Peran Media dalam Kultivasi Persepsi Kecantikan Wanita
description
Transcript of Peran Media dalam Kultivasi Persepsi Kecantikan Wanita
Ujian Akhir Semester GanjilMata Kuliah Media dan Komunikasi Antar BudayaPeran Media dalam Kultivasi Persepsi Kecantikan WanitaOleh Melia Halim1006695135
Kasus (1) : “Standar Kecantikan yang Berbeda-beda, Tergantung Budaya”
Berikut beberapa uraian kasus di berbagai belahan dunia mengenai standar kecantikan.
Bagi wanita suku Kayan1, suku yang terletak di perbatasan antara Thailand dan Myanmar,
kecantikan diukur dengan panjang leher mereka. Semakin panjang leher mereka, maka
berarti semakin cantiklah mereka. Upaya memanjangkan leher ini dilakukan dengan
memasang cincin besi di leher mereka sejak muda. Seiring bertambahnya umur, cincin besi
itu ditambahkan sedikit demi sedikit. Besi yang berat itu pun mendorong bahu ke bawah
dan leher pun menjadi semakin panjang.
Bagi suku Dayak2 yang hidup di Kalimantan, kecantikan wanita dinilai daripada telinganya.
Semakin panjang telinganya, maka semakin cantiklah ia. Sejak muda, wanita suku Dayak
mengenakan giwang/anting yang berat sehingga telinga mereka pun bisa semakin panjang.
Di India3, wanita yang cantik berarti memiliki rambut yang panjang, mengenakan perhiasan
yang berlebihan, serta mengenakan sari (kain khas India) berwarna cerah.
Di Mauritania4, wanita cantik adalah wanita yang gemuk. Bahkan dahulu kala, untuk
mencapai tubuh yang gemuk, mereka bahkan rela untuk dicekoki makanan melalui hidung,
jika mulut mereka menolak makan akibat kekenyangan, walaupun praktik ini sudah dilarang
saat ini.
Wanita suku Karo5, suku di Etiophia, justur menganggap bahwa wanita cantik adalah wanita
yang memiliki tato luka di perutnya. Luka ini dibuat sedari mereka kecil dan ketika sudah
selesai, itu berarti mereka sudah siap untuk menikah dan mempunyai anak.
1 http://www.allvoices.com/contributed-news/3798150-beauty-ideals-around-the-world2 Ibid.3 Ibid.4 Ibid.5 http://paulford.com/beauty-in-different-cultures/
1
Suku Suri6 di Etiophia, justru menganggap bibir dengan piring adalah cantik. Ketika seorang
gadis telah mencapai usia pubertas, maka gigi bawahnya akan dicabut semua untuk
memberi tempat piring tanah liat ditanam di mulutnya. Semakin besar piring tersebut
berarti wanita itu dianggap semakin cantik dan patut dijadikan istri.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, kebiasaan dan standar keantikan yang
mereka anut perlahan tapi pasti mulai tereduksi. Hal ini terjadi terutama pada generasi
muda.
Kasus (2): “Westernisasi Standar Kecantikan: Fenomena Global”
Di Iran7, orang berlomba-lomba melakukan operasi untuk membuat hidung yang lebih baik,
atau cantik. Tidak ada yang tahu jumlah pasti pasien yang meminta operasi hidung, namun
yang jelas tren operasi hidung untuk membentuk hidup yang “sempurna” kian meningkat.
Mereka terinspirasi oleh bentuk hidung selebriti Hollywood seperti Jenifer Lopez, Nicole
Kidman, dan Tom Cruise. Bahkan bagi masyarakat Iran saat ini, menggunakan plester di
hidung sebagai tanda operasi hidung adalah sesuatu yang dapat meningkatkan status sosial.
Akibatnya dokter bedah plastik pun banjir pesanan untuk “memperbaiki” hidung pasien.
Tingginya lonjakan permintaan membuat banyak dokter bedah plastik “gadungan” dan
membuat kasus malpraktik menjadi tinggi.
Di China, orang berlomba-lomba mengunjungi dokter ortopedi untuk membuat tubuh
mereka lebih tinggi8. Biaya yang tidak murah, bekas luka jahitan di kaki, proses
penyembuhan yang memakan waktu lama, serta rasa sakit dan risiko kesehatan tidak
menyurutkan minat orang-orang untuk menjadi 10 cm lebih tinggi. Mayoritas pasien yang
datang ke klinik ortopedi bukanlah pasien dengan gangguan tulang kaki, melainkan pasien
normal dengan kondisi kaki yang sehat, namun ingin tubuh yang lebih tinggi.
Di Korea Selatan, wanita-wanita mengenakan rok mini, seolah tidak merasakan hawa dingin
musim dingin di sana9. Sebuah majalah wanita pun menyarankan para wanita Korea
6 Ibid.7 http://www.guardian.co.uk/world/2005/may/07/lifeandhealth.iran8 http://www.france24.com/en/20100411-with-saw-screwdriver-china-doctor-gives-gift-height9 http://news.bbc.co.uk/2/hi/programmes/from_our_own_correspondent/4229995.stm
2
menghabiskan 30 persen penghasilan mereka untuk merawat kecantikan tubuh.
Diperkirakan sekitar 50 persen dari wanita yang berusia 20 tahun-an telah mengalami
operasi plastik untuk kecantikan. Operasi kelopak mata adalah operasi untuk membuat
mata seseorang menjadi lebih bulat seperti mata orang Barat, merupakan jenis operasi yang
paling populer di Korea. Selanjutnya adalah operasi plastik untuk membuat hidung lebih
mancung serta operasi untuk membuat bibir yang mungil. Klinik operasi plastik terbesar di
Korea bahkan menerima 100 pasien per-hari untuk operasi plastik10. Dan bahkan banyak
anak usia pra-remaja (sekitar 12 tahun) yang justru didorong untuk melakukan operasi
plastik oleh orang tuanya.
Di Afrika, perlahan tapi pasti, para wanita mulai menginginkan tubuh yang lebih kurus,
melawan tradisi awal mereka yang menganggap bahwa semakin berisi seorang wanita,
maka semakin cantik dia11.
Di Brazil, wanita cantik adalah wanita dengan lekuk tubuh yang menyerupai gitar. Pinggang
yang kecil, dada yang berisi, serta pinggul yang besar merupakan standar kecantikan wanita
di sana. Namun, perlahan tren operasi plastik untuk mengubah bentuk tubuh gitar menjadi
tubuh yang kurus pun mulai marak.12
Kasus (3): “Standar Kecantikan yang Tidak Mengenal Usia”
Di Amerika, reality show dari TLC (The Learning Channel) berjudul "Toddlers & Tiaras"13
merupakan acara yang sukses dan populer14. Acara itu merupakan show di mana anak kecil
berumur 1-10 tahun dinilai seperti layaknya kontes kecantikan dunia. Ibu mereka akan
mendandani anak tersebut meniru artis “cantik”, sebutlah Julia Roberts dengan kostum
Pretty Woman-nya hingga Dolly Parton. Tidak tanggung-tanggung, anak-anak usia toddler
tersebut menerima perawatan layaknya wanita dewasa untuk mewujudkan ambisi
orangtuanya, menjadikan anaknya sebagai pemenang kontes tersebut. 15Tidak hanya make
up tebal seperti lipstik dan maskara, tapi hingga perawatan rambut untuk membuat rambut
10 http://edition.cnn.com/2011/WORLD/asiapcf/05/19/korea.beauty/index.html11 http://news.bbc.co.uk/2/hi/3291271.stm12 http://www.nytimes.com/2007/01/14/weekinreview/14roht.html13 http://tlc.howstuffworks.com/tv/toddlers-tiaras/about-toddlers-and-tiaras.htm14 http://www.starpulse.com/news/index.php/2011/09/18/popular_tlc_reality_series_toddlers_t15 http://www.people.com/people/article/0,,20527816,00.html
3
mereka lurus atau keriting, waxing untuk menghilangkan rambut yang mengganggu
penampilan seperti di alis, spray tanning untuk membuat kulit mereka gelap, sampai
mengenakan gigi palsu untuk gigi susu yang tanggal, maupun gaun seksi dan sepatu boot
tinggi16. Tidak tanggung-tanggung, ada pula peserta anak yang diberikan sumpalan dada dan
bokong supaya terlihat “berisi” oleh ibunya. Selain Toddlers & Tiaras, ada pula program –
program serupa, sebutah Little Miss Perfect17 dan Little Beauties18.
Survey yang dilakukan oleh NPD group19, sebuah perusahaan survey marketing di Amerika,
mengatakan bahwa hasil survey mereka rata-rata wanita mengenakan make up pada usia 17
tahun. Pada tahun 2009, pada rata-rata usia 13 tahun wanita merasa sudah perlu untuk
mengenakan make up20. Sedangkan menurut Experian, sebuah lembaga riset marketing,
mengatakan bahwa riset mereka menunjukan bahwa anak sebanyak 43% anak usia 6-9
tahun telah menggunakan lipstick ataupun lipgloss, 38% anak menggunakan produk
perawatan rambut, dan sebanyak 12 persen lainnya menggunakan produk kosmetik lainnya.
Tahun 2003, Teen Magazine21 melaporkan bahwa 35 persen anak usia 6-12 tahun pernah
setidaknya melakukan diet dan 50-70 persen anak dengan berat badan normal, percaya
bahwa mereka kelebihan berat badan. Kurang lebih 90 persen wanita tidak puas dengan
penampilan mereka. Studi pada tahun 2004 yang dilakukan oleh Dove Real Beauty
Campaign menunjukan bahwa 42 persen anak kelas satu hingga tiga SD (usia 6-8 tahun)
menginginkan tubuh yang lebih langsing dan 81 persen anak usia 10 tahun takut bertambah
gemuk. Tahun 2006, hasil serupa didapat pula oleh studi Marika Tiggemann dan Levina
Clark22 dengan hasil setengah anak pra-remaja ingin memiliki tubuh lebih kurus sehingga
melakukan diet.
Konsep
16 Ibid.17 http://womenincrimeink.blogspot.com/2010/02/child-pageant-tv-shows-pedophiles-haven.html18 http://www.ypulse.com/pulling-the-plug-on-child-pageant-shows19 http://www.npdor.com/English/About.asp20 http://www.thedailybeast.com/newsweek/2009/03/29/generation-diva.html21 The Canadian Women’s Health Network (Body Image and the Media). http://www.cwhn.ca/node/4077622 Riset berjudul “Appearance Culture in Nine- to 12-Year-Old Girls: Media and Peer Influences on Body Dissatisfaction,”
4
Persepsi23 adalah makna yang membentuk realitas sosial dan amat dipengaruhi oleh budaya.
Gamble dan Gamble24 menyatakan definisi persepsi sebagai “Perception is the process of
selecting, organizing, and interpreting sensory data in a way that enables us to make sense
of our world - persepsi merupakan proses memilih, mengorganisasi, dan menterjemahkan
data supaya dapat dipahami logika dunia kita.” Bisa dikatakan bahwa persepsi adalah
proses di mana orang menterjemahkan pengalaman-pengalaman dan event yang ada
menjadi sesuatu yang bermakna. Contohnya adalah bagi orang Jepang, angka 4 dianggap
angka yang membawa sial sedangkan bagi orang Amerika, angka 13 lah yang dianggap
sebagai angka sial. Paham atau pemaknaan orang Amerika dan Jepang ini tentunya adalah
persepsi mereka terhadap angka tersebut dan tentu dipengaruhi oleh budaya yang selama
ini mereka anut.
Persepsi, menurut Chiu dan Hong, sangat dipengaruhi oleh budaya. Mereka berpendapat
bahwa bahkan proses kognitif yang paling dasar seperti perhatian (attention) dan persepsi
(perception) bisa diubah melalui pengalaman budaya25. Ada banyak stimuli atau rangsangan
yang menyerbu indra kita. Namun, tidak semuanya kita maknai, karena itu persepsi bersifat
selektif. Hanya informasi yang tertentu yang kita berikan akses untuk masuk ke dalam
pikiran sadar kita. Apa yang kita terima tersebut sebagian dipengaruhi oleh budaya. Lalu,
apa yang kita persepsi, lantas dipelajari untuk diadopsi dalam kehidupan kita nantinya.
Budaya membuat kita mampu mengadopsi arti dari persepsi kita dan pemaknaan persepsi
tersebut tergantung daripada budaya yang kita anut.
Kepercayaan (belief) 26 dibentuk melalui budaya setiap individu. Kepercayaan adalah apa
yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang. Menurut Rogers dan Steinfatt
kepercayaan adalah gudang penyimpanan segala pengalaman masa lampau, termasuk
pikiran, ingatan, dan intepretasi dari suatu event. Kepercayaan akan tercermin dari tindakan
dan perilaku komunikasi. Misalnya seseorang percaya bahwa kulit yang coklat adalah warna
kulit yang paling indah dan membuat seseorang menjadi menarik, maka orang itu akan
23 Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. Communication Between Cultures: Seventh Edition. (Boston: Wadsworth, Cengage Learning), h.185.24 Ibid., h.185.25 Ibid., h.187.26 Ibid.
5
berusaha meluangkan waktu dan membuat kulitnya menjadi coklat, entah dengan berjemur
ataupun pergi ke salon.
Nilai27 (values) adalah gagasan bersama yang menentukan mana yang cantik, jelek, baik,
buruk yang menandai pola budaya yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sosial.
Tentu saja nilai erat sekali kaitannya dengan budaya. Contohnya saja bagi orang Amerika
dan Eropa, wanita yang dianggap cantik adalah yang berkulit gelap, sedangkan bagi orang
Indonesia, yang dianggap cantik adalah wanita yang berkulit putih. Jelas sekali nilai estetika
ini disebarkan oleh budaya sehingga pengaruh budaya amat besar.
Salah satu fungsi penting dari kepercayaan adalah sebagai dasar dari nilai. Kepercayaan
seseorang akan membuat batasan dan membentuk nilai yang dianutnya. Nanda dan
Warms28 mengatakan bahwa nilai tidak hanya dimiliki oleh individu, melainkan ada pula
nilai-nilai yang dipegang bersama. Nilai menjadi pedoman apa yang diharapkan, diperlukan,
ataupun dilarang. Jika dilanggar, maka akan diberikan sanksi. Salah satu nilai adalah
kecantikan (beautiful) dan keburukan (ugly). Nilai dari kecantikan dan keburukan, sama
seperti dengan nilai lainnya, berbeda-beda tergantung dengan budaya yang dianut baik oleh
individu maupun masyarakat kolektif suatu tempat. Nilai ini berubah-rubah tergantung
dengan waktu.
Pada dasarnya budaya adalah sebuah konsep29. Denis McQuail menjelaskan bahwa budaya
memiliki karakteristik yakni (1) dibentuk secara kolektif dan dipertahankan; (2) terbuka
terhadap ekspresi simbolik; (3) dimaknai secara berbeda-beda; (4) memiliki pola; (5) dinamis
dan senantiasa berubah; (6) berada di lokasi tertentu; (7) dan dikomunikasikan secara terus
menerus. Karakteristik yang disebutkan McQuail di atas tentunya menambah catatan
betapa terkaitnya budaya dengan komunikasi, terutama komunikasi massa yang bisa jadi
mampu menyebarkan pesan secara lebih luas dan masif dari beragam aspek seperti
jangkauan maupun efek.
27 Ibid., h.188.28 Ibid., h. 188-18929 Ibid.
6
Komunikasi dan budaya memiliki hubungan yang kompleks30. Keduanya berkaitan erat dan
saling mempengaruhi. Tanpa budaya, maka komunikasi dengan penggunaan simbol-simbol
maupun teknologi tdak akan mungkin dilakukan. Sedangkan tanpa komunikasi maka budaya
juga tidak mungkin terbentuk, ditransmisikan, dan dipelajari31. Perkembangan media massa
berkontribusi dalam perubahan kehidupan dan gaya berkomunikasi di dalam masyarakat.
McQuail menjelaskan ada delapan tema kajian media dan budaya32 yang saling berkaitan
satu sama lain. Kajian yang pertama berkisar pada kualitas dari budaya yang disebarkan oleh
media massa atau seringkali disebut sebagai media culture atau sekarang lebih dikenal
dengan sebutan popular culture (budaya populer)33. Media massa tentunya memiliki peran
yang besar dalam transmisi budaya. Namun dengan pemberitaan terus-menerus suatu
budaya tertentu dan ternyata budaya tersebut disukai oleh khalayak maka akan munculah
budaya yang mass produced (diproduksi secara massal) untuk khalayak banyak. Produksi
secara massal tersebutlah yang menjadi kekhawatiran sebagian besar orang bahwa budaya
populer yang terlanjur dimassalkan adalah tidak berkualitas. Ancaman terhadap
keberagaman budaya yang di-massal-kan tentu ancaman terhadap identitas budaya. Hal ini
sejalan dengan pandangan C.W. Mills yang mengatakan bahwa media massa adalah sumber
utama identitas dan aspirasi sosial34.
Globalisasi berasal dari kata “global” yang berarti universal. Memang hingga saat ini, definisi
yang mapan terhadap istilah globalisasi masih belum ditentukan. Hal ini disebabkan karena
tiap-tiap kelompok memiliki definisi globalisasi yang sesuai dengan ideologi maupun cara
pandang yang digunakan. Sebagai contoh, bagi kaum skeptis seperti Paul Hirst dan Grahame
Thompsone, mereka berpendapat bahwa globalisasi hanyalah khayalan yang berlebihan
(overstated)35 karena tidak lebih daripada “internasionalisasi”. Ada lagi kalangan yang
30 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Communication adn Human Behavior Fifth Edition (Boston: Pearson Education, Inc) , h. 329.31 Ibid.32 Dennis McQuail, McQuail’s Mass Communication Theory Fifth Edition (London: SAGE Publications Ltd.) , h.11533 Ibid., h. 118.34 Ibid.35 Ibid., h. 16
7
melihat bahwa globalisasi adalah sebuah “bungkus baru” kapitalisme dari negara-negara
adidaya36.
Terlepas dari segala perdebatan mengenai makna globalisasi, secara singkat bisa dikatakan
bahwa terminologi “globalisasi” memiliki ciri umum37 seperti hilangnya batasan-batasan
sehingga memungkinkan terjadinya aliran global di bidang teknologi, ekonomi, barang,
informasi, hingga manusia. Hampir semua ahli sepakat bahwa globalisasi tidak mungkin bisa
dihindarkan.
UNESCO memberikan definisi38 industri budaya sebagai industri yang meliputi percetakan,
penerbitan, produksi multimedia, audio visual, fonografi (rekaman suara), sinematografi,
termasuk kerajinan tangan dan desain. Tentu saja industri budaya tidak jauh dengan
kreatifitas, karena kreatifitas-lah yang menjadi nilai tambah dari industri ini. UNESCO
mengatakan bahwa industri budaya merupakan industri yang memiliki ciri khas budaya dan
ekonomi yang kental.
Cultural imperialism theory39 (teori imperialisme budaya) adalah teori yang dikemukakan
oleh Herb Schiller40 pada tahun 1973. Secara ringkas, teori ini mengatakan bahwa negara-
ngeara Barat mendominasi media di seluruh dunia sehingga menghasilkan efek yang besar
dalam mempengaruhi budaya Negara Dunia Ketiga dengan memaksa mereka untuk
menggunakan persepsi Barat sehingga menghancurkan budaya asli daripada Negara Dunia
Ketiga tersebut.
Teori ini berkata bahwa Negara Barat memproduksi mayoritas dari media seperti film,
berita, komik, dan lainnya karena mereka didukung oleh sumber daya yang besar (uang).
Negara-negara lain membeli produk-produk Negara Barat tersebut dikarenakan membeli
produk tersebut jauh lebih murah daripada memproduksi produk media tersebut sendiri.
36 Robert H. Imam, Esai-Esai Untuk Frans Magnis Suseno: Sesudah Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), h. 16537 Ibid., h. 177.38 Culture, Trade, and Globalization (Paris: UNESCO), h.15.39 http://www.uky.edu/~drlane/capstone/mass/imperialism.htm40 Schiller, H. J. (1973). Communication and Cultural Domination. White Plains, NY: International Arts and Sciences Press.
8
Oleh karena itu, Negara Dunia Ketiga banyak mengonsumsi media yang dipenuhi dengan
cara Negara Barat hidup, apa yang Negara Barat percayai, dan yang mereka pikir. Negara
Dunia Ketiga lalu perlahan tapi pasti pun mengingini hal yang sama di Negara Barat tersebut
ada di negara mereka dan dengan sendirinya menghancurkan kebudayaan asli mereka
sendiri41.
Teori ini berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai keinginan bebas untuk memilih
bagaimana mereka merasakan sesuatu, bertindak, berpikir, dan hidup. Individu bereaksi
seperti apa yang mereka lihat di media karena tidak ada lagi pembanding daripada apa yang
ditampilkan oleh media, selain mereka bandingkan dengan kehidupan mereka sendiri. Pada
saat itu, mereka pun berpikir atau merasakan bahwa hidup yang mereka alami secara nyata,
kalah jauh atau lebih tidak baik dibandingkan dengan apa yang ada di media. Teori ini juga
berpendapat bahwa selama Negara Dunia Ketiga tetap menayangkan pemberitaan dan
konten-konten media dengan perspektif negara Barat, maka Negara Dunia Ketiga akan
selalu percaya bahwa selayaknya dan sebaiknya mereka bereaksi, bertindak, merasakan,
berpikir, dan hidup seperti layaknya orang-orang dari Negara Barat. Selain itu, teori ini juga
berpendapat bahwa walapun penduduk Negara Dunia Ketiga memiliki standar dan
kepercayaan yang berbeda-beda, pengaruh dan pesan yang sama akan bisa
dikomunikasikan oleh konten media dari Negara Barat.
41 Griffin, E. (2000). A first look at communication theory (4th ed.). Boston, MA: McGraw-Hill. N/A
9
Analisa
Sangat mengejutkan betapa manusia, terutama wanita, di seluruh dunia bersedia
mengorbankan begitu banyak hal untuk menjadi cantik (lihat kasus 1). Lebih mengejutkan
lagi adalah betapa standar kecantikan saat ini menjadi sesuatu yang hampir tidak lagi
bersifat relatif (lihat kasus 2). Saat ini, standar kecantikan tersebut tidak lagi hanya dimiliki
oleh para wanita ataupun remaja wanita. Bahkan anak-anak kecil usia toddler sudah
diakrabkan dengan beragam alat kecantikan untuk membuat mereka sesuai dengan kategori
standard cantik yang berlaku (lihat kasus 3).
Seperti yang sudah dijabarkan pada bagian konsep, kecantikan adalah nilai (values) dan nilai
itu akan sangat subjektif, amat dipengaruhi oleh budaya yang ada. Untuk menilai seseorang
itu cantik atau tidak, maka diperlukan persepsi (perception). Persepsi ini juga dipengaruhi
oleh budaya, sehingga untuk menganggap seseorang itu cantik atau tidak cantik dipengaruhi
oleh budaya. Ketika seorang individu mempercayai bahwa standar tertentu adalah standar
kecantikan, maka ia akan berusaha untuk mencapai standar itu. Itulah yang dinamakan
kepercayaan (belief). Sehingga bisa disimpulkan bahwa kecantikan itu memiliki dimensi yang
beragam mulai dari values hingga belief. Namun ketiganya saling mendukung satu sama lain
sehingga konsep kecantikan menjadi nilai yang demikian kuat di masyarakat.
Sejak munculnya fenomena globalisasi akibat berkembang pesatnya perkembangan
teknologi, terutama teknologi komunikasi, batas-batas arus informasi menjadi hilang
sepenuhnya. Hanya butuh beberapa menit untuk berita yang ada di Amerika untuk
mencapai Indonesia. Pemberitaan yang ada di seluruh dunia bisa diakses dengan mudah.
Globalisasi juga membuka peluang untuk pemilik usaha melebarkan pasar seluas-luasnya
karena globalisasi ditandai dengan kemudahan membuka pasar di luar pasar domestik.
Dalam sisi persaingan pelebaran pasar dan jangkauan informasi, terlihat bahwa memang
sebenarnya kondisi ini lebih menguntungkan negara-negara yang memang telah mapan
secara infrastruktur dan ekonomi. Tidak heran jika sebagian kalangan menyebut bahwa
globalisasi tidak lebih dari sekadar bentuk baru kapitalisme. Beberapa contoh nyata
globalisasi dalam bidang ekonomi bisa dilihat dari betapa mudahnya lisensi franchise luar
negeri melebarkan sayapnya di Indonesia. Dimulai dari restoran, pakaian, sepatu, hingga
media sekalipun. Saat ini, kita dengan mudah menemukan media luar negeri di Indonesia.
10
Sebutlah dari koran seperti International Herald Tribune, majalah seperti Readers Digest,
majalah pria seperti Playboy, majalah kesehatan seperti Men’s Health, hingga majalah
remaja dan wanita. Untuk pangsa remaja dan wanita, tidak hanya menjadi target dari
majalah remaja dan wanita, melainkan pula juga menjadi target utama dari majalah gaya
hidup. Beberapa majalah luar negeri “lokal” yang mengincar pangsa remaja dan wanita
sebagai konsumen utama seperti HerWorld,Girlfriend, Cosmopolitan, ELLE, Esquire, Harpers
Bazaar, NYLON, Registry, dan High End Magazine. Tentunya kesemua majalah luar negeri
tersebut terlebih dahulu dibuat versi Indonesianya sehingga bisa dikonsumsi semua
khalayak di Indonesia, walaupun di beberapa toko buku impor, masih bisa didapatkan versi
aslinya yang masih berbahasa Inggris.
Apa yang terjadi di Indonesia tentunya juga terjadi di negara lain. Ambillah majalah ELLE
sebagai contoh. Majalah ini pertama kali terbit di Prancis pada tahun 1945. Saat ini majalah
ELLE bisa dikonsumsi penduduk 60 negara dan telah diterbitkan dalam 42 bahasa, salah
satunya adalah bahasa Indonesia. Sebutlah beberapa seri ELLE, seperti ELLE UK, ELLE USA,
ELLE Serbia, ELLE China, ELLE Korea, hingga ELLE Afrika Selatan. Saat ini, majalah ELLE
merupakan salah satu majalah fashion dan lifestyle dengan oplah terbesar di dunia. Bisa
dibayangkan betapa besar perputaran ekonomi di satu bidang ini. Tentunya majalah-
majalah lain pun yang disebutkan sebelumnya juga memiliki tahapan seperti ELLE. Dan
sistem ini tidak hanya berlaku untuk media saja, namun segala bidang secara umum. Maka
tidak heran jika ada tudingan bahwa globalisasi hanyalah bentuk baru dari kapitalisme, yang
penuh dengan kepentingan pemilik modal.
Tentunya kehadiran media global, seperti yang disebutkan sebelumnya memiliki motif
ekonomi. Tidak heran UNESCO pun membuat klasifikasi baru industri, yakni industri budaya.
Industri budaya meliputi segala media kreatif, seperti film, iklan, gambar, dan buku,
tentunya di dalamnya termasuk majalah-majalah yang disebutkan sebelumnya. Pemaknaan
industri diberikan karena saat ini, segala bentuk budaya, akibat era globalisasi dan tekanan
pasar menjadi bentuk “jualan” yang tidak sedikit, bersifat global, diproduksi massal, dan
keuntungan serta perputaran uang yang mengagumkan. Tidak heran jika saat ini,
kepentingan ekonomi media demikian besar.
11
Media, seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan salah satu medium terpenting untuk
mensosialisasikan nilai dan budaya. Dengan kehadiran media-media global, yang mayoritas
dikuasai oleh negara Barat atau negara maju, dengan perspektif budaya mereka, secara
otomatis membuat konsumen media tersebut perlahan-lahan dimasuki budaya negara-
negara penghasil media tersebut. Negara maju (dalam hal ini negara-negara Barat) mampu
menjadi media global karena sejak awal mereka sudah lebih mapan secara ekonomi, politik,
dan infrastruktur. Oleh karena itu negara-negara berkembang atau bukan negara maju yang
tidak mampu memproduksi barang sendiri ataupun bisa, namun tidak sebanyak dan sebagus
negara maju, mau tidak mau harus menggunakan barang produksi negara maju. Produk-
produk yang dikonsumsi ini tentunya penuh dengan perspektif negara-negara maju
tersebut. Karena sifat media yang mampu mempengaruhi khalayak, maka secara perlahan-
lahan, budaya negara-negara maju ini akan menggantikan budaya lokal yang dianut oleh
negara-negara dunia ketiga. nInilah yang disebutkan dalam cultural imperialism theory (teori
imperialisme budaya).
Media-media Barat yang dikonsumsi tersebut mempengaruhi audiensnya mengenai
persepsi kecantikan dengan beragam cara. Sebutlah penggunaan teknologi manipulasi foto
untuk membuat seseorang lebih “cantik” menurut standar Barat, seperti tubuh yang
langsing, mata yang besar, dan lain sebagainya untuk memenuhi standar cantik Barat.
Poling-poling kecantikan seperti “Wanita Tercantik Tahun Ini” membuat tokoh panutan
standar kecantikan bagi konsumen media tersebut, sebutlah jika pemenang polling tersebut
adalah artis yang langsing, maka secara tidak langsung media mengatakan kepada
masyarakat bahwa “cantik” adalah seperti artis tersebut. Jika mau dibilang “cantik” maka
jadilah seperti artis tersebut secara fisik. Belum lagi model-model yang mengenakan pakaian
di runway internasional ataupun menjadi model iklan pakaian yang kebanyakan langsing
(atau kalau tidak mau dibilang kurus). Tentunya tren langsing (atau populer dengan sebutan
“size 0”), menjadi semakin pakem ketika diperankan oleh wanita yang berprofesi seperti
model, suatu pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang dianggap “cantik” oleh
masyarakat.
Standardisasi kecantikan menurut standar Barat saat ini menjadi sesuatu yang mudah
dipahami dan bisa dimengerti. Pengaruh media global dengan perspektif Barat menjadikan
12
itu semua memungkinkan. Sehingga tidak heran jika wanita-wanita Korea dan China
berlomba-lomba membuat hidung yang mancung maupun mata yang lebar seperti layaknya
artis-artis Hollywood.
Salah satu perhatian yang perlu diberikan pada alasan media seperti “membiarkan” hal
tersebut terjadi adalah industri kecantikan yang tentunya memiliki kepentingan besar untuk
membuat seseorang menjadi cantik. Semakin banyak orang yang mengingini kulit yang putih
seperti artis Hollywood, maka semakin laku lah produk krim pemutih mereka. Semakin
banyak orang di dunia yang mengingini tubuh yang langsing, maka semakin laku-lah produk-
produk pil pelangsing mereka. Semakin banyak orang yang mengingini pipi yang terlihat
segar, maka semakin laku-lah perona pipi yang mereka produksi. Jelas sekali bahwa industri
kecantikan memiliki kepentingan ekonomi yang tidak sedikit. Industri kecantikan ini
memerlukan media untuk mengiklankan produk mereka, di sinilah media memiliki
kepentingan terhadap industri kecantikan ini. Media ingin menjadi saluran pengiklan
industri kecantikan karena memang industri kecantikan akan membayar biaya pemasangan
iklan tersebut pada media. Akibatnya, media pun seolah-olah menjadi pakem atau saluran
pasti untuk sosialisasi standar kecantikan dunia ala Barat, walaupun sebenarnya dibaliknya
ada beragam kepentingan baik dari media itu sendiri maupun dari industri kecantikan.
Untuk memaksimalkan keuntungannya, maka media juga menjadikan “standar kecantikan”
itu sebagai sebuah komoditas. Maka tidak heran ajang pencarian ratu sejagat menjadi acara
yang selalu menjadi incaran media untuk diliput. Tidak mengherankan ketika media
membuat reality show pencari anak tercantik seperti Toddlers & Tiaras, program serupa,
sebutah Little Miss Perfect dan Little Beauties, karena memang acara semacam itu laku di
pasaran, disukai banyak orang, dan ditonton banyak orang. Ketika acara tersebut sukses
dalam mendulang popularitas, maka pengiklan akan tertarik untuk mengiklankan diri di
dalam acara tersebut, tentunya industri kecantikan akan dengan senang hati menjadi
pengiklan pada acara-acara sejenis, selain memang itulah pangsa pasar mereka, brand
association yang ditanamkan kepada audiens atau konsumen menjadi amat kuat. Belum
lagi, ketika anak-anak sejak dini dikenalkan dengan konsep kecantikan dan make up, secara
otomatis anak-anak tersebut akan melihat produk-produk industri kecantikan sebagai
kebutuhan mereka. Ini tentunya menjadi pemasukan bagi para pelaku industri kecantikan.
Selain itu dengan menggaet anak-anak masuk ke dalam industri kecantikan, maka secara
13
pasti industri kecantikan berusaha memperluas segmen pasarnya. Jika dahulu pasarnya
masih terbatas pada wanita remaja, maupun wanita dewasa pada umumnya, saat ini
mereka mampu mendapatkan pangsa pasar dari anak-anak yang tentunya akan
berpengaruh pada tingkat pendapatan mereka secara keseluruhan.
Dari uraian yang disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa penanaman persepsi standar
kecantikan ala Barat di dunia tidaklah sesimpel yang dipikir. Ada banyak kepentingan yang
terlibat di sana dan sifatnya saling tumpang tindih. Sistem yang ada sulit untuk diubah
karena hampir semua pihak merasa nyaman dengan situasi kecantikan yang terstandar ini,
kecuali para akademisi, aktivis wanita dan anak. Tentunya kelompok-kelompok yang
disebutkan terakhir ini memiliki peran yang kecil untuk bisa mempengaruhi industri dengan
skala yang global seperti saat ini.
14
KESIMPULAN
Konsep kecantikan adalah hal yang relatif, tergantung dengan budaya yang dianut oleh
seseorang ataupun budaya setempat. Oleh karena itu konsep kecantikan berbeda-beda di
tiap tempat dan waktu. Namun, saat ini, mulai terdapat “standar dunia” untuk konsep
kecantikan. Standar tersebut mengacu pada kecantikan ala negara Barat. Menurut cultural
imperialism theory, hal ini terjadi dikarenakan negara Barat yang lebih memiliki sumber
daya ekonomi, secara tidak langsung, memaksa negara-negara berkembang lainnya untuk
mengonsumsi media yang sama. Lama kelamaan, budaya asli negara berkembang akan
terpengaruh oleh budaya Barat yang disiarkan oleh media.
Globalisasi membuat dunia serasa tanpa batas sehingga arus informasi dari media mampu
disampaikan secara lintas benua tanpa hambatan yang berarti. Kepentingan ekonomi
daripada industri kecantikan mendorong mereka untuk berusaha mendapatkan pasar
seluas-luasnya dengan beriklan secara masif di media. Iklan-iklan kecantikan tersebut
akhirnya dikonsumsi oleh semua masyarakat dunia. Kepentingan media untuk mendapat
keuntungan membuat media turut membantu penyebaran iklan tersebut ataupun turut
memproduksi acara yang berhubungan dengan kecantikan, seperti kontes ratu sejagat,
ataupun reality show kecantikan. Dengan maraknya iklan, poling-poling majalah, gelar-gelar
kecantikan, model internasional yang merepresentasikan barang fashion ternama, hingga
artis yang dimuat oleh media membuat audiens menjadi mudah menangkap bahwa yang
ada di media-lah sebagai patokan kecantikan.
15