertemu di permukaan.
1 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), h.
1.
95
Dengan demikian, agama dalam realitas keragaman bangsa Indonesia sangat
sensitif dan bisa menyulut bara konflik jika yang diutamakan pola pemahaman
keagamaan yang eksklusif (merasa paling benar dan selamat sendiri). Sikap
keberagamaan yang demikian hanya mendorong pada sifat dan prilaku yang
mudah menganggap keberadaan penganut agama yang lain salah dan sesat. Tidak
ada penerimaan akan keberadaan penganut agama yang lain. Yang ada hanyalah
curiga dan benci yang berujung pada sikap permusuhuan yang menggurita
menjadi penyakit epidemik dalam kejiwaan keberagamaan bangsa Indonesia.
Maka, apapun yang menjadi simbol dari keberadaan agama yang dianggap sesat,
akan mudah jadi sasaran kecurigaan dan kebencian yang bisa saja berimplikasi
pada perusakan atau kekerasan atas nama agama.
Pluralitas keagamaan dalam konteks keindonesiaan harus jadi kesadaran
bersama bahwa to be religious today is interreligious.2 Kesadaran ini
membutuhkan peranan penting para pemuka agama untuk dapat mengembangkan
teologi agamanya sendiri mengenai agama lain. Artinya, keterbukaan satu agama
terhadap agama yang lain penting bagi masa depan kerukunan. Kesadaran ini
harus mendorong pemuka agama untuk membangun teologi kerukunan yang
mencakup semua agama sebagai pijakan untuk dapat menumbuhkan sikap
keberagamaan yang inklusif bagi umat beragama.
Bangsa ini tentunya mengharapkan upaya penegakan kerukunan sebagai
bagian dari perintah dan ketaatan kepada Tuhan. Kerukunan bukan hanya atas
dasar kepentingan politik kebangsaan semata, melainkan sebagai sebuah
keharusan karena ketaatan kepada ajaran agama. Pada posisi ini, peran penting
2 Budhy Munawar-Rachman, ―Pluralisme Keagamaan, Sebuah Percobaan Membangun
Teologi Islam Mengenai Agama-agama,‖ dalam Sururin, ed., Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam:
Bingkai Gagasan Yang Bergerak (Bandung: Nuansa, 2005), h. 113.
96
pemuka agama dibutuhkan untuk mengajak dan membimbing umat beragama
lebih menggali ajaran agama sendiri dan mengenal agama lain secara objektif
sebagai titik temu akan adanya kesamaan dan perbedaan ajaran agama yang bisa
dijadikan pijakan bersama untuk menumbuhkan kesadaran dan ketulusan dalam
membangun dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Adanya perbedaan
dalam ajaran tiap agama harus disadari dan dipahami bahwa perbedaan adalah
konsekuensi logis dari keragaman yang tidak dapat dihilangkan, tetapi harus
diterima dengan sikap tulus saling menghargai dan menghormati dengan
memperioritaskan cinta kasih dan meniadakan kecurigaan, kebencian, dan
permusuhan.
Internalisasi dan aktualisasi teologi kerukunan menjadi tanggungjawab
pemuka agama, karena kerukunan, bagi entitas Indonesia yang plural, merupakan
kebutuhan bersama yang sangat urgen dan tak terelakan. Dengan paham
keagamaaan inklusif, perbedaan bukan penghalang untuk merajut kebersamaan
dan persaudaraan. Sebagaimana halnya analisa Bergson, manusia hidup bersama
bukan didasarkan kepada persamaan tetapi oleh karena perbedaan baik dari dalam
sifat, kedudukan dan lain sebagainya.3
Pemahaman keagamaan yang menggali pada nilai-nilai mulia atau esensi
dari ajaran agama masing-masing, diharap ampuh mengubah kebencian jadi cinta,
mengurai permusuhan jadi persahabatan, memecah konflik jadi kerukunan yang
dinamis. Kerukunan yang mempunyai nilai dan bebas tanpa hipokrisi. Yang
3 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat: PT. Ciputat Press,
2005), h. 23.
97
demikian ini adalah kerukunan yang berpegang pada prinsip dan ajaran yang
digali dari masing-masing agama.4
Di sinilah, signifikansi peran pemuka agama mewujud sebagai harapan
bersama. Karena peran dalam analisa sosiolog, diartikan sebagai suatu prilaku
yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu
(Bruce J Cohen, 1992:76). Apalagi pemuka agama memiliki kedekatan langsung
dengan umatnya. Jarak yang dekat ini menjadi modal berharga dalam memelihara
dan menguatkan kerukunan.
Membangun dan menjaga kehidupan umat beragama yang harmonis bukan
tugas mudah, penuh kompleksitas yang melibatkan aspek emosi umat beragama
yang seringkali lebih cenderung pada penggunaan klaim kebenarannya dari pada
mencari kebenaran dan konsisten berbuat yang baik bagi yang lain. Pemeliharaan
kerukunan umat beragama tentunya sebagai tanggung jawab kolektif di mana
setiap unsur masyarakat harus terlibat di dalamnya, khususnya peran pemuka
agama yang sungguh dibutuhkan dalam upaya menjaga kerukunan dari level
terbawah umat beragama.
Pemerintah sudah membuat kebijakan pemeliharaan kerukunan sebagai
tangungjawab bersama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri
(PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang
tertera pada pasal 2. Melalui PBM ini, pemerintah berusaha mengakomodir peran
strategis pemuka agama dalam menginisiasi kerukunan dari lapisan masyarakat
melalui pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pembentukan
FKUB ini atas inisiasi masyarakat dan difalisitasi oleh Pemerintah Daerah (pasal
4 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 4-5 dan 22.
98
8 ayat 2) dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.5
Dalam analisa Ma’ruf Amin, pemuka agama yang memiliki kekuatan untuk
memperkuat kerukunan umat beragama dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu pertama, pemuka agama yang tergabung dalam FKUB, kedua,
pemuka agama yang berada di luar FKUB, tetapi memiliki afiliasi terhadap wadah
kerukunan umat beragama yang pembentukannya tidak difasilitasi pemerintah,
dan ketiga, pemuka agama yang bergerak secara individual dalam memperkuat
kerukunan umat beragama. Tiga kelompok inilah secara riil melakukan usaha-
usaha untuk memperkuat kerukunan umat beragama di tengah-tengah masyarakat,
terutama pada aspek pencegahan dan penghentian konflik antar umat beragama.6
Sedangkan untuk peran yang dilakukan pemuka agama dalam memelihara
kerukunan umat beragama salah satunya terkait beberapa hal sebagai berikut: a)
penyebarluaasan pemahaman keagamaan yang moderat, b) kerjasama antar umat
beragama dalam bidang kemanusiaan, c) melakukan dialog antar umat beragama
d) membangun sistem peringatan dini.7
Secara mendasar, salah satu utama peran pemuka agama dalam memberikan
pemahaman keagamaan yang terbuka dan toleran sehingga umat beragama tidak
terperangkap pada pola pemahaman ekstrem yang merusak harmoni antar umat
beragama. Dengan demikian, kerukunan akan mudah dibangun jika pemuka
agama dapat menginternalisasikan nilai-nilai humanis dan universal yang ada
pada agama ke dalam hati dan pikiran pemeluknya. Agama harus dijadikan
5 Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008), edisi ke-10, h. 289-306. 6 Ma’ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Banten: Yayasan An-Nawawi, 2013),
h. 131-132. 7 Ma’ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional, h. 134.
99
sumber etika kehidupan yang dapat membangkitkan kepedulian, kejujuran, dan
dapat menghindarkan perlakuan yang merusak harmoni umat beragama. Agama
sebagai cahaya penerang seluruh aktifitas keseharian umat beragama sehingga
yang muncul wujud agama yang menyejukkan hati pemeluknya.
B. Peran Pemuka Agama di Desa Pabian
Kemajemukan Agama dan kehidupan rukun antar umat beragama di Desa
Pabian tergambar pada keberadaan tiga bangunan rumah ibadah yang saling
berdekatan (Masjid Baitul Arham, Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel,
dan Klenteng Pao Xian Lin Kong). Di sisi lain, terciptanya kerukunan umat
beragama yang tertuang dalam hidup toleran dan harmonis, tidaklah muncul
dengan sendirinya. Keadaan tersebut lahir dari berbagai faktor yang
mendasarinya. Dengan kata lain, tidak pernah ada faktor tunggal yang benar-benar
dapat membentuk bangunan utuh kerukunan antara umat bergama.
Bangunan kerukunan antara umat beragama di Desa Pabian dapat dilihat
dari beberapa aspek seperti, sejarah dan kearifan lokal masyarakat setempat. Dari
segi historis, dapat dikatakan tiga bangunan rumah ibadah tiga agama sudah
berakar dalam kehidupan masyarakat yang memandang perbedaan sebagai suatu
keniscaan. Hal ini kemudian terus dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa referensi menyebutkan terkait dengan kolonialisasi oleh bangsa asing.
Seperti diketahui orang-orang Belanda mulai menetap di Desa Marangen dan
Pabian dari abad 17-18.8 Sebagaimana disinggung di awal, hal itu terjadi ketika
imprealisasi bangsa lain terhadap bangsa Indonesia, dan berimplikasi pada
8Muhammad Suhaidi, ―Harmoni Masyarakat Satu Desa Tiga Agama di Desa Pabian,
Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Madura,‖ Jurnal Harmoni, Vol. 13, No. 2 (Mei-Agustus
2014): h. 15.
100
terbentuknya sosio-kultural yang multikultur dan majemuk dalam koteks agama
seperti saat ini. Kerukunan yang terjalin selama sekian tahun tersebut kemudian
tetap dirawat dan diajarkan kepada generasi berikutnya, bahkan sampai abad 21
ini.
Kerukunan di atas juga dipersubur dengan sikap masyarakat Sumenep yang
terkenal santun dan bersahabat, tidak terkecuali dengan masyarakat di Desa
Pabian. Kearifan lokal yang hidup dalam kehidupan di masyarakat menunjukkan
adanya sikap inklusif dari daerah yang ada di sebelah timur pulau Madura ini.
Sehingga berdampak pada interaksi antar umat tiga agama yang harmonis. Hal ini
dapat dilihat dari sikap dan prinsip masyarakat setempat yang secara umum
masuk dalam konsep hubungan dan persaudaraan dalam konteks budaya Madura.
Selain dua faktor di atas, terdapat aspek peran pemuka agama yang tidak dapat
dilihat sebelah mata sebagai dasar dari bangunan utuh kerukunan umat beragama
di Desa Pabian. Dalam konteks peran pemuka agama yang dimaksud ialah, seperti
proses penanaman ajaran-ajaran agama yang mengarahkan untuk selalu hidup
rukun sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
1. Internalisasi Teologi Kerukunan
Peran pemuka agama untuk menumbuhkan sikap yang rukun dalam
kehidupan masyakarat sangat penting dan strategis. Lebih-lebih pada keadaan
masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak agama seperti di Desa Pabian.
Sebagaimana dikatakan oleh Akhmad Madani selaku Kepala Desa Pabian bahwa,
peran pemuka agama sangat kuat untuk menjaga hubungan baik dengan agama
lain. Bahkan ia menambahkan bahwa peranannya sebagai kepala desa dalam
merajut kerukunan masih dibawah pemuka agama itu sendiri. Lebih lanjut
101
menurutnya, keadaan aman yang tercipta saat ini merupakan dampak positif dari
ajaran-ajaran agama yang ditanamkan oleh pemuka agama.9 Keadaan yang rukun
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat patuh terhadap ajaran agama dan
juga himbauan dari pemuka agama masing-masing. Dua fungsi pemuka agama
secara garis besar yakni, pemeliharaan dan pengembangan keagamaan. Fungsi
yang pertama ialah dalam artian selalu mengajarkan pengikutnya untuk
melaksanakan ritual keagamaan secara benar serta berperilaku sesuai dengan
ajaran-ajaran agama. Kedua, pemuka agama selalu mengupayakan untuk
mengembangkan kualitas pemahaman keagamaan pemeluknya. Dan yang paling
penting, dengan fungsi tersebut, pemuka agama telah memberdayakan umat
beragama supaya dapat menangkal gerakan-gerakan yang menimbulkan
perpecahan.
Terlepas dari fungsi esensial tersebut, dalam kehidupan masyarakat
Madura dan tidak terkecuali Desa Pabian, pemuka agama tidak hanya berperan
sebagai pembimbing dalam hal keagamaan saja. Melainkan juga sebagai tempat
bertanya dan tukar pendapat dari berbagai aspek permasalahan sosial lainnya.
Dengan adanya kedekatan emosional tersebut, serta diperkuat dengan penguasaan
terhadap ilmu keagamaan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya. Sehingga
kharisma yang dimiliki merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan
pengaruh dalam masyarakat,10
lebih-lebih dalam konteks terciptanya kerukunan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Ma’ruf Amin yang mengatakan bahwa,
kepatuhan pemeluknya terhadap pemuka agama didasarkan pada jarak yang amat
9Akhmad Madani, Kepala Desa Pabian, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
10 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), h. 87.
102
dekat antara tokoh agama dengan umat, sehingga menjadi modal berharga untuk
memelihara kerukunan umat beragama.11
Peran penting pemuka agama dalam konteks menumbuhkan kerukunan
antar umat beragama, yakni melalui penanaman ajaran-ajaran agama yang
berkaitan dengan keimanan. Sebab, ajaran akidah di dalamnya tidak semata-mata
hanya menjelaskan tentang pentingnya iman saja. Melainkan juga bermuara pada
kemajemukan yang merupakan kehendak Tuhan. Senada dengan hal ini, Ilham—
ustadz di Masjid Baitul Arham—memaparkan bahwa, hal penting dalam menjaga
kerukunan yang ada di Desa Pabian yang sedemikian baik ini, karena kerukunan
yang ada saat ini berdasarkan pada ajaran-ajaran mulia atau nilai-nilai dalam
setiap agama masing-masing. Walaupun di sisi lain pemuka agama tetap terus
menjaga akidah umat. Lebih lanjut Ustadz Ilham memaparkan bahwa dalam sisi
akidah umat harus kuat, serta menjaga umat untuk tidak ada yang pindah agama
karena didasarkan seperti faktor ekonomi. Sebab hal ini akan menjadi isu yang
besar dan mengganggu kerukunan yang sudah terjalin sejak lama ini.12
Paparan ini menunjukkan bahwa pentingnya peran pemuka agama untuk
menanamkan akidah yang kuat terhadap umatnya harus digali dalam ajaran-ajaran
agama masing-masing. Serta harus ditegaskan pada pemeluk agama masing-
maing tentang pemahaman akidah yang kuat dan tidak gampang goyah dengan
banyak faktor seperti, ekonomi dan lainnya. Hal ini penting untuk menjaga
keadaan rukun antar umat beragama di Desa Pabian. Dengan kata lain, pemuka
agama sangat berperan besar dalam kehidupan sosial. Beberapa pernyataan
narasumber di atas sejalan dengan pengertian tokoh agama sebagai orang yang
11
Ma’ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional, h.131. 12
Ustadz Ilham, Masjid Baitul Arham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
103
tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun karena ia
memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang
mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau
masyarakat.13
Pembahasan tentang akidah juga ditegaskan oleh Harry –Romo Gereja
Katolik Paroki Gunung Karmel—yang menyampaikan bahwa, kerukunan umat
beragama dapat dibangun dengan menanamkan nilai-nilai agama bagi umat
Katolik sendiri. Sebab pada dasarnya agama sendiri mengajarkan kedamaian
kepada pemeluknya. Yakni jika menjadi orang Katolik hendaknya menjadi
Katolik yang benar-benar Katolik atau Katolik yang sebenarnya, serta jika
menjadi umat Islam menjadi umat Islam yang sebenarnya.14
Berdasarkan pada
pernyataan di atas menunjukkan bahwa, untuk merajut kerukunan antar umat
beragama terlebih dulu dan menjadi yang paling penting yakni memberikan
pemahaman kepada umat atau pemeluk agama masing-masing. Dengan kata lain
dari setiap agama yang ada dalam konteks di Desa Pabian, terdapat nilai-nilai
yang mengajarkan mencintai sesama. Dan hal itu merupakan sebagian dari
keimanan seorang dalam mengamalkan ajaran Katolik. Sebagaimana dijelaskan
dalam Matius, bahwa keimanan untuk mencintai sesama manusia terdapat pada
hukum kedua dalam Alkitab. Dalam konteks iman yakni tentang kasih Allah
dalam umat Katolik tergambar dalam Matius/2 : 36-40. Yakni menjelaskan bahwa
mengasihi sesama manusia adalah hukum kedua dari dua, selain mengasihi Allah.
Disebutkan, (36) ―Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum
Taurat?‖ (37) jawab Yesus padanya: ―Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
13
Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal Itu?
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 10-11. 14
Romo Harry, Gereja Katolik Paroki Gunung Karmel, Wawancara Tanggal 13 Februari
2018.
104
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akalbudimu. (38) Itulah Hukum yang terutama dan yang pertama, (39) dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: kasihilah sesama manusia
seperti dirimu sendiri.
Untuk lebih memupuk sikap toleran antar umat beragama, juga diperlukan
penanaman ajaran-ajaran yang menyangkut pemahaman keagamaan yang tidak
ekstrem dan juga radikal, melainkan berada dalam posisi tengah atau moderat.
Penanaman keagamaan yang dimaksudkan ialah, bahwa perbedaan-perbedaan
yang ada merupakan kehendak Allah. Sehingga sudah sepatutnya hidup rukun di
dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kemajemukan seperti perbedaan
agama di Desa Pabian ini. Pemahaman-pemahaman seperti ini harus benar-benar
tersampaikan kepada umat masing-masing agama, baik Islam maupun Katolik.
Hal ini dengan tegas dipaparkan oleh J. Birmyas Oybur Humas Geraja Katolik
yang mengatakan bahwa, selain kebersamaan yang terjalin dengan rukun sejak
lama ini, perlu juga pemahaman dari pemuka agama untuk menjaga umatnya
dengan cara memberikan pemahaman yang toleran terhadap masing-masing
umatnya.15
Paparan di atas menjelaskan bahwa sikap toleransi antar umat
beragama diajarkan dalam kegiatan keagamaan masing-masing agama yang ada di
Desa Pabian. Hal ini memerlukan peran pemuka agama untuk selalu memberikan
penjelasan terkait hidup rukun umatnya.
Di pihak lain juga menunjukkan bahwa sikap toleran tersebut selalu
dikumandangkan dalam berbagai pertemuan baik berupa khotbah Jumat dan
kuliah subuh, maupun dalam pertemuan-pertemuan majlis taklim. Yakni
menyampaikan untuk tidak saling menjelekkan satu sama lain, serta dalam
15
J. Birmyas Oybur, Humas Gereja Katolik Paroki Gunung Karmel, Wawancara Tanggal
15 Februari 2018.
105
kehidupan sehari-hari harus saling membantu.16
Wadah ini sebagai tempat untuk
penanaman dalam segi pemahaman keagamaan yang moderat.
Menurut Romo Harry dalam pertemuan yang lain menjelaskan bahwa sikap
toleran tersebut sudah memang mengakar dan tertanam dalam kehidupan
masyarakat Desa Pabian. Toleransi umat agama sudah menjadi sikap sehari-hari
dan membumi.17
Hal ini dipertegas dengan penelitian sebelumnya yang
mengatakan bahwa setiap individu dari masyarakat Pabian yang ditemui,
semuanya memiliki argumen yang sama bahwa perbedaan agama yang terjadi di
Pabian sebagai suatu yang biasa dan telah berlangsung puluhan tahun dan bahkan
ratusan tahun lamanya, sehingga bagi masyarakat pabian keberadaan agama lain
yang hidup berdampingan sama sekali tidak dianggap sebagai suatu yang tidak
wajar.18
Dipertegas dengan pernyataan Dihya Suyuti sebagai Ketua Takmir
mengatakan bahwa, peran pemuka agama dalam kaitannya membangun
kerukunan, sudah sejak lama terjadi. Bahkan sejak dari kakeknya (K.H.
Mohammad Subair) sebagai pemuka agama sudah terbiasa menjalin hubungan
dan komunikasi dengan pemuka agama lain, hal ini ternyata berdampak positif
terhadap perasaan aman dalam penyelenggaraan ibadah. Sikap seperti ini,
menurutnya, terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya seperti bapak Suyuti
(Raden H. Suyuti), hingga gererasi saya saat ini.19
Sehingga dengan demikian
peran pemuka agama dalam membangun keadaan yang rukun, juga dilakukan
16
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 17
Romo Harry, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 18
Muhammad Suhaidi, ―Harmoni Masyarakat Satu Desa Tiga Agama di Desa Pabian,
Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Madura,‖, h. 11. 19
Raden Dihyah Suyuti, Ketua Takmir Masjid Baitul Arham, Wawancara Tanggal 15
Februari 2018.
106
dengan cara dialog yang sifatnya tidak formal antar kedua belah pihak. Karena
kadaan tersebut sudah berjalan lama, maka masyarakat menganggapnya sebagai
keadaan yang memang sudah terbangun dengan sendirinya.
2. Penyebaran Paham Keagamaan Yang Moderat
Untuk lebih menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati atau
dengan kata lain hidup rukun antar umat beragama. Pemuka agama juga
mengupayakan untuk menyebarkan pemahaman keagamaan yang moderat dan
sikap toleran melalui media-media yang tersedia dan sesuai aturan yang ada.
Media yang dimaksud, jika memungkinkan, melalui media cetak maupun
elektronik. Penyebaran juga diintensifkan melalui khotbah jumat, kuliah subuh,
majlis taklim, ceramah-ceramah atau saluran-saluran lain yang seringkali
memakai loadspeaker, maupun komunikasi-komunikasi sehari-hari. Dengan
catatan isi penyebaran tersebut bermuatan hal-hal yang dapat menumbuhkan sikap
toleran.
Hal ini, tentunya bertujuan untuk menjaga kerukunan dan saling
menghormati antara pihak agama Katolik dan Islam. Isi khotbah baik yang
disampaikan ketika ibadah keagamaan seperti sholat jumat dan sholat subuh,
biasanya selalu menggunakan media pengeras suara. Hal ini berdampak baik bagi
kedua hubungan antar umat beragama. Di satu sisi, penyebaran yang keagamaan
yang dilakukan didengar banyak kalangan dari umat Islam sendiri. Sedang bagi
umat lain yang mendengarkan khotbah tersebut tidak merasa terusik
keberadaannya. Seperti yang disampaikan ustadz Ilham bahwa, Saya dan teman-
teman sepakat untuk selalu menegaskan prinsip Islam tentang perdamaian,
sebagaimana ajaran Rasulullah yang selalu menganjurkan perdamaian, meskipun
107
ada isu-isu yang kita dengar di daerah lain, tetapi kita tetap mencoba untuk tidak
terkontaminasi dari isu tersebut. Rasulullah mengajarkan untuk melindungi non-
muslim, dengan catatan tidak mengganggu dan berusaha menghancurkan dari
dalam. Maka kita mengikuti sistem Rasulullah yang melindungi kaum yang tidak
seagama dengan kita tersebut, dan itulah peran kita di sini untuk memberikan
pencerahan kepada umat dan masyarakat dalam bentuk khotbah dalam sholat
jumat dan pengajian.20
Kesadaran dari para pemuka agama dalam konteks ini
menjadi sangat penting dan strategis, sebab mereka memiliki ikatan emosional
serta adanya kepemimpinan maupun kharisma yang terdapat dalam dirinya
mampu memberi rasa kepatuhan dari pemeluknya. Bagi umat lain (Katolik),
pernyataan-pernyataan di atas dapat membuat rasa aman dalam kehidupan di Desa
Pabian yang majemuk tersebut. Bahkan bagi masyarakat di sekitarnya yang
berbeda agama akan terbangun persepsi yang positif terhadap agama Islam
melalui penyebaran keagamaan yang toleran. Sehingga mereka terbangun
hubungan yang baik antar masyarakat berbeda agama.
Ulasan dan pernyataan di atas menunjukkan bahwa peran pemuka agama
dalam hal ini, tentang isi khotbah, menjadi media yang baik untuk merajut dan
memelihara kerukunan masyarakat Desa Pabian. Sebab peran pemuka agama
selain dapat menjalin dan mempersubur kerukunan, di lain sisi juga dapat
menyulut konflik di tengah-tengah masyarakat, sehingga kesadaran dari pemuka
agama menjadi faktor yang penting. Serta tergantung dengan bagaimana cara
menyampaikan dan juga isi khotbah itu sendiri. Keadaan ini dialami langsung
oleh warga di Desa Pabian yang mengatakan bahwa, selama ini tidak ada khotbah
20
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
108
Jumat dan ceramah-ceramah pada hari besar Islam yang menyinggung agama
lain.21
Hal ini semakin menegaskan bahwa pemuka agama dalam menyampaikan
ceramahnya tidak mengusik keberadaan agama lain. Sebab tokoh agama adalah
aktor fungsional yang dapat memfilter berkembangnya isu yang dapat
memperkeruh terjadinya konflik.22
Sehingga keberadaan dan kesadaran para
pemuka agama menjadi faktor yagn segnifikan dalam menjaga keutuhan
masyarakat yang majemuk dalam konteks agama seperti di Desa Pabian ini.
Di lain pihak, yakni Romo Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel
juga memberikan penekanan dan menghimbau untuk hidup toleran kepada
umatnya. Sehingga dengan himbauan dalam beberapa khotbah atau ceramah
tersebut dapat dikatakan sebagai media efektif baik untuk menumbuhkan
kesalehan agama dan juga sosial. Romo menjelaskan bahwa himbauan atau ajakan
menggali ajaran Katolik, seperti cinta kasih dan cinta kepada sesama selalu
disampaikan. Bahkan menurutnya toleransi sesungguhnya secara umum sudah
menjadi sikap masyarakat Desa Pabian, sehingga saya menghimbau untuk tidak
mudah untuk terprovokasi dari isu-isu yang merusak, dengan tegas Romo
menegaskan kembali bahwa memang ada dorongan dari pemuka agama untuk
menjaga kerukunan di Desa Pabian dalam menjaga kerukunan seperti yang terjadi
hari ini.23
Selain beberapa hal di atas tentang peran pemuka agama yang selalu
memberikan penyadaran terhadap masing-masing penganutnya, juga terdapat
sikap yang dewasa dalam menghadapi hal yang mengancam kerukunan umat.
Sikap dari para pemuka agama yang dimaksud yakni selalu memberikan
21
Ahmad Junaidi, Warga Desa Pabian, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 22
Ma’ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional, h. 135. 23
Romo Harry, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
109
kewenangan kepada pihak pemerintah dalam hal ini kepolisian untuk
menyelesaikan konflik maupun ketika terdapat isu yang menyinggung umat
agama lain. Serta sikap para pemuka agama yang tidak gampang menyulut atau
memprovokasi ketika ada isu maupun kejadian yang menyinggung agamanya
sendiri. Isu maupun peristiwa yang menyinggung keagamaan biasanya diserahkan
kepada Polres dan langsung dikawal, serta tidak ada yang memprovokasi,
andaikan ada yang main dengan tingkat pemahaman keagamaan masyarakat yang
menengah kebawah, maka akan gampang tersulut.24
Melihat dari dua peran pemuka agama yang signifikan tersebut, dapat
dikatakan berdampak positif bagi kerukunan antar umat beragama di Desa
Pabian. Selain seperti yang sudah dijelaskan dan disinggung dalam beberapa hal
di atas tentang peran besar pemuka agama. Dampak positif dari peran pemuka, di
sisi lain terlihat dan ditunjukkan dengan sikap masyarakat yang sangat positif
dalam melihat perbedaan di tempat tersebut. Sehingga kerukunan yang ada
dengan peranan pemuka agama, telah tertanam dalam pemahaman diri masyarakat
setempat tentang adanya kodrat kehidupan yang berbeda-beda antar umat
manusia. Dengan kata lain ketika terdapat banyak media maupun isu yang
sifatnya menyulut konflik, masyarakat tidak gampang terprovokasi. Hal ini
menandakan masyarakat setempat sudah memiliki kepercayaan antar satu sama
lain, juga menunjukkan adanya kedewasaan dan bisa membentengi diri (self
defence ) dalam merespon berbagai isu yang menimbulkan keretakan antar umat
beragama. Efek positif inilah yang kemudian terus dijaga dengan baik oleh para
pemuka agama maupun masyarakat itu sendiri. Hal Ini disampaikan oleh takmir
24
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
110
Masjid Darul Arham bahwa, ketika ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk
melakukan provokasi terhadap warga setempat, mereka tidak terpengaruh sama
sekali.25
Dipihak lain membenarkan tentang masyarakat yang telah dewasa dalam
memberikan respon tentang isu-isu negatif dari kemajemukan agama.
Ditunjukkan oleh salah satu warga yang mengatakan bahwa ketika ada peristiwa
seperti yang disebutkan di atas. Masyarakat cenderung melihat aktor tersebut
sebagai orang yang tidak paham dengan lingkungannya. Bahkan ustadz yang
mengganggu kerukunan antar umat beragama, cenderung terpinggirkan dengan
sendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dibenarkan oleh pengakuan salah
satu warga yang mangatakan, ustadz yang baru pulang dari pondok pernah
melakukan ceramah-ceramah di masjid, yang oleh warga dianggap mengganggu
kondusifitas, namun warga tidak menghiraukan dan ustadz tadi pindah keluar dari
lingkungan masjid.26
C. Bentuk-Bentuk Kerukunan
Kerukunan antar umat beragama tidak hanya karena nihilnya konflik atau
terciptanya kedamaian antar sesama maupun keadaan yang mencerminkan tidak
ada yang terusik antara satu dengan yang lainnya. Namun juga kerukunan yang
lebih dinamis dan fungsional. Kerukunan seperti ini menarik dijelaskan baik
secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menyebutkan angka-angka yang
sangat minim tentang konflik atau angka-angka tentang kerjasama yang terjadi di
antara umat beda agama. Sudah menjadi hal yang lumrah dalam menjelaskan
25
Raden Dihyah Suyuti, Ketua Takmir Masjid Baitul Arham, Wawancara Tanggal 15
Februari 2018. 26
Ahmad Junaidi, Warga Desa Pabian, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
111
suasana damai sebagai barometer keadaan rukun di daerah yang bersangkutan.
Namun sekiranya perlu untuk mempertegas bentuk-bentuk kerukunan yang
terjalin secara konkret di tengah-tengah masyarakat tersebut. Tujuannya ialah
untuk mempermudah melihat bentuk kerukunan yang hidup di masyarakat, selain
seperti kerukunan dengan tidak adanya konflik dan keadaan damai seperti yang
disinggung di atas.
Dalam kehidupan masyarakat Desa Pabian, kerukunan antar umat beragama
terjalin dalam beberapa bentuk interaksi sosial. Interaksi-interaksi sosial tersebut
dapat menjelaskan bagaimana kerukunan antar umat beragama sudah terbentuk
dan berakar dalam keseharian masyarakat setempat. Sebut saja bentuk-bentuk
kerukunan yang dimaksud dapat diklasifikasikan pada sosial-keagamaan,
pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Keadaan yang harmonis dan toleran
masyarakat Desa Pabian yang dalam hal ini biasa disebut kehidupan yang rukun
antar umat beragama, tercermin dalam empat bentuk tersebut. Dan empat bentuk
tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Desa Pabian.
1. Sosial-Keagamaan
Aspek ini melihat jalinan komunikasi antar umat Katolik dan umat Islam
yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Pabian. Mengingat
masyarakat Madura secara umum dapat dikatakan sangat taat pada agamanya.
Pada konteks ini ialah agama Islam yang memang secara sosiologis menjadi
agama mayoritas masyarakat Madura. Masyarakat Madura tidak dapat dilepaskan
dengan nila-nilai yang terkandung dalam agama Islam. Sebagaimana dijelaskan
oleh A. Latief Wiyata yang mengatakan bahwa pandangan hidup orang Madura
112
tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang mereka anut.27
Fakta
sosiologis ini juga berlaku di Desa Pabian yang notabenenya masyarakat setempat
menganut agama Islam. Tetapi keberadaan umat agama lain di tempat tersebut
yang tergambar pada keberadaan bangunan tempat ibada tiga agama seperti yang
dijelaskan sebelumnya, dengan demikian menunjukkan adanya sikap yang terbuka
dan saling menghormati dalam kehidupan masyarakat Desa Pabian.
Salah satu kerukunan antar umat Islam dan Katolik di Desa Pabian terlihat
ketika berlangsungnya acara-acara keagamaan dari masing-masing agama tesebut.
Sebagaimana pengakuan warga setempat yang mengakatan bahwa ketika ada
perayaan hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad
Saw), Suster Gereja mengucapkan selamat dan juga memberikan bingkisan.28
Interaksi sosial ini menunjukkan bahwa antara umat Islam dan Katolik sudah
terjalin rasa saling menghargai satu sama lain. Sehingga mereka tidak canggung
lagi untuk sekedar berjabat tangan serta mengucapkan selamat ketika waktu
perayaan keagamaan seperti yang disebutkan tersebut.
Pernyataan warga ini senada dengan yang diungkapkan oleh Kepala Desa
Pabian. Ia memaparkan tidak terlalu berbeda, yang menunjukkan interaksi antara
umat Katolik dan umat Islam hidup rukun. Suster dari pihak Gereja Katolik
silaturrahim kepada penduduk sekitar Gereja, serta membawa bingkisan. Keadaan
seperti ini sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama. Ia menyebutkan bahwa
pihak Gereja juga mengundang penduduk setempat ketika ada pesta Natalan, dan
termasuk saya sebagai kepala desa, saya datang.29
27
A. Latief Wiyata, Mencari Madura (Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013), h. 3. 28
Ahmad Junaidi, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 29
Akhmad Madani, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
113
Pernyataan ini menunjukkan bahwa mayoritas warga Desa Pabian sudah
sangat terbuka dengan perbedaan yang ada, apalagi ditunjukkan dengan
penerimaan warga Desa Pabian khususnya di sekitar Gereja seperti yang
dijelaskan oleh salah satu narasumber di atas, terhadap pihak umat Katolik.
Bahkan interaksi seperti itu sudah menjadi hal lumrah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Pabian. Bahkan juga ditegaskan oleh salah satu narasumber di mana
antara umat Islam dan Katolik di Desa Pabian interaksinya bagus, biasa saling
membantu dan tidak pernah saling mengganggu.30
Keberadaan pemuka agama di Desa Pabian benar-benar mendorong dan
memperkuat kaadaan rukun antar umat beragama Islam dan Katolik. Seperti yang
disampaikan salah satu Ustadz di Masjid Baitul Arham, bahwa ketika kami ada
Maulid Nabi atau Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha), pihak Gereja
mengucapkan selamat kepada penduduk, serta melalui spanduk dan kami pun
menerima ucapan tersebut.31
Sebagai pemuka agama, sikap toleran yang
ditujukkan di atas sangat berpengaruh terhadap kehidupan rukun masyarakat.
Sebagaimana di singgung di awal bahwa dengan penguasaan ilmu keagamaan di
atas rata dan juga kharisma yang dimiliki pemuka agama dapat mempengaruhi
emosi umatnya. Sehingga dengan kata lain, pemeluk agama yang bersangkutan
seringkali mencontoh perilaku pemuka agama di lingkungannya.
Bahkan menurut ketua takmir Masjid Baitul Arham, kerjasama yang
dilakukan antara pihak Gereja dan takmir Masjid juga berupa sumbangan yang
berbentuk sembako dan lainnya. Seperti yang dipaparkan, yang tak kalah
pentingnya dari sekedar saling mengucapkan selamat, yakni non-muslim (Katolik)
30
Moh. Shodiq, Warga dan juga sebagai marbot Masjid Baitul Arham, Wawancara Tanggal
12 Maret 2018. 31
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
114
menyumbangkan hal-hal lain ketika menjelang hari raya, mereka menyalurkan
beras bagi masyarakat Muslim yang benar-benar tidak mampu. Penyalurannya
tidak langsung memberikan sendiri, melainkan melalui takmir masjid. Bentuk
kerjasama seperti ini sudah terjalin sangat lama dan terakhir pada tahun 2017, ada
50 kuintal beras yang diberikan ke Masjid untuk disalurkan kepada masyarakat,
dan kami memilah dan memilih masyarakat yang benar-benar tidak mampu sesuai
dengan koridor keIslaman kita. Kerjasama ini muncul karena ada peranan pemuka
agama antar pimpinan yang dahulu, kemudian kami tetap rawat sampai
sekarang.32
Bantuan sembako atau bantuan dalam bentuk apapun dari pihak Gereja
terhadap masyarakat bisa jadi menimbulkan kecurigaan—bahkan juga dapat
penolakan—yang bisa mengganggu jalinan harmoni dalam sebuah kelompok
masyarakat. Namun, di dalam masyarakat Pabian, yang demikian tersebut
mendapat penerimaan yang sangat baik dengan tangan terbuka penuh
persaudaraan. Dikarenakan, menurut penuturan Romo, setiap bantuan yang
diberikan kepada masyarakat sekitar Gereja selalu melibatkan Masjid. Diakui
pula, bahwa pemberian dari Gereja tidak pernah memakai label Gereja dan tau
diri. Pihak Gereja menyadari segala bantuan itu harus dengan keikhlasan bukan
karena ada maksud lain.33
Yang tidak kalah penting lagi ketika melakukan kegiatan keagamaan seperti
maulid, tempat ibadah (Gereja) tidak pernah protes bahkan ketika kita menyiarkan
Islam lewat pengeras suara, bahkan halaman di depan Gereja diberikan sebagai
32
Raden Dihyah Suyuti, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018. 33
Romo Harry, Wawancara tanggal 13 Maret 2018.
115
tempat parkir pada saat proses keagamaan dilaksanakan.34
Karena antara Masjid
Baitul Arham dangan Gereja Katolik hanya dipisah oleh jalan raya.
Kesadaran tersebut selain lahir dari masyarakat sendiri memang diakui
didukung oleh pemuka agama di Desa Pabian. Seperti ditegaskan menurut ketua
takmir Masjid Baitul Arham yang mengatakan, jika diamati keduanya, artinya
memang ada kesadaran dari masyarakat, tetapi juga dimotivasi oleh pemuka-
pemuka agama yang sering menghimbau dan mengingatkan untuk tidak saling
membenci antar pemeluk agama lain dan membiarkan mereka melaksanakan
ibadah sesuai dengan keyakinannya.35
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa
pemuka agama bagi masyarakat Madura dan Desa Pabian khususnya, tidak hanya
sekedar menjadi pembimbing dalam keagamaan saja. Melainkan Ia menjadi
panutan baik dalam sopan-santun, serta menjadi rujukan sehari-hari masyarakat
dalam berbagai aspek. Sehingga kedudukan pemuka agama menjadi hal sangat
strategis dalam menciptakan dan menumbuhkan sikap toleran masyarakat. Hal ini
sejalan dengan standar refrensi yang harus dipatuhi dalam kehidupan orang
Madura pada umumnya. Sebut saja standar refrensi tersebut terdiri dari
Bhuppa’bhabhu ghuru rato. Bhuppa’bhabhu (bapak dan ibu), ghuru (guru, kyai
atau pemuka agama), rato (pemimpin birokrasi/pemerintah). Tiga figur ini artinya
menjadi standar refrensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara
hierarhikal.36
Beberapa temuan yang menunjukkan adanya keterbukaan dari pihak
mayoritas masyarakat Desa Pabian, dalam hal ini umat Islam. Memiliki implikasi
positif terhadap kelangsungan kehidupan yang rukun antara umat Katolik dan
34
Raden Dihyah Suyuti, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018. 35
Raden Dihyah Suyuti, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018. 36
A. Latief Wiyata, Mencari Madura, h. 30.
116
Islam. Sehingga pemberian contoh yang dilakukan pemuka agama tersebut secara
tidak langsung berdampak pada keadaan damai masyarakatnya. Sebab tidak
jarang dalam banyak kasus yang menunjukkan bahwa penyulut maupun yang
memperkeruh konflik datang dari para tokoh agama setempat.
2. Pendidikan
Bentuk kerukunan dalam aspek pendidikan ini untuk melihat bagaimana
keterbukaan antar umat Islam dan umat Katolik menyikapi lembaga pendidikan
yang ada. Seperti yang disinggung di awal bahwa pada dasarnya umat Islam
merupakan pihak yang mayoritas. Dan di daerah Desa Pabian terdapat sekolah
Katolik. Sebagaimana diketahui bersama, sebagian umat Islam, dan tidak
memungkiri di tempat lain, bisa sangat tertutup pada keberadaan pendidikan yang
berafiliasi dengan pihak non-Islam. Bahkan yang muncul bisa mengarah kepada
sikap penuh kecurigaan pada sekolah yang dibangun oleh umat Katolik. Akan
tetapi fakta di lapangan berbicara lain, kerukunan umat Islam dan Katolik di Desa
Pabian menunjukkan pada arah yang positif bagi keberlangsungan kerukunan
antar umat beragama. Warga Desa Pabian yang mayoritas Islam tersebut tidak
menolak keberadaan sekolah yang didirikan oleh pihak Katolik. Hal ini
menandakan adanya keterbukaan dari kalangan mayoritas yang tidak alergi pada
keberadaan minoritas seperti pihak Katolik dalam konteks ini.
Bukti keterbukaan antar umat beragama dalam aspek pendidikan terlihat
dari pernyataan salah narasumber yang menjelaskan bahwa tidak ada larangan
terhadap warga untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah yang memang
dimiliki umat Katolik. Seperti yang disebutkan oleh ustadz Ilham ketika ditemui
di rumahnya. Kita tidak pernah melarang anak sekolah ke SD Katolik, anak-anak
117
Islam banyak yang sekolah di sana, bahkan ponakan istri saya juga sekolah di SD
Katolik. Juga sebaliknya, tidak melarang anak-anak Katolik untuk sekolah pada
SMP yang Islam, karena hari ini banyak anak-anak Katolik yang sekolah di SMP
Islam.37
Pengakuan ini mempertegas bahwa dalam aspek pendidikan yang dianggap
sangat dasar bagi penanaman akidah peserta didik pun tidak dipermasalahkan.
Bahkan dari kedua belah pihak antara umat Katolik dan Islam tidak keberatan.
Mereka dengan sendirinya memasukkan anak-anaknya pada sekolah tersebut.
Walapun dengan alasan-alasan yang berbeda seperti karena memang kualitasnya
yang baik, maupun karena dekat dengan tempat tinggalnya. Terlepas dari faktor
tersebut, warga Desa Pabian antara umat Katolik dan Islam tidak memberikan
batasan untuk memasukkan anak-anaknya di sekolah tertentu. Seperti khusus
umat Islam, dihimbau untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam atau
sekolah negeri saja. Juga sebaliknya, umat Katolik dengan terbuka menerima
bahkan menempatkan anak-anaknya ke sekolah Islam.
Aspek pendidikan bagi warga Desa Pabian dan khusunya umat Islam dan
umat Katolik telah terbentuk kerjasama yang saling menguntungkan. Simbiosis
mutualisme ini dalam kaitannya dengan pendidikan diungkapkan oleh pihak
Humas Geraja Katolik. Dari sejak dulu sudah terbentuk kerjasama yang saling
menguntungkan, guru-guru di SD Katolik banyak dari Muslim, dan muridnya
banyak juga dari kalangan Muslim.38
Hal ini juga diakui oleh salah seorang warga
37
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 38
J. Birmyas Oybur, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018.
118
yang bernama Ahmad Junaidi—biasa dipanggil pak Aman—mengatakan bahwa
semua anak-anaknya sekolah ke SD Katolik.39
Sehingga dapat dikatakan dalam pikiran masyarakat sudah tidak
mempermasalahkan lagi keberadaan pendidikan yang berbeda. Bahkan warga
sudah menganggap sebagai hal yang menguntungkan dilihat dari beberapa aspek
seperti, adanya beasiswa, kualitas yang bagus dan dekatnya jarak ke tempat
tinggal.
Hal ini ditegaskan juga oleh ketua takmir Masjid Baitul Arham yang
mengatakan pilihan sekolah pada SDK tersebut karena terdapat keunggulan baik
fasilitas maupun kualitas pendidikannya. Setelah saya amati ternyata memang ada
beberapa fasilitas yang memberikan kenyamanan kepada umat Islam seperti buku,
dan juga fasilitas gratis SPP. Itu salah satu daya tarik yang sama bentuknya
dengan yang kita lakukan.40
Fasilitas dan kualitas pendidikan menjadi
pertimbangan warga untuk memasukkan anaknya kepada sekolah tersebut. Dan
hal ini juga disadari oleh pihak yang berkaitan bahwa kualitas dan fasilitas
pendidikan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Desa Pabian.
3. Ekonomi
Kerukunan antar umat beragama yang lain yakni dalam bentuk ekonomi.
Bentuk ini juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat memang sudah
toleran dalam memandang perbedaan yang ada. Serta dari perbedaan tersebut
tidak pula dihubungkan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari seperti pada
aspek ekonomi, melainkan mereka (umat Katolik dan umat Islam) telah
menyadari.
39
Ahmad Junaidi, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 40
Raden Dihyah Suyuti, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018.
119
Kerukunan dalam bentuk ekonomi ini tergambar pada pernyataan Humas
Gereja yang mengatakan, toko-toko mempekerjakan banyak dari orang Muslim,
interaksi ini saling membutuhkan, saling mengisi untuk memperkuat hubungan.
Bahkan imbuhnya, pekerja-pekerja di klinik Katolik banyak yang Muslim juga.41
Pihak lain juga pempertegas keadaan kerjasama di Desa Pabian dalam aspek
ekonomi. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Desa Pabian, bahwa toko-toko
milik orang Katolik karyawannya orang Islam, namun dalam hal ibadah kalau
dzuhur, ya sholat, tidak ada tekanan.42
Dengan demikian warga Desa Pabian
membangun hubungan kerjasama tanpa mempersoalkan perbedaan agama. Dalam
hal pekerjaan dilakukan secara profesional. Sedangkan dalam pelaksanakan
kewajiban ibadah yang lima waktu tidak menjadi halangan dan tidak pernah
dihalangi, sehingga hubungan baik ini terus berlanjut.
Salah seorang warga yang bernama Atmojo, pekerja di Klinik Sang Timur,
satu yayasan dengan Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel Desa Pabian,
menjelaskan bahwasanya pekerja di Klinik tersebut 80 persen Muslim. Mulai dari
dokter gigi, dokter umum, perawat, satpam dan sopir. Bahkan yang Katolik hanya
pimpinan klinik dan beberapa staf saja. Diakuinya, perbedaan agama tidak pernah
dipersoalkan, apalagi sampai menimbulkan konflik. Keberadaan klinik tersebut
justeru sangat memberikan manfaat besar bagi warga sekitar dan terhadap
siapapun yang berobat.43
Itu artinya interakrasi yang terjadi antara Gereja dan
warga sekitar yang Muslim adalah interaksi yang saling membutuhkan dan
memberdayakan warga sekitar. Keberadaan lembaga pendidikan dan klinik yang
41
J. Birmyas Oybur, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018. 42
Moh. Masturah, Sekretaris Desa Pabian, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018. 43
Atmojo, Pekerja di Klinik Sang Timur, Wawancara Tanggal 12 Maret 2018.
120
berada dibawah naungan Yayasan Karya Sang Timur sangat memberikan arti
yang besar bagi masyarakat.
Pak Aman warga sekitar Masjid Baitul Arham yang juga menyekolahkan
semua anaknya ke SD Katolik tersebut menegaskan bahwa Guru di SDK dan
Klinik Sang Timur banyak yang Muslim. Sekaligus juga mengakui dan merasakan
kontribusi besar keberadaan instusi tersebut. Bahkan yang bekerja di Yayasan itu
juga ada uang pensiunnya.44
Adanya para pekerja dan guru yang beragama Islam di Klinik dan SDK
tersebut dapat menumbuhkan dan memperkuat hubungan yang rukun antar umat
Islam dan Katolik. Bahkan dalam analisa Nasikun, adanya keanggotaan (cross-
cutting affiliations ) dan loyalitas (cross cutting loyalities ) yang bersifat silang-
menyilang tersebut bisa menjadi landasan terciptanya kerukunan.45
4. Kesehatan
Bentuk-bentuk kerjasama yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari di Desa
Pabian tidak hanya melalui seperti yang dijelaskan di atas. Sebut saja ucapan-
ucapan yang menandakan adanya saling menghormati ketika ada acara perayaan
keagamaan, sekolah yang terbuka pada semua umat beragama, dan yang terakhir
ekonomi. Namun juga tercipta dalam bentuk pengobatan atau dengan kata lain
kesehatan. Dalam beberapa wawancara dengan beberapa narasumber, pada aspek
kesehatan juga terjalin kerjasama yang baik. Ustadz Ilham menyebutkan bahwa
pengobatan gratis sudah lama terjadi dari pihak gereja Katolik kepada warga
44
Ahmad Junaidi, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 45
Dapat dilihat dalam buku J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks
Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana, 2004), h. 205-206.
121
sekitar.46
Bentuk penerimaan yang sangat baik dari warga sekitar yang mayoritas
Islam tersebut, menjadi penanda penting bahwa kerukunan antar umat beragama
di Desa Pabian berjalan seperti yang diinginkan dan menjadi harapan bersama.
Pihak Gereja, atau lebih tepatnya Humas dari Gereja Katolik juga
membenarkan pengobatan gratis kepada warga sekitar sudah sejak lama terjadi.
Pengobatan gratis sudah lama berjalan, serta kegiatan rutin lainnya seperti donor
darah dari warga sekitar. Serta banyak orang Muslim yang pergi ke klinik kami
ketika membutuhkan, ada juga dokter yang muslim yang kerja di sana.47
Hal
seperti ini menunjukkan adanya saling percaya antara pihak satu dengan yang
lainnya. Tanpa ada rasa takut maupun kecurigaan dari warga, dan murni karena
perihal kesehatan.
Kepala Desa Pabian juga membenarkan bentuk kerukunan yang selama ini
sudah berjalan sejak lama. Masyarakat setempat sering mendapatkan pengobatan
gratis dari Gereja Katolik.48
Kegiatan yang berlangsung sejak lama ini
memberikan penegasan bahwa masyarakat sudah nyaman tapa ada kecurigaan
ketika mendapatkan bantuan yang berupa pengobatan gratis dari Gereja. Dan ini
menandakan jalinan kepercayaan di antara umat berbeda agama tersebut sudah
tidak ada kendala yang berarti lagi.
D. Faktor-faktor Kerukunan di Desa Pabian
Kerukunan tercipta biasanya karena ada faktor yang melandasinya. Begitu
juga dengan potret kerukunan yang ada di Desa Pabian memiliki dasar yang kuat
dalam kehidupan masyarakatnya. Landasan tersebut sudah sejak lama
46
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 47
J. Birmyas Oybur, Wawancara Tanggal 15 Februari 2018. 48
Ahmad Junaidi, Warga Desa Pabian, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
122
dipraktekkan dan dijaga dengan baik oleh pihak yang bersangkutan. Sehingga
sampai hari ini Desa Pabian disebut sebagai desa toleran oleh pihak luar. Label
tersebut tercermin dalam kehidupan masyarakatnya yang senantiasa hidup rukun
di tengah-tengah fakta tentang kemajemukan agama. Namun hal ini tidak cukup
menjelaskan tentang keadaan yang rukun tersebut. Dari sini perlu sekiranya
menjelaskan dari temuan di lapangan tentang ajaran-ajaran agama yang bersifat
toleran. Serta diperkuat dengan kearifan lokal yang memang sudah melekat
dengan orang Madura, dan warga Desa Pabian khususnya.
Pertama, Paham Keagamaan Inklusif. Kerukunan yang ada tentunya
didasari oleh pemahaman keagamaan yang terbuka terhadap perbedaan dari
masing-masing agama, baik agama Islam maupun Katolik. Internalisasi paham
tersebut berdampak baik terhadap penerimaan pada pihak di luar seagamanya.
Pemahaman keagamaan seperti itu dapat digali dalam ajaran-ajaran agama
masing-masing. Ajaran Inklusif dalam agama Islam bukan hal baru lagi. Hal ini
dapat ditemukan dalam Firman Allah yang terdapat dalam al-Quran. Begitu juga
Katolik melalui Al Kitab dengan ajaran-ajaran cinta kasihnya.
Seperti ditegaskan oleh Ustadz Ilham bahwa kerukunan yang tercipta dan
terpelihara dengan baik di lingkungan masyarakat Desa Pabian, terlebih karena
peran pemuka agama seperti penjelasan di atas, dikarenakan ajaran agama Islam
yang mengajarkan demikian. Diakuinya, setiap agama pasti mengajarkan yang
demikian itu (kerukunan).49
Sehingga hal demikian itu disadari dan dijalankan
sebagai sumber nilai dalam setiap perilaku masyarakat Pabian.
49
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 12 Maret 2018.
123
Hal ini pula dikuatkan oleh pernyataan Sekdes Pabian, di mana Ia
menjelaskan pemahaman masyarakat akan ajaran Islam yang mendalam dan
mencontoh dari apa yang sudah diajarkan Rasulullah Saw. Bahwasanya, setiap
manusia adalah khalifah (pemimpin) yang harus memberikan contoh pemahaman
kalau memang ada perbedaan, yang ditonjolkan adalah kedamaian. Perbedaan itu
boleh saja tapi kedamaian harus kita tonjolkan. Lebih jauh dijelaskan, di dalam
ajaran agama (Islam) bahwa kita diajarkan oleh Rasulullah Saw. untuk senantiasa
membuat kerukunan, membuat perdamaian di muka bumi.50
Berangkat dari ajaran agama yang dipahami dengan baik oleh setiap umat
beragama sesuai nilai-nilai kemanusiaan dan cinta kasih akan melahirkan sikap
toleran terhadap berbagai perbedaan, khsusunya perbedaan agama. Yang
demikian ini menjadi kunci terciptanya kerukunan. Romo Gereja Katolik yang
ada di Desa Pabian menjelaskan yang hal dekimian pula, disebutnya ajaran
Katolik menanamkan nilai cinta kasih kepada sesama.51
Dan diakuinya sebagai
faktor utama yang melandasi terwujudnya kerukunan dari perspektif ajaran
Katolik.
Ini kemudian terus dijaga dan dipupuk oleh para pemuka agama di Desa
Pabian setiap berbagai kesempatan melalui media-media khotbah, pengajian dan
perkumpulan lainnya. Ada pengakuan tentang materi yang disampaikan ketika
ceramah atau khotbah. Dalam kuliah subuh, senior mengisi kajian kitab, dan saya
menyampaikan materi-materi sosial, persatuan, serta terciptanya kesalehan sosial.
Keadaan rukun di sini karena Islam mengajarkan kedamaian dan keselamatan.
Bahkan di Katolik ada juga yang landasannya seperti itu, sama-sama
50
Moh. Masturah, Wawancara Tanggal 13 Maret 2018. 51
Romo Harry, Wawancara Tanggal 12 Maret 2018.
124
menghormati. Bahkan arti Islam itu sendiri menyebarkan keselamatan. Saya dan
ustadz lainnya menegaskan kepada masyarakat arti penting menjaga kebersamaan
untuk saling menghargai, itu yang ditekankan oleh kami.52
Dengan demikian, selain memang terdapat ajaran yang menghargai
perbedaan dalam pemahaman keagamaan di dalam Islam. Juga terdapat peran
pemuka agama yang bertindak memberikan pemahaman kepada masyarakat
dengan sangat baik, yakni untuk menumbuhkan kesadaran yang toleran tesebut.
Sebab tanpa ada yang menyiarkan sikap toleran ataupun dalam bahasa lain
pemahaman keagamaan yang inklusif, tentu sulit untuk menciptakan kerukunan
antar umat beragama.
Menurut Ustadz Ilham, isi khotbah Jumat juga difilter untuk selalu
memberikan rasa aman bagi kalangan non-muslim. Seperti yang kita ketahui
bahwa Gereja Katolik dengan Masjid ada dalam kawasan yang sangat dekat,
yakni satu RW dan dipisah oleh jalan Raya. Sehingga isi khotbah tersebut sangat
mempengarui terhadap bangunan kerukunan yang sudah berjalan sekian lama.
Dalam Khotbah, selalu menegaskan prinsip-prinsip Islam yang sesuai dengan
ajaran Rasulullah Saw. yang menyebarkan kedamaian, tentang bagaimana
melindungi orang yang bukan seagama.53
Romo Gereja Katolik juga menyampaikan hal yang senada dalam
memaparkan ajara-ajaran yang sering disampaikan kepada pengikutnya. Sikap
toleran tesebut selalu dipupuk setiap kali berceramah di Gereja. Sebab
menurutnya toleransi di Desa Pabian sudah dimiliki, maka kami hanya
membentengi diri dengan himbauan-himbauan untuk tidak terprovokasi dari isu-
52
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 53
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
125
isu yang merusak. Saya juga mengajak untuk menggali ajaran Katolik seperti
cinta kasih pada diri sendiri, pada Tuhan, dan pada sesama dalam arti yang luas.54
Pernyataan di atas memperkuat bahwa keadaan yang rukun di Desa Pabian
memang dilandasi oleh pemahaman keagamaan dari masing-masing ajarannya.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa peran pemuka agama untuk dalam hal ini
sangat dominan dan bahkan dapat dikatakan sangat besar.
Kedua, Modal Sosial Masyarakat Desa Pabian. Modal sosial yang
dimaksud pada konteks ini yakni karakteristik dari masyarakat Pabian yang sangat
memegang kuat konsep kekerabatan dan persaudaran. Yang demikian ini biasanya
dapat dilihat dalam jalinan antara warga masyarakat sehari-hari.
Jika sebelumnya memfokuskan pada ajaran-ajaran keagamaan yang inklusif,
maka peneliti ini juga mengamati dan memperdalam tentang kehidupan sehari-
hari masyarakat setempat dalam aspek persaudaraan dan kekerabatan. Ini untuk
memperluas faktor kerukunan yang dapat dilihat langsung. Sehingga faktor yang
menjadi landasan tersebut memang benar-benar digali dalam kehidupan sehari-
hari dari masyarkat Desa Pabian.
Pada tingkat kehidupan sosial sehari-hari, umat Katolik dan umat Islam
sangat harmonis. Bertegur sapa sudah menjadi hal wajar bagi masyarakat Pabian
yang Muslim dengan umat Katolik. Apalagi lingkungan Gereja, SDK dan Klinik
Sang Timur berada ditengah-tengah lingkungan masyarakat Muslim Pabian.
Interaksi bisa setiap hari dengan bertatap muka dan bertegur sapa. Apalagi umat
Katolik, melalui suster-suster dan para pengurus Gereja, SDK dan Klinik bersifat
inklusif.
54
Romo Harry, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
126
Sesuai dengan apa yang dikatakan Romo Gereja Katolik Paroki Gunung
Karmel, menjadi keharusan bagi umat Katolik untuk berbaur dengan masyarakat
sekitar. Tidak boleh eksklusif.55
Ini artinya, mereka umat Katolik menyadari adat
istiadat dan tatakrama yang berlaku di kalangan masyarakat Pabian, khususnya
sebagai bagian dari masyarakat setempat untuk terus menjalin komunikasi dan
ikatan sebagai kebutuhan dasar setiap manusia yang hidup dalam sebuah
lingkungan yang berbeda agama.
Bahkan, mereka juga tidak ada rasa canggung untuk memasuki sekitar
halaman rumah ibadah masing-masing, dan juga tidak ada kecurigaan. Hal ini
dijelaskan oleh salah satu takmir Masjid Baitul Arham, bahwa jalinan sosial
masyarakat di Desa Pabian sudah sejak lama berlangsung, bahkan kami bertegur
sapa dengan Pastur atau Romo ketika bertemu.56
Hal ini menunjukkan bahwa
kerukunan antar umat beragama di tempat tersebut sudah baik. Dapat dikatakan
pula perihal tegur sapa tersebut menunjukkan hormat dan menghormati, serta
saling kenal antara satu dengan lainnya. Sehingga kerukunan masyarakat Desa
Pabian tercermin dalam tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Bertegur sapa
ini menjadi salah satu karakteristik dari masyarakat Pabian secara khusus dan
Sumenep pada umumnya.57
Ustadz Ilham memaparkan bahwa Suster sering berkunjung atau masuk ke
halaman Masjid. Kunjungan Suster tersebut menandakan hubungan masyarakat
sedemikian dekat, baik dengan sesama agama maupun beda agama. terkadang
Suster masuk ke sini (lingkungan masjid), berkunjung kepada muridnya yang
55
Romo Harry, Wawancara Tanggal 12 Maret 2018. 56
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018. 57
Tim Penulis, Tatakrama Suku Bangsa Madura (Yogyakarata: Badan Pengembangan
Kebudayaan dan Pariwisata DIY, 2002), h. 40.
127
sekolah di Sekolah Dasar Katolik (SDK).58
Dengan demikian, hidup rukun antar
umat beragama berdasarkan keterangan di atas sudah mengakar dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan ditandai tidak ada saling curiga antara umat beda agama ini.
Interaksi yang baik dari pihak umat Katolik menjadi salah satu faktor
penting yang melandasi hubungan umat Islam dan Katolik di Desa Pabian
semakin erat dan terawat. Hal ini sejalan dengan konsep kekerabatan dan
persaudaraan orang Madura, tidak terkecuali di Desa Pabian. Dalam kehidupan
masyarakat Madura dikenal dengan istilah taretan (saudara) atau taretan dhibi’
(saudara sendiri). Istilah taretan bagi masyarakat Madura menyoal relasi sosial
antar sesama yang cukup erat.
Konsep ini menempatkan orang lain di luar keluarga sendiri akan dianggap
sebagai saudara (taretan) jika interaksi dan komunikasi yang dilakukannya baik.
Pada prinsipnya, ada kehidupan yang saling menghargai dan menghormati satu
sama lain. Sebagai penghargaan atas kebaikan dan penghormatan orang lain
terhadap orang Madura, tak terkecuali Pabian, mereka akan menganggapnya
sebagai taretan thibi’ (saudara sendiri). Istilah taretan dhibi’dalam konteks
kebudayaan masyarakat Madura ini memiliki makna yang sangat mendalam,
karena taretan berkaitan dengan kerabat atau keluarga.
Unsur kekerabatan (taretan) orang Madura mengandung makna inklusifitas
sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnis
atau agama lain. Artinya, hubungan sosial yang akrab dapat dibangun oleh orang
Madura dengan orang lain di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal
usul kelompok etnik tersebut. Jika kualitas hubungannya mencapai tingkatan yang
58
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018
128
akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai kerabat (taretan). Bahkan,
ada kalanya anggota keluarga sendiri bisa dianggap dan diperlakukan sebagai
orang lain jika kualitas hubungannya rendah atau jelek. Hal ini, dalam ungkapan
budaya Madura disebut, oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng (orang lain
menjadi/dianggap saudara sendiri, saudara sendiri bisa menjadi/dianggap orang
lain).59
Ustadz Ilham menandaskan salah satu faktor kunci terjalinnya semangat
kebersamaan dalam relasi umat Katolik dan masyarakat setempat karena filosofi
orang Madura tentang taretan. Jadi, siapapun yang membangun kebersamaan,
menurut ustadz Ilham, dianggap sebagai taretan thibi’. Lebih jauh dijelaskan
olehnya, bahwa dalam konsep taretan itu ada sikap saling menghormati dan
menjaga antara umat yang satu dengan umat yang lainnya.60
Diakui pula oleh Sekdes Pabian yang mana mengungkapkan bahwa salah
satu karakteristik penting orang Sumenep dan Madura pada umumnya adalah
persaudaraan. Menurutnya, apapun agamanya, kalau di Sumenep, sangat kental
tentang taretan itu. Taretan tidak membedakan agama. Namun siapapun yang
tinggal dan lahir di Madura dikatakan sebagai taretan meskipun beda agama dan
keimanan.61
Dengan demikian, keberadaan umat Katolik dalam lingkungannya sudah
dianggap sebagai taretan. Perbedaan keyakinan dalam perihal ini sudah tidak
dianggap sebagai pembatas maupun halangan dalam melakukan interaksi di
tengah-tengah kehidupan yang majemuk tersebut. Dengan bersandar pada
59
A. Latief Wiyata, Mencari Madura (Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013), h. 177. 60
Ustadz Ilham, Wawancara Tanggal 12 Maret 2018 61
Moh. Masturah, Wawancara Tanggal 13 Maret 2018.
129
pernyataan di atas dan juga konsep tentang taretan dhibi’, kehidupan yang
harmonis dengan mudah terjalin sampai saat ini.
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman keagamaan yang ditanamkan oleh para pemuka agama
berimplikasi pada sikap toleran para penganutnya terhadap berbagai perbedaan.
Pemahaman keagamaan yang dimaksud dalam temuan kali ini ialah, pemahaman
keagamaan yang terbuka maupun moderat. Dimana masyarakat memahami
keragaman agama dan perbedaan keyakinan di Desa Pabian sebagai suatu
ketentuan dari Tuhan. Pemahaman keagamaan seperti inilah yang mempengaruhi
keadaan rukun dalam kehidupan masyarakat Desa Pabian.
Peran pemuka agama Islam dan Katolik di Desa Pabian Kabupaten
Sumenep dilakukan dengan dua hal:
Pertama, peran pemuka agama Islam dan Katolik di Desa Pabian melakukan
internalisasi teologi kerukunan, di mana masyarakat yang beragama Islam dan
Katolik diberikan pemahaman keagamaan dengan menggali nilai-nilai mulia atau
esensi dari ajaran agama masing-masing bahwa perbedaan-perbedaan yang ada
seperti perbedaan agama, suku, dan bahasa merupakan kehendak Tuhan. Dengan
demikian, saling mencintai antar sesama, atau cinta kasih dan menghormati
keberadaan umat beragama lain merupakan ajaran langsung dari Tuhan atau
sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Sikap keberagamaan yang inklusif ini
melahirkan penerimaan akan keberadaan umat yang beda agama dan keyakinan
sebagai modal utama merajut kerukunan dan kerjasama dalam perbedaan.
Kedua, penyebaran paham keagamaan yang moderat. Artinya, paham
keagamaan yang moderat oleh pemuka agama (Islam dan Katolik) disebarluaskan
131
melalui berbagai media. Pemuka Agama Katolik mengintesifkan penyebaran
paham tersebut melalui khotbah-khotbah dalam setiap ibadah mingguan atau
ibadah lainnya. Dan juga melalui saluran radio yang notabene kepunyaan gereja
Katolik. Pemahaman moderat yang disiarkan atau disebarkan menekankan pada
ajaran cinta kasih sesama manusia seperti yang tertera dalam Matius/19: 19 dan
Matius/22: 36-40, di mana mengasihi sesama manusia meskipun berbeda agama
merupakan salah satu hukum yang terutama dalam ajaran Katolik.
Begitu juga dengan pemuka agama Islam dengan mengintensifkan melalui
saluran-saluran khotbah-khotbah jum’at, majlis taklim dan ceramah-ceramah yang
memakai pengeras suara. Salah satu fokus utama bagaimana mencontoh sifat dan
perilaku Nabi Muhammad Saw. dalam hal saling menjaga, membantu dan
menghormati antar sesama yang berbeda agama. Khususnya mengenai perintah
Allah SWT. yang tertera pada ayat-ayat di dalam Al Qur’an seperti dalam surat Al
Mumtahanah/60: 8-9, surat Yunus/10: 99, Surat Al Hujarat/49: 13.
Hal ini bertujuan untuk membangun persepsi umat Muslim dan Kristiani
dalam memandang ajaran-ajaran agama masing-masing yang toleran dan terbuka
terhadap perbedaan. Persepsi ini sangat penting untuk kemudian menumbuhkan
saling percaya dan tanpa kecurigaan antar sesama umat beragama.
Dari peranan pemuka agama inilah kemudian kerukunan antar umat Islam
dan Katolik di Desa Pabian terpelihara dengan baik, serta terbentuk dalam bidang
sosial-keagamaan, pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Yang demikian ini
tentunya bentuk kerukunan yang dinamis dan fungsional.
Kerukunan yang tercipta dan dijaga dengan baik seperti terpotret dalam
kerukunan di Desa Pabian disebabkan oleh beberapa faktor yang melandasinya
132
salah satu utamanya yaitu; pemahaman keagamaan yang inklusif, serta modal
sosial berupa kekerabatan atau persaudaraan.
Potret keadaan rukun antar umat beragama di Desa Pabian dengan
penerimaan umat Islam sebagai mayoritas terhadap umat beda agama yang
minoritas dan ditandai dengan berbagai interaksi di dalamnya, sebagai penegasan
tentang orang Madura yang terbuka dan penuh kesopanan terhadap orang lain
(yang berbeda agama). Tentunya ini sebagai antitesa terhadap purbasangka atau
tuduhan-tuduhan orang luar yang masih saja mengatakan dan beranggapan bahwa
orang Madura keras, suka kekerasan, susah diatur atau hal negatif lainnya.
B. Saran-saran
Kerukunan yang telah terpelihara sedekian rupa di tengah-tengah
masyarakat harus terus diupayakan. Dengan ini memerlukan kesadaran dan juga
partispasi dari semua kalangan lapisan masyarakat. Masing-masing memiliki
peran yang harus dijalankan sesuai dengan kedudukan di dalam masyarakat.
Pemuka agama dan aparatur pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten), dan juga
kepolisian memiliki peran sangat penting dan tidak tergantikan dalam upaya
menjaga kerukunan.
Pemuka agama sebagai panutan umat harus berperan aktif untuk terus
menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kedamaian kepada masyarakat pada
umumnya dan pemeluk agama masing-masing pada khususnya. Kepolisian juga
berperan aktif untuk selalu menjaga kondusifitas lingkungan, dan juga sebisa
mungkin keberadaannya dapat menciptakan rasa aman dalam hubungannya
dengan kerukunan antar umat beragama dengan cepat mengantisipasi segala
pelanggaran sehingga tidak menimbulkan kerusuhan atau tindakan main hakim.
133
Kerukunan harus menjadi prioritas bersama di kalangan masyarakat secara
luas untuk selalu berikhtiar menjaga keharmonisan secara bersama-sama sebagai
umat beragama. Masyarakat Desa Pabian secara khusus tentunya membutuhkan
segala daya dukung dari semua pihak untuk memberikan masukan dan juga
pengenalan pencegahan dan resolusi konflik yang dirasa masih harus terus
dioptimalkan, lebih-lebih kepada generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman. Sedjarah Madura: Selajang Pandang. Sumenep: Authomatic the
Sun Smp, 1971.
Abubakar, Irfan dan Bamualim, Chaider S. Modul Resolusi Konflik Agama dan
Etnis di Indonesia. Ciputat: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006.
Achmad, Nur, ed. Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta:
Buku Kompas, 2001.
Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama: Etik Global Dalam Kajian
Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2009.
Al Khanif, LL.M. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Yogyakarta:
LaksBang Mediatama, 2010.
Al Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat: PT.
Ciputat Press, 2005.
Amin, Ma’ruf. Empat Bingkai Kerukunan Nasional. Banten: Yayasan An-
Nawawi, 2013.
___________ . Harmoni Dalam Keberagaman: Dinamika Relasi Agama-Negara.
Jakarta: Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama,
2011.
Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulya, 2004.
Askari, Hasan. Lintas Iman Dialog Spiritual. Yogyakarta: LkiS, 2003.
Bagir, Zainal Abidin. dkk. Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman
di Indonesia. Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya
Sekolah Pasca Sarjana UGM dan Mizan, 2011.
Baidhawy, Zakiyudin. Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan.
Yogyakarta: LESFI, 2002.
Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia. Jakarta:
Departemen Agama RI, 1997.
Connolly, Peter, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS, 2012.
De Jonge, Huub. Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-Esai Tentang Orang
Madura dan Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS, 2012.
____________ . Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan
Ekonomi, dan Islam. Jakarta: PT Gramedia, 1989.
____________ . Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: studi-studi interdisipliner
tentang masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kebijakan Umat
Beragama (Edisi Ke-10). Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2008.
Departemen Agama RI. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia (Seri II).
Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia, 2008.
Djunaedi, Wawan dan Ahdiah, Ida, edi. Pelangi Agama Di Ufuk Indonesia:
Faktor Dan Cerita Kerukunan Beragama. Jakarta: Pusat Kerukunan
Umat Beragama (PKUB), 2014.
Fromm, Erich. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia.
Yogyakarta: PUSATAKA PELAJAR, 2010.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
HD, AP. Budiyono. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1983.
Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1994.
Kahmad, Dadang. Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan
Agama. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Kartono, Kartini. Pemimpin Dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan
Abnormal Itu?. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana (terj.). Bandung: Mizan Publika,
2013.
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi Agama dan
Tanggungjawab Global. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010.
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Lubis, M. Ridwan. Agama dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan
Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: Pusat Kerukunan Umat
Beragama Kementerian Agama RI, 2015.
_______________ . Agama dan Perdamain: Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2017.
Ma’arif, Samsul. The History of Madura. Yogyakarta: Araska, 2015.
Masyhuri, Aziz. Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nadlatul Ulama Kesatu 1926 Sampai Dengan Kedua Puluh Sembilan
1994. Surabaya: Dinamika Press Group, 1977.
Muhammad, Afif. Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman di Indonesia.
Bandung: Marja, 2013.
Mukhtar. Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah: Panduan Berbasis
Penelitian Kualitatif Lapangan dan Perpustakaan. Ciputat: Gaung
Persada Press, 2009.
Munajat. ed. Perlindungan Terhadap Umat Beragama: Toleransi Dalam
Masyarakat Majemuk. Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,
2016.
Muthmainnah. Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi.
Yogyakarta: LKPSM, 1998.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana, 2004.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
Panggabean, Rizal & Ali-Fauzi, Ihsan. Pemolisian Konflik Keagamaan di
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Demokrasi, 2014.
Pemerintah Kabupaten Sumenep. Profil Potensi Investasi Kabupaten Sumenep.
Sumenep: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Sumenep, 2016.
Perwiranegara, Alamsjah Ratu. Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
Jakarta: Departemen Agama, 1982.
Purnomo, Aloys Budi. Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik. Jakarta: Buku
Kompas, 2003.
Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan
Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
________________ . Lintasan Sejarah Madura. Surabaya: Yayasan Lebbur
Legga, 1993.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana, 2004.
Riyanto CM, E. Armada. Diaolog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan,
Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Rozaki, Abdur. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater
sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
RPJM Desa Pabian Tahun 2015-2020. Pemerintahan Desa Pabian Kecamatan
Kota Kabupaten Sumenep Tahun 2015.
Rusdiana, A. Manajemen Konflik. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Sairin, Weinata, ed. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
Berbangsa; Butir- Butir Pemikiran. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Santoso, Thomas. Kekerasan Agama Tanpa Agama. Jakarta: PT Pustaka Utan
Kayu, 2002.
Schuman, Olaf H. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta:
PT BPK Gunung Mulia, 2009.
Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya.
Jakarta: Kencana, 2011.
Shuon, Fritzjof. Mencari Titik Temu Agama-agama. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1987.
Soegianto, ed. Kepercayaan, Magi dan Tradisi Dalam Masyarakat Madura.
Jember: Tapal Kuda, 2003.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Solahudin, M. Nahkoda Nahdliyyin. Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013.
Sumbulah, Umi, dan Al Aluf, Wilda. Fluktuasi Relasi Islam-Kristen di Indonesia:
Pendekatan Sosio-Historis. Malang: UIN Maliki Press, 2015.
Sumenep Dalam Angka 2013. Sumenep: BPS Kabupaten Sumenep, 2013.
Sururin, ed. Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan Yang
Bergerak. Bandung: Nuansa, 2005.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Kencana, 2014.
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1984.
Sutarto, Ayu. dkk. Mutiara Yang Tersisa: Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat
Madura. Jember: Kompyawisda.
Syahid, Achmad dan Daulay, Zainudin, ed. Riuh Diberanda Satu: Peta
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Departemen Agama RI, 2002.
Syamsudin, Sahiron. Metodologi Penelitian Living Quran Hadist. Yogyakarta:
Teras, 2007.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta:
Perspektif, 2005.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif,
2005.
Tim Penulis, Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda
dan Olah Raga Kabupaten Sumenep, 2012.
Tim Penulis, Tatakrama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta: Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata DIY, 2002.
Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: UI-Press, 2012.
Wiyata, A. Latief. Mencari Madura. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013.
Yewangoe, A.A. Agama dan Kerukunan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009.
Jurnal-jurnal
Amrullah, Afif. “Islam di Madura.” Jurnal Islamuna, Volume 2 Nomor 1 Juni
2015.
Hefni, Moh. “Bhuppa’-Bhabhu’-Ghuru-Rato: Studi Konstruktivisme-Strukturalis
tentang Hierarkhi Kepatuhan dalam Budaya Masyarakat Madura.” Jurnal
KARSA, Vol. XI No. 1 April 2007.
Jamilah dan Rahman, Taufik. “Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan
Umat Beragama di Sumenep.” Jurnal Pelopor Pendidikan, Volume 6,
Nomor 2, Juni 2014.
Suhaidi, Muhammad. “Harmoni Masyarakat Satu Desa Tiga Agama di Desa
Pabian, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Madura.” Jurnal
Harmoni, Vol. 13, No. 2 Mei-Agustus 2014.
Taufiqurrahman. “Identitas Budaya Madura.” Jurnal Karsa, Vol. XI No. 1 April
2007.
Wawancara-wawancara
Akhmad Madani, Kepala Desa Pabian, Wawancara Tanggal 13 Februari dan 12
Maret 2018.
Romo Harry, Gereja Katolik Paroki Gunung Karmel, Wawancara Tanggal 13
Februari dan 12 Maret 2018.
Ustadz Ilham, Masjid Baitul Arham, Wawancara Tanggal 13 Februari dan 12
Maret 2018.
Ahmad Junaidi, Warga Desa Pabian, Wawancara Tanggal 13 Februari 2018.
J. Birmyas Oybur, Humas Gereja Katolik Paroki Gunung Karmel, Wawancara
Tanggal 15 Februari 2018.
Moh. Masturah, Sekretaris Desa Pabian, Wawancara Tanggal 15 Februari dan 13
Maret 2018.
Raden Dihyah Suyuti, Ketua Takmir Masjid Baitul Arham, Wawancara Tanggal
15 Februari dan 14 Maret 2018.
Atmojo, Warga Sekaligus Satpam Klinik Sang Timur, Wawancara Tanggal 12
Maret 2018.
Moh. Shodiq, Warga Sekaligus Marbot Masjid Baitul Arham, Wawancara
Tanggal 12 dan 14 Maret 2018.
Pedoman Wawancara
Penelitian Tesis:
Peran Pemuka Agama Dalam Memelihara Kerukunan:
Studi Kasus Hubungan Islam dan Katolik Di Desa Pabian Kabupaten Sumenep
1. Di Desa Pabian ini mayoritas Muslim dan juga ada kalangan umat Katolik, bahkan ada
Gereja Katolik Paroki Gunung Karmel yang berdekatan dengan Masjid Baitul
Arham.
Bagaimana hubungan umat Muslim dan Katolik di Desa Pabian ini?
2. Jika Hubungannya baik dan rukun, biasanya hubungan atau kerja sama antara umat Islam
dan Katolik dalam bentuk apa?
3. Jika hubungannya pernah ada konflik, dalam bentuk apa konflik itu muncul dan apa
pemicu dan penyelesainnya?
4. Apakah ada Potensi atau indikasi konflik antara umat Muslim dan Katolik, khususnya
dalam hal penyiaran agama (misa/dakwah) kepada penganut agama lain?
5. Hubungan baik dan penuh kerjasama seperti yang sudah dijelaskan tadi, apa yang
melandasi hubungan baik dan kerjasama antara umat Muslim dan Katolik?
6. Bagaiman peran pemuka agama Islam dan Katolik dalam mewujudkan dan memelihara
kerukunan umat beda agama di Desa Pabian?
7. Dalam bentuk apa saja pemuka agama Islam-Katolik berperan dalam upaya menciptakan
dan memelihara kerukunan?
8. Apakah keberadaan dan peran pemuka agama menjadi salah satu faktor dalam
menciptakan atau memelihara kerukunan? Atau apa saja faktor-faktor terciptanya
kerukunan di Desa Pabian ini?
9. Jika ada konflik antar umat beragama, bagaimana peranan pemuka agama Islam/Katolik
dalam menyelesaikannya?
10. Apakah Ustadz atau Romo menjadi bagian dalam keanggotaan FKUB Kab. Sumenep?
Bersama Ahmad Junaidi, Warga Desa Pabian
Bersama Atmojo,
Satpam Klinik Sang Timur Foto Klinik Sang Timur
Bersama Gunawan, Sekretaris Pastural
Bersama Akhmad Madani, Kepala Desa Pabian
Bersama Raden Dihyah Suyuti, Ketua Takmir Masjid Baitul Arham
Bersama Moh. Shodiq, Warga dan Marbot Masjid Baitul Arham
Bersama Romo Harry, Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel
Bersama Moh. Masturah, Sekretaris Desa Pabian
Bersama Ustadz Ilham
Masjid Baitul Arham Desa Pabian
Masjid Baitul Arham dan Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel
J. Birmyas Oybur, Humas Gereja, Di Halaman Klinik Sang Timur
dan Foto Yayasan Karya Sang Timur